Upload
others
View
4
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
TAUHID SEBAGAI DASAR PENDIDIKAN ISLAM
(Kajian Tafsir Q.S. al-Baqarah: 21-22 dan Luqman: 12-15)
SKRIPSI
Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan untuk Memenuhi
Salah Satu Syarat Mencapai Gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd)
Disusun oleh:
Abdurrohman Arif
NIM. 11150110000134
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1440 H/2020 M
Scanned with CamScanner
Scanned with CamScanner
Scanned with CamScanner
Scanned with CamScanner
i
ABSTRAK
Abdurrohman Arif (11150110000134). Tauhid Sebagai Dasar Pendidikan
Islam (Kajian Tafsir Q.S. Al-Baqarah: 21-22 dan Luqman: 12-15)
Tujuan penelitian ini adalah: 1) Untuk mengetahui bagaimana penjelasan
Q.S. al-Baqarah ayat 21-22 dan Luqman ayat 12-15 mengenai tauhid sebagai
dasar pendidikan Islam, 2) Untuk mengetahui tauhid apa saja yang terkandung
dalam Q.S. al-Baqarah ayat 21-22 dan Luqman ayat 12-15, 3) Untuk mengetahui
metode pendidikan dan materi pendidikan tauhid apa saja yang terkandung dalam
Q.S. al-Baqarah ayat 21-22 dan Luqman ayat 12-15?
Jenis penelitian yang digunakan adalah pure library research (penelitian
kepustakaan murni) yaitu mengumpulkan data atau karya tulis ilmiah yang
bertujuan dengan obyek penelitian atau pengumpulan data yang bersifat
kepustakaan, yaitu penelaahan kritis dan mendalam terhadap bahan-bahan pustaka
yang relevan. Karena penelitian ini merupakan penelitian tafsir, maka dalam
menganalisi data, metode yang penulis gunakan adalah metode tafsir tahlili,
metode ini adalah suatu metode tafsir yang mufassirnya berusaha menjelaskan
kandungan ayat-ayat al-Qur’an dari berbagai seginya dengan memperhatikan
runtutan ayat-ayat al-Qur’an sebagaimana tercantum dalam mushaf.
Dalam penelitian ini peneliti memperoleh hasil bahwa tauhid sebagai dasar
pendidikan Islam tergambar pada surah al-Baqarah ayat 21-22 dan pada surah
Luqman khusunya pada ayat 13. Lalu metode pendidikan yang terkandung dalam
surah al-Baqarah ayat 21-22 adalah metode ceramah, sedangkan pada surah
Luqman ayat 12-15 adalah metode Metode Nasihat (Mau’izzah), Targhib wa
Tarhiib, Dialog (Hiwar), Keteladanan (Uswatun Hasanah) dan Pembiasaan.
Kata Kunci: Tauhid, Dasar, Pendidikan Islam
ii
ABSTRACK
Abdurrohman Arif (11150110000134). Tauhid as the Basis of Islamic
Education (Tafsir Q.S. Al-Baqarah: 21-22 and Luqman: 12-15)
The purpose of this research is: 1) To find out how the Q.S. al-Baqarah:
21-22 and Luqman: 12-15 on tauhid as the basis of Islamic education, 2) To find
out what tauhid in the Q.S. al-Baqarah: 21-22 and Luqman: 12-15, 3) To find out
what educational and educational methods of education and education material
included in the Q.S. al-Baqarah: 21-22 and Luqman: 12-15?
The type of research used is pure library research, which refers to
collecting data or scientific literature aimed at literary objects or data collection,
that is critical and in-depth study of relevant library materials. Since this study is
interpresir research, in analyzing the data, the method the writer used is interpresir
tahlili method, this is an interpretive method which, after much effort, attempts to
explain the containing of Qur 'an verses from its various sections by observing the
shedding of Qur’an verses as cited in mushaf.
In this study the result is that tauhid as the basis of Islamic education is
pictured in the surah al-Baqarah: 21-22 and in surah Luqman especially in verse
13. The educational method contained in the surah al-Baqarah: 21-22 is a method
of speech, whereas in surah Luqman: 12-15 is a method of counsel (mau 'izzah),
targhib wa tarhiib, dialogue (hiwar), example (uswatun hasanah) and culture.
Keyword: tauhid, the basic, the islamic education.
iii
KATA PENGANTAR
حيم ن ٱلره حم ٱلره بسم ٱلله
Alhamdulillah, Puji dan Syukur penulis panjatkan ke Hadirat Allah SWT,
karena dengan rahmat, taufiq dan hidayah-Nya penulis menyelesaikan skripsi
metode kualitatif penelitian pustaka library research yang berjudul “Tauhid
Sebagai Dasar Pendidikan Islam (Kajian Tafsir Q.S. Al-Baqarah: 21-22 dan
Luqman: 12-15)” Shalawat dan salam semoga senantiasa terlimpahkan kepada
Nabi Muhammad SAW yang telah menuntun dan mendidik dari zaman kegelapan
menuju zaman terang benderang.
Sebelum menyusun skripsi ini tidak sedikit kesulitan dan hambatan yang
penulis alami. Dan dari sanalah banyak pelajaran yang bisa penulis ambil baik
dari susah maupun senang. Berkat ridho Allah, kesungguhan hati, kerja keras dan
motivasi, serta bantuan dari berbagai pihak, segala kesulitan dan hambatan
tersebut dapat diatasi. Untuk itu, pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan
terimakasih yang sebesar-besarnya dan penghargaan yang setulus-tulusnya kepada
kedua orang tua, ibunda tercinta Hj. Marinah dan ayahanda tercinta H. Ahmad
Zawawi yang dengan susah payah mengasuh dan mendidik penulis dengan penuh
rasa ikhlas dan kesabaran, menyayangi dan mengasihi, yang tak kenal lelah setiap
harinya bekerja mencari nafkah untuk membiayai penulis sekolah hingga akhirnya
penulis dapat menyelesaikan pendidikan ini. Kemudian kepada kakak dan adikku
tercinta (Asma Nurhayati dan Ibnu Mas’ud) yang dengan penuh kasih sayang
telah banyak memberi dukungan dan mengisi hari-hari penulis dengan
kegembiraan dan kebahagiaan.
Dan juga tak lupa pula penulis mengucapkan terimakasih yang terhingga
kepada :
iv
1. Prof. Dr. Hj. Amany Lubis, MA selaku Rektor Univeritas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Ibu Dr. Sururin, M.Ag selaku Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan
Keguruan (FITK) Univeritas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Bapak Drs. Abdul Haris , M.Ag selaku Ketua Jurusan dan sekaligus
Dosen pembimbing skripsi yang telah bersedia memberikan dan
meluangkan segenap waktu, tenaga, pikiran serta kesabaran dalam
memberikan bimbingan, arahan serta motivasinya kepada penulis
dalam menyelesaikan skripsi ini.
4. Bapak Rusdi Jamil, MA selaku Sekretaris jurusan Pendidikan Agama
Islam.
5. Bapak Ahmad Irfan Mufid, MA selaku Dosen Pembimbing Akademik
yang selalu memberikan support, motivasi dan masukan, bersedia
membimbimg penulis dari awal semester satu sampai dengan
sekarang.
6. Segenap Dosen dan staf karyawan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan
Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakrta yang telah memberikan
bekal ilmu dan pengetahuannya selama penulis menjalakan
perkuliahan.
7. Seluruh staf perpustakaan umum Univesitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta dan perpustakaan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan
Keguruan Univesitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang
telah menyediakan bermacam-macam buku, tafsir dan sebagainya
sehingga mempermudah penulis mencari referensi.
8. Guru-guruku tercinta yang telah meluangkan waktu, tenaga dan
pikirannya. Serta do’adan dukungannya sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini.
9. Sahabat-sahabatku selama di kampus Alvien Permana, Ahmad Zainal
Abidin, M. Faiz Suhail, Fuad Abdul Baqi, Aulia Rahman, Abdul
Fattah Zulkarnain, S.Pd, dan Al-Faqih, S.Pd.
v
10. Seluruh sahabat-sahabtku di PAI angkatan 2015 teman senasib dan
seperjuangan terkhusus kelas PAI-B, yang telah banyak memberikan
pengalaman berharga kepada penulis tentang indahnya arti sebuah
persahabatan dan kekeluargaan.
Akhirnya, hanya kepada Allah SWT jualah penulis berharap dan berdo’a
semoga amal baik mereka yang telah membantu dalam proses penyelesaian
skripsi ini mendapat balasan pahala yang berlipat ganda dari Allah SWT. Aamiin
Ya Rabbal’Alamiin...
Jakarta, 28 Januari 2020
Penulis,
Abdurrohman Arif
ix
DAFTAR ISI
ABSTRAK ................................................................................................................ i
KATA PENGANTAR .............................................................................................. iii
PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN ................................................... vi
DAFTAR ISI ............................................................................................................. x
BAB I : PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ................................................................................. 1
B. Identifikasi Masalah ....................................................................................... 9
C. Pembatasan dan Rumusan Masalah ............................................................... 10
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian ...................................................................... 10
BAB II : KAJIAN TEORITIK
A. Tauhid ............................................................................................................ 12
1. Pengertian Tauhid .................................................................................... 12
2. Macam-macam Tauhid............................................................................. 14
3. Manfaat dan Tujuan Tauhid ..................................................................... 16
B. Pendidikan Islam ............................................................................................ 17
1. Pengertian Pendidikan Islam .................................................................... 17
2. Pendidikan Islam Menurut Para Ahli ....................................................... 21
3. Tujuan Pendidikan Islam.......................................................................... 22
4. Objek Pendidikan Islam ........................................................................... 25
5. Materi Pendidikan Islam .......................................................................... 27
6. Metode Pendidikan Islam ......................................................................... 29
C. Hasil Penelitian yang Relevan ....................................................................... 34
BAB III : METODOLOGI PENELITIAN
A. Objek dan Waktu Penelitian........................................................................... 38
B. Pendekatan dan Jenis Penelitian..................................................................... 38
C. Sumber Data ................................................................................................... 39
x
D. Teknik Pengumpulan Data ............................................................................. 39
E. Analisis Data .................................................................................................. 40
F. Prosedur Penelitian ......................................................................................... 40
BAB IV : TEMUAN PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Teks dan Terjemahan Q.S. Al-Baqarah: 21-22 dan Luqman: 12-15 ............. 43
B. Sejarah Surah Al-Baqarah dan Surah Luqman .............................................. 44
C. Asbabun Nuzul ............................................................................................... 46
D. Penjelasan Kosa Kata Inti .............................................................................. 48
E. Tafsir Ayat ..................................................................................................... 49
F. Tauhid Sebagai Dasar Pendidikan Islam........................................................ 58
G. Macam-macam Tauhid................................................................................... 63
H. Materi Pendidikan Tauhid .............................................................................. 65
I. Metode Pendidikan......................................................................................... 72
BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN ................................................................. 79
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................... 83
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Uji Referensi ...................................................................................... 86
Lampiran 2 Biodata Diri ....................................................................................... 87
Lampiran 2 Berita Acara…………………………………………………………88
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Manusia yang memiliki kepercayaan kepada Tuhannya akan senantiasa
merasa dekat dan selalu dalam perlindungan Tuhannya. Mereka percaya
bahwa tiada daya, upaya dan kuasa melainkan dari Allah Swt. Tuhan semesta
alam. Kepercayaan kepada keesaan Tuhan tersebut yang kemudian disebut
sebagai tauhid. Namun pada zaman sekarang nilai-nilai ketauhidan masih
terasa dangkal di masyarakat. Padahal dengan semakin dangkalnya nilai
tauhid yang tertanam dalam diri seseorang, makan akan semakin rendah pula
kualitas akhlak, watak keperibadian serta kesiapan untuk menerima konsep
bahwa Islam sebagai way of life. Banyak yang memahami tauhid sebatas
pengakuan dan ucapan semata yang diwujudkan dalam bentuk ritual ibadah
penyembahan kepada Yang Maha Esa. Padahal kepercayaan manusia
terhadap Yang Maha Esa itu berkembang sesuai dengan perkembangan
pikiran dan peradaban manusia itu sendiri, sedangkan untuk mencapai ke
tingkatan transformasi yang lebih tinggi tersebut maka seseorang harus
terlebih dahulu melalui proses pendidikan.
Pendidikan adalah masalah yang sangat penting dan aktual sepanjang
masa, karena hanya dengan pendidikan manusia akan memperoleh
pengetahuan dan keterampilan dalam kapabilitas mengelola alam yang
dikaruniakan oleh Allah Swt. kepada makhluk-Nya. Hal ini menujukan
bahwa pendidikan sangat besar kontribusinya bagi kehidupan manusia,
bahkan menentukan kemajuan sebuah bangsa, oleh sebab itu untuk mengukur
kemajuan umat atau suatu bangsa dapat dilihat dari seberapa jauh tingkat
pendidikannya. Dengan demikian, maka permasalahan pendidikan bagi setiap
bangsa dan negara akan senantiasa up to date sepanjang masa selama masih
terdapat manusia di dalamnya. Itulah sebabnya, maka pendidikan selain
menjadi kunci kemajuan, juga menjadi tantangan yang harus dihadapi oleh
setiap bangsa dan negara, khususnya bagi negara berkembang dan negara
2
terbelakang. Termasuk Negara Republik Indonesia yang berdasarkan
Pancasila.
Pendidikan adalah usaha sadar yang dilakukan oleh keluarga, masyarakat,
dan pemerintah, melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, dan/atau pelatihan,
yang berlangsung di sekolah maupun di luar sekolah yang berlangsung
sepanjang hayat, untuk mempersiapkan peserta didik agar dapat memainkan
peran dalam berbagai lingkungan hidup secara tepat di masa yang akan
datang. Pendidikan adalah pengalaman-pengalaman belajar terprogram dalam
bentuk pendidikan formal, non-formal, dan informal di sekolah, dan di luar
sekolah yang berlangsung seumur hidup yang bertujuan optimalisasi
pertimbangan kemampuan-kemampuan individu, agar dikemudian hari dapat
memainkan peranan hidup secara tepat.1
Sedangkan pendidikan dalam pandangan Islam pada umumnya mengacu
pada kata al-tarbiyah, al-ta’dib, dan al-ta’lim. Kemudian dari ketiga kata
tersebut yang populer digunakan dalam pendidikan Islam ialah kata al-
tarbiyah, sedangkan kata al-ta’dib, dan al-ta’lim jarang sekali digunakan,
padahal kedua istilah tersebut telah digunakan sejak awal pendidikan Islam.
Kendati demikian pun ketiga kata tersebut memiliki persamaan makna.2
Pendidikan Islam merupakan pendidikan yang secara khas memiliki ciri
Islami, berbeda dengan konsep pendidikan umum, pendidikan Islam lebih
memfokuskan pada pemberdayaan umat berdasarkan al-Qur’an dan hadis.3
Pendidikan Islam juga dapat ditinjau dari segi sempit dan luas. Pengertian
sempit adalah segala usaha yang dilakukan untuk mentransfer ilmu (transfer
of knowledge), nilai (value), serta keterampilan (skill) berdasarkan ajaran
Islam yang diajarkan pendidik kepada si terdidik guna membentuk pribadi
muslim seutuhnya. Hal ini lebih bersifat kepada proses pembelajaran tersebut,
1
Redja Mudyaharjo, Pengantar Pendidikan, (Jakarta: Rajawali Pers, 2012), Cet. ke-7, h.
11.
2 Samsul Nizar, Filsafat Pendidkan Islam, (Jakarta: Ciputat Pers: 2002), Cet. ke-1, h. 25.
3 Sri Minarti, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Amzah, 2013), Cet. ke-1, h. 25
3
di mana ada pendidik, peserta didik, dan bahan (materi yang diajarkan)
dengan ditunjang alat-alat yang digunakan.4
Adapun dalam artian luas, pendidikan Islam tidak hanya terbatas kepada
pentransferan tiga ranah di atas. Akan tetapi juga mencakup berbagai hal
yang berkaitan dengan pendidikan Islam secara luas yang mencakup: sejarah,
pemikiran dan lembaga. Dengan demikian ada kajian tentang sejarah
pendidikan Islam, pemikiran pendidikan Islam, lembag-lembaga pendidikan
Islam, dan lain-lain.5
Pendidikan Islam sebagaimana diketahui adalah pendidikan yang pada
pelaksanaannya berdasarkan pada ajaran Islam yaitu bersumber dari al-
Qur’an dan Sunah. Dengan demikian, perbedaan pendidikan Islam dengan
pendidikan lainnya, ditentukan oleh adanya dasar ajaran Islam tersebut. Jika
pendidikan umum lainnya berdasarkan pada pemikiran rasional yang sekuler
dan impristik semata.6
Seiring perkembangan zaman tak dapat kita hindari pula bahwa kemajuan
ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) membawa berbagai impact . Impact
yang menyertai kemajuan IPTEK tersebut di satu sisi telah membawa
manusia pada kondisi dan situasi yang diuntungkan, namun ternyata di pihak
lain telah membawa negative impact terhadapt mindset dan life style manusia
itu sendiri, sehingga tidak hanya bersinggungan dengan permasalahan dataran
pribadi tiap individu, melainkan merambah pada sebuah problematika bangsa
yang lebih serius. Perkembangan IPTEK di satu sisi memang membawa
dampak positif, yakni dapat memperbaiki kualitas hidup manusia. Berbagai
sarana modern industri, transportasi dan komunikasi terbukti dapat
memberikan manfaat. Tapi di sisi lain tidak jarang IPTEK berdampak negatif
karena merugikan dan membahayakan kehidupan dan martabat manusia.7
4 Haidar Putra Daulay dan Nurgaya Pasa, Pendidika Islam dalam Lintasan Sejarah,
(Jakarta: Kencana, 2013), Cet. ke-1, h. 3.
5 Ibid., h. 3.
6 Abuddin Nata, Pendidikan dalam Prespektif Al-Qur’an, (Ciputat: UIN Jakarta Pers,
2005), Cet. ke-1, h. 15
7 Audah Mannan, Transformasi Nilai-nilai Tauhid dalam Perkembangan Sains dan
Teknologi, Jurnal Aqidah, Vol. IV, 2018, h. 255.
4
Untuk mengatasi permasalahan-permasalahan tersebut diperlukan pendekatan
yang benar-benar efektif dan efisien agar dapat memperoleh solusi yang tepat.
Dalam hal inilah Islam memberikan sumbangsinya yang konstruktif melalui
prespektif pendidikannya.
Pendidikan Islam tidak mengenal adanya pemisahan anatar sains dan
agama, belakangan ini banyak anggapan bahwa Islam hanya mengajarkan
hal-hal yang bersifat spiritual, yakni hanya berkaitan dengan hubungan
makhluk dan penciptanya, anggapan tersebut seolah menggambarkan bahwa
pendidikan Islam tidak mengajarkan ilmu pengetahuan umum, padahal pada
perkembangannya pendidikan Islam tidak hanya mengajarkan ilmu agama,
tapi juga mengajarkan ilmu-ilmu umum.
Oleh sebab itu dikotomi dalam pendidikan Islam haruslah dihapuskan,
sebab dengan menerima prinsip ini maka pendidikan Islam hanya akan
melahirkan manusia-manusia muslim yang terpecah kepribadiannya, di
masjid mereka bersikap alim, sementara di pasar, pabrik dan masyarakat luas
mereka tampil sebagai orang asing yang tidak punya orientasi moral,
kepedulian sosial, kasih sayang, kejujuran dan tanggung jawab. Seperti
kebanyakan fenomena yang terjadi pada masa kini, di mana terdapat mindset
bahwa ajaran agama hanya digunakan ketika kita sedang beribadah kepada
Tuhan, sedangkan dalam bekerja dan kehidupan sehari-hari lainnya hanya
pengetahuan umumlah yang digunakan. Mindset seperti ini yang menjadikan
hidup kita jauh dari nilai-nilai keislaman, di mana seharusnya dalam segala
aspek kehidupan seperti pola hidup, tingkah laku dan bermasyarakat haruslah
didasarkan pada nilai-nilai yang terdapat dalam ajaran agama Islam.
Agama Islam sebagai suatu konsep kehidupan yang memliki landasan
yang khas dan spesifik dibandingkan dengan agama lainnya, karena
komponen utama agama Islam adalah akidah, syariah dan akhlak yang
kemudian dikembangkan oleh akal pikiran manusia yang didorong oleh ilmu
pengetahuan. Selain itu Islam adalah agama monoteisme (tauhid). Maksudnya
agama yang hanya menyembah satu Tuhan, yaitu Tuhan Yang Maha Esa.
5
Artinya: “dan Kami tidak mengutus seorang Rasulpun sebelum kamu
melainkan Kami wahyukan kepadanya: "Bahwasanya tidak ada Tuhan (yang
hak) melainkan Aku, Maka sembahlah olehmu sekalian akan aku.” (Q.S. al-
Anbiya: 25)
Islam adalah agama tauhid yang meng-Esakan Allah secara mutlak, suci
dan murni dari segala unsyur kesyirikan. Hanya Allah yang berkuasa, dan
tidak ada sesuatu pun yang berkuasa selain-Nya, yang ada hanya khalik
(pencipta) dan makhluk (yang diciptakan). Selain Allah adalah makhluk dan
tidak memiliki kekuatan apapun selain yang Allah titipkan kepadanya.
Menurut M. Yusran Asmuni, “Tauhid tidak hanya sekedar diketahui dan
dimiliki oleh seseorang, tetapi lebih dari itu, ia harus dihayati dengan baik
dan benar. Apabila tauhid telah dimiliki, dimengerti dan dihayati dengan baik
dan benar, kesadaran seseorang akan tugas dan kewajibannya kepada Allah
akan muncul dengan sendirinya.”8
Jika kita pahami, konsep tauhid tidak hanya sebatas hubungan secara
vertikal saja dengan Yang Maha Esa, tetapi butuh pemahaman yang
mendalam, ini terlihat mengapa banyak orang yang nampak sebagai ahli
ibadah, tetapi dalam pergaulan sosial dan bermasyarakatnya sangat tertutup,
bahkan seperti menutup mata terhadap penderitaan yang dialami tetangga,
kerabat atau orang di sekitarnya.
Tauhid memiliki peran penting dalam kehidupan manusia, di antaranya
sebagai sumber dan motivator perbuatan kebajikan dan keutamaan, serta
membimbing manusia ke jalan yang benar dan mendorong mereka
mengerjakan segala bentuk ibadat dengan penuh keihlasan, tauhid juga dapat
8 Muhammad Yusron Asmuni, Ilmu Tauhid, (Jakarta: PT Raka Grafindo Persada: 1996),
Cet. ke-3, h. 7.
6
mengeluarkan jiwa manusia dari kegelapan, kekacauan dan segala hal yang
dapat menyesatkan.9
Tidak dapat kita pungkiri bahwa al-Qur’an adalah sumber pokok ilmu
pengetahuan, di dalamnya terdapat berbagai ilmu pengetahuan yang bila kita
menggalinya lebih dalam, maka kita akan sampai pada satu titik bahwa al-
Qur’an memuat segala bidang keilmuan, dalam hal pendidikan al-Qur’an
telah memaparkan berbagai konsepnya, mulai dari materi pendidikan, metode
pendidikan, dan prinsip-prinsip pendidikan
Dari sekian banyak nilai yang terkandung di dalam al-Qur’an, tauhid
menjadi nilai yang bersifat intrinsik, fundamental, dan memiliki posisi paling
tinggi. Nilai ini tidak akan berubah menjadi nilai instrumental karena
kedudukannya paling tinggi di anatara ilmu-ilmu yang lain. Seluruh nilai
yang lain dalam konteks tauhid menjadi nilai instrumental. Sebagai contoh,
kebahagiaan, kesejahteraan, dan kemajuan di suatu saat menjadi nilai
intrinsik, sedangkan kekayaan, jabatan dan ilmu pengetahuan menjadi nilai
instrumental untuk menuju kebahagian, kesejahteraan dan kemajuan tersebut.
Demikian pula, etos kerja, taat beribadah, sabar, syukur dan nilai-nilai
kebaikan lainnya adalah nilai-nilai instrumental untuk menuju tauhid. Pendek
kata semua nilai selain tauhid walaupun ia dalam realita kehidupan tampak
sebagai nilai intrinsik berubah posisinya menjadi nilai instrumental bila
dihadapkan dengan nilai-nilai tauhid.10
Menurut prespektif al-Qur’an, tauhid adalah akar utama yang harus
memberikan energi kepada pokok, dahan, dan daun kehidupan, sebab semua
aktivitas kehidupan mestilah berangkat dari tauhid, termasuk kegiatan dan
penyelenggaraan pendidikan. Di sinilah pendidikan memiliki peran penting
dalam menciptakan tujuan dan kedudukan manusia, yang pada dasarnya
manusia lahir ke dunia dibekali dengan dua fitrah, yakni potensi yang
berorientasi pada kebaikan dan pada keburukan, lalu dalam hal inilah
pendidikam berperan dalam mengarahkan manusia kepada salah satu
9
Ibid., h. 7
10 Abuddin Nata, op.cit.,h. 50
7
fitrahnya, yaitu tentu mengarahkan kepada fitrah kebaikan. Tentu agar
pendidikan dapat membimbing dan mengarahkan manusia kepada fitrah
kebaikan tersebut, maka pendidikan tersebut haruslah memiliki pondasi yang
kuat. Di mana dalam Islam nilai-nilai ketauhidanlah yang menjadi nilai paling
mendasar, intrinsik dan fundamental, yang kemudian nilai-nilai ketauhidan
tersebut masuk dalam setiap sendi kehidupan manusia, salah satunya dalam
pendidikan.
Pendidikan sendiri terdiri dari beberapa komponen, yaitu murid, guru, dan
kurikulum. Nilai tauhid mestinya tercantum pada setiap komponen tersebut.
Guru mestinya tampil sebagai pribadi yang bertauhid yang tercermin dalam
berperilaku, tutur sapa, pikiran dan rasa. Semuanya mesti diwarnai oleh
tauhid, seperti yang telah dicontohkan pada pribadi nabi mulai dari Adam as.
sampai Muhammad Saw. demikian pula siswa; mereka ini mestinya dilihat
sebagai komunitas pencari nilai-nilai tauhid. Maka semua aktivitas belajar
dan interaksi antar guru dan murid tidak boleh bertentangan dengan nuansa
tauhid itu. Dan komponen pendidikan yang juga amat penting lainnya yang
harus dibangun di atas prinsip tauhid adalah kurikulum. Kurikulum yang
antara lain mencakupi materi, metode, dan alokasi waktu hendaknya
dibangun atas pertimbangan ajaran tauhid. Materi pelajaran misalnya,
ditetapkan berlandaskan al-Qur’an dan Sunnah serta berorientasi kepada
penanaman kesadaran diri sebagai makhluk Allah, bukan semata-mata
penanaman ilmu. Bangunan kurikulum seperti ini mencakupi semua bidang
kajian yang disajikan, tidak ada meteri pelajaran, bidang kajian apapun, yang
tidak berlandaskan ketauhidan.
Peran Tauhid dalam perkembangan IPTEK pada dasarnya adalah
menjadikan tauhid sebagai paradigma ilmu pengetahuan. Paradigma inilah
yang seharusnya dimiliki oleh umat Islam, bukan paradigma sekuler seperti
kebanyakan sekarang. Paradigma ini menyatakan bahwa tauhid wajib
dijadikan landasan dalam setiap pemikiran (qaidah fikriyah) bagi seluruh
bangunan ilmu pengatahuan. Ini bukan berarti tauhid menjadi sumber segala
ilmu pengetahuan, melainkan menjadikan tauhid sebagai standar bagi segala
8
ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan yang sesuai dengan nilai-nilai tauhid
wajib diterima dan diamalkan, sedangkan ilmu pengetahuan yang
bertentangan dengan nilai-nilai tauhid wajib ditolak dan tidak boleh
diamalkan.11
Menurut Abuddin Nata, “Dengan dasar tauhid seluruh kegiatan pendidikan
Islam dijiwai oleh norma-norma Ilahiyah dan sekaligus dimotivasi sebagai
ibadah. Dengan ibadah pekerjaan pendidikan lebih bermakna, tidak hanya
makna material tetapi juga makna spiritual”.12
Dari berbagai penjelasan di atas, maka penulis tertarik untuk mengkaji
lebih dalam tentang nilai-nilai tauhid yang menjadi dasar pendidikan Islam,
yang kemudian dalam beberapa ayat al-Qur’an terdapat penjelasan bahwa
setiap aspek pendidikan dan pengajaran haruslah berangkat dari nilai-nilai
ketauhidan, dan mengenalkan Allah merupakan bagian yang paling dasar dari
ajaran agama Islam yang harus dilakukan sebelum seseorang memberi
pelajaran bagian dari ajaran agama Islam yang lain. Dari banyaknya
penjelasan mengenai pendidikan tauhid yang terdapat di dalam al-Qur’an,
dalam hal ini penulis ingin mengkaji lebih khusus pada Q.S. Al-Baqarah: 21-
22 dan Luqman: 12-15, bagaimana ayat tersebut menjelaskan mengenai
tauhid sebagai dasar pendidikan Islam, kemudian tauhid apa saja yang
terkandung dalam ayat tersebut, serta metode dan pendidikan apa saja yang
terkandung dalam ayat tersebut. Dan yang menjadi alasan lain penulis ingin
mengangkat tema ini adalah sepengatahuan penulis sampai saat ini
berdasarkan sumber-sumber yang telah penulis baca dan telusuri masih
sedikitnya karya ilmiah baik berupa jurnal, buku, maupun artikel yang
sepesifik membahas mengenai hal ini. Maka dari itu penulis tertarik untuk
menyusun sebuah skripsi yang berjudul “Tauhid Sebagai Dasar Pendidikan
Islam (Kajian Tafsir Q.S. Al-Baqarah: 21-22 dan Luqman: 12-15)”.
11 Audah Mannan, op.cit, h. 254.
12 Ibid.h.50.
9
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas penulis mengidentifikasi masalah yang
ada sebagai berikut:
1. Kesalahan pemahaman pada masyarakat yang menganggap tauhid hanya
sebatas pengakuan dan ucapan semata dalam bentuk ritual ibadah
penyembahan.
2. Permasalahan dalam bidang pendidikan menjadi salah satu faktor
penghambat kemajuan suatu bangsa.
3. Kemajuan IPTEK yang membawa negative impact terhadap mindset dan
life style manusia.
4. Masih adanya dikotomi dalam dunia pendidikan Islam yaitu, anatara ilmu
agama dan ilmu umum.
5. Anggapan bahwa tauhid hanya hubungan vertikal dengan tuhannya,
sehingga banyak orang yang nampak sebagai ahli ibadah tapi sangat
tertutup dalam pergaulan sosialnya.
6. Tauhid wajib dijadikan landasan dalam setiap pemikiran (qaidah fikriyah)
bagi seluruh bangunan ilmu pengatahuan.
7. Tauhid menjadi aspek utama dalam segala aspek kehidupan, termasuk
seluruh kegiatan dan penyelenggaraan pendidikan.
8. Tauhid berufungsi mengarahkan dan membimbing manusia kepada
fitrahnya, yaitu fitrah kebaikan.
9. Penjelasan Q.S. Al-Baqarah: 21-22 dan Luqman: 12-15 mengenai tauhid
sebagai dasar pendidikan Islam.
10. Tauhid apa saja yang terkandung dalam Q.S. Al-Baqarah: 21-22 dan
Luqman: 12-15.
11. Metode pendidikan apa saja yang terkandung dalam Q.S. Al-Baqarah: 21-
22 dan Luqman: 12-15.
12. Materi Pendidikan Tauhid apa saja yang terkandung dalam Q.S. Al-
Baqarah: 21-22 dan Luqman: 12-15.
10
C. Pembatasan dan Rumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah
Untuk menghindari melebarnya pembahasan dalam tulisan ini,
maka penulis perlu memberikan batasan permasalahan sebagai berikut:
Tauhid sebagai dasar pendidikan Islam dengan mengkaji tafsir dari Q.S.
al-Baqarah ayat 21-22 dan Luqman ayat 12-15, tauhid apa saja yang
terkandung dalam ayat tersebut, metode dan materi pendidikan apa saja
yang terkandug dalam ayat tersebut.
2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang dan identifikasi masalah yang telah
diuraikan pada bagian sebelumnya, maka rumuskan masalah dalam
penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Bagaimana penjelasan Q.S. al-Baqarah ayat 21-22 dan Luqman ayat 12-
15 mengenai tauhid sebagai dasar pendidikan Islam?
b. Tauhid apa saja yang terkandung dalam Q.S. al-Baqarah ayat 21-22 dan
Luqman ayat 12-15?
c. Metode pendidikan apa saja yang digunakan dalam Q.S. al-Baqarah
ayat 21-22 dan Luqman ayat 12-15?
d. Materi Pendidikan Tauhid apa saja yang terkandung dalam Q.S. Al-
Baqarah: 21-22 dan Luqman: 12-15?
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah yang telah dipaparkan sebelumnya,
maka dilakukannya penelitian ini bertujuan untuk memahami:
a. Penjelasan Q.S. al-Baqarah ayat 21-22 dan Luqman ayat 12-15
mengenai tauhid sebagai dasar pendidikan Islam.
11
b. Tauhid apa saja yang terkandung dalam Q.S. al-Baqarah ayat 21-22
dan Luqman ayat 12-15.
c. Metode pendidikan apa saja yang digunakan dalam Q.S. al-Baqarah
ayat 21-22 dan Luqman ayat 12-15.
d. Materi Pendidikan Tauhid apa saja yang terkandung dalam Q.S. Al-
Baqarah: 21-22 dan Luqman: 12-15.
2. Manfaat Penelitian
Berdasarkan tujuan penelitian yang telah diuraikan di atas, maka
peneliti sangat mengharapkan bahwa hasil dari penelitian ini nantinya akan
bermanfaat bagi kalangan banyak.
a. Secara Teoritis
Hasil dari penelitian ini bisa digunakan sebagai sumber
dalam pengembangan ilmu pengetahuan, baik bagi penulis maupun
untuk masyarakat luas.
b. Secara Praktis:
1) Bagi Penulis
Dapat menambah wawasan ilmu pengetahuan serta membantu
peneliti dalam mengembangkan ilmu pengetahuan yang lebih baik
lagi.
2) Bagi Pendidik
Menambah khazanah keilmuan bagi pendidik agar mampu
menjelaskan kepada anak didiknya bahwa prinsip dalam pendidikan
Islam seluruhnya haruslah berlandaskan tauhid.
3) Bagi Masyarakat Umum
Sebagai sumber informasi dan ilmu pengetahuan bagi masyarakat
agar mampu memahami tentang prinsip pendidikan yang dijelaskan
di dalam al-Qur’an.
12
BAB II
KAJIAN TEORITIS
A. Tauhid
1. Pengertian Tauhid
Ilmu tauhid adalah ilmu pengetahuan yang paling tinggi derajatnya
dalam agama Islam, karena pokok atau induk dari semua ilmu
pengetahuan dalam agama Islam adalah ilmu tauhid. Bahkan para ulama
menyebutkan bahwa agama Islam adalah agama tauhid. Ilmu ini
membahas tentang ke-Esaan Dzat Allah, hukum mempelajari ilmu ini
adalah fardhu „ain secara ijmali bagi setiap orang mukallaf, yakni orang
yang sudah sampai pada umur baligh, berakal, selamat pancainderanya dan
telah sampai padanya ajaran agama Islam. sedangkan hukum
memperdalam ilmu ini secara tafsili adalah fardhu kifayah. Ilmu tauhid
disebut juga ilmu ushuluddin, ilmu kalam, ilmu aqaid, dan ilmu ma‟rifat.1
At-Tauhid menurut bahasa merupakan masdar dari wahhada. Jika
dikatakan wahhada asy-syai‟a artinya menjadikan sesuatu itu satu.
Adapun menurut syariat adalah mengesakan Allah dengan sesuatu yang
khusus bagi-Nya, berupa rububiyah, uluhiyah, al-asma‟ dan sifat.2 Tuhan
juga telah menjelaskan dalam surat al-Ikhlas ayat pertama bahwa dzat-Nya
adalah tuhan yang “Ahad” yang artinta satu. Kata “ahad” dalam bahasa
Arab sama dengan kata “wahid”, namun dengan perbedaan penekanan,
bahwa “ahad” adalah satu yang merupakan bilangan tak terbilang, ia
berdiri sendiri; sedangkan “wahid” adalah satu yang merupakan bilangan
terbilang dan merupakan permulaan dari bilangan yang kemudian bisa
menjadi dua, tiga, empat dan seterusnya, hingga tak terhingga. Dengan
demikian dalam surat al-Ikhlas ayat pertama tersebut ditegaskan bahwa
1 Abdullah Zakiy Al-Kaaf dan Maman Abdul Djaliel, Mutiara Ilmu Tauhid.(Bandung:
CV Pustaka Setia, 1999), h. 11
2 Syaikh Muhammad Al-Utsaimin, Syarah Kitab Tauhid, (Bekasi: PT Darul Falah, 2006),
h.xvii
13
Tuhan adalah satu yang esa. Ketika al-Qur’an mengatakan “Allahu Ahad”
, maka memberikan bahwa Ia adalah benar-benar Tuhan yang satu, esa,
ijen, tunggal. Tidak ada sesuatu sebelum dan sesudahnya. Namun berbeda
jika al-Qur’an mengatakan “Allah al-Wahid”/Allah Yang Maha Satu.
Maka berarti Allah merupakan nomor satu dari permulaan wujud segala
sesuatu, yang tidak didahului oleh sebelumnya tetapi diikuti oleh angka
dan kehadiran yang lain sesudah-Nya.3
Kalimat tauhid berasal dari bahasa Arab yang artinya
“mengesakan” atau “menunggalkan.” Maksud dari kalimat Tauhiiddan
yaitu mengesakan Allah dengan seyakin-yakinnya, sesuai dengan firman
Allah dalam ayat:
“Dan Tuhanmu adalah Tuhan yang Maha Esa; tidak ada Tuhan
melainkan Dia yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.” (Q.S. al-
Baqarah/2: 163)4
Tauhid ilmu yang membahas tentang wujud Allah, sifat-sifat yang
wajib pada-Nya, sifat-sifat yang boleh disifatkan kepada-Nya, dan tentang
sifat-sifat yang sama sekali wajib dilenyapkan pada-Nya. Juga membahas
tentang rasul-rasul Allah, meyakinkan kerasulan mereka, apa yang boleh
dihubungkan (dinisbatkan) kepada mereka, dan apa yang terlarang
menghubungkannya kepada diri sendiri. 5
Prof. M. Thahir A. Muin memberikan definisi mengenai tauhid
sebagai berikut: Tauhid adalah ilmu yang menyelidiki dan
membahas soal yang wajib, mustahil, dan yang jaiz bagi Allah dan
bagi sekalian utusan-utusan-Nya; juga mengupas dalil-dalil yang
mungkin cocok dengan akal pikiran sebagai alat untuk membuktikan
ada-Nya dzat yang mewujudkan.6
3 Abdul Latif Fakih, Deklarasi Tauhid (sebuah Akidah Pembebasan, Sisik-melik Surah
Al-Ikhlas), (Pamulang: Inbook, 2011, Cet. ke-1, h. 73-74.
4 Abdullah Zakiy Al-Kaaf dan Maman Abdul Djaliel, op.cit., h. 12
5 Muhammad Yusron Asmuni, Ilmu Tauhid, (Jakarta: PT Raka Grafindo Persada: 1996),
Cet. ke-3, h. 2.
6 Ibid., h. 2.
14
Dari semua definisi-definisi di atas masih banyak definisi lain yang
dikemukakakn oleh para ahli. Nampaknya belum ada kesepakatan di
antara mereka mengenai definisi ilmu tauhid. Namun para ulama telah
sepakat, bahwa mempelajari tauhid hukumnya wajib bagi setiap muslim.
Kewajiban ini bukan hanya didasarkan pada alasan rasio bahwa akidah
merupakan dasar pertama dan utama dalam Islam, tetapi juga didasarkan
pada dalil-dalil naqli baik dari al-Qur’an maupun hadis.7
2. Macam-macam Tauhid
Tauhid dibagi menjadi tiga macam:
a. Tauhid Rububiyah
Makna tauhid rububiyah ialah mengesakan Allah dalam hal
penciptaan, kepemilikan dan kepengurusan, pengesaan Allah dalam hal
penciptaan adalah meyakini bahwa tiada pencipta selain Allah SWT.
Firman-Nya:
...
“...Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak
Allah. Maha suci Allah, Tuhan semesta alam.” (Q.S. al-A’raf: 54)
Pengesaan Allah dalam hal kepemilikan, artinya kita yakin
bahwa tidak ada yang memiliki makhluk kecuali yang menciptakan
mereka, sebagaimana firman-Nya:
7 Ibid., h. 3.
15
“Katakanlah: "Siapakah yang di tangan-Nya berada
kekuasaan atas segala sesuatu sedang Dia melindungi, tetapi tidak ada
yang dapat dilindungi dari (azab)-Nya, jika kamu mengetahui?" (Q.S.
al-Mukminun: 88)
Adapun pengesaan Allah dalam hal kepengurusan dan
pengaturan, artinya keyakinan manusia bahwa tidak ada yang mampu
mengurusi kecuali Allah SWT, sebagaimana firman-Nya:
“Katakanlah: "Siapakah yang memberi rezki kepadamu
dari langit dan bumi, atau siapakah yang Kuasa (menciptakan)
pendengaran dan penglihatan, dan siapakah yang mengeluarkan yang
hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang mati dari yang
hidup[689] dan siapakah yang mengatur segala urusan?" Maka
mereka akan menjawab: "Allah". Maka Katakanlah "Mangapa kamu
tidak bertakwa kepada-Nya)?" Maka (Zat yang demikian) Itulah Allah
Tuhan kamu yang sebenarnya; Maka tidak ada sesudah kebenaran itu,
melainkan kesesatan. Maka Bagaimanakah kamu dipalingkan (dari
kebenaran)?” (Q.S. Yunus: 31-32)8
b. Tauhid Uluhiyah
Tauhid ini biasa juga disebut tauhid ibadah karena dua
pertimbangan: Pertama, karena penisbatannya kepada Allah, yang
disebut tauhid uluhiyah. Kedua, karena penisbatannya kepada makhluk,
yang disebut tauhid ibadah. Adapun maksud pengesaan Allah dalam hal
ibadah ialah meyakini yang berhak diibadahi hanya Allah SWT.
Firman-Nya:
8 Syaikh Muhammad Al-Utsaimin, op.cit.., h. xviii-xiv
16
“Demikianlah, karena Sesungguhnya Allah, Dia-lah yang
hak dan Sesungguhnya apa saja yang mereka seru selain dari Allah
Itulah yang batil; dan Sesungguhnya Allah Dialah yang Maha Tinggi
lagi Maha besar.” (Q.S. Luqman: 30)9
c. Tauhid Asma’ dan Sifat
Artinya pengesaaan Allah Azza wa Jalla dengan asma dan sifat
yang menjadi milik-Nya. Hal ini mencakup dua hal:
1) Penetapan. Artinya kita harus menetapkan seluruh asma’ dan sifat
bagi Allah, sebagaimana yang Dia tetapkan bagi diri-Nya dalam
kitab-Nya atau sunnah Nabi-Nya.
2) Penafian permisalan, bahwa kita tidak menjadikan sesuatu yang
semisal dengan Allah dalam asma’ dan sifat-Nya, sebagaimana
firman-Nya:
...
“...Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah
yang Maha mendengar dan melihat.” (Q.S. asy-Syura: 11)10
3. Manfaat dan Tujuan Tauhid
Tauhid tidak hanya sekedar diketahui dan dimiliki oleh seseorang,
tetapi lebih dari itu, ia harus dihayati dengan mendalam oleh setiap diri
manusia. Apabila tauhid telah dimiliki, dimengerti, dan dipahami dengan
baik dan benar, kesadaran seseorang akan tugas dan kewajibannya sebagai
hamba Allah akan muncul dengan sendirinya. Hal ini akan nampak dalam
ibadat, tingkah laku, sikap, perbuatan, dan perkataannya setiap hari. Kalau
tauhid hanya diketahui, tapi tidak dimiliki dan dihayati, ia hanya akan
melahirkan keahlian dalam seluk beluk ketuhanan, namun tidak
berpengaruh apa-apa terhadap dirinya.
9 Ibid., h. xxi
10
Ibid, h. xviii-xxiii
17
Dengan demikian, maksud dan tujuan tauhid bukanlah sekedar
mengaku bertuhan saja, tetapi lebih dari itu, sebab tauhid mengandung
sifat-sifat:
a. Sebagai motivator dalam berbuat kebajikan dan keutamaan.
b. Membimbing manusia ke jalan yang benar, sekaligus mendorong
mereka untuk mengerjakan ibadat dengan penuh keikhlasan.
c. Mengeluarkan jiwa manusia dari kegelapan, kekacauan dan
kegoncangan hidup.
d. Mengantarkan umat manusia kepada kesempurnaan lahir dan batin.11
Dengan demikian apabia tauhid tertanam kuat dalam jiwa
seseorang, ia akan menjadi suatu kekuatan batin yang tangguh bagi orang
tersebut. Kekuatan tersebut akan melahirkan sikap positif dalam menjalani
kehidupannya sehari-hari. Membuatnya selalu optimis untuk menghadapi
masa depan, tidak takut terhadap apapun dan siapapun kecuali Tuhan,
selalu senang dan gembira karena hanya berharap kepada Tuhan, dan
yakin Tuhan selalu bersamanya dalam segala hal, rajin dalam
melaksanakan ibadah dan perbuatan baik, dan sikap-sikap positif lainnya,
tidak hanya bermanfaat bagi dirinya sendiri, tapi juga bagi orang lain.12
B. Pendidikan Islam
1. Pengertian Pendidikan Islam
Istilah pendidikan dalam konteks Islam, pada umumnya mengacu
kepada term al-trabiyah, al-ta‟dib, dan al-ta‟lim. Dari ketiga istilah
tersebut term yang paling sering digunakan dalam praktek pendidikan
Islam adalah term al-tarbiyah. Sedangkan term al-ta‟dib, dan al-ta‟lim
jarang sekali digunakan. Padahal kedua istilah tersebut telah digunakan
sejak awal pertumbuhan pendidikan Islam.13
11 Muhammad Yusron Asmuni, op.cit.., h. 6.
12
Ibid.,h. 7
13
Samsul Nizar, Filsafat Pendidkan Islam, (Jakarta: Ciputat Pers: 2002), Cet. ke-1, h. 25
18
Namun kendatipun demikian ketiga term tersebut memiliki
kesamaan makna. Namun secara esensial, setiap term memiliki perbedaan,
baik secara tekstual maupun kontekstual. Untuk itu, perlu dikemukakan
uraian dan analisis terhadap ketiga term pendidikan Islam tersebut dengan
beberapa argumentasi tersendiri dari beberapa pendapat para ahli
pendidikan Islam.
a. Istilah al-tarbiyah
Dalam istilah Arab, pendidikan sering dikaitkan dengan kata
tarbiyah, dan muncul sejak adanya bahasa Arab itu sendiri. Artinya
kata tarbiyah muncul sejak awal sebelum datangnya Islam. Kata
tarbiyah sendiri merupakan kata benda dari bentukan kata rabba yang
setidaknya memiliki tiga makna: membenahi dan merawat sesuatu,
menepati sesuatu dan menempatinya, dan menggabungkan sesuatu
dengan sesuatu lainnya.14
Dalam penjelasan lain, kata al-tarbiayh berasal dari tiga
kata, yaitu: Pertama, raba-yarbu yang berarti bertambah, tumbuh,
dan berkembang (Q.S. ar-Ruum/30: 39). Kedua, rabiya-yarba berarti
menjadi besar. Ketiga, rabba-yarubbu berarti memperbaiki,
menguasai urusan, menuntun dan memelihara. Kata rabb
sebagaimana yang terdapat dalam Q.S. al-Fatihah/1:2 (alhamdu li
Allahi rabb al-alamin) mempunyai kandungan makna yang
berkonotasi dengan al-tarbiyah. Sebab kata rabb (Tuhan) dan
murrabi (pendidik) berakar dari kata yang sama. Berdasarkan hal ini
maka Allah adalah pendidik yang paling agung bagi alam semesta.15
Menurut Abdurrahman al-Nahlawi yang dikutip oleh A. Fattah
Yasin, mengatakan bahwa term al-tarbiyah adalah istilah yang paling
tepat untuk mengartikan pendidikan Islam. Menurutnya makna tarbiyah
(pendidikan Islam) setidaknya mengandung empat unsur pokok.
Pertama, menjaga dan memelihara fitrah anak menjelang dewasa.
Kedua, mengembangkan seluruh potensi yang dimiliki manusia.
Ketiga,membimbing dan mengarahkan fitrah manusia tersebut menuju
14 Ahmad Sastra, Filosofi Pendidikan Islam, (Bogor: Darul Muttaqien Pers, 2014), Cet.
ke-1, h. 103
15
Syamsul Nizar, op.cit, h. 26.
19
kesempurnaan. Keempat, dilaksanakan secara berangsur-angsur atau
bertahap.16
Dengan demikian menurut al-Qur’an tersebut bahwa alam dan
manusia mempunyai sifat tumbuh dan berkembang dan yang mengatur
pertumbuhan dan perkembangan tersebut tidak lain kecuali Allah jua.
Jadi mendidik dan pendidikan pada hakikatnya adalah fungsi Tuhan,
dan mendidik adalah mengatur serta mengarahkan pertumbuhan dan
perkembangan alam dan manusia sekaligus.17
b. Istilah al-ta‟lim
Selain penggunaan istilah al-tarbiyah, istilah pendidikan dalam
Islam juga sering disebut dengan at-ta‟lim. Para ahli mengatakan bahwa
at-ta‟lim diartikan sebagai bagian kecil dari al-tarbiyah al-aq‟liyah,
yang bertujuan memperoleh ilmu pengetahuan dan keahlian berfikir,
yang sifatnya mengacu pada domain kognitif saja.18
Istilah al-ta‟lim telah digunakan sejak periode awal pelaksanaan
pendidikan Islam. Menurut para ahli, kata ini lebih bersifat universal
dibanding dengan kata al-tarbiyah maupun al-ta‟dib. Rasyid Ridha
mislanya, mengartikan al-ta‟lim sebagai proses transmisi berbagai ilmu
pengetahuan pada jiwa individu tanpa adanya batasan dan ketentuan
tertentu.19
Sedangkan menurut Abdul Fatah Jalal dalam kitab Min
Ushul al-Tarbiyah al-Islamiyah yang dikutip oleh A. Fatah Yasin
dalam bukunya, berpendapat bahwa term at-ta‟lim lah yang paling tepat
digunakan untuk mengartikan pendidikan Islam, karena memiliki
makna yang lebih universal, menurutnya al-tarbiyah hanya cocok
digunakan untuk pengasuhan anak kecil. Lebih lanjut lagi, Fattaah Jalal
menjelaskan bahwa al-ta‟lim lebih luas dari al-tarbiyah karena
16 A. Fattah Yasin, Dimensi-dimensi Pendidikan Islam, (Malang: UIN-Malang Press,
2008), Cet. ke-1, h. 22.
17
Zuhairini, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2004), Cet. ke-3, h.
121.
18
Heri Gunawan, Pendidikan Islam, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2014), Cet. ke-
1, h. 4
19
Syamsul Nizar, op.cit, h. 27.
20
Rasulullah ketika mengajarkan membaca al-Qur’an tidak hanya
mengajarkan agar dapat membacanya saja, melainkan membaca dengan
perenungan yang bersifat pemahaman.20
c. Istilah al-ta‟dib
Secara definitif, istilah al-ta‟dib bermakna pengenalan atau
pengakuan yang secara berangsur-angsur ditanamkan kepada manusia
tentang tempat-tempat yang tepat, dari segala sesuatu di dalam tatanan
penciptaan sedemikian rupa, sehingga membimbing ke arah pengenalan
dan pengakuan kekuasaan dan keagungan Tuhan di dalam tatanan
wujud dan keberadaan-Nya. Pengertian ini berdasarkan pada salah satu
hadist yang berbunyi: “Addabani Rabbi fa Ahsana Ta‟dibi”, yang bisa
diartikan “Tuhanku telah mendidikku, sehingga menjadikan baik
pendidikanku”.21
Berdasarkan batasan tersebut, maka al-ta‟dib berarti pengenalan
dan pengakuan yang secara berangsur-angsur ditanamkan kepada diri
manusia (peserta didik) tentang tempat-tempat yang tepat dari segala
sesuatu di dalam tatanan penciptaan. Dengan pendekatan ini,
pendidikan akan berfungsi sebagai pembimbing ke arah pengenalan dan
pengakuan tempat Tuhan yang tepat dalam tatanan wujud dan
kepribadian-Nya.22
Apabila pendidikan dalam Islam merupakan ekuivalensi dari term
al-ta‟dib sebagaimana dikatakan sebelumnya, maka term tersebutlah
yang paling cocok untuk digunakan sebagai istilah dalam pendidikan
Islam. Hal ini karena konsep ta‟dib-lah yang diajarkan Nabi
Muhammad SAW kepada umatnya pada waktu terdahulu. Al-Attas
mengatakan bahwa orang yang terpelajar adalah orang baik. “baik”
yang dimaksud di sini adalah adab dalam artinya menyeluruh, yang
meliputi kehidupan material dan spritual seseorang, yang berusaha
20 A. Fattah Yasin, loc.cit.
21
Heri Gunawan, op.cit, h. 6
22
Syamsul Nizar, op.cit, h. 30
21
menanamkan kualitas kebaikan yang diterimanya. Oleh karena itulah,
orang yang benar-benar terpelajar menurut prespektif Islam,
didefinisikan oleh Al-Attas dengan orang yang beradab.23
Syekh
Muhammad al-Nuqib al-Attas juga mengatakan bahwa istilah yang
paling tepat untuk menggambarkan pendidikan Islam adalah al-ta‟dib
bukan al-tarbiyah, sebab kata al-tarbiyah masih terlalu luas
cakupannya, karena di dalamnya mencakup juga pendidikan untuk
hewan, sedangkan al-ta‟dib hanya berlaku untuk manusia.24
2. Pendidikan Islam Menurut Para Ahli
Secara khusus para ilmuan Muslim mencoba mendefinisikan
mengenai terminologi pendidikan dalam prespektif Islam, yang kemudian
muncul beberapa versi, anatara lain:
a. H.M. Arifin memandang bahwa pendidikan Islam adalah “Suatu proses
sistem pendidikan yang mencakup seluruh aspek kehidupan yang
dibutuhkan oleh hamba Allah (anak didik) dengan berpedoman pada
ajaran Islam”. Lebih lanjut dikemukakan bahwa pendidikan Islam
adalah usaha dari orang dewasa (muslim) yang bertakwa, yang secara
sadar mengarahkan dan membimbing pertumbuhan serta perkembangan
fitrah (potensi dasar) anak didik melalui ajaran Islam ke arah titik
maksimal pertumbuhan dan perkembangannya.
b. Abdul Munir Mulkan, mengartikan pendidikan Islam sebagai “suatu
kegiatan insaniah, memberi atau menciptakan peluang untuk
teraktualkannya akal potensi menjadi akal aktual, atau diperolehnya
pengetahuan yang baru.
c. A. Zaki Badawi, melihat bahwa pendidikan Islam adalah organisasi
masyarakat yang memberi pengaruh aktivitasnya bagi keluarga dan
lembaga sekolah, dalam upaya mengembangkan potensi anak didik,
baik dari aspek jasmani, akal, maupun akhlak. Dengan demikian
23 Heri Gunawan, loc.cit.
24
A. Fattah Yasin, loc.cit.
22
memungkinkan anak didik dapat hidup sesuai dengan perkembangan
lingkungan di mana ia berada.25
d. Oemar Muhammad al-Syaibani mengatakan bahwa pendidikan Islam
adalah usaha untuk mengubah perilaku manusia dalam kehidupan
pribadinya atau kehidupan bermasyarakatnya melalui proses
pendidikan, dan perubahan tersebut dilandasi oleh nilai-nilai Islam.26
e. Armai Arieh mengatakan bahwa pendidikan Islam adalah sebuah proses
dalam membentuk manusia-manusia muslim yang mampu
mengembangkan potensi yang dimilikinya untuk mewujudkan dan
merealisasikan tugas dan fungsinya sebagai khalifah Allah SWT., baik
kepada Tuhannya, sesama manusia dan sesama makhluk lainnya.27
3. Tujuan Pendidikan Islam
Tujuan atau cita-cita sangat penting di dalam aktivitas pendidikan,
karena merupakan arah yang hendak dicapai. Oleh sebab itu, tujuan harus
ada sebelum melangkah atau melakukan sesuatu. Jika pendidikan
dipandang sebagai suatu proses, maka proses tersebut akan berakhir pada
tercapainya tujuan tersebut. Oleh karena itu, usaha yang tidak mempunyai
tujuan tidaklah mempunyai arti apa-apa.
Dalam proses pendidikan, tujuan pendidikan merupakan
kristalisasi nilai-nilai yang ingin diwujudkan ke dalam pribadi murid. Oleh
karena itu, rumusan tujuan pendidikan bersifat komprehensif, mencakup
semua aspek, dan terintegrasi dalam pola kepribadian yang ideal. Menurut
Sikun Pribadi dalam A. Zayadi, tujuan pendidikan merupakan masalah inti
dalam pendidikan, dan sari pati dari seluruh renungan pedagogik.28
Tujuan pendidikan yang paling sederhana adalah “memanusiakan
manusia”, atau “membantu manusia menjadi manusia”. Naquib al-Attas
menyatakan bahwa tujuan pendidikan Islam adalah “manusia yang
25 Samsul Nizar, Pengantar Dasar-Dasar pemikiran Pendidikan Islam, (Ciputat: Gaya
Media Pratama: 2001), Cet. ke-1, h. 93
26
A. Fattah Yasin, op.cit., h. 24.
27
Armai Arief, Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam, (Jakarta: Ciputat Pers,
2002), Cet. ke-1, h. 40.
28
Heri Gunawan, op.cit., h. 10.
23
baik”. Kemudian Marimba mengatakan tujuan pendidikan Islam adalah
terciptanya orang yang berkepribadian Muslim. Al-Abrasy
menghendaki tujuan (goal) akhir pendidikan Islam itu adalah
terbentuknya manusia yang berakhlak mulia. Munir Musyi mengatakan
bahwa tujuan akhir pendidikan Islam adalah manusia yang sempurna
(al-Insan al-Kamil).29
Menurut Mohammad Natsir, tujuan pendidikan Islam adalah
“Membentuk manusia yang beriman, bertakwa, berakhlak mulia, maju dan
mandiri, sehingga memiliki ketahanan rohaniah yang tinggi serta mampu
beradaptasi dengan dinamika perkembangan”.30
Sedangkan menurut pemikiran Hassan al-Banna mengenai tujuan
pendidikan Islam dapat dirumuskan sebagai berikut: (1) terciptanya
individu muslim, (2) terciptanya rumah tangga muslim, (3) terciptanya
warga Negara muslim, (4) terciptanya pemerintahan muslim, yang kokoh
akidahnya, benar ibadatnya, luas wawasannya, punya kemandirian hidup,
dan memiliki keanggunan moral.31
Dalam kaitannya dengan pendidikan Islam, perumusan tujuan
pendidikan harus berorientasi setidaknya pada empat aspek, yaitu:
a. Berorientasi pada tujuan dan tugas pokok manusia.
Manusia ada di dunia ini bukan karena kebetulan atau sia-sia. Ia
diciptakan dengan tujuan dan tugas tertentu, yaitu sebagai abd dan
khalifah fi al-ardh. Untuk itu maka tujuan pendidikan Islam harus
mampu mengantarkan manusia ke arah pencapaian tugas dan fungsi
manusia diciptakan di bumi.
b. Berorientasi pada sifat dasar manusia.
Manusia diciptakan Allah SWT. dengan dibekali dengan berbagai
macam fitrah yang memiliki kecenderungan hanif lewat tuntunan
29 Ibid, h. 10.
30
Saidan, Perbandingan Pemikiran Pendidikan Islam Antara Hasan al-Banna dan
Mohammad Natsir, (Jakarta: Kementrian Agama RI, 2011), Cet. ke-1, h. 225.
31
Ibid,h. 187.
24
agama-Nya. Untuk itu pola pendidikan harus mampu mengembangkan
fitrah insaniah sesuai dengan potensi yang dimilikinya.
c. Berorientasi pada tuntutan masyarakat dan zaman.
Tuntutan ini berupa pelestarian nilai-nilai budaya yang telah
mengakar dalam kehidupan bermasyarakat.
d. Orientasi kehidupan ideal Islami.
Dimensi ini mengandung nilai bahwa pendidikan Islam harus
mampu menyeimbangkan dan memadukan antara kehidupan dunia dan
ukhrowi. Karena keseimbangan antara kedua hal tersebut menjadi daya
tangkal terhadap pengaruh-pengaruh negatif dari berbagai gejolak
kehidupan yang menganggu ketenangan hidup manusia, baik yang
bersifat spritual, sosial, kultural, ekonomis, maupun ideologi dalam
kehidupan pribadi manusia.32
Menurut Armai Arief berdasarkan beberapa penjelasan mengenai
tujuan pendidikan Islam, dapat disimpulkan bahwa tujuan pendidikan
islam diarahkan untuk mempersiapkan anak didik dan individu serta
menumbuh kembangkan segala potensi yang dimilikinya, baik jasmani
maupun rohani, dengan pertumbuhan yang terus menerus agar dapat hidup
dan berpenghidupan sempurna, sehingga dapat menjadi manusia yang
berguna bagi dirinya sendiri dan bagi umat.33
Pada hakikatnya tujuan pendidikan Islam adalah mencerdaskan
akal dan membentuk jiwa yang Islami, sehingga akan terwujud sosok
pribadi muslim sejati yang berbekal pengetahuan dalam segala aspek
kehidupan. Rasulullah telah mendidik kaum muslimin di Mekkah dan
Madinah dengan tujuan membentuk pribadi muslim seutuhnya, yang
tercermin dari tata prilaku maupun cara berfikir. Selain mengajarkan
hukum yang berlaku dalam kehidupan Rasulullah juga mengajarkan nilai-
32 Samsul Nizar, op.cit., h. 108-109
33
Armai Arief, Reformulasi Pendidikan Islam, (Jakarta: CSRD Press, 2005), Cet. ke-1, h.
21.
25
nilai hidup yang mulia, misalnya upaya mencari keridhaan Allah
kesadaran akan harga diri, mempertanggungjawabkan kewajiban
menyampaikan dakwah kepada seluruh umat manusia.34
4. Objek Pendidikan Islam
Pendidikan Islam adalah ilmu yang berdiri sendiri dan ia
merupakan ilmu ang ilmiah. Artinya ilmu pendidikan Islam telah memiliki
persyaratan sebagai sebuah disiplin ilmu, yang memliki objek kajian dan
metodologi pengembangan ilmu. Objek kajian atau lapangan ilmu
pendidikan Islam adalah lapangan pergaulan, khususnya antara orang ke
orang, atau orang yang sudah dewasa dengan orang yang belum dewasa,
menuju kepada perkembangangan yang optimal yang tentunya sesuai
dengan ajaran agama Islam. Adapun di sini objek pendidikan Islam dapat
dibedakan menjadi dua hal, yaitu objek material dan objek formal.35
Objek material dalam pendidikan Islam adalah manusia dengan
segala komptensi yang dimiliki sebagai objek-subjek didik. Dalam
pandangan Islam adalah manusia yang sudah memiliki potensi, oleh
karena itu, manusia tersebut dapat ditumbuh kembangkan agar menjadi
manusia yang sempurna sesuai dengan ajaran Islam. Sedangkan objek
formal dalam ilmu pendidikan Islam adalah upaya normatif untuk
menumbuhkembangkan potensi manusia dengan menjadikan Islam sebagai
materi yang akan diajarkan melalui aktivitas pendidikan.36
Membicarakan pendidikan terutama pendidikan Islam, pastilah
sangat berkaitan dengan manusia, karena manusia itu sendiri yang menjadi
objek sekaligus subjek dalam pendidikan. Dalam artian bahwa segala
aktivitas pendidikan selalu berkaitan dengan proses humanizing of human
being, yaitu proses memanusiakan manusia atau upaya mengembangkan
segala potensi yang telah dimiliki manusia sehingga manusia tersebut
dapat menjadi manusia yang lebih baik.
34 Ahmad Sastra, op.cit., h. 108
35
A. Fattah Yasin, op.cit., h. 54.
36
Ibid., h. 54
26
Dalam prosesnya, pendidikan Islam mengidentifikasikan
sasarannya pada empat pengembangan fungsi manusia, yaitu:
a. Menyadarkan manusia sebagai makhluk individu, yaitu makhluk yang
hidup ditengah makhluk-makhluk lain, manusia juga harus
melaksanakan fungsi dan tanggung jawabnya, manusia akan mampu
berperan sebagai makhluk Allah yang paling utama di antara makhluk
lainnya dan memfungsikan dirinya sebagai khalifah di muka bumi.
Firman Allah menunjukan kedudukan manusia tersebut sebagai berikut:
“(ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada Malaikat:
"Sesungguhnya aku akan menciptakan manusia dari tanah. Maka
apabila telah Kusempurnakan kejadiannya dan Kutiupkan kepadanya
roh (ciptaan)Ku; Maka hendaklah kamu tersungkur dengan bersujud
kepadaNya.” (Q.S. Shaad: 71-72)
b. Menyadarkan fungsi manusia sebagai makhluk sosial. Sebagai makhluk
sosial (homo sosius) manusia harus mengadakan interelasi dan interaksi
dengan sesamanya dalam kehidupan bermasyarakat. Sebab dalam Islam
juga mengajarkan pesaudaraan, persamaan, gotong royong, dan
musyawarah sebagai upaya dalam membentuk masyarakat sebagai
kesatuan yang utuh. Prinsip bermasyarakat demikian telah dikehendaki
Allah dalam firman-Nya:
“orang-orang beriman itu Sesungguhnya bersaudara. sebab itu
damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan
takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat.” (Q.S. al-
Hujurat: 10)
27
c. Menyadarkan manusia sebagai hamba Allah SWT. manusia sebagai
homo divinans (makhluk yang berketuhanan), sikap dan watak
religiusitasnya perlu dikembangkan sedemikian rupa sehingga mampu
menjiwai dan mewarnai kehidupannya. Sebagai mana manusia
semenjak lahir telah diberikan firah untuk beragama. Firman Allah
yang menyadarkan posisi manusia sebaga hamba-Nya yang harus
beribadah kebapadanya anatara lain:
“(Yang memiliki sifat-sifat yang) demikian itu ialah Allah Tuhan
kamu; tidak ada Tuhan selain dia; Pencipta segala sesuatu, Maka
sembahlah dia; dan Dia adalah pemelihara segala sesuatu. Dia tidak
dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang Dia dapat melihat segala
yang kelihatan; dan Dialah yang Maha Halus lagi Maha mengetahui.
(Q.S. al-An’am: 102-103)37
5. Materi Pendidikan Islam
Materi pendidikan Islam terkait dengan kurikulum. Kurikulum
ialah sejumlah mata pelajaran yang harus ditempuh dan dipelajari oleh
peserta didik untuk memperoleh sejumlah pengetahuan.38
Materi
pendidikan merupakan bahan yang akan disajikan kepada peserta didik
dalam kegiatan pembelajaran di kelas. Materi pelajaran tersebut telah
ditetapkan di dalam kurikulum yang disusun bersama oleh pengambil
kebijakan satuan pendidikan dan disesuaikan dengan kurikulum nasional
dan kearifan lokal. Dengan demikian, materi pendidikan adalah semua
37 M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2003), Cet. ke-1, h. 23-
24.
38
Oemar Hamalik, Kurikulum dan Pembelajaran, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2003), Cet.
ke-4, h. 16.
28
bahan pelajaran yang disampaikan kepada peserta didik dalam suatu
sistem institusional pendidikan.39
Sumber materi pendidikan Islam adalah al-Qur’an dan hadist. Dari
kedua sumber tersebut kemudian melahirkan materi tentang ajaran Islam
yang membicarakan mengenai kepercayaan atau keyakinan (akidah)
manusia kepada Tuhan sebagai landasan spritual keagamaan. Kekuatan
keyakinan manusia terhadap Tuhan tersebut yang kemudian melahirkan
kepatuhan untuk menjalankan semua aturan (syariat) yang dibuat oleh
Tuhan dengan menggunakan perilaku atau akhlak yang baik dan benar
dalam sistem kehidupan sehari-hari. Keyakinan kepada Tuhan, syariat, dan
akhlak yang dijalankan manusia dalam sistem kehidupan telah berlangsung
sepanjang sejarah umat Islam, yang dalam hal ini dibicarakan dalam
materi sejarah Islam.40
Untuk menggambarkan ketiga wilayah hubungan tersebut, maka
tema-tema materi kajian dalam pendidikan Islam secara garis besar dapat
digambarkan ruang lingkupnya pada bagan 2.1
Bagan 2.1
39
Hamdani Ihsan dkk, Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2007), h. 133 40
A. Fattah Yasin, op.cit., h. 128.
Sumber Materi
Pendidikan Islam
Al-Qur’an dan
Hadist
Akidah Syariah:
Fiqh Ibadah
Fiqh Muamalah
Akhlak
Insan Kamil
(Pribadi Taqwa
29
6. Metode Pendidikan Islam
a. Pengertian Metode Pendidikan
Menurut bahasa metode berasal dari dua suku kata, dalam bahasa
Yunani metode berasal dari kata “meta” yang berarti “melalui” dan
“hodos” yang berarti “jalan atau cara” untuk mencapai tujuan.
Sedangkan dalam bahasa Arab metode diungkapkan dalam berbagai
kata. Terkadang menggunakan kata al-Thariqah, manhaj dan al-
Wasilah. al-Thariqah sendiri berarti jalan, manhaj berarti sistem, dan
al-Wasilah berarti perantara atau mediator. Dengan demikian ungkapan
dalam bahasa Arab yang paling tepat digunakan untuk menjelaskan
pengertian metode adalah al-Thariqah.41
Dapat dipahami bahwa
metode berarti suatu cara yang harus dilalui untuk menyajikan bahan
pelajaran agar tercapai tujuan pengajaran.42
Selanjutnya jika dikaitkan dengan proses pendidikan Islam, metode
berarti suatu prosedur yang digunakan oleh pendidik dalam
melaksanakan tugas-tugas kependidikan untuk mencapai tujuan yang
yang telah ditetapkan. Juga dapat berarti teknik yang digunakan peserta
didik untuk menguasai materi tertentu dalam proses mencari ilmu
pengetahuan.43
Munir Mulkan dalam buku “Ilmu Pendidikan Islam”
oleh Hery Noer Aly mengemukakan bahwa metode pendidikan adalah
suatu cara yang dipergunakan untuk menyampaikan atau
mentransformasikan isi atau bahan pendidikan kepada peserta didik.44
b. Macam-macam Metode Pendidikan Islam
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa metode memiliki
peran penting dalam proses pembelajaran, pemilihan metode juga
menentukan dapat tercapai atau tidaknya suatu tujuan pembelajaran
41 Nurjannah Rianie, Pendekatan dan Metode Pendidikan Islam (Sebuah Perbandingan
dalam Konsep Teori Pedidikan Islam dan Barat), Management of Education, Vol. 1, 2015, h. 107.
42
Armai Arief, op.cit., h. 40.
43
Al-Rasyidin, Syamsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Ciputat Press, 2005),
h. 66.
44
Hery Noer Aly, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), h. 250.
30
yang telah dirumuskan sebelumnya. Di antara metode-metode yang
digunakan dalam pendidikan Islam adalah sebagai berikut:
1) Metode Nasihat (Mau‟izzah)
Metode mau‟izzah adalah metode yang digunakan oleh
pendidik dalam proses pendidikan dengan cara memberi nasehat-
nasehat yang baik dan dapat digugu atau dipercaya, sehingga dapat
dijadikan pedoman oleh peserta didik untuk bekal kehidupan sehari-
hari. Islam juga merupakan agama nasehat (al-Din al-Nasihah).45
2) Metode Pembiasaan
Secara etimologi, pembiasaan mamiliki asal kata “biasa”,
dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, “biasa” memiliki arti: 1).
Lazim atau uum; 2). Seperti sedia kala; 3) Sudah menjadi hal-hal
yang tidak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari.” Dengan
ditambahkannnya prefiks “pe” dan sufiks “an” menunjukan arti
proses. Hingga kemuadia dapat diartikan bahwa pembiasaan adalah
suatu proses membuat sesuatu atau seseorang menjadi terbiasa.46
Metode ini dapat digunakan dengan cara memberikan
pengalaman yang baik untuk kemudian dapat dibiasakan sehingga
dapat tertanam dalam diri murid. Pengalaman baik tersebut harus
diciptakan oleh guru dalam setiap proses pembelajaran, misalkan
ketika ingin mengajarkan tentang solat maka murid bisa diajak
kemesjid, belajar tentang hadis diajak ke perpustakaan dengan
mencari kitab hadis dan membacanya, belajar tentang sejara Islam
maka bisa diajak ke museum atau tempat-tempat peninggalan
sejarah.47
3) Metode Keteladanan
Yakni metode yang digunakan dengen memberi contoh
keteladanan atau perilaku yang baik dengan cara dicontohkan oleh
45 A. Fattah Yasin, op.cit., h. 145.
46
Ibid., h. 110.
47
A. Fattah Yasin, op.cit., h. 145.
31
guru itu sendiri, maupun mengambil dari sifat keteladanan Nabi,
sahabat, maupun keteladanan dari para tokoh Islam.48
Abdullah Ulwan dalam buku “Ilmu Pendidikan Islam” oleh
Hery Noer Aly, mengatakan bahwa pendidik akan merasa mudah
mengkomunikasikan pesannya secara lisan. Namun, anak akan
merasa kesulitan dalam memahami pesan itu apabila ia melihat
pendidiknya tidak memberi contoh tentang pesan yang
disampaikannya.49
Dan di dalam al-Qur’an kata teladan disebut dengan kata
“uswah” dan kata “uswah” tersebut selalu digandengkan dengan
sesuatu yang positif: “hasanah” (baik) dan suasana yang
menyenangkan yaitu bertemu dengan Tuhan sekalian alam.50
Pendidikan dengan teladan berarti pendidikan dengan
memberi contoh, baik berupa tingkah laku, sifat, cara berfikri dan
sebagainya. Banyak ahli pendidikan yang berpendapat bahwa
pendidikan dengan teladan merupakan metode yang paling berhasil
guna. Hal ini karena dalam belajar, orang pada umumnya lebih
mudah menangkap yang konkrit ketimbang yang abstrak.
4) Metode Pemberian Ganjaran
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia “ganjaran” memiliki
beberapa arti, di antaranya “1). Hadiah (sebagai pembalas jasa); 2).
Hukuman; Balasan.” Dari definisi tersebut dapat kita pahami bahwa
“ganjaran” da;am bahasa Indonesia dapat berupa balasan baik
ataupun balasan buruk. Sedangkan dalam bahasa Arab “ganjaran”
diistilahkan dengan “tsawab”. Kata “tsawab” bisa juga berarti upah,
pahala dan balasan. Kata “tsawab” banyak ditemukan dalam al-
48 Ibid., h. 144-145.
49
Hery Noer Aly, op.cit., h. 178.
50
Armai Arief, op.cit., h. 117-119.
32
Qur’an, khususnya ketika membicarakan mengenai balasan yang
akan ia terima dari perbuatannya baik di dunia mapun akhirat.51
5) Metode Pemberian Hukuman
Hukuman dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, diartikan
dengan: 1). Siksa dan sebagainya yang dikenakan kepada orang yang
melanggar undang-undang dsb; keputusan yang dijatuhkan oleh
hakim; 3). Hasil atau akibat menghukum. Sedangkan dalam bahasa
Arab, “hukuman” diistilahkan dengan beberapa ungkapan di
antaranya “iqab”, “jaza” dan “uqubah”. Kata “iqab” bisa juga
berarti balasan.52
Metode hukuman adalah metode terburuk di antara metode
lainnya, namun dalam kondisi tertentu dapat pula digunakan.
Tentunya dalam memberikan hukuman ada hal-hal yang harus
diperhatikan. Hukuman adalah metode kuratif, artinya pemberian
hukuman tidak boleh dengan tujuan balas dendam, dan hukuman
sebaiknya digunakan apabila metode yang lain tidak berhasil,
sebelum diberi hukuman sebaiknya murid diberikan kesempatan
untuk memperbaiki dirinya, dan hendaknya hukuman yang diberikan
adalah hukuman yang dapat dimengerti oleh peserta didik, sehingga
ia sadar akan kesalahnnya.53
6) Metode Ceramah
Metode ceramah adalah penyampaiian sebuah meteri
menggunakan penuturan lisan kepada peserta didik. Ini sejalan
dengan definisi yang dikemukakan oleh Ramayulis yang dikutip oleh
Armai Arief bahwa metode ceramah adalah “Penerangan dan
penuturan memalui lisan oleh guru kepada murid-murid di ruangan
kelas.” Zuhairini juga menjelaskan bahwa metode ceramah adalah
51 Ibid., h. 125.
52
Ibid., h. 129.
53
Nurjannah Rianie, op.cit., h. 113.
33
suatu metode dalam pendidikan di mana cara penyampaian materi-
materi dengan cara penerangan dan penuturan secara lisan.54
7) Metode Tanya Jawab
Metode tanya jawab adalah di mana guru mengajukan
pertanyaan dan murid menjawabnya. Atau suatu metode di dalam
pendidikan di mana guru bertanya sedangkan murid menjawab
tentang materi yang ingin diperolehnya. Pengertian lain dari metode
tanya jawab adalah penyajikan bahan materi pelajaran dalam bentuk
pertanyaan oleh guru yang harus dijawab oleh murid atau bisa juga
oleh murid kepada guru.55
8) Metode Diskusi
Metode diskusi merupakan metode yang menyajikan
pelajaran melalui proses pemikiran kritis dan teliti tentang suatu
permasalahan tertentu melalui jalan bertukar pikiran, bantah
membantah dengan argumen dan memeriksa dengan teliti hubungan
yang terdapat di dalamnya, dengan cara mengurai, membandingkan
dan menarik kesimpulan. Dalam penggunaan metode diskusi ini
dapat ditemui lebih dari satu jawaban yang seluruhnya dapat
diterima kebenarannya.56
9) Metode Kisah
Metode kisah adalah suatau cara yang digunakan dalam
menyampaikan materi pelajaran dengan menuturkan secara rinci
kronologis tentang bagaimana terjadinya suatu peristiwa, baik yang
sebenarnya terjadi atau hanya rekaan saja. Metode kisah merupakan
salah satu metode yang paling mashur dan terbaik, karena kisah itu
54 Armai Arief, op.cit., h. 135-136.
55
Ibid., h. 140-141.
56
Mumtazul Fikri, Konsep Pendidikan Islam; Pendekatan Metode Pengajaran, Jurnal
Ilmiah Islam Futura, Vol. 11, 2011, h. 121.
34
dapat menyentuh jiwa jika didasari oleh ketulusan hati yang
mendalam.57
10) Metode Perumpamaan/metofora (Al-Amtsal)
Metode perumpamaan adalah metode yang digunakan oleh
pendidik dengan cara mengambil perumpamaan-perumpamaan
dalam ayat al-Qur’an untuk diketahui dan diresapi peserta didik,
sehingga peserta didik dapat mengambil pelajaran dari perumpamaan
tersebut.58
Metode ini dapat mempermudah peserta didik dalam
memahami konsep yang masih bersifat abstrak. Ini terjadi karena
perumpamaan tersebut mengambil contoh-contoh yang konkret,
seperti kelmaham Tuhan orang kafir yang digambarkan dengan
sarang laba-laba. Sarang itu lemah sekali, bahkan disentuh dengan
lidi pun dapat rusak. Metode ini juga memiliki kelebihan dapat
memberikan konsep abstrak bagi peserta didik serta dapat memberi
kesan yang mendalam. Selain itu dapat pula membawa pemahaman
rasional yang mudah dipahami, sekaligus dapat menumbuhkan daya
motivasi untuk meningkatkan imajinasi yang baik dan meninggalkan
imajinasi yang tercela.59
C. Hasil Penelitian yang Relevan
Dalam suatu penelitian, diperlukan hasil-hasil penelitian yang relevan
untuk mendukung serta memperkuat pentingnya penelitian ini dilakukan.
Penulis telah menelaah beberapa kajian atau hasil penelitian yang terkait
dengan judul “Tauhid Sebagai Dasar Pendidikan Islam (Kajian Tafsir Q.S.
Al-Baqarah: 31 dan Luqman: 12-19), yaitu sebagai berikut:
1. Jurnal “Tauhid Dasar Pengembangan Kurikulum Pendidikan Islam”
(Jurnal Al-Hikmah Vol. 8, No. 1, April 2011 ISSN 1412-5382) yang
57 Armai Arief, op.cit., h. 160
58
A. Fattah Yasin, op.cit., h. 154.
59
Sri Minarti, Ilmu Penddikan Islam (Fakta Teoritis-Filosofis dan Aplikatif-Normatif,
(Jakarta: Amzah, 2013), Cet. ke-1, h. 142.
35
ditulis oleh Mastuki HS dan Lathifatul Hasanah. Jurnal ini menerangkan
tentang tauhid sebagai dasar pengembangan kurikulum pendidikan Islam,
dalam jurnal tersebut dijelaskan bahwa dalam prespektif pandangan dunia
tauhid, kurikulum pendidikan Islam haruslah berorientasi pada
pengembangan nilai-nilai Ilahiah (teologis), alamiah (kosmologis), dan
insaniah (antropo-sosiologis. Dari kemestian tersebut, bangunan
pendidikan Islam harus dilandasi dan sekaligus hendak mengarahkan anak
didik pada tiga pola hubungan fungsional, yaitu hubungan manusia dengan
Allah (hablun min Allah, aspek teologis), hubungan manusia dengan
sesamanya (hablun min al-Nas, aspek antropo-sosiologis), dan hubungan
manusia dengan alam lingkungannya (hablun min al-Alam, aspek
kosmologis).
2. Skripsi “Konsep Tauhid Ismail Raji Al-Faruqi dan Amin Rais serta
Implikasinya Terhadap Pendidikan Agama Islam” yang ditulis oleh Siti
Rofiah mahasiswi UIN Sunan Kalijaga, fakultas ilmu tarbiyah dan
keguruan. Skripsi ini membahas mengenai pandangan kedua tokoh
tersebut mengenai tauhid dan kaitannya dengan dunia pendidikan Islam.
Serta membandingkan persamaan dan perbedaan pemikiran kedua tokoh
tersebut. Juga dijelaskan implikasi konsep tauhid hasil pemikiran Ismail
Raji Al-Faruqi dan Amin rais dalam pendidikan Islam.
3. Jurnal “Tauhid Sebagai Prinsip Ilmu Pengetahuan (Studi Analisis Ismail
Raji Al-Faruqi)” yang ditulis oleh Firda Inayah (Tafsiyah: Jurnal
Pemikiran Islam, Vol. 2, No. 1, Februari 2018, hlm. 97-121, ISSN 2549-
6905). Jurnal ini membahas konsep tauhid dalam membangun ilmu
pengetahuan yang menjadi bagian konstruksi kajian keislaman dalam
pandangan Ismail Raji al-Faruqi. Dalam jurnal tersebut menyimpulkan
bahwa tuahid secara epistemologi memiliki hubungan yang sangat erat
dengan ilmu pengetahuan.
4. Jurnal yang berjudu “Tauhid, Akhlak, dan Manusia dalam Pendidikan
Islam” oleh M. Noor Fuady (Jurnal Tarbiyah Islamiyah, Vol. 6, No. 1,
Januari 2016, ISSN: 2088-4095). Dalam jurnal ini dijelaskan bahwa
36
pendidikan Islam berfungsi membimbing dan mengarahkan manusia agar
mampu mengemban amanah dari Allah. Agar mampu mengemban amanah
dari Allah maka manusia dibekali alat-alat potensial, sehingga manusia
dapat mengetahui, memahami, dan menjalankan tugas tersebut.
5. Jurnal “Tauhid Sebagai Dasar Pendidikan Islam” yang ditulis oleh Yulinda
Aini Ulfa, mahasiswa Jurusan Pendidikan Agama Islam, Institut Agama
Islam Negeri Metro. Jurnal ini menjelaskan bahwa pendidikan Islam punya
ciri yang khas dan identitasnya sendiri yang membuatnya berbeda dengan
pendidikan pada umumnya. Pilar pendidikan Islam adalah tauhid, yang
berkaitan erat dengan fitrah manusia. Pilar-pilar tauhid dan fitrah ini akan
berkaitan satu dengan sama lainnya, dan akan membangun pendidikan
Islam yang kokoh.
Dari beberapa penelitian di atas, terdapat beberapa persamaan dan
perbedaan dengan penelitian yang penulis lakukan, yaitu:
1. Pada penelitian yang dilakukan oleh Mastuki HS dan Lathifatul Hasanah,
penelitian lebih fokus kepada pengembangan pendidikan pada aspek
kurikulum dengan berlandaskan tauhid. Berbeda dengan penelitain yang
penulis lakukan lebih terfokus pada tauhid itu sendiri sebagai prinsip
pendidikan Islam. Sedangkan persamaan dengan penelitian yang penulis
lakukan sama-sama menekankan bahwa tauhid adalah prinsip ilmu
pengetahuan.
2. Pada skripsi yang ditulis oleh Siti Rofiah yang berjudul “Konsep Tauhid
Ismail Raji Al-Faruqi dan Amin Rais serta Implikasinya Terhadap
Pendidikan Agama Islam” yang menjadi fokus pembahasannya adalah
pemikiran tokoh mengenai tauhid serta implikasinya dalam pendidikan
Islam. Sedangkan pada penelitian yang penulis lakukan, penulis lebih
fokus terhadap tauhid yang menjadi dasar epistemologi. Persamaan antara
penelitian yang penulis lakukan dengan skripsi milik Siti Rofiah tersebut
dalam pembahasannya sama-sama terdapat pembahasan mengenai tauhid
37
sebagai prinsip ilmu pengetahuan, yang dalam skripsi tersebut merupakan
hasil pemikiran dari Ismail Raji Al-Faruqi.
3. Pada jurnal yang ditulis oleh Firda Inayah yang berjudul “Tauhid Sebagai
Prinsip Ilmu Pengetahuan (Studi Analisis Ismail Raji Al-Faruqi)” yang
menjadi fokus penelitian adalah mengenai tauhid yang merupakan sesutau
yang substansial serta berimplikasi terhadap segala dimensi dalam
kehidupan manusia, termasuk pendidikan. Perbedaan dengan penelitian
yang penulis sendiri lakukan adalah, penulis lebih fokus untuk mengkaji
tauhid itu sendiri yang menjadi prinsip pendidikan maupun ilmu
pengetahuan menurut al-Qur’an.
4. Persamaan antara penelitian yang penulis lakukan dengan yang M. Noor
Fuady lakukan dalam jurnalnya adalah, keduanya sama-sama
menyinggung mengenai tauhid sebagai prinsip pendidikan Islam (konsep
fitrah), namun perbedaannya pada jurnal yang ditulis M. Noor Fuady juga
dibahas mengenai potensi-potensi yang telah dianugerahkan kepada
manusia, agar manusia mampu mengemban amanah dari Allah SWT.
5. Persamaan anatara jurnal yang ditulis oleh Yulinda Aini Ulfa dengan
penelitian yang penulis sendiri lakukan adalah sama-sama membahas
mengenai tauhid sebagai prinsip pendidikan Islam, namun perbedaan
dengan penelitian yang penulis lakukan adalah, penulis mengkaji tauhid
sebagai prinsip pendidikan Islam berdasarkan al-Qur’an dengan mengkaji
tafsir dari Q.S. al-Baqarah: 31 dan an-Nahl: 12-19
38
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Objek dan Waktu Penelitian
Objek yang dibahas dalam penelitian ini adalah fokus kepada tauhid
sebagai dasar pendidikan Islam menurut al-Qur’an dengan mengkaji tafsir
Q.S. al-Baqarah: 21-22 dan an-Nahl: 12-15, bagaimana ayat tersebut
menjelaskan mengenai tauhid sebagai dasar pendidikan Islam, kemudian
tauhid apa saja yang terkandung dalam ayat tersebut, serta metode pendidikan
apa saja yang terkandung di dalamnya.
Adapun waktu pelaksanaan penelitian penulis membatasi selama enam
bulan terhitung dari bulan Juni 2019 sampai bulan Desember 2019.
B. Pendekatan dan Jenis Penelitian
Dalam penelitian ini penulis menggunakan pendekatan penelitian
kualitatif. Penelitian kualitatif adalah suatu penelitian yang ditunjukan untuk
mendeskripsikan dan menganalisa fenomena, peristiwa, aktivitas sosial,
sikap, kepercayaan, persepsi, pemikiran orang secara individual maupun
kelompok.1
Jenis penelitian yang digunakan adalah pure library research (penelitian
kepustakaan murni) yaitu mengumpulkan data atau karya tulis ilmiah yang
bertujuan dengan obyek penelitian atau pengumpulan data yang bersifat
kepustakaan. Atau telaah yang dilaksanakan untuk memecahkan suatu
masalah yang pada dasarnya tertumpu pada penelaahan kritis dan mendalam
terhadap bahan-bahan pustaka yang relevan, dengan mempelajari kitab-kitab
tafsir seperti tafsir Al-Misbah, Tafsir Ibnu Qayim, Al-Maraghi, Tafsir Al-
Qurthubi dan kitab-kitab tafsir lainnya.
1 Nana Syaodih Sukmadinata, Metode Penelitian Pendidikan, (Bandung: Remaja
Rosdakarya, 2013), Cet. ke-3, h. 60
39
C. Sumber Data
Semua sumber data berasal dari bahan-bahan tertulis yang berkaitan
dengan topik yang dibahas, Dalam penelitian ini penulis menggunakan dua
sumber data, yaitu:
1. Sumber Data Primer
Sumber data primer yang digunakan adalah al-Qur’an dan kitab-kitab
tafsir, seperti kitab Tafsir al-Azhar, Tafsir fi Zhilalil Qur’an, Tafsir al-
Wasith, Tafsir Al-Misbah, Tafsir al-Maraghi dan Tafsir Ibn Katsir.
2. Sumber Data Sekunder
Sumber data sekunder yang digunakan adalah berasal dari sumber pustaka
lain, seperti: buku-buku pendidikan Islam, jurnal ilmiah, skripsi dan lain
sebagainya yang relevan dengan pokok pembahasan.
D. Teknik Pengumpulan Data
Penelitian ini termasuk penelitian kepustakaan. Oleh karena itu teknik
yang digunakan peneliti dalam pengumpulan data adalah dengan studi
dokumentasi, yaitu mengumpulkan data literer baik dari sumber data primer
ataupun sekunder. Kemudian mengkaji bahan-bahan pustaka yang koheren
dengan objek pembahasan peneliti. Dokumen dapat berupa catatan pribadi,
catatan kasus, surat pribadi, buku harian, laporan kerja, buku teks, jurnal
ilmiah dan lain sebagainya. 2
Untuk mendapatkan data-data penelitian, penulis mengumpulkan bahan
kepustakaan dengan cara membaca, menelaah buku-buku, jurnal ilmiah dan
bahan-bahan informasi lainnya terutama yang berkaitan dengan tema
pembahasan. Penulis juga menggunakan pendekatan berfikir deduktif, yaitu
menganalisis data yang bersifat umum untuk menuju kepada kesimpulan yang
bersifat khusus
2
Sukandarrumidi, Metodologi Penelitian, (Yogyakarta: Gajah Mada University Pers,
2012), Cet. 4, h. 101.
40
E. Analisis Data
Analisis data merupakan langkah setelah proses pengumpulan data selesai
dilakukan. Analisis data merupakan bagian terpenting dalam metode ilmiah,
karena analisis data digunakan untuk memecahkan masalah penelitian. Data
mentah yang dikumpulkan tidak berguna jika tidak dianalisis. Sedangkan
menurut Imam Gunawan. “analisis data kualitatif sesungguhnya sudah
dimulai ketika peneliti mulai mengumpulkan data, dengan cara memilah
mana data yang sesungguhnya penting atau tidak. Ukuran penting atau
tidaknya mengacu pada kontribusi data tersebut pada upaya menjawab fokus
penelitian”.3
Analisis data dalam kajian pustaka (library research) ini adalah analisis
mengenai konten atas data-data yang telah dikumpulkan sebelumnya, analisi
ini bersifat mendalam dan komprehensif mengenai informasi tertulis atau
tercetak dalam sumber-sumber data seperti buku, jurnal dan sumber bacaan
lainnya yang berkaitan dengan topik pembahasan penelitian.
Karena penelitian ini merupakan penelitian tafsir, maka dalam menganalisi
data, metode yang penulis gunakan adalah metode tafsir tahlili, metode ini
adalah suatu metode tafsir yang mufassirnya berusaha menjelaskan
kandungan ayat-ayat al-Qur’an dari berbagai seginya dengan memperhatikan
runtutan ayat-ayat al-Qur’an sebagaimana tercantum dalam mushaf. Dalam
hubungan ini mufassir mulai dari ayat-ke ayat berikutnya, atau dari surat-ke
surat berikutnya dengan mengikuti urutan ayat atau surat sesuai yang
termaktub di dalam mushaf.4
Metode tafsir tahlili sampai saat ini masih relevan dan dapat digunakan
dalam penafsiran al-Qur’an sebagaimana perkembangan kehidupan manusia
secara umum. Berikut adalah beberapa langkah yang digunakan ulama
terdahulu dalam penafsiran al-Qur’an menggunakan metode tahlili; Pertama,
penjelasan makna kata dalam al-Quran. Kedua, penjelasan asbabun nuzul
3
Imam Gunawan, Metode penelitian Kualitatif Teori dan Praktik, (Jakarta: Bumi Aksara,
2013), h. 209. 4
Abudin Nata, Metodologi Studi Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004), Cet.
9, h. 219.
41
ayat (sebab turunnya ayat). Ketiga, penjelasan munasabah antar ayat dengan
surah sebelumnya. Keempat, menjelaskan i’rab ayat dan macam-macam
qira’at ayat. Kelima, menjelaskan makna umum dari ayat dan petunjuk-
petunjuknya.5
F. Prosedur Penelitian
Dalam penelitian tafsir yang menggunakan metode tafsir tahlili, ada
beberapa prosedur atau langkah-langkah yang harus diperhatikan, yaitu
sebagai berikut:
1. Menerangkan makki dan madani di awal surat. Ayat-ayat al-Qur’an yang
diturunkan ketika Nabi Muhammad masih menetap di Makkah disebut
ayat-ayat Makkiyah, sedangkan ayat-ayat yang turun sesudah Nabi
Muhammd hijrah ke Madinah dinamakan ayat-ayat Madaniyah. Hal ini
bertujuan untuk mengetahui masa dan tempat turunnya ayat al-Qur’an,
serta memberi penjelasan lebih jelas mengenai latar belekang turunnya
suatu ayat al-Qur’an, sehingga dapat memahami dan dapat menafsirkannya
lebih tepat.
2. Menjelaskan asbabun-nuzul (jika ada). Asbabun-nuzul adalah ilmu al-
Qur’an yang membahas mengenai latar belakang atau sebab-sebab suatu
atau beberapa ayat al-Qur’an diturunkan. Pada umumnya asbabun-nuzul
memudahkan para mufassir untuk menemukan tafsir dan pemahaman
mengenai suatu ayat dari balik kisah atau peristiwa yang menjadi sebab
diturunkannya ayat tertentu.
3. Menerangkan arti mufradat (kosakata), pada tahap ini penulis menjelaskaj
kosa kata yang terdapat pada Q.S. al-Baqarah: 31 dan Luqman: 12-19
dengan mengacu pada kamus-kamus bahasa Arab.
4. Menerangkan kandungan ayat secara umum dan maksudnya. Menjelaskan
makna yang terkandung dalam Q.S. al-Baqarah: 31 dan Luqman: 12-19
5 Syaeful Rokim, Mengenal Metode Tafsir Tahlili, Jurnal STAI Al-Hidayah Bogor, 2017,
h. 51.
42
dengan dibantu dari penjelasan dari ayat lain atau ilmu pendidikan lain
yang berkaitan dengan ayat tersebut. Pada tahap ini penulis berusaha
menjelaskan makna yang terkandung dalam Q.S. al-Baqarah: 31 dan
Luqman: 12-19 menggunakan literatur dari kitab-kitab tafsir juga buku-
buku penunjang, seperti buku-buku pendidikan yang membicarakan
seputar makna ayat tersebut.
5. Tahap selanjutnya yang dilakukan penulis setelah menjelaskan dan
menganalisis kandungan ayat-ayat tersebut adalah menarik kesimpulan
dari penjelasan dan analisis terhadap ayat tersebut.
42
BAB IV
TEMUAN PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Teks dan Terjemahan Q.S. Al-Baqarah: 21-22 dan Luqman: 12-15
1. Surah Al-Baqarah Ayat 21-22
“Hai manusia, sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakanmu
dan orang-orang yang sebelummu, agar kamu bertakwa. Dialah yang
menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai atap, dan
Dia menurunkan air (hujan) dari langit, lalu Dia menghasilkan dengan
hujan itu segala buah-buahan sebagai rezki untukmu; karena itu
janganlah kamu Mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah, Padahal kamu
mengetahui.” (Q.S. Al-Baqarah: 21-22)
2. Surah Luqman Ayat 12-15
43
Dan Sesungguhnya telah Kami berikan hikmat kepada Luqman,
yaitu: "Bersyukurlah kepada Allah. dan Barangsiapa yang bersyukur
(kepada Allah), maka sesungguhnya ia bersyukur untuk dirinya sendiri;
dan barang siapa yang tidak bersyukur, maka sesungguhnya Allah Maha
Kaya lagi Maha Terpuji". Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada
anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: "Hai anakku,
janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan
(Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar". Dan Kami
perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu-
bapanya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang
bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. bersyukurlah
kepadaku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah
kembalimu. Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan
dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, Maka
janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia
dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, kemudian
hanya kepada-Kulah kembalimu, maka Kuberitakan kepadamu apa yang
telah kamu kerjakan. (Q.S. Luqman: 12-15)
B. Sejarah Surah Al-Baqarah dan Surah Luqman
1. Surah al-Baqarah
Surah ini turun setelah Nabi Muhammad hijrah ke Madinah, surah
ini berjumlah 286 ayat. Begitu banyak persoalan yang dibicarakan dalam
surah ini, ini terjadi karena masyarakat Madinah yang saat itu sangat
heterogen, baik dari agama, suku dan kecenderungan. Kemudia juga ayat-
ayat dalam surat ini berbicara mengenai peristiwa-peristiwa yang terjadi
pada masa yang cukup panjang. Kalaulah peristiwa pengalihan kiblat (ayat
44
142), atau perintah berpuasa (ayat 183), dijadikan awal masa turunnya
surah ini, dan ayat 281 sebagai akhir ayat yang diterima Nabi Muhammad,
maka berarti surah al-Baqarah turun dalam kurun waktu 10 tahun. Karena
perintah pengalihan kiblat terjadi setelah sekitar 18 bulan Nabi
Muhammad Saw. berada di Madinah, sedangkan ayat terakhir turun
beberapa saat atau hari sebelum Nabi wafat, tanggal 12 rabiul Awal tahun
13 Hijriah.1
Surah ini dinamai al-Baqarah karena memiliki tema pokok yang
menguraikan ayat-ayat mengenai kisah al-Baqarah, yaitu kisah Bani Israil
dan seekor sapi, ketika itu ada seseorang yang terbunuh dan tidak
diketahui siapa pembunuhnya, kemudian timbullah saling kecurigaan di
antara masyarakat Bani Israil, bahkan mereka saling tuduh menuduh
tentang pelaku pembunuhan tanpa adanya bukti, sehingga mereka tidak
memperoleh kepastian. Mengahadapi persoalan tersebut maka mereka
meminta kepada Nabi Musa agar beliau berdoa kepada Allah agar
ditunjukan siapa pembunuhnya. Kemudian Allah memerintahkan kepada
mereka agar menyembelih seeokor sapi. Dari sini dimulailah kisah al-
Baqarah, dan akhir kisah ini adalah, mereka menyembelih sapi tersebut –
setelah dialog tentang sapi berkepanjangan- dan dengan memukulkan
bagian sapi itu kepada mayat yang terbunuh, lalu atas kuasa Allah SWT
korban hidup kembali dan memberikan kesaksian siapa yang membunuh
dirinya.2
2. Surah Luqman
Surah Luqman adalah surat yang turun sebelum Nabi Muhammad
SAW hijrah ke kota Madinah. Menurut mayoritas ulama semua ayat-
ayatnya Makkiyah. Namun ada ulama yang mengecualikan tiga ayat, yaitu
ayat 27-29 atau dua ayat yakni ayat 27-28, dengan alasan ayat ini turun
berdasar diskusi dengan orang-orang Yahudi yang saat itu banyak
1 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Vol. 1, (Ciputat: Lentera Hati, 2000), Cet. 1, h.
83.
2 Ibid., h. 83-84
45
bermukin di kota Madinah. Pendapat ini, disamping jalur sanadnya lemah,
juga kalaupun dipahami sebagai diskusi dengan orang Yahudi, tidak
tertutup kemungkinan untuk dipahaminya terjadi di Makkah, antara kaum
Muslimin dan masyarakat Makkah yang memeroleh “Pertanyaan dan
contoh keberatan” yang dapat diajukan kepada Nabi SAW, seperti kasus
pertanyaan mereka tentang Ruh di surat al-Isra‟[17]: 85.3
Penamaan surat ini dengan nama surat Luqman sangat wajar
karena nama dan nasehat beliau yang sangat menyentuh diuraikan di sini,
dan hanya disebut dalam surat ini. Tema utama dari surat ini adalah ajakan
kepada tauhid dan kepercayaan akan keniscayaan hari kiamat serta
pelaksanaan dasar-dasar agama. Sedangkan Al-Biqa‟i berpendapat bahwa
tujuan utama dari surat ini adalah membuktikan betapa al-Qur‟an
mengandung hikmah yang sangat dalam, yang mengandung kesimpulan
bahwa yang menurunkannya adalah Dia (Allah) yang Maha Bijaksana
dalah setiap firman-Nya. Dia memberi petunjuk kepada orang-orang yang
bertaqwa. Mengenai jumlah ayat dalam surat ini, ulama Makkah dan
Madinah berpendapat surat ini terdiri dari 33 ayat, sedangkan menurut
ulama Syam, Kuffah dan Bashrah surat ini terdiri dari 34 ayat. Perbedaan
tersebut sebagaimana diketahui hanya perbedaan dalam cara menghitung,
bukan berarti ada yat yang tidak diakui oleh yang menilainya hanya 33
ayat.4
C. Asbabun Nuzul
Bila dikaji dengan cermat, sebab turunnya suatau ayat al-Qur‟an itu
berkisar pada dua hal, pertama, apabila terjadi sesuatu peristiwa, lalu
turunlah ayat al-Qur‟an yang berkaitan dengan peristiwa itu. Kedua,
Rasulullah SAW ditanya mengenai sesuatu hal, maka turunlah ayat al-Qur‟an
yang menjelaskan hukumnya.5 Oleh sebab itu maka asbab an-Nuzul
3 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Vol. 10, (Ciputat: Lentera Hati, 2002), Cet. 1, h.
273.
4 Ibid., h. 273-274.
5 Syaikh Muqbil bin Hadi al-Wadi‟i, Shahih Asbabun Nuzul, (Jakarta: Pustaka As-
Sunnah, 2007), Cet. ke-1, h. 43-44.
46
didefinisikan sebagai “Sesuatu yang karenanya al-Qur‟an diturunkan, sebagai
penjelas terhadap apa yang terjadi, baik berupa peristiwa maupun
pertanyaan.6
Berdasarkan pengertian di atas penulis berusaha merujuk ke berbagai
literatur untuk mencari sebab-sebab turunnya ayat-ayat yang penulis bahas
dalam penelitian ini, yaitu:
1. Surah al-Baqarah ayat 21-22
Mengenai ayat ini penulis tidak menemukan riwayat yang cukup
kuat yang menjelaskan asbab an-Nuzul ayat tersebut.
2. Surah Luqman ayat 12-15
Surat Luqman termasuk surat Makkiyah. Demikian juga ayat 12-
15. Mengenai ayat ini tidak ditemukan riwayat yang kuat tentang asbab
an-Nuzul ayat ini, selain ayat 15 yang berbunyi:
Namun pendapat ini dibantah oleh ahli lainnya. Hanya ada orang
yang menghubungkannya dengan peristiwa Saad bin Abi Waqqas. Saad
bercerita, aku ini orang yang sangat berkhidmat kepada ibuku. Setelah aku
masuk Islam ibuku berkata:
“Apakah yang aku lihat telah terjadi pada dirimu ini? Engkau
tinggalkan agamamu ini atau aku tidak makan tidak minum sampai aku
mati, sehingga semua orang menyalahkan engkau, dikatakan orang, hai
pembunuh ibunya?” Lalu aku menjawab, “jangan engkau berbuat begitu
wahai ibuku, aku tidak akan meninggalkan agamaku ini walaupun apa
6 Syaikh Manna‟ Al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Al-Qur‟an, (Jakarta: Pustaka Al-
Kautsar, 2004), Cet. ke-13, h. 95.
47
sebabnya. Maka ia pun tidak mau makan sehari semalam. Ketika hari pagi
kelihatan ia letih ditambahnya sehari semalam lagi tidak makan dan tidak
minum, paginya ia sudah sangat letih. Lalu hari ketiga ia tidak makan dan
tidak minum pula. Paginya ia tidak dapat bangkit karena letihnya. Setelah
aku lihat keadaannya demikian, berkatalah aku. “Wahai ibuku, hendaklah
engkau ketahui kalaupun ibu mempunyai 100 nyawa, lalu nyawa itu lepas
dari tubuh ibu satu demi satu, tidaklah aku meninggalkan agamaku ini.
Kalau ibu suka lebih baik ibu makan, kalau tidak suka teruskan tidak
makan.” Demikian peristiwa Saad dan ibunya, lalu turunlah ayat 15 itu.7
D. Penjelasan Kosa Kata Inti
1. Penjelasan Kosa Kata Surah Al-Baqarah Ayat 21-22
Kata ( انىاس ياأيها ) ya ayyuha an-nas/wahai seluruh manusia,
biasanya digunakan untuk menyeru mereka yang belum beriman.
Sedangkan untuk menyeru orang yang telah beriman dipanggil dengan
ya ayyuhalladzina amanu. Sebagaimana dikuatkan juga (ياأيها انذيه امىوا)
oleh lanjutan ayat berikut yang menyatakan janganlah kamu mengadakan
sekutu-sekutu bagi Allah, padahal kamu mengetahui.8
Kemudian kata ( نعم) pada firman-Nya: (نعهكم تتقون) la‟allaum
tattaqun/agar kamu bertaqwa, ula memahami kata la‟alla memiliki arti
bahwa harapan tersebut adalah bagi mitra bicara bukan bagi pembicara,
dalam arti mendorong lawan bicara untuk menharap, atau berarti tujuan,
dan dari sini ia diartikan dengan “agar supaya”.9
Kata (فراشا) al-firaasy: hamparan untuk tempat menetap.
Maksudnya: Allah meratakan bumi agar bisa dipakai untuk bermukim dan
menjadi tempat tinggal. (بىاء) atap yang terpasang tinggi dan kokoh. (أودادا)
7 Armai Arief, Reformulasi Pendidikan Islam, (Jakarta: CSRD Press, 2005), Cet. ke-1, h.
181-182.
8 M. Quraish Shihab, Vol. 1, op.cit., h. 146.
9 Ibid., h. 147.
48
adalah bentuk jamak dari kata ( ود) yang artinya: yang setara. Yakni Tuhan-
tuhan yang serupa; kalian menyembahnya dan bukan menyembah Allah.10
2. Penjelasan Kosa Kata Surah Luqman Ayat 12-15
Luqman (نقمان): dia adalah seorang tukang kayu, berkulit hitam,
Lukman termasuk di antara penduduk Mesir yang berkulit hitam, serta ia
adalah orang yang hidup serba sederhana. Allah telah memberinya hikmah
kebijaksanaan dan kecerdikan, banyak perkataan bijak yang :(انحكمه)
berasal dari Luqman, di antaranya perkataan Luqman kepada anak
lelakinya, “Hai anakku, sesungguhnya dunia itu adalah laut yang dalam,
dan sesungguhnya banyak manusia yang tenggelam di dalamnya. Maka
jadikanlah perahumu di dunia bertakwa kepada Allah, muatannya iman
dan lautannya bertawakal kepada Allah, barangkali kau dapat selamat
(tidak tenggelam ke dalamnya) akan tetapi aku yakin kau dapat selamat.”
Asy-Syukru (انشكر): memuji kepada Allah, menjurus kepada perkara yang
hak, cinta kebaikan untuk manusia, dan mengarahkan seluruh anggota
tubuh serta semua nikmat yang diperoleh kepada ketaatan kepada-Nya.11
Al-Idzah (انعظه): mengingatkan dengan cara yang baik, hingga hati
orang yang diingatkan menjadi lunak karenanya. Al-Wahn (انوهه): lemah.
Al-Fishal (انفصال): menyapih. Jahadaka (جاحدك): keduanya menginginkan
sekali kau mengikuti keduanya dalam kekafiran. Anaba (اوب): kembali
(bertaubat).12
E. Tafsir Ayat
1. Tafsir Surah Al-Baqarah Ayat 21-22
a. Tafsir Surah Al-Baqarah ayat 21
“Wahai manusia!” (pangkal ayat 21), rata seruan kepada seluruh
manusia yang telah dapat berfikir.“Sembahlah olehmu akan Tuhanmu
10 Wahbah az-Zuhaili, Tafsir Al-Munir, Jilid 1, (Jakarta: Gema Insani, 2013), Cet. ke-1, h.
67.
11
Ahmad Mustafa Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi, Juz 19, (Tanpa penerbit, 1974), h. 78-
79
12
Ibid, h. 81
49
yang telah menciptakan kamu”, dari tidak ada, kamu telah diadakan
dan hidup di atas bumi. “Dan orang-orang yang sebelum kamu”,
artinya datang ke dunia mendapat sawah dan ladang, rumah tangga dan
pusaka yan lain dari nenek moyang sehingga yang datang kemudian
hanya melanjutkan apa yang dicencang dan dilatih oleh orang tua-tua.
Maka orang tua yang telah meninggalkan pusaka itupun Allah jualah
yang menciptakan mereka. Disuruh mengingat itu “Supaya kamu
terpelihara” (ujung ayat 21), disuruh kamu mengingat itu agar insaf
akan kedudukanmu dalam bumi ini. Dengan mengingat diri dan
mengingat kejadin nenek moyang bersambung ingatannya yang
sekarang dengan zaman lampau, supaya kelak diwariskan lagi kepada
anak-anak cucu, supaya terpelihara dan memelihara diri dan
kemanusiaan.13
Seruan kepada semua manusia ini adalah untuk beribadah kepada
Tuhan yang telah menciptakan mereka dan orang-orang sebelum
mereka. Tuhan yang sendirian dalam menciptakan, karena itu wajiblah
ia ditunggalkan dalam beribadah. Dan ibadah itu memiliki tujuan yang
harus mereka capai dan mereka wujudkan, yaitu “Agar kamu
bertaqwa.”14
b. Tafsir Surah Al-Baqarah ayat 22
“Dialah yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan
langit sebagai atap, dan Dia menurunkan air (hujan) dari langit, lalu
Dia menghasilkan dengan hujan itu segala buah-buahan sebagai rezki
untukmu...”
Alam semesta ini, buminya dihamparkan bagi manusia dan
langitnya dibangun dengan teratur; serta dialirkannya air untuk
menumbuhkan tumbuhan-tumbuhan dan menghasilkan buah-buahan
13 Abdul Malik Abdul Karim Amrullah, Tafsir Al-Azhar, (Juzu‟ 1), (Jakarta: PT Pustaka
Panjimas: 1948), h. 139-140.
14
Sayyid Quthb, Tafsir fi Zhilalil Qur‟an, Jilid 1, (Jakarta: Gema Insani Press, 2000), h.
77.
50
sebagai rezeki bagi manusia ini. Seluruh karunia ini adalah kepunyaan
Yang Maha Pencipta lagi Maha Esa.15
“Karena itu janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi
Allah, padahal kamu mengetahui.”
Padahal, kamu mengetahui bahwa Dialah yang menciptakan kamu
dan orang-orang sebelummu. Kamu mengetahui bahwa Dialah yang
telah menjadikan bumi sebagai hamparan untukmu dan langit-langit
sebagai atap, dan yang menurunkan air dari langit. Dan kamu pun tahu
bahwa tidak ada sekutu bagi-Nya. Maka, mempersekutukan-Nya
sesudah mengetahui semua ini adalah tindakan yang sangat tidak layak
dan tidak etis.16
Tentulah jika kita gunakan fikiran kita, kita akan mengetahui
bahwa Yang Maha Kuasa hanyalah diri-Nya, hanya Dia yang
menyedikan bumi untukmu, yang menurunkan hujan, menumbuhka dan
menghasilkan buah-buahan untuk makananmu hanya Dia sendiri-Nya.
Sebab itu tidaklah pantas bagi kamu buatkan untuk Dia sekutu yang
lain. Padahal kamu sendiri merasa bahwa tidak ada yang berkuasa
selain-Nya. Yang lain hanyalah yang kamu buat-buat saja.17
2. Tafsir Surah Luqman Ayat 12-15
a. Tafsir Surah Luqman Ayat 12
“Dan Sesungguhnya telah Kami berikan hikmat kepada Luqman,
Yaitu: "Bersyukurlah kepada Allah. dan Barangsiapa yang bersyukur
(kepada Allah), Maka Sesungguhnya ia bersyukur untuk dirinya
15 Ibid, h. 79.
16
Ibid, h. 79.
17
Abdul Malik Abdul Karim Amrullah, op.cit., h. 140.
51
sendiri; dan Barangsiapa yang tidak bersyukur, Maka Sesungguhnya
Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji".
“Dan sesungguhnya telah Kami karuniakan kepada Luqman Al-
Hikmah.” (pangkal ayat 12). Adalah tepat sekali bila ayat 12
menerangkan bahwa Luqman mendapatkan hikmat dari Allah SWT
sesudah pada ayat 11 diterangkan bahwa orang-orang yang zalim
senantiasa dalam kesesatan yang nyata. Kemudian datanglah ayat 12 ini
yang menerangkan bahwa Allah mengaruniakan hikmat kepada
Luqman yang oleh sebab itu maka ia terhindar dari kesesatan yang
nyata. Hamka juga mengutip pernyataan Ar-Razi dalam tafsirnya
bahwa hikmat itu ialah “Sesuai antara perbuatan dengan ilmu
pengetahuan.”18
Dalam tafsir Ibnu Katsir dijelaskan maksud dari
hikmah dalam ayat ini adalah pemahaman yang mendalam, ilmu yang
luas dan cara pengungkapan yang bagus.19
Luqman yang dipilih oleh al-Qur‟an untuk memaparkan melalui
lisannya mengenai perkara tauhid dan perkara akhirat ini, memiliki
bermacam-macam riwayat berbeda yang menjelaskan mengenai siapa
dirinya. Ada yang mengatakan bahwa Luqman adalah seorang nabi,
namun ada juga yang mengatakan bahwa ia hanya seorang hamba yang
shaleh bukan seorang nabi, dan mayoritas ulama mendukung pendapat
ini. Terlepas dari pendapat-pendapat yang mengutarakan siapa Luqman
tersebut, al-Qur‟an telah menetapkan bahwa dia adalah seorang yang
diberi hikmah dan kebijaksanaan oleh Allah, yaitu hikmah yang
mengandung dan menuntut kesyukuran kepada Allah.20
Maka tiap-tiap orang yang telah dikarunia taufiq oleh Allah
sehingga sesuailah perbuatannya dengan pengetahuannya atau amalnya
dengan ilmunya, orang-orang itulah yang benar-benar telah mendapat
18 Abdul Malik Abdul Karim Amrullah, Tafsir Al-Azhar, Juzu‟ 21, (Jakarta: PT Pustaka
Panjimas: 1948), h. 126-127.
19
Syaikh Shafiyyurrahman Al-Mubarakfuri, Shahih Tafsir Ibnu Katsir, (Jakarta: Pustaka
Ibnu Katsir, 2017), Cet. ke-12, h. 149.
20
Sayyid Quthb, Tafsir Fi Zhilalil Qur‟an, Jilid 17, (Jakarta: Gema Insani Press, 2004),
h. 261.
52
karunia hikmat dari Allah. Namun sebaliknya walaupun ada orang yang
sungguh-sungguh dalam bekerja tapi ia tidak memiliki ilmu mengenai
apa yang ia kerjakan, maka sia-sialah seluruh pekerjaannya. Dan ada
juga orang yang memiliki pengetahuan banyak, paham akan segala teori
tapi ia berdiam diri saja, tidak ada yang ia lakukan, maka orang lainlah
yang akan mendapatkan hasil bukan dirinya.21
Maka di dalam ayat ini diterangkanlah bahwa Luqman telah
mendapat hikmat itu, ia telah sanggup mengerjakan suatu amalan
dengan tuntunan ilmu-ilmunya sendiri. “Bahwa bersyukurlah
kepada Allah!” inilah puncak hikmat yang didapati oleh Luqman.
Dia sudah berpengetahuan, baik karena berpengalaman atau karena
berguru kepada orang lain bahwasanya nikmat Allah meliputi
seluruh kehidupanya. Sebab itu tidak ada jalan lain, yaitu bersyukur
kepada Allah.22
Hikmah yang diberikan Allah kepada Luqman, yaitu ilmu yang
bermanfaat dan penerapannya. Tuntutan hikmah; bersyukurlah kepada
Allah dengan baik, atas segala nikmat dan karunia yang telah diberikan-
Nya. Karena barang siapa yang bersyukur kepada Allah SWT, sejatinya
ia bersyukur untuk dirinya sendiri, artinya meraih manfaat dan pahala
untuk dirinya sendiri, selamat dari siksa. Namun barang siapa yang
mengingkari nikmat yang Allah berikan, lalu menyekutukan-Nya
dengan yang lain, dan mendurhakai perintah-perintah-Nya, sejatinya ia
memperlakukan dirinya sendiri dengan tidak baik, tidak membahayakan
siapapun selain dirinya sendiri, karena Allah Maha Kaya, tidak
memerlukan hamba dan syukur yang mereka haturkan, ketaatan seorang
hamba tidak membawa guna bagi-Nya, dan kedurhakaan seorang
hamba tidak membawa bahaya bagi-Nya23
b. Tafsir Surah Luqman Ayat 13
“Dan ingatlah tatkala Luqman berkata kepada puteranya, di kala
dia mengajarinya.” (pangkal ayat 13). Yaitu bahwasanya inti hikmat
21 Abdul Malik Abdul Karim Amrullah, Op.cit., h 127.
22
Ibid, h. 127.
23
Wahbah Az-Zuhaili, Tafsir Al-Wasith, Jilid 3, (Jakarta: Gema Insani, 2013), Cet. ke-1,
h. 101.
53
yang tekah Allah karuniakan kepada Luqman telah disampaikan dan
diajarkan kepada anaknya, sebagai pedoman utama dalam kehidupan.
“Wahai anakku! Janganlah engkau persekutukan dengan Allah”
artinya janganlah engkau mempersekutukan sesuatu hal apapun dengan
Allah. Karena yang selain Tuhan hanyalah alam belaka, ciptaan Tuhan
belaka. Dan tidaklah Allah itu bersekutu dengan siapapun dalam
menciptakan alam ini. “Sesungguhnya mempersekutukan Allah adalah
benar-benar kedzaliman yang besar” (ujung ayat 13).24
Sesungguhnya nasihat seperti ini tidak bersifat menggurui dan
mengandung tuduhan. Karena orang tua tidak menginginkan bagi
anaknya melainkan kebaikan, dan orang tua hanya menjadi penasihat
bagi anaknya. Dalam ayat ini Luqman melarang anaknya untuk
melakukan perbuatan syirik, dan Luqman memberikan alasannya atas
larangan tersebut bahwa perbuatan syirik adalah benar-benar
kedzaliman yang besar. Pernyataan Luqman tersebut dikuatkan dengan
dua penekanan. Pertama, dengan mengawalinya dengan larangan
berbuat syirik dan alasannya. Dan yang kedua, dengan huruf inna
„sesungguhnya‟ dan huruf la „benar-benar‟.25
c. Tafsir Surah Luqman Ayat 14
Di sela-sela wasiat dan nasihat Luqman, terdapat dua ayat yang
berasal dari Allah, berdasarkan pendapat yang rajih ini merupakan
perkataan Allah, bukan perkataan Luqman. Yang pertama adalah ayat
ke-13 ini.26
“Dan kami wasiatkan kepada manusia terhadap kedua ibu-
bapaknya.” (pangkal ayat 14). Wasiat jika datangnya dari Allah
sifatnya ialah perintah. Tegasnya ialah bahwa Allah memerintahkan
manusia agar mereka menghormati dan memuliakan kedua ibu
bapaknya. Sebab melalui jalan ibu bapaknya itulah mereka dilahirkan
24 Abdul Malik Abdul Karim Amrullah, op.cit. h. 127-128.
25
Sayyid Quthb, op.cit, h. 262
26
Wahbah Az-Zuhaili, op.cit., h. 102
54
ke dunia. Sebab itu maka sudah sewajibnya kita menghormati ibu dan
bapak. 27
Wasiat bagi anak agar berbakti kepada kedua orang tuanya muncul
berulang-ulang di dalam al-Qur‟an. Namun wasiat untuk orang tua
terhadap anaknya sangat sedikit. Kalaupun ada, kebanyakan muncul
dalam tema kasih sayang. Karena fitrah kasih sayang yang dimiliki itu
sendiri yang telah menjamin pengasuhan orang tua terhadap anak-
anaknya. Jadi, fitrah tersebut selalu mendorong seseorang agar
mengasuh generasi baru yan tumbuh untuk menjamin penerusan
kehidupan manusia di bumi ini sebagaimana yang dikehendaki oleh
Allah. 28
Sesungguhnya orang tua pasti mengeluarkan segalanya bagi anak-
anaknya. Jadi, fitrah saja sudah cukup sebagai wasiat bagi orang tua
untuk menjamin kehidupan anak-anaknya, tanpa perlu lagi wasiat-
wasiat lain. Sedangkan seorang anak membutuhkan wasiat yang
berulang-ulang agar mengingat generasi yang telah berkorban demi
dirinya. Dan seorang anak tidak akan mungkin mampu membalas budi
kedua orang tuanya, walaupun anak tersebut mewakafkan seluruh
umurnya untuk berbakti kepada kedua orang tuanya. Inilah gambaran
yang mengisyaratkan itu,
“...ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang
bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun...”29
Ayat ini begitu menggambarkan nuansa pengorbanan yang begitu
agung dan dahsyat yang dilakukan orang tua terhadap anaknya. Dari
sela-sela gambaran nuansa pengorbanan inilah al-Qur‟an mengarahkan
agar bersyukur kepada Allah sebagai pemberi nikmat yang pertama.
Kemudia berterima kasih kepada kedua orang tua yang menjadi sarana
disampaikannya nikmat itu. Dalam hal ini al-Qur‟an menggambarkan
27 Abdul Malik Abdul Karim Amrullah, op.cit., h. 128
28
Sayyid Quthb, loc.cit.
29
Ibid., h. 262.
55
urutan-urutan kewajiban. Jadi bersyukur kepada Allah dahulu, baru
kemudia berterima kasih kepada kedua orang tua.
“...bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu
bapakmu...”30
Kemudian di akhir diperingatkanlah kemana akhir perjalanan ini;
“Kepada-Kulah tempatmu kembali.” Yaitu lambat atau cepat ibu bapak
akan dipanggil oleh Tuhan, dan anak-anak yang ditinggalkan akan
bertugas pula mendirikan rumah tangga, mencari teman pasangan hidup
dan beranak cucu; untuk semuanya akhirnya pulang juga kepada
Tuhan.31
d. Tafsir Surah Luqman Ayat 15
Ikatan antara anak dan kedua orang tuanya adalah ikatan yang
penuh dengan segala kasih sayang dan segala kemuliaan, namun ikatan
tersebut tetap dalam urutan setelah ikatan akidah. Jadi sisa wasiat
kepada anak dalam hubungannya kepada kedua orang tua adalah: “Jika
keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu
yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu
mengikuti keduanya.”32
Apabila suatu waktu seorang anak yang sangat setia kepada kedua
orang tuanya didesak, dikerasi atau bahkan dipaksa oleh orang tuanya
untuk mengubah pendirian yang telah diyakininya, bahkan orang tua
tersebut justru mengajak agar menukar ilmu dengan kebodohan,
menukar tauhid dengan kesyirikan, tegas-tegas dalam ayat ini Tuhan
memberikan pedoman: “Maka janganlah kamu mengikuti keduanya.”33
Allah memutuskan bahwa berbakti kepada kedua orang tua bukan
dalam lingkup kekafiran dan kemaksiatan, karena taat kepada orang tua
buka berarti boleh melakukan dosa besar atau meninggalkan kewajiban.
30 Ibi.d, h. 262.
31
Abdul Malik Abdul Karim Amrullah, op.cit., h. 129
32
Sayyid kutub, op.cit., h. 264.
33
Abdul Malik Abdul Karim Amrullah, op.cit., h. 130.
56
Taat kepada kedua orang tua harus berada dalam hal-hal mubah, dan
dianjurkan untuk meninggalkan ibadah-ibadah yang dianjurkan, seperti
turut serta dalam jihad fadhu kifaiyah, memenuhi panggilan ibu saat
sholat (sunnah) bila dimungkinkan bisa diulang dan dikhawatirkan ibu
celaka atau semacamnya yang diperbolehkan meninggalkan sholat.34
Hingga apabila orang tua menyentuh titik syirik ini, maka gugurlah
kewajiban anak untuk patuh kepada kedua orang tuanya, karena ikatan
akidah harus mengalahkan dan mendominasi segala ikatan lainnya.
Walaupun kedua orang tua telah mengeluarkan segala upaya, usaha dan
tenaganya untuk menggoda anaknya agar menyekutukan Allah, maka
pada saat itu anak diperintahkan untuk tidak taat. Dan perintah itu
datangnya dari Allah sebagai Pemilik hak pertama dalam ketaatan.35
Namun perbedaan akidah dan perintah dari Allah agar tidak taat
kepada orang tua dalam perkara yang melanggar akidah, tidaklah
menjatuhkan kewajiban anak agar tetap bermuamalah dengan baik
dengan kedua orang tuanya. “Pergaulilah keduanya di dunia dengan
baik.” Karena wisata dunia ini hanyalah sementara di mana ia tidak
mempengaruhi apa-apa terhadap hakikat yang pokok dan murni.36
“Dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku,” Yaitu,
orang-orang yang beriman. “Kemudian hanya kepada-kulah
kembalimu,” Setelah wisata kehidupan di dunia ini yang terbatas.
“Maka Kuberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan,” Bagi
masing-masing terdapat balasan amalnya baik berupa kekufuran
maupun kesyukuran, dan kemusyrikan ataupun tauhid.37
34 Wahbah Az-Zuhaili, op.cit., h. 102.
35
Sayyid kutub, op.cit., h. 265.
36
Ibid., h. 265
37
Ibid., h. 265
57
F. Tauhid Sebagai Dasar Pendidikan Islam yang Terkandung dalam Q.S.
Al-Baqarah: 21-22 dan Luqman: 12-15
Pendidikan Islam merupakan suatu hal yang dipentingkan bagi umat
Islam, karena melalui pendidikan Islam, seorang muslim dapat terbentuk
jiwanya untuk menjadi pribadi yang mulia, bertaqwa kepada Allah dan
berakhlakul karimah. Melalui pendidikan Islam dapat menghantarkan
seseorang untuk mengarahkan segala pikiran manusia, perilaku dan tindakan,
serta emosinya berdasarkan ajaran Islam dengan maksud untuk meralisasikan
tujuan ajaran Islam dalam seluruh aspek kehidupan yang diarahkan untuk
mengabdi sepenuhnya kepada Allah SWT.
Islam telah menyajikan seluruh pemikiran ini dalam tatanan konsepsi yang
indah dan saling berkaitan. Islam juga telah menyajikan akidah-akidah yang
wajib dipercayai oleh manusia untuk dapat menggerakan berbagai perasaan di
dalam jiwanya. Tatanan tersebut mengatur segala spek kehidupan manusia,
tatanan tersebut berdasarkan al-Qur‟an yang menjadi pedoman utama dan
pertama bagi umat Islam. Di dalam al-Qur‟an dijelaskan bagaimana hukum-
hukum dalam berhubungan sesama manusia (muamalah), menjelaskan tata
cara bagaimana manusia menjalankan seluruh peraturan dalam hubungannya
dengan Dzat Yang Maha Pencipta (ibadah), serta dijelaskan pula bagaimana
keyakinan yang benar dan kuat agar manusia tidak menyekutukan Dzat Yang
Maha Esa (aqidah).38
1. Tauhid Sebagai Dasar Pendidikan Islam dalam Q.S. Al-Baqarah: 21-22
Pada ayat 21 dalam surat ini telah jelas disampaikan ajaran tauhid
yaitu melalui perintah untk menyembah hanya kepada Allah Yang Maha
Pencipta, tidak ada yang berhak disembah selain diri-Nya, yang telah
menciptakan manusia dan orang-orang sebelumnya.
Lalu pada ayat 22 menyuruh kita untuk berfikir dan merenungkan,
diikuti dengan merasakan. Bukankah kehidupan kita sangat bergantung
pada pertalian langit dengan bumi lantaran hujan? Adanya gunung-gunung
38 Nurul Hidayat, Konsep Pendidikan Islam Menurut Q.S Luqman: 12-19, Jurnal
Ta‟allum, Vol. 2, No. 2, 2019, 2016, h. 360.
58
dan kayu-kayuan, yang menghambat air hujan itu agar tidak tumpah
percuma saja ke laut, tetapi tertahan-tahan dan menimbulkan sungai-
sungai. Setengahnya terpendam ke dalam bumi sebagai persediaan air.
Pertalian antara langit dengan bumi dengan adanya air hujan itu teratur
dengan sangat rapinya, sehingga kehidupan kita di atas bumi menjadi
terjamin.39
Ayat ini memerintahkan kepada manusia untuk berfikir dan
merenungkan, bahwasanya semua itu ada yang menciptakan; itulah Allah.
Tak mungkin ada kekuasaan lain yang dapat membuat aturan setertib dan
seteratur itu. Oleh sebeb itu maka datanglah ujung ayat yang mengatakan
tidaklah patut bagi kita menyembah Tuhan yang lain, selain Allah. Karena
kamu sudah mengetahui yang menghamparkan bumi dan membangun
langit, lalu menurunkan hujan itu, tidak dicampuri oleh kekuasaan yang
lain.40
Maka jelaslah penjelasan dalam ayat ini bahwa nilai ketauhidanlah
yang menjadi dasar dalam setiap pemikiran manusia. Jika kita berfikir
akan segala sesuatu maka akan sampai pada suatu titik kesimpulan bahwa
sesuatu itu ada karena kuasa Allah, paradigma ini menyatakan bahwa
tauhid wajib dijadikan landasan dalam setiap pemikiran (qaidah fikriyah)
bagi seluruh bangunan ilmu pengatahuan. Ini bukan berarti tauhid menjadi
sumber segala ilmu pengetahuan, melainkan menjadikan tauhid sebagai
standar bagi segala ilmu pengetahuan. Bila sudah seperti itu maka segala
aspek dalam kehidupan kita akan selalu dihiasi dengan nilai-nilai
ketahuhidan, terutama dalam pendidikan.
2. Tauhid Sebagai Dasar Pendidikan Islam dalam Q.S. Luqman: 12-15
Allah telah memperingatkan kepada Rasulullah SAW melalui
kisah nasihat Luqman yang pernah diberikan kepada anaknya, ketika ia
memberikan pelajaran, nasihat itu adalah: “Wahai anakku, janganlah
39 Abdul Malik Abdul Karim Amrullah (Juzu 1), op.cit., 140-141
40
Ibid., h. 141.
59
engkau mempersekutukan sesuatu dengan Allah, sesungguhnya
mempersekutukan Allah adalah kedzaliman yang besar.”
Mempersekutukan Allah dikatakan kedzaliman yang besar karena
hal itu berarti menempatkan sesuatu tidak pada tempatnya, yaitu
menyamakan sesuatu mampu melimpahkan nikmat dan karunia dengan
sesuatu yang tidak dapat melimpahkan nikmat dan karunia. Dalam hal ini
menyamakan Allah Sang Maha Pemberi Nikmat dengan sesembahan
berhala yang tidak dapat mendatangkan manfaat apa-apa. Dikatakan
kedzaliman yang besar karena menyamakan Allah Sang Maha Pencipta
dan Penguasa alam semesta, yang seharusnya hanya kepada-Nya semua
makhluk hidup menyembah dan mengabdi.41
Berdasarkan ayat al-Qur‟an di atas maka dapat dipahami bahwa
tauhid merupakan ajaran yang sangat esensial dalam al-Qur‟an. Selain itu
tauhid adalah misi risalah terpenting yang telah diajarkan oleh para nabi
dan rasul sebelum Nabi Muhammad, karena tauhid atau mengesakan
Tuhan adalah ajaran universal yang juga diajarkan oleh semua agama
samawi. Kisah Luqman yang memberikan nasihat kepada anaknya agar
tidak mempersekutukan Allah dengan sesuatu apapun merupakan prinsip
tauhid dalam suatu pendidikan, sehingga Allah mengingatkan Nabi
Muhamammda melalui kisah Luqman tersebut. Hal ini pun sejalan dengan
fitrah manusia ketika dilahirkan, bahwa setiap anak lahir atas fitrah aqidah
tauhid, dan condong terfitrah kepada mengenal penciptanya, yang
mengadakan sesuatu dari tidak ada menjadi ada, tidak menyekutukan-Nya
dan tidak menyembah kepada selain-Nya. Akan tetapi lingkungan yang
merubah dan menyelewengkan manusia dari fitrah aslinya. 42
Al-Ghazali mengatakan bahwa akidah tauhid seharusnya diajarkan
sedini mungkin kepada anak-anak pada masa pertumbuhannya. Supaya
dihafal dengan baik, dan kemudian berangsur-angsur ia memahami apa
41 Bustami A. Gani dkk, Al-Qur‟an dan Tafsirnya, (Yogyakarta: PT Dana Bhakti Wakaf
UII, 1990), h. 634.
42
A. Fattah Yasin, Dimensi-dimensi Pendidikan Islam, (Malang: UIN Malang Press,
2008), h. 121.
60
yang dihafalnya itu. Setelah dipahami dan dimengerti, akidah tauhid
tersebut diyakini dan dipercayai.43
Pembinaan keimanan ini merupakan hal yang mendasar dan
fundamental dalam pendidikan Islam, karena dari keimanan inilah
berpangkalnya segala peribadatan. Makin tebal kadar keimaman seseorang
makin baik kualitas ibadahnya. Ibadat yang menjadi manifestasi iman
seseorang itu bertujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah, agar dengan
demikian roh manusia selalu diingatkan dengan hal-hal yang lagi suci.,
sehingga akhirnya rasa kesucian seseorang menjadi kuat dan tajam. Roh
suci yang akan membawa kepada akhlak yang mulia.44
Masalah pendidikan tauhid atau keimanan ini telah diperioritaskan
dalam pendidikan Islam untuk upaya pembentukan kepribadian muslim,
sebagaimana diilustrasikan berturut-turut dalam Q.S. Luqman (31): 12-15.
Seperti pada ayat 13, dalam ayat ini Luqman memberikan pendidikan dan
pengajaran kepada anaknya berupa aqidah yang mantap, agar tidak
menyekutukan Allah, itulah akidah tauhid, karena tidak ada Tuhan selain
Allah, dan yang selain Allah adalah makhluk.
Ayat ini mendidik manusia bahwa keyakinan pertama dan utama
yang perlu ditanamkan dan diresapkan kepada anak (peserta didik) adalah
tauhid. Kewajiban ini terpikul di pundak orang tua sebagai pendidik awal
dalam pendidikan informal. Demikian juga yang harus dilaksanakan oleh
pendidikan formal dan non formal. Tujuannya agar anak (peserta didik)
terbebas dari perbudakan materi dan duniawi, sehingga keyakinannya
mantap dan aqidahnya kokoh. 45
Salah satu usaha untuk menanamkan dan menguatkan jiwa tauhid
adalah melalui pendidikan, namun pendidikan itu pun harus memiliki
dasar tauhid. Pendidikan dengan tauhid sebagai dasar utama akan memberi
43 Abu Hamid Muhammad Al-Ghazali, Ihya „Ulum al-Din, Jilid 1, (semarang: Toha
Putra), h. 93.
44
Harun Nasution, Manusia menurut Konsep Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1991), h.
71.
45
Armai Arief, Reformulasi Pendidikan Islam, (Jakarta: CRSD Press, 2005), h. 188-189.
61
nilai tambah terhadap manusia dan menumbuhkan kepercayaan pada
dirinya serta mempunyai pegangan hidup yang benar. Sedangkan bagi
orang yang tidak menjadikan tauhid sebagai pegangan hidupnya, maka ia
seakan orang yang kehilangan tempat berpijak, hidupnya akan terombang-
ambing, tidak memiliki arah tujuan yang jelas. Keimanan akan menjadikan
pemiliknya mampu mengendalikan hawa nafsu, dan menempatkan pada
ketentuan-ketentuan Allah dan Rasul, tempat memulangkan segala
persoalan yang diperselisihkan.46
Pendidikan haruslah berdasarkan kepada tauhid, sebab tauhid yang
menjadi dasar pijakan dalam segala aspek kehidupan, termasuk
pendidikan. Dasar tauhid ini mencakup konsep filosofis maupun
metodologis yang terstruktur dan koheren terhadap pemahaman kita
terhadap dunia dan seluruh aspek kehidupan. Dengan dasar tauhid dalam
pendidikan menjadikan pendidikan mampu mengarahkan manusia kepada
fitrah aslinya, menjaga dan membimbing manusia dari fitrah yang salah.
Lebih dari itu dengan dasar tauhid dalam pendidikan dapat
menuntut para pendidik untuk mempunyai pandangan yang menyeluruh
dan tujuan yang sejati terhadap pendidikan dan kehidupan itu sendiri. Oleh
karena itu konsep tauhid harus menjadi landasan tentang bagaimana kita
mendidik anak, termasuk (1) apa yang diajarkan (isi), (2) bagaimana kita
mengorganisir dan apa yang harus diajarkan, (3) bagaimana kita
mengajarkannya. Akhirnya tauhid haruslah membentuk fondasi pemikiran,
metodologi, dan praktik pendidikan kita.47
46 A. Susanto, Pemikiran Pendidikan Islam, (Jakarta: Amzah, 2009), h. 100.
47
M. Zainudin, Paradigma Pendidikan Terpadu, (Malang: UIN Malang Press, 2008), h.
109.
62
G. Macam-macam Tauhid yang Terkandung dalam Q.S. Al-Baqarah: 21-22
dan Luqman: 12-15
1. Tauhid yang Terkandung dalam Q.S. Al-Baqarah: 21-22
Bila kita cermati pada ayat 21 kita disuruh menyembah kepada
Allah, itulah tauhid uluhiyah; penyatuan tempat menyembah. Kemudian
dijelaskan pula pada ayat ini bahwa Allahlah yang telah menjadikan kita
dan nenek moyang kita, Dia tidak bersekutu dengan siapapun dalam hal
penciptaan, Dia Maha Pencipta, dan kita harus mengimani Allah dalam hal
penciptaannya, hal seperti inilah yang menjadi implementasi tauhid yang
bersifat rububiyah.48
Kemudian pada ayat 22 ditegaskan sekali lagi mengenai tauhid
rububiyah, yaitu Dia yang menjadikan bumi sebagai hamparan,
menjadikan langit sebagai bangunan dan Dia yang menurunkan hujan,
sehingga tumbuhlah tumbuh-tumbuhan untuk rezeki bagi kamu. Ini adalah
bentuk nilai-nilai ketauhidan rububiyah. Kemudian pada ujung ayat 21
dikatakan “Janganlah menyekutukan Allah dengan yang lain” perintah
tersebut adalah perintah untuk melaksanakan tauhid uluhiyah.49
2. Tauhid yang Terkandung dalam Q.S. Luqman: 12-15
Secara harfiah surat Luqman mempunyai makna dasar dalam
agama Islam, yakni Luqman sebagaimana diceritakan dalam al-Qur‟an
telah banyak mengajarkan (menasehati) kepada anaknya tentang nilai-nilai
ketauhidan, yang mana nasehat-nasehat itu pada intinya bukanlah untuk
anaknya saja, melainkan ditujukan kepada seluruh umat pada umumnya.
Sehingga dari sini dapat dikatakan bahwa pengajaran tentang nilai-nilai
ketauhidan yang dilakukan Luqman kepada anaknya itu juga tidak berbeda
jauh dengan pengajaran tauhid (mengenalkan prinsip tauhid terlebih
dahulu sebelum yang lainnya) yang telah dilakukan oleh Nabi Muhammad
SAW kepada umatnya, begitu juga nabi-nabi sebelumnya. Esensi yang
48 Abdul Malik Abdul Karim Amrullah (Juzu 1), op.cit.,h. 141.
49
Ibid., h. 141
63
sama itu adalah meng-Esa-kan Tuhan dan menyembah-Nya, inilah yang
disebut tauhid.
Akan tetapi ketika seseorang bertauhid tidaklah cukup diucapkan
dengan lisan saja, melainkan dari sikap dan perilaku kehidupannya sehari-
hari, sebagaimana digambarkan pada surah Luqman ayat 12-15, yaitu:
dalam ayat 12 Allah berfirman ( أن اشكر لل)“Bersyukurlah kepada Allah...”
perintah bersyukur hanya kepada Allah merupakan penetapan tauhid
uluhiyah.
Kata syukur sendiri terambil dari kata syakara yang maknanya
berkisar antara lain pada pujian atas kebaikan serta penuhnya sesuatu.
Syukur manusia kepada Allah dimulai dengan menyadari dari lubuk
hatinya yang paling dalam betapa besar nikmat dan anugerah-Nya disertai
dengan ketundukan hanya kepadanya.50
Penetapan mengenai tauhid uluhiyah ini juga kembali ditekankan
Allah pada ayat ke 13-15. Pada ayat 13 yaitu, melalui nasihat Luqman
kepada anaknya agart tidak mempersekutukan Allah dengan sesuatu
apapun, kemudian pada ayat ke 14 melalui perintah untuk bersyukur
kepada Allah dan selanjutnya kepada kedua orang tua, kemudian
dilanjutkan pada ayat ke 15 yang menjelaskan sekalipun kedua orang tua
memaksa untuk mempersekutukan Allah (apalagi hanya salah satunya,
lebih-lebih kalau orang lain) maka kita harus tetap berpegang teguh pada
akidah tauhid kita. Ini semua merupakan bentuk implementasi nilai
ketauhidan yang bersifat uluhiyah.
Lalu pada ujung ayat 12 dikatakan (إن لل غىي حميد) “Sesunguhnya
Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji.” Menurut Imam al-Ghazali yang
dikutip oleh Quraish Shihab, Allah yang bersifat Ghaniyy adalah “Dia
yang tidak mempunyai hubungan dengan selain-Nya, tidak dalam zat-Nya
tidak pula dalam sifat-Nya, bahkan Dia Maha Suci dari segala macam
50 M. Quraish Shihab, op.cit., h. 292
64
hubungan ketergantungan.51
Keyakinan kita pada kekhususan sifat-sifat
yang hanya dimiliki Allah ini merupakan penetapan tauhid asma dan sifat.
H. Materi Pendidikan Tauhid dalam Q.S. Al-Baqarah: 21-22 dan Luqman:
12-15
1. Materi Pendidikan Tauhid dalam Q.S. Al-Baqarah: 21-22
Apabila kita cermati surat al-Baqarah ayat 21-22 ini, terdapat
materi pendidikan yang coba disampaikan kepada manusia, melalui
metode pendidikan yang telah dijelaskan pada pembahasan sebelumnya,
berdasarkan analisis penulis, materi pendidikan yang terkandung dalam
kedua ayat ini adalah:
a. Adanya Wujud Allah
Bila kita perhatikan alam semesta ini, maka kita akan mendapatkan
adanya penrsesuaian dengan kehidupan manusia dan makhluk lain.
persesuaian ini bukanlah suatu kebetulan, melainkan menunjukan
adanya penciptaan yang rapi dan teratur yang berdasarkan ilmu dan
kebijaksanaan. Sebagaimana siang dan malam, matahari dan bulan,
empat musim, hewan dan tumbuhan serta hujan. Hal ini menampakkan
kebijaksanaan Tuhan.
Dengan memperhatikan penciptaan manusia, hewan dan lainnya,
menunjukan bahwa makhluk-makhluk tersebut tidak mungkin ada
dalam wujud dengan sendirinya. Hal ini menunjukan adanya sang
pencipta yang menghendaki adanya segala sesuatu tersebut, yaitu Allah
azza wa jalla Zat Yang Maha Pencipta.
Dalam surah al-Baqarah ayat 21 dijelaskan bahwa Allah adalah
Sang Pencipta, yang menciptakan manusia dan orang-orang
sebelumnya, hal ini terdapat dalam kalimat “Sembahlah Tuhanmu yang
telah menciptakanmu dan orang-orang yang sebelummu.” Kemudian
pada ayat 22 juga dijelaskan bahwa Allah lah yang telah menciptakan
51 Ibid., h. 264
65
dan menjadikan bumi sebagai hamparan tempat manusia berpijak dan
langit sebagai atapnya. Lalu Allah juga yang menurunkan hujan, dan
dengan air hujan tersebut tumbuhlah beraneka ragam buah-buahan. Hal
ini terdapat dalam kalimat “Dialah yang menjadikan bumi sebagai
hamparan bagimu dan langit sebagai atap, dan Dia menurunkan air
(hujan) dari langit, lalu Dia menghasilkan dengan hujan itu segala
buah-buahan sebagai rezki untukmu.”
Maka jelaslah dari uraian di atas bahwa untuk meyakinkan adanya
Tuhan (wujud Allah), akal pikiran hendaknya di arahkan pada
fenomena alam, bahwa segala sesuatu yang ada di muka bumi ini ada
wujudnya karena ada Allah yang menciptakan, dan segala sesuatu yang
terjadi dibumi ini pula terjadi karena ada Allah yang mengatur dengan
sangat teratur.
b. Perintah untuk Menyembah Kepada Allah
Dengan bertauhid, seorang Muslim tidak hanya dituntut untuk
mengakui keesaan Allah Swt. secara lisan, tetapi juga membuktikan
keimanannya lewat amal perbuatan. Hal ini sejalan dengan tujuan
diciptakannya manusia di muka bumi seperti yang ditegaskan dalam al-
Qur‟an, “Dan, tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia, melainkan untuk
beribadah kepada-Ku.” (Q.S. adz-Dzariyat: 56)
Ayat 21 dari surat al-Baqarah merupakan seruan kepada manusia
untuk memeluk agama tauhid, yaitu dengan menghambakan diri hanya
kepada Allah Swt., Tuhan satu-satunya, tunduk serta mengikhlaskan
diri kepada-Nya. Hal ini terdapat dalam kalimat “Hai manusia,
sembahlah Tuhanmu.” Kemudian pada ayat selanjutnya mereka
diingatkan bahwa Allah-lah yang telah mencipta, mengatur urusan
dengan sunnah-Nya serta menganugerahi mereka hidayah dan jalan
untuk ber-taqarrub. Maka dari itu tidak ada yang layak dan pantas
66
disembah selain Dia. Sebab menyekutukan-Nya hany akan
mendatangkan azab dan kehancuran.52
2. Materi Pendidikan Tauhid dalam Q.S. Luqman: 12-15
Apabila kita melihat beberapa nasehat Luqman kepada anaknya
yang terdapat dalam surah Luqman ayat 12-15, terdapat beberapa materi
pendidikan tauhid yang terkandung di dalamnya, yang mana Luqman
berusaha mengajarkan anaknya akan ke-Esaan dan kebesaran Allah.
Berikut beberapa materi pendidikan tauhid dalam surah Luqman ayat 12-
15 yang telah penulis analisis:
a. Larangan Menyekutukan Allah
Allah adalah Tuhan Yang Maha Agung, Tuhan yang memberikan
berbagai nikmat kepada makhluk-Nya. Segala kebutuhan yang
dibutuhkan manusia untuk hidup di bumi ini telah Allah penuhi. Tidak
hanya itu, bahkan Allah jugalah yang mengatur segala macam
kenikmatan yang akan diberikan kepada manusia. Oleh karena itu, kita
sebagai makhluk yang telah dimanjakan oleh segala macam kenikmatan
yang Allah berikan, tidaklah sepatutnya kita menyekutukan Allah.
Apabila seseorang menyekutukan Allah maka sesungguhnya ia telah
melakukan kedzaliman yang besar, karena tidak ada yang mampu
memberikan nikmat di seluruh alam jagat raya ini, kecuali Allah azza
wa jalla.
Di dalam surah Luqman ayat 13, nasehat yang disampaikan
Luqman benar-benar menekankan dengan keras larangan
menyekutukan Allah, hal ini terlihat dari nasehat Luqman yang
disampaikan kepada anaknya, “Hai anakku sayang!, janganlah engkau
menyekutukan Allah, sesungguhnya menyekutukan Allah adalah
kedzaliman yang amat besar.”
Ayat ini juga mengisyaratkan begitu pentingnya memberikan
nasehat kepada anak, terutama nasehat yang dilakukan oleh orang tua
52 Inong Satriadi, Tujuan Penciptaan Manusia dan Nilai Edukasinya (Kajian Tafsir
Tematis), Jurnal Ta‟dib, Vol. 12, 2009, h. 35.
67
sendiri supaya anak-anaknya menjadi anak yang sholeh yang dicintai
Allah. Hal ini dicontohkan oleh Luqman ketika menasehati anaknya
dengan lemah lembut, yaitu ketika Luqman menasehati anaknya untuk
menghindari syirik.
Syirik adalah menyamakan selain Allah dengan Allah dalam hal-
hal yang seharusnya ditujukan khusus untuk Allah, seperti berdoa
meminta kepada selain Allah. Atau, memalingkan suatu ibadah tertentu
seperti dzabh (penyembelihan qurban), ber-nadzar, doa dan lain
sebagainya kepada selain Allah. Barangsiapa yang beribadah kepada
selain Allah berarti ia telah meletakkan ibadah tidak pada tempatnya
dan memberikannya kepada yang tidak berhak menerimanya.53
Jika diperhatikan secara mendalam ayat ini mengandung nilai
pendidikan yang sangat baik, ini terlihat pada penggunaan kata-kata
Luqman ketika memberikan nasehat. Walaupun nasehatnya
mengandung penekanan yang sangat keras agar tidak menyekutukan
Allah, akan tetapi Luqman tetap menggunakan kata ya bunayya, yang
menurut Quraish Shihab adalah panggilan mesra untuk memanggil
seorang anak. Hal ini membuktikan bahwa ayat tersebut
mengisyaratkan kepada kita agar bersikap lemah lembut dalam
memberikan pelajaran kepada anak atau peserta didik, walaupun materi
pelajaran yang disampaikan mengandung pesan yang keras atau
mengandung peringatan dan ancaman. Peringatan syirik ini
mengandung ancaman yang keras karena memang hal ini tidak boleh
dilakukan oleh makhluk yang telah diberi nikmat oelh Allah.
Hal ini terlihat pada ayat 13 di atas, huruf la nahy pada kata la
tusyrik billah dijadikan Tuhan sebagai bentuk pencegahan terhadap
tindakan syirik, dalam ilmu Ushul Fiqih termasuk memberikan makna li
tahdid (bentuk larangan secara keras).54
Dengan demikian ayat tersebut
mengandung pesan Allah yang sangat keras agar manusia tidak
53 Shalih bin Fauzan Al-Fauzan, Kitab Tauhid, (Solo: Ummul Qura, 2012), h. 329.
54
Abdul Hamid Hakim, Al-Bayan, Juz III, (Jakarta: Sa‟adiyah Putra, 1991), h. 31.
68
melakukan kesyirikan karena tindakan tersebut adalah tindakan
kedzholiman yang amat besar, sehingga apabila masih saja dilakukan,
Allah akan memalingkan wajah-Nya dari pelaku syirik, dan dosanya
pun tidak terampuni.
Allah tidak akan mengampuni orang musyrik yang mati di atas
kesyirikannya. Allah Ta‟ala berfirman:55
...
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia
mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang
dikehendaki-Nya...” (Q.S. an-Nisa: 48)
Selain itu, syurga juga diharamkan atas orang musyrik. Allah
Ta‟ala berfirman:56
“Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan)
Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya surga, dan
tempatnya ialah neraka, tidaklah ada bagi orang-orang zalim itu
seorang penolongpun.” (Q.S. al-Maidah: 72)
Kita sudah mengetahui betapa orang yang syirik itu amat dibenci
oleh Allah SWT. bahkan dosanya pun tidak terampuni. Maka dari itu
meteri pendidikan mengenai larangan menyekutukan Allah sangatlah
penting ditanamkan sejak dini kepada anak ataupun peserta didik, agar
mereka dijauhkan dari tindakan yang sangat tercela tersebut.
b. Meyakini Adanya Tempat Kembali (Hari Pembalasan)
Dunia ini hanyalah tempat singgah kita sementara, masih ada
kehidupan yang kekal setelah kita meninggalkan dunia ini, yakni
akhirat. Akhirat adalah tempat kita sesungguhnya, di sana kita tidak
55 Shalih bin Fauzan Al-Fauzan, op.cit., h. 330.
56
Ibid., h. 330.
69
akan pernah mati, di sana adalah tempat kembali kita yang
sesungguhnya, di sana kita akan mempertanggung jawabkan segala
sesuatu yang telah kita perbuat selama di dunia.
Sesungguhnya manusia yang berkeyakinan bahwa “kehidupan
dunia” ini merupakan kehidupan yang sesungguhnya, maka hal itu
adalah keyakinan yang salah seandainya ia mengerti hakikat hidup
tentulah ia mengerti dengan sempurna bahwa kehidupan di “akhirat”
adalah kehidupan yang sebenarnya. Dalam hal ini Allah Ta‟ala
berfirman:57
“Dan Sesungguhnya akhirat Itulah yang sebenarnya
kehidupan, kalau mereka mengetahui.” (Q.S. al-Ankabut: 64)
Surat Luqman sudah banyak mengingatkan tentan adanya hari
pembalasan, diantaranya pada ayat 14 dan 15. Peringatan ini tergambar
dalam ungkapan “Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada kedua orang
tuamu. Hanya kepada Aku kembalimu” pada ayat 14, dan ungkapan
“Kemudian hanya kepada-Ku tempat kembalimu, maka akan Aku
beritahukan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan” pada akhir ayat
15. Semua ayat ini menggambarkan bahwa akan ada hari pembalasan di
mana kita semua akan kembali kepada Rabb kita di akhirat sana. Pada
ayat 14 dan 15 ini Luqman mengingatkan adanya tempat kembali, ini
menitik beratkan agar kita sebagai orang tua atau pendidik untuk
mengenalkan anak-anak didik kita akan adanya hari pembalasan, agar
mereka menjaga perilakunya sesuai perintah Allah, mengingat bahwa
segala perbuatan mereka akan dimintai pertanggung jawaban di
hadapan Allah.
Jika kita perhatikan kedua ayat tersebut, mengandung nilai
pendidikan untuk meyakini adanya tempat kembali. Dan kedua ayat
57 Abdurrazak Naufal, Hidup di Alam Akhirat, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 1992), Cet. 1, h.
116.
70
tersebut menggunakan awalan nasehat untuk meninggalkan perbuatan
yang buruk ataupun memerintahkan untuk melaksanakan amal yang
baik. hal ini menandakan bahwa tujuan dari penanaman keyakinan
bahwa adanya tempat kembali yakni untuk mencegah seseorang
melakukan suatu yang dzholim (amal tercela). Sungguh Allah sangat
adil, selain menciptakan dan menyediakan segala kebutuhan, Allah juga
memberikan peta kehidupan berupa al-Qur‟an agar manusia tidak
tersesat dalam menjalani kehidupan di dunia.
c. Mengutamakan Allah
Mengutamakan Allah dalam segala hal adalah suatu kewajiban
yang harus kita laksanakan dalam kehidupan di dunia. Karena berkat
rahmat dan kasih sayang-Nyalah kita dapt hidup dengan damai dan
tentram. Dalam mengutamakan Allah dalam segala hal telah al-Qur‟an
jelaskan pada surah Luqman pada ayat 15. Bahwasanya kita harus
mengutamakan Allah lebih dari segala hal apapun, termasuk melebihi
orang yang dekat dan sayang dengan kita, yakni kedua orang tua kita.
Pada ayat 15 ini kita dilarang mengikuti perintah kedua orang tua
apabila keduanya mengajakmu untuk mempersekutukan Allah.
Betapa pentingnya materi mengenai mengutamakan Allah ini bagi
kita semua, sampai-sampai sekalipun orang tua memaksa kita untuk
mempersekutukan Allah, kita dilarang untuk mengikuti ajakan tersebut.
Hal ini dibuktikan dengan kata jahadaka yang menurut Quraish Shihab
menandakan adanya upaya sungguh-sungguh dalam mengajak kepada
kemusyrikan atau ada sebuah ancaman yang terselip di dalam
ajakannya.58
Hal ini menandakan bahwa upaya sungguh-sungguh dalam
mengajak kemusyrikanpun harus ditolak mentah-mentah, apalagi hanya
sekedar himbauan atau ajakan.
58 M. Quraish Shihab, Vol. 10, op.cit., h. 303.
71
I. Metode Pendidikan yang Digunakan dalam Q.S. Al-Baqarah: 21-22 dan
Luqman: 12-15
1. Metode Pendidikan dalam Q.S. Al-Baqarah Ayat 21-22
Adapun analisis penulis dalam metode pendidikan yang
terkandung dalam surah al-Baqarah ayat 21-22 mengenai metode yang
digunakan adalah metode cermah. Di mana Allah sebagai murabbi atau
pendidik, memberikan pengetahuan kepada manusia sebagai peserta didik
dengan penjelasan mengenai ilmu tersebut melalui perantara penuturan
oleh lisan.
Hal ini sejalan dengan definisi yang dikemukakan oleh Ramayulis
yang dikutip oleh Armai Arief bahwa metode ceramah adalah “Penerangan
dan penuturan memalui lisan oleh guru kepada murid-murid di ruangan
kelas.” Zuhairini juga menjelaskan bahwa metode ceramah adalah suatu
metode dalam pendidikan di mana cara penyampaian materi-materi dengan
cara penerangan dan penuturan secara lisan.59
Penyampaian materi dalam ayat 21 tergambarkan melalui seruan
yang disampaikan untuk menyembah Allah yang telah menciptakan
manusia dan orang-orang sebelumnya, kemudian pada ayat 22 diajarkan
pula kepada manusia bahwa Allah lah yang telah menjadikan bumi sebagai
hamparan dan langit sebagai atap, kemudian disampaikan pula bahwa
Allah lah yang menurunkan air hujan, dan sebab air hujan itu pula
tumbuhlah segala jenis buah-buahan, sebagai rezeki untuk manusia. Allahu
a‟lam.
2. Metode Pendidikan dalam Q.S. Luqman Ayat 12-15
Adapun analisis penulis dalam metode-metode pendidikan yang
digunakan Luqman al-Hakim ketika mendidik anaknya adalah
menggunakan nasehat (mau‟izzah), targhib wa tarhib, diaolog (hiwar),
keteladanan, pembiasaan dan perumpamaan.
59 Armai Arief, op.cit., h. 135-136.
72
a. Metode Nasihat (Mau‟izzah)
Mau‟izzah adalah nasihat bijaksana yang dapat diterima oleh
pikiran dan perasaaan orang yang menerimanya. Mau‟izzah sering
diartikan sebagai nasihat yang disajikan dengan cara yang dapat
menyentuh kalbu.
Di dalam kamus Al-Muhith terdapat kata “wa‟azhahu, ya‟izhhu,
wa‟zhan, wa‟izhah, wamau‟izhah” yang berarti mengingatkannya
terhadap sesuatu yang dapat meluluhkan hatinya dan sesuatu itu dapat
berupa pahala maupun siksa, sehingga ia dapat ingat.60
Nasihat Luqman al-Hakim merupakan metode pendidikan yang
mampu menggugah perasaan dan hati, serta dilakukan secara terus
menerus. Secara eksplisit, metode yang diterapkan Luqman sesuai
dengan perkembangan kejiwaan peserta didik. Karena nasihat
memberikan implikasi psikologis terhadap perkembangan pendidikan
anak. Nasihat selalu dibutuhkan oleh jiwa karena memberikan
ketenangan hati, apalagi bila nasihat itu timbul dari hati yang ikhlas dan
jiwa yang suci. Luqman memberikan nasihat kepada anaknya dengan
penuh kasih sayangdan rasa cinta seorang ayah, oleh karena itu Luqman
mengulang-ulang katanya dengan “Hai anakku”. 61
Nasihat dimaksudkan untuk mengajak orang yang diberi nasihat
untuk menjauhkan diri dari bahaya dan membimbingnya ke jalan yang
bahagia dan berfaedah baginya. Suatu pertanda nasihat yang baik
adalah yang diberi nasihat tidak sekedar mementingkan maslahat bagi
dirinya yang bersifat duniawi, tetapi ia juga mementingkan terhadap
orang lain. Oleh karena itu, pendidik yang memberikan nasihat
hendaknya bersih dari sikap riya dan bersih dari anggapan orang bahwa
perbuatannya itu memiliki maksud lain dari yang disampaikan.62
60 Abdurrahman An-Nahlawi, Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah dan Masyarakat,
(Jakarta: Gema Insani Press, 1995), Cet. ke-1, h. 289.
61
Abd. Basir, Model Pendidikan Keluarga Qur‟ani Studi Surah Ali Imran dan Luqman,
(Banjarmasin: IAIN Antasari Press, 2015), h. 177-178.
62
Abdurrahman An-Nahlawi, op.cit., h. 290
73
Nasihat dalam Islam memiliki peran yang penting, karena dapat
menciptakan terciptanya kesejahteraan, ketentraman dan keberkahan
dalam masyarakat. Memberikan nasihat dapat memantapkan ikatan
persaudaraan di antara umat Islam, terlebih jika nasihat itu diberikan
hanya karena Allah Swt. dan muncul karena kasih sayang dan
memberikan gambaran bahwa pemberi nasihat memberi perhatian besar
agar saudaranya mendapatkan kebaikan dari nasehat tersebut.
Dalam ayat 13 dalam surah Luqman dapat dipahami bahwa
Luqman al-Hakim sebagai orang tua sedang memberi nasihat kepada
anaknya agar tidak menyekutukan Allah. Hal ini mengindikasikan
bahwa salah satu kewajiban orang tua terhadap anaknya adalah
mengajarkan nilai-nilai tauhid dan mencegah atau menjauhkan anaknya
dari kemusyrikan.
b. Targhib wa Tarhiib
Metode targhib dan tarhiib sama dengan pemberian motivasi dan
intimidasi, atau pemberian ganjaran/hadiah bagi yang melaksanakan
kebaikan dan siksaan/hukuman bagi yang melakukan
kejahatan/kesalahan. Secara psikologis dalam diri manusia memiliki
potensi kepada kecenderungan berbuat kebaikan dan keburukan. Oleh
karena itu pendidikan Islam berupaya semaksimal mungkin
menjauhkan manusia dari perbuatan buruk dengan berbagai aspeknya.
Jadi tabiat baik harus dikembangkan dengan memberikan imbalan,
penguatan dan dorongan. Sementara tabiat buruk harus dicegah dan
dibatasi ruang geraknya.
Model Pendidikan Islam ini didasarkan atas perkara yang memang
telah Allah ciptakan dalam diri manusia, yaitu kecintaan terhadap
kelezatan, kenikmatan, kemewahan, kehidupan yang lestari, serta
ketakutan terhadap kepedihan, kecelakaan dan tempat kembali yang
buruk.63
63 Abd. Basir, op.cit., h. 295
74
Keberadaan hukuman dan ganjaran diakaui dalam Islam, dan
digunakan dalam rangka membina umat manusia melalui kegiatan
pendidikan. Hukuman dan ganjaran ini diberikan kepada sasaran
pembinaan yang lebih bersifat khusus. Hukuman untuk orang yang
melanggar dan berbuat jahat, sedangkan pahala untuk orang yang patuh
dan menunjukan perbuatan baik.64
Konteksnya dengan pendidikan yang diberikan Luqman al-Hakim
ketika mendidik anaknya, Luqman di samping menggunakan metode
nasihat juga menerapkan metode targhib dan tarhiib. Hal ini bisa
dibuktikan dari ayat-ayat yang diungkapkan Allah SWT, tentang
Luqman. Seperti ketika Luqman memberikan nasihat kepada anaknya
dengan mengatakan “Janganlah kamu berbuat syirik, karena syirik itu
suatu kezaliman yang besar.” Begitu juga ketika Luqman mengatakan,
“bersyukurlah kepada Allah, barangsiapa yang bersyukur, maka
sesungguhnya ia bersyukur untuk dirinya sendiri.” Ayat ini memberikan
sebuah penjelasan tentang reward bersyukur, di mana reward tersebut
akan bermanfaat bagi diri sendiri. Kemudia pada ayat 15 Allah
memerintahkan untuk megikuti jalan orang yang kembali kepada Allah.
Reward yang diberikan , Allah memberitakan apa yang telah dikerjakan
oleh individu. Artinya Allah membalas perbuatan yang baik dengan
yang baik pula. Waallu a‟lam.
Metode targhib dan tarhiib sebenarnya sangat berguna dalam
rangka menanamkan nilai-nilai keimanan kepada anak. Apabila
keimanan telah menjadi nilai dalam kehidupan seorang anak, maka
pada akhirnya akan berimplikasi kepada amal shaleh dan akhlak yang
mulia.
c. Dialog (Hiwar)
Seperti yang diungkapkan oleh Abd al-Rahman al-Nakhlawy yang
dikutip oleh Sri Minarti dalam bukunya, metode dialog dalam bahasa
64 Abudin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), h. 105.
75
Arab dikenal dengan istilah al-hiwar, yaitu percakapan antara dua pihak
atau lebih mengenai suatu topik tertentu dan dengan sengaja diarahkan
kepada suatu tujuan yang dikehendaki oleh pendidik. Dalam
percakapan itu, bahan pembicaraan tidak dibatasi yang dapat
diaplikasikan ke berbagai bidang, seperti sains, filsafat, seni dan
agama.65
Komunikasi efektif antara Luqman dan anaknya, mengisyaratkan
bahwa seorang pendidik agar tidak menempatkan peserta didik sebagai
objek pendidikan saja. Kalau hanya sekedar dijadikan objek pendidikan
saja, maka komunikasi pendidikan hanya akan berjalan satu arah saja.
Seorang pendidik mesti memposisikan anak sebagai subjek pendidikan
sehingga pendidikan berjalan dua arah. Dengan demikian potensi pikir
anak dapat dikembangkan untuk lebih mendekatkan anak didik kepada
Allah SWT.
d. Keteladanan
Keteladanan dalam pendidikan merupakan metode yang sangat
efektif untuk membentuk kepribadian peserta didik, terutama pada
aspek moral, sprirtual maupun sosial. Pentingnya metode keteladanan
ini, bahwa peserta didik lebih banyak mengambil pelajaran dengan
meniru perilaku gurunya. Peniruan bersumber dari kondisi mental
seseorang yang senantiasa merasa bahwa dirinya berada dalam perasaan
yang sama dengan kelompok lain (empati) sehingga dalam peniruan ini,
anak-anak cenderung meniru orang dewasa, kaum lemah cenderung
meniru kaum kuat, serta bawahan cenderung meniru atasannya.66
Cara
ini menurutnya jauh lebih berpengaruh kepada peserta didik daripada
melalui metode nasehat dan petuah lisan.
Keteladanan dalam pendidikan menempatkan orang tua dan
pendidik sebagai contoh atau model terbaik dalam pandangan peserta
65 Sri Minarti, Ilmu Pendidikan Islam (Fakta Teoritis-Filosofis dan Aplikatif-Normatif,
(Jakarta: Amzah, 2013), Cet. ke-1, h.
66
Abdurrahman An-Nahlawi, op.cit., h. 263.
76
didik yang akan ditirunya dalam segala perilakunya, sopan santunnya,
dan semua ucapannya. Bahkan disadari atau tidak, figure seorang
pendidik tercetak atau tergambar dalam jiwa peserta didik. Sebab secara
psikologis, peserta didik memang senang meniru, tidak saja sifat-sifat
yang baik, tetapi juga sifat-sifat tercela sekalipun. Untuk menerapkan
metode teladan dengan baik seorang pendidik harus memulai lebih
dahulu untuk dirinya sendiri.67
Dengan demikian, seorang pendidik harus bisa menjadi teladan
dalam aspek kehidpan, baik perkataan dan perbuatannya bagi peserta
didik, karena pada hakikatnya akhlak yang baik dan mulia merupakan
dakwah praktis bagi anak didiknya. Karena itu, setiap gerak-gerik
pendidik harus mengandung dasar-dasar dan nilai-nilai kebaikan serta
mengajak peserta didik untuk turut melaksanakan akhlak yang baik
sebagaimana akhlak yang dicontohkan oleh Rasulullah Saw.
Secara eksplisit dalam ayat-ayat ini memang tidak ada yang
menunjukan cara Luqman mendidik dengan contoh, akan tetapi dalam
ayat 12 yang menceritakan tentang kepribadian Luqman menjadi
rujukan bahwa keteladanan dari orang tua merupakan hal pertama yang
perlu dilakukan dalam pendidikan bagi anak. Dalam ayat 12 kata
“Luqman” disertai dengan kata “hikmah”. Seperti telah dijelaskan
sebelumnya dalam tafsir ayat 12 bahwa hikmah diartikan sebagai
“mengetahui yang paling utama dari segala sesuatu, baik pengetahuan
maupun perbuatan. Sehingga dengan demikian orang yang telah
dikarunia hikmah adalah orang yang sepenuhnya yakin tentang
pengetahuan dan tindakan yang diambilnya, dengan begitu pantaslah
bahwa sosok Luqman untuk dijadikan sosok teladan.
e. Pembiasaan
Pembiasaan menurut Muhammad Quthud yang dikutip oleh Abd.
Basir dalam bukunya, merupakan metode yang sangat istimewa dalam
67 Armai Arief, Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan, (Jakarta: Ciputat Pers,
2002), h. 117.
77
kehidupan manusia, karena melalui pembiasaan inilah terjadi perubahan
seluruh sifat dan menjadi kebiasan yang terpuji pada diri seseorang.68
Metode pembiasaan ini adalah membiasakan peserta didik untuk
melakukan sesuatu sejak ia lahir. Inti dari pembiasaan ini adalah
pengulangan. Jadi sesuatu yang dilakukakan peserta didik hari ini akan
diulang keesokan harinya dan begitu pula seterusnya.69
Jika dicermati, Luqman al-Hakim dalam mendidik anaknya
menerapkan metode pembiasaan. Metode ini diterapkan dengan
memberikan penanaman nilai secara berulang-ulang menyangkut semua
materi pendidikan. Indikator penerapan metode ini selaras dengan
metode nasihat dan keteladanan yang telah ia lakukan. Nasihat dan
keteladanan diberikan secara terus menerus kepada anaknya, proses
kontinuitas ini menunjukan adanya pembiasaan.
68 Abd. Basir, op.cit., h. 184.
69
Sri Minarti, op.cit., h. 143.
78
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Pada penelitian ini, penulis meneliti mengenai tauhid sebagai dasar
pendidikan Islam, dengan mengkaji tafsir Q.S. al-Baqarah: 21-22 dan Luqman:
12-15, macam-macam tauhid, metode dan materi apa saja yang terkandung
dalam ayat-ayat tersebut. Sebagaimana telah dipaparkan pada bagian (BAB)
satu sampai empat, maka peneliti menyimpulkan sebagai berikut:
1. Tauhid Sebagai Dasar Pendidikan Islam yang Terkandung dalam Q.S. Al-
Baqarah: 21-22 dan Luqman: 12-15
a. Tauhid Sebagai Dasar Pendidikan Islam dalam Q.S. Al-Baqarah: 21-22
Pada ayat 21-22 dalam surah al-Baqarah digambarkan bahwa nilai
ketauhidanlah yang menjadi dasar dalam setiap pemikiran manusia. Jika
kita berfikir akan segala sesuatu maka akan sampai pada suatu titik
kesimpulan bahwa sesuatu itu ada karena kuasa Allah.
b. Tauhid Sebagai Dasar Pendidikan Islam dalam Q.S. Luqman: 12-15
Hal diilustrasikan berturut-turut dalam Q.S. Luqman (31): 12-15.
Seperti pada ayat 13, dalam ayat ini Luqman memberikan pendidikan dan
pengajaran kepada anaknya berupa aqidah yang mantap, agar tidak
menyekutukan Allah, itulah akidah tauhid. Ayat ini mendidik manusia
bahwa keyakinan pertama dan utama yang perlu ditanamkan dan
diresapkan kepada anak (peserta didik) adalah tauhid.
2. Macam-macam Tauhid yang Terkandung dalam Q.S. Al-Baqarah: 21-22 dan
Luqman: 12-15
a. Tauhid yang Terkandung dalam Q.S. Al-Baqarah: 21-22
pada ayat 21 kita disuruh menyembah kepada Allah, itulah tauhid
uluhiyah; penyatuan tempat menyembah. Kemudian dijelaskan pula pada
ayat ini bahwa Allahlah yang telah menjadikan kita dan nenek moyang
79
kita, Dia tidak bersekutu dengan siapapun dalam hal penciptaan, hal
seperti inilah yang menjadi implementasi tauhid yang bersifat rububiyah.
Kemudian pada ayat 22 ditegaskan sekali lagi mengenai tauhid
rububiyah, kemudian pada ujung ayat 21 dikatakan “Janganlah
menyekutukan Allah dengan yang lain” perintah tersebut adalah perintah
untuk melaksanakan tauhid uluhiyah.
b. Tauhid yang Terkandung dalam Q.S. Luqman: 12-15
Dalam ayat 12 terdapat perintah bersyukur hanya kepada Allah
merupakan penetapan tauhid uluhiyah. Lalu pada ujung ayat 12 dikatakan
”.Sesunguhnya Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji“ (إن لله غنيه حميد)
Keyakinan kita pada kekhususan sifat-sifat yang hanya dimiliki Allah ini
merupakan penetapan tauhid asma dan sifat.
Penetapan mengenai tauhid uluhiyah ini juga kembali ditekankan
Allah pada ayat ke 13-15. Pada ayat 13 yaitu, melalui nasihat Luqman
kepada anaknya agart tidak mempersekutukan Allah, kemudian pada ayat
ke 14 melalui perintah untuk bersyukur kepada Allah dan selanjutnya
kepada kedua orang tua, kemudian dilanjutkan pada ayat ke 15 yang
menjelaskan sekalipun kedua orang tua memaksa untuk mempersekutukan
Allah (apalagi hanya salah satunya, lebih-lebih kalau orang lain) maka kita
harus tetap berpegang teguh pada akidah tauhid kita. Ini semua merupakan
bentuk implementasi nilai ketauhidan yang bersifat uluhiyah.
3. Metode Pendidikan yang Digunakan dalam Q.S. Al-Baqarah: 21-22 dan
Luqman: 12-15
a. Metode Pendidikan dalam Q.S. Al-Baqarah: 21-22
Metode pendidikan yang terkandung dalam surah al-Baqarah ayat
21-22 mengenai metode yang digunakan adalah metode cermah.
b. Metode Pendidikan dalam Q.S. Luqman: 12-15
1) Metode Nasihat (Mau’izzah)
80
2) Targhib wa Tarhiib
3) Dialog (Hiwar)
4) Keteladanan (Uswatun Hasanah)
5) Pembiasaan
4. Materi Pendidikan Tauhid dalam Q.S. Al-Baqarah: 21-22 dan Luqman: 12-15
a. Materi Pendidikan Tauhid dalam Q.S. Al-Baqarah: 21-22
1) Adanya Wujud Allah
2) Perintah untuk Menyembah Kepada Allah
b. Materi Pendidikan Tauhid dalam Q.S. Luqman: 12-15
1) Larangan Menyekutukan Allah
2) Meyakini Adanya Tempat Kembali (Hari Pembalasan)
3) Mengutamakan Allah
B. Saran
Adapun saran-saran yang penulis dapat sampaikan adalah:
1. Al-Qur’an adalah pedoman hidup bagi seluruh umat Muslim dan sebagai
penyempurna kitab-kitab yang sebelumnya, karena di dalam al-Aqur’an
telah dijelaskan berbagai tuntunan hidup, karena banyak mengandung
berbagai petunjuk, pelajaran, ilmu pengetahuan, hukum-hukum dan
berbagai kisah yang dapat dijadikan pelajaran. Oleh karena itu manusia
haruslah terus berpegang teguh kepada al-Qur’an, sebab dengan al-Qur’an
hidup manusia akan terarah dan teratur.
2. Pendidikan tauhid adalah hal yang paling mendasar yang harus orang tua
atau pendidik ajarkan kepada anak atau peserta didik jika ingin memiliki
anak-anak yang soleh dan solehah. Karena pendidikan tauhid adalah
pondasi yang nantinya akan membentuk karakter anak. Banyak orang yang
berpengetahuan dan pandai tapi banyak juga yang terjerumus dalam
keburukan. Maka dari itu pendidikan tauhid sangat penting untuk
membentengi dan meluruskan jalan menuju kehidupan yang lebih baik.
81
3. Metode pembelajaran dalam pendidikan harus semakin dikembangkan
terlebih di era globalisasi sekarang ini. Banyak cara yang bisa dilakukan,
salah satunya dengan penggunaan metode pembelajaran yang tepat dan
efektif yang tentunya disesuaikan dengan karakter peserta didik.
4. Banyak hal yang masih perlu dikaji, tidak hanya wasiat-wasiat para tokoh
yang disebutkan dalam al-Quran, akan tetapi kita juga dapat mengkaji dari
berbagai aspek yang dapat menginspirasi dan justru belum banyak diketahui
oleh banyak orang.
82
DAFTAR PUSTAKA
A. Gani, Bustami, dkk. Al-Qur’an dan Tafsirnya. Yogyakarta: PT Dana Bhakti
Wakaf UII, 1990.
Abdul Malik Abdul Karim Amrullah (Juzu 1), op.cit.,h. 141.
Al-Fauzan, Shalih bin Fauzan. Kitab Tauhid. Solo: Ummul Qura, 2012.
Al-Ghazali, Abu Hamid Muhammad. Ihya ‘Ulum al-Din. Jilid 1. Semarang: Toha
Putra.
Al-Kaaf, Abdullah Zakiy dan Djaliel, Maman Abdul. Mutiara Ilmu
Tauhid. Bandung: CV Pustaka Setia, 1999
Al-Maraghi, Ahmad Mustafa. Tafsir Al-Maraghi. Juz 19. Tanpa penerbit, 1974.
Al-Mubarakfuri, Syaikh Shafiyyurrahman. Shahih Tafsir Ibnu Katsir. Jakarta:
Pustaka Ibnu Katsir, 2017.
Al-Qaththan, Syaikh Manna. Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an. Jakarta: Pustaka
Al-Kautsar, 2004.
Al-Utsaimin, Syaikh Muhammad. Syarah Kitab Tauhid. Bekasi: PT Darul Falah,
2006.
Aly, Hery Noer. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999.
Amrullah, Abdul Malik Abdul Karim. Tafsir Al-Azhar, (Juzu’ 21). Jakarta: PT
Pustaka Panjimas: 1948.
Amrullah, Abdul Malik Abdul Karim. Tafsir Al-Azhar. (Juzu’ 1). Jakarta: PT
Pustaka Panjimas: 1948.
An-Nahlawi, Abdurrahman. Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah dan
Masyarakat. Jakarta: Gema Insani Press, 1995.
83
Arief, Armai. Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam. Jakarta: Ciputat
Pers, 2002.
Arief, Armai. Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan. Jakarta: Ciputat Pers,
2002.
Arief, Armai. Reformulasi Pendidikan Islam, Jakarta: CSRD Press, 2005
Arifin, M. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: PT Bumi Aksara, 2003.
Asmuni, Muhammad Yusron. Ilmu Tauhid. Jakarta: PT Raka Grafindo Persada:
1996.
Az-Zuhaili, Wahbah. Tafsir Al-Munir. Jilid 1. Jakarta: Gema Insani, 2013.
Az-Zuhaili, Wahbah. Tafsir Al-Wasith. Jilid 3. Jakarta: Gema Insani, 2013.
Basir, Abd. Model Pendidikan Keluarga Qur’ani Studi Surah Ali Imran dan
Luqman. Banjarmasin: IAIN Antasari Press, 2015..
Daulay, Haidar Putra dan Pasa, Nurgaya. Pendidika Islam dalam Lintasan
Sejarah. Jakarta: Kencana, 2013.
Fakih, Abdul Latif. Deklarasi Tauhid (Sebuah Akidah Pembebasan, Sisik-melik
Surah Al-Ikhlas). Pamulang: Inbook, 2011.
Fikri, Mumtazul. Konsep Pendidikan Islam; Pendekatan Metode Pengajaran.
Jurnal Ilmiah Islam Futura. Vol. 11. 2011.
Gunawan, Heri. Pendidikan Islam. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2014.
Gunawan, Imam. Metode penelitian Kualitatif Teori dan Praktik. Jakarta: Bumi
Aksara, 2013
Hakim, Abdul Hamid. Al-Bayan, Juz III. Jakarta: Sa’adiyah Putra, 1991.
Hamalik, Oemar. Kurikulum dan Pembelajaran. Jakarta: PT Bumi Aksara, 2003.
84
Hidayat, Nurul. Konsep Pendidikan Islam Menurut Q.S Luqman: 12-19. Jurnal
Ta’allum. Vol. 2. No. 2. 2019.
Ihsan, Hamdani dkk. Filsafat Pendidikan Islam. Bandung: Pustaka Setia, 2007.
Mannan, Audah. Transformasi Nilai-nilai Tauhid dalam Perkembangan Sains dan
Teknologi. Jurnal Aqidah. Vol. IV, 2018.
Minarti, Sri. Ilmu Penddikan Islam (Fakta Teoritis-Filosofis dan Aplikatif-
Normatif). Jakarta: Amzah, 2013.
Mudyaharjo, Redja. Pengantar Pendidikan. Jakarta: Rajawali Pers, 2012.
Nasution, Harun. Manusia menurut Konsep Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1991.
Nata, Abuddin. Pendidikan dalam Prespektif Al-Qur’an. Ciputat: UIN Jakarta
Pers, 2005.
Nata, Abudin. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997.
Nata, Abudin. Metodologi Studi Islam. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004
Naufal, Abdurrazak. Hidup di Alam Akhirat. Jakarta: PT Rineka Cipta, 1992.
Nizar, Samsul. Filsafat Pendidkan Islam. Jakarta: Ciputat Pers: 2002.
Nizar, Samsul. Pengantar Dasar-Dasar pemikiran Pendidikan Islam. Ciputat:
Gaya Media Pratama: 2001.
Quthb, Sayyid. Tafsir fi Zhilalil Qur’an. Jilid 1. Jakarta: Gema Insani Press, 2000.
Quthb, Sayyid. Tafsir Fi Zhilalil Qur’an. Jilid 17. Jakarta: Gema Insani Press,
2004.
Rianie, Nurjannah. Pendekatan dan Metode Pendidikan Islam (Sebuah
Perbandingan dalam Konsep Teori Pedidikan Islam dan Barat).
Management of Education. Vol. 1. 2015.
85
Saidan. Perbandingan Pemikiran Pendidikan Islam Antara Hasan al-Banna dan
Mohammad Natsir. Jakarta: Kementrian Agama RI, 2011.
Sastra, Ahmad. Filosofi Pendidikan Islam. Bogor: Darul Muttaqien Pers, 2014.
Satriadi, Inong. Tujuan Penciptaan Manusia dan Nilai Edukasinya (Kajian Tafsir
Tematis). Jurnal Ta’dib. Vol. 12. 2009.
Shihab, M. Quraish. Tafsir Al-Misbah, Vol. 1. Ciputat: Lentera Hati, 2000.
Shihab, M. Quraish. Tafsir Al-Misbah, Vol. 10. Ciputat: Lentera Hati, 2002.
Sukandarrumidi. Metodologi Penelitian. Yogyakarta: Gajah Mada University
Pers, 2012.
Sukmadinata, Nana Syaodih. Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: Remaja
Rosdakarya, 2013.
Susanto, Ahmad. Pemikiran Pendidikan Islam. Jakarta: Amzah, 2009.
Syaikh Muqbil bin Hadi al-Wadi’i. Shahih Asbabun Nuzul. Jakarta: Pustaka As-
Sunnah, 2007.
Yasin, A. Fattah. Dimensi-dimensi Pendidikan Islam. Malang: UIN-Malang Press,
2008.
Zainudin, M. Paradigma Pendidikan Terpadu. Malang: UIN Malang Press, 2008.
Zuhairini. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: PT Bumi Aksara, 2004.
LEMBAR UJI REFERENSI
Nama : Abdurrohman Arif
NIM : 11150110000134
Jurusan : Pendidikan Agama Islam
Judul Skripsi : Tauhid Sebagai Dasar Pendidikan Islam (Kajian Tafsir Q.S. Al-
Baqarah: 21-22 dan Luqman: 12-15)
No. Referensi (Berdasarkan Urutan Catatan
Kaki)
Halaman
Skripsi
Paraf
Pembimbing
1. Redja Mudyaharjo, Pengantar Pendidikan,
(Jakarta: Rajawali Pers, 2012), Cet. 7, h. 11.
2
2. Samsul Nizar, Filsafat Pendidkan Islam,
(Jakarta: Ciputat Pers: 2002), Cet. 1, h. 25.
2
3. Sri Minarti, Ilmu Pendidikan Islam,
(Jakarta: Amzah, 2013), Cet. 1, h. 25
2
4. Haidar Putra Daulay dan Nurgaya Pasa,
Pendidika Islam dalam Lintasan Sejarah,
(Jakarta: Kencana, 2013), Cet. 1, h. 3.
3
5. Ibid., h. 3. 3
6. Abuddin Nata, Pendidikan dalam
Prespektif Al-Qur’an, (Ciputat: UIN
Jakarta Pers, 2005), Cet. 1, h. 15
3
7. Audah Mannan, Transformasi Nilai-nilai
Tauhid dalam Perkembangan Sains dan
Teknologi, Jurnal Aqidah, Vol. IV, 2018,
h. 255.
3
8. Muhammad Yusron Asmuni, Ilmu Tauhid,
(Jakarta: PT Raka Grafindo Persada:
1996), Cet. 3, h. 7.
5
9. Ibid., h. 7 6
10. Abuddin Nata, op.cit.,h. 50 6
11. Audah Mannan, op.cit, h. 254. 8
12. Ibid.h.50. 8
13. Abdullah Zakiy Al-Kaaf dan Maman
Abdul Djaliel, Mutiara Ilmu
Tauhid.(Bandung: CV Pustaka Setia,
1999), h. 11
12
14. Syaikh Muhammad Al-Utsaimin, Syarah
Kitab Tauhid, (Bekasi: PT Darul Falah,
2006), h.xvii
12
15. Abdul Latif Fakih, Deklarasi Tauhid
(sebuah Akidah Pembebasan, Sisik-melik
Surah Al-Ikhlas), (Pamulang: Inbook,
2011, Cet. 1, h. 73-74.
13
16. Abdullah Zakiy Al-Kaaf dan Maman
Abdul Djaliel, op.cit., h. 12
13
17. Muhammad Yusron Asmuni, Ilmu Tauhid,
(Jakarta: PT Raka Grafindo Persada:
1996), Cet. 3, h. 2.
13
18. Ibid., h. 2. 13
19. Ibid., h. 3. 14
20. Syaikh Muhammad Al-Utsaimin, op.cit..,
h. xviii-xiv
15
21. Ibid., h. xxi 16
22. Ibid, h. xviii-xxiii 16
23. Muhammad Yusron Asmuni, op.cit.., h. 6. 17
24. Ibid.,h. 7 17
25. Samsul Nizar, Filsafat Pendidkan Islam,
(Jakarta: Ciputat Pers: 2002), Cet. 1, h. 25
17
26. Ahmad Sastra, Filosofi Pendidikan Islam,
(Bogor: Darul Muttaqien Pers, 2014), Cet.
1, h. 103
18
27. Syamsul Nizar, op.cit, h. 26. 18
28. A. Fattah Yasin, Dimensi-dimensi
Pendidikan Islam, (Malang: UIN-Malang
Press, 2008), Cet. 1, h. 22.
19
29. Zuhairini, Filsafat Pendidikan Islam,
(Jakarta: PT Bumi Aksara, 2004), Cet. 3,
h. 121.
19
30. Heri Gunawan, Pendidikan Islam,
(Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2014),
Cet. 1, h. 4
19
31. Syamsul Nizar, op.cit, h. 27. 19
32. A. Fattah Yasin, loc.cit. 20
33. Heri Gunawan, op.cit, h. 6 20
34. Syamsul Nizar, op.cit, h. 30 20
35. Heri Gunawan, loc.cit. 21
36. A. Fattah Yasin, loc.cit. 21
37. Samsul Nizar, Pengantar Dasar-Dasar
pemikiran Pendidikan Islam, (Ciputat:
Gaya Media Pratama: 2001), Cet. 1, h. 93
22
38. A. Fattah Yasin, op.cit., h. 24. 22
39. Armai Arief, Pengantar Ilmu dan
Metodologi Pendidikan Islam, (Jakarta:
Ciputat Pers, 2002), Cet. 1, h. 40.
22
40. Heri Gunawan, op.cit., h. 10. 22
41. Ibid, h. 10. 23
42. Saidan, Perbandingan Pemikiran
Pendidikan Islam Antara Hasan al-Banna
23
dan Mohammad Natsir, (Jakarta:
Kementrian Agama RI, 2011), Cet. 1, h.
225.
43. Ibid,h. 187. 23
44. Samsul Nizar, op.cit., h. 108-109 24
45. Armai Arief, Reformulasi Pendidikan
Islam, (Jakarta: CSRD Press, 2005), Cet.
1, h. 21.
24
46. Ahmad Sastra, op.cit., h. 108 25
47. A. Fattah Yasin, op.cit., h. 54. 25
48. Ibid., h. 54 25
49. M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam,
(Jakarta: PT Bumi Aksara, 2003), Cet. 1,
h. 23-24
27
50. Oemar Hamalik, Kurikulum dan
Pembelajaran, (Jakarta: PT Bumi Aksara,
2003), Cet. 4, h. 16.
27
51. Hamdani Ihsan dkk, Filsafat Pendidikan
Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2007), h.
133
28
52. A. Fattah Yasin, op.cit., h. 128. 28
53. Nurjannah Rianie, Pendekatan dan Metode
Pendidikan Islam (Sebuah Perbandingan
dalam Konsep Teori Pedidikan Islam dan
Barat), Management of Education, Vol. 1,
2015, h. 107.
29
54. Armai Arief, op.cit., h. 40. 29
55. Al-Rasyidin, Syamsul Nizar, Filsafat
Pendidikan Islam, (Jakarta: Ciputat Press,
2005), h. 66.
29
56. Hery Noer Aly, Ilmu Pendidikan Islam,
(Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), h.
250.
29
57. Ibid., h. 110. 30
58. A. Fattah Yasin, op.cit., h. 145. 30
59. Ibid., h. 144-145. 31
60. Hery Noer Aly, op.cit., h. 178. 31
61. Armai Arief, op.cit., h. 117-119. 31
62. Ibid., h. 125. 32
63. Ibid., h. 129. 32
64. Nurjannah Rianie, op.cit., h. 113. 32
65. Armai Arief, op.cit., h. 135-136. 33
66. Ibid., h. 140-141. 33
67. Mumtazul Fikri, Konsep Pendidikan
Islam; Pendekatan Metode Pengajaran,
Jurnal Ilmiah Islam Futura, Vol. 11, 2011,
h. 121.
33
68. Armai Arief, op.cit., h. 160 34
69. A. Fattah Yasin, op.cit., h. 154. 34
70. Sri Minarti, Ilmu Penddikan Islam (Fakta
Teoritis-Filosofis dan Aplikatif-Normatif,
(Jakarta: Amzah, 2013), Cet. 1, h. 142.
34
71. Nana Syaodih Sukmadinata, Metode
Penelitian Pendidikan, (Bandung: Remaja
Rosdakarya, 2013), Cet. 3, h. 60
38
72. Sukandarrumidi, Metodologi Penelitian,
(Yogyakarta: Gajah Mada University Pers,
2012), Cet. 4, h. 101.
39
73. Imam Gunawan, Metode penelitian
Kualitatif Teori dan Praktik, (Jakarta:
40
Bumi Aksara, 2013), h. 209.
74. Abudin Nata, Metodologi Studi Islam,
(Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004),
Cet. 9, h. 219.
40
75. M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Vol.
1, (Ciputat: Lentera Hati, 2000), Cet. 1, h.
83.
44
76. Ibid., h. 83-84 44
77. M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Vol.
10, (Ciputat: Lentera Hati, 2002), Cet. 1,
h. 273.
45
78. Ibid., h. 273-274. 45
79. Syaikh Muqbil bin Hadi al-Wadi’i, Shahih
Asbabun Nuzul, (Jakarta: Pustaka As-
Sunnah, 2007), Cet. 1, h. 43-44.
45
80. Syaikh Manna’ Al-Qaththan, Pengantar
Studi Ilmu Al-Qur’an, (Jakarta: Pustaka
Al-Kautsar, 2004), Cet. 13, h. 95.
46
81. Armai Arief, Reformulasi Pendidikan
Islam, (Jakarta: CSRD Press, 2005), Cet.
1, h. 181-182.
47
82. M. Quraish Shihab, Vol. 1, op.cit., h. 146. 47
83. Ibid., h. 147. 47
84. Wahbah az-Zuhaili, Tafsir Al-Munir, Jilid
1, (Jakarta: Gema Insani, 2013), Cet. 1, h.
67.
67
85. Ahmad Mustafa Al-Maraghi, Tafsir Al-
Maraghi, Juz 19, (Tanpa penerbit, 1974),
h. 78-79
67
86. Ibid, h. 81 67
87. Abdul Malik Abdul Karim Amrullah,
Tafsir Al-Azhar, (Juzu’ 1), (Jakarta: PT
Pustaka Panjimas: 1948), h. 139-140.
49
88. Sayyid Quthb, Tafsir fi Zhilalil Qur’an,
Jilid 1, (Jakarta: Gema Insani Press, 2000),
h. 77.
49
89. Ibid, h. 79. 50
90. Ibid, h. 79. 50
91. Abdul Malik Abdul Karim Amrullah,
op.cit., h. 140.
50
92. Abdul Malik Abdul Karim Amrullah,
Tafsir Al-Azhar, Juzu’ 21, (Jakarta: PT
Pustaka Panjimas: 1948), h. 126-127.
51
93. Syaikh Shafiyyurrahman Al-Mubarakfuri,
Shahih Tafsir Ibnu Katsir, (Jakarta:
Pustaka Ibnu Katsir, 2017), Cet. 12, h.
149.
51
94. Sayyid Quthb, Tafsir Fi Zhilalil Qur’an,
Jilid 17, (Jakarta: Gema Insani Press,
2004), h. 261.
51
95. Abdul Malik Abdul Karim Amrullah,
Op.cit., h 127.
52
96. Ibid, h. 127. 52
97. Wahbah Az-Zuhaili, Tafsir Al-Wasith,
Jilid 3, (Jakarta: Gema Insani, 2013), Cet.
1, h. 101.
52
98. Abdul Malik Abdul Karim Amrullah,
op.cit. h. 127-128.
53
99. Sayyid Quthb, op.cit, h. 262 53
100. Wahbah Az-Zuhaili, op.cit., h. 102 53
101. Abdul Malik Abdul Karim Amrullah,
op.cit., h. 128
54
102. Sayyid Quthb, loc.cit. 54
103. Ibid., h. 262. 54
104. Ibi.d, h. 262. 55
105. Abdul Malik Abdul Karim Amrullah,
op.cit., h. 129
55
106. Sayyid kutub, op.cit., h. 264. 55
107. Abdul Malik Abdul Karim Amrullah,
op.cit., h. 130.
55
108. Wahbah Az-Zuhaili, op.cit., h. 102. 56
109. Sayyid kutub, op.cit., h. 265. 56
110. Ibid., h. 265 56
111. Ibid., h. 265 56
112. Nurul Hidayat, Konsep Pendidikan Islam
Menurut Q.S Luqman: 12-19, Jurnal
Ta’allum, Vol. 2, No. 2, 2019, 2016, h.
360.
57
113. Abdul Malik Abdul Karim Amrullah (Juzu
1), op.cit., 140-141
58
114. Ibid., h. 141. 58
115. Bustami A. Gani dkk, Al-Qur’an dan
Tafsirnya, (Yogyakarta: PT Dana Bhakti
Wakaf UII, 1990), h. 634.
59
116. A. Fattah Yasin, Dimensi-dimensi
Pendidikan Islam, (Malang: UIN Malang
Press, 2008), h. 121.
59
117. Abu Hamid Muhammad Al-Ghazali, Ihya
‘Ulum al-Din, Jilid 1, (semarang: Toha
Putra), h. 93.
60
118. Harun Nasution, Manusia menurut Konsep
Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1991), h.
71.
60
119. Armai Arief, Reformulasi Pendidikan
Islam, (Jakarta: CRSD Press, 2005), h.
188-189.
60
120. A. Susanto, Pemikiran Pendidikan Islam,
(Jakarta: Amzah, 2009), h. 100.
61
121. M. Zainudin, Paradigma Pendidikan
Terpadu, (Malang: UIN Malang Press,
2008), h. 109.
61
122. Abdul Malik Abdul Karim Amrullah (Juzu
1), op.cit.,h. 141.
62
123. Ibid., h. 141 62
124. M. Quraish Shihab, op.cit., h. 292 63
125. Ibid., h. 264 64
126. Inong Satriadi, Tujuan Penciptaan
Manusia dan Nilai Edukasinya (Kajian
Tafsir Tematis), Jurnal Ta’dib, Vol. 12,
2009, h. 35
66
127. Shalih bin Fauzan Al-Fauzan, Kitab
Tauhid, (Solo: Ummul Qura, 2012), h.
329.
67
128. Abdul Hamid Hakim, Al-Bayan, Juz III,
(Jakarta: Sa’adiyah Putra, 1991), h. 31.
67
129. Shalih bin Fauzan Al-Fauzan, op.cit., h.
330.
68
130. Ibid., h. 330 68
131. Abdurrazak Naufal, Hidup di Alam
Akhirat, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 1992),
69
Cet. 1, h. 116.
132. M. Quraish Shihab, Vol. 10, op.cit., h.
303.
70
133. Armai Arief, op.cit., h. 135-136. 71
134. Abdurrahman An-Nahlawi, Pendidikan
Islam di Rumah, Sekolah dan Masyarakat,
(Jakarta: Gema Insani Press, 1995), Cet. 1,
h. 289.
72
135. Abd. Basir, Model Pendidikan Keluarga
Qur’ani Studi Surah Ali Imran dan
Luqman, (Banjarmasin: IAIN Antasari
Press, 2015), h. 177-178.
72
136. Abdurrahman An-Nahlawi, op.cit., h. 290 72
137. Abd. Basir, op.cit., h. 295 73
138. Abudin Nata, Filsafat Pendidikan Islam,
(Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), h.
105.
74
139. Sri Minarti, Ilmu Pendidikan Islam (Fakta
Teoritis-Filosofis dan Aplikatif-Normatif,
(Jakarta: Amzah, 2013), Cet. 1, h.
75
140. Abdurrahman An-Nahlawi, op.cit., h. 263. 75
141. Armai Arief, Pengantar Ilmu dan
Metodologi Pendidikan, (Jakarta: Ciputat
Pers, 2002), h. 117.
76
142. Abd. Basir, op.cit., h. 184 77
143. Sri Minarti, op.cit., h. 143 77
BIODATA DIRI
ABDURROHMAN ARIF, Dilahirkan di Jakarta, pada
tanggal 23 Oktober 1996. Anak kedua dari tiga
bersaudara pasangan dari H. Ahmad Zawawi dan Hj.
Marinah. Peneliti menyelesaikan pendidikan di Sekolah
Dasar di SDN Slipi 05 Pagi Jakarta Barat pada tahun
2009. Pada tahun itu juga peneliti melanjutkan
pendidikan di tingkat MTs dan MA di Pondok Pesantren
Darunnajah, Ulujami, Jakarta Selatan dan tamat pada
tahun 2015. Kemudia peneliti melanjutkan pendidikan ke
perguruan tinggi, tepatnya di Universitas Islam Negeri
(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Fakultas Ilmu
Tarbiyah dan Keguruan dengan mengambil Jurusan
Pendidikan Agama Islam.