13
Tanggung Jawab Negara dalam Pengelolaan minyak dan Gas Bumi (Dyah Silvana Amalia) 1134 TANGGUNG JAWAB NEGARA DALAM PENGELOLAAN MINYAK DAN GAS BUMI Oleh: Dyah Silvana Amalia, SH., MH. * Abstrak Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945 mengamanatkan kepada negara untuk menguasa cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara. Selanjutnya disebutkan bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Minyak dan gas bumi adalah salah satu cabang produksi yang penting, oleh karena itu dikuasai negara dan harus ditujukan untuk kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Namun dalam imlementasinya, setiap masa pemerintahan memiliki kecenderungan dalam pengelolaan minyak dan gas bumi. Penulisan ini akan menggunakan teori tanggung jawab negara dan ke-maslahah-an umat sebagai pisau analisis. Kata Kunci: Tanggung Jawab Negara, Pengelolaan, Minyak dan Gas Bumi 1. Pendahuluan Pasal 33 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, untuk selanjutnya disebut UUD 1945, menetapkan bahwa cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara. Selanjutnya Psal 33 ayat (3) UUD 1945 menetapkan bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar- besarnya untuk kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Dari ketentuan Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945 di atas, pendiri negara ini sudah memikirkan bahwa kemakmuran dan kesejahteraan rakyat merupakan unsur utama dalam pengelolaan sumber daya alam yang dimiliki oleh bangsa ini. Minyak dan gas bumi, untuk selanjutnya disebut migas, merupakan salah satu sumber daya alam yang dimiliki oleh bangsa Indonesia. Oleh karena itu, pengelolaan migas harus ada di tangan negara dan diarahkan untuk kemakmuran serta kesejahteraan rakyat. * Dyah Silvana Amalia, Dosen Tetap pada Fakultas Hukum Universitas Abdurachman Saleh Situbondo

TANGGUNG JAWAB NEGARA DALAM PENGELOLAAN … Jawab Negara... · adalah memelihara dan mewujudkan tujuan hukum Islam ... Lingkungan dalam Proses Pembangunan Hukum Nasional ... kedudukan

Embed Size (px)

Citation preview

Tanggung Jawab Negara dalam Pengelolaan minyak dan Gas Bumi (Dyah Silvana Amalia)

1134

TANGGUNG JAWAB NEGARA DALAM

PENGELOLAAN MINYAK DAN GAS BUMI

Oleh:

Dyah Silvana Amalia, SH., MH.*

Abstrak

Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945 mengamanatkan kepada negara untuk

menguasa cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang hajat

hidup orang banyak dikuasai oleh negara. Selanjutnya disebutkan bahwa bumi

dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara

dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran dan kesejahteraan

rakyat. Minyak dan gas bumi adalah salah satu cabang produksi yang penting,

oleh karena itu dikuasai negara dan harus ditujukan untuk kemakmuran dan

kesejahteraan rakyat. Namun dalam imlementasinya, setiap masa pemerintahan

memiliki kecenderungan dalam pengelolaan minyak dan gas bumi. Penulisan

ini akan menggunakan teori tanggung jawab negara dan ke-maslahah-an umat

sebagai pisau analisis.

Kata Kunci: Tanggung Jawab Negara, Pengelolaan, Minyak dan Gas Bumi

1. Pendahuluan

Pasal 33 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,

untuk selanjutnya disebut UUD 1945, menetapkan bahwa cabang-cabang produksi yang

penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.

Selanjutnya Psal 33 ayat (3) UUD 1945 menetapkan bahwa bumi dan air dan kekayaan

alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-

besarnya untuk kemakmuran dan kesejahteraan rakyat.

Dari ketentuan Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945 di atas, pendiri negara ini

sudah memikirkan bahwa kemakmuran dan kesejahteraan rakyat merupakan unsur utama

dalam pengelolaan sumber daya alam yang dimiliki oleh bangsa ini. Minyak dan gas bumi,

untuk selanjutnya disebut migas, merupakan salah satu sumber daya alam yang dimiliki

oleh bangsa Indonesia. Oleh karena itu, pengelolaan migas harus ada di tangan negara dan

diarahkan untuk kemakmuran serta kesejahteraan rakyat.

* Dyah Silvana Amalia, Dosen Tetap pada Fakultas Hukum Universitas Abdurachman Saleh Situbondo

Jurnal Ilmiah FENOMENA, Volume XII, Nomor 1, Mei 2014: 1134-1146

1135

Namun dalam kebijakan pengelolaan migas, negara mengalami pasang surut antara

untuk kesejahteraan rakyat dan untuk kepentingan asing. Bahkan dalam bahasa sarkasme

Indah Dwi Qurbani menyatakan:1

Pada tataran inplementasi pengelolaan sumber daya minyak dan gas bumi diarahkan

hanya untuk investasi dan ekspor, sehingga terdapat indikasi adanya politik hukum

obral minyak dan gas bumi, dengan tidak adanya strategi pencadangan sumber

minyak dan gas bumi untuk kebutuhan rakyat dimasa depan. Hal ini dapat dilihat

dalam perkembangan kontrak production sharing sebagai kontrak pengelolaan

minyak dan gas bumi di Indonesia yang mengalami beberapa generasi dan masing-

masing generasi mempunyai prinsip yang berbeda.

Pengelolaan migas akan semakin menarik bilamana dihubungkan dengan tujuan

berdirinya negara Indonesia sebagaimana tertuang pada Pembukaan Undang-Undang Dasar

1945 :

… melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan

memajukan keserahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut

melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi

dan keadilan sosial…

Dengan demikian, negara memiliki tanggung jawab untuk menyejahterakan rakyat melalui

sektor migas.

2. Rumusan Masalah

Penulisan ini akan mengangkat isu hukum apakah kebijakan migas pada masa

pemerintahan orde lama, orde baru dan orde reformasi telah mencerminkan tanggung jawab

negara dalam menyejahterakan dan memakmurkan masyarakat. Masa pemerintahan orde

lama merupakan masa pemerintahan Presiden Sukarno, sedangkan orde baru adalah masa

pemerintahan Presiden Suharto, dan orde reformasi adalah masa pemerintahan Presiden BJ

Habibie, Presiden Megawati dan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

3. Prinsip Tanggung Jawab Negara

Prinsip tanggung jawab banyak dikemukakan oleh ahli. E Saifullah Wiradipradja

mengemukakan stidak-tidaknya ada 3 (tiga) prinsip atau teori mengenai tanggung jawab

yang dikenal, ialah:2

1 Indah Dwi Qurbani, Politik Hukum Pengelolaan Minyak dan Gas Bumi di Indonesia, Jurnal Arena Hukum Volume 6 Nomor 2, Agustus 2012, hlm. 115-116. 2 E Saefullah Wiradipradja, Tanggung Jawab Pengangkut dalam Hukum Pengangkutan Udara Internasional dan Nasional, (Yogyakarta: Liberty, 1989), hlm. 19.

Tanggung Jawab Negara dalam Pengelolaan minyak dan Gas Bumi (Dyah Silvana Amalia)

1136

a. Prinsip tanggung jawab berdasarkan atas adanya unsur kesalahan (fault liability,

liability based on fault principle);

b. Prinsip tanggung jawab berdasarkan atas praduga (rebuttable presumption of liability

principle);

c. Prinsip tanggung jawab mutlak (no-fault liability, absolute atau strict liability

principle).

Sukarmi mengemukakan prinsip tanggung jawab menjadi:3

a. Prinsip tanggung jawab berdasarkan unsur kesalahan.

Prinsip ini menyatakan, seorang baru dapat dimintakan pertanggungjawabannya secara

hukum jika ada unsur kesalahan yang dilakukannya. Prinsip tanggung jawab

berdasarkan unsur kesalahan (fault liability atau liability based on fault) ini prinsip

yang cukup umum berlaku dalam hukum pidana dan perdata.

b. Prinsip praduga untuk selalu bertanggung jawab

Prinsip ini menyatakan, tergugat selalu dianggap bertanggung jawab (presumption of

liability principle), sampai ia dapat membuktikan, ia tidak bersalah. Jadi, beban

pembuktianada pada si tergugat.

c. Prinsip praduga untuk tidak selalu bertanggung jawab

Prinsip ini adalah kebalikan dari prinsip kedua. Prinsip praduga untuk tidak selalu

bertanggung jawab (presumption of nonliability principle), menyatakan bahwa tergugat

selalu dianggap tidak bertanggung jawab sampai terbukti bahwa ia benar-benar bersalah

di bawah putusan pengadilan.

d. Prinsip tanggung jawab mutlak

Prinsip tanggung jawab mutlak (strict liability) sering diidentikkan dengan prinsip

tanggung jawab absolute (absolute liability). Namun demikian, dalam penggunaan

istilah ini ternyata tidak tampak ketuntasan karena yang menjadi ukuran utama dari

prinsip tanggung jawab mutlak (yang membedakannya dari prinsip-prinsip tanggung

jawab lainnya) adalah tanggung jawab yang tidak mempersoalkan ada atau tidaknya

kesalahan.

e. Prinsip tanggung jawab dengan pembatasan

Prinsip tanggung jawab dengan pembatasan (limitation of liability principle) sangat

disenangi oleh pelaku usaha untuk dicantumkan sebagai klasula eksonerasi dalam

perjanjian standar yang dibuatnya.

3 Sukarmi, Kontrak Elektronik dalam Bayang-Bayang Pelaku Usaha, (Bandung: Pustaka Sutra, 2008), hlm. 84-89.

Jurnal Ilmiah FENOMENA, Volume XII, Nomor 1, Mei 2014: 1134-1146

1137

Dari kedua pendapat di atas, maka dapat disimpulkan bahwa tanggung jawab negara

dalam bentuk liability adalah tanggung jawab hukum.4 Hal ini berbeda dengan makna

tanggung jawab negara dalam bentuk responsibility adalah tanggung jawab moral.

Namun demikian dalam penulisan ini, penulis akan mempergunakan prinsip

tanggung jawab berdasarkan unsur kesalahan. Ini berarti bahwa bilamana negara lalai

terhadap tanggung jawab dalam pengelolaan migas, negara dapat dituntut oleh masyarakat

untuk menetapkan kebijakan yang sesuai dengan konstitusi.

Dalam konteks hukum yang Islami, tanggung jawab negara dalam pengelolaan

migas akan membawa maslahah bagi masyarakat. Secara terminologis, maslahah telah

diberi muatan makna oleh beberapa ulama usûl al-fiqh. Al-Gazâli (w. 505 H), misalnya,

mengatakan bahwa makna genuine dari maslahah adalah menarik/mewujudkan

kemanfaatan atau menyingkirkan/menghindari kemudaratan (jalb al-manfa‘ah atau daf‘ al-

madarrah). Menurut al-Gazâli, yang dimaksud maslahah, dalam arti terminologis-syar‟i,

adalah memelihara dan mewujudkan tujuan hukum Islam (Syariah) yang berupa

memelihara agama, jiwa, akal budi, keturunan, dan harta kekayaan.5 Dengan demikian

tanggung jawab negara dalam pengelolaan migas menurut hukum yang Islami adalah

kemanfaatan bagi masyarakat.

4. Kebijakan Pengelolaan Migas di Indonesia

Pengaturan pengelolaan bidang pertambangan masa pemerintah Hindia Belanda

diatur berdasarkan peraturan yang disebut Indische Mijnwet 1899 (IM 1899). Salah satu

ketentuan yang terdapat dalam Indische Mijnwet 1899 (IM 1899), mengatur tentang

ketentuan kontrak antara pemerintah Hindia Belanda dengan pihak swasta. Ketentuan

kontrak tersebut, dikenal dengan nama 5 A Contract. Pasal tersebut, merupakan cikal bakal

lahirnya ketentuan kontrak karya atas kontrak bagi hasil yang diberlakukan setelah

kemerdekaan.6

4 Siti Sundari Rangkuti cenderung mempergunakan kata “tanggung gugat” dalam hukum perdata daripada

kata “tanggung jawab”. Lihat Siti Sundari Rangkuti, Hukum Lingkungan dan Kebijaksanaan Lingkungan dalam Proses Pembangunan Hukum Nasional Indonesia, (Surabaya: Disertasi Ilmu Hukum Universitas Airlangga, 1987), hlm. 183-187. 5 Asmawi, Memahami Konsep Maslahah sebagai Inti Maqasid al-Syariah, (Jakarta: Makalah dipresentasikan

pada acara Workshop Tafsir Asnâf Zakat Kontemporer, yang diselenggarakan oleh Institut Manajemen Zakat, Ciputat, 9 Agustus 2012), hlm. 1. 6 Nandang Sudrajat, Teori dan Praktik Pertambangan Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka Yustisia, 2013), hlm. 52-53.

Tanggung Jawab Negara dalam Pengelolaan minyak dan Gas Bumi (Dyah Silvana Amalia)

1138

Kebijakan migas pada masa pemerintahan Orde Lama diawali dengan Peraturan

Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1960 tentang Pertambangan

Minyak dan Gas Bumi, untuk selanjutnya disebut Perpu 44 Tahaun 1960.7 Menurut Perpu

44 Tahun 1960, yang dimaksud minyak gas bumi adalah bahan-bahan galian minyak bumi,

aspal, lilin bumi, semua jenis bitumen baik yang padat maupun yang cair dan semua gas

bumi serta semua hasil-hasil pemurnian dan pengolahan bahan-bahan galian tersebut, tidak

termasuk bahan-bahan galian anthrasit dan segala macam batu bara, baik yang tua maupun

yang muda. Dari definisi di atas, maka dapat ditarik pengertian bahwa pada masa

pemerintahan Orde Lama, kebijakan pengaturan antara pertambangan, minyak dan gas

bumi digabung menjadi satu.

Mengacu pada Perpu 44 Tahun 1960, kebijakan migas pada masa pemerintahan

Orde Lama dapat dikualifikasikan inkonsistensi. Pada satu sisi, Perpu 44 berkedudukan

sebagai peraturan organik ketentuan Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945, dimana

ketentuan Pasal 2 Perpu 44 Tahun 1960 menyatakan bahwa segala bahan galian minyak

dan gas bumi yang ada di dalam wilayah hukum pertambangan Indonesia merupakan

kekayaan nasional yang dikuasai oleh negara. Kedua, ketentuan Pasal 3 ayat (1) Perpu 44

Tahun 1960 menyatakan bahwa pertambangan minyak dan gas bumi hanya diusahakan

oleh negara. Selanjutnya Pasal 3 ayat (2) Perpu 44 Tahun 1960 menyataan bahwa Usaha

pertambangan minyak dan gas bumi dilaksanakan oleh Perusahaan negara semata-mata.

Dari ketentuan Pasal 2 dan Pasal 3 Perpu 44 Tahun 1960 dapat dikatakan bahwa

Perpu 44 Tahun 1960 konsisten dan mengacu pada UUD 1945. Hal ini didasari pemikiran

bahwa adanya penguasaan negara terhadap cabang-cabang produksi migas yang

dimaksudkan untuk kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Bahkan penyusun Perpu 44

Tahun 1960 berkehendak:8

Agar perindustrian minyak dan gas bumi Indonesia sungguh-sungguh berarti bagi

hajat hidup orang banyak seperti yang dikemukakan oleh ayat (2) pasal 33 Undang-

undang Dasar, maka Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang ini

menginsyafi, bahwa satu-satunya jalan untuk itu adalah memperbesar produksi

perindustrian minyak dan gas bumi Indonesia secepat-cepatnya agar supaya :

1. dapat diatasi pertambagan kebutuhan minyak bumi untuk konsumsi Dalam

Negeri sebagai akibat pertambahan penduduk dan pelaksanaan Industrialisasi

dalam Pembangunan semesta Indonesia (perubahan Struktur Ekonomi

Indonesia);

7 Bentuk hukum yang dipilih oleh pemerintahan pada masa Orde Lama untuk mengatur masalah migas adalah peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perpu). Pengaturan migas dalam bentuk perpu ini masih dapat diperdebatkan, mengingat ketentuan Pasal 22 ayat (1) UUD 1945 yang mensyaratkan adanya kegentingan yang memaksa bilamana Presiden hendak menerbitkan perpu. Namun dalam Perpu Nomor 44 Tahun 1960 tidak mengemukan kegentingan yang memaksa. Dalam konsiderans menimbang huruf g disebutkan “bahwa karena keadaan memaksa soal tersebut perlu diatur dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang.” 8 Vide Penjelasan Umum angka 10 Perpu 44 Tahun 1960.

Jurnal Ilmiah FENOMENA, Volume XII, Nomor 1, Mei 2014: 1134-1146

1139

2. kebutuhan Indonesia akan devisen unuk Pembangunan Semesta dapat dipenuhi;

3. dapat diadakan perimbangan yang menguntungkan antara konsumsi Dalam

Negeri dan ekspor Indonesia;

4. kedudukan Indonesia dalam pasar dunia dapat dipertahankan;

5. pendapatan negara yang berasal dari perusahaan-perusahaan minyak dapat

diperbesar;

6. persoalan penganguran dapat dipecahkan;

7. pendapat Nasional dan "income per capita" Indonesia, yakni "Standard of

living" di Indonesia, dapat dinaikkan.

Inkonsistensi muncul dari ketentuan Pasal 6 ayat (1) Perpu 44 Tahun 1960, dimana

disebutkan bahwa Menteri dapat menunjuk pihak lain sebagai kontraktor untuk Perusahaan

Negara apabila diperlukan untuk melaksanakan pekerjaan-pekerjaan yang belum atau tidak

dapat dilaksanakan sendiri oleh Perusahaan Negara yang bersangkutan selaku pemegang

kuasa pertambangan. Ketentuan Pasal 6 ayat (1) Perpu 44 Tahun 1960 ini menunjukkan

bahwa negara dapat mengalihkan otoritas penguasaan migas ke pihak lain. Pengalihan ini

menggunakan sistem production sharing yang terdiri dari berbagai macam prinsip sangat

bernuansa eksploitatif.9

Kebijakan pengelolaan migas pada pemerintahan Orde Lama berikutnya adalah

Perpu Nomor 2 Tahun 1962 tentang Kewajiban Perusahaan Minyak Memenuhi Kebutuhan

Dalam Negeri, untuk selanjutnya disebut Perpu 2 Tahun 1962. Lahirnya Perpu ini didasari

pemikiran bahwa bahwa minyak bumi dan hasil- hasilnya merupakan bahan yang sangat

panting buat rakyat dan negara oleh karena itu perlu mewajibkan semua perusahaan minyak

di Indonesia ikut serta memenuhi kebutuhan dalam negeri akan minyak bumi dan hasil-

hasilnya.

Menurut penulis, Perpu 2 Tahun 1962 memiliki kelebihan-kelebihan: pertama,

negara menunjukkan otoritasnya untuk “memaksa” perusahan minyak untuk memenuhi

kebutuhan dalam negeri. Kedua, kebijakan ini dimaksudkan agar kebutuhan minyak dalam

negeri dapat terpenuhi, sehingga tercapai kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Ketiga,

Perpu 2 Tahun 1962 kemudian disahkan menjadi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1962

tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undangundang No. 2 Tahun 1962

Tentang Kewajiban Perusahaan Minyak Memenuhi Kebutuhan Dalam Negeri. Dengan

demikian, kebijakan pemerintah berupa perpu, disepakati oleh DPR sehingga berubah

menjadi undang-undang.

Peralihan kekuasaan dari pemerintahan Orde Lama ke Orde Baru membawa

konskuensi perubahan kebijakan dalam pengelolaan migas. Pemerintahan Orde Baru

berkehendak untuk mempercepat terlaksananya pembangunan ekonomi nasional menuju

masyarakat Indonesia yang adil dan makmur materiil dan spirituil berdasarkan Pancasila.

9 Indah Dwi Qurbani, op.cit., hlm. 116.

Tanggung Jawab Negara dalam Pengelolaan minyak dan Gas Bumi (Dyah Silvana Amalia)

1140

Untuk itu perlu dikerahkan semua dana dan daya untuk mengolah dan membina segenap

kekuatan ekonomi potensiil di bidang pertambangan menjadi kekuatan ekonomi riil. Atas

alasan inilah dilahirkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-

Ketentuan Pokok Pertambangan, untuk selanjutnya disebut UU Pertambangan 1967. UU

Pertambangan 1967 ini sekaligus menandai politik pintu terbuka di bidang pertambangan

setelah sebelumnya diawali dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang

Penanaman Modal Asing.10

Pengusahaan sumber daya mineral tidak semuanya dapat dilakukan oleh negara.

Pengusaan negara dalam lingkup pengusahaan (hak pengusahaan) dapat dilimpahkan

kepada badan hukum swasta atau perorangan dalam wilayah hukum pertambangan

Indonesia dengan suatu Kuasa Pertambangan (KP), Kontrak Karya (KK) atau Perjanjian

Kerja Sama. Namun, pelimpahannya tidak berarti swasta menjadi pemilik bahan tambang

yang diusahakan. negara tetap berdaulat atas bahan tambang.11

Kebijakan pengeloaan migas pada masa Orde Baru berikutnya adalah

diundangkannya Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 1968 tentang

Pendirian Perusahaan Negara Pertambangan Minjak Dan Gas Bumi NasionaL (P.N.

PERTAMINA). PN Pertamina merupakan peleburan dari Perusahaan Negara

Pertambangan Minyak Indonesia dan Perusahaan Pertambangan Minyak Nasional.

Eksistensi PN Pertamina dinilai berhasil oleh pemerintahan Orde Baru. Oleh karena

itu, dasar hukum pendirian PN Pertamina yang pada awalnya adalah peraturan pemerintah

kemudian ditingkatkan menjadi undang-undang. Hal ini dibuktikan dengan

diundangkannya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1971 tentang Perusahaan Pertambangan

Minyak dan Gas Bumi Negara.

Dengan demikian, maka Pertamina sebagai Integrated State Oil Company

mendapatkan tugas sebagai pelaksana pengusahaan pertambangan migas. Untuk dapat

melaksanakan pengusahaan pertambangan migas, kepada Pertamina diberikan Kuasa

Pertambangan yang meliputi Eksploitasi, Pemurnian dan Pengolahan, Pengangkutan, serta

Penjualan. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1971: Perjanjian Karya dalam bentuk Kontrak

Production Sharing.12

Selanjutnya perubahan bentuk PN Pertamina menjadi Pertamina melalui Undang-

Undang Nomor 8 Tahun 1971 adalah agar tercipta kelancarn dan terjaminnya pelaksanaan

pengusahaan minyak dan gas bumi secara ekonomis di satu pihak dan agar diperoleh

10 Victor Imanuel Williamson Nalle, Hak Menguasai Negara atas Mineral dan Batubara Pasca Berlakunya Undang-Undang Minerba, Jurnal Kontitusi Volume 9 Nomor 3, September 2012, hlm. 476. 11 Adrian Sutedi, Hukum Pertambangan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2012), hlm. 25. Bandingkan dengan pendapat Nandang Sudrajat yang menyatakan bahwa bentuk-bentuk legalitas kewenangan pengelolaan pertambangan yang dapat dilakukan oleh pihak swasta, baik swasta asing maupun swasta nasional pada masa berlakunya UU No. 11 Tahun 1967 terdiri dari beberapa bentuk izin, yaitu: Kontrak Karya (KK), Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batu Bara (PKP2B), Kuasa Pertambangan (KP), Surat Izin Pertambangan Daerah (SIPD) dan Surat Izin Pertambangan Rakyat (SIPR). Nandang Sudrajat, op.cit., hlm. 56-57. 12 Adrian Sutedi, op.cit., hlm. 55-56.

Jurnal Ilmiah FENOMENA, Volume XII, Nomor 1, Mei 2014: 1134-1146

1141

manfaat yang sebesar-besarnya dari pengusahaan tersebut untuk rakyat, bangsa dan negara

di lain pihak.13

Dalam kajian normatif, pengelolaan migas pada masa pemerintahan Orde Baru

diarahkan pada kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Namun dalam tataran

implementatif, pada tahun 1998 pemerintahan Presiden Suharto menghabiskan 75%

cadangan minyak Indonesia.14

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pada masa era

Pemerintahan Orde Baru pengelolaan migas tidak konsisten antara tataran normatif dengan

tataran implementatif.

Bahkan Juli Panglima Saragih memberikan data bahwa pada tahun 1969/70,

produksi minyak bumi Indonesia berjumlah 284 juta barel (1 tahun dihitung rata-rata 360

hari). Sedangkan jumlah yang diekspor adalah 241,3 juta barel. Terdapat selisih 42,7 juta

barel yang tidak diekspor ke pasar internasional. Sisa minyak mentah yang tidak diekspor

tersebut dapat saja dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri.15

Dari data di atas, maka dapat disimpulkan bahwa kebijakan pengelolaan migas pada

era Pemerintahan Orde Baru lebih mengedepankan ekspor daripada kebutuhan dalam

negeri. Kebijakan pemerintahan Orde Baru ini berbeda dengan kebijakan Pemerintahan

Orde Lama yang mewajibkan perusahaan minyak untuk memenuhi kebutuhan dalam

negeri. Sebagai akibat lebih lanjut, harga migas di dalam negeri sering kali mengalami

kenaikan harga, yang berarti tujuan untuk mencapai kemakmuran dan kesejahteraan rakyat

masih jauh dari harapan.

Kebijakan pengelolaan migas pada pemerintahan Orde Reformasi diawali dengan

diundangkannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi,

untuk selanjutnya disebut UU Migas 2001. Paling tidak terdapat tiga argumentasi, mengapa

UU Migas 2001 diundangkan:16

a. pembangunan nasional harus diarahkan kepada terwujudnya kesejahteraan

rakyat dengan melakukan reformasi di segala bidang kehidupan berbangsa dan

bernegara berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945;

b. minyak dan gas bumi merupakan sumber daya alam strategis tidak terbarukan

yang dikuasai oleh negara serta merupakan komoditas vital yang menguasai

hajat hidup orang banyak dan mempunyai peranan penting dalam perekonomian

nasional sehingga pengelolaannya harus dapat secara maksimal memberikan

kemakmuran dan kesejahteraan rakyat;

c. kegiatan usaha minyak dan gas bumi mempunyai peranan penting dalam

memberikan nilai tambah secara nyata kepada pertumbuhan ekonomi nasional

yang meningkat dan berkelanjutan. 13 Ibid., hlm. 56. 14 Majalah Jaringan Advokasi Tambang, Kebijakan yang Melayani Pemodal, Maret 2005 dalam Indah Dwi Qurbani, loc. cit. 15 Juli Panglima Saragih, Menata Ulang Kebijakan Pengelolaan Minyak dan Gas Bumi, dalam berkas.dpr.go.id/pengkajian/files/buku_tim/buku-tim-9.pdf., diunduh pada 23/1/2014. 16 Lihat Konsiderans Menimbang UU Migas 2001.

Tanggung Jawab Negara dalam Pengelolaan minyak dan Gas Bumi (Dyah Silvana Amalia)

1142

Dari konsiderans menimbang tersebut, tampak bahwa pembentuk UU Migas 2001

menyadari bahwa kegiatan usaha migas akan diarahkan untuk kepentingan kemakmuran

dan kesejahteraan rakyat.

Namun berbagai pendapat menyatakan bahwa UU Migas 2001 bersifat liberal

karena merupakan konsep ekonomi yang berasal dari IMF. Hal ini diungkapkan oleh

Kardaya Warnika, mantan Ketua Tim Penyusun UU Migas 2001, yang menyatakan bahwa

penyusunan undang-undang itu telah dilakukan sejak tahun 1995 atau sebelum krisis

moneter yang mengakibatkan Pemerintah Indonesia harus tunduk pada konsep ekonomi

dari IMF. Namun diakui, konsep pemerintah itu mendapat dukungan IMF.17

Pendapat bahwa UU Migas 2001 adalah bersifat liberal juga dikemukakan oleh

Marwan Batubara. Menurut Marwan, dalam UU Migas pola liberalisasi antara lain

diperintahkan pada Pasal 10 berupa pemisahan sektor hulu dan hilir, Pasal 28 yang

menetapkan harga gas bumi melalui persaingan usaha, serta pasal 5 yang menyebutkan

pengangkutan sebagai kegiatan usaha.18

Konsep ekonomi liberal yang tertuang dalam UU Migas 2001 ini tentu bertentangan

dengan sistem ekonomi kerakyatan sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 33 UUD 1945.

Seharusnya, pengelolaan migas yang merupakan cabang produksi yang penting dan yang

menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara, dalam hal ini Pertamina. Namun

UU Migas 2001 mendelegasikan otoritas yang dimiliki ke Badan Pelaksana yang dibentuk

untuk melakukan pengendalian Kegiatan Usaha Hulu di bidang Minyak dan Gas Bumi,

untuk selanjutnya disebut BP Migas.

Tugas Badan Pelaksana ini adalah:19

a. memberikan pertimbangan kepada Menteri atas kebijaksanaannya dalam hal

penyiapan dan penawaran Wilayah Kerja serta Kontrak Kerja Sama;

b. melaksanakan penandatanganan Kontrak Kerja Sama;

c. mengkaji dan menyampaikan rencana pengembangan lapangan yang pertama

kali akan diproduksikan dalam suatu Wilayah Kerja kepada Menteri untuk

mendapatkan persetujuan;

d. memberikan persetujuan rencana pengembangan lapangan selain sebagaimana

dimaksud dalam huruf c;

e. memberikan persetujuan rencana kerja dan anggaran;

f. melaksanakan monitoring dan melaporkan kepada Menteri mengenai

pelaksanaan Kontrak Kerja Sama;

g. menunjuk penjual Minyak Bumi dan/atau Gas Bumi bagian negara yang dapat

memberikan keuntungan sebesar-besarnya bagi negara.

17 Evy Rachmawati dan Dwi AS Setianingsih, Menggugat Kedaulatan Migas, Harian Kompas Jumat 30 November 2012, hlm. 33. 18 Marwan Batubara, Menggugat Liberalisasi Gas, Harian Kompas Rabu 8 Januari 2014, hlm. 6. 19 Vide Pasal 44 ayat (3) UU Migas 2001.

Jurnal Ilmiah FENOMENA, Volume XII, Nomor 1, Mei 2014: 1134-1146

1143

Besarnya kewenangan BP Migas dapat dimaknakan adanya degradasi kewenangan

negara dalam pengelolaan migas. Dengan konstruksi penguasaan minyak melalui BP Migas

selaku badan hukum milik negara, pemerintah dinilai kehilangan kewenangan mengelola

atau menunjuk langsung badan usaha milik negara untuk mengelola sumber daya migas

padahal itu bentuk penguasaan negara yang utama. Sebab badan pelaksana itu hanya

berfungsi mengendalikan dan mengawasi pengelolaan migas.20

Keberadaan BP Migas dalam UU Migas 2001 di atas dimohonkan uji materiil ke

Mahkamah Konstitusi. Seluruh pemohon berjumlah 42 pihak, terdiri dari organisasi sosial

kemasyarakatan dan orang per orang. Dalam putusan Nomor 36/PUU-X/2012, Mahkamah

Konstitusi mengabulkan sebagian permohonan pemohon. BP Migas dibubarkan

berdasarkan putusan Mahkmah Konstitusi di atas, karena bertentangan dengan UUD 1945.

Pasca putusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan keberadaan BP Migas

inkonstitusional, Kementerian ESDM mengambil alih tugas dan fungsi lembaga tersebut.

Menteri ESDM Jero Wacik mengeluarkan dua Keputusan Menteri (Kepmen) No.

3135K/08/MEM/2012 tentang Pengalihan Tugas, Fungsi, dan Organisasi dalam

Pelaksanaan Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi dan Kepmen ESDM No.

3136K/73/MEM/2012 tentang Pengalihan Pekerja BP Migas. Dua Kepmen itu secara jelas

menyatakan, BP Migas akan diambil alih oleh Kementerian ESDM dengan membentuk

Satuan Kerja Sementara Pelaksana (SKSP) Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi.

SKSP Migas tersebut diisi oleh mantan pejabat eks BP Migas dan dikepalai oleh Jero

Wacik.21

Perdebatan yang menarik adalah tentang dasar hukum pengalihan wewenang dari

BP Migas kepada SKSP Migas. Sementara pihak berpendapat bahwa pengalihan wewenang

dari BP Migas kepada SKSP Migas sekedar “tukar pakaian”. Dasar hukum BP Migas yang

dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi adalah undang-undang, seharusnya dasar hukum

SKSP Migas juga undang-undang. Dengan demikian keberadaan SKSP Migas dapat pula

dikualifikasikan inkonstitusional, karena bertentangan dengan UUD 1945.

Dari ketiga masa pemerintahan di atas, tampak bahwa negara mempergunakan

model contract production sharing. Kontrak model ini cenderung menguntungkan pihak

asing daripada menyejahterakan dan memakmurkan masyarakat. Bilamana dikaji menurut

prinsip tanggung jawab berdasarkan unsur kesalahan, maka negara telah lalai dalam

melaksanakan tanggung jawabnya. Ini berarti bahwa masyarakat dapat menuntut negara

agar negara menetapkan kebijakan pengelolaan migas sesuai amanat konstitusi. Tuntutan

masyarakat tersebut dimaksudkan agar negara menetapkan kebijakan migas untuk

kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat.

20 Evy Rachmawati dan Dwi AS Setianingsih, loc.cit. 21 hukum online.com, Pengamat: Pembentukan SKSP Migas Inkonstitusional, http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt50d3d0048f5c4/pengamat--pembentukan-sksp-migas-inkonstitusional, diunduh pada 23/1/2014.

Tanggung Jawab Negara dalam Pengelolaan minyak dan Gas Bumi (Dyah Silvana Amalia)

1144

Mayarakat harus membuktikan bahwa negara telah melakukan perbuatan melawan

hukum, sehingga masyarakat harus membuktikan:22

a. adanya perbuatan;

b. adanya kesalahan;

c. adanya kerugian yang diderita; dan

d. adanya hubungan kausalitas antara perbuatan dan kerugian.

Dalam membuktikan unsur perbuatan, masyarakat cukup menunjukkan negara telah

membuat kebijakan berupa peraturan perundang-undangan migas. Dalam membuktikan

unsur kesalahan, masyarakat harus membuktikan bahwa kebijakan berupa peraturan

perundang-undangan migas tidak sesuai dengan amanat konstitusi. Kesalahan ini

merupakan unsur penting dalam prinsip tanggung jawab berdasarkan unsur kesalahan.

Untuk membuktikan bahwa adanya kerugian, masyarakat dapat menunjukkan bahwa harga

migas mengalami pasang surut, bahkan harga migas tidak terjangkau oleh masyarakat.

Untuk membuktikan unsur keempat, adanya hubungan kausalitas antara perbuatan dan

kerugian, masyarakat harus dapat membuktikan hubungan kausalitas tersebut.

Tindakan lain yang dapat dilakukan oleh masyarakat dalam menuntut tanggung

jawab negara dalam pengelolaan migas adalah melalui uji materi. Uji materi undang-

undang terhadap undang-undang dasar dilakukan ke Mahkamah Konstitusi, sedang

peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang ke Mahkamah Agung.

Dari aspek maslahah, kebijakan negara dalam pengelolaan migas yang masih

menggunakan contract production sharing cenderung menguntungkan pihak asing. Upaya

untuk mencapai maslahah lebih jauh lagi dengan tertangkapnya Kepala SKK Migas/mantan

Wamen ESDM Prof Dr Ir Rudi Rubiandini dengan uang diduga suap 700.000 dollar AS

dan motor BMW.23

Tanggung jawab negara dalam pengelolaan migas harus diarahkan untuk ke-

maslahah-an umat. Oleh karena itu, pengelolaan migas harus diawali dengan kebijakan

yang diarahkan untuk ke-maslahah-an umat. Hal-hal yang tidak mendukung ke arah ke-

maslahah-an umat, harus disingkirkan.

5. Kesimpulan

Berdasarkan analisis di atas, maka dapat disimpulkan bahwa tanggung jawab negara

dalam pengelolaan migas belum mengarah untuk kesejahteraan dan kemakmuran rakyat.

Berdasarkan prinsip tanggung jawab berdasarkan unsur kesalahan, masyarakat dapat

menggugat negara agar negara menetapkan kebijakan pengelolaan migas yang menuju

kesejahteraan dan kemakmuran rakyat. Dari aspek ke-maslahah-an umat, negara juga

belum dapat dikatakan menyejahterakan dan memakmurkan umat. Hal ini disebabkan

model contract production sharing masih cenderung menguntungkan pihak asing.

22

Lihat ketentuan Pasal 1365 KUHPerdata. 23

Sutomo Paguci, Ironi Tertangkapnya Rudi Rubiandini, http://hukum.kompasiana.com /2013/08/14/ironi-

tertangkapnya-rudi-rubiandini-583606.html, diakses 3/2/2014.

Jurnal Ilmiah FENOMENA, Volume XII, Nomor 1, Mei 2014: 1134-1146

1145

Daftar Pustaka:

Literatur:

Adrian Sutedi, Hukum Pertambangan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2012).

Dahlan Thaib dkk., Teori dan Hukum Konstitusi, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2011).

E Saefullah Wiradipradja, Tanggung Jawab Pengangkut dalam Hukum Pengangkutan

Udara Internasional dan Nasional, (Yogyakarta: Liberty, 1989).

I Nyoman Nurjaya, Pengelolaan Sumber Daya Alam dalam Perspektif Antropologi Hukum,

(Jakarta: Prestasi Pustaka Publisher, 2008).

Jazim Hamidi, Hermeneutika Hukum Sejarah – Filsafat & Metode Tafsir, (Malang, UB

Press, 2011).

Philipus M Hadjon dan Tatiek Sri Djatmiati, Argumentasi Hukum, (Yogyakarta: Gadjah

Mada University Press, 2011).

Nandang Sudrajat, Teori dan Praktik Pertambangan Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka

Yustisia, 2013).

Siti Sundari Rangkuti, Hukum Lingkungan dan Kebijaksanaan Lingkungan dalam Proses

Pembangunan Hukum Nasional Indonesia, (Surabaya: Disertasi Ilmu Hukum

Universitas Airlangga, 1987).

Sukarmi, Kontrak Elektronik dalam Bayang-Bayang Pelaku Usaha, (Bandung: Pustaka

Sutra, 2008).

Theo Huijbers, Filsafat Hukum dalam Lintasan Sejarah, (Yogyakarta: Kanisius, 1982).

Jurnal, Makalah dan Koran:

Asmawi, Memahami Konsep Maslahah sebagai Inti Maqasid al-Syariah, (Jakarta: Makalah

dipresentasikan pada acara Workshop Tafsir Asnâf Zakat Kontemporer, yang

diselenggarakan oleh Institut Manajemen Zakat, Ciputat, 9 Agustus 2012).

Tanggung Jawab Negara dalam Pengelolaan minyak dan Gas Bumi (Dyah Silvana Amalia)

1146

Evy Rachmawati dan Dwi AS Setianingsih, Menggugat Kedaulatan Migas, Harian Kompas

Jumat 30 November 2012.

Indah Dwi Qurbani, Politik Hukum Pengelolaan Minyak dan Gas Bumi di Indonesia, Jurnal

Arena Hukum Volume 6 Nomor 2, Agustus 2012.

Marwan Batubara, Menggugat Liberalisasi Gas, Harian Kompas Rabu 8 Januari 2014.

Victor Imanuel Williamson Nalle, Hak Menguasai Negara atas Mineral dan Batubara

Pasca Berlakunya Undang-Undang Minerba, Jurnal Kontitusi Volume 9 Nomor 3,

September 2012.

Internet:

Hukum Online.com, Pengamat: Pembentukan SKSP Migas Inkonstitusional,

http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt50d3d0048f5c4/pengamat--pembentukan-

sksp-migas-inkonstitusional, diunduh pada 23/1/2014.

Juli Panglima Saragih, Menata Ulang Kebijakan Pengelolaan Minyak dan Gas Bumi,

dalam berkas.dpr.go.id/pengkajian/files/buku_tim/buku-tim-9.pdf., diunduh pada

23/1/2014.

Sutomo Paguci, Ironi Tertangkapnya Rudi Rubiandini, http://hukum.kompasiana.com

/2013/08/14/ironi-tertangkapnya-rudi-rubiandini-583606.html, diakses pada tanggal

3/2/2014.