Upload
bettygeacitra
View
38
Download
9
Embed Size (px)
DESCRIPTION
bedah Subdural Hematom kel.1.doc
Citation preview
SUBDURAL HEMATOMA
(SDH)
MAKALAH
Untuk memenuhi tugas matakuliah
Keperawatan Perioperatif 3 yang dibina oleh Bapak Heru SST
Oleh:
Indrayati (1501410012)
Chameliya Lusiana (1501410004)
Reni Julianita (1501410005)
Siti Umayah (1501410009)
Maria Dianisa T.H (1501410016)
Muhammad Panji A (1501410018)
Intan Rizki Andini (1501410024)
Avrizal Falefi (1501410028)
Risa Dya Pratiwi (1501410032)
Mikhael Waton R (1501410036)
POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES MALANG
JURUSAN KEPERAWATAN
PROGRAM STUDI D-IV KEPERAWATAN MALANG
September 2015
Subdural Hematoma (SDH)
I. DEFINISI
Subdural hematoma adalah terkumpulnya darah antara durameter dan
jaringan otak, yang dapat terjadi secara akut dan kronik. Terjadi akibat pecahnya
pembuluh darah vena/jembatan vena yang biasanya terdapat diantara duramater,
perdarahan lambat dan sedikit. Periode akut terjadi dalam 48 jam – 2 hari atau 2
minggu dan kronik dapat terjadi dalam 2 minggu atau beberapa bulan (corwin,
2009).
Hematoma subdural adalah penimbunan darah di dalam rongga subdural.
Dalam bentuk akut yang hebat,baik darah maupun cairan serebrospinal memasuki
ruang tersebut sebagai akibat dari laserasi otak atau robeknya arakhnoidea
sehingga menambah penekanan subdural pada jejas langsung di otak. Dalam
bentuk kronik, hanya darah yang efusi ke ruang subdural akibat pecahnya vena-
vena penghubung, umumnya disebabkan oleh cedera kepala tertutup. Efusi itu
merupakan proses bertahap yang menyebabkan beberapa minggu setelah cedera,
sakit kepala dan tanda-tanda fokal progresif yang menunjukkan lokasi gumpalan
darah (arif muttaqin,2008).
II. ETIOLOGI
Penyebab subdural hematoma antara lain (Rosjidi, 2007) :
1. Kecelakaan, jatuh, kecelakaan kendaraan bermotor atau sepeda dan mobil.
2. Kecelakaan pada saat olah raga, anak dengan ketergantungan.
3. Cedera akibat kekerasan.
4. Benda tumpul, kerusakan terjadi hanya terbatas pada daerah dimana dapat
merobek otak.
5. Kerusakan menyebar karena kekuatan benturan, biasanya lebih berat
sifatnya.
6. Benda tajam, kerusakan terjadi hanya terbatas pada daerah dimana dapat
merobek otak, misalnya tertembak peluru atau benda tajam.
Keadaan ini timbul setelah cedera/ trauma kepala hebat, seperti perdarahan
kontusional yang mengakibatkan ruptur vena yang terjadi dalam ruangan
subdural. Perdarahan sub dural dapat terjadi pada:
1. Trauma kapitis
Trauma di tempat lain pada badan yang berakibat terjadinya geseran
atau putaran otak terhadap duramater, misalnya pada orang yang jatuh
terduduk.
2. Trauma pada leher karena guncangan pada badan.
Hal ini lebih mudah terjadi bila ruangan subdura lebar akibat dari atrofi
otak, misalnya pada orangtua dan juga pada anak - anak.
3. Pecahnya aneurysma atau malformasi pembuluh darah di dalam
ruangan subdura
4. Gangguan pembekuan darah biasanya berhubungan dengan perdarahan
subdural yang spontan, dan keganasan ataupun perdarahan dari tumor
intrakranial. Pada orang tua, alkoholik, gangguan hati.
III. PATOFISIOLOGI
Perdarahan terjadi antara duramater dan arakhnoidea. Perdarahan dapat
terjadi akibat robeknya vena jembatan (bridging veins) yang menghubungkan
vena di permukaan otak dan sinus venosus di dalam duramater atau karena
robeknya araknoidea. Karena otak yang bermandikan cairan cerebrospinal dapat
bergerak, sedangkan sinus venosus dalam keadaan terfiksir, berpindahnya posisi
otak yang terjadi pada trauma, dapat merobek beberapa vena halus pada tempat di
mana mereka menembus duramater Perdarahan yang besar akan menimbulkan
gejala-gejala akut menyerupai hematoma epidural. Perdarahan yang tidak terlalu
besar akan membeku dan di sekitarnya akan tumbuh jaringan ikat yang
membentuk kapsula. Gumpalan darah lambat laun mencair dan menarik cairan
dari sekitarnya dan mengembung memberikan gejala seperti tumor serebri karena
tekanan intracranial yang berangsur meningkat.
Perdarahan sub dural kronik umumnya berasosiasi dengan atrofi cerebral.
Vena jembatan dianggap dalam tekanan yang lebih besar, bila volume otak
mengecil sehingga walaupun hanya trauma yang kecil saja dapat menyebabkan
robekan pada vena tersebut. Perdarahan terjadi secara perlahan karena tekanan
sistem vena yang rendah, sering menyebabkan terbentuknya hematoma yang besar
sebelum gejala klinis muncul. Pada perdarahan subdural yang kecil sering terjadi
perdarahan yang spontan. Pada hematoma yang besar biasanya menyebabkan
terjadinya membran vaskular yang membungkus hematoma subdural tersebut.
Perdarahan berulang dari pembuluh darah di dalam membran ini memegang
peranan penting, karena pembuluh darah pada membran ini jauh lebih rapuh
sehingga dapat berperan dalam penambahan volume dari perdarahan subdural
kronik. Akibat dari perdarahan subdural, dapat meningkatkan tekanan intrakranial
dan perubahan dari bentuk otak. Naiknya tekanan intra kranial dikompensasi oleh
efluks dari cairan likuor ke axis spinal dan dikompresi oleh sistem vena. Pada fase
ini peningkatan tekanan intra kranial terjadi relatif perlahan karena komplains
tekanan intra kranial yang cukup tinggi.
Meskipun demikian pembesaran hematoma sampai pada suatu titik
tertentu akan melampaui mekanisme kompensasi tersebut. Komplains intrakranial
mulai berkurang yang menyebabkan terjadinya peningkatan tekanan intra kranial
yang cukup besar. Akibatnya perfusi serebral berkurang dan terjadi iskemi
serebral. Lebih lanjut dapat terjadi herniasi transtentorial atau subfalksin. Herniasi
tonsilar melalui foramen magnum dapat terjadi jika seluruh batang otak terdorong
ke bawah melalui incisura tentorial oleh meningkatnya tekanan supra tentorial.
Juga pada hematoma subdural kronik, didapatkan bahwa aliran darah ke thalamus
dan ganglia basaalis lebih terganggu dibandingkan dengan daerah otak yang
lainnya. Terdapat 2 teori yang menjelaskan terjadinya perdarahan subdural kronik,
yaitu teori dari Gardner yang mengatakan bahwa sebagian dari bekuan darah akan
mencair sehingga akan meningkatkan kandungan protein yang terdapat di dalam
kapsul dari subdural hematoma dan akan menyebabkan peningkatan tekanan
onkotik didalam kapsul subdural hematoma. Karena tekanan onkotik yang
meningkat inilah yang mengakibatkan pembesaran dari perdarahan tersebut.
Tetapi ternyata ada kontroversial dari teori Gardner ini, yaitu ternyata dari
penelitian didapatkan bahwa tekanan onkotik di dalam subdural kronik ternyata
hasilnya normal yang mengikuti hancurnya sel darah merah. Teori yang ke dua
mengatakan bahwa, perdarahan berulang yangdapat mengakibatkan terjadinya
perdarahan subdural kronik, faktor angiogenesis juga ditemukan dapat
meningkatkan terjadinya perdarahan subdural kronik, karena turut memberi
bantuan dalam pembentukan peningkatan vaskularisasi di luar membran atau
kapsul dari subdural hematoma. Level dari koagulasi, level abnormalitas enzim
fibrinolitik dan peningkatan aktivitas dari fibrinolitik dapat menyebabkan
terjadinya perdarahan subdural kronik. (Price and Wilson, 1995).
IV. GAMBARAN KLINIS/ MANIFESTASI KLINIS
Tanda dan gejala yang timbul pada hematoma dalah sebagai berikut subdural
(Sylvia A : 2005, Diane C : 2002) adalah :
1. Hematoma Subdural Akut
Hematoma subdural akut menimbulkan gejala neurologik dalam 24
sampai 48 jam setelah cedera. Dan berkaitan erat dengan trauma otak berat.
Gangguan neurologik progresif disebabkan oleh tekanan pada jaringan otak
dan herniasi batang otak dalam foramen magnum, yang selanjutnya
menimbulkan tekanan pada batang otak. Keadan ini dengan cepat
menimbulkan berhentinya pernapasan dan hilangnya kontrol atas denyut nadi
dan tekanan darah.
2. Hematoma Subdural Subakut
Hematoma ini menyebabkan defisit neurologik dalam waktu lebih dari
48 jam tetapi kurang dari 2 minggu setelah cedera. Seperti pada hematoma
subdural akut, hematoma ini juga disebabkan oleh perdarahan vena dalam
ruangan subdural. Anamnesis klinis dari penmderita hematoma ini adalah
adanya trauma kepala yang menyebabkan ketidaksadaran, selanjutnya diikuti
perbaikan status neurologik yang perlahan-lahan. Namun jangka waktu
tertentu penderita memperlihatkan tanda-tanda status neurologik yang
memburuk.
Tingkat kesadaran mulai menurun perlahan-lahan dalam beberapa
jam.Dengan meningkatnya tekanan intrakranial seiring pembesaran
hematoma, penderita mengalami kesulitan untuk tetap sadar dan tidak
memberikan respon terhadap rangsangan bicara maupun nyeri. Pergeseran isi
intracranial dan peningkatan intracranial yang disebabkan oleh akumulasi
darah akan menimbulkan herniasi unkus atau sentral dan melengkapi tanda-
tanda neurologik dari kompresi batang otak.
3. Hematoma Subdural Kronik
Timbulnya gejala pada umumnya tertunda beberapa minggu, bulan dan
bahkan beberapa tahun setelah cedera pertama.Trauma pertama merobek
salah satu vena yang melewati ruangan subdural. Terjadi perdarahan secara
lambat dalam ruangan subdural. Dalam 7 sampai 10 hari setelah perdarahan
terjdi, darah dikelilingi oleh membrane fibrosa.Dengan adanya selisih tekanan
osmotic yang mampu menarik cairan ke dalam hematoma, terjadi kerusakan
sel-sel darah dalam hematoma. Penambahan ukuran hematoma ini yang
menyebabkan perdarahan lebih lanjut dengan merobek membran atau
pembuluh darah di sekelilingnya, menambah ukuran dan tekanan hematoma.
Hematoma subdural yang bertambah luas secara perlahan paling sering terjadi
pada usia lanjut (karena venanya rapuh) dan pada alkoholik. Pada kedua
keadaan ini, cedera tampaknya ringan; selama beberapa minggu gejalanya
tidak dihiraukan. Hasil pemeriksaan CT scan dan MRI bisa menunjukkan
adanya genangan darah.
Hematoma subdural pada bayi bisa menyebabkan kepala bertambah
besar karena tulang tengkoraknya masih lembut dan lunak. Hematoma
subdural yang kecil pada dewasa seringkali diserap secara spontan.
Hematoma subdural yang besar, yang menyebabkan gejala-gejala neurologis
biasanya dikeluarkan melalui pembedahan. Petunjuk dilakukannya pengaliran
perdarahan ini adalah:
o Sakit kepala yang menetap
o Rasa mengantuk yang hilang-timbul
o Linglung
o Perubahan ingatan
o Kelumpuhan ringan pada sisi tubuh yang berlawanan.
V. GAMBARAN RADIOLOGI
Hasil CT Scan Subdural Hematom
Hasil MRI Subdural Hematoma
VI. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan penunjang pada pasien dengan subdural hematom adalah sebagai
berikut ( Junaidi ; 2010) :
1. CT Scan
CT Scan saat tanpa atau dengan kontras mengidentifikasi adanya
hemoragik, menentukan ukuran ventrikuler, pergeseran jaringan otak.
2. MRI (Magnetic resonance imaging)
Magnetic resonance imaging (MRI) sangat berguna untuk
mengidentifikasi perdarahan ekstraserebral. Akan tetapi CT-scan
mempunyai proses yang lebih cepat dan akurat untuk mendiagnosa SDH
sehingga lebih praktis menggunakan CT-scan dibandingkan MRI pada
fase akut penyakit. MRI baru dipakai pada masa setelah trauma terutama
untuk menetukan kerusakan parenkim otak yang berhubungan dengan
trauma yang tidak dapat dilihat dengan pemeriksaan CT-scan. MRI lebih
sensitif untuk mendeteksi lesi otak nonperdarahan, kontusio, dan cedera
aksonal difus. MRI dapat membantu mendiagnosis bilateral subdural
hematom kronik karena pergeseran garis tengah yang kurang jelas pada
CT-scan.
3. Angiografi Serebral
Menunjukkan kelainan sirkulasi serebral, seperti pergeseran jaringan otak
akibat edema, perdarahan, trauma.
4. X-Ray
Mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan struktur garis
(perdarahan / edema), fragmen tulang.
5. Analisa Gas Darah
Medeteksi ventilasi atau masalah pernapasan (oksigenasi) jika terjadi
peningkatan tekanan intrakranial.
6. Elektrolit
Untuk mengkoreksi keseimbangan elektrolit sebagai akibat peningkatan
tekanan
7. Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium minimal meliputi, pemeriksaan darah rutin,
elektrolit, profil hemostasis/koagulasi.
8. Foto tengkorak
Pemeriksaan foto tengkorak tidak dapat dipakai untuk memperkirakan
adanya SDH. Fraktur tengkorak sering dipakai untuk meramalkan
kemungkinan adanya perdarahan intrakranial tetapi tidak ada hubungan
yang konsisten antara fraktur tengkorak dan SDH. Bahkan fraktur sering
didapatkan kontralateral terhadap SDH.
VII. PENATALAKSANAAN MEDIK
Penatalaksanaan medik yang dilakukan pada pasien dengan subdural
hematom adalah sebagai berikut (Junaidi ; 2010) :
1. Tindakan Tanpa Pembedahan
Pada kasus perdarahan yang kecil (volume 30 cc ataupun kurang) dilakukan
tindakan konservatif. Tetapi pada keadaan ini masih ada kemungkinan terjadi
penyerapan darah yang rusak diikuti oleh terjadinya fibrosis yang kemudian dapat
mengalami pengapuran. Servadei dkk merawat non operatif 15 penderita dengan
SDH akut dimana tebal hematoma < 1 cm dan midline shift kurang dari 0.5 cm.
Dua dari penderita ini kemudian mendapat ICH yang memerlukan tindakan
operasi. Ternyata dua pertiga dari penderita ini mendapat perbaikan fungsional.
Merawat nonoperatif sejumlah penderita SDH akut dengan tekanan intrakranial
(TIK) yang normal dan GCS 11 – 15. Hanya 6% dari penderita yang
membutuhkan operasi untuk SDH. Penderita SDH akut yang berada dalam
keadaan koma tetapi tidak menunjukkan peningkatan tekanan intrakranial (PTIK)
yang bermakna kemungkinan menderita suatu diffuse axonal injury.
Pada penderita ini, operasi tidak akan memperbaiki defisit neurologik dan
karenanya tidak di indikasikan untuk tindakan operasi. Beberapa penderita
mungkin mendapat kerusakan berat parenkim otak dengan efek massa (mass
effect) tetapi SDH hanya sedikit. Pada penderita ini, tindakan operasi/evakuasi
walaupun terhadap lesi yang kecil akan merendahkan TIK dan memperbaiki
keadaan intraserebral. Pada penderita SDH akut dengan refleks batang otak yang
negatif dan depresi pusat pernafasan hampir selalu mempunyai prognosa akhir
yang buruk dan bukan calon untuk operasi.
2. Tindakan Pembedahan
Hematoma subdural yang akut dan kronik, jika memberikan gejala-gejala
yang berat dan progresif maka perlu dioperasi. Pada CT scan pasien dengan
hematoma subdural dengan ketebalan lesi > 10 mm atau midline-shift > 5 mm
maka harus dievakuasi dengan pembedahan,tanpa memperhatikan GCS pasien.
Semua pasien dengan hematoma subdural akut dengan koma maka Tekanan
intrakranialnya harus diawasi. Pasien dengan status koma dengan ketebalan lesi
hematom subdural < 10 mm dan midline shift < 5 mm harus dievakuasi dengan
pembedahan jika GCS menurun diantara waktu trauma dan masuk di rumah sakit
dengan 2 atau lebih poin dan atau pasien yang menunjukkan asimetris dan atau
pupil dilatasi dan atau tekanan intrakranial melebihi 20 mm Hg.
Pada pasien dengan hematoma subdural akut dan berindikasi untuk dilakukan
pembedahan, maka evakuasi dengan pembedahan harus dilakukan sesegera
mungkin. Jika terdapat indikasi evakuasi pembedahan pada pasien hematoma
subdural akut yang koma, maka harus dilakukan dengan menggunakan kraniotomi
dengan atau tanpa bone flap removal dan duraplasti.
Evakuasi secara bedah merupakan pengobatan definitif dan tak boleh
terlambat, karena menimbulkan resiko berupa iskemia otak dan hiperventilasi.
Pembedahan pada hematoma subdural akut dengan kraniotomi yang cukup luas
untuk mengurangi penekanan pada otak (dekompresi), menghentikan perdarahan
aktif subdural, dan evakuasi darah intraparenkimal.
Setelah evakuasi hematom pada hematoma subdural akut, pemberian obat
ditujukan untuk pengontrolan terhadap tekanan intrakranial (TIK) dan
mempertahankan tekanan perfusi serebral di atas 60-70 mmHg. Parameter ini
dipertahankan selama periode perioperatif. Bila dalam 24 jam ditemukan
terjadinya suatu hematoma subdural akut berulang atau ada suatu peningkatan
tekanan intrakranial dilakukan follow up dengan pemeriksaan CT scan ulang
segera untuk melihat lesi intrakranial atau reakumulasi hematoma subdural.
Pemeriksaan pembekuan trombosit darah setelah tindakan operasi diikuti untuk
mengoreksi jika ada suatu resiko perdarahan tambahan.
3. Perawatan Pascabedah
Monitor kondisi umum dan neurologis pasien dilakukan seperti biasanya.
Jahitan dibuka pada hari ke 5-7. Tindakan pemasangan fragmen tulang atau
kranioplasti dianjurkan dilakukan setelah 6-8 minggu kemudian. Setelah operasi
pun kita harus tetap berhati-hati, karena pada sebagian pasien dapat terjadi
perdarahan lagi yang berasal dari pembuluh darah yang baru terbentuk, subdural
empiema, irigasi yang kurang baik, pergeseran otak yang tiba-tiba, kejang, tension
pneumoencephalus, kegagalan dari otak untuk mengembang kembali dan
terjadinya reakumulasi dari cairan subdural. Maka dalam hal ini hematoma harus
dikeluarkan lagi dan sumber perdarahan harus ditiadakan. Serial CT-scan
tomografi pasca kraniotomi sebaiknya juga dilakukan.
4. Follow – Up
CT scan kontrol diperlukan apabila post operasi kesadaran tidak membaik
dan untuk menilai apakah masih terjadi hematom lainnya yang timbul kemudian.
5. Pengobatan
a. Hiperventilasi
Bertujuan untuk menurunkan paO2 darah sehingga mencegah vasodilatasi
pembuluh darah.
b. Cairan hiperosmoler
Umumnya digunakan cairan Manitol 10¬-15% per infus untuk "menarik" air
dari ruang intersel ke dalam ruang intravaskular untuk kemudian
dikeluarkan melalui diuresis.
c. Kortikosteroid
Penggunaan kortikosteroid untuk menstabilkan sawar darah otak. Berupa
Dexametason, Metilprednisolon, dan Triamsinolon.
d. Barbiturat
Digunakan untuk mem"bius" pasien sehingga metabolisme otak dapat
ditekan serendah mungkin, akibatnya kebutuhan oksigen juga akan
menurun; karena kebutuhan yang rendah, otak relatif lebih terlindung dari
kemungkinan kerusakan akibat hipoksi, walaupun suplai oksigen berkurang.
e. Pemberian obat-obat neurotropik untuk membantu mengatasi
kesulitan/gangguan metabolisme otak, termasuk pada keadaan koma.
f. Piritinol, merupakan senyawa mirip piridoksin (vitamin B6) yang dikatakan
mengaktivasi metabolisme otak dan memperbaiki struktur serta fungsi
membran sel. Pada fase akut diberikan dalam dosis 800-4000 mg/hari lewat
infus. Tidak dianjurkan pemberian intravena karena sifatnya asam sehingga
mengiritasi vena.
g. Piracetam, merupakan senyawa mirip GABA - suatu neurotransmitter
penting di otak. Diberikan dalam dosis 4-12 gram/ hari intravena.
h. Citicholine, disebut sebagai koenzim pembentukan lecithin di otak. Lecithin
sendiri diperlukan untuk sintesis membran sel dan neurotransmitter di dalam
otak. Diberikan dalam dosis 100-500 mg/hari intravena.
VIII. INSTRUKSI TEKNIK OPERASI
A. Definisi
Trepanasi/kraniotomi adalah suatu tindakan membuka tulang kepala yang
bertujuan mencapai otak untuk tindakan pembedahan definitif.
B. Indikasi Operasi
Penurunan kesadaran tiba-tiba di depan mata
Adanya tanda herniasi/lateralisasi
Adanya cedera sistemik yang memerlukan operasi emergensi, dimana CT
Scan Kepala tidak bisa dilakukan.
C. Diagnosis Banding
Hematom intracranial lainnya
D. Pemeriksaan Penunjang
CT Scan kepala
E. Teknik Operasi
Positioning
Letakkan kepala pada tepi meja untuk memudahkan operator. Head-
up kurang lebih 15o (pasang donat kecil dibawah kepala). Letakkan kepala
miring kontralateral lokasi lesi/ hematoma. Ganjal bahu satu sisi saja (pada
sisi lesi) misalnya kepala miring ke kanan maka ganjal bantal di bahu kiri dan
sebaliknya.
Washing
Cuci lapangan operasi dengan savlon. Tujuan savlon: desinfektan,
menghilangkan lemak yang ada di kulit kepala sehingga pori-pori terbuka,
penetrasi betadine lebih baik. Keringkan dengan doek steril. Pasang doek
steril di bawah kepala untuk membatasi kontak dengan meja operasi
Markering
Setelah markering periksa kembali apakah lokasi hematomnya sudah
benar dengan melihat CT scan. Saat markering perhatikan: garis rambut –
untuk kosmetik, sinus – untuk menghindari perdarahan, sutura – untuk
mengetahui lokasi, zygoma – sebagai batas basis cranii, jalannya N VII
(kurang lebih 1/3 depan antara tragus sampai dengan canthus lateralis orbita)
Desinfeksi
Desinfeksi lapangan operasi dengan betadine. Suntikkan Adrenalin
1:200.000 yang mengandung lidocain 0,5%. Tutup lapangan operasi dengan
doek steril.
Operasi
Incisi lapis demi lapis sedalam galea (setiap 5cm) mulai dari ujung.
Pasang haak tajam 2 buah (oleh asisten), tarik ke atas sekitar 60 derajat.
Buka flap secara tajam pada loose connective tissue. Kompres dengan kasa
basah. Di bawahnya diganjal dengan kasa steril supaya pembuluh darah
tidak tertekuk (bahaya nekrosis pada kulit kepala). Klem pada pangkal flap
dan fiksasi pada doek.
Buka pericranium dengan diatermi. Kelupas secara hati-hati dengan
rasparatorium pada daerah yang akan di burrhole dan gergaji kemudian
dan rawat perdarahan.
Penentuan lokasi burrhole idealnya pada setiap tepi hematom sesuai
gambar CT scan.
Lakukan burrhole pertama dengan mata bor tajam (Hudson’s Brace)
kemudian dengan mata bor yang melingkar (Conical boor) bila sudah
menembus tabula interna.
Boorhole minimal pada 4 tempat sesuai dengan merkering.
Perdarahan dari tulang dapat dihentikan dengan bone wax. Tutup lubang
boorhole dengan kapas basah/ wetjes.
Buka tulang dengan gigli. Bebaskan dura dari cranium dengan
menggunakan sonde. Masukan penuntun gigli pada lubang boorhole.
Pasang gigli kemudian masukkan penuntun gigli sampai menembus
lubang boorhole di sebelahnya. Lakukan pemotongan dengan gergaji dan
asisten memfixir kepala penderita.
Patahkan tulang kepala dengan flap ke atas menjauhi otak dengan cara
tulang dipegang dengan knabel tang dan bagian bawah dilindungi dengan
elevator kemudian miringkan posisi elevator pada saat mematahkan
tulang.
Setelah nampak hematom epidural, bersihkan tepi-tepi tulang dengan
spoeling dan suctioning sedikit demi sedikit. Pedarahan dari tulang dapat
dihentikan dengan bone wax.
Gantung dura (hitch stitch) dengan benang silk 3.0 sedikitnya 4 buah.
Evakuasi hematoma dengan spoeling dan suctioning secara gentle.
Evaluasi dura, perdarahan dari dura dihentikan dengan diatermi. Bila ada
perdarahan dari tepi bawah tulang yang merembes tambahkan hitch stitch
pada daerah tersebut kalau perlu tambahkan spongostan di bawah tulang.
Bila perdarahan profus dari bawah tulang (berasal dari arteri) tulang boleh
di-knabel untuk mencari sumber perdarahan kecuali dicurigai berasal dari
sinus.
Bila ada dura yang robek jahit dura dengan silk 3.0 atau vicryl 3.0 secara
simpul dengan jarak kurang dari 5mm. Pastikan sudah tidak ada lagi
perdarahan dengan spoeling berulang-ulang.
Pada subdural hematoma setelah dilakukan kraniektomi langkah
salanjutnya adalah membuka duramater.
Sayatan pembukaan dura seyogianya berbentuk tapal kuda (bentuk U)
berlawanan dengan sayatan kulit. Duramater dikait dengan pengait dura,
kemudian bagian yang terangkat disayat dengan pisau sampai terlihat
lapisan mengkilat dari arakhnoid. (Bila sampai keluar cairan otak, berarti
arachnoid sudah turut tersayat). Masukkan kapas berbuntut melalui lubang
sayatan ke bawah duramater di dalam ruang subdural, dan sefanjutnya
dengan kapas ini sebagai pelindung terhadap kemungkinan trauma pada
lapisan tersebut.
Perdarahan dihentikan dengan koagulasi atau pemakaian klip khusus.
Koagulasi yang dipakai dengan kekuatan lebih rendah dibandingkan untuk
pembuluh darah kulit atau subkutan.
Reseksi jaringan otak didahului dengan koagulasi permukaan otak dengan
pembuluh-pembuluh darahnya baik arteri maupun vena.
Semua pembuluh darah baik arteri maupun vena berada di permukaan di
ruang subarahnoidal, sehingga bila ditutup maka pada jaringan otak
dibawahnya tak ada darah lagi.
Perlengketan jaringan otak dilepaskan dengan koagulasi. Tepi bagian otak
yang direseksi harus dikoagulasi untuk menjamin jaringan otak bebas dari
perlengketan. Untuk membakar permukaan otak, idealnya dipergunakan
kauter bipolar. Bila dipergunakan kauter monopolar, untuk memegang
jaringan otak gunakan pinset anatomis halus sebagai alat bantu kauterisasi.
Pengembalian tulang. Perlu dipertimbangkan dikembalikan/tidaknya
tulang dengan evaluasi klinis pre operasi dan ketegangan dura. Bila tidak
dikembalikan lapangan operasi dapat ditutup lapis demi lapis dengan cara
sebagai berikut:
Teugel dura di tengah lapangan operasi dengan silk 3.0 menembus
keluar kulit.
Periost dan fascia otot dijahit dengan vicryl 2.0.
Pasang drain subgaleal.
Jahit galea dengan vicryl 2.0.
Jahit kulit dengan silk 3.0.
Hubungkan drain dengan vaum drain (Redon drain).
Operasi selesai.
Bila tulang dikembalikan, buat lubang untuk fiksasi tulang, pertama pada
tulang yang tidak diangkat (3-4 buah). Tegel dura ditengah tulang yang
akan dikembalikan untuk menghindari dead space. Buat lubang pada
tulang yang akan dikembalikan sesuai dengan lokasi yang akan di fiksasi
(3-4 buah ditepi dan 2 lubang ditengah berdekatan untuk teugel dura).
Lakukan fiksasi tulang dengan dengan silk 2.0, selanjutnya tutup lapis
demi lapis seperti diatas.
F. Komplikasi operasi
Perdarahan
Infeksi
G. Perawatan Pascabedah
Monitor kondisi umum dan neurologis pasien dilakukan seperti
biasanya. Jahitan dibuka pada hari ke 5-7. Tindakan pemasangan fragmen
tulang atau kranioplasti dianjurkan dilakukan setelah 6-8 minggu kemudian.
H. Follow-up
CT scan kontrol diperlukan apabila post operasi kesadaran tidak
membaik dan untuk menilai apakah masih terjadi hematom lainnya yang
timbul kemudian.