Suku Ketengban di daerah Nongme dan lingkungan mereka.
Øystein Lund Andersen
UNIVERSITAS CENDERAWASIH
Jayapura, Papua Indonesia
November 2006
Ucapan Terima Kasih Saya menerima kepelatihan Antropologi di Universitas Cenderawasih, Jayapura, Papua Barat, Indonesia. Sebelumnya saya ingin mengucapkan terima kasih kepada orang-orang dari Universitas Cenderawasih berikut ini : Dr. Johsz Mansoben, Naffi Sangenaffa, Mientje Rumbiak, Habel Samakori,dan Augustine Ivone Poli. Terima kasih yang sebesar-besarnya saya tujukan kepada Bpk.Barkis Suraatmadja dan Bpk.Fredrik Sokoy yang selalu mendukung dan mengajarkan kepada saya akan kebudayaan dan adat-istiadat Papua, sejak hari pertama saya menjadi mahasiswa asing secara penuh di Universitas. Tidak lupa juga saya sebutkan yaitu Mike Moxness di SIL(Summer Institute of Linguistics) yang membantu saya mengumpulkan peta-peta yang ada dan berbagai informasi tentang wilayah Ketengban. Yajasi dan MAF (Mission Aviation Fellowship) yang telah mengikut sertakan saya dalam jadwal penerbangan mereka. Di lapangan (Nongme, Urubool dan Umtambor) banyak orang yang telah membantu saya dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan dan memberikan saya akomodasi Individu-individu di Nongme yang harus saya sebutkan namanya: Kepala kampung Nongme Motes Lepi yang telah banyak membantu dalam mengatur praktikum saya. Juga dari Nongme Nongme: Manis Deal, Markus Deal,Isak Meyuku dan Yason Desable. Dan yang di Umtambor saya ingin mengucapkan terima kasih kepada: Yandius Lepi yang telah mengatur segala keperluan saya dari dan ke Nongme. Dan saya juga ingin mengucapkan terima kasih kepada Robert Meyuku atas semua pengalaman dan pengetahuan yang telah dia berikan kepada saya Øystein Lund Andersen Abepura, Papua 20 November 2006
Daftar Isi
Pendahuluan…………………………………………………………. vi Fotografi dari Lapangan……………………………………………. vii Peta………...………………………………………………………… viii 1. Dusun Kecil dan Pemukiman………………………………. 1 1.1 Lokasi rumah .……………………………………………….. 2 2. Pencarian Makanan…………………………………………. 5 2.1 Bercocok tanam………………………………………………. 6 2.2 Peternakan………..………………………………………….... 7 2.3 Berburu dan membuat perangkap...…………………………… 7 2.4 Makanan adat dan persiapan makanan……….………………... 9 4. Mode pakaian terbaru ……………………........................… 13 5. Aktifitas Pemerintah...……..………………..………………. 18 Bibliografi….…….:…………………………………………………. 19
Fotografi dari Lapangan
Kampung Urubool…………..……………………………................ Sampul depan Rumah Keluarga …………………………………………………… 3 Rumah baru dalam masa pembuatan………………………..……… 3 Penggunaan daun sagu sebagai atap.……………………..........…… 4 Kampung Nongme dan lapangan terbangnya.................................... 4 Remaja membawa pulang buah merah (Pandanus conoideus)……. 11 Seorang wanita tua di jalan hutan ……....……………………….… 11 Pondok untuk berburu yang dibuat di pohon ………….......……… 12 Biji-bijian sagu disadap dari pohon palem …………….........…….. 12 Dua gadis mengenakan pakaian tradisional……………….........…. 15 Seorang pria dengan pakaian tradisional ……………….......…….. 15 Seorang wanita bersama anaknya ….. …………………........……. 15 Penduduk kampung di depan gereja di Umtambor…..………......... 16 Landasan udara yang telah dikembangkan di kampung Sekame..... 16
Pendahuluan
Masyarakat Ketengban mendiami sebuah wilayah dibagian timur laut jajaran tengah
pegunungan di Propinsi Papua, di pulau New Guinea.
Mereka hidup di daerah dengan ketinggian yang bermacam-macam dari ketinggian 6500 kaki
untuk yang di wilayah pegunungan ke 1500 kaki yang di perbukitan utara dengan jumlah
populasi 12000-14000 jiwa.
Bahasa Ketengban telah diklasifikasikan sebagai `Papuan Stock` dan merupakan bagian dari
keluarga Mek di Trans new guinea phylum. Ada empat dialek berbeda, yaitu: dialek Pusat,
Timur, Barat dan Timur Laut, meski begitu semuanya dapat dipahami1 Loncat disebelah timur
oleh Bahasa Eipomek dan Mek, ke barat oleh Apmisibil dan bahasa Nggalum, dan kesebelah
barat laut membatasi daerah lembah yang jarang dihuni, dimana masyarakatnya menggunakan
Bahasa Lepki dan Yetfa yang tidak begitu dikenal.
Dikarenakan lokasinya yang terpencil, kontak dengan dunia luar relatif lebih terlambat bila
dibandingkan dengan lain dareah di Papua, ditemukan pertama kali oleh misionaris asing pada
pertengahan tahun 70'an dan setelah itu dibangun beberapa landasan yang strategis.
Masyarakatnya kebanyakan penganut gereja GIDI (protestant), dan biasanya di setiap
kampung besar dibangun gereja yang sederhana.
Di wilayah tersebut terdapat 7 landasan udara: Aboyi, Borme, Bime, Nongme, Okbab, Omban
dan Yapil. Landasan-landasan ini berfungsi sebagai pusat perdagangan ataupun transportasi,
dimana jasa pelayanan tergantung akan adanya permintaan, dari Sentani oleh MAF (Mission
Aviation Fellowship), AMA (Associated Mission Aviation) dan Yajasi.
Wilayah Lembah Nongme terletak di salah satu lereng bukit terakhir sebelum daerah lembah
dan berbatasan langsung dengan masyarakat yang berbahasa Lepki..
Koordinat landasan udara Nongme adalah: S4 15.780 E140 11.894 dengan ketinggian 2779
kaki. Jarak ke ibukota propinsi, Jayapura, kira-kira 220km (kurang lebih 50 menit dengan
Cessna). Jarak ke pusat-pusat perdagangan penting lainnya terkadang ditempuh dengan jalan
kaki oleh masyarakat kampung adalah: Wamena (140km, kurang lebih 1 minggu berjalan
kaki) dan Oksibil ( 75km kurang lebih 5 hari berjalan kaki).
1 Sims and Sims: Ritual and relationships in the valley of the sun, The Ketengban of Irian jaya
Dikarenakan merupakan dataran rendah, suhu dan kelembaban di wilayah utara dari
Ketengban cukup tinggi bila dibandingkan dengan daerah pegunungan. Vegetasi dan
kehidupan hewani di sini menyerupai zona peralihan di antara dataran tinggi pusat dengan
daerah dataran rendah.
Perbedaan tipis dalam ekologi secara alami menimbulkan perbedaan kecil antara masyarakat
Ketengban yang hidup di daerah lembah dengan masyarakat Ketengban yang hidup gunung.
Perbedaan tersebut dapat diamati dari perbedaan pemukiman, tanaman pangan yang
dihasilkan, bahan-bahan yang terdapat di hutan, dan kebudayaan lahiriah.
1. Dusun Kecil dan Pemukiman
Nongme adalah kampung dengan landasan udara dan terdapat lebih dari 50 rumah tangga dan
gedung administrasi kampung, sebuah gereja dan sebuah radio. Hampir seluruh wilayahnya
merupakan hutan primer kecuali tanah yang sudah dibuka untuk pemukiman maupun
perkebunan. Umtambor dan Sekame merupakan kampung terbesar yang ada di wilayah
tersebut, dan masing-masing terdapat sekitar 30 rumah tangga. Ruboi, Yokom, dan Urubool
adalah dusun yang lebih kecil dengan populasi yang lebih kecil pula.
Masyarakat bermukim di daerah strategis dari sebuah wilayah dengan jarak tempuh yang
masuk akal dari pemukiman menuju ke daerah yang tersedia dan cocok untuk diambil sumber
daya alamnya. Juga diketahui bahwa orang-orang akan berpindah tempat tinggal bilamana
menemukan tempat lain yang sekiranya lebih cocok untuk ditinggali, atau bilamana mereka
merasa tempat tinggal mereka telah diliputi aura kematian. Jarak antara perumahan dan
perkebunan bisa mencapai beberapa kilometer, maka dari itu sering ditemukan pondok-
pondok yang dibangun secara temporar sebagai akomodasi bagi orang-orang yang bekerja di
kebun, dimana bisa digunakan sebagai akomodasi para penduduk kampung yang kadang
memilih untuk menetap beberapa hari untuk bekerja.
Dusun-dusun dan pedesaan pada wilayah tersebut dihubungkan oleh jalan setapak yang sering
kali dimanfaatkan oleh penduduk kampung untuk berkomunikasi ataupun berdagang.
Dikarenakan frekwensi curah hujan yang tinggi pada wilayah tersebut, maka sering kali jalan
setapak berubah karena erosi dan hal itu menyulitkan untuk ditempuh dengan cara berjalan
kaki. Beberapa jembatan gantung juga membantu masyarakat untuk melintasi bagian Sungai
Kiri yang luas yang tidak mungkin dilintasi disaat musim hujan.
1.1 Lokasi Rumah
Lokasi rumah selalu berada di dataran dimana mereka bebas ancaman dari erosi yang bisa
menghancurkan rumah mereka. Sebelum penduduk kampung membangun rumah yang baru,
tanah sebelumnya diratakan dan tanaman-tanaman yang tidak diinginkan dimusnahkan.
Rumah-rumah itu berbentuk bulat sebagaimana layaknya sebagian besar suku di pegungungan
tengah Papua. Kayu yang diambil dari hutan dibentuk dengan kapak sampai menjadi papan
yang cocok untuk digunakan sebagai tembok. Perapian dibuat di tengah rumah sebelum lantai
disematkan, sebuah konstruksi yang terbuat dari tanah liat dan batu-batuan yang akan
digunakan sebagai tempat nutuk menyiapkan makanan nantinya.
Lantai dibangun sekitar 3-6 kaki di atas tanah setinggi tempat perapian. Kayu juga digunakan
sebagai penyangga lantai. Kemudian lantai akan ditutup dengan lembaran kulit kayu sebagai
lapisan. Untuk jerami2 sebagai atap, digunakan daun pohon palem sagu yang telah
dikeringkan. Untuk mengikat setiap tangkai daun, papan, dan daun sagu di rumah digunakan
tali yang dibuat dari rotan.
Secara tradisional, rumah-rumah di disain berbeda berdasarkan jenis kelaminnya3, tetapi
sekarang rumah keluarga sudah merupakan hal yang biasa. Di dalam sebuah rumah keluarga
biasanya akan dihuni oleh pasangan suami istri, anak laki-laki muda, anak gadis yang belum
menikah, dan janda. Anak laki-laki baru akan pergi meninggalkan rumah keluarga untuk
tinggal di rumah pria setelah mencapai usia tertentu. Dalam rumah pria ini kita juga bisa
menemukan duda. Rumah keluarga dan rumah pria memiliki konstruksi yang sama, tetapi
rumah yang dihuni kaum pria biasanya dibuat lebih besar secara sering kali kadang-kadang
harus menampung sampai 20 individu.
Beberapa orang membuat kandang babi di bawah rumah, tapi kebanyakan orang cenderung
membuat kandang babi yang terpisah dari bangunan utama.
Di Nongme terdapat sedikit rumah yang dibangun menggunakan papan atau seng. Yang
dibangun bukan untuk digunakan sebagai tempat tinggal rumah tangga, tapi dibangun untuk
keperluan administratif pemerintahan.
2 Dalam pengamantan saya pada orang-orang Ketengban, terdapat dua jenis bahan yang digunakan sebagai atap rumah. Masyaralat yang hidup di dataran tinggi menggunakan daun palem Pandanus, diutara seperti Nongme, orang-orang menggunakan daun sagu palem yang dikeringkan. 3 Sims and Sims: Ritual and relationships in the valley of the sun, The Ketengban of Irian jaya p.3
Sebuah rumah keluarga,pintu masuk terletak di depannya.
Rumah baru dalam masa pembuatan
Penggunaan daun sagu sebagai atap
Kampung Nongme dan lapangan terbangnya.
2. Pencarian Makanan
Masyarakat Ketengban pada dasarnya bercocok tanam. Lahan yang subur dan dipadu dengan
curah hujan yang tinggi serta iklim yang hangat menjamin hasil kebun yang bagus dan dapat
diandalkan.
Kebanyakan kebun disekitar kampung ditujukan untuk bercocok tanam ubi sebagaimana ubi
adalah sumber utama karbohidrat disini, tapi kebun singkong dan talas juga berlimpah.
Pohon palem sagu adalah bahan pokok karbohidrat utama bagi banyak suku yang tinggal di
daerah lembah dan tepi pantai tapi juga dapat ditemukan di daerah ini juga.
Pohon palem sago tumbuh liar di dekat sungai maupun kali, akan tetapi untuk saat ini lebih
banyak ditanam di dekat kampung demi kemudahan. Sagu dianggap sebagai bahan pokok
makanan pelengkap dikarenakan jumlah pohon palem tidaklah begitu banyak..
Pisang, kacang-kacangan, buah sukun, buah merah (Pandanus conoideus), kubis, tomat, dan tebu
juga merupakan tanaman lain yang ditanam oleh penduduk.
Dari hutan belantara bisa diperoleh pakis yang dapat dimakan dan terdapat banyak jenis
tanaman liar yang dapat dikumpulkan.
Binatang yang dipelihara oleh masyarakat yaitu babi, ayam, anjing dan kucing, kedua
binatang terakhir (biasanya) bukanlah untuk dimakan. Berburu, membuat jebakan dan
menangkap binatang juga merupakan bagian dari pencarian makanan sebagaimana untuk
memenuhi kebutuhan protein rumah tangga.
Anak-anak sudah dikenalkan dan dibiasakan dengan lingkungan sekitar sejak dini.
Pengetahuan untuk mengolah dan memanfaatkan tanah serta sumber daya alam dipelajari
secara langsung dilapangan dimana anak-anak langsung melihat dan mengikuti bagaimana
orang dewasa bekerja. Eksplorasi alam sekitar secara mandiri oleh anak-anak akan menambah
dan memperkaya ketrampilan praktis mereka. Anak-anak gadis saat masih muda akan
diperkenalkan untuk ikut berpartisipasi dalam proses pencarian makanan sebagaimana mereka
mengikuti kakak-kakak perempuan dan ibu mereka ke perkebunan.
Anak laki-laki dibiarkan untuk bermain lebih lama beberapa tahun sebelum diikutkan secara
aktif dalam pencarian makanan, tapi belajar lebih awal mengenai bagimana menggunakan
busur dan anak panah, dilatih untuk membuat jebakan dan mencari kayu bakar. Mereka juga
dengan cepat belajar untuk mengenali penampakan-penampakan dan suara-suara di dalam
hutan. Dan dalam jangka waktu yang tidak lama, anak-anak akan membawa binatang buruang
kecil hasil tangkapan mereka ke rumah.
2.1 Bercocok tanam
Berkebun merupakan pekerjaan utama masyarakat dataran tinggi Papua, seperti halnya juga di
daerah Nongme yang lebih luas. Penduduk kampung sudah ahli dalam mengolah dan
memanfaatkan tanah di lingkungan mereka untuk menghidupi keluarga.
Perkebunan baru biasanya dibuka di atas tanah dari perkebunan lama yang telah beberapa
tahun di tinggalkan, atau juga di atas hutan pokok/sekunder yang telah ditebang dan
dibersihkan. Hutan dan tumbuh-tumbuhan lainnya yang berada di wilayah yang telah dipilih
untuk dijadikan perkebunan baru akan ditebang dan kemudian ditinggalkan sampai benar-
benar kering dibawah sinar matahari.. Setelah kering, tumbuh-tumbuhan tersebut akan dibakar
sampai habis dan hanya menyisakan bekas pohon besar. Pekerjaan ini dilakukan oleh kaum
pria. Kaum wanita cenderung hanya mendapat bagian untuk membersihkan lahan yang baru
dibuka dari puing-puing dan akar-akar kecil. Kemudian setelah itu lahan tersebut telah siap
dipergunakan sebagai perkebunan baru.
Dalam menanam tanaman dan umbi juga dilakukan oleh kaum wanita. Mereka mengamati
dan bekerja di kebun setiap hari dan juga membawa pulang makanan yang dibutuhkan oleh
rumah tangga mereka. Mereka selalu mencari, memilih dan menentukan tanaman dan umbi
yang sudah bisa dipanen dan dibawa pulang atau mana yang belum waktunya dipanen.
Pagar-pagar yang terbuat dari kayu disekitar kebun dibuat untuk melindungi kebun agar hasil
kerja berminggu-minggu tidak musnah oleh babi-babi yang dilepaskan untuk mencari makan
sendiri.
Tidak ada hasil kebun yang dapat dijual di area ini. Akan tetapi beberapa orang di kampung
menghasilkan minyak dari Buah Merah (Pandanus conoideus) yang akan dituang ke dalam botol,
dan dikirim ke Sentani/Jayapura untuk dijual.4
4 Buah Merah dijual keseluruh pelosok Indonesia dengan disertai promosi/iklan berkhasiat untuk menyembuhkan atau mencegah penyakit seperti halnya : Hepatitis, tekanan darah tinggi. kangker dan bahkan HIV/Aids
2.2 Peternakan
Babi merupakan binatang yang paling penting dan dikembangbiakkan dan setiap rumah
tangga memiliki beberapa ekor. Babi-babi tersebut biasanya diletakkan di kandang khusus
yang terletak sedikit jauh dari bangunan utama, tapi beberapa rumah tangga memelihara babi-
babi kecil didalam kandang dibawah lantai rumah.
Babi dirawat dan dipiara oleh wanita. Mereka memberi makan babi-babi di pagi hari dan
kemudian melepaskan dan membiarkan mereka mencari makan sendiri atau mungkin dia akan
menggiring mereka ke kebun dimana dia bekerja disana setiap harinya
Sebagaimana mereka dibebaskan dan menghabiskan waktu sepanjang hari tanpa pengawasan
manusia maka mereka menemukan makanan dengan mencari di hutan atau kebun yang
lengang. Babi-babi tersebut akan digiring kembali ke kandang saat senja tiba, atau bilamana
mereka sendiri maka mereka akan pulang ke kandang sendiri
Mereka diberi makan lagi saat senja. Makanan babi biasanya terdiri dari ubi, talas, singkong
atau sisa-sisa makanan yang ada. Makanan yang sudah tidak layak makan bagi manusia
biasanya akan diberikan untuk makanan babi.
Babi merupakan binatang yang mempunyai nilai sosial maupun ekonomi yang besar dan luas,
dalam perjanjian sosial misalnya babi berfungsi sebagai harga pembayaran harga pengantin
wanita. Babi juga dapat dijual untuk mendapatkan uang pada pasar mingguan di Nongme, dan
uang dapat digunakan untuk membeli babi. Sebagaimana orang yang tinggal di dusun yang
lebih terisolasi yang tidak begitu paham akan masalah ekonomi dan oleh karena itu mereka
tidak berpengalaman dan mengerti akan nilai uang, maka babi-babi tersebut berperan sebagai
simbol kesejahteraan pengganti nilai tukar.
2.3 Berburu dan membuat jebakan
Dalam berburu mereka kadang-kadang cukup hanya dengan melihat sekilas atau
mendengarkan suara-suara binatang, dan kemudian menentukan dan mengambil langkah
untuk menangkapnya. Sekali-sekali mereka menggelar perburuan yang lebih besar yang telah
diorganisir terlebih dahulu. Perburuan yang terorganisir biasanya hanya dilakukan untuk
sebuah kesempatan khusus atau istimewa, atau bisa jadi karena mereka sedang berniat untuk
berburu.
Sebuah tim berburu biasanya terdiri atas beberapa pria atau pasukan dengan jumlah lebih dari
10 orang. Anak laki-laki berusia 7 tahun keatas sering diikut sertakan dalam kegiatan berburu
dan belajar secara kilat mengikuti taktik pria-pria dewasa yang lebih berpengalaman. Mereka
membawa busur dan anak panah serta kadang-kadang juga mengajak anjing pemburu yang
terlatih untuk melacak binatang buruan mereka.
Berburu dapat dilakukan setiap saat di waktu siang. Berburu burung lebih baik dilakukan saat
pagi atau sore hari yang merupakan jam-jam dimana burung biasanya aktif.
Berburu burung kadang dilakukan dari rumah khusus yang dibangun diatas pohon yang telah
diketahui sering dikunjungi oleh burung-burung. (lihat foto di bawah). Berburu burung dari
rumah pohon sering kali dilakukan oleh anak laki-laki dan jarang dilakukan oleh pria dewasa,
secara berburu burung tidak dapat mendatangkan hasil buruan dalam skala besar. Burung-
burung yang diburu di daerah tersebut yaitu: Burung cendrawasih, burung enggang besar,
burung kakatua putih dan hitam, dan burung kasuari itu besar yang tidak bisa terbang.
Burung kasuari diburu bukan dari rumah pohon, tetapi di dalam hutan. Mereka biasanya
meninggalkan jejak di tanah sehingga mudah dilacak. Karena burung kasuari mampu berlari
dengan kencang, maka pemburu harus mampu menembak dengan jitu persis saat pertama
melihatnya, atau mereka akan kabur melewati pria-pria pemburu tersebut. Babi hutan juga
merupakan binatang buruang yang digemari karena dagingnya yang banyak bisa dibagi-
bagikan. Babi-babi kecil akan ditangkap hidup-hidup bila memungkinkan dan kemudian
dipelihara bersama babi-babi jinak yang lain.
Mereka juga melakukan perburuan di malam hari, dan biasanya dikhususkan untuk berburu
kangguru pohon (Cuscus). Binatang ini sangat aktif di malam hari tetapi sulit untuk ditinjau,
Oleh karenanya masyarakat kampung baru melakukan perburuan terhadap binatang ini bila
langit malam sedang cerah dan ada cahaya bulan. Mata binatang tersebut akan berkilat merah
bila diterpa oleh cahaya bulan
Lampu senter juga dapat digunakan untuk melakukan trik tersebut bilamana ada (atau ada
baterainya) yang diperjual belikan di kota.
Dalam menjebak binatang biasanya dilakukan dengan membuat perangkap ditempat-tempat
tertentu yang merupakan jalan yang biasa dilewati dan dimana binatang itu tinggal. Perangkap
diletakkan di atas tanah maupun di pepohonan. Perangkap dibuat dari kayu dan tanaman
menjalar yang kuat.
Model dan ukiran jerat berbeda-beda disesuaikan dengan jenis binatang yang akan ditangkap,
semuanya mulai dari burung, tikus, tikus besar, kangguru pohon, burung kasuari, dan babi
dapat ditangkap.
Diluar berburu dan membuat jerat, kadang kalau ada waktu luang mereka juga menangkap
ikan. Ada rumor yang menyebutkan di dekat Sungai Kiri terdapat banyak ikan dalam jumlah
besar. Saat musim kering sungai akan menjadi lebih dangkal dan ikan dapat ditangkap dengan
menggunakan batu-batan atau jaring yang terbuat dari rotan.
Telur, kadal, kodok dari burung kadang-kadang dikumpulkan oleh kaum wanita.
Yang terakhir juga dapat ditangkap di malam hari saat bulan bersinar sehingga membuat
mereka dapat dilihat. Seperti diketahui juga bahwa ular ditangkap dan juga dimakan.
2.4 Makanan adat dan proses persiapan makanan
Warga kampung biasanya menyiapkan dua kali makan dalam sehari. Makanan yang disiapkan
di penghujung senja merupakan makanan yang paling penting pada hari tersebut. Proses
memasak penyiapan makanan akan dilakukan setelah para wanita pulang dari kebun. Tas
keranjang yang penuh dengan hasil kebun dimana mereka bekerja dan terkadang bayi yang
sedang tertidur di tas yang satunya lagi adalah pemandangan yang dapat kita jumpai sehari-
hari. Makanan yang disiapkan dan dimasak terdiri atas apapun hasil yang dibawa para wanita
dari kebun dan kadang-kadang binatang hasil buruan kaum pria.
Mereka juga mengenal sarapan (makan pagi) dimana biasanya dilakukan sebelum berangkat
kerja, biasanya terdiri atas sisa-sisa makan malam.
Makanan disiapkan dan dimasak oleh kaum perempuan di dalam rumah keluarga, terkadang
dimasak sesuai dengan petunjuk dan keinginan kaum pria.
Pria-pria yang tinggal di rumah pria sering kali mendapatkan makanan langsung dari keluarga
atau teman-temannya di pemukiman. Lain waktu mereka menyiapkannya sendiri.
Yang termasuk menyiapkan makanan antara lain : memanggang ubi, pisang, talas dan
singkong di abu panas di perapian. Binatang-binatang kecil seperti burung dan vertebrata
lainnya dapat dipanggang langsung diatas api atau dibungkus didalam daun pisang dan
diletakkan di dalam abu.
Oven tanah (Bakar batu) juga biasa digunakan untuk menyiapkan makanan. Bisa diletakkan
diluar rumah maupun di dalam rumah itu sendiri. Masyarakat Ketengban di wilayah ini
menyiapkan oven mereka berada di atas tanah, tidak meletakkannya di dalam tanah layaknya
masyarakat Dani yang hidup di daerah barat.
Pemanggang biasanya berbentuk persegi empat dengan ukuran yang bermacam-macam mulai
1-3 meter panjang, tergantung kepada banyaknya makanan. Beberapa oven tanah akan dibuat
bilamana ada acara istimewa
Batu-batuan akan dipanaskan di dalam api sampai merah membara. Daun pisang biasanya
digunakan sebagai alas tempat batu pertama diletakkan. Tanaman hijau diletakkan diatas
bebatuan sebelum ubi, buah merah, sayur mayur dan daging biasa diletakkan. Tanaman hijau
selebihnya ditambahkan diatas makanan, dan batu-batuan diletakkan paling atas dan lembar-
lembar lagi daun pisang untuk mencegah agar uap panas tidak keluar dari oven.
Makanan akan ditinggalkan didalam oven sesuai dengan waktu yang ditentukan sampai
matang oleh para penduduk kampung, biasanya sekitar 1-2 jam. Kemudian bebatuan
disingkirkan dan dapat dilihat masakan yang telah matang dan siap untuk dimakan.
Bebatuan juga digunakan untuk membuat masakan sagu. Air dan tepung sagu akan diletakkan
di dalam sebuah wadah yang terbuat dari kulit kayu pohon palem nibong. Bebatuan yang
membara akan ditempatkan di dalam wadah dan kemudian sagu diaduk dengan air panas
dengan menggunakan stik sampai matang dan mengental5.
Makin jauh dari landasan terbang Nongme, makin jarang orang yang memiliki peralatan
masak yang modern kecuali norma teknik memasak tradisional.
Air untuk memasak dapat dengan mudah dijumpai disekitar sungai maupun kali. Saat ini
garam6 dibeli dari kampung Nongme, dimana beberapa orang memperdagangkannya di
Jayapura.
5 Orang Papua pada umumnya sekarang menyebutnya Papeda. 6 Saya tidak menmukan satu orang pun di daerah ini yang menghasilkan garam sendiri, meski orang-orang mengatakan kepada saya bahwa beberapa orang masih melakukannya, dekat dengan daerah masyarakat yang berbahasa Lepki.
Remaja membawa pulang buah merah (Pandanus conoideus)
Seorang wanita tua di jalan hutan
Pondok untuk berburu yang dibuat di pohon
Biji-bijian sagu disadap dari pohon palem
4. Mode pakaian terbaru
Anak laki-laki tidak mengenakan pakaian pada tahun pertama dalam kehidupan mereka.
Secara tradisional mereka mulai mengenakan koteka setelah mencapai usia tertentu, akan
tetapi pada beberapa dasawarsa terakhir, mengenakan pakaian ala barat sudah merupakan hal
yang biasa. Koteka biasanya dibuat dari buah-buahan yang dikorek yang diambil dari tanaman
liar yang tumbuh liar di dataran tinggi. Busana yang mempesona ini semakin jarang dan
makin jarang dikenakan oleh para pria seperti halnya pada hampir semua suku-suku yang
mendiami daerah pegunungan di Papua7.
Anak gadis juga tidak mengenakan apa-apa pada tahun pertama di kehidupan mereka, tetapi
baik itu cepat maupun lambat mereka akan diberikan pakaian tradisional yang terbuat dari
alang-alang. Masih banyak wanita yang biasa mengenakannya, tapi sekarang kebanyakan dari
mereka menutup tubuh bagian atas mereka dengan menggunakan kaos.
Sebagaimana masyarakat yang hidup di dekat landasan udara akan lebih mudah mendapatkan
pakaian modern ala barat. Petugas administrasi kampung menjual pakaian dengan harga yang
layak dan terjangkau kepada masyarakat serta membesarkan hati/mendidik masyarakat untuk
belajar dan membiasakan diri mengenakannya.
Dalam rumah tangga yang sering kali mempuanyai kemampuan untuk mendapatkan uang
adalah pria sehingga mereka lebih memprioritaskan untuk membeli pakaian untuk diri sendiri
dan anak laki-laki lainnya. Akibatnya lebih sedikit wanita yang mengenakan pakaian
(lengkap) dibandingkan laki-laki.
Adat istiadat lain yang juga mulai berkurang praktiknya yaitu menindik kuping dan hidung
dimana tindikan dengan lubang yang lebih besar biasanya dibuat dengan sebuah pisau bambu,
Saya tidak banyak menemukan anak muda yang memiliki tindikan, tapi banyak pria-pria yang
lebih tua memilikinya. Dan yang lainnya, tren kontemporer yang lebih cenderung ke arah
perhiasan pribadi yaitu membuat tato, tapi hal ini lebih banyak dilakukan oleh kaum wanita8.
Proses pembangunan di daerah pedesaan di Papua tidak memberikan masyarakat daerah
Nongme keuntungan ataupun kesempatan yang luar biasa. Seperti yang telah disebutkan
sebelumnya bahwa Ketengban adalah daerah yang pertama kali dikunjungi oleh orang dari
7 Alasan yang cukup nyata, orang-orang cenderung ingin membuat peralihan ke arah nilai standar baru yang mereka disebut sebagai cara yang “baru” 8 Saya tidak yakin apakah ini merupakan adat-istiadat baru, tapi setidaknya bahan yang digunakan termasuk baru, yaitu menggunakan asam baterai/aki
luar pada tahun tujuh puluhan, dan komunikasi dilakukan terus-menerus sejak saat itu. Ilmu
pengetahuan, teknologi, wiraswasta dan organisasi dalam bekerja secara mendasar masih
terdiri atas tradisi lokal dan praktek. Beberapa orang tertentu seperti pendeta, para petugas
administratif kampung sudah pernah mengunjungi kota-kota seperti Jayapura, Sentani dan
Wamena.
Interaksi kebudayaan ini telah membawa banyak perubahan pada kehidupan mereka sehari-
hari, sebagaimana disebutkan sebelumnya yaitu berubahnya pakaian, dari kepercayaan
menjadi penganut agama Kristen9, mendapat teknologi seperti kapak besi, panci masak dan
bahkan korek, dan pengaturan pasar mingguan di Nongme
Cerita-cerita mengenai bagusnya mutu kesehatan dan makanan di perkotaan jadi semakin
memacu pembangunan kampung-kampung yang terisolasi dengan kecepatan yang luar biasa.
Karena tidak berpengalaman dengan ekonomi dan kebudayaan modern membuat masyarakat
memiliki ekspektasi tinggi akan pembangunan di masa depan. Kurangnya persepsi dan
pengalaman praktis menimbulkan persoalan anggapan akan kondisi “seperti di kota” yang
secara alami menimbulkan spekulasi dan teori-teori lokal.
Contoh yang paling gamblang adalah baru dibangunnya landasan udara di kampung Sekame
(lihat gambar dibawah). Yang dibangun tanpa ada otorisasi dari pemerintah ataupun
koordinator pelayanan udara. Desas-desus menyatakan bahwa landasan udara tersebut dibuat
atas dasar antusiasme seorang pendeta lokal dengan bantuan oleh banyak orang yang datang
baik itu dari jauh maupun dari dekat.
Beberapa informan saya yang ikut berpartisipasi dalam pembangunan landasan udara
menyatakan ekspektasi mereka untuk bisa mendapatkan barang-barang modern dari
perkotaan. Mereka percaya bilamana proyek pembangunan landasan udara berhasil maka
pesawat akan datang dan status quo akan diubah..
Jelas sudah bahwa motif dari proyek itu adalah untuk mendapatkan barang. Sampai hari ini
merkea belum terlihat satupun pesawat yang mendarat di landasan udara tersebut, lagipula
kondisi landasan udara tersebut tidak layak untuk digunakan. Merujuk dari percakapan saya
dengan para pilot yang sering melintas pelosok Papua, yang menyatakan bahwa mereka sering
menghadapi usaha spontanitas yang menginginkan mereka melakukan pendaratan. Hasrat dari
membangun landasan udara dengan harapan untuk mendapatkan barang-barang menunjukkan
karakter dan kultus muatan tujuan mereka (Cargo cult). Pada saat ini ditulis, masyarakat yang
9 Pada tahun 1992, penganut agama Kristen adalah sebanyak 60%, mengacu pada Sims&Sims; Ritual and relationships in the valley of the sun, The ketengban of irian jaya.
tinggal dekat landasan udara Nongme sedang membicarakan landasan udara baru “yang
sedang direncanakan” untuk sebuah kampung yang bernama Betani yang terletak di sebelah
barat Nongme. Desas-desus di kamoung ini menyatakan bahwa banyak laki-laki yang akan
nanti berangkat menuju ke kampung tersebut untuk membantu membuatnya.
Penduduk kampung di depan gereja di Umtambor
Penduduk di Kampung Sekame berapa tahun yang lalu telah membangun sebuah lapangan terbang tanpa persetujuan atau mengetahui orang luar. Suatu hari, penduduk-penduduk kampung percaya bahwa pesawat-pesawat akan membawa mereka barang dan kekayan ke dareah mereka.
5. Aktifitas Pemerintahan
Wilayah Nongme yang lebih luas merupakan bagian distrik Borme dan dalam konteks yang
lebih luas merupakan bagian dari Pegunungan Bintang10. Sebagian perwalian untuk wilayah
Timur terletak di dekat perbatasan perwalian Yahukimo.
Aktifitas pemerintahan di Nongme sangat terbatas yang mengacu pada kantor kecil Kepala
Kampung Nongme. Tugas Kepala Kampung seperti mengelola kampung dan mencatat
berbagai macam statistik, seperti kelahiran, kematian, dan migrasi.
Nongme adalah satu-satunya kampung yang beruntung memiliki seorang guru, akan tetapi
tanggung jawab untuk mengajar lebih dari 100 anak adalah tantangan yang berat, bilamana
melihat kelas yang begitu besar dan subyek yang kecil dalam seminggu. Anak-anak
kemungkinan hanya mendapatkan pelajaran selama 1 jam per hari. Kelas pada saat ini hanya
tersedia untuk anak laki-laki, menurut dugaan penyebabnya adalah kurangnya fasilitas
mengajar11.
Gedung sekolah dibuat dari tangkai dan lalang sagu yang dibalik-balik. Tidak ada kursi
maupun meja bagi anak-anak. Pena dan buku tulis amat sangat terbatas.
Pada saatnya telah diberangkatkan beberapa anak dari kampung untuk dimasukkkan ke
sekolah dasar di Sentani,Jayapura dan Wamena, bahkan beberapa dari mereka sudah masuk
Universitas. Sebagaimana diharapkan oleh para petugas administrasi kampung bahwa para
pemuda yang telah berpendidikan tersebut suatu hari nanti akan kembali ke kampung dan
membawa kampung mereka menuju kemakmuran.
Disebabkan oleh lambatnya pertumbuhan dan pembangunan seperti yang dinyatakan oleh
masyarakat setempat bahwa distrik Ketengban hanya mendapatkan perhatian yang sangat
terbatas dari pihak administrasi kabupaten. Pada saat ini ditulis, sedang terjadi proses dimana
Pemerintahan Tingkat Provinsi sedang mempertimbangkan untuk membentuk kabupatan baru
11 Dari banyak pengamatan saya yang meliputi seluruh daerah pedesaan di daerah yang lebih terisolasi di Papua, seperti pada wilayah Memberamo, Yahukimo dan Pegunungan Bintang, Saya mendapati fasilitas pendidikan yang sangat buruk. Walau fasilitas hanya ada di daerah desa, bukan berarti fasilitas tersebut berfungsi dengan baik. Memang bisa banyak dijumpai fasilitas pendidikan seperti sekolah tapi kebanyakan berada dalam kondisi yang buruk atau tidak terawat dengan baik. Masalah lain yang mengacu pada pendidikan adalah sedikitnya desa yang memiliki guru yang aktif untuk mengajar anak-anak desa. Beberapa desa yang saya kunjungi tidak menjumpai guru dalam setahun. Para guru sering kali bepergian ke tempat-tempat lain untuk bekerja, apakah mereka mendapatkan fasilitas yang bercukupan untuk fokus dalam menunjang pendidikan anak-anaknya. Perhatian dari dinas P dan P, dan pemerintah Propinsi sangat dibutuhkan.
yang menurut dugaan akan disebut dengan Kabupatan Ketengban.12 apabila berhasil terwujud,
kabupatan ini merupakan pecahan dari kabupatan Pegunungan Bintang.
12 Cenderawasih Post, Monday 20/11/06 p.12
Bibliografi
Andersen, Øystein Lund 2006 Babrongko, material culture of a lake sentani village, New guinea.
Kock, Klaus-friedrich 1974 War and peace in Jalemo, The management of conflict in highland New guinea. Koentjaraningrat dkk 1993 Membangun Masyarakat Majemuk Kottak, Conrad Phillip 1994 Anthropology, the exploration of Human diversity Godchalk, Jan A 1993 Sela Valley, An ethnography of a Mek society in the eastern
Highlands, Irian Jaya Sims, Andrew and Anna 1992 Ritual and relationships in the valley of the sun, the Ketengban
of Irian jaya Solossa, Jacobus Perviddya 2005 Otonomi Khusus Papua, Mengangkat Martabat Rakyat Papua dalam NKRI Sowell, Thomas 2004 Basic economics Wetherell, Margaret 2001 Discourse Theory and Practise Committee of the royal 1971 Notes and queries on Anthropology
Anhtropological institution of Great Britain and Ireland