TESIS
ASTAXANTHIN MENCEGAH EFEK NEKROSIS DAN
PERADANGAN OTOT PADA TIKUS YANG
MENGALAMI OVERTRAINING
RISTIE DARMAWAN
NIM O79O761014
PROGRAM MAGISTER
PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2012
ii
ASTAXANTHIN MENCEGAH EFEK NEKROSIS DAN
PERADANGAN OTOT PADA TIKUS YANG
MENGALAMI OVERTRAINING
Tesis untuk memperoleh Gelar Magister pada Program Magister, Program Studi
Ilmu Biomedik, Program Pascasarjana Universitas Udayana
RISTIE DARMAWAN
NIM 0790761014
PROGAM MAGISTER
PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2012
iii
Lembar Pengesahan
TESIS INI TELAH DISETUJUI
TANGGAL …………….
PembimbingI, Pembimbing II,
Prof. Dr. dr. J. Alex Pangkahila, MSc. Sp And. Prof. Dr. dr. Wimpie I Pangkahila, Sp And. FAACS
NIP. 194402011964091001 NIP. 194612131971071001
Mengetahui
Ketua Program Studi Ilmu Biomedik Direktur Program Pascasarjana
Program Pascasarjana, Universitas Udayana, Universitas Udayana,
Prof.Dr.dr. Wimpie I. Pangkahila, Sp And. FAACS Prof. Dr.dr. A.A.Raka Sudewi, Sp.S (K)
NIP. 194612131971071001 NIP. 195902151985102001
iv
Tesis Ini Telah Diuji pada
Tanggal
Panitia Penguji Tesis Berdasarkan SK Direktur Program
Pascasarjana
Universitas Udayana No. :……………. ,Tanggal……………..
Ketua : Prof. Dr. dr. Wimpie I. Pangkahila, Sp.And. FAACS
Anggota :
1. Prof. Dr. dr. J. Alex Pangkahila, MSc, Sp. And.
2. Prof. Dr. dr. N. Adiputra, MOH,
3. Prof. dr. I Ketut Tirtayasa, MS, AIF,
4. Dr. dr. Ida Sri Iswari, SpMK,M. Kes
v
UCAPAN TERIMA KASIH
Puji syukur kepada Tuhan yang maha esa atas anugerahNya tesis ini dapat
diselesaikan tepat pada waktunya.
Pada kesempatan ini perkenankanlah penulis mengucapkan terima kasih
yang sebesar-besarnya kepada Prof. Dr. dr. Wimpie I. Pangkahila, Sp.And.
FAACS dan Prof. Dr. dr. J. Alex Pangkahila, MSc, Sp. And., sebagai
pembimbing utama yang telah memberi dorongan, semangat, bimbingan dan
saran selama penulis mengikuti program pasca sarjana, terutama dalam
menyelesaikan penelitian dan tesis ini.
Ucapan yang sama juga ditujukan kepada Rektor Universitas Udayana,
Prof. Dr. dr. I Made Bakta, SpPD. KOHM, atas kesempatan dan fasilitas yang di
berikan kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidkan Program
Pasca Sarjana di Uniersitas Udayana. Ucapan terima kasih ini juga ditujukan
kepada Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana, Prof. Dr.dr. A.A.
Raka Sudewi, SpS (K), atas kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk
menjadi mahasiswa Program Pascasarjana Universitas Udayana. Juga penulis
mengucapkan terima kasih kepada Prof. Dr. dr. I Ketut Suastika, Sp PD. KEMD,
Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, atas ijin yang diberikan kepada
penulis untuk mengikuti pendidikan program Pascasarjana.
Pada kesempatan ini, penulis juga menyampaikan rasa terima kasih
kepada Dr. Ida Bagus Ngurah, Kepala Laboratorium Farmakologi Fakultas
vi
Kedokteran Universitas Udayana beserta staf, I Gede Wiranatha, S. Si dan Drh.
Ida Bagus Oka Winaya, Kepala Laboratorium Patologi Anatomi Fakultas
Kedokteran Hewan Universitas Udayana beserta staf, juga kepada I Ketut Tunas,
M.Si yang telah membantu dalam menyelesaikan penelitian penulis.
Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada para penguji yaitu,
Prof. Dr. dr. N. Adiputra, MOH, Prof. dr. I Ketut Tirtayasa, MS, AIF, Dr. dr. Ida
Sri Iswari, SpMK,M. Kes, yang telah memberikan masukan, saran, sanggahan
dan koreksi sehingga tesis ini dapat terwujud seperti ini. Penulis juga
mengucapkan terima kasih kepada pada dosen Pasca Sarjana Ilmu anti penuaan
Universitas Udayana beserta staf yang telah memberi kuliah, bimbingan juga
membantu dari segi teknis, kepada teman-teman sejawat, dan kepada seluruh
guru yang telah membimbing penulis, mulai dari sekolah dasar sampai perguruan
tinggi.
Juga kepada Ayahanda almarhum dan ibunda yang telah membesarkan
dan memberikan pendidikan pada penulis. Akhirnya penulis sampaikan terima
kasih kepada anak-anak yang telah berkorban memberikan penulis kesempatan
untuk berkonsentrai menyelesaikan tesis ini.
Semoga Tuhan Yang Mahaesa selalu melimpahkan rahmatNya kepada
semua pihak yang telah membantu pelaksanaan dan penyelesaian tesis ini.
vii
ABSTRAK
ASTAXANTHIN MENCEGAH EFEK NEKROSIS DAN PERADANGAN
OTOT PADA TIKUS YANG MENGALAMI OVERTRAINING
Olahraga dapat memperlambat proses penuaan, tetapi olah raga yang
melebihi kapasitas kemampuan tubuh untuk melakukan pemulihan, yang disebut
overtraining dapat merugikan kesehatan. Beberapa teori tentang kerusakan yang
terjadi pada overtraining disebabkan karena peumpukan radikal bebas. Penumpukan
radikal bebas dapat diturunkan oleh asupan antioksidan.
Penelitian ini dilakukan berdasarkan hipotesa terjadi nekrosis dan peradangan
jaringan otot pada tikus yang mengalami overtaining dan pemberian Astaxanthin
dengan dosis 1,2 mg/kgBB secara teratur mencegah efek nekrosis dan peradangan
jaringan otot sebagai akibat overtraining tersebut.
Penelitian dilakukan terhadap 24 ekor tikus yang dibagi menjadi 3 kelompok,
masing-masing berjumlah 8. Kelompok kontrol, kelompok tikus yang mendapat
perlakuan renang selama 10 menit setiap hari sebanyak 8 ekor, kelompok perlakuan,
tikus yang mengalami perlakuan renang sampai kelelahan dan tidak dapat berenang
lagi setiap hari dan kelompok tikus yang mendapat perlakuan renang sampai
kelelahan dan tidak dapat berenang lagi serta diberikan asupan Astaxanthin 1,2
mg/kgBB setiap hari. Percobaan dilakukan selama 30 hari. Setelah 30 hari, otot
gastrocnemius depan tikus diambil dan diamati struktur histologisnya.
Hasil pengamatan, tidak ada perubahan struktur histologis otot gastrocnemius
tikus kontrol yang mendapat perlakuan renang selama 10 menit setiap hari terhadap
tikus yang tidak mendapat perlakuan. Terjadi nekrosis dan peradangan otot pada
kelompok tikus yang mendapat perlakuan renang sampai terjadi kelelahan setiap hari
dan kelompk tikus yang mendapat perlakuan renang sampai terjadi kelelahan dan
diberi asupan astaxanthin 1,2 mg/kgBB yang bermakna ( p<0.05 ). Berdasarkan uji
Wilcoxon didapatkan bahwa pada kelompok yang diberikan astaxanthin 1,2 mg/kg
BB mengalami penurunan nekrosis secara bermakna sebesar 76,47% dan mengalami
penurunan sel radang secara bermakna sebesar 73,33% dibandingkan dengan
kelompok yang direnangkan maksimal saja
Kesimpulan, tingkat kejadian nekrosis dan sel radang pada tikus yang
diperlakukan renang maksimal dan diberi asupan Astaxanthin 1,2 mg/kgBB lebih
rendah dari tikus yang diperlakukan renang 10 menit.
Kata kunci : Overtraining, Astaxanthin.
viii
ABSTRACT
ASTAXANTHIN PREVENTS THE NEROSIS AND INFLAMATION
PROCESS OF THE MUSCLE TISSUE THAT IS CAUSED BY
OVERTRAINING IN RATS
Many studies showed that exercise slowed down the aging process. In
addition, they also showed exercise that exceeds the body ability to recover,
which was known as overtraining, negatively affected the health. Some theories
of the overtraining impact to body was caused by the accumulation of the free
radicals, while the free radical accumulation is reduced by the antioxidant.
Based on those theories, this study hypothesis was necrosis and
inflammation process happened in the muscle of rats that did the overtraining
exercise and 1.2 mg/kgBB of astaxanthin intake regularly reduced the necrosis
and inflammation process as the impact of the overtraining.
The study samples were 24 rats which were divided into 3 groups. Control
group was a group of 8 rats that swam for 10 minutes every day, Experimental
group were a group of 8 rats that swam to exhaustion every day, and a group of 8
rats that swam to exhaustion and was administered, by oral gastric tube, 1.2
mg/kgBW of astaxanthin daily. The study was done for 30 days then the m.
gastrocnemius of the rats was observed histologically under the microscope.
Results showed no histology changes in control group. However,
significant histology changes of the m. gastrocnemius, such as necrosis and
inflammation process, happened in the group that swam to exhaustion every day
and also in the group that swam to exhaustion with 1.2 mg/kgBW astaxanthin
supplementation every day ( p < 0.05 ). By Wilcoxon analysis, showed that the
necrosis happened in the group that swam to exhaustion with 1.2 mg/kgBW
astaxanthin was less to 76.47%, and the inflammation was less to 73.33%
compare to the group that swam to exhaustion only.
Conclusion, there was significant decreasing number of the necrosis and
inflammatory process in the group of rats that swam to exhaustion with 1.2
mg/kgBW astaxanthin intake compare to the group that swam to exhaustion only.
Key words : Overtraining, Astaxanthin.
ix
DAFTAR ISI
Halaman
SAMPUL DALAM ……………………………………………………… i
PRASYARAT GELAR ………………………………………………… ii
LEMBAR PERSETUJUAN ……………………………………………. iii
PENETAPAN PANITIA PENGUJI ……………………………………… iv
UCAPAN TERIMA KASIH ……………………………………………… v
ABSTRAK ……………………………………………………………….. vii
ABSTRACT ……………………………………………………………… viii
DAFTAR ISI ……………………………………………………………. ix
DAFTAR TABEL ……………………………………………………… xii
DAFTAR GAMBAR ………………………………………………….. xiii
DAFTAR LAMPIRAN ……………………………………………….. xiv
BAB I PENDAHULUAN…………………………………………..…… 1
1.1. Latar Belakang……………………………………………. 1
1.2. Rumusan Masalah………………………………………… 4
1.3. Tujuan Penelitian ………………………………………… 5
1.4. Manfaat Penelitian ……………………………………….. 5
BAB II KAJIAN PUSTAKA …………………………………………… 7
2.1. Overtraining ……………………………………………… 7
x
2.2. Stress Oksidatif dan Antioksidan …………………………….. 23
2.3. Astaxanthin ………………………………………………….. 39
BAB III KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN
…………………………………………………………………… 47
3.1. Kerangka Berpikir………………………………………….. 47
3.2. Kerangka Konsep ………………………………………….. 48
3.3. Hipotesis Penelitian ……………………………………….... 48
BAB IV METODE PENELITIAN ……………………………………….. 49
4.1. Rancangan Penelitian ………………………………………. 49
4.2. Lokasi dan Waktu Penelitian ………………………………. 51
4.3. Teknik Sampling dan Kriteria ……………………………… 51
4.4. Besar Sampel ………………………………………………. 52
4.5. Variabel Penelitian …………………………………………... 53
4.6. Bahan dan Alat Penelitian …………………………………… 56
4.7. Prosedur Penelitian ………………………………………….. 56
4.8. Alur Penelitian………………………………………………. 58
4.8. Analisa Data …………………………………………………. 58
BAB V HASIL PENELITIAN …………………………………………… 60
5.1. Uji Normalitas Data …………………………………………. 60
5.2. Nekrosis Dalam Jaringan Otot ……………………………… 61
5.2.1. Analisis Efek Perlakuan ………………………………. 61
xi
5.2.2. Analisis Komparasi Antara Sebelum dan Sesudah Perlakuan
…………………………………………………………… 63
5.3. Sel Radang Dalam Jaringan Otot ………………………………. 63
5.3.1. Analisis Efek Perlakuan …………………………………. 63
5.3.2. Analisis Komparasi Antara Sebelum dan Sesudah Perlakuan
……………………………………………………………. 65
BAB VI PEMBAHASAN …………………………………………………… 67
6.1. Subyek Penelitian ………………………………………………. 67
6.2. Pemberian Astxanthin ………………………………………….. 67
6.3. Pengaruh Astaxanthin terhadap Nekrosis ………………………. 68
BAB VII SIMPULAN DAN SARAN ……………………………………….. 78
7.1. Simpulan ……………………………………………………….. 78
7.2. Saran …………………………………………………………… 78
DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………… 80
LAMPIRAN …………………………………………………………………. 85
xii
DAFTAR TABEL
Halaman
5.1. Hasil Uji Normalitas Data Nekrosis dan Sel Radang Setelah Perlakuan … 61
5.2. Rerata Nekrosis Jaringan Otot antar kelompok sesudah diberikan
perlakuan………………………………………………………………...…61
5.3. Analisis Komparasi Nekrosis antara Sebelum dan Sesudah Perlakuan …... 63
5.4. Rerata Sel radang Jaringan Otot antar kelompok sesudah diberikan
perlakuan……………………………………………………………….…...64
5.5. Analisis Komparasi Sel radang antara Sebelum dan Sesudah Perlakuan… 65
xiii
DAFTAR GAMBAR
Halaman
2.1. Hubungan antara Volume Aktivitas Fisik dengan Manfaatnya terhadap
Kesehatan …………………………………………………………........ 9
2.2. Grafik Pelatihan Periodisasi ………………………………………….. 13
2.3. Skema terjadi sindroma overtraining pada pelatihan endurans ……….. 14
2.4. Perubahan struktur histologis pada otot yang mengalamai overtraining. 21
2.5. SkemaTerganggunya keseimbangan Species Reaktif dan Antioksidan... 24
2.6. Struktur Kimia Astaxanthin ……………………………………………. 40
3.1. Kerangka Konsep……………………………………………………….. 48
4.1. Bagan Rancangan Penelitian……………………………………………. 49
4.2. Gambaran serat otot normal ……………………………………………. 54
4.3. Nekrosis dan Sel radang ……………………………………………….. 55
4.4. Alur Penelitian ………………………………………………………….. 58
5.1. Grafik Terjadinya Nekosis setelah Pemberian Overtraining+Astaxanthi 62
5.2. Grafik Penurunan Sel Radang setelah Pemberian astaxanthin ………… 65
xiv
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1. Konversi Perhitungan Dosis Untuk Beberapa Jenis Hewan dan Manusia…. 85
2. Gambaran Histologis Serat Otot ………………………………………..…. 86
3. Distribusi Hasil ………………………………………………………..….. 89
4. Uji Normalitas Data Nekrosis dan Sel Radang ………………………...….. 91
5. Uji Kruskal-Wallis Data Nekrosis dan Sel Radang antar Kelompok Perlakuan.
………………………………………………………………………….....…….92
6. Uji Wilcoxon Sign Rank Test Data Nekrosis antara Sebelum dengan Sesudah
Perlakuan …………………………………………………………….…..… 94
7. Uji Wilcoxon Sign Rank Test Data Sel Radang antara Sebelum dengan
Sesudah Perlakuan…………………………………………………………. 96
8. Statistik Deskriptif ……… ………………………………………………. 99
9. Perhitungan Persentase hasil penelitian... …………………………………. 100
10.Keterangan Kelaikan Etik …………………..…….……….……………….101
1
BAB I
PENDAHULUAN
I.1. Latar Belakang
Seiring dengan meningkatnya kepedulian masyarakat akan hidup sehat,
ilmu pengetahuan tentang anti penuaan terus berkembang. Berbagai usaha
dilakukan orang untuk menunda proses penuaan. Orang ingin berumur panjang
tetapi tetap sehat dan mempunyai kualitas hidup yang baik dalam menjalani hari
tuanya.
Ilmu anti penuaan terus berkembang dengan berbagai penelitian yang
semuanya ditujukan untuk mendalami tentang proses penuaan dan mencari
pengetahuan tentang cara mengatasi dan memperlambat proses penuaan tersebut,
yaitu mencegah penyakit, kesakitan, ketidakmampuan dan keterbatasan dalam
melakukan kegiatan sehari-hari.
Ada 4 prinsip teori proses penuaan yaitu teori “ wear and tear “, teori
neuro endokrin, teori kontrol genetik dan teori radikal bebas. Sampai saat ini
diyakini ada 5 pilar ilmu anti penuaan yaitu : diet, nutrisi, suplementasi, olah
raga, dan terapi sulih hormon. Olah raga atau pelatihan merupakan pertahanan
pertama melawan proses penuaan. Dengan berolah raga fungsi tubuh dapat
dipertahankan dan ditingkatkan walaupun umur bertambah tua (Goldman,
2007).
Kurangnya aktivitas fisik merupakan faktor resiko terhadap penyakit
kardiovaskular, dan sejumlah penyakit kronik lainnya termasuk kencing manis,
kanker (usus dan payudara), obesitas, hipertensi, kelainan tulang dan sendi
2
(osteoporosis dan keradangan sendi), dan depresi. Mortalitas karena penyakit
kardiovaskular dan kanker yang lebih rendah pada kelompok dengan pelatihan
intensif, dan terjadi peningkatan resiko pada grup dengan aktivitas fisik rendah.
Kebugaran fisik yang lebih tinggi menunda semua penyebab mortalitas primer
yang disebabkan oleh penyakit kardiovaskular dan kanker (Darren dkk, 2006).
Namun banyak orang tidak memahami cara berolahraga yang baik untuk
kesehatan. Salah satu kesalahan yang sering dilakukan adalah overtraining.
Overtraining terjadi bila volume dan intensitas pelatihan melebihi
kapasitas pemulihan tubuh yang akan mengakibatkan penurunan kekuatan dan
kebugaran. Hal ini sering terjadi pada orang yang banyak melakukan olah raga
endurans. Overtraining juga bisa menyebabkan kerusakan otot yang biasanya
terjadi pada orang yang jarang melakukan olah raga, terutama jika yang
melibatkan otot besar dan gerakan pelenturan otot (Clarkson dan Hubal, 2002).
Olahraga yang bertujuan memperpanjang hidup dan kesehatan adalah aktivitas
fisik yang dilakukan dengan semangat dan memenuhi syarat tertentu, tetapi
bukanlah aktivitas yang berlebihan, bukan pula yang bersifat kompetitif tinggi
dan dengan penyalahgunaan (Pangkahila, 2007).
Penggunaan otot yang berlebihan pada keadaan overtraining atau cidera
otot dapat mengakibatkan respon peradangan (inflamasi) di mana terjadi invasi
neutrofil yang diikuti dengan makrofag. Proses inflamasi ini terjadi juga pada
mekanisme perbaikan, regenerasi dan pertumbuhan otot yang menyebabkan
aktivasi dan proliferasi dari sel satelit, diikuti dengan diferensiasi akhir. Akhir-
akhir ini mulai dilakukan penelitian untuk mengeksplorasi hubungan antara
fungsi sel inflamasi dan kerusakan otot dan perbaikan otot dengan menggunakan
3
tikus, hilangnya antibodi dari kumpulan sel inflamasi spesifik, atau terjadinya
inflamasi pada otot setelah cidera (Clarkson dan Hubal, 2002).
Berdasarkan teori kemungkinan terjadinya kerusakan otot pada keadaan
overtraining yang disebabkan penumpukan radikal bebas, maka dibutuhkan
asupan antioksidan untuk mencegah kerusakan otot tersebut.
Radikal bebas merupakan salah satu bentuk senyawa oksigen reaktif,
secara umum diketahui sebagai senyawa yang memiliki electron tidak
berpasangan. Senyawa ini terbentuk di dalam tubuh, dipicu oleh bermacam-
macam faktor. Pada proses metabolisme sering kali terjadi kebocoran elektron.
Dalam kondisi demikian, mudah sekali terbentuk radikal bebas, seperti anion
superoksida, hidroksil, dan lain-lain. Radikal bebas juga dapat terbentuk dari
senyawa lain yang sebenarnya bukan radikal bebas, tetapi mudah berubah
menjadi radikal bebas, misalnya, hidrogen peroksida (H2O2), ozon, dan lain-lain.
Kedua kelompok senyawa tersebut sering diistilahkan sebagai Senyawa Oksigen
Reaktif (SOR) atau Reactive Oxygen Species (ROS) (Iorio,2007).
Anti oksidan merupakan senyawa pemberi elektron atau reduktan.
Senyawa ini mempunyai berat molekul kecil, tetapi mampu mengaktivasi
berkembangnya reaksi oksidasi, dengan cara mencegah terbentuknya radikal.
Antioksidan juga merupakan senyawa yang dapat menghambat reaksi oksidasi,
dengan mengikat radikal bebas dan molekul yang sangat reaktif. Akibatnya,
kerusakan sel akan dihambat (Iorio, 2007).
Ada banyak macam antioksidan di antaranya: vitamin E, vitamin C,
carotenoid, polyphenols, flavonoids,dan yang lainnya. Astaxanthin adalah salah
satu kelompok pigmen natural dari karotenoid. Di alam karotenoid dihasilkan
4
sebagian besar oleh tanaman dan golongan mikroskopiknya yaitu mikroalgae.
Astaxanthin terbanyak dihasilkan oleh suatu mikroalgae Haematococcus
pluvialis. Sumber lain adalah hasil fermentasi ragi merah muda
Xanthophyllomyces dendrorhous atau ekstrak dari produk pigmen seperti udang
Antarctic Krill (Euphausia superba). Selain dari alam astaxanthin juga dapat
dihasilkan sintetis kimia, dan banyak digunakan sebagai makanan ikan.
Astaxanthin memiliki molekul yang sama dengan famili karotenoid beta-
karoten, tetapi sangat berbeda pada struktur kimia dan biologi. Astaxanthin
menunjukkan potensi antioksidan yang lebih tinggi dibandingkan dengan beta-
karoten pada penelitian di laboratorium (Cysewski dan Lorenz,2000).
Dalam penelitian Ikeuchi dkk (2006), dilakukan penelitian dengan
menggunakan dosis astaxanthin 1,2 mg/kg BB pada tikus, di mana terjadi
peningkatan waktu renang sebelum terjadi kelelahan dibanding kelompok
kontrol. Berdasarkan penelitian tersebut, penelitian ini dilakukan dengan
menggunakan astaxanthin dengan dosis yang sama, apakah juga dapat mencegah
kerusakan otot yang disebabkan overtraining.
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas maka dapat dirumuskan permasalahan
sebagai berikut.
1. Apakah terjadi nekrosis dan peradangan jaringan otot pada tikus yang
mengalami overtaining?
5
2. Apakah pemberian Astaxanthin dengan dosis 1,2 mg / kgBB secara
teratur dapat mencegah efek nekrosis dan peradangan jaringan otot
sebagai akibat overtraining ?
1.3. Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
Untuk mengetahui apakah terjadi kerusakan otot pada tikus yang
mengalami overtraining dan untuk mengetahui apakah antioksidan dapat
menurunkan kejadian kerusakan otot pada tikus yang mengalami overtraining
1.3.2. Tujuan Khusus
1. Untuk mengetahui apakah terjadi nekrosis dan peradangan jaringan otot
pada tikus yang mengalami overtraining.
2. Untuk mengetahui apakah pemberian Astaxanthin dengan dosis 1,2
mg/kgBB secara teratur dapat mencegah terjadinya nekrosis dan
peradangan jaringan nekrosis pada otot tikus yang diakibatkan oleh
overtraining.
1.4. Manfaat Penelitian
1. Didapatkan data-data ilmiah yang dapat digunakan sebagai bahan acuan
untuk memberikan informasi mengenai terjadinya nekrosis dan peradangan
jaringan otot pada keadaan overtaining dan pemberian Astaxanthin dapat
menurunkan efek nekrosis dan peradangan otot tersebut pada tikus.
2. Memberikan informasi pada masyarakat bahwa terjadi nekrosis dan
peradangan jaringan otot pada keadaan overtraining dan asupan
6
antioksidan khususnya astaxanthin dengan dosis 1,2 mg / kg BB dapat
menurunkan efek nekrosis dan peradangan otot tersebut pada tikus.
7
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1. Overtraining
Ada 4 teori utama terjadiya proses penuaan yaitu teori “ wear and tear “,
teori neuro endokrin, teori kontrol genetik dan teori radikal bebas. Banyak
penelitian yang menunjukkan penumpukan radikal bebas yang secara terus
menerus merusak sel dan jaringan yang merupakan faktor utama menunjang
proses penuaan. Pada sistem tubuh mamalia reaksi radikal bebas sangat
melibatkan faktor oksigenasi (Harman, 2004).
Pelatihan endurans dapat meningkatkan pemakaian oksigen dibanding
saat beristirahat. Hal ini dapat membentuk radikal bebas dan dapat
mengakibatkan terjadinya kerusakan otot ataupun jaringan tubuh lainnya. Tubuh
mempunyai pertahanan antioksidan dari dalam yang dapat melawan
pemebentukan radikal bebas tersebut. Pelatihan atau olah raga merupakan faktor
utama yang dapat mecegah proses penuaan, namun harus dilakukan dengan dosis
yang tepat agar tidak terjadi keadaan yang disebut overtraining yang malah dapat
membahayakan bagi kesehatan (Reynolds, 2010).
Olah raga merupakan satu faktor penting dalam kesehatan dan menunda
proses penuaan. Banyak penelitian yang menunjukan bukti bahwa aktivitas fisik
teratur atau olah raga menurunkan resiko seseorang mengalami penyakit yang
mengancam jiwa seperti penyakit jantung dan paru, juga kanker. Telah terbukti
bahwa olah raga dapat menurunkan morbiditas dan mortalitas, tidak hanya
meningkatkan harapan hidup tapi juga meningkatkan produktivitas hidup. Salah
8
satu hasil penelitian yang penting adalah olah raga dengan intensitas sedang dapat
berguna untuk kesehatan secara signifikan. Hanya dengan melakukan aktivitas
fisik teratur dapat menurunkan tekanan darah, menurunkan lemak dan kadar
cholesterol, meningkatkan kadar HDL, dan meningkatkan kepekaan terhadap
insulin (Beers,2004). Beberapa keuntungan lain yaitu meningkatkan tingkat
energi, meningkatkan rasa percaya diri, meningkatkan kekuatan dan kemampuan
melakukan kegiatan sehari-hari, meningkatkan massa otot dan menurunkan
lemak tubuh. Sulit menemukan sumber anti penuaan lain yang sebaik seperti
aktivitas fisik regular atau olah raga (Bell, 2008). Berolah raga dan aktivitas fisik
sangat berguna untuk meningkatkan kesehatan dan kualitas hidup. Untuk tujuan
kesehatan umum dibutuhkan sedikitnya 30 menit melakukan aktivitas fisik atau
olah raga sebanyak 5x perminggu. Namun jika ingin mengurangi berat badan
atau untuk tujuan khusus dari kebugaran, diperlukan olah raga lebih dari itu
(Haskell dkk, 2007). Menurut Elstein (2005), dibutuhkan olah raga 45-60 menit
berjalan sebanyak 5x perminggu akan meningkatkan kesehatan.
Di beberapa negara maju olah raga digunakan sebagai terapi utama untuk
berbagai jenis penyakit selain untuk menunda proses penuaan. Banyak penelitian
yang membuktikan bahwa dengan olah raga teratur dapat menurunkan LDL,
Trigligliserida, memperbaiki komposisi tubuh, menurunkan tekanan darah bagi
penderita hipertensi dan meningkatkan kepekaan terhadap insulin, meningkatkan
HDL dan lain-lain (Darren dkk, 2006).
Pada grafik di halaman berikut dapat dilihat keuntungan yang didapat dari
olah raga:
9
Gambar 2.1. Hubungan antara Volume Aktivitas Fisik dengan Manfaatnya
terhadap Kesehatan (Bell, 2000)
Pada grafik di atas terlihat bahwa dengan berolah raga atau melakukan
aktivitas fisik yang menghabiskan 3000 kcal per minggu secara signifikan
mengurangi kadar trigliserida, menurunkan tekanan darah pada penderita
hipertensi, memperbaiki komposisi tubuh dan meningkatkan HDL ( Gledhill dan
Jamnick, 2003).
Pada penelitian Lee dan Paffenbarger (2000), didapatkan bahwa pelatihan
ringan (< 4 METs) tidak menurunkan tingkat mortalitas, sedangkan aktivitas
sedang (4 – 6 METs) menguntungkan dan aktivitas lebih tinggi (> 6 MET ) jelas
menurunkan angka kematian.
Banyak pilihan macam olah raga yang dapat dilakukan untuk menunjang
kesehatan, menunda proses penuaan bahkan sebagai terapi untuk berbagai jenis
penyakit. Namun untuk mendapatkan keuntungan optimal dari olah raga terhadap
10
kesehatan diperlukan tatacara olah raga yang benar. Sama seperti obat-obatan
yang digunakan untuk terapi penyakit, maka olah raga pun mempunyai dosis
tertentu dan bersifat individual (Bell, 2008). Sering kali olah raga dilakukan
dengan berlebihan karena salah mengartikan bahwa olah raga itu sehat bagi
kesehatan sehingga timbul persepsi bahwa semakin banyak beroleh raga maka
efek bagi kesehatan akan semakin baik. Kenyataannya olah raga secara
berlebihan yang sering disebut overtraining akan membahayakan kesehatan.
Sering kali olah raga dilakukan dengan dosis dan cara yang salah yang bahkan
dapat membahayakan bagi kesehatan. Overtraining dapat juga terjadi pada orang
yang jarang berolah raga kemudian melakukan olah raga yang melebihi
kemampuannya.
Overtraining terjadi saat adanya ketidakseimbangan antara pelatihan dan
pemulihan, pelatihan dan kapasitas kemampuan pelatihan, stres dan toleransi
stres. Yang dimaksud dengan stres adalah gabungan dari stres karena pelatihan
dan faktor lain. Overtraining jangka pendek akan terjadi selama beberapa hari
sampai 2 minggu dengan gejala kelelahan, menurunnya kapasitas pelatihan
maksimal, ketidakmampuan untuk berkompetisi. Pemulihan terjadi beberapa
hari, dengan prognosis yang lebih baik. Overtraining jangka panjang terjadi
selama beberapa minggu sampai berbulan-bulan yang mengakibatkan sindroma
overtraining. Penumpukan pelatihan yang berlebih dengan kelelahan lain,
menyebabkan penurunan kapasitas pelatihan maksimal, gangguan perasaan,
kekakuan dan kenyerian otot, dan menurunnya kemampuan berkompetisi jangka
panjang. Pemulihan sempurna memerlukan waktu berminggu-minggu sampai
berbulan-bulan. Selain itu juga terjadi perubahan komponen dalam darah, tingkat
11
hormon, dan pengeluaran katekolamin pada air seni malam hari (Cunha dkk,
2006).
Overtraining terjadi ketika intensitas dan volume pelatihan melebihi
kapasitas pemulihan, yang kemudian menyebabkan perubahan emosi, perilaku
dan kondisi fisik seseorang. Bila dibiarkan berlangsung maka akan terjadi
penurunan kebugaran dan kekuatan fisik. Overtraining sering terjadi pada
pelatihan beban, juga pada atlet-atlet lain. Contoh dari overtraining yaitu pada
pelatihan beban dengan intensitas tinggi untuk kelompok otot yang sama selama
2 hari berturut-turut.
Peningkatan kekuatan dan kebugaran terjadi hanya saat periode istirahat
setelah melakukan pelatihan berat. Proses tersebut memerlukan waktu 12 – 24
jam. Jika periode istirahat tidak cukup maka regenerasi sel tidak akan terjadi. Jika
ketidakseimbangan antara pelatihan berat dan istirahat yang tidak cukup terus
berlangsung maka performa akan menetap atau bahkan menurun. Overtraining
ringan hanya memerlukan istirahat beberapa hari atau melakukan penurunan
aktivitas sampai pemulihan terjadi. Jika tetap dilakukan pelatihan akan terjadi
akumulasi kelelahan yang akan menetap bermingu-minggu bahkan berbulan-
bulan.
Overtraining lebih mudah terjadi pada orang yang mengalami stres fisik
dan psikologis, seperti jet lag, penyakit menahun, kelelahan kerja, menstruasi,
gizi buruk. Merupakan masalah yang umum terjadi pada atlet binaraga dan para
pelaku diet juga melakukan pelatihan dengan intensitas tinggi dan mengurangi
asupan makanan. Dengan melakukan pelatihan berlebihan, dan waktu pemulihan
yang terlalu singkat, beberapa kasus overtraining berat terjadi lebih kompleks
12
yang melibatkan banyak faktor termasuk beban pelatihan yang berat dan
kurangnya waktu pemulihan (Harnish, 2009).
Beberapa kemungkinan mekanisme overtraining :
- Terjadinya trauma kecil yang lebih cepat daripada proses
penyembuhannya.
- Penggunaan asam amino yang lebih cepat dibandingkan asupannya,
sering disebut kekurangan protein.
- Tubuh menjadi kekurangan kalori dan terjadi peningkatan
pemecahan jaringan otot.
- Kadar Cortisol (hormon stres) juga meningkat dalam waktu lama
- Tubuh lebih lama berada dalam keadaan katabolik daripada
anabolik (mungkin juga karena akibat dari peningkatan kadar
cortisol)
- Peregangan pada system saraf yang terus menerus selama pelatihan
- Penumpukan radikal bebas yang kemudian menyebabkan kerusakan
otot.
Overtraining merupakan sindrom kompleks, merupakan campuran gejala
dan tanda dari perasaan kelelahan mental yang terlihat pada kelahan fisik dan
penurunan performa. Tingkat metabolisme basal akan meningkat, penurunan
berat badan yang berhubungan dengan keseimbangan negatif dari nitrogen,
tingkat kembalinya denyut nadi pelatihan ke denyut nadi istirahat menjadi lebih
lama. Sindroma overtraining meliputi perubahan hantaran neuron dan sistem
endokrin terutama hypothalamus (Hartmann dan Mester, 2000).
13
Berikut adalah grafik pengaruh waktu pemulihan yang cukup dengan
peningkatan kebugaran fisik.
Gambar. 2.2 Grafik Pelatihan periodisasi (Bell, 2008)
Garis grafik atas menunjukkan siklus pelatihan dan pemulihan yang tepat,
terlihat terjadi peningkatan performa pelatihan. Garis grafik bawah menunjukan
pelatihan yang berat dengan pemulihan yang tidak memadai, yang dalam waktu
lama akan menyebabkan performa menurun dan terjadi gejala-gejala overtraining
(Bell, 2008).
Berikut ini adalah skema mekanisme terjadinya sindroma overtraining
14
Gambar. 2.3. Skema terjadi sindroma overtraining pada pelatihan endurans
(Lehmann, 1998)
↑ Training Load
↑Competition
↑Non Training
Stress Factor
Ch
ron
ic
im
bal
an
ce
Inadequate
recovery
Neuromuscular
overload
Sympathetic
System Overload
Metabolic
Overload
Adrenal
Overload
Psychological
Overload
Glycogen
Depletion Decrease
Neuromuscular
function
Decrease β-
adrenoreceptor
density
Amino acid imbalance
Altered hypothalamic-
pituitary function
Decrease Cortisol
response
Brain Neurotransmitter
imbalance
Decrease
intrinsic
sympathetic
activity
Altered immune function
Peripheral fatique
Altered mood state
Central Fatique
Altered Productive function
Impaired Exercise Performance
15
Adapun gejala yang muncul pada overtraining selain kelelahan menetap,
juga akan terjadi gejala-gejala di bawah ini (Gleeson, 2002):
- nyeri otot yang menetap
- peningkatan denyut jantung istirahat
- peningkatan terjadinya penyakit infeksi
- peningkatan kecelakaan saat pelatihan
- depresi
- hilangnya motivasi
- berkurangnya nafsu makan
- insomnia
- kehilangan berat badan
- gangguan pencernaan
- penyakit infeksi berulang
Masih banyak masalah dengan kriteria diagnosis dan penjelasan terhadap
gejala overtraining, banyak penelitian dilakukan untuk menemukan parameter
yang tepat dan dapat diukur secara cepat saat berolah raga, seperti pencatatan
stamina saat olah raga, perubahan berat badan, dan perubahan denyut jantung.
Ada penelitian dilakukan pada atlet yaitu pengukuran kadar Urea dan Kreatin
Kinase serum untuk mendeteksi keadaan overtraining secara dini. Namun hasil
yang didapat sangat bervariasi sehingga sulit untuk diinterpretasikan.
Ada penelitian yang menyatakan bahwa terjadi perubahan parameter
metabolik dalam 4 minggu pada overtraining yaitu : penurunan kadal LDL dan
VDRL, kadar hemoglobin, katekolamin. Laktat, glucose, glycerol, asam lemak
bebas, albumin, leukosit, ammonia, sedangkan HDL, urea, creatinine, asam urat,
16
GOT, GPT, Gamma-GT, elektrolit serum tidak berubah, dan terjadi peningkatan
kadar CPK. Radikal bebas akan meningkat sebagai akibat dari overtraining
(Petibois dkk, 2000).
Meningkatnya metabolisme aerobik selama pelatihan berpotensi
mengakibatkan stres oksidatif. Terjadi peningkatan malondialdehyde-like
substances dan lipid hydroperoxides dalam plasma setelah pelatihan berat akut.
Suplementasi asam askorbat mencegah stres oksidatif yang disebabkan oleh
pelatihan (Leeuwenburgh dan Heinecke, 2001).
Beberapa mekanisme terjadinya kerusakan otot pada overtraining,
menurut beberapa ahli akan dijelaskan berikut ini. Penggunaan otot yang
berlebihan atau cidera otot dapat mengakibatkan respon peradangan (inflamasi)
di mana terjadi invasi neutrofil yang diikuti dengan makrofag. Proses inflamasi
ini terjadi juga pada mekanisme perbaikan, regenerasi dan pertumbuhan otot yang
menyebabkan aktivasi dan proliferasi dari sel satelit, diikuti dengan diferensiasi
akhir. Akhir-akhir ini mulai dilakukan penelitian untuk mengeksplorasi hubungan
antara fungsi sel inflamasi dan kerusakan otot dan perbaikan otot dengan
menggunakan tikus, hilangnya antibodi dari kumpulan sel inflamasi spesifik, atau
terjadinya inflamasi pada otot setelah cidera. Penelitian ini menunjukkan
gambaran yang rumit di mana sel inflamasi menyebabkan cidera dan juga
perbaikan otot, melalui aksi gabungan dari radikal bebas, faktor pertumbuhan dan
kemokin. Ada penelitian menunjukkan peran dari neutrofil dalam menyebabkan
kerusakan otot segera setelah terjadi cidera otot (Tidball, 2005).
Makrofag juga dapat menyebabkan kerusakan otot pada percobaan in
vivo dan in vitro dengan melepaskan radikal bebas, walaupun ada beberapa
17
penelitian lain yang menunjukan bahwa makrofag juga berperan dalam perbaikan
dan regenerasi otot melalui faktor pertumbuhan dan penanda cytokine-mediated.
Namun, peranan makrofag pada regenerasi otot masih belum terbukti, sel lain di
otot juga memproduksi faktor regerasi potensial. Pada penelitian yang lebih lanjut
menunjukkan bahwa sel otot dapat melepaskan faktor regulasi positif dan negatif
terhadap invasi sel inflamasi, yang berperan aktif dalam proses inflamasi. Nitric
oxide yang berasal dari otot dapat menghambat invasi sel inflamasi ke otot yang
sehat dan melindungi otot dari kerusakan akibat invasi sel inflamasi secara ini
vivo dan in vitro (Tidball, 2005).
Clarkson dan Hubal (2002), menyatakan bahwa kerusakan otot karena
olah raga pada manusia sering timbul setelah melakukan olah raga yang
berlebihan atau pertama kali melakukan olah raga, terutama olah raga yang
melibatkan kontraksi otot eksentrik dalam jumlah besar. Penilaian langsung
terhadap kerusakan otot karena olah raga meliputi gangguan sel dan subselular,
terutama alur Z-line.
Tanda-tanda kerusakan otot setelah berolah raga secara tidak langsung
dapat dilihat dari peningkatan intensitas signal T2 pada teknologi magnetic
resonance imaging, meningkatnya tanda-tanda inflamasi pada otot yang cidera
dan pada darah, meningkatnya protein otot pada darah dan nyeri otot. Walaupun
mekanisme yang pasti terjadinya hal tersebut belum jelas, pada awal cidera akan
menyebabkan pemutusan serat otot, dan kerusakan tersebut terjadi bersamaan
dengan proses inflamasi dan terjadi perubahan kekuatan kontraksi dan eksitasi
dari otot tersebut. Dengan pelatihan yang baik pada otot maka akan terjadi
adaptasi pada otot tersebut. Walaupun ada beberapa teori yang mencoba
18
menjelaskan efek berulang dari pelatihan, yaitu pengaruhnya pada pembentukan
motor unit, peningkatan jumlah sarkomer, berkurangnya respon inflamasi, dan
berkurangnya serat otot yang peka terhadap stres, namun tidak ada suatu
kesepakatan apa penyebab pasti (Pidcock, 2003).
Pelatihan pada otot yang lelah akan merusak otot tersebut. Ini terlihat saat
dilakukan pemeriksaan otot yang diambil pada atlet dengan mikroskop. Telah
banyak penelitian yang melakukan biopsi jaringan otot dari atlet yang melakukan
pelatihan endurans. Ditemukan terjadinya deteriorisasi dan degenerasi dari
struktur di dalam sel otot, bersamaan dengan ditemukannya peradangan
signifikan pada sel otot tersebut. Terjadinya peningkatan pembengkakan jaringan
pengikat dan degenerasi dari serat otot pada atlet setelah berlari. Jenis kerusakan
otot ini tidak selalu diikuti dengan rasa nyeri, tidak seperti kerusakan lainnya,
yang muncul setelah latihan eksentrik. Aktivitas eksentrik adalah di mana otot
berkontraksi ketika dilakukan peregangan secara berulang. Contohnya yaitu pada
kegiatan lari menuruni tebing. Beban gravitasi meregangkan otot paha dan pada
saat bersamaan otot paha juga berkontraksi saat berlari (Pidcock, 2003).
Pelatihan yang lama dan pelatihan eksentrik mewakili dua mekanisme
berbeda terhadap kerusakan otot, keduanya menunjukkan hasil akhir yang sama.
Kerusakan otot karena pelatihan eksentrik dikarenakan mekanisme mekanik.
Tekanan tinggi yang terbentuk pada serat otot tunggal selama pemanjangan otot
akan menyebabkan kerusakan. Kekurangan glikogen mungkin tidak penting pada
cidera yang disebabkan pelatihan eksentrik. Tetapi beberapa ahli percaya bahwa
dengan menyediakan glikogen kembali setelah jenis pelatihan tersebut dapat
mempercepat proses perbaikan. Sebagai pembanding, pelatihan yang lama
19
berhubungan dengan tidak cukupnya cadangan glikogen otot, yang
mengakibatkan menurunnya produksi energi. Stres yang terjadi pada otot karena
berusaha mempertahankan gerakan yang tetap, di mana tidak diikuti dengan
bahan penghasil tenaga yang cukup, diyakini berperan dalam menyebabkan
kerusakan otot. Glikogen, setelah dipecah menjadi glukosa, dapat digunakan
untuk membuat ATP (Pidcock, 2003).
Olahraga yang baru pertama dilakukan dapat menyebabkan kerusakan
otot sementara yang dapat diperbaiki. Setelah olah raga endurans yang
melelahkan, kerusakan otot dapat terjadi karena gangguan metabolism yang
disebabkan oleh iskemia. Robeknya otot yang luas juga dapat muncul setelah
pelatihan eksentrik dalam jangka waktu pendek jika digunakan tenaga yang besar
dan memaksa. Pada pemeriksaan biopsi yang dilakukan setelah otot melakukan
gerakan eksentrik berulang terlihat adanya pelebaran dan robeknya Z-disc pada
otot. Otot yang mengalami tekanan eksentrik akan mengalami nyeri,
berkurangnya kekuatan, dan menunjukan pelepasan protein otot ke sirkulasi.
Creatinin Kinase ditemukan hanya pada jaringan otot, maka CK sering
digunakan sebagai petanda kerusakan otot pada plasma. Selain itu kerusakan
akan terus terjadi pada masa setelah berolahraga sebelum terjadinya perbaikan
jaringan. Akan tetapi, penjelasan terhadap mekanisme tentang kerusakan otot
karena olahraga dan perbaikan otot belum diketahui pasti. Banyak faktor yang
mempengaruhi kerusakan dan proses perbaikan otot seperti calcium, lisosom,
jaringan sekitar, radikal bebas, sumber energi dan protein sel otot dan serat otot.
Dari banyak faktor tersebut yang banyak mempengaruhi kerusakan dan proses
perbaikan otot adalah Calcium, lisosom, jaringan pengikat, radikal bebas, sumber
20
energi, sel otot dan protein miofibril. Akan terjadi adaptasi fisik yang terlihat
pada berkurangnya tanda-tanda kerusakan yang terjadi setelah pelatihan berulang.
Akhir-akhir ini beberapa peneliti memperkirakan bahwa efek buruk dapat
dicegah saat dilakukan pelatihan awal. Pada saat dilakukan pelatihan kedua 1
sampai 6 minggu setelah pelatihan awal, terjadi penurunan kerusakan morfologi
dan terjadinya penurunan peningkatan Creatine Kinase plasma. Beberapa
hipotesis menjelaskan perubahan yang terjadi akibat pelatihan berulang dan
pelatihan cepat. Serat otot yang peka terhadap stres dapat dihilangkan atau
beberapa area di serat otot akan mengalami nekrosis dan regenerasi. Serat yang
beregenerasi tersebut beserta adaptasi jaringan pengikat, akan lebih tahan dengan
beban pelatihan yang selanjutnya (Ebbeling, 2003).
Grobler dkk (2004a), membuktikan bahwa pelatihan endurans yang lama
dan intensitas tinggi dapat menyebabkan kerusakan otot dan mengganggu fungsi
otot sementara. Walaupun otot mempunyai kapasitas perbaikan dan adaptasi yang
mengagumkan, namun tetap terbatas, dan menyebabkan terjadinya akumulasi
dari kerusakan otot kronik. Pada penelitian kasus terlihat adanya hubungan
antara pelatihan intensitas tinggi dengan waktu lama menimbulkan intoleransi
terhadap pelatihan dan menyebabkan kelainan otot kronik.
Pada penelitian tersebut, terlihat bahwa terjadi perubahan struktur
histologis pada otot yang mengalamai overtraining yaitu dengan gambaran
berupa adanya nukleus interna, berubahnya ukuran sel otot, gambaran nekrosis
atau peradangan, dan agregasi mitokondria subsarcolema. Semua itu merupakan
tanda khas dari kerusakan struktur otot.
21
Gambar berikut menunjukan gambaran histopatologis pada biopsi otot
vastus lateralis atlet yang melakukan pelatihan endurans berat pada penelitian
Grobler dkk (2004a).
Gambar 2.4. Perubahan struktur histologis pada otot yang mengalamai
overtraining
Pada gambar 2.4. Dengan micrograf sinar terlihat kelainan struktural otot
yang khas. (a) sample control (dengan pewarnaan Haematoxylin dan eosin, 640);
(b) adanya sel inti interna yang ditunjukan oleh tanda panah (dengan pewarnaan
Haematoxylin dan Eosin, 640); (c) adanya perubahan ukuran serat otot yang
ditunjukan dengan tanda bintang (dengan pewarnaan Haematoxylin dan eosin,
640); (d) sel nekrosis yang ditunjukan oleh panah (dengan pengecatan
Haematoxylin dan eosin, 640); (e) sampel kontrol dengan tanda panah
menunjukan agregasi mitokondria subsarcolemmal minimal (dengan pewarnaan
NADH-tetrazolim reduktase, 640); (f) agregasi mitokondria subsarcolema yang
di tandai oleh panah (dengan pewarnaan NADH-tetrazolim reduktase, 640)
(Grobler dkk, 2004a).
22
Penelitian tersebut membandingkan kelainan otot pada atlet dengan
intoleransi pelatihan didapat dan kontrol atlet yang tidak mempunyai gejala yang
melakukan pelatihan endurans selama bertahun-tahun pada kelompok umur yang
sama. Temuan utama yang terpenting adalah ada banyak atlet dengan intoleransi
pelatihan didapat yang menunjukan perubahan struktural (adanya inti interna dan
perubahan ukuran serat otot) dan ultrastruktural (Z disc streaming) dari otot
dibanding pada kelompok kontrol (Grobler dkk, 2004b).
Serat otot pada orang yang aktif fisik, sehat umumnya mempunyai bentuk
dan ukuran yang serupa, dan inti sel otot umumnya berada pada tepi sel otot.
Walaupun ada beberapa variasi normal pada ukuran serat otot, meningkatnya
serat otot atropi yang biasanya berhubungan dengan degenerasi otot. Adanya inti
sel interna yang lebih dari 3% termasuk abnormal dan biasanya berhubungan
dengan degenerasi otot dan regenerasi (Grobler dkk, 2004b).
Penanganan overtraining yaitu:
- Istirahat dengan pelatihan ringan teratur. Lima minggu beristirahat akan
memperbaiki kondisi fisik dan mental. Ada bukti-bukti yang
menunjukkan bahwa pelatihan dengan intensitas rendah akan
mempercepat pemulihan. Karena itu perlu dilakukan pelatihan aerobik
ringan selama beberapa menit tiap hari dan secara perlahan ditingkatkan
selama berminggu-minggu. Sebaiknya dipilih jenis pelatihan yang
berbeda dengan biasanya untuk menghindari kecenderungan untuk
menyamai intensitas yang sama pada pelatihan yang sama (cross
training). Peningkatan pelatihannya tergantung dari gambaran klinis dan
tingkat perbaikan yang terlihat, umumnya memerlukan waktu 6 – 12
23
minggu. Banyak yang melakukan kesalahan dengan tetap melakukan
pelatihan seperti biasanya, akan mengalami kelelahan yang berat
kemudian terjadi pemulihan tidak sempurna dan kembali ke kondisi
overtraining lagi.
- mengurangi intensitas dan volume pelatihan
- terapi pemijatan
- Hidroterapi
- pemijatan sendiri
- terapi suhu (mandi dengan es dan air hangat).Terapi ini menggunakan
reaksi tubuh terhadap rangsangan panas dan dingin yang akan diteruskan
oleh sistem saraf ke bagian kulit yang lebih dalam, yang kemudian akan
menstimulasi sistem imun, memperbaiki sirkulasi dan pencernaan dan
mempengaruhi produksi hormon stres, meningkatkan aliran darah dan
mengurangi kepekaan terhadap rasa sakit.
- perbaikan nutrisi
- pemakaian vitamin dan suplementasi, walaupun belum banyak didukung
oleh penelitian ilmiah
2.2. Stres Oksidatif dan Anti Oksidan
Stres Oksidatif adalah keadaan patologis yang disebabkan oleh kerusakan
sel dan jaringan didalam tubuh karena peningkatan jumlah radikal bebas yang
tidak normal. Stres oksidatif merupakan akibat langsung dari peningkatan radikal
bebas dan atau menurunnya aktifitas fisiologi antioksidan dalam melawan radikal
bebas.
24
satusio
Gambar 2.5. SkemaTerganggunya keseimbangan Species Reaktif dan
Antioksidan
Radikal bebas merupakan atom tunggal atau berkelompok yang
sedikitnya mempunyai satu orbit terluar yang mempunyai satu elektron tunggal
(tidak berpasangan) di mana seharusnya mempunyai elektron berpasangan.
Antioksidan adalah unsur kimia atau biologi yang dapat menetralisasi
potensi kerusakan yang disebabkan oleh radikal bebas tadi. Beberapa antioksidan
endogen (seperti enzim superoxide-dismutase dan katalase) dihasilkan oleh
tubuh, sedangkan yang lain seperti vitamin C dan E merupakan antioksidan
eksogen yang harus didapat dari luar tubuh seperti buah-buahan dan sayur-
sayuran (Iorio, 2007).
Apakah suplementasi antioksidan perlu bagi individu yang melakukan
pelatihan teratur ? Alasan ini muncul karena terjadi peningkatan radikal bebas
Radiasi, obat, logam berat, rokok, alcohol, polusi, overtraining, kurang
aktivitas, penyakit infeksi dan penyakit lainnya
Menurunnya asupan, sintesis dan/atau
menurunnya kemampuan
menggunakan antioksidan
Spesies Reaktif meningkat
Antioksidan menurun
Kerusakan sel Kerusakan Jaringan
Kerusakan organ Kerusakan sistemik
Penyakit Kardiovaskular
Dementia Parkinsonism
Penuaan Dini
Peradangan, kanker
Penyakit lain
25
selama pelatihan. Radikal bebas adalah molekul yang mengandung satu electron
tidak berpasangan pada orbit terluarnya. Selama metabolism oksidatif, banyak
oksigen yang dikonsumsi akan terikat pada hydrogen selama fosforilasi oksidatif,
kemudian membentuk air. Akan tetapi, diperkirakan bahwa 4-5% oksigen yang
dikonsumsi saat bernapas tidak diubah menjadi air, tetapi akan membentuk
radikal bebas. Maka, konsumsi oksigen akan meningkat selama pelatihan, juga
akan terjadi peningkatan produksi radikal bebas dan peroksidasi lipid, yang
kemudian radikal bebas tadi akan menimbulkan respon inflamasi dan
menyebabkan kerusakan otot setelah pelatihan. Tubuh mempunyai sistem
pertahanan antioksidan yang tergantung dari asupan vitamin, antioksidan dan
mineral dan produksi antioksidan endogen seperti glutation. Vitamin C dan E dan
beta karoten adalah antioksidan dan vitamin utama. Tidak diketahui pasti apakah
sistem pertahanan antioksidan natural tubuh cukup untuk melawan peningkatan
radikal bebas saat pelatihan ataukah perlu suplementasi tambahan (Clarkson dan
Thompson, 2000).
Polyunsaturated Fatty Acid (PUFAs) banyak terdapat di
membrane sel dan pada low-density-lipoprotein (LDL). Radikal bebas lebih
sering mengambil elektron dari selaput lemak dari sel, yang disebut dengan lipid
peroksidasi. ROS mengarahkan ikatan karbon ganda pada PUFAs. Ikatan ganda
karbon tersebut akan melemahkan ikatan carbon – hydrogen sehingga
mempermudah pengambilan hydrogen oleh radikal bebas. Radikal bebas akan
mengambil elektron tunggal dari hydrogen yang berikatan dengan karbon pada
ikatan ganda. Akibatnya, akan ada karbon yang tidak berpasangan dan menjadi
radikal bebas. Dalam upaya menstabilkan radikal bebas dengan pusat karbon
26
maka terbentuk molekul pengatur. Molekul pengatur tersebut dikenal dengan
conjugated diene (CD). CD ini dengan mudah akan beraksi dengan oksigen
untuk membentuk radikal proxy. Radikal proxy ini akan mengambil elektron dari
molekul lipid lainnya dalam prosel propagasi sel. Proses ini berkelanjutan dalam
suatu rantai reaksi. (Eritsland, 2000).
Ada banyak jenis radikal bebas di dalam tubuh antara lain adalah radikal
bebas dengan pusat gugus oksigen atau ROS. ROS yang paling umum adalah :
anion superoksida (O2-), radikal hidroksil (OH), oksigen tunggal (1O2) dan
hydrogen peroksida (H2O2). Anion superoksida terbentuk ketika oksigen
membutuhkan tambahan elektron, meninggalkan molekul yang tidak
berpasangan. Di dalam mitokondria O2- terus dibentuk. Tingkat
pembentukkannya tergantung dari jumlah oksigen yang mengalir melalui
mitokondria pada waktu tersebut. Radikal hidroksil mempunyai waktu hidup
singkat, tetapi merupakan radikal yang paling merusak dalam tubuh. Jenis radikal
ini dibentuk dari O2- dan H2O2 melalui reaksi Harber-Weiss. Interaksi antara
tembaga dan besi dan H2O2 juga memproduksi OH. Reaksi ini secara signifikan
ditemukan di dalam tubuh dan dapat berinteraksi dengan mudah. Hidrogen
peroksida diproduksi secara in vivo oleh banyak reaksi. Hidrogen peroksida
merupakan unsur yang unik karena dapat berubah menjadi radikal hidroksil yang
sangat merusak atau dapat juga dikeluarkan sebagai air yang tidak berbahaya.
Gluthation peroksidase merupakan faktor penting untung mengubah glutation
menjadi glutation oksida, pada saat H2O2 diubah menjadi air. Jika H2O2 tidak
diubah menjadi air, 1O2 akan dibentuk. Oksigen tunggal bukanlah radikal bebas,
tetapi dapat dibentuk selama reaksi radikal dan juga dapat menyebabkan reaksi
27
lebih lanjut. Oksigen tunggal melawan hukum Hund di mana pengisian elektron
pada elektron yang mempunyai gugus delapan terluar yang berpasangan akan
meninggalkan satu orbit kosong yang mempunyai energi sama. Ketika oksigen
yang bertenaga menempel pada orbit yang kosong tadi akan menyebabkan
elektron yang tidak berpasangan. Kemudian oksigen tunggal dapat mentransfer
energi ke molekul yang baru dan berperan sebagai katalis pada pembentukan
radikal bebas. Molekul tersebut juga bisa berinteraksi dengan molekul lain dan
mengakibatkan pembentukan radikal bebas baru (Kehrer, 2000).
Radikal bebas mempunya waktu paruh hidup yang singkat, yang
membuat mereka sulit untuk diukur di laboratorium. Banyak metode pengukuran
yang tersedia sekarang ini, tiap pengukuran mempunyai keunggulan dan
keterbatasan. Radikal bebas dapat diukur dengan menggunakan Electron
Paramagnetic (Spin) Resonance Spectroscopy (EPR/ESR) dan Spin Trapping
Method. Kedua metode sangat memuaskan dan bahkan dapat menangkap
radikal bebas dengan waktu paruh hidup terpendek (Rokyta dkk, 2004).
Pada keadaan normal (saat istirahat) sistem pertahanan antioksidan di
dalam tubuh dapat secara mudah mengatasi radikal bebas yang terbentuk. Selama
waktu terjadi peningkatan pemakaian oksigen (contohnya saat pelatihan)
produksi radikal bebas dapat berlebihan dan menyebabkan terjadinya peroksidasi
lipid. Radikal bebas diyakini berperan menyebabkan penyakit kardiovaskular,
kanker, Penyakit Alzheimer dan Parkinson (Capelli dan Cysewski, 2006).
Pemakaian oksigen meningkat banyak selama pelatihan, di mana
menyebabkan peningkatan terbentuknya radikal bebas. Tubuh akan melawan
peiningkatan radikal bebas tersebut dengan sistem pertahanan antioksidan. Ketika
28
produksi radikal bebas melebihi kemampuan mengatasinya maka kerusakan
oksidatif akan terbentuk. Radikal bebas yang terbentuk selama pelatihan kronik
dapat melebihi kapasitas proteksi sistem antioksidan, akan membuat imunitas
terhadap penyakit menurun dan cidera. Karena itu dibutuhkan suplementasi
antioksidan.
Radikal bebas menyerang membran dan merusak sel di mana dibutuhkan
sistem kekebalan untuk melawannya. Jika pembentukan radikal bebas dan
penyerangannya tidak dikendalikan di dalam otot selama pelatihan, maka otot
dalam jumlah besar dapat dengan mudah menjadi rusak. Kerusakan otot dapat
mempengaruhi performa dikarenakan terjadinya kelelahan. Salah satu langkah
pertama dalam pemulihan kerusakan otot yang disebabkan pelatihan adalah
dengan respon anti inflamasi dari daerah otot yang rusak. Radikal bebas sering
berhubungan dengan respon inflamasi dan diperkirakan terjadi paling banyak 24
jam setelah selesai melakukan pelatihan berat. Jika teori ini benar maka
antioksidan berperanan besar dalam mencegah kerusakan tersebut. Ada penelitian
yang mengungkap semakin banyak aktivitas fisik berhubungan dengan
menurunnya peningkatan kejadian peradangan pada orang dewasa sehat berumur
diatas 40 tahun di Amerika. Hasil menunjukan hubungan antara aktivitas fisik
dan menurunnya resiku penyakit jantung coroner yang diakibatkan oleh efek anti
peradangan yang terbentuk saat aktivitas fisik (Abramson dan Vaccarino, 2002 ).
Radikal bebas secara alami dibentuk oleh sistem di dalam tubuh dan
mempunyai efek yang menguntungkan yang tidak disadari. Sistem kekebalan
merupakan sistem utama tubuh yang menggunakan radikal bebas. Serangan
benda asing ataupun kerusakan jaringan yang ditandai dengan radikal bebas oleh
29
sistem kekebalan. Hal tersebut menunjukkan jaringan mana yang perlu
dikeluarkan dari tubuh. Karena itulah kebutuhan suplementasi antioksidan
dipertanyakan, kemungkinan suplementasi akan menurunkan efektivitas dari
kekebalan tubuh, namun diperlukan penelitian lebih lanjut untuk itu.
Antioksidan bekerja dengan melindungi lipid dari proses peroksidasi oleh
radikal bebas. Ketika radikal bebas mendapat elektron dari antioksidan, maka
radikal bebas tersebut tidak ladi perlu menyerang sel dan reaksi rantai oksidasi
akan terputus. Setelah memberikan elektron, antioksidan menjadi radikal bebas
secara definisi. Antioksidan pada keadaan ini tidak berbahaya karena mereka
mempunyai kemampuan untuk melakukan perubahan elektron tanpa menjadi
reaktif. Tubuh manusia mempunya pertahanan sistem antioksidan. Antioksidan
yang dibentuk di dalam tubuh dan juga didapat dari makanan seperti buah-
buahan, sayur-sayuran, biji-bijian, kacang-kacangan, daging dan minyak. Ada
dua garis pertahanan antioksidan di dalam sel. Garis pertahanan pertama, terdapat
di membrane sel larut lemak yang mengandung vitamin E, beta karoten dan
koensim Q (10). (Clarkson dan Thompson, 2000).
Tubuh dalam keadaan normal akan memproduksi radikal bebas yang
berhubungan dengan metabolism sel fisiologis. Contohnya, sintesis beberapa
hormon akan menghasilkan radikal bebas, juga lekosit polimorfonukleus akan
membentuk radikal bebas untuk membunuh bakteri yang membantu tubuh
memerangi infeksi. Radikal bebas yang lain, seperti Nitric Oxide (NO)
merupakan dasar homeostasis di dalam tubuh, karena NO berperan penting,
termasuk menjaga tonus vaskular, agregasi platelet, adhesi sel, dan lain-lain.
Adapun hal yang diyakini menyebabkan peningkatan produksi radikal bebas
30
berasal dari berbagai sumber seperti kegiatan fisik, kimiawi dan alam. Faktor
alam yang menyebabkan peningkatan radikal bebas adalah polusi, radiasi, faktor
fisik adalah kehamilan, overtraining, gaya hidup yaitu merokok, minum alkohol,
makanan buruk, kurang berolahraga, efek psikologis seperti stres, emosi,
berbagai penyakit, faktor lain seperti obat-obatan, terapi radiasi (Iorio, 2007).
Pada keadaan sehat, tubuh dapat mencegah terbentuknya radikal bebas
karena system pertahanan natural antioksidan tubuh, yang mempunyai
kemampuan melawan aksi oksidan dari radikal bebas. Menurunnya efektivitas
system tersebut menyebabkan defisiensi absolut atau relatif kadar antioksidan di
dalam tubuh (Iorio, 2007).
Radikal bebas berpotensi bahaya karena cenderung mengisi orbit externa
yang tunggal dengan elektron lain. Adanya dua elektron pada orbit yang sama
merupakan kondisi energi yang stabil secara maksimal. Karena itu, ketika radikal
bebas dekat dengan target molekul, yang mempunyai satu atau lebih elektron,
seperti molekul dari asam lemak tidak jenuh (seperti asam arachinoid), radikal
bebas tersebut akan segera menarik keluar elektron dari target molekul tadi.
Karena efek aksi oksidan ini, radikal bebas tersebut akan kehilangan potensi
berbahayanya, sedangkan molekul baru yang terbentuk akan dirusak dan menjadi
radikal bebas yang baru, di mana bila tidak tersedia antioksidan, reaksi yang
sama akan terjadi pada molekul lain seperti pada karbohidrat, lipid, asam amino,
peptide, protein, nukleotid, asam nukleat dan lain-lain (Iorio, 2007).
Mekanisme yang paling umum terjadi di mana radikal bebas dapat
melawan pertahanan antioksidan, radikal bebas tersebut akan menyerang
komponen biokimia di dalam tubuh dan membentuk hydroperoksida. Dalam
31
bentuk patofisiologi tersebut sel akan mulai memproduksi radikal bebas dalam
jumlah banyak, dikarenakan stres eksogen (unsur kimia fisik dan biologi)
dan/atau aktivitas metaboliknya (khususnya pada membrane plasma,
mitokondria, retikulum endoplasma, dan sitosol), yang diantaranya terdapat
radikal hidroksil (HOH) yang berbahaya, merupakan salah satu reactive oxygen
species (ROS) yang paling berbahaya. Radikal hidroksil dapat menyerang setiap
macam molekul (termasuk karbohidrat, lemak, asam amino, peptide, protein,
nukleotid, asam nukleat dan lain-lain). Akibat dari proses ini, setiap molekul akan
kehilangan satu elektron dan kemudian menjadi radikal. Setelah itu akan mulai
terjadi reaksi rantai radikal, dikarenakan adanya molekul oksigen (melalui
pernapasan), dan terbentuknya hidroperoksida (ROOH), sejenis Reactive Oxygen
Metabolites (ROMs). Walaupun Hidroperoksida termasuk jenis kimia yang relatif
stabil, mereka juga berpotensi membentuk radikal bebas lagi dan dapat
mengoksidasi target molekul yang lain. Setelah itu sel akan menarik keluar
hidroperoksida di lingkungan eksternal seperti di matriks ekstraselular dan
akhirnya di cairan ekstraselular, termasuk darah, cairan cerebro-spinal, cairan
pleura dan lain-lain. Terbukti bahwa hidroperoksida bukan hanya penyebab atau
tanda dari stres oksidatif (karena berasal dari sel) tetapi juga berpotensi
menyebabkan kerusakan awal pada seluruh bagian tubuh (karena kemampuannya
bersirkkulasi di cairan extraseluler) (Iorio, 2007).
Pelatihan fisik yang berat atau pelatihan yang tidak biasa akan
menyebabkan cidera pada otot, pelepasan protein otot dan nyeri otot. Mekanisme
terjadinya penundaan kerusakan otot setelah pelatihan fisik berat tidak
sepenuhnya dimengerti, tetapi diperkirakan terjadinya cidera yang tertunda
32
karena berhubungan dengan reaksi peradangan yang dipicu oleh infiltrasi fagosit
yang disebabkan oleh stres mekanik yang berlebihan, terjadi peningkatan
konsentrasi ion calcium intraseluler, dan stres oksidatif. Ada beberapa laporan
mengenai apakah antioksidan dapat menurunkan kerusakan otot karena
ditemukan peningkatan produk oksidatif secara signifikan pada otot yang
mengalami pelatihan dan pada darah setelah pelatihan yang juga sebanding
dengan parameter lain dari penundaan kerusakan otot (Wataru dkk, 2006).
Cidera oksidatif setelah pelatihan dapat dicegah dengan asupan
antioksidan seperti vitamin C dan E, karotinoid, atau polifenols, tidak hanya
selama pelatihan, juga sehari-hari. Sebaliknya, ada beberapa peneliti menunjukan
antioksidan tidak mempengaruhi kerusakan otot dan respon peradangan yang
disebabkan oleh pelatihan sangat berat. Salah satu kemungkinan penyebab hasil
yang berbeda adalah karena efek antioksidan sepertinya berbeda pada kondisi
pelatihan seperti intensitas dari stres mekanik dan asupan oksigen.
ROS (Reactive Oxygen Species) mungkin berhubungan dengan pemicu
kerusakan otot. ROS terbentuk dari mitokondria dan endothel saat pelatihan
melalui peningkatan pemakaian oksigen dari miosit dan proses iskemik reperfusi,
yang menyebabkan invasi dari fagosit ke dalam otot setelah pelatihan melalui
jalur peradangan redox-sensitif. Karena itu respon peradangan dapat dihambat
jika produksi ROS selama pelatihan ditekan karena besarnya peran ROS sebagai
pemicu kerusakan otot seperti pada pelatihan endurans yang lama bukan pada
pelatihan resistensi. Sebaiknya mengkonsumsi beberapa antioksidan berbeda
pada saat yang sama karena perbedaan unsur yang memberikan efek antioksidan,
33
seperti larut air atau larut lemak, dan mereka dapat saling menyediakan elektron
untuk mencegah terjadinya keadaan pro oksidan (Wataru dkk, 2006).
ROS berperan penting dalam terjadinya kerusakan otot karena pelatihan
dan respon inflamasi otot akut. Radikal oksigen dibentuk melalui peningkatan
neutrofil karena pernapasan yang penting dalam membersihkan jaringan otot
yang rusak diakibatkan pelatihan dan mungkin juga berperan dalam terjadinya
kerusakan lebih lanjut. Banyak olahragawan yang tertarik untuk menkonsumsi
antioksidan untuk mengurangi respon peradangan dan penurunan fungsi optimal
otot setelah pelatihan. Walaupun antioksidan mempunyai potensi mengurangi
stres oksidatif otot selama masa setelah pelatihan, namun bukti-bukti untuk
menunjang peran tersebut masih sangat terbatas. Sepertinya pelatihan dalam
jangka waktu pendek dapat melindungi otot dari kerusakan akibat pelatihan dan
peradangan tanpa perlu meningkatkan status antioksidan. Walaupun status
antioksidan otot dapat ditingkatkan dengan pelatihan yang lebih lama, diet,
ataupun asupan antioksidan, bukti bahwa antioksidan mengurangi kerusakan otot
selama fase peradangan akut perlu diteliti lebih lanjut.
Pelatihan meningkatkan radikal bebas, yang secara alami akan merusak
jaringan. Beberapa peneliti mempunyai teori bahwa kerusakan tersebut berperan
menyebabkan nyeri otot dan mungkin kerusakan otot, yang terjadi saat pelatihan
berat.
Berdasarkan teori ini, tetapi dengan bukti terbatas, beberapa antioksidan
digunakan untuk mencegah nyeri dan kerusakan otot pada atlet, antara lain:
- astaxanthin dengan lycopene
- beta-caroten
34
- jus cheri
- Coenzim Q10
- Oligomeric proanthocyanidins (OPCs)
- Selenium
- Vitamin C
- Vitamin E (Bloomer dkk, 2005).
Untuk menyakini bahwa diet kita mengurangi kelelahan otot, kerusakan
otot berbeda dapat dikurangi dengan nutrisi tertentu. Proses penggunaan oksigen
untuk menghasilkan energi berpotensi menimbulkan efek samping buruk.
Membran sel darah merah dan sel otot sangat rentan terhadap serangan radikal
bebas. Sel otot dapat menjadi bocor, atau bahkan robek dan terbuka. Jika ini
terjadi, enzim akan keluar dari dalam sel dan akan mempengaruhi kemampuan
otot untuk berkontraksi. Selain itu, membran yang rusak tadi akan menarik
neutrofil (jenis dari sel darah putih), dan membuat netrofil membentuk proses
peradangan local ( Pidcock, 2003).
Beberapa penelitian menunjukkan akut dari pelatihan yaitu menimbulkan
perubahan jumlah antioksidan didalam darah dan menunjukkan perubahan
indikator dari lipid peroksidasi secara tidak langsung, hal ini menunjukkan bahwa
terjadi stres oksidatif pada pelatihan. Karena pelatihan aerobik meningkatkan
konsumsi oksigen, banyak studi menggunkan pelatihan submaksimal yang lama.
Pelatihan tersebut akan menyebabkan kontraksi perpanjangan otot yang
menyebabkan kerusakan serat otot dan meningkatkan peroksidasi lipid pada
membran yang menyebabkan kerusakan angsung ataupun pembentukan radikal
35
bebas yang berhubungan dengan invasi dari makrofag dan neutrofil (Clarkson
dan Thompson, 2000).
Pelatihan meningkatkan pembentukan reactive oxygen dan nitrogen
species (RONS) dan dengan adaptasi, dapat menurunkan kejadian penyakit yang
berhubungan dengan RONS. Pelatihan tunggal, tergantung intensitas dan
durasinya, dapat meningkatkan aktivitas enzim antioksidan, menurunkan angka
vitamin antioksidan, yang akan menyebabkan kerusakan oksidatif sebagai tanda
dari adaptasi yang tidak sempurna. Peningkatan RONS dan kerusakan oksidarif
merupakan pemicu dari respon adaptasi spesifik, seperti stimulasi dari aktivasi
enzim antioksidan, dan meningkatkan perbaikan kerusakan oksidatif. Pelatihan
yang teratur meningkatkan kemampuan untuk membentuk kompensasi terhadap
stres oksidari, yang menyebabkan kompensasi berlebih melawan peningkatan
produksi RONS dan kerusakan oksidatif. Pelatihan teratur menyebabkan adaptasi
respon antioksidan dan sistem perbaikan, yang dapat menurunkan kerusakan
oksidatif dan meningkatkan pertahanan terhadap stres ( Radak dkk, 2001).
Banyak bukti menunjukan bahwa radikal bebas berperan penting sebagai
mediator dalam kerusakan otot dan peradangan setelah pelatihan berat. Telah
dirumuskan bahwa pembentukan radikal bebas oksigen meningkat selama
pelatihan dan mengakibatkan peningkatan konsumsi oksigen mitokondria dan
transportasi elektron, memicu terjadinya peroksidasi lipid. Literatur menyatakan
bahwa diet antioksidan dapat menetralkan peroksida yang dibentuk selama
pelatihan, yang tadinya dapat mengakibatkan peroksidasi lipid, kini mampu
medaur ulang radikal peroksil sehingga mencegah kerusakan otot (Clarkson dan
Thompson, 2000).
36
Pelatihan meningkatkan radikal oksigen pada manusia. Pada orang yang
tidak terlatih, usia lanjut, dan pada orang yang sistem antioksidannya tidak
mencukupi, tingkat peningkatan peroksidasi lipid karena produksi radikal oksigen
akan menyebabkan kerusakan otot. Banyak literatur menyatakan suplementasi
Vitamin E atau C tidak mempengaruhi performa pelatihan submaksimal,
kapasitas aerobik ataupun kekuatan otot. Akan tetapi, ada efek dari vitamin-
vitamin antioksidan ini yang belum terungkap, karena penelitian sebelumnya
mungkin tidak melakukan pemeriksaan yang memadai. Proteksi terhadap
pembentukan radikal oksigen dan peroksidasi lipid dipelajari pada orang yang
tidak terlatih yang melakukan pelatihan dan peningkatan respon fase akut
terhadap pelatihan eksentrik pada subyek lebih tua yang tidak terlatih
menunjukan bahwa vitamin E mungkin menguntungkan terhadap respon adaptasi
terhadap pelatihan. Selain itu, keuntungan positif terhadap kesehatan dari
pemakaian vitamin E dan C dapat memberi efek sinergis jika dilakukan
bersamaan dengan pelatihan teratur (William, 2000).
Enzim antioksidan endogen juga berperan sebagai pelindung pada proses
peroksidasi lipid. Penelitian (tikus dan manusia) menunjukkan peningkatan
malondialdehye (produk dari peroksidasi lipid) yang berarti setelah pelatihan
sampai kelelahan, and juga terjadi perubahan tingkat antioksidan dan aktivitas
enzim antioksidan di dalam plasma. Pada manusia dan tikus yang diperlakukan
pelatihan, aktivitas enzim antioksidan meningkat secara jelas. Pada kasus ini,
peningkatan stres oksidatif dipicu oleh pelatihan akan dipengaruhi oleh
meningkatnya aktivitas antioksidan, untuk mencegah terjadinya peroksidasi lipid.
Satu penelitian pada manusia mnunjukkan bahwa diet dengan asupan vitamin
37
antioksidan menunjukkan efek yang bagus terhadap peroksidasi lipid setelah
pelatihan. Walaupun beberapa perbincangan mengenai hal tersebut masih terjadi,
pertanyaan apakah vitamin antioksidan dan enzim antioksidan berperan sebagai
pelindung terhadap kerusakan otot yang disebabkan karena pelatihan dapat
dijawab secara jelas. Penelitian pada manusia menunjukkan asupan vitamin
antioksidan dapat direkomendasikan kepada individu yang melakukan pelatihan
berat secara regular. Selain itu, orang yang melakukan pelatihan akan mendapat
manfaat baik dibanding dengan orang yang tidak berlatih, di mana hasil dari
pelatihan akan meningkatkan aktivitas dari sebagian besar enzim antioksidan dan
keseluruhan aktivitas antioksidan. Akan tetapi, penelitian lebih lanjut dibutuhkan
untuk dapat memberikan informasi dan rekomendasi yang lebih spesifik
untuk hal tersebut (Clarkson dan Thompson,2000).
Sel tubuh terus memproduksi radikal bebas dan reactive oxigen species
(ROS) sebagai bagian dari proses metabolik. Radikal bebas ini akan dinetralisir
dengan sistema pertahanan atioksidan yang melibatkan enzim seperter katalase,
superoksida dismutase, glutatión peroksidase, dan sejumlah antioksidan non-
ensimatik, termasuk vitamin A, E, dan C, glutatión, ubikinon dan flavinoid. Olah
raga dapat mengakibatkan ketidak seimbangan antara ROS dan antioksidan, yang
disebut dengan stres oksidatif. Banyak diet antioksidan dipasarkan dan digunakan
oleh atlet untuk melawan stres oksidatif dari olah raga tersebut. Masih belum
jelas apakah pada pelatihan berat, kebutuhan akan tambahan antioksidan dalam
diet meningkat (Urso dan Clarkson, 2003).
Topik mengenai kerusakan otot yang disebabkan karena pelatihan banyak
menarik perhatian di tahun-tahun terakhir. Banyak dipelajari strategi untuk
38
meminimalisasi cidera akibat pelatihan resistensi berat. Selama 15 tahun
terakhir, beberapa penelitian telah dilakukan yang berpusat pada peranan
suplementasi nutrisi untuk menurunkan gejala dan tanda cidera otot. Beberapa,
memperlihatkan hasil yang memuaskan, sedang banyak pula beberapa nutrien
yang dilaporkan tidak memberikan pengaruhnya. Karena temuan yang beragam
ini, maka rekomendasi penggunaan suplemantasi nutrisi yang bertujuan untuk
menurunkan cidera otot menjadi popular dikalangan media fitness dan dunia atlet
secara besar-besaran tanpa didasari oleh penelitian ilmiah. Nutrien tersebut
meliputi antioksidan Vitamin C (Asam askorbat) dan Vitamin E
(tocoferol), N-acetyl-cysteine, flavonoids, L-carnitin, astaxanthin, beta-hydroxy-
beta-methylbutyrate, creatine monohidrat, asam lemak esencial, asam amino,
bromelain, protein dan karbohidrat. Banyak perbincangan tentang artikel-artikel
mengenai pengaruh berbagai macam nutrien terhadap kerusakan otot karena
pelatihan resistan yang ada. Berdasarkan ilmu pengetahuan terkini, maka dapat
ditarik kesimpulan peranan suplementasi nutrisi dalam menurunkan gejala dan
tanda kerusakan otot yang timbul setelah pelatihan beban yang berat yaitu : (i)
berperan penting (Vitamin C, Vitamin E, Flavinoids dan L-carnitin); (ii) tidak
efektif menurunkan kerusakan otot, hanya menurunkan beberapa gejala dan
tanda; (iii) Sampai saat itu masih tidak jelas dosis optimal nutrisi tersebut
(apakah dapat digunakan secara tunggal atau kombinasi); (iv) Masih tidak jelas
masa prapenanganan optimal ; (v) efektifitasnya sangat spesifik pada individu
yang melakukan pelatihan non beban. Karena penelitian yang masih sedikit, sulit
untuk merekomendasikan dengan yakin terhadap penggunaan nutrisi tertentu
39
yang hanya bertujuan untuk meminimalisasi gejala dan tanda dari kerusakan otot
yang disebabkan oleh pelatihan beban (Bloomer, 2007).
2.3. Astaxanthin
Astaxanthin adalah antioksidan yang merupakan salah satu kelompok
pigmen natural dari karotenoid. Di alam karotenoid dihasilkan sebagian besar
oleh tanaman dan golongan mikroskopiknya yaitu mikroalgae. Astaxanthin
terbanyak dihasilkan oleh mikroalgae Haematococcus pluvialis. Sumber lain
adalah hasil fermentasi ragi merah muda Xanthophyllomyces dendrorhous atau
ekstrak dari produk pigmen seperti udang Antarctic krill (Euphausia superba).
Selain dari alam astaxanthin juga dapat dihasilkan sintetis kimia, dan banyak
digunakan sebagai makanan ikan. Astaxanthin memiliki molekul yang sama
dengan famili karotenoid beta-karoten, tetapi sangat berbeda pada struktur kimia
dan biologi. Astaxanthin menunjukkan potensi antioksidan yang lebih tinggi
dibandingkan dengan beta-karoten pada penelitian di laboratorium (Cysewski dan
Lorenz, 2000).
Astaxanthin merupakan pigmen karotinoid merah yang ada pada banyak
mahluk hidup. Penelitian pada binatang menunjukan bahwa astaxanthin
mempunyai efek antioksidan yang dapat mencegah kerusakan otot karena
pelatihan, astaxanthin mengurangi kerusakan otot secara umum dan otot jantung
yang disebabkan oleh pelatihan, efek anti kanker, dan efek anti peradangan.
Astaxanthin juga mempunyai efek antidiabetik, meningkatkan daya tahan tubuh,
anti hipertensi dan neuroprotektif pada percobaan pada binatang (Heuer , 2007).
Struktur Kimia Astaxanthin :
40
Gambar 2.6. Struktur kimia Astaxanthin
Astaxanthin mempunya dua gugus karbonil, 11 gugus ethyl ganda dan
dua gugus hidroksi yang memungkinkan terjadinya esterifikasi (Higuera-Ciapara
dkk, 2006).
Struktur molekul Astaxanthin menyebabkan aktivitas biologinya berbeda
dari antioksidan lain atau karotinoid. Astaxanthin termasuk dalam kelompok
karotinoid yang dikenal dengan xantofil, atau karotinoid teroksigenasi. Xantofil
merupakan puncak dari aktivitas piramid karotinoid dan Astaxanthin berada di
atas xantofil.
Struktur molekul Astaxanthin membuatnya menjadi antioksidan superior,
tetapi juga fungsinya yang melibatkan banyak mekanisme untuk melindung
membran sel, melindungi sistem kekebalan, dan melindungi dari proses
degenerasi secara umum. Struktur molekul astaxanthin menyerupai beta karoten,
walau mempunyai banyak kelebihan. Astaxanthin mempunyai 13 rantai ganda
terkonjugasi, yang menyebabkannya mempunyak kapasitas antioksidan lebih
baik dari pada beta karoten yang mempunya 11 rantai ganda.
Astaxanthin mempunya kelompok OXO pada 4 dan 4 posisi prime pada
lingkar cyclohexene yang kemudian juga secara signifikan meningkatkan
aktivitas antioksidannya. Akhirnya, Astaxanthin mempunya gugus hidroksil pada
41
3 dan 3 posisi prime, yang membuat molekulnya sangat polar. Kombinasi dari
modifikasi tersebut secara dramatis meningkatkan aktivitas fungsi membran dan
aksi mekanisme lainnya untuk melindungi dari kondisi degeneratif, yang tidak
ditemukan pada antioksidan lain (Higuera-Ciapara dkk, 2006).
Astaxanthin menunjukan aktivitas antioksidan terkuat diantara karotinoid.
Astaxanthin mempunyai aktivitas penghilang oxygen tunggal yang sangat kuat
diantara antioksidan lain karena kestabilan molekulnya. Astaxanthin banyak
terdapat pada ikan, kerang-kerangan, crustacean, zoo dan phytoplankton, bakteri
dan lain-lain, terutama organisme laut (Hashimoto dkk, 2007).
Pada penelitian Malmsten dan Lignell (2008), didapatkan bahwa diet
tinggi kandungan astaxanthin meningkatkan kekuatan melakukan pelatihan
endurans. Penelitian tersebut dilakukan pada para siswa paramedik, di mana
kelompok yang diteliti diberikan capsul astaxanthin 4 mg sekali sehari dan
kelompok kontrol diberi placebo. Setelah 6 bulan, terjadi peningkatan
kemampuan lutut dalam melakukan gerakan jongkok pada kelompok yang
mendapat astaxanthin 3 kali lebih kuat dari pada kelompok kontrol. Namun tidak
ada parameter lain yang diteliti pada penelitian tersebut.
Aoi dkk (2003), melakukan penelitian tentang astaxanthin membatasi
terjadi kerusakan otot dan otot jantung yang dikarenakan pelatihan pada tikus.
Diet tinggi antioksidan akan menurunkan kerusakan oksidatif berbagai jaringan
pada pelatihan berat. Penelitian tersebut mengamati efek pemberian astaxanthin
terhadap kerusakan oksidatif yang terjadi pada otot paha dan otot jantung tikus
yang diakibatkan oleh pelatihan berat. Penelitian dilakukan selama 3 minggu
dengan membandingkan kelompok kontrol yang tidak mendapat perlakukan,
42
kelompok mendapat perlakuan pelatihan berat, dan kelompok mendapat
perlakuan pelatihan berat dan mendapat astaxanthin. Terjadinya peningkatan
Creatine Kinase dan aktivitas mieloperoksidase pada otot paha dan jantung yang
lebih rendah pada kelompok yang menggunakan Astaxanthin. Terlihat
astaxanthin menumpuk pada otot paha dan jantung setelah 3 minggu perlakuan.
Astaxanthin dapat menurunkan kerusakan pada otot dan jantung tikus yang
disebabkan oleh pelatihan berat dan termasuk infiltasi neutrophil yang dapat
menyebabkan kerusakan lebih lanjut. Pada penelitian ini dilakukan perbandingan
3 kelompok yaitu kelompok kontrol di mana tikus tidak diberi perlakuan,
kelompok yang mendapat perlakuan pelatihan berlari pada kecepatan 28m/menit
sampai terjadi kelelahan, dan kelompok dengan perlakuan yang sama dan diberi
astaxanthin selama 3 minggu, didapatkan terjadi pada kelompok yang mendapat
perlakuan pelatihan berat terjadi peningkatan 4-hydroxy-2-nonenal-modified
protein and 8-hydroxy-2'-deoxyguanosine dan juga terjadi peningkatan aktifitas
creatin kinase plasma dan aktivitas myeloperoxidase pada otot gastrocnemius dan
jantung, dan pada kelompok yang diberikan astaxanthin terjadi penurunan efek
pelatihan berat tersebut. Terjadi penumpukan Astaxanthin pada otot jantung dan
gastrocnemius pada pemakaian selama 3 minggu. Astaxanthin menurunkan efek
kerusakan otot jantung dan otot gastrocnemius yang dikarenakan pelatihan berat.
Penelitian terkini dilakukan untuk menentukan efek astaxanthin terhadap
kapasitas endurans pada tikus laki-laki yang berumur 4 minggu. Astaxanthin
diberikan secara oral (dengan dosis 1,2 , 6 dan 30 mg/kg berat badan) dengan
intubasi lambung selama 5 minggu. Pada kelompok astaxanthin menunjukan
peningkatan waktu renang yang meningkat sebelum terjadinya kelelahan di
43
banding kelompok kontrol. Kadar laktat darah pada kelompok astaxanthin lebih
rendah secara bermakna dibanding kelompok kontrol, Astaxanthin juga
menurunkan penumpukan lemak secara bermakna. Hasil tersebut mengarahkan
bahwa peningkatan kemampuan berenang dengan pemberian astaxanthin
disebabkan karena peningkatan penggunaan asam lemak sebagai sumber tenaga
(Ikeuchi dkk, 2006)
Penelitian terhadap efek astaxanthin pada tanda kerusakan otot pada
pelatihan resisten eksentrik dilakukan pada 20 orang yang melakukan pelatihan
beban sebanyak 10 set dengan 10 repetisi dengan beban 85% dari satu repetisi
maksimal. Hasil dari penelitian tersebut tidak menunjukan adanya perbedaan
kenyerian pada otot, kadar Creatine Kinase dan kemampuan otot yang diukur
pada kelompok pelatihan beban dan pelatihan beban dengan memakai astaxanthin
(Bloomer dkk, 2005).
Penelitian terhadap efek astaxanthin terhadap metabolisme lemak pada
pelatihan, pada tikus berumur 8 minggu yang dibagi menjadi 4 kelompok, tidak
mendapat perlakuan, perlakuan dengan pemberian astaxanthin, perlakukan
dengan pelatihan berlari, dan pelatihan berlari dengan pemberian astaxanthin.
Astaxanthin meningkatkan penggunaan lemak selama pelatihan dibanding
dengan tikus dengan diet normal dengan peningkatan masa berlari sampai terjadi
kelelahan. Terlihat bahwa pemberian astaxanthin menurunkan laju penumpukan
lemak tubuh dengan pelatihan. Hasil penelitian tersebut menunjukan astaxanthin
memicu metabolisme lemak dibanding penggunaan glukosa selama pelatihan
melalui aktivasi CPT 1, yang akan meningkatkan kemampuan endurans dan
penurunan jaringan lemak lebih efisien pada pelatihan (Aoi dkk, 2007).
44
Karppi (2005), melakukan penelitian tentang efek suplementasi
astazanthin terhadap lipid peroksidase. Dilakukan pengamatan terhadap efek
penggunaan astaxanthin selama 3 bulan terhadap lipid peroksidase pada pria
berumur 19 – 33 tahun yang bukan perokok, juga diteliti penyerapan astaxanthin
dalam bentuk kapsul ke peredaran darah dan juga keamanan dari penggunaan
astaxanthin tersebut. Hasil penelitian menunjukan penyerapan astaxantin di usus
dalam bentuk kapsul adekuat dan ditoleransi dengan baik. Suplementasi
astaxanthin juga menurunkan oksidasi asam lemak secara in vivo pada pria sehat
(Karppi, 2005).
Asupan antioksidan berulang mungkin dapat mencegah katabolisme
musculoskeletal yang disebabkan karena kurangnya nutrisi tertentu, pelatihan
yang berlebihan, stres karena overtraining, dapat mencegah dan memperbaiki
atropi otot dan penggunaan protein otot yang disebabkan salahnya pengunaan,
seperti pada cidera otot, immobilisasi atau tirah baring yang lama, dan proses
penuaan yang berhubungan dengan berkurangnya massa otot dan kekuatan.
Juga akan terjadi peningkatan aktivitas transportasi creatine pada sel otot
dan saraf, memperbaiki metabolism gula di serat otot, dan meningkatkan
kapasitas kerja musculoskeletal. Diyakini asupan suplementasi yang
mengandung antioksidan dapat mencegah dan membantu terapi terhadap kondisi
neurodegenarasi seperti Amyotrophic Lateral Sclerosis, Huntington’s Disease
dan Parkinson Disease juga menurunkan kejadian kerusakan karenya
penyempitan pembuluh darah otak pada pasien denga resiko tinggi terkena
stroke. Pada keadaan tersebut, diet dan suplementasi bisa membantu
mempertahankan kontraksi otot dan mempertahankan fungsi saraf otot.
45
Nutrisi yang tepat merupakan faktor penting untuk meningkatkan
performa atlet secara efektif, pemulihan setelah pelatihan dan mencegah cidera.
Nutrisi tambahan yang mengandung karbohidrat, protein, vitamin dan mineral
telah digunakan secala luas di berbagai cabang olahraga dengan dosis yang lebih
tinggi dari kebutuhan sehari-hari. Beberapa unsur makanan memberikan efek
fisiologis, dan beberapa diyakini berguna untuk meningkatkan performa pelatihan
ataupun untuk mencegah cidera. Akan tetapi, jenis makanan seperti ini harus
digunakan berdasarkan bukti ilmiah yang jelas dan dengan pemahaman dari
perubahan fisiologis yang disebabkan oleh pelatihan (Wataru dkk, 2006).
Dikarenakan latar belakang sosial dan juga pola makan, dan
meningkatnya biaya perawatan medis, terjadi peningkatan terhadap upaya
menjaga kesehatan dan minat terhadap makanan sehat. Pada tahun tahun terakhir,
banyak jenis makanan yang dapat memenuhi kebutuhan yang dapat dievaluasi
secara ilmiah untuk menentukan efeknya terhadap pencegahan beberapa
penyakit. Pada dunia olah raga, terdapat bermacam makanan tambahan yang
tersedia, tetapi diantara makanan tersebut, beberapa tidak dapat dibuktikan
khasiatnya dan yang lainnya melakukan promosi yang tidak benar, hal ini
membingungkan konsumen. Karena itu diperlukan evaluasi dan penelitian lebih
lanjut secara ilmiah sebelum makanan tambahan tersebut digunakan sebagai
makanan tambahan yang berguna untuk menunjang efek dari berolah raga.
Aoi dkk (2003) pada penelitiannya menyatakan bahwa pelatihan aerobik
yang intensif akan mengakibatkan produksi ROS dengan berbagai mekanisme.
Pelatihan ini memacu oksidasi ROS pada protein, lipid dan DNA yang
menyebabkan kerusakan otot, jantung dan hati. Juga ditemukan respon
46
peradangan sekunder yang terjadi pada kerusakan otot lebih lanjut yang dipicu
oleh pembentukan ROS. Pada penelitian sebelumnya juga menunjukan bahwa
antioksidan seperti Vitamin E, C dan karotenoid dapat menurunkan kerusakan
oksidatif.
Penelitian yang lebih baru menunjukkan terjadinya respon peradangan
yang dipicu oleh pembentukan ROS intrasel, yang meningkatkan aktivitas dari
faktor transkripsi dari redox-sensitive tertentu. Nuclear factor - кB (NF-кB) dan
Activator protein-1 (AP-1) merupakan faktor transkripsi khusus yang dikontrol
oleh ROS yang meregulasi ekspresi gen untuk kemokin, peradangan sitokin dan
adhesi molekul. Sebagai respon terhadap mediator ini, fagosit menginfiltrasi ke
dalam jaringan, di mana sel ini memicu proteolisis, perusakan ultrastruktur, dan
kerusakan oksidatif lebih lanjut. ROS, tidak hanya menyebabkan kerusakan
oksidatif secara langsung, juga menyebabkan kerusakan lebih lanjut karena
proses peradangan. Proses peradangan ini meningkat pada otot dan otot jantung
dikarenakan stres oksidatif (Aoi dkk, 2007).
Karena itu, kerusakan otot tertunda setelah pelatihan, termasuk kerusakan
oksidatif, dipicu oleh proses peradangan, kerusakan dan infiltrasi neutrofil
muncul bersamaan setelah penundaan, tidak terjadi segera setelah pelatihan.
Antioksidan diduga dapat menginaktivasi faktor transkripsi, menurunkan ekspresi
dari mediator peradangan dan mencegah infiltrasi neutrofil.
47
BAB III
KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN
3.1. Kerangka Berpikir
Olah raga merupakan salah satu komponen penting dalam usaha menunda
proses penuaan. Namun sering sekali orang tidak mengetahui sebrapa banyak
diperlukan olah raga tersebut. Masih banyak orang yang melakukan olah raga
berlebihan melebihi kapasitas kemampuan tubuhnya melakukan proses
pemulihan, hal tersebut menyebabkan keadaan yang disebut overtraining.
Dalam banyak penelitian didapatkan bahwa overtraining adalah salah satu
faktor yang menyebabkan terjadinya penumpukan radikal bebas yang diproduksi
di dalam tubuh, yang akan menyebabkan kerusakan otot. Selain itu teknik
pelatihan yang tidak benar, posisi tubuh yang salah, gangguan hormonal, juga
dapat mengakibatkan kerusakan otot.
Cidera oksidatif setelah pelatihan dan penumpukan radikal bebas dapat
dicegah dengan asupan antioksidan. Antioksidan diharapkan dapat mencegah
terjadinya kerusakan otot yang disebabkan oleh overtraining. Astaxanthin
merupakan salah satu antioksidan kuat, termasuk dalam keluarga karotenoid
dengan warna pigmen merah terang, pigmen ini dihasilkan dari mikroalga
haematococcus pulvialis. Astaxanthin menghambat stres oksidatif otot sehingga
dapat mencegah kerusakan otot yang terjadi karena overtraining.
48
3.2. Kerangka Konsep
Gambar 3.1. Kerangka Konsep
3.3. Hipotesis Penelitian
Hipotesis dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut :
1. Terjadi nekrosis dan peradangan jaringan otot pada tikus yang
mengalami overtaining
2. Pemberian Astaxanthin dengan dosis 1,2 mg / kgBB secara teratur
mencegah efek nekrosis dan peradangan jaringan otot sebagai akibat
overtraining pada tikus.
External : - Posisi Tubuh - Teknik Pelatihan
- Radikal Bebas
Tikus Overtraining
Internal : - Umur - Hormonal
- Radikal bebas
ASTAXANTHIN
49
BAB IV
METODE PENELITIAN
4.1. Rancangan Penelitian.
Metode penelitian yang digunakan adalah metode True experimental
dengan menggunakan rancangan “Pretest-posttest Control Group Design”
(Dimitrov dan Rumrill, 2003) . Pada subyek penelitian yang telah ditentukan,
dilakukan alokasi sample secara random menjadi 4 kelompok, yaitu kelompok
kontrol dan dua kelompok perlakuan. Pada kelompok kontrol tidak diberi
perlakuan. Satu kelompok perlakuan akan diberikan perlakuan pelatihan normal.
Pada satu kelompok perlakuan akan diberikan perlakuan overtraining dan pada
kelompok perlakuan lainnya akan diberikan perlakukan pelatihan overtraining
and pemberian Astaxanthin dengan dosis 1,2 mg / KgBB.
Skema dari rancangan penelitian, dapat dilihat pada bagan di bawah ini :
P1
O1 O4
P2
P S R O2 O5
P3
O3 O6
Gambar 4.1 Bagan Rancangan Penelitian
(keterangan ada di halaman berikut)
50
Keterangan :
P = Populasi
S = Sampel
R = Random
O1,O2,O3= Gambaran histologis m. gastrocnemius kelompok kontrol
sebelum perlakuan
O4 = Gambaran histologis m. gastrocnemius kelompok setelah
perlakuan pelatihan 10 menit
O5 = Gambaran histologi m. gastrocnemius kelompok setelah
perlakuan overtraining
O6 = Gambaran histologi m. gastrocnemius kelompok setelah
perlakuan overtraining dan pemberian astaxantin 1,2 mg/kgBB
P1 = Tikus direnangkan selama 10 menit sekali setiap hari, diberi
minum aquades melalui sonde sekali sehari setiap hari selama
30 hari
P2 = Tikus direnangkan sampai kelelahan dan tidak dapat berenang
lagi sekali setiap hari, diberi minum aquades melalui sonde
sekali sehari setiap hari, selama 30 hari
P3 = Tikus direnangkan sampai kelelahan dan tidak dapat berenang
lagi sekali setiap hari, diberi minum larutan astaxanthin sekali
sehari melalui sonde dengan dosis 1,2 mg/kg BB, setiap hari
selama 30 hari
51
4.2. Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian akan dilakukan di Laboratorium Farmakologi , Bagian
Farmakologi Universitas Udayana, Jl. P.B. Sudirman, Denpasar, Bali. Waktu
yang diperlukan untuk pelaksanaan penelitian adalah selama 30 hari.
Pembuatan preparat histologis dilakukan di Laboratorium Patologi
Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana.
4.3. Teknik Sampling dan Kriteria
Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah tikus jantan dan
pengambilan sample dilakukan secara acak dengan kriteria sebagai berikut :
4.3.1. Kriteria Inklusi :
- tikus harus sehat
- Jantan
- umur kurang lebih 16 minggu
diambil usia tikus 16 minggu karena usia tikus 16 minggu setara
dengan usia manusia 30 tahun yang mulai mengalami proses
penuaan.
- berat 100-150 gram
4.3.2. Kriteria Drop Out
- Jika tikus mati
- Jika tikus tidak mau makan
Jumlah sample yang diperlukan untuk penelitian adalah sampel agar
memenuhi prosedur parametrik, dengan tambahan + 10% untuk antisipasi apabila
ada tikus yang mati pada saat penelitian.
52
4.4. Besar Sampel
Pada penelitian ini perhitungan jumlah sampel dihitung dengan rumus
(Pocock, 2008):
2σ2
Rumus : n = x f(α,β)
(µ2-µ1)2
n = jumlah sampel
σ = simpangan baku (SD)
α = tingkat kesalahan I (ditetapkan 0,05)
β = tingkat kesalahan II (ditetapkan 0,1)
f(α,β) = nilai pada tabel
µ1 = rerata skor pada kelompok perlakuan pada percobaan pendahuluan
µ2 = rerata skor pada kelompok kontrol pada percobaan pendahuluan
Jumlah sampel akan ditentukan setelah dilakukan penelitian pendahuluan.
Penelitian pendahuluan dilakukan dengan 2 kelompok. Kelompok dengan
perlakuan pelatihan normal, tikus direnangkan selama 10 menit setiap hari selama
30 hari. Kelompok dengan perlakuan pelatihan renang pada tikus sampai terjadi
kelelahan dan tikus tidak mampu berenang lagi, setiap hari selama 30 hari.
Kemudian dilakukan perbandingan nekrosis dan peradangan jaringan otot yang
terjadi pada kelompok kontrol dan kelompok perlakuan. Masing-masing
kelompok berjumlah 5 tikus.
53
4.5 Variabel Penelitian
4.5.1. Klasifikasi Variabel :
4.5.1.1 Variabel bebas : perlakuan overtraining dan pemberian Astaxanthin
4.5.1,2. Variabel tergantung : nekrosis dan peradangan otot pada overtraining
4.5.1.3. Variabel kendali, meliputi :
- berat badan
- umur hewan coba
- nutrisi
4.5.2. Definisi Operasional
1. Suspensi Astaxanthin :
Sediaan yang mengandung bahan obat padat dalam bentuk serbuk
dan tidak larut, yang terdispensi dalam cairan pembawa (Glyceril)
dengan dosis 1,2 mg/kgBB/hari
2. Kelompok kontrol :
Tikus yang mendapat perlakuan direnangkan setiap hari selama 10
menit dan diberi minum aquades melalui sonde selama 30 hari
3. Kelompok perlakuan :
Ada 2 kelompok:
1. Tikus yang mendapat perlakuan overtraining dengan direnangkan
sekali sehari setiap hari sampai tikus mengalami kelelahan dan
tidak dapat berenang lagi dan masing-masing tikus diberikan
minum aquades melalui sonde sekali sehari setiap hari selama 30
hari.
54
2. Tikus yang mendapat perlakuan overtraining dengan direnangkan
sekali sehari setiap hari sampai tikus mengalami kelelahan dan
tidak dapat berenang lagi dan diberikan minum cairan astaxanthin
yang dilarutkan dengan gliserin dengan dosis 1,2 mg/kg BB
melalui sonde sekali sehari setiap hari selama 30 hari.
4.5.3 Gambaran Histologis
Serat otot normal
Gambar. 4.2. Gambaran serat otot pada tikus tanpa perlakuan
Nekrosis dan peradangan jaringan otot :
Nekrosis : Perubahan bentuk yang disebabkan kematian sel atau sebagian
jaringan atau sebagian dari organ tubuh akibat cidera, penyakit, atau kekurangan
oksigen ke dalam jaringan tersebut.
Peradangan : Adanya gambaran sel inti interna yang merupakan gambaran
fagositosis dari makrofag, yang disebut juga sel radang, diantara jaringan otot
normal.
55
Gambar 4.3. Nekrosis dan Sel radang
Serat Otot normal
Serat otot dengan nekrosis: Pucat
Serat otot dengan peradangan:
fagositosis makrofag (Sel radang )
Serat otot dengan nekrotik
hiperkontaksi
Perimysium
4.5.4. Kriteria Skor
4.5.4.1. Nekrosis
- Skor 0 = jika tidak ditemukan adanya perubahan
- Skor 1 = jika ditemukan adanya nekrosis fokal (satu lapangan
pandang dengan pembesaran 40x)
- Skor 2 = jika ditemukan nekrosis multifocal (lebih dari satu
lapangan pandang dengan pembesaran 40x)
- Skor 3 = jika ditemukan nekrosis menyebar (semua lapangan
pandang dengan pembesaran 40x)
4.5.4.2. Peradangan jaringan otot
- Skor 0 = jika tidak ditemukan adanya perubahan
- Skor 1 = jika ditemukan adanya Sel radang fokal (satu lapangan
pandang dengan pembesaran 40x)
- Skor 2 = jika ditemukan Sel radang multifocal ( lebih dari satu
lapangan pandang dengan pembesaran 40x)
- Skor 3 = jika ditemukan sel radang menyebar (semua lapangan
pandang)
56
4.6. Bahan dan Alat Penelitian
4.6.1. Bahan-bahan yang diperlukan untuk proses penelitian adalah :
- tikus usia 16 minggu, jantan, dengan berat 100-150 gram
- makanan ternak
- suspensi astaxanthin
- aqua pro-injeksi
- sonde
4.6.2. Alat-alat yang diperlukan dalam proses penelitian :
- seperangkat alat bedah
- mikroskop cahaya
- kaca benda dan kaca penutup
- mikrotom
- kandang tikus
- bak air
- gunting bedah
- jarum suntik
- sarung tangan
- buku tabel data
4.7. Prosedur Penelitian
4.7.1. Pemberian Perlakuan
- Pada kelompok kontrol : perlakukan pelatihan normal di mana satu
jam setelah makan tikus direnangkan setiap hari selama 10 menit,
dan diberi minum aquades sekali sehari setiap hari melalui sonde
selama 30 hari.
57
Pada kelompok perlakuan :
- kelompok perlakuan overtraining di mana satu jam setelah makan
tikus direnangkan sekali setiap hari sampai terjadi kelelahan dan
tidak dapat berenang lagi, dan diberi minum aquades sekali sehari
setiap hari melalui sonde selama 30 hari.
- kelompok perlakuan overtraining dan pemberian astaxanthin di
mana satu jam setelah makan tikus direnangkan sampai terjadi
kelelahan dan tidak dapat berenang lagi, diberi larutan astaxanthin
dalam Glyserin sekali sehari melalui sonde selama 30 hari.
4.7.2. Prosedur Pengumpulan Data
Pada awal penelitian untuk mendapatkan data pre-test, dari kelompok
kontrol dan kelompok perlakuan masing-masing diambil 5 ekor sampel tikus
untuk dilakukan pengamatan secara histologis dengan mengamati susunan
histologis otot gastrocnemius. Untuk mendapatkan data post test; pada kelompok
kontrol, setelah perlakuan selama 30 hari, semua sampel tikus dibunuh. Demikian
juga dengan kelompok perlakuan, setelah diberikan perlakuan overtraining and
pemberian suspensi Astaxanthin selama 30 hari semua sampel tikus dibunuh,
diambil otot gastrocnemiusnya pada hari yang sama, untuk kemudian diamati
struktur histologis otot gastrocnemiusnya
4.7.3. Pembuatan Preparat Histologis
Pembuatan preparat histologis dilakukan dengan cara membuat sayatan
setebal 4 mikron pada otot gastrocnemius dengan menggunakan mikrotom.
Kemudian pada preparat diberi pewarnaan Hematoksilin – Eosin (HE) agar
58
memudahkan pengamatan dengan menggunakan mikroskop cahaya dengan
pembesaran 40 – 100x.
4.8. Alur Penelitian
(
Gambar 4.4. Alur Penelitian
4.9. Analisis Data
Data yang diperoleh dianalisis sebagai berikut:
1. Analisis Deskriptif.
2. Analisis Normalitas dan Homogenitas:
a. Uji Normalitas data dengan Shapiro-Wilk test, untuk mengetahui rerata
data sampel berdistribusi normal atau tidak (Rees, 2001).
b. Uji homogenitas dengan Levene test (Archambault, 2000).
Kelompok Perlakuan
overtraining
Tikus Jantan 16 minggu
Adaptasi 2 minggu
Kelompok Perlakuan
renang 10 menit
Pengambilan m.gastrocnemius, pembuatan preparat dan pengamatan histologis
( Post Treatment )
Plasebo 30
hari
Astaxanthin 1,2
mg/kgBB - 30 hari
Analisis
Kelompok Perlakuan
overtraining
(
Pretreatment
59
3. Analisis Inferensial:
Karena data tidak berdistribusi normal maka digunakan Uji Wilcoxon Test
untuk mengetahui perbedaan antara pre dengan post ( Weisstein, 2008) dan
antar kelompok dengan Kruskal-Wallis ( Schoonjans, 2008).
60
BAB V
HASIL PENELITIAN
Dalam penelitian ini digunakan sebanyak 29 ekor tikus jantan berumur 16
minggu dengan berat badan 100 – 150 gram sebagai sampel, yang terbagi
menjadi 4 (tiga) kelompok, dengan 5 ekor tikus untuk kontrol yaitu tanpa
perlakuan, kelompok perlakuan terdiri dari 3 kelompok, masing-masing
berjumlah 8 ekor tikus, yaitu kelompok dengan renang 10 menit, kelompok
renang maksimal sampai terjadi kelelahan, dan kelompok renang maksimal
sampai terjadi kelelahan + Astaxanthin 1,2 mg/kg BB. Tidak terjadi perbedaan
morfologi jaringan otot pada tikus yang tidak mengalami perlakuan dan tikus
yang melakukan renang 10 menit. Karena itu kelompok tikus yang melakukan
renang 10 menit dijadikan kelompok kontrol. Dalam pembahasan ini akan
diuraikan uji normalitas data dan uji efek perlakuan.
5.1 Uji Normalitas Data
Data nekrosis dan sel radang sesudah perlakuan pada masing-masing
kelompok diuji normalitasnya dengan menggunakan uji Shapiro-Wilk. Hasilnya
menunjukkan data tidak berdistribusi normal (p<0,05), disajikan pada Tabel 5.1.
61
Tabel 5.1
Hasil Uji Normalitas Data Nekrosis dan Sel Radang Setelah Perlakuan
Kelompok Subjek n p Keterangan
Nekrosis Kontrol
Nekrosis Renang Maksimal
Nekrosis Renang Maksimal+Astaxanthin
Sel Radang Kontrol
Sel Radang Renang Maksimal
Sel Radang Renang Maksimal+Astaxanthin
8
8
8
8
8
8
0,000
0,114
0,025
0,000
0,410
0,002
Tidak Normal
Normal
Tidak Normal
Tidak Normal
Normal
Tidak Normal
5.2. Nekrosis dalam Jaringan Otot
5.2.1 Analisis efek perlakuan
Uji komparabilitas pada penelitian ini tidak dilakukan, mengingat
sebelum direnangkan tidak terjadi nekrosis dalam jaringan otot. Analisis efek
perlakuan diuji berdasarkan median nekrosis antar kelompok sesudah diberikan
perlakuan berupa renang maksimal+astaxanthin. Hasil analisis kemaknaan
dengan uji Kruskal-Wallis disajikan pada Tabel 5.2 berikut.
Tabel 5.2
Rerata Nekrosis Jaringan Otot antar kelompok sesudah diberikan
perlakuan
Kelompok Subyek n Median Nekrosis
Jaringan Otot Kuartil
Q1 Q3
p
Pre Test 5 0,00 0,00 0,00
Kontrol 8 0,00 0,00 0,00
Renang Maksimal 8 1,70 1,60 2,00 0,001
Renang Maksimal +
Astaxanthin 1,2mg/kgBB
8 0,40 0,20 0,70
62
Tabel 5.2 di atas, menunjukkan bahwa median nekrosis jaringan otot
kelompok kontrol adalah 0 (0-0), median kelompok renang maksimal adalah 1,70
(1,60-2,00), dan kelompok renang maksimal+Astaxanthin 1,2 mg/kg BB adalah
0,40 (0,20-0,70). Analisis kemaknaan dengan uji Kruskal-Wallis menunjukkan
bahwa nilai 2 = 21,42 dan nilai p = 0,001. Hal ini berarti bahwa nekrosis
jaringan otot pada ketiga kelompok sesudah diberikan perlakuan berupa renang
maksimal+astaxanthin berbeda secara bermakna (p < 0,05).
0
0.2
0.4
0.6
0.8
1
1.2
1.4
1.6
1.8
Kontrol Renang maximal Renang maximal+ Astaxanthin
S
k
o
r
Nekrosis otot
Gambar 5.1 Grafik Terjadinya Nekrosis setelah Pemberian
Overtraining+Astaxanthin
Gambar 5.1 di atas menggambarkan bahwa pemberian astaxanthin dengan
dosis 1,2 mg/kg BB dapat mencegah nekrosis dalam jaringan otot.
63
5.2.2 Analisis Komparasi antara Sebelum dengan Sesudah Perlakuan
Analisis komparasi diuji berdasarkan median antara sebelum dengan
sesudah diberikan perlakuan berupa renang maksimal+astaxanthin. Hasil analisis
kemaknaan dengan uji Wilcoxon Sign Rank Test disajikan pada Tabel 5.3 berikut.
Tabel 5.3
Analisis Komparasi Nekrosis antara Sebelum dan Sesudah Perlakuan
Kelompok
Beda
Median
pre - post
p Ket.
Kontrol
Renang Maksimal
Renang Maksimal+Astaxanthin 1,2 mg/kg BB
0,00
1,70
0,40
1,000
0,011
0,011
Tetap
Meningkat
Meningkat
Berdasarkan uji Wilcoxon didapatkan bahwa terjadi nekrosis pada
kelompok yang mengalami overtraining, sedangkan pada kelompok yang
diberikan astaxanthin 1,2 mg/kg BB kejadian nekrosis lebih rendah secara
bermakna sebesar 76,47% dibandingkan dengan kelompok yang direnangkan
maksimal saja.
5.3 Sel Radang Dalam Jaringan Otot
5.3.1 Analisis efek perlakuan
Uji komparabilitas pada penelitian ini tidak dilakukan, mengingat
sebelum direnangkan tidak terjadi sel radang dalam jaringan otot. Analisis efek
perlakuan diuji berdasarkan median sel radang antar kelompok sesudah diberikan
perlakuan berupa renang maksimal+astaxanthin. Hasil analisis kemaknaan
dengan uji Kruskal-Wallis disajikan pada Tabel 5.4 berikut.
64
Tabel 5.4
Rerata Sel radang Jaringan Otot antar kelompok sesudah diberikan
perlakuan
Kelompok Subyek n Median Sel
Radang Jaringan
Otot
Kuartil
Q1 Q3
p
Pre Test 5 0,00 0,00 0,00
Kontrol 8 0,00 0,00 0,00
Renang Maksimal 8 1,50 1,20 1,95 0,001
Renang Maksimal +
Astaxanthin 1,2mg/kgBB
8 0,40 0,25 0,40
Tabel 5.4 di atas, menunjukkan bahwa median sel radang jaringan otot
kelompok kontrol adalah 0 (0-0), median kelompok renang maksimal adalah 1,50
(1,20-1,95), dan kelompok renang maksimal+Astaxanthin 1,2 mg/kg BB adalah
0,40 (0,25-0,40). Analisis kemaknaan dengan uji Kruskal-Wallis menunjukkan
bahwa nilai 2 = 21,32 dan nilai p = 0,001. Hal ini berarti bahwa sel radang
jaringan otot pada ketiga kelompok sesudah diberikan perlakuan berupa renang
maksimal+astaxanthin berbeda secara bermakna (p < 0,05).
65
0
0.2
0.4
0.6
0.8
1
1.2
1.4
1.6
Kontrol RenangMaksimal
RenangMaksimal +Astaxanthin
S
k
o
r
Sel Radang Otot
Gambar 5.2 Grafik Penurunan Sel Radang setelah Pemberian astaxanthin
Gambar 5.2 di atas menggambarkan bahwa pemberian astaxanthin dengan
dosis 1,2 mg/kg BB dapat menegah sel radang dalam jaringan otot.
5.3.2 Analisis komparasi antara Sebelum dengan Sesudah Perlakuan
Analisis komparasi diuji berdasarkan median antara sebelum dengan
sesudah diberikan perlakuan berupa renang maksimal+astaxanthin. Hasil analisis
kemaknaan dengan uji Wilcoxon Sign Rank Test disajikan pada Tabel 5.5 berikut.
Tabel 5.5
Analisis Komparasi Sel radang antara Sebelum dan Sesudah Perlakuan
Kelompok
Beda
Median
pre - post
p Ket.
Kontrol
Renang Maksimal
Renang Maksimal+Astaxanthin 1,2 mg/kg BB
0,00
1,50
0,40
1,000
0,012
0,010
Tetap
Meningkat
Meningkat
66
Berdasarkan uji Wilcoxon didapatkan bahwa terjadi sel radang pada
kelompok yang mengalami overtraining, sedangkan pada kelompok yang
diberikan astaxanthin 1,2 mg/kg BB terjadinya sel radang lebih rendah secara
bermakna sebesar 73,33% dibandingkan dengan kelompok yang direnangkan
maksimal saja.
67
BAB VI
PEMBAHASAN
6.1. Subyek Penelitian
Dalam penelitian ini digunakan tikus sebagai hewan coba yang diberikan
astaxanthin, yaitu untuk menguji penurunan nekrosis dan sel radang sesudah
diberikan renang maksimal.
Tikus yang digunakan sebagai hewan coba adalah tikus jantan berumur 16
minggu dengan berat badan 100 – 150 gram. Tikus yang dipergunakan dalam
penelitian ini berjumlah 24 ekor, dibagi menjadi 3 kelompok yaitu kelompok P1
kontrol (renang 10 menit), kelompok P2 (renang maksimal), dan kelompok P3
(renang maksimal+astaxanthin 1,2 mg). Penelitian dilakukan selama 30 hari.
6.2. Pemberian Astaxanthin
Dosis 1,2 mg/kgBB astaxanthin yang digunakan dalam penelitian ini
mengacu dari penelitian Ikeuchi dkk (2006) yang menggunakan dosis astaxanthin
1,2 mg/kgBB pada tikus dan terjadi peningkatan waktu renang yang bermakna
pada tikus dibandingkan dengan kontrol yang tidak mendapat astaxanthin.
Dengan rumus terjemahan hewan dengan manusia oleh Reagan-Shaw dkk
(2007), dosis 1,2 mg/kgBB/hari tikus setara dengan dosis 12 mg untuk manusia
dewasa. Dosis astaxanthin 12 mg/hari pada manusia dewasa adalah dosis yang
dianjurkan untuk mengurangi reaksi peradangan tubuh menurut Capelli dan
Cysewski (2006). Dosis 1,2 mg/kgBB pada tikus setara dengan 12 mg pada
68
manusia menurut tabel konversi perhitungan dosis untuk beberapa jenis hewan
dan manusia oleh Kusmawati (2000).
Pengambilan waktu 30 hari didasarkan atas hasil penelitian Aoi dkk
(2003), di mana terlihat astaxanthin menumpuk pada otot paha dan jantung tikus
setelah pemberian melalui sonde selama 3 minggu. Konsentrasi astaxanthin
dalam plasma akan meningkat mencapai konsentrasi maksimal pada pemberian di
atas 4 minggu ( Park dkk, 2010).
Astaxanthin dilarutkan dalam glyceril karena sifat farmakologi
astaxanthin yang larut dalam lemak (Capelli dan Cysewski, 2006). Dan
pemberian melalui sonde untuk memastikan astaxanthin masuk ke dalam
lambung seluruhnya.
6.3. Pengaruh Astaxanthin terhadap Nekrosis
Berdasarkan hasil analisis didapatkan bahwa data nekrosis pada kelompok
P1, kelompok P2 dan kelompok P3, tidak berdistribusi normal (p < 0,05), baik
kelompok sebelum perlakuan (pre) maupun sesudah perlakuan (post). Hal ini
menunjukkan bahwa syarat penggunaan uji parametrik untuk analisis data
nekrosis tidak terpenuhi. Selanjutnya untuk uji komparabilitas dan uji efek
perlakuan digunakan uji nonparametrik yaitu uji Kruskal-Wallis untuk
mengetahui perbedaan median antar kelompok sesudah perlakuan. Sedangkan
untuk mengetahui perbedaan antara pre-post (sebelum-sesudah perlakuan)
digunakan uji Wilcoxon Sign Rank Test pada masing-masing kelompok.
Berdasarkan hasil analisis didapatkan bahwa median nekrosis jaringan
otot kelompok kontrol adalah 0 (0-0), median kelompok renang maksimal adalah
69
1,70 (1,60-2,00), dan kelompok renang maksimal+Astaxanthin 1,2 mg/kg BB
adalah 0,40 (0,20-0,70). Analisis kemaknaan dengan uji Kruskal-Wallis
menunjukkan bahwa nilai 2 = 21,42 dan nilai p = 0,001. Hal ini berarti bahwa
nekrosis jaringan otot pada ketiga kelompok sesudah diberikan perlakuan berupa
renang maksimal+astaxanthin berbeda secara bermakna (p < 0,05).
Hasil analisis antara sebelum dengan sesudah perlakuan dengan uji
Wilcoxon didapatkan bahwa terjadi nekrosis pada kelompok yang mengalami
overtraining, sedangkan pada kelompok yang diberikan astaxanthin 1,2 mg/kg
BB mengalami penurunan nekrosis secara bermakna sebesar 76,47%
dibandingkan dengan kelompok yang direnangkan maksimal saja.
Demikian juga untuk sel radang, berdasarkan hasil analisis didapatkan
bahwa median sel radang jaringan otot kelompok kontrol adalah 0 (0-0), median
kelompok renang maksimal adalah 1,50 (1,20-1,95), dan kelompok renang
maksimal+Astaxanthin 1,2 mg/kg BB adalah 0,40 (0,25-0,40). Analisis
kemaknaan dengan uji Kruskal-Wallis menunjukkan bahwa nilai 2 = 21,32 dan
nilai p = 0,001. Hal ini berarti bahwa sel radang jaringan otot pada ketiga
kelompok sesudah diberikan perlakuan berupa renang maksimal+astaxanthin
berbeda secara bermakna (p < 0,05).
Hasil analisis antara sebelum dengan sesudah perlakuan dengan uji
Wilcoxon didapatkan bahwa terjadi sel radang pada kelompok yang mengalami
overtraining, sedangkan pada kelompok yang diberikan astaxanthin 1,2 mg/kg
BB mengalami penurunan sel radang secara bermakna sebesar 73,33%
dibandingkan dengan kelompok yang direnangkan maksimal saja.
70
Pemberian perlakuan renang maksimal dapat menyebabkan overtraining
yang dapat mengakibatkan terjadinya kerusakan otot. Overtraining jangka
panjang terjadi selama beberapa minggu sampai berbulan-bulan yang
mengakibatkan sindroma overtraining. Nekrosis dan peradangan pada otot yang
terjadi pada tikus yang direnangkan maksimal (overtraining) karena penggunaan
otot yang berlebihan atau cidera otot dapat mengakibatkan respon peradangan
(inflamasi) di mana terjadi invasi neutrofil yang diikuti dengan makrofag. Proses
inflamasi ini terjadi juga pada mekanisme perbaikan, regenerasi dan pertumbuhan
otot yang menyebabkan aktivasi dan proliferasi dari sel satelit, diikuti dengan
diferensiasi akhir. Sel inflamasi menyebabkan cidera dan juga perbaikan otot,
melalui aksi gabungan dari radikal bebas, faktor pertumbuhan dan kemokin. Ada
penelitian menunjukkan peran dari neutrofil dalam menyebabkan kerusakan otot
segera setelah terjadi cidera otot. Makrofag juga dapat menyebabkan kerusakan
otot pada percobaan in vivo dan in vitro dengan melepaskan radikal bebas. Pada
penelitian yang lebih lanjut menunjukkan bahwa sel otot dapat melepaskan faktor
regulasi positif dan negatif terhadap invasi sel inflamasi, yang berperan aktif
dalam proses inflamasi. Nitric oxide yang berasal dari otot dapat menghambat
invasi sel inflamasi ke otot yang sehat dan melindungi otot dari kerusakan akibat
invasi sel inflamasi secara ini vivo dan in vitro (Tidball, 2005).
Akhir-akhir ini mulai dilakukan penelitian untuk mengeksplorasi
hubungan antara fungsi sel inflamasi dan kerusakan otot dan perbaikan otot
dengan menggunakan tikus, hilangnya antibodi dari kumpulan sel inflamasi
spesifik, atau terjadinya inflamasi pada otot setelah cidera (Clarkson dan Hubal,
2002).
71
Tanda-tanda kerusakan otot setelah berolah raga secara tidak langsung
dapat dilihat dari peningkatan intensitas signal T2 pada teknologi magnetic
resonance imaging, meningkatnya tanda-tanda inflamasi pada otot yang cidera
dan pada darah, meningkatnya protein otot pada darah dan nyeri otot. Walaupun
mekanisme yang pasti terjadinya hal tersebut belum jelas, pada awal cidera akan
menyebabkan pemutusan serat otot, dan kerusakan tersebut terjadi bersamaan
dengan proses inflamasi dan terjadi perubahan kekuatan kontraksi dan eksitasi
dari otot tersebut (Pidcock,2003).
Pada keadaan overtraining baik dalam jangka pendek ataupun panjang
yang akan memberikan dampak negatif terhadap kesehatan, salah satu penyebab
kerusakan yang terjadi adalah karena terjadi peningkatan radikal bebas di dalam
tubuh, dan peranan antioksidan dalam menurunkan efek radikal bebas.
Overtraining merupakan akibat dari stres berlebih pada otot skeletal yang
dikarenakan tidak cukupnya waktu istirahat dan pemulihan di mana dapat
memicu peradangan lokal, peradangan kronik, bahkan peradangan sistemik. Juga
pada keadaan overtraining terjadi pembentukan radikal bebas oksigen yang
merupakan faktor utama dari proses peradangan yang terjadi pada lesi otot
setelah pelatihan dan saat pemulihan. Saat terbentuknya radikal bebas oksigen,
maka terjadi infiltrasi neutrofil dan makrofag ke dalam jaringan otot, dan untuk
mengatasi keadaan ini tubuh akan membentuk lebih banyak radikal bebas
oksigen (melalui pernapasan), yang akan menyebabkan respon peradangan berat
setelah pelatihan, dan perbaikan jaringan rusak saat pemulihan (Cunha dkk,
2006).
72
Pada saat pelatihan akut, terjadi peningkatan penggunaan oksigen, yang
menyebabkan peningkatan pembentukan radikal bebas oksigen. Molekul ini
meningkat pada pelatihan yang lama dan pada pelatihan intensitas tinggi, akan
tetapi pelatihan fisik dapat mempunyai kemampuan adaptasi untuk mencegah
efek buruk dari Radikal bebas oksigen (Cunha dkk, 2006).
Radikal bebas yang terbentuk selama kontraksi otot menyebabkan
kelelahan otot dan behubungan dengan lesi otot. Ketika produksi radikal bebas
oksigen melebihi kemampuan antioksidan jaringan, maka akan terjadi stres
oksidatif, yang juga berhubungan dengan lesi otot. Maka, pada keadaan
overtraining terjadi peningkatan penggunaan oksigen, terutama pada orang yang
tidak terlatih, akan memicu terjadinya kelelahan dan lesi otot, yang disebabkan
oleh radikal bebas oksigen. Penurunan kekuatan yang berkepanjangan pada
keadaan overtraining kemungkinan berhubungan dengan pembentukan radikal
bebas oksigen tersebut . Radikal bebas oksigen berhubungan dengan mekanisme
pada respon peradangan setelah pelatihan dan juga terjadinya lesi otot.
Terbentuknya radikal bebas oksigen mungkin merupakan satu faktor dari
infiltrasi neutrofil dan makrofag dalam otot, sebagai respon peradangan.
(Clarkson dan Thompson, 2000)
Pelatihan menyebabkan adaptasi positif yang melindungi tubuh dari
kerusakan yang disebabkan oleh radikal bebas, yang terbukti dalam penelitian
pada triatlet terlatih dibandingkan dengan individu yang tidak terlatih, terlihat
terjadi peningkatan kemampuan antioksidan plasma total setelah pelatihan
dengan treadmil pada kedua grup. Akan tetapi, pelatihan kronik mempengaruhi
sistem antioksidan, yang mengakibatkan terjadinya ketidakseimbangan antara
73
pembentukan radikal bebas dan respon antioksidan. Keadaan ini menyebabkan
stres oksidatif kronik atau respon peradangan sistemik yang dipicu oleh stres
oksidatif, yang dapat mempengaruhi performa dan terjadi overtraining
(Schneider dkk, 2005, Oliveira dkk, 2003).
Sedangkan pada kelompok yang diberikan renang maksimal dengan
asupan astaxanthin terjadi penurunan nekrosis. Hal ini disebabkan karena
astaxanthin merupakan antioksidan yang merupakan salah satu kelompok pigmen
natural dari karotenoid. Astaxanthin menunjukkan potensi antioksidan yang lebih
tinggi dibandingkan dengan beta-karoten pada penelitian di laboratorium (,1999).
Radikal bebas mudah beraksi pada lipid membran, protein dan asam
nukleat, menyebabkan kerusakan sel dan mempengaruhi fungsi normal dan
reproduksi sel. Radikal bebas oksigen yang terpenting adalah anion superoksid
(sebuah molekul oksigen dengan elektron ekstra), hidrogen peroksida dan yang
sangat reaktif ( juga toksik) radikal hidroksil. Contohnya, anion superoksida akan
bereaksi dengan lipid membran,protein dan asam nukleat, menyebabkan
kerusakan sel komulatif dan irreversibel yang terjadi pada jaringan dan
organ (Urso and Clarkson, 2003).
Astaxanthin sebagai antioksidan menebalkan membran sel di mana
radikal bebas menyerang pertama kali. Juga menghambat destruksi dari asam
lemak dan proten pada membran sel dan mitokondria pada sel yang disebabkan
oleh peroksidasi lemak. Astaxanthin juga menstabilisasi radikal bebas dengan
menambahkan mereka pada struktur molekulnya daripada memberi atom atau
elektron. Juga menghambat pembentukan radikal bebas oksigen yang
74
menyebabkan peradangan pada sel, kemampuan sebagai anti peradangan
(Ikeuchi dkk, 2006)
Penelitian pada binatang menunjukan bahwa astaxanthin mempunyai efek
antioksidan yang dapat mencegah kerusakan otot karena pelatihan, astaxanthin
mengurangi kerusakan otot secara umum dan otot jantung yang disebabkan oleh
pelatihan, efek anti kanker, dan efek anti peradangan. Astaxanthin juga
mempunyai efek antidiabetik, meningkatkan daya tahan tubuh, anti hipertensi dan
neuroprotektif pada percobaan pada binatang (Heuer, 2007).
Diet tinggi kandungan astaxanthin meningkatkan kekuatan melakukan
pelatihan endurans. Penelitian tersebut dilakukan pada para siswa paramedik, di
mana kelompok yang diteliti diberikan capsul astaxanthin 4 mg sekali sehari dan
kelompok kontrol diberi placebo. Setelah 6 bulan, terjadi peningkatan
kemampuan lutut dalam melakukan gerakan jongkok pada kelompok yang
mendapat astaxanthin 3 kali lebih kuat dari pada kelompok kontrol. Namun tidak
ada parameter lain yang diteliti pada penelitian tersebut (Malmsten dan Lignell,
2008).
Aoi dkk (2003), melakukan penelitian tentang astaxanthin membatasi
terjadi kerusakan otot dan otot jantung yang dikarenakan pelatihan pada tikus.
Diet tinggi antioksidan akan menurunkan kerusakan oksidatif berbagai jaringan
pada pelatihan berat. Penelitian tersebut mengamati efek pemberian astaxanthin
terhadap kerusakan oksidatif yang terjadi pada otot paha dan otot jantung tikus
yang diakibatkan oleh pelatihan berat. Penelitian dilakukan selama 3 minggu
dengan membandingkan kelompok kontrol yang tidak mendapat perlakukan,
kelompok mendapat perlakuan pelatihan berat, dan kelompok mendapat
75
perlakuan pelatihan berat dan mendapat astaxanthin. Terjadinya peningkatan
Creatine Kinase dan aktivitas mieloperoksidase pada otot paha dan jantung yang
lebih rendah pada kelompok yang menggunakan Astaxanthin. Terlihat
astaxanthin menumpuk pada otot paha dan jantung setelah 3 minggu perlakuan.
Astaxanthin dapat menurunkan kerusakan pada otot dan jantung tikus yang
disebabkan oleh pelatihan berat dan termasuk infiltasi neutrophil yang dapat
menyebabkan kerusakan lebih lanjut.
Penelitian terhadap efek astaxanthin pada tanda kerusakan otot pada
pelatihan resisten eksentrik dilakukan pada 20 orang yang melakukan pelatihan
beban sebanyak 10 set dengan 10 repetisi dengan beban 85% dari satu repetisi
maksimal. Hasil dari penelitian tersebut tidak menunjukan adanya perbedaan
kenyerian pada otot, kadar Creatine Kinase dan kemampuan otot yang diukur
pada kelompok pelatihan beban dan pelatihan beban dengan memakai astaxanthin
(Bloomer dkk, 2005).
Senyawa nitrogen reaktif (NOS) juga berperanan dalam proses
peradangan. Sama seperti pada senyawa oksigen reaktif, astaxanthin juga
mengurangi pembentukan Nitric oxide (NO) dan aktivitas NOS pada sel
makrofag tikus, mengakibatkan hambatan COX (cyclooxygenase) yang
menurunkan produksi dari PGE2 (Prostaglandin) dan TNF- α (Tumor Necrosis
Factor) . TNF- α akan memproduksi sitokin dengan teraktivasinya makrofag dan
monosit, dan mempunyai ketahanan non spesifik terhadap berbagai macam virus
infeksi. Astaxanthin juga menekan NO serum, TNF α dan and IL-1β
(interleukine) pada tikus yang disuntik lipopolisakarida. TNF-α dan IL-1
menurunkan aktivitas p38 MAPK, yang merupakan ekspresi gen proinflamasi
76
dan produksi sitokin. Karena itu Astaxanthin mempunyai daya anti inflamasi atau
peradangan dengan menghambat terbentuknya senyawa oksigen reaktif dan
spesies Nitrogen (Park dkk, 2010; Capelli dan Cysewki, 2006)
Asupan antioksidan berulang mungkin dapat mencegah katabolisme
musculoskeletal yang disebabkan karena kurangnya nutrisi tertentu, pelatihan
yang berlebihan, stres karena overtraining, dapat mencegah dan memperbaiki
atropi otot dan penggunaan protein otot yang disebabkan salahnya pengunaan,
seperti pada cidera otot, imobilisasi atau tirah baring yang lama, dan proses
penuaan yang berhubungan dengan berkurangnya massa otot dan kekuatan. Juga
akan terjadi peningkatan aktivitas transportasi creatine pada sel otot dan saraf,
memperbaiki metabolisme gula di serat otot, dan meningkatkan kapasitas kerja
musculoskeletal. Diyakini asupan suplementasi yang mengandung antioksidan
dapat mencegah dan membantu terapi terhadap kondisi neurodegenarasi seperti
Amyotrophic Lateral Sclerosis, Huntington’s Disease dan Parkinson Disease juga
menurunkan kejadian kerusakan karena penyempitan pembuluh darah otak pada
pasien dengan resiko tinggi terkena stroke. Diet dan suplementasi bisa membantu
mempertahankan kontraksi otot dan mempertahankan fungsi saraf otot pada
kondisi tersebut (Wataru dkk, 2006).
Berdasarkan penelitian sebelumnya dan teori di atas, mekanisme kerja
Astaxanthin dalam mencegah terjadinya nekrosis dan peradangan jaringan otot
pada keadaan overtraining adalah melalui pencegahan terbentuknya senyawa
oksigen reaktif (ROS) dan senyawa Nitrogen reaktif pada keadaan overtraining.
Pada keadaan overtraining terjadi peningkatan penggunaan oksigen yang akan
memicu terbentuknya ROS, di mana ROS akan menimbulkan reaksi peradangan
77
dan nekrosis pada otot pada keadaan overtraining. Asupan Astaxanthin secara
teratur dapat menurunkan angka kejadian nekrosis dan sel radang pada jaringan
otot dibandingkan dengan kelompok yang tidak memakai astaxanthin, terlihat
bahwa astaxanthin dapat mencegah terjadinya kerusakan jaringan otot pada saat
pelatihan, sehingga performa pelatihan dapat tetap dipertahankan dan keuntungan
pelatihan optimal dapat dicapai.
78
BAB VII
SIMPULAN DAN SARAN
7.1 Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian terhadap tikus yang diberi pelatihan
maksimal (overtraining) setiap hari dan pemberian astaxanthin 1,2 mg/kgBB
pada tikus yang mengalami pelatihan maksimal (overtraining) setiap hari selama
30 hari, didapatkan simpulan sebagai berikut:
1. Terjadi nekrosis dan peradangan pada m. gastrocnemius tikus yang
mengalami overtraining .
2. Pemberian astaxanthin dengan dosis 1,2 mg/kgBB setiap hari selama 30
hari mencegah terjadinya nekrosis dan peradangan jaringan otot pada
tikus yang mengalami overtraining.
7.2 Saran
Sebagai saran dalam penelitian ini adalah:
1. Diperlukan penelitian lebih lanjut mengenai overtraining pada manusia
hingga ditemukan parameter yang pasti dalam menentukan kondisi
overtraining sehingga dapat dipakai sebagai alat pasti untuk menentukan
seseorang dalam keadaan overtraining.
2. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut pada manusia untuk mengetahui
dosis optimal astaxanthin dalam mencegah kerusakan otot saat
melakukan pelatihan berlebih.
79
3. Diperlukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui apakah astaxanthin
dapat menyembuhkan kerusakan otot yang terjadi saat melakukan
pelatihan berlebih dan dosis yang tepat untuk tujuan kuratif tersebut.
4. Diperlukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui efek astaxanthin
terhadap kerusakan lain dalam tubuh dan juga terhadap penyakit
degeneratif lain, serta dosis optimal untuk tujuan tersebut.
80
DAFTAR PUSTAKA.
Abramson, J.L. and Vaccarino, V. 2002. Relationship Between Physical Activity
and Inflammation Among Apparently Healthy Middle-aged and Older US
Adults. Arch Intern Med Vol. 162 No. 11, June 10, 2002. p:1286-1292.
Aoi, W., Naito, Y., Sakuma, K. 2003. Asthaxanthine limits exercise-induced
skeletal and cardiac muscle damage in mice. Antioxidants and Redox
Signaling. Volume 5. Number 1.
Aoi, W., Naito, Y., Takanami, Y., Ishii, T. 2007. Astaxanthin Improves Muslce
Lipid Metabolism in Exercise Via Inhibitory Effects of Oxidative CPT I
Modification. Biochemical and Biophysical Research Communication.
Vol,. 366. P 892-897.
Archambault, S. 2000. Independent Samples T Test. Available from:
http://www.wellesley.edu/psychology.psych205/indepttest.html. Accessed
June 12,2010.
Beers, M. 2004. The Merck Manual of Health & Aging. New York : Balantine. P
901-914.
Bell, J. 2008. The Book of Personal Training. International Fitness Professionals
Association. p 331-337.
Bloomer, R.J., Fry, A., Schilling, B. 2005. Astaxanthin supplementation does not
attenuate muscle injury following eccentric exercise in resistance-trained
men. International Journal of Sport Nutrition and Exercise Metabolism.
2005 Agustus. Available from :
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/16286671. Accessed 14 January
2009.
Bloomer, R.J. 2007. The role of nutritional supplements in the prevention and
treatment of resistance exercise-induced skeletal muscle injury. Available
from : http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/17503877. Accessed August
21, 2010.
Capelli, B., Cysewski, G. 2006. Natural Astaxanthin : King of the Carotenoids.
Cyanotect Corporation. 2006, p 93.
Clarkson,P.M., Hubal,M.J. 2002. Exercise-Induced Muscle Damage in Humans.
Available from :
http://journals.lww.com/ajpmr/pages/articleviewer.aspx?year=2002&issue
=11001&article=00007&type=abstract. Accessed November 18, 2009.
Clarkson,P.M., and Thompson, H.S. 2000. Antioxidants: what role do they play
in physical activity and health?. Am J Clin Nutr 2000;72(suppl):637S–
46S.
81
Cunha, G.S., Ribeiro, J.L. Oliveira,A.R. 2006. Overtraining: theories, diagnosis
and markers. Rev Bras Med Esporte .Vol. 12, Nº 5.
Cysewski, G.R. and Lorenz, R.T. 2000. Commercial potential for Haematococcus
Microalgae as a natural source of astaxanthin. Trend In Biotechnology.
2000. Vol. 18. p 160-167.
Darren, E.R., Warburton, Nicol, C.W., Bredin S.D. 2006. Health benefits of
physical activity: the evidence. Canadian Medical Association Journal
CMAJ • March 14, 2006.
Dimitrov, D. M. and Rumrill, P. D. Jr . 2003. Pretest-posttest designs and
measurement of Change. Speaking of Research, Work 20 (2003) 159–
165. Available from :
http://cehd.gmu.edu/assets/docs/faculty_publications/dimitrov/file5.pdf.
Accessed December 22, 2011.
Ebbeling, C.B. 2003. Exercise-induced muscle damage and adaptation. Available
from : http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/2657962. Accessed
November 18,2009.
Elstein, M. 2005. You Have The Power. Australia : Dr. Michael Eilstein. p 91-93.
Eritsland, J. 2000. Safety considerations of polyunsaturated fatty acids. American
Journal of Clinical Nutrition, Vol. 71, No. 1, 197S-201S, January 2000.
Gledhill, N., Jamnick, V. 2003. The Canadian Physical Activity, Fitness and
Lifestyle Approach. CSEP-Health and Fitness Program Health-Related
Appraisal and Counseling Strategy, 3rd Editiion, Available from :
http://www.sirc.ca/publishers/publication.cfm?publicationid=252&publish
erid=65. Accessed 18 May 2010.
Gleeson, M. 2002. Biochemical and Immunological Markers of
Overtraining.Journal of Sports Science and Medicine (2002) 1, p. 31-41.
Goldman, R. 2007. The New Anti-Aging Revolution. Australasian Edition.
Malaysia : Advantage Quest Pubilications. p 15- 17.
Grobler, L., Collins, M., Lambert, M. 2004a. Remodelling of skeletal muscle
following exercise-induced muscle damage. International SportMed
Journal. Vol.5 No.2.
Grobler, L.,Collins, M., Lambert, M., Sinclair-Smith, C. 2004b. Skeletal muscle
pathology in endurance athletes with acquired training intolerance. Br J
Sports Med. 2004. Vol. 38. p. 697–703.
82
Harnish,C. 2009. The Underperformance Syndrome: Beyond overtraining.
Available from : http://thinkfastmovefaster.com/information/articles/308-
the-underperformance-syndrome-beyond-overtraining. Accessed August
21, 2010.
Harman, D. 2004. The Free Radical Theory of Aging. Antioxidants & Redox
Signaling. Volume: 5 Issue 5: July 5, 2004.
Hartmann, U., Mester,J. 2000. Training and overtraining markers in selected
sport events. Med. Sci. Sports Exerc., Vol. 32, No. 1, p. 209-215, 2000.
Hashimoto, H., Kazuhiro, Y., Masayuki, Y. 2007. Carotinoid Science. An
Interdiciplinary Journal of Research of Carotinoid. Vol. 11.
Haskell, W.L., Lee, I. M., Pate, R. R., , Powell, K.E.,Blair, S. N., Franlin, B. A.,
Macera, C. A., Heath, G. W., Thompson, P. D., Bauman A. 2007.
Physical Activity and Public Health: Updated Recommendation for
Adults from the American College of Sports Medicine and the American
Heart Association. Medicine & Science in Sport & Exercise. Available
from :
http://walking.about.com/gi/o.htm?zi=1/XJ&zTi=1&sdn=walking&cdn=h
ealth&tm=99&f=10&su=p284.12.336.ip_p674.8.336.ip_&tt=2&bt=0&bts
=0&zu=http%3A//www.acsm.org/AM/Template.cfm%3FSection%3DHo
me_Page%26Template%3D/CM/ContentDisplay.cfm%26ContentID%3D
7788. Accesses October 24, 2011..
Kehrer, J.P. 2000. The Haber-Weiss reaction and mechanisms of toxicity.
Toxicology. 2000 Aug 14;149(1), p:43-50.
Heuer, M. 2007. Dietary supplement for enhancing skeletal muscle mass,
decreasing muscle protein degradation, downregulation of muscle
catabolism pathways, and decreasing catabolism of muscle cells.
Available from
http://images2.freshpatents.com/pdf/US20070015686A1.pdf. Accessed 21
January 2011.
Higuera-Ciapara, I, Félix-Valenzuela, L, Goycoolea F.M. 2000. Astaxanthin: a
review of its chemistry and applications. 2006. Crit Rev Food Sci Nutr.
2006;46(2):185-96.
Ikeuchi, M., Koyama, T., Takahashi, J., Yazawa, K. 2006. Effects of Astaxanthin
Supplementation on Exercise-Induced Fatigue in Mice. Available from :
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/17015959. Accessed August
21,2010.
83
Iorio, E.L. 2007. The Measurement of Oxidative Stress. International
Observatory of Oxidative Stress, Free Radicals and Antioxidant Systems.
Special supplement to Bulletin Vol. 4. No 1.
Karppi,. 2005. Effects of Astaxanthin Supplementation on Lipid Peroxiodation.
International Journal for Vitamin and Nutrition Research. 2007
Jan;77(1):3-11.
Kusumawati, D. 2000. Bersahabat dengan Hewan Coba. Yogyakarta. Gadjah
Mada University Press.
Lee, I.M, Paffenbarger, R.S. 2000. Associations of Light, Moderate, and
Vigorous Intensity Physical Activity with Longevity. The Harvard
Alumni Health Study. Am. J. Epidemiol. (2000) 151 (3): 293-299.
Leeuwenburgh, C., Heinecke, J.W. 2001. Oxidative Stress and Antioxidants in
Exercise. Current Medicinal Chemistry 2001, 8, 829-838 829
Lehmann, M. 1998. Autonomic Imbalance Hypothesis and Overtraining
Syndrome. Med. Sci. Sport Exerc., Vol 30, No. 7, p 1140-1145.
Malmsten, C.L., Lignell, A. 2008. Dietary Supplementation with Astaxanthin-
Rich Algal Meal Improves Strength Endurance – A Double Blind Placebo
Controlled Study on Male Students. Carotenoid Science, Vol.13, 2008.
Oliveira, A.R., Schneider, C., Ribeiro, J.L., Deresz, L.F., Barp J., Belló-Klein A.
2003. Oxidative stress after three different intensities of running. Med Sci
Sports Exerc. 2003; 35:S367.
Pangkahila, W. 2007. Anit-Aging Medicine. Jakarta : PT. Gramedia. p 107-114.
Park, J.S., Chyun, J.H., Kim, Y.K., Line L.L., Chew, B.P. 2010. Astaxanthin
decreased oxidative stress and inflammation and enhanced immune
response in humans. Available From :
http://www.nutritionandmetabolism.com/content/7/1/18. Accessed August
18, 2011.
Petibois, C., Cazorla, G., Jacques-Rémi, P., Déléris, G. 2000. Biochemical
Aspects of Overtraining in Endurance Sports A Review. Sports Med
2002; 32 (13): 867-878.
Pidcock, J. 2003.How carbohydrate can help to protect against muscle damage"
Pocock, 2008. Clinical Trial. John Wiley and Sons. p 123-128.
84
Radak, Z, Taylor, A.W., Ohno, H., Goto, S. 2001. Adaptation to exercise-induced
oxidative stress: from muscle to brain. Exerc Immunol Rev. 2001;7:90-
107.
Reagan-Shaw, S., Nihal,M., Ahmad, N. 2007. Dose translation from animal to
human studies revisited. The FASEB Journal • Life Sciences Forum. Vol
22. March 2007.
Rees, D. 2001. Essential Statistics. 4th ed. London: Chapman & Hall. p. 258.
Reynolds, G. 2010. Phys Ed: Free the Free Radicals. Available from :
http://well.blogs.nytimes.com/2010/10/06/phys-ed-free-the-free-radicals/.
Accessed October 24, 2011.
Rokyta, R, Stopka, P, Holecek, V, Krikava, K, Pekárková, I. 2004. Direct
measurement of free radicals in the brain cortex and the blood serum after
nociceptive stimulation in rats. Neuroendocrinology Letters No.4 August
Vol.25, 2004
Schoonjans, F. 2008. MedCalc. Available from: http://www.medcalc.be/manual/
mannwhitney.php. Accessed June 12, 2010.
Schneider, C.D., Barp, J., Ribeiro, J.L., Belló-Klein A., Oliveira, A.R. 2005.
Oxidative stress after three different intensities of running. Can J Appl
Physiol. 2005;30(6):723-34.
Tidball, J.G. 2005. Inflammatory processes in muscle injury and repair. Available
from : http://ajpregu.physiology.org/cgi/content/abstract/288/2/R345.
Accessed July 12,2009.
Urso, M.L, Clarkson, P.M. 2003. Oxidative stress, exercise, and antioxidant
supplementation. Environmental and Nutritional Interactions Antioxidant
Nutrients and Environmental Health. Volume 189, Issues 1-2, 15 July
2003, Pages 41-54.
Wataru, A., Naito,Y., Yoshikawa, T. 2006. Exercise and functional foods.
Available from : http://www.nutritionj.com/content/5/1/15. Aceessed
July 20,2009.
Weisstein, E. 2008. Wilcoxon Signed Rank Test. Available from:
http://mathworld.wolfram.com/WilcoxonSignedRanktest. Accessed June,
2010.
William, J.E. 2000. Vitamin E, vitamin C, and exercise. American Journal of
Clinical Nutrition, Vol. 72, No. 2, 647S-652s, August 2000
85
LAMPIRAN
Lampiran 1. Tabel konverisi perhitungan dosis untuk beberapa jenis hewan dan
manusia
TABEL KONVERSI PERHITUNGAN DOSIS UNTUK BEBERAPA JENIS
HEWAN DAN MANUSIA
Mencit Tikus Marmot Kelinci Kucing Kera Anjing Manusia
20 g 200g 400g 1,5 kg 2 kg 4 kg 12 kg 70 kg
Mencit
20 g 1,0 7,0 2,25 27,8 29,7 64,1 124,2 387,9
Tikus
200 g 0,14 1,0 1,74 3,9 4,2 9,2 17,8 56,0
Marmot
400 g 0,08 0,57 1,0 2,25 2,4 5,2 10,2 31,5
Kelinci
1,5 kg 0,04 0,25 0,44 1,0 1,08 2,4 4,5 14,2
Kucing
2 kg 0,03 0,23 0,41 0,92 1,0 2,2 4,1 13,0
Kera
4 kg 0,016 0,11 0,19 0,42 0,45 1,0 1,9 6,1
Anjing
12 kg 0,008 0,06 0,10 0,22 0,24 0,52 1,0 3,1
Manusia
70 kg 0,0026 0,018 0,013 0,07 0,076 0,16 0,32 1,0
Keterangan : Konversi perhitungan dosis untuk beberapa jenis hewan dan
manusia (Kusumawati, 2000).
86
Lampiran 2. Gambaran hisotlogis otot tikus
Serat Otot normal pada kelompok kontrol
Nekrosis pada serat otot kelompok tikus yang mengalamai overtraining
87
Nekrosis pada serat otot kelompok tikus yang mengalami overtraining dan
mendapat astaxanthin
Infiltrasi sel radang pada otot kelompok tikus yang mengalami overtraining
88
Nekrosis dengan infiltrasi sel radang pada otot kelompok tikus yang mengalami
overtraining dan mendapat astaxanthin
89
Lampiran 3. Distribusi hasil
N0 Pemeriksaan distribusi nekrosis
Musculoskeletal tikus putih yang direnangkan secara maksimal (RM)
Pengamatan dilakukan pada 5 lapang pandang, 400X
I II III IV V
1 2 2 1 2 2
2 2 2 2 2 2
3 1 1 2 2 2
4 2 0 2 2 2
5 2 2 2 1 0
6 1 2 2 2 1
7 2 2 2 2 2
8 2 2 2 2 2
N0 Pemeriksaan distribusi sel radang
Musculoskeletal tikus putih yang direnangkan secara maksimal (RM)
Pengamatan dilakukan pada 5 lapang pandang, 400X
I II III IV V
1 1 1 1 1 2
2 2 1 2 2 2
3 1 1 1 1 2
4 2 2 2 2 2
5 1 2 1 2 2
6 0 0 2 2 1
7 2 1 0 2 2
8 2 2 2 2 2
N0 Pemeriksaan distribusi nekrosis
Musculoskeletal tikus putih yang direnangkan secara maksimal +
Ataxantin (RMA)
Pengamatan dilakukan pada 5 lapang pandang, 400X
I II III IV V
1 1 1 1 0 1
2 2 0 1 1 0
3 0 0 0 1 1
4 0 0 1 0 0
5 0 1 0 0 1
6 1 0 0 0 0
7 0 0 1 1 0
8 0 0 0 0 1
90
N0 Pemeriksaan distribusi sel radang
Musculoskeletal tikus putih yang direnangkan secara maksimal +
Ataxantin(RMA)
Pengamatan dilakukan pada 5 lapang pandang, 400X
I II III IV V
1 1 1 1 1 1
2 1 1 0 0 0
3 0 0 0 1 1
4 0 1 0 0 1
5 1 0 0 0 1
6 0 0 0 1 1
7 0 0 0 0 1
8 0 0 1 0 0
91
Lampiran 4
Uji Normalitas Data Nekrosis dan Sel Radang
Kelompok
Kolmogorov-Smirnov Shapiro-Wilk
Statistic df Sig. Statistic df Sig.
Nekrosis Renang Maksimal .240 8 .195 .858 8 .114
Renang Maksimal +
Astaxanthin .290 8 .046 .794 8 .025
Sel Radang Renang Maksimal .176 8 .200* .917 8 .410
Renang Maksimal +
Astaxanthin .415 8 .000 .689 8 .002
Nekrosis konstan pada Kelompok Kontrol, tidak dilampirkan dalam perhitungan.
Sel Radang konstan pada Kelomplok Kontrol, tidak dilampirkan dalam perhitungan.
92
Lampiran 5
Uji Kruskal-Wallis Data Nekrosis dan Sel Radang antar Kelompok
Perlakuan
N Mean
Std.
Deviation
Std.
Error
95% Confidence
Interval for Mean
Lower
Bound
Upper
Bound
Nekrosis Kontrol 8 .000 .0000 .0000 .000 .000
Renang Maksimal 8 1.750 .2330 .0824 1.555 1.945
Renang Maksimal
+ Astaxanthin 8 .425 .2493 .0881 .217 .633
Total 24 .725 .7842 .1601 .394 1.056
Sel
Radang
Kontrol 8 .000 .0000 .0000 .000 .000
Renang Maksimal 8 1.525 .3845 .1359 1.204 1.846
Renang Maksimal
+ Astaxanthin 8 .425 .2493 .0881 .217 .633
Total 24 .650 .7034 .1436 .353 .947
Uji Kruskal-Wallis
Kelompok N Mean Rank
Nekrosis Kontrol 8 4.50
Renang Maksimal 8 20.50
Renang Maksimal +
Astaxanthin 8 12.50
Total 24
Sel Radang Kontrol 8 4.50
Renang Maksimal 8 20.44
Renang Maksimal +
Astaxanthin 8 12.56
Total 24
93
Uji Statistik a,b
J_nekrosis J_sel_radang
Chi-Square 21.421 21.322
df 2 2
Asymp. Sig. .000 .000
a. Kruskal Wallis Test
b. Grouping Variable: Kelompok
94
Lampiran 6
Uji Wilcoxon Sign Rank Test Data Nekrosis antara Sebelum dengan
Sesudah Perlakuan
Kelompok = Kontrol
Uji Wilcoxon Signed Ranks
N Mean Rank Sum of Ranks
Nekrosis_post -
Nekrosis_pre
Negative Ranks 0a .00 .00
Positive Ranks 0b .00 .00
Ties 8c
Total 8
a. Nekrosis_post < Nekrosis_pre
b. Nekrosis_post > Nekrosis_pre
c. Nekrosis_post = Nekrosis_pre
Uji Statistik b,c
Nekrosis_post - Nekrosis_pre
Z .000a
Asymp. Sig. (2-tailed) 1.000
a. The sum of negative ranks equals the sum of positive ranks.
b. Kelompok = Kontrol
c. Wilcoxon Signed Ranks Test
Kelompok = Renang Maksimal
Uji Wilcoxon Signed Ranks
N Mean Rank Sum of Ranks
Nekrosis_post -
Nekrosis_pre
Negative Ranks 0a .00 .00
Positive Ranks 8b 4.50 36.00
Ties 0c
Total 8
a. Nekrosis_post < Nekrosis_pre
b. Nekrosis_post > Nekrosis_pre
c. Nekrosis_post = Nekrosis_pre
95
Uji Statistikb,c
Nekrosis_post - Nekrosis_pre
Z -2.546a
Asymp. Sig. (2-tailed) .011
a. Based on negative ranks.
b. Kelompok = Renang Maksimal
c. Wilcoxon Signed Ranks Test
Kelompok = Renang Maksimal + Astaxanthin
Uji Wilcoxon Signed Ranks
N Mean Rank Sum of Ranks
Nekrosis_post -
Nekrosis_pre
Negative Ranks 0a .00 .00
Positive Ranks 8b 4.50 36.00
Ties 0c
Total 8
a. Nekrosis_post < Nekrosis_pre
b. Nekrosis_post > Nekrosis_pre
c. Nekrosis_post = Nekrosis_pre
d. Kelompok = Renang Maksimal + Astaxanthin
Uji Statistikb,c
Nekrosis_post - Nekrosis_pre
Z -2.549a
Asymp. Sig. (2-tailed) .011
a. Based on negative ranks.
b. Kelompok = Renang Maksimal + Astaxanthin
c. Wilcoxon Signed Ranks Test
96
Lampiran 7
Uji Wilcoxon Sign Rank Test Data Sel Radang antara Sebelum dengan
Sesudah Perlakuan
Kelompok = Kontrol
Uji Wilcoxon Signed Ranks
N Mean Rank Sum of Ranks
Sel_Radang_post -
Sel_Radang_pre
Negative Ranks 0a .00 .00
Positive Ranks 0b .00 .00
Ties 8c
Total 8
a. Sel_Radang_post < Sel_Radang_pre
b. Sel_Radang_post > Sel_Radang_pre
c. Sel_Radang_post = Sel_Radang_pre
Uji Statistikb,c
Sel_Radang_post - Sel_Radang_pre
Z .000a
Asymp. Sig. (2-tailed) 1.000
a. The sum of negative ranks equals the sum of positive ranks.
b. Kelompok = Kontrol
c. Wilcoxon Signed Ranks Test
97
Kelompok = Renang Maksimal
Uji Wilcoxon Signed Ranks
N Mean Rank Sum of Ranks
Sel_Radang_post -
Sel_Radang_pre
Negative Ranks 0a .00 .00
Positive Ranks 8b 4.50 36.00
Ties 0c
Total 8
a. Sel_Radang_post < Sel_Radang_pre
b. Sel_Radang_post > Sel_Radang_pre
c. Sel_Radang_post = Sel_Radang_pre
Uji Statisticsb,c
Sel_Radang_post - Sel_Radang_pre
Z -2.527a
Asymp. Sig. (2-tailed) .012
a. Based on negative ranks.
b. Kelompok = Renang Maksimal
c. Wilcoxon Signed Ranks Test
98
Kelompok = Renang Maksimal + Astaxanthin
Uji Wilcoxon Signed Ranks
N Mean Rank Sum of Ranks
Sel_Radang_post -
Sel_Radang_pre
Negative Ranks 0a .00 .00
Positive Ranks 8b 4.50 36.00
Ties 0c
Total 8
a. Sel_Radang_post < Sel_Radang_pre
b. Sel_Radang_post > Sel_Radang_pre
c. Sel_Radang_post = Sel_Radang_pre
Uji Statistikb,c
Sel_Radang_post - Sel_Radang_pre
Z -2.588a
Asymp. Sig. (2-tailed) .010
a. Based on negative ranks.
b. Kelompok = Renang Maksimal + Astaxanthin
c. Wilcoxon Signed Ranks Test
99
Lampiran 8
Statistik Deskriptifa
N
Percentiles
25th
50th
(Median) 75th
Nekrosis 8 .000 .000 .000
Sel_Radang 8 .000 .000 .000
Kelompok 8 1.00 1.00 1.00
a. Kelompok = Kontrol
Statistik Deskriptif a
N
Percentiles
25th
50th
(Median) 75th
Nekrosis 8 1.600 1.700 2.000
Sel_Radang 8 1.200 1.500 1.950
Kelompok 8 2.00 2.00 2.00
a. Kelompok = Renang Maksimal
Statistik Deskriptif a
N
Percentiles
25th
50th
(Median) 75th
Nekrosis 8 .200 .400 .700
Sel_Radang 8 .250 .400 .400
Kelompok 8 3.00 3.00 3.00
a. Kelompok = Renang Maksimal + Astaxanthin
100
Lampiran 9
Perhitungan persentase
Persentase penurunan angka kejadian nekrosis antara kelompok renang maksimal
dengan astaxanhin dibandingkan dengan kelompok renang maksimal :
1.7 – 0.4 X 100% = 76.47%
1.7
Persentase penurunan angka kejadian sel radang antara kelompok renang
maksimal dengan astaxanthin dibandingkan dengan kelompok renang maksimal :
1.5 – 0.4 X 100 %n = 73.33 %
1.5