31
GENERASI MUDA MEMAKNAI PANCASILA KEARIFAN DALAM “PERSALINAN” PANCASILA (Suatu Dekonstruksi Historis Tarik-Ulur Hingga Kompromi antara Kalangan Nasionalis Sekuler dengan Nasionalis Muslim) Oleh: Arie Hendrawan Jurusan Politik dan Kewarganegaraan Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Semarang LOMBA KARYA TULIS NASIONAL (LOKATNAS) 2013 PRESIDENT UNIVERSITY MAJOR ASSOCIATION OF LAW PRESIDENT UNIVERSITY JAKARTA

KEARIFAN DALAM “PERSALINAN” PANCASILA (Suatu Dekonstruksi Historis Tarik-Ulur Hingga Kompromi antara Kalangan Nasionalis Sekuler dengan Nasionalis Muslim)

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Penulis merasa tergugah hatinya, untuk berusaha memberikan pemaparan logis dan ilmiah terkait pentingnya nasionalisme serta sikap toleransi antar umat beragama. Caranya, dengan mendekonstruksi (membaca ulang) sejarah proses lahirnya “philosophiche grondslag Indonesia (Pancasila)” yang penuh kearifan. Salah satunya, termanifestasi dalam tarik-ulur hingga kompromi di antara dua kelompok founding fathers bangsa saat itu. Masing-masing, kalangan nasionalis sekuler dan nasionalis muslim. Sila pertama Pancasila yang sensitif, dapat dikatakan episentrum “gempa perdebatan” tersebut. Walaupun, akhirnya, semua sepakat untuk melegitimasi Pancasila tanpa tendensi “pengistimewaan” ajaran agama tertentu. Hal inilah yang selanjutnya menarik dibaca ulang supaya setiap Warga Negara Indonesia belajar betapa urgennya nilai-nilai nasionalisme serta toleransi.

Citation preview

Page 1: KEARIFAN DALAM “PERSALINAN” PANCASILA (Suatu Dekonstruksi Historis Tarik-Ulur Hingga Kompromi antara Kalangan Nasionalis Sekuler dengan Nasionalis Muslim)

GENERASI MUDA MEMAKNAI PANCASILA

KEARIFAN DALAM “PERSALINAN” PANCASILA

(Suatu Dekonstruksi Historis Tarik-Ulur Hingga Kompromi antara

Kalangan Nasionalis Sekuler dengan Nasionalis Muslim)

Oleh:

Arie Hendrawan

Jurusan Politik dan Kewarganegaraan

Fakultas Ilmu Sosial

Universitas Negeri Semarang

LOMBA KARYA TULIS NASIONAL (LOKATNAS) 2013

PRESIDENT UNIVERSITY MAJOR ASSOCIATION OF LAW

PRESIDENT UNIVERSITY – JAKARTA

Page 2: KEARIFAN DALAM “PERSALINAN” PANCASILA (Suatu Dekonstruksi Historis Tarik-Ulur Hingga Kompromi antara Kalangan Nasionalis Sekuler dengan Nasionalis Muslim)

i

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI .......................................................................................................... i

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ....................................................................................... 1

B. Rumusan Masalah ................................................................................... 3

C. Tujuan Penulisan .................................................................................... 3

D. Manfaat Penulisan .................................................................................. 3

BAB II KAJIAN PUSTAKA

A. Sejarah Lahirnya Pancasila ..................................................................... 5

B. Kalangan Nasionalis Sekuler dan Nasionalis Muslim .............................. 7

C. Arti Penting Nasionalisme ...................................................................... 8

BAB III METODE PENULISAN

A. Sumber dan Jenis Data ............................................................................ 11

B. Teknik Pengumpulan Data ...................................................................... 11

C. Analisis Data .......................................................................................... 11

D. Penarikan Simpulan ................................................................................ 12

BAB IV PEMBAHASAN

A. Tarik-Ulur dalam Proses Kelahiran Pancasila ......................................... 13

B. Kompromi dalam Perumusan Pancasila .................................................. 16

C. Dekonstruksi Historis, Nasionalisme, dan Toleransi ................................ 17

BAB V PENUTUP

A. Simpulan ................................................................................................ 21

B. Saran ...................................................................................................... 22

DAFTAR PUSTAKA

Page 3: KEARIFAN DALAM “PERSALINAN” PANCASILA (Suatu Dekonstruksi Historis Tarik-Ulur Hingga Kompromi antara Kalangan Nasionalis Sekuler dengan Nasionalis Muslim)

ii

LAMPIRAN

Page 4: KEARIFAN DALAM “PERSALINAN” PANCASILA (Suatu Dekonstruksi Historis Tarik-Ulur Hingga Kompromi antara Kalangan Nasionalis Sekuler dengan Nasionalis Muslim)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Secara leksikal, “nasionalisme”, telah ada sejak lama. Menurut pendapat Abe

Barruel, kata “nasionalisme” untuk pertama kali dipakai pada awal abad ke-15 yang

diperuntukkan bagi para mahasiswa yang datang dari daerah sama atau mempunyai

bahasa sama, sehingga mereka itu (di kampus yang baru dan daerah baru) tetap cinta

terhadap bangsa atau suku asal mereka.1 Pengertian nasionalisme sendiri, kemudian

berkembang dinamis sebagai pelabelan terhadap “kepentingan nasional (nation)”, di

atas interes kelompok maupun golongan tertentu. Sesuai dengan gagasan dari Adolf

Heuken misalnya, menganggap nasionalisme suatu pandangan yang asksentuasinya

terhadap bangsa.2 Hal senada “diamini” pula oleh Hans Khon, dalam bukunya yang

berjudul “Nasionalisme Arti dan Sejarahnya”. Khon, mengasosiasikan nasionalisme

dengan perasaan loyalitas tertinggi kepada bangsa.3 Lebih lanjut, beberapa ahli lain

seperti Rudolf Kjellen4 dan A. D. Smith

5 juga berparadigma demikian.

Ketika arus perubahan zaman kian progresif, segenap masyarakat Indonesia

dituntut untuk semakin responsif. Sebab, kini muncul dua ancaman yang berpeluang

besar mengganggu stabilitas integrasi nasional. Pertama, ancaman dari optik internal

berupa konflik vertikal-horisontal. Kedua, yaitu ancaman secara eksternal berbentuk

ekspansi (penanaman) pengaruh asing. Di sinilah letak urgensi nasionalisme sebagai

perekat aspek kebangsaan. Peranan generasi muda sebagai agen intelektual dan agen

perubahan, menjadi perintis serta pelopor dalam menstimulus rasa nasionalisme juga

sangat diperlukan. Sedang dari sudut general, baik pemuda maupun seluruh lapisan

masyarakat Indonesia sudah semestinya turut melecut (kembali) nasionalisme. Sama

sewaktu masyarakat Indonesia tengah dijajah kolonial Belanda, maupun Jepang.

1 Fenomena tersebut terjadi di Jerman. Untuk lebih jauh, coba lihat Herry Ritter, Dictionary of Concept in History, Greenwood, 1986, hlm. 286. 2 Baca Jazim Hamidi, dkk, Civic Education, 2010, Gramedia Pustaka Utama, hlm. 168. 3 Ibid. 4 Argumentasi Rudolf Kjellen dapat dilihat di Ibid.

5 Definisi nasionalisme yang diungkapkan oleh Smith ada pada A.D. Smith, Nationalist Movement, 1979, Macmillan Press, hlm. 1.

Page 5: KEARIFAN DALAM “PERSALINAN” PANCASILA (Suatu Dekonstruksi Historis Tarik-Ulur Hingga Kompromi antara Kalangan Nasionalis Sekuler dengan Nasionalis Muslim)

2

Tanpa bermaksud mengindahkan ancaman eksternal, ancaman internal ialah

ancaman yang harus dituntaskan terlebih dulu. Layaknya sebuah “konstruksi” rumah

yang belum kuat, tentu akan kewalahan menghadapi bahaya dari luar, semisal angin

kencang hingga gempa bumi. Namun realitasnya, lokalitas dan eksklusivitas sempit

beberapa kelompok justru mengingkari ke-“bhineka”-an bangsa Indonesia. Berbagai

friksi yang bermuara pada ketegangan berbasis justifikasi fanatisme, sarkasme, serta

cauvisme nyata-nyata merajalela. Contoh saja, polarisasi yang disusul konflik lintas

agama “kompleks” di Poso, penyerangan membabi buta terhadap penganut Syi’ah di

Sampang, tragedi trans-etnis di Sampit, sampai gerakan ekstrimis-radikalis (teroris)

yang senantiasa meresahkan masyarakat6. Maka tidak mengherankan bila Columbijn

dan Thomas Lindblad dalam bukunya-Roots of Violence in Indonesia-pernah berujar

Indonesia merupakan “negara kekerasan”7. Coba bayangkan, intensitas pertentangan

etno-komunal di Indonesia pada kurun 1990-2003 (hanya 13 tahun), menembus 599

kejadian.8

Bahkan di sisi lain, internalisasi nilai-nilai Pancasila yang masih parsial telah

melahirkan golongan tertentu yang ingin mengubah ideologi Pancasila.9 Hal tersebut

juga mengindikasikan, “sebagian” masyarakat yang belum memahami nasionalisme

secara utuh karena lebih menitikberatkan pada kepentingan golongan, dibandingkan

dengan kepentingan nasional. Meskipun terang, Pancasila sebagai “volkgeist” adalah

pandangan hidup bangsa yang koheren dalam kehidupan masyarakat Indonesia sejak

dahulu kala.10

Substansinya pun memang cocok dengan konstelasi sistem sosial dari

masyarakat Indonesia yang “majemuk (meminjam tesis Nasikun)”, karena Pancasila

tidak merepresi penyeragaman, melainkan penyatuan.

6 Celakanya, aksi terorisme cukup signifikan melibatkan remaja dan jauh lebih membayakan. Umur yang

belum matang serta labilitas emosional, membuat pemuda mudah untuk diradikalkan (dipupuk sifat dan rasa bencinya terhadap pihak-pihak teretentu). Lebih lengkap, coba lihat pendapat Jenderal Polisi Timur Pradopo di Kapolri: Teroris Muda Lebih Membahayakan, www.merdeka.com, 2012, diakses pada tanggal 28 Mei 2013, dan pandangan Brigadir Jenderal Boy Rafli oleh berita dari Dian Mahareni, Jaringan Teroris Muda Siapkan Bom Berkekuatan Besar, www.indonesiacompanynews.com, 2012, diakses pada tanggal 28 Mei 2013. 7 Cermati Proses Pelapukan, Penerbit Buku Kompas, 2006, hlm. 44. 8 Ibid, hlm. 45. 9 Lebih jauh, coba perhatikan Haris Kurniawan, Ada Kelompok yang Ingin Mengubah Ideologi Pancasila?, www.nasional.sindonews.com, 2013, diakses pada tanggal 28 Mei 2013. 10

Secara kultural unsur-unsur Pancasila ada pada adat istiadat, tulisan, bahasa, slogan, kebudayaan, dari masyarakat Indonesia kebanyakan. Lebih lanjut coba baca Sunoto, Mengenal Filsafat Pancasila, Fakultas Ekonomi Universitas Islam Indonesia, 1981, hlm. 1.

Page 6: KEARIFAN DALAM “PERSALINAN” PANCASILA (Suatu Dekonstruksi Historis Tarik-Ulur Hingga Kompromi antara Kalangan Nasionalis Sekuler dengan Nasionalis Muslim)

3

Berangkat dari pemahaman “sebagian” masyarakat, utamanya pemuda, yang

sangat minim terhadap Pancasila. Penulis merasa tergugah hatinya, untuk berusaha

memberikan pemaparan logis dan ilmiah terkait pentingnya nasionalisme serta sikap

toleransi antar umat beragama. Caranya, dengan mendekonstruksi (membaca ulang)

sejarah proses lahirnya “philosophiche grondslag Indonesia (Pancasila)” yang penuh

kearifan. Salah satunya, termanifestasi dalam tarik-ulur hingga kompromi di antara

dua kelompok founding fathers bangsa saat itu. Masing-masing, kalangan nasionalis

sekuler dan nasionalis muslim. Sila pertama Pancasila yang sensitif, dapat dikatakan

episentrum “gempa perdebatan” tersebut. Walaupun, akhirnya, semua sepakat untuk

melegitimasi Pancasila tanpa tendensi “pengistimewaan” ajaran agama tertentu. Hal

inilah yang selanjutnya menarik dibaca ulang supaya setiap Warga Negara Indonesia

belajar betapa urgennya nilai-nilai nasionalisme serta toleransi.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimanakah tarik-ulur kalangan nasionalis sekuler dengan nasionalis muslim

dalam proses kelahiran Pancasila?

2. Bagaimanakah kompromi kalangan nasionalis sekuler dengan nasionalis muslim

dalam perumusan Pancasila?

3. Bagaimanakah dekonstruksi historis dari kearifan “persalinan” Pancasila dalam

membangun nasionalisme dan toleransi beragama?

C. Tujuan

1. Mengidentifikasi tarik-ulur antara kalangan nasionalis sekuler dengan nasionalis

muslim dalam proses kelahiran Pancasila.

2. Mengetahui kompromi di tengah kalangan nasionalis sekuler dengan nasionalis

muslim dalam perumusan Pancasila.

3. Menganalisis dekonstruksi sejarah nilai-nilai kearifan perumusan Pancasila guna

membangun nasionalisme dan toleransi beragama.

D. Manfaat

1. Teoritis

Page 7: KEARIFAN DALAM “PERSALINAN” PANCASILA (Suatu Dekonstruksi Historis Tarik-Ulur Hingga Kompromi antara Kalangan Nasionalis Sekuler dengan Nasionalis Muslim)

4

a. Menyajikan spesifikasi teoritis mengenai tarik-ulur hingga kompromi antara

kalangan nasionalis sekuler dengan nasionalis muslim, pada saat perumusan

Pancasila.

b. Menambah wacana ilmiah tentang urgenitas dekonstruksi historis, tarik-ulur

sampai pada kompromi antara kalangan nasionalis sekuler dengan nasionalis

muslim ketika perumusan Pancasila.

2. Praktis

a. Membangkitkan kembali nasionalisme dan meniadakan sikap individualistis

segenap masyarakat Indonesia terutama generasi muda.

b. Mengkampanyekan sikap toleransi antar umat beragama dengan belajar dari

peristiwa sejarah “persalinan” ideologi Pancasila.

c. Mengeksplorasi kearifan historis, soal tarik-ulur hingga kompromi kalangan

nasionalis sekuler dengan nasionalis muslim dalam proses kelahiran ideologi

negara (Pancasila).

d. Memotivasi dan “men-siuman-kan” semua masyarakat Indonesia, khusunya

para pemuda untuk mengenal serta mengamalkan nilai-nilai Pancasila.

Page 8: KEARIFAN DALAM “PERSALINAN” PANCASILA (Suatu Dekonstruksi Historis Tarik-Ulur Hingga Kompromi antara Kalangan Nasionalis Sekuler dengan Nasionalis Muslim)

5

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Sejarah Lahirnya Pancasila

Lahirnya Pancasila dalam konteks ini, tidak merujuk kepada pidato Soekarno

di tanggal 1 Juni 1945 dengan judul “Pancasila” yang kemudian hari dikenal sebagai

tanggal lahirnya Pancasila. Akan tetapi, merujuk kepada rumusan eksplisit Pancasila

sebagai “dasar negara” dalam pembukaan UUD 1945 yang baru disahkan tanggal 18

Agustus 1945. Karena prinsipnya, penulis berkeyakinan bahwa pidato Soekarno saat

sidang BPUPKI I masih sebatas frame serta merupakan pandangan pribadi Soekarno

semata. Artinya, belum merepresentasi hasil definitif persidangan BPUPKI, Komisi

Sembilan ataupun PPKI.11

Walaupun, rumusan Pancasila “versi Soekarno-lah” yang

akhirnya paling mirip dan termaktub dalam Piagam Jakarta (sah 22 Juni 1945) serta

pembukaan UUD 1945 (sah 18 Agustus 1945).

Awal lahirnya Pancasila tidak terlepas dari pembentukan BPUPKI di tanggal

24 April 1945 yang bertepatan dengan tanggal Ulang Tahun “Kaisar Jepang”, Tenno

Heika.12

Jika diklasifikasikan, BPUPKI melaksanakan sidangnya dalam dua tahapan

yaitu tanggal 29 Mei-1 Juni 1945 (pertama) dan sidang pada tanggal 10-16 Juli 1945

(kedua).13

Dalam sidang BPUPKI pertama, Radjiman Widyodiningrat sebagai ketua

meminta agar peserta sidang mengemukakan “dasar negara (philosofiche grondslag

atau welt anschaung)”. Menanggapi inisiatif itu M. Yamin, menyampaikan pidato di

mana ada lima prinsip yang diajukannya sebagai dasar negara:

11

Selain itu, meski rumusan Pancasila yang dikemukakan Soekarno di muka sidang BPUPKI I paling mirip dengan yang terdapat dalam Piagam Jakarta dan pembukaan UUD 1945, sebenarnya Soekarno tidak bisa dinyatakan sebagai “pencipta Pancasila”. Ketika hanya berbicara tentang ke-“mirip”-an, M. Yamin pada tanggal 29 Mei 1945 juga telah menyampaikan pidato seputar dasar negara yang mirip dengan rumusan Pancasila di Piagam Jakarta, maupun pembukaan UUD 1945. Jadi penulis lebih setuju, apabila Soekarno dikatakan sebagai “pencipta istilah dan/ atau perumus Pancasila”, bukan “pencipta Pancasila”. Demikian pula M. Yamin, yang lebih tepat jika dibilang memiliki sumbangsih untuk “perumusan Pancasila”, bukan “pencipta Pancasila”. Sebab, “pembeda” dari Pancasila dengan ideologi-ideologi lain dunia terletak pada mekanisme penciptaannya. Pancasila, bukan “produk kontemplasi atau penciptaan” oleh seseorang atau sekelompok orang. Karena hakikatnya, Pancasila sudah koheren dalam kehidupan masyarakat Indonesia (de facto), jauh-jauh hari sebelum Pancasila “disahkan” secara yuridis (de jure). Sehingga peran founding fathers bangsa sekalipun, hanyalah sebatas “perumus”, “tidak pencipta”. 12

Baca Muhammad Yamin dalam Faisal Ismail, Ideologi Hegemoni dan Otoritas Agama, PT Tiara Wacana Yogya, 1999, hlm. 17. 13 Lihat Joeniarto, Sejarah Ketatanegaraan Republik Indonesia, Bumi Aksara, 2001, hlm. 24.

Page 9: KEARIFAN DALAM “PERSALINAN” PANCASILA (Suatu Dekonstruksi Historis Tarik-Ulur Hingga Kompromi antara Kalangan Nasionalis Sekuler dengan Nasionalis Muslim)

6

1. Perikebangsaan

2. Perikemanusiaan

3. Periketuhanan

4. Perikerakyatan

5. Kesejahteraan Rakyat.14

Konfigurasi anggota BPUPKI yang “terpecah”, menjadi dua kelompok besar

(kelompok nasionalis sekuler dan nasionalis muslim) memberikan peragaman warna

tersendiri bagi perumusan dasar negara (Pancasila). Perbedaan yang mencolok bisa

terlihat dari political will kubu nasionalis sekuler untuk memisahkan permasalahan

agama dengan negara. Sedangkan kalangan nasionalis muslim, berkeinginan bahwa

Negara Indonesia berdasarkan Hukum Islam (Syari’at Islam). Ketegangan seru yang

timbul antara kedua kelompok tersebut, memang “hanya berkutat” seputar landasan

falsafah negara. Sampai akhirnya, Soekarno di tanggal 1 Juni 1945, menyampaikan

pidato perihal konsepsi usulan dasar negara. Sama seperti halnya Yamin, Soekarno

menawarkan lima asas sebagai dasar negara, meskipun dengan “esensi” yang sedikit

berbeda:

1. Kebangsaan Indonesia

2. Internasionalisme atau perikemanusiaan

3. Mufakat atau demokrasi

4. Kesejahteraan sosial

5. Ketuhanan Yang Maha Esa.15

Setelah pidato Soekarano, sebuah komisi kecil (biasa disebut dengan Komisi

Sembilan) dibentuk dengan beranggotakan sembilan tokoh: Soekarno, Hatta, Ahmad

Soebardjo, Maramis, M. Yamin, Kahar Muzakkir, K. Agus Salim, Abikusno T., dan

A. Wahid Hasjim. Setelah melalui perdebatan panas, terjadi kesepakatan bersejarah

yang oleh M. Yamin dinamakan Piagam Jakarta (Jakarta Charter). Di dalamnya ada

rumusan Pancasila (yang dipakai ialah usulan dari Soekarno dengan penyempurnaan

seperlunya). Namun demikian masih terdapat frasa yang kontroversial, yakni berada

pada sila pertama: Ketuhanan “dengan kewajiban menjalankan Syari’at Islam bagi

pemeluk-pemeluknya”16

. Diratifikasi tanggal 22 Juni 1945, Piagam Jakarta ditujukan

sebagai rancangan UUD 1945.

14 Ibid, hlm. 20. 15 Ibid, hlm. 20-21. 16

Frasa yang kontroversial diapit dengan tanda petik dua (“-“). Isi selengkapnya, baca Naskah Persiapan UUD 1945 dalam Ibid, hlm. 33. Tidak bisa dipungkiri modifikasi atau penyempurnaan rumusan Pancasila versi Soekarno pada Piagam Jakarta adalah berkat dorongan faksi nasionalis muslim yang menginginkan

Page 10: KEARIFAN DALAM “PERSALINAN” PANCASILA (Suatu Dekonstruksi Historis Tarik-Ulur Hingga Kompromi antara Kalangan Nasionalis Sekuler dengan Nasionalis Muslim)

7

Berikutnya, kelahiran PPKI17

(7 Agustus 1945) yang diketuai Soekarno dan

Hatta sebagai wakil ketua, membawa babak baru untuk Pancasila. Menjelang sidang

pertama tanggal 18 Agustus 1945, Hatta mengusulkan “perubahan” rancangan UUD

1945 dan isinya18

(hasil Piagam Jakarta). Hatta, keberatan dengan frasa “kewajiban

menjalankan Syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya” di sila pertama dari rumusan

Pancasila karena mengacu ancaman pemeluk “Katholik dan Protestan” pada wilayah

Indonesia Timur yang akan memisahkan diri dengan Indonesia, ketika frasa tersebut

tidak dihapus atau diganti. Mereka menilai hadirnya frasa yang memuat kata Islamis

merupakan diskriminasi terhadap kelompok minoritas.19

Usulan Hatta diterima, dan

tanggal 18 Agustus 1945, PPKI menetapkan UUD 1945 secara resmi sebagai dasar

negara20

setelah sebelumnya diperbaharui sejumlah bagiannya yang dianggap dapat

menimbulkan kontroversi jika diindahkan. Termasuk juga sila pertama dari rumusan

Pancasila, yang hingga kini hanya berbunyi: Ketuhanan Yang Maha Esa.

B. Kalangan Nasionalis Sekuler dan Nasionalis Muslim

Faisal Ismail dalam bukunya, Ideologi Hegemoni dan Otoritas Agama, telah

secara “gamblang” menjelaskan definisi kalangan nasionalis sekuler, dan nasionalis

muslim. Ia mengikhtisar berbagai sumber, antara lain dari Anshari, Deliar Noer, dan

Bernard Dahm.21

Menurutnya, nasionalis sekuler merupakan sekelompok pemimpin

politik Indonesia (Muslim, Katolik, Protestan, Hindu, dan lainnya) yang tegas untuk

menolak agama (termasuk Agama Islam) sebagai “dasar negara”.22

Meskipun secara

personal mereka bukan seorang sekularian murni, tetapi mereka memilih membuang

jauh-jauh tendensi dan afiliasi terhadap ajaran agama tertentu. Sedangkan, kalangan

nasionalis muslim adalah pemimpin politik Indonesia, muslim, yang terikat dengan

Syari’at Islam sebagai dasar negara. Dengan kata lain, Indonesia yang diimpikan oleh kalangan nasionalis muslim adalah sebuah negara yang berasaskan Islam. 17

PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia), sedang BPUPKI yaitu Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia atau Dokuritsu Ziumbi Choosakai. 18 Ibid, hlm. 49. 19 Ibid. 20 Baca A.T. Soegito, dkk, Pendidikan Pancasila, Unnes Press, 2010, hlm. 3. 21 Anshari pada Tesis berjudul The Jakarta Charter of June 1945: A Gentlement’s Agreement Between the Islamic and the Secular Nationalist in Modern Indonesia, McGill University, 1976; Deliar Noer dalam The Modern Muslim Movement in Indonesia 1940-1942, Oxford University Press, 1973; serta, B. Dahm dalam Sukarno and the Struggle for Indonesia Independence, Cornell University Press, 1969. Lihat semua dalam Ibid, hlm. 4. 22 Ibid, hlm. 5.

Page 11: KEARIFAN DALAM “PERSALINAN” PANCASILA (Suatu Dekonstruksi Historis Tarik-Ulur Hingga Kompromi antara Kalangan Nasionalis Sekuler dengan Nasionalis Muslim)

8

keimanan mereka secara mendalam dan percaya jika Islam harus diletakkan sebagai

dasar negara.23

Penggunaan istilah keduanya dalam konteks ini terbatas, sebab cuma

ditempatkan pada proses “persalinan” Pancasila sampai tanggal 18 Agustus 1945.

Lebih lanjut, komposisi kalangan nasionalis sekuler serta nasionalis muslim

dalam kenggotaan BPUPKI dijabarkan oleh Prawoto Mangkusasmito. Keanggotaan

BPUPKI seluruhnya berjumlah 62 orang, yang kemudian ditambah 6 lagi sehingga

menjadi 68 orang.24

Mangkusasmito menjabarkan, hanya 15 orang (kurang lebih 20

persen) anggota BPUPKI yang berlatarkan faksi nasionalis muslim dan benar-benar

menyuarakan kepentingan “politik Islam”, sedang mayoritas (80 persen) berasal dari

kalangan nasionalis sekuler.25

Wakil-wakil kalangan nasionalis muslim, di antaranya

adalah Mas Mansur, K. Muzakkir, Ki Bagus Hadikusumo, A. Wahid Hasjim, Agus

Salim, Masjkur, Abikusno T., S. Wirjosandjojo, A. Sanusi, dan A. Halim.26

Di pihak

lain, wakil-wakil kalangan nasionalis sekuler terdiri atas Soekarno, Hatta, Radjiman

Widyodiningrat, Soepomo, Wongsonegoro, Sartono, R. P. Soeroso, M. Yamin, serta

Buntaran Martoatmodjo.27

C. Arti Penting Nasionalisme

Istilah nasionalisme mempunyai definisi yang “multifaset”, meskipun antara

satu definisi dengan definisi yang lain tidak lantas berbeda jauh. Sebut saja beberapa

ahli, semisal Barruel, Heuken, Khon, Kjellen, serta Smith yang sebelumnya pernah

melontarkan gagasan mengenai nasionalisme, secara substansial tak ditemukan beda

fundamental dalam argumen mereka. Jika dikaji sisi etimologisnya, sebenarnya kata

nasionalisme, berarti “nation (bangsa)”. Sedangkan “nation” mula-mula berasal dari

bahasa Latin, “natio”, yang merupakan hasil pengembangan dari kata, “nascor (saya

dilahirkan)”. Maka pada awalnya, nation dimaknai sebagai sekelompok orang yang

dilahirkan di suatu daerah yang sama.28

Lalu, apa itu nasionalisme? Berkat imbuhan

isme, nasionalisme, menurut hemat penulis dapat diartikan faham yang menekankan

23 Ibid. 24 Ibid. 25 Coba lihat Prawoto Mangkusasmito, Pertumbuhan Historis Rumus Dasar Negara dan Sebuah Refleksi, Hudaya, 1970, hlm. 60-61. 26 M. Yamin dalam Ibid, hlm. 18. 27

Ibid. 28 Simak Ritter dalam Sutarjo Adisusilo, Nasionalisme-Demokrasi-Civil Society, Artikel Ilmiah, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, 2008, hlm. 4.

Page 12: KEARIFAN DALAM “PERSALINAN” PANCASILA (Suatu Dekonstruksi Historis Tarik-Ulur Hingga Kompromi antara Kalangan Nasionalis Sekuler dengan Nasionalis Muslim)

9

aspek kebangsaan atau kepentingan bangsa. Ketika didiversifikasi, meminjam opini

Kartodirjo, nasionalisme meliputi soal kesatuan, kebebasan, kesamaan, kepribadian

nasional, dan prestasi kolektif.29

Kembali lagi, pengembangan tersebut hilirnya tetap

sama, yakni pengutamaan kepentingan bangsa.

Dalam kerangka ideologis, Apter menuturkan nasionalisme mengandung tiga

aspek yaitu: cognitive, goal, dan strategic.30

Dari sini, kita bisa mengerti arti penting

nasionalisme. Aspek cognitive, mengumpamakan perlunya pengetahuan atas situasi

konkret sosial, ekonomi, politik, serta budaya bangsanya. Peran nasionalisme adalah

sebagai cerminan abstrak kehidupan konkret suatu bangsa.31

Sudah tentu, tanpa ada

pengetahuan yang holistik, bangsa Indonesia tak akan mampu mengentaskan deretan

masalah di sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Sehingga, nasionalisme

sangat penting. Demikian pula, role generasi muda sebagai “agent intellectual” juga

amat dibutuhkan untuk eskalasi pengetahuan bangsa. Soedjatmoko menyebut, tidak

bisa tidak nasionalisme wajib disinari kebijaksanaan, pengertian, pengetahuan, serta

kesadaran sejarah.32

Kemudian sebagai goal, nasionalisme bertalian dengan cita-cita dan harapan

ideal di masa datang yang akan diperjuangkan masyarakat, serta negara. Ekspektasi

tersebut mencakup berbagai bidang kehidupan berbangsa dan bernegara. Contoh di

bidang kebudayaan serta keagamaan, salah satu visinya (bukan utopia), menciptakan

ruang toleransi di tengah multikulturalisme horisontal masyarakat Indonesia. Ketika

tak punya sasaran (goal) yang jelas, bangsa ini pasti tidak akan tentu arah. Jadi tidak

perlu diragukan kembali, arti penting nasionalisme.

Berikutnya dari aspek strategic, menumbuhkan nasionalisme adalah sepadan

artinya dengan menumbuhkan strategi untuk merealisasi visi kolektif bangsa. Lewat

cara apa kita berjuang? Bagaimana praksisnya? Bagaimana kondisi kita kini? Hal itu

merupakan beberapa pertanyaan “skeptis (baca: kritis)” yang harus dijawab sebagai

strategi mencapai cita-cita bangsa Indonesia. Misalnya dalam menghadapi pengaruh

asing, bangsa kita butuh “strategi”. Sekalipun telah memiliki pengetahuan serta visi

yang jelas, bangsa ini tidak akan sanggup berbuat optimal jika tak didukung strategi

29 Lebih lanjut perhatikan Sartono Kartodirjo, Multidimensi Pembangunan Bangsa Etos Nasionalisme dan Negara Kesatuan, Kanisius, 1999, hlm. 60. 30

Dalam Ibid, hlm. 6. 31 Ibid. 32 Ibid.

Page 13: KEARIFAN DALAM “PERSALINAN” PANCASILA (Suatu Dekonstruksi Historis Tarik-Ulur Hingga Kompromi antara Kalangan Nasionalis Sekuler dengan Nasionalis Muslim)

10

yang mumpuni pula. Kian memudarnya nasionalisme, utamanya pada diri generasi

muda ialah ancaman yang serius bagi bangsa Indonesia. Bahkan Benedict Anderson

mengungkapkan, Indonesia sedang vis-à-vis dengan situasi defisit nasionalisme. Di

mana terdapat reduksi semangat nasional, lebih-lebih di kalangan kaya (borjuis) dan

terdidik (intelektual).33

Mengingat betapa arti penting nasionalisme, telah mendesak

kiranya untuk terus memupuk hal tersebut, sembari menghindari fanatisme lokalitas

maupun eksklusivitas sempit.

33 Pada Ibid, hlm. 7. Kata di dalam tanda kurung adalah interpretasi otonom penulis.

Page 14: KEARIFAN DALAM “PERSALINAN” PANCASILA (Suatu Dekonstruksi Historis Tarik-Ulur Hingga Kompromi antara Kalangan Nasionalis Sekuler dengan Nasionalis Muslim)

11

BAB III

METODE PENULISAN

A. Sumber dan Jenis Data

Data-data yang dipergunakan dalam penyusunan Karya Tulis ini, berasal dari

berbagai literatur kepustakaan yang “relevan” dengan kajian persoalan. Hal tersebut

disesuaikan dengan teknik pengumpulan data yang berbentuk library research (studi

kepustakaan). Beberapa literatur primer, terdiri atas buku mengenai sejarah lahirnya

Pancasila dan nasionalisme. Sedang literatur sekunder, antara lain terdiri dari artikel

ilmiah, skripsi, makalah, dan artikel-news lepas yang bersumber lewat internet. Jenis

data yang diperoleh bersifat variatif, yakni kualitatif serta kuantitatif.

B. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dilakukan dengan metode library research, yaitu

mengidentifikasi berbagai referensi yang terkait dengan kajian karya tulis. Data atau

informasi yang didapatkan dari literatur, selanjutnya disusun berdasarkan hasil studi

sehingga relevan satu sama lain dan sesuai dengan topik yang dibahas.

C. Analisis Data

Analisis data dilakukan secara induktif dengan dua komponen, yakni reduksi

dan penyajian data. Reduksi data, dimaksudkan supaya penulisan Karya Tulis dapat

terfokus. Sementara, tujuan penyajian data, agar dimungkinkan adanya pengambilan

simpulan.

1. Reduksi Data

Reduksi data adalah memilih hal-hal pokok yang “selaras” dengan fokus

penulisan. Secara rinci, reduksi data bisa diartikan sebagai bentuk analisis yang

menggolongkan, mengarahkan, membuang tidak perlu, dan mengorganisasikan

data-data tereduksi, sehingga memberikan gambaran lebih “tajam” tentang studi

kepustakaan. Reduksi mempermudah penulis, saat ingin mencari data yang akan

dibutuhkan. Kegiatan reduksi ini, dikerjakan penulis sesudah pengumpulan serta

pengecekan data yang valid.

Page 15: KEARIFAN DALAM “PERSALINAN” PANCASILA (Suatu Dekonstruksi Historis Tarik-Ulur Hingga Kompromi antara Kalangan Nasionalis Sekuler dengan Nasionalis Muslim)

12

Data yang telah didapatkan oleh penulis “diklasifikasikan” menjadi lebih

sistematis. Sedangkan data yang tidak diperlukan, akan dibuang dalam bank data

sebab sewaktu-waktu data tersebut mungkin dapat digunakan lagi. Reduksi yang

dilakukan penulis mencakup “multidata (banyak data)” yang diperoleh dari studi

kepustakaan. Data yang masih umum, kemudian disederhanakan dan difokuskan

kepada problem utama tinjauan penulisan.

2. Penyajian Data

Penyajian data merupakan kumpulan informasi sitematis, yang memberi

kemungkinan adanya penarikan simpulan, maupun pengambilan suatu tindakan

tertentu. Penyajian data, berwujud analisis via bentuk deskriptif sehingga penulis

dapat menguasai data dengan baik.

D. Penarikan Simpulan

Pengambilan simpulan, didapatkan setelah merujuk rumusan masalah, tujuan

penulisan, dan pembahasan. Selain itu, pengambilan simpulan juga memperhatikan

penyajian data. Simpulan yang ditarik merepresentasikan pokok-pokok pembahasan

dalam karya tulis dan didukung oleh saran praktis sebagai rekomendasi.

Page 16: KEARIFAN DALAM “PERSALINAN” PANCASILA (Suatu Dekonstruksi Historis Tarik-Ulur Hingga Kompromi antara Kalangan Nasionalis Sekuler dengan Nasionalis Muslim)

13

BAB III

PEMBAHASAN

A. Tarik-Ulur dalam Proses Kelahiran Pancasila

Tarik-ulur atau bisa dikatakan perdebatan, antara kalangan nasionalis sekuler

dengan nasionalis muslim dalam “persalinan” Pancasila, sesungguhnya dapat dibagi

menjadi dua tahapan. Pertama, ketika berlangsungnya sidang BPUPKI. Kedua, saat

sidang PPKI. Namun, jika ditakar kadar keteganggannya, maka perdebatan sewaktu

sidang BPUPKI-lah yang paling tegang (sengit) terjadi.

Di luar dua sidang formal BPUPKI yang sudah penulis sampaikan dalam bab

kajian pustaka, sebenarnya ada satu kali sidang tidak formal (resmi). Tapi semuanya

berlangsung di Jakarta sebelum kekalahan Kekaisaran Jepang terhadap Sekutu pada

tanggal 14 Agustus 1945. Dalam konteks ini, bahasan akan diarahkan kepada sidang

formal pertama BPUPKI, sidang non formal, serta pasca sidang non formal BPUPKI

karena yang paling besar daya tarik-menariknya antara nasionalis kelompok sekuler

dengan nasionalis muslim. Sidang BPUPKI I, berlangsung tanggal 28 Mei sampai 1

Juni 1945 yang “dinahkodai” langsung oleh Radjiman Widyodiningrat selaku ketua

sidang. Sehubungan dengan agenda sidang pertama yang membahas mengenai dasar

negara, ketua sidang lantas menggelindingkan bola panas seputar pertanyaan tentang

dasar negara Indonesia. Selanjutnya, peserta sidang pun diminta untuk menyumbang

usulan. Di situlah, awal mula pergumulan antara kalangan nasionalis sekuler dengan

nasionalis muslim.

Meskipun presentase faksi nasionalis muslim di keanggotaan BPUPKI hanya

sekitar 20 persen, namun realitas sosiologis bahwa umat Islam merupakan mayoritas

di Indonesia tidak bisa terbantahkan.34

Maka logis, jika kalangan nasionalis muslim

punya bargaining position yang lumayan kuat untuk “mamaksakan” kepentingannya

dalam sidang-sidang BPUPKI. Berturut-turut, setelah R. Widyoningrat melontarkan

pertanyaan perihal dasar negara Indonesia. Di tanggal 29 Mei 1945 dan 1 Juni 1945

dua perwakilan kalangan nasionalis sekuler “unjuk gigi” dengan mengajukan usulan

34

Lebih lanjut, coba cermati Anhar, Nasionalisme Religius: Identitias Wawasan Kebangsaan Umat Islam Indonesia, Makalah, STAIN Padangsidimpuan Sumatera Utara, dipresentasikan dalam Annual Conference on Islamic Studies IX, 2009, hlm. 4.

Page 17: KEARIFAN DALAM “PERSALINAN” PANCASILA (Suatu Dekonstruksi Historis Tarik-Ulur Hingga Kompromi antara Kalangan Nasionalis Sekuler dengan Nasionalis Muslim)

14

terkait dasar negara, yang tentu isinya terbebas dari “ajaran agama” tertentu. Hal itu

kemudian mendapat tentangan dari faksi nasionalis muslim, yang ingin menjadikan

Islam dasar negara. Sesuai dengan argumentasi Soepomo yang mengatakan, bahwa

tujuan umat Islam adalah mendirikan negara Islam.35

Wujud afirmasi penolakan dua

usulan faksi nasionalis sekuler, Natsir (dalam kapasitas sebagai salah seorang tokoh

nasionaslis muslim) misalnya, menggunakan taktik jitu dengan seringkali menyebut

nama-nama pejuang muslim yang berjuang untuk kemerdekaan Indonesia.36

Belum lagi, Ki Bagus Hadikusumo, yang notabene sosok nasionalis muslim

paling “vokal” dalam BPUPKI, juga membela Islam sebagai dasar nagara.37

Bagi Ki

Bagus Hadikusumo, berdirinya Indonesia yang “berdasarkan Islam” memungkinkan

komunitas muslim untuk mengimplementasi syari’at secara penuh dan bebas, sebab

kemederdekaan Indonesia, berarti pula kebebasan untuk merealisasikan syari’at.38

Sebelumnya, A. Sanusi sebagai kiai sekaligus figur dari kalangan nasionalis

muslim menyatakan, Al-Qur’an tidak hanya mengatur urusan dunia, tapi juga urusan

akhirat, serta ketetapan yang harus digunakan bagi negara dan agama.39

Secara tidak

langsung (tersirat), sebenarnya pendapat A. Sanusi ditujukan sebagai “upaya” untuk

meyakinkan jika Hukum Islam (Al-Qur’an) lebih lengkap mengatur berbagai urusan

ketimbang usulan dasar negara versi M. Yamin maupun Soekarno. Selain itu terlihat

tendensi propaganda A. Sanusi yang seakan ingin berujar, tidak ada garansi (surga)

untuk konsepsi yang ditawarkan kalangan nasionalis sekuler, karena hanya Syari’at

Islam-lah yang mengatur urusan akhirat.

Di poros lain, kalangan nasionalis sekuler, dengan tegas kontra anjuran faksi

nasionalis muslim. Soepomo beropini, Indonesia tidak sama ketika dikomparasikan

negara-negara yang berdasarkan Islam (seperti: Arab Saudi, Mesir atau Iran), karena

Indonesia memiliki karakter khusus dari segi penduduk, budaya, tradisi, pengalaman

sejarah, dan kondisi geografisnya.40

Alasan Soepomo terbilang realistis sebab realita

35 Ibid, hlm. 40. 36 Seperti contoh: Sultan Babullah dari Ternate, Sultan Hasanuddin dari Makassar, Pangeran Diponegoro, Imam Bonjol, Teuku Umar, Tjut Nya’ Dhien, dan Tengku Tjhik di Tiro (pemimpin-pemimpin perang Aceh) yang menggalang kekuatan perang (jihad) dalam mengusir penjajah. Selengkapnya, dapat dilihat di Ibid, hlm. 41. 37 Ibid. 38

Ibid, hlm. 42. 39 Ibid, hlm. 43. 40 M. Yamin dalam Ibid.

Page 18: KEARIFAN DALAM “PERSALINAN” PANCASILA (Suatu Dekonstruksi Historis Tarik-Ulur Hingga Kompromi antara Kalangan Nasionalis Sekuler dengan Nasionalis Muslim)

15

memang berkata bahwa Negara Indonesia ialah negara yang begitu plural, sehingga

sukar jika menerapkan agama tertentu sebagai “asas tunggal”. Di samping itu, wakil

ternama dari kalangan nasionalis sekuler di bidang hukum, juga meragukan apakah

syari’at dapat memenuhi tuntutan dan tantangan suatu bangsa modern.41

Berikutnya, perdebatan berlanjut di dalam sidang tidak resmi dari 38 anggota

BPUPKI yang kemudian membuat sebuah panitia kecil42

, terdiri atas sembilan orang

yang terpilih (disebut Komisi Sembilan).43

Keputusan pokok sidang komisi tersebut

adalah lahirnya Piagam Jakarta (Jakarta Charter), yang memuat pula rumusan dasar

negara Indonesia (pada alenia keempat). Menjadi objek pertentangan kembali, sebab

mengandung “tujuh kata” yang mengistimewakan ajaran agama tertentu (Islam). Di

sidang-sidang BPUPKI selanjutnya, salah seorang anggota BPUPKI yang beragama

Kristen bernama Latuharhary keberatan atas kata “tujuh kata” tersebut.44

Reaksi pun

muncul dari kalangan nasionalis muslim diwakili Agus Salim yang menyatakan, jika

keamanan orang-orang itu (non Islam) tidak tergantung pada kekuasaan negara, tapi

pada adanya umat Islam yang 90 persen itu.45

Perdebatan panas masih berlangsung

yang tidak kurang dilakukan oleh Wongsonegoro serta H. Djajadiningrat (nasionalis

sekuler) dan A. Wahid Hasjim (nasionalis muslim), sampai akhirnya mereda setelah

ditengahi Soekarno.

Di perdebatan tahap kedua ketika sidang PPKI, Hatta mengajukan usul untuk

merubah beberapa hal dalam Mukaddimah (Piagam Jakarta), termasuk tentang dasar

negara yang intinya ingin tujuh kata Islamis dihilangkan setelah sebelumnya melobi

beberapa anggota PPKI berkenaan dengan konsep yang ditawarkannya. Meski pada

sidang PPKI masih diwarnai oleh perdebatan akan tetapi “kadarnya wajar” dan tidak

berarti. Usulan Hatta diterima, karena kepiawaiannya melobi terlebih dulu kalangan

nasionalis muslim46

. Saat sidang PPKI47

, usulannya (Hatta) memang tidak mendapat

counter yang berlebihan dari pihak nasionalis muslim.

41 Ibid, hlm. 44. 42 Baca Abnan Pancasilawati, Upaya Legitimasi Syari’at Islam dalam Hukum Nasional (Dialektika Sejarah UUD 1945 dan Piagam Jakarta), Artikel Ilmiah, STAIN Samarinda, Jurnal Mazahib Vol. IV, Nomor 2, 2007, hlm. 134. 43 Yaitu: Soekarno, Hatta, A. Soebardjo, Maramis, M. Yamin, Kahar Muzakkir, K. Agus Salim, Abikusno T., dan A. Wahid Hasjim. 44

Ibid, hlm. 136. 45 M. Yamin dalam Ibid. 46 Ki Bagus Hadikusumo, A. Wahid Hasjim, Kasman S., dan Teuku Hasan dari Sumatera.

Page 19: KEARIFAN DALAM “PERSALINAN” PANCASILA (Suatu Dekonstruksi Historis Tarik-Ulur Hingga Kompromi antara Kalangan Nasionalis Sekuler dengan Nasionalis Muslim)

16

B. Kompromi Dalam Perumusan Pancasila

Sama seperti halnya tarik-ulur dalam proses kelahiran Pancasila, kompromi

di tengah perumusan Pancasila antara kalangan nasionalis sekuler dengan nasionalis

muslim juga terdiri dari dua tahapan. Pertama, pada waktu sidang BPUPKI, tepatnya

ketika berlangsung sidang “non formal”. Kedua, saat sidang PPKI, satu hari setelah

kemerdekaan Indonesia. Bila dikaji secara mendetail, sesungguhnya antara kalangan

nasionalis sekuler dengan nasionalis Islam, masing-masing menyumbang satu sikap

kompromistis. Di sidang tidak resmi BPUPKI, nampak kubu nasionalis sekuler yang

berkompromi terhadap “konten” Piagam Jakarta 22 Juni 1945. Sedangkan, sewaktu

berlangsung sidang PPKI, terlihat bahwa kubu nasionalis muslim begitu legawa atau

kompromistis atas amandemen terbatas Piagam Jakarta.

Sidang (resmi) BPUPKI pertama yang beragendakan pembahasan mengenai

dasar negara memang sangat alot. Dua kalangan besar dalam sidang, yakni kalangan

nasionalis sekuler dan nasionalis muslim terlibat perdebatan seru. Setelah Soekarno

menutup sidang pertama BPUPKI tanggal 1 Juni 1945 dengan pidato Pancasila yang

mengesankan, sidang memasuki “masa reses”48

. Di sinilah, berlangsung sidang tidak

resmi BPUPKI yang dimimpin oleh Soekarno. Dari sidang tersebut terbentuk komisi

kecil (Komisi Sembilan) yang bertugas menyusun rancangan pembukaan UUD 1945

(Piagam Jakarta). Perdebatan sengit yang sempat terjadi perihal eksistensi tujuh kata

Islamis dalam sila pertama rumusan Pancasila tak sampai tataran mandeknya sidang

(dead lock). Akhirnya, kedua belah pihak berhasil mencapai titik temu lewat adanya

tambahan tujuh kata Islamis pada sila pertama rumusan Pancasila49

yaitu “kewajiban

menjalankan Syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Kemudian, tanggal 10 Juli

1945, Soekarno memaparkan “konsensus” yang telah dicapai oleh Komisi Sembilan

terkait rancangan UUD 1945.50

Lebih jauh Soekarno menjelaskan, Komisi Sembilan

menyetujui sebulat-bulatnya rancangan “preambul” dan dibuktikan dengan ratifikasi

seluruh anggota Komisi Sembilan.51

Jika ditelisik secara rinci, kita bisa mengamati

47 18 Agustus 1945. 48 Masa perhentian antara sidang pertama BPUPKI (28 Mei-1 Juni 1945) dengan sidang keduanya (10-16 Juli 1945). 49 Coba lihat Dyah Ochtorina, Prinsip Demokrasi Islam Dalam Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945, Artikel Ilmiah, Universitas Jember, Jurnal Ilmu Hukum Mizan, Vol. I, Nomor 1, 2012, hlm. 2. 50

Ibid. 51 Ratifikasi atau penandatanganan dilakukan di Jakarta pada tanggal 22 Juni 1945, tidak mengherankan jika kemudian rancangan preambul tersebut dinamai Piagam Jakarta (Jakarta Charter).

Page 20: KEARIFAN DALAM “PERSALINAN” PANCASILA (Suatu Dekonstruksi Historis Tarik-Ulur Hingga Kompromi antara Kalangan Nasionalis Sekuler dengan Nasionalis Muslim)

17

kerelaan sosial dari kalangan nasionalis sekuler yang dimanifestasikan dengan sikap

permisif terhadap pencantuman tujuh kata “berbau Islam” tersebut pada sila pertama

rumusan Pancasila.

Dalam perjalanan berikutnya, menjelang sidang PPKI 18 Agustus 1945. Ada

semacam ancaman dari golongan Katholik dan Protestan untuk keluar republik jika

tujuh kata Islamis pada sila pertama rumusan Pancasila tidak dihilangkan. Ancaman

tersebut dikirimkan lewat pesan yang dibawa oleh opsir Jepang kepada Hatta.52

Tak

berfikir panjang, “demi keutuhan (integrasi) nasional” Hatta lantas berinisiatif untuk

melobi beberapa tokoh nasionalis muslim guna membicarakan usulan perubahannya

terhadap Piagam Jakarta. Konstelasi politik yang genting (extra ordinary), memaksa

Hatta untuk memberanikan diri melakukan hal tersebut, berkeberatan atas keputusan

yang sebenarnya telah disetujuinya lewat sidang Komisi Sembilan. Hatta menginsafi

bahwa semangat, marwah Piagam Jakarta, tidak akan lenyap dengan menghilangkan

tujuh kata bermuatan Islamis.53

Gayung pun bersambut, perwakilan tokoh nasionalis

muslim dengan keikhlasan menyatakan setuju tentang tawaran Hatta, supaya bangsa

Indonesia tidak terpecah-pecah serta melukai perasaan umat Kristen.54

Akhirnya, di

sidang PPKI, Hatta mengajukan usulan secara resmi perihal penghilangan tujuh kata

Islamis yang ada dalam Piagam Jakarta, disertai berbagai usul lain.55

Walau sempat

melewati beberapa pembahasan, namun secara bulat PPKI menerima teks perubahan

preambul dan batang tubuh Undang-Undang Dasar, yang kemudian hari dikenal luas

sebagai Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Nampak sekali di sini sikap kompromi

yang diperlihatkan oleh kelompok nasionalis muslim atas penghilangan unsur-unsur

Islamis pada Piagam Jakarta. Jiwa nasionalisme serta kenegarawanan mereka begitu

besar sehingga “patut diapresiasi”, karena mengesampingkan kepentingan kelompok

demi kepentingan bangsa (nasional).

C. Dekonstruksi Historis, Nasionalisme, dan Toleransi

52 Ibid, hlm. 139. 53 Hatta dalam Ibid. 54 Hatta dalam Ibid. 55

1). Kata “Mukaddimah” diganti dengan kata “Pembukaan”; 2). Penghilangan tujuh kata Islamis dalam Piagam Jakarta; 3). Perubahan pasal 6 ayat 1 (kata-kata “dan beragama Islam dicoret”); 4). Penghilangan tujuh kata Islamis dalam pasal 29 ayat 1 sejalan dengan perubahan yang kedua.

Page 21: KEARIFAN DALAM “PERSALINAN” PANCASILA (Suatu Dekonstruksi Historis Tarik-Ulur Hingga Kompromi antara Kalangan Nasionalis Sekuler dengan Nasionalis Muslim)

18

Ibarat seorang bayi lahirnya Pancasila juga memerlukan “persalinan”. Hanya

proses kelahiran atau persalinannya harus diakui memang amat pelik, kompleks, dan

dramatis. Bagaimana tidak, ketegangan yang dipacu kontradiksi kepentingan hampir

saja menggugurkan jabang bayi yang baru akan lahir tersebut. Beruntung, kompromi

atau boleh dibilang “toleransi”, menyelamatkan nyawanya. Sungguh arif persalinan

Pancasila. Ini kiranya, peristiwa historis yang “urgen” untuk didekonstruksi (dibaca

ulang) terutama oleh pemuda agar tergugah, terbangun, semangat nasionalisme serta

toleransinya. Konsensus pada sidang PPKI tanggal 18 Agustus 1945, bagi F. Magnis

Suseno, memastikan bahwa Indonesia menjadi milik seluruh rakyat Indonesia, tanpa

terkecuali.56

Kesediaan kalangan nasionalis muslim, untuk tidak represif atas tempat

istimewa dalam UUD 1945 meskipun mereka merupakan “mayoritas” (di Indonesia)

memungkinkan keutuhan (persatuan) nasional dari Sabang hingga Merauke.

Dalam subbab ini, penulis akan berkonsentrasi terhadap pembahasan seputar

dekonstruksi historis persalinan ideologi Pancasila, yang dikorelasikan dengan nilai

nasionalisme dan toleransi (beragama). Pertama, menelaah “relevansi” dekonstruksi

sejarah proses kelahiran Pancasila dengan nasionalisme. Sesuai uraian Apter di atas

(kajian pustaka), bahwa nasionalisme pada frame ideologis, mengandung tiga aspek

yaitu: cognitive, goal, dan strategic. Sebagai cognitive, melalui dekonstruksi proses

lahirnya Pancasila masyarakat (termasuk generasi penerus bangsa) akan mempunyai

pengetahuan tentang cara pandang pluralis. Misalnya, merunut sikap kompromistis

yang ditunjukkan oleh kalangan nasionalis sekuler serta nasionalis muslim. Keadaan

sidang yang “panas” tidak lantas menyulut emosi kedua kubu. Bahkan, saling kritik

yang bernuansa konfrontatif pun dapat dikemas dengan retorika ilmiah, rasional, dan

sistematis. Meskipun mereka (dua kalangan tersebut), “mengusung” kepentingannya

masing-masing, terbukti jika tendensi pada “kepentingan nasional” tetap fokus yang

utama . Hal itu tidak mungkin terjadi tanpa cara pandang pluralis. Berkenaan dengan

selisih faham serta argumentasi adalah situasi yang lumrah dan wajar sebagai wujud

dari nilai demokratis. Tetapi, upaya resolusi yang ditempuh lewat deliberasi57

, sekali

lagi membuktikan betapa pluralisnya pola fikir founding fathers bangsa. Selanjutnya

dengan membaca ulang sejarah persalinan Pancasila, masyarakat juga akan tahu jika

56 Selengkapnya, baca Rindu Pancasila, Penerbit Buku Kompas, 2010, hlm. 17. 57 Demokrasi “khas” Indonesia, biasa disebut dengan “musyawarah”.

Page 22: KEARIFAN DALAM “PERSALINAN” PANCASILA (Suatu Dekonstruksi Historis Tarik-Ulur Hingga Kompromi antara Kalangan Nasionalis Sekuler dengan Nasionalis Muslim)

19

sejak awal berdirinya republik Indonesia memang dimaksudkan bagi semua.58

Sebab

Indonesia bukanlah negara agama. Sehingga, semangat untuk kembali mengibarkan

bendera fanatisme agama tertentu, sangat tidak berdasar. Secara substansial, value of

knowledge yang mampu dipetik dari dekonstruksi historis persalinan Pancasila ialah

pluralisme (multikulturalisme). Maka sesungguhnya, membaca ulang sejarah proses

lahirnya Pancasila sama artinya dengan pendidikan multikultural, yakni set of beliefs

dan penjelasan yang mengakui pentingnya keragaman etnis-budaya.59

Pada akhirnya

itu pula-lah, yang akan menjadi “pemantik” rasa nasionalisme.

Sebagai goal, dekonstruksi historis persalinan Pancasila memberi kontribusi

visi yang jelas. Antara lain, menciptakan kerukunan dan sikap saling menghargai. Di

samping itu, “berkat” membaca ulang sejarah proses kelahiran Pancasila masyarakat

terutama generasi muda yang masih fluktuatif emosionalnya juga tidak akan mudah

terpancing doktrin radikalisasi agama yang kian marak. Sebab, pemahaman terhadap

kearifan historis persalinan Pancasila yang lekat dengan nilai-nilai nasionalisme dan

pluralisme bisa menjadi pedoman (teladan) untuk bersikap bijak atas perbedaan. Hal

ini sangat urgen, mengingat struktur dari masyarakat Indonesia yang majemuk serta

rentan konflik (baik vertikal maupun horisontal).60

Sebagai strategic, dengan mendekonstruksi sejarah proses lahirnya Pancasila

kita menjadi mengerti bagaimana caranya berjuang, lalu praksisnya, dan kondisi kita

saat ini. Dalam “bingkai” perbedaan contohnya, cara berjuang yang bisa masyarakat

58

Sesuai dengan gagasan Soekarno, negara yang satu untuk semua, semua untuk satu, dan semua untuk semua. Sederhananya, negara yang tidak “mengistimewakan” golongan-golongan tertentu. 59

Lebih lanjut, coba lihat Banks pada Farida Hanum, Pendidikan Multikultural dalam Pluralisme Bangsa, Artikel Ilmiah, Universitas Negeri Yogyakarta, 2010, hlm. 4. 60

Contoh konflik vertikal di Indonesia adalah konflik Aceh dan Papua. Konflik vertikal Aceh, mempunyai sejarah panjang. Akar konflik berkaitan erat dengan hubungan otoritas antara pemerintah pusat dengan masyarakat dan elite sosial Aceh. Sedang konflik Papua, akar konfliknya relatif mirip dengan konflik Aceh terutama pada karakter diametralnya dengan pemerintah pusat. Tapi, diperparah pula oleh pengabaian kebutuhan sosial-ekonomi dan aspirasi masyarakat asli Papua. Berikutnya, contoh dari konflik horisontal di Indonesia adalah konflik Maluku serta Poso. Konflik Maluku, dipicu oleh perkelahian lintas etnis serta agama, yaitu supir bus beretnis Ambon beragama Kristen, dengan penumpang beretnis Bugis beragama Islam. Konflik yang berawal dari masalah sepele tersebut bahkan sempat juga bermetamorfosis menjadi konflik bersenjata berkat keterlibatan “oknum-oknum” yang menggunakan alat amatir (bom dan senjata rakitan). Sedang konflik Poso, secara alamiah memang bisa dikatakan berawal dari konflik agama. Tetapi ketika ditelusuri lebih jauh, sebenarnya karakter konflik Poso bersifat multiakar atau lebih rumit, karena ikut dipantik pula oleh provokasi pihak-pihak tertentu serta lingkungan yang berstruktur plural. Sehingga meningkatkan intensitas konflik. Lebih jauh coba lihat Basri dalam Arie Hendrawan, Aktualisasi Pancasila sebagai Ideologi Terbuka dalam Meretas Integrasi Nasional Murni dan Berkelanjutan di Tengah Struktur Majemuk Masyarakat Indonesia, Makalah, Universitas Negeri Semarang, dipaparkan pada saat kegiatan Pemilihan Mahasiswa Berprestasi Fakultas Ilmu Sosial, 2013, hlm. 12.

Page 23: KEARIFAN DALAM “PERSALINAN” PANCASILA (Suatu Dekonstruksi Historis Tarik-Ulur Hingga Kompromi antara Kalangan Nasionalis Sekuler dengan Nasionalis Muslim)

20

Indonesia lakukan yakni dengan memprioritaskan dialog serta “gaya” berfikir positif

untuk menyikapi setiap friksi ataupun konflik. Secara praksis hal tersebut diterapkan

melalui jalan deliberasi (musyawarah), seperti yang telah dipraktikkan oleh founding

fathers bangsa ketika sidang-sidang BPUPKI dan PPKI. Sedangkan, kondisi bangsa

Indonesia sekarang yang menurut Kusumohamidjojo kompleksitas masyarakat serta

kebudayaannya masing-masing berkarakter plural (jamak) sekaligus juga heterogen

(aneka ragam),61

rawan sekali terhadap pertentangan. Oleh karena itu, dekonstruksi

historis persalinan Pancasila sangat penting agar masyarakat, dan utamanya generasi

muda mengerti strategi-strategi moderat dalam menyikapi perbedaan sebagai wujud

nasionalisme (pengutamaan kepentingan nasional).

Kedua, tentang korelasi dekonstruksi historis dari proses kelahiran Pancasila

dengan toleransi. Jika kita mencermati seksama, dalam persalinan Pancasila nampak

begitu kental kandungan nilai-nilai toleransinya. Kesediaan baik kalangan nasionalis

sekuler maupun nasionalis muslim, untuk menyubordinasikan interesnya merupakan

sikap toleransi (beragama) yang kentara saat proses lahirnya Pancasila. Tidak heran

jika kemudian Pancasila sebagai “grundnorm”, adalah model ideal pluralitas agama

ala Indonesia.62

Lebih lanjut A. Syafi’i Ma’arif juga menambahkan bahwa Pancasila

merupakan hasil merger dari keberhasilan bapak pendiri bangsa yang berpandangan

toleran dan terbuka dalam beragama, serta perwujudan nilai-nilai kearifan lokal atas

warisan budaya nenek moyang.63

Sehingga, dengan membaca ulang sejarah lahirnya

Pancasila, akan meretas masyarakat serta generasi muda yang lebih toleran terhadap

keberagaman (khususnya agama) di Indonesia.

61 Lebih lanjut, cobalah simak Budiono Kusumohamidjodjo, Kebhinekaan Masyarakat di Indonesia Suatu Problematika Filsafat Kebudayaan, PT. Gramedia Widiasarana Indonesia, 2000, hlm. 45. 62 Cobalah perhatikan Eko Mukti, Signifikansi Pancasila Terhadap Pluralitas Agama di Indonesia, Skripsi, Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, 2008, hlm. 5. 63 Baca A. Syafi’i Ma’arif, Islam dan Masalah Kenegaraan, Studi tentang Percaturan dalam Konstituante, LP3ES, 1985, hlm. 109.

Page 24: KEARIFAN DALAM “PERSALINAN” PANCASILA (Suatu Dekonstruksi Historis Tarik-Ulur Hingga Kompromi antara Kalangan Nasionalis Sekuler dengan Nasionalis Muslim)

21

BAB IV

PENUTUP

A. Simpulan

Tarik-ulur atau perdebatan, dalam proses lahirnya Pancasila antara kalangan

nasionalis sekuler dengan nasionalis muslim sebenarnya dapat dipecah menjadi dua

tahapan. Pertama, pada saat berlangsung sidang BPUPKI64

. Perdebatan terjadi sejak

digulirkannya pertanyaan mengenai “dasar negara” oleh R. Widyodiningrat sebagai

pimpinan sidang, sesuai agenda dari sidang formal BPUKI I. Kemudian, perdebatan

berlanjut ketika sidang “non formal” BPUPKI (tepatnya di sidang Komisi Sembilan)

sewaktu masa reses dan pasca sidang tersebut (sesudah Piagam Jakarta memperoleh

legitimasi). Kedua, perdebatan yang timbul dalam sidang PPKI. Kadar tarik-ulurnya

tidak terlampau tinggi, karena sebelumnya Hatta sebagai salah satu tokoh nasionalis

sekuler telah “melobi” terlebih dahulu beberapa figur kalangan nasionalis muslim.

Seperti halnya perdebatan, kompromi dalam proses kelahiran Pancasila juga

terdiri dari dua tahapan. Pertama, saat berlangsung sidang non formal BPUPKI yang

lantas membentuk komisi kecil (Komisi Sembilan) guna merancang preambul dasar

negara. Di sini, kelompok nasionalis sekuler yang cenderung memperlihatkan sikap

legawa atas pencantuman kata-kata berunsur Islamis pada Piagam Jakarta (hasil dari

sidang Komisi Sembilan). Kedua, kompromi ketika sidang PPKI yang berimplikasi

dengan ancaman separatis pemeluk Katholik dan Protestan jika kata-kata Islamis di

Piagam Jakarta tidak dihilangkan. Dalam konteks ini, giliran tokoh-tokoh nasionalis

muslim yang menampilkan “kerelaan sosial” terhadap konsensus sidang PPKI untuk

menghapus kata-kata Islamis65

pada Jakarta Charter (Piagam Jakarta).66

64

Sidang formal pertama, sidang non formal, serta pasca sidang non formal BPUPKI. 65 Walaupun di era-era selanjutnya, (kembali) seringkali timbul “protes” dari kalangan nasionalis muslim terhadap eksistensi Pancasila (saat muncul program P-4 atau Eka Prasetya Pancakarsa dan asas tunggal Pancasila bagi Orpol dan Ormas), tapi keberadaan Pancasila “toh” masih lestari. Itu menjadi bukti bahwa Pancasila memang ideologi yang “fit” bagi Indonesia karena bisa merangkul setiap unsur sosial Indonesia tanpa terkecuali. Berbagai Orpol dan Ormas Islam pun kini banyak yang mendukung Pancasila. Kita bisa ambil contoh PPP (lihat PPP dalam Lintas Sejarah, www.ppp.or.id, 2012, diakses tanggal pada tanggal 28 Mei 2013), PKS (dapat disimak dalam PKS Konsisten Mendukung Pancasila Tapi Tak Setuju Asas Tunggal, www.suaranews.com, 2013, diakses pada tanggal 28 Mei 2013), dan PKB (baca Pancasila, NU, dan PKB, www.edukasi.kompasiana.com, 2013, diakses pada tanggal 28 Mei 2013) sebagai Organisasi Politik atau Partai Politik Islam yang mendukung Pancasila. Kemudian, NU dan Muhammadiyah sebagai Ormas Islam

Page 25: KEARIFAN DALAM “PERSALINAN” PANCASILA (Suatu Dekonstruksi Historis Tarik-Ulur Hingga Kompromi antara Kalangan Nasionalis Sekuler dengan Nasionalis Muslim)

22

Mendekonstruksi (membaca ulang) sejarah persalinan Pancasila, merupakan

sesuatu yang amat penting. Setidaknya, terdapat dua “justifikasi kuat” yang menjadi

landasan hal tersebut. Pertama, terkait dengan pembangunan nasionalisme. Dengan

membaca ulang sejarah proses kelahiran Pancasila, masyarakat Indonesia khususnya

generasi muda akan memahami aspek cognitive, goal, dan strategic (nasionalisme di

dalam kerangka ideologis) yang nantinya berfungsi sebagai penggugah nasionalisme

negara. Kedua, berhubungan dengan penciptaan rasa toleransi. Melalui dekonstruksi

historis sejarah persalinan Pancasila, semua masyarakat Indonesia terutama generasi

muda akan menangkap “kearifan” proses lahirnya Pancasila yang memuat nilai-nilai

toleransi untuk kemudian diamalkan. Hal ini urgen, di tengah kehidupan masyarakat

Indonesia yang kerapkali dirundung konflik antar kelompok. Padahal, jika mengacu

pernyataan Fukuyama, bahwa ancaman terbesar abad ke-21 ialah negara gagal yang

salah satunya ditandai oleh konflik antar kelompok.67

Terakhir mengutip ucapan Soe

Hok Gie, jangan ada lagi sikap benci pada siapapun, agama apapun, ras apapun, dan

bangsa apapun, lupakan peperangan serta kebencian, sibuklah dengan pembangunan

dunia yang lebih baik.

B. Saran

1. Tinjauan tentang kearifan dalam proses kelahiran Pancasila, harusnya diberikan

dalam jenjang pendidikan menengah ke atas (SMA) serta pendidikan tinggi (PT)

agar siswa maupun mahasiswa dapat tergugah nasionalisme dan toleransinya.

2. Setiap masyarakat Indonesia terutama generasi muda, harus bisa mengaktualkan

nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila dan proses kelahiran Pancasila.

3. Seluruh masyarakat Indonesia khususnya generasi muda harus dapat mengambil

pelajaran dari kearfian “persalinan” Pancasila dengan mendekonstruksinya guna

membangun nasionalisme.

juga mendukung penuh Pancasila (coba lihat NU, Muhammadiyah, DGI, Dukung Ormas Dengan Catatan, www.beritasore.com, 2013, diakses pada tanggal 28 Mei 2013). Namun, bermacam ancaman yang ingin merubah Pancasila dan tindakan-tindakan intoleransi harus pula diperhatikan, karena masih senantiasa “mengintai” keutuhan atau integrasi nasional. 66 Meski demikian tidak tepat apabila Indonesia dengan ideologi Pancasila-nya dikatakan sebagai negara sekuler. Sebab sebagaiamana diungkapkan Mahfud, Indonesia adalah negara kebangsaan religius, tetapi bukan negara agama ataupun bukan negara sekuler. Lebih lengkap, coba lihat dalam Syarif Hidayatullah, Menakar Azas Tunggal Pancasila Pasca Reformasi, Makalah, Universitas Gadjah Mada, disampaikan saat Kongres Pancasila IV di Universitas Gadjah Mada, 2012, hlm. 27. 67 Ibid, hlm. 3.

Page 26: KEARIFAN DALAM “PERSALINAN” PANCASILA (Suatu Dekonstruksi Historis Tarik-Ulur Hingga Kompromi antara Kalangan Nasionalis Sekuler dengan Nasionalis Muslim)

23

4. Semua masyarakat Indonesia utamanya para generasi muda harus dapat memetik

hikmah dari kearifan proses kelahiran Pancasila dengan cara membaca ulangnya

untuk menciptakan rasa toleransi (beragama).

Page 27: KEARIFAN DALAM “PERSALINAN” PANCASILA (Suatu Dekonstruksi Historis Tarik-Ulur Hingga Kompromi antara Kalangan Nasionalis Sekuler dengan Nasionalis Muslim)

24

DAFTAR PUSTAKA

Buku

_____ . 2006. Proses Pelapukan. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.

_____ . 2010. Rindu Pancasila. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.

Hamidi, Jazim, dkk. 2010. Civic Education. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Ismail, Faisal. 1999. Ideologi Hegemoni dan Otoritas Agama. Yogyakarta: PT Tiara ----

Wacana Yogya.

Joeniarto. 2001. Sejarah Ketatanegaraan Republik Indonesia. Jakarta: Bumi Aksara.

Kartodirjo, Sartono. 1999. Multidimensi Pembangunan Bangsa Etos Nasionalisme dan

Negara Kesatuan. Yogayakarta: Kanisius.

Kusumohamidjodjo, Budiono. 2000. Kebhinekaan Masyarakat di Indonesia Suatu ------

Problematika Filsafat Kebudayaan. Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana ---------

Indonesia.

Ma’arif, A., Syafi’i. 1985. Islam dan Masalah Kenegaraan, Studi tentang Percaturan --

dalam Konstituante. Jakarta: LP3ES.

Mangkusasmito, Prawoto. 1970. Pertumbuhan Historis Rumus Dasar Negara dan ------

Sebuah Refleksi. Jakarta: Hudaya.

Ritter, Herry. 1986. Dictionary of Concept in History. New York: Greenwood.

Smith, A.D. 1979. Nationalist Movement. London: Macmillan Press.

Soegito, A.T., dkk. 2010. Pendidikan Pancasila. Semarang: Unnes Press.

Sunoto. 1981. Mengenal Filsafat Pancasila. Yogyakarta: Fakultas Ekonomi Universitas

Islam Indonesia.

Artikel Ilmiah, Skripsi, dan Makalah

Adisusilo, Sutarjo. 2008. Nasionalisme-Demokrasi-Civil Society. Artikel Ilmiah. --------

Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

Anhar. 2009. Nasionalisme Religius: Identitias Wawasan Kebangsaan Umat Islam -----

Indonesia. Makalah. STAIN Padangsidimpuan Sumatera Utara. Dipresentasikan

dalam Annual Conference on Islamic Studies IX.

Page 28: KEARIFAN DALAM “PERSALINAN” PANCASILA (Suatu Dekonstruksi Historis Tarik-Ulur Hingga Kompromi antara Kalangan Nasionalis Sekuler dengan Nasionalis Muslim)

25

Hanum, Farida. 2010. Pendidikan Multikultural dalam Pluralisme Bangsa. Artikel -----

Ilmiah. Universitas Negeri Yogyakarta.

Hendrawan, Arie. 2013. Aktualisasi Pancasila sebagai Ideologi Terbuka dalam Meretas

Integrasi Nasional Murni dan Berkelanjutan di Tengah Struktur Majemuk -------

Masyarakat Indonesia. Makalah. Universitas Negeri Semarang. Dipaparkan ----

pada saat kegiatan Pemilihan Mahasiswa Berprestasi Fakultas Ilmu Sosial.

Hidayatullah, Syarif. 2012. Menakar Azas Tunggal Pancasila Pasca Reformasi. ---------

Makalah. Universitas Gadjah Mada. Disampaikan saat Kongres Pancasila IV di

Universitas Gadjah Mada.

Mukti, Eko. 2008. Signifikansi Pancasila Terhadap Pluralitas Agama di Indonesia. ----

Skripsi. Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga.

Ochtorina, Dyah. 2012. Prinsip Demokrasi Islam Dalam Undang-Undang Dasar -------

Republik Indonesia Tahun 1945. Artikel Ilmiah. Universitas Jember. Jurnal Ilmu

Hukum Mizan, Vol. I, Nomor 1.

Pancasilawati, Abnan. 2007. Upaya Legitimasi Syari’at Islam dalam Hukum Nasional -

(Dialektika Sejarah UUD 1945 dan Piagam Jakarta). Artikel Ilmiah. STAIN ---

Samarinda. Jurnal Mazahib Vol. IV, Nomor 2.

Internet

_____ . 2012. Kapolri: Teroris Muda Lebih Membahayakan. www.merdeka.com. ------

Diakses pada tanggal 28 Mei 2013.

_____ . 2012. PPP dalam Lintas Sejarah. www.ppp.or.id. Diakses tanggal pada tanggal

28 Mei 2013.

_____ . 2013. PKS Konsisten Mendukung Pancasila Tapi Tak Setuju Asas Tunggal. ---

www.suaranews.com. Diakses pada tanggal 28 Mei 2013.

_____ . 2013. Pancasila, NU, dan PKB. www.edukasi.kompasiana.com. Diakses pada

tanggal 28 Mei 2013.

_____ . 2013. NU, Muhammadiyah, DGI, Dukung Ormas Dengan Catatan. -------------

www.beritasore.com. Diakses pada tanggal 28 Mei 2013.

Kurniawan, Haris. 2013. Ada Kelompok yang Ingin Mengubah Ideologi Pancasila?. ----

www.nasional.sindonews.com. Diakses pada tanggal 28 Mei 2013.

Page 29: KEARIFAN DALAM “PERSALINAN” PANCASILA (Suatu Dekonstruksi Historis Tarik-Ulur Hingga Kompromi antara Kalangan Nasionalis Sekuler dengan Nasionalis Muslim)

26

Mahareni, Dian. 2012. Jaringan Teroris Muda Siapkan Bom Berkekuatan Besar. --------

www.indonesiacompanynews.com. Diakses pada tanggal 28 Mei 2013.

Page 30: KEARIFAN DALAM “PERSALINAN” PANCASILA (Suatu Dekonstruksi Historis Tarik-Ulur Hingga Kompromi antara Kalangan Nasionalis Sekuler dengan Nasionalis Muslim)

27

LAMPIRAN

A. Biodata Penulis

1. Nama Lengkap : Arie Hendrawan

2. NIM : 3301410053

3. Tempat, Tanggal Lahir : Kudus, 28 Agustus 1992

4. Alamat : Ds. Jepang, Kec. Mejobo, Kab. Kudus

5. Fakultas/ Prodi : Ilmu Sosial/ PPKn

6. Perguruan Tinggi : Universitas Negeri Semarang

7. No. HP : 085740228837

8. E-mail : [email protected]

9. Prestasi :

a). Juara 1 Political Writing Competition (Potret) Tingkat Nasional 2012

b). Juara 2 Artikel tentang Presiden Masa Depan Tingkat Nasional 2012

c). Juara 1 Essay Interfest Tingkat Nasional Tahun 2012

d). Juara 3 Artikel Ilmiah tentang Kebijakan Ilmiah Tingkat Nasional 2012

e). 30 Besar Artikel Internet Cerdas Indonesia (ICI) Tingkat Nasional 2012

f). Juara 2 Lomba Debat Pendidikan Tingkat Provinsi 2012

g). Tulisan dimuat di Rubrik Kompas Kampus, Kompas 2012

h). Tulisan dimuat di Rubrik Debat Kampus, Suara Merdeka 2012

i). Juara 3 Mahasiswa Berprestasi Fakultas Ilmu Sosial, Unnes 2013

j). Juara 1 Lomba Debat Kurikulum 2013 Tingkat Universitas 2013

k). Juara 1 Lomba Essay Gema Keadilan Tingkat Jateng dan DIY 2013

10. Scan Kartu Tanda Mahasiswa :

Page 31: KEARIFAN DALAM “PERSALINAN” PANCASILA (Suatu Dekonstruksi Historis Tarik-Ulur Hingga Kompromi antara Kalangan Nasionalis Sekuler dengan Nasionalis Muslim)

28

B. Pernyataan Orisinalitas Karya

Yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : Arie Hendrawan

Tempat, Tanggal Lahir : Kudus, 28 Agustus 1992

NIM : 3301410053

Fakultas/ Jurusan : Ilmu Sosial/ Politik dan Kewarganegaraan

Menyatakan bahwa Karya Tulis Ilmiah saya ini, yang berjudul “KEARIFAN

DALAM “PERSALINAN” PANCASILA (Suatu Dekonstruksi Historis Tarik-Ulur

Hingga Kompromi antara Kalangan Nasionalis Sekuler dengan Nasionalis Muslim)”

adalah bukan merupakan hasil Karya Tulis orang lain baik secara sebagian, maupun

keseluruhan. Kecuali, pada bentuk kutipan-kutipan (footnote) yang telah disebutkan

sumbernya. Selanjutnya, Karya Tulis Ilmiah tersebut juga belum pernah dilombakan

serta diterbitkan sebelumnya.

Demikian surat pernyataan ini dibuat dengan sebenar-benarnya, dan apabila

pernyataan ini tidak benar, maka saya bersedia mendapatkan sanksi akademik.

Semarang, 9 Juni 2013

Yang Menyatakan,

Arie Hendrawan