23
SUPERVISI DAN KEBIJAKAN PENDIDIKAN A. Kebijakan Pendidikan Kebijakan pendidikan merupakan kebijakan publik, bahkan sebagaimana menurut Pressman dan Wildavsky yang dikutip dalam (Ezmir dan Sam 2010), bahwa saat ini pendidikan adalah pusat wilayah kebijakan publik. Kebijakan pendidikan sebagai kebijakan publik adalah kebijakan sebagai keputusan tetap dicirikan oleh konsistensi dan pengulangan tingkah laku dari mereka yang membuat dan dari mereka yang mematuhi keputusan tersebut. Konsistensi ditinjau berdasarkan hirarki kebijakan. Kebijakan berdasarkan hirarki terdiri dari : 1. Policy Level, 2. Organization Level, dan 3. Operational Level. Dari gambaran tersebut, dapat diartikan bahwa apapun yang dirumuskan oleh kebijakan pada Policy Level dalam bentuk peraturan perundangan implikasinya akan Supervisi dan Kebijakan PendidikanPage 1

Supervisi Dan Kebijakan Pendidikan

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Supervisi Dan Kebijakan Pendidikan

SUPERVISI DAN KEBIJAKAN PENDIDIKAN

A. Kebijakan Pendidikan

Kebijakan pendidikan merupakan

kebijakan publik, bahkan sebagaimana

menurut Pressman dan Wildavsky yang

dikutip dalam (Ezmir dan Sam 2010), bahwa

saat ini pendidikan adalah pusat wilayah

kebijakan publik. Kebijakan pendidikan

sebagai kebijakan publik adalah kebijakan sebagai keputusan tetap dicirikan

oleh konsistensi dan pengulangan tingkah laku dari mereka yang membuat

dan dari mereka yang mematuhi keputusan tersebut. Konsistensi ditinjau

berdasarkan hirarki kebijakan. Kebijakan berdasarkan hirarki terdiri dari :

1. Policy Level,

2. Organization Level, dan

3. Operational Level.

Dari gambaran tersebut, dapat diartikan bahwa apapun yang

dirumuskan oleh kebijakan pada Policy Level dalam bentuk peraturan

perundangan implikasinya akan sampai pada tingkat Organization Level dan

kepada tingkat yang paling bawah, yakni unit-unit operasional pada

Operational Level. Disamping itu, dapat dikatakan pula bahwa rentang

pilihan serta kemungkinan tindakan bagi pelaku-pelaku kebijakan pada

Operational Level ditentukan oleh Institutional Arrangements pada tingkat

diatasnya, yaitu Organizational Level dan Policy Level. Perilaku yang dapat

diobservasi pada Operational Level yaitu pola interaksi akan menghasilkan

Supervisi dan Kebijakan Pendidikan Page 1

Page 2: Supervisi Dan Kebijakan Pendidikan

produk yang akan dilihat oleh masyarakat. Selanjutnya, upaya untuk

menghasilkan manusia yang berkualitas, diselenggarakan suatu Sistem

Pendidikan Nasional yang selanjutnya ditetapkan dalam suatu kebijakan

berupa UU Nomor 20 Tahun 2003. UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang SPN

tersebut menetapkan fungsi pendidikan yang diperankankan oleh seluruh

lapisan bangsa dan menetapkan tujuan pendidikan yang dapat dicapai.

Funsi pendidikan nasional adalah mengembangkan kemampuan dan

membentuk watak serta peradban bangsa yang bermatabat dalam rangka

mencerdaskan bangsa. Tujuannya adalah untuk berkembangnya potensi

peserta didik agar : 1) menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada

Tuhan Yang Maha Esa, 2) berakhlak mulia, 3) sehat, 4) berilmu, 5) cakap, 6)

kreatif, 7) mandiri, dan 8) menjadi warga negara yang demokratis serta 9)

bertanggung jawab. Upaya untuk membentuk peserta didik agar menjadi

manusia yang diharapkan, ditetapkan jalur, jenjang dan jenis pendidikan.

Untuk pendidikan dasar dan menengah dijelaskan pada pasal 17 dan 18.

Pasal 17 adalah sebagai berikut : ayat (1) pendidikan dasar merupakan

jenjang pendidikan yang melandasi jenjang pendidikan menengah; ayat (2)

pendidikan dasar berbentuk Sekolah Dasar (SD) dan Madrasah Ibtidaiyah

(MI) atau berbentuk lain yang sederajat serta Sekolah Menengah Pertama

(SMP) dan Madrasah Tsanawiyah (MTs), atau bentuk lain yang sederajat.

Pasal 18 adalah sebagai berikut : ayat (1) pendidikan menengah merupakan

lanjutan dari pendidikan dasar; ayat (2) pendidikan menengah terdiri atas

pendidikan menengah umum dan pendidikanmenengah kejuruan; ayat (3)

pendidikan menengah berbentuk Sekolah Menengah Atas (SMA), Madrasah

Supervisi dan Kebijakan Pendidikan Page 2

Page 3: Supervisi Dan Kebijakan Pendidikan

Aliyah (MA), Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), dan Madrasah Aliyah

Kejuruan (MAK), atau bentuk lain yang sederajat.

Pasal tersebut diatas, mengadung makna bahwa pendidikan menengah

merupakan sekolah menengah pertama dan madrasah tsanawiyah yang

termasuk ke dalam kategori pendidikan dasar, juga termasuk ke dalam

kategori pendidikan menengah berbentuk Sekolah Menengah Atas (SMA),

Madrasah Aliyah (MA), Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), dan Madrasah

Aliyah Kejuruan (MAK), atau bentuk lain yang sederajat.

Selanjutnya dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 pasal 36 ayat

(1) ditetapkan bahwa kurikulum dilakukan mengacu pada standar nasional

pendidikan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional; (2) kurikulum

pada semua jenjang dan jenis pendidikan dikembangkan dengan prinsip

diversifikasi sesuai dengan satuan pendidikan, potensi daerah dan peserta

didik; (3) kurikulum disusun sesuai dengan jenjang pendidikan dalam

kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan memperhatikan: (a)

peningkatan iman dan takwa; (b) peningkatan akhlak mulia; (c) peningkatan

potensi, kecerdasan dan minat peserta didik; (d) keragaman potensi daerah

dan lingkungan; (e) tuntutan pembangunan daerah dan nasional; (f) tuntutan

dunia kerja; (g) perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni; (h)

agama; (i) dinamika perkembangan global; dan (j) persatuan nasional dan

nilai-nilai kebangsaan; (4) ketentuan mengenai pengembangan kurikulum

sebagaimana dimaksud dalam ayat 1, ayat 2, dan ayat 3 diatur lebih lanjut

dengan Peraturan Pemerintah. Kurikulum pendidikan dasar dan menengah

disusun wajib dengan memuat : (a) pendidikan agama; (b) pendidikan

kewarganegaraan; (c) bahasa; (d) matematika; (e) ilmu pengetahuan alam;

Supervisi dan Kebijakan Pendidikan Page 3

Page 4: Supervisi Dan Kebijakan Pendidikan

(f) ilmu pengetahuan sosial; (g) seni dan budaya; (h) pendidikan jasmani dan

olah raga; (i) keterampilan/kejujuran; dan (j) muatan lokal.

Namun, apabila kurikulum dirancang dan dirumuskan mengacu pada

standar nasional pendidikan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional,

maka kurikulum akan mencakup ke dalam empat aspek: (1) agama, yaitu

beriman, bertakwa, berakhlak mulia; (2) intelektual, yaitu memiliki ilmu

pengetahuan dan teknologi; (3) politik atau kewarganegaraan, yaitu menjadi

warga negara yang demokratis; dan (4) individual yang mencakup fisik dan

mental, yaitu: sehat, cakap, kreatif, dan mandiri. Selanjutnya, kurikulum

yang dirancang untuk mencapai tujuan pendidikan nasional,

ketercapaiannya tergantung kepada kemampuan kompetensi atau

profesionalisme seorang pendidik dan tenaga kependidikan.

Dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 Pasal 39 ayat (1), ayat (2)

yaitu : ayat (1) tenaga kependidikan bertugas melaksanakan administrasi,

pengelolaan, pengembangan, pengawasan, dan pelayanan teknis untuk

menunjang proses pendidikan pada satuan pendidikan; ayat (2) pendidik

merupakan tenaga profesional yang bertugas merencanakan dan

melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan

pembimbingan dan pelatihan, serta melakukan penilitian dan pengabdian

kepada masyarakat, teutama bagi pendidik pada perguruan tinggi. Pasal 40

ayat (1) dan ayat (2) yaitu : ayat (1) pendidik dan tenaga kependidikan

berhak memperoleh: (a) penghasilan dan jaminan kesejahteraan yang

pantas dan memadai; (b) penghargaan sesuai dengan tugas dan prestasi

kerja; (c) pembinaan karir sesuai dengan tuntutan pengembangan kualitas;

(d) perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas dan hak atas hasil

Supervisi dan Kebijakan Pendidikan Page 4

Page 5: Supervisi Dan Kebijakan Pendidikan

kekayaan dan intelektual, dan (e) kesempatan untuk menggunakan sarana,

prasarana dan fasilitas pendidikan untuk menunjang kelancaran

pelaksanaan tugas. Ayat (2) pendidik dan tenaga kependidikan

berkewajiban: (a) menciptakan suasana pendidikan yang bermakna,

menyenangkan, kretif, dinamis, dan dialogis; (b) mempunyai komitmen

secara profesional untuk mentingkatkan mutu pendidikan; dan (c) memberi

teladan dan menjaga nama baik lembaga, profesi dan kedudukan sesuai

dengan kepercayaan yang diberikan kepadanya.

Figur jabatan profesional seorang pendidik dan tenaga kependidikan

yang dijelaskan dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2003, sebagaimana

dikemukakan oleh Soedijarto dalam jurnal pendidikan adalah jabatan yang

memerlukan pendidikan lanjutan dan pelatihan khusus (advanced education

and special training). Hal ini tidak lain karena jabatan profesional adalah

jabatan yang memerlukan kemampuan merencanakan, kemampuan

mengelola, kemampuan mengendalikan, kemampuan memonitor,

kemampuan menilai, dan kemampuan mendiagnosis. Untuk guru yang

berderajat profesional disamping kemampuan-kemampuan tersebut,

diperlukan tambahan kemampuan memberikan bimbingan dan

kepemimpinan yang didasarkan atas pemahamannya atas peserta didik,

penguasaannya atas ilmu pengetahuan sebagi bahan ajar, dan teknologi

pendidikan. Namun, dalam beberapa keputusan menteri pendidikan

nasional menunjukkan input dan proses pengangkatan sebagi guru dalam

rangka meningkatkan mutu pendidikan sesuai dengan kebutuhan

pembangunan, pemenuhan kebutuhan guru mata pelajaran/rumpun mata

pelajaran yang sesuai dengan bidang keahlian, menteri menetapkan

Supervisi dan Kebijakan Pendidikan Page 5

Page 6: Supervisi Dan Kebijakan Pendidikan

pengangkatan guru dari lulusan perguruan tinggi non-lembaga pendidikan

tenaga keguruan. Selain itu, seperti yang telah dikemukakan diatas, bahwa

untuk mencapai pendidikan yang bermutu selain kebijakan pendidikan dan

budged, kurikulum dan sarana sebagai bagian dari infrastruktur, menjadi

faktor penentu keberhasilan tujuan pendidikan nasional.

Sarana dan prasarana dicantumkan dalam Undang-Undang Nomor 20

Tahu 2003 pada Pasal 45 ayat (1) bahwa setiap satuan pendidikan formal

dan nonformal menyediakan sarana dan prasarana yang memenuhi

keperluan pendidikan sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangan

potensi fisik, kecerdasan intelektual, sosial, emosional, dan kejiwaan peserta

didik. Sarana dan prasarana diperlukan guna memenuhi keperluan

pendidikan sesuai dengan kebutuhan peserta didik. Baik fisik, kecerdasan

intelektual, sosial, emosional dan kejiwaan peserta didik.

Dalam kebijakan dan program pelaksanaan Dirjen Pendidikan Dasar dan

Menengah, kriteria dan standar sarana prasarana yang dapat memenuhi

keperluan pendidikan dan pertumbuhan serta perkembangan potensi fisik

tidak dinyatakan dengan jelas.

Selanjutnya, sebagai upaya untuk mengetahui pencapaian tujuan

pendidikan sebagai agen perubahan (agent of change) kehidupan

bermasyarakat dan berbangsa ke arah yang lebih baik adalah dilakukannya

evaluasi. Sebagaimana disebutkan dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun

2003, yaitu Pasal 57 ayat (1) evaluasi dilakukan dalam rangka pengendalian

mutu pendidikan secara nasional sebagai bentuk akuntabilitas

penyelenggara pendidikan kepada pihak-pihak yang berkepentingan; dan

ayat (2) evaluasi dilakukan terhadap peserta didik, lembaga dan program

Supervisi dan Kebijakan Pendidikan Page 6

Page 7: Supervisi Dan Kebijakan Pendidikan

pendidikan pada jalur formal dan non-formal untuk semua jenjang, satuan

dan jenis pendidikan. Evaluasi yang digunakan untuk mengukur

ketercapaian tujuan pendidikan nasional berdasarkan keputusan menteri

dilakukan oleh satu kebijakan, yaitu berupa model evaluasi dengan bentuk

Ujian Nasional (UN). Kebijakan dalam Kepmen tampak bertentangan

dengan UU Nomor 20 Tahun 2003 yang menetapkan Pasal 58, bahwa

evaluasi belajar peserta didik dilakukan oleh pendidik. Pada pasal 59,

pemerintah dan pemerintah daerah melakukan evaluasi terhadap

pengelolaan, satuan, jalur, jenjang dan jenis pendidikan. Sementara itu

pasal 61, ijazah diberikan kepada peserta didik sebagai pengakuan

terhadap prestasi belajar atau penyelesaian suatu jenjang pendidikan

setelah lulus ujian yang diselenggarakan oleh satuan pendidikan yang

terakreditasi.

B. Supervisi Pendidikan

1. Konsep Supervisi

Istilah supervisi baru muncul kurang lebih tiga dasawarsa terakhir ini

(Suharsimi Arikunto,2004). Kegiatan serupa yang dahulu banyak

dilakukan adalah Inspeksi, pemeriksaan, pengawasan atau penilikan.

Dalam konteks sekolah sebagai sebuah organisasi pendidikan, supervisi

merupakan bagian dari proses administrasi dan manajemen. Kegiatan

supervisi melengkapi fungsi-fungsi administrasi yang ada di sekolah

sebagai fungsi terakhir, yaitu penilaian terhadap semua kegiatan dalam

mencapai tujuan. Dengan supervisi, akan memberikan inspirasi untuk

bersama-sama menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan dengan jumlah lebih

Supervisi dan Kebijakan Pendidikan Page 7

Page 8: Supervisi Dan Kebijakan Pendidikan

banyak, waktu lebih cepat, cara lebih mudah, dan hasil yang lebih baik

daripada jika dikerjakan sendiri. Supervisi mempunyai peran

mengoptimalkan tanggung jawab dari semua program. Supervisi

bersangkut paut dengan semua upaya penelitian yang tertuju pada

semua aspek yang merupakan factor penentu keberhasilan. Dengan

mengetahui kondisi aspek-aspek tersebut secara rinci dan akurat, dapat

diketahui dengan tepat pula apa yang diperlukan untuk meningkatkan

kualitas organisasi yang bersangkutan. Secara morfologis Supervisi

berasal dari dua kata bahasa Inggris, yaitu super dan vision. Super

berarti diatas dan vision berarti melihat, masih serumpun dengan

inspeksi, pemeriksaan dan pengawasan, dan penilikan, dalam arti

kegiatan yang dilakukan oleh atasan – orang yang berposisi diatas,

pimpinan-- terhadap hal-hal yang ada dibawahnya. Supervisi juga

merupakan kegiatan pengawasan tetapi sifatnya lebih human,

manusiawi. Kegiatan supervisi bukan mencari-cari kesalahan tetapi lebih

banyak mengandung unsur pembinnaan, agar kondisi pekerjaan yang

sedang disupervisi dapat diketahui kekurangannya (bukan semata-mata

kesalahannya) untuk dapat diberitahu bagian yang perlu diperbaiki.

Secara sematik Supervisi pendidikan adalah pembinaan yang berupa

bimbingan atau tuntunan ke arah perbaikan situasi pendidikan pada

umumnya dan peningkatan mutu mengajar dan belajar pada khususnya.

Kegiatan supervisi dahulu banyak dilakukan adalah Inspeksi,

pemeriksaan, pengawasan atau penilikan. Supervisi masih serumpun

dengan inspeksi, pemeriksaan dan pengawasan, dan penilikan, dalam

arti kegiatan yang dilakukan oleh atasan –orang yang berposisi diatas,

Supervisi dan Kebijakan Pendidikan Page 8

Page 9: Supervisi Dan Kebijakan Pendidikan

pimpinan-- terhadap hal-hal yang ada dibawahnya. Inspeksi : inspectie

(belanda) yang artinya memeriksa dalam arti melihat untuk mencari

kesalahan. Orang yang menginsipeksi disebut inspektur. Inspektur dalam

hal ini mengadakan :

1. Controlling : memeriksa apakah semuanya dijalankan sebagaimana

mestinya

2. Correcting : memeriksa apakah semuanya sesuai dengan apa yang

telah ditetapkan/digariskan

3. Judging : mengandili dalam arti memberikan penilaian atau

keputusan sepihak

4. Directing : pengarahan, menentukan ketetapan/garis

5. Demonstration : memperlihatkan bagaimana mengajar yang baik

Pemeriksaan artinya melihat apa yang terjadi dalam kegiatan

sedangkan Pengawasan adalah Melihat apa yang positif & negatif.

Adapun Supervisi juga merupakan kegiatan pengawasan tetapi sifatnya

lebih human, manusiawi. Kegiatan supervisi bukan mencari-cari

kesalahan tetapi lebih banyak mengandung unsur pembinnaan, agar

kondisi pekerjaan yang sedang disupervisi dapat diketahui

kekurangannya (bukan semata-mata kesalahannya) untuk dapat

diberitahu bagian yang perlu diperbaiki. Supervisi dilakukan untuk melihat

bagian mana dari kegiatan sekolah yang masih negatif untuk diupayakan

menjadi positif, & melihat mana yang sudah positif untuk ditingkatkan

menjadi lebih positif lagi dan yang terpenting adalah pembinaannya.

Orang yang melakukan supervise disebut supervisor. Dibidang

pendidikan disebut supervisor pendidikan. Menurut keputusan menteri

Supervisi dan Kebijakan Pendidikan Page 9

Page 10: Supervisi Dan Kebijakan Pendidikan

pendidikan dan kebudayaan nomor 0134/0/1977, temasuk kategori

supervisor dalam pendidikan adalah kepala sekolah, penelik sekolah,

dan para pengawas ditingkatkan kabupaten/kotamadya, serta staf di

kantor bidang yang ada di tiap provinsi. Menurut Mulyasa (2006)

supervisi sesungguhnya dapat dilaksanakan oleh kepala sekolah yang

berperan sebagai supervisor, tetapi dalam sistem organisasi modern

diperlukan supervisor khusus yang lebih independent, dan dapat

meningkatkan obyektivitas dalam pembinaan dan pelaksanaan tugas.

Jika supervisi dilaksanakan oleh kepala sekolah, maka ia harus mampu

melakukan berbagai pengawasan dan pengendalian untuk meningkatkan

kinerja tenaga kependidikan. Pengawasan dan pengendalian ini

merupakan kontrol agar kegiatan pendidikan di sekolah terarah pada

tujuan yang telah ditetapkan. Pengawasan dan pengendalian juga

merupakan tindakan preventif untuk mencegah agar para tenaga

kependidikan tidak melakukan penyimpangan dan lebih berhati-hati

dalam melaksanakan pekerjaannya.

2. Fungsi Supervisi

a. Fungsi Meningkatkan Mutu Pembelajaran Ruang lingkupnya sempit,

hanya tertuju pada aspek akademik, khususnya yang terjadi di ruang

kelas ketika guru sedang memberikan bantuan dan arahan kepada

siswa.

b. Fungsi Memicu Unsur yang Terkait dengan PembelajaranLebih

dikenal dengan nama Supervisi Administrasi

c. Fungsi Membina dan Memimpin

Supervisi dan Kebijakan Pendidikan Page 10

Page 11: Supervisi Dan Kebijakan Pendidikan

3. Tipe-tipe Supervisi

a.Tipe Inspeksi

Tipe seperti ini biasanya terjadi dalam administrasi dan model

kepemimpinan yang otokratis, mengutamakan pada upaya mencari

kesalahan orang lain, bertindak sebagai “Inspektur” yang bertugas

mengawasi pekerjaan guru. Supervisi ini dijalankan terutama untuk

mengawasi, meneliti dan mencermati apakah guru dan petugas di

sekolah sudah melaksanakan seluruh tugas yang diperintahkan serta

ditentukan oleh atasannya.

b.Tipe Laisses Faire

Tipe ini kebalikan dari tipe sebelumnya. Kalau dalam supervisi

inspeksi bawahan diawasi secara ketat dan harus menurut perintah

atasan, pada supervisi Laisses Faire para pegawai dibiarkan saja

bekerja sekehendaknya tanpa diberi petunjuk yang benar. Misalnya:

guru boleh mengajar sebagaimana yang mereka inginkan baik

pengembangan materi, pemilihan metode ataupun alat pelajaran.

c. Tipe Coersive

Tipe ini tidak jauh berbeda dengan tipe inspeksi. Sifatnya

memaksakan kehendaknya. Apa yang diperkirakannya sebagai

sesuatu yang baik, meskipun tidak cocok dengan kondisi atau

kemampuan pihak yang disupervisi tetap saja dipaksakan berlakunya.

Guru sama sekali tidak diberi kesempatan untuk bertanya mengapa

harus demikian. Supervisi ini mungkin masih bisa diterapkan secara

tepat untuk hal-hal yang bersifat awal. Contoh supervisi yang

dilakukan kepada guru yang baru mulai mengajar. Dalam keadaan

Supervisi dan Kebijakan Pendidikan Page 11

Page 12: Supervisi Dan Kebijakan Pendidikan

demikian, apabila supervisor tidak bertindak tegas, yang disupervisi

mungkin menjadi ragu-ragu dan bahkan kehilangan arah yang pasti.

d.Tipe Training dan Guidance

Tipe ini diartikan sebagai memberikan latihan dan bimbingan. Hal

yang positif dari supervisi ini yaitu guru dan staf tata usaha selalu

mendapatkan latihan dan bimbingan dari kepala sekolah. Sedangkan

dari sisi negatifnya kurang adanya kepercayaan pada guru dan

karyawan bahwa mereka mampu mengembangkan diri tanpa selalu

diawasi, dilatih dan dibimbing oleh atasannya.

e.Tipe Demokratis

Selain kepemimpinan yang bersifat demokratis, tipe ini juga

memerlukan kondisi dan situasi yang khusus. Tanggung jawab bukan

hanya seorang pemimpin saja yang memegangnya, tetapi

didistribusikan atau didelegasikan kepada para anggota atau warga

sekolah sesuai dengan kemampuan dan keahlian masing-masing.

C. Supervisi sebagai bagian dari evaluasi kebijakan pendidikan

Dalam UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional

Bab XVI pasal 57 ayat (1) Evaluasi dilakukan dalam rangka pengendalian

mutu pendidikan nasional sebagai bentuk akuntabilitas penyelenggaraan

pendidikan pada pihak-pihak yang berkepentingan, dan ayat (2) evaluasi

dilakukan terhadap peserta didik, lembaga dan program pendidikan pada

jalur formal dan non formal untuk semua jenjang, satuan dan jenis

pendidikan. Evaluasi sebagai suatu upaya sistematis, bekesinambungan,

mengumpulkan dan memproses informasi untuk menghasilkan kesimpulan

Supervisi dan Kebijakan Pendidikan Page 12

Page 13: Supervisi Dan Kebijakan Pendidikan

tentang nilai dan manfaat suatu objek, akan dapat memberikan alternatif

pendekatan yang lebih banyak dalam memberikan informasi kepada

pendidikan. Hasil evaluasi dapat memperbaharui semua komponen

pendidikan ke arah yang lebih baik, membantu proses pengembangan,

implementasi, perbaikan dan menambah pengetahuan serta membantu

mendapat dukungan dari semua pihak yang terlibat dalam proses

pendidikan. Proses dan tujuan evaluasi dalam pendidikan, adalah untuk :

1. Membuat kebijakan dan keputusan,

2. Menilai hasil yang dicapai para pelajar,

3. Menilai kurikulum,

4. Memberi kepercayaan pada sekolah, dan

5. Memperbaiki materi dan program pendidikan.

Evaluasi dilakukan untuk mengetahui seberapa jauh tujuan telah

dicapai. Tujuan ini bersifat kolektif, karena peserta didik tidak berhasil

dengan sendirinya dalam menyerap kurikulum tanpa peran guru yang

profesional. Demikian juga guru, tidak dapat berhasil tanpa didukung oleh

sarana dan prasarana yang memadai untuk tercapainya proses

pembelajaran yang menyenangkan. Sebagaimana yang telah diuraikan

diatas bahwa berdasarkan hirarki, kebijakan terdiri atas :

1. Policy Level,

2. Organization Level, dan

3. Operational Level.

Berdasarkan hirarki tersebut, maka yang menjadi ujung tombak atau

pelaku kebijakan adalah pada bagian operational level. Dalam dunia

Supervisi dan Kebijakan Pendidikan Page 13

Page 14: Supervisi Dan Kebijakan Pendidikan

pendidikan yang berada pada posisi operational level adalah satuan

pendidikan atau sekolah.

Bentuk nyata dari sebuah kebijakan dapat dilihat oleh masyarakat melalui

pelaksanaannya di sekolah. Baik dan buruknya maupun berhasil dan

tidaknya sebuah kebijakan dapat dilihat melalui evaluasi yang dilaksanakan

di sekolah. Kepala sekolah dan guru merupakan pelaku-pelaku kebijakan

pendidikan pada bagian operational level. Sementara supervisi pendidikan

merupakan bentuk evaluasi dimana pelakunya adalah para pengawas

sekolah dan pengawas mata pelajaran. Selain itu kepala sekolah juga

berfungsi sebagai supervisor dalam pelaksanaan kegiatan belajar mengajar.

Supervisi pendidikan yang merupakan bentuk dari evaluasi mempunyai

peranan yang yang sangat penting dalam mengamankan pelaksanaan

kebijakan pendidikan pada operational level. Selain itu dari hasil praktek

supervisi dapat dijadikan bahan rekomendasi tentang kelebihan serta

kekurangan dari sebuah kebijakan.

Keberhasilan dari evaluasi sangat ditentukan oleh profesionalisme para

pengawas yang ditugaskan untuk melakukan supervisi. Untuk itu pengawas

pendidikan diwajibkan memenuhi standar kompetensi yang telah ditentukan.

Standar kompetensi tersebut adalah : kompetensi kepribadian, kompetensi

supervisi manajerial, kompetensi supervisi akademik, kompetensi evaluasi

pendidikan, kompetensi penelitian dan pengembangan serta kompetensi

sosial.

Supervisi yang baik tentunya dilakukan oleh pengawas yang memenuhi

standar kompetensi. Dari supervisi yang baik inilah kebijakan pendidikan

dapat terimplementasi sebagaimana tujuan yang diinginkan, serta supervisi

Supervisi dan Kebijakan Pendidikan Page 14

Page 15: Supervisi Dan Kebijakan Pendidikan

yang baik pula dapat memberikan rekomendasi bagi penentu kebijakan

untuk menyempurnakan kebijakan selanjutnya.

D. Simpulan

Kebijakan pendidikan di Indonesia secara umum mulai dari tujuan

sampai dengan evaluasi pendidikan diatur dalam UU Nomor 20 Tahun 2003

tentang Sistem Pendidikan Nasional. Dalam penjabarannya kebijakan

tersebut diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) dan Peraturan Menteri

Pendidikan Nasional (Permendiknas). Salah satu fungsi manajemen adalah

fungsi evaluasi. Pada dunia pendidikan, supervisi merupakan bagian dari

evaluasi. Dan dalam hal ini supervisi berfungsi untuk mengevaluasi

implementasi dari kebijakan pendidikan yang diterapkan di sekolah. Selain

itu hasil evaluasi dalam bentuk supervisi ini dapat dijadikan bahan refleksi

bagi pengambil kebijakan untuk menyempurnakan kebijakan yang akan

dikeluarkan selanjutnya.

Supervisi dan Kebijakan Pendidikan Page 15