CSS
ADENOMIOSIS UTERI
Oleh
Hery L. Gultom
0718011061
Preceptor
dr. H. Taufiqurrahman Rahim, Sp.OG (K)
SMF OBSTETRI DAN GINEKOLOGI
RSUD dr. H. ABDUL MOELOEK
BANDAR LAMPUNG
Desember 2012
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian Adenomiosis
Adenomyosis adalah penetrasi dan bertumbuhnya jaringan endometrium
(jaringan yang melapisi dinding dalam rahim) ke dalam myometrium (lapisan otot
rahim), sering disebut pula dengan endometriosis internal. Jadi penyakit ini
sejenis dengan endometriosis. Adenomyosis dapat ada bersamaan dengan
endometriosis eksternal. Dan jaringan endometrium yang salah tempat ini, seperti
endometrium yang normal, akan mengikuti siklus menstruasi, jadi cenderung
mengalami pendarahan pada saat menstruasi. Darah yang terkumpul di dalam
jaringan otot rahim ini akan menyebabkan pembengkakan; rahim menjadi lebih
besar. Pembengkakan (adenomyosis) ini dapat merata atau terfokus di satu
tempat.
Adenomiosis adalah penyakit jinak uterus yang dicirikan dengan adanya
kelenjar dan stroma endometrium ektopik dalam myometrium. Hal ini terjadi
akibat rusaknya batas antara stratum basalis endometrium dengan miometrium
sehingga kelenjar endometrium dapat menembus miometrium. Selanjutnya,
terbentuklah kelenjar intramiometrium ektopik yang dapat menyebabkan
hipertrofi & hiperplasia miometrium (difus atau lokal). Pemicu terjadinya
peristiwa ini sampai sekarang masih belum jelas.
Umumnya adenomyosis salah didiagnosa sebagai fibroid rahim. Sebenarnya
terdapat perbedaan mendasar diantara fibroid (suatu tumor yang jelas) dan
adenomyoma. Fibroid berasal dari satu sel yang abnormal, yang dibawah
pengaruh hormon estrogen akan berkembangbiak. Pertumbuhan tumor mungkin
dapat menggeser dan menekan jaringan sekitarnya, tetapi dia tidak pernah
menyusup ke jaringan otot rahim, oleh karena tidak menyusup ke jaringan otot
rahim maka dimungkinkan untuk mengangkat seluruh tumor ini tanpa
mengganggu jaringan rahim yang normal selama proses pembedahan yang disebut
myomektomi (pembedahan untuk mengangkat fibroid). Sebaliknya adenomyoma
bukanlah suatu tumor dengan batas yang jelas, tetapi lebih kea rah pembengkakan
lokal dari dinding rahim sebagai akibat penetrasi jaringan endometrium. Oleh
karena itu tidak mungkin untuk mengangkat jaringan yang terkena adenomyosis
tanpa mengangkat jaringan otot rahim yang dipenetrasi tadi.
Ada beberapa pendapat tentang batasan diagnosis adenomiosis. Secara
tradisional, diagnosis histologis adenomiosis ditegakkan ketika ditemukannya
kelenjar & stroma endometrium > 4 mm di bawah endomyometrial junction.
Sedangkan menurut Zaloudek & Norris, disebut adenomiosis jika jarak antara
batas bawah endometrium dengan daerah miometrium yang terkena + 2,5 mm.
Adenomiosis sub-basalis diartikan sebagai invasi minimal kelenjar endometrium
< 2 mm di bawah stratum basalis endometrium.
Menurut Hendrickson & Kempson, disebut adenomiosis jika lebih dari
sepertiga total ketebalan dinding uterus yang terkena. Sedangkan Ferenczy tetap
mempertahankan pendapatnya bahwa diagnosis adenomiosis jika jarak antara
endomyometrial junction dengan fokal adenomiosis terdekat > 25% total
ketebalan miometrium.
Siegler & Camilien mengelompokkan adenomiosis berdasarkan kedalaman
penetrasi ke dalam miometrium, yaitu:
• Derajat 1, mengenai 1/3 miometrium (Adenomiosis superfisial)
• Derajat 2, mengenai 2/3 miometrium
• Derajat 3, mengenai seluruh miometrium (Deep adenomyosis)
Selanjutnya adenomiosis juga dibagi berdasarkan jumlah pulau-pulau
endometrium pada pemeriksaan histologi menjadi ringan (1-3), sedang (4-9) &
berat (>10).
Gambar 1. Adenomiosis
Gambar 2. Gambaran adenomiosis
B. Gambaran Makroskopik dan Histologis
Adenomiosis menyebabkan pembesaran miometrium yang globuler & kistik
dengan beberapa kista yang berisi dengan extravasasi atau hemolisis dari sel-sel
darah merah & siderofag. Gambaran mikroskopis adenomiosis dikelilingi secara
melingkar oleh sel-sel otot polos yang hipertrofi (collar) sehingga adenomiosis
fokal terlihat > 2 mm lebih dalam dari miometrium atau lebih dari 1 lapangan
pandang dengan pembesaran 10X dari endomyometrial junction.
Adenomiosis (difus) berbeda dengan adenomioma. Adenomioma biasanya
melingkar, agregasi noduler otot polos, jaringan endometrium dan biasanya
dengan stroma endometrium. Lokasi adenomioma bisa di dalam miometrium atau
tumbuh sebagai polip, 2% polip endometrium merupakan adenomioma.
C. Patogenesis
Adenomiosis berkembang dari pertumbuhan ke bawah dan invaginasi dari
stratum basalis endometrium ke dalam miometrium sehingga bisa dilihat adanya
hubungan langsung antara stratum basalis endometrium dengan adenomiosis di
dalam miometrium. Di daerah ekstra-uteri misalnya pada plica rectovagina,
adenomiosis dapat berkembang de novo secara embriologis dari sisa ductus
Muller.
Mekanisme terjadinya invasi endometrium ke dalam miometrium pada
manusia masih dipelajari lebih lanjut. Perubahan proliferasi seperti aktivitas
mitosis menyebabkan peningkatan secara signifikan dari sintesis DNA &
ciliogenesis di lapisan fungsional endometrium daripada di lapisan basalis.
Lapisan fungsional sebagai tempat implantasi blastocyst, sedangkan lapisan
basalis sebagai sumber produksi untuk regenerasi endometrium akibat degenerasi
dari lapisan fungsional saat menstruasi. Pada saat proses regenerasi, sel-sel epitel
dari kelenjar basalis berhubungan langsung dengan sel-sel stroma endometrium
yang membentuk sistem mikrofilamentosa/trabekula intraselular dan gambaran
sitoplasma pseudopodia. Beberapa perubahan morfologi pada epitel kelenjar
endometrium adenomiosis tidak dapat digambarkan. Namun dalam studi invitro
menunjukkan sel-sel endometrium memiliki potensial invasif dimana potensial
invasif ini bisa memfasilitasi perluasan lapisan basalis endometrium ke dalam
miometrium.
Dalam studi yang menggunakan hibridisasi & imunohistokimia insitu
menunjukkan kelenjar-kelenjar endometrium pada adenomiosis lebih
mengekspresikan reseptor mRNA hCG/LH secara selektif. Pada endometrium
yang normal, kelenjar-kelenjar ini tidak dapat mengekspresikan reseptor hCG/LH.
Hal ini mungkin meskipun belum terbukti bahwa peningkatan ekspresi reseptor
epitel endometrium berkaitan dengan kemampuan untuk menembus miometrium
dan membentuk fokal adenomiosis. Menjadi menarik dimana peningkatan
ekspresi reseptor hCG/LH ditemukan pada Carsinoma endometrii dibandingkan
kelenjar endometrium yang normal seperti halnya yang ditemukan pada trofoblas
invasif dibandingkan yang non-invasif pada Choriocarsinoma.
Studi tentang reseptor steroid menggunakan Cytosol, menunjukkan hasil yang
tidak konsisten. Beberapa menunjukkan tidak ada ekspresi reseptor progesteron
pada 40% kasus adenomiosis, sedangkan yang lain menunjukkan ekspresi reseptor
progesterone yang lebih tinggi dibandingkan estrogen. Dengan menggunakan
tehnik pelacak imunohistokimia, ditemukan konsentrasi yang tinggi baik reseptor
estrogen dan progesteron pada lapisan basalis endometrium maupun adenomiosis.
Reseptor estrogen merupakan syarat untuk pertumbuhan endometrium yang
menggunakan mediator estrogen. Meskipun masih belum jelas evidensnya,
hiperestrogenemia memiliki peranan dalam proses invaginasi semenjak ditemukan
banyaknya hiperplasia endometrium pada wanita dengan adenomiosis.
Konsentrasi estrogen yang tinggi diperlukan dalam perkembangan adenomiosis
sebagaimana halnya endometriosis. Hal ini didukung bahwa penekanan terhadap
lingkungan estrogen dengan pemberian Danazol menyebabkan involusi dari
endometrium ektopik yang dikaitkan dengan gejala menoragia & dismenorea.
Pada penyakit uterus yang estrogen-dependent seperti Carsinoma endometrii,
endometriosis, adenomiosis & leiomioma, tidak hanya terdapat reseptor Estrogen,
namun juga aromatase, enzim yang mengkatalisasi konversi androgen menjadi
estrogen. Prekursor utama androgen, Andronostenedione, dikonversi oleh
aromatase menjadi Estrone. Sumber estrogen yang lain yaitu Estrogen-3-Sulfat
yang dikonversi oleh enzim Estrogen sulfatase menjadi Estrone, yang hanya
terdapat dalam jaringan adenomiosis. Nantinya Estrone akan dikonversi lagi
menjadi 17β-estradiol yang meningkatkan tingkat aktivitas estrogen. Bersama
dengan Estrogen dalam sirkulasi, akan menstimulasi pertumbuhan jaringan yang
menggunakan mediator estrogen.
Gambar 3. Patogenesis Adenomiosis
Gambar skematis mekanisme pertumbuhan adenomiosis yang estrogen-
dependent. Di dalam jaringan terdapat reseptor estrogen, aromatase & sulfatase.
Produksi estrogen lokal meningkatkan konsentrasi estrogen yang bersama-sama
dengan estrogen dalam sirkulasi, merangsang pertumbuhan jaringan yang
termediasi oleh reseptor estrogen.
m-RNA sitokrom P450 aromatase (P450arom) merupakan komponen utama
aromatase yang terdapat pada jaringan adenomiosis. Protein P450arom terlokalisir
secara imunologis dalam sel-sel kelenjar jaringan adenomiosis.
D. Perkembangan Endometriosis dan Adenomiosis
Hiperperistaltik uterus mempunyai peranan penting dalam perkembangan
endometriosis & adenomiosis. Hiperperistaltik dapat dipicu oleh peningkatan
kadar estradiol perifer di dalam darah. Namun, estradiol yang memicu
hiperperistaltik ini dapat juga berasal dari endometrium itu sendiri. Adanya
ekspresi P450 aromatase selama fase luteal, dimana lapisan basalis endometrium
merupakan kelenjar endokrin yang memproduksi estrogen dari prekursor
androgen. Pada wanita dengan adenomiosis dan endometriosis, konsentrasi
estrogen dalam darah saat haid lebih tinggi dibandingkan wanita normal.
Konsep tentang hiperestrogenisme archimetrium non-ovarium merupakan
salah satu kejadian awal dalam tahap perkembangan endometriosis yang
dipengaruhi juga oleh faktor-faktor lingkungan seperti perusak endokrin dan
konsumsi makanan, tetapi hal ini masih perlu didiskusikan lebih lanjut. Pada
penelitian dengan hewan coba, dioxin meningkatkan aktivitas peristaltik tuba dan
diaktifkan melalui reseptor estrogen. Faktor keturunan juga diteliti pada koloni
monyet Rhesus yang menunjukkan ada kaitannya dengan endometriosis.
Pada gambar berikut menerangkan konsep perkembangan endometriosis dan
adenomiosis. Archimiometrium distimulasi oleh peningkatan lokal dari estradiol
dan oksitosin endometrium beserta reseptornya. Kejadian yang menyebabkan
hiperestrogenisme archimetrium sampai saat ini belum diketahui. Diduga karena
peranan P450 aromatase yang karena aktivasi P450 aromatase menyebabkan
peningkatan produksi lokal dari estrogen. Hiperestrogenisme archimetrium
menghasilkan hiperperistaltik uterus dan peningkatan tekanan uterus.
Gambar 4. Skema patofisiologi endometriosis dan adenomiosis
Hiperperistaltik menyebabkan trauma mekanik sehingga terjadi peningkatan
deskuamasi fragmen endometrium basalis dan juga terjadi peningkatan kapasitas
transport uterus retrograde sehingga terjadi diseminasi fragmen-fragmen tersebut
melalui tuba. Fragmen-fragmen dapat berimplantasi dimanapun di dalam cavum
peritoneum. Setelah proses implantasi, terjadi proliferasi dan pertumbuhan
infiltrative yang tergantung dari potensial proliferative dari fragmen basalis
masing-masing. Gambaran endometriosis pelvis yang pleimorfik merupakan
rantai yang panjang sejak gangguan awal pada tingkat archimetrium sampai
berkembangnya lesi endometriosis.
Dalam perkembangan adenomiosis, rantai kejadian ini lebih pendek. Adanya
hiperperistaltik dan peningkatan tekanan uterus menyebabkan dehisiensi
miometrium yang dapat terinfiltasi oleh endometrium basalis. Terbentuklah
adenomiosis fokal atau difus. Adenomiosis fokal biasanya berada di dinding
anterior dan atau posterior, namun terutama di dinding posterior dan tidak pernah
berada di dinding lateral atau corpus uteri.
E. Gejala Klinis
Bisa saja seseorang memiliki adenomyosis dan dia tidak merasakan gejala
apapun. Gejala-gejala adenomyosis adalah triad gejala yakni pembesaran rahim,
nyeri pelvis dan menstruasi yang banyak dan abnormal. Nyeri, yang dirasakan
terutama selama menstruasi disebut dysmenorrhea dapat berupa kram yang hebat
atau seperti disayat pisau. Nyeri dapat juga dirasakan pada saat tidak sedang
menstruasi. Pembesaran rahim dapat merata dengan tonjolan-tonjolan rahim
yang besar atau dapat pula seperti “tumor” yang terlokalisir. Pendarahan pada saat
menstruasi dapat banyak sekali dan berhari-hari, mungkin dengan bekuan-bekuan
darah. Pendarahan yang hebat ini dapat menyebabkan anemia (berkurangnya
kadar Hemoglobin dalam sel darah merah). Selain itu diluar saat menstruasi bisa
ada pendarahan abnormal (pendarahan sedikit-sedikit, bercak-bercak).
Efek dari adenomyosis pada kesuburan dan kehamilan tidak jelas.
Adenomyosis mungkin menyebabkan berkurangnya kesuburan. Informasi yang
ada menyebutkan bahwa adenomyosis bisa ada pada 17% wanita hamil yang
berusia di atas 35 tahun. Adenomyosis jarang dihubungkan dengan komplikasi
obstetrik ataupun pembedahan. Pada kebanyakan kasus wanita hamil dengan
adenomyosis, adenomyosisnya ditemukan secara kebetulan pada saat operasi
cesar atau pada saat operasi pengangkatan rahim. Jadi adenomyosis dengan
ketidaksuburan masih memerlukan penelitian yang lebih lanjut.
Tabel 1. Presentasi klinis adenomiosis
Gejala Klinis Adenomiosis1. Asimtomatis
Ditemukan tidak sengaja (pemeriksaan abdomen atau pelvis; USG transvaginal
atau MRI; bersama dengan patologi yg lain)
2. Perdarahan uterus abnormal
Dikeluhkan perdarahan banyak, berhubungan dengan beratnya proses
adenomiosis (pada 23-82% wanita dengan penyakit ringan – berat) . Perdarahan
ireguler relatif jarang, hanya terjadi pada 10% wanita dengan adenomiosis
3. Dismenorea pada >50% wanita dengan adenomiosis
4. Gejala penekanan pada vesica urinaria & usus dari uterus bulky (jarang)
5. Komplikasi infertilitas, keguguran, hamil (jarang)
Bird dkk melaporkan dari kasus adenomiosis 51,2% pasien mengeluhkan
perdarahan banyak, 10,9% perdarahan ireguler, 28,3% dismenorea, 2,2%
perdarahan postmenopause dan 23,9% asimtomatis. Benson & Snedon juga
melaporkan temuan yang serupa.
Perdarahan banyak berhubungan dengan kedalaman penetrasi dari kelenjar
adenomiosis ke dalam miometrium dan densitas pada gambaran histologis dari
kelenjar adenomiosis di dalam miometirum. Kedalaman adenomiosis dan
hubungannya dengan perdarahan banyak menentukan pilihan strategi
penatalaksanaannya. McCausland & McCausland menunjukkan bahwa dari biopsi
reseksi endometrium, kedalaman penetrasi adenomiosis ke dalam miometrium
berhubungan dengan jumlah perdarahan banyak yang dilaporkan. Sehingga pada
adenomiosis superfisial dilakukan reseksi atau ablasi endometrium. Sedangkan
pada kasus adenomiosis yang lebih dalam atau dengan perdarahan banyak yang
berlanjut, perlu dilakukan penatalaksanaan bedah konvensional yaitu histerektomi.
F. Diagnosis
Adanya riwayat menorragia & dismenorea pada wanita multipara dengan
pembesaran uterus yang difus seperti hamil dengan usia kehamilan 12 minggu
dapat dicurigai sebagai adenomiosis. Dalam kenyataannya, diagnosis klinis
adenomiosis seringkali tidak ditegakkan (75%) atau overdiagnosis (35%).
Sehingga adanya kecurigaan klinis akan adenomiosis dapat dilanjutkan dengan
pemeriksaan pencitraan berupa USG transvaginal dan MRI.
Diagnosis adenomiosis secara klinis sulit dan seringkali tidak akurat. Hal ini
disebabkan gejala adenomiosis yang tidak khas, dimana gejala tersebut juga
ditemukan pada fibroid uterus, perdarahan uterus disfungsional (PUD) maupun
endometriosis. Dulu, diagnosis adenomiosis hanya dapat ditegakkan secara
histologis setelah dilakukan histerektomi. Dengan kemajuan dalam tehnik
pencitraan, diagnosis prehisterektomi bisa ditegakkan dengan tingkat akurasi yang
tinggi.
Pencitraan mempunyai 3 peran utama dalam mengelola pasien yang dicurigai
adenomiosis secara klinis. Pertama, untuk menegakkan diagnosis dan diagnosis
diferensial adenomiosis dari keadaan lain yang mirip seperti leiomioma. Kedua,
beratnya penyakit dapat disesuaikan dengan gejala klinisnya. Ketiga, pencitraan
dapat digunakan untuk monitoring penyakit pada pasien dengan pengobatan
konservatif. Beberapa pencitraan yang digunakan pada pasien yang dicurigai
adenomiosis yaitu Histerosalpingografi (HSG), USG transabdominal, USG
transvaginal dan MRI.
Gambaran karakteristik utama pada HSG berupa daerah yang sakit dengan
kontras intravasasi, meluas dari cavum uteri ke dalam miometrium. HSG memiliki
sensitivitas yang rendah.
Kriteria diagnostik dengan USG transabdominal yaitu uterus yang membesar
berbentuk globuler, uterus normal tanpa adanya fibroid, daerah kistik di
miometrium dan echogenik yang menurun di miometrium. Bazot dkk pada 2001
melaporkan bahwa USG transabdominal memiliki spesifisitas 95%, sensitivitas
32,5% dan akurasi 74,1% untuk mendiagnosis adenomiosis. USG transabdominal
memiliki kapasitas diagnostic yang terbatas untuk adenomiosis terutama pada
wanita yang terdapat fibroid.
Biasanya USG transabdominal dikombinasikan dengan USG transvaginal
yang menghasilkan kemampuan diagnostik yang lebih baik. Kriteria diagnostik
dengan USG transvaginal untuk adenomiosis yaitu tekstur miometrium yang
heterogen/distorsi, echotekstur miometrium yang abnormal dengan batas yang
tidak tegas, stria linier miometrium dan kista miometrium. Bazot dkk melaporkan
sensitivitas 65%, spesifisitas 97,5% dan tingkat akurasi 86,6% dengan USG
transvaginal dalam mendiagnosis adenomiosis dimana kriteria yang paling sensitif
& spesifik untuk adenomiosis adalah adanya kista miometrium.
Gambar 5. Gambaran USG Adenomiosis
MRI merupakan modalitas pencitraan yang paling akurat untuk evaluasi
berbagai keadaan uterus. Hal ini karena kemampuannya dalam diferensiasi
jaringan lunak. MRI dapat melihat anatomi internal uterus yang normal dan
monitoring berbagai perubahan fisiologis. Menurut Bazot dkk, kriteria MRI yang
paling spesifik untuk adenomiosis yaitu adanya daerah miometrium dengan
intensitas yang tinggi dan penebalan junctional zone >12 mm.
Gambar 6. Gambaran MRI Adenomiosis
Beberapa studi telah membandingkan akurasi pemeriksaan MRI dengan USG
transvaginal dalam mendiagnosisi adenomiosis. Dalam studi-studi terdahulu
menunjukkan tingkat akurasi yang lebih tinggi pada MRI dibandingkan USG
transvaginal. Namun dalam studi-studi terakhir dikatakan tidak ada perbedaan
tingkat akurasinya.
G. Pengobatan Adenomyosis
Adenomyosis biasanya hilang setelah menopause, sehingga pengobatan mungkin
tergantung pada kasus. Pilihan pengobatan untuk adenomyosis dapat meliputi:
1. Obat anti inflamasi
Jika mendekati menopause, dokter mungkin akan memberikan obat anti
inflamasi, seperti ibuprofen (Advil, Motrin, dan lain-lain), untuk
mengontrol nyeri. Dengan memulai obat anti-inflamasi 2-3 hari sebelum
periode menstruasi dimulai dan terus mengonsumsi selama periode
menstruasi, dapat mengurangi aliran darah menstruasi selain
menghilangkan rasa sakit.
2. Obat hormon
Mengontrol siklus menstruasi dapat dengan kontrasepsi oral kombinasi
estrogen-progestin atau melalui hormon yang mengandung patch atau
cincin vagina dapat mengurangi perdarahan berat dan rasa sakit yang
terkait dengan adenomyosis.
Seringkali pembesaran rahim yang tidak begitu besar biasanya tidak
menimbulkan gejala dan karenanya tidak diperlukan obat-obatan. Untuk
kasus-kasus pendarahan hebat disertai nyeri yang amat sangat dapat
dipakai obat GnRH agonis yang mana obat ini menyebabkan suatu
keadaan seperti menopause dengan penghentian fungsi indung telur secara
lengkap dan juga menghentikan menstruasi, yang menyebabkan jaringan
yang abnormal bisa menyusut. Keadaan seperti menopause ini sangat
menguntungkan bagi pasien-pasien yang mengalami anemia karena
memungkinkan pasien untuk memulihkan anemianya, terutama dibantu
dengan obat-obatan penambah darah. Tapi obat GnRH agonis ini tidak
mudah ditoleransi oleh karena menyebabkan gejala-gejala menopause
seperti hot flash. Konsekuensi lainnya adalah pengeroposan tulang,
peningkatan kolesterol jahat dan penurunan kolesterol yang baik. Oleh
karena itu pemakaian obat ini biasanya dibatasi selama 6 bulan saja. GnRH
agonis juga digunakan untuk mengobati kemandulan yang dihubungkan
dengan adenomyosis. Tapi obat ini bisa memulihkan kesuburan hanya
pada kasus-kasus yang ringan, tidak pada kasus-kasus yang berat.
Hormon progesterone ataupun pil KB tidak begitu efektif, khasiatnya
bersifat temporer.
3. Histerektomi
Histerectomi (operasi pengangkatan rahim) saat ini dipertimbangkan
sebagai satu-satunya terapi yang efektif untuk adenomyosis yang
menimbulkan gejala. Ahli bedah yang berpengalaman dapat hanya
mengangkat sebagian dari rahim (hanya daerah rahim yang mengandung
adenomyosis saja). Meskipun hanya sebagian rahim yang diangkat tetapi
dengan begitu maka tidak dibolehkan lagi adanya kehamilan.
DAFTAR PUSTAKA
Vercellini P, Vigano P, et al. Adenomiosis: epidemiological factors. Best Practice & Research Clinical Obstetrics and Gynaecology 2006; 20: 465-477.
Ferenczy A. Pathophysiology of adenomyosis. Human Reproduction Update 1998; 4: 312-322.
Kitawaki J. Adenomyosis: the pathophysiology of an oestrogen-dependent disease. Best Practice & Research Clinical Obstetrics and Gynaecology 2006; 20: 493-502.
Bergeron C, Amant F, Ferenczy A. Pathology and physiopathology of adenomyosis. Best Practice & Research Clinical Obstetrics and Gynaecology 2006; 20: 511-521.
Leyendecker G, Kunz G, et al. Adenomiosis and reproduction. Best Practice & Research Clinical Obstetrics and Gynaecology 2006; 20: 523-546.
Peric H, Fraser IS. The symptomatology of adenomyosis. Best Practice & Research Clinical Obstetrics and Gynaecology 2006; 20: 547-555.
Balogun M. Imaging diagnosis of adenomyosis. Reviews in Gynaecological and Perinatal Practice 2006; 6: 63-69.