BAB I
PENDAHULUAN
Laring merupakan sfringter atau pintu masuk ke saluran nafas bawah,
menyerupai limas segitiga terpancung. Pada pria letaknya setinggi vertebra
cervikal III-VI, sedangkan pada wanita dan anak-anak biasanya lebih tinggi. Batas
atas laring adalah epgilotis dengan plika ariepiglotika dan batas bawah adalah
cincin trakea pertama1.
Rongga laring dibagi dalam 3 bagian yaitu supraglotis, glotis dan subglotis.
Supraglotis terdiri dari epilaring dan vestibulum. Epilaring merupakan gabungan
dari permukaan epiglotis, plika ariepiglotika dan aritenoid, sedangkan daerah
subglotis adalah rongga laring yang terletak di bawah plika vokalis1.
Kelainan laring dapat berupa peradangan, tumor lesi jinak, kelumpuhan pita
suara dan kelainan kongenital seperti stenosis subglotis. Selaput di laring, kista
kongenital, hemangioma dan fisel laringotrakeal1.
Stenosis merupakan istilah yang berasal dari bahasa Yunani yang
menyatakan adanya penyempitan dalam sebuah rongga. Stenosis subglotis berarti
penyempitan pada laring, tepatnya pada daerah subglotis yang terletak memanjang
dari permukaan bawah pita suara hingga kartilago krikoid. Stenosis subglotik
merupakan suatu bentuk kelainan yang bisa didapat dari lahir ataupun kelainan
yang didapat pada saat dewasa2.
Pada akhir 1960-an, saat intubasi endotrakeal dan ventilasi jangka panjang
untuk bayi prematur dimulai, angka kejadian stenosis subglotis adalah 24% pada
pasien yang membutuhkan perawatan tersebut. Pada 1970-an dan 1980-an
perkiraan kejadian stenosis subglotis adalah 1-8%. Pada tahun 1998, Choi
melaporkan bahwa kejadian stenosis subglotis tetap konstan pada Pusat Medis
Nasional Anak di Washington DC yaitu sekitar 1-2% pada anak-anak yang telah
dirawat di ICU3.
Walner melaporkan bahwa diantara 504 neonatus yang dirawat di level III
ICU di University of Chicago pada tahun 1997, 281 yang diintubasi selama rata-
rata 11 hari, dan tidak ada pasien stenosis subglotis yang berkembang selama
1
periode 3 tahun. Pada tahun 1996, sebuah laporan dari Perancis juga
menggambarkan tidak ada kejadian stenosis subglotis pada populasi neonatal
yang menjalani intubasi dengan tabung endotrakeal (diameter 2,5 mm) dalam
upaya mencegah trauma pada jalan napas.3
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi Laring
Laring merupakan sfringter atau pintu masuk ke saluran nafas bawah,
menyerupai limas segitiga terpancung. Pada pria letaknya setinggi vertebra
cervikal III-VI, sedangkan pada wanita dan anak-anak biasanya lebih tinggi. Batas
atas laring adalah epgilotis dengan plika ariepiglotika dan batas bawah adalah
cincin trakea pertama1.
Batas atas rongga laring adalah aditis laring, batas bawahnya adalah bidang
yang melalui piggir bawah kartilago krikoid. Batas depannya adalah permukaan
belakang epiglotis, tuberkulum epiglotik, ligamentum tiroepglotik, sudut antara
kedua belah lamina kartilago tiroid dan arkus kartilago tiroid. Batas lateralnya
adalah membran kuadrangularis, kartilago aritenoid, konus elastikus dan arkus
kartilago krikoid, sedangkan batas belakang adalah m. aritenoid tranversus dan
lamina kartilago krikoid1.
Gambar 2.1 Anatomi laring
Bangunan kerangka laring tersusun dari 1 tulang dan beberapa tulang rawan.
Tulang hioid berbentuk huruf U, permukaan atasnya dihubungkan dengan lidah,
mandibula dan tengkorak oleh tendon dan otot. Sedangkan tulang-tulang rawan
3
yang menyusun laring adalah kartilago epiglotis, kartilago krikoid, kartilago
aritenoid, kartilago kornikulata, kartilago kuneiformis dan kartilago tritisea1.
Gambar 2.2 Otot-otot Ekstrinsik dan Intrinsik laring
Gerakan laring dilaksanakan oleh otot ekstrinsik dan intrinsik. Otot
ekstrinsik suprahioid adalah m. digastrikus, m. geniohioid, m. milohioid,
sedangkan otot ekstrinsik infrahioid adalah m. sternohioid, m. omohioid, dan m.
tirohioid4.
Rongga laring dibagi dalam 3 bagian yaitu supraglotis, glotis dan subglotis.
Supraglotis terdiri dari epilaring dan vestibulum. Epilaring merupakan gabungan
dari permukaan epiglotis, plika ariepiglotika dan aritenoid, sedangkan daerah
subglotis adalah rongga laring yang terletak di bawah plika vokalis.1
Gambar 2.3 gambaran subglotis normal pada endoskopi
2.2 Persarafan Laring
Laring dipersarafi oleh cabang-cabang nervus vagus, yaitu nervus laringeus
superior dan inferior. Kedua saraf ini merupakan campuran saraf motorik dan
4
sensorik. Nervus laringeus superior mempersarafi m. krikotiroid, sehingga
memberikan sensasi pada mukosa laring di bawah pita suara4.
Saraf ini mula-mula terletak di atas m. konstriktor faring medial, di sebelah
medial a. karotis interna dan eksterna, kemudian menuju ke kornu mayor tulang
hioid dan setelah menerima hubungan dengan ganglion servikal superior,
membagi diri dalam 2 cabang yaitu ramus eksternus dan ramus internus4.
Ramus eksternus berjalan pada permukaan luar m. konstriktor faring
inferior dan menuju ke m. krikotiroid, sedangkan ramus internus tertutup oleh m.
tirohioid terletak di sebelah medial a. tiroid superior, menembus membran
hiotiroid dan bersama-sama dengan a. laringis superior menuju mukosa laring4.
Nervus laringis inferior merupakan lanjutan dari n. Rekuren setelah saraf
itu memberikan cabangnya menjadi ramus kardia inferior. Nervus rekuren
merupakan cabang dari n. vagus1.
Nervus rekuren kanan akan menyilang a. subklavia kanan di bawahnya,
sedangkan n. rekuren kiri akan menyilang arkus aorta. Nervus laringis inferior
berjalan diantara cabang-cabang a.tiroid inferior dan melalui permukaan
mediodorsal kelenjar tiroid akan sampai pada permukaan medial m. krikofaring.
Di sebelah posterior dari sendi krikoaritenoid, saraf ini bercabang 2 menjadi
ramus anterior dan posterior. Ramus anterior akan mempersarafi otot-otot
intrinsik laring bagian lateral, sedangkan ramus posterior mempersarafi otot-otot
intrinsik laring bagian superior dan mengadakan anstomosis dengan n. laringis
superior ramus internus5.
2.3 Pendarahan Laring
Pendarahan laring memiliki dua cabang yaitu arteri laringis superior dan
arteri laringis inferior. Arteri laringis superior merupakan cabang dari arteri tiroid
superior. Arteri laringis superior berjalan secara mendatar melewati bagian
belakang membran tirohioid bersama-sama dengan cabang internus dari nervus
laringeus superior, kemudian menembus membran ini untuk berjalan kebawah di
submukosa dari dinding lateral dan lantai dari sinus piriformis, untuk
memperdarahi mukosa dan otot-otot laring.5
Arteri laringis inferior merupakan cabang dari arteri tiroid inferior dan
bersama-sama dengan nervus laringis inferior berjalan ke belakang sendi
5
krikotiroid, memasuki laring melalui daerah pinggir bawah dari muskulus
konstriktor faring inferior. Di dalam laring, arteri laringis inferior bercabang-
cabang memperdarahi mukosa dan otot serta beranatomosis dengan arteri laringis
superior4,5.
2.4 Pembuluh Limfa Laring
Drainase limfatik pada laring memiliki dua sistem drainase yang terpisah,
yaitu superior dan inferior. Pembuluh eferen dari golongan superior berjalan dari
lantai sinus piriformis dan arteri laringis superior, kemudian berjalan ke atas,
selanjutnya bergabung dengan kelenjar dari bagian superior rantai servikal dalam.
Pembuluh eferen dari golongan inferior berjalan ke bawah dengan arteri laringis
inferior dan bergabung dengan kelenjar servikal dalam, beberapa diantaranya
menjalar sampai sejauh kelenjar supraklavikular 4,5.
2.5 Fisiologi Laring
Laring berfungsi untuk proteksi, batuk, respirasi, sirkulasi, menelan, emosi
serta fonasi. Fungsi laring untuk proteksi adalah untuk mencegah makanan dan
benda asing masuk ke dalam trakea, dengan jalan menutup aditus laring dan rima
glotis secara bersamaan. Terjadinya penutupan aditus lariang adalah karena
pengangkatan laring ke atas akibat kontraksi otot-otot ekstrinsik laring. Dalam hal
ini kartilago aritenoid bergerak ke depan akibat kontraksi m. tiroaritenoid dan m.
arritenoid. Selanjutnya m. ariepiglotika berfungsi sebagai sfringter4.
Penutupan rima glotis terjadi karena aduksi plika vokalis. Kartilago
aritenoid kiri dan kanan mendekat karena aduksi otot-otot intrinsik. Selain itu
dengan reflek batuk, benda asing yang telah masuk ke dalam trakea dapat
dibatukkan keluar. Demikian juga dengan bantuan batuk sekret yang berasal dari
paru-paru dikeluarkan4.
Fungsi respirasi laring adalah dengan mengatur besar kecilnya rima glotis.
Bila m. krikoaritenoid posterior berkontraksi akan menyebabkan prosesus vokalis
kartilago aritenoid bergerak ke lateral, sehingga rima glotis terbuka (abduksi).
Dengan terjadinya perubahan tekanan udara di dalam traktus trakeo-bronkial akan
mempengaruhi sirkulasi darah dari alveolus, sehingga mempengaruhi sirkulasi
6
darah tubuh. Dengan demikian laring berfungsi juga sebagai alat pengatur
sirkulasi darah4.
Fungsi laring dalam membantu proses menelan adalah dengan 3 mekanisme
yaitu gerakan laring bagian bawah ke atas, menutup aditus laringis dan
mendorong bolus makanan turun ke hipofaring dan tidak mungkin masuk ke
dalam laring. Laring juga berfungsi untuk mengekspresikan emosi, seperti
berteriak, mengeluh, menangis dan lain-lain1,4,5.
Fungsi laring yang lain adalah untuk fonasi, dengan membuat suara serta
menetukan tinggi rendahnya nada. Tinggi rendahnya nada diatur oleh ketegangan
plika vokalis. Bila vokalis dalam aduksi, maka m.krikotiroid akan merotasikan
kartilago krikoid ke bawah dan ke depan, menjauhi kartilago aritenoid4.
Pada saat yang bersamaan m. krikoaritenoid posterior akan menahan atau
menarik kartilago aritenoid ke belakang. Plika vokalis kini dalam keadaan yang
efektif untuk berkontraksi. Sebaliknya kontraksi m. krikoaritenoid akan
mendorong kartilagi aritenoid ke depan, sehingga plika vokalis akan mengendor.
Kontrkasi serta mengendornya plika vokalis akan menentukan tinggi rendahnya
nada4.
2.6 Stenosis Subglotis
A. Definisi
Stenosis merupakan istilah yang berasal dari bahasa Yunani yang
menyatakan adanya penyempitan dalam sebuah rongga. Stenosis subglotis berarti
penyempitan pada laring, tepatnya pada daerah subglotis yang terletak memanjang
dari permukaan bawah pita suara hingga kartilago krikoid. Stenosis subglotik
merupakan suatu bentuk kelainan yang bisa didapat dari lahir ataupun kelainan
yang didapat pada saat dewasa2.
B. Etiologi
Stenosis subglotis ada 2 yaitu kongenital dan didapat6 :
1. Stenosis subglotis kongenital
Merupakan cacat lahir yang disebabkan oleh rekanalisasi tidak lengkap
tabung laringotracheal yang merupakan embrologi dari laring selama bulan ketiga
kehamilan sehingga menyebabkan berbagai tingkat stenosis subglotis bawaan6.
7
Stenosis subglotis kongenital didapatkan dari lahir atau pada periode
neonatal, atau dalam beberapa minggu pertama atau bulan setelah lahir dimana
stenosis terjadi tanpa adanya riwayat intubasi, trauma laring, atau kompresi
ekstrinsik seperti malformasi vaskular yang bisa disebabkan karena lengkungan
aorta ganda3.
Stenosis subglotis kongenital dapat diklasifikasikan menjadi 2 jenis yaitu
karena kelainan membran dan kelainan bentuk tulang rawan krikoid.
a. Kelainan membran
Hiperplasia jaringan fibrosa
Hiperplasia kelenjar submukosa
Granulasi jaringan
Gambar 2.4 stenosis subglotis kongenital karena granulasi jaringan
b. Kelainan bentuk katilago krikoid
Krikoid yang berukuran kecil
Krikoid bentuk elips (lonjong)
Lamina anterior berukuran besar
Lamina posterior berukuran besar
Pergeseran cincin trakea pertama ke arah atas belakang ke dalam
lumen krikoid.
2. Stenosis subglotis yang didapat (Acquired stenosis subglottic)
8
Dapat disebabkan karena6 :
a. Intubasi
b. Trauma laring, bisa disebabkan karena trauma beda tajam atau beda
tumpul, trakeostomi tinggi dan krikotiroidotomi.
c. Infeksi
d. Gastroesophageal Reflux Desease (GERD)
e. Penyakit inflamasi, seperti : Anti-neutrophil cytoplasmic autoantibodies,
sarcoidosis dan lupus eritematous sistemik.
Stenosis subglotis didapat terjadi karena pemakaian intubasi endotrakeal
yang berkepanjangan sehingga meyebabkan trauma pada struktur subglotis
sekunder karena tekanan antara kartilago aritenoid. Intubasi menyebabkan cedera
di subglotis karena cincin kartilaginosa atau dapat menyebabkan cedera distal
dalam trakea. Tekanan dan atau gerakan dari tabung terhadap kerangka tulang
rawan dapat menyebabkan iskemik dan nekrosis7 .
Selain karena intubasi endotrakeal, juga dapat karena benda asing, infeksi,
atau irtasi kimia. Epitel pernafasan sangat rentan terhadap iritasi, dan bila terus
berlanjut dapat terjadi edema, hipermia ulserasi dan infeksi lokal dengan
pertumbuhan jaringan granulasi. Jika iritasi masih berlanjut kerusakan kartilago
yang mendasari kartilaginosa lainnya terjadi. Akibat selanjutnya jika terjadi
penyembuhan akan terbentuk jaringan parut yang dapat menghasilkan striktur atau
stenosis8.
Selain disebabkan oleh beberapa hal di atas, terjadinya stenosis subglotis
yang didapat juga dipengaruhi oleh beberapa keadaan sistemik seperti refluknya
cairan lambung (GERD), penyakit kronis, trauma eksternal, penetrasi dan tumpul,
tracheotomy terutama trakchetomy tinggi atau krikotiroidotomi7,8.
Chondroradionecrosis setelah terapi radiasi bisa terjadi hingga 20 tahun
kemudian. Infeksi kronis seperti Tuberculossis (TB) dan kebiasaan yang salah
seperti menelan atau makan silet atau beling sehingga menimbulkan perlukaan
dan jaringan parut juga dapat menyebabkan terjadinya stenosis subglotis2.
C. Gejala Klinis
9
Stenosis subglotis terjadi pada daerah subglotis yaitu 2-3 cm dari pita suara,
dimana pasien akan mengalami gejala klinis berupa2 :
a. Orang dewasa dengan stenosis kongenital ringan biasanya tanpa gejala dan
biasa diagnosis ditegakkan setelah intubasi sulit atau saat menjalani endoskopi
untuk alasan lain.
b. Pasien dengan stenosis didapat didiagnosis dari beberapa hari sampai 10 tahun
atau lebih setelah cedera awal. Mayoritas kasus didiagnosis dalam waktu 1
tahun. Gejalanya meliputi :
Dispneu (mungkin saat beraktifitas atau dengan istirahat, tergantung
pada tingkat keparahan stenosis).
Stridor
Suara serak
Retraksi di suprasternal, epigastrium, interkontal, serta subklavikula
Sianosis dan apneu pada stadium yang lebih berat sebagai akibat
sumbatan jalan nafas, sehingga mungkin juga terjadi gagal
pernafasanan (respiratory distress).
D. Stadium
Stenosis subglotis menurut Myer-Cotton dinilai berdasarkan tingkat
keparahan blok atau tingkat obstruksinya ada 4 yaitu9 :
Kelas 1 : tingkat obstruksi < 50%
Kelas 2 : obstruksi 51%-70%
Kelas 3 : obstruksi 71%-99%
Kelas 4 : tidak ada lumen (obstruksi 100%)
10
Gambar 2.5 Stadium stenosis subglotis
E. Diagnosa Banding
Diagnosa banding stenosis subglotis diantaranya adalah4,5 :
1. Laringomalasi
Laringomalasi merupakan kelainan laring kongenital yang paling sering
ditemukan. Pada stadium awal ditemukan epiglotis lemah, sehingga pada waktu
inspirasi epiglotis tertarik ke bawah dan menutup rima glotis. Dengan demikian
bila pasien bernafas, nafasnya berbunyi (stridor).
Stridor merupakan gejala awal, dapat menetap dan mungkin pula hilang
timbul. Ini disebabkan arena lemahnya rangka laring. Tanda sumbatan jalan nafas
dapat terlihat dengan adanya cekungan (retraksi) di daerah suprasternal,
epigastrium, interkostal dan supraklavikular.
2. Laryngeal Web (Selaput di laring)
Suatu selaput yang transparan (web) dapat tumbuh di daerah glotis,
suoraglotis atau subglotis. Selaput ini terbanyak tumbuh di daerah glotis (75%),
subglotis (13%) dan di supraglotis sebanyak 12%. Terdapat gejala sumbatan
laring.
11
3. Kista kongenital
Kista sering tumbuh dipangkal lidah atau di plika ventrikularis. Untuk
penanggulangannya adalah dengan mengangkat kista itu dengan bedah mikro
laring.
4. Hemangioma
Hemangioma biasanya timbul di daerah subglotis. Sering pula disertai
dengan hemangioma di tempat lain, seperti di leher. Gejalanya adalah terdapat
hemoptisis dan bila tumor itu besar terdapat juga gejala sumbatan laring.
F. Diagnosis
Semua pasien yang datang harus dilakukan anamnesis secara lengkap,
pemeriksaan fisik, nasopharingolaringoskopi dan pemeriksaan radiografi untuk
menegakkan diagnosis. Dari anamnesis biasanya ditemukan keluhan-keluhan
pasien suara serak dan susah bernafas6.
Pemeriksaan kepala dan leher secara lengkap harus dilakukan pada semua
pasien. Dimulai dengan melihat apakah pada pasien terdapat gejala sumbatan
jalan nafas seperti dispneu, takipneu, sianosis, stridor, dan retraksi di suprasternal,
epigastrium, interkontal, serta subklavikula2.
Pemeriksaan diatas juga diikuti dengan endoskopi untuk menilai laring,
trakea, bronkus, esophagus dan untuk memastikan karakteristik lesi stenosis.
Penanganan stenosis sub glotis tergantung pada diameter, panjang, lokasi dan
keadaan pasien.
Gold standart untuk mendiagnosis kelainan laring adalah dengan
laringoskopi langsung (direct) dan trakeobronkoskopi yang dilakukan dengan
anastesi umum. Pemeriksaan ini harus dilakukan di ruang operasi dan harus ada
ahli anastesi.
G. Penatalaksanaan
Terapi stenosis subglotis tergantung pada kelainan yang menyebabkannya
dan seberapa parah hal itu berdampak pada pernafasan. Pada umunya terapi
stenosis subglotis yang disebabkan oleh kelainan submukosa adalah dilatasi atau
dengan laser CO210.
12
Stenosis subglotis yang disebabkan oleh kelainan bentuk tulang rawan
krikoid dilakukan terapi pembedahan dengan melakukan rekonstruksi. Pengobatan
proses inflamasi dengan steroid oral atau inhalasi kadang-kadang dapat
mengurangi keparahan penyakit. Pengobatan terhadap beberapa keadaan yang
memperburuk atau menyebabkan stenosis subglotis juga perlu dilakukan, seperti
penatalaksanaan GERD dan infeksi kronis lainnya11.
Gambar 2.6 post operasi stenosis subglotis
H. Pencegahan
Beberapa upaya yang dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya stenosis
subglotis diantaranya :
1. Menghindari pemakaian endotrakeal tube yang terlalu lama (>7 hari).
2. Menangani penyakit-penyakit yang yang dapat menimbulkan stenosis subglotis
sebagai komplikasi, seperti penyakit infeksi, penyakit inflamasi dan GERD
3. Penggunaan steroid bila terjadi proses inflamasi pada mukosa laring untuk
proses granulasi pada mukosa yang dapat menimbulkan stenosis subglotis.
13
BAB III
KESIMPULAN
Stenosis subglotis berarti penyempitan pada laring, tepatnya pada daerah
subglotis yang terletak memanjang dari permukaan bawah pita suara hingga
kartilago krikoid. Stenosis subglotik merupakan suatu bentuk kelainan yang bisa
didapat dari lahir ataupun kelainan yang didapat pada saat dewasa.
Stenosis subglotis kongenital dapat diklasifikasikan menjadi 2 jenis yaitu
karena kelainan membran dan kelainan bentuk tulang rawan krikoid. Seadngkan
stenosis subglotis didapat terjadi karena pemakaian intubasi endotrakeal yang
berkepanjangan sehingga meyebabkan trauma pada struktur subglotis sekunder
karena tekanan antara kartilago aritenoid.
Semua pasien yang datang harus dilakukan anamnesis secara lengkap,
pemeriksaan fisik, nasopharingolaringoskopi dan pemeriksaan radiografi untuk
menegakkan diagnosis. Pemeriksaan diatas juga diikuti dengan endoskopi untuk
menilai laring, trakea, bronkus, esophagus dan untuk memastikan karakteristik
lesi stenosis. Penanganan stenosis subglotis tergantung pada diameter, panjang,
lokasi dan keadaan pasien.
Pada umunya terapi stenosis subglotis yang disebabkan oleh kelainan
submukosa adalah dilatasi atau dengan laser CO2. Stenosis subglotis yang
disebabkan oleh kelainan bentuk tulang rawan krikoid dilakukan terapi
pembedahan dengan melakukan rekonstruksi.
14
DAFTAR PUSTAKA
1. Novialdi dan Azani, S. 2012. Trakeostomi dan Krikotirotomi. Universitas Andalas Press. Hal:1-2.
2. Muller, CD; Pou, AM; Quinn, FB; Ryan, MW. 2002. Subglottic Stenosis. Dept. of Otolaryngology.
3. Mclay, JE. 2010. Subglottic Stenosis in Children. Department of Otolaryngology, Division of Pediatric Otolaryngology, Children's Medical Center, University of Texas at Southwestern.
4. Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorokan Kepala dan Leher. Edisi 6. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. 2008. Hal: 232-234.
5. Adams GL, Boies LR, Higler PA. BOIES Buku Ajar Penyakit THT. Edisi 6. Editor: Effendi H, Santoso K. EGC. Jakarta. 1997. Hal: 369-377.
6. Choi, SS; Zalzal, GH. 2000. Changing Trends in Neonatal Subglottic Stenosis. Otolaryngol Head Neck; 122(1): 61-3.
7. Roh, JL; Lee, YW; Park, HT. 2006. Subglottic Wound Healing in a New Rabbit Model of Acquired Subglottic Stenosis. Annals of Otology, Rhinology and Laryngology 115(8): 611-616.
8. Lorenz, RR. 2003. Adult Laryngotracheal Stenosis: Etiology and Surgical Management. Curr Opin Otolaryngol Head Neck Surg 11:467-72.
9. Amy, S et al,. 2012. Outcomes of Ballon Dilation in Pediatric Subglottic Stenosis. Annals of Otology, Rhinology and Laryngology 121(7): 442-448.
10. Halmos, B et al,. 2009. Groningen Dilatation Tracheoscope in Treatment of Moderate Subglottic and Tracheal stenosis. Annals of Otology, Rhinology and Laryngology 118(5): 329-335.
11. Lando, T; April, MM; Ward, RF. 2008. Minimally Invasive Techniques in Laryngotracheal Reconstruction. Otolariyngol Clin North Am 41: 935-46.
15