BAB I
PENDAHULUAN
Angiofibroma nasofaring adalah suatu tumor jinak pembuluh darah di daerah nasofaring
yang secara histologik jinak, namun secara klinis bersifat seperti tumor ganas karena mempunyai
kemampuan mendekstruksi tulang dan meluas ke jaringan sekitarnya. Tumor ini dapat meluas
ke daerah sinus paranasal, pipi, mata, dan tengkorak, serta sangat mudah menimbulkan
perdarahan dan susah untuk dihentikan. Tumor yang kaya pembuluh darah ini memperoleh aliran
darah dari arteri faringealis asenden atau arteri maksilaris interna. Angiofibroma kaya dengan
jaringan fibrosa yang timbul dari atap nasofaring atau bagian dalam dari fossa pterigoid. Setelah
mengisi nasofaring, tumor ini meluas ke dalam sinus paranasal, rahang atas, pipi dan orbita serta
dapat meluas ke intra kranial setelah mengerosi dasar tengkorak.1,2
Angiofibroma nasofaring paling sering ditemukan pada anak lak-laki prepubertas dan
remaja, yang umumnya terdapat pada rentang usia 7 sampai 21 tahun dengan insidens terbanyak
antara usia 14-18 tahun. Angiofibroma nasofaring jarang terjadi pada usia diatas 25 tahun
sehingga tumor ini disebut juga Juvenile Nasopharyngeal Angiofibroma. Istilah juvenile tidak
sepenuhnya tepat, karena neoplasma ini kadang ditemukan juga pada pasien yang lebih tua.
Juvenile Nasopharyngeal Angiofibroma jarang ditemukan dan diperkirakan hanya 0,05% dari
seluruh tumor kepala dan leher. Insiden angiofirboma nasofaring diperkirakan antara 1 : 5.000-
60.000 pada pasien THT.1,2
Gejala klinik yang dapat ditemukan pada juvenile angiofibroma nasofaring dapat berupa
hidung tersumbat (80-90%), merupakan gejala yang paling sering, diikuti epistaksis (45-60%)
yang kebanyakan unilateral dan rekuren, nyeri kepala (25%) khususnya bila sudah meluas ke
sinus paranasal, pembengkakan wajah (10-18%). Gejala lain seperti anosmia, rhinolalia,
deafness, pembengkakan palatum serta deformitas pipi juga dapat ditemukan pada penderita
angiofibroma nasofaring. Angiofibroma nasofaring sangat sulit untuk di palpasi, palpasi harus
sangat hati-hati karena sentuhan jari pada permukaan tumor dapat menimbulkan perdarahan yang
ekstensif. Diagnosis angiofibroma nasofaring ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan
fisik, dan pemeriksaan radiologis. Trias gejala dan tanda klinis dari tumor ini adalah epistaksis
1
masif berulang, sumbatan hidung dan massa di nasofaring sangat mendukung kecurigaan adanya
angiofibroma nasofaring. 2,3
2
BAB II
TNJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi
Ruang nasofaring yang relatif kecil mempunyai hubungan yang erat dengan beberapa
struktur yang secara klinis mempunyai arti penting. Nasofaring berhubungan dengan rongga
hidung di anterior melalui koana, dan orofaring di bagian inferior melalui bagian terbawah dari
palatum molle. Sedangkan di bagian superior dan posterior, nasofaring berhubungan dengan
korpus vertebra. Tuba eustachius memasuki nasofaring di sebelah lateralnya, dan bagian superior
dan posterior muara tuba ini ditutupi oleh kartilago, yang disebut sebagai torus tubarius. Fossa
Rosenmuller (lateral dari resesus nasofaring) terletak di bagian superior dan posterior torus
tubarius dan merupakan predileksi dari karsinoma nasofaring. Banyak terdapat foramen kranial
yang membawa struktur syaraf dan pembuluh darah penting yang terletak di dekat nasofaring.
Nasofaring diliputi oleh mukosa yang terdiri atas epitel squamous kompleks atau epitel kolumner
pseudokompleks.4
Gambar 1. Anatomi Nasofaring
3
2.2 Definisi
Angiofibroma nasofaring adalah suatu tumor jinak nasofaring yang secara histologik
jinak, secara klinis bersifat ganas, karena mempunyai kemampuan mendestruksi tulang dan
meluas ke jaringan sekitarnya, seperti ke sinus paranasal, pipi, mata dan tengkorak, serta sangat
mudah berdarah yang sulit dihentikan.1
Sebutan lain untuk angiofibroma di dalam literatur antara lain: juvenile angiofibroma,
juvenile nasopharyngeal angiofibroma (JNA), nasal cavity tumor, nasal tumor, benign nasal
tumor, tumor hidung (nose tumor), nasopharyngeal tumor, atau angiofibroma nasofaring belia.2,3
Berbagai jenis tumor jinak lain dapat juga ditemukan di daerah nasofaring seperti
papiloma, neurofibroma. Polip di nasofaring bukanlah neoplasma, berasal dari rongga hidung
atau sinus maksila dan menggantung di nasofaring, yaitu di koana, sehingga di sebut juga polip
koana. 1
2.3 Epidemiologi
Tumor ini jarang ditemukan, frekuensinya 1/5000 – 1/60.000 dari pasien THT,
diperkirakan hanya merupakan 0,05 persen dari tumor leher dan kepala. Tumor ini umumnya
terjadi pada laki-laki decade ke-2 antara 7-19 tahun. Jarang terjadi pada usia lebih dari 25 tahun.1
2.4 Etiologi
Etiologi tumor ini masih belum jelas. Berbagai teori banyak diajukan, salah satunya
adalah teori jaringan asal, yaitu pendapat bahwa tempat perlekatan spesifik angiofibroma adalah
di dinding posterolateral atap rongga hidung. Faktor ketidakseimbangan hormonal juga banyak
dikemukakan sebagai penyebab dari tumor ini, bahwa juvenile nasopharyngeal angiofibroma
berasal dari sex steroid-stimulated hamartomatous tissue yang terletak di turbinate cartilage.
Pengaruh hormonal yang dikemukakan ini dapat menjelaskan mengapa beberapa Juvenile
Angiofibroma Nasofaring jarang terjadi (ber-involute) setelah masa remaja (puberty). 1,4,6,8
Pada teori jaringan asal, dinyatakan bahwa angiofibroma nasofaring terjadi karena
pertumbuhan abnormal jaringan fibrokartilago embrional atau periosteum di daerah oksipitalis os
sfenoidalis. Diperkirakan bahwa kartilago atau periosteum tersebut merupakan matriks dari
angiofibroma. Pada akhirnya didapatkan gambaran lapisan sel epitelial yang mendasari ruang
vaskular pada fasia basalis dan dikemukakan bahwa angiofibroma berasal dari jaringan tersebut.
4
Sehingga dikatakan bahwa tempat perlekatan spesifik angiofibroma adalah di dinding
posterolateral atap rongga hidung.9
Sedangkan teori ketidakseimbangan hormonal menyatakan bahwa terjadinya
angiofibroma diduga karena adanya perubahan aktivitas pituitari. Hal ini menyebabkan
ketidakseimbangan hormonal yaitu adanya kekurangan hormon androgen dan atau kelebihan
hormon estrogen. Teori ini didasarkan adanya hubungan erat antara tumor dengan jenis kelamin
dan usia penderita serta adanya hambatan pertumbuhan pada semua penderita angiofibroma
nasofaring. Diduga tumor berasal dari periosteum nasofaring dikarenakan tidak adanya kesamaan
pertumbuhan pembentukkan tulang dasar tengkorak menyebabkan terjadinya hipertropi di bawah
periosteum sebagai reaksi terhadap hormonal.9
2.5 Patogenesis
Permukaan tumor dilapisi oleh mukosa yang dibawahnya terdapat anyaman pembuluh
darah. Massa tumor terdiri dari jaringan ikat padat dan gumpalan sel serta terisi pembuluh vena
lebar yang menumpuk di bagian pinggir. Tumor ini tidak bermetastasis tetapi dapat tumbuh
mendesak, dapat menginvasi orbita, sinus paranasal, fossa pterigoid dan temporal atau ke ruang
intrakranial. Tumor pertama kali tumbuh di bawah mukosa di tepi sebelah posterior dan lateral
koana di atap nasofaring. Tumor akan tumbuh besar dan meluas dibawah mukosa sepanjang atap
nasofaring, mencapai tepi posterior septum dan meluas ke arah bawah membentuk tonjolan
massa diatap rongga hidung posterior. Perluasan ke arah anterior akan mengisi rongga hidung,
mendorong septum ke sisi kontralateral dan memipihkan konka. Pada perluasan kearah lateral,
tumor melebar kearah foramen sfenopalatina, masuk ke fisura pterigomaksila dan akan
mendesak dinding posterior sinus maksila. Bila meluas terus, akan masuk ke fossa intratemporal
yang akan menimbulkan benjolan di pipi, dan “rasa penuh” di wajah. Apabila tumor mendorong
salah satu atau kedua bola mata maka akan tampak gejala yang khas pada wajah, yang akan
disebut “muka kodok”.1,5
Perluasan ke intrakranial dapat terjadi melalui fossa infratemporal dan pterigomaksila
masuk ke fossa serebri media. Dari sinus ethmoid masuk ke fossa serebri anterior atau dari sinus
sfenoid ke sinus kavernosus dan fossa hipofise.1
5
Gambar 2. Angifibroma nasofaring yang sudah dioperasi
2.6 Gejala klinik
Gejala yang sering ditemukan adalah sumbatan hidung yang progresif dan epistaksis
berulang yang masif. Timbul rinorea kronik diikuti gangguan penciuman, rinolalia, dan anosmia.
Tuli atau otalgia akibat okulasi pada tuba eustachius, dan dapat terjadi otitis media. Sefalgia
hebat terjadi bila tumor sudah meluas ke intrakranial. Dapat pula menyebabkan deformitas pada
muka, disfagi, proptosis dan gangguan visus. Gejala-gejala dini adalah kongesti dari sumbatan
hidung dengan disertai perdarahan. Perdarahan ini kadang-kadang merupakan komplikasi berat.
Suara menjadi datar atau “mati”, pernafasan dan proses menelan terhalang jika proses berlanjut.
Pada stadium lanjut timbul rasa nyeri dan sekret muko purulen. Jika pertumbuhan tumor
mencapai besar tertentu, maka wajah seperti “muka kodok” jelas terlihat, tulang maksila
merenggang dan tampak eksopthalmus yang menonjol. Sering disertai “aprosexsia” dan rasa
ngantuk.1,5,6
Gejala lanjut meningkat lebih berat sesuai dengan makin besarnya tumor, sampai
penyerapan jaringan tulang meningkat, kecuali jika tumor meluas ke luar rongga hidung atau
faring, seperti misalnya ke rongga intrakranial. Pada keadaan ini nekrosis akibat penekanan
tulang tidak terlalu besar.6
2.7 Diagnosis
Diagnosis ditegakkan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik dan penunjang seperti x-foto
polos, CT scan, angiografi atau MRI. Gejala yang paling sering ditemukan (>80%) ialah hidung
tersumbat yang progresif dan epistaksis yang berulang dan masif, infeksi sekunder dapat terjadi
pada ruangan di belakang hidung akibat berkurangnya drainase di tempat tersebut. Gejala-gejala
lain muncul tergantung dari luasnya tumor dan arah pembesarannya.1,2,5
6
Gambar 3. Penampang koronal CT scan yang memperlihatkan adanya lesi angiofibroma yang mengisi cavum nasal kiri dan sinus ethmoid, memenuhi sinus maksilaris dan
menyebabkan deviasi septum nasi ke kanan5
Pada pemeriksaan fisik secara rinoskopi posterior akan terlihat massa tumor yang
konsistensinya kenyal, warnanya bervariasi dari abu-abu sampai merah muda. Bagian tumor
yang terlihat di nasofaring biasanya diliputi oleh selaput lendir berwarna keunguan, sedangkan
bagian yang meluas ke luar nasofaring berwarna putih atau abu-abu. Pada usia muda warnanya
merah muda, pada usia yang lebih tua warnanya kebiruan, karena lebih banyak komponen
fibromanya. Mukosanya mengalami hipervaskularisasi dan tidak jarang ditemukan adanya
ulserasi.1
Karena tumor sangat mudah berdarah, sebagai pemeriksaan penunjang diagnosis
dilakukan pemeriksaan radiologik konvensional CT scan serta pemeriksaan arteriografi. Pada
pemeriksaan radiologik konvensional (foto kepala potongan antero-posterior, lateral dan posisi
waters) akan terlihat gambaran klasik yang disebut sebagai tanda “Holman Miller” yaitu
pendorongan prosesus pterigoideus ke belakang, sehingga fisura pterigopalatina melebar. Akan
terlihat juga adanya massa jaringan lunak di daerah nasofaring yang dapat mengerosi dinding
orbita, arkus zigoma dan tulang disekitar nasofaring. Pada pemeriksaan CT scan dengan zat
kontras akan tampak secara tepat perluasan massa tumor serta destruksi tulang ke jaringan
sekitarnya.1
Pada pemeriksaan arteriografi arteri karotis interna, akan memperlihatkan vaskularisasi
tumor yang biasanya berasal dari cabang arteri maksila interna homolateral. Kadang-kadang juga
7
sekaligus dilakukan embolisasi agar terjadi trombosis intravaskular, sehingga vaskularisasi
berkurang dan akan mempermudah pengangkatan tumor.1
Pemeriksaan patologi anatomik tidak dapat dilakukan, karena biopsi merupakan
kontraindikasi, sebab akan mengakibatkan perdarahan yang masif.2
Gambar 4. Gambaran angiogram yang memperlihatkan adanya angifibroma sebelum
embolisasi
Gambar 5. Gambaran angiogram yang memperlihatkan adanya angifibroma setelah embolisasi
Untuk menentukan derajat atau stadium tumor umumnya saat ini menggunakan
klasifikasi Session dan Fisch.1
Klasifikasi menurut Session sebagai berikut :
8
Stadium IA : Tumor terbatas di nares posterior dan atau nasofaringeal voult
Stadium IB : Tumor meliputi nares posterior dan atau nasofaringeal voult
dengan meluas sedikitnya satu sinus paranasal
Stadium IIA : Tumor meluas sedikit ke fossa pterigomaksila
Stadium IIB : Tumor memenuhi fossa pterigomaksila tanpa mengerosi tulang
orbita
Stadium IIIA : Tumor telah mengerosi dasar tengkorak dan meluas sedikit ke
intrakranial
Stadium IIIB : Tumor telah meluas ke intra kranial dengan atau tanpa meluas ke
sinus kavernosus
Klasifikasi menurut Fisch sebagai berikut :
Stadium I : Tumor terbatas di rongga hidung, nasofaring tanpa mendestruksi
tulang
Stadium II : Tumor menginvasi fossa pterigomaksila, sinus paranasal
dengan destruksi tulang
Stadium III : Tumor menginvasi fossa infra temporal, orbita dengan atau
region paraselar
Stadium IV : Tumor menginvasi sinus kavernosus, region kiasma optik dan
fossa pituitari
9
2.8 Histopatologi
Pada pemeriksaan histopatologi angiofibroma nasofaring, ditemukan jaringan fibrous
yang matur yang terdiri dari berbagai ukuran pembuluh darah dengan dinding yang tipis.
Pembuluh darah tersebut dibatasi endotelium tetapi pada dinding pembuluh darahnya sedikit
mengandung elemen kontraktil otot yang normal. Hal inilah yang menyebabkan angiofibroma
nasofaring mudah berdarah.5
Gambar 6. Gambaran histopatologi angiofibroma nasofaring
2.9 Penatalaksanaan
Tindakan operasi merupakan pilihan utama selain terapi hormonal atau radioterapi,
namun ada buku yang menyebutkan bahwa tumor ini cenderung mengalami regresi ketika
penderita tumor ini masuk ke masa pubertas, jadi operasi diindikasikan jika ada komplikasi
akibat tumor ini seperti jika angiofibroma tumbuh membesar, menghalangi saluran udara atau
menyebabkan epistaksis menahun.1,3
Operasi tumor ini sendiri harus dilakukan di rumah sakit dengan fasilitas cukup, karena
resiko perdarahan yang hebat. Berbagai pendekatan operasi dapat dilakukan sesuai dengan lokasi
tumor dan perluasannya, seperti melalui transpalatal, rinotomi lateral, rinotomi sublabial atau
kombinasi dengan kraniotomi bila sudah meluas ke intrakranial. Untuk tumor yang sudah meluas
ke jaringan sekitarnya dan mendestruksi dasar tengkorak sebaiknya diberikan radioterapi
prabedah yakni dengan penanaman radium dan sinar rontgen yang dilanjutkan dengan
elektrokoagulasi atau dapat pula diberikan terapi hormonal meskipun hasilnya tidak sebaik
radioterapi. Pada pemberian hormonal terapi menggunakan testosterone receptor blocker
flutamide didapatkan penurunan staging pada staging I dan II sebesar 44%.3
Perlu dicatat bahwa pengangkatan tumor seringkali sulit dilakukan karena tumor
terbungkus dan menyusup ke dalam, sehingga setelah pengangkatan tumor seringkali terjadi
10
kekambuhan. Cara lain yang dapat digunakan yaitu embolisasi (penyumbatan arteri dengan suatu
bahan) yang bisa menyebabkan terbentuknya jaringan parut pada tumor dan menghentikan
perdarahan. Embolisasi dilakukan dengan cara menyuntikkan suatu zat ke dalam pembuluh darah
untuk menyumbat aliran darah yang melaluinya. Embolisasi efektif untuk mengatasi perdarahan
hidung dan tindakan ini bisa diikuti dengan pembedahan untuk mengangkat tumor.9
Terapi hormonal pada angiofibroma nasofaring bertujuan untuk mengecilkan masa tumor
dan mengurangi perdarahan. Pemberian estrogen dapat meningkatkan maturasi kolagen dan
mengurangi pembuluh darah dari tumor, sehingga perdarahan berkurang dan tumor mengecil.
Estrogen dapat menimbulkan efek samping berupa penurunan kadar testosteron plasma, atrofi
testis dan ginekomastia pada anak laki-laki. Terapi estrogen diberikan dengan dosis 3 x 5 mg
intramuskuler perhari selama sebulan, terbukti dapat mengurangi tendensi perdarahan,
memperkecil ukuran tumor 30-50% dan membuat konsistensi tumor menjadi lebih padat. Dapat
pula diberikan preparat progesteron yaitu dietilstilbestrol sebanyak 5 mg perhari selama sebulan
untuk meningkatkan maturasi dan mengurangi vaskularisasi. Efek samping pemberian
dietilstilbestrol adalah menurunnya kadar testosteron plasma dan dapat terjadi atropi testis.
Patterson menyarankan ethinyl estradiol sebagai regimen alternatif dengan dosisnya 1 mg / hari
selama sebulan. Menurut hasil penelitian Patterson, estradiol lebih efektif dibandingkan
stilbestrol.9
2.10 Prognosis
Prognosis lebih baik jika cepat diketahui dan segera di ekstirpasi juga lebih
menguntungkan jika umur diatas 25 tahun. Dengan kata lain, fibroma kecil yang tidak memenuhi
rongga nasofaring lebih muda diangkat daripada yang telah memenuhi rongga tersebut sesudah
umur 25 tahun pertumbuhan cenderung berkurang.6
Pada kasus-kasus di mana pertumbuhan tumor dapat diatasi dengan pambedahan dapat
dikatakan memiliki prognosis yang baik. Biasanya ini terjadi pada pasien dengan usia yang lebih
tua. Pada kasus yang lain, terutama pada pasien berusia lebih muda, tumor jenis ini dapat
berkembang menjadi degenerasi yang ganas dan memiliki prognosis yang buruk.2
11
BAB III
LAPORAN KASUS
3.1. Identitas Pasien
Nama : An. MS
Umur : 13 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Alamat : Bengkel
Poli : 29 Februari 2016
3.2. Anamnesis
Keluhan Utama:
Hidung kanan dan kiri tersumbat
Riwayat Penyakit Sekarang:
Pasien datang ke poliklinik THT RSU Provinsi NTB dengan keluhan hidung
tersumbat pada bagian hidung kanan dan kiri sejak 2 bulan yang lalu. Awalnya hidung
kanan tersumbat lebih dulu kemudian hidung kiri. Keluhan menetap dan semakin
berat. Pasien juga mengeluhkan keluarnya darah segar yang banyak dan terus menerus
dari hidung kanan dan juga nafas berbau busuk sejak 2 bulan yang lalu. Saat ini pasien
juga masih mengeluhkan keluar darah bercampur lendir sedikit-sedikit dari hidung
sebelah kanan dan kiri. Karena hidung kanan tersumbat total dan hidung kiri tersumbat
sebagian mengakibatkan pasien kadang bernapas menggunakan bantuan mulut dan
suara menjadi sedikit sengau. Pasien masih dapat mencium bau-bauan walaupun
sedikit berkurang. Penglihatan mata kanan pasien sedikit kabur sejak 2 minggu yang
lalu. Ibu pasien juga mengeluhkan pada saat anaknya tidur sering mendengkur. Pasien
menyangkal nyeri kepala, nyeri bagian wajah, nyeri telinga, pendengaran turun,
pusing, sesak, riwayat demam, batuk pilek, dan trauma.
12
Riwayat Penyakit Dahulu:
Pasien sebelumnya tidak pernah mengalami keluhan keluar darah dari hidung.
Riwayat Penyakit Keluarga/Sosial:
Pasien tidak memiliki keluarga dengan keluhan yang serupa. Pasien sering
mengonsumsi minuman dingin dan makanan panas.
Riwayat Alergi:
Pasien mengaku tidak memiliki riwayat alergi makanan, obat-obatan, udara ataupun
hal lain.
3.3. Pemeriksaan Fisik
Status Generalis :
Keadaan umum : sedang
Kesadaran : compos mentis
Tanda vital :
- TD : 110/80 mmHg
- Nadi : 88 x/menit
- Respirasi : 18 x/menit
- Suhu : 36,8oC
Status Lokalis :
Kepala/Leher :
Inspeksi : Deformitas pada wajah (-) muka kodok (-) Terlihat pasien selalu
membuka mulutnya untuk bernapas.
Palpasi : Nyeri tekan pada hidung bagian luar tidak ada, tidak teraba
adanya massa pada daerah sekitar hidung, wajah, dan leher.
13
Pemeriksaan Telinga
No
.
Pemeriksaan Telinga Auricula Dextra Auricula Sinistra
1. Tragus Nyeri tekan (-), edema (-) Nyeri tekan (-), edema (-)
2. Daun telinga : aurikula,
preaurikuer, retroaurikuler.
Bentuk dan ukuran telinga
dalam batas normal, lesi
pada kulit (-), hematoma (-),
massa (-), fistula (-), nyeri
tarik aurikula (-).
Bentuk dan ukuran telinga
dalam batas normal, lesi
pada kulit (-), hematoma (-),
massa (-), fistula (-), nyeri
tarik aurikula (-).
3. Liang telinga (MAE) Serumen (-), hiperemis (-),
edema (-),furunkel
(-),otorhea (-).
Serumen (-), hiperemis (-),
edema (-),furunkel
(-),otorhea (-).
4. Membran timpani Intak, retraksi (-), hiperemi
(-), bulging (-), edema (-),
perforasi (-), cone of light
(+).
Intak, retraksi (-),hiperemi
(-), bulging (-), edema (-),
perforasi (-), cone of light
(+).
Pemeriksaan Hidung
Inspeksi Nasal Dextra Nasal Sinistra
Hidung luar Bentuk (normal), inflamasi
(-), deformitas (-), massa (-).
Bentuk : Bentuk (normal),
inflamasi (-), massa (-).
Rinoskopi Anterior :
14
Vestibulum nasi Normal, ulkus (-) Normal, ulkus (-)
Cavum nasi Bentuk (normal), mukosa
hiperemi (+), sekret serous
(+), massa di kavum nasi
dextra, permukaan tidak rata,
mudah berdarah, berwarna
putih abu keunguan, stosel (-)
Bentuk (normal), mukosa
hiperemi (+), sekret serous (+),
massa (-), stosel (-)
Septum nasi Deviasi (-), benda asing(-),
perdarahan (-), ulkus (-).
Deviasi (-), benda asing (-),
perdarahan (-), ulkus (-).
Konka media & inferior Hipertrofi (-), livid (-),
kongesti (-).
Hipertrofi (-), hiperemi (+),
kongesti (+).
Rinoskopi posterior -
Gambar :
15
Konka inferior edema (+)
Hiperemi (+)
Sekret (+) berwarna putih cair, darah (-)
Terlihat massa di kavum nasi dextra, permukaan tidak rata, mudah berdarah, berwarna putih abu keunguan, meatus inferior tidak paten (tertutup massa)
Pemeriksaan Sinus Paranasal
SinusNyeri Tekan Transiluminasi
Dextra Sinistra Dextra Sinistra
Maksilaris (-) (-) Tidak
dilakukan
Tidak
dilakukan
Frontalis (-) (-) Tidak
dilakukan
Tidak
dilakukan
Pemeriksaan Tenggorokan
No. Pemeriksaan Keterangan
1. Bibir Mukosa bibir normal
2. Mulut Mukosa mulut basah, berwarna merah muda,
plak (-)
3. Bucal Warna merah muda, hiperemi (-)
4. Gigi Tampak gigi geligi lengkap, tidak rata, tidak
terdapat karies gigi-gigi rahang atas.
5. Lidah Ulkus (-), pseudomembran (-).
6. Uvula Bentuk normal, hiperemi (-), edema (-),
pseudomembran (-).
7. Palatum mole Ulkus (-), hiperemi (-), palatum mole bombans
(+)
8. Faring Mukosa hiperemi (-), edema (-), ulkus (-),
granul (-), sekret (-), reflex muntah (+).
9. Tonsila Palatina Hiperemi (-), ukuran T1-T1, kripte melebar (-),
detritus (-).
16
Gambar :
Pemeriksaan mata:
Pemeriksaan OD OS
Palpebra DBN DBN
Gerak bola mata Baik ke segala arah Baik ke segala arah
Oftalmoplegia - -
Pemeriksaan leher
Pembesaran KGB leher (-), massa coli (-)
17
3.4 Pemeriksaan Penunjang
Hasil CT Scan Kepala (01/03/2016)
• Gambaran: Strong enhacing mass pada cavum nasi posterior-nasofaring kanan ukuran
berkisar 3,8 x 5,8 x 3,2 yang meluas sisi lateral: pterigopalatine kanan, ke superior: sinus
sphenoid kanan, mengoresi bagian posterior foramen sphenopalatine sampai medial fossa
pterigoid. Tak tampak kelainan intrakranial.
18
• Kesan : Massa sinonasal menyokong gambaran angiofibroma.
Hasil pemeriksaan laboratorium (01/03/2016)
Parameter Nilai Nilai normal
HB 11,6 13,0 – 18,0
RBC 4,63 4,5 – 5,5
HCT 34,4 40 – 50
MCV 74,3 82 – 92
MCH 25,1 27,0 – 31,0
MCHC 33,7 32,0 – 37,0
WBC 6,79 4,0 – 11,0
PLT 337 150 - 400
GDS 96 < 160
SGOT 17 < 40
SGPT 16 < 41
3.5 Diagnosis
Suspect angiofibroma nasofaring juvenile
DD :
- Polip nasofaring
3.6 Planning
Planning Diagnosis :
- Angiografi
- Pemeriksaan patologi anatomi terhadap massa yang telah dioperasi
Planning Terapi :
- Pro Ekstirpasi Angiofibroma Nasofaring
- Antifibrinolitik untuk mengurangi perdarahan : asam traneksamat 3 x 500 mg
(jika perlu)
- Antibiotik : Amoksisilin 3 x 500 mg
- Cuci hidung dengan larutan fisiologis NaCl 0,9%
19
KIE
Menjelaskan kepada pasien dan keluarganya bahwa sudah dilakukan
pengangkatan tumor, dan tumor tersebut akan diperiksa apakah sel tumor jinak
atau ganas, agar dapat ditentukan tindakan lanjutan yang sesuai.
Menjelaskan kepada pasien dan keluarganya untuk kontrol ke poliklinik THT
untuk mengevaluasi keadaan pasien setelah di operasi pengangkatan tumor.
Menjelaskan kepada pasien dan keluarganya bahwa kemungkinan tumor dapat
timbul kembali dikarenakan pengaruh hormonal yang tidak stabil pada usia 7-19
tahun, sehingga pasien tetap perlu di observasi oleh keluarganya hingga usia
pasien lebih dari 25 tahun. Apabila timbul kembali keluhan yang sama seperti
gejala hidung tersumbat dan keluar darah melalui hidung, keluarga pasien harus
segera membawa pasien ke rumah sakit untuk dilakukan pemeriksaan.
3.7 Prognosis
Dubia et Bonam
20
BAB IV
PEMBAHASAN
Pasien pada laporan kasus ini adalah seorang laki-laki berumur 13 tahun, dengan gejala
hidung kanan dan kiri tersumbat disertai keluarnya darah pada hidung kanan. Pasien juga
mengeluh bau mulut dan mata kabur. Pasien tidak mempunyai keluhan lainnya, seperti nyeri
kepala, gangguan di telinga, dan demam. Ditemukan adanya sumbatan pada kavum nasi kanan
kiri dimana terlihat massa di kavum nasi dekstra sinistra dengan permukaan tidak rata, mudah
berdarah, berwarna putih abu keunguan, hal ini menunjukkan bahwa sudah terdapat obstruksi
pada nasal akibat suatu massa.
Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik pada pasien ini ditemukan gejala-gejala
yang lebih mengarahkan adanya Juvenile Angiofibroma Nasofaring, yaitu berdasarkan bahwa
pasien berjenis kelamin laki-laki dan berumur 13 tahun. Dimana, tumor ini umumnya terjadi
pada laki-laki dekade ke-2 antara 7-19 tahun dan jarang terjadi pada usia lebih dari 25 tahun.
Kemudian berdasarkan gejala dan tanda yang nampak pada pasien berupa adanya keluhan
hidung tersumbat yang progresif, dan epistaksis berulang yang sudah lama. Pada pemeriksaan
fisik terlihat adanya massa di kavum nasi yang mudah berdarah.
Setelah dilakukan pemeriksaan penunjang berupa CT-Scan didapatkan hasil bahwa
gambaran yang terlihat merupakan strong enhacing mass pada cavum nasi posterior-nasofaring
kanan ukuran berkisar 3,8 x 5,8 x 3,2 yang meluas sisi lateral: pterigopalatine kanan, ke superior:
sinus sphenoid kanan, mengoresi bagian posterior foramen sphenopalatine sampai medial fossa
pterigoid yang mengarah ke angiofibroma nasofaring. Gejala yang ditimbulkan tergantung pada
seberapa besar pembesaran massa yang terjadi. Pada tumor yang berada terbatas pada mukosa di
tepi sebelah posterior dan lateral koana di atap nasofaring sumbatan hidung masih minimal,
namun pada pasien ini tumor tumbuh besar dan meluas dibawah mukosa sepanjang atap
nasofaring dan mencapai bagian posterior septum yang meluas ke arah bawah membentuk
tonjolan massa diatap rongga hidung posterior sehingga gejala pada hidung nampak jelas. Untuk
menentukan diagnosis pasti, pada pasien ini dilakukan pemeriksaan patologi anatomi terhadap
jaringan tumor.
Pembedahan merupakan penatalaksanaan yang dianjurkan, tetapi terdapat risiko
perdarahan yang besar akibat tingginya vaskularisasi tumor, seringkali lebih besar dari 2.000 ml.
21
Embolisasi preoperatif direkomendasikan sebagai prosedur standar untuk mengurangi kehilangan
darah selama operasi, sehingga memungkinkan eksisi total, mengurangi komplikasi dan
meminimalkan residu tumor.
22
DAFTAR PUSTAKA
1. Roezin A. Dharmabaktio S. Angiofibroma Nasofaring Belia. Dalam: Soepardi EA, Iskandar
N, Bashiruddin J, Restuti RD. Editor Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok
Kepala dan Leher. Edisi Keenam. Cetakan Keempat. Jakarta : Balai Penerbit FKUI. 2007.
Halaman 188-190.
2. Asroel HA. Angiofibroma Nasofaring Belia. Dalam: Hajar S, Hafni. Editor Majalah
Kedokteran Nusantara Fakultas Kedokteran Bagian Tenggorokan Hidung danTelinga
Universitas Sumatera Utara. Volume ke 6. Nomor 3. Sumatera Utara: Departemen Ilmu
Penyakit THT-KL Fakultas Kedokteran USU/RSUP H.Adam Malik Medan. 2005. Halaman
251-253
3. L. Adam, George. Penyakit Nasofaring dan Orofaring. Dalam : Effendi H, Santoso K,
Editors Boeis Buku Ajar Penyakit THT. Edisi ke 6. Jakarta: EGC,1997. Halaman 322-346
4. Rusmarjono, Kartosoediro S. Anatomi Nasofaring. Dalam: Soepardi EA, Iskandar N,
Bashiruddin J, Restuti RD. Editor Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok
Kepala dan Leher. Edisi Keenam. Cetakan Keempat. Jakarta : Balai Penerbit FKUI. 2007.
Halaman 214.
5. Tewfik TL. Juvenile Nasopharyngeal Angiofibroma. In: American Academy of
Otolaryngology-Head and Neck Surgery. USA: Emedicine. 2014.
6. Naz N, Ahmed Z, Shaikh SM, Marfani MS. Juvenile Nasopharyngeal Angiofibroma. In:
Role of Imaging in Diagnosis, Staging and Recurrence. Pakistan Journal of Surgery. 2009.
Pp 185-9.
7. Mashari, Wiyanto BH, Subroto DS. Angiofibroma Nasofaring dengan Perluasan Intra
Kranial. Dalam: Soepardjo H, Soenarso BS, Suprihati, dkk, ed. Kumpulan naskah ilmiah
Kongres Nasional XII Perhati. Semarang 2001. Halaman 1033 – 37
8. Atalar M, Solak O, Muderris S. Juvenile Nasopharyngeal Angiofibroma. In: Radiologic
evaluation and Pre-operative embolization. KBB-Forum. 2006. Pp 58-61.
9. Firdaus MA, Rahman S, Asyari A. Penatalaksanaan Angiofibroma Nasofaring Juvenil
Dengan Pendekatan Transpalatal. Dalam: Bagian Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala
Leher (THT-KL) Fakultas Kedokteran Universitas Andalas Padang. 2009. Halaman 1-8
23