Upload
jerry-makawimbang
View
336
Download
8
Embed Size (px)
Citation preview
SUPERVISI DAN KEBIJAKAN PENDIDIKAN
A. Kebijakan Pendidikan
Kebijakan pendidikan merupakan
kebijakan publik, bahkan sebagaimana
menurut Pressman dan Wildavsky yang
dikutip dalam (Ezmir dan Sam 2010), bahwa
saat ini pendidikan adalah pusat wilayah
kebijakan publik. Kebijakan pendidikan
sebagai kebijakan publik adalah kebijakan sebagai keputusan tetap dicirikan
oleh konsistensi dan pengulangan tingkah laku dari mereka yang membuat
dan dari mereka yang mematuhi keputusan tersebut. Konsistensi ditinjau
berdasarkan hirarki kebijakan. Kebijakan berdasarkan hirarki terdiri dari :
1. Policy Level,
2. Organization Level, dan
3. Operational Level.
Dari gambaran tersebut, dapat diartikan bahwa apapun yang
dirumuskan oleh kebijakan pada Policy Level dalam bentuk peraturan
perundangan implikasinya akan sampai pada tingkat Organization Level dan
kepada tingkat yang paling bawah, yakni unit-unit operasional pada
Operational Level. Disamping itu, dapat dikatakan pula bahwa rentang
pilihan serta kemungkinan tindakan bagi pelaku-pelaku kebijakan pada
Operational Level ditentukan oleh Institutional Arrangements pada tingkat
diatasnya, yaitu Organizational Level dan Policy Level. Perilaku yang dapat
diobservasi pada Operational Level yaitu pola interaksi akan menghasilkan
Supervisi dan Kebijakan Pendidikan Page 1
produk yang akan dilihat oleh masyarakat. Selanjutnya, upaya untuk
menghasilkan manusia yang berkualitas, diselenggarakan suatu Sistem
Pendidikan Nasional yang selanjutnya ditetapkan dalam suatu kebijakan
berupa UU Nomor 20 Tahun 2003. UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang SPN
tersebut menetapkan fungsi pendidikan yang diperankankan oleh seluruh
lapisan bangsa dan menetapkan tujuan pendidikan yang dapat dicapai.
Funsi pendidikan nasional adalah mengembangkan kemampuan dan
membentuk watak serta peradban bangsa yang bermatabat dalam rangka
mencerdaskan bangsa. Tujuannya adalah untuk berkembangnya potensi
peserta didik agar : 1) menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada
Tuhan Yang Maha Esa, 2) berakhlak mulia, 3) sehat, 4) berilmu, 5) cakap, 6)
kreatif, 7) mandiri, dan 8) menjadi warga negara yang demokratis serta 9)
bertanggung jawab. Upaya untuk membentuk peserta didik agar menjadi
manusia yang diharapkan, ditetapkan jalur, jenjang dan jenis pendidikan.
Untuk pendidikan dasar dan menengah dijelaskan pada pasal 17 dan 18.
Pasal 17 adalah sebagai berikut : ayat (1) pendidikan dasar merupakan
jenjang pendidikan yang melandasi jenjang pendidikan menengah; ayat (2)
pendidikan dasar berbentuk Sekolah Dasar (SD) dan Madrasah Ibtidaiyah
(MI) atau berbentuk lain yang sederajat serta Sekolah Menengah Pertama
(SMP) dan Madrasah Tsanawiyah (MTs), atau bentuk lain yang sederajat.
Pasal 18 adalah sebagai berikut : ayat (1) pendidikan menengah merupakan
lanjutan dari pendidikan dasar; ayat (2) pendidikan menengah terdiri atas
pendidikan menengah umum dan pendidikanmenengah kejuruan; ayat (3)
pendidikan menengah berbentuk Sekolah Menengah Atas (SMA), Madrasah
Supervisi dan Kebijakan Pendidikan Page 2
Aliyah (MA), Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), dan Madrasah Aliyah
Kejuruan (MAK), atau bentuk lain yang sederajat.
Pasal tersebut diatas, mengadung makna bahwa pendidikan menengah
merupakan sekolah menengah pertama dan madrasah tsanawiyah yang
termasuk ke dalam kategori pendidikan dasar, juga termasuk ke dalam
kategori pendidikan menengah berbentuk Sekolah Menengah Atas (SMA),
Madrasah Aliyah (MA), Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), dan Madrasah
Aliyah Kejuruan (MAK), atau bentuk lain yang sederajat.
Selanjutnya dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 pasal 36 ayat
(1) ditetapkan bahwa kurikulum dilakukan mengacu pada standar nasional
pendidikan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional; (2) kurikulum
pada semua jenjang dan jenis pendidikan dikembangkan dengan prinsip
diversifikasi sesuai dengan satuan pendidikan, potensi daerah dan peserta
didik; (3) kurikulum disusun sesuai dengan jenjang pendidikan dalam
kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan memperhatikan: (a)
peningkatan iman dan takwa; (b) peningkatan akhlak mulia; (c) peningkatan
potensi, kecerdasan dan minat peserta didik; (d) keragaman potensi daerah
dan lingkungan; (e) tuntutan pembangunan daerah dan nasional; (f) tuntutan
dunia kerja; (g) perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni; (h)
agama; (i) dinamika perkembangan global; dan (j) persatuan nasional dan
nilai-nilai kebangsaan; (4) ketentuan mengenai pengembangan kurikulum
sebagaimana dimaksud dalam ayat 1, ayat 2, dan ayat 3 diatur lebih lanjut
dengan Peraturan Pemerintah. Kurikulum pendidikan dasar dan menengah
disusun wajib dengan memuat : (a) pendidikan agama; (b) pendidikan
kewarganegaraan; (c) bahasa; (d) matematika; (e) ilmu pengetahuan alam;
Supervisi dan Kebijakan Pendidikan Page 3
(f) ilmu pengetahuan sosial; (g) seni dan budaya; (h) pendidikan jasmani dan
olah raga; (i) keterampilan/kejujuran; dan (j) muatan lokal.
Namun, apabila kurikulum dirancang dan dirumuskan mengacu pada
standar nasional pendidikan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional,
maka kurikulum akan mencakup ke dalam empat aspek: (1) agama, yaitu
beriman, bertakwa, berakhlak mulia; (2) intelektual, yaitu memiliki ilmu
pengetahuan dan teknologi; (3) politik atau kewarganegaraan, yaitu menjadi
warga negara yang demokratis; dan (4) individual yang mencakup fisik dan
mental, yaitu: sehat, cakap, kreatif, dan mandiri. Selanjutnya, kurikulum
yang dirancang untuk mencapai tujuan pendidikan nasional,
ketercapaiannya tergantung kepada kemampuan kompetensi atau
profesionalisme seorang pendidik dan tenaga kependidikan.
Dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 Pasal 39 ayat (1), ayat (2)
yaitu : ayat (1) tenaga kependidikan bertugas melaksanakan administrasi,
pengelolaan, pengembangan, pengawasan, dan pelayanan teknis untuk
menunjang proses pendidikan pada satuan pendidikan; ayat (2) pendidik
merupakan tenaga profesional yang bertugas merencanakan dan
melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan
pembimbingan dan pelatihan, serta melakukan penilitian dan pengabdian
kepada masyarakat, teutama bagi pendidik pada perguruan tinggi. Pasal 40
ayat (1) dan ayat (2) yaitu : ayat (1) pendidik dan tenaga kependidikan
berhak memperoleh: (a) penghasilan dan jaminan kesejahteraan yang
pantas dan memadai; (b) penghargaan sesuai dengan tugas dan prestasi
kerja; (c) pembinaan karir sesuai dengan tuntutan pengembangan kualitas;
(d) perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas dan hak atas hasil
Supervisi dan Kebijakan Pendidikan Page 4
kekayaan dan intelektual, dan (e) kesempatan untuk menggunakan sarana,
prasarana dan fasilitas pendidikan untuk menunjang kelancaran
pelaksanaan tugas. Ayat (2) pendidik dan tenaga kependidikan
berkewajiban: (a) menciptakan suasana pendidikan yang bermakna,
menyenangkan, kretif, dinamis, dan dialogis; (b) mempunyai komitmen
secara profesional untuk mentingkatkan mutu pendidikan; dan (c) memberi
teladan dan menjaga nama baik lembaga, profesi dan kedudukan sesuai
dengan kepercayaan yang diberikan kepadanya.
Figur jabatan profesional seorang pendidik dan tenaga kependidikan
yang dijelaskan dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2003, sebagaimana
dikemukakan oleh Soedijarto dalam jurnal pendidikan adalah jabatan yang
memerlukan pendidikan lanjutan dan pelatihan khusus (advanced education
and special training). Hal ini tidak lain karena jabatan profesional adalah
jabatan yang memerlukan kemampuan merencanakan, kemampuan
mengelola, kemampuan mengendalikan, kemampuan memonitor,
kemampuan menilai, dan kemampuan mendiagnosis. Untuk guru yang
berderajat profesional disamping kemampuan-kemampuan tersebut,
diperlukan tambahan kemampuan memberikan bimbingan dan
kepemimpinan yang didasarkan atas pemahamannya atas peserta didik,
penguasaannya atas ilmu pengetahuan sebagi bahan ajar, dan teknologi
pendidikan. Namun, dalam beberapa keputusan menteri pendidikan
nasional menunjukkan input dan proses pengangkatan sebagi guru dalam
rangka meningkatkan mutu pendidikan sesuai dengan kebutuhan
pembangunan, pemenuhan kebutuhan guru mata pelajaran/rumpun mata
pelajaran yang sesuai dengan bidang keahlian, menteri menetapkan
Supervisi dan Kebijakan Pendidikan Page 5
pengangkatan guru dari lulusan perguruan tinggi non-lembaga pendidikan
tenaga keguruan. Selain itu, seperti yang telah dikemukakan diatas, bahwa
untuk mencapai pendidikan yang bermutu selain kebijakan pendidikan dan
budged, kurikulum dan sarana sebagai bagian dari infrastruktur, menjadi
faktor penentu keberhasilan tujuan pendidikan nasional.
Sarana dan prasarana dicantumkan dalam Undang-Undang Nomor 20
Tahu 2003 pada Pasal 45 ayat (1) bahwa setiap satuan pendidikan formal
dan nonformal menyediakan sarana dan prasarana yang memenuhi
keperluan pendidikan sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangan
potensi fisik, kecerdasan intelektual, sosial, emosional, dan kejiwaan peserta
didik. Sarana dan prasarana diperlukan guna memenuhi keperluan
pendidikan sesuai dengan kebutuhan peserta didik. Baik fisik, kecerdasan
intelektual, sosial, emosional dan kejiwaan peserta didik.
Dalam kebijakan dan program pelaksanaan Dirjen Pendidikan Dasar dan
Menengah, kriteria dan standar sarana prasarana yang dapat memenuhi
keperluan pendidikan dan pertumbuhan serta perkembangan potensi fisik
tidak dinyatakan dengan jelas.
Selanjutnya, sebagai upaya untuk mengetahui pencapaian tujuan
pendidikan sebagai agen perubahan (agent of change) kehidupan
bermasyarakat dan berbangsa ke arah yang lebih baik adalah dilakukannya
evaluasi. Sebagaimana disebutkan dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun
2003, yaitu Pasal 57 ayat (1) evaluasi dilakukan dalam rangka pengendalian
mutu pendidikan secara nasional sebagai bentuk akuntabilitas
penyelenggara pendidikan kepada pihak-pihak yang berkepentingan; dan
ayat (2) evaluasi dilakukan terhadap peserta didik, lembaga dan program
Supervisi dan Kebijakan Pendidikan Page 6
pendidikan pada jalur formal dan non-formal untuk semua jenjang, satuan
dan jenis pendidikan. Evaluasi yang digunakan untuk mengukur
ketercapaian tujuan pendidikan nasional berdasarkan keputusan menteri
dilakukan oleh satu kebijakan, yaitu berupa model evaluasi dengan bentuk
Ujian Nasional (UN). Kebijakan dalam Kepmen tampak bertentangan
dengan UU Nomor 20 Tahun 2003 yang menetapkan Pasal 58, bahwa
evaluasi belajar peserta didik dilakukan oleh pendidik. Pada pasal 59,
pemerintah dan pemerintah daerah melakukan evaluasi terhadap
pengelolaan, satuan, jalur, jenjang dan jenis pendidikan. Sementara itu
pasal 61, ijazah diberikan kepada peserta didik sebagai pengakuan
terhadap prestasi belajar atau penyelesaian suatu jenjang pendidikan
setelah lulus ujian yang diselenggarakan oleh satuan pendidikan yang
terakreditasi.
B. Supervisi Pendidikan
1. Konsep Supervisi
Istilah supervisi baru muncul kurang lebih tiga dasawarsa terakhir ini
(Suharsimi Arikunto,2004). Kegiatan serupa yang dahulu banyak
dilakukan adalah Inspeksi, pemeriksaan, pengawasan atau penilikan.
Dalam konteks sekolah sebagai sebuah organisasi pendidikan, supervisi
merupakan bagian dari proses administrasi dan manajemen. Kegiatan
supervisi melengkapi fungsi-fungsi administrasi yang ada di sekolah
sebagai fungsi terakhir, yaitu penilaian terhadap semua kegiatan dalam
mencapai tujuan. Dengan supervisi, akan memberikan inspirasi untuk
bersama-sama menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan dengan jumlah lebih
Supervisi dan Kebijakan Pendidikan Page 7
banyak, waktu lebih cepat, cara lebih mudah, dan hasil yang lebih baik
daripada jika dikerjakan sendiri. Supervisi mempunyai peran
mengoptimalkan tanggung jawab dari semua program. Supervisi
bersangkut paut dengan semua upaya penelitian yang tertuju pada
semua aspek yang merupakan factor penentu keberhasilan. Dengan
mengetahui kondisi aspek-aspek tersebut secara rinci dan akurat, dapat
diketahui dengan tepat pula apa yang diperlukan untuk meningkatkan
kualitas organisasi yang bersangkutan. Secara morfologis Supervisi
berasal dari dua kata bahasa Inggris, yaitu super dan vision. Super
berarti diatas dan vision berarti melihat, masih serumpun dengan
inspeksi, pemeriksaan dan pengawasan, dan penilikan, dalam arti
kegiatan yang dilakukan oleh atasan – orang yang berposisi diatas,
pimpinan-- terhadap hal-hal yang ada dibawahnya. Supervisi juga
merupakan kegiatan pengawasan tetapi sifatnya lebih human,
manusiawi. Kegiatan supervisi bukan mencari-cari kesalahan tetapi lebih
banyak mengandung unsur pembinnaan, agar kondisi pekerjaan yang
sedang disupervisi dapat diketahui kekurangannya (bukan semata-mata
kesalahannya) untuk dapat diberitahu bagian yang perlu diperbaiki.
Secara sematik Supervisi pendidikan adalah pembinaan yang berupa
bimbingan atau tuntunan ke arah perbaikan situasi pendidikan pada
umumnya dan peningkatan mutu mengajar dan belajar pada khususnya.
Kegiatan supervisi dahulu banyak dilakukan adalah Inspeksi,
pemeriksaan, pengawasan atau penilikan. Supervisi masih serumpun
dengan inspeksi, pemeriksaan dan pengawasan, dan penilikan, dalam
arti kegiatan yang dilakukan oleh atasan –orang yang berposisi diatas,
Supervisi dan Kebijakan Pendidikan Page 8
pimpinan-- terhadap hal-hal yang ada dibawahnya. Inspeksi : inspectie
(belanda) yang artinya memeriksa dalam arti melihat untuk mencari
kesalahan. Orang yang menginsipeksi disebut inspektur. Inspektur dalam
hal ini mengadakan :
1. Controlling : memeriksa apakah semuanya dijalankan sebagaimana
mestinya
2. Correcting : memeriksa apakah semuanya sesuai dengan apa yang
telah ditetapkan/digariskan
3. Judging : mengandili dalam arti memberikan penilaian atau
keputusan sepihak
4. Directing : pengarahan, menentukan ketetapan/garis
5. Demonstration : memperlihatkan bagaimana mengajar yang baik
Pemeriksaan artinya melihat apa yang terjadi dalam kegiatan
sedangkan Pengawasan adalah Melihat apa yang positif & negatif.
Adapun Supervisi juga merupakan kegiatan pengawasan tetapi sifatnya
lebih human, manusiawi. Kegiatan supervisi bukan mencari-cari
kesalahan tetapi lebih banyak mengandung unsur pembinnaan, agar
kondisi pekerjaan yang sedang disupervisi dapat diketahui
kekurangannya (bukan semata-mata kesalahannya) untuk dapat
diberitahu bagian yang perlu diperbaiki. Supervisi dilakukan untuk melihat
bagian mana dari kegiatan sekolah yang masih negatif untuk diupayakan
menjadi positif, & melihat mana yang sudah positif untuk ditingkatkan
menjadi lebih positif lagi dan yang terpenting adalah pembinaannya.
Orang yang melakukan supervise disebut supervisor. Dibidang
pendidikan disebut supervisor pendidikan. Menurut keputusan menteri
Supervisi dan Kebijakan Pendidikan Page 9
pendidikan dan kebudayaan nomor 0134/0/1977, temasuk kategori
supervisor dalam pendidikan adalah kepala sekolah, penelik sekolah,
dan para pengawas ditingkatkan kabupaten/kotamadya, serta staf di
kantor bidang yang ada di tiap provinsi. Menurut Mulyasa (2006)
supervisi sesungguhnya dapat dilaksanakan oleh kepala sekolah yang
berperan sebagai supervisor, tetapi dalam sistem organisasi modern
diperlukan supervisor khusus yang lebih independent, dan dapat
meningkatkan obyektivitas dalam pembinaan dan pelaksanaan tugas.
Jika supervisi dilaksanakan oleh kepala sekolah, maka ia harus mampu
melakukan berbagai pengawasan dan pengendalian untuk meningkatkan
kinerja tenaga kependidikan. Pengawasan dan pengendalian ini
merupakan kontrol agar kegiatan pendidikan di sekolah terarah pada
tujuan yang telah ditetapkan. Pengawasan dan pengendalian juga
merupakan tindakan preventif untuk mencegah agar para tenaga
kependidikan tidak melakukan penyimpangan dan lebih berhati-hati
dalam melaksanakan pekerjaannya.
2. Fungsi Supervisi
a. Fungsi Meningkatkan Mutu Pembelajaran Ruang lingkupnya sempit,
hanya tertuju pada aspek akademik, khususnya yang terjadi di ruang
kelas ketika guru sedang memberikan bantuan dan arahan kepada
siswa.
b. Fungsi Memicu Unsur yang Terkait dengan PembelajaranLebih
dikenal dengan nama Supervisi Administrasi
c. Fungsi Membina dan Memimpin
Supervisi dan Kebijakan Pendidikan Page 10
3. Tipe-tipe Supervisi
a.Tipe Inspeksi
Tipe seperti ini biasanya terjadi dalam administrasi dan model
kepemimpinan yang otokratis, mengutamakan pada upaya mencari
kesalahan orang lain, bertindak sebagai “Inspektur” yang bertugas
mengawasi pekerjaan guru. Supervisi ini dijalankan terutama untuk
mengawasi, meneliti dan mencermati apakah guru dan petugas di
sekolah sudah melaksanakan seluruh tugas yang diperintahkan serta
ditentukan oleh atasannya.
b.Tipe Laisses Faire
Tipe ini kebalikan dari tipe sebelumnya. Kalau dalam supervisi
inspeksi bawahan diawasi secara ketat dan harus menurut perintah
atasan, pada supervisi Laisses Faire para pegawai dibiarkan saja
bekerja sekehendaknya tanpa diberi petunjuk yang benar. Misalnya:
guru boleh mengajar sebagaimana yang mereka inginkan baik
pengembangan materi, pemilihan metode ataupun alat pelajaran.
c. Tipe Coersive
Tipe ini tidak jauh berbeda dengan tipe inspeksi. Sifatnya
memaksakan kehendaknya. Apa yang diperkirakannya sebagai
sesuatu yang baik, meskipun tidak cocok dengan kondisi atau
kemampuan pihak yang disupervisi tetap saja dipaksakan berlakunya.
Guru sama sekali tidak diberi kesempatan untuk bertanya mengapa
harus demikian. Supervisi ini mungkin masih bisa diterapkan secara
tepat untuk hal-hal yang bersifat awal. Contoh supervisi yang
dilakukan kepada guru yang baru mulai mengajar. Dalam keadaan
Supervisi dan Kebijakan Pendidikan Page 11
demikian, apabila supervisor tidak bertindak tegas, yang disupervisi
mungkin menjadi ragu-ragu dan bahkan kehilangan arah yang pasti.
d.Tipe Training dan Guidance
Tipe ini diartikan sebagai memberikan latihan dan bimbingan. Hal
yang positif dari supervisi ini yaitu guru dan staf tata usaha selalu
mendapatkan latihan dan bimbingan dari kepala sekolah. Sedangkan
dari sisi negatifnya kurang adanya kepercayaan pada guru dan
karyawan bahwa mereka mampu mengembangkan diri tanpa selalu
diawasi, dilatih dan dibimbing oleh atasannya.
e.Tipe Demokratis
Selain kepemimpinan yang bersifat demokratis, tipe ini juga
memerlukan kondisi dan situasi yang khusus. Tanggung jawab bukan
hanya seorang pemimpin saja yang memegangnya, tetapi
didistribusikan atau didelegasikan kepada para anggota atau warga
sekolah sesuai dengan kemampuan dan keahlian masing-masing.
C. Supervisi sebagai bagian dari evaluasi kebijakan pendidikan
Dalam UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
Bab XVI pasal 57 ayat (1) Evaluasi dilakukan dalam rangka pengendalian
mutu pendidikan nasional sebagai bentuk akuntabilitas penyelenggaraan
pendidikan pada pihak-pihak yang berkepentingan, dan ayat (2) evaluasi
dilakukan terhadap peserta didik, lembaga dan program pendidikan pada
jalur formal dan non formal untuk semua jenjang, satuan dan jenis
pendidikan. Evaluasi sebagai suatu upaya sistematis, bekesinambungan,
mengumpulkan dan memproses informasi untuk menghasilkan kesimpulan
Supervisi dan Kebijakan Pendidikan Page 12
tentang nilai dan manfaat suatu objek, akan dapat memberikan alternatif
pendekatan yang lebih banyak dalam memberikan informasi kepada
pendidikan. Hasil evaluasi dapat memperbaharui semua komponen
pendidikan ke arah yang lebih baik, membantu proses pengembangan,
implementasi, perbaikan dan menambah pengetahuan serta membantu
mendapat dukungan dari semua pihak yang terlibat dalam proses
pendidikan. Proses dan tujuan evaluasi dalam pendidikan, adalah untuk :
1. Membuat kebijakan dan keputusan,
2. Menilai hasil yang dicapai para pelajar,
3. Menilai kurikulum,
4. Memberi kepercayaan pada sekolah, dan
5. Memperbaiki materi dan program pendidikan.
Evaluasi dilakukan untuk mengetahui seberapa jauh tujuan telah
dicapai. Tujuan ini bersifat kolektif, karena peserta didik tidak berhasil
dengan sendirinya dalam menyerap kurikulum tanpa peran guru yang
profesional. Demikian juga guru, tidak dapat berhasil tanpa didukung oleh
sarana dan prasarana yang memadai untuk tercapainya proses
pembelajaran yang menyenangkan. Sebagaimana yang telah diuraikan
diatas bahwa berdasarkan hirarki, kebijakan terdiri atas :
1. Policy Level,
2. Organization Level, dan
3. Operational Level.
Berdasarkan hirarki tersebut, maka yang menjadi ujung tombak atau
pelaku kebijakan adalah pada bagian operational level. Dalam dunia
Supervisi dan Kebijakan Pendidikan Page 13
pendidikan yang berada pada posisi operational level adalah satuan
pendidikan atau sekolah.
Bentuk nyata dari sebuah kebijakan dapat dilihat oleh masyarakat melalui
pelaksanaannya di sekolah. Baik dan buruknya maupun berhasil dan
tidaknya sebuah kebijakan dapat dilihat melalui evaluasi yang dilaksanakan
di sekolah. Kepala sekolah dan guru merupakan pelaku-pelaku kebijakan
pendidikan pada bagian operational level. Sementara supervisi pendidikan
merupakan bentuk evaluasi dimana pelakunya adalah para pengawas
sekolah dan pengawas mata pelajaran. Selain itu kepala sekolah juga
berfungsi sebagai supervisor dalam pelaksanaan kegiatan belajar mengajar.
Supervisi pendidikan yang merupakan bentuk dari evaluasi mempunyai
peranan yang yang sangat penting dalam mengamankan pelaksanaan
kebijakan pendidikan pada operational level. Selain itu dari hasil praktek
supervisi dapat dijadikan bahan rekomendasi tentang kelebihan serta
kekurangan dari sebuah kebijakan.
Keberhasilan dari evaluasi sangat ditentukan oleh profesionalisme para
pengawas yang ditugaskan untuk melakukan supervisi. Untuk itu pengawas
pendidikan diwajibkan memenuhi standar kompetensi yang telah ditentukan.
Standar kompetensi tersebut adalah : kompetensi kepribadian, kompetensi
supervisi manajerial, kompetensi supervisi akademik, kompetensi evaluasi
pendidikan, kompetensi penelitian dan pengembangan serta kompetensi
sosial.
Supervisi yang baik tentunya dilakukan oleh pengawas yang memenuhi
standar kompetensi. Dari supervisi yang baik inilah kebijakan pendidikan
dapat terimplementasi sebagaimana tujuan yang diinginkan, serta supervisi
Supervisi dan Kebijakan Pendidikan Page 14
yang baik pula dapat memberikan rekomendasi bagi penentu kebijakan
untuk menyempurnakan kebijakan selanjutnya.
D. Simpulan
Kebijakan pendidikan di Indonesia secara umum mulai dari tujuan
sampai dengan evaluasi pendidikan diatur dalam UU Nomor 20 Tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional. Dalam penjabarannya kebijakan
tersebut diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) dan Peraturan Menteri
Pendidikan Nasional (Permendiknas). Salah satu fungsi manajemen adalah
fungsi evaluasi. Pada dunia pendidikan, supervisi merupakan bagian dari
evaluasi. Dan dalam hal ini supervisi berfungsi untuk mengevaluasi
implementasi dari kebijakan pendidikan yang diterapkan di sekolah. Selain
itu hasil evaluasi dalam bentuk supervisi ini dapat dijadikan bahan refleksi
bagi pengambil kebijakan untuk menyempurnakan kebijakan yang akan
dikeluarkan selanjutnya.
Supervisi dan Kebijakan Pendidikan Page 15