MENATA ESTETIKA KOTA Dr. Agus S. Ekomadyo Setiap orang mengidamkan keindahan. Saat menginginkan dirinya terlihat indah, maka ia berdandan, dan mengenakan baju beserta aksesoris yang membuat dirinya enak untuk dilihat. Begitu pula dengan rumahnya, yang ditata sedemikian rupa sehingga rumahnya menjadi enak untuk dilihat. Namun seringkali keindahan bersifat subjektif, sesuatu yang dinilai indah oleh seseorang orang, belum tentu indah menurut orang lain. Ada yang menganggap orang berbusana dengan berbagai perhiasan terlihat indah, namun ada yang lebih menyukai mereka yang tampil simpel. Sebagian orang menganggap rumah bergaya Eropa sebagai rumah yang indah, orang lain lebih menyukai gaya etnis, dan lainnya menyukai penampilan yang minimalis. Subjektivitas tentang keindahan ini acapkali menjadi masalah, saat kita perlu merumuskan keindahan lingkungan. Bayangkan jika semua orang membangun rumah dengan keindahan versinya masing‐masing. Akankan keindahan akan terwujud, atau justru ketidakteraturan dan kesemrawutan? Dalam penatan kota, sebuah konsep keindahan yang bersifat objektif diperlukan, agar kota bisa bisa tetap terlihat indah secara harmonis. Dari sinilah muncul konsep estetika, yaitu pengertian keindahan yang bersifat lebih rasional. Prinsip estetika dirumuskan dari berbagai prinsip‐prinsip yang ditemukan dalam sebuah objek yang dianggap indah. Dengan demikian estetika bisa bersifat objektif, dan dapat diterapkan kepada masyarakat umum. Dalam dunia desain arsitektur, prinsip‐prinsip estetika menjadi penting dalam memahami objektivitas keindahan bangunan yang dirancang. Dengan konsep yang lebih objektif, keindahan menurut arsitek bisa bertemu dengan keindahan menurut pemberi tugas. Dengan memahami prinsip‐prinsip estetika, maka keindahan sebuah desain arsitektur bisa bersifat utuh dan dapat dinikmati oleh banyak pihak. Estetika dalam Arsitektur
Sepanjang sejarahnya, dunia arsitektur telah menghasilkan berbagai bangunan yang indah. Dari situ, ternyata ditemukan berbagai kesamaan‐kesamaan tentang keindahan. Dengan demikian, beberapa prinsip‐prinsip estetika bisa dirumuskan. Beberapa prinsip estetika dalam arsitektur dapat dilihat dalam pembahasan di bawah: Kesatuan Kesatuan (unity) adalah prinsip adanya keteraturan antar elemen arsitektur yang menjadikannya terlihat utuh dan tidak acak‐acakan. Kesatuan bisa didapatkan dengan garis‐garis geometri yang menyatukan berbagai elemen atau pengulangan elemen yang sama.
1
Gambar 1 prinsip kesatuan bentuk karena kesamaan garis geometris horisontal dan pengulangan garis vertikal pada bangunan di Santana Row, San Jose
Sumbu, Simetri dan Keseimbangan Sumbu (axis) adalah garis imaginatif yang membagi suatu objek arsitektur menjadi dua bagian. Jika komposisi elemen di kedua sisi tersebut sama, maka simetri akan terbentuk. Jika komposisinya tidak sama, namun proporsinya masih serupa, maka terbentuk keseimbangan (balance).
Gambar 2 Contoh sumbu yang membentuk simetri pada Gedung Sate di Bandung, dan yang membentuk keseimbangan pada gedung Kongres Nasional di Brasillia
Repetisi dan Irama Repetisi adalah pengulangan bentuk elemen arsitektur menurut aturan tertentu. Irama (rhytm) adalah repetisi bentuk yang dapat dinikmati oleh pengamat dalam rentang waktu tertentu
Gambar 3 Repetisi bentuk lengkung pada Sydney Opera House dan irama yang terbentuk pada bangunan‐bangunan di Jalan Braga di Bandung
2
Hierarki dan Aksentuasi Hierarki adalah pengaturan elemen arsitektur dengan menggubah satu elemen lebih menonjol dari elemen yang lain, dan menjadikannya elemen tersebut menjadi lebih penting dari yang lainnya. Hierarki dapat didapatkan dengan memperbesar skala, membuat bentuk yang kontras, atau membuat ruang pada di antara elemen tersebut. Sedangkan aksentuasi adalah menggubah sebuah elemen berbeda dengan yang lain, dengan tujuan menghindari kemonotonan bentuk.
Gambar 4 Gereja di Florence yang karena skalanya mempunyai hierarki tertinggi dari lingkungan sekitar Gambar 5 Pintu masuk sebagai aksentuasi pada bidang datar pada Rumah Azuma dan Rumah Koshino karya
Tadao Ando Proporsi Proporsi adalah perbandingan dimensi atau ukuran suatu elemen bangunan dengan elemen lainnya. Proporsi bangunan disebut baik jika perbandingan elemen tersebut menghasilkan komposisi yang enak dilihat. Dalam dunia seni dan arsitektur, dikenal Golden Section sebagai proporsi bentuk yang dianggap sempurna. Selain itu, beberapa arsitek menggunakan aturan‐aturan geometris untuk mendapatkan proporsi bagi gubahan bentuk bangunanya. Gambar 6 Kuil Parthenon di Acropolis Yunani yang dirancang dengan menggunakan Golden Section dan Masjid
Raya Tasikmalaya karya Arsitek Slamet Wirasonjaya yang dirancang dengan proporsi geometris
3
Artikulasi Artikulasi adalah pengolahan suatu elemen arsitektur ketika bertemu dengan elemen lainnya. Salah satu bentuk pengolahan artikulasi adalah pengolahan sudut bangunan. Kota Bandung adalah kota yang menyimpan banyak bangunan dengan pengolahan sudut yang menarik.
Gambar 7 Beberapa bangunan sudut di kota Bandung Pengendalian Estetika Kota dan Partisipasi Publik
Di negara maju, aspek estetika kota menjadi bagian dalam pengendalian pembangunan kota. Aspek estetika sudah masuk ke dalam peraturan kota yang menjadi syarat perizinan bangunan. Bahkan di kawasan tertentu, persetujuan tim pakar diperlukan agar sebuah bangunan bisa dibangun. Hal ini bertujuan agar pembangunan baru tidak merusak karakter kota yang sudah terbentuk. Diharapkan, bangunan baru dibangun justru memperkuat estetika kota. Salah satu kota yang menerapkan estetika sebagai persyaratan perizinan bangunan adalah kota Singapura. Sebagai negara commonwealth, Singapura banyak meniru sistem Eropa (terutama dari Inggris) dalam mengatur kota, termasuk dalam prosedur perizinan. Di kota ini, banyak di terdapat bangunan tua, yang menjadikan karakter kuat kota ini. Ketika pemilik bangunan ingin merenovasi bangunan, misalnya menambahkan reklame, maka ia harus memperhatikan estetika bangunan. Reklame tidak boleh merusak, bahkan kalau bisa ikut memperkuat karakter bangunan.
Gambar 8 harmoni antara papan reklame dan bangunan‐bangunan tua di Singapura
Dalam perkembangan mengenai pengendalian kota, aspek yang diperhatikan kemudian lebih luas daripada sekadar estetika kota. Ada aspek perseptual yang menyangkut bagaimana identitas kota dibentuk, aspek sosial yang menyangkut penyediaan ruang‐ruang sosial bagi warga kota, dan aspek lingkungan yang menyangkut keberlangsungan daya dukung kota bagi warganya. Yang menjadi perhatian adalah bagaimana kualitas kota bisa diwujudkan dalam proses pengambilan keputusan yang melibatkan banyak pihak.
4
Belajar dari pengalaman, ada beberapa faktor yang penentu dalam kesuksesan pengendalian kualitas dalam pembangunan kota, termasuk di dalamnya kualitas estetika. Pertama, adanya konsep dan visi yang kuat bagaimana kualitas kota ingin diwujudkan. Kedua, adanya partisipasi publik dalam penyusunan peraturan. Dan ketiga, adanya usaha koordinatif yang komprehensif antara berbagai pihak dalam pembangunan dan pengelolaan kota. Di sini, kesadaran masyarakat akan kepentingan bersama menjadi penting. Sebuah lingkungan yang indah, asri, dan nyaman tidak akan terbentuk jika setiap warga kota bersikeras pada kepentingan sendiri. Kesadaran bahwa kualitas lingkungan akan terbentuk jika setiap masyarakat berpartisipasi aktif di dalamnya. Dr. Agus S. Ekomadyo adalah pengajar pada Program Studi Arsitektur ITB yang mendalami masalah arsitektur kota. Korespondensi dapat dilakukan via e‐mail melalui [email protected] atau [email protected]
5