SKRIPSI
DEKONSTRUKSI NILAI-NILAI KELUARGA DALAM
FILM NOIR
Analisis Struktur Naratif Double Indemnity, The Postman Always Rings Twice,
dan Kiss Me Deadly
Oleh
Adrian Jonathan Pasaribu
06/195675/SP/21601
Jurusan Ilmu Komunikasi
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
UNIVERSITAS GADJAH MADA
2011
1
Dekonstruksi Nilai-Nilai Keluarga Dalam Film Noir
(Analisis Struktur Naratif Double Indemnity, The Postman Always Rings Twice,
dan Kiss Me Deadly)
S K R I P S I
Disusun untuk melengkapi tugas-tugas dan memenuhi syarat guna
memperoleh gelar Sarjana Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
dengan Spesialisasi Ilmu Komunikasi
Disusun oleh:
Nama : Adrian Jonathan Pasaribu
NIM : 06/195675/SP/21601
Telah disetujui oleh,
Pulung Setiosuci Perbawani, S.I.P, M.M.
Dosen Pembimbing
JURUSAN ILMU KOMUNIKASI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2011
2
HALAMAN PENGESAHAN
Skripsi ini telah dipertahankan dan disahkan di depan Tim Penguji Jurusan Ilmu
Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada
Yogyakarta pada:
Hari : Selasa
Tanggal : 8 Maret 2011
Pukul : 10.00 WIB
Tempat : Ruang Sidang Jurusan Ilmu Komunikasi
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Gadjah Mada
Tim Penguji
1. Pulung Setiosuci Perbawani, S.I.P, M.M.
Ketua Penguji/Dosen Pembimbing _________________
2. Dr. Kuskridho Ambardi, M.A.
Penguji Samping I __________________
3. Muhamad Sulhan, S.I.P, M.Si.
Penguji Samping II __________________
3
SURAT PERNYATAAN
Saya yang bertanda tangan di bawah ini:
N a m a : Adrian Jonathan Pasaribu
No. Mahasiswa : 06/195675/SP/21601
Angkatan tahun : 2006
Jurusan : Ilmu Komunikasi
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UGM
Judul skripsi : Dekonstruksi Nilai-Nilai Keluarga Dalam Film Noir
(Analisis Struktur Naratif Double Indemnity, The
Postman Always Rings Twice, dan Kiss Me Deadly)
Dengan ini menyatakan bahwa dalam skripsi saya tidak terdapat karya
yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu
Perguruan Tinggi dan juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah
ditulis atau diterbitkan oleh pihak lain, kecuali yang secara tertulis diacu
dalam naskah itu dan disebutkan dalam daftar pustaka.
Pernyataan ini saya buat dengan penuh tanggung jawab dan saya bersedia
menerima sangsi apabila kemudian hari diketahui tidak benar.
Yogyakarta, 18 April 2011
Yang membuat pernyataan
Adrian Jonathan Pasaribu
4
ABSTRAK
Film noir merupakan anomali tersendiri dalam sejarah Hollywood.
Dengan segala variasinya tentang misteri pembunuhan dan perselingkuhan rumah
tangga, film noir menjadi hiburan populer masyarakat Amerika dari tahun 1942
sampai 1958. Periode tersebut merupakan pertama kalinya dalam sinema
Hollywood karakter perempuan digambarkan memiliki kebebasan atas tanggung
jawab domestik. Dalam perspektif yang lebih makro, film noir tidak menjadikan
rumah dan keluarga sebagai solusi konflik cerita, yang sebelumnya merupakan
tradisi bercerita mayoritas film-film keluaran Hollywood.
Secara historis, kemunculan film noir terjadi bersamaan dengan perubahan
lanskap sosial-politik Amerika Serikat pasca Perang Dunia II. Negara adidaya
tersebut mengalami transformasi peran gender yang drastis, di mana laki-laki
kembali ke lapangan kerja usai mengabdi untuk negara di medan perang, dan
perempuan kembali ke kehidupan domestik setelah menikmati kebebasan merintis
karier di luar rumah. Pada saat yang bersamaan, pemerintah mengkampanyekan
pentingnya kehidupan komunal, dengan harapan keluarga dapat menjadi unit
pemantap ideologi negara dalam level akar rumpun.
Ada kontras yang mencolok dalam pendirian terhadap keluarga dalam film
noir dan lanskap-sosial politik yang melingkupinya. Kontras tersebut yang
diharapkan dapat dijembatani melalui penelitian ini.
5
Sejatinya, skripsi ini setangkai bunga rampai
Untuk mimpi-mimpi yang belum sampai
6
TERIMA KASIH
1
Bagian ini khusus untukMu, Tuhan. Fakta bahwa hamba masih bergulat dengan
iman hanya membuktikan bahwa Engkau ada. Terima kasih untuk segalanya.
2
Konon, ada empat hal yang manusia sulit ucapkan ke sesamanya: maaf, selamat
tinggal, aku cinta kamu, dan terima kasih. Bagian ini aku dedikasikan sepenuhnya
untuk ucapan yang terakhir.
Pertama, orang tua saya. Papa dan Mama adalah alasan kenapa aku ada di dunia
ini, dan dukungan konstan yang telah membawaku hingga ke titik ini. Mungkin
pada akhirnya setiap anak seperti karakter anak kecil dalam buku The Giving
Tree, karya Shel Silverstein, dimana anak kecil tersebut terus-menerus meminta
kepada sebuah pohon, tanpa bisa membalas budi si pohon dengan layak. Dalam
kasus ini, ucapan terima kasih saja jelas tidak cukup untuk membalas budi apa
yang orang tuaku sudah lakukan hingga saat ini. Semoga, dalam fase hidupku
berikutnya, aku bisa menerjemahkan ucapan terima kasih ini menjadi tindakan-
tindakan, yang ke depannya dapat membuat mereka bangga. Amin.
Kedua, kakakku satu-satunya, Stefanie Desiana Pasaribu. Dari lahir sampai
sekarang, kita selalu berbeda. Satu-satunya yang membuat kita sama: kepedulian
kita terhadap satu sama lain. Kepedulian kakakku adalah salah satu alasan kenapa
skripsi ini akhirnya selesai. Kakakku yang terus menerus mengingatkan untuk
segera menyelesaikan skripsi, dan kakakku rela mencarikan buku-buku, yang
akhirnya menjadi sumber referensi yang penting bagi skripsi ini. Terima kasih
kakak.
7
Ketiga, mbak Pulung, dosen pembimbing saya. Tanpa kehadirannya, skripsi ini
tidak akan pernah mulai, dan jelas tidak akan mungkin selesai. Sepanjang setahun
saya mengerjakan skripsi, ada beberapa bulan dimana aku benar-benar takut untuk
sekadar online dan mengecek hal-hal terbaru dari sejumlah jejaring sosial yang
saya ikuti. Alasannya: takut salah satu hal terbaru itu adalah peringatan lama
tentang skripsiku yang belum selesai. Ketakutanku adalah bukti kepedulian dan
dedikasi mbak Pulung sebagai seorang dosen. Aku harap aku hanya satu-satunya
mahasiswa yang skripsinya ia bimbing sampai setahun. Lewat ucapan terima
kasih ini, aku panjatkan harapan saya akan segala yang baik untuk mbak Pulung
ke depannya.
Keempat, teman-teman terbaik saya. Mereka adalah Windu W. Jusuf, Corry
Elyda, Makbul Mubarak, Asep Muizudin, Mahar Gireta Rosalia (lebih beken
dengan panggilan Ocha), Saila Muti Rezcan, Damar Nugroho Sosodoro, Kartika
Wijayanti, Ananditya Hadi Soenodjo, Muhammad Hussein, Elsa Mareta, Merio
Felindra dan Anisa Titisari (lazimnya dipanggil Icha). Muhammad Ali pernah
berkata, “Persahabatan bukanlah sesuatu yang bisa kamu pelajari di sekolah. Tapi
kalau kamu belum belajar arti dari persahabatan, anggap dirimu tidak pernah
belajar sepanjang hidupmu.” Walaupun saya tidak pernah menggemarinya
maupun olahraga yang ia lakoni, Muhammad Ali dalam kasus ini benar sebenar-
benarnya. Peluk dan cium untuk kalian semua.
Berikutnya, para penghuni Gang Mawar. Mereka adalah Irfan dan Wiman
Rizkydarajat, serta Beni Satryo. Terima kasih atas tawa canda serta dukungan
kalian setiap harinya. Serumah bersama kalian adalah alasan kenapa Jogja adalah
kota yang menyenangkan. Berteman dengan kalian adalah alasan kenapa hidup di
Jogja begitu menyenangkan.
Lalu, para penghuni dan pengunjung tetap YCAD: Paul Agusta, Kyo Hayanto
Agusta dan Tommy WP. Aku bersyukur kita pernah bertemu dan kemudian akrab.
Dalam kesempatan ini, aku tidak bisa tidak mengulangi kata-kata yang pernah aku
8
tulis untuk kalian, “You guys are one-of-a-kind filmmakers and genuinely kind
persons. Thank you”
Kemudian, teman-teman KKN saya, yang pernah menjadi saksi mata pergulatan
saya dengan skripsi selama KKN berlangsung. Malam terakhir kita di lokasi
KKN, aku pernah bilang, “Sebulan pertama KKN, kita kangen sama orang-orang
yang kita tinggal di Jogja. Sebulan setelah KKN, aku yakin kita bakal kangen
sama teman-teman KKN.” Hampir setahun KKN lebih, aku rasa ucapanku waktu
itu masih relevan. Aku kangen kalian, dan berharap bisa bertemu lagi.
Pada akhirnya, terlalu banyak orang baik yang terlibat dalam skripsi ini, yang
namanya tidak bisa saya tuliskan di sini satu per satu. Untuk kalian, semoga jalan
kita berseberangan lagi, dan semoga beruntung di jalan yang masing-masing dari
kalian tempuh. Amin.
Condongcatur, 18 April 2011
9
DAFTAR ISI
HALAMAN PERSETUJUAN
HALAMAN PENGESAHAN
SURAT PERNYATAAN
ABSTRAK
1
2
3
4
TERIMA KASIH
DAFTAR ISI
6
9
BAB I | LATAR BELAKANG PENELITIAN 11
A. Latar Belakang Masalah
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Penelitian
D. Objek Penelitian
E. Kerangka Pemikiran
1. Film Noir
2. Keluarga
F. Metodologi
G. Tahap Penelitian
11
15
15
15
19
19
27
31
36
BAB II | ASAL USUL FILM NOIR
37
A. Akar Literer Film Noir
B. Akar Sinematik Film Noir
41
59
BAB III | MODUS NARATIF FILM NOIR
72
A. Prinsip Dasar Naratif Film Noir
B. Tipologi Karakter Laki-laki dalam Film Noir
C. Tipologi Karakter Perempuan dalam Film Noir
72
83
85
BAB IV | ANALISIS TIGA FILM NOIR
94
A. Double Indemnity (1944)
1. Latar Belakang Historis
2. Pengakuan, Kilas Balik dan Konstruksi Keluarga
94
94
99
10
3. Konstruksi Rumah Sebagai Penjara
4. Konsensus Sosial Versus Keinginan Individual
5. Formasi Keluarga di Tengah Paranoia
6. Keakraban Menjelang Kematian
B. The Postman Always Rings Twice (1946)
1. Latar Belakang Historis
2. Formasi Hubungan Sebagai Modus Naratif
3. Papan Pengumuman dan Prospek Hubungan
4. Dua Konteks Hubungan Protagonis
5. Interpretasi Kegagalan Hubungan Protagonis
C. Kiss Me Deadly (1955)
1. Latar Belakang Historis
2. Bom Atom, Naratif Nihilis dan Relasi Protagonis
3. Christina sebagai Mediator yang Menghilang
4. Lily sebagai Femme Fatale
5. Velda sebagai Potensi Keluarga yang Tak Terwujud
D. Konstruksi Keluarga dalam Film Objek Penelitian
1. Konstruksi Pro-Keluarga
2. Konstruksi Anti-Keluarga
102
106
108
110
113
113
117
119
125
129
132
132
136
139
141
145
148
148
150
BAB V | KESIMPULAN
152
A. Film Noir, Deviasi Konvensi dan Konstruksi Keluarga
B. Kelemahan dan Saran
152
153
DAFTAR PUSTAKA
155
11
BAB I
LATAR BELAKANG PENELITIAN
A. Latar Belakang Masalah
Perempuan modern dalam film-film Hollywood selalu ditandai oleh satu
karakteristik: kebebasan akan tanggung jawab domestik. Sepanjang sejarah
Hollywood, penggambaran perempuan semacam ini pertama kali ditemukan
sekitar pertengahan 1940-an sampai akhir 50-an. Tepatnya pada era film noir.
Sebelumnya, baik dalam sinema Hollywood klasik maupun budaya Amerika pada
umumnya, kehidupan rumah tangga selalu digambarkan sebagai solusi dari segala
masalah yang dialami protagonis di awal film. Pada masa itu, ketika sebuah film
dikatakan berakhir bahagia, dapat dipastikan bahwa yang sebenarnya dimaksud
adalah protagonis kembali ke rumah di akhir film. Berdasarkan sudut pandang
tersebut, masuk akal rasanya kalau melihat Dorothy di The Wizard of Oz (1939)
memilih kembali pulang ke rumah setelah berpetualang di negeri ajaib, atau
Scarlet O‟Hara di Gone With the Wind (1939) memutuskan untuk pulang
kampung setelah mendapati pernikahan idamannya kandas di tengah jalan.
Pertanyaannya: apa itu film noir? Film noir adalah label para kritikus
Prancis untuk drama kriminal dengan setting urban yang dirilis Hollywood antara
tahun 1942 sampai tahun 1958.1 Dalam bahasa Prancis, noir artinya „gelap‟.
Alasan para kritikus Prancis tersebut sederhana: film-film produksi Hollywood
pada periode tersebut mengusung mood yang sangat pesimis, bahkan mendekati
nihilis. Saking pesimisnya, konflik dalam film noir seakan-akan tidak ada
solusinya, selain pengkhianatan atau kematian. Kritikus Prancis melihat ini
sebagai sebuah refleksi atas kegelisahan terpendam masyarakat Amerika saat itu,
dan menganggap film noir indeks yang komprehensif tentang kondisi sosial
1 Mike Chopra-Gant. Hollywood Genres and Postwar America. New York: I.B. Tauris, 2006, hal.
4.
12
masyarakat Amerika pada jamannya. Singkatnya, film noir dianggap sebagai
kritik sosial dalam kedok hiburan massal.
Kecenderungan nihilistik film noir terlihat dari elemen cerita yang selalu
ada dalam film noir. Ada tiga elemen cerita yang lazim: lanskap kota yang suram,
protagonis laki-laki yang depresi karena kerja, serta perempuan penggoda yang
akrab dengan bar-bar berasap dan bertindak sesuka hati tanpa adanya beban
moral. Arketip karakter perempuan film noir lazimnya disebut sebagai femme
fatale: femme yang berarti „perempuan‟ dan fatale yang berarti „berbahaya‟.
Perempuan berbahaya, seperti itulah memang fungsi femme fatale dalam film
noir, dan pada perkembangannya arketip karakter tersebut yang menjadikan film
noir signifikan dalam sejarah film. Untuk pertama kalinya dalam sejarah film, ada
satu kategori film yang secara kontinu menampilkan protagonis laki-laki yang
tidak bisa melepaskan dirinya dari pengaruh antagonis perempuan, dan hanya bisa
memperoleh kebebasanya hanya dengan membunuh perempuan tersebut. Untuk
pertama kalinya dalam sejarah representasi sinematik di Hollywood, perempuan
memperoleh kekuatan sebesar itu atas lingkungannya, dan tidak ada cara lain bagi
laki-laki untuk menegosiasi keberadaannya selain dengan membunuhnya.
Adalah kondisi sosial politik Amerika yang menyebabkan adanya femme
fatale dalam film noir. Paska Perang Dunia II, yakni sekitar pertengahan 1940-an,
Amerika berada dalam posisi yang sangat unik. Ia keluar sebagai pemenang tanpa
mengalami kerusakan infrastruktur sedikit pun. Pasalnya, Perang Dunia II tidak
terjadi di lahan Amerika. Hasilnya, Amerika dapat melanjutkan pembangunannya,
sambil meningkatkan reputasinya dengan meminjamkan utang ke negara-negara
Eropa yang mengalami kerusakan akibat perang. Perekonomian Amerika pun
berkembang pesat. Kehidupan normal lanjut lagi, kali ini dengan perputaran uang
yang lebih banyak. Banyak orang yang sukses dalam iklim perekonomian paska
perang tersebut, yang kemudian menjadi kelas menengah baru. Borjuis baru
tersebut kemudian memilih tinggal di pinggiran kota, untuk mencari lingkungan
yang kondusif untuk kehidupan berkeluarga.
Efek sampingnya, mayoritas perempuan Amerika kembali ke tanggung
jawab tradisionalnya, yakni mengurusi anak dan kebutuhan rumah tangga.
13
Kondisi ini kontras dengan kondisi saat perang berlangsung.2 Pasalnya, kaum
perempuan terpaksa menghidupi keluarga serindian, karena suami mereka
dipanggil militer untuk berperang di benua sebelah. Banyak perempuan kemudian
masuk ke dunia kerja, untuk mengganti penghasilan suami mereka yang absen
selama perang. Perubahan peran tersebut mendorong perempuan untuk menjadi
independen, dan hasilnya memang wacana emansipasi perempuan berderai
kencang saat itu. Ketika harus kembali ke peran tradisionalnya, banyak kaum
perempuan yang merasa tidak terbiasa harus dikekang lagi. Femme fatale menjadi
simbol dari kegelisahan perempuan Amerika paska perang.
Namun femme fatale tidak signifikan bila hanya berdiri sendiri. Ia
signifikan karena dalam setiap film noir ia selalu dihadapkan pada institusi
keluarga, baik itu keluarga protagonis laki-laki maupun keluarga femme fatale itu
sendiri. Pada dasarnya, femme fatale adalah sebuah anomali dalam kesadaran
masyarakat Amerika paska perang. Saat itu, pemerintah Amerika menekankan
kehidupan komunal, demi terjalinnya persatuan antar komponen negara setelah
masa-masa konflik. Berkembangnya pemukiman pinggiran kota jelas mendukung
program pemerintah tersebut. Keluarga menjadi unit politik terkecil dalam
kehidupan bernegara, dimana pemerintah bisa memanfaatkan keluarga sebagai
sarana penjagaan moral dan etika generasi muda Amerika.3 Oleh karena itu,
karakter femme fatale dalam film noir menjadi signifikan, karena sebagai sebuah
deviasi ia dihadapkan dengan suatu institusi yang merupakan bagian tradisi yang
ingin dijaga.
Melihat latar belakang diatas, penulis tertarik untuk meneliti konsep
keluarga dalam film noir. Dengan adanya femme fatale sebagai oposisi, peran dan
fungsi masing-masing anggota keluarga pastinya berbeda dibanding dengan
keluarga Amerika sebelum perang. Diharapkan dari penelitian ini dapat
diformulasikan pesan apa yang sebenarnya tertanam dalam mayoritas film noir.
2 John Connor dan Peter Rollins. Why We Fought: America’s Wars in Film and History.
Kentucky: The University Press of Kentucky, 2008, hal. 265. 3 C.P. Hill. A History of the United States, 2
nd edition. Edward Arnold, Ltd.: London, 1966, hal.
257.
14
Sebagai hiburan massal waktu itu, film noir jelas memegang peranan dalam
pembentukan wacana di masyarakat Amerika paska perang.
Ada tiga alasan kenapa penelitian ini penting. Pertama, film noir
merupakan anomali dalam sejarah Hollywood. Sampai sekarang kritikus dan
sejarawan menganggap film noir sebagai satu-satunya gerakan estetis yang secara
alami berkembang di industri film Hollywood. Oleh karena itu, film noir tidak
bisa dan tidak akan pernah bisa disebut sebagai sebuah genre film. Film noir
sejatinya adalah sebuah periode. Ia lahir dari fenomena yang terjadi di lanskap
sosial politik, dan berakhir karena hal yang sama pula. Alasan utama kenapa
sejarawan selalu yakin film noir berhenti pada tahun 1958, karena pada tahun itu
terjadi paranoia nasional akan ancaman komunisme dari Uni Soviet. Waktu itu
sedang terjadi Perang Dingin, dan kebanyakan sutradara dan penulis naskah film
noir yang beraliran kiri. Akibatnya, mereka diburu dan diseret ke pengadilan oleh
sebuah komite pemerintah. Para pemilik studio pun takut tidak bisa produksi lagi,
sehingga menyetop produksi film noir sepenuhnya.4 Namun, sebagai anomali,
film noir juga menjadi salah satu bagian dari sejarah film Hollywood yang paling
sering salah dipahami. Studi film noir yang ada selama ini baru sampai analisa
visual dan representasi perempuan sebagai femme fatale. Belum ada yang melihat
film noir sebagai sebuah sistem komunikasi yang terdiri dari kontradiksi dua
wacana: stabilitas negara yang diwakili keluarga dengan wacana emansipasi
perempuan dalam wujud femme fatale.
Kedua, film noir masih berpengaruh pada film-film Hollywood sekarang.
Paling terasa pengaruhnya adalah karakter femme fatale, yang didaur ulang dalam
beberapa versi di film-film Hollywood kontemporer.5 Selain itu, plotnya. Plot film
noir yang cenderung nihilistik umumnya memiliki protagonis yang tidak simpatik
di tengah situasi yang amoral. Protagonis tersebut kemudian dihadapkan dengan
femme fatale yang sama amoralnya dan punya agenda terselubung. Di akhir film,
salah satu atau keduanya harus mati atau cerita tidak akan selesai. Namun karena
4 Op. Cit.,Chopra-Gant, hal. 15.
5 Helen Hanson. Hollywood Heroines: Women in Film Noir and Female Gothic and the Female
Gothic Film. New York: I.B. Tauris, 2006, hal. 176.
15
kedua karakter didesain untuk terlihat tidak simpatik, penonton dihadapkan pada
plot yang berujung pada dua kemungkinan solusi yang sama tidak baiknya. Plot
nihilis macam ini juga banyak didaur ulang di film Hollywood kontemporer.6
Artinya juga, elemen-elemen cerita film noir yang cenderung pesimis dan ambigu
secara moral masuk ke dalam budaya pop kontemporer. Mengingat film
Hollywood merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari budaya pop di banyak
belahan dunia, termasuk Indonesia, maka mempelajari film noir sama dengan
mempelajari sebagian dari film kontemporer.
Alasan terakhir, penelitian film di Indonesia masih bersifat sangat
kasuistik. Maksudnya, studi atau kritik film di sini masih berputar pada kasus-
kasus baru yang terjadi di industri perfilman. Alhasil, produk kritikus film di
Indonesia sangat didominasi resensi, ulasan regulasi dan studi representasi.
Sedikit atau mungkin belum ada yang memfokuskan kritiknya dalam kerangka
sejarah, atau setidaknya mencoba menempatkan studinya dalam suatu paradigma
yang menyeluruh tentang suatu bagian dari perkembangan sinema. Untuk kasus
ini, penulis melihat adanya peluang untuk memberi suatu bentuk penyegaran di
bidang yang saat ini sedang jenuh.
B. Rumusan Masalah
Bagaimana konsep keluarga dikonstruksi secara sinematik dalam struktur
naratif film Double Indemnity, Postman Always Rings Twice dan Kiss Me Deadly?
C. Tujuan Penelitian
Dengan rumusan masalah di atas, penelitian ini bertujuan mengetahui
konsep keluarga dalam film noir, dengan menganalisa objek penelitian tiga film
noir: Double Indemnity, Postman Always Rings Twice dan Kiss Me Deadly.
D. Objek Penelitian
Objek yang akan diteliti dalam penelitian ini adalah film noir. Spesifiknya:
Double Indemnity, Postman Always Rings Twice, dan Kiss Me Deadly.
6 Ibid., 207.
16
Film pertama adalah drama kriminal karya Billy Wilder pada tahun 1944.
Film tersebut dibintangi oleh tiga aktor lakon yang cukup terkenal di jamannya:
Fred MacMurray, Barbara Stanwyck, dan Edward G. Robinson. Naskahnya
diadaptasi oleh sang sutradara dan Raymond Chandler, salah satu penulis cerita
kriminal penting waktu itu, dari novel berjudul Double Indemnity karya James M.
Cain, yang juga merupakan penulis cerita kriminal yang cukup populer di
jamannya.
Film kedua adalah Postman Always Rings Twice karya Tay Garrett tahun
1946. Film ini juga merupakan adaptasi dari salah satu novelnya James M. Cain.
Literatur tersebut sebenarnya sudah diadaptasi dua kali menjadi film. Pertama
jelas pada tahun 1946, sementara yang kedua pada tahun 1981. Meskipun
mayoritas kritikus film menganggap adaptasi tahun 1946 sebagai versi yang lebih
superior, generasi sekarang lebih familiar dengan adaptasi yang kedua, karena
film tersebut dibintangi oleh Jack Nicholson. Reputasi dia jelas lebih dikenal
generasi sekarang ketimbang Lana Turner, John Garfield, dan Cecil Kellaway,
nama-nama yang membintangi adaptasi Postman tahun 1946.
Film ketiga adalah Kiss Me Deadly karya Robert Aldritch tahun 1955.
Seperti dua objek lainnya dalam penelitian ini, film ini juga merupakan dari novel
kriminal yang cukup populer di jamannya. Adalah novelnya Mike Hammer yang
menjadi basis bagi naskah film Kiss Me Deadly. Ketika dirilis, film ini menjadi
debut akting layar lebar bagi Cloris Leachman dan Maxine Cooper.
Ada dua alasan yang mendasari pemilihan tiga film ini sebagai objek
penelitian. Pertama, ketiganya merupakan film-film yang sering digadang sebagai
pencapaian tertinggi dalam film noir, baik secara artistik maupun komersil. Oleh
karena itu, ketiga film ini sering disebut juga sebagai wajah populis dari film noir.
Maksudnya, ketiga film itulah yang menjadi referensi utama publik tentang film
noir. Mengenai hal ini, Leonard Maltin, seorang kritikus film, berkomentar,
17
“kalau ada orang bertanya apa itu film noir, maka saya akan merekomendasikan
Double Indemnity.”7
Komentar Maltin bukan sekadar kelakar sinefil belaka. Secara komersil,
ketiganya cukup laris untuk ukuran film noir. Ketiganya rata-rata sukses meraih
hasil penjualan tiket sekitar 1.1 sampai 1.2 juta dollar. Memang angka tersebut
tidak cukup tinggi untuk menempatkan ketiganya dalam daftar sepuluh film
terlaris di jamannya masing-masing, yang rata-rata mencapai tiga sampai lima juta
dollar.8 Namun, meski dalam beberapa kasus bisa jadi tolok ukur yang akurat,
hasil penjualan tiket hanya memberi pandangan yang imparsial mengenai
signifikansi suatu film. Logikanya: membeli bukan artinya mendukung apa yang
dibeli. Logika ini semakin kentara dalam hal menonton film. Ketika seseorang
membeli tiket untuk menonton suatu film tidak berarti orang tersebut suka dengan
film yang ia tonton. Ada faktor-faktor lain yang mungkin turut berperan, seperti
rasa penasaran, ajakan teman, trend, dan sebagainya. Alasan-alasan yang terkesan
trivial namun sebenarnya esensial inilah yang tidak terdeteksi ketika suatu film
diukur berdasarkan hasil penjualan tiketnya.9
Signifikansi film noir lebih akurat dilihat dari pencapaian artistiknya.
Dalam kasus ini, pencapaian artistik mencakup gaya visual dan struktur
naratifnya. Bila diturunkan lagi, gaya visual mencakup permainan kontras cahaya
dan komposisi gambar film noir yang klaustrofobik. Sementara struktur naratif
film noir mencakup struktur cerita nonlinear, dimana keluarga, polisi dan femme
fatale memainkan perannya masing-masing dalam drama kriminal yang penuh
lika-liku. Film noir adalah genre pertama yang secara sadar menggunakan elemen-
elemen tersebut dalam bangunan sinematiknya. Pengaruhnya, seperti yang
ditunjukkan para kritikus, bisa terlihat di film-film Hollywood kontemporer,
dimana elemen-elemen tersebut kembali muncul dalam versi modern. Ketiga film
yang dijadikan objek penelitian bisa dibilang sebagai film-film yang memiliki
7 Komentar Leonard Maltin dapat ditemukan dalam dokumenter pendek berjudul Shadows of
Suspense, fitur tambahan DVD Double Indemnity, yang dirilis oleh Universal Studio Home
Entertainment pada tahun 2003. 8 Op. Cit., Chopra-Gant, hal. 13.
9 David Bordwell. Poetics of Cinema. New York: Routledge, 2008, hal. 30.
18
semua elemen yang diasosiasikan dengan film noir. Ketiganya merupakan katalog
yang kredibel bagi genre film noir itu sendiri. Hal ini mengingatkan penulis pada
mantra favorit para statistikawan: untuk mencari tahu rasa daging sapi, kita tidak
perlu memakan seluruh badan sapi. Prinsip yang sama berlaku dalam penelitian
ini.
Kedua, ketiga film objek penelitian tersebut mewakili perkembangan film
noir selama keberadaannya di Hollywood. Double Indemnity dirilis pada tahun
1944, dua tahun setelah dirilisnya The Maltese Falcon, film yang sejarawan film
setujui sebagai film noir pertama. Sepanjang dua tahun tersebut, pembuat film di
Hollywood belum menemukan formula yang stabil dalam mengeksekusi
konvensi-konvensi film noir. Terlihat dari kedua film adanya perbedaan
karakterisasi antara protagonis laki-laki dan femme fatale. The Maltese Falcon
membingkai kedua karakter tersebut dalam sebuah cerita perebutan artefak
berharga, yang tidak menghubungkan keduanya dalam sebuah konteks keluarga.
Sejak awal relasi keduanya berjalan sendiri-sendiri dan terus begitu sampai akhir
film. Mereka saling menikam dan menipu karena mereka ingin memastikan uang,
yang mungkin didapat dari artefak berharga, mendarat di kantong mereka. Tidak
ada kebersamaan dan harapan untuk bersama yang dipertaruhkan, hanya uang dan
keuntungan pribadi.
Double Indemnity menambahkan satu elemen yang absen dalam The
Maltese Falcon: keluarga. Ada kebersamaan dan harapan untuk bersama yang
dipertaruhkan sepanjang film, bukan hanya uang dan keuntungan pribadi saja.
Menurut Leonard Maltin, Double Indmenity adalah film noir pertama yang
menjadikan keluarga sebagai lokus pemantik dan pengembang konflik dalam
kerangka ceritanya. Menurut Maltin, konvensi cerita tersebut yang kemudian
dapat ditemukan dalam film-film noir setelah Double Indemnity, termasuk The
Postman Always Rings Twice dan Kiss Me Deadly. Sederhananya, Double
Indemnity menjadi cetak biru bagi Hollywood dalam memproduksi film noir.
Pembuat film dan produser sudah menemukan formula yang stabil dalam
mengeksekusi konvensi-konvensi film noir.
19
Ketika penggunaan konvensi naratif sudah mencapai tahap yang stabil,
tahap perkembangan selanjutnya adalah variasi. The Postman Always Rings Twice
dan Kiss Me Deadly berada di tahap perkembangan tersebut. The Postman Always
Rings Twice dirilis pada tahun 1946, dimana Hollywood baru segar-segarnya
mereplika cetak biru yang disediakan oleh Double Indemnity. Tidak heran kalau
The Postman Always Rings Twice terlihat seperti versi minimalis dari Double
Indemnity. Sepanjang cerita The Postman Always Rings Twice, konflik selalu
dimulai dan dikembangkan pada kebersamaan dan harapan untuk bersama
protagonis laki-laki dan femme fatale. Motif cerita perebutan keuntungan finansial
malah tidak ditemukan sama sekali. Kiss Me Deadly dirilis pada tahun 1955,
sebelas tahun setelah Double Indemnity masuk bioskop. Berbeda dengan Double
Indemnity dan The Postman Always Rings Twice, film tersebut hanya membuat
rujukan kalau keluarga adalah konsep yang mungkin dicapai, namun tidak
menujukkannya sama sekali dalam cerita.
Dalam konteks penelitian ini, menganalisa ketiga film tersebut sama
dengan menganalisa bagaimana keluarga, sebagai konvensi cerita yang penting
dalam film noir, berkembang sepanjang periode film noir.
E. Kerangka Pemikiran
1. Film Noir
a. Film Noir dalam Sejarah
Andre Bazin, kritikus film asal Prancis, pernah memprediksikan
bahwa sejarah film akan terus bergerak menuju realisme. Maksudnya,
teknologi film yang makin canggih akan mendorong pembuat film untuk
merekam kenyataan semurni mungkin, tanpa adanya rekayasa artifisial.10
Prediksi tersebut ditulis Bazin pada dekade 50-an. Pada waktu yang
sama, film noir sedang naik daun, tidak saja di Hollywood tapi juga di
kalangan kritikus film Prancis. Penyebabnya satu: gaya visual film noir,
10
Donato Totaro. Andre Bazin Revisited, Part 1: Film Style Theory in its Historical Context. 31
Juli 2003. (http://www.horschamp.qc.ca/new_offscreen/bazin_intro.html)
20
yang penuh permainan cahaya dan beragam teknik ekspresionis lainnya.
Praktis prediksi Bazin tidak berumur panjang.
Kehadiran film noir tidak saja menjadi anomali dalam kerangka
sejarah versi Bazin, tapi juga di sejarah Hollywood sendiri. Hadir dengan
gaya tutur yang belum pernah disaksikan penonton Amerika sebelumnya,
baik secara visual maupun secara naratif, film noir digadang-gadang para
kritikus film sebagai gerakan estetis pertama yang secara organis
berkembang di Hollywood. Klaim ini bukan berarti film-film sebelum
era noir bukanlah produk asli Hollywood. Mengingat industri film
Hollywood sejak awal dikembangkan oleh para pebisnis, sah rasanya
mengatakan kalau film-film komedi, musikal dan horror yang
mendominasi Hollywood sejak 1900 sampai 1930-an sebagai produk asli
Hollywood.11
Para pebisnis lebih mementingkan pencapaian finansial,
dan jenis film yang menarik perhatian penonton adalah komedi, musikal
dan horror. Pantaslah yang diproduksi film-film semacam itu.
Film noir dikatakan sebagai perkembangan yang organis, karena
film noir hadir di saat Amerika sedang mempertanyakan identitasnya
sendiri. Peristiwa tersebut terjadi setelah Perang Dunia II baru saja
selesai, dan Amerika memperoleh keuntungan yang tidak terduga.
Kondisi paska perang memberikan dua hal bagi Amerika: infrastruktur
negara yang utuh dan reputasi sebagai peminjam dana bagi negara-negara
korban perang. Hal tersebut bisa terjadi karena perang tidak terjadi di
tanah Amerika, melainkan di benua Eropa. Praktis Amerika memperoleh
kekayaan yang berlimpah, baik dari bunga hasil pinjaman maupun dari
hasil industri yang terus berjalan ketika perang berlanjut. Keuntungan
finansial tersebut berujung pada iklim ekonomi yang kondusif, yang
menciptakan lapangan kerja yang luas dan peluang kesejahteraan yang
lebih terbuka bagi masyarakat Amerika. Pendapatan rata-rata per orang
11
Wheeler Dixon dan Gwendolyn Foster. A Short History of Film. New Jersey: Rutgers University
Press, 2008, hal. 24.
21
pun meningkat, dan jumlah penduduk di bawah garis kemiskinan
menurun.
Naiknya tingkat kesejahteraan kemudian melahirkan tiga
kebutuhan baru di kalangan masyarakat. Pertama adalah kebutuhan akan
tempat tinggal yang lebih baik. Alhasil, terjadi perpindahan penduduk
besar-besaran dari kota ke pinggir kota. Orang-orang mulai
menginginkan rumah yang luas dan halaman yang lapang bagi
keluarganya. Kemudian, kebutuhan material. Rumah baru di lingkungan
baru, yang cenderung jauh dari pusat kota, praktis memerlukan perabotan
dan kendaraan baru pula. Kebutuhan lainnya adalah jaminan masa depan.
Kesejahteraan paska perang diprediksi tidak bisa selamanya berlangsung.
Persaingan di dunia kerja semakin ketat. Lapangan kerja yang tadinya
luas mulai sesak oleh tenaga kerja baru. Ditambah dengan ancaman
perang nuklir yang bisa meletus kapan saja, mengingat beberapa saat
setelah Perang Dunia II Amerika memasuki Perang Dingin dengan Uni
Soviet, kebutuhan akan jaminan masa depan tersebut makin terasa
mendesak.
Banyaknya kebutuhan baru tersebut menciptakan budaya
materialisme yang mengakar di masyarakat Amerika. Para laki-laki harus
bekerja keras untuk menafkahi keluarganya. Namun semakin keras
mereka bekerja, semakin banyak pula kebutuhan yang harus dipenuhi.
Mereka seperti terperangkap dalam lingkaran setan. Di sisi lain, para
perempuan hanya bisa mengerjakan urusan rumah tangga. Kondisi ini
kontras dengan saat perang dulu, dimana para perempuan memperoleh
kebebasan untuk memilih pekerjaan mereka sendiri. Waktu itu banyak
laki-laki yang dipanggil militer untuk ikut berperang. Alhasil, banyak
perempuan yang masuk dunia kerja untuk menyambung hidup
keluarganya. Ketika perang usai, lanskap sosial berbalik lagi: dunia kerja
22
kembali jadi milik para suami, dan rumah tangga kembali diakrabi para
istri.12
Kebingungan sosial inilah yang tertangkap dalam film noir. Ada
dua jalur yang membawa fenomena di lanskap sosial sampai ke layar
lebar. Jalur pertama adalah novel-novel kriminal, yang pada tahun 40
sampai 50-an menjadi budaya pop di Amerika. Pihak percetakan
menamai novel-novel tersebut dengan label hardboiled pulp fiction, yang
artinya adalah cerita fiksi kriminal yang dicetak di kertas kualitas rendah.
Dengan bahan dasar yang murah, harga novel dapat ditekan serendah
mungkin. Oleh karena itu, novel-novel kriminal tersebut bisa dengan
mudah diakses masyarakat kelas menengah ke bawah.
Daya tarik novel-novel kriminal tersebut ada pada protagonisnya:
detektif laki-laki yang terbelah antara konflik di tempat kejadian perkara
dan roman dengan perempuan-perempuan yang ia temui di bar. Detektif
tersebut tanpa pikir panjang bisa menggunakan kekerasan dan cara-cara
di luar hukum lainnya untuk mencapai tujuan mereka. Kehidupan
romantis macam ini jadi semacam obat bius bagi masyarakat Amerika,
yang mayoritas terjebak dalam lingkaran kerja yang tidak ada habisnya.
Berkat sirkulasi penjualan novel yang tinggi dan eksposur lewat beragam
cerita pendek di koran harian, beberapa dari tokoh detektif tersebut,
seperti Sam Spade di cerita-ceritanya Dashiell Hammett atau Mike
Hammer di karya-karyanya Mickey Spillane, menjadi idola tersendiri di
masyarakat Amerika.
Jalur kedua datang dari para pekerja film. Perang di benua Eropa
dan ancaman Nazi sebagai kekuatan politik membuat banyak sutradara
dan penulis naskah di Jerman hijrah ke Amerika. Alasan mereka ada dua.
Pertama, Hollywood menawarkan jaminan keselamatan dan prospek
karier. Dua hal tersebut jelas tidak dapat mereka temui di benua Eropa
yang sedang diamuk perang antar bangsa. Kedua, mereka lebih mungkin
12
Eugenia Kaledin. Mothers and More: American Women in the 1950s. Boston: Twayne
Publishers, 1984, hal. 5.
23
hidup dan berkarya sesuai orientasi ideologis mereka di Amerika.
Naiknya Nazi sebagai kekuatan fasis di Eropa jelas tidak sesuai dengan
apa yang mereka percayai selama ini, terutama mayoritas imigran
tersebut berideologi kiri. Status Amerika sebagai negeri yang bebas,
meski dikuasai oleh praktek kapitalis dan paranoia anti kiri, jelas menjadi
pilihan yang lebih aman. Hijrahlah para pekerja film tersebut dari Eropa
ke Amerika. Nama-nama yang nantinya akan memperkaya khazanah film
noir, seperti Michael Curtiz, Billy Wilder dan Fritz Lang, termasuk di
dalamnya. Sambil menyelematkan diri dari ancaman perang, para
imigran tersebut turut membawa pengetahuan film yang mereka pelajari
selama berkarier di Eropa dan menerapkannya di Hollywood.
Oleh karena itu tidak heran film noir sangat sarat dengan
permainan cahaya dan kontras yang tinggi. Karakteristik visual tersebut
sangat mirip dengan karakteristik film-film ekspresionisme Jerman, suatu
aliran estetika yang dominan di Eropa sejak tahun 1920-an. Ciri khas
ekspresionisme Jerman adalah pemanfaatan mise-en-scene untuk
menggambarkan suatu kondisi mental. Ambil contoh Cabinet of Doctor
Caligari, film ekspresionis Jerman yang diproduksi tahun 1920 oleh
Robert Wiene. Dalam film tersebut, mise-en-scene, yang mencakup latar,
cahaya dan kostum, terlihat sangat berlebihan dan tidak proporsional. Hal
tersebut sengaja dilakukan untuk membingkai protagonis film tersebut
sebagai karakter yang eksentrik.
Langkah yang sama diambil oleh para sutradara film noir, namun
dengan tujuan yang berbeda. Film noir memang banyak memainkan
elemen-elemen dalam mise-en-scene untuk menggambarkan
kebingungan dan kegelisahan yang dihadapi protagonisnya. Bedanya
dengan film-film ekspresionis Jerman, permainan mise-en-scene dalam
film noir terjadi secara teratur dan diusahakan terlihat senyata mungkin.
Maksudnya, jendela dalam film noir akan tetap terlihat seperti jendela
yang kita lihat di kehidupan sehari-hari: suatu lubang di tembok
berbentuk persegi atau persegi panjang, yang dilengkapi kaca dan teralis.
24
Dalam film ekspresionis, jendela bisa jadi sesuatu yang tidak berbentuk
persegi atau persegi panjang dan tidak dilengkapi kaca dan teralis, tapi
tetap berfungsi sebagai jendela.
Komitmen formalis terhadap kenyataan tersebut diakali para
sutradara noir dengan memainkan cahaya. Teralis jendela, misalnya,
disorot dengan lampu berkekuatan tinggi untuk menciptakan bayangan
mirip jeruji penjara di tembok. Teknik tersebut seringkali ditemukan
dalam film noir, dan biasanya berarti kondisi karakter yang sedang
merasa „terpenjara‟ oleh masalah yang sedang ia hadapi. Teknik lainnya:
wajah karakter yang disorot cahaya terang sebagian dan sebagian lainnya
dibiarkan gelap. Teknik tersebut seringkali digunakan sutradara film noir
untuk menggambarkan ambigunya aliansi yang dijalani suatu karakter
untuk menyelesaikan konfliknya.
Dari sini terlihat bagaimana film noir merupakan sinergi dari dua
hal yang sangat kontradiktif. Di satu sisi ada sekelompok produser yang
ingin mengeksploitasi novel-novel kriminal sebagai bahan jualan tiket,
sementara di sisi lain ada sekelompok pekerja film dari Eropa yang ingin
terus berkarier sesuai ideologinya, baik secara politis maupun artistik.
Sinergi inilah yang menjadi awal kelahiran film noir, yang pada
perkembangannya menjadi fenomena industri film di Hollywood sampai
akhir dekade 50-an.
b. Film Noir sebagai Genre
Sebelum menjelaskan film noir sebagai suatu genre, patut
dijelaskan terlebih dahulu apa itu genre. Tony Bennet menjelaskan ada
kalau ada dua pendekatan dalam menjelaskan genre.13
Pertama adalah
dengan melihat genre secara sosiologis. Pendekatan ini dimulai dari teks
lalu bergerak ke konteks. Cara kerjanya: beberapa film sejenis dilihat dan
dicatat karakteristik-karakteristiknya yang ada di semua objek penelitian.
Karakteristik-karakteristik tersebut kemudian diperlakukan sebagai faktor
13
Tony Bennett. Outside Literature. New York: Routledge, 1990, hal. 16.
25
dominan, yang menjadi penyusun utama film-film dari suatu genre.
Faktor dominan tersebut kemudian dianalisa dengan tujuan mencari
korelasi antara faktor dominan suatu genre dengan konteks sosial tempat
dimana genre tersebut berada.
Pendekatan kedua sebaliknya: mulai dari konteks, baru lanjut ke
teks. Dalam mendedah film, pendekatan ini bergantung pada penonton
dan media. Pasalnya, penonton menjadi institusi yang mendefinisikan
potensi-potensi suatu genre. Film horror, misalnya, diasumsikan secara
umum bakal memberi rasa takut pada penontonnya. Buktinya terlihat dari
setiap publikasi film horror yang baru rilis cenderung mengklaim bahwa
filmnya lebih seram dari film-film horror sebelumnya. Kebanyakan
penonton film horror datang ke bioskop juga karena rasa penasaran
apakah film horror yang satu ini lebih seram dari film horror lainnya.
Dari sini terlihat adanya kesadaran di kalangan penonton dan media
bahwa film yang berasal dari genre horror pasti punya elemen-elemen
yang menakutkan.
Film noir merupakan kasus yang problematis. Dianalisa
menggunakan pendekatan manapun, film noir memiliki inkonsistensi
internal yang membuatnya tidak bisa disebut sebagai genre. Melalui
pendekatan pertama, kebanyakan film noir cenderung memiliki
kesamaan di karakter, yakni protagonis pria yang terepresi di bidang
profesional maupun di relasi personal. Karakter lainnya adalah femme
fatale. Meski keduanya lahir dari konteks sosial yang ada, kedua tipologi
karakter tersebut tidak bisa disebut eksklusif milik film noir. Tipologi
protagonis pria film noir sudah ada di film-film detektif dan gangster
Hollywood sejak tahun 80-an, sementara femme fatale berlanjut
kariernya hingga sinema kontemporer, baik di Hollywood maupun di luar
Hollywood.
Pendekatan kedua juga sama bermasalahnya. Pasalnya, istilah
film noir sendiri aslinya tidak berasal dari penonton maupun media,
melainkan dari lingkaran kritikus. Lebih spesifik lagi, lingkaran kritikus
26
film Prancis. Istilah film noir baru masuk khazanah perfilman Hollywood
setelah tahun 70-an, jauh setelah film noir sudah tidak diproduksi lagi di
Hollywood. Sebelum itu, tidak ada satu pun literatur berbahasa Inggris
yang membahas film noir14
. Masalah klasifikasi ini makin runyam,
karena beberapa kritikus menambahkan „label pengantara‟, macam semi
noir atau film gris (film abu-abu). Label-label tersebut dibuat untuk
menjelaskan film-film yang punya karakteristik seperti film noir, tapi
sejatinya bukan film noir.
Pendekatan paling aman dalam menganalisa film noir adalah
dengan memperlakukannya sebagai genre yang terbatas secara temporal.
Sederhananya, memperlakukan film noir bukan sebagai genre, tapi
sebagai suatu periode. Melalui pendekatan ini, film noir dipandang
sebagai suatu fenomena perfilman Hollywood antara tahun 1942 sampai
tahun 1988. Titik mulanya adalah waktu dirilisnya Maltese Falcon karya
John Huston, yang digadang-gadang sebagai film noir pertama, dan titik
akhirnya adalah Touch of Evil karya Orson Welles, yang disebut sebagai
film noir terakhir yang diproduksi di Hollywood.
Dengan memperlakukannya sebagai suatu periode, film noir
kemudian dapat diteliti berdasarkan satu atau dua esensinya. Pemikiran
ini sejalan dengan pemikiran Raymond Borde dan Etienne Chaumeton,
sepasang kritikus film Prancis yang termasuk salah satu pionir dalam
studi film noir. Borde dan Chaumeton berargumen bahwa “film noir pada
umumnya berfokus pada satu karakter, satu adegan dan satu lokasi
saja...”15
Menganalisa film noir layaknya drama kriminal biasa hanya
akan menghasilkan kebingungan, karena film noir pada dasarnya
merupakan suatu tautan ide-ide yang berhubungan dengan genre-genre di
luar film noir.
14
Rebecca House Stankowski. Night of the Soul: American Film Noir. Studies in Popular Culture,
Ver. 9, No. 1, 1986, hal. 65. 15
Raymond Borde, Etienne Chaumeton. A Panorama of American Film Noir, 1941-1953. San
Francisco: City Lights Book, 1955, hal. 3.
27
Keuntungan lainnya dari analisa film noir sebagai suatu periode
adalah fokus. Dengan menempatkan batas awal dan akhir, film noir dapat
dianalisa sesuai konteks historisnya. Tidak dapat dipungkiri banyak
elemen-elemen film noir yang diserap oleh sinema kontemporer, dan
mengalami modernisasi baik secara penyajian maupun pemaknaan.
Namun, perkembangan tekstual tersebut hanya bisa terjadi karena ada
perkembangan di konteksnya. Dengan menganalisa film noir secara
menyeluruh dari teks hingga konteksnya, dapat ditemukan sejauh mana
elemen-elemen film noir dalam sinema Hollywood kontemporer
berkembang dari makna aslinya.
2. Keluarga
Dalam penelitian ini, keluarga dilihat sebagai unit produksi.
Konsep tersebut membingkai keluarga sebagai agen dari perkembangan
ekonomi yang menghidupi dirinya sendiri. Berdasarkan konsep tersebut,
setiap anggota keluarga dinilai dari kemampuannya berkontribusi dalam
segi ekonomi, yang berarti menakar setiap anggota keluarga dari potensi
pemasukan dan pengeluaran finansialnya.16
Untuk bertahan hidup
tentunya dibutuhkan pemasukan yang lebih besar dari pengeluarannya.
Oleh karenanya, keluarga sebagai unit produksi yang ideal adalah
keluarga yang setiap anggota keluarganya mampu memperoleh
pemasukan yang lebih besar ketimbang pengeluaran finansialnya.
Konsep keluarga sebagai unit produksi sejatinya adalah refleksi
dari fenomena yang terjadi selama revolusi industri di Inggris. Sebelum
terjadi revolusi industri, kerja terjadi di dalam rumah. Keluarga bekerja
layaknya pabrik, yang membeli bahan mentah dan mengolahnya menjadi
produk jadi atau semi-jadi.17
Produk-produk tersebut kemudian yang
dipasarkan. Pada tahun 1750, keberadaan sejumlah pabrik menyebabkan
16
Stephanie Coontz. Marriage, A History: How Love Conquered Marriage. New York: Penguin
Books, 2005, hal. 216-217 17
Bonnie Smith. Changing Lives: Women in European History Since 1700. Lexington: D.C.
Heath, 1989, hal. 89-91.
28
Inggris memasuki fase industrialisasi. Dalam kasus ini, industrialisasi
berarti mekanisasi dari proses produksi, yang mensubstitusi tenaga
makhluk hidup dengan mesin.
Konsekuensi dari industrialisasi bagi kehidupan keluarga adalah
keluarga yang semakin kecil. Keberadaan industri memindahkan kerja
dari rumah tangga ke pabrik dan kantor. Rumah menjadi murni untuk
kehidupan pribadi. Namun, keberadaan pabrik juga menciptakan adanya
siklus ketergantungan antara rumah dan tempat kerja. Rumah tak lagi
menjadi unit produksi yang independen seperti sebelum revolusi industri,
yang berarti keluarga tidak lagi menentukan hajat hidupnya sendiri.
Kemampuan suatu keluarga untuk bertahan hidup bergantung pada
penghasilan yang diterima dari tempat kerja. Konsekuensinya: ukuran
keluarga ditekan sekecil mungkin, sehingga bujet untuk mengurus
keluarga tidak melebihi penghasilan yang diterima dari tempat kerja.
Terbukti di Inggris, salah satu konsekuensi dari revolusi industri adalah
menurunnya populasi negara.
Di Amerika, konsep keluarga sebagai unit produksi menyeruak ke
ranah publik ketika depresi ekonomi melanda pada tahun 1929. Banyak
pabrik dan kantor yang tutup, yang menyebabkan pengangguran massal.
Banyak keluarga yang menderita karenanya. Untuk menghadapi masalah
pelik tersebut, seorang intelektual bernama Ralph Borsodi mencangkan
sebuah program, yang intinya mengembalikan produksi ke lingkungan
rumah. Dalam bukunya Flight from the City (1933: 11-17), Borsodi
memaparkan bagaimana keluarganya bisa bertahan selama depresi
ekonomi berlangsung. Bersama keluarganya, Borsodi pindah ke luar
kota, dari New York ke sebuah pemukiman sederhana di Dayton, Ohio.
Di situ, Borsodi memulai suatu pertenakan, yang pada perkembangannya
sukses menghidupi keluarganya sendiri.
Tindakan Borsodi adalah cerminan dari tindakan serupa yang
diambil sebagaian keluarga di Amerika Serikat sepanjang dekade 1930-
an, ketika depresi ekonomi kian memuncak. Sebagian lainnya memilih
29
untuk bertahan di kota. Pada jaman itu, bertahan di kota berarti setia
dengan pola kehidupan keluarga jaman industri, yakni menggantungkan
harapan hidup keluarga pada pemasukan dari tempat kerja. Namun,
meningat pabrik dan kantor di kota sudah banyak tutup, keluarga-
keluarga tersebut mencoba bertahan hidup dengan memperbanyak
anggota keluarga yang masuk ke lapangan kerja, yang berarti tidak saja
suami yang bekerja, tapi juga istri.18
Statistik mencatat bahwa selama dekade 1900-an, kurang dari 6%
perempuan bersuami yang bekerja di luar rumah. Statistik tersebut dapat
dijelaskan dari kondisi Amerika Serikat yang waktu itu belum terkena
depresi ekonomi. Keluarga dapat bertahan hanya dengan pemasukan
suami saja, sementara istri mengurus rumah dan anak (kalau punya).
Pada dekade 1930-an, jumlah perempuan bersuami yang bekerja di luar
rumah meningkat hingga lebih dari 15%. Menurut Stephanie Coontz,
statistik pada tahun 1930-an tersebut hanya mencakup perempuan yang
bekerja di kantor dan pabrik yang secara legal resmi. Padahal,
kenyataannya waktu itu masih ada ribuan istri-istri lainnya yang bekerja
di sektor non-formal, di pekerjaan-pekerjaan yang secara legal tidak
terdaftar resmi.19
Ketika depresi ekonomi usai, maka konsep keluarga sebagai unit
produksi di Amerika Serikat turut berubah. Hal tersebut kentara ketika
Amerika Serikat mengalami kemakmuran pasca Perang Dunia II. Pada
dekade 1950-an, ketika perang sudah usai, peran perempuan kembali dari
tempat kerja ke rumah, dan laki-laki dari medan perang ke tempat kerja.
Keluarga sebagai unti produksi yang ideal berarti menjadi lebih spesifik:
suami sebagai yang bertugas mencari uang, sementara istri sebagai yang
mengatur rumah tangga dan mengurus anak (kalau punya). Ada
pembagian peran yang jelas, yakni suami sebagai pencari nafkah, dan
istri sebagai pengatur pengeluaran.
18
Steven McLaughlin. The Changing Lives of American Women. Chapel Hill: University of North
Carolina Press, 1988, hal. 55-56. 19
Op cit. Coontz, hal. 219.
30
Adalah regulasi pemerintahan Amerika yang menciptakan konsep
keluarga sebagai unit produksi yang ideal di atas. Pada tahun 1950,
pemerintah merilis sebuah undang-undang bernama The GI Bill. Undang-
undang tersebut menjamin adanya bantuan finansial bagi para veteran
perang.20
Ada dana bagi mereka yang ingin melanjutkan sekolah, setelah
sebelumnya terputus oleh perang. Ada subsidi bagi veteran yang
memiliki keluarga. Subsidi tersebut yang kemudian menjadi modal
banyak keluarga Amerika Serikat untuk menata kembali rumah tangga
mereka, dan kembali ke lapangan kerja.
Sebelum ada The GI Bill, pemerintah Amerika Serikat sebenarnya
sudah mengarahkan keluarganya untuk membagi peran suami sebagai
pencari nafkah dan istri sebagai pengatur pengeluaran. Pada tahun 1948,
pemerintah Amerika Serikat merevisi kebijakan pajak penghasilan, yang
dalam prakteknya lebih menguntungkan pasangan suami-istri dengan
satu pencari nafkah (primary earner).21
Kebijakan pajak tersebut
memungkinkan suami dan istri untuk melaporkan pajaknya secara
terpisah, yang berarti juga memungkinkan keduanya membagi
pendapatan suaminya. Modus tersebut memungkinkan seorang suami
membagi setengah pendapatannya ke istri, walaupun si istri tidak
memiliki penghasilan sama sekali. Di mata Departemen Pajak, istri yang
tuna karya membuat seorang suami pantas dimasukkan ke dalam
kelompok yang dikenai pajak rendah. Berbeda dengan laki-laki yang
hidup sendiri dan suami yang istrinya punya pekerjaan. Kedua kelompok
tersebut dikenai pajak yang tinggi oleh pemerintah.22
Kebijakan pajak yang pemerintah Amerika rilis pada tahun 1948
sebenarnya kontras dengan kebijakan mereka selama Perang Dunia II
berlangsung. Ketika para laki-laki mengabdi pada negara di medan
perang, pemerintah memasang banyak iklan sosial di kota-kota, yang
20
Ibid., hal. 223. 21
Ibid., hal. 224 22
Stanley Surrey, Federal Taxation of the Family-The Revenue Act of 1948 dalam Harvard Law
Review 61, 1948, hal. 1112.
31
semuanya meminta para perempuan untuk masuk dunia kerja. Pesan
yang seluruh iklan tersebut sampaikan: perempuan diharapkan pekerja,
atau para tentara akan mati di medan perang, karena kekurangan pangan
dan bahan untuk kehidupan sehari-hari. Waktu itu, pesan tersebut sudah
cukup untuk memotivasi para istri untuk masuk ke lapangan kerja.
Selama Perang Dunia II berlangsung, pemerintah memberi signifikansi
yang khusus pada perempuan. Namun, setelah perang usai, kembali laki-
laki yang diberikan signifikansi khusus, sementara perempuan
diposisikan kembali ke habitus mereka sebelum perang: rumah.
Model keluarga, dimana suami sebagai pencari nafkah dan istri
sebagai pengatur keluarga, adalah model keluarga yang kemudian banyak
ditemukan di keluarga-keluarga Amerika Serikat pasca perang. Model
keluarga yang serupa dapat ditemukan dalam film noir, yang juga
berkembang dalam periode yang sama. Dalam penelitian ini, film noir
berarti dilihat sebagai cerminan dari apa yang terjadi di lanskap sosial
jamannya.
F. Metodologi
Penelitian ini merupakan study of poetics atau, bila diterjemahkan secara
harafiah, studi karya-karya puitis. Keterbatasan bahasa Indonesia menjadikan
istilah poetics sempit artinya. Secara etimologi, poetics berasal dari bahasa
Yunani yang berarti “membuat”. Objek yang dibuat adalah karya seni.
Berdasarkan genealogi tersebut, poetics merujuk pada aspek estetis suatu karya
seni. Oleh karena itu, study of poetics dalam prakteknya menganalisa konvensi-
konvensi yang terdapat dalam suatu karya seni.
Ketika pertama kali dirumuskan oleh Aristoteles 350 tahun sebelum
masehi, poetics eksklusif merujuk pada puisi dan drama panggung.23
Penerapan
poetics versi Aristotles ke film jelas akan mengalami kesenjangan, karena film
secara estetis berbeda dengan puisi dan drama panggung. Film dibangun lewat
23
Bernard Dukore. Dramatic Theory and Criticism: Greeks to Grotowski. Florence: Heinle &
Heinle, 1974, hal. 31.
32
dua unsur: materi audiovisual dan naratif berbasis realita filmis. Keduanya jelas
tidak dapat ditemukan dalam puisi dan drama panggung. Puisi terdiri dari kata-
kata, bukan gambar dan suara. Sementara itu, dramaturgi drama panggung
berbeda dengan naratif film. Drama panggung sangat bergantung pada akting
pemainnya, sementara film tidak. Gerakan kamera dan editing memungkinkan
penonton untuk sesuka hati mengeksplorasi detail-detail dalam film. Film, puisi,
dan drama panggung masing-masing dipahami dengan cara yang berbeda. Oleh
karena itu, poetics hanya bisa diterapkan dalam film apabila prinsip-prinsipnya
disesuaikan dengan karakterisitik medium film.
David Bordwell, seorang teoritisi film kelahiran Amerika, adalah salah
satu figur yang sukses merekontekstualisasi poetics ke dalam kerangka estetis
film. Dalam buku Poetics of Cinema, Bordwell mendefinisikan study of poetics
sebagai “suatu program riset yang menganalisa prinsip-prinsip yang membangun
suatu film dan efeknya bagi penonton”.24
Berdasarkan definisi Bordwell, analisis
film berbasis poetics merupakan kegiatan penelitian yang sangat tekstual, karena
fokusnya adalah konvensi yang terdapat dalam film. Oleh karena itu, fenomena-
fenomena di luar film, seperti distribusi film atau demografi audiens, tidak
menjadi prioritas utama dalam studi poetics. Namun, hal ini bukan berarti kalau
fenomena-fenomena di luar film tidak perlu diteliti. Informasi mengenai distribusi
film atau demografi audiens tetap perlu diteliti, asalkan hal tersebut berkaitan
dengan konvensi yang terdapat dalam film objek penelitian.
Analisis film berbasis poetics dapat difungsikan berdasarkan dua orientasi.
Orientasi pertama adalah orientasi analitis. Berdasarkan orientasi ini, analisis film
dilihat berdasarkan prinsip-prinsip yang membangun suatu film dan bagaimana
prinsip-prinsip tersebut kemudian mempengaruhi penonton secara psikologis.
Sederhananya, film dianalisis berdasarkan elemen pembangunnya dan efeknya ke
penonton. Orientasi yang kedua adalah orientasi historis. Dalam perspektif ini,
film dilihat berdasarkan kondisi empiris yang melingkupinya. Film dalam periode
waktu tertentu, dengan fenomena sosial-politiknya yang distingtif, cenderung
memiliki gaya tutur dan visual yang berbeda dengan film dari periode waktu
24
Op. Cit., Bordwell, hal. 23.
33
lainnya. Kondisi historis tersebut menjadi semacam syarat terwujudnya suatu gaya
tutur dan visual yang terdapat dalam film periode tertentu.
Berdasarkan penjelasan di atas, bisa disimpulkan bahwa penelitian ini
berada pada orientasi kedua. Tanpa ada setting sosial-politik yang melatari
pembentukannya, film noir tidak akan mengusung estetika yang kita kenal
sekarang: naratif non-linear, kontras warna hitam-putih yang tinggi dan komposisi
visual yang klaustrofobik. Film noir tidak akan berkembang di tempat atau
periode waktu lainnya, karena memang hanya situasi Amerika periode 1940
sampai 1950-an yang bisa menginspirasi studio-studio Hollywood saat itu untuk
memproduksi film noir.
Meski berbeda, kedua orientasi analisis film berbasis poetics sejatinya
memiliki pola kerja yang sama. Kerangka kerjanya menurut Bordwell mencakup
enam elemen: detail (particulars), pola (patterns), tujuan (purposes), prinsip
(principles), praktek (practices) dan efek ke penonton (processing).25
Semuanya
berhubungan dengan satu sama lain. Ketika menganalisa suatu film, setiap detail
jadi bisa diteliti, sekecil apapun itu. Mulai dari sebaris kalimat dalam suatu dialog
hingga bebunyian dalam suatu adegan, masing-masing memiliki siginifkansinya
sendiri. Pada konteks yang lebih luas, detail-detail tersebut bisa jadi berulang dan
membentuk suatu pola. Protagonis dalam suatu film bisa jadi mengulangi kalimat
tertentu beberapa kali, atau suatu lokasi bisa jadi diterangi dengan cahaya tertentu.
Pertanyaannya kemudian: apa yang membuat suatu pola layak diikuti, terutama
dalam menganalisa suatu film?
Tujuannya. Suatu pola atau motif menjadi signifikan apabila ia punya
tujuan untuk eksis dalam kerangka naratif film. Tata cahaya, misalnya, kerap
menjadi petunjuk bagi penonton untuk menebak karakter suatu lokasi atau
seorang karakter. Film horror begitu rajin memanfaatkan penerangan yang
minimal untuk memaksimalkan efek misterius suatu lokasi. Sebaliknya, film
komedi kerap begitu meriah dalam menerangi lokasinya, karena setting dalam
film komedi bisa menjadi sumber kelucuan tersendiri.
25
Ibid., hal. 24.
34
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa setiap motif
yang signifikan memiliki tujuan, dan tujuan tersebut didasari oleh suatu prinsip.
Prinsip tersebut terwujud dalam bentuk norma, yang menjadi semacam panduan
bagi para pembuat film untuk mendesain bangunan filmnya. Beberapa norma
mempengaruhi kualitas formal banyak film. Glorifikasi adegan klimaks, misalnya,
menjadikan mayoritas film Hollywood sangat berpusat pada protagonis. Secara
visual, mayoritas film Hollywood hampir selalu menempatkan karakter protagonis
di tengah frame. Perhatian penonton jadi terpusat dengan segala gerak-gerik
protagonis. Secara naratif, inisiatif protagonis dalam mayoritas film Hollywood
memiliki dampak langsung pada cerita. Total dari tindakan protagonis tersebut
yang kemudian diuji di adegan klimaks. Penonton pun menanti di ujung kursi,
sambil menebak-nebak apakah seluruh tindakan protagonis bakal terbayar lunas
atau tidak.
Beberapa norma lainnya berpengaruh pada skala lokal. Maksudnya,
norma-norma tersebut merupakan kasus khusus, yang hanya ditemukan dalam
beberapa film saja. Hal tersebut biasa terjadi dalam film-film garapan sutradara
eksentrik, macam Jean-Luc Godard dan Michelangelo Antonioni. Film-filmnya
Godard, misalnya, kerap mengandalkan inkoherensi audio dan visual dalam
narasinya. Dalam British Sounds (1970), Godard menggabungkan potongan
gambar suasana pabrik mobil dengan suara orang membaca artikel tentang
feminisme dan politik kiri26
. Di film Weekend (1967), Godard mengkombinasikan
adegan suami istri di ranjang dengan scoring film horror. Konvensi semacam itu
Godard terapkan dengan memegang prinsip bahwa audio dan visual masing-
masing memiliki potensi naratifnya sendiri. Oleh karena itu, sah-sah saja baginya
untuk membuat keduanya bercerita sendiri-sendiri.
Namun, menganalisa konvensi bukan berarti mengamini keberadannya
begitu saja. Konvensi tidak ada dengan sendirinya, baik yang umum maupun yang
marjinal. Konvensi, beserta tujuan yang diusung serta prinsip yang mendasarinya,
bisa ada karena ia berakar pada aktivitas penonton dan para pembuat film.
26
Jonathan Dawson. British Sounds. Senses of Cinema, 2005.
(http://archive.sensesofcinema.com/contents/cteq/05/37/british_sounds.html)
35
Kemampuan penonton memahami film berakar pada kehidupan dan konsumsi
film mereka sehari-hari. Penonton cenderung lebih mudah memahami konvensi
filmis yang menyerupai fenomena yang mereka temui sehari-hari.27
Bila dalam
suatu adegan ada karakter masuk dari pintu di sebelah kanan frame, orang bisa
memprediksi karakter itu akan keluar dari pintu di sebelah kiri frame dalam
adegan berikutnya. Prediksi tersebut bisa ada, karena seperti itulah yang orang
biasa lihat dalam kehidupan sehari-hari.
Konsumsi film sehari-hari kemudian menjadi pemantap kemampuan
visual penonton. Bahasa film pada dasarnya berbeda dengan bahasa visual dalam
media lain, seperti lukisan atau komik. Bahasa film sangat bergantung pada
gerakan, baik secara visual maupun aural. Gerakan tersebut berbeda di setiap film,
tergantung dari budaya mana film itu berasal. Ada perbedaan estetis yang kentara
dalam film Hollywood, Eropa dan Asia. Oleh karenanya, penggemar film
Hollywood cenderung tidak nyaman dengan gaya film Asia yang cenderung lebih
implisit dalam menyampaikan pesan. Di sisi lain, penggemar film Eropa
cenderung menyepelekan gaya film Hollywood yang bombastis dan mendikte
penonton.
Pada titik inilah, para pembuat film menentukan pilihannya. Dengan
asumsi mereka sejatinya penonton film juga, para pembuat film mendesain
bangunan filmnya dalam perspektif penonton: apakah cara mengambil gambar
seperti ini mengganggu penonton? Apakah tata cahaya seperti ini bisa
menyampaikan emosi film ini? Pertanyaan-pertanyaan semacam itu yang jadi
pertimbangan pembuat film dalam memilih konvensi apa saja yang akan ia pakai
dalam filmnya.
Namun, patut diingat bahwa kerja pembuat film diatur oleh regulasi
industri perfilman. Regulasi institusional macam sensor dan kode produksi
menentukan apa yang dilarang dan yang sebaiknya muncul dalam film.28
Konsekuensinya, pembuat film tidak punya kebebasan penuh atas kreativitasnya
sendiri. Walau pembuat film sudah yakin dengan desain filmnya, kalau memang
27
Op. Cit., Bordwell, hal. 67. 28
Ibid., hal. 28.
36
dilarang filmnya jelas tidak akan mungkin dirilis ke publik. Berdasarkan
perspektif ini, dapat disimpulkan kalau film berada pada dua faktor ekstrem:
kreativitas pembuat film dan regulasi industri. Kedua faktor itulah yang dimaksud
sebagai praktek (practices) dalam kerangka kerja analisis film yang ia rumuskan.
G. Tahap Penelitian
Penelitian ini terbagi ke dalam tiga tahap besar, dimana masing-masing
tahap punya langkah kerjanya sendiri yang distingtif. Tahap pertama penelitian ini
adalah pembagian film ke unit filmis terkecil berupa scene. Shot tidak dipilih
sebagai unit terkecil, karena satu shot belum tentu membentuk suatu ide. Scene,
yang bisa terdiri dari satu atau banyak shot, sebaliknya menawarkan ruang yang
cukup luas bagi fungsi dan peran cerita untuk membentuk suatu ide yang koheren.
Berikutnya scene-scene tersebut ditandai dan diurutkan secara numerik.
Masing-masing scene kemudian diberikan deskripsi kejadian, karakter yang
terlibat dan relasi antar karakter. Dengan begitu dapat ditentukan konklusi atau
solusi yang laten dalam masing-masing scene. Penentuan konklusi atau solusi
tersebut berguna dalam melihat fungsi-fungsi yang terkandung dalam suatu narasi
film.
Suatu fungsi yang muncul dalam satu scene bisa jadi berlanjut pada scene-
scene berikutnya, bisa juga tidak. Pada akhirnya ada fungsi yang dominan dalam
suatu film. Fungsi yang dominan tersebut diteliti lebih lanjut supaya diketemukan
alasan penggunaannya dalam film objek. Alasan itu merupakan relasi antara film
dengan konteks produksi kultural film tersebut dalam wujud representasi atau
ekspresi figuratif.
Tahap terakhir adalah peletakkan karakter dalam bagan oposisi biner. Hal
tersebut dilakukan untuk melengkapi pendekatan sintagmatik yang sudah
dipraktekkan di tahap sebelumnya. Pelengkapan metode tersebut menjadi
signifikan karena memungkinkan penelitian ini untuk menggali lebih dalam
struktur narasi film yang diteliti, bukan sekadar menganalisa urutan fungsi belaka.
37
BAB II
ASAL USUL FILM NOIR
Setiap studi film noir selalu memulai analisanya dengan pertanyaan yang
sama: apa itu film noir? Pertanyaan tersebut, bila dilacak lagi, bisa muncul karena
beragamnya pendapat para akademisi perihal film noir. Kebingungan tersebut
diperburuk dengan banyaknya kontradiksi yang ditemukan dalam pendapat-
pendapat tersebut. Mana yang benar: film noir sebagai genre, siklus, atau
gerakan?
Melihat film noir sebagai genre berarti melihat film noir sebagai
sekumpulan ide, yang direproduksi dalam ratusan film berjenis serupa. Dalam
pandangan ini film noir berarti suatu tipologi, yang dapat dipakai untuk
mengidentifikasi kualitas intrinsik suatu film. Satu elemen yang menjadikan film
noir terlihat sebagai sebuah genre adalah melodrama. Dalam konteks yang lebih
luas, melodrama adalah kesamaan kualitatif yang ditemukan dalam film-film
Hollywood klasik. Seperti yang ditulis Linda Williams, melodrama adalah
“modus utama seluruh sinema Amerika populer.” Williams berargumen lebih
lanjut kalau melodrama “sudah ditemukan sejak sinema Hollywood klasik” dan
“merupakan cara bercerita yang sangat Amerika, karena mengungkapkan
kenyataan moral dan emosional melalui dialektika antara pathos dan action29
.”
Dalam film noir, pathos dan action dikemas ulang dalam wujud plot cerita
kriminal dan konstelasi karakter dengan kode moral yang ambigu.
Namun beberapa akademisi menolak pandangan tersebut, dan memilih
melihat film noir sebagai sebuah siklus. Argumen mereka: bila film noir memang
genre, kenapa ada perbedaan yang esensial dalam film noir periode 40 sampai 50-
an dengan variasi-variasinya setelah periode tersebut? Sebagai sebuah siklus, film
noir dipandang elemen-elemen yang berulang sepanjang sejarah film. Esensinya
29
Linda Williams. Melodrama Revised dalam Nick Browne. Refiguring American Film Genres.
Los Angeles: University of California Press, 1998., hal. 42.
38
boleh beda, namun kemasan yang dipakai tetaplah film noir. Perspektif film noir
sebagai siklus di satu sisi mengakomodasi keberadaan film-film yang mirip film
noir, tapi aslinya bukan film noir. Di sisi lain, perspektif ini menyiratkan adanya
semacam kode suci, atau sekumpulan syarat yang menentukan apakah suatu film
murni noir atau tidak. Petunjuknya ada pada keberadaan film-film yang
dikategorikan dalam terminologi paska film noir, mulai dari neo-noir, post-noir
dan modern noir. Sisi kedua inilah yang menjadi dasar bagi perspektif film noir
sebagai suatu gerakan.
Alain Silver dan Elizabeth Ward pernah menulis bahwa film noir setara
dengan film western. Keduanya “merupakan estetika yang berakar langsung dari
psikis bangsa Amerika”, karena keduanya terwujud sebagai “refleksi diri bangsa
Amerika dalam bentuk film”.30
Faktor yang membedakan western dan film noir
adalah komitmen politiknya. Penulis dan sutradara film noir mayoritas beraliran
kiri, yang praktis memiliki faham liberal. Bahan mentah yang mereka gunakan
adalah novel-novel kriminal, yang mayoritas mengekspos kebobrokan yang
terjadi di lanskap sosial Amerika. Jangan dilupakan juga kalau pembaca novel-
novel tersebut adalah kelas pekerja, yang notabene merupakan perhatian utama
politik kiri.
Namun, perspektif film noir sebagai gerakan ini runtuh bila dihadapkan
pada fakta bahwa film noir merupakan fenomena komersil. Di satu sisi, betul ada
komitmen tersendiri dari banyak sutradara dan penulis film noir. Mereka
seringkali memasukkan kritik sosial ke dalam film-film yang mereka produksi. Di
sisi lain, popularitas film noir kurang lebih disokong oleh novel-novel kriminal
yang laku di pasaran.31
Para produser kemudian melihat novel-novel tersebut
sebagai materi yang secara finansial prospektif. Terjadilah perang pembelian hak
cipta dari novel-novel Raymond Chandler, Dashiell Hammett, James M. Cain,
Mickey Spillane, dan penulis-penulis cerita kriminal lainnya. Dari novel-novel
kriminal itulah, film noir menemukan basis ekonominya. Fakta lain yang
30
Alain Silver & Elizabeth Ward. Film Noir: An Encyclopedic Reference to the American Style.
New York: The Overlook Press, 1992, hal. 1. 31
Jean Pierre Chartier, The Americans Are Making Dark Films Too, dalam R. Barton Palmer.
Perspectives on Film Noir. New York: G. K. Hall and Co., 1996, hal. 25.
39
meruntuhkan perspektif film noir sebagai gerakan adalah belum ditemukannya
bukti adanya afiliasi antara para sutradara dan penulis naskah film noir. Bila
memang film noir merupakan suatu gerakan kolektif, seharusnya sudah ditemukan
semacam manifesto.
Dari penjelasan di atas, terpetakan konstelasi kebingungan seputar istilah
film noir. Perspektif genre melihat film noir sebagai elemen-elemen sinematik
yang direproduksi dalam karya-karya sejenis. Namun, sejarah menunjukkan
adanya perbedaan yang esensial dalam film-film sejenis noir yang muncul paska
tahun 60-an. Karena itu, ada yang beranggapan bahwa film noir sebagai siklus.
Mengambil inspirasi dari film-film noir era 40 sampai 50-an, yang dianggap
sebagai film noir „murni‟, beberapa pembuat film memproduksi film sejenis dari
tahun 60-an sampai sekarang. Pandangan ini pada perkembangannya melahirkan
pandangan lainnya: film noir sebagai gerakan. Maksudnya, ada semacam usaha
kolektif yang berkomitken mengembangkan film noir, baik secara estetis maupun
politis. Hal tersebut, menurut pendukung pandangan tersebut, yang menjadikan
film noir suatu badan karya yang sangat koheren. Namun, dari bukti yang ada,
tidak ada afiliasi yang termanifestasikan antara sutradara dan penulis naskah film
noir. Absennya manifesto di antara mereka menjadikan pandangan film noir
sebagai gerakan valid di beberapa aspek saja.
Pada titik ini terlihat bahwa masing-masing pandangan tentang film noir
memiliki keunggulan dan kekurangannya masing-masing. Menyikapi
kebingungan tersebut, James Naremore punya tesis yang cukup revolusioner.
Dalam bukunya yang berjudul Film Noir and Its Context (1998), Naremore
berpendapat bahwa film noir merupakan “sebuah warisan sinematik dan sebuah
ide yang kita proyeksikan ke masa lalu.” Pengaruh Michel Foucault sangat terasa
dalam pernyataan Naremore tersebut. Film noir bukanlah sebuah elemen yang
bisa dimaknai secara konstan seiring berjalannya waktu. Perkembangan sejarah,
baik di sejarah dunia maupun di sejarah film sendiri, membuat makna film noir
berubah bagi peneliti di masa depan.
Pemikiran Naremore tersebut juga menjelaskan esensi dari eksistensi film
noir: suatu ide dalam sinema Amerika yang diproyeksikan dari luar Amerika. Hal
40
ini bisa dilihat dari istilah film noir itu sendiri. Pada esensinya istilah film noir
tidak berarti apa-apa. Meski merujuk pada fenomena yang sangat Amerika, istilah
tersebut tidak berasal dari Amerika, melainkan dari Perancis. Lebih spesifik lagi,
dari Borde dan Chaumeton, dua kritikus Perancis yang memperhatikan
kecenderungan studio Hollywood memproduksi banyak film melodrama kriminal
dalam beberapa tahun terakhir. Di Hollywood sendiri, belum ada istilah untuk
menjelaskan keberadaan film noir. Baru pada era 70-an, satu dekade setelah film
noir berhenti diproduksi, istilah film noir mulai ramai dipakai di Amerika.32
Sebelumnya, kritikus Hollywood lebih memilih menggunakan istilah murder
melodrama, brass-knuckled thriller, atau hardboiled crime fiction: tiga istilah
prokem yang sampai sekarang tidak pernah diresmikan dalam kanon film noir.33
Sulitnya Hollywood menemukan istilah yang tepat untuk „film-film gelap‟
produksinya sendiri menyiratkan satu hal, yakni banyaknya elemen-elemen non-
Amerika yang terkombinasi dalam kosmos film noir. Istilah film noir yang berasal
dari Perancis hanyalah contoh kecil. Modus naratif, karakterisasi sampai kode
visual film noir bisa dilacak akarnya hingga ke luar Amerika. Dari sini terlihat
adanya kebutuhan meletakkan film noir dalam suatu kerangka besar, yang
mendedah Hollywood sebagai suatu panci besar, dimana pengaruh-pengaruh dari
luar Amerika tersebut digodok bersama kondisi sosial politik di Amerika. Oleh
karena itu, penelitian ini memulai pembahasannya dari kronologi perkembangan
ide yang terjadi sebelum film noir populer di Hollywood. Perkembangan ide yang
dimaksud terjadi pada dua ranah: di Amerika dan di luarnya. Pengaruh dari dua
ranah tersebut saling melengkapi dan mematangkan satu sama lain. Analisis dari
aspek yang sangat makro ini pada perkembangannya dapat berlanjut ke analisis ke
aspek-aspek yang lebih mikro dalam film noir.
Secara umum, elemen-elemen dasar film noir dapat dipilah ke dalam dua
kategori: literer dan sinematik. Kedua bidang tersebut masing-masing mendapat
pengaruh dari segala dinamika di lanskap sosial Amerika, dan masing-masing
32
Rebecca House Stankowski. Night of the Soul: American Film Noir. Studies in Popular Culture,
vol. 9, no. 1, 1986, hal. 63. 33
James Naremore. More Than Night: Film Noir in its Contexts. Berkeley: University of
California Press, 1998, hal. 17.
41
punya kontribusi terhadap terbentuknya film noir. Bidang literer
mengkontribusikan stok cerita dan penulis yang siap dipakai Hollywood dalam
produksinya. Dalam level yang lebih mikro, bidang literer merumuskan modus
naratif film noir. Kontribusi bidang literer tersebut dimatangkan oleh kontribusi
dari bidang sinematik. Kebingungan dan ambiguitas moral yang tadinya verbal
diterjemahkan jadi bahasa visual. Kolaborasi keduanya menghasilkan sebuah
fenomena dalam sejarah Hollywood yang kita kenal sebagai film noir.
A. AKAR LITERER FILM NOIR
Berkaitan dengan kelahiran film noir, Perang Dunia II merupakan fase
krusial bagi dunia literer Amerika, baik waktu perang berlangsung maupun
beberapa tahun setelah perang usai. Signifikansi periode tersebut disulut oleh
kehadiran teknologi baru yang menggemparkan industri percetakan Amerika:
paperback, alias cetakan buku dengan sampul tipis.34
Sebelum kehadiran
paperback, rumah-rumah penerbitan di Amerika begitu memandang format
hardcover, atau cetakan buku dengan sampul tebal. Bila ada seorang penulis yang
karyanya dirilis dalam format hardcover, bisa dijamin reputasinya akan
melambung naik.35
Sejak kehadiran paperback, segalanya berubah. Perubahan-
perubahan itulah yang nantinya menyiapkan panggung bagi kehadiran film noir di
Hollywood.
Publikasi dalam format paperback memiliki satu keunggulan, yang
dinikmati secara mutual oleh pihak penerbit dan penulis. Pihak penerbit dapat
mencetak dalam volum massal dengan harga yang sangat murah. Kualitas buku
yang dicetak memang tidak begitu baik: kertas tipis, sampul buku tipis, dan
penjilidannya hanya menggunakan lem saja.36
Untuk penyimpanan jangka
panjang, buku paperback kertasnya terlalu cepat menguning dan jilidannya mudah
lepas. Namun, bagi pihak penerbit, ketahanan produk bukanlah prioritas utama.
Pihak penerbit lebih mementingkan keuntungan yang cepat dari penjualan yang
34
Lee Server. Over My Dead Body: The Sensational Age of the American Paperback: 1945-1955.
San Francisco: Chronicle Books, 1994, hal. 34-35. 35
Ibid., hal. 42. 36
Ibid., hal. 37.
42
massif. Apalagi mereka sudah punya pasar sendiri: masyarakat kelas pekerja,
yang haus hiburan cepat dan murah.
Penulis di sisi lain memperoleh kebebasan artistik dalam merancang
karyanya. Pihak penerbit tidak memberi batasan apapun kepada penulis. Memang
ada konsumen yang harus dipikirkan, namun resikonya sangat kecil. Seperti yang
sudah dijelaskan: mayoritas pembaca novel-novel paperback adalah kelas pekerja
yang sangat haus hiburan. Hal ini jelas menguntungkan bagi penulis-penulis yang
butuh uang. Mereka dapat menulis cerita sevulgar, sebanal dan sekonyol yang
mereka inginkan. Mereka dapat menulis apapun yang mereka mau, asal cerita
mereka bisa dihabiskan dalam sekali duduk.37
Pada tahun 1946, tercatat ada 350 judul yang dicetak dalam format
tersebut. Bila dibandingkan dengan data tahun 1945, jumlah tersebut tiga kali
lipatnya. Ada lima penerbitan yang berjasa mempopulerkan format tersebut:
Signet, Avon, Popular Library, Dell, dan Bantam.38
Kelima penerbitan besar
tersebut dan beberapa perusahaan lainnya yang lebih kecil memproduksi
paperback secara massal. Konsekuensinya: penjualan majalah murah di loper-
loper koran menurun drastis, karena tergeser oleh novel-novel paperback.39
Kondisi ini kemudian melahirkan sejumlah nama tenar. Sebut saja: John
D. MacDonald, Charles Williams, Gil Brewer, David Goodis, dan Mickey
Spillane. Nama terakhir merupakan cerita sukses yang mentransformasi industri
percetakan di Amerika paska perang. Waktu itu, bagi banyak rumah penerbitan,
Spillane merupakan penulis kelas dua. Karyanya belum ada yang pernah dirilis
dalam hardcover. Cerita yang ia tulis hanyalah cerita kriminal biasa, jenis-jenis
cerita yang bisa ditemukan di koran kuning. Konsekuensinya: bayaran yang
Spillane terima juga kelas dua. Terlilit dalam kesulitan ekonomi akut, Spillane
sampai harus tinggal di tenda. Butuh suntikan dana cepat, ia pun menulis I, the
Jury.40
Di luar dugaan, ketika Signet merilisnya dalam format paperback, karya
37
Geoffrey O'Brien. Hardboiled America: Lurid Paperbacks and the Masters of Noir. New York:
Da Capo Press, 1997, hal. 32-33. 38
Ibid., hal. 22. 39
Op. Cit., Server, hal. 15. 40
Op. Cit., O‟Brien, hal. 34.
43
Spillane terjual laris sampai dua juta eksemplar.41
Pencapaian ini jelas
mengejutkan banyak rumah penerbit. Ketika novel tersebut akhirnya dirilis dalam
format hardcover, penjualannya hanya sampai angka tujuh ribu. Lantas beberapa
rumah penerbitan langsung rebutan meneken kontrak dengan Spillane. Beberapa
rumah penerbitan lainnya merilis ulang karya Spillane dalam format paperback.
Sisanya mulai mencari penulis-penulis yang mirip dengan Spillane.
Dalam waktu singkat, tercipta kebutuhan yang besar akan penulis cerita
kriminal. Sepanjang pertengahan era 40-an sampai awal 50-an, cerita kriminal
merupakan komoditas panas yang diincar para rumah penerbit.42
Rumah penerbit
yang mengeksploitasi perkembangan ini adalah Gold Medal. Mereka langsung
mengontrak tiga nama sebagai penulis regulernya: John D. MacDonald, Charles
Williams dan Gil Brewer. Mereka semua penulis muda, dan belum pernah merilis
ceritanya ke publik. Sejak tahun 1950 sampai 1951, mereka menulis secara
reguler dan karya-karyanya dirilis secara beruntun oleh Gold Medal.
Nama lain yang dikontrak oleh Gold Medal adalah David Goodis.43
Waktu
itu Goodis sudah tidak terlalu dipandang sebagai seorang penulis. Dulu ia pernah
sukses besar ketika merilis novel Dark Passage pada tahun 1946. Setahun
kemudian Warner Brothers mengadaptasinya ke format layar lebar. Film tersebut
tidak saja menjadi film noir awal-awal, tapi juga satu dari empat film yang
dibintangi oleh Humphrey Bogart dan Lauren Bacall. Keduanya merupakan
pasangan selebritis terkenal di Hollywood. Waktu itu hubungan mereka sedang
panas-panasnya dan ramai dibicarakan media. Bisa diprediksi film tersebut
sukses, dan Goodis menikmati keuntungannya.44
Dia pun direkrut oleh Warner
Brothers sebagai penulis naskah selama enam tahun. Sialnya, karier Goodis di
Hollywood tidak sukses. Beberapa naskahnya tidak diproduksi, karena dianggap
tidak memenuhi standar. Akhirnya, ia pun dipecat dan kembali menulis di
Philadelphia, kampung halamannya. Gold Medal pun mengontraknya, dengan
41
Op. Cit., Server, hal. 26. 42
Woody Haut. Pulp Culture and the Cold War . London: Serpent's Tail, 1995, hal. 9. 43
James Sallis. Difficult Lives: Jim Thompson, David Goodis, Chester Himes. New York:
Gryphon Books, 1993, hal. 42. 44
Ibid., hal. 48.
44
iming-iming kontrak yang besar dan prospek kesuksesan yang menggiurkan.
Goodis pun membayar kepercayaan Gold Medal dengan novel Cassidy’s Girl,
yang sukses memuncaki daftar penjualan buku di Amerika tahun 1951.45
Antusiasme terhadap cerita kriminal yang melanda industri percetakan
Amerika semakin ditunjang oleh publikasi cerita bersambung di koran-koran.
Setiap harinya di koran-koran Amerika ada segmen yang dikhususkan untuk cerita
bersambung. Cerita yang paling banyak diterbitkan adalah melodrama dan cerita
kriminal.46
Alasannya sederhana: cerita horror dan komedi terlalu sulit untuk
dijadikan bersambung. Dalam format pendek, cerita horror dan komedi hanya bisa
mengejutkan pembaca sekali. Bila dijadikan bersambung, mereka akan kehilangan
pesonanya. Sementara roman dan cerita kriminal bisa disambung berkali-kali,
asalkan intrik dan misteri dalam plotnya terus dinaikkan.
Berkaitan dalam film noir, ada tiga nama yang tenar karena rutin menulis
cerita bersambung di koran. Mereka adalah Dashiell Hammett, James M. Cain,
dan Raymond Chandler. Ketiganya pernah terlibat dalam kegiatan militer,
tepatnya di Angkatan Udara. Hammett malah pernah bekerja sebagai detektif
swasta. Pengalaman tersebut yang membedakan mereka dari kebanyakan penulis
cerita kriminal lainnya. Pasalnya, pengalaman mereka berpengaruh signifikan
terhadap proses kreatif mereka. Cerita-cerita yang mereka tulis jadi sangat detail.
Pembaca dapat mengikuti alur cerita mereka layaknya prosedur investigasi
kriminal. Selain itu, lagi-lagi berkat pengalaman di ranah militer, mereka dapat
merancang lanskap emosi karakter mereka begitu riil. Bahkan ketika mereka
memakai tokoh yang ambigu secara moral sebagai protagonis cerita, pembaca
tetap tertarik mengikuti, karena segalanya terasa riil.47
Regularitas kemunculan
cerita mereka di koran-koran memastikan nama mereka terpatri jelas di budaya
pop Amerika paska perang.
Dari perkembangan ini, Hollywood yang paling merasakan
keuntungannya. Ada tiga hal yang Hollywood dapatkan, dan ketiganya
45
Ibid., hal. 55. 46
Op. Cit., Haut, hal. 33. 47
Alexander N. Howe. It Didn't Mean Anything: A Psychoanalytic Reading of American Detective
Fiction. North Carolina: McFarland, 2008, hal. 78.
45
menciptakan semacam lingkaran yang menghidupi dirinya sendiri. Pertama, dan
ini yang paling kentara, Hollywood memperoleh stok cerita kriminal yang
melimpah. Seperti yang sudah dijelaskan di atas, hal ini bisa terjadi berkat rumah-
rumah penerbit yang merilis novel kriminal secara massal, dan koran-koran yang
mempublikasi cerita kriminal bersambung di halaman belakangnya. Ratusan
cerita kriminal tersebut kemudian menjadi bahan mentah yang Hollywood olah
menjadi sajian sinematik.
Lebih menguntungkan lagi buat Hollywood, cerita-cerita kriminal tersebut
hadir dalam berbagai macam tema. Film-film yang diproduksi jadinya sangat
beragam, meski tetap dapat dikotakkan dalam satu pendirian moral yang sama.48
Tema yang paling sering diangkat adalah cerita detektif yang pendiriannya mulai
goyah. Cerita detektif semacam itu berakar dari cerita-ceritanya Dashiell Hammett
di awal 40-an. Dua ceritanya, Maltese Falcon di tahun 1941 dan The Glass Key
setahun setelahnya, dianggap sebagai dasar dari modus naratif film noir. Tidak
heran kalau kemudian keduanya dianggap klasik dalam kanon film noir.
Memasuki pertengahan 40-an, pola cerita detektif dalam film noir
mengalami perkembangan. Kebimbangan yang dialami detektif, alias protagonis,
mulai dikaitkan dengan isu-isu politis, macam keluarga, lapangan pekerjaan, dan
mentalitas masyarakat Amerika yang konformis.49
Perkembangan tersebut paling
kentara dalam cerita-ceritanya Raymond Chandler, yang notabene merupakan
nama besar di budaya pop Amerika kala itu. Dibandingkan dengan cerita
Hammett yang mayoritas cerita investigasi kriminal, cerita Chandler lebih
memiliki muatan politis. Ada tiga cerita karya Chandler yang kemudian diadaptasi
oleh Hollywood, dan masing-masing mendapat nilai cemerlang baik dari kritikus
maupun penonton pada umumnya. Ketiga cerita itu adalah Farewell, My Lovely
(1942), The Big Sleep (1946), dan Lady in the Lake (1947).
Dua cerita terakhir bisa dianggap sebagai arketip penggarapan tema cerita
detektif dalam film noir pertengahan 40-an. Keduanya disatukan dalam modus
naratif yang serupa: seorang protagonis yang mendapati dirinya dalam suatu kasus
48
Ibid., hal. 33. 49
Ibid., hal. 53-55.
46
yang awalnya sederhana. Ketika kasus itu mulai berjalan, protagonis mendapati
banyak faktor-faktor luar yang tiba-tiba masuk. Tujuan awal dari kasus tersebut
pada perkembangannya tidak lagi jadi penting. Protagonis pun melakukan apapun
asal dia bisa bertahan hidup. Mendekati akhir cerita, dia pun baru menyadari kalau
sebenarnya kasus tersebut hanyalah konspirasi dari pihak-pihak yang hampir tidak
ada hubungannya dari protagonis. Dengan kata lain, protagonis mendapati
eksistensi dirinya hanyalah periferi dari eksistensi orang lain. Dia tidak penting,
dan oleh karena itu keberlangsungan hidupnya juga tidak signifikan. Pada titik ini,
protagonis biasanya mendapati dirinya dalam dua kondisi. Pertama, dia sukses
bertahan hidup tapi telah kehilangan segala hal penting dalam hidupnya. Kedua,
mati.
Dari pertengahan 40-an sampai akhir 50-an, mayoritas film noir dengan
tema cerita detektif memakai pola cerita yang nihilistik seperti yang dijelaskan di
atas. Dead Reckoning, misalnya.50
Film tahun 1947 karya John Cromwell tersebut
mengusung Rip Murdoch sebagai karakter protagonisnya. Sepanjang film,
Murdoch dibuat bingung oleh temannya yang mendadak hilang, persis setelah
temannya itu mendapat penghargaan dari militer. Saat mencoba menginvestigasi,
dia mendapati dirinya dijebak dalam konspirasi seorang perempuan yang ia tidak
kenal sama sekali. Perempuan itu pernah melakukan kesalahan di masa lalu, dan
ingin membersihkan namanya dengan mengorbankan hidup temannya Murdoch.
Out of the Past, film karya Jacques Tourneur tahun 1947, memiliki tema yang
serupa.51
Si protagonis cerita tiba-tiba didatangi oleh orang-orang dari masa
lalunya, yang ternyata belum selesai berurusan dengan si protagonis. Film D.O.A.,
karya Rudolph Mate tahun 1950, sejak awal malah memvonis kematian si
protagonis sejak awal cerita. Di awal cerita protagonis mendapati dirinya disuntik
oleh semacam racun yang akan membunuhnya dalam Sialnya lagi, racun tersebut
tidak ada penawarnya. Dia pun menghabiskan tiga hari berikutnya untuk melacak
siapa yang meracuninya, walaupun dia tahu usahanya sebenarnya sia-sia. Pada
akhirnya dia mati juga.
50
Frank Krutnik. In a Lonely Place: Film, Genre, Masculinity. London: Routledge, 1991, hal. 103-
114. 51
Ibid., hal 132-135.
47
Bila dilacak lagi, nihilisme dalam film noir sebenarnya tidak berakar dari
Hammett maupun Chandler. Keduanya memang meletakkan dasar dari plot film
noir, namun Cornell Woolrich yang secara detail mengembangkan nihilisme
dalam film noir. Woolrich adalah seorang penulis cerita kriminal yang sejaman
dengan Hammett dan Chandler. Seperti mereka berdua, karya Woolrich juga
cukup banyak dibeli Hollywood. Pada tahun 1942 sampai 1949, tercatat ada
sebelas cerita Woolrich yang diadaptasi ke versi layar lebar. Berkaitan dengan
proses kreatif, kesamaan Woolrich dengan Hammett dan Chandler terletak pada
protagonis cerita yang bimbang dengan pendirian moralnya. Namun, terlepas dari
kesamaan tadi, gaya berceritanya sangat jauh dari tradisi cerita kriminal „kasar‟
ala Hammett dan Chandler. Dia lebih menekankan pada pengalaman eksistensial
yang dialami saat investigasi ketimbang investigasinya sendiri. Bila
diterjemahkan dalam penuturan cerita, deskripsi tentang paranoia dan rasa
ketidakberdayaan lebih ditekankan ketimbang deskripsi investigasi dan prosedural
polisi.52
Dengan cara bertutur semacam itu, Woolrich dapat menulis berbagai
macam cerita di luar cerita detektif. Hollywood pun dapat mengolahnya jadi film
noir, yang meski masih mendepankan proses investigasi, namun berada di luar
tradisi cerita detektif. Fear in the Night, misalnya. Film karya Maxwell Shane
pada tahun 1947 merupakan adapatasi dari cerita Woolrich yang berjudul
Nightmare.53
Premisnya berkisar seputar seorang pekerja bank yang mimpi
membunuh seseorang dan menyembunyikannya di ruang antah berantah. Saat
terbangun, dia mendapati ada luka gores di lehernya, dan kunci di kantong
bajunya. Jadilah, dia mulai menginvestigasi dari mana sebenarnya semua itu. Pada
akhirnya, dia baru tahu kalau dirinya pernah dihipnotis oleh seorang mentalis.
Tentu saja mentalis punya agendanya sendiri. Contoh lainnya adalah Night Has a
Thousand Eyes. Film karya John Farrow tahun 1948 tersebut, yang diadaptasi dari
novelnya Woolrich, bercerita tentang seorang peramal yang sebenarnya tidak bisa
52
Alain Silver & Elizabeth Ward. Film Noir. London: Secker and Warburg, 1992, hal. 120. 53
Op. Cit., Krutnik, hal. 85-87.
48
meramal.54
Pada suatu hari dia mendadak bisa meramal, dan ramalannya itu
kelam. Temannya kemudian memanfaatkan ramalan tersebut untuk menumpuk
kekayaan, sementara si peramal menghadapi masalah-masalah gara-gara
kekuatannya tersebut.
Pada perkembangannya, penulis-penulis dengan gaya tutur seperti
Woolrich yang karya-karyanya diadaptasi jadi film noir non cerita detektif.55
High
Sierra adalah salah satu contohnya. Film garapan Raoul Walsh tahun 1941
tersebut diadaptasi dari novelnya W.R. Burnett. Novel tersebut berputar pada
sebuah aksi pencurian kasino, namun secara naratif novel tersebut didominasi
oleh kontemplasi sang protagonis, yang merasa bersalah terlibat dalam kegiatan
kriminal tersebut. Protagonisnya juga bukan seorang detektif, melainkan mantan
kriminal kelas kakap yang sudah uzur. Contoh lainnya adalah Dark Passage. Film
karya Delmer Davis tahun 1947 tersebut diproduksi dari novelnya David Goodis.
Novel tersebut menarasikan usaha seorang buronan yang mencoba mencari
pembunuh istrinya. Dia pun operasi untuk mengganti wajahnya, dan
konsekuensinya polisi jadi sulit menemukan keberadaan dia. Mirip seperti
Woolrich, Goodis juga lebih menekankan pada kebingungan yang dihadapi si
protagonis dalam melacak pembunuh istrinya. Hal tersebut kentara pada klimaks
cerita tersebut, ketika si protagonis menghadapi dilema moral saat mengetahui
identitas pembunuh istrinya. Mirip seperti Woolrich juga, Goodis tidak memakai
seorang detektif sebagai protagonis ceritanya.
Banyak karya dari penulis-penulis cerita kriminal yang ceritanya
diadaptasi Hollywood kemudian diterjemahkan oleh Gallimard, sebuah rumah
penerbitan di Perancis. Gallimard merilis karya-karya tersebut dengan tajuk Serie
Noire, atau bila diterjemakan „serial cerita kelam‟.56
Antara tahun 1948 sampai
1953, Gallimard secara reguler menerbitkan novel-novel karya Chandler,
Hammett, Burnett dan Goodis dalam bahasa Perancis. Novel-novel tersebut
54
Ibid., hal. 89. 55
Nino Frank, The Crime Adventure Story: A New Kind of Detective Film, dalam R. Barton
Palmer. Perspectives on Film Noir. New York: G. K. Hall and Co., 1996, hal. 23. 56
Brian Rigby & Nicholas Hewitt. France and the Mass Media. Houndmills: Macmillan, 1993,
hal. 90.
49
Gallimard terbitkan dalam format paperback juga, sehingga mudah dijangkau
oleh pembaca dari semua kalangan ekonomi. Tidak heran kalau kemudian
publikasi Gallimard ini kemudian jadi cukup populer di Perancis. Serie Noire pun
jadi bagian budaya pop Prancis di akhir 40-an sampai pertengahan 50-an. 57
Serial publikasi Gallimard tersebut berjasa jadi semacam pendongkrak
popularitas istilah film noir di Perancis. Sejarah mencatat bahwa istilah film noir
secara „resmi‟ diformulasikan pada tahun 1955. Adalah Borde dan Chaumeton
yang mencoba mendedah dan mendefinisikan film noir dalam buku mereka, A
Panorama of Film Noir. Sebelum itu, istilah film noir memang sudah digunakan
di kalangan kritikus Perancis. Hal tersebut terlihat dalam jurnal-jurnal film
Perancis kala itu yang secara reguler meresensi film noir.58
Namun, dunia kritikus
adalah dunia yang sangat eksklusif. Sedikit sekali kontak mereka dengan
masyarakat Perancis pada umumnya, kecuali tentu saja di klub film dan kalangan
penggemar film. Penonton yang melihat film murni sebagai hiburan tidak terlalu
terpengaruh dengan opini para kritikus film Perancis, yang mayoritas sangat
filosofis dan jarang menggunakan bahasa sehari-hari. Wawasan dan ketertarikan
mereka terhadap film noir praktis disemai melalui novel-novel kriminal yang
diterbitkan Gallimard. Melalui buku-buku itulah, istilah film noir tersebar luas di
masyarakat Perancis, jauh sebelum ia resmi dirumuskan.59
Satu alasan kenapa Perancis jadi negara pertama yang menggandrungi film
noir adalah berubahnya lanskap sosial Perancis paska Perang Dunia II. Waktu itu,
Perancis mengalami kondisi yang terbalik dari Amerika. Meski sama-sama baru
berpartisipasi dalam Perang Dunia II, Perancis tidak mengalami kemakmuran
ekonomi yang dialami Amerika. Banyak infrastruktur negara yang hancur karena
amukan perang. Industri sinema Perancis praktis turut tersendat, meski tidak
separah Italia yang sampai tidak punya studio film lagi. Untuk memenuhi
bioskop-bioskop, dan menyediakan hiburan bagi rakyatnya yang baru saja didera
57
Op. Cit., Naremore, hal. 12. 58 Robert Ottoson. A Reference Guide to the American Film Noir: 1940-1958. Metuchen, N.J.:
Scarecrow Press, 1981. (hal. 217) 59
Op. Cit., Stankowski, hal. 62.
50
perang, Perancis mengimpor film-film dari Amerika.60
Pada saat yang sama, film
noir sedang naik daun di Hollywood. Jadilah, film-film kriminal beratmosfer
kelam tersebut migrasi massal menyeberangi samudera Atlantis.
Namun, relasi Amerika dan Perancis tidak berhenti sampai perumusan
istilah film noir saja. Masuknya film noir berdampak besar bagi perkembangan
wacana di Perancis. Kecenderungan novel-novel kriminal tersebut memakai
protagonis yang kode moralnya ambigu sangat menarik perhatian para pemikir
Perancis. Mayoritas pemikir Perancis yang tertarik dengan ide tersebut adalah
para pemikir eksistensialis. Sudah jadi rahasia umum juga kalau Jean-Paul Sartre,
pemikir eksistensialis paling terkenal di Perancis dan seantero dunia, punya
kecintaan yang besar terhadap novel-novel petualangan dan kriminal. Secara
spesifik, mereka menyorot bagaimana film noir tidak terlalu menekankan peran
detektif sebagai investigator, melainkan sebagai individu yang kesadarannya
terganggu karena hambatan-hambatan yang ia hadapi selama menjalani suatu
kasus. Mereka juga sama tertariknya dengan kecenderungan kedua dalam naratif
film noir, yang memasang karakter-karakter yang sejak awal ambigu kode
moralnya, seperti mantan kriminal di High Sierra dan buronan di Dark Passage,
sebagai protagonis. Semua itu sejalan dengan garis pemikiran mereka, yang
melihat manusia bukan sebagai individu yang utuh dengan segala esensinya yang
terpetakan secara jelas, melainkan sebagai eksistensi yang kosong. Manusia harus
berusaha mendefinisikan dirinya terus-menerus, di hadapan setiap hambatan yang
mereka lalui selama hidupnya. Dalam pandangan eksistensialis, manusia dikutuk
untuk terus berubah. Ia akan selalu menyangkal masa lalunya, dan merevisi
dirinya sampai akhir hayatnya.
Kondisi paska perang juga turut mengompori ketertarikan pemikir
eksistensialis terhadap film noir. Perang Dunia II secara umum merupakan
pengalaman yang traumatis bagi masyarakat Perancis. Menurut Naremore,
Perancis sebelum dan sesudah perang adalah „negara yang terjebak dalam
60
Raymond Borde & Etienne Chaumeton. A Panorama of American Film Noir: 1941-1953. San
Francisco: City Lights Publishers, 2002. (hal 1-2)
51
sejarah‟.61
Masyarakat Perancis adalah masyarakat yang sangat terbebani dengan
sejarah mereka yang penuh dengan revolusi. Perang Dunia II, periode yang penuh
penderitaan dan ketidakberdayaan, jadi semacam bercak hitam di lembaran
sejarah Perancis yang penuh kegemilangan. Tidak heran kalau masyarakat
Perancis kemudian menyebut periode tersebut sebagai les annees noires, atau
„tahun-tahun kegelapan‟.62
Krisis tersebut mendorong banyak pemikir
eksistensialis untuk menyorot film-film noir Amerika, yang notabene
membahasakan kegelisahan mereka dalam format yang sangat populis. Para
pemikir tersebut kemudian menuangkan hasil refleksi mereka dalam bentuk esai
dan buku.
Di sisi lain, Amerika mulai menyerap pemikiran dari kawan Eropanya.
Berkembangnya industri percetakan di Amerika, yang disebabkan oleh
meningkatnya kondisi perekonomian Amerika paska perang, menyebabkan
banyak literatur asing yang diterjemahkan dan diterbitkan di Amerika. Literatur
yang cukup banyak dipublikasikan di Amerika adalah karya-karya para pemikir
eksistensialis tersebut, mengingat di waktu yang sama eksistensialisme sedang
jadi trend di Perancis dan Eropa pada umumnya. Novel-novel eksistensialis
macam La Nausee karya Sartre dan L’estranger karya Albert Camus mulai
mendapatkan audiens di Amerika. Konsekuensinya: masyarakat Amerika secara
umum mulai familiar dengan istilah-istilah eksistensialis, seperti kegelisahan,
kecemasan dan kesendirian. Konsekuensi yang lebih mikro: komunitas praktisi
literer di Amerika turut terpengaruh dan mulai merajut pemikiran eksistensialis ke
dalam karya-karya mereka. 63
Termasuk dalam komunitas itu adalah para penulis
cerita kriminal.
Adalah kondisi paska perang yang menyemai ketertarikan masyarakat
Amerika terhadap eksistensialisme. Pada titik ini, diperlukan adanya semacam
penjelasan tentang kondisi sosio-politik Amerika paska perang. Pasalnya, hal
itulah yang kemudian berpengaruh ke perkembangan dunia literer Amerika paska
61
Op. Cit., Naremore, hal. 22-23. 62
Ibid., hal. 25. 63
Malcolm Bradbury, The Modern American Novel. Oxford: Oxford University Press, 1992, hal.
165.
52
perang, dan film noir di Hollywood. Seperti yang sempat disinggung sebelumnya,
Amerika mengalami kemakmuran yang tidak terduga paska Perang Dunia II.64
Hal ini mengejutkan karena beberapa tahun sebelum perang terjadi, Amerika
sedang tertatih-tatih bangkit dari depresi ekonomi yang melanda seantero negeri.
Setelah depresi ekonomi, Amerika perlahan-lahan membangun industrinya
kembali, dengan mental siaga satu kalau-kalau ekonomi negara kembali ambruk.
Namun, Perang Dunia II mengubah segalanya. Ada dua alasan kenapa Perang
Dunia II jadi titik balik perekonomian Amerika. Pertama, perang tersebut tidak
berlangsung di tanah Amerika, tapi di Eropa. Alhasil, infrastruktur Amerika tidak
ada yang tersentuh tembakan peluru maupun ledakan bom, sementara kota-kota di
Eropa luluh lantak akibat amukan perang. Kedua, Amerika terlibat dalam banyak
perdagangan dan kegiatan ekonomi di Eropa, baik saat perang maupun setelahnya.
Sewaktu perang berlangsung, kebutuhan senjata dan kendaraan tempur di Eropa
sangatlah tinggi. Amerika yang memenuhi kebutuhan tersebut dengan
memproduksi peralatan perang secara massal. Seusai perang, negara-negara di
Eropa banyak mengalami kerugian. Amerika yang membantu dengan
menyuntikkan dana bantuan. Dari kegiatan tersebut, Amerika menikmati bunga
dari piutang yang dibayar oleh negara-negara Eropa tersebut.
Kemajuan ekonomi paska perang berujung pada membaiknya kondisi
hidup di Amerika. Perekonomian negara terus berkembang dan Amerika memiliki
kekuatan militer dan ekonomi yang besar. Belum lagi, pendapatan dari piutang
memastikan adanya pendapatan tetap dalam jumlah yang besar ke kas negara.
Masa depan terlihat begitu cerah bagi Amerika. Namun, hal ini kemudian
berimplikasi pada kesadaran masyarakat Amerika. Kondisi kritis selama depresi
ekonomi dengan cepat dilupakan oleh masyarakat Amerika. Kekayaan yang tak
terhingga menjadikan depresi ekonomi terlihat sebagai suatu pengecualian dalam
sejarah Amerika. Konsekuensinya: mentalitas dan pola hidup masyarakat
Amerika ikut berubah.
Ada dua isu yang berkembang di masyarakat Amerika paska perang.
Pertama, materialisme. Membaiknya perekonomian negara sangat membantu
64
Ibid., hal. 262.
53
kemajuan industri. Lapangan kerja, yang tadinya dijalankan dengan penuh siaga,
kini begitu bebas dan terbuka. Masyarakat Amerika, terutama mereka yang
kembali seusai bertugas sebagai tentara sukarela selama perang, berbondong-
bondong mendaftarkan diri ke pabrik dan kantor terdekat. Memasuki dunia kerja,
para pekerja pabrik dan karyawan kantor dapat dengan cepat menumpuk
kekayaan, karena iklim kerja sedang sangat kondusif. Akibatnya, konsumsi
masyarakat meningkat drastis. Pusat perbelanjaan terus berkembang, karena
masyarakat dapat belanja sesuka hati dengan pendapatannya yang melimpah.
Tempat-tempat hiburan, seperti taman bermain dan bar-bar, juga ramai didatangi
pengunjung. Alasannya: kondisi hidup masyarakat yang terus meningkat
memungkinkan pemanfaatan waktu luang yang lebih hedonistik.65
Tadinya, waktu
depresi ekonomi masih melanda, masyarakat Amerika harus mengeluarkan
banyak usaha dan menghabiskan banyak waktu hanya untuk memastikan ada
cukup makanan di meja makan setiap hari. Dengan kondisi perekonomian yang
membaik setelah perang, masyarakat Amerika tidak perlu bekerja sekeras dulu.
Waktu luang makin banyak. Makanan, kebutuhan dasar yang tadinya begitu sulit
dipenuhi, tidak lagi jadi masalah. Apalagi dengan adanya inovasi industri, seperti
kulkas dan makanan kaleng, masyarakat Amerika tidak perlu lagi repot soal isi
perut. Waktu luang masyarakat untuk senang-senang jadi lebih banyak.
Banyaknya waktu luang tersebut mendorong perpindahan penduduk dari
kota ke pinggir kota. Dihadapkan dengan waktu luang yang banyak, masyarakat
Amerika tentu harus mencari cara bagaimana menikmati semua itu sebaik
mungkin. Mereka pun memilih untuk pindah dan menetap di pinggir kota.
Kehidupan di pinggir kota menjadi begitu menggoda, karena di sana tidak seramai
di tengah kota. Orang dapat menjalani hobi dan kesenangannya masing-masing
tanpa harus terganggu bisingnya pabrik dan lalu lintas kota yang semakin padat.
Kepemilikan mobil pribadi yang terus meningkat, ditambah dengan membaiknya
sistem transportasi publik, masyarakat Amerika dapat pergi pagi ke kota untuk
kerja dan pulang sore ke rumah dengan mudah.
65
Nina C. Leibman. The Family Spree of Film Noir. Journal of Popular Film and Television, 1989,
hal. 173.
54
Namun, kehidupan di pinggir kota sangatlah jauh dari keramaian. Daerah
pinggir kota belum dikembangkan sebaik daerah di tengah kota. Pusat
perbelanjaan dan hiburan tidak begitu banyak di sana. Oleh karena itu, di pinggir
kota banyak berkembang kegiatan komunitas untuk mengisi kekosongan hidup
para penghuninya. Gereja, kegiatan pemuda dan arisan ibu-ibu merupakan
kegiatan yang sangat populer di sana. Pada perkembangannya, kegiatan-kegiatan
komunitas tersebut berpengaruh ke pembentukan keluarga di Amerika. Setiap
anggota keluarga di Amerika, kecuali bapak yang sebagian waktunya terpakai
untuk kerja, mendapati dirinya berkembang dalam ruang yang komunal.66
Dalam
kegiatan-kegiatan komunitas yang berkembang di daerah pinggir kota, terdapat
semacam hukum tak tertulis yang mewajibkan individu untuk mengikuti
konsensus komunitas. Kegiatan di gereja secara makro mengacu pada isi kitab
suci, dan secara mikro mengikuti kebijakan yang diterapkan pendeta dan dewan
gereja. Sementara, kegiatan pemuda dan arisan ibu-ibu sangat menekankan
kebersamaan para anggota, yang diikat oleh kebutuhan dan tujuan bersama.
Pola kehidupan komunal tersebut yang menjadi dasar bagi isu kedua
dalam lanskap sosial Amerika paska perang: konformisme. Kehidupan komunal
menyaratkan setiap individu menekan kepentingan pribadi, dan mengedepankan
kepentingan bersama. Bila dikaitkan dengan konteks negara, tendensi komunal
tersebut sejalan dengan kebijakan pemerintah Amerika saat itu. Perang
mendorong pemerintah Amerika untuk menuntut integritas masyarakatnya. Dalam
rasional pemerintah, masyarakat perlu mendukung tentara-tentara Amerika yang
terjun ke medan perang, karena mereka yang membawa nama baik dan harga diri
bangsa. Setelah perang usai, pemerintah tetap menuntut integritas masyarakatnya.
Pasalnya, meningkatnya kesejahteraan hidup paska perang membuat pemerintah
bisa berdalil bahwa „cara Amerika‟ (the American way) adalah cara yang sudah
terbukti sukses. Penyelewengan atau subversi dari cara Amerika jelas hanya akan
membawa kemalangan, baik bagi individu yang menyeleweng maupun negara
yang menanggung kebebalan individu tersebut. Perang dingin dengan Uni Soviet
66
Sylvia Harvey, Women's Place: The Absent Family of Film Noir, dalam E. Ann Kaplan. Women
in Film Noir. London: British Film Institute, 1972., hal. 23-25.
55
membuat pemerintah Amerika makin punya alasan untuk mengagungkan cara
Amerika. Bagi pemerintah Amerika, perang dingin mengerucutkan antagonis
negara ke satu hal: komunisme. Siapapun yang hidup dengan cara komunis di
tanah Amerika, maka ia akan dianggap tidak relevan dan pantas disingkirkan.
Fenomena tersebut pada perkembangannya merasuk ke kehidupan
keluarga. Sebagai unit politik terkecil, keluarga menyerupai negara. Ada figur
pemimpin dan perumus kebijakan, yaitu bapak. Ada figur penyeimbang dan
partner bertukar ide, yaitu ibu. Ada figur yang kesejahteraan hidupnya tergantung
pada pemimpinnya, yaitu anak-anak. Seperti yang sudah dijelaskan, pemerintahan
Amerika paska perang sangat mendorong kebersamaan. Keluarga pun dituntut
untuk melakukan hal yang sama. Pemerintah melihat keluarga sebagai medium
yang efektif untuk penanaman nilai-nilai yang dibutuhkan pemerintah. Sasarannya
utamanya jelas anak-anak, mengingat orang tua yang berperan sebagai penentu
orientasi dapat memanajemen anaknya agar berkembang dengan nilai-nilai
patriotik. Perihal kebutuhan ini, laki-laki memegang peran yang sangat penting.
Dengan industri Amerika paska perang yang sangat padat tenaga kerja, laki-laki
jelas sangat dibutuhkan kontribusinya. Apalagi Amerika baru kedatangan stok
laki-laki pengangguran, yakni laki-laki yang kembali dari tugasnya sebagai tentara
sukarelawan. Tidak heran kalau kemudian laki-laki sangat mendominasi lapangan
kerja.
Sebagai yang menafkahi keluarga, laki-laki tentu perlu mendapat
perlakuan khusus dalam keluarga.67
Mereka, seperti tentara yang terjun ke medan
perang, yang membawa nama baik dan harga diri keluarga. Dengan kentalnya
kultur materialistis di Amerika paska perang, nilai suatu keluarga di hadapan
lingkungannya praktis ditentukan oleh kesejahteraan hidupnya. Laki-laki yang
bertanggungjawab atas kesejahteraan hidup keluarganya. Oleh karena itu, secara
sadar maupun tidak sadar, laki-laki diperlakukan khusus dalam keluarganya. Laki-
laki sebagai suami dan bapak sangat dipatuhi oleh istri dan anak-anaknya, karena
mereka dianggap telah mengorbankan kepentingan pribadinya demi
67
Deborah Thomas. Film Noir: How Hollywood Deals with the Deviant Male. CineAction!, 1986,
hal. 21-22.
56
keberlangsungan keluarganya. Hanya lewat kepatuhan terhadap suami/bapak,
suatu keluarga bisa berjalan optimal pada dasar nilai yang sama. Singkatnya, di
Amerika paska perang, keluarga merupakan cerminan dari pemerintahan yang
totaliter.
Kecenderungan tersebut tentunya mempengaruhi formasi keluarga. Ada
tiga aksioma yang mendasari pembentukan mayortias keluarga Amerika paska
perang. Pertama, ego laki-laki berkaitan erat dengan potensi ekonominya. Bagi
masyarakat Amerika waktu itu, keluarga yang baik adalah keluarga yang
dipimipin oleh laki-laki yang sehat dan siap kerja. Hal ini penting bagi citra laki-
laki di pergaulannya, baik di lingkungan kerjanya, lingkungan tempat tinggalnya,
maupun di hadapan keluarganya sendiri. Kedua, kelayakan perempuan berkaitan
erat dengan dukungannya pada suami. Dukungan tersebut terwujud dalam
keberadaan mereka di rumah untuk menyediakan rumah tangga yang kondusif
bagi suaminya, dan menjaga perilakunya sebagai perempuan dengan hidup sesuai
norma yang berlaku. Dengan menjaga citra baik dirinya, perempuan turut menjaga
citra baik suaminya. Kepatuhan yang serupa juga harus dijalankan oleh anak-
anak. Sampai pada batas tertentu, mereka adalah wajah dari keluarganya. Semua
kegiatan yang anak-anak jalani pada akhirnya akan dikaitkan dengan bapaknya.
Kepatuhan anak-anak pada bapaknya, itulah aksioma ketiga dalam pembentukan
keluarga Amerika paska perang.
Aksioma-aksioma tersebut pada perkembangannya jadi tekanan tersendiri
bagi laki-laki dan perempuan yang menjalani kehidupan berkeluarga. Laki-laki,
sebagai yang menghidupi keluarga, tertekan harus terus menerus menjalani siklus
kerjanya. Kehidupan mereka sangat diatur oleh jam kerjanya. Pasalnya, jam kerja
yang tadinya merupakan kesempatan untuk aktualisasi diri, kini jadi tekanan
untuk terus menerus aktualisasi diri. Laki-laki harus menjaga citra baik tentang
dirinya. Mereka sangat menghindari cacat fisik dan melakukan kesalahan fatal di
pekerjaannya, karena kedua hal tersebut akan berpengaruh ke potensi ekonomi si
laki-laki. Tanpa fisik yang optimal dan reputasi yang bersih, seorang laki-laki
akan tercoreng citranya. Dia pun akan sulit memperoleh perhatian di lingkungan
kerjanya, tempat tinggalnya, dan tentu saja keluarganya.
57
Di sisi lain, perempuan sangat tertekan oleh batasan-batasan yang harus ia
alami sebagai istri dan ibu rumah tangga.68
Eksistensi perempuan terbatas pada
eksistensi suaminya, dan hal tersebut menempatkan perempuan dalam kondisi
yang serba salah. Kalau istri tidak mampu menyediakan rumah tangga yang
kondusif bagi suaminya, maka ia akan dianggap tidak layak oleh lingkungannya.
Kalau ia tidak mau melayani suaminya, maka ia akan dianggap membangkang
dari keluarga. Kalaupun ia mampu menjalani perannya sebagai seorang istri tapi
suaminya gagal dalam pekerjaannya, perempuan tetap disalahkan, karena itu
berarti perempuan kurang mendukung suaminya. Kondisi ini sangat kontras
dengan kondisi perempuan saat perang. Mereka dapat keluar rumah untuk kerja di
pabrik maupun di kantor. Dengan begitu mereka dapat menghidupi keluarganya,
dan hal tersebut membuat perempuan jadi percaya diri dan punya harga diri.
Perang usai, para suami kembali, dan perempuan kembali jadi pengurus rumah
tangga lagi. Batasan tersebut menjadi tekanan tersendiri bagi perempuan di
Amerika paska perang.
Tekanan-tekanan itulah yang kemudian diolah para penulis cerita kriminal
ke dalam karya-karyanya. Menolak potret Amerika yang digembar-gemborkan
pemerintah, mereka menulis cerita-cerita kriminal yang membingkai negaranya
dalam potret kegelisahan.69
Protagonis yang mereka pakai adalah laki-laki yang
jadi korban alienasi sosial. Mereka teralienasi karena satu kesalahan fatal yang
mereka lakukan dalam pekerjaannya. Opsi lainnya: para protagonis tersebut
melakukan penyelewengan dalam pekerjaannya. Mereka mengambil keputusan
yang berlawanan dari apa yang seharusnya dilakukan, dan itu dilakukan untuk
kepentingan pribadi. Kepalang basah, ia pun mengambil segala cara untuk
menyelesaikan masalahnya. Tentu saja usahanya menyelesaikan masalah pada
akhirnya banyak melabrak batas-batas sosial yang menghadangnya.
Di tengah usahanya menyelesaikan masalah, protagonis laki-laki tersebut
bertemu dengan seorang femme fatale. Istilah tersebut berasal dari bahasa
Perancis, dimana femme berarti „perempuan‟ dan fatale berarti „berbahaya‟.
68
Op. Cit., Leibman, hal. 170. 69
Op. Cit., Bradbury, hal. 256-258.
58
Perempuan tersebut dianggap berbahaya, karena ia mewakili segala hal yang laki-
laki tidak temui di istrinya dan keluarganya.70
Dengan kata lain, femme fatale
mewakili segala penyelewengan norma yang berlaku di Amerika paska perang.71
Namun, femme fatale menjadi semacam terapi bagi protagonis laki-laki.
Keberadaannya jadi semacam insentif bagi protagonis laki-laki untuk menata
pikirannya, membangkitkan semangat hidupnya, dan mengambil inisiatif untuk
menyelesaikan segala masalah yang melingkarinya.
Femme fatale sendiri, dalam novel-novel kriminal, selalu dikontraskan
dengan suami yang cacat secara fisik. Baik itu suami yang sedang ia nikahi, yang
dulu pernah ia nikahi, maupun yang sudah ia bunuh. Kontras tersebut jadi
semacam satir dari tekanan yang dialami perempuan Amerika paska perang. Para
femme fatale tersebut gelisah dengan batasan-batasan yang harus jalani di
rumahnya. Sementara itu, suaminya, yang notabene menjadi pembatas eksistensi
si femme fatale, tidak mampu berbuat apa-apa untuk memperbaiki suasana di
rumah.72
Hal itu yang kemudian jadi motivasi bagi femme fatale untuk keluar dari
rumah, dan merumuskan segala konspirasi untuk memuaskan dirinya.73
Korban
dari semua ini tentu saja para laki-laki di sekitar femme fatale.
Relasi laki-laki dan perempuan yang dijelaskan di atas merupakan plot
dasar novel-novel kriminal Amerika paska perang. Plot tersebut yang kemudian
tercetak dalam ratusan novel kriminal, yang dirilis secara massal oleh rumah-
rumah penerbitan. Format paperback memungkinkan masyarakat umum
mengakses novel-novel tersebut dengan harga murah. Oleh karena itu, pada
perkembangannya, masyarakat Amerika mulai familiar dengan konvensi-konvensi
yang ada dalam novel kriminal. Semua itu sudah terpatri dalam memori kolektif
dan budaya pop masyarakat Amerika. Studio-studio Hollywood pun melihatnya
sebagai kesempatan untuk mengais keuntungan. Produksi film noir pun dimulai.
70
Janey Place, Women in Film Noir, dalam E. Ann Kaplan. Women in Film Noir. London: British
Film Institute, 1978, hal. 52. 71
Ibid., hal. 54. 72
Ibid,. hal. 36. 73
Ibid,. hal. 53.
59
B. AKAR SINEMATIK FILM NOIR
Layaknya yang terjadi dengan dunia literer Amerika, tahun-tahun paska
Perang Dunia II merupakan tahun yang krusial bagi Hollywood. Pasalnya, tahun-
tahun tersebut adalah tahun dimana Amerika banyak menyerap pengaruh dari
Eropa, yang pada perkembangannya menjadi formula visual bagi film noir. Era
40-an sebenarnya merupakan periode yang sangat berwarna di Hollywood.
Bioskop-bioskop di Amerika waktu itu masih bekerja di bawah satu standar
pemutaran. Pemutaran setiap harinya selalu terdiri dari laporan berita, kartun
pendek, informasi film-film yang akan rilis, dan dua slot film panjang.74
Dua slot
film panjang tersebut dilabeli dengan slot A dan slot B. Slot A dikhususkan untuk
film-film blockbuster, film-film yang diproduksi oleh studio besar dan
memperoleh publikasi yang massal. Slot B dikhususkan untuk film-film
pelengkap, atau istilah populernya film B, alias film-film yang diproduksi oleh
studio kecil dengan bujet yang sangat murah dan publikasi yang ultra minim. Bila
dipilah berdasarkan genre, slot A biasanya memutar film-film kolosal, drama dan
komedi; sementara slot B umumnya memutar film horror, kriminal, dan sains-
fiksi.75
Dari sini terlihat bahwa dengan duduk seharian penuh di bioskop, orang
Amerika bisa memperoleh berbagai macam hiburan tanpa harus bersusah payah.
Sekuens pemutaran di bioskop yang variatif tersebut ditopang dengan
produksi film di Hollywood yang sama variatifnya. Setiap minggunya,
masyarakat Amerika rata-rata dapat memilih di antara 8-12 film baru.76
Bila
dipilah berdasarkan genre, masyarakat Amerika setiap minggunya dapat memilih
antara film musikal, western, kriminal, dan drama. Empat genre itulah yang paling
banyak diproduksi selama dekade 40-an. Kalau melihat film-film populer tahun
1940-an yang masuk ke dalam daftar Badan Pendaftaran Film (National Film
Registry), atau film-film populer Amerika dari periode tersebut yang dianggap
penting secara kultural dan estetis, maka akan muncul judul-judul seperti The
Great Dictator (disutradarai oleh Charlie Chaplin, pada tahun 1940), Citizen Kane
74
Op. Cit., Stankowski, hal. 61. 75
Joel W. Finler. The Hollywood Story, 3rd edition. London and New York: Wallflower, 2003.,
hal. 47-49. 76
Op. Cit., Stankowski, hal. 62.
60
(Orson Welles, 1941) How Green Was My Valley (John Ford, 1941), Maltese
Falcon (John Huston, 1941), Shadow of a Doubt (Alfred Hitchcock, 1943), Laura
(Otto Preminger, 1944) , Meet Me in St. Louis (Vicente Minelli, 1944), Mildred
Pierce (Michael Curtiz, 1945), It’s a Wonderful Life (Frank Capra, 1946), The
Treasure of Sierra Madre (John Huston, 1948) dan All the King’s Men (Robert
Rossen, 1949).77
Dari daftar itu saja, sudah terlihat betapa variatifnya film-film
yang Hollwood produksi selama periode 40-an.
Namun, dari segala jenis film tersebut, ada satu jenis film yang secara
konstan diproduksi: film kriminal. Genre film lainnya mengalami pasang surutnya
masing-masing. Film musikal tidak lagi diproduksi secara massal menjelang awal
50-an. Alasannya: kesulitan mencari ide yang segar, karena film musikal adalah
genre yang hampir tidak mungkin dibuat sekuelnya.78
Sementara film western
mulai kehilangan penonton, karena penduduk Amerika pada umumnya mulai
terbiasa dengan pemandangan kota. Seperti yang sudah dijelaskan, pertumbuhan
ekonomi paska perang menyebabkan banyak desa yang tumbuh jadi kota kecil,
dan banyak kota kecil yang jadi kota besar. Pemandangan alam yang banyak
disuguhkan dalam film western jadi tidak relevan lagi.79
Film drama, di sisi lain,
tetap konstan diproduksi. Sebagai sebuah genre, film drama sebenarnya tidak
terlalu terikat kondisi sosial. Apapun trend yang sedang hangat, film drama dapat
dirilis kapanpun dan dimanapun. Namun, film drama adalah genre yang sangat
tidak ramah penonton. Genre tersebut sulit dijual ke masyarakat kelas bawah,
yang notabene di Amerika bioskopnya lebih menjamur ketimbang bioskop kelas
menengah. Oleh karena itu, film mayoritas dirilis oleh studio-studio besar. Hanya
mereka yang mampu mengontrak bintang mahal, mengadakan publikasi mahal,
dan mampu menanggung kerugian ongkos produksi yang tidak tertutup penjualan
tiket.80
77
National Film Registry (http://en.wikipedia.org/wiki/National_film_registry). 5 Mei 2010.
Diakses pada 15 Mei 2010. 78
James Monaco. How to Read a Film. Oxford: Oxford Universtiy Press, 2000, hal. 358. 79
Ibid., hal. 362. 80
Ibid., hal. 365.
61
Di sisi lain, era 40-an begitu ramah terhadap film kriminal. Alasan
utamanya tentu saja stok cerita kriminal yang melimpah. Seperti yang sudah
dijelaskan, selama tahun 40-an novel-novel kriminal begitu menjamur di
Amerika. Penyulut trend tersebut adalah teknologi paperback, yang
memungkinkan rumah penerbitan mencetak buku dalam volum massal dengan
harga yang sangat rendah. Tentu hal ini dapat dilakukan dengan mengorbankan
kualitas fisik buku, yang cenderung tidak tahan lama dibanding buku yang dicetak
dalam format hardcover. Namun, kualitas fisik buku tidak jadi masalah,
mengingat penjualan buku-buku paperback tersebut begitu mendominasi pasaran.
Masyarakat dapat mengaksesnya dengan harga yang murah. Hal tersebut
memungkinkan novel kriminal cepat naik popularitasnya di masyarakat Amerika.
Belum lagi koran-koran secara reguler memasukkan cerita kriminal bersambung
di halaman belakangnya, jadilah masyarakat Amerika makin familiar dan
menggandrungi cerita kriminal sebagai teman waktu luangnya.
Fenomena tersebut tentu saja diendus oleh studio-studio Hollywood, baik
yang kecil maupun yang besar. Sebagai industri yang sangat terobsesi dengan
hasil akhir, Hollywood tentulah melihat cerita kriminal sebagai ladang emas yang
belum tergali. Modal pertama yang Hollywood eksploitasi adalah penulis-penulis
cerita kriminal populer, seperti James M. Cain, Raymond Chandler, Dashiell
Hammett dan Mickey Spillane. Berkat kesuksesan cerita-cerita mereka, penulis-
penulis tersebut bak selebritis di kalangan masyarakat Amerika. Hollywood pun
dapat memanfaatkan mereka lewat dua cara. Pertama, dengan mengadaptasi
cerita-cerita mereka ke layar lebar. Cara ini adalah cara yang paling umum,
mengingat lebih banyak penulis yang terkenal ceritanya saja, alias penulis-penulis
one hit wonder yang merilis satu cerita terkenal dan kemudian hilang ditelan
persaingan industri. Cara ini tentu juga berlaku buat penulis-penulis yang
namanya sudah besar, seperti James M. Cain dan para kontemporernya tersebut.
Dengan mengadaptasi cerita mereka, Hollywood malah mendapat keuntungan
publikasi ganda: dari judul ceritanya dan nama penulis novelnya. Keduanya dapat
dieksploitasi Hollywood untuk menarik perhatian penonton.
62
Khusus untuk penulis-penulis besar tersebut, studio-studio Hollywood
punya cara lain untuk memanfaatkan ketenaran mereka, yakni dengan merekrut
mereka sebagai penulis naskah film. Cara ini menguntungkan Hollywood dalam
dua hal. Pertama, Hollwood mendapat jaminan kualitas dari profesi mereka
sebagai penulis. Siapa lagi yang lebih mengerti soal cerita kriminal selain penulis
kriminal itu sendiri? Tentu ada logika sendiri yang harus dipertimbangkan dalam
mengadaptasi novel ke layar lebar, mengingat cerita tertulis memiliki sistem
naratif yang berbeda dari cerita dalam gambar bergerak. Namun, itu bukan
masalah. Studio-studio Hollywood dapat merekrut satu atau dua penulis naskah
lagi, yang terbiasa bekerja dengan standar Hollywood, untuk mendampingi
penulis cerita kriminal tersebut. Dengan melakukan hal tersebut, Hollywood tetap
dapat menikmati kualitas para penulis cerita kriminal tersebut, dan tentu saja nilai
publikasi tambahan. Film kriminal yang publikasinya dibubuhi kalimat “diangkat
dari novel ....” dan “dengan .... sebagai penulis naskah” jelas lebih menjual,
dibandingkan film kriminal lainnya yang dirilis tanpa embel-embel tersebut.
Segmen cerita sudah beres, Hollywood tinggal memikirkan seksi teknis
yang akan mengurusi visualisasi cerita-cerita kriminal tersebut. Pada titik inilah,
Perang Dunia II menjadi berkah terselubung bagi sinema Amerika. Selama Perang
Dunia II, kegiatan perfilman Eropa banyak terhenti. Hancurnya infrastruktur dan
kondisi perang banyak membuat studio memilih tutup. Ada tiga pilihan yang
tersedia bagi para pekerja film di Eropa: ikut perang sebagai tenaga sukarelawan,
sembunyi atau imigrasi. Mereka yang memilih imigrasi kebanyakan memilih
Amerika sebagai rumah barunya. Alasan yang logis, mengingat waktu itu
Amerika satu-satunya industri film yang bisa berkembang tanpa terganggu
perang. Pasar film pun terus bergerak, karena kehidupan masyarakat di sana tetap
berjalan normal tanpa adanya gangguan perang. Dengan pindah ke Amerika, para
pembuat film dari Eropa tersebut memperoleh dua keuntungan. Pertama, mereka
dapat melanjutkan kesenangan mereka pada film, atau minimal memperoleh
penghidupan dari bidang yang mereka geluti selama di Eropa. Kedua, mereka
dapat hidup aman tanpa adanya gangguan dari senapan dan letusan meriam.
Seperti kontribusi penulis eksistensialis ke bidang literer Amerika paska perang,
63
perpindahan para pembuat film dari Eropa ke Amerika menjadi penyulut
perkembangan film noir di Hollywood.81
Berkaitan dengan film noir, para imigran Eropa tersebut punya modal
yang sangat esensial, yakni ekspresionisme Jerman. Aliran estetik khas Jerman
itulah yang nantinya bakal menjadi rumus dasar visual film noir. Ekspresionisme
sebenarnya sudah berkembang di Jerman dua dekade sebelum Perang Dunia II
meletus. Waktu itu, di era 20-an, banyak budaya Eropa mencoba mencari inovasi,
dengan bereksperimen dengan ide-ide baru. Salah satunya Jerman.82
Terbatas
secara ekonomi akibat Perang Dunia I, industri film Jerman kesulitan
mengimbangi film-film Hollywood, yang umumnya diproduksi dengan bujet
besar. Para pembuat film Universum Film AG, studio film terbesar di Jerman
waktu itu, kemudian mencoba bereksperimen dengan properti dalam film-film
mereka. Ide mereka adalah dengan menata setting dalam film mereka di luar
proporsi.
Pemikiran ini jelas merupakan antitesis dari prinsip produksi Hollywood,
yang mengedapankan keutuhan dalam film-film mereka, baik secara spasial
maupun temporal. Letika menonton film-film Hollywood, kita pasti
mengharapkan seorang aktor keluar dari pintu di kiri layar, setelah mereka masuk
dari pintu di kanan layar. Logika ruang-waktu semacam itulah yang menjadi
prinsip produksi Hollywood selama ini. Namun, para praktisi ekspresionisme
Jerman memilih untuk mengabaikan logika tersebut, dan mendesain properti
dalam film-film mereka sekacau mungkin. Kontras dibuat setinggi mungkin,
dengan mengecat lantai dan dinding dengan pola warna hitam yang asimetris,
untuk merepresentasikan cahaya dan bayangan. Setting pun dibuat seabsurd
mungkin, dengan tidak menghiraukan tata ruang yang rapi dan teratur. Ruang
dalam film-film ekspresionis Jerman seringkali memiliki atap yang tidak tegak
lurus dengan dasarnya, dan cenderung dipenuhi ornamen-ornamen yang lebih
besar dari ukuran aslinya.
81
Andrew Dickos. Street with No Name: A History of the Classic Film Noir. Lexington:
University of Kentucky Press, 2002, hal. 10. 82
Ibid., hal. 15-22
64
Ketidakaturan properti tersebut dimanfaatkan para pembuat film
ekspresionis sebagai motif cerita. Properti-properti tersebut menjadi wujud
simbolik dari emosi-emosi gelap manusia, seperti kegelisahan, kebingungan, dan
kegilaan. Keberadaan karakter film dalam ruang yang tidak proporsional
merupakan cerminan dari kondisi mental manusia, yang tidak pernah akur dengan
realita di sekitarnya. Tidak heran kalau kemudian gerakan ekspresionisme Jerman
melahirkan film-film bertema „intelek‟, bila dibandingkan dengan film laga dan
roman yang banyak diproduksi Hollywood waktu itu. The Cabinet of Dr.
Caligari, produksi tahun 1920, bercerita tentang halusinasi seorang pasien
gangguan mental. Dua karya epik Fritz Lang, Metropolis (1927) dan M (1931),
bercerita tentang kota yang panik karena perkembangan peradaban modern. Kalau
di film pertama, kota panik karena terciptanya robot yang disetir penguasa untuk
menghancurkan seluruh kelas pekerja; di film kedua, kota ketar-ketar karena
keberadaan pembunuh berantai yang pedofil. Ketiga film tersebut bisa dibilang
sebagai film-film yang merepresentasikan segala konvensi ekspresionisme
Jerman, mulai dari aspek visual sampai tema cerita.
Ekspresionisme Jerman berkembang jadi kekuatan utama sinema dunia
sampai Perang Dunia II meletus. Menjelang Perang Dunia II, kenaikan Nazi
sebagai kekuatan politik mengancam keberadaan industri film Jerman. Pada
waktu itu, industri film Jerman banyak menampung pelajar film dari negara
tetangganya dan Eropa Timur. Banyak pelajar film dari Austria, Polandia,
Hungaria, Cekoslovakia, dan Slovakia yang masuk ke Jerman. Tidak heran kalau
kemudian banyak sutradara dan sinematografer lulusan Jerman yang sangat
menguasai teknik-teknik ekspresionis. Keberadaan Nazi dan kondisi politik Eropa
yang kian memanas memaksa mereka keluar dari Jerman. Perpindahan mereka ke
Amerika jadi keuntungan sendiri bagi Hollywood.83
Dalam produksi film noir, simbolisasi emosi karakter merupakan hal yang
esensial. Pasalnya, naratif film noir sangat bergantung pada simbolisasi karakter
tersebut. Tanpanya, film noir akan kehilangan kualitas mitisnya, dan hanya akan
menjadi cerita kriminal biasa dengan karakter-karakter yang dapat ditemukan di
83
Ibid., hal. 33.
65
ratusan cerita kriminal lainnya.84
Simbolisasi emosi tersebut yang menjadikan
film noir terlihat begitu pesimis, sekaligus begitu akurat dalam memotret psike
masyarakat Amerika paska perang. Pada titik ini, kedatangan para imigran dari
Eropa terasa manfaatnya. Dengan kualifikasi mereka selama bekerja di Eropa,
para imigran tersebut dengan mudah dapat memperoleh pekerjaan di Hollywood.
Film noir jelas berbeda dengan film-film ekspresionis, namun naratif keduanya
bergantung pada hal yang sama: eksposisi emosi internal karakter. Oleh karena
itu, dalam film noir, emosi para karakternya diekspresikan layaknya yang
dilakukan dalam film-film ekspresionis: kontras cahaya dan penataan properti.
Sentuhan ekspresionis dalam film noir dapat dilihat dari motif-motif
ceritanya. Salah satu motif utama film noir adalah protagonisnya yang selalu
terbelah dalam ambiguitas moralnya sendiri. Mereka tidak tahu mana yang pantas
dilakukan: menerima jalan hukum dan menderita dalam segala ketidakadilannya,
atau mengambil jalan di luar hukum dan bersiap menerima segala
konsekuensinya. Keharusan memilih inilah yang memenjarakan karakter-karakter
film noir dalam rasa bersalah. Pasalnya, pilihan apapun yang mereka ambil pasti
akan berakhir di titik yang sama: kehancuran.85
Para pembuat film noir
memvisualisasikan fatalisme tersebut lewat pencahayaan, yang selalu membingkai
protagonis film noir dalam bayangan setengah gelap setengah terang.
Pembingkaian setengah-gelap-setengah-terang ini semakin ditekankan dalam shot
khas film noir: close-up wajah protagonis, yang terbelah oleh cahaya/bayangan
secara vertikal.
Motif lainnya dalam film noir: relasi protagonis dengan orang yang cocok
dengannya, umumnya femme fatale, selalu didasari oleh suatu kepentingan.86
Sialnya, kepentingan tersebut hanya bisa dipenuhi lewat plot atau tindakan
terencana yang berada di luar jalur hukum. Hal inilah yang semakin menambah
rasa bersalah karakter-karakter film noir. Mereka tidak nyaman dengan orang-
orang di lingkaran personalnya, baik keluarga maupun lingkungan kerja.
84
Ibid., hal. 39 85 Robert G. Porfirio. No Way Out: Existential Motifs in the Film Noir. Sight and Sound, vol. 4,
no. 45, 1976, hal. 213. 86
Ibid., hal. 215.
66
Masalahnya, satu-satunya orang yang cocok dengan mereka malah punya
kepentingan pribadi, yang hanya bisa terpenuhi dengan memanfaatkan sumber
daya milik protagonis. Karakter-karakter film noir selalu terjebak dalam lingkaran
setan, dimana tidak ada yang benar-benar bisa keluar dari penjara kegelisahan
dirinya, bahkan melalui relasi intim sekalipun. Para pembuat film noir
menggambarkan pesimisme sosial tersebut melalui pencahayaan dan tata letak
properti. Shot yang paling umum dari fenomena ini adalah dua karakter, biasanya
laki-laki dan perempuan, yang terproyeksikan oleh bayangan teralis jendela.
Bayangan tersebut menjadi simbolisasi dari ketidakmampuan karakter-karakter
film noir keluar dari kegelisahannya. Seakan-akan selalu ada jeruji yang
menghalangi jalan keluar mereka.
Dominannya pengaruh ekspresionisme Jerman membuat Hollywood
seakan-akan tidak punya kontribusi estetis dalam produksi film noir. Ditambah
lagi fakta bahwa mayoritas film noir merupakan adaptasi dari novel-novel
kriminal di jamannya, Hollywood makin terlihat tidak punya saham dalam
kelahiran film noir. Mengingat Hollywood adalah salah satu arus utama di
konstelasi sinema dunia, agak mengherankan rasanya apabila Hollywood seperti
tidak punya pendirian estetisnya sendiri. Apalagi yang sedang jadi fokus adalah
film noir, yang seringkali digadang sebagai satu-satunya estetika yang lahir secara
organis dari tanah Amerika. Opini miring mengenai kapabilitas estetis Hollywood
tersebut wajar. Pasalnya, kontribusi Hollywood bagi estetika film noir tidak
terwujud dalam faktor teknis, melainkan dalam Kode Produksi, alias kode-kode
yang meregulasi produksi di Hollywood dari 1930 sampai 1968.87
Sepanjang masa berlakunya, Kode Produksi merupakan momok bagi para
pekerja film di Hollywood. Ditilik dari bentuk pelaksanaannya, Kode Produksi
bukanlah sensor, melainkan semacam rambu-rambu peringatan. Ia menjadi
semacam panduan regulasi diri bagi para pembuat film, untuk mendesain filmnya
supaya tidak melenceng dari prinsip-prinsip yang ditetapkan MPAA (Motion
Picutre Association of America/Asosiasi Perfilman Amerika). Ada tiga prinsip
87
Thomas Doherty. The Code Before Da Vinci. Washington Post
(http://my.brandeis.edu/news/item?news_item_id=105052&show_release_date=1). 20 Mei 2006.
Diakses pada 22 Mei 2010.
67
yang harus dipatuhi. Pertama, film tidak boleh merendahkan standar moral
penontonnya. Simpati audiens harus selalu ditujukan pada protagonis berwatak
baik, dan tidak boleh pada pelaku kriminal. Kedua, film harus menganut
pandangan hidup yang positif. Pandangan hidup tersebut hanya boleh
dibengkokan sementara untuk kebutuhan drama dan hiburan, yang pada akhir film
harus diluruskan kembali, supaya tidak terjadi penyebaran wacana yang salah di
masyarakat. Ketiga, nilai-nilai luhur dalam peradaban manusia tidak boleh
diinjak-injak. Para pembuat film dilarang mencoba menarik simpati penonton
melalui cara-cara yang melanggar nilai-nilai kemanusiaan. Di luar ketiga prinsip
makro tersebut, MPAA merilis daftar hal-hal yang dilarang muncul dalam film-
film Hollywood. Larangan-larangan tersebut spesifik dan cenderung moralis,
mulai dari seks, penggunaan narkotika, sampai tindakan kriminal.88
Kode Produksi sendiri bisa lahir karena masyarakat Amerika tersulut oleh
kejadian di pengadilan negara tahun 1915. Waktu itu, pemerintah daerah Ohio
terlibat persidangan panas dengan Mutual Film Corporation, sebuah perusahaan
distribusi film. Pemda Ohio kala itu memiliki kebijakan membentuk badan sensor
regional, yang ditujukan untuk memantau film-film yang masuk ke bioskop di
Ohio. Bagi pemda Ohio, kebijakan tersebut penting dijalankan demi terjaganya
moral masyarakat. Namun, Mutual menentang kebijakan pemda Ohio, dengan
alasan film sebagai suatu karya seni seharusnya dilindungi oleh amandemen
pertama Undang-Undang Negara, yakni kebebasan berekspresi. Selain itu,
menurut Mutual, kebijakan pemda Ohio menganggu kebebasan berbisnis antar
negara bagian. Sayangnya, panel juri tidak simpatik dengan argumen yang
diberikan Mutual. Pengadilan pun mengambil keputusan bahwa film tidak layak
disebut sebagai karya seni, dengan alasan ia merupakan komoditas yang
diperjualbelikan. Konsekuensinya: film dianggap tidak mendapat perlindungan
bebas berekspresi, dan dapat dikenakan sensor oleh badan film setiap negara
bagian.89
88
Leonard J. Dame Leff. The Kimono Hollywood, censorship, and the production code from the
1920s to the 1960s. New York: Grove Weidenfeld, 1990, hal. 9. 89
John Wertheimer. Mutual Film Reviewed: The Movies, Censorship, and Free Speech in
Progressive America. American Journal of Legal History. Temple University, 1993, hal. 158–189.
68
Kasus tersebut membuka wacana tentang sensor dan regulasi film di
Hollywood. Popularitas film sebagai hiburan massal di Amerika semakin lama
semakin membawa kekhawatirannya sendiri. Kultur selebritis pun mulai terbentuk
di Hollywood, dan mulai menarik perhatian publik. Sialnya, sepanjang tahun 20-
an, Hollywood digoyang oleh tiga kasus besar yang melibatkan selebritis:
kematian aktris Virginia Rappe di suatu pesta tahun 1921, pembunuhan sutradara
William Desmond Taylor pada tahun 1922, serta kematian dan kasus narkotik
aktor Wallace Reid pada tahun 1923. Kejadian-kejadian ini kemudian diliput dan
dibesar-besarkan di koran-koran Amerika.90
Publik pun mulai gerah dengan
amoralitas yang menyelimuti Hollywood, dan mulai menuntut semacam bentuk
pendisiplinan. Akhirnya, setelah kampanye beberapa politisi, Kode Produksi pun
diresmikan pada 13 Juni 1934. Setelah tanggal 1 Juli 1934, studio-studio
Hollywood haruslah mengirim filmnya terlebih dahulu ke MPAA. Suatu panel
kemudian akan menganalisa film tersebut, dan memberinya ijin rilis kalau
ternyata filmnya sesuai dengan Kode Produksi.
Era film noir, yakni dari tahun 1942 sampai 1958, masih termasuk dalam
masa berlakunya Kode Produksi di Hollywood. Bila dilihat dari sejarah penerapan
Kode Produksi di Hollywood, film noir bisa dibilang merupakan hasil dari
pertemuan dua fenomena: berubahnya tradisi film gangster akibat Kode Produksi
dengan pergolakan politik Amerika. Sebelum film noir jadi trend, tradisi film
kriminal Hollywood didominasi oleh film-film gangster sejak akhir 1920-an.
Popularitas film gangster kala itu disokong oleh ketidakstabilan sosial Amerika
akibat kebijakan pemerintah melarang produksi dan distribusi minuman
beralkohol.91
Kebijakan tersebut berlangsung dari tahun 1919 sampai 1933.
Menjelang akhir dari masa pelarangan tersebut, tepatnya pada tahun 1929, depresi
ekonomi melanda seantero Amerika. Konsekuensinya: industri luluh lantak, dan
tingkat pengangguran melonjak.
Dua kejadian tersebut menjadikan film gangster terlihat seperti mitos yang
menyenangkan bagi penonton Amerika. Pelarangan alkohol terbukti sulit
90
Op. Cit., Leff, hal. 12. 91
Susan Hayward. Cinema Studies: The Key Concepts, 2nd
edition. Bury: St. Edmundsbury Press,
2000, hal. 153.
69
digalakkan. Pasalnya, jumlah gangster yang berkeliaran di jalan jauh lebih banyak
dari aparat keamanan yang bertugas. Perang antar gang dan tindakan kriminal pun
sering terjadi. Koran-koran tentunya meliput itu semua. Konsekuensinya:
kehidupan gangster jadi santapan harian masyarakat Amerika. Faktanya: banyak
film gangster Hollywood yang diadaptasi dari tokoh-tokoh gangster nyata, yang
kisah-kisah pelanggaran hukumnya setia dikronologikan oleh ratusan harian di
Amerika. Oleh karena itu, penonton Amerika bisa dengan mudah menerima
segala brutalitas dan ketamakan yang ditunjukkan film-film gangster waktu itu,
karena agresivitas gangster di ruang-ruang urban sudah tertanam dalam memori
kolektif masyarakat.
Memasuki depresi ekonomi, film gangster berubah signifikansinya. Dari
gambaran tentang kenyataan pahit yang ada di Amerika, film gangster
berkembang jadi potret idealis tentang harapan-harapan yang tak pernah tercapai.
Depresi ekonomi membuat mimpi yang dijanjikan pemerintah Amerika jadi
sesuatu yang usang. Dalam undang-undang negara, terdapat suatu testamen bahwa
Amerika merupakan suatu masyarakat yang bebas, demokratis, dan tidak tersekat
oleh kelas sosial. Hal itu yang digembar-gemborkan pemerintah Amerika selama
ini, dan kemudian menjadi mentalitas Amerika pada umumnya. Semua orang
bangun pagi dan masuk kerja dengan yakin, bahwa kesuksesan tidaklah jauh dari
ujung jari dan bisa diperoleh dengan terus bekerja keras. Namun, depresi ekonomi
meruntuhkan keyakinan tersebut. Carut marut perekonomian dengan jelasnya
menunjukkan bahwa Amerika sebenarnya terbelah ke dalam dua kubu besar:
borjuis dan proletar.
Film gangster memperoleh simpati yang besar di kalangan proletar. Bagi
mereka, gangster merupakan simbol dari keinginan terpendam kaum proletar, dan
skenario alternatif yang mungkin terjadi kalau saja mereka tidak terlalu termakan
janji surga pemerintah. 92
Sebagai figur yang melabrak batasan kelas sosial,
gangster dalm film-film Hollywood memperoleh kesuksesannya bukan dengan
rajin bekerja, melainkan dengan mencuri dan memuaskan nafsu pribadinya.
Individualisme itulah yang waktu itu belum dilakukan masyarakat Amerika,
92
Ibid., hal. 154.
70
mengingat pemerintah terus menerus mengampanyekan pentingnya kebersamaan
dan keutuhan komponen bangsa. Di sisi lain, individualisme tersebut menjadi
kritik pedas terhadap mitos kesuksesan versi Amerika: seseorang hanya mungkin
memperoleh kesuksesan, setelah ia menghabisi orang-orang di sekitarnya. Potret
kelam ini jadi representasi dari harapan mayoritas kelas pekerja Amerika jaman
depresi. Tidak heran kalau film gangster waktu itu begitu populer banyak
diproduksi.
Memasuki pertengahan 30-an, pesimisme yang disajikan film gangster
mulai terasa tidak relevan.93
Pasalnya, perekonomian Amerika perlahan-lahan
berhasil memulihkan dirinya, dan kehidupan masyarakat normal kembali.
Masyarakat pun mulai gerah dengan kekerasan dan pembunuhan yang jadi sajian
mingguan Hollywood di bioskop-bioskop. Mereka menuntut adanya semacam
pendisiplinan bagi Hollywood, yang mereka anggap kian amoral. Jadilah, pada
tahun 1934, Kode Produksi diberlakukan. Film gangster, yang mengambil
protagonisnya adalah pihak di luar hukum, terpaksa direvisi besar-besaran.
Hollywood pun tanpa sengaja telah menyemai bibit-bibit film noir.
Demi kesesuaian dengan prinsip-prinsip yang dikedepankan Kode
Produksi, studio-studio Hollywood memindahkan protagonis film-film
kriminalnya dari gangster ke detektif.94
Rasionalnya: detektif berasal dari pihak
yang benar, oleh karenanya kalaupun penonton simpatik dengan mereka,
setidaknya mereka simpatik dengan figur yang tepat. MPAA pun tidak keberatan
dengan perkembangan ini. Namun, yang luput dari perhatian MPAA adalah
keputusan studio-studio tersebut mempertahankan bangunan emosional protagonis
film gangster di film-film detektif tersebut, dengan beberapa penyesuaian
tentunya. Brutalitas gangster dirias ulang oleh para pembuat film jadi
kebingungan eksistensial seorang investigator. Mereka adalah orang-orang
pinggiran yang mencoba mengaktualisasi dirinya, di tengah kondisi ekonomi yang
carut marut dan kasus kriminal yang mendatangkan penderitaan dan kematian.
Sama seperti gangster yang menginspirasi keberadaan mereka, para detektif
93
Ibid., hal. 155. 94
Ibid., hal. 156.
71
tersebut tidak segan-segan mengambil jalan di luar hukum untuk memenuhi
ambisi pribadinya.
Popularitas novel kriminal paska Perang Dunia II memperkanalkan konsep
femme fatale ke khazanah perfilman Amerika. Keberadaan femme fatale semakin
memungkinkan studio-studio Hollywood untuk membuat film dengan level
vulgaritas yang mereka inginkan, dan tetap sesuai dengan prinsip-prinsip yang
ditekankan Kode Produksi. Vulgaritas dalam hal ini bukanlah sebagai keputusan
yang disengaja oleh Hollywood, namun suatu konsekuensi dari mengadaptasi
novel-novel kriminal yang pada dasarnya vulgar. Femme fatale memungkinkan
meletakkan protagonis dalam suatu konflik yang pasti berujung pada kematian.
Kalau tidak protagonisnya, femme fatale-nya yang mati. Finalitas tersebut menjadi
dalil bagi studio Hollywood untuk mengeksposisi amoralitas protagonis film noir
dan seksualitas femme fatale secara eksesif. Rasionalnya: meski melenceng dari
normalitas masyarakat, salah satu karakter tersebut ujung-ujungnya akan mati
juga.95
Motif tersebut jadi semacam hukuman bagi deviasi sosial yang dilakukan
karakter-karakter tersebut. MPAA tentu saja menyetujui motif cerita semacam itu,
karena sesuai dengan prinsip-prinsip yang mereka tekankan. Dengan adanya
persetujuan dari MPAA, studio-studio Hollywood pun memproduksi film noir
berdasarkan pola cerita tersebut.
95
John Blaser. No Place for a Woman: The Family in Film Noir
(http://www.filmnoirstudies.com/essays/no_place.asp). 2008. Diakses pada 15 Mei 2010.
72
BAB III
MODUS NARATIF FILM NOIR
A. Prinsip Dasar Naratif Film Noir
Membahas naratif film noir berarti membahas dua elemen yang
mendasarinya: pathos dan action.96
Pathos, dari bahasa Yunani, artinya
penderitaan. Dalam teori naratif, pathos adalah satu dari tiga modus dasar dalam
retorika. Dua lainnya adalah ethos dan logos. Menurut Aristoteles dalam Ars
Rhetorica, ethos berpijak pada etika dan moral, dimana pembicara harus konsisten
melakukan apa yang ia bicarakan.97
Ia tidak ingkar dari apa yang ia bicarakan,
dan menjalani kehidupannya sesuai dengan apa yang ia ceritakan ke orang lain.
Logos berorientasi pada logika bahasa, dimana pembicara dapat meyakinkan
lawan bicaranya dengan tata bahasa dan pemilihan kata yang tepat. Sementara
ethos dan logos menakar suatu retorika dalam standar moral dan kompetensi
bahasa, pathos mendefinisikannya melalui simpati.98
Berdasarkan ukuran pathos,
keberhasilan suatu retorika dilihat dari kemampuannya menarik simpati
audiensnya. Bila retorika tersebut berupa cerita, maka cerita dikatakan berhasil
apabila audiens bersimpati pada protagonisnya.
Dalam teori naratif, action berarti tindakan yang dipahami sebagai usaha
yang dikeluarkan suatu karakter untuk menyelesaikan konfliknya. Konflik
merupakan elemen yang penting dalam setiap narratif, terutama narratif klasik.
Struktur naratif klasik, yang notabene merupakan dasar mayoritas narratif, terdiri
dari tiga babak: perkenalan (set up), komplikasi (complication), dan penyelesaian
(resolution).99
Bila dilihat satu per satu, keberadaan masing-masing babak
ditentukan oleh jumlah konflik di dalamnya. Babak perkenalan ada karena konflik
96
Geoff Mayer & Brian McDonnell. Encyclopedia of Film Noir. Westport, CT: Greenwood
Publishing Group, 2007, hal. 12. 97
Robert Audi. Cambridge Dictionary of Philosophy, 2nd
Edition. Cambridge: Cambridge
University Press, 1999, hal. 347. 98
Ibid., hal. 217. 99
Robert McKee. Story: Substance, Structure, Style, and the Principles of Screenwriting. New
York: Harper-Collins, 1997, hal. 45.
73
dalam cerita baru dimulai, babak komplikasi merupakan tempat dimana konflik
berkembang, sementara babak penyelesaian menjadi titik reda dan berhentinya
konflik dalam cerita. Pada pandangan yang lebih makro, konflik berarti
merupakan elemen yang menggerakkan narratif dari satu babak ke babak
lainnya.100
Benang merah dari dialektika pathos-action ini adalah protagonis dan
konflik yang menimpanya. Kedua hal tersebut merupakan syarat dasar suatu
narratif. Protagonis berfungsi sebagai titik fokal narratif, sementara konflik
menjadi dinamo penggerak narratif. Film noir bukan pengecualian. Film noir
adalah drama domestik dan cerita kriminal yang dikemas dalam struktur narratif
klasik. Ada protagonis laki-laki yang kita ikuti dari awal cerita, ada perempuan
yang ditemui seiring berkembangnya cerita, ada kasus kriminal yang dengan
peliknya mengikat mereka, dan ada kematian yang menanti mereka di akhir cerita.
Pola ini merupakan formula standar yang dipakai mayoritas produsen film noir.
Namun, pembacaan di atas hanyalah analisis di level permukaan. Melihat
lebih dalam pada detail-detail subtil film noir akan menunjukkan fakta-fakta
fundamental yang kerap terkubur sejarah. Tiga detail film noir yang perlu dilihat
lebih jauh adalah karakter laki-laki, perempuan dan relasi keduanya, baik di dalam
maupun di luar konteks keluarga. Seperti kata Francois Truffaut, pasangan laki-
laki dan perempuan merupakan unit politik terkecil dalam masyarakat.101
Suatu
pasangan berfungsi dalam semangat pengaturan diri, baik dari urusan sentimental
sampai kegiatan fungsional. Oleh karenanya, apapun yang terjadi di dalam suatu
pasangan mencerminkan fenomena di lingkungan sekitarnya. Begitu juga
sebaliknya.
Amerika tahun 40 sampai 50-an, seperti yang sudah dijelaskan di bab
sebelumnya, merupakan periode yang sangat represif. Perang Dunia II di awal dan
Perang Dingin di akhir periode tersebut menjadikan pemerintah Amerika sangat
waspada dengan perkembangan domestiknya. Masyarakat Amerika dituntut untuk
mengekang hasrat pribadinya, dan sebagai gantinya mendukung segala yang
100
Ibid., hal. 210-213. 101
James Monaco. The New Wave: Truffaut, Godard, Chabrol, Rohmer, Rivette. Oxford: Oxford
University Press, 1977, hal. 44.
74
komunal. Dalam kasus ini, komunal tidak saja merujuk pada kehidupan bersama,
tapi juga kehidupan bernegara. Batu pijakannya adalah keluarga. Melalui
propaganda dan iklan sosial, pemerintah menekankan pentingnya keluarga
sebagai pihak pertama perihal penjagaan moralitas bangsa. Keluarga tidak saja
diharapkan menjadi pendidikan pertama generasi muda tentang kehidupan
bersama, tapi juga sebagai imaji keutuhan bangsa. Keluarga Amerika ideal pada
saat itu terdiri dari seorang bapak yang bekerja dan ibu rumah tangga. Anak-
anaknya dituntut untuk mengikuti jejak yang sama. Singkatnya: pembagian peran
berbasis gender. Masalahnya, karena dipaksakan, pembagian tersebut berujung
pada kegelisahan.
Kegelisahan itulah yang tertangkap oleh produsen budaya di Amerika.
Seperti yang sudah dijelaskan di bab sebelumnya, industri percetakan dibanjiri
oleh novel-novel kriminal. Harganya murah, ceritanya ringan, dan mayoritas bisa
dihabiskan dalam sekali duduk. Alhasil, cerita kriminal menjadi bagian penting
dalam budaya pop Amerika. Hollywood pun berinisiatif mengadaptasi novel-
novel tersebut ke pita seluloid. Prinsip utama dalam mengadaptasi suatu karya
populer menjadi film adalah menjaga familiaritas. Pasalnya, familiaritas
berbanding lurus dengan aksesibilitas.102
Semakin familiar penonton dengan
filmnya, semakin mudah pula ia mencernanya.103
Kemudahan penonton mencerna
film berpotensi mendongkrak penjualan tiket. Oleh karena itu, Hollywood
mempertahankan banyak aspek dari novel, mulai dari struktur narratif hingga
karakterisasi.
Film noir, seperti novel-novel kriminal yang menjadi inspirasinya,
berpijak pada struktur cerita melodrama. Melodrama adalah salah satu modus
narratif tertua dalam sejarah manusia. Akarnya bisa dilacak sampai Abad
Pertengahan, dimana waktu itu melodrama berwujud drama panggung. Bila
disederhanakan jadi suatu formula sederhana, maka melodrama sama dengan
moralitas plus emosi. Dalam dialektika pathos-action, moralitas merupakan
pathos. Semua karakter dalam melodrama selalu dilihat dalam tatanan baik-
102
Op. Cit., McKee, hal. 58. 103
Ibid., hal. 61.
75
versus-jahat (good-versus-evil).104
Begitu juga perkembangan karakternya. Basis
moralnya adalah nilai-nilai universal kemanusiaan, seperti kejujuran, kebaikan
dan kearifan. Penderitaan protagonis datang dari penyalahan nilai-nilai
kemanusiaan tersebut yang dilakukan oleh antagonis. Usaha protagonis
memperbaiki yang salah itulah yang menjadi tulang punggung cerita melodrama.
Action-nya adalah emosi. Bukan sekadar emosi, tapi emosi yang
berlebihan. Dikatakan berlebihan karena protagonis mencoba mendamaikan
emosinya tanpa ada pertimbangan ke masa depan. Fokus protagonis murni pada
pendamaian emosinya, seakan-akan dunia hanya berputar pada satu masalah itu
saja. Dalam cerita melodrama, motivasi protagonis tidak dapat dan tidak perlu
dinalar. Satu-satunya alasan rasional kenapa protagonis harus mendamaikan
emosinya adalah tuntutan narratif. Protagonis harus berusaha menyelesaikan
masalahnya, kalau tidak tidak akan ada cerita. Entah berakhir sebagai tragedi atau
komedi, ketika masalah dalam cerita melodarama selesai, cerita pun selesai.105
Oleh karena itu, melodrama tidak membutuhkan karakter yang rumit.
Melodrama hanya butuh cetakan beberapa karakter, yang sesuai dengan
pergolakan emosi yang dituntut oleh cerita. Tidak heran kalau kemudian
melodrama punya stok karakternya sendiri: mulai dari laki-laki petualang yang
macho, penjahat berwatak jahat, perempuan cantik tapi rapuh, hingga partner
protagonis yang setia tanpa syarat.106
Variasi tema ceritanya juga sudah bisa
diprediksi: cerita petualangan, kriminal, dan drama kehiupan domestik. Cetakan-
cetakan karakter dan tema cerita tersebut yang kemudian dikombinasikan dalam
membuat melodrama.
Sebagai hiburan massal, melodrama jelas sangat efektif. Tatanannya yang
tersusun atas banyak cetakan membuat melodrama begitu mudah diakses. Audiens
tidak perlu banyak berpikir saat mengkonsumsi melodrama. Mereka, sadar tidak
sadar, hanya perlu merujuk pada hiburan-hiburan sejenis yang mereka pernah
104
Peter Brook. The Melodramatic Imagination: Balzac, Henry James, Melodrama, and the Mode
of Excess. New Haven: Yale University Press, 1995, hal. 85. 105
Ibid., hal. 40. 106
Thomas Elsaesser. Tales of Sound and Fury: Observations on the Hollywood Melodrama,
dalam Marcia Landy (ed.). Imitations of Life. Detroit: Wayne State University Press, 1991, hal. 85.
76
tonton sebelumnya. Pasalnya, sejak kemunculannya, melodrama berpijak pada
satu konvensi yang sama: memainkan harapan dan ketakutan terpendam audiens
dengan cara yang sangat emosional. Konvensi melodrama tersebut tidak saja
menuntun naik turunnya emosi sepanjang jalannya cerita, tapi juga menjadi
katharsis bagi perasaan-perasaan yang sulit atau tidak dirasakan penonton dalam
kehidupan sehari-harinya.107
Di satu sisi, melodrama adalah pabrik mimpi. Inilah kritikan pedas yang
diterima penulis dan pembuat film melodrama sepanjang karier mereka.
Melodrama nyaris tidak memberi kontribusi intelektual pada audiensnya. Namun,
pada bacaan lebih lanjut, melodrama adalah mimpi yang mencerminkan realita
terkini. Sebagai cerminan yang tidak realistis akan realita, melodrama menjadi
kebalikan dari kondisi kehidupan sehari-hari audiensnya.108
Konsekuensinya
audiens jadi bermimpi. Namun, di balik konsekuensi tersebut, ada potensi audiens
menyadari bahwa dunia di sekitarnya tidak seperti dunia dalam cerita melodrama.
Potensi itulah yang dieksploitasi habis-habisan dalam film noir. Ada tiga elemen
film noir yang menunjukkan fenomena tersebut. Pertama, lokasi cerita. Elemen ini
adalah setengah dari keseluruhan jiwa film noir. Membahasnya merupakan
langkah pertama dari mengetahui modus narratif film noir.
Semua film noir bertempat di kota yang menyerupai labirin: ramai, penuh
tikungan, dan seperti tidak berujung. Penggambaran ini adalah metafor dari kota
Amerika sesungguhnya, yang modern, tersusun rapi dan penuh dengan penanda
geografis yang jelas. Lokasi cerita tersebut tentunya melayani kebutuhan narratif
film noir. Sejak awal cerita, protagonis langsung ditempatkan dalam lokasi yang
penuh resiko. Di dalam labirin kota, ada petualangan berbahaya yang menantinya,
dengan sedikit kemungkinan bisa selamat. Seiring berkembangnya cerita,
protagonis semakin menyadari bahwa kota tersebut bukan saja sekadar kota, tapi
juga penjara. Artinya: tidak ada kemungkinan protagonis untuk keluar dari
bahaya. Kota dalam film noir adalah semesta tertutup yang tidak mengijinkan
kebahagiaan bagi individu di dalamnya.
107
Ibid., hal. 72. 108
Op. Cit., Brook, hal. 5.
77
Lokasi cerita tersebut terlihat sensasional, dan menambah daya tarik cerita.
Audiens dijanjikan petualangan tiada henti hingga akhir cerita. Namun, pada
bacaan lebih lanjut, lokasi cerita tersebut sebenarnya melayani kepentingan yang
lebih besar. Merujuk kembali pada prinsip melodrama, kota dalam film noir
adalah gambaran terbalik dari kota Amerika sesungguhnya. Pada era film noir,
yakni periode akhir 40-an sampai 50-an, perkotaan berkembang pesat di iklim
ekonomi Amerika paska perang.109
Pembangunan terjadi di mana-mana, dan
konsekuensinya lapangan pekerjaan pun meningkat. Fenomena ini berujung pada
pertukaran peran gender. Mayoritas laki-laki, yang baru saja kembali dari perang,
terserap ke dalam dunia kerja, dan kaum perempuan kembali mengurus rumah
tangga.
Bila dibandingkan dengan apa yang terjadi selama perang, pertukaran
peran ini sangatlah drastis. Ada dua hal yang dinikmati laki-laki Amerika selama
perang: status dan petualangan. Partisipasi dalam perang menjadi kesempatan
aktualisasi diri bagi mereka. Dalam hierarki militer, status berwujud sebagai
pangkat terhormat sebagai jenderal dan komandan, yang diperoleh berdasarkan
kontribusi selama perang. Kehidupan di medan perang, walaupun mencekam dan
traumatik, memberikan kesempatan sebebas-bebasnya bagi para laki-laki untuk
melakukan itu.110
Tanpa ada tuntutan moral dan etika yang membebani, mereka
dapat membunuh orang dan mengebom rumah sesuka hati demi status. Kalaupun
status tak jua diperoleh, aktivitas medan perang menawarkan cukup petulangan
bagi mereka untuk menyalurkan hasrat maskulinnya. Oleh karenanya, jadi
tekanan sendiri bagi mereka ketika harus kembali ke rumah setelah perang usai.
Mereka kembali menjadi orang biasa dalam rutinitas kehidupan yang
menjemukan.
Di lain pihak, perempuan juga terpaksa meninggalkan petualangannya di
dunia kerja. Migrasi para laki-laki ke Eropa selama perang memberi kesempatan
bagi perempuan untuk keluar dari rumah. Awalnya, keluarnya mereka dari rumah
109
Jane Jacobs. The Death and Life of Great American Cities. New York: Modern Library, 1993,
hal. 317. 110
Woody Haut. Pulp Culture: Hardboiled Fiction and the Cold War . London: Serpent's Tail,
1995, hal. 17.
78
merupakan alasan yang logis. Tanpa ada suami, siapa lagi yang dapat menghidupi
keluarga kecuali perempuan itu sendiri. Mereka pun mencari kerja dan pada
perkembangannya memperoleh apa yang tidak pernah mereka nikmati
sebelumnya: status dan petualangan. Status dalam dunia kerja menjadi
kesempatan bagi perempuan untuk membuktikan dirinya sendiri.111
Memperoleh
status di dunia kerja membutuhkan usaha sendiri: mulai dari persaingan antar
kolega hingga kualifikasi yang harus dipenuhi. Dengan memperoleh status
tersebut, perempuan dapat dengan bangga melihat dirinya sebagai individu yang
kompeten. Beda dengan status ibu rumah tangga, yang diperoleh secara otomatis
setelah menikah. Rumah pun bukan tempat yang ideal untuk berpetualang,
mengingat segala di dalamnya harus dinegosiasikan dalam konteks keluarga.
Wajar kemudian bila para perempuan gelisah ketika harus kembali mengurusi
rumah tangga. Tidak ada lagi kesempatan bagi mereka untuk hidup bebas sebagai
seorang individu.
Berdasarkan penjabaran di atas, potret kota dalam film noir dapat dilihat
sebagai potret suatu kegelisahan. Kegelisahan tersebut terkait dengan ruang yang
ditempati oleh karakter cerita. Dalam film noir, rumah memang tempat yang
aman. Tembok rumah memastikan individu steril dari segala kekacauan moral
yang ada di luar sana, yang ada di kota.112
Namun, sterilisasi tersebut mencuri
kesempatan individu untuk mengakutalisasikan dirinya. Selalu ada batasan yang
harus ditaati, dan selalu ada bagian dari diri sendiri yang harus kompromi.
Sebaliknya, kota terlihat sangat menakutkan dengan segala lika-likunya. Bahaya
seakan-akan bisa muncul dari mana saja, dan tidak ada tembok rumah yang dapat
melindungi individu. Namun, hanya di jalan-jalan kota, individu bisa nyaman
menjadi dirinya. Tidak ada batasan yang harus dituruti, dan tidak ada tuntutan
orang lain yang harus dipatuhi.
Kontras memang kalau melihat apa yang individu peroleh di dalam dan
luar rumah. Kontras itulah yang dimanfaatkan para pembuat film noir sebagai
111
Nina C. Leibman. The Family Spree of Film Noir. Journal of Popular Film and Television,
1989, hal. 175 112
John T. Irwin. Unless the Threat of Death is Behind Them: Hardboiled Fiction and Film Noir.
Baltimore, Maryland: Johns Hopkins University Press, 2006, hal. 210.
79
bumbu dramatik, sekaligus basis penyusunan diskursus tentang kehidupan
masyarakat Amerika. Pasalnya, kontras tersebut yang mendefiniskan perilaku
karakter dan kematian mereka, dua elemen cerita lainnya dalam film noir.113
Dengan keluar dari rumah, karakter menukarkan keamanan hidupnya demi
kebebasan di luar sana. Namun, justru kebebasan tersebut yang kemudian
menuntun karakter film noir pada kematiannya.
Tentu saja pola dan makna kematian berbeda bagi setiap karakter film
noir. Setiap karakter punya signifikansinya sendiri. Konsekuensinya, tidak semua
karakter punya pengaruh terhadap narratif film noir. Oleh karena itu, untuk
memahami modus narratif film noir tidak membutuhkan analisis semua karakter
dalam film noir. Analisis cukup dibatasi pada karakter-karakter yang mempunyai
pengaruh atas progresi narratif. Dari semua karakter film noir, hanya dua yang
mempunyai kuasa atas narratif: protagonis laki-laki dan femme fatale. Keduanya
adalah satu-satunya pihak dalam film noir yang berpotensi mengembangkan
cerita. Melalui tindakan keduanya, cerita dalam film noir berjalan. Relasi
keduanya yang mengimbuhkan makna atas kematian yang terjadi dalam film noir.
Keduanya adalah dua elemen penting lainnya dalam film noir, yang bersama
lokasi cerita menjadi jiwa film noir. Membahas keduanya akan semakin
menjelaskan bagaimana modus narratif film noir sebenarnya.
Dalam film noir, relasi protagonis laki-laki dengan femme fatale adalah
relasi yang seksual. Pertemuan mereka didasari atas kebutuhan kesenangan, suatu
kebutuhan dasar yang tidak dapat dipenuhi dalam rutinitas kehidupan keduanya.
Masing-masing karakter punya alasan yang berbeda. Protagonis laki-laki,
layaknya para laki-laki di Amerika periode 50-an, dibebani oleh pekerjaan.114
Rutinitas pekerjaan tidak memberikan mereka waktu yang cukup luang untuk
kehidupan pribadi mereka. Kalau protagonis laki-laki tersebut seorang detektif,
maka kehidupan pribadinya hanyalah transit singkat dari kasus ke kasus. Kalau
pekerjaannya pebisnis atau karyawan kantor, ia hanya bisa memikirkan dirinya
sendiri setelah jam kerja usai. Konsekuensinya: lingkup pertemanan mereka
113
Ibid., hal. 89-90. 114
Richard Maltby, The Politics of Maladjusted Text, dalam Ian Cameron (ed.). The Movie Book of
Film Noir. London: Studio Vista, 1992, hal. 40.
80
didominasi oleh klien dan rekan kerja saja. Satu-satunya waktu luang bagi mereka
adalah malam hari, waktu dimana kota sudah mengendurkan sendi-sendi
ekonominya, dan para konsumen sudah tertidur pulas di rumahnya masing-
masing.
Femme fatale sendiri merupakan cerminan terbalik dari tipikal perempuan
Amerika periode 50-an. Jaman-jaman dimana perempuan terpaksa menjaga rumah
dan mengasuh anak, femme fatale merupakan representasi dari segala keinginan
terpendam. Ia punya rencananya sendiri, dan siap mengusahakannya sampai mati,
baik secara metafor maupun harafiah. Femme fatale selalu dikontraskan dengan
impotensi suaminya.115
Ia tidak didampingi oleh suami yang secara fisik mampu
menyeimbanginya. Kondisi ini secara implisit menggambarkan dua hal. Pertama,
gairah femme fatale yang secara fisik sudah tidak bisa diimbangi lagi oleh
suaminya. Kedua, status femme fatale sebagai perempuan parasit yang menghisap
segala sumber daya dari laki-laki pendampingnya. Setelah laki-laki tersebut tidak
dapat memenuhi kebutuhannya lagi, femme fatale pun mencari laki-laki lain.
Begitulah cara femme fatale bertahan hidup. Terus ia meloncat dari satu laki-laki
ke laki-laki lain, sampai kematian mengakhiri kariernya.
Sama seperti protagonis laki-laki mencari kesenangannya, femme fatale
mencari korban barunya pada malam hari. Inilah kenapa malam hari menjadi
elemen cerita yang sangat penting dalam film noir. Pada malam hari, pertemuan
protagonis dan femme fatale terjadi. Pada malam hari juga, semua intrik dan tipu
daya antara protagonis dan femme fatale dimainkan. Pada dasarnya, malam hari
mengimbuhkan dua makna pada relasi protagonis laki-laki dan femme fatale.
Pertama, malam hari selalu menjadi waktu kejadian perkara dalam film noir.116
Mayoritas kantor dan fasilitas publik sudah tutup, dan hanya segelintir saja polisi
yang patroli. Singkat kata, Mata publik dan hukum sedang oleng-olengnya.
Individu dapat berbuat sesuka hatinya, termasuk selingkuh dan membunuh orang
untuk mempertahankan perselingkuhan tersebut.
115
Op. Cit., Irwin, hal. 57-60. 116
Ibid., hal. 238.
81
Kedua, malam hari menyimbolkan ketidakpastian eksistensial yang
menyelimuti hubungan tersebut. Dalam konstelasi moral film noir, hubungan
protagonis dengan femme fatale tersebut salah tempat. Hubungan tersebut
melanggar apa yang disucikan dalam film noir: rumah dan tali pernikahan. Saking
sucinya, kedua hal tersebut digambarkan sangat steril. Partisipan kedua hal
tersebut digambarkan sangat khusyuk, alias kaku dan menekan segala keinginan
duniawi. Di luar area rumah dan tali pernikahan adalah kota, lokus di mana segala
yang duniawi berkumpul.117
Protagonis dan femme fatale memilih untuk keluar
dari lingkaran suci rumah, dan mengadu nasib mereka di pojok-pojok gelap
perkotaan. Alhasil, hubungan mereka pun adalah hubungan yang dimulai dari nol.
Mereka tidak lagi didefinisikan oleh amannya lingkungan rumah. Mereka yang
mendefinisikan definisi mereka di tengah kota yang absen oleh moralitas. Dalam
kasus film noir, siapa yang sukses mendefinisikan berarti dia yang selamat dari
hubungan tersebut.
Dari penjelasan hubungan protagonis dan femme fatale di atas, semakin
terkuak detail-detail modus narratif film noir. Pada titik ini, dialektika pathos-
action dalam film noir dapat diturunkan lagi ke unsur yang lebih kecil, atau lebih
tepatnya, ke unsur yang lebih individual. Dengan mempertimbangkan kontras
kota dan rumah, serta karakteristik hubungan protagonis dan femme fatale, pathos
yang menggerakkan film noir adalah kebebasan individu. Dalam hal ini,
kebebasan yang dimaksud adalah kebebasan individu bertindak di tengah segala
batasan moral. Karakter dalam film noir selalu dibatasi oleh kode moral.
Walaupun ada malam hari yang menjadi kesempatan bagi protagonis dan femme
fatale untuk bertindak sesuka hati, mereka tetap harus kembali ke rumah dan
tempat kerja, yang notabene memiliki kode moralnya sendiri.118
Mereka tetap
harus berkompromi dengan lingkungannya demi menjaga kebebasan yang mereka
temukan satu sama lain. Parahnya lagi, ketika protagonis dan femme fatale mulai
saling tidak percaya, mereka harus mencoba menjaga kebebasannya dari moralitas
117
Op. Cit., Maltby, hal. 42. 118
Op. Cit., Irwin, hal. 23-25.
82
semu hubungan mereka. Kondisi karakter di tengah genggaman kode moral inilah
yang menjadi senjata film noir menarik simpati penontonnya.
Action-nya tentu saja pelanggaran kode moral. Protagonis dan femme
fatale melanggar kode moral lingkungannya, dan nantinya hubungan mereka
sendiri, demi mendamaikan emosi mereka. Seperti yang sudah dijelaskan di atas,
pendamaian emosi tersebut tidak dimotivasi apa-apa, kecuali emosi. Tidak ada
pertimbangan rasional di dalamnya. Bila dilogikakan, keputusan protagonis laki-
laki dan femme fatale untuk meninggalkan keamanan kantor dan rumahnya
sangatlah absurd. Mereka semata-mata bosan dan hidup dalam tekanan. Oleh
karenanya, mereka ingin cari petualangan. Namun, tanpa petualangan itu, tidak
akan ada cerita dalam film noir. Singkatnya, tuntutan narratif. Ketika salah satu
atau keduanya mati, petualangan selesai, cerita pun usai.
Oleh karena itu, dalam film noir, setiap pelanggaran selalu berbuah
perkembangan narratif. Setiap kali protagonis atau femme fatale melakukan suatu
jenis pelanggaran kode moral, cerita pun berjalan mendekati garis akhir. Sembari
melayani kepentingan dramatik, pelanggaran dalam film noir selalu mengikuti
pola yang sama: dari makro ke mikro. Awalnya protagonis dan femme fatale
melanggar lingkungannya, dengan memutuskan untuk menjalani hubungan illegal
bersama. Kemudian, mereka melanggar kode moral habitusnya masing-masing.
Protagonis mulai membohongi rekan kerjanya, dan femme fatale menyusun
rencana busuk untuk menyingkirkan suami dan keluarganya. Berikutnya,
komplikasi. Protagonis dan femme fatale saling tidak percaya satu sama lain, dan
mulai mencurigai hubungan mereka sendiri. Mereka pun saling berusaha
menyingkirkan satu sama lain, biasanya lewat pengkhianatan dan pembunuhan.
Pada akhirnya, kematian pun datang mengakhiri rangkaian pelanggaran tersebut.
Kemungkinannya hanya dua: protagonis selamat atau keduanya mati.
Kematian pun menjadi sesuatu yang simbolik. Bila dilihat secara sempit,
kematian merupakan lonceng pengingat bahwa tidak ada harapan dalam dunia
film noir. Dalam perspektif yang lebih luas, kematian merupakan simbol dari
83
represi hasrat seksual dalam film noir.119
Siapapun karakter yang mempunyai
hasrat seksual, maka ia dinyatakan menyimpang dan semesta film noir seakan-
akan berkonspirasi untuk menyadarkan mereka. Kalau tidak sadar juga, terpaksa
disingkirkan. Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, hubungan protagonis
laki-laki dan femme fatale adalah hubungan yang seksual. Semakin mereka
berusaha mempertahankan hubungan tersebut, semakin besar pula antagonisme
yang mendera mereka.120
Pada perkembangannya, mereka menjadi antagonis satu
sama lain dan saling menyingkirkan. Kematian pun menjadi hukuman sekaligus
peringatan bagi mereka berdua. Selalu tampil sebagai bongkahan energi seksual,
femme fatale oleh karenanya selalu mati di akhir cerita film noir. Protagonis
kadang kala mati, kadang kala bertahan hidup. Mereka yang selamat sudah
kehilangan bnayak hal dalam hidupnya, dan tidak punya pilihan lain selain
kembali mengikuti kode moral yang berlaku.
Bila disederhanakan menjadi suatu formula, modus naratif film noir adalah
usaha manusia memperoleh kebebasan individunya, di hadapan kode moral yang
secara aktif mengekang hasrat seksual mereka.
B. Tipologi Karakter Laki-laki dalam Film Noir
Tipologi karakter dalam film noir ditentukan oleh pendirian moral
karakternya. Pendirian moral tersebut kemudian menentukan pengaruh karakter
tersebut terhadap perkembangan narratif. Hal ini berlaku bagi karakter laki-laki
dan perempuan, namun berbeda dalam perwujudannya. Signifikansi karakter laki-
laki dalam narratif film noir dicirikan dengan dua hal: profesi dan ambiguitas.121
Profesi adalah definisi pertama karena ia menjelaskan bagaimana laki-laki
tersebut bertindak dan mengambil keputusan. Profesi juga yang menjelaskan
preferensi laki-laki tersebut, baik dari urusan politik maupun seksual. Maksudnya,
119
Catherine Russell. Narrative Mortality: Death, Closure and New Wave Cinemas. Minneapolis:
University of Minnesota, 1995, hal. 46. 120
Ibid., hal. 54. 121
Frank Krutnik. In a Lonely Street: Film Noir, Genre, Masculinity. New York: Routledge, 1991,
hal. 52.
84
polisi tidak akan melakukan hal-hal yang seorang polisi tidak mungkin lakukan.
Polisi hanya akan melakukan apapun yang diijinkan oleh kode moral profesinya.
Ambiguitas adalah definisi kedua, yang menjadi antitesis dari profesi. Saat
sudah selesai didefinisikan berdasarkan profesinya, maka karakter tersebut
dianalsis berdasarkan tekadnya membengkokkan kode moral profesinya. Suatu
karakter disebut ambigu apabila dia berusaha secara konkrit melakukan hal-hal
yang sebelumnya dianggap tabu oleh profesinya. Semakin ia berusaha melepaskan
diri dari kekangan kode moral profesinya, semakin ambigu dan abu-abu
pendiriannya di wilayah moral. Tentu saja, layaknya film noir, pembangkangan
kode moral profesi tersebut dilakukan demi terpenuhinya kepentingan pribadi.
Berdasarkan penjabaran di atas, dapat dibentuk suatu rumus dalam
menentukan signifikansi karakter laki-laki dalam film noir. Karakter laki-laki
yang memenuhi definisi pertama adalah karakter pendukung, dan yang memenuhi
definisi pertama dan kedua adalah karakter protagonis. Dengan begitu, tipologi
karakter laki-laki dalam film noir hanya ada dua: protagonis dan pendukung
cerita. Bila kemudian diterapkan dalam struktur narratif, tipologi ini menentukan
sejauh mana laki-laki tersebut berpengaruh pada progresi plot. Karakter
pendukung adalah laki-laki yang memenuhi kode moral profesinya. Maka bisa
diprediksi bahwa laki-laki yang berprofesi sebagai polisi akan meneliti TKP dan
menangkap penjahat. Atau, laki-laki yang berprofesi sebagai pengacara akan
mengumpulkan data tentang suatu kasus dan membela kliennya di pengadilan.
Dalam struktur narratif film noir, mereka mewakili konsensus moral
lingkungannya. Mereka hanya akan muncul saat narratif membutuhkan mereka,
yakni saat protagonis melanggar kode moral lingkungan dan perlu dihentikan.
Karakter protagonis adalah laki-laki yang melanggar kode moral
profesinya, dan memilih untuk memenuhi kepentingan pribadinya.122
Tindakannya tersebut berseberangan dari konsensus moral lingkungannya.
Tindakannya tersebut merupakan suatu bentuk subversi konstelasi moral
lingkungannya. Subversi berujung pada konflik, dan konflik dalam setiap struktur
narratif klasik adalah pemantik perkembangan cerita. Dari sini dapat dilihat bahwa
122
Ibid., hal. 119.
85
keberadaan protagonis dalam narratif film noir adalah sebagai awal mula konflik.
Dengan posisi tersebut, karakter protagonis memiliki pengaruh dan kuasa atas
struktur narratif film noir. Tidak heran juga kalau dalam film noir karakter
protagonis adalah karakter yang paling banyak disorot gerak-geriknya oleh lensa
kamera.
Tipologi karakter laki-laki dalam film noir sebenarnya adalah warisan dari
pendahulunya: novel kriminal. Carroll John Daly, penulis seangkatan Dashiell
Hammett, mengatakan bahwa protagonis novel kriminal bersemayam di antara
peradaban yang taat hukum dan dunia kriminal bawah tanah.123
Asosiasinya
dengan hukum adalah murni karena asas kebutuhan, sementara asosiasinya
dengan kriminal adalah karena tuntutan pekerjaan. Ketika dihadapkan dengan
kepentingan pribadinya, ia lebih memilih untuk berusaha dengan cara dan hukum
versinya sendiri.
Secara singkat, Daly menyebut protagonis sebagai seorang petualang dan
karakter laki-laki lainnya sebagai halangan dalam petualangan sang protagonis.124
Petualangan tersebut terjadi secara spasial maupun moral. Spasial merujuk pada
ruang-ruang yang ditembus oleh protagonis, mulai dari tempat kerjanya, jalanan
kota hingga rumah perempuan idamannya. Moral merujuk pada pendirian
protagonis yang terus berayun antara yang legal dan illegal, tergantung mana yang
paling baik melayani kepentingan pribadi protagonis. Laki-laki lainnya terlalu
terikat pada kode moral profesinya. Mereka otomatis menjadi bagian dari
kekuatan yang merepresi segala yang melenceng dari moralitas lingkungan,
termasuk hasrat protagonis untuk mendapatkan apa yang ia idamkan.
C. Tipologi Karakter Perempuan dalam Film Noir
Berbeda dengan signifikansi laki-laki yang terikat dengan profesi dan kode
moralnya, signifikansi perempuan dalam film noir terletak pada cara dia
memperlakukan seksualitasnya. Seksualitas merupakan faktor yang krusial di sini.
Pasalnya, film noir diproduksi dengan asumsi semua perempuan dewasa di
123
Op. Cit., Mayer & McDonnell, hal. 21. 124
Ibid., hal. 22.
86
Amerika adalah ibu rumah tangga. Kode moral seorang ibu rumah tangga adalah
keluarga di atas segalanya. Perempuan yang hidup di luar aksioma tersebut praktis
adalah subversi. Namun, subversi tersebut adalah satu-satunya cara bagi
perempuan dalam film noir untuk memeperoleh kebebasannya. Tanpa profesi dan
nilai yang datang sepaket dengan profesi tersebut, perempuan film noir hanya
punya seksualitasnya untuk menarik perhatian lawan jenis. Bagaimana dia
kemudian mengolah seksualitasnya yang menentukan karakter dan posisi
perempuan dalam narratif film noir.
Berangkat dari argumen di atas, dapat dipetakan tiga jenis karakter
perempuan dalam film noir: femme fatale, perempuan baik-baik (the good
woman), dan perempuan domestik (the marrying type). Dua yang pertama adalah
standar karakter perempuan sejak awal kemunculan film noir, sementara yang
terakhir adalah fenomena yang baru ditemukan dalam film noir tahun 50-an.125
Ketiganya punya versinya masing-masing dalam mengolah seksualitasnya, namun
ketiganya berujung pada kesimpulan yang sama: kehidupan domestik yang
kondusif adalah suatu ketidakmungkinan. Ketiganya menjadi semacam
pernyataan bahwa, di tengah tuntutan untuk hidup komunal, laki-laki dan
perempuan akan lebih memilih untuk mengurusi kepentingan individual.
Dari ketiga jenis perempuan dalam film noir, femme fatale merupakan
serangan terbesar pada peran tradisional perempuan. Femme fatale menolak untuk
berperan sebagai istri yang taat dan ibu yang mengasuh, layaknya yang didkte
oleh masyarakat pada mereka. Di mata para femme fatale, pernikahan adalah
sesuatu yang membatasi, dingin, dan tidak bergairah.126
Pernikahan bukanlah
fenomena yang dilandaskan pada perasaan, melainkan pada asas kebutuhan.
Dalam film noir, tak sedikit femme fatale yang sejak awal cerita digambarkan
sudah punya suami. Sebagai jalan keluar dari ikatan keluarga tersebut, atau
minimal untuk meringangkan tekanan hidup berkeluarga. dia pun memanfaatkan
seksualitasnya untuk memulai hubungan di luar rumah. Di luar rumah, femme
125
Janey Place, Women in Film Noir, dalam Ann Kaplan (ed,). Women in film noir. London:
British Film Institute, 1978, hal. 45. 126
Sylvia Harvey, The Absent Family, dalam Ann Kaplan (ed.). Women in film noir. London:
British Film Institute, 1978, hal. 24.
87
fatale menjadikan dirinya sebagai gairah yang absen dalam kehidupan laki-laki
film noir. Banyak laki-laki yang tertarik, namun hanya protagonis yang terlihat
meresponsnya dengan tindakan dan pada akhirnya penderitaan. Seperti yang
dijabarkan oleh Janey Place, femme fatale jarang sekali terbuai oleh cinta dan
kasih sayang protagonis laki-laki.127
Femme fatale tetap setia pada dirinya dan
kemandiriannya sebagai seorang perempuan. Dia tetap independen walau
hidupnya sedang dalam keadaan terancam.
Ketika dihadapkan dengan laki-laki yang ingin mengontrol dan
memilikinya, femme fatale memilih untuk melakukan pembunuhan demi menjaga
kebebasannya. Masalahnya, dalam semesta film noir, hampir setiap laki-laki
memperlakukan perempuan sebagai barang atau properti. Menurut Sylvia Harvey,
perempuan dalam film noir merupakan perhiasan yang bisa dilepas dan dipakai
seenaknya oleh para laki-laki. Motif cerita ini sudah seringkali dipakai dalam film
noir. Dalam satu adegan di I Wake Up Screaming, film noir tahun 1941, ada tiga
laki-laki yang sedang meratap ketika hubungannya kandas dengan femme fatale
film tersebut. Salah satu di antaranya berkata, “Semua perempuan sama saja.”
Temannya kemudian membalas, “Tapi kita tetap membutuhkan mereka. Mereka
adalah perlengkapan standar.” Contoh lainnya ada di dua film noir tahun 1947. Di
Dead Reckoning, protagonis yang diperankan Humphrey Bogart mengandaikan
semua perempuan seukuran saku baju, sehingga bisa disimpan kalau sedang tidak
dibutuhkan. Di Out of the Past, seorang femme fatale bernama Kathie Moffett
tega menembak suaminya sendiri ketika merasa dikekang. Sang suami kemudian
bertanya pada seorang detektif, yang merupakan protagonis film tersebut. apa
penyebabnya. Detektif tersebut menjawab dengan membandingkan Kathie dengan
seekor kuda balap.
Perlakuan para laki-laki tersebut yang menjadikan femme fatale tidak
percaya dengan institusi pernikahan. Bagi mereka, rumah dan keluarga pada
akhirnya hanya menciptakan kondisi di mana perasaan dan kebahagiaan tidak lagi
relevan. Di mata para femme fatale, pernikahan, atau segala bentuk komitmen
afektif, itu palsu, penuh kebohongan, dan tidak lebih dari sekadar asas kebutuhan.
127
Op. Cit., Place, hal. 54.
88
Dalam Double Indemnity, film noir tahun 1944, Phyllis Dietrichson merasa bahwa
suaminya memperlakukannya sebagai binatang dalam sangkar. “Aku merasa dia
selalu mengawasiku. Dia masih peduli memang, tapi peduli dengan mengikatku
begitu kencang, sampai aku tidak bisa bernafas lagi.” Pada akhirnya, Phyllis pun
berkonspirasi dengan protagonis untuk membunuh suaminya tersebut.
Dalam beberapa film noir, ketidaktertarikan suami terhadap istrinya malah
sangat sadis. Suami malah senang mempermainkan istrinya, sampai-sampai
istrinya tersebut berevolusi menjadi seorang femme fatale. Dalam Postman
Always Rings Twice, film tahun 1946, suami Cora Smith menyarankan istrinya
untuk menghabiskan waktu bersama selingkuhannya, Frank Chambers. Melalui
hal ini, suami mendorong istrinya untuk menjadi femme fatale, dan
menyajikannya ke protagonis laki-laki. Dalam Gilda (1946) dan The Lady from
Shanghai (1948), Rita Hayworth memperoleh perlakuan yang serupa. Dalam
kedua film tersebut, dia menikah dengan suami yang dingin, bosan, dan
berselingkuh dengan protagonis cerita. Saat ketahuan selingkuh, dia ditekan terus-
menerus oleh suaminya. Titik puncaknya adalah saat dia dipaksa suaminya untuk
memanggil selingkuhannya lover di hadapan suaminya sendiri.
Rumah pun menjadi tempat yang sangat steril. Film noir selalu
menggambarkan rumah femme fatale sebagai istana mini yang dipenuhi dengan
perabotan dan pajangan foto yang besar. Banyaknya objek di rumah membingkai
femme fatale menjadi semacam perabotan juga di rumahnya sendiri.128
Ia adalah
properti milik suaminya, dan oleh karenanya tidak punya hak untuk punya inisiatif
dan mengambil keputusan sendiri. Merasa sebagai propertinya, suami punya hak
untuk tidak membuka dan menutup akses femme fatale terhadap hubungan afektif.
Namun, seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, suami femme fatale hampir
pasti memilih untuk mengabaikan istrinya, dan akibatnya tidak memberi
kemungkinan sedikit pun bagi istrinya untuk berhubungan secara afektif di rumah.
Sterilnya pernikahan dalam film noir semakin diperkuat dengan hampir
tidak adanya anak dalam keluarga femme fatale. Suatu kondisi yang kontras
128
Dana B. Polan. Blind Insights and Dark Passages: The Problem of Placement in Forties Film.
Velvet Light Trap, edisi 20, 1983, hal. 29.
89
dengan realita yang ada: 89% keluarga di Amerika periode 40 sampai 50-an
punya anak. Suami femme fatale bisa jadi punya anak dari pernikahan
sebelumnya, seperti yang digambarkan dalam Double Indemnity dan Murder, My
Sweet. Namun, bila menilik umur anaknya, ada implikasi bahwa kegiatan seksual
terakhir sang suami sudah terjadi lama sekali.
Jadilah, femme fatale mencari kesenangannya di luar rumah. Kamera pun
tak segan-segan mengeksploitasi fitur sensual femme fatale ketika dia pertama kali
bertemu dengan protagonis laki-laki. Satu fitur tubuh femme fatale yang paling
sering dieksploitasi kamera adalah kakinya yang jenjang. Penampakan pertama
Velma dalam Murder, My Sweet dan Cora di The Postman Always Rings Twice,
misalnya, adalah gerakan kamera dari kaki lalu zoom out ke badan mereka. Dalam
The Lady from Shanghai, kamera bergerak dari kaki Rita Hayworth lalu ke
badannya yang dibalut oleh pakaian renang. Protagonis Double Indemnity, Walter
Neff, mengaku bahwa gelang kaki milik femme fatale begitu berkesan sampai dia
tidak bisa melupakan pemilik gelang kaki tersebut.
Seksualitas yang secara vulgar ditampilkan femme fatale menjadi
kontradiksi sendiri. Keberadaannya mengancam banyak status quo, mulai dari
moralitas lingkungannya hingga keberlangsungan hidup protagonis. Dia
menggunakan seks sebagai sumber kesenangan dan alat untuk mengontrol para
laki-laki. Hal tersebut jelas berseberangan dengan pandangan seks yang diakui
publik, yakni sebagai aktivitas prokreasi dalam pernikahan. Emansipasi seksual
tersebut menjadi sesuatu yang begitu menarik perhatian, mulai dari protagonis
hingga mata kamera. Usaha-usaha untuk menghentikan gerak-gerik femme fatale
hanya semakin menegaskan betapa signifikannya kebebasan yang ia pancarkan.
Kematiannya di akhir cerita terasa tragis, karena mayoritas yang penonton lihat
adalah imaji femme fatale sebagai perempuan yang sensual dan independen.
Pandangan subversif film noir tentang keluarga dan peran perempuan di
masyarakat juga tercermin dalam jenis kedua karakter perempuannya, perempuan
baik-baik (the good woman). Tidak seperti femme fatale, karakter perempuan ini
menikmati peran tradisionalnya di keluarga dan masyarakat dengan senang hati.
Perannya dalam film noir biasanya dua: istri atau tunangan protagonis.
90
Kemunculannya di film noir menjadi relaksasi bagi protagonis dari ancaman
femme fatale. Namun, saat dihadapkan dengan pilihan, protagonis akan lebih
memilih menderita dengan femme fatale ketimbang hidup nyaman dengan
perempuan baik-baik. Alasannya, sekali lagi, seksualitas. Janey Place melihatnya
bahwa kontras film noir antara perempuan baik-baik dengan femme fatale
sebenarnya adalah kontras antara kenyamanan yang steril dan seksualitas yang
berbahaya.129
Kekalahan perempuan baik-baik terhadap femme fatale
mengimplikasikan bahwa resep kebahagiaan yang dirumuskan masyarakat, yakni
rumah dan pernikahan, itu tidak menarik dan tidak mungkin tercapai.
Kehidupan perempuan baik-baik memang seperti salah tempat dalam
dunia film noir. Nilai-nilai yang ia anut sama dengan nilai-nilai yang
digembargemborkan pemerintah sepanjang pertengahan 40-an sampai akhir 50-
an, yakni kebersamaan dan keakuran komunal. Cara kamera membingkainya juga
sama persis dengan cara film Hollywood klasik membingkai karakter
perempuannya: cahaya terang, kontras rendah, dan ruang terbuka.130
Berbeda
dengan femme fatale yang selalu dibingkai dengan cahaya nyaris gelap, kontras
tinggi, dan ruang yang sempit. Perlakuannya terhadap protagonis juga sangat
berbeda dengan femme fatale: pasif, mengayomi, dan tidak punya konspirasi
untuk menelikung protagonis. Singkatnya, dalam kelamnya film noir, perempuan
baik-baik adalah malaikat yang siap melindungi protagonis dalam dekapan
kekeluargaannya.
Namun, sama juga seperti malaikat, perempuan baik-baik adalah fantasi
yang tidak mungkin digapai oleh protagonis film noir. Keberadaannya hanya
mengimplikasikan bahwa pernikahan dan kehidupan domestik yang kondusif
hanyalah mimpi. Dalam struktur film noir, sedikit sekali adegan yang
menampilkan perempuan baik-baik dan rumahnya. Saking sedikitnya, ketika
adegan tersebut muncul, penonton langsung dikembalikan ke adegan protagonis
dan femme fatale di jalanan gelap kota. Seakan-akan yang nyata dalam film noir
ada di luar rumah, dan apa yang ada di dalam rumah hanyalah mimpi yang tidak
129
Op. Cit., Place, hal. 58. 130
Op. Cit., Polan, hal. 32.
91
pantas bertahan lama. Benar saja, dalam film noir, perempuan baik-baik memang
hampir tidak pernah keluar dari rumahnya. Dalam Out of the Past, Ann tetap setia
pada protagonis cerita walau tahu kehidupannya kelam dan terlibat hubungan
panas dengan femme fatale. Saat ia bertekad mengikuti protagonis dalam
petualangannya, Ann dibohongi agar tetap menjaga rumahnya dan melanjutkan
hidupnya sebagai perempuan baik-baik. The Big Heat malah lebih ekstrem lagi.
Saat mendapat ancaman terhadap suaminya melalui telepon, istri protagonis
langsung keluar rumah dan terbunuh seketika oleh bom di mobilnya.
Dengan tidak memberi protagonisnya kesempatan untuk menikah atau
memiliki kehidupan domestik yang baik, film noir sebenarnya mengulang formula
melodrama Hollywood klasik, namun dengan cara yang terbalik. Protagonis laki-
laki dalam film Hollywood klasik selalu berakhir menikah atau minimal bersama
dengan perempuan idamannya. Dalam film noir, dua perempuan yang menjadi
opsi bagi protagonis sama-sama tidak bisa diakses. Femme fatale selalu menemui
ajalnya sebelum sempat dinikahi, sementara perempuan baik-baik tidak
menjanjikan kebahagiaan jangka panjang.
Memasuki akhir 40-an, para pembuat film noir akhirnya memberi
kesempatan bagi protagonis untuk menikah dalam wujud karakter perempuan
yang ketiga: perempuan domestik (the marrying type). Karakter ini sebenarnya
mirip dengan karakter perempuan baik-baik (the good woman): mereka
memegang nilai yang sama, dan tindakan mereka berorientasi pada keutuhan
rumah. Mereka juga menikmati menjalankan peran tradisional perempuan sebagai
istri yang taat dan ibu yang mengasuh. Bedanya: perempuan baik-baik sikapnya
pasif dan tidak menuntut protagonis, sementara perempuan domestik secara aktif
menekan protagonis untuk memenuhi perannya sebagai suami dan penghidup
keluarga.
Tuntutan inilah yang membuat perempuan domestik bukan pilihan yang
lebih baik dari femme fatale. Ia sama mengancamnya dengan femme fatale, namun
dengan cara yang berbeda. Bila femme fatale dengan seksualitasnya mengajak
protagonis untuk melanggar status quo, perempuan domestik membuat protagonis
ketakutan untuk melanggar status quo. Masalahnya, perempuan domestik tidak
92
memilki sikap mengayomi yang ada dalam perempuan baik-baik. Sebagai istri ia
memang efisien dalam mengurus rumah, namun nol besar soal hubungan afektif.
Perlakuan ke suaminya terdiri dari sarkasme dan peringatan supaya tidak telat
kerja. Protagonis yang ada jadi jengah dengan istrinya, dan memilih mencari
kesenangan di luar rumah. Masalahnya lagi, perempuan domestik seakan-akan
mendapat dukungan penuh dari konstelasi moral film noir, sehingga protagonis
pasti akan ketiban sial sekalinya ia mangkir dari perannya sebagai suami dan
penghidup keluarga. Ganjaran minimalnya adalah penderitaan, ganjaran
maksimalnya tentu saja kematian.
Kemunculan karakter perempuan domestik bertepatan dengan perubahan
karakterisasi protagonis dalam film noir sejak awal 50-an. Bila sebelumnya
protagonis film noir rata-rata berprofesi sebagai detektif swasta, protagonis film
noir awal 50-an dan seterusnya rata-rata merupakan bagian dari kepolisian atau
pekerja kantoran biasa.131
Protagonis dalam Pitfall (1948) bekerja untuk
perusahan asuransi, D.O.A. (1950) sebagai akuntan, The Big Heat (1953) sebagai
penyelidik pembunuhan di kesatuan polisi, sementara Touch of Evil (1958)
sebagai agen pemberantas narkoba di PBB. Profesi yang mereka lakoni
menjanjikan kehidupan dengan gaji yang lebih tetap dan waktu luang yang lebih
stabil ketimbang pekerjaan seorang detektif swasta. Oleh karenanya, pernikahan
bukan lagi suatu ketidakmungkinan, melainkan sesuatu yang sangat mungkin.
Namun, seperti yang sudah dijelaskan, pernikahan dalam film noir sayangnya
tidak didesain sebagai sesuatu yang menyenangkan.
Pitfall memberikan gambaran yang jelas tentang bahayanya perempuan
domestik. Protagonisnya adalah seorang laki-laki yang bosan dengan
pekerjaannya di kantor asuransi. Ia berharap bisa menemukan kesenangan di
rumahnya, namun istrinya seperti tidak simpatik. Saat bangun pagi dan
bernostalgia tentang jaman mereka sekolah dulu, protagonis malah diingatkan
untuk cepat sarapan supaya tidak telat kerja. Saat cerita tentang pekerjaan yang
membosankan, protagonis malah ditanggapi dingin oleh istrinya. Kata istrinya,
131
Deborah Thomas. Film Noir: How Hollywood Deals with the Deviant Male. CineAction!
Journal, 1986, hal. 23.
93
“Kamu tidak sendiri. Ada 50 juta orang lainnya yang merasakan hal yang sama.”
Jadilah, protagonis mencari kesengangan di luar rumah dan menemukannya dalam
wujud seorang model. Sialnya, model tersebut merupakan obsesi dari seorang
teman kerjanya, seorang detektif yang magang di kantor asuransinya. Detektif,
paham dengan status protagonis yang sudah menikah, menjebak protagonis dalam
berbagai kesulitan. Protagonis pun kembali ke rumah dalam keadaan babak belur,
yang lagi-lagi ditanggapi dengan dingin oleh istrinya.
94
BAB IV
ANALISIS TIGA FILM NOIR
A. Double Indemnity (1944)
1. Latar Belakang Historis
Membahas Double Indemnity memerlukan pemahaman perihal
materi serta kejadian-kejadian yang melatari produksi film tersebut. Materi
yang menjadi basis film produksi 1944 tersebut adalah novel Double
Indemnity karya James M. Cain, yang bercerita tentang seorang penjual
asuransi yang jatuh cinta dengan istri kliennya. Karena bosan dan tergiur
dengan uang yang bisa ia dapatkan, perempuan tersebut ingin membunuh
suaminya. Si penjual asuransi setuju membantunya, dan petualangan
keduanya pun berlangsung. Ide untuk Double Indemnity Cain dapatkan dari
kejadian serupa di dunia nyata. Pada tahun 1927, Ruth Snyder, seorang
perempuan New York, membunuh suaminya dan menuntut ganti rugi ke
perusahaan asuransi atas kematian suaminya.132
Cain, yang menghadiri
pengadilan perempuan New York tersebut, mencari tahu lebih detail perihal
pembunuhan tersebut. Dia mendapati bahwa Ruth bertindak demikian atas
bantuan selingkuhannya, yang sudah memanipulasi data asuransi atas nama
suaminya. Cain tertarik menulis ulang kasus tersebut. Dia reka ulang kasus
pembunuhan tersebut menjadi misteri kriminal dengan sentuhan melodrama
rumah tangga.
Pada tahun 1936, Cain akhirnya merilis Double Indemnity ke publik
Amerika. Pada rilisan pertamanya tersebut, Double Indemnity berwujud
sebagai cerita bersambung yang diterbitkan dalam delapan edisi majalah
Liberty. Tujuh tahun kemudian, Cain menyunting kembali cerita
bersambungnya tersebut, dan menjadikannya satu cerita panjang. Cikal
132
Roy Hoopes. Cain: The Biography of James M. Cain. Illnois: Southern Illnois University Press,
1987, hal. 54.
95
bakal novel Double Indemnity tersebut kemudian ia publikasikan dalam
buku Three of a Kind, yang turut mengkompilasi dua cerita pendek karya
Cain. Dalam tiga bulan, buku tersebut menduduki peringkat pertama tangga
penjualan buku di Amerika.133
Kesuksesan Double Indemnity sontak menarik perhatian para
produser di Hollywood. Kesuksesan Maltese Falcon pada tahun 1941
memulai trend film kriminal di Hollywood.134
Ditambah lagi dengan
banyaknya pemberitaan kejadian kriminal di koran-koran, dan populernya
novel kriminal di kalangan kelas pekerja Amerika. Di mata para produser,
Double Indemnity jelas punya potensi ekonomi yang tinggi. Hanya dalam
periode satu minggu, MGM, Warner Bros, Paramount, 20th
Century Fox
dan Columbia bersaing menawarkan harga tinggi pada Cain. Menanggapi
ketertarikan para studio besar atas novelnya, Cain berkomentar, “Para
produser paham kalau faktanya banyak kejahatan terjadi di jalanan, tapi
sedikit film bagus yang menyorot fenomena tersebut. Novel saya jelas akan
jadi film yang disukai publik. Penonton sudah bosan dengan melodrama
murahan, di mana lewat pertengahan film mereka akan berteriak-teriak
minta ganti film. Mereka sudah tahu siapa penjahatnya.”135
Cain benar. Double Indemnity memang nantinya menjadi film yang
disukai publik. Masalahnya, sebelum film tersebut diproduksi, Cain sudah
tidak lagi percaya dengan Hollywood. Ia pernah terlibat dalam produksi
film Hollywood, dan mengaku tidak nyaman dengan segala tekanan yang
harus ia hadapi. Konsekuensinya: Cain urung terlibat. Pada tahun 1943,
Cain mengijinkan Paramount membeli hak adaptasi bukunya seharga
$25.000, namun menolak menandatangani kontrak kerja dengan
Paramount.136
Tanpa keterlibatan Cain, Paramount kekurangan tenaga ahli
untuk menerjemahkan Double Indemnity ke layar lebar. Bila dibandingkan
133
Ibid., hal. 61. 134
Frank Krutnik. In a Lonely Street: Film Noir, Genre, Masculinity. New York: Routledge, 1991,
hal. 11. 135
Op. Cit., Hoopes, hal. 49. 136
Kevin Lally. Wilder Times: The Life of Billy Wilder. New York: Henry Holt & Company, 1996,
hal. 126.
96
kesulitan yang akan menghadapi Paramount berikutnya, penolakan Cain
sebenarnya masalah yang sepele. Pasalnya, paska tersiarnya kabar
pembelian hak adaptasi Double Indemnity oleh Paramount, pemerintah jadi
gusar. Pemerintah khawatir film-film kriminal bakal mendominasi bioskop,
dan merusak moral masyarakat Amerika. Apalagi, dua tahun setelah
Maltese Falcon, ada The Shadow of a Doubt karya Alfred Hitchcock. Film
tersebut merupakan salah satu film terlaris di jamannya. Tidak heran kalau
kemudian kehausan penonton Amerika akan film kriminal tersulut.
Masalahnya, dengan terlibatnya Amerika di Perang Dunia II, pemerintah
menekan Hollywood untuk memproduksi hiburan-hiburan yang positif.
Dalam kasus ini, positif berarti mempromosikan patriotisme dan
mendukung citra Amerika sebagai negara yang bermoral. Tidak heran kalau
yang terjadi kemudian adalah tidak turunnya ijin dari pemerintah ke
Paramount untuk memproduksi naskah Cain. Double Indemnity pun
tertunda produksinya.
Memasuki tahun 1944, sikap pemerintah terhadap film-film kriminal
tidak juga melunak. Pengajuan ijin mereka yang kedua juga ditolak
pemerintah, namun Paramount memilih untuk maju terus. Baru ketika
Double Indemnity sedang diproduksi, pemerintah akhirnya mengijinkan
Paramount merilis filmnya, dengan syarat Paramount melakukan beberapa
perubahan minor dalam naskahnya. 137
Soal naskah, Paramount telah
menemukan solusinya. Adalah Raymond Chandler yang dipercayai
Paramount untuk mengolah novel James M. Cain. Pemilihan Chandler
sebagai substitusi Cain adalah sebuah keputusan yang bijak, aman sekaligus
pragmatis. Pasalnya, Chandler adalah bagian dari trinitas penulis kriminal
di Amerika, di mana dua lainnya adalah James M. Cain dan Dashiell
Hammett. Dalam kasus Double Indemnity, Chandler dianggap Paramount
dapat mengganti tempat Cain, karena keduanya memiliki latar belakang
137
Ibid., hal. 128.
97
yang sama.138
Keduanya pernah terlibat dalam dunia militer, dan keduanya
sekali jadi tentara relawan dalam perang. Dalam karier penulisannya,
keduanya sering menulis berdasarkan kejadian nyata yang mereka temukan
dalam koran, dan mengembangkannya menjadi narasi panjang suatu drama
kriminal.
Satu-satunya faktor yang membedakan Cain dan Chander adalah
gaya penceritaannya. Cain, meski karya-karyanya dikategorikan sebagai
misteri kriminal, lebih berfokus pada drama. Mayoritas protagonis
ceritanya adalah orang biasa, yang kebetulan melakukan tindakan
kriminal.139
Rasa bersalah paska melakukan tindakan kriminal yang
dikembangkan Cain sebagai tulang punggung naratifnya. Kecenderungan
karakterisasi tersebut dapat dideteksi dalam bibliografinya Cain. Mulai dari
The Postman Always Rings Twice (1934), Mildred Pierce (1941), The Root
of His Evil (1951), The Magician’s Wife (1965) hingga Cloud Nine (1984),
Cain konsisten menggunakan orang-orang biasa sebagai protagonisnya.
Bagi Cain, kejahatan adalah naluri yang sejak lahir ada dalam alam bawah
sadar manusia.140
Kondisi dan kesempatan yang memungkinkan naluri
tersebut bangkit, dan mendorong manusia untuk bertindak di luar garis
hukum.
Berbeda dengan Cain, Chandler adalah penulis cerita detektif
murni.141
Protagonisnya adalah detektif yang memang menginvestigasi
suatu kasus kriminal. Dalam investigasinya, si detektif menghadapi banyak
komplikasi, mulai dari pertemuannya dengan femme fatale, hingga
pengkhianatan yang dilakukan femme fatale. Faktor yang membuat
Chandler dengan penulis cerita detektif lainnya adalah ambiguitas moral
yang terkandung dalam protagonisnya. Meski bekerja membongkar kasus
kriminal, suatu aktivitas yang normalnya berada di dalam garis hukum,
138
John T. Irwin. Unless The Threat of Death Behind Them: Hard-Boiled Fiction and Film Noir.
Baltimore, Maryland: Johns Hopkins University Press, 2006, hal. 71. 139
Op. Cit., Hoopes, hal. 16. 140
Ibid., Hoopes, hal. 22. 141
Op. Cit., Irwin, hal. 71.
98
detektif dalam cerita Chandler memilih untuk memakai metodenya sendiri.
Konsekuensinya: detektif dalam cerita Chandler tidak segan terlibat dalam
hubungan tidak senonoh dengan femme fatale, dan membunuh orang ketika
keselamatan dirinya terancam. Chandler mendesain protagonisnya sebagai
individu yang menolak bernegosiasi dengan hukum, walaupun dia
seharusnya bertindak demikian. Ada tuntutan hukum atau tidak,
tindakannya selalu berlandaskan kepentingan dirinya sendiri.
Perbedaan gaya bercerita Cain dan Chandler tersebut berpengaruh
pada kualitas formal film Double Indemnity. Novelnya sendiri mengusung
naratif alur maju dengan sudut pandang orang pertama. Seluruh kejadian
dilihat dari sudut pandan Walter Neff, penjual asuransi yang menjadi
protagonis Double Indemnity. Dalam mengadaptasi novel tersebut ke layar
lebar, Chandler melakukan dua perubahan. Perubahan pertama adalah
struktur temporalnya. Naratif dalam film tidak berjalan maju layaknya di
novel. Sebaliknya, Chandler memotong kejadian-kejadian yang dialami
Neff, dan menyusunnya kembali dalam naratif maju-mundur. Kalau dalam
novel, Neff mengawali ceritanya dengan menawarkan asuransi ke kliennya.
Dalam film, Neff terlihat masuk ke kantornya pada malam hari.
Sesampainya di dalam kantor, dia menceritakan kembali kejadian-kejadian
yang dia alami ke sebuah mesin perekam. Pola ceritanya jadi bolak balik
antara Neff bercerita ke mesin perekam, dan adegan-adegan yang
memvisualisasi kejadian yang dialami Neff.
Dengan struktur temporal yang maju-mundur, Chandler menjadikan
Neff sebagai orang biasa yang menginvestigasi kasusnya sendiri. Dengan
kata lain, apa yang tadinya protagonis orang biasa versi Cain berubah
menjadi detektif versi Chandler dalam film. Inilah perubahan kedua yang
dilakukan Chandler. Setiap awal adegan kejadian yang dialaminya, Neff
menarasikan ambiguitas moral yang ia hadapi. Ia sadar dirinya sedang
bertindak di luar batas yang ditentukan hukum. Namun, apa daya,
pembunuhan sudah terjadi dan Neff siap bertanggung jawab atas
pilihannya. Konsekuensinya: setiap baris pengakuan yang Neff ucapkan ke
99
mesin perekam menjadi pisau bedah atas anatomi kesalahannya sendiri.
Pada pola cerita tersebut, film Double Indemnity merangkai narasinya.
2. Pengakuan, Kilas Balik dan Konstruksi Keluarga
Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, modus naratif Double
Indemnity berporos pada pengakuan protagonis cerita ke sebuah mesin
perekam suara di kantornya. Pengakuan tersebut nantinya yang menjadi
penjelas dari segala visualisasi kejadian yang ada dalam plot film. Sebagai
sebuah bentuk narasi, pengakuan (confession) bersifat personal, atau
setidaknya mempunyai cakupan yang sangat lokal. Semua kejadian didikte
oleh seorang narasumber, yang dilihat dari sudut pandang personal dan
mau tidak mau berkaitan dengan kepentingan pribadi tersebut. Berkaitan
dengan kepentingan penelitian ini, sistem naratif haruslah dibedah dari
pilar-pilar penyokongnya. Apabila pengakuan, sebagai sebuah bentuk
narasi yang sifatnya personal, merupakan modus narasi dari Double
Indemnity, maka hal pertama yang harus dibahas adalah karakteristik dasar
protagonisnya. Analisis protagonis kemudian akan membuka tingkap-
tingkap wawasan yang lebih luas perihal Double Indemnity.
Protagonis Double Indemnity adalah Walter Neff: seorang pekerja
kantor asuransi, dengan pendapatan stabil, dan tidak punya tanggungan
keluarga. Sejak awal film, Neff digambarkan dalam kondisi tidak stabil.
Hal ini terlihat dari gambar pertama yang penonton lihat dalam Double
Gambar A.1 Gambar A.2
100
Indemnity, yakni siluet seorang laki-laki bertopi bundar, yang jalannya
pincang dengan sepasang tongkat penyokong (Gambar A.1). Gambar
tersebut kemudian berganti ke sekuens pembuka film, dimana penonton
melihat Walter Neff pada suatu malam berjalan lemas ke dalam kantornya
(Gambar A.2). Pada titik ini, penonton belum tahu apa motivasi protagonis
masuk kantornya. Sekuens adegan tersebut terjadi di malam hari, dimana
tidak ada orang dalam kantor Neff, kecuali pegawai penjaga pintu. Neff
masuk ke dalam ruang kerja, menyalakan mesin perekam suara, kemudian
bercerita tentang masalahnya. Pada adegan terakhir tersebut, penonton
dapat melihat atribut Neff sama dengan siluet laki-laki pincang di awal
film (Gambar A.3). Asosiasi antara siluet laki-laki pincang dan Neff pun
tercipta. Bedanya hanya satu: Neff tidak berjalan dengan tongkat
penyokong, walau jalannya sama-sama pincang.
Pada titik ini, informasi yang diketahui penonton adalah
protagonisnya baru saja melewati sebuah masalah. Masalah tersebut yang
kemudian diceritakan Neff melalui pengakuannya ke mesin perekam.
Pengakuan Neff ditujukan pada teman kerjanya bernama Barton Keyes.
Keyes adalah seorang manajer klaim, yang menentukan klaim asuransi
mana yang benar dan mana yang salah. Dia yang menjaga perusahaannya
menghamburkan uang untuk klaim asuransi yang salah. Keyes siap
mengerjakan pekerjaan seorang detektif dan menganalisa apakah suatu
kecelakaan benar-benar terjadi, atau hanya rekayasa orang-orang yang
ingin cari uang saja. Neff dan Keyes sudah kenal dan bekerja sama selama
Gambar A.3
101
11 tahun. Dalam film, kedekatan keduanya tergambar dari tindakan Neff
mengeluarkan korek untuk menyalakan cerutu Keyes (Gambar A.4, A.5
dan A.6). Sepanjang film, gestur Neff ke Keyes tersebut terus berulang,
dan memperoleh affirmasinya di akhir film.Ada serangkaian kalimat kunci
dalam narasi pembuka pengakuan Neff, yakni “Yes, I killed him. I killed
him for money and a woman. And I didn’t get the money and I didn’t get
the woman. Pretty, isn’t it?” Dalam rangkaian kalimat tersebut, terdapat
empat potongan informasi yang penonton terima: uang, pembunuhan,
perempuan, dan kegagalan usaha protagonis. Keempat potongan informasi
tersebut jelas memainkan ekspetasi penonton tentang kejadian-kejadian
dalam Double Indemnity. Pada level dasar, penonton setidaknya tahu
bahwa film akan bercerita seputar usaha protagonis membunuh seorang
laki-laki demi uang dan seorang perempuan, dan protagonis gagal. Hal
yang belum penonton ketahui adalah caranya bagaimana dan kenapa
protagonis bisa gagal. Dua pertanyaan tersebut yang kemudian satu per
satu terjelaskan dalam naratif maju-mundur Double Indemnity, yang
mengandung empat kilas balik (flashback). Tiga kilas balik pertama
Gambar A.4 Gambar A.5
Gambar A.6
102
masing-masing berdurasi dari 22 sampai 30 menit, sementara yang
terakhir berdurasi 12 menit. Masing-masing kilas balik memiliki
wacananya sendiri tentang konstruksi keluarga dalam Double Indemnity.
3. Konstruksi Rumah Sebagai Penjara
Kilas balik pertama, yang berlangsung dari menit 00:07:11 sampai
00:29:06, berfungsi layaknya babak pertama dalam struktur cerita tiga
babak, yakni sebagai persiapan cerita (setup). Berdasarkan sudut pandang
Neff, plot film pun mundur ke masa lampau. Adegan pertama yang
penonton lihat adalah Neff mengunjungi rumah Mr. Dietrichson, salah
satu kliennya. Pada adegan tersebut, Neff pertama kali bertemu dengan
Phyllis Dietrichson, istri kliennya. Dilihat dari komposisi ruangnya,
pertemuan pertama Neff dengan Phyllis menyiratkan ketidakseimbangan.
Neff berada dekat pintu masuk di lantai bawah, sementara Phyllis di lantai
atas (Gambar A.7 dan A.8). Phyllis berada lebih tinggi dari Neff. Dalam
kondisi tidak seimbang tersebut, keduanya berkenalan. Posisi yang tidak
seimbang tersebut menjadi petunjuk bagi prospek relasi mereka ke depan,
dimana Phyllis secara metafor akan selalu berada di atas Neff.
Selagi menunggu Phyllis bersiap dan turun ke bawah, Neff masuk ke
ruang tamu kediaman Dietrichson. Di sana, dia menunggu sembari
menganalisa perabot-perabot yang ada di sekitarnya. Ruang tamu dalam
bahasa Inggris adalah living room. Bila dipahami secara harafiah, living
room berarti „ruang untuk hidup‟, baik dalam bahasa Inggris maupun
bahasa Indonesia. Dalam konteks Double Indemnity, pemahaman ruang
Gambar A.7 Gambar A.8
103
tamu sebagai ruang untuk hidup masuk akal, mengingat di ruangan tersebut
Neff mempelajari detail-detail kehidupan keluarga Dietrichson. Sampai
film berakhir, ruang tamu adalah satu-satunya tempat dalam rumah
keluarga Dietrichson yang menampilkan segala aktivitas keluarga
Dietrichson dan interaksi Neff dengan Phyllis. Detail pertama yang Neff
ketahui adalah Phyllis ternyata merupakan istri kedua dari Mr. Dietrichson.
Istri pertama sudah lama meninggal, tapi sempat melahirkan seorang anak
perempuan. Dalam film informasi tersebut dari dua foto yang ada di atas
piano di ruang tamu. Foto pertama adalah Mr. Dietrichson, foto kedua
adalah Lola. Tidak ada foto Phyllis (Gambar A.9).
Ketiadaan foto Phyllis di ruang tamu menyiratkan seberapa
signifikan posisinya dalam keluarga Dietrichson. Sebagai tempat dalam
rumah yang biasa dikunjungi oleh orang-orang di luar lingkar keluarga,
ruang tamu secara umum menjadi etalase dari keluarga yang mendiami
rumah tersebut. Sebagai sebuah etalase, ruang tamu tentunya dapat
menandakan macam-macam, namun semuanya berujung ke satu hal:
affirmasi keberadaan anggota keluarga. Mr. Dietrichson hanya menganggap
Lola, anaknya dari istrinya yang pertama, ada. Phyllis dianggap tidak ada,
atau lebih tepatnya, ada tapi tidak bermakna.
Menjadi menarik kemudian melihat dua adegan Neff dan Phyllis di
ruang tamu kediaman Dietrichson dalam kilas balik pertama. Dalam kedua
adegan tersebut, terdefinisikan posisi Phyllis dalam naratif Double
Indemnity. Adegan pertama terjadi beberapa menit setelah pertemuan
pertama Phyllis dengan Neff. Sebagai seorang penjaja program asuransi,
Neff tentunya langsung menawarkan dagangannya. Sembari melakukan
pekerjaannya, Neff pun menggoda Phyllis. Jawaban yang ia dapat adalah
penolakan, yang disertai dengan pertemuan satu kali lagi di tempat yang
Gambar A.9
104
sama. Pada titik ini, Phyllis masih menjaga statusnya sebagai istri orang,
walau keberadaannya secara afektif tidak diakui. Adegan berikutnya
merupakan pertemuan kedua Phyllis dan Neff. Kali ini, Phyllis bertindak
lebih aktif. Dia banyak bertanya soal program asuransi ke, yang dijawab
dengan cergas oleh Neff. Namun, Neff mulai curiga dengan pertanyaan
Phyllis soal asuransi kecelakaan. Neff menuduh Phyllis ingin membunuh
suaminya, lalu kabur membawa uang dari asuransi. Phyllis mencoba
mengelak, namun Neff yakin pada instingnya. Neff pun keluar rumah,
merasa jijik dengan niat Phyllis. Pada titik ini, Phyllis terkesan punya
agenda sendiri. Sederhananya, Phyllis mengaffirmasi perannya sebagai
femme fatale ke penonton.
Rencana Phyllis membunuh suaminya yang tadinya tersirat akhirnya
terkonfirmasi melalui dua hal. Pertama, secara gamblang, dalam adegan
terakhir di kilas balik pertama. Adegan tersebut terjadi di apartemennya
Neff. Tanpa diduga, Phyllis menemukan tempat tinggal Neff. Dia masuk
dan mengaffirmasi niat membunuh suaminya. Neff awalnya menolak, tapi
tidak bisa menyembunyikan perasaannya ke Phyllis. Mereka pun
bercumbu. Pasca momen sentimentil tersebut, Phyllis cerita tentang
suaminya, yang selalu marah setiap Phyllis belanja, dan hanya peduli pada
kesejahteraan hidup Lola. Walaupun melibatkan uang, pembunuhan yang
Phyllis rencanakan sebenarnya adalah usahanya untuk membebaskan
dirinya.
Affirmasi kedua terjadi lebih subtil, yakni melalui pencahayaan dua
adegan ruang tamu. Kedua adegan tersebut divisualisasi melalui teknik
pencahayaan Venetian blind lighting (Gambar A.10 dan A.11). Dalam
Gambar A.10 Gambar A.11
105
prakteknya, teknik tersebut melibatkan sorotan lampu yang ditabrakkan ke
kontur-kontur di jendela. Hasilnya: tercipta bayangan seperti jeruji penjara
di tembok dan badan karakter. Menurut John F. Seitz, sinematografer
Double Indemnity, teknik tersebut untuk membingkai karakter.142
Efeknya
ke penonton adalah kondisi tertekan dan terjebak. Dibingkai dalam
Venetian blind lighting, ruang tamu dalam Double Indemnity menjadi
semacam „penjara‟ bagi karakter-karakter yang mendiaminya. Bagi Phyllis,
satu-satunya jalan keluar dari „penjara‟ tersebut adalah dengan membunuh
suaminya, orang yang punya kuasa atas ruang tersebut, yang berarti juga
berkuasa atas ruang-ruang yang lebih privat dalam rumah tersebut.
Pembunuhan dalam Double Indemnity memiliki dua muatan makna.
Bagi femme fatale, pembunuhan bermakna jalan menuju kebebasan
domestik. Bagi protagonis laki-laki, pembunuhan berarti petualangan
romantik. Makna keduanya berbeda, namun berujung pada satu hal yang
sama: kegelisahan eksistensial. Kegelisahan eksistensial adalah fenomena
personal, yang dalam prakteknya harus dinegosiasikan dengan lanskap
moral dan sosial di sekitarnya. Tidak semua kegelisahan eksistensial bisa
dituntaskan, karena beberapa berpotensi mengingkari jaring pengaman
yang selama ini terjaga oleh konstelasi moral dan status sosial individu.
Berarti, ada pilihan lain yang tersedia bagi Neff dan Phyllis. Phyllis tidak
harus membunuh suaminya. Neff juga tidak harus membantu Phyllis dan
membahayakan hidupnya sendiri. Keduanya bisa saja menanggung
kegelisahan masing-masing dan membiarkan hidup berjalan seperti
sebelum-sebelumnya. Namun, mereka memilih untuk melakukan
sebaliknya. Usaha mereka itulah yang dikronologikan dalam kilas balik
kedua.
142
Ed Sikov. On Sunset Boulevard: The Life and Times of Billy Wilder. New York: Hyperion,
1998, hal. 206.
106
4. Konsensus Sosial Versus Keinginan Individual
Kilas balik kedua, yang berlangsung dari menit 00:30:09 sampai
01:00:09. berfungsi sebagai komplikasi plot (plot complication). Pada
bagian ini, konflik cerita mulai berkembang. Sekuens pembukanya adalah
adegan Phyllis dan Neff bermesraan di ruang tamu apartemen Neff. Adegan
penutup sekuens adalah Neff di jendela apartemennya melihat Phyllis pergi.
Sekuens tersebut menegaskan bahwa setiap kilas balik dalam Double
Indemnity merupakan opini seorang laki-laki. Ia bersifat maskulin, dan
melihat segala hal dari kebutuhan dan kerangka referensi seorang laki-laki.
Di satu sisi, terpetakan sebuah relasi yang berulang sampai akhir film,
yakni analisis satu arah dari Neff ke Phyllis, dari protagonis laki-laki ke
femme fatale. Di sisi lain, apabila melihat kembali awal pertemuan mereka,
analisis tersebut terjadi di tengah relasi yang tidak imbang antara Neff dan
Phyllis. Phyllis meminta Neff untuk membantu rencana pembunuhannya,
yang berpotensi membahayakan hidup Neff sendiri. Phyllis sebagai femme
fatale mendorong protagonis laki-laki ke dalam agendanya sendiri,
sementara protagonis laki-laki hanya mampu menganalisa perempuan dari
jarak tertentu. Dalam kerangka tersebut, relasi laki-laki dan perempuan
dalam Double Indemnity terdefinisikan. Dalam kerangka itu juga, detail-
detail pembunuhan dalam Double Indemnity memperoleh maknanya
sendiri.
Pembunuhan yang dijalankan Neff dan Phyllis membutuhkan tanda
tangan Mr. Dietrichson. Neff berharap bisa menjebak suami Phyllis untuk
menandatangani kontrak asuransi kecelakaan, tanpa sepengetahuan Mr.
Dietrichson sendiri. Dengan begitu, Neff dan Phyllis dapat membunuh Mr.
Dietrichson, dan mendapatkan uang dari tindakan kriminal tersebut.
Peniupuan Mr. Dietrichson terjadi di adegan kedua di kilas balik kedua.
Lokasinya di ruang tamu kediaman Dietrichson. Penipuan tersebut berhasil,
yang artinya Phyllis sukses membuat suaminya dalam kapasitas tertentu
menggali kuburnya sendiri. Kondisi keluarga yang sudah terjadi, yakni
antara Phyllis dan Mr. Dietrichson yang sejak awal film berstatus menikah,
107
tereduksi ke sebuah pengkhianatan dan sekantong uang yang menyertainya.
Kondisi keluarga yang belum dan mungkin terjadi, yakni antara Neff dan
Phyllis yang berharap bisa bersama setelah semuanya selesai, dipantik oleh
aktivitas bersama yang dilumuri oleh darah orang lain.
Dilihat dari simbol-simbol yang menyertai Neff dan Phyllis, kedua
kondisi keluarga yang penonton lihat dalam Double Indemnity berlawanan
dengan konsensus sosial lingkungannya. Maksudnya, kedua kondisi
keluarga tersebut berdasar pada individualitas, sementara lingkungan sosial
lebih mengakui kolektivitas. Di adegan ketiga di kilas balik kedua, Neff
mendapat tawaran kerja yang lebih bergengsi dari Keyes. Neff menolaknya
mentah-mentah. Neff mengaku dia hanya termotivasi oleh aspek finansial
dari pekerjaannya. Walau lebih bergengsi, pekerjaan baru yang ditawarkan
tersebut mengharuskan Neff turun gaji sebesar $50. Neff jelas tidak mau.
Ketika disarankan sebaiknya menikah agar paham dengan signifikansi
pekerjaan baru tersebut, Neff menolak dan menyatakan tidak tertarik untuk
berkeluarga. Neff malah balik mempertanyakan Keyes, yang juga sama-
sama belum menikah dan tidak tertarik untuk keluarga.
Simbol yang menyertai Phyllis lebih subtil. Di adegan keempat
dalam kilas balik kedua, Phyllis terlihat belanja di sebuah mini market.
Sebenarnya Phyllis hanya mencari tempat netral, agar ia tidak dicurigai saat
bertemu dengan Neff. Di lorong makanan bayi, Phyllis dan Neff pun
bertemu dan berbisik perihal perkembangan rencana pembunuhan mereka.
Selama mereka bicara, kamera membingkai Phyllis di dekat dengan papan
bertuliskan baby food, seakan-akan mengasosiasikan status Phyllis sebagai
Gambar A.12
108
ibu rumah tangga dan rutinitas yang seharusnya ia lakukan (Gambar A.12).
Selain itu, ada dua interupsi yang memotong pembicaraan mereka.
Keduanya adalah ibu rumah tangga, yang berhenti di antara mereka untuk
belanja kebutuhan sehari-hari (Gambar A.13 dan A.14). Interupsi tersebut
menjadi semacam kontras antara Phyllis yang berniat membunuh suaminya
sendiri untuk kepentingan pribadi, dan ibu-ibu rumah tangga biasa yang
mencoba menjaga keluarganya.
Individualitas Neff dan Phyllis direkatkan oleh darah Mr.
Dietrichson, yang mengucur setelah dibunuh oleh Neff. Pembunuhan
tersebut membawa implikasinya sendiri, dan secara signifikan
mempengaruhi relasi Neff dan Phyllis. Keduanya adalah satu-satunya
potensi kondisi keluarga dalam Double Indemnity. Masalahnya,
pembunuhan Mr. Dietrichson hanya semakin memerosokkan Neff dan
Phyllis ke dalam individualitasnya masing-masing. Phyllis punya
rencananya sendiri, sementara Neff gerah dengan perasaan waswas setelah
Keyes berniat menginvestigasi kasus kematian Mr. Dietrichson. Potensi
kondisi keluarga antara Neff dan Phyllis tersebut yang dipertanyakan dalam
kilas balik ketiga.
5. Formasi Keluarga di Tengah Paranoia
Sama seperti kilas balik sebelumnya, kilas balik ketiga juga
berfungsi sebagai komplikasi plot (plot complication), dengan persiapan
menuju klimaks cerita (climax). Kilas balik tersebut berlangsung dari menit
01:00:33 sampai 01:26:49. Adegan pertama dari kilas balik ketiga terjadi di
Gambar A.13 Gambar A.14
109
kantor Neff. Di sana, Keyes mengajak Neff untuk menemui bos mereka,
untuk membicarakan kasus kematian Mr. Dietrichson. Di luar dugaan, atas
undangan bos Neff dan Keyes, Phyllis datang di tengah-tengah
pembicaraan mereka. Pada adegan inilah, Neff dan Phyllis harus
memainkan perannya masing-masing, untuk menjaga kelanggengan
hubungan mereka. Neff bersikap layaknya penjual program asuransi,
sementara Phyllis sebagai seorang janda yang baru saja kehilangan
suaminya (Gambar A.15). Mereka pura-pura tidak saling kenal akrab,
supaya Keyes dan bosnya tidak curiga. Pengelabuan pun sukses. Bos
mereka beranggapan bahwa Mr. Dietrichson bunuh diri, sementara Keyes
tidak curiga kalau ada orang luar yang terlibat dalam kematian Mr.
Dietrichson. Keyes secara tidak langsung malah mendukung kausa Neff
dan Phyllis, dengan mengatakan bahwa kematian Mr. Dietrichson bukanlah
bunuh diri. Menurut Keyes, Mr. Dietrichson benar-benar kecelakaan, dan
perusahaan harus membayar Phyllis karena kontrak asuransi mereka
dengan suaminya.
Kesuksesan Neff dan Phyllis mengelabui Keyes dan bosnya ternyata
hanya membawa masalah baru. Dalam adegan-adegan berikutnya, Neff dan
Phyllis kesulitan bertemu layaknya mereka biasa bertemu. Keduanya harus
saling sembunyi, karena Keyes berniat mengawasi Phyllis setiap hari
sampai ia menemukan petunjuk lain soal kematian Mr. Dietrichson. Pada
titik inilah, potensi kondisi keluarga antara Neff dan Phyllis mulai meredup.
Satu-satunya penanda hubungan mereka di mata publik adalah pembunuhan
Mr. Dietrichson. Di luar itu, tidak ada penanda lain, yang secara legal dan
moral lebih sesuai dengan lanskap sosial di lingkungan mereka. Keduanya
hanya bisa bertemu diam-diam di tempat netral, alias di sebuah mini market
Gambar A.15
110
di adegan terakhir di kilas balik ketiga. Pada adegan tersebut, hubungan
mereka berevolusi dari afektif ke destruktif. Keduanya mencurigai satu
sama lain. Neff khawatir Phyllis punya agenda sendiri, dan sebaliknya.
Pembunuhan Mr. Dietrichson menjadi pisau yang bisa digunakan untuk
Neff atau Phyllis untuk menikam satu sama lain. Masalahnya, kondisi
memihak pada Phyllis, si femme fatale. Dia bisa saja membeberkan fakta
tentang keterlibatan Neff tanpa beban. Phyllis bisa berdalil bahwa dia
berada di pihak yang rugi, karena dia baru saja kehilangan seorang suami.
Adegan pertemuan Neff dan Phyllis, yang menggambarkan relasi mereka
yang tidak seimbang, terwujud signifikansinya.
Neff tidak punya alasan yang kuat untuk mendukung dirinya sendiri
nanti kalau buka mulut soal Phyllis. Dia yang mengkonsep pembunuhan
Mr. Dietrichson. Berkat pengetahuannya soal bisnis asuransi, dia tahu
bagaimana cara mendesain sebuah kematian yang sempurna, sebuah
kematian yang tidak akan terlihat salah di mata manajer klaim macam
Keyes. Informasi yang dia punya soal Phyllis juga terlalu rahasia, dan
hanya bisa diakses oleh orang-orang berpengalaman macam Neff. Phyllis
boleh jadi yang punya ide untuk membunuh suaminya, namun di lapangan
Neff akan selalu terlihat lebih salah dari Phyllis. Pembunuhan yang
awalnya menyatukan Neff dan Phyllis malah tidak membebaskan
keduanya. Keduanya malah makin terjebak dalam paranoia masing-masing.
6. Keakraban Menjelang Kematian
Kilas balik keempat merupakan resolusi cerita (resolution), dimana
potensi kondisi keluarga antara Neff dan Phyllis dipertaruhkan di titik
klimaks (climax), dan berlanjut ke kejadian-kejadian pasca klimaks
(aftermath). Berlangsung dari menit 01:27:11 hingga menit 01:47:20, kilas
balik yang satu ini dimulai dengan perkembangan terbaru soal kematian
Mr. Dietrichson. Di adegan kedua, Keyes memanggil Neff dan bilang kalau
dia menemukan orang ketiga dalam kasus Mr. Dietrichson. Menurut Keyes,
orang ketiga itu adalah Nino Zachetti, pacarnya Lola. Neff curiga kalau
111
Keyes hanya pura-pura dan sebenarnya tahu kalau Neff adalah pelaku
sebenarnya. Neff pun menunggu Keyes pergi, dan diam-diam mengendap
ke kantor Keyes. Adegan ini direkam dengan teknik pencahayaan Venetian
blind (Gambar A.16). Metafora penjara kini diterapkan pada tempat
kerjanya Neff. Dia terjebak dalam pekerjaannya sendiri, dan dia harus
mencari jalan keluar dari masalah tersebut. Neff memutuskan untuk
menelpon Phyllis dan mengajaknya untuk bertemu.
Pertemuan Neff dan Phyllis menjadi klimaks cerita Double
Indemnity. Kejadiannya mengambil tempat di ruang tamu kediaman
Dietrichson. Awalnya, penonton melihat kejadian yang tidak diketahui oleh
Neff, yakni Phyllis menyelipkan sepucuk pistol di balik sofa. Ketika Phyllis
mematikan lampu dan menunggu di ruang tamu untuk bertemu Neff,
penonton melihat bahwa cahaya di ruangan tersebut bercorak layaknya
jeruji penjara. Teknik Venetian blind lagi-lagi diterapkan, dan metafora
penjara berlaku untuk kejadian yang akan terjadi antara Neff dan Phyllis di
ruang tamu tersebut (Gambar A.17 dan A.18). Neff masuk dan bicara
dengan Phyllis. Dia bilang dia mau meninggalkan Phyllis, dan akan
Gambar A.16
Gambar A.17 Gambar A.18
112
melimpahkan pembunuhan tersebut ke Zachetti. Phyllis tidak setuju dan
menembak Neff ketika dia sedang lengah. Tembakan tersebut menandai
kematian potensi kondisi keluarga di antara mereka berdua. Keduanya
bukan lagi pasangan, tapi sepasang individu yang tidak segan
menyingkirkan satu sama lain.
Neff tidak langsung mati dari tembakan Phyllis. Dia hanya terluka
parah dan sukses merebut pistol Phyllis. Layaknya femme fatale dalam
setiap film noir, Phyllis memanfaatkan aura fisiknya untuk menggoda Neff,
dan melupakan semua yang baru saja terjadi. Neff tidak percaya dan
menembak Phyllis dua kali. Femme fatale tersebut pun tewas. Setelah
kejadian ini, film pun membaur ke masa sekarang, dimana Neff selesai
menceritakan semua keterlibatannya di kasus Mr. Dietrichson ke mesin
perekam suara. Pada titik ini, terjelaskan sudah kenapa Neff masuk ke
kantor dengan jalan pincang. Ia berusaha menahan sakit dari luka tembakan
Phyllis. Usai menutup pengakuannya ke mesin perekam, Neff balik badan
dan melihat ke arah kamera. Kamera pindah sudut pandang mewakili mata
Neff, dan terlihat Keyes berdiri dengan tampang datar. Keyes mencoba
memanggil ambulans, tapi Neff mencegahnya. Neff memilih untuk kabur,
dan memulai hidup baru di tempat lain.
Dalam perjalanannya keluar kantor, Neff jatuh. Dia sudah tidak
tahan lagi menahan sakit dari luka tembakan Phyllis. Pada titik ini,
terdengan suara Keyes menelfon ambulans. Neff berbaring kesakitan di
pintu, dan Keyes pun datang menghampirinya. Neff mengeluarkan korek
untuk mencoba menyalakan rokok di mulutnya, tapi kesulitan. Keyes pun
Gambar A.19
113
mengambil korek dan menyalakan rokok di mulut Neff (Gambar A.19).
Gestur ini merupakan balasan dari gestur Neff selama ini menyalakan
cerutu Keyes. Gestur tersebut juga menjadi affirmasi dari relasi Neff dan
Keyes yang tetap seperti biasanya, walaupun sudah terinterupsi oleh Phyllis
dan kasus Mr. Dietrichson. Ketika akhirnya Double Indemnity berakhir
beberapa detik kemudian, tidak seperti relasi-relasi lainnya dalam film
tersebut, relasi profesional protagonis dengan teman kerjanya adalah satu-
satunya relasi yang sampai akhir cerita tetap utuh.
B. The Postman Always Rings Twice (1946)
1. Latar Belakang Historis
Sebagai salah satu rujukan utama film noir di masa sekarang, The
Postman Always Rings Twice pada jamannya adalah sebuah anomali.
Materi dasarnya memang berasal dari salah satu novel James M. Cain,
yang notabene sering diadaptasi jadi film noir. Namun, studio yang
memproduksinya adalah Metro-Goldwyn-Mayer (MGM), yang pada era
40-an lebih akrab dengan film musikal dan epik sejarah. MGM juga
dikenal banyak memanfaatkan teknologi Technicolor dalam film-filmnya.
Technicolor adalah sebuah teknologi pewarnaan pita film, dimana warna
merah, biru, dan kuning memperoleh ketebalannya tersendiri, sehingga
menciptakan kesan yang sangat cerah di mata penonton. Film noir, yang
dikenal suram berkat kemasan hitam putihnya, jelas adalah lahan baru bagi
MGM.
MGM memproduksi The Postman Always Rings Twice setahun
setelah Double Indemnity. Faktanya, kesuksesan Double Indemnity yang
meyakinkan produser-produser di MGM untuk memproduksi The Postman
Always Rings Twice. MGM sebenarnya sudah tertarik memfilmkan The
Postman Always Rings Twice pada tahun 1935, setahun setelah novel
tersebut pertama kali rilis, tapi badan sensor menghalangi niat mereka.143
143
Geoff Mayer & Brian McDonnell. Encyclopedia of Film Noir. Westport, CT: Greenwood
Publishing Group, 2007, hal. 23.
114
Kesuksesan Double Indemnity di tahun 1944 memberi cukup wawasan
bagi MGM untuk turut memproduksi film noir. Ada dua hal yang MGM
pelajari dari kesuksesan film karya Billy Wilder tersebut. Pertama, cerita
kriminal yang suram ternyata disukai audiens Amerika, terlihat dari
penjualan tiket Double Indemnity yang mencapai sepuluh besar di tahun
rilisnya, plus tujuh nominasi Academy Awards yang film tersebut raih.
Kedua, badan sensor ternyata bisa diakali dengan revisi naskah, sehingga
pesan yang mungkin tersampaikan oleh film sesuai dengan moralitas versi
badan sensor. Melihat sejarah produksi mereka yang dipenuhi film
musikal dan epik sejarah, MGM tidak punya pendirian ideologis tertentu,
kecuali menjual tiket sebanyak mungkin dan meningkatkan reputasinya
sebagai studio film-film populer.144
Studio tersebut ingin memproduksi
The Postman Always Rings Twice bukan karena kritik sosial yang
terkandung di dalamnya, tapi karena novel tersebut sesuai dengan selera
penonton Amerika dekade 40-an. Sederhananya, MGM termotivasi oleh
potensi finansial The Postman Always Rings Twice.
Motivasi finansial MGM tercermin dalam pemilihan lakon utama
The Postman Always Rings Twice, yakni John Garfield dan Lana Turner.
Garfield aslinya berada di bawah kontrak Warner Bros. Sebelum dipinjam
MGM untuk The Postman Always Rings Twice, Garfield telah bermain
untuk 23 film produksi Warner Bros. Dia pernah mendapat nominasi
Academy Award untuk performanya di film Four Daughters tahun 1938.
Prestasinya tersebut menandakan Garfield punya reputasi dalam seni
lakon. Namanaya punya daya jualnya sendiri, dan MGM siap
memanfaatkannya.145
Di sisi lain, Lana Turner adalah bintang andalan
MGM. Namanya menjadi pembicaraan di Hollywood berkat
keterlibatannya dalam tiga film sukses MGM di awal 40-an: Ziegfield Girl
(1941), Johnny Eager (1942), dan Somewhere I’ll Find You (1942).
Sebelumnya, Turner sempat dikenal publik Amerika dengan julukan the
144
Ibid., hal. 340. 145
Ibid., hal. 341.
115
sweater girl, berkat kostumnya yang membalut lekuk tubuhnya di film
They Won’t Forget (1937).146
Melalui The Postman Always Rings Twice,
MGM memadukan seorang aktor laki-laki yang mapan dalam seni peran
dan selebritis perempuan yang dikenal sebagai simbol seks: dua figur yang
punya kredibilitasnya tersendiri di mata para penonton.
The Postman Always Rings Twice sendiri didasarkan pada novel
yang berjudul sama karya James M. Cain. Pertama kali dirilis pada tahun
1934, The Postman Always Rings Twice sampai sekarang dianggap
sebagai salah satu novel kriminal paling berpengaruh di abad 20, dan salah
satu karya terbaik yang pernah dihasilkan Cain. Karena ceritanya yang
sangat gamblang menceritakan seksualitas dan kekerasan domestik, novel
tersebut dianggap mendahului jamannya. Pemerintah daerah
Massachusetts khawatir akan konten The Postman Always Rings Twice
yang eksplisit, dan mengajukan sebuah mosi untuk melarangnya dijual di
negara bagian yang bersangkutan.147
Badan sensor film mempunyai
kekhawatiran yang sama dengan pemerintah daerah Massachusetts,
sehingga mereka menghalangi usaha MGM untuk mengadaptasi The
Postman Always Rings Twice pada tahun 1935.
Dalam pengantar novel Double Indemnity cetakan 1943, Cain
menjelaskan arti judul The Postman Always Rings Twice dan kaitannya
dengan konten ceritanya yang eksplisit. Cain pertama kali memikirkan
judul novelnya tersebut ketika dia sedang berdiskusi dengan Vincent
Lawrence, seorang penulis naskah film, tentang suka duka menjadi
penulis. Setiap habis mengirimkan naskah ke pihak penerbit, Cain selalu
gugup menanti kedatangan tukang pos. Pasalnya, tukang pos adalah orang
pertama yang membawa kabar perihal diterima atau ditolaknya naskah
Cain, yang punya implikasi tersendiri bagi profesi dan reputasi Cain
sebagai penulis. Di mata Cain, tukang pos adalah “Tuhan” dan
pekerjaannya mengantar kabar adalah “takdir”. Saking gugupnya
146
Menurut salah satu wawancara dalam film Lana Turner... A Daughter’s Memoir (Carole
Lenger, 2001) 147
Op. Cit., Hoopes, hal. 332.
116
menunggu kabar naskahnya, Cain tidak mau menjawab bel rumah yang
berbunyi tiap kali tukang pos datang. Namun, karena tuntutan pekerjaan,
tukang pos selalu memencet bel dua kali, hanya untuk memastikan ada
orang di rumah atau tidak. Bunyi bel kedua, menurut pengakuannya, yang
menyadarkan Cain bahwa dia tidak bisa menghindar dari panggilan Tuhan
untuk menghadapi takdirnya, walau sukses lari dari panggilan yang
pertama.
Cain kemudian memakai alegori tukang pos dan Tuhan sebagai
basis dari plot The Postman Always Rings Twice. Protagonis cerita adalah
seorang laki-laki tanpa identitas dan tempat tinggal yang tetap. Dia bekerja
di sebuah rumah makan dan jatuh cinta dengan istri bosnya. Pihak
perempuan ternyata juga punya perasaan yang sama, mengingat dia tidak
mencintai suaminya sama sekali. Keduanya pun diam-diam tidur dan
merencanakan pembunuhan bersama. Seks dan pembunuhan mereka
jadikan sarana untuk memenuhi tujuan mereka masing-masing.
Masalahnya, tindakan kriminal yang mereka lakukan tercium oleh pihak
hukum. Investigasi atas mereka pun dijalankan, tapi mereka sukses
membersihkan nama mereka. Relasi keduanya pun berlanjut, namun
dihantui dengan pembunuhan yang mereka lakukan. Kecurigaan satu sama
lain dan kekhawaitran akan masa depan merasuki pikiran mereka. Ketika
akhirnya mereka bisa berdamai dengan kegelisahan eksistensial mereka,
takdir membawa keduanya kembali ke titik nol. Si perempuan mati
ditabrak mobil, dan protagonis laki-laki masuk penjara karena dituduh
membunuh perempuan pasangannya.
Kronologi cerita yang sama dipakai oleh MGM untuk adaptasi film
The Postman Always Rings Twice, dengan beberapa revisi tentunya. Seks,
yang digambarkan nyaris sadomasokistik di novel, dijinakkan hingga
menjadi ciuman saja di film. Pembunuhan juga dikuras detailnya. Dalam
novel, pembunuhan digambarkan sangat sadis dan berdarah-darah. Dalam
film, detail-detail yang tidak cocok dengan badan sensor tersebut diubah
menjadi beberapa shot yang mengalegorikan pembunuhan. Dilihat dari
117
sudut pandang sekarang, The Postman Always Rings Twice versi film lebih
mengandalkan konflik psikologis ketimbang versi novelnya, yang jauh
lebih detail dalam mengeksplorasi kekerasan dan relasi seksual antar
karakternya.
2. Formasi Hubungan Sebagai Modus Naratif
Plot The Postman Always Rings Twice mempunyai alur lurus dari
awal hingga akhir film. Beberapa sumber mengatakan The Postman
Always Rings Twice beralur maju mundur, dengan alasan adegan terakhir
film menjadi retrospektif dari kejadian sepanjang film. Namun, sepanjang
progresi plot, tidak ditemukan penanda adanya perpindahan temporal dari
waktu sekarang ke masa lalu kembali lagi ke waktu sekarang, atau
sejenisnya. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa plot film berjalan
lurus dari awal sampai akhir, tanpa ada interupsi temporal sepanjang
progresinya. Plot The Postman Always Rings Twice terjadi dalam sudut
pandang protagonis laki-lakinya, Frank Chambers. Penandanya adalah
narasi suaranya (voice over) yang terdengar dari awal sampai akhir film.
Narasi suara Frank berisikan informasi-informasi yang tak terjelaskan
secara visual. Secara umum, narasi Frank menginformasikan penonton
perihal perubahan emosi yang terjadi di dalam dirinya, dan kondisi
hubungannya bersama Cora Smith, karakter utama perempuan dalam film.
Dalam beberapa kasus, narasi Frank memberi tahu penonton soal
perpindahan tempat yang ia alami.
Konflik film sendiri berporos pada cinta segitiga antara Frank,
Cora dan Nick, suaminya Cora. Fokus utamanya jelas hubungan antara
Frank dan Cora, dengan hubungan Nick dan Cora sebagai catatan kaki di
pertengahan awal film. Apabila dipetakan berdasarkan legalitasnya
sebagai institusi pernikahan, Nick dan Cora adalah hubungan yang sah,
sementara Frank dan Cora tidak. Keberadaan narasi Frank menjadikan The
Postman Always Rings Twice sebagai film yang memandang segala
konfliknya dari sudut pandang laki-laki, atau lebih tepatnya lagi, seorang
118
laki-laki yang berada di luar institusi pernikahan. Dari sudut pandang
tersebut, konstruksi keluarga dalam The Postman Always Rings Twice
ditabrakkan antara sudut pandang orang luar dan orang dalam. Frank dan
Nick menjadi dua kutub yang berlawanan. Satu merupakan kondisi tanpa
keluarga, sementara satu lagi merupakan kondisi keluarga. Cora menjadi
bandul yang mengubah kondisi keduanya.
Apabila dibandingkan dengan susunan plot Double Inemnity dan
empat kilas baliknya, tatanan plot The Postman Always Rings Twice
hitungannya tidak memiliki penanda yang jelas. Terlalu banyak simbol
yang tidak berulang sampai akhir film, mulai dari kemunculan otoritas
hukum hingga pencahayaan Venetian blind. Satu-satunya elemen yang
berulang sampai akhir film adalah konflik ceritanya, yakni formasi
hubungan antara Frank dan Cora. Oleh karena itu, analisis akan dilakukan
berdasarkan struktur tiga babak, yang menspesifikasi perkembangan cerita
melalui konfliknya. Titik mulai konflik menjadi penanda dari akhir babak
pertama (setup), dimana protagonis mengalami kondisi dimana dia tidak
bisa lagi kembali ke kondisi di awal cerita (point of no return). Puncak
konflik (climax) menjadi penanda dari akhir babak kedua (plot
complication), dimana protagonis mengeluarkan usaha terkerasnya untuk
menyelesaikan konflik. Babak ketiga adalah resolusi (resolution), yang
menampilkan kejadian-kejadian pra dan pasca klimaks (climax), dimana
protagonis mengeluarkan usaha terbaiknya untuk menyelesaikan konflik.
Dalam kasus ini, progresi dan resolusi konflik menjadi faktor-faktor yang
menyibak konstruksi keluarga dalam The Postman Always Rings Twice.
119
3. Papan Pengumuman dan Prospek Hubungan
Babak pertama film, yang berlangsung dari menit 00:00:00 sampai
00:38:23, dibuka oleh kedatangan Frank ke sebuah kota kecil (Gambar B.1
dan B.2). Protagonis datang melalui tumpangan seseorang yang ia temui di
jalan. Awalnya ia tidak tahu siapa. Dalam tiga adegan berikutnya, ia baru
tahu siapa sebenarnya orang yang dengan baik hati mengantarkannya
tersebut. Rangkaian adegan tersebut dibuka oleh kemunculan seorang
polisi bermotor, yang melintas melewati Frank. Kemudian, polisi tersebut
menghampiri mobil yang baru saja ditumpangi Frank, dengan alasan mobil
tersebut berhenti di tengah jalan (Gambar B.3). Frank melihat polisi
mengetuk jendela mobil, tapi tiba-tiba mundur teratur dengan senyum
kecut. Mobil tersebut kemudian pergi begitu saja tanpa kena sanksi apa-
apa. Ketika Frank bertanya siapa orang itu sebenarnya, polisi menjawab
kalau dia adalah jaksa wilayah (district attorney).
Ada dua hal yang dapat dibaca dari rangkaian adegan pembuka di
atas, dan semuanya berkaitan dengan jejaring aparat hukum yang nantinya
Gambar B.1 Gambar B.2
Gambar B.3 Gambar B.4
120
akan dihadapi protagonis. Pertama, kehadiran protagonis di dalam cerita
adalah konsekuensi dari kebaikan seorang aparat hukum. Eksistensi
protagonis tidak berdasarkan pada usahanya sendiri, tapi pada seseorang
yang sudah mengetahui „aturan main‟ dari tempat asing yang didatangi
protagonis tersebut. Kedua, ada hukum tersendiri bagi warga sipil dan
aparat hukum. Polisi mendatangi mobil jaksa karena pemahamannya soal
peraturan yang berlaku bagi warga sipil, yakni dilarang berhenti di tengah
jalan. Namun, setelah mengetahui bahwa yang dihadapi adalah seorang
jaksa wilayah, polisi membiarkannya lewat begitu saja. Hukum sejak awal
film digambarkan korup, dan penuh celah-celah yang dapat dieksploitasi
oleh mereka yang punya kuasa. Kedua hal tersebut akan dielaborasi lagi
seiring berkembangnya plot, namun pada titik ini penonton belum tahu apa
signifikansinya bagi protagonis.
Setelah menyorot aparat hukum dan segala relasi mereka, film
berfokus pada Twin Oaks, sebuah rumah makan dekat tempat Frank
diturunkan. Depan rumah makan tersebut, ada sebuah papan putih
bertuliskan MAN WANTED (Gambar B.4). Tulisan tersebut, dalam
perkembangan di adegan-adegan berikutnya, mengkonotasikan dua relasi.
Pertama, relasi profesional antara Frank dan Nick. MAN WANTED dalam
kasus ini berarti merujuk pada kekurangan pegawai di rumah makan. Hal
ini yang secara gamblang ditunjukkan dalam film. Setelah menyaksikan
kejadian antara polisi dan jaksa wilayah, Frank berjalan mendekati Twin
Oaks. Dari dalam rumah makan, tiba-tiba keluar seorang pria tua
menghampiri Frank. Dia adalah Nick, pemilik Twin Oaks. Nick mengajak
Frank masuk dan dengan senang hati menawarkan pekerjaan ke Frank.
Nick menjelaskan sistem kerja di Twin Oaks, yang ternyata juga adalah
rumah pribadi Nick.
Relasi Frank dan Nick kemudian berlangsung dalam kerangka
yang materialistik. Karakteristik tersebut terlihat dari terminologi-
terminologi yang terkandung dalam dialog Nick. Dalam adegan menit
00:06:02 sampai 00:06:37, Nick menolak permintaan istrinya untuk
121
memecat Frank tanpa alasan. Menurut Nick, Frank adalah seorang pekerja
yang baik, karena ia rela dibayar murah dan tidak memerlukan biaya hidup
yang besar. Dalam adegan yang sama, terjelaskan juga karakterisasi Nick,
yakni laki-laki perhitungan yang melihat segalanya dalam neraca untung
dan rugi. Karakterisasi ini nantinya akan berpengaruh besar pada
konstruksi keluarga dalam The Postman Always Rings Twice.
Relasi kedua yang dikonotasikan oleh papan MAN WANTED
adalah relasi seksual antara Frank dan Cora. Hal ini yang tidak
digambarkan secara gamblang dalam film. Ada tiga sekuens adegan yang
menjadi petunjuk dari relasi tersebut, dan kedua adegan tersebut saling
melengkapi satu sama lain. Petunjuk pertama ada pada sekuens di menit
00:04:07 sampai 00:05:37. Sekuens tersebut dibuka dengan medium shot
sebuah lipstik putih yang tergulir di lantai, kemudian kamera bergerak ke
atas memperlihatkan kaki seorang perempuan (Gambar B.5 dan B.6).
Kamera kemudian menyorot wajah Frank yang terkesima, lalu cut ke shot
seluruh tubuh perempuan tersebut. Sambil berkaca, perempuan tersebut
mengulurkan tangannya, meminta kembali lipstiknya (Gambar B.7). Frank
hanya diam saja, melihat perempuan tersebut sambil tersenyum. Si
Gambar B.5 Gambar B.6
Gambar B.7
122
perempuan kesal, berjalan menghampiri Frank, mengambil lipstiknya, lalu
pergi menutup pintu.
Sekuens adegan di atas menjadi perkenalan Frank dan karakter
perempuan utama, yang nantinya memperkenalkan diri sebagai Cora
Smith. Frank awalnya tidak tahu apa-apa tentang Cora, kecuali
kecantikannya dan keberadaannya di Twin Oaks. Baru beberapa menit
setelah adegan perkenalan mereka, Frank mengetahui bahwa Cora adalah
istri Nick. Setelah mengetahui status Cora, penonton dapat memetakan
posisi Frank di Twin Oaks. Sebagai pemilik bisnis dan kepala rumah
tangga, Frank telah mengamini satu orang asing ke dalam lingkungan yang
sejatinya privat. Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, Twin Oaks
adalah sebagian dari rumah pribadi Nick. Keberadaan Frank di Twin Oaks
menjadi semacam intrusi di tengah institusi keluarga, yang sudah ada sejak
awal film.
Intrusi Frank pada keluarga Nick dan Cora memperoleh
momentum pada sekuens adegan di menit 00:07:04 sampai 00:09:39. Pada
sekuens tersebut, Cora memerintah Frank untuk mengecat seluruh kursi di
Twin Oaks. Frank meresponsnya dengan ogah-ogahan. Di akhir sekuens,
keduanya berdiri cukup dekat, sehingga Frank dapat mencium Cora secara
tiba-tiba. Cora meresponsnya dengan muka datar, sembari membersihkan
mulutnya dan memoles lipstik pada bibirnya. Sebelum ciuman tersebut
terjadi, Frank menuduh Cora bahwa pernikahannya hanyalah cara bagi
Cora untuk mengumpulkan uang, dan Cora sebenarnya tidak mencintai
Gambar B.8 Gambar B.9
123
Nick. Pada titik ini, asumsi Frank menjadi semacam diskursus perihal
konstruksi keluarga di The Postman Always Rings Twice. Dalam kapasitas
tertentu, asumsi Frank memainkan harapan penonton tentang kejadian-
kejadian yang mungkin terjadi di adegan-adegan berikutnya.
Sekuens adegan ketiga, yakni antara menit 00:12:20 sampai
00:15:40, melengkapi gambaran relasi seksual yang disiratkan oleh papan
MAN WANTED. Sekuens adegan tersebut dimulai dengan perayaan Nick
akan papan baru restorannya. Nick minum anggur dan menyanyi
sendirian. Ketika Frank mengajukan diri untuk berdansa dengan Cora,
Nick mengiyakan. Dia malah menyiapkan ruang yang ideal bagi Cora dan
Frank untuk berdansa (Gambar B.8 dan B.9). Cora merasa canggung
berdansa dengan Frank, dan tiba-tiba menghentikan segalanya. Cora malah
mengajak suaminya untuk pergi ke pantai dan berenang malam-malam.
Nick menolak. Dia memilih untuk merayakan papan baru restorannya
sendirian, dan mengijinkan Frank untuk menemani istrinya. Pada titik ini,
terlihat absensi Nick dalam perannya sebagai suami. Dilihat dari sudut
pandang tersebut, MAN WANTED berarti kekurangan figur laki-laki
sebagai pasangan bagi Cora. Sampai adegan tersebut, Nick tidak pernah
terlihat berperan sebagai suami bagi Cora, melainkan sebagai pemilik
bisnis Twin Oaks. Nick lebih peduli pada neraca untung-rugi ketimbang
istrinya sendiri.
Asumsi Frank perihal pernikahan Cora dan Nick sampai kapasitas
tertentu terbukti. Pembuktian tersebut ditegaskan oleh ciuman kedua
mereka, yang terjadi pada menit 00:18:00. Ciuman tersebut terjadi setelah
Cora dan Frank pulang dari pantai. Mereka turun dari mobil, lalu tiba-tiba
pintu rumah terbuka, dan keluarlah Nick. Suaminya mengira Cora adalah
pelanggan yang mau beli makan. Setelah mengetahui ternyata yang datang
itu istrinya, Nick kembali masuk tanpa mengucapkan apa-apa. Cora
depresi, Frank menciumnya, dan penonton pun untuk pertama kalinya
melihat ada simbiosis mutalisme di antara mereka berdua. Cora mencari
pasangan laki-laki yang selama ini absen, sementara Frank mendapatkan
124
perhatian perempuan yang selama ini ia kejar. Terciptalah relasi afektif
antara Frank dan Cora, yang tentu saja illegal di hadapan ikatan
pernikahan Nick dan Cora. Usaha untuk mempertahankan relasi illegal
tersebut yang menjadi konflik dari The Postman Always Rings Twice.
Hubungan terlarang Frank dan Cora berujung pada sekuens adegan
rencana pembunuhan di menit 00:30:44 sampai 00:35:07. Rencana
pembunuhan tersebut adalah serangan paling konkrit terhadap institusi
keluarga yang dilaksanakan Frank dan Cora. Sebelumnya, keduanya
mencoba lari dari Twin Oaks ke kota lain di menit 00:21:21 sampai
00:24:40 (Gambar B.10). Masalahnya, di tengah jalan, Cora
mengurungkan niatnya karena keinginannya mewarisi Twin Oaks dan
mengelolanya hingga sukses. Cora masih teringat akan keluarga yang ia
miliki karena alasan finansial, tidak ada bedanya dengan Nick. Frank dan
Cora pun kembali dan merencanakan pembunuhan Nick. Pembunuhan
tersebut rencananya dilaksanakan di rumah sendiri, ketika Nick sedang
mandi. Asumsi Cora: apabila ada kematian terjadi di lingkungan rumah,
maka orang akan menganggapnya sebagai kecelakaan atau kesialan.
Investigasi aparat hukum dapat dengan mudah diakali, dan Frank serta
Cora dapat mencuci tangannya bersih dari tindakan kriminal yang baru
saja mereka lakukan. Cora pun merencanakan rencana pembunuhan Nick,
sementara Frank bertugas sebagai pengawas saat rencana tersebut
dijalankan. Cora pada titik ini membingkai dirinya sebagai femme fatale di
hadapan penonton. Dia adalah satu-satunya perempuan yang punya
rencana dan berani mengambil inisiatif untuk kepentingannya sendiri.
Gambar B.10
125
Frank dan Cora menjalankan pembunuhannya pada menit 00:35:04
sampai 00:38:23. Rencana mereka sejatinya gagal karena dua intervensi:
polisi patroli yang kebetulan lewat, dan seekor kucing yang tidak sengaja
menyenggol sekering Twin Oaks, sehingga menyebabkan mati lampu.
Nick tidak mati, tapi hanya tidak sadarkan diri, karena tersandung waktu
mencoba keluar dari bak rendam pas mati lampu. Meski begitu, plot telah
mencapai kondisi yang tidak mungkin dibalik lagi oleh Frank dan Cora
(point of no return). Keduanya tidak bisa lagi kembali ke keadaan awal,
karena kecelakaan Nick di luar dugaan melibatkan saksi mata seorang
aparat hukum. Frank dan Cora kini harus menjaga diri mereka masing-
masing, kalau-kalau aparat hukum mengendus rencana mereka
sebenarnya.
4. Dua Konteks Hubungan Protagonis
Babak kedua, yang berlangsung dari menit 00:38:24 sampai
01:47:17, berfungsi sebagai komplikasi plot (plot complication). Babak ini
mengambil porsi terbesar dari naratif The Postman Always Rings Twice,
mengingat di dalamnya terjadi dua kali pelapisan konteks pada konflik
cerita, yang masing-masing pada perkembangannya membingkai relasi
Frank dan Cora dalam makna-makna tertentu. Seperti yang sudah
dijelaskan sebelumnya, konflik The Postman Always Rings Twice adalah
usaha Frank dan Cora mempertahankan relasi illegal mereka, yang terjadi
di luar ikatan pernikahan Nick dan Cora. Konteks pertama adalah hukum.
Kecelakaan Nick dicurigai oleh polisi dan jaksa wilayah di awal film, yang
pada menit 00:38:50 memperkenalkan diri sebagai Sackett. Namun, berkat
kucing yang mati akibat menginjak sekering di Twin Oaks, Frank dan
Cora sukses mencuci tangannya dari rencana pembunuhan yang mereka
lakukan. Nick sembuh dan Frank pun memilih pergi dari Twin Oaks.
Masalahnya, Nick sukses menemukan Frank dan membawanya
kembali ke Twin Oaks. Frank bertemu lagi dengan Cora, dan
merencanakan pembunuhan Nick sekali lagi. Mereka berhasil, tapi Frank
126
turut menjadi korban, sehingga ia harus dirawat di rumah sikit. Pada titik
ini, hubungan Frank dan Cora mendapat sorotan yang intens dari aparat
hukum. Lebih spesifiknya, Sackett dan seorang pengacara bernama
Arthur. Keduanya menjadikan relasi illegal Frank dan Cora sebagai
taruhan profesi mereka. Pada adegan menit 01:09:15, Sackett bertaruh
dengan Arthur sebesar $100 bahwa dia dapat membuktikan bahwa Cora
bersalah (Gambar B.11). Sackett yakin Frank tidak terlibat dalam
pembunuhan Nick, dan hanyalah korban dari rencana yang dirumuskan
oleh Cora. Arthur menyanggupi tantangan Sackett, dan bersiap
membuktikan bahwa Frank juga terlibat dalam pembunuhan Nick.
Dalam konteks hukum, relasi Frank dan Cora dikuras muatan
afektifnya, dan direndahkan menjadi pion dari permainan catur para aparat
hukum. Potensi kondisi keluarga di antara Frank dan Cora terlupakan
sejenak, mengingat keduanya dipermainkan oleh Sackett dan Arthur
sedemikian rupa, sehingga mereka saling mencurigai satu sama lain. Frank
dan Cora tidak lagi punya kuasa atas prospek hubungan mereka ke depan.
Hal tersebut terlukiskan dalam sekuens adegan antara menit 01:12:45 dan
01:19:57. Selama tujuh menit tersebut, Arthur menjelaskan pada Frank
dan Cora bahwa, dengan jabatannya seorang jaksa wilayah, Sackett
sengaja menekan Frank untuk tidak mempercayai Cora. Di sisi lain, Arthur
juga mengakui bahwa dia menipu Cora untuk membuat pengakuan, agar
dia bisa mengalahkan Sackett dalam taruhan mereka.
Sekuens adegan di atas juga menunjukkan bahwa hukum terlalu
korup untuk benar-benar membela kepentingan masyarakat. Hukum hanya
Gambar B.11
127
berpihak pada mereka yang punya kuasa, di mana kekuasaan tersebut
berasal dari pemahaman tentang celah-celah yang ada di sistem hukum.
Frank dan Cora tidak memiliki wawasan tersebut, sementara Sackett dan
Arthur punya. Keluarga atau setidaknya keinginan untuk berkeluarga
menjadi sesuatu yang sia-sia di hadapan hukum. Intervensi hukum terlalu
kuat dan merampas kemampuan individu dalam berinisiatif. Kondisi
keluarga antara Frank dan Cora diharuskan sesuai dengan hukum yang
berlaku, yang para penegaknya juga tidak lebih baik moralitasnya dari
Frank dan Cora.
Konteks kedua adalah kegelisahan eksistensial Frank dan Cora.
Konteks ini mulai muncul ketika konflik film, yang tadinya berada di
tangan hukum, kembali lagi ke masing-masing individu. Frank dan Cora
harus mengatasi kecurigaan mereka terhadap satu sama lain, untuk
memperbaiki potensi kondisi keluarga yang ada di awal hubungan mereka.
Rekontekstualisasi tersebut dipantik sejak sekuens di menit 01:24:46
sampai 01:27:26. Dalam sekuens tersebut, terkronologikan kembalinya
Frank dan Cora ke Twin Oaks, setelah Arthur menang melawan Sackett di
pengadilan. Pada akhir sekuens tersebut, terjadi perdebatan panjang antara
Frank dan Cora. Cora ingin mengelola Twin Oaks sendirian, dan tidak
peduli dengan apapun yang Frank akan lakukan. Frank di sisi lain tidak
ingin pergi ke mana-mana, dan berniat menetap bersama Cora di Twin
Oaks. Cora hanya mau menerimanya, asalkan Frank berperan sebagai
karyawannya, bukan sebagai pasangannya.
Relasi Frank dan Cora berubah dari relasi seksual ke relasi
profesional. Perubahan tersebut dipantik oleh kegelisahan eksistensial
masing-masing, dimana Frank merasa dirinya pantas menuai haknya
sebagai pasangan Cora, sementara Cora sudah tidak lagi percaya dengan
Frank sejak interaksi mereka di pengadilan. Terlihat ada kontras di antara
pendefinisian mereka terhadap satu sama lain. Frank tidak mereduksi Cora
sebagai titik nol, dan tetap memperhitungkan masa lalu yang telah mereka
lalui bersama. Di sisi lain, Cora tidak lagi menganggap masa lalunya
128
bersama Frank, dan mendefinisikan ulang hubungannya dengan Frank
sebagai relasi profesional. Di mata Cora, Frank adalah titik nol yang harus
membuktikan dirinya lagi, melalui kinerjanya sebagai karyawan Twin
Oaks. Harapan akan terciptanya kondisi keluarga di antara Frank dan Cora
terletak pada tawar-menawar di antara keduanya. Dalam perspektif ini,
cikal bakal kondisi keluarga antara Frank dan Cora merupakan sebuah
transaksi kebutuhan.
Transaksi kebutuhan antara Frank dan Cora semakin ditekankan
pada adegan menit 01:28:49 sampai 01:29:15. Dalam adegan tersebut,
Arthur kembali datang memperingatkan Frank dan Cora, kalau Sackett
akan mengajukan komplain legal atas status mereka berdua. Keduanya
tinggal seatap tanpa sertifikat pernikahan, dan Sackett siap menuntut
mereka. Dalam adegan selanjutnya, Cora mengadakan pernikahan palsu
dengan Frank, hanya demi mencegah serangan legal Sackett. Usai prosesi
pernikahan dijalankan, Cora dengan santai bilang bahwa dia akan
membingkai sertifikat pernikahannya dengan Frank di sebelah lisensi ijin
menjual minuman keras milik Twin Oaks. Asosiasi pernikahan dengan
kebutuhan finansial dalam The Postman Always Rings Twice pun semakin
tajam tercipta.
Tensi di antara Frank dan Cora mendadak menurun ketika Cora
mendapat kabar kematian ibunya. Cora kembali ke kampung halamannya
untuk berkabung, sementara Frank melampiaskan kekesalannya pada Cora
dengan jalan-jalan bersama perempuan lain. Kematian ibunya membuat
Cora lebih relaks dengan Frank, dan lebih menerima Frank dalam
kehidupannya. Hal tersebut terlihat dalam sekuens di menit 01:35:00
sampai 01:40:33. Ketika itu, anak buah Arthur kembali mendatangi Twin
Oaks untuk memeras Frank dan Cora, sembari mengancam ia akan
membeberkan seluruh bukti pembunuhan Nick ke Sackett. Di luar dugaan,
Frank dan Cora bisa bekerja sama mengatasi anak buah Arthur. Di satu
sisi, kejadian tersebut menunjukkan bahwa kebetulan kebutuhan Frank dan
Cora sama, yakni menghindari jeratan hukum untuk kedua kalinya,
129
sehingga mereka dapat klop bekerja sama. Kekompakan mereka terbentuk
karena kebutuhan masing-masing, bukan karena kecintaan satu sama lain.
Namun, dalam adegan selanjutnya, Cora terlihat gundah, karena dia tidak
yakin akan nilai dirinya di hadapan Frank. Cora mengandung bayi Frank,
dan dia merasa tidak layak hidup dalam kepura-puraan sebagai pasangan
Frank. Kegelisahan Cora inilah yang menandakan bahwa relasi keduanya
sudah beranjak dari profesional dan kembali ke afektif.
Klimaks cerita pun terjadi pada adegan di menit 01:46:20,
beberapa menit setelah Cora mengakui kalau dirinya mengandung.
Sebelum adegan tersebut, Cora dan Frank kembali ke pantai dan berenang
ke tengah laut. Di tengah laut tersebut, Cora menyerahkan dirinya
sepenuhnya pada Frank. Cora terlalu lelah untuk berenang kembali ke
pantai. Dia pun meminta Frank untuk mengambil pilihan: meninggalkan
dirinya sendirian di tengah laut, atau membopongnya kembali ke garis
pantai. Frank melakukan yang kedua. Mereka mengakui satu sama lain
kembali, dan mencapai kondisi keluarga yang mereka harapkan di awal
hubungan mereka.
5. Interpretasi Kegagalan Hubungan Protagonis
Babak ketiga film, yang berlangsung dari menit 01:47:18 sampai
01:52:50, berisikan tiga kejadian yang terjadi dalam tiga lokasi. Ketiga
kejadian tersebut membentuk sebuah rangkaian yang tidak saja mengakhiri
film, tapi juga mengakhiri hubungan Frank dan Cora secara tiba-tiba, tepat
ketika hubungan keduanya mulai membaik. Kejadian pertama adalah
sekuens adegan tabrakan mobil dari menit 01:47:18 sampai 01:48:29.
Tabrakan tersebut terjadi setelah Frank dan Cora dalam perjalanan pulang
dari pantai ke Twin Oaks. Dalam perjalanan, Frank bilang tidak sabar
ingin mencium Cora, tapi siap menunggu sampai balik ke rumah. Namun,
ketika Frank sedang melihat Cora, mobil mereka menabrak mobil lain.
Frank selamat tapi Cora tewas seketika. Kematian Cora digambarkan
melalui medium shot tangannya yang tergeletak, dan lipstik yang bergulir
130
jatuh dari genggamannya (Gambar B.12 dan B.13). Lipstik tersebut adalah
lipstik yang sama ketika Frank pertama kali bertemu dengan Cora.
Kejadian kedua adalah pengadilan Frank di sekuens menit
01:48:38 hingga 01:48:46, sekuens terpendek di babak ketiga. Dalam
sekuens tersebut, terlihat Sackett mencoba meyakinkan juri bahwa
kematian Cora bukanlah kecelakaan, tapi pembunuhan yang sudah
direncanakan Frank. Menurut Sackett, Frank berniat menguasai Twin
Oaks sendirian. Sekuens tersebut langsung membaur ke sekuens
berikutnya di penjara, yang berlangsung dari menit 01:48:47 sampai film
habis. Dalam sekuens tersebut, terlihat Frank mengaku dosa ke seorang
pendeta, dan berharap Cora di surga sana paham bahwa ia tidak pernah
berniat membunuhnya (Gambar B.14). Sackett kemudian masuk dan
mengatakan bahwa kali ini dia tidak dapat membantu Frank (Gambar
B.15). Kalaupun Frank bebas, dia harus kembali lagi ke penjara karena
keterlibatannya dalam pembunuhan Nick. Frank mau tak mau harus
menghadapi hukuman mati. Kondisi Frank yang tidak mungkin bebas
Gambar B.12 Gambar B.13
Gambar B.14 Gambar B.15
131
tergambar dari bayangan jeruji penjara yang mendominasi kedua adegan
tersebut.
Ketiga sekuens di babak ketiga menyiratkan adanya lingkaran
takdir yang menghantui Frank dan Cora. Secara tragis, Cora tewas tepat
ketika ia mencapai kondisi yang kondusif dalam hubungannya bersama
Frank. Secara tragis juga, Frank dihukum mati atas kejahatan yang dia
tidak lakukan. Kematian keduanya bisa dibaca dalam dua perspektif.
Pertama, kematian mereka menjadi penebus dari pembunuhan Nick, yang
mereka berhasil tutup dengan berbagai cara. Nyawa Nick dibayar dengan
nyawa mereka sendiri. Pembacaan ini secara ekstrem moralis dan
menempatkan karakter-karakter dalam relasi mata-ganti-mata yang
simplisistis. Apabila diwujudkan ke dalam sebuah alegori, pembacaan ini
dapat dibayangkan sebagai sebuah neraca, di mana Frank dan Cora berada
di satu sisi, dan Nick di sisi lainnya. Pembunuhan Nick memberatkan
posisi Frank dan Cora, sehingga neraca bergerak ke arah mereka.
Kematian keduanya di akhir film menjadikan neraca kembali seimbang,
dan tidak menyisakan siapapun. Semuanya impas di tangan takdir.
Pembacaan kedua adalah melihat kematian protagonis sebagai
pertanda bahwa basis moral hubungan keduanya tidak sah secara legal.
Dibanding pembacaan pertama, pembacaan kedua menarik asosiasi yang
lebih kompleks perihal kematian protagonis. Asosiasi yang dinalar adalah
asosiasi antara pembunuhan Nick dan implikasinya terhadap Frank dan
Cora. Sejak awal Frank dan Cora sudah salah dan dianggap membangkang
di mata hukum. Alasan kenapa Frank tidak bisa keluar dari penjara, dan
tidak bisa menawar hukuman mati, adalah karena tindakan kriminal yang
ia lakukan supaya bisa bersama Cora, yakni membunuh Nick.
Pembunuhan itu juga yang menjadi titik awal berkembangnya hubungan
Frank dan Cora, dan mendefinisikan hubungan keduanya sepanjang
progresi plot film. Singkatnya, pembunuhan Nick menjadi fondasi dari
hubungan Frank dan Cora. Fondasi tersebut salah dan pada akhirnya
tercium juga oleh hukum, dan konsekuensinya hubungan Frank dan Cora
132
pada akhirnya harus selesai juga. Kematian Frank dan Cora menjadi
konsekuensi moral dari romantika keduanya yang melenceng secara legal.
C. Kiss Me Deadly (1955)
1. Latar Belakang Historis
Kiss Me Deadly sejatinya merupakan satu bagian dari serial
petualangan seorang detektif bernama Mike Hammer, yang ditulis oleh
Mickey Spillane. Total ada 15 novel Spillane yang menceritakan tindak
tanduk Hammer di dunia kriminal. Petualangan Hammer pertama kali
dinikmati publik Amerika Serikat dalam novel I, The Jury, yang dirilis
pada tahun 1947.148
Lanjutannya, My Gun is Quick, baru terbit pada tahun
1950. Novel tersebut menjadi awal dari periode produktif Spillane di awal
50-an. Sampai tahun 1952, Spillane menerbitkan empat novel petualangan
Hammer lainnya: Vengeance is Mine!, One Lonely Night, The Big Kill
dan Kiss Me Deadly. Banyaknya novel petualangan Hammer yang dirilis
di awal dekade 50-an membuat publik Amerika familiar dengan karakter
detektif tersebut. Saking populernya, Hammer diadaptasi menjadi sebuah
serial radio oleh Mutual Broadcasting System. Serial tersebut dinamai The
Hammer Guy, dan berlangsung selama dua tahun, dari 1952 sampai 1954.
Ketenaran Hammer pun semakin memuncak.
Dalam sejarah fiksi kriminal di Amerika, Mike Hammer bukanlah
karakter detektif pertama yang menjadi bagian dari budaya pop
masyarakat Amerika. Sebelumnya, ada Philip Marlowe dan Sam Spade.
Marlowe adalah hasil kreativitas Raymond Chandler.149
Karakter tersebut
muncul pertama kalinya di novel The Big Sleep tahun 1939, dan terakhir
kalinya di Playback tahun 1958. Dalam periode 29 tahun tersebut, cerita
petualangan Marlowe sudah diadaptasi jadi enam film layar lebar dan
enam serial radio. Spade malah muncul lebih dulu dari Marlowe. Dia
sudah ada sejak tahun 1930 lewat novel The Maltese Falcon karya
148
Rita Elizabeth Rippetoe. Booze and the Private Eye: Alcohol in the Hard-Boiled Novel. North
Carolina: McFarland & Company, 2004, hal. 67. 149
Ibid., hal. 134.
133
Dashiell Hammett. Sejak kemunculan pertamanya hingga tahun 1941,
petualangan Spade berlanjut dalam tiga cerita pendek dan tiga film
panjang. Salah satu film tersebut adalah The Maltese Falcon tahun 1941,
yang dianggap para sejarawan film sebagai film noir pertama.
Kesuksesan Marlowe dan Spade di satu sisi menyiapkan audiens
bagi kehadiran Hammer, yang hadir kurang lebih satu dekade setelahnya.
Di sisi lain, Marlowe dan Spade menunjukkan transisi selera masyarakat
Amerika, dari dekade 40-an ke dekade 50-an.150
Marlowe dan Spade
menjadi idola pembaca Amerika pada jamannya karena idealisme kedua
karakter tersebut. Sebagai seorang detektif, Spade banyak melihat korupsi
dan kebusukan di lapangan kerjanya. Namun, Spade menghadapinya
dengan logika, kepala dingin, dan keteguhan moral. Spade mampu
menjaga integritasnya di hadapan masyarakat yang sedang mengalami
kemerosotan. Marlowe sama saja, walau pembawaannya cenderung keras
dan tanpa tedeng aling-aling. Di sela-sela profesinya sebagai seorang
detektif, Marlowe banyak berkontemplasi soal kehidupan, main catur, dan
baca puisi. Marlowe memiliki kekuatan mental dan aspirasi artistik
tersendiri, walau profesinya mengharuskannya berhadapan dengan
karakter-karakter yang keji moralitasnya.
Karakterisasi Marlowe dan Spade cocok dengan pembaca Amerika
tahun 1930-an dan awal 1940-an. Dalam periode tersebut, Amerika
sedang mengalami depresi ekonomi besar-besaran. Kelas-kelas pekerja
kehilangan lapangan pekerjaan mereka. Kelas menengah dan atas
kehilangan pasar untuk memutar uang dari modus produksi yang mereka
miliki. Kesejahteraan masyarakat turun drastis, sementara standar hidup
naik sama drastisnya. Dirudung dengan masalah yang begitu besar,
masyarakat Amerika kehilangan harapan dan kemampuannya untuk
berharap. Di jaman yang pesimis tersebut, Marlowe dan Spade dapat
merebut hati pembacanya. Kedua karakter tersebut menunjukkan bahwa
150
Tzvetan Todorov. The Poetics of Prose. Ithaca: Cornell UP, 1977, hal. 42-52.
134
integritas pribadi dapat terjaga, walau lingkungan sekitar menyajikan
realita yang sebaliknya.
Hammer datang di akhir tahun 40-an, waktu Amerika sudah
mengatasi depresi ekonominya. Perekonomian negara sedang bagus-
bagusnya waktu itu, di mana lapangan pekerjaan menghasilkan
penghidupan yang berlebih bagi kebutuhan sehari-hari masyarakat.
Masalahnya, seperti yang sudah dijelaskan di bab-bab sebelumnya,
masyarakat terlalu lelah mengikuti tuntutan untuk bertahan di persaingan
ekonomi pasca perang. Para suami lelah harus terus-menerus kerja, dan
para istri bosan menunggui rumah. Keduanya menginginkan kebebasan
dari rutinitas sehari-hari mereka, namun tidak bisa karena tekanan dan
tuntutan sosial yang mereka hadapi. Melalui karakterisasinya sebagai
detektif yang menyelesaikan perkara dengan caranya sendiri, Hammer
mewakili kebebasan eksistensial masyarakat Amerika yang terkekang
oleh tekanan dan tuntutan sosial. Hammer tidak segan-segan
menggunakan kekerasan untuk memaksakan kehendaknya. Dalam setiap
cerita petualangannya, musuh minimal muntah-muntah kesakitan setiap
dipukulnya. Paling parahnya, meninggal dunia dengan badan hancur,
sehingga tidak bisa dikenali lagi oleh aparat hukum. Menariknya,
Hammer diceritakan tetap dapat hidup sesuai keingannya, walau
metodenya tidak direstui moralitas lingkungannya dan terbukti merusak
kehidupan orang-orang di sekitarnya. Hammer adalah tuhan di semesta
dunia kriminalnya.
Popularitas dan familiaritas masyarakat Amerika terhadap Mike
Hammer yang membuat studio United Artists berani memproduksi Kiss
Me Deadly. Apalagi, setelah siaran radio cerita petualangan Hammer usai
di tahun 1954, tidak ada media yang melanjutkan adaptasi novel-novelnya
Mike Hammer. Adaptasi layar lebar menjadi strategi yang potensial bagi
United Artists, karena tidak ada saingan yang membelah perhatian para
penggemar Hammer. Belum lagi, pada dekade 50-an, masyarakat
Amerika sudah terbiasa dengan sajian drama kriminal di layar lebar. Film
135
noir telah meresap di kesadaran kolektif masyarakat Amerika, sampai
pada titik dimana orang merasa aneh kalau tidak ada film noir di bioskop.
Berkat penonton yang mulai terbiasa tersebut, studio-studio film dapat
merilis film noir dan mengharapkan pendapatan yang minimal bisa
menutupi biaya produksi. Berdasarkan pemahaman mereka akan pasar
film noir, United Artists memberi lampu hijau untuk produksi Kiss Me
Deadly. Ada dua kelompok penonton yang United Artists bisa eksploitasi
lewat Kiss Me Deadly: penggemar Mike Hammer dan penonton film noir.
Dalam mengadaptasi novel Kiss Me Deadly, United Artist
mengontrak A. I. Bezzerides untuk menerjemahkan bahasa verbal
menjadi bahasa audiovisual. Bezzerides adalah seorang penulis naskah
yang sebelum Kiss Me Deadly sudah punya kredit atas lima naskah film,
yakni They Drive By Night (1940), Desert Fury (1947), Thieves’ Highway
(1949), On Dangerous Ground (1952) dan Track of the Cat (1954). Tiga
dari lima naskah tersebut merupakan naskah film noir, namun hanya dua
yang akhirnya diproduksi jadi film noir. Berkat pengalamannya,
Bezzerides tahu apa saja yang ia perlu lakukan untuk menghindari
cegatan lembaga sensor.
Ada dua keputusan yang ia ambil, yang nantinya akan
mempengaruhi aspek formal dari film Kiss Me Deadly. Pertama,
karakterisasi ulang Mike Hammer. Di novel, Hammer digambarkan keras
dan tidak segan menggunakan kekerasan tanpa alasan. Untuk film,
Bezzerides mendesain ulang Hammer sebagai detektif swasta yang
oportunis, yang siap mengambil kasus apapun, asalkan ada keuntungan
finansial yang bisa ia raup. Sifat oportunis tersebut Bezzerides tambahkan
agar kekerasan Hammer terlihat lebih manusiawi di hadapan lembaga
sensor. Kekerasan Hammer versi novel tidak bisa diterima oleh lembaga
sensor, karena secara moral berseberangan dari visi lembaga sensor, dan
kekerasan Hammer tidak pernah dalam cerita tidak pernah bisa
terhentikan. Lembaga sensor mengkhawatirkan karakterisasi Hammer
versi novel akan membentuk pesan moral yang buruk, yang menyatakan
136
bahwa kekerasan individual itu absolut dan tidak dapat dihentikan dengan
cara apapun. Sebaliknya, kekerasan dengan motif finansial, walau secara
moral juga berseberangan dari visi lembaga sensor, dapat diselesaikan
dengan resolusi yang logis dalam cerita. Resolusi tersebut yang kemudian
dapat dipakai lembaga sensor untuk menyampaikan pesan ideologis
apapun yang ingin mereka sampaikan.
Perubahan kedua yang Bezzerides lakukan adalah menambahkan
bom atom sebagai motif cerita (plot device). Dalam novel Kiss Me
Deadly, sama sekali tidak ada referensi bom atom. Bezzerides sengaja
menambahkannya agar memastikan konflik yang Hammer hadapi tidak
mungkin dilewati dengan tangan manusia belaka, dan sampai kapasitas
tertentu menyudahi perdebatan soal moralitas Hammer. Di satu sisi,
modifikasi Bezzerides bersifat teknis. Di hadapan ancaman bom atom,
manusia tidak lagi terpengaruh oleh kegelisahan moral, tapi kegelisahan
spesies. Sederhananya, orang tidak lagi peduli mana yang benar dan salah,
asalkan dia selamat. Hal ini memberi Bezzerides daya tawar tersendiri di
hadapan lembaga sensor, kalau-kalau modifikasi pertamanya tidak
meloloskan naskah Kiss Me Deadly ke status layak produksi.
Di sisi lain, modifikasi Bezzerides berkaitan erat dengan lanskap
sosial jamannya. Bom atom secara efektif menggambarkan iklim politik
tahun 50-an, yang didominasi oleh paranoia perang nuklir. Semua orang
merasa terancam dengan perang nuklir, yang menurut rumor bisa terjadi
kapan saja. Karena keterkaitannya dengan lanskap sosiol-politik
jamannya, referensi bom atom dalam naratif Kiss Me Deadly menjadi
faktor tersendiri yang mempengaruhi konstruksi keluarga dalam film
tersebut.
2. Bom Atom, Naratif Nihilis dan Relasi Protagonis
Ditilik dari strukturnya, Kiss Me Deadly adalah sebuah fiksi
petualangan dengan protagonis Mike Hammer. Menurut Don
D‟Ammassa, fiksi petualangan terdefinisikan oleh progresi plotnya yang
137
terjadi di luar kehidupan sehari-hari protagonisnya, dengan bahaya
sebagai antagonis tetapnya.151
Kiss Me Deadly memenuhi standar
D‟Ammassa tersebut. Dalam film, Mike Hammer diceritakan berprofesi
sebagai detektif swasta yang mengusut kasus-kasus pernikahan, yang
skala dan bayarannya sangat kecil. Pertemuannya dengan Christina
membawa Hammer keluar dari rutinitas profesinya, dan mencoba
mengusut mister di balik kematian Christina yang tiba-tiba. Usut punya
usut, kematian Christina terkoneksi dengan campur tangan sejumlah
pihak, yang saling berkonspirasi menjaga keberadaan dan kerahasiaan
bom atom di tanah Amerika. Dalam petualangannya tersebut, Hammer
berkali-kali terancam dibunuh, karena dia dianggap mengusik proyek
rahasia negara.
Kunci dari naratif Kiss Me Deadly adalah adegan protagonis
menemukan bom atom di akhir petualangannya. Adegan tersebut
mendefinisikan keseluruhan naratif film dan mengerucutkannya ke arah
nihilis. Referensi bom atom dalam adegan tersebut merujuk pada
kehancuran absolut, yang tidak mungkin terhindar oleh siapapun.
Konsekuensinya: pencapaian dan relasi karakter tidak berarti apa-apa,
mengingat pada akhirnya mereka akan hancur oleh sebuah bencana besar
yang berada di luar kendali mereka. Nihilisme tesebut menutup setiap
celah dalam Kiss Me Deadly yang memungkinkan penonton untuk
mengaplikasikan interpretasinya. Naratif film tersebut adalah sebuah
sistem tertutup yang menegasikan dirinya sepenuhnya.
Dibandingkan dengan Double Indemnity dan The Postman Always
Rings Twice, Kiss Me Deadly jauh lebih pesimis. Film karya Robert
Aldrich tersebut menghancurkan semesta ceritanya sendiri, suatu hal yang
tidak terjadi dalam Double Indemnity dan The Postman Always Rings
Twice, dimana hanya karakternya saja yang terjebak dalam konsekuensi
dari kriminal yang mereka lakukan, sementara dunia cerita tetap ada
151
Don D‟Ammassa. Encyclopedia of Adventure Fiction. New York: Infobase Publishing, 2009,
hal. vii-viii.
138
seperti sedia kala. Di satu sisi, nihilisme dalam Kiss Me Deadly bisa
dianggap sebagai perkembangan teknis film noir di tahun 50-an. Pada
tahun 40-an, naratif film noir masih dalam fase mencari bentuk. Film-film
seperti Double Indemnity dan The Postman Always Rings Twice
mendefinisikan dan memantapkan teknik bercerita film noir. Pada tahun
50-an, naratif film noir sudah cukup mapan penggunaannya, sehingga
beberapa pembuat film mulai melakukan perkembangan atau
penyelewengan dalam produksi film noir. Kiss Me Deadly adalah wujud
konkrit dari perkembangan tersebut.
Di sisi lain, nihilisme naratif Kiss Me Deadly mewakili perubahan
lanskap sosial-politik Amerika di tahun 50-an. Selesai sudah jaman
kegelisahan gender dan individual di tahun 40-an. Kegelisahan Amerika
pasca perang tersebut kini sudah diganti dengan paranoia perang nuklir,
yang merujuk pada suatu kondisi dimana kemanusiaan direduksi kembali
ke titik nol. Paranoia perang nuklir mempengaruhi masyarakat Amerika
sedemikian rupa, sehingga segala konsensus sosial dapat dinegasikan atas
nama pragmatisme. Fenomena sosial tersebut yang tercerap ke dalam
naratif Kiss Me Deadly. Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, Mike
Hammer versi film adalah seorang detektif swasta yang oportunis. Dia
siap mengambil kasus apapun, asalkan ada keuntungan tersendiri yang
dapat dia eksploitasi. Dalam Kiss Me Deadly, oportunisme Hammer
terlihat ketika polisi memintanya untuk minggir dari kasus Christina.
Hammer menolak, dengan alasan apabila banyak orang yang memintanya
angkat kaki dari kasus Christina, berarti ada suatu hal berharga di balik
kasus tersebut. Hammer siap merebutnya sebelum didahului orang lain.
Oportunisme Hammer berpengaruh pada relasi-relasi yang ia jalani
dengan lawan jenisnya. Bisa dibilang, petualangan Hammer dalam Kiss
Me Deadly adalah satu rajutan panjang relasi-relasinya dengan semua
perempuan yang ia temui sepanjang cerita. Perempuan-perempuan
tersebut mewakili dan terlibat secara aktif dalam fase-fase petualangan
Hammer, yang membawanya menuju penemuan bom atom. Masing-
139
masing perempuan memiliki ikatannya tersendiri dengan Hammer. Ada
yang profesional, ada yang sentimental, ada yang profesional sekaligus
sentimental, tapi tidak ada satupun yang terikat dengan protagonis dalam
institusi keluarga, walaupun ada yang arahnya ke sana.
Apabila dilihat secara makro, Kiss Me Deadly sama sekali tidak
memberi tempat bagi keluarga dalam naratifnya. Ada rujukan ke suatu
konsep keluarga, namun tidak ada perwujudan konkritnya dalam cerita.
Selain itu, tidak ada karakter yang berkeluarga, tidak ada juga karakter
yang berbagi rumah bersama pasangannya. Masing-masing karakter hidup
sendiri dengan rencananya sendiri-sendiri. Rumah hanya menjadi tempat
singgah bagi karakter di sela usaha mereka menyelesaikan konflik. Dalam
beberapa adegan, rumah malah kehilangan kesakralannya sebagai ruang
pribadi. Rumah dimasuki karakter-karakter seenaknya, dan menjadi lokus
perkembangan konflik cerita.
Dalam Kiss Me Deadly, tidak ada ceritanya rumah dipakai
semestinya untuk keluarga. Film tersebut murni berkisar seputar
petualangan seorang individu, di tengah orang-orang yang tidak kalah
individualnya. Oleh karena itu, analisis tentang konstruksi keluarga dalam
Kiss Me Deadly dapat dilakukan melalui identifikasi relasi karakter-
karakternya. Lebih spesifiknya lagi, relasi Hammer dengan perempuan-
perempuan yang ia hadapi sepanjang petualangannya. Seperti yang sudah
dijelaskan sebelumnya, setiap relasi Hammer dengan perempuan
mewakili satu fase dari petualangan yang terjadi di Kiss Me Deadly.
Membahas masing-masing relasi tersebut sama dengan
mengkronologikan perkembangan konflik cerita, dan melihat bagaimana
konstruksi keluarga terjadi dalam Kiss Me Deadly.
3. Christina sebagai Mediator yang Menghilang
Pertemuan Hammer dan Christina terjadi sepanjang babak pertama
film, tepatnya dari menit 00:00:40 sampai 00:10:20. Dalam periode
sekitar sepuluh menit tersebut, keduanya bertemu secara tidak sengaja
140
(Gambar C.1), dan berhenti begitu saja ketika Christina dibunuh oleh
suatu sindikat (Gambar C.2). Meski berakhir begitu cepat, pertemuan
Hammer dan Christina bergaung sampai akhir film. Christina adalah satu-
satunya perempuan signifikan di mata Hammer. Dia adalah alasan
Hammer rehat dari profesi sehari-harinya sebagai detektif perceraian.
Misteri kematiannya terlalu menarik bagi Hammer, sehingga detektif
tersebut rela berjibaku dengan polisi dan jaringan kriminal demi
memecahkan misteri di balik kematian Christina. Bahkan ketika terlibat
dalam relasi yang lebih pelik dengan dua perempuan lainnya, Hammer
tetap memikirkan Christina.
Dalam naratif Kiss Me Deadly, Christina berfungsi sebagai
mediator yang menghilang (vanishing mediator). Maksudnya, Christina
adalah sebuah batu penjuru yang menyatukan dua konsep yang berbeda,
dan menghasilkan sebuah konsep baru. Ketika akhirnya konsep baru
tersebut terbentuk, keberadaan mediator tidak lagi dibutuhkan dan ia pun
lenyap begitu saja. Pertemuan Hammer dan Christina adalah pertemuan
dua konsep, yakni kehidupan seorang detektif kelas kakap dan konspirasi
Gambar C.1 Gambar C.2
Gambar C.3
141
negara di balik eksistensi seorang perempuan. Pertemuan kedua konsep
tersebut menghasilkan petualangan Hammer memecahkan misteri
kematian Christina, yang tentunya tidak melibatkan Christina sama sekali.
Satu-satunya hal yang tersisa dari Christina adalah petunjuk-petujuk yang
ia tinggalkan untuk Hammer.
Posisi Christina sebagai mediator yang menghilang menjadikan
naratif selalu merujuk pada titik mulai konflik. Perkembangan naratif
selalu mengacu pada Christina dan kematiannya. Mengingat satu-satunya
karakter yang punya pengaruh pada perkembangan naratif adalah
Hammer, maka dapat dikatakan setiap tindakan mempunyai asosiasi
tersendiri dengan Christina. Sampai film berakhir, Christina adalah masa
lalu yang menghantui Hammer, yang tersirat dalam adegan antara menit
00:01:28 sampai 00:02:40, ketika naratif film hanya menyisakan suara
desahan Christina dan gambar Hammer menyetir mobil, dengan kredit
film bergulir turun perlahan-lahan (Gambar C.3). Suara lain, seperti suara
mesin mobil dan suara radio, dikecilkan sehingga perhatian penonton
hanya pada suara Christina dan gambar Hammer. Adegan tersebut yang
menjadi acuan bagi penonton bahwa petualangan Hammer adalah
mengejar gaung suara orang mati, yang berarti menegasikan masa
sekarang demi masa lalu.
4. Lily sebagai Femme Fatale
Lily adalah mantan teman sekamar Christina. Kematian Christina
membuatnya dicurigai, dan dia terpaksa sembunyi untuk menghindari
sindikat yang terlibat dalam kematian temannya. Sepanjang film, Lily
bertindak sebagai perempuan rapuh yang mengharapkan perlindungan.
Perlindungan tersebut yang ia harapkan ketika bertemu dengan Hammer.
Di mata Hammer, Lily hanyalah seorang narasumber, satu langkah yang
perlu diambil untuk mencapai tujuannya. Komitmen Hammer terhadap
investigasi membuatnya tidak menanggapi pendekatan dan godaan yang
Lily lancarkan. Konsekuensinya: tidak pernah ada potensi keluarga di
142
antara Lily dan Hammer. Namun, tanpa sepengetahuan Hammer, Lily
punya rencana untuk kepentingannya sendiri. Rencana Lily tersebut baru
ditunjukkan menjelang kematiannya di akhir film, yang kemudian
menjelaskan siapa yang mendominasi siapa dalam relasi Lily dan
Hammer. Berdasarkan aspek tersebut, Lily memainkan peranan femme
fatale dalam naratif Kiss Me Deadly.
Status Lily sebagai femme fatale terkonstruksi dalam tiga sekuens
adegan, yang ketiganya melibatkan interaksi dengan Hammer. Pertama
adalah sekuens adegan pertemuan mereka, yang terjadi antara 00:33:37
dan 00:36:15. Pembuka sekuens tersebut adalah medium shot tampak
belakang Lily, yang terhalang oleh jeruji ranjang (Gambar C.4). Dari
posisi kamera tersebut, terlihat Hammer masuk ke dalam ruangan, yang
kemudian disambut oleh todongan pistol Lily. Baru setelah Hammer
menjelaskan keadaannya, Lily menurunkan senjatanya, dan keduanya pun
bicara. Rentetan kejadian tersebut menunjukkan dua elemen dari karakter
Lily, yang nantinya akan dikembangangkan sepanjang naratif film.
Elemen pertama adalah kondisi Lily yang terkekang, yang ditunjukkan
oleh jeruji yang menghalangi pandangan penonton. Seperti yang sudah
dijelaskan sebelumnya, Lily terkekang oleh statusnya sebagai mantan
teman sekamar Chrisitna, yang membuatnya dikejar terus menerus oleh
sindikat yang membunuh Christina. Elemen kedua adalah ketidakseganan
Lily membunuh orang untuk melindungi dirinya sendiri, yang ditunjukkan
oleh senjata yang ia todongkan ke Hammer.
Gambar C.4
143
Dua sekuens adegan berikutnya, yakni antara 01:00:03 sampai
01:01:06 dan antara 01:02:13 sampai 01:04:08, mendefinisikan posisi
rumah dalam Kiss Me Deadly. Dalam sekuens pertama, Lily ketakutan
dan meminta perlindungan dari Hammer. Lily cerita kalau sindikat yang
membunuh Christina mendatanginya malam-malam dan mengancamnya.
Dia pun memohon Hammer untuk mencari tempat persembunyian baru
untuknya, yang akhirnya Hammer kabulkan di sekuens adegan kedua.
Rentetan kejadian tersebut menunjukkan bahwa rumah dalam naratif film
hanyalah tempat yang signifikansinya bisa dibengkokkan sesuai
kepentingan pemiliknya. Dalam Kiss Me Deadly, tidak ada rumah yang
berfungsi sebagai tempat tinggal. Lily berpindah rumah setiap kali dia
merasa terancam, sementara Hammer hanya berada di rumah untuk
kepentingan kasusnya, mulai dari menyembunyikan narasumber sampai
bertarung melawan sindikat yang membunuh Christina.
Dua sekuens terakhir juga memberi petunjuk perihal peran Lily
sebagai femme fatale. Sekuens pertama menghadirkan sosok Lily sebagai
perempuan rapuh yang membutuhkan pertolongan (Gambar C.5). Dia
terlihat ketakutan dan meminta pertolongan Hammer. Ketika Hammer
mengabulkannya, Lily berubah drastis di sekuens kedua. Ia tidak
menunjukkan ketakutan apa-apa, dan tiba-tiba mencium Hammer
(Gambar C.6). Terkejut, Hammer hanya mendiamkan, keluar kamar, dan
melanjutkan investigasinya. Kemudian, muncul sebuah close up yang
membingkai wajah Lily. Ia tidak terlihat takut akan keselamatan
nyawanya, tapi akan Hammer yang pergi meninggalkannya begitu saja
Gambar C.5 Gambar C.6
144
(Gambar C.7). Dari dua sekuens tersebut, penonton mendapati ada
perbedaan motivasi dalam diri Lily. Satu-satunya yang tetap adalah
rencana pribadi Lily, yang baru diketahui penonton di sekuens adegan
antara 01:38:25 sampai 01:43:43. Sekuens tersebut berada di bagian
menjelang akhir film, menjadi klimaks dari plot film, dan menegaskan
posisi Lily sebagai femme fatale dalam naratif Kiss Me Deadly.
Klimaks film dibuka oleh shot kaki seorang pria. Kamera
kemudian naik ke atas dan menunjukkan wajah pria tersebut, yang
ditemani oleh Lily di sebelahnya. Pria di sebelah Lily adalah kepala dari
sindikat yang membunuh Christina. Dia adalah orang di balik
pembunuhan Christina, yang ternyata dilakukan untuk menutupi
keberadaan sebuah kotak yang berisikan materi radioaktif. Lily adalah
kaki tangan pria tersebut. Lily sebenarnya tidak tahu barang apa yang
sedang dipegang oleh atasannya, namun dia menduga bahwa barang
tersebut pasti berharga. Kalau tidak berharga, menurut rasio Lily, tidak
mungkin banyak orang mati dalam pencarian barang tersebut. Lily pun
membunuh atasannya. Setelah pembunuhan tersebut, Hammer datang.
Gambar C.7
Gambar C.8 Gambar C.9
145
Lily mengarahkan pistolnya ke arah Hammer, dan memaksanya untuk
mencium Lily. Hammer mendekat, dan Lily pun menembaknya (Gambar
C.8). Hammer terjatuh menahan kesakitan, sementara Lily hanya
tersenyum dan membuka kotak yang ia pegang. Begitu dibuka, kotak
langsung memancarkan gelombang panas radioaktif, yang membakar Lily
dalam sekejap (Gambar C.9).
5. Velda Sebagai Potensi Keluarga yang Tak Terwujud
Relasi Hammer dan Velda terdefinisikan dalam empat sekuens
adegan. Sekuens pertama terjadi di kamar rumah sakit, antara 00:10:21
sampai 00:11:05, ketika Hammer pertama kali siuman usai diserang oleh
sindikat yang membunuh Christina. Velda adalah orang pertama yang
Hammer lihat ketika membuka mata, sekaligus satu-satunya orang yang
diijinkan masuk kamar tempat Hammer dirawat. Dengan kamera
menyorot wajah Velda dalam medium shot, terdengar Hammer berkata,
“You’re never around when I need you.” Velda pun membalas, “You
never need me when I’m around” (Gambar C.10). Kejadian-kejadian
tersebut menyiratkan adanya keintiman dan pengakuan antara keduanya,
yang menjelaskan kenapa Velda bisa berada dalam ruangan yang hanya
bisa dikunjungi orang tertentu saja, dan dialog antara Hammer dan Velda
yang merujuk pada suatu hubungan yang sudah dan sedang berlangsung.
Keintiman dan pengakuan yang tersirat di sekuens pertama
terkonfirmasi pada sekuens adegan 00:19:25 sampai 00:24:36. Mengambil
tempat di apartemen Hammer, sekuens tersebut dibuka dengan Hammer
Gambar C.10 Gambar C.11
146
dan Velda berciuman (Gambar C.11), ditengahi oleh kedatangan seorang
inspektur dari kepolisian (Gambar C.12), dan ditutup dengan Hammer
memerintah Velda untuk mengumpulkan informasi soal Christina
(Gambar C.13). Rentetan kejadian tersebut menjelaskan bahwa memang
ada relasi afektif antara Hammer dan Velda, sekaligus menambah
informasi bahwa keduanya terikat dalam relasi profesional. Velda adalah
sekretaris pribadi Hammer, yang berarti keduanya terhubung dalam
hubungan yang hierarkis. Velda menerima dan melaksanakan perintah
dari Hammer, tapi tidak bisa sebaliknya.
Kedatangan inspektur polisi menyimbolkan intervensi yang akan
mengganggu relasi Hammer dan Velda. Intervensi tersebut muncul karena
pekerjaan Hammer sebagai seorang detektif, bukan karena relasi
sentimental antara Hammer dan sekretarisnya. Hammer sendiri juga tidak
terlalu menganggap perasaan Velda, melihat dia merespons kedatangan
inspektur polisi dengan memberikan tugas pada Velda. Hammer lebih
memprioritaskan relasi profesionalnya dengan Velda, ketimbang relasi
afektifnya. Padahal, pada relasi afektif tersebut, potensi keluarga antara
Hammer dan Velda tersemai. Dengan Hammer memerintahkan Velda di
rumahnya sendiri, tempat yang sama di mana keduanya melakukan
adegan romantis, semakin terpetakan bahwa relasi profesional Hammer
dan Velda yang diprioritaskan. Relasi profesional itu juga yang penonton
ikuti selama Kiss Me Deadly berlangsung, sementara relasi sentimental
Gambar C.12 Gambar C.13
147
hanya tersirat tanpa ada konfirmasi lebih lanjut. Keluarga atau
kemungkinan tentangnya dipinggirkan atas nama pekerjaan.
Prioritas akan relasi profesional memperoleh aksentuasi di sekuens
adegan 01:04:52 sampai 01:09:44. Sekuens tersebut terjadi di apartemen
Velda, di mana Hammer datang setelah menemui banyak jalan buntu
dalam investigasinya tentang Christina. Tadinya tertidur, Velda bangun
dan mendengarkan segala keluh kesah Hammer. Selama mendengarkan,
Velda berbaring di paha Hammer, sementara Hammer duduk dan bicara
dengan muka datar (Gambar C.14). Pose duduk keduanya sudah
menunjukkan siapa yang mementingkan hubungan yang mana. Dialog
keduanya berujung pada tugas investigasi lebih lanjut untuk Velda, yang
mengharuskannya mendekati seseorang lelaki, supaya Hammer dapat
mendapat informasi baru perihal kematian Christina. Sekali lagi, relasi
profesional mengalahkan relasi sentimental, yang berarti juga meredupkan
potensi keluarga antara Hammer dan Velda.
Klimaks dari hubungan keduanya terjadi di menit 01:44:04 dan
01:45:39, yang terjadi setelah klimaks plot Kiss Me Deadly. Dalam
adegan tersebut, Hammer menyelematkan Velda, yang tersekap dalam
rumah yang terbakar akibat materi radioaktif (Gambar C.15). Velda
disekap oleh pihak-pihak yang melindungi rahasia negara, yang merasa
terancam dengan investigasi Hammer. Penyelematan Hammer merupakan
pertama kalinya dalam film dia mengesampingkan profesinya, dan
memperlakukan Velda berdasarkan perasaannya. Selamatnya Velda
memastikan bahwa potensi keluarga di antara mereka tetap ada. Namun,
Gambar C.14 Gambar C.15
148
Hammer dan Velda tetap menjadi sebuah potensi di akhir film, karena
tidak ada petunjuk perihal masa depan keduanya. Satu-satunya petunjuk
ke masa depan adalah keberadaan materi radioaktif di tanah Amerika,
yang berarti suatu saat dunia cerita dalam Kiss Me Deadly bisa saja lenyap
oleh suatu perang nuklir. Dalam perspektif tersebut, berarti Hammer dan
Velda juga bisa lenyap kapan saja, yang membuat apapun yang mungkin
terjadi di antara keduanya jadi tidak berarti.
D. Konstruksi Keluarga dalam Film Objek Penelitian
1. Konstruksi Pro-Keluarga
Dirunut dari perkembangan naratifnya, ketiga film noir yang
menjadi objek penelitian ini memiliki dua pola yang serupa. Pertama,
naratif ketiganya mengambil sudut pandang protagonis laki-laki. Kedua,
ketiga film tersebut memberi hukuman bagi karakter perempuan yang
bertabiat “buruk”, dan melestarikan perempuan yang bertabiat “baik”.
Dalam kasus ini, standar baik dan buruk yang dimaksud adalah peran
tradisional gender, baik dalam film Hollywood maupun dalam kondisi
sosial-politik Amerika. Perempuan baik didefinisikan berdasarkan
komitmennya pada tanggung jawab domestik dan selanjutnya hubungan
dengan lawan jenis. Tanggung jawab domestik dinilai lebih tinggi dari
pada hubungan dengan lawan jenis, karena melibatkan sertifikasi legal,
yang konsekuensinya menciptakan beban moral yang lebih tinggi dari
sekadar relasi kasual.
Dalam tiga film yang diteliti, femme fatale selalu mati di akhir film,
walau dengan cara yang berbeda-beda. Phyllis mati ditembak protagonis
laki-laki di Double Indemnity, Cora mati karena kecelakaan mobil di The
Postman Always Rings Twice, sementara Lily mati karena kecerobohannya
membuka kotak berisi materi radioaktif di Kiss Me Deadly. Sebagai
karakter yang memegang ancaman ke institusi keluarga, kematian femme
fatale merupakan suatu bentuk dukungan pro-keluarga dalam film noir.
Ada kode moral tertentu yang melingkupi semesta cerita-cerita film noir,
149
yang juga melindungi institusi maupun potensi keluarga di dalamnya,
sehingga siapapun yang melenceng dari kode moral tersebut akan
mendapat ganjarannya. Kematian merupakan ganjaran yang absolut bagi
femme fatale dalam film noir.
Secara ideologis, kematian femme fatale merupakan bentuk
konformitas film noir terhadap status quo yang coba dipertahankan
pemerintah Amerika pasca perang. Selama Dunia II meletus, pemerintah
Amerika menekankan pentingnya keutuhan keluarga, mengingat keluarga
dilihat pemerintah sebagai cara terbaik mengajarkan ideologi negara
terhadap generasi muda. Keluarga merupakan kendaraan ideologis
pemerintah di level akar rumpun. Konformitas film noir terhadap status
quo merupakan konsekuensi dari ketatnya pengawasan badan sensor film,
yang sepanjang periode film noir banyak mengintervensi proses produksi
dan penulisan naskah. Badan sensor memastikan banyak film noir tidak
menyampaikan pesan ideologis yang “salah” kepada penontonnya.
Kode moral dalam semesta cerita film noir tidak berlaku pada
femme fatale saja, tapi juga protagonis laki-laki. Seperti yang sudah
dijelaskan sebelumnya, ketiga film yang menjadi objek penelitan
semuanya menggunakan laki-laki sebagai pandangan cerita.
Konsekuensinya, ketiga film tersebut secara naratif merupakan pandangan
laki-laki terhadap petualangan yang ia lewat, lingkungan yang ia tinggali,
profesi yang ia jalani, dan hubungan interpersonal yang ia jalani.
Sederhananya, film noir merupakan pandangan laki-laki tentang pekerjaan
dan perempuan di Amerika pasca perang. Seperti yang sudah dijelaskan di
Bab 2, Amerika pasca perang merupakan masa di mana laki-laki kembali
ke dunia kerja setelah mengabdi di lapangan perang, yang mengakibatkan
kembalinya perempuan ke urusan rumah tangga. Kembalinya laki-laki ke
dunia kerja berarti juga kembalinya mereka memegang tanggung jawab
mereka ke profesi yang mereka jalani, dan ke peran yang mereka pegang
dalam penghidupan keluarga.
150
Pelencengan dari dua peran tradisional laki-laki menghadirkan
ganjaran bagi protagonis film noir. Terlihat bagaimana, dalam tiga film
objek penelitian, protagonis laki-laki selalu mendapat intervensi, dan pada
akhirnya gagal mendapat yang ia inginkan dari petualangannya melibas
institusi keluarga. Intervensi yang menghadang protagonis juga selalu
datang dari pihak-pihak yang terkait dengan hukum. Dalam Double
Indemnity, protagonis dihadang oleh detektif perusahaan asuransi, yang
mengecek validitas setiap klaim asuransi yang diajukan ke perusahaan.
Dalam The Postman Always Rings Twice dan Kiss Me Deadly, protagonis
dihadang oleh pihak-pihak yang terkait dengan tatanan legal negara.
Ketiga film tersebut menmbangun asosiasi antara keluarga dan hukum.
Dalam film noir, melibas batas keluarga merupakan tindakan yang dapat
dituntut dan digagalkan oleh hukum.
2. Konstruksi Anti-Keluarga
Sementara keluarga adalah institusi yang disakralkan secara legal
dalam film noir, rumah mengalami perlakuan yang sebaliknya. Dalam film
noir, rumah selalu digambarkan sebagai lokus pembentukan keluarga yang
problematis dan, sampai kapasitas tertentu, paradoksikal. Problematis,
karena rumah dalam film noir kehilangan kemampuannya membatasi dan
melindungi orang yang di dalam rumah dari ancaman yang berada di luar
rumah. Rumah kehilangan privasinya, dan malah menjadi situs inisiasi
sekaligus komplikasi dari konflik yang terjadi sepanjang film.
Ketiga film yang menjadi objek penelitian punya caranya sendiri-
sendiri dalam membingkai rumah sebagai sumber masalah. Dalam Double
Indemnity, rumah konstan diterapkan pencahayaan Venetian blind, yang
menjadikan rumah terlihat seperti penjara. Dalam The Postman Always
Rings Twice, rumah merupakan lokasi perselingkuhan sekaligus
perencanaan pembunuhan. Seiring berkembangannya naratif film tersebut,
rumah menjadi perwujudan dari status pernikahan palsu antara protagonis
laki-laki dan femme fatale. Dalam Kiss Me Deadly, tidak ada rumah yang
151
ditempati oleh keluarga, mengingat film tersebut sama sekali tidak
menampilkan relasi keluarga dalam bentuk apapun. Naratif Kiss Me
Deadly membingkai rumah sebagai tempat yang mudah dimasuki oleh
pihak asing, sehingga rumah dalam film tersebut menjadi lokasi yang
konstan dijadikan tempat untuk konspirasi dan berkelahi. Tidak ada
kesempatan bagi karakter-karakter dalam Kiss Me Deadly untuk
menikmati rumah sebagai ruang yang aman dan positif.
Dalam ketiga film noir yang diteliti, rumah adalah lokus yang dari
sananya sudah bermasalah. Hal tersebut menjadikan konstruksi keluarga
dalam rumah menjadi sesuatu yang nyaris mustahil. Rumah yang
bermasalah menjadi motivasi bagi protagonis laki-laki dan femme fatale
turun ke jalan, dan menjalani hubungan mereka di luar rumah. Rumah
yang bermasalah juga yang menjadi motivasi keduanya untuk memutus
ikatan mereka ke institusi keluarga, yang tercermin dalam rencana-rencana
pembunuhan yang ada dalam film noir. Namun, seperti yang sudah
dijelaskan sebelumnya, setiap usaha pengingkaran batas institusi keluarga
akan dihadapkan dengan intervensi legal. Intervensi legal tersebut yang
pada perkembangannya menghalangi protagonis laki-laki dari
keinginannya, dan membawa femme fatale ke ajalnya. Keluarga dan
potensi keluarga dalam ketiga film objek penelitian pada akhirnya selalu
dinihilkan.
152
BAB V
KESIMPULAN
A. Film Noir, Deviasi Konvensi, dan Konstruksi Keluarga
Sebelum melakukan penelitian, penulis meyakini bahwa film noir adalah
anomali dalam sejarah Hollywood. Secara kasat mata, film noir tidak
menempatkan rumah dan keluarga sebagai solusi dari konflik cerita, berlawanan
dengan yang sebelumnya dilakukan oleh film-film Hollywood. Selain itu, penulis
melihat bagaimana film noir membangun femme fatale yang melabrak batas-batas
karakter perempuan dalam film Hollywood sebelumnya, dan protagonis laki-laki
yang tidak dikonstruksi secara heroik layaknya film-film Amerika biasanya.
Ketiga elemen naratif film noir tersebut terjadi di saat pemerintah Amerika
mempromosikan kehidupan komunal, dari level negara hingga keluarga, yang
menjadi unit politis terkecil dalam kehidupan bernegara. Melalui penelitian ini,
penulis berharap dapat meneliti elemen-elemen naratif film noir dalam suatu
kerangka yang holistik, dan menjadikannya sebuah studi eksploratif dan tidak
sekadar deskriptif perihal film noir.
Setelah penelitian, penulis menemukan bahwa film noir pada jamannya
ternyata memainkan dua peran. Pertama, film noir memang menjadi deviasi dari
tradisi bercerita sinema Hollywood, seperti yang diyakini penulis sebelumnya.
Film noir tidak saja tidak menempatkan rumah dan keluarga sebagai solusi dari
konflik cerita, tapi juga mengkonstruksinya sebagai situs formasi dan komplikasi
konflik cerita. Kehidupan domestik selalu menjadi prospek yang tidak
menyenangkan bagi karakter-karakter film noir. Tidak pernah ditemukan adanya
keluarga yang utuh dalam film noir. Protagonis laki-laki dalam film noir hampir
tidak ada yang berkeluarga, sementara femme fatale selalu berusaha keluar dari
keluarganya, yang secara visual kerap ditunjukkan sebagai suatu penjara yang
mengekang.
Di sisi lain, rumah dan keluarga disakralkan secara legal dalam film noir.
Sakralisasi tersebut menjadikan film noir menjalani perannya yang kedua, yakni
153
sebagai konfirmasi terhadap status quo situasi sosial-politik jamannya. Dalam
film noir, institusi keluarga tidak boleh diganggu, sehingga siapapun yang
melabraknya akan mendapat ganjaran dari pihak-pihak penegak hukum.
Petualangan protagonis laki-laki dan femme fatale dalam film noir selalu melabrak
batas-batas kehidupan domestik dan institusi keluarga. Keduanya pun selalu
mendapat ganjaran dalam wujud kematian, baik bagi salah satu dari mereka
maupun keduanya.
Melalui dua peran yang dijalankannya, film noir membangun suatu mitos
tentang keluarga, yang berlawanan dengan tradisi bercerita Hollywood dan
konsensus sosial-politik jamannya. Relasi protagonis laki-laki dengan karakter
perempuan utama, yakni femme fatale dalam film noir, kontras dengan relasi
sejenis dalam tradisi bercerita Hollywood sebelumnya. Romansa di antara laki-
laki dan perempuan dalam film noir tidak pernah berakhir dengan pernikahan, dan
tidak juga diasosiasikan dengan kondisi rumah yang ideal. Sebaliknya, film noir
mengarahkan relasi lawan jenis ke rasa frustasi dan destruksi bagi para
pelakonnya. Dalam film noir, rumah dan keluarga selalu direduksi menjadi sebuah
potensi, yang pada akhirnya tidak pernah terwujud.
B. Kelemahan dan Saran
Di atas hasil yang telah dicapai, penelitian ini masin mengandung
kelemahan. Kelemahan ini berpangkap pada metode yang digunakan, yakni
analisis struktur naratif, yang didasarkan pada study of poetics yang dirumuskan
ulang David Bordwell sebagai metode analisis film. Analisis film berbasis poetics
bertujuan membedah film melalui enam elemen dalam film, yakni detail
(particulars), pola (patterns), tujuan (purposes), prinsip (principles) dan efek ke
penonton (processing). Dalam konteks analisis berorientasi historis, yang
diterapkan dalam penelitian ini, keenam elemen tadi menghubungkan film objek
penelitan dengan lanskap sosial-politik pada jamannya.
Untuk studi yang eksklusif pada satu genre, jenis, atau periode film,
analisis berbasis poetics adalah metode yang ideal, karena menjelaskan dan
memetakan relasi antara karakteristik produk-produk seni atau budaya pop dengan
154
perkembangan sosial-politik jamannya, atau sederhananya antara teks dan
konteksnya. Masalahnya, analisis berbasis poetics tidak bisa memetakan relasi
film dengan audiensnya secara komplit. Analisis berbasis poetics cenderung
mengandaikan adanya audiens yang ideal bagi objek penelitiannya, karena hanya
membahas tautan langsung audiens dengan film yang ditonton, seperti yang
terjadi dalam penelitian ini. Kehidupan sosial penonton tidak terlalu diangkat
tersentuh, karena tidak berkaitan langsung dengan modus naratif film objek
penelitian. Konsekuensinya, efek konstruksi keluarga dalam film noir bagi
audiens Amerika secara historis belum dapat dipastikan.
Saran penulis adalah penelitian lanjut mengenai audiens film di Amerika
Serikat dekade 40-an dan 50-an, masa di mana film noir muncul, eksis dan
kemudian lenyap di Hollywood. Penelitian tentang audiens tersebut sebaiknya
melihat posisi film noir di industri film secara umum, yang dapat membuka
wawasan perihal lokasi pemutaran, tingkat penjualan tiket, dan demografi
penonton film noir. Penelitian tentang audiens tersebut akan mengisi informasi-
informasi yang tidak terangkat dalam penelitian ini.
155
DAFTAR PUSTAKA
____________. Harvard Law Review 61, 1948.
Audi, Robert. Cambridge Dictionary of Philosophy, 2nd
Edition.
Cambridge: Cambridge University Press, 1999.
Bennett, Tony. Outside Literature. New York: Routledge, 1990.
Blaser, John. No Place for a Woman: The Family in Film Noir, yang
bisa diakses di http://www.filmnoirstudies.com/essays/no_place.asp, 15 Mei
2010.
Borde, Raymond dan Chaumeton, Etienne. A Panorama of American
Film Noir, 1941-1953. San Francisco: City Lights Book, 1955.
Bordwell, David. Poetics of Cinema. New York: Routledge, 2008
Borsodi, Ralph. Flight from the City. Charleston: Nabu Press, 1933.
Bradbury, Malcolm. The Modern American Novel. Oxford: Oxford
University Press, 1992.
Brook, Peter. The Melodramatic Imagination: Balzac, Henry James,
Melodrama, and the Mode of Excess. New Haven: Yale University Press, 1995.
Browne, Nick. Refiguring American Film Genres. Los Angeles:
University of California Press, 1998.
Cameron, Ian. The Movie Book of Film Noir. London: Studio Vista,
1992.
Chopra-Gant, Mike. Hollywood Genres and Postwar America. New
York: I.B. Tauris, 2006.
Connor, John dan Rollins, Peter. Why We Fought: America’s Wars in
Film and History. Kentucky: The University Press of Kentucky, 2008.
Coontz, Stephanie. Marriage, A History: How Love Conquered
Marriage. New York: Penguin Books, 2005
D’Ammassa, Don. Encyclopedia of Adventure Fiction. New York:
Infobase Publishing, 2009.
156
Dawson, Jonathan. British Sounds. Senses of Cinema, yang bisa diakses
di http://archive.sensesofcinema.com/contents/cteq/05/37/british_sounds.html,
2005.
Dickos, Andrew. Street with No Name: A History of the Classic Film
Noir. Lexington: University of Kentucky Press, 2002.
Dixon, Wheeler dan Foster, Gwendolyn. A Short History of Film. New
Jersey: Rutgers University Press, 2008.
Doherty, Thomas. The Code Before Da Vinci. Washington Post, yang
bisa diakses di
http://my.brandeis.edu/news/item?news_item_id=105052&show_release_date=1,
22 Mei 2010.
Dukore, Bernard. Dramatic Theory and Criticism: Greeks to
Grotowski. Florence: Heinle & Heinle, 1974.
Finler, Joel W.. The Hollywood Story, 3rd edition. London and New
York: Wallflower, 2003.
Hanson, Helen. Hollywood Heroines: Women in Film Noir and Female
Gothic and the Female Gothic Film. New York: I.B. Tauris, 2006.
Haut, Woody. Pulp Culture and the Cold War. London: Serpent's Tail,
1995.
Hayward, Susan. Cinema Studies: The Key Concepts, 2nd
edition. Bury:
St. Edmundsbury Press, 2000.
Hewitt, Nicholas dan Rigby, Brian. France and the Mass Media.
Houndmills: Macmillan, 1993.
Hill, C.P.. A History of the United States, 2nd
edition. Edward Arnold,
Ltd.: London, 1966.
Hoopes, Roy. Cain: The Biography of James M. Cain. Illnois: Southern
Illnois University Press, 1987.
Howe, Alexander N.. It Didn't Mean Anything: A Psychoanalytic
Reading of American Detective Fiction. North Carolina: McFarland, 2008.
157
Irwin, John T.. Unless the Threat of Death is Behind Them: Hardboiled
Fiction and Film Noir. Baltimore, Maryland: Johns Hopkins University Press,
2006..
Jacobs, Jane. The Death and Life of Great American Cities. New York:
Modern Library, 1993.
Kaledin, Eugenia. Mothers and More: American Women in the 1950s.
Boston: Twayne Publishers, 1984.
Kaplan, E. Ann. Women in Film Noir. London: British Film Institute,
1972.
Krutnik, Frank. In a Lonely Place: Film, Genre, Masculinity. London:
Routledge, 1991.
Landy, Marcia. Imitations of Life. Detroit: Wayne State University
Press, 1991.
Lally, Kevin. Wilder Times: The Life of Billy Wilder. New York: Henry
Holt & Company, 1996.
Leff, Leonard J. Dame. The Kimono Hollywood, censorship, and the
production code from the 1920s to the 1960s. New York: Grove Weidenfeld,
1990.
Leibman, Nina C.. The Family Spree of Film Noir. Journal of Popular
Film and Television, 1989.
Mayer, Geoff dan McDonnell, Brian. Encyclopedia of Film Noir.
Westport, CT: Greenwood Publishing Group, 2007.
McKee, Robert. Story: Substance, Structure, Style, and the Principles of
Screenwriting. New York: Harper-Collins, 1997.
McLaughlin, Steven. The Changing Lives of American Women. Chapel
Hill: University of North Carolina Press, 1988.
Monaco, James. How to Read a Film. Oxford: Oxford Universtiy Press,
2000.
Monaco, James. The New Wave: Truffaut, Godard, Chabrol, Rohmer,
Rivette. Oxford: Oxford University Press, 1977.
158
Naremore, James. More Than Night: Film Noir in its Contexts.
Berkeley: University of California Press, 1998.
O'Brien, Geoffrey. Hardboiled America: Lurid Paperbacks and the
Masters of Noir. New York: Da Capo Press, 1997.
Palmer, R. Barton. Perspectives on Film Noir. New York: G. K. Hall
and Co., 1996.
Polan, Dana B.. Blind Insights and Dark Passages: The Problem of
Placement in Forties Film. Velvet Light Trap, edisi 20, 1983.
Porfirio, Robert G.. No Way Out: Existential Motifs in the Film Noir.
Sight and Sound, vol. 4, no. 45, 1976.
Rippetoe, Rita Elizabeth. Booze and the Private Eye: Alcohol in the
Hard-Boiled Novel. North Carolina: McFarland & Company, 2004.
Russell, Catherine. Narrative Mortality: Death, Closure and New Wave
Cinemas. Minneapolis: University of Minnesota, 1995.
Sallis, James. Difficult Lives: Jim Thompson, David Goodis, Chester
Himes. New York: Gryphon Books, 1993.
Server, Lee. Over My Dead Body: The Sensational Age of the American
Paperback: 1945-1955. San Francisco: Chronicle Books, 1994.
Sikov, Ed. On Sunset Boulevard: The Life and Times of Billy Wilder.
New York: Hyperion, 1998.
Silver, Alain dan Ward, Elizabeth. Film Noir. London: Secker and
Warburg, 1992.
Silver, Alain dan Ward, Elizabeth. Film Noir: An Encyclopedic
Reference to the American Style. New York: The Overlook Press, 1992.
Smith, Bonnie. Changing Lives: Women in European History Since
1700. Lexington: D.C. Heath, 1989
Stankowski, Rebecca House. Night of the Soul: American Film Noir.
Studies in Popular Culture, Ver. 9, No. 1, 1986.
Thomas, Deborah. Film Noir: How Hollywood Deals with the Deviant
Male. CineAction!, 1986.
Todorov, Tzvetan. The Poetics of Prose. Ithaca: Cornell UP, 1977.
159
Totaro, Donato. Andre Bazin Revisited, Part 1: Film Style Theory in its
Historical Context, yang dapat diakses di
http://www.horschamp.qc.ca/new_offscreen/bazin_intro.html, 31 Juli 2003.
Wertheimer, John. Mutual Film Reviewed: The Movies, Censorship,
and Free Speech in Progressive America. American Journal of Legal History.
Temple University, 1993.