BAB 1
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Contoh kasus:
Pasien bernama nona “M” berumur 23 tahun mengetahui dirinya
mengidap HIV AIDS lebih kurang 7 tahun yang lalu, berbagai pengobatan untuk
menghadapi tanda gejala penyakit tersebut telah dilakukan. Nona “M” mengikuti
rehabilitasi sejak mengetahui dirinya mengidap HIV AIDS, namun sekitar 5-6
bulan belakangan nona “M” jarang datang dan kondisi penyakitnya memburuk.
Nona “M” pasien mengatakkan bahwa dirinya tidak ada daya upaya lagi, nona
“M” merasa bahwa dirinya tidak berguna dan tidak mampu melakukan aktivitas
secara normal, ingin mengakhiri hidupnya, mengeluh bahwa dirinya, terkadang ia
merasa cemas dan terancam bahwa dirinya akan mengalami sakit berkepanjangan
tak berkesudahan, nona “M” juga mengatakan malu terhadap dirinya dan
penyakitnya, ia mengeluh bahwa selalu bergantung pada orang lain dan merasa
bahwa dirinya dan tidak mampu melakukan aktivitas secara normal. Nona “M”
juga terlihat sangat frustasi, ia mengatakan ingin mengakhiri hidupnya melalui
euthanasia yang ia pernah dengar dari teman-temannya yang ada di luar negeri
melalui chat online. Nona “M” juga tampak gelisah saat ditanya dan terlihat
apatis. Nona “M” beragama Islam dan tetap dengan keputusannya ingin
euthanasia. Keluarga mengatakan tidak tahu jika nona “M” ingin melakukan
euthanasia. Keluarga mengatakan prihatin dengan kehilangan kontrol dalam
keputusan yang diambil nona “M”.
1
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Identifikasi Masalah
DS = Data subjektif (data yang didapat dari keluarga pasien atau keluhan pasien)
1) Pasien mengatakan bahwa dirinya tidak ada upaya lagi
2) Pasien merasa bahwa dirinya tidak berguna dan tidak mampu melakukan
aktivitas secara normal
3) Pasien ingin mengakhiri hidupnya
4) Pasien mengeluh bahwa dirinya terkadang ia merasa cemas dan terancam
bahwa dirinya akan mengalami sakit berkepanjangan tak berkesudahan
5) Pasien mengatakan malu terhadap terhadap dirinya dan penyakitnya
6) Pasien mengeluh bahwa selalu bergantung kepada orang lain dan merasa
bahwa dirinya tidak berguna dan tidak mampu melakukan aktivitas secara
normal
DO = Data objektif (data yang dilihat/diamati dari pasien)
1) Pasien terlihat sangat frustasi
2) Pasien tampak gelisah
3) Pasien terlihat apatis
2.2. Hipotesis
Hipotesis adalah mencari diagnosa, apa yang dibutuhkan pasien.
1) Ketidakberdayaan
Ketidakberdayaan berhubungan dengan regimen terkait penyakit
ditandai dengan :
DS :
3. Pasien ingin mengakhiri hidupnya
4. Pasien mengeluh bahwa dirinya terkadang ia merasa cemas
dan terancam bahwa dirinya akan mengalami sakit
berkepanjangan tak berkesudahan
2
5. Pasien mengatakan malu terhadap terhadap dirinya dan
penyakitnya
6. Pasien mengeluh bahwa selalu bergantung kepada orang lain
dan merasa bahwa dirinya tidak berguna dan tidak mampu
melakukan aktivitas secara normal
DO :
1. Pasien terlihat sangat frustasi
2. Pasien tampak gelisah
3. Pasien terlihat apatis
2.3. Mekanisme
Pengkajian (assisment)
Analisis dan Diagnose
Intervensi Keperawatan (Perencanaan)
Tindakan (Implementasi)
Evaluasi
2.4. More Info
Adalah isu terkait yang tidak diketahui mahasiswa Isu tentang euthanasia:
Euthanasia berasal dari kata Yunani eu : baik dan thanatos : mati. Maksudnya
adalah mengakhiri hidup dengan cara yang mudah tanpa rasa sakit. Euthanasia
sering disebut : mercy killing (mati dengan tenang). Euthanasia bisa muncul dari
keinginan pasien sendiri, permintaan dari keluarga dengan persetujuan pasien
3
(bila pasien masih sadar), atau tanpa persetujuan pasien (bila pasien sudah tidak
sadar).
2.5. Don’t Know
Pertanyaan :
1. Apakah ada hak moral alasan seseorang melakukan euthanasia?
2. Apakah boleh euthanasia dilakukan di Indonesia?
3. Bagaimana peran perawat pada pasien euthanasia?
4. Dari segi agama islam euthanasia dilarang, ayat al-quran surah apa yang
menunjukan euthanasia dilarang?
Jawaban :
1. Adanya hak moral bagi setiap orang untuk mati terhormat, maka seseorang
mempunyai hak memilih cara kematiannya Tindakan belas kasihan pada
seseorang yang sakit, meringankan penderitaan sesama adalah tindakan
kebajikan Tindakan belas kasihan pada keluarga pasien
Mengurangi beban ekonomi.
2. Di dalam pasal 344 KUHP dinyatakan : “Barang siapa menghilangkan
jiwa orang lain atas permintaan orang itu sendiri, yang disebutkannya
dengan nyata dan dengan sungguh-sungguh, dihukum penjara selama-
lamanya 12 tahun” Berdasarkan pasal ini, seorang dokter bisa dituntut oleh
penegak hukum, apabila ia melakukan euthanasia, walaupun atas
permintaan pasien dan keluarga yang bersangkutan, karena perbuatan
tersebut merupakan perbuatan melawan hukum. Mungkin saja dokter atau
keluarga terlepas dari tuntutan pasal 344 ini, tetapi ia tidak bisa
melepaskan diri dari tuntutan pasal 388 yang berbunyi : “Barang siapa
dengan sengaja menghilangkan jiwa orang lain, dihukum karena makar
mati, dengan hukuman penjara selama-lamanya 15 tahun”. Dokter bisa
diberhentikan dari jabatannya, karena melanggar kode etik kedokteran.
Keputusan Menteri Kesehatan Nomor : 434/Men.Kes/SK/X/1983 pasal 10
menyebutkan : “Setiap dokter harus senantiasa mengingat akan
kewajibannya untuk melindungi ‘hidup’ makhluk insani”. Di sini jelas
4
sekali bahwa dari segi pandang hukum di Indonesia tindakan euthanasia
tidak diperkenankan.
3. Peran Perawat seharusnya:
1) Sebagai Conselor, yaitu perawat memberikan pertimbangan-
pertimbangan kepada pihak keluarga bahwa eutanasia bukanlah
jalan satu-satunya untuk menyelesaikan masalah. Perawat bisa
memberikan saran-saran lain kepada keluarga. Dan jika eutanasia
tetap dilakukan, maka perawat tersebut melanggar perannya.
2) Sebagai Advocat, yaitu perawat memberikan pembelaan terhadap
hak-hak pasien untuk hidup dan meneruskan kehidupannya itu.
Dalam hal ini kita dapat memberikan pendapat kepada dokter yang
memutuskan tindakan itu agar dokter mempertimbangkan lagi
keputusan itu bukan sebagai keputusan terakhir yang harus
dilakukan.
4. Surat Al-Hijr ayat 23 :
Artinya : “Dan sesungguhnya benar-benar kami-lah yang menghidupkan dan mematikan, dan kami (pulalah) yang mewarisi”.
Surat Al-Najm ayat 44 :Artinya :“Dan bahwasanya Dia-lah (Allah) yang mematikan dan menghidupkan”.
Ayat al-qur’an yang terkait euthanasia yaitu :1. Surat Al-Hijr ayat 23 :
Artinya :
“Dan sesungguhnya benar-benar kami-lah yang menghidupkan dan
mematikan, dan kami (pulalah) yang mewarisi”.
· 2. Surat Al-Najm ayat 44 :
Artinya :
“Dan bahwasanya Dia-lah (Allah) yang mematikan dan
menghidupkan”.
5
TEORI TENTANG EUTHANASIA :
Masalah euthanasia sudah ada sejak kalangan kesehatan menghadapi
penyakit yang sulit untuk disembuhkan. Di sisi lain, pasien sudah dalam keadaan
kritis sehingga takjarang pasien atau keluarganya meminta dokter untuk
menghentikan pengobatan terhadap yang bersangkutan. Dari sinilah dilema
muncul dan menempatkan dokter atau perawat pada posisi yang serba sulit.
Dokter dan perawat merupakan suatu profesi yang mempunyai kode etik sendiri
sehingga mereka dituntut untuk bertindak secara profesional. Pada satu pihak ilmu
dan teknologi kedokteran telah sedemikian maju sehingga mampu
mempertahankan hidup seseorang (walaupun istilahnya hidup secara vegetatif).
Dokter dan perawar merasa mempunyai tanggung jawab untuk membantu
menyembuhkan penyakit pasien, sedangkan di pihak lain pengetahuan dan
kesadaran masyarakat terhadap hak-hak individu juga sudah sangat berubah.
Masyarakat mempunyai hak untuk memilih yang harus dihormati, dan saat ini
masyarakat sadar bahwa mereka mempunyai hak untuk memilih hidup atau mati.
Dengan demikian, konsep kematian dalam dunia kedokteran masa kini
dihadapkan pada kontradiksi antara etika, moral, hukum dan kemampuan serta
teknologi kedokteran yang sedemikian maju.
I. Pengertian EUTHANASIA
Euthanasia (eu = baik, thanatos = mati) atau good death / easy death sering
pula disebut “mercy killing” pada hakekatnya pembunuhan atas dasar perasaan
kasihan, sebenarnya tidak lepas dari apa yang disebut hak untuk menentukan
nasib sendiri (the right self of determination) pada diri pasien. Hak ini menjadi
unsur utama hak asasi manusia dan seiring dengan kesadaran baru mengenai hak-
hak tersebut. Demikian pula dengan berbagai perkembangan ilmu dan teknologi
(khususnya dalam bidang kedokteran), telah mengakibatkan perubahan yang
dramatis atas pemahaman mengenai euthanasia. Namun, uniknya, kemajuan dan
perkembangan yang pesat ini rupanya tidak diikuti oleh perkembangan di bidang
hukum dan etika. Pakar hukum kedokteran Prof. Separovic menyatakan bahwa
6
konsep kematian dalam dunia kedokteran masa kini dihadapkan pada kontradiksi
antara etika, moral, dan hukum di satu pihak, dengan kemampuan serta teknologi
kedokteran yang sedemikian maju di pihak lain.
Menurut Hilman (2001), euthanasia berarti “pembunuhan tanpa
penderitaan” (mercy killing). Tindakan ini biasanya dilakukan terhadap penderita
penyakit yang secara medis sudah tidak mungkin lagi untuk bisa sembuh. Di
dunia etik kedokteran kata euthanasia diartikan secara harfiah akan memiliki arti
“mati baik”. Di dalam bukunya seorang penulis Yunani bernama Suetonius
menjelaskan arti euthanasia sebagai “mati cepat tanpa derita”. Euthanasia Studi
Grup dari KNMG Holland (Ikatan Dokter Belanda) menyatakan: “Euthanasia
adalah perbuatan dengan sengaja untuk tidak melakukan sesuatu untuk
memperpanjang hidup seorang pasien atau sengaja melakukan sesuatu untuk
memperpendek atau mengakhiri hidup seorang pasien, dan semua ini dilakukan
khusus untuk kepentingan pasien itu sendiri”. Dilihat dari cara melakukannya
dikenal dua macam, yaitu euthanasia aktif jika dokter melakukan positive act yang
secara langsung menyebabkan kematian dan euthanasia pasif jika dokter
melakukan negative act tidak melakukan tindakan apa-apa yang secara tidak
langsung menyebabkan kematian.
II. Klasifikasi euthanasia
a. Dilihat dari orang yang membuat keputusan euthanasia dibagi
menjadi:
Voluntary euthanasia, jika yang membuat keputusan adalah orang yang
sakit dan
Involuntary euthanasia, jika yang membuat keputusan adalah orang lain
seperti pihak keluarga atau dokter karena pasien mengalami koma medis.
b. Menurut Dr. Veronica Komalawati, S.H., M.H., ahli hukum
kedokteran dan staf pengajar pada Fakultas Hukum UNPAD dalam
7
artikel harian Pikiran Rakyat mengatakan bahwa euthanasia dapat
dibedakan menjadi:
Euthanasia aktif, yaitu tindakan secara sengaja yang dilakukan dokter atau
tenaga kesehatan lain untuk memperpendek atau mengakhiri hidup si pasien.
Misalnya, memberi tablet sianida atau menyuntikkan zat-zat berbahaya ke tubuh
pasien.
Euthanasia pasif. Dokter atau tenaga kesehatan lain secara sengaja tidak (lagi)
memberikan bantuan medis yang dapat memperpanjang hidup pasien. Misalnya
tidak memberikan bantuan oksigen bagi pasien yang mengalami kesulitan dalam
pernapasan atau tidak memberikan antibiotika kepada penderita pneumonia berat,
dan melakukan kasus malpraktik. Disebabkan ketidaktahuan pasien dan keluarga
pasien, secara tidak langsung medis melakukan euthanasia dengan mencabut
peralatan yang membantunya untuk bertahan hidup, Autoeuthanasia. Seorang
pasien menolak secara tegas dengan sadar untuk menerima perawatan medis dan
ia mengetahui bahwa itu akan memperpendek atau mengakhiri hidupnya. Dengan
penolakan tersebut, ia membuat sebuah codicil (pernyataan tertulis tangan).
Autoeuthanasia pada dasarnya adalah euthanasia atas permintaas sendiri (APS).
c. Eutanasia ditinjau dari sudut cara pelaksanaannya
Bila ditinjau dari cara pelaksanaannya, eutanasia dapat dibagi menjadi tiga
kategori: Eutanasia agresif, disebut juga eutanasia aktif, adalah suatu tindakan
secara sengaja yang dilakukan oleh dokter atau tenaga kesehatan lainnya untuk
mempersingkat atau mengakhiri hidup seorang pasien. Eutanasia agresif dapat
dilakukan dengan pemberian suatu senyawa yang mematikan, baik secara oral
maupun melalui suntikan. Salah satu contoh senyawa mematikan tersebut adalah
tablet sianida.
Eutanasia non agresif, kadang juga disebut eutanasia otomatis
(autoeuthanasia) digolongkan sebagai eutanasia negatif, yaitu kondisi dimana
seorang pasien menolak secara tegas dan dengan sadar untuk menerima perawatan
8
medis meskipun mengetahui bahwa penolakannya akan memperpendek atau
mengakhiri hidupnya. Penolakan tersebut diajukan secara resmi dengan membuat
sebuah “codicil” (pernyataan tertulis tangan). Eutanasia non agresif pada dasarnya
adalah suatu praktik eutanasia pasif atas permintaan pasien yang bersangkutan.
Eutanasia pasif dapat juga dikategorikan sebagai tindakan eutanasia
negatif yang tidak menggunakan alat-alat atau langkah-langkah aktif untuk
mengakhiri kehidupan seorang pasien. Eutanasia pasif dilakukan dengan
memberhentikan pemberian bantuan medis yang dapat memperpanjang hidup
pasien secara sengaja. Beberapa contohnya adalah dengan tidak memberikan
bantuan oksigen bagi pasien yang mengalami kesulitan dalam pernapasan, tidak
memberikan antibiotika kepada penderita pneumonia berat, meniadakan tindakan
operasi yang seharusnya dilakukan guna memperpanjang hidup pasien, ataupun
pemberian obat penghilang rasa sakit seperti morfin yang disadari justru akan
mengakibatkan kematian. Tindakan eutanasia pasif seringkali dilakukan secara
terselubung oleh kebanyakan rumah sakit. Penyalahgunaan eutanasia pasif bisa
dilakukan oleh tenaga medis maupun pihak keluarga yang menghendaki kematian
seseorang, misalnya akibat keputusasaan keluarga karena ketidaksanggupan
menanggung beban biaya pengobatan. Pada beberapa kasus keluarga pasien yang
tidak mungkin membayar biaya pengobatan, akan ada permintaan dari pihak
rumah sakit untuk membuat “pernyataan pulang paksa”. Meskipun akhirnya
meninggal, pasien diharapkan meninggal secara alamiah sebagai upaya defensif
medis.
d. Eutanasia ditinjau dari sudut pemberian izin
Ditinjau dari sudut pemberian izin maka eutanasia dapat digolongkan
menjadi tiga yaitu : Eutanasia di luar kemauan pasien: yaitu suatu tindakan
eutanasia yang bertentangan dengan keinginan si pasien untuk tetap hidup.
Tindakan eutanasia semacam ini dapat disamakan dengan pembunuhan.
Eutanasia secara tidak sukarela: Eutanasia semacam ini adalah yang seringkali
menjadi bahan perdebatan dan dianggap sebagai suatu tindakan yang keliru oleh
9
siapapun juga.Hal ini terjadi apabila seseorang yang tidak berkompeten atau tidak
berhak untuk mengambil suatu keputusan misalnya statusnya hanyalah seorang
wali dari si pasien (seperti pada kasus Terri Schiavo). Kasus ini menjadi sangat
kontroversial sebab beberapa orang wali mengaku memiliki hak untuk mengambil
keputusan bagi si pasien. Eutanasia secara sukarela : dilakukan atas persetujuan si
pasien sendiri, namun hal ini juga masih merupakan hal controversial
e. Eutanasia ditinjau dari sudut tujuan
Beberapa tujuan pokok dari dilakukannya eutanasia antara lain yaitu :
Pembunuhan berdasarkan belas kasihan (mercy killing) Eutanasia hewan
Eutanasia berdasarkan bantuan dokter, ini adalah bentuk lain daripada eutanasia
agresif secara sukarela.
f. Frans Magnis Suseno membedakan 4 arti euthanasia mengikuti
J.Wundeli yaitu:
Euthanasia murni : usaha untuk memperingan kematian seseorang tanpa
memperpendek kehidupannya.Kedalamnya termasuk semua usaha perawatan dan
pastoral agar yang bersangkutan dapat mati dengan baik.Euthanasia ini tidak
menimbulkan masalah apapun
Euthanasia pasif :tidak dipergunakannya semua kemungkinan teknik
kedokteran yang sebenarnya tersedia untuk memperpanjang kehidupan
Euthanasia tidak langsung: usaha memperingan kematian dengan efek
sampingan bahwa pasien mungkin mati dengan lebih cepat.Di sini kedalamnya
termasuk pemberian segala macam obat narkotik,hipnotik dan analgetika yang
mungkin de facto dapat memperpendek kehidupan walaupun hal itu tidak
disengaja.
Euthanasia aktif: proses kematian diperingan dengan memperpendek
kehidupan secara terarah dan langsung.Ini yang disebut sebagai “mercy killing”.
10
Dalam euthanasia aktif masih perlu dibedakan pasien menginginkannya atau tidak
berada dalam keadaan dimana keinginanya dapat di ketahui.
III. Hak pasien dan pembatasannya
Penghormatan hak pasien untuk penentuan nasib sendiri masih
memerlukan pertimbangan dari seorang dokter terhadap pengobatannya.Hal ini
berarti para dokter harus mendahulukan proses pembuatan keputusan yang normal
dan berusaha bertindak sesuai dengan kemauan pasien sehingga keputusan dapat
diambil berdasarkan pertimbangan yang matang.Pasien harus diberi kesempatan
yang luas untuk memutuskan nasibnya tanpa adanya tekanan dari pihak manapun
setelah diberikan informasi yang cukup sehingga keputusannya diambil melalui
pertimbangan yang jelas.Beberapa pasien tidak dapat menentukan pilihan
pengobatan sehingga harus orang lain yang memutuskan apa tindakan yang
terbaik bagi pasien itu.Orang lain disni tentu dimaksudkan orang yang paling
dekat dengan pasien dan dokter harus menghargai pendapat-pendapat tersebut.
IV. Kewajiban perawat dalam kasus euthanasia
a. memfasilitasi klien dalam memenuhi kebutuhan dasarnya
b. membantu proses adaptasi klien terhadap penyakit / masalah yang sedang
dihadapinya
c. mengoptimalkan system dukungan
d. membantu klien untuk menemukan mekanisme koping yang adaptif
terhadap masalah yang telah dihadapi
e. membantu klien untuk lebih mendekatkan diri kepada tuhan yang maha
esa sesuai dengan keyakinannya.
11
V. Beberapa aspek euthanasia.
A. Aspek Hukum.
Undang undang yang tertulis dalam KUHP Pidana hanya melihat dari
dokter sebagai pelaku utama euthanasia, khususnya euthanasia aktif dan dianggap
sebagai suatu pembunuhan berencana, atau dengan sengaja menghilangkan nyawa
seseorang. Sehingga dalam aspek hukum, dokter selalu pada pihak yang
dipersalahkan dalam tindakan euthanasia, tanpa melihat latar belakang
dilakukannya euthanasia tersebut. Tidak perduli apakah tindakan tersebut atas
permintaan pasien itu sendiri atau keluarganya, untuk mengurangi penderitaan
pasien dalam keadaan sekarat atau rasa sakit yang sangat hebat yang belum
diketahui pengobatannya. Di lain pihak hakim dapat menjatuhkan pidana mati
bagi seseorang yang masih segar bugar yang tentunya masih ingin hidup, dan
bukan menghendaki kematiannya seperti pasien yang sangat menderita tersebut,
tanpa dijerat oleh pasal pasal dalam undang undang yang terdapat dalam KUHP
Pidana.
B. Aspek Hak Asasi.
Hak asasi manusia selalu dikaitkan dengan hak hidup, damai dan
sebagainya. Tapi tidak tercantum dengan jelas adanya hak seseorang untuk mati.
Mati sepertinya justru dihubungkan dengan pelanggaran hak asasi manusia. Hal
ini terbukti dari aspek hukum euthanasia, yang cenderung menyalahkan tenaga
medis dalam euthanasia. Sebetulnya dengan dianutnya hak untuk hidup layak dan
sebagainya, secara tidak langsung seharusnya terbersit adanya hak untuk mati,
apabila dipakai untuk menghindarkan diri dari segala ketidak nyamanan atau lebih
tegas lagi dari segala penderitaan yang hebat.
C. Aspek Ilmu Pengetahuan.
Pengetahuan kedokteran dapat memperkirakan kemungkinan keberhasilan
upaya tindakan medis untuk mencapai kesembuhan atau pengurangan penderitaan
12
pasien. Apabila secara ilmu kedokteran hampir tidak ada kemungkinan untuk
mendapatkan kesembuhan ataupun pengurangan penderitaan, apakah seseorang
tidak boleh mengajukan haknya untuk tidak diperpanjang lagi hidupnya? Segala
upaya yang dilakukan akan sia sia, bahkan sebaliknya dapat dituduhkan suatu
kebohongan, karena di samping tidak membawa kepada kesembuhan, keluarga
yang lain akan terseret dalam pengurasan dana.
D. Aspek Agama.
Kelahiran dan kematian merupakan hak dari Tuhan sehingga tidak ada
seorangpun di dunia ini yang mempunyai hak untuk memperpanjang atau
memperpendek umurnya sendiri. Pernyataan ini menurut ahli ahli agama secara
tegas melarang tindakan euthanasia, apapun alasannya. Dokter bisa dikategorikan
melakukan dosa besar dan melawan kehendak Tuhan yaitu memperpendek umur.
Orang yang menghendaki euthanasia, walaupun dengan penuh penderitaan bahkan
kadang kadang dalam keadaan sekarat dapat dikategorikan putus asa, dan putus
asa tidak berkenan dihadapan Tuhan. Tapi putusan hakim dalam pidana mati pada
seseorang yang segar bugar, dan tentunya sangat tidak ingin mati, dan tidak dalam
penderitaan apalagi sekarat, tidak pernah dikaitkan dengan pernyataan agama
yang satu ini. Aspek lain dari pernyataan memperpanjang umur, sebenarnya bila
dikaitkan dengan usaha medis bisa menimbulkan masalah lain. Mengapa orang
harus kedokter dan berobat untuk mengatasi penyakitnya, kalau memang umur
mutlak di tangan Tuhan, kalau belum waktunya, tidak akan mati. Kalau seseorang
berupaya mengobati penyakitnya maka dapat pula diartikan sebagai upaya
memperpanjang umur atau menunda proses kematian. Jadi upaya medispun dapat
dipermasalahkan sebagai melawan kehendak Tuhan. Dalam hal hal seperti ini
manusia sering menggunakan standar ganda. Hal hal yang menurutnya baik, tidak
perlu melihat pada hukum hukum yang ada, atau bahkan mencarikan dalil lain
yang bisa mendukung pendapatnya, tapi pada saat manusia merasa bahwa hal
tersebut kurang cocok dengan hatinya, maka dikeluarkanlah berbagai dalil untuk
menopangnya.
13
VI. Euthanasia dipandang dari aspek hukum di Indonesia
Berdasarkan hukum di Indonesia maka euthanasia adalah sesuatu
perbuatan yang melawan hukum, hal ini dapat dilihat pada peraturan perundang-
undangan yang ada yaitu pada Pasal 344, 338, 340, 345, dan 359Kitab Undang-
undang Hukum Pidana. Dari ketentuan tersebut, ketentuan yang berkaitna
langsung dengan euthanasia aktif terdapat pada pasal 344 KUHP.
Pasal 344 KUHP
Barang siapa menghilangkan jiwa orang lain atas permintaan orang itu
sendiri, yang disebutnya dengan nyata dan sungguh-sungguh, dihukum penjara
selama-lamanya dua belas tahun. Untuk euthanasia aktif maupun pasif tanpa
permintaan, beberapa pasal dibawah ini perlu diketahui oleh dokter.
Pasal 338 KUHP
Barang siapa dngan sengaja menhilangkan jiwa orang lain, dihukum
karena makar mati, dengan penjara selama-lamanya lima belas tahun.
Pasal 340 KUHP
Barang siapa yang dengan sengaja dan direncanakan lebih dahulu
menghilangkan jiwa orang lain, di hukum, karena pembunuhan direncanakan
(moord), dengan hukuman mati atau pejara selama-lamanya seumur hidup atau
penjara sementara selama-lamanya dua puluh tahun.
Pasal 359
Barang siapa karena salahnya menyebabkan matinya orang, dihukum
penjara selama-lamanya lima tahun atau kurungan selama-lamanya satu
tahun.Selanjutnya juga dikemukakan sebuah ketentuan hukum yang
mengingatkan kalangan kesehatan untuk berhati-hati menghadapi kasus
euthanasia.
Pasal 345
Barang siapa dengan sengaja menghasut orang lain untuk membunuh diri,
14
menolongnya dalam perbuatan itu, atau memberikan daya upaya itu jadi bunuh
diri, dihukum penjara selama-lamanya empat tahun penjara. Berdasarkan
penjelasan pandangan hukum terhadap tindakan euthanasia dalam skenario ini,
maka dokter dan keluarga yang memberikan izin dalam pelaksanaan tindakan
tersebut dapat dijeratkan dengan pasal 345 KUHP dengan acaman penjara selama-
lamanya empat tahun penjara.
VII. KODE ETIK INDONESIA
1. Berpindah ke alam baka dengan tenang daN aman tanpa penderitaan dan
bagi Mereka yang beriman dengan menyebutkan nama Allah di bibir.
2. Waktu hidup akan berakhir, diringankan penderitaan si sakit dengan
memberinya obat penenang
3. Mengakhiri penderitaan hidup orang sakit dengan sengaja atas permintaan
pasien sendiri dan keluarganya
Euthanasia Menurut Hukum Diberbagai Negara
Sejauh ini euthanasia diperkenankan yaitu dinegara Belanda, Belgia serta
ditoleransi di Negara bagian Oregon di Amerika, Kolombia dan Swiss dan
dibeberapa Negara dinyatakan sebagai kejahatan seperti di Spanyol, Jerman dan
Denmark termasuk di Indonesia.
Euthanasia di Belanda
Pada tanggal 10 April 2001 Belanda menerbitkan undang-undang yang
mengizinkan euthanasia, undang-undang ini dinyatakan efektif berlaku sejak
tanggal 1 April 2002, yang menjadikan Belanda menjadi Negara pertama di dunia
yang melegalisasi praktik euthanasia. Pasien-pasien yang mengalami sakit
menahun dan tidak dapat disembuhkan lagi, diberi hak untuk mengakhiri
penderitaannya. Tetapi perlu ditekankan, bahwa dalam KItab Hukum Pidana
Belanda secara formal euthanasia dan bunuh diri berbantuan masih dipertahankan
sebagai perbuatan kriminal.
15
Sejak akhir tahun 1993, Belanda secara hukum mengatur kewajiban para
dokter untuk melapor semua kasus euthanasia dan bunuh diri berbantuan. Instansi
kehakiman selalu akan menilai betul tidaknya prosedurnya. Pada tahun
2002,sebuah konvensi yang berusia 20 tahun telah dikodifikasi oleh undang-
undang Belanda, dimana seorang dokter yang melakukan euthanasia pada suatu
kasus tertentu tidak akan dihukum.
Euthanasia di Amerika
Eutanasia agresif dinyatakan ilegal dibanyak negara bagian di Amerika.
Saat ini satu-satunya negara bagian di Amerika yang hukumnya secara eksplisit
mengizinkan pasien terminal ( pasien yang tidak mungkin lagi disembuhkan)
mengakhiri hidupnya adalah negara bagian Oregon, yang pada tahun 1997
melegalisasikan kemungkinan dilakukannya eutanasia dengan memberlakukan
UU tentang kematian yang pantas (Oregon Death with Dignity Act)[8].
Tetapi undang-undang ini hanya menyangkut bunuh diri berbantuan,
bukan euthanasia. Syarat-syarat yang diwajibkan cukup ketat, dimana pasien
terminal berusia 18 tahun ke atas boleh minta bantuan untuk bunuh diri, jika
mereka diperkirakan akan meninggal dalam enam bulan dan keinginan ini harus
diajukan sampai tiga kali pasien, dimana dua kali secara lisan (dengan tenggang
waktu 15 hari di antaranya) dan sekali secara tertulis (dihadiri dua saksi dimana
salah satu saksi tidak boleh memiliki hubungan keluarga dengan pasien). Dokter
kedua harus mengkonfirmasikan diagnosis penyakit dan prognosis serta
memastikan bahwa pasien dalam mengambil keputusan itu tidak berada dalam
keadaan gangguan mental.Hukum juga mengatur secara tegas bahwa keputusan
pasien untuk mengakhiri hidupnya tersebut tidak boleh berpengaruh terhadap
asuransi yang dimilikinya baik asuransi kesehatan, jiwa maupun kecelakaan
ataupun juga simpanan hari tuanya. Belum jelas apakah undang-undang Oregon
ini bisa dipertahankan di masa depan, sebab dalam Senat AS pun ada usaha untuk
meniadakan UU negara bagian ini. Mungkin saja nanti nasibnya sama dengan UU
16
Northern Territory di Australia. Bulan Februari lalu sebuah studi terbit tentang
pelaksanaan UU Oregon selama tahun 1999.
Euthanasia di Inggris
Pada tanggal 5 November 2006, Kolese Kebidanan dan Kandungan
Britania Raya (Britain’s Royal College of Obstetricians and Gynaecologists)
mengajukan sebuah proposal kepada Dewan Bioetik Nuffield (Nuffield Council
on Bioethics) agar dipertimbangkannya izin untuk melakukan eutanasia terhadap
bayi-bayi yang lahir cacat (disabled newborns). Proposal tersebut bukanlah
ditujukan untuk melegalisasi eutanasia di Inggris melainkan semata guna
memohon dipertimbangkannya secara saksama dari sisi faktor “kemungkinan
hidup si bayi” sebagai suatu legitimasi praktek kedokteran. Namun hingga saat ini
eutanasia masih merupakan suatu tindakan melawan hukum di kerajaan Inggris
demikian juga di Eropa (selain daripada Belanda). Demikian pula kebijakan resmi
dari Asosiasi Kedokteran Inggris (British Medical Association-BMA) yang secara
tegas menentang eutanasia dalam bentuk apapun juga.
2.6. Learning Isue
Learning Issue berada di Lampiran
17
2.7. Problem Solving
1. PENGKAJIAN (ASSISMENT)
1) Identifikasi Pasien
a. Nama : Ny M
b. Umur : 23 tahun
c. Jenis Kelamin : Perempuan
d. Agama/Suku : Islam
e. Warga Negara : Indonesia
f. Bahasa yang digunakan : Indonesia
g. Dx. Medik : HIV AIDS
h. Penanggung Jawab
a. Nama : Ny H
b. Hubungan dgn pasien : Keluarga
i. Riwayat Kesehatan
a. Keluhan Utama : pasien mengatakkan bahwa dirinya
tidak ada daya upaya lagi
b. Riwayat Kesehatan Sekarang : Pasien bernama nona
“M” berumur 23 tahun mengetahui dirinya mengidap
HIV AIDS lebih kurang 7 tahun yang lalu, berbagai
pengobatan untuk menghadapi tanda gejala penyakit
tersebut telah dilakukan. Pasien mengatakan ingin
mengakhiri hidupnya melalui euthanasia
c. Riwayat Kesehatan Lalu : Keluarga mengatakan tidak
tahu jika nona “M” ingin melakukan euthanasia.
d. Riwayat Kesehatan Keluarga : Keluarga mengatakan
prihatin dengan kehilangan kontrol dalam keputusan
yang diambil nona “M
18
2. Pengumpulan data
Jenis data antara lain:
Data Objektif :
1. Pasien terlihat sangat frustasi
2. Pasien tampak gelisah
3. Pasien terlihat apatis
Data subjekif :
1. Pasien mengatakan bahwa dirinya tidak ada upaya lagi
2. Pasien merasa bahwa dirinya tidak berguna dan tidak mampu
melakukan aktivitas secara normal
3. Pasien ingin mengakhiri hidupnya
4. Pasien mengeluh bahwa dirinya terkadang ia merasa cemas dan
terancam bahwa dirinya akan mengalami sakit berkepanjangan tak
berkesudahan
5. Pasien mengatakan malu terhadap terhadap dirinya dan penyakitnya
6. Pasien mengeluh bahwa selalu bergantung kepada orang lain dan
merasa bahwa dirinya tidak berguna dan tidak mampu melakukan
aktivitas secara normal
3. Perencanaan (Intervensi)
Dx Keperawatan:
Ketidakberdayaan
DS:
a. Pasien mengatakan bahwa dirinya tidak ada upaya lagi
b. Pasien merasa bahwa dirinya tidak berguna dan tidak
mampu melakukan aktivitas secara normal
c. Pasien ingin mengakhiri hidupnya
19
d. Pasien mengeluh bahwa dirinya terkadang ia merasa
cemas dan terancam bahwa dirinya akan mengalami sakit
berkepanjangan tak berkesudahan
e. Pasien mengatakan malu terhadap terhadap dirinya dan
penyakitnya
f. Pasien mengeluh bahwa selalu bergantung kepada orang
lain dan merasa bahwa dirinya tidak berguna dan tidak
mampu melakukan aktivitas secara normal.
DO:
a.Pasien terlihat sangat frustasi
b. Pasien tampak gelisah
c.Pasien terlihat apatis
Tujuan:
a. Jangka Panjang: Berdaya
b. Jangka Pendek:
A. DS:
a. Pasien mengatakan bahwa dirinya tidak ada upaya lagi
b. Pasien merasa bahwa dirinya tidak berguna dan tidak
mampu melakukan aktivitas secara normal
c. Pasien ingin mengakhiri hidupnya
d. Pasien mengeluh bahwa dirinya terkadang ia merasa
cemas dan terancam bahwa dirinya akan mengalami sakit
berkepanjangan tak berkesudahan
e. Pasien mengatakan malu terhadap terhadap dirinya dan
penyakitnya
f. Pasien mengeluh bahwa selalu bergantung kepada orang
lain dan merasa bahwa dirinya tidak berguna dan tidak
mampu melakukan aktivitas secara normal
20
B. DO:
a.Pasien terlihat sangat frustasi
b. Pasien tampak gelisah
c.Pasien terlihat apatis
Intervensi:
a.Kolaborasi dengan dokter untuk memutuskan melakukan
atau tidak melakukan euthanasia.
b. Musyawarah dengan keluarga untuk menyetujui euthanasia
atau tidak melakukan euthanasia.
Rasionalisasi:
Yang berhak menentukan euthanasia adalah dokter
3. Tindakan (Implementasi)
1) Tindakan yang diusulkan :
Sebagai conselor, perawat melakukan pendekatan pada
keluarga dengan menjelaskan kemungkinan bahaya pada
pasien jika pasien tetap ingin melakukan euthanasia
Maksud dari tindakan tersebut adalah agar tidak
membahayakan kehidupan pasien
2) Tindakan Alternatif
Membuat tindakan alternatif tentang rangkaian tindakan
yang direncanakan dan mempertimbangkan hasil akhir /
konsekuensi tindakan tersebut dengan tidak menuruti
keinginan pasien untuk melakukan euthanasia.
Konsekuensi :
1)Tidak mempercepat kematian klien
2)Keadaan pasien akan tetap berlangsung
3)Pelanggaran terhadap hak pasien untuk menentukan
nasibnya sendiri
21
4)Keluarga dan orang tua cemas dengan situasi
tersebut
4. Evaluasi
Dalam kasus ini terdapat tindakan yang memiliki resiko dan
konsekuensi masing-masing terhadap klien. Perawat memberikan
pertimbangan-pertimbangan kepada pasien bahwa eutanasia bukanlah
jalan satu-satunya untuk menyelesaikan masalah.
22