Upload
arie-hendrawan
View
2.321
Download
2
Embed Size (px)
DESCRIPTION
Penulis merasa tergugah hatinya, untuk berusaha memberikan pemaparan logis dan ilmiah terkait pentingnya nasionalisme serta sikap toleransi antar umat beragama. Caranya, dengan mendekonstruksi (membaca ulang) sejarah proses lahirnya “philosophiche grondslag Indonesia (Pancasila)” yang penuh kearifan. Salah satunya, termanifestasi dalam tarik-ulur hingga kompromi di antara dua kelompok founding fathers bangsa saat itu. Masing-masing, kalangan nasionalis sekuler dan nasionalis muslim. Sila pertama Pancasila yang sensitif, dapat dikatakan episentrum “gempa perdebatan” tersebut. Walaupun, akhirnya, semua sepakat untuk melegitimasi Pancasila tanpa tendensi “pengistimewaan” ajaran agama tertentu. Hal inilah yang selanjutnya menarik dibaca ulang supaya setiap Warga Negara Indonesia belajar betapa urgennya nilai-nilai nasionalisme serta toleransi.
Citation preview
GENERASI MUDA MEMAKNAI PANCASILA
KEARIFAN DALAM “PERSALINAN” PANCASILA
(Suatu Dekonstruksi Historis Tarik-Ulur Hingga Kompromi antara
Kalangan Nasionalis Sekuler dengan Nasionalis Muslim)
Oleh:
Arie Hendrawan
Jurusan Politik dan Kewarganegaraan
Fakultas Ilmu Sosial
Universitas Negeri Semarang
LOMBA KARYA TULIS NASIONAL (LOKATNAS) 2013
PRESIDENT UNIVERSITY MAJOR ASSOCIATION OF LAW
PRESIDENT UNIVERSITY – JAKARTA
i
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI .......................................................................................................... i
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ....................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ................................................................................... 3
C. Tujuan Penulisan .................................................................................... 3
D. Manfaat Penulisan .................................................................................. 3
BAB II KAJIAN PUSTAKA
A. Sejarah Lahirnya Pancasila ..................................................................... 5
B. Kalangan Nasionalis Sekuler dan Nasionalis Muslim .............................. 7
C. Arti Penting Nasionalisme ...................................................................... 8
BAB III METODE PENULISAN
A. Sumber dan Jenis Data ............................................................................ 11
B. Teknik Pengumpulan Data ...................................................................... 11
C. Analisis Data .......................................................................................... 11
D. Penarikan Simpulan ................................................................................ 12
BAB IV PEMBAHASAN
A. Tarik-Ulur dalam Proses Kelahiran Pancasila ......................................... 13
B. Kompromi dalam Perumusan Pancasila .................................................. 16
C. Dekonstruksi Historis, Nasionalisme, dan Toleransi ................................ 17
BAB V PENUTUP
A. Simpulan ................................................................................................ 21
B. Saran ...................................................................................................... 22
DAFTAR PUSTAKA
ii
LAMPIRAN
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Secara leksikal, “nasionalisme”, telah ada sejak lama. Menurut pendapat Abe
Barruel, kata “nasionalisme” untuk pertama kali dipakai pada awal abad ke-15 yang
diperuntukkan bagi para mahasiswa yang datang dari daerah sama atau mempunyai
bahasa sama, sehingga mereka itu (di kampus yang baru dan daerah baru) tetap cinta
terhadap bangsa atau suku asal mereka.1 Pengertian nasionalisme sendiri, kemudian
berkembang dinamis sebagai pelabelan terhadap “kepentingan nasional (nation)”, di
atas interes kelompok maupun golongan tertentu. Sesuai dengan gagasan dari Adolf
Heuken misalnya, menganggap nasionalisme suatu pandangan yang asksentuasinya
terhadap bangsa.2 Hal senada “diamini” pula oleh Hans Khon, dalam bukunya yang
berjudul “Nasionalisme Arti dan Sejarahnya”. Khon, mengasosiasikan nasionalisme
dengan perasaan loyalitas tertinggi kepada bangsa.3 Lebih lanjut, beberapa ahli lain
seperti Rudolf Kjellen4 dan A. D. Smith
5 juga berparadigma demikian.
Ketika arus perubahan zaman kian progresif, segenap masyarakat Indonesia
dituntut untuk semakin responsif. Sebab, kini muncul dua ancaman yang berpeluang
besar mengganggu stabilitas integrasi nasional. Pertama, ancaman dari optik internal
berupa konflik vertikal-horisontal. Kedua, yaitu ancaman secara eksternal berbentuk
ekspansi (penanaman) pengaruh asing. Di sinilah letak urgensi nasionalisme sebagai
perekat aspek kebangsaan. Peranan generasi muda sebagai agen intelektual dan agen
perubahan, menjadi perintis serta pelopor dalam menstimulus rasa nasionalisme juga
sangat diperlukan. Sedang dari sudut general, baik pemuda maupun seluruh lapisan
masyarakat Indonesia sudah semestinya turut melecut (kembali) nasionalisme. Sama
sewaktu masyarakat Indonesia tengah dijajah kolonial Belanda, maupun Jepang.
1 Fenomena tersebut terjadi di Jerman. Untuk lebih jauh, coba lihat Herry Ritter, Dictionary of Concept in History, Greenwood, 1986, hlm. 286. 2 Baca Jazim Hamidi, dkk, Civic Education, 2010, Gramedia Pustaka Utama, hlm. 168. 3 Ibid. 4 Argumentasi Rudolf Kjellen dapat dilihat di Ibid.
5 Definisi nasionalisme yang diungkapkan oleh Smith ada pada A.D. Smith, Nationalist Movement, 1979, Macmillan Press, hlm. 1.
2
Tanpa bermaksud mengindahkan ancaman eksternal, ancaman internal ialah
ancaman yang harus dituntaskan terlebih dulu. Layaknya sebuah “konstruksi” rumah
yang belum kuat, tentu akan kewalahan menghadapi bahaya dari luar, semisal angin
kencang hingga gempa bumi. Namun realitasnya, lokalitas dan eksklusivitas sempit
beberapa kelompok justru mengingkari ke-“bhineka”-an bangsa Indonesia. Berbagai
friksi yang bermuara pada ketegangan berbasis justifikasi fanatisme, sarkasme, serta
cauvisme nyata-nyata merajalela. Contoh saja, polarisasi yang disusul konflik lintas
agama “kompleks” di Poso, penyerangan membabi buta terhadap penganut Syi’ah di
Sampang, tragedi trans-etnis di Sampit, sampai gerakan ekstrimis-radikalis (teroris)
yang senantiasa meresahkan masyarakat6. Maka tidak mengherankan bila Columbijn
dan Thomas Lindblad dalam bukunya-Roots of Violence in Indonesia-pernah berujar
Indonesia merupakan “negara kekerasan”7. Coba bayangkan, intensitas pertentangan
etno-komunal di Indonesia pada kurun 1990-2003 (hanya 13 tahun), menembus 599
kejadian.8
Bahkan di sisi lain, internalisasi nilai-nilai Pancasila yang masih parsial telah
melahirkan golongan tertentu yang ingin mengubah ideologi Pancasila.9 Hal tersebut
juga mengindikasikan, “sebagian” masyarakat yang belum memahami nasionalisme
secara utuh karena lebih menitikberatkan pada kepentingan golongan, dibandingkan
dengan kepentingan nasional. Meskipun terang, Pancasila sebagai “volkgeist” adalah
pandangan hidup bangsa yang koheren dalam kehidupan masyarakat Indonesia sejak
dahulu kala.10
Substansinya pun memang cocok dengan konstelasi sistem sosial dari
masyarakat Indonesia yang “majemuk (meminjam tesis Nasikun)”, karena Pancasila
tidak merepresi penyeragaman, melainkan penyatuan.
6 Celakanya, aksi terorisme cukup signifikan melibatkan remaja dan jauh lebih membayakan. Umur yang
belum matang serta labilitas emosional, membuat pemuda mudah untuk diradikalkan (dipupuk sifat dan rasa bencinya terhadap pihak-pihak teretentu). Lebih lengkap, coba lihat pendapat Jenderal Polisi Timur Pradopo di Kapolri: Teroris Muda Lebih Membahayakan, www.merdeka.com, 2012, diakses pada tanggal 28 Mei 2013, dan pandangan Brigadir Jenderal Boy Rafli oleh berita dari Dian Mahareni, Jaringan Teroris Muda Siapkan Bom Berkekuatan Besar, www.indonesiacompanynews.com, 2012, diakses pada tanggal 28 Mei 2013. 7 Cermati Proses Pelapukan, Penerbit Buku Kompas, 2006, hlm. 44. 8 Ibid, hlm. 45. 9 Lebih jauh, coba perhatikan Haris Kurniawan, Ada Kelompok yang Ingin Mengubah Ideologi Pancasila?, www.nasional.sindonews.com, 2013, diakses pada tanggal 28 Mei 2013. 10
Secara kultural unsur-unsur Pancasila ada pada adat istiadat, tulisan, bahasa, slogan, kebudayaan, dari masyarakat Indonesia kebanyakan. Lebih lanjut coba baca Sunoto, Mengenal Filsafat Pancasila, Fakultas Ekonomi Universitas Islam Indonesia, 1981, hlm. 1.
3
Berangkat dari pemahaman “sebagian” masyarakat, utamanya pemuda, yang
sangat minim terhadap Pancasila. Penulis merasa tergugah hatinya, untuk berusaha
memberikan pemaparan logis dan ilmiah terkait pentingnya nasionalisme serta sikap
toleransi antar umat beragama. Caranya, dengan mendekonstruksi (membaca ulang)
sejarah proses lahirnya “philosophiche grondslag Indonesia (Pancasila)” yang penuh
kearifan. Salah satunya, termanifestasi dalam tarik-ulur hingga kompromi di antara
dua kelompok founding fathers bangsa saat itu. Masing-masing, kalangan nasionalis
sekuler dan nasionalis muslim. Sila pertama Pancasila yang sensitif, dapat dikatakan
episentrum “gempa perdebatan” tersebut. Walaupun, akhirnya, semua sepakat untuk
melegitimasi Pancasila tanpa tendensi “pengistimewaan” ajaran agama tertentu. Hal
inilah yang selanjutnya menarik dibaca ulang supaya setiap Warga Negara Indonesia
belajar betapa urgennya nilai-nilai nasionalisme serta toleransi.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah tarik-ulur kalangan nasionalis sekuler dengan nasionalis muslim
dalam proses kelahiran Pancasila?
2. Bagaimanakah kompromi kalangan nasionalis sekuler dengan nasionalis muslim
dalam perumusan Pancasila?
3. Bagaimanakah dekonstruksi historis dari kearifan “persalinan” Pancasila dalam
membangun nasionalisme dan toleransi beragama?
C. Tujuan
1. Mengidentifikasi tarik-ulur antara kalangan nasionalis sekuler dengan nasionalis
muslim dalam proses kelahiran Pancasila.
2. Mengetahui kompromi di tengah kalangan nasionalis sekuler dengan nasionalis
muslim dalam perumusan Pancasila.
3. Menganalisis dekonstruksi sejarah nilai-nilai kearifan perumusan Pancasila guna
membangun nasionalisme dan toleransi beragama.
D. Manfaat
1. Teoritis
4
a. Menyajikan spesifikasi teoritis mengenai tarik-ulur hingga kompromi antara
kalangan nasionalis sekuler dengan nasionalis muslim, pada saat perumusan
Pancasila.
b. Menambah wacana ilmiah tentang urgenitas dekonstruksi historis, tarik-ulur
sampai pada kompromi antara kalangan nasionalis sekuler dengan nasionalis
muslim ketika perumusan Pancasila.
2. Praktis
a. Membangkitkan kembali nasionalisme dan meniadakan sikap individualistis
segenap masyarakat Indonesia terutama generasi muda.
b. Mengkampanyekan sikap toleransi antar umat beragama dengan belajar dari
peristiwa sejarah “persalinan” ideologi Pancasila.
c. Mengeksplorasi kearifan historis, soal tarik-ulur hingga kompromi kalangan
nasionalis sekuler dengan nasionalis muslim dalam proses kelahiran ideologi
negara (Pancasila).
d. Memotivasi dan “men-siuman-kan” semua masyarakat Indonesia, khusunya
para pemuda untuk mengenal serta mengamalkan nilai-nilai Pancasila.
5
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Sejarah Lahirnya Pancasila
Lahirnya Pancasila dalam konteks ini, tidak merujuk kepada pidato Soekarno
di tanggal 1 Juni 1945 dengan judul “Pancasila” yang kemudian hari dikenal sebagai
tanggal lahirnya Pancasila. Akan tetapi, merujuk kepada rumusan eksplisit Pancasila
sebagai “dasar negara” dalam pembukaan UUD 1945 yang baru disahkan tanggal 18
Agustus 1945. Karena prinsipnya, penulis berkeyakinan bahwa pidato Soekarno saat
sidang BPUPKI I masih sebatas frame serta merupakan pandangan pribadi Soekarno
semata. Artinya, belum merepresentasi hasil definitif persidangan BPUPKI, Komisi
Sembilan ataupun PPKI.11
Walaupun, rumusan Pancasila “versi Soekarno-lah” yang
akhirnya paling mirip dan termaktub dalam Piagam Jakarta (sah 22 Juni 1945) serta
pembukaan UUD 1945 (sah 18 Agustus 1945).
Awal lahirnya Pancasila tidak terlepas dari pembentukan BPUPKI di tanggal
24 April 1945 yang bertepatan dengan tanggal Ulang Tahun “Kaisar Jepang”, Tenno
Heika.12
Jika diklasifikasikan, BPUPKI melaksanakan sidangnya dalam dua tahapan
yaitu tanggal 29 Mei-1 Juni 1945 (pertama) dan sidang pada tanggal 10-16 Juli 1945
(kedua).13
Dalam sidang BPUPKI pertama, Radjiman Widyodiningrat sebagai ketua
meminta agar peserta sidang mengemukakan “dasar negara (philosofiche grondslag
atau welt anschaung)”. Menanggapi inisiatif itu M. Yamin, menyampaikan pidato di
mana ada lima prinsip yang diajukannya sebagai dasar negara:
11
Selain itu, meski rumusan Pancasila yang dikemukakan Soekarno di muka sidang BPUPKI I paling mirip dengan yang terdapat dalam Piagam Jakarta dan pembukaan UUD 1945, sebenarnya Soekarno tidak bisa dinyatakan sebagai “pencipta Pancasila”. Ketika hanya berbicara tentang ke-“mirip”-an, M. Yamin pada tanggal 29 Mei 1945 juga telah menyampaikan pidato seputar dasar negara yang mirip dengan rumusan Pancasila di Piagam Jakarta, maupun pembukaan UUD 1945. Jadi penulis lebih setuju, apabila Soekarno dikatakan sebagai “pencipta istilah dan/ atau perumus Pancasila”, bukan “pencipta Pancasila”. Demikian pula M. Yamin, yang lebih tepat jika dibilang memiliki sumbangsih untuk “perumusan Pancasila”, bukan “pencipta Pancasila”. Sebab, “pembeda” dari Pancasila dengan ideologi-ideologi lain dunia terletak pada mekanisme penciptaannya. Pancasila, bukan “produk kontemplasi atau penciptaan” oleh seseorang atau sekelompok orang. Karena hakikatnya, Pancasila sudah koheren dalam kehidupan masyarakat Indonesia (de facto), jauh-jauh hari sebelum Pancasila “disahkan” secara yuridis (de jure). Sehingga peran founding fathers bangsa sekalipun, hanyalah sebatas “perumus”, “tidak pencipta”. 12
Baca Muhammad Yamin dalam Faisal Ismail, Ideologi Hegemoni dan Otoritas Agama, PT Tiara Wacana Yogya, 1999, hlm. 17. 13 Lihat Joeniarto, Sejarah Ketatanegaraan Republik Indonesia, Bumi Aksara, 2001, hlm. 24.
6
1. Perikebangsaan
2. Perikemanusiaan
3. Periketuhanan
4. Perikerakyatan
5. Kesejahteraan Rakyat.14
Konfigurasi anggota BPUPKI yang “terpecah”, menjadi dua kelompok besar
(kelompok nasionalis sekuler dan nasionalis muslim) memberikan peragaman warna
tersendiri bagi perumusan dasar negara (Pancasila). Perbedaan yang mencolok bisa
terlihat dari political will kubu nasionalis sekuler untuk memisahkan permasalahan
agama dengan negara. Sedangkan kalangan nasionalis muslim, berkeinginan bahwa
Negara Indonesia berdasarkan Hukum Islam (Syari’at Islam). Ketegangan seru yang
timbul antara kedua kelompok tersebut, memang “hanya berkutat” seputar landasan
falsafah negara. Sampai akhirnya, Soekarno di tanggal 1 Juni 1945, menyampaikan
pidato perihal konsepsi usulan dasar negara. Sama seperti halnya Yamin, Soekarno
menawarkan lima asas sebagai dasar negara, meskipun dengan “esensi” yang sedikit
berbeda:
1. Kebangsaan Indonesia
2. Internasionalisme atau perikemanusiaan
3. Mufakat atau demokrasi
4. Kesejahteraan sosial
5. Ketuhanan Yang Maha Esa.15
Setelah pidato Soekarano, sebuah komisi kecil (biasa disebut dengan Komisi
Sembilan) dibentuk dengan beranggotakan sembilan tokoh: Soekarno, Hatta, Ahmad
Soebardjo, Maramis, M. Yamin, Kahar Muzakkir, K. Agus Salim, Abikusno T., dan
A. Wahid Hasjim. Setelah melalui perdebatan panas, terjadi kesepakatan bersejarah
yang oleh M. Yamin dinamakan Piagam Jakarta (Jakarta Charter). Di dalamnya ada
rumusan Pancasila (yang dipakai ialah usulan dari Soekarno dengan penyempurnaan
seperlunya). Namun demikian masih terdapat frasa yang kontroversial, yakni berada
pada sila pertama: Ketuhanan “dengan kewajiban menjalankan Syari’at Islam bagi
pemeluk-pemeluknya”16
. Diratifikasi tanggal 22 Juni 1945, Piagam Jakarta ditujukan
sebagai rancangan UUD 1945.
14 Ibid, hlm. 20. 15 Ibid, hlm. 20-21. 16
Frasa yang kontroversial diapit dengan tanda petik dua (“-“). Isi selengkapnya, baca Naskah Persiapan UUD 1945 dalam Ibid, hlm. 33. Tidak bisa dipungkiri modifikasi atau penyempurnaan rumusan Pancasila versi Soekarno pada Piagam Jakarta adalah berkat dorongan faksi nasionalis muslim yang menginginkan
7
Berikutnya, kelahiran PPKI17
(7 Agustus 1945) yang diketuai Soekarno dan
Hatta sebagai wakil ketua, membawa babak baru untuk Pancasila. Menjelang sidang
pertama tanggal 18 Agustus 1945, Hatta mengusulkan “perubahan” rancangan UUD
1945 dan isinya18
(hasil Piagam Jakarta). Hatta, keberatan dengan frasa “kewajiban
menjalankan Syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya” di sila pertama dari rumusan
Pancasila karena mengacu ancaman pemeluk “Katholik dan Protestan” pada wilayah
Indonesia Timur yang akan memisahkan diri dengan Indonesia, ketika frasa tersebut
tidak dihapus atau diganti. Mereka menilai hadirnya frasa yang memuat kata Islamis
merupakan diskriminasi terhadap kelompok minoritas.19
Usulan Hatta diterima, dan
tanggal 18 Agustus 1945, PPKI menetapkan UUD 1945 secara resmi sebagai dasar
negara20
setelah sebelumnya diperbaharui sejumlah bagiannya yang dianggap dapat
menimbulkan kontroversi jika diindahkan. Termasuk juga sila pertama dari rumusan
Pancasila, yang hingga kini hanya berbunyi: Ketuhanan Yang Maha Esa.
B. Kalangan Nasionalis Sekuler dan Nasionalis Muslim
Faisal Ismail dalam bukunya, Ideologi Hegemoni dan Otoritas Agama, telah
secara “gamblang” menjelaskan definisi kalangan nasionalis sekuler, dan nasionalis
muslim. Ia mengikhtisar berbagai sumber, antara lain dari Anshari, Deliar Noer, dan
Bernard Dahm.21
Menurutnya, nasionalis sekuler merupakan sekelompok pemimpin
politik Indonesia (Muslim, Katolik, Protestan, Hindu, dan lainnya) yang tegas untuk
menolak agama (termasuk Agama Islam) sebagai “dasar negara”.22
Meskipun secara
personal mereka bukan seorang sekularian murni, tetapi mereka memilih membuang
jauh-jauh tendensi dan afiliasi terhadap ajaran agama tertentu. Sedangkan, kalangan
nasionalis muslim adalah pemimpin politik Indonesia, muslim, yang terikat dengan
Syari’at Islam sebagai dasar negara. Dengan kata lain, Indonesia yang diimpikan oleh kalangan nasionalis muslim adalah sebuah negara yang berasaskan Islam. 17
PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia), sedang BPUPKI yaitu Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia atau Dokuritsu Ziumbi Choosakai. 18 Ibid, hlm. 49. 19 Ibid. 20 Baca A.T. Soegito, dkk, Pendidikan Pancasila, Unnes Press, 2010, hlm. 3. 21 Anshari pada Tesis berjudul The Jakarta Charter of June 1945: A Gentlement’s Agreement Between the Islamic and the Secular Nationalist in Modern Indonesia, McGill University, 1976; Deliar Noer dalam The Modern Muslim Movement in Indonesia 1940-1942, Oxford University Press, 1973; serta, B. Dahm dalam Sukarno and the Struggle for Indonesia Independence, Cornell University Press, 1969. Lihat semua dalam Ibid, hlm. 4. 22 Ibid, hlm. 5.
8
keimanan mereka secara mendalam dan percaya jika Islam harus diletakkan sebagai
dasar negara.23
Penggunaan istilah keduanya dalam konteks ini terbatas, sebab cuma
ditempatkan pada proses “persalinan” Pancasila sampai tanggal 18 Agustus 1945.
Lebih lanjut, komposisi kalangan nasionalis sekuler serta nasionalis muslim
dalam kenggotaan BPUPKI dijabarkan oleh Prawoto Mangkusasmito. Keanggotaan
BPUPKI seluruhnya berjumlah 62 orang, yang kemudian ditambah 6 lagi sehingga
menjadi 68 orang.24
Mangkusasmito menjabarkan, hanya 15 orang (kurang lebih 20
persen) anggota BPUPKI yang berlatarkan faksi nasionalis muslim dan benar-benar
menyuarakan kepentingan “politik Islam”, sedang mayoritas (80 persen) berasal dari
kalangan nasionalis sekuler.25
Wakil-wakil kalangan nasionalis muslim, di antaranya
adalah Mas Mansur, K. Muzakkir, Ki Bagus Hadikusumo, A. Wahid Hasjim, Agus
Salim, Masjkur, Abikusno T., S. Wirjosandjojo, A. Sanusi, dan A. Halim.26
Di pihak
lain, wakil-wakil kalangan nasionalis sekuler terdiri atas Soekarno, Hatta, Radjiman
Widyodiningrat, Soepomo, Wongsonegoro, Sartono, R. P. Soeroso, M. Yamin, serta
Buntaran Martoatmodjo.27
C. Arti Penting Nasionalisme
Istilah nasionalisme mempunyai definisi yang “multifaset”, meskipun antara
satu definisi dengan definisi yang lain tidak lantas berbeda jauh. Sebut saja beberapa
ahli, semisal Barruel, Heuken, Khon, Kjellen, serta Smith yang sebelumnya pernah
melontarkan gagasan mengenai nasionalisme, secara substansial tak ditemukan beda
fundamental dalam argumen mereka. Jika dikaji sisi etimologisnya, sebenarnya kata
nasionalisme, berarti “nation (bangsa)”. Sedangkan “nation” mula-mula berasal dari
bahasa Latin, “natio”, yang merupakan hasil pengembangan dari kata, “nascor (saya
dilahirkan)”. Maka pada awalnya, nation dimaknai sebagai sekelompok orang yang
dilahirkan di suatu daerah yang sama.28
Lalu, apa itu nasionalisme? Berkat imbuhan
isme, nasionalisme, menurut hemat penulis dapat diartikan faham yang menekankan
23 Ibid. 24 Ibid. 25 Coba lihat Prawoto Mangkusasmito, Pertumbuhan Historis Rumus Dasar Negara dan Sebuah Refleksi, Hudaya, 1970, hlm. 60-61. 26 M. Yamin dalam Ibid, hlm. 18. 27
Ibid. 28 Simak Ritter dalam Sutarjo Adisusilo, Nasionalisme-Demokrasi-Civil Society, Artikel Ilmiah, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, 2008, hlm. 4.
9
aspek kebangsaan atau kepentingan bangsa. Ketika didiversifikasi, meminjam opini
Kartodirjo, nasionalisme meliputi soal kesatuan, kebebasan, kesamaan, kepribadian
nasional, dan prestasi kolektif.29
Kembali lagi, pengembangan tersebut hilirnya tetap
sama, yakni pengutamaan kepentingan bangsa.
Dalam kerangka ideologis, Apter menuturkan nasionalisme mengandung tiga
aspek yaitu: cognitive, goal, dan strategic.30
Dari sini, kita bisa mengerti arti penting
nasionalisme. Aspek cognitive, mengumpamakan perlunya pengetahuan atas situasi
konkret sosial, ekonomi, politik, serta budaya bangsanya. Peran nasionalisme adalah
sebagai cerminan abstrak kehidupan konkret suatu bangsa.31
Sudah tentu, tanpa ada
pengetahuan yang holistik, bangsa Indonesia tak akan mampu mengentaskan deretan
masalah di sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Sehingga, nasionalisme
sangat penting. Demikian pula, role generasi muda sebagai “agent intellectual” juga
amat dibutuhkan untuk eskalasi pengetahuan bangsa. Soedjatmoko menyebut, tidak
bisa tidak nasionalisme wajib disinari kebijaksanaan, pengertian, pengetahuan, serta
kesadaran sejarah.32
Kemudian sebagai goal, nasionalisme bertalian dengan cita-cita dan harapan
ideal di masa datang yang akan diperjuangkan masyarakat, serta negara. Ekspektasi
tersebut mencakup berbagai bidang kehidupan berbangsa dan bernegara. Contoh di
bidang kebudayaan serta keagamaan, salah satu visinya (bukan utopia), menciptakan
ruang toleransi di tengah multikulturalisme horisontal masyarakat Indonesia. Ketika
tak punya sasaran (goal) yang jelas, bangsa ini pasti tidak akan tentu arah. Jadi tidak
perlu diragukan kembali, arti penting nasionalisme.
Berikutnya dari aspek strategic, menumbuhkan nasionalisme adalah sepadan
artinya dengan menumbuhkan strategi untuk merealisasi visi kolektif bangsa. Lewat
cara apa kita berjuang? Bagaimana praksisnya? Bagaimana kondisi kita kini? Hal itu
merupakan beberapa pertanyaan “skeptis (baca: kritis)” yang harus dijawab sebagai
strategi mencapai cita-cita bangsa Indonesia. Misalnya dalam menghadapi pengaruh
asing, bangsa kita butuh “strategi”. Sekalipun telah memiliki pengetahuan serta visi
yang jelas, bangsa ini tidak akan sanggup berbuat optimal jika tak didukung strategi
29 Lebih lanjut perhatikan Sartono Kartodirjo, Multidimensi Pembangunan Bangsa Etos Nasionalisme dan Negara Kesatuan, Kanisius, 1999, hlm. 60. 30
Dalam Ibid, hlm. 6. 31 Ibid. 32 Ibid.
10
yang mumpuni pula. Kian memudarnya nasionalisme, utamanya pada diri generasi
muda ialah ancaman yang serius bagi bangsa Indonesia. Bahkan Benedict Anderson
mengungkapkan, Indonesia sedang vis-à-vis dengan situasi defisit nasionalisme. Di
mana terdapat reduksi semangat nasional, lebih-lebih di kalangan kaya (borjuis) dan
terdidik (intelektual).33
Mengingat betapa arti penting nasionalisme, telah mendesak
kiranya untuk terus memupuk hal tersebut, sembari menghindari fanatisme lokalitas
maupun eksklusivitas sempit.
33 Pada Ibid, hlm. 7. Kata di dalam tanda kurung adalah interpretasi otonom penulis.
11
BAB III
METODE PENULISAN
A. Sumber dan Jenis Data
Data-data yang dipergunakan dalam penyusunan Karya Tulis ini, berasal dari
berbagai literatur kepustakaan yang “relevan” dengan kajian persoalan. Hal tersebut
disesuaikan dengan teknik pengumpulan data yang berbentuk library research (studi
kepustakaan). Beberapa literatur primer, terdiri atas buku mengenai sejarah lahirnya
Pancasila dan nasionalisme. Sedang literatur sekunder, antara lain terdiri dari artikel
ilmiah, skripsi, makalah, dan artikel-news lepas yang bersumber lewat internet. Jenis
data yang diperoleh bersifat variatif, yakni kualitatif serta kuantitatif.
B. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dilakukan dengan metode library research, yaitu
mengidentifikasi berbagai referensi yang terkait dengan kajian karya tulis. Data atau
informasi yang didapatkan dari literatur, selanjutnya disusun berdasarkan hasil studi
sehingga relevan satu sama lain dan sesuai dengan topik yang dibahas.
C. Analisis Data
Analisis data dilakukan secara induktif dengan dua komponen, yakni reduksi
dan penyajian data. Reduksi data, dimaksudkan supaya penulisan Karya Tulis dapat
terfokus. Sementara, tujuan penyajian data, agar dimungkinkan adanya pengambilan
simpulan.
1. Reduksi Data
Reduksi data adalah memilih hal-hal pokok yang “selaras” dengan fokus
penulisan. Secara rinci, reduksi data bisa diartikan sebagai bentuk analisis yang
menggolongkan, mengarahkan, membuang tidak perlu, dan mengorganisasikan
data-data tereduksi, sehingga memberikan gambaran lebih “tajam” tentang studi
kepustakaan. Reduksi mempermudah penulis, saat ingin mencari data yang akan
dibutuhkan. Kegiatan reduksi ini, dikerjakan penulis sesudah pengumpulan serta
pengecekan data yang valid.
12
Data yang telah didapatkan oleh penulis “diklasifikasikan” menjadi lebih
sistematis. Sedangkan data yang tidak diperlukan, akan dibuang dalam bank data
sebab sewaktu-waktu data tersebut mungkin dapat digunakan lagi. Reduksi yang
dilakukan penulis mencakup “multidata (banyak data)” yang diperoleh dari studi
kepustakaan. Data yang masih umum, kemudian disederhanakan dan difokuskan
kepada problem utama tinjauan penulisan.
2. Penyajian Data
Penyajian data merupakan kumpulan informasi sitematis, yang memberi
kemungkinan adanya penarikan simpulan, maupun pengambilan suatu tindakan
tertentu. Penyajian data, berwujud analisis via bentuk deskriptif sehingga penulis
dapat menguasai data dengan baik.
D. Penarikan Simpulan
Pengambilan simpulan, didapatkan setelah merujuk rumusan masalah, tujuan
penulisan, dan pembahasan. Selain itu, pengambilan simpulan juga memperhatikan
penyajian data. Simpulan yang ditarik merepresentasikan pokok-pokok pembahasan
dalam karya tulis dan didukung oleh saran praktis sebagai rekomendasi.
13
BAB III
PEMBAHASAN
A. Tarik-Ulur dalam Proses Kelahiran Pancasila
Tarik-ulur atau bisa dikatakan perdebatan, antara kalangan nasionalis sekuler
dengan nasionalis muslim dalam “persalinan” Pancasila, sesungguhnya dapat dibagi
menjadi dua tahapan. Pertama, ketika berlangsungnya sidang BPUPKI. Kedua, saat
sidang PPKI. Namun, jika ditakar kadar keteganggannya, maka perdebatan sewaktu
sidang BPUPKI-lah yang paling tegang (sengit) terjadi.
Di luar dua sidang formal BPUPKI yang sudah penulis sampaikan dalam bab
kajian pustaka, sebenarnya ada satu kali sidang tidak formal (resmi). Tapi semuanya
berlangsung di Jakarta sebelum kekalahan Kekaisaran Jepang terhadap Sekutu pada
tanggal 14 Agustus 1945. Dalam konteks ini, bahasan akan diarahkan kepada sidang
formal pertama BPUPKI, sidang non formal, serta pasca sidang non formal BPUPKI
karena yang paling besar daya tarik-menariknya antara nasionalis kelompok sekuler
dengan nasionalis muslim. Sidang BPUPKI I, berlangsung tanggal 28 Mei sampai 1
Juni 1945 yang “dinahkodai” langsung oleh Radjiman Widyodiningrat selaku ketua
sidang. Sehubungan dengan agenda sidang pertama yang membahas mengenai dasar
negara, ketua sidang lantas menggelindingkan bola panas seputar pertanyaan tentang
dasar negara Indonesia. Selanjutnya, peserta sidang pun diminta untuk menyumbang
usulan. Di situlah, awal mula pergumulan antara kalangan nasionalis sekuler dengan
nasionalis muslim.
Meskipun presentase faksi nasionalis muslim di keanggotaan BPUPKI hanya
sekitar 20 persen, namun realitas sosiologis bahwa umat Islam merupakan mayoritas
di Indonesia tidak bisa terbantahkan.34
Maka logis, jika kalangan nasionalis muslim
punya bargaining position yang lumayan kuat untuk “mamaksakan” kepentingannya
dalam sidang-sidang BPUPKI. Berturut-turut, setelah R. Widyoningrat melontarkan
pertanyaan perihal dasar negara Indonesia. Di tanggal 29 Mei 1945 dan 1 Juni 1945
dua perwakilan kalangan nasionalis sekuler “unjuk gigi” dengan mengajukan usulan
34
Lebih lanjut, coba cermati Anhar, Nasionalisme Religius: Identitias Wawasan Kebangsaan Umat Islam Indonesia, Makalah, STAIN Padangsidimpuan Sumatera Utara, dipresentasikan dalam Annual Conference on Islamic Studies IX, 2009, hlm. 4.
14
terkait dasar negara, yang tentu isinya terbebas dari “ajaran agama” tertentu. Hal itu
kemudian mendapat tentangan dari faksi nasionalis muslim, yang ingin menjadikan
Islam dasar negara. Sesuai dengan argumentasi Soepomo yang mengatakan, bahwa
tujuan umat Islam adalah mendirikan negara Islam.35
Wujud afirmasi penolakan dua
usulan faksi nasionalis sekuler, Natsir (dalam kapasitas sebagai salah seorang tokoh
nasionaslis muslim) misalnya, menggunakan taktik jitu dengan seringkali menyebut
nama-nama pejuang muslim yang berjuang untuk kemerdekaan Indonesia.36
Belum lagi, Ki Bagus Hadikusumo, yang notabene sosok nasionalis muslim
paling “vokal” dalam BPUPKI, juga membela Islam sebagai dasar nagara.37
Bagi Ki
Bagus Hadikusumo, berdirinya Indonesia yang “berdasarkan Islam” memungkinkan
komunitas muslim untuk mengimplementasi syari’at secara penuh dan bebas, sebab
kemederdekaan Indonesia, berarti pula kebebasan untuk merealisasikan syari’at.38
Sebelumnya, A. Sanusi sebagai kiai sekaligus figur dari kalangan nasionalis
muslim menyatakan, Al-Qur’an tidak hanya mengatur urusan dunia, tapi juga urusan
akhirat, serta ketetapan yang harus digunakan bagi negara dan agama.39
Secara tidak
langsung (tersirat), sebenarnya pendapat A. Sanusi ditujukan sebagai “upaya” untuk
meyakinkan jika Hukum Islam (Al-Qur’an) lebih lengkap mengatur berbagai urusan
ketimbang usulan dasar negara versi M. Yamin maupun Soekarno. Selain itu terlihat
tendensi propaganda A. Sanusi yang seakan ingin berujar, tidak ada garansi (surga)
untuk konsepsi yang ditawarkan kalangan nasionalis sekuler, karena hanya Syari’at
Islam-lah yang mengatur urusan akhirat.
Di poros lain, kalangan nasionalis sekuler, dengan tegas kontra anjuran faksi
nasionalis muslim. Soepomo beropini, Indonesia tidak sama ketika dikomparasikan
negara-negara yang berdasarkan Islam (seperti: Arab Saudi, Mesir atau Iran), karena
Indonesia memiliki karakter khusus dari segi penduduk, budaya, tradisi, pengalaman
sejarah, dan kondisi geografisnya.40
Alasan Soepomo terbilang realistis sebab realita
35 Ibid, hlm. 40. 36 Seperti contoh: Sultan Babullah dari Ternate, Sultan Hasanuddin dari Makassar, Pangeran Diponegoro, Imam Bonjol, Teuku Umar, Tjut Nya’ Dhien, dan Tengku Tjhik di Tiro (pemimpin-pemimpin perang Aceh) yang menggalang kekuatan perang (jihad) dalam mengusir penjajah. Selengkapnya, dapat dilihat di Ibid, hlm. 41. 37 Ibid. 38
Ibid, hlm. 42. 39 Ibid, hlm. 43. 40 M. Yamin dalam Ibid.
15
memang berkata bahwa Negara Indonesia ialah negara yang begitu plural, sehingga
sukar jika menerapkan agama tertentu sebagai “asas tunggal”. Di samping itu, wakil
ternama dari kalangan nasionalis sekuler di bidang hukum, juga meragukan apakah
syari’at dapat memenuhi tuntutan dan tantangan suatu bangsa modern.41
Berikutnya, perdebatan berlanjut di dalam sidang tidak resmi dari 38 anggota
BPUPKI yang kemudian membuat sebuah panitia kecil42
, terdiri atas sembilan orang
yang terpilih (disebut Komisi Sembilan).43
Keputusan pokok sidang komisi tersebut
adalah lahirnya Piagam Jakarta (Jakarta Charter), yang memuat pula rumusan dasar
negara Indonesia (pada alenia keempat). Menjadi objek pertentangan kembali, sebab
mengandung “tujuh kata” yang mengistimewakan ajaran agama tertentu (Islam). Di
sidang-sidang BPUPKI selanjutnya, salah seorang anggota BPUPKI yang beragama
Kristen bernama Latuharhary keberatan atas kata “tujuh kata” tersebut.44
Reaksi pun
muncul dari kalangan nasionalis muslim diwakili Agus Salim yang menyatakan, jika
keamanan orang-orang itu (non Islam) tidak tergantung pada kekuasaan negara, tapi
pada adanya umat Islam yang 90 persen itu.45
Perdebatan panas masih berlangsung
yang tidak kurang dilakukan oleh Wongsonegoro serta H. Djajadiningrat (nasionalis
sekuler) dan A. Wahid Hasjim (nasionalis muslim), sampai akhirnya mereda setelah
ditengahi Soekarno.
Di perdebatan tahap kedua ketika sidang PPKI, Hatta mengajukan usul untuk
merubah beberapa hal dalam Mukaddimah (Piagam Jakarta), termasuk tentang dasar
negara yang intinya ingin tujuh kata Islamis dihilangkan setelah sebelumnya melobi
beberapa anggota PPKI berkenaan dengan konsep yang ditawarkannya. Meski pada
sidang PPKI masih diwarnai oleh perdebatan akan tetapi “kadarnya wajar” dan tidak
berarti. Usulan Hatta diterima, karena kepiawaiannya melobi terlebih dulu kalangan
nasionalis muslim46
. Saat sidang PPKI47
, usulannya (Hatta) memang tidak mendapat
counter yang berlebihan dari pihak nasionalis muslim.
41 Ibid, hlm. 44. 42 Baca Abnan Pancasilawati, Upaya Legitimasi Syari’at Islam dalam Hukum Nasional (Dialektika Sejarah UUD 1945 dan Piagam Jakarta), Artikel Ilmiah, STAIN Samarinda, Jurnal Mazahib Vol. IV, Nomor 2, 2007, hlm. 134. 43 Yaitu: Soekarno, Hatta, A. Soebardjo, Maramis, M. Yamin, Kahar Muzakkir, K. Agus Salim, Abikusno T., dan A. Wahid Hasjim. 44
Ibid, hlm. 136. 45 M. Yamin dalam Ibid. 46 Ki Bagus Hadikusumo, A. Wahid Hasjim, Kasman S., dan Teuku Hasan dari Sumatera.
16
B. Kompromi Dalam Perumusan Pancasila
Sama seperti halnya tarik-ulur dalam proses kelahiran Pancasila, kompromi
di tengah perumusan Pancasila antara kalangan nasionalis sekuler dengan nasionalis
muslim juga terdiri dari dua tahapan. Pertama, pada waktu sidang BPUPKI, tepatnya
ketika berlangsung sidang “non formal”. Kedua, saat sidang PPKI, satu hari setelah
kemerdekaan Indonesia. Bila dikaji secara mendetail, sesungguhnya antara kalangan
nasionalis sekuler dengan nasionalis Islam, masing-masing menyumbang satu sikap
kompromistis. Di sidang tidak resmi BPUPKI, nampak kubu nasionalis sekuler yang
berkompromi terhadap “konten” Piagam Jakarta 22 Juni 1945. Sedangkan, sewaktu
berlangsung sidang PPKI, terlihat bahwa kubu nasionalis muslim begitu legawa atau
kompromistis atas amandemen terbatas Piagam Jakarta.
Sidang (resmi) BPUPKI pertama yang beragendakan pembahasan mengenai
dasar negara memang sangat alot. Dua kalangan besar dalam sidang, yakni kalangan
nasionalis sekuler dan nasionalis muslim terlibat perdebatan seru. Setelah Soekarno
menutup sidang pertama BPUPKI tanggal 1 Juni 1945 dengan pidato Pancasila yang
mengesankan, sidang memasuki “masa reses”48
. Di sinilah, berlangsung sidang tidak
resmi BPUPKI yang dimimpin oleh Soekarno. Dari sidang tersebut terbentuk komisi
kecil (Komisi Sembilan) yang bertugas menyusun rancangan pembukaan UUD 1945
(Piagam Jakarta). Perdebatan sengit yang sempat terjadi perihal eksistensi tujuh kata
Islamis dalam sila pertama rumusan Pancasila tak sampai tataran mandeknya sidang
(dead lock). Akhirnya, kedua belah pihak berhasil mencapai titik temu lewat adanya
tambahan tujuh kata Islamis pada sila pertama rumusan Pancasila49
yaitu “kewajiban
menjalankan Syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Kemudian, tanggal 10 Juli
1945, Soekarno memaparkan “konsensus” yang telah dicapai oleh Komisi Sembilan
terkait rancangan UUD 1945.50
Lebih jauh Soekarno menjelaskan, Komisi Sembilan
menyetujui sebulat-bulatnya rancangan “preambul” dan dibuktikan dengan ratifikasi
seluruh anggota Komisi Sembilan.51
Jika ditelisik secara rinci, kita bisa mengamati
47 18 Agustus 1945. 48 Masa perhentian antara sidang pertama BPUPKI (28 Mei-1 Juni 1945) dengan sidang keduanya (10-16 Juli 1945). 49 Coba lihat Dyah Ochtorina, Prinsip Demokrasi Islam Dalam Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945, Artikel Ilmiah, Universitas Jember, Jurnal Ilmu Hukum Mizan, Vol. I, Nomor 1, 2012, hlm. 2. 50
Ibid. 51 Ratifikasi atau penandatanganan dilakukan di Jakarta pada tanggal 22 Juni 1945, tidak mengherankan jika kemudian rancangan preambul tersebut dinamai Piagam Jakarta (Jakarta Charter).
17
kerelaan sosial dari kalangan nasionalis sekuler yang dimanifestasikan dengan sikap
permisif terhadap pencantuman tujuh kata “berbau Islam” tersebut pada sila pertama
rumusan Pancasila.
Dalam perjalanan berikutnya, menjelang sidang PPKI 18 Agustus 1945. Ada
semacam ancaman dari golongan Katholik dan Protestan untuk keluar republik jika
tujuh kata Islamis pada sila pertama rumusan Pancasila tidak dihilangkan. Ancaman
tersebut dikirimkan lewat pesan yang dibawa oleh opsir Jepang kepada Hatta.52
Tak
berfikir panjang, “demi keutuhan (integrasi) nasional” Hatta lantas berinisiatif untuk
melobi beberapa tokoh nasionalis muslim guna membicarakan usulan perubahannya
terhadap Piagam Jakarta. Konstelasi politik yang genting (extra ordinary), memaksa
Hatta untuk memberanikan diri melakukan hal tersebut, berkeberatan atas keputusan
yang sebenarnya telah disetujuinya lewat sidang Komisi Sembilan. Hatta menginsafi
bahwa semangat, marwah Piagam Jakarta, tidak akan lenyap dengan menghilangkan
tujuh kata bermuatan Islamis.53
Gayung pun bersambut, perwakilan tokoh nasionalis
muslim dengan keikhlasan menyatakan setuju tentang tawaran Hatta, supaya bangsa
Indonesia tidak terpecah-pecah serta melukai perasaan umat Kristen.54
Akhirnya, di
sidang PPKI, Hatta mengajukan usulan secara resmi perihal penghilangan tujuh kata
Islamis yang ada dalam Piagam Jakarta, disertai berbagai usul lain.55
Walau sempat
melewati beberapa pembahasan, namun secara bulat PPKI menerima teks perubahan
preambul dan batang tubuh Undang-Undang Dasar, yang kemudian hari dikenal luas
sebagai Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Nampak sekali di sini sikap kompromi
yang diperlihatkan oleh kelompok nasionalis muslim atas penghilangan unsur-unsur
Islamis pada Piagam Jakarta. Jiwa nasionalisme serta kenegarawanan mereka begitu
besar sehingga “patut diapresiasi”, karena mengesampingkan kepentingan kelompok
demi kepentingan bangsa (nasional).
C. Dekonstruksi Historis, Nasionalisme, dan Toleransi
52 Ibid, hlm. 139. 53 Hatta dalam Ibid. 54 Hatta dalam Ibid. 55
1). Kata “Mukaddimah” diganti dengan kata “Pembukaan”; 2). Penghilangan tujuh kata Islamis dalam Piagam Jakarta; 3). Perubahan pasal 6 ayat 1 (kata-kata “dan beragama Islam dicoret”); 4). Penghilangan tujuh kata Islamis dalam pasal 29 ayat 1 sejalan dengan perubahan yang kedua.
18
Ibarat seorang bayi lahirnya Pancasila juga memerlukan “persalinan”. Hanya
proses kelahiran atau persalinannya harus diakui memang amat pelik, kompleks, dan
dramatis. Bagaimana tidak, ketegangan yang dipacu kontradiksi kepentingan hampir
saja menggugurkan jabang bayi yang baru akan lahir tersebut. Beruntung, kompromi
atau boleh dibilang “toleransi”, menyelamatkan nyawanya. Sungguh arif persalinan
Pancasila. Ini kiranya, peristiwa historis yang “urgen” untuk didekonstruksi (dibaca
ulang) terutama oleh pemuda agar tergugah, terbangun, semangat nasionalisme serta
toleransinya. Konsensus pada sidang PPKI tanggal 18 Agustus 1945, bagi F. Magnis
Suseno, memastikan bahwa Indonesia menjadi milik seluruh rakyat Indonesia, tanpa
terkecuali.56
Kesediaan kalangan nasionalis muslim, untuk tidak represif atas tempat
istimewa dalam UUD 1945 meskipun mereka merupakan “mayoritas” (di Indonesia)
memungkinkan keutuhan (persatuan) nasional dari Sabang hingga Merauke.
Dalam subbab ini, penulis akan berkonsentrasi terhadap pembahasan seputar
dekonstruksi historis persalinan ideologi Pancasila, yang dikorelasikan dengan nilai
nasionalisme dan toleransi (beragama). Pertama, menelaah “relevansi” dekonstruksi
sejarah proses kelahiran Pancasila dengan nasionalisme. Sesuai uraian Apter di atas
(kajian pustaka), bahwa nasionalisme pada frame ideologis, mengandung tiga aspek
yaitu: cognitive, goal, dan strategic. Sebagai cognitive, melalui dekonstruksi proses
lahirnya Pancasila masyarakat (termasuk generasi penerus bangsa) akan mempunyai
pengetahuan tentang cara pandang pluralis. Misalnya, merunut sikap kompromistis
yang ditunjukkan oleh kalangan nasionalis sekuler serta nasionalis muslim. Keadaan
sidang yang “panas” tidak lantas menyulut emosi kedua kubu. Bahkan, saling kritik
yang bernuansa konfrontatif pun dapat dikemas dengan retorika ilmiah, rasional, dan
sistematis. Meskipun mereka (dua kalangan tersebut), “mengusung” kepentingannya
masing-masing, terbukti jika tendensi pada “kepentingan nasional” tetap fokus yang
utama . Hal itu tidak mungkin terjadi tanpa cara pandang pluralis. Berkenaan dengan
selisih faham serta argumentasi adalah situasi yang lumrah dan wajar sebagai wujud
dari nilai demokratis. Tetapi, upaya resolusi yang ditempuh lewat deliberasi57
, sekali
lagi membuktikan betapa pluralisnya pola fikir founding fathers bangsa. Selanjutnya
dengan membaca ulang sejarah persalinan Pancasila, masyarakat juga akan tahu jika
56 Selengkapnya, baca Rindu Pancasila, Penerbit Buku Kompas, 2010, hlm. 17. 57 Demokrasi “khas” Indonesia, biasa disebut dengan “musyawarah”.
19
sejak awal berdirinya republik Indonesia memang dimaksudkan bagi semua.58
Sebab
Indonesia bukanlah negara agama. Sehingga, semangat untuk kembali mengibarkan
bendera fanatisme agama tertentu, sangat tidak berdasar. Secara substansial, value of
knowledge yang mampu dipetik dari dekonstruksi historis persalinan Pancasila ialah
pluralisme (multikulturalisme). Maka sesungguhnya, membaca ulang sejarah proses
lahirnya Pancasila sama artinya dengan pendidikan multikultural, yakni set of beliefs
dan penjelasan yang mengakui pentingnya keragaman etnis-budaya.59
Pada akhirnya
itu pula-lah, yang akan menjadi “pemantik” rasa nasionalisme.
Sebagai goal, dekonstruksi historis persalinan Pancasila memberi kontribusi
visi yang jelas. Antara lain, menciptakan kerukunan dan sikap saling menghargai. Di
samping itu, “berkat” membaca ulang sejarah proses kelahiran Pancasila masyarakat
terutama generasi muda yang masih fluktuatif emosionalnya juga tidak akan mudah
terpancing doktrin radikalisasi agama yang kian marak. Sebab, pemahaman terhadap
kearifan historis persalinan Pancasila yang lekat dengan nilai-nilai nasionalisme dan
pluralisme bisa menjadi pedoman (teladan) untuk bersikap bijak atas perbedaan. Hal
ini sangat urgen, mengingat struktur dari masyarakat Indonesia yang majemuk serta
rentan konflik (baik vertikal maupun horisontal).60
Sebagai strategic, dengan mendekonstruksi sejarah proses lahirnya Pancasila
kita menjadi mengerti bagaimana caranya berjuang, lalu praksisnya, dan kondisi kita
saat ini. Dalam “bingkai” perbedaan contohnya, cara berjuang yang bisa masyarakat
58
Sesuai dengan gagasan Soekarno, negara yang satu untuk semua, semua untuk satu, dan semua untuk semua. Sederhananya, negara yang tidak “mengistimewakan” golongan-golongan tertentu. 59
Lebih lanjut, coba lihat Banks pada Farida Hanum, Pendidikan Multikultural dalam Pluralisme Bangsa, Artikel Ilmiah, Universitas Negeri Yogyakarta, 2010, hlm. 4. 60
Contoh konflik vertikal di Indonesia adalah konflik Aceh dan Papua. Konflik vertikal Aceh, mempunyai sejarah panjang. Akar konflik berkaitan erat dengan hubungan otoritas antara pemerintah pusat dengan masyarakat dan elite sosial Aceh. Sedang konflik Papua, akar konfliknya relatif mirip dengan konflik Aceh terutama pada karakter diametralnya dengan pemerintah pusat. Tapi, diperparah pula oleh pengabaian kebutuhan sosial-ekonomi dan aspirasi masyarakat asli Papua. Berikutnya, contoh dari konflik horisontal di Indonesia adalah konflik Maluku serta Poso. Konflik Maluku, dipicu oleh perkelahian lintas etnis serta agama, yaitu supir bus beretnis Ambon beragama Kristen, dengan penumpang beretnis Bugis beragama Islam. Konflik yang berawal dari masalah sepele tersebut bahkan sempat juga bermetamorfosis menjadi konflik bersenjata berkat keterlibatan “oknum-oknum” yang menggunakan alat amatir (bom dan senjata rakitan). Sedang konflik Poso, secara alamiah memang bisa dikatakan berawal dari konflik agama. Tetapi ketika ditelusuri lebih jauh, sebenarnya karakter konflik Poso bersifat multiakar atau lebih rumit, karena ikut dipantik pula oleh provokasi pihak-pihak tertentu serta lingkungan yang berstruktur plural. Sehingga meningkatkan intensitas konflik. Lebih jauh coba lihat Basri dalam Arie Hendrawan, Aktualisasi Pancasila sebagai Ideologi Terbuka dalam Meretas Integrasi Nasional Murni dan Berkelanjutan di Tengah Struktur Majemuk Masyarakat Indonesia, Makalah, Universitas Negeri Semarang, dipaparkan pada saat kegiatan Pemilihan Mahasiswa Berprestasi Fakultas Ilmu Sosial, 2013, hlm. 12.
20
Indonesia lakukan yakni dengan memprioritaskan dialog serta “gaya” berfikir positif
untuk menyikapi setiap friksi ataupun konflik. Secara praksis hal tersebut diterapkan
melalui jalan deliberasi (musyawarah), seperti yang telah dipraktikkan oleh founding
fathers bangsa ketika sidang-sidang BPUPKI dan PPKI. Sedangkan, kondisi bangsa
Indonesia sekarang yang menurut Kusumohamidjojo kompleksitas masyarakat serta
kebudayaannya masing-masing berkarakter plural (jamak) sekaligus juga heterogen
(aneka ragam),61
rawan sekali terhadap pertentangan. Oleh karena itu, dekonstruksi
historis persalinan Pancasila sangat penting agar masyarakat, dan utamanya generasi
muda mengerti strategi-strategi moderat dalam menyikapi perbedaan sebagai wujud
nasionalisme (pengutamaan kepentingan nasional).
Kedua, tentang korelasi dekonstruksi historis dari proses kelahiran Pancasila
dengan toleransi. Jika kita mencermati seksama, dalam persalinan Pancasila nampak
begitu kental kandungan nilai-nilai toleransinya. Kesediaan baik kalangan nasionalis
sekuler maupun nasionalis muslim, untuk menyubordinasikan interesnya merupakan
sikap toleransi (beragama) yang kentara saat proses lahirnya Pancasila. Tidak heran
jika kemudian Pancasila sebagai “grundnorm”, adalah model ideal pluralitas agama
ala Indonesia.62
Lebih lanjut A. Syafi’i Ma’arif juga menambahkan bahwa Pancasila
merupakan hasil merger dari keberhasilan bapak pendiri bangsa yang berpandangan
toleran dan terbuka dalam beragama, serta perwujudan nilai-nilai kearifan lokal atas
warisan budaya nenek moyang.63
Sehingga, dengan membaca ulang sejarah lahirnya
Pancasila, akan meretas masyarakat serta generasi muda yang lebih toleran terhadap
keberagaman (khususnya agama) di Indonesia.
61 Lebih lanjut, cobalah simak Budiono Kusumohamidjodjo, Kebhinekaan Masyarakat di Indonesia Suatu Problematika Filsafat Kebudayaan, PT. Gramedia Widiasarana Indonesia, 2000, hlm. 45. 62 Cobalah perhatikan Eko Mukti, Signifikansi Pancasila Terhadap Pluralitas Agama di Indonesia, Skripsi, Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, 2008, hlm. 5. 63 Baca A. Syafi’i Ma’arif, Islam dan Masalah Kenegaraan, Studi tentang Percaturan dalam Konstituante, LP3ES, 1985, hlm. 109.
21
BAB IV
PENUTUP
A. Simpulan
Tarik-ulur atau perdebatan, dalam proses lahirnya Pancasila antara kalangan
nasionalis sekuler dengan nasionalis muslim sebenarnya dapat dipecah menjadi dua
tahapan. Pertama, pada saat berlangsung sidang BPUPKI64
. Perdebatan terjadi sejak
digulirkannya pertanyaan mengenai “dasar negara” oleh R. Widyodiningrat sebagai
pimpinan sidang, sesuai agenda dari sidang formal BPUKI I. Kemudian, perdebatan
berlanjut ketika sidang “non formal” BPUPKI (tepatnya di sidang Komisi Sembilan)
sewaktu masa reses dan pasca sidang tersebut (sesudah Piagam Jakarta memperoleh
legitimasi). Kedua, perdebatan yang timbul dalam sidang PPKI. Kadar tarik-ulurnya
tidak terlampau tinggi, karena sebelumnya Hatta sebagai salah satu tokoh nasionalis
sekuler telah “melobi” terlebih dahulu beberapa figur kalangan nasionalis muslim.
Seperti halnya perdebatan, kompromi dalam proses kelahiran Pancasila juga
terdiri dari dua tahapan. Pertama, saat berlangsung sidang non formal BPUPKI yang
lantas membentuk komisi kecil (Komisi Sembilan) guna merancang preambul dasar
negara. Di sini, kelompok nasionalis sekuler yang cenderung memperlihatkan sikap
legawa atas pencantuman kata-kata berunsur Islamis pada Piagam Jakarta (hasil dari
sidang Komisi Sembilan). Kedua, kompromi ketika sidang PPKI yang berimplikasi
dengan ancaman separatis pemeluk Katholik dan Protestan jika kata-kata Islamis di
Piagam Jakarta tidak dihilangkan. Dalam konteks ini, giliran tokoh-tokoh nasionalis
muslim yang menampilkan “kerelaan sosial” terhadap konsensus sidang PPKI untuk
menghapus kata-kata Islamis65
pada Jakarta Charter (Piagam Jakarta).66
64
Sidang formal pertama, sidang non formal, serta pasca sidang non formal BPUPKI. 65 Walaupun di era-era selanjutnya, (kembali) seringkali timbul “protes” dari kalangan nasionalis muslim terhadap eksistensi Pancasila (saat muncul program P-4 atau Eka Prasetya Pancakarsa dan asas tunggal Pancasila bagi Orpol dan Ormas), tapi keberadaan Pancasila “toh” masih lestari. Itu menjadi bukti bahwa Pancasila memang ideologi yang “fit” bagi Indonesia karena bisa merangkul setiap unsur sosial Indonesia tanpa terkecuali. Berbagai Orpol dan Ormas Islam pun kini banyak yang mendukung Pancasila. Kita bisa ambil contoh PPP (lihat PPP dalam Lintas Sejarah, www.ppp.or.id, 2012, diakses tanggal pada tanggal 28 Mei 2013), PKS (dapat disimak dalam PKS Konsisten Mendukung Pancasila Tapi Tak Setuju Asas Tunggal, www.suaranews.com, 2013, diakses pada tanggal 28 Mei 2013), dan PKB (baca Pancasila, NU, dan PKB, www.edukasi.kompasiana.com, 2013, diakses pada tanggal 28 Mei 2013) sebagai Organisasi Politik atau Partai Politik Islam yang mendukung Pancasila. Kemudian, NU dan Muhammadiyah sebagai Ormas Islam
22
Mendekonstruksi (membaca ulang) sejarah persalinan Pancasila, merupakan
sesuatu yang amat penting. Setidaknya, terdapat dua “justifikasi kuat” yang menjadi
landasan hal tersebut. Pertama, terkait dengan pembangunan nasionalisme. Dengan
membaca ulang sejarah proses kelahiran Pancasila, masyarakat Indonesia khususnya
generasi muda akan memahami aspek cognitive, goal, dan strategic (nasionalisme di
dalam kerangka ideologis) yang nantinya berfungsi sebagai penggugah nasionalisme
negara. Kedua, berhubungan dengan penciptaan rasa toleransi. Melalui dekonstruksi
historis sejarah persalinan Pancasila, semua masyarakat Indonesia terutama generasi
muda akan menangkap “kearifan” proses lahirnya Pancasila yang memuat nilai-nilai
toleransi untuk kemudian diamalkan. Hal ini urgen, di tengah kehidupan masyarakat
Indonesia yang kerapkali dirundung konflik antar kelompok. Padahal, jika mengacu
pernyataan Fukuyama, bahwa ancaman terbesar abad ke-21 ialah negara gagal yang
salah satunya ditandai oleh konflik antar kelompok.67
Terakhir mengutip ucapan Soe
Hok Gie, jangan ada lagi sikap benci pada siapapun, agama apapun, ras apapun, dan
bangsa apapun, lupakan peperangan serta kebencian, sibuklah dengan pembangunan
dunia yang lebih baik.
B. Saran
1. Tinjauan tentang kearifan dalam proses kelahiran Pancasila, harusnya diberikan
dalam jenjang pendidikan menengah ke atas (SMA) serta pendidikan tinggi (PT)
agar siswa maupun mahasiswa dapat tergugah nasionalisme dan toleransinya.
2. Setiap masyarakat Indonesia terutama generasi muda, harus bisa mengaktualkan
nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila dan proses kelahiran Pancasila.
3. Seluruh masyarakat Indonesia khususnya generasi muda harus dapat mengambil
pelajaran dari kearfian “persalinan” Pancasila dengan mendekonstruksinya guna
membangun nasionalisme.
juga mendukung penuh Pancasila (coba lihat NU, Muhammadiyah, DGI, Dukung Ormas Dengan Catatan, www.beritasore.com, 2013, diakses pada tanggal 28 Mei 2013). Namun, bermacam ancaman yang ingin merubah Pancasila dan tindakan-tindakan intoleransi harus pula diperhatikan, karena masih senantiasa “mengintai” keutuhan atau integrasi nasional. 66 Meski demikian tidak tepat apabila Indonesia dengan ideologi Pancasila-nya dikatakan sebagai negara sekuler. Sebab sebagaiamana diungkapkan Mahfud, Indonesia adalah negara kebangsaan religius, tetapi bukan negara agama ataupun bukan negara sekuler. Lebih lengkap, coba lihat dalam Syarif Hidayatullah, Menakar Azas Tunggal Pancasila Pasca Reformasi, Makalah, Universitas Gadjah Mada, disampaikan saat Kongres Pancasila IV di Universitas Gadjah Mada, 2012, hlm. 27. 67 Ibid, hlm. 3.
23
4. Semua masyarakat Indonesia utamanya para generasi muda harus dapat memetik
hikmah dari kearifan proses kelahiran Pancasila dengan cara membaca ulangnya
untuk menciptakan rasa toleransi (beragama).
24
DAFTAR PUSTAKA
Buku
_____ . 2006. Proses Pelapukan. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
_____ . 2010. Rindu Pancasila. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
Hamidi, Jazim, dkk. 2010. Civic Education. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Ismail, Faisal. 1999. Ideologi Hegemoni dan Otoritas Agama. Yogyakarta: PT Tiara ----
Wacana Yogya.
Joeniarto. 2001. Sejarah Ketatanegaraan Republik Indonesia. Jakarta: Bumi Aksara.
Kartodirjo, Sartono. 1999. Multidimensi Pembangunan Bangsa Etos Nasionalisme dan
Negara Kesatuan. Yogayakarta: Kanisius.
Kusumohamidjodjo, Budiono. 2000. Kebhinekaan Masyarakat di Indonesia Suatu ------
Problematika Filsafat Kebudayaan. Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana ---------
Indonesia.
Ma’arif, A., Syafi’i. 1985. Islam dan Masalah Kenegaraan, Studi tentang Percaturan --
dalam Konstituante. Jakarta: LP3ES.
Mangkusasmito, Prawoto. 1970. Pertumbuhan Historis Rumus Dasar Negara dan ------
Sebuah Refleksi. Jakarta: Hudaya.
Ritter, Herry. 1986. Dictionary of Concept in History. New York: Greenwood.
Smith, A.D. 1979. Nationalist Movement. London: Macmillan Press.
Soegito, A.T., dkk. 2010. Pendidikan Pancasila. Semarang: Unnes Press.
Sunoto. 1981. Mengenal Filsafat Pancasila. Yogyakarta: Fakultas Ekonomi Universitas
Islam Indonesia.
Artikel Ilmiah, Skripsi, dan Makalah
Adisusilo, Sutarjo. 2008. Nasionalisme-Demokrasi-Civil Society. Artikel Ilmiah. --------
Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
Anhar. 2009. Nasionalisme Religius: Identitias Wawasan Kebangsaan Umat Islam -----
Indonesia. Makalah. STAIN Padangsidimpuan Sumatera Utara. Dipresentasikan
dalam Annual Conference on Islamic Studies IX.
25
Hanum, Farida. 2010. Pendidikan Multikultural dalam Pluralisme Bangsa. Artikel -----
Ilmiah. Universitas Negeri Yogyakarta.
Hendrawan, Arie. 2013. Aktualisasi Pancasila sebagai Ideologi Terbuka dalam Meretas
Integrasi Nasional Murni dan Berkelanjutan di Tengah Struktur Majemuk -------
Masyarakat Indonesia. Makalah. Universitas Negeri Semarang. Dipaparkan ----
pada saat kegiatan Pemilihan Mahasiswa Berprestasi Fakultas Ilmu Sosial.
Hidayatullah, Syarif. 2012. Menakar Azas Tunggal Pancasila Pasca Reformasi. ---------
Makalah. Universitas Gadjah Mada. Disampaikan saat Kongres Pancasila IV di
Universitas Gadjah Mada.
Mukti, Eko. 2008. Signifikansi Pancasila Terhadap Pluralitas Agama di Indonesia. ----
Skripsi. Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga.
Ochtorina, Dyah. 2012. Prinsip Demokrasi Islam Dalam Undang-Undang Dasar -------
Republik Indonesia Tahun 1945. Artikel Ilmiah. Universitas Jember. Jurnal Ilmu
Hukum Mizan, Vol. I, Nomor 1.
Pancasilawati, Abnan. 2007. Upaya Legitimasi Syari’at Islam dalam Hukum Nasional -
(Dialektika Sejarah UUD 1945 dan Piagam Jakarta). Artikel Ilmiah. STAIN ---
Samarinda. Jurnal Mazahib Vol. IV, Nomor 2.
Internet
_____ . 2012. Kapolri: Teroris Muda Lebih Membahayakan. www.merdeka.com. ------
Diakses pada tanggal 28 Mei 2013.
_____ . 2012. PPP dalam Lintas Sejarah. www.ppp.or.id. Diakses tanggal pada tanggal
28 Mei 2013.
_____ . 2013. PKS Konsisten Mendukung Pancasila Tapi Tak Setuju Asas Tunggal. ---
www.suaranews.com. Diakses pada tanggal 28 Mei 2013.
_____ . 2013. Pancasila, NU, dan PKB. www.edukasi.kompasiana.com. Diakses pada
tanggal 28 Mei 2013.
_____ . 2013. NU, Muhammadiyah, DGI, Dukung Ormas Dengan Catatan. -------------
www.beritasore.com. Diakses pada tanggal 28 Mei 2013.
Kurniawan, Haris. 2013. Ada Kelompok yang Ingin Mengubah Ideologi Pancasila?. ----
www.nasional.sindonews.com. Diakses pada tanggal 28 Mei 2013.
26
Mahareni, Dian. 2012. Jaringan Teroris Muda Siapkan Bom Berkekuatan Besar. --------
www.indonesiacompanynews.com. Diakses pada tanggal 28 Mei 2013.
27
LAMPIRAN
A. Biodata Penulis
1. Nama Lengkap : Arie Hendrawan
2. NIM : 3301410053
3. Tempat, Tanggal Lahir : Kudus, 28 Agustus 1992
4. Alamat : Ds. Jepang, Kec. Mejobo, Kab. Kudus
5. Fakultas/ Prodi : Ilmu Sosial/ PPKn
6. Perguruan Tinggi : Universitas Negeri Semarang
7. No. HP : 085740228837
8. E-mail : [email protected]
9. Prestasi :
a). Juara 1 Political Writing Competition (Potret) Tingkat Nasional 2012
b). Juara 2 Artikel tentang Presiden Masa Depan Tingkat Nasional 2012
c). Juara 1 Essay Interfest Tingkat Nasional Tahun 2012
d). Juara 3 Artikel Ilmiah tentang Kebijakan Ilmiah Tingkat Nasional 2012
e). 30 Besar Artikel Internet Cerdas Indonesia (ICI) Tingkat Nasional 2012
f). Juara 2 Lomba Debat Pendidikan Tingkat Provinsi 2012
g). Tulisan dimuat di Rubrik Kompas Kampus, Kompas 2012
h). Tulisan dimuat di Rubrik Debat Kampus, Suara Merdeka 2012
i). Juara 3 Mahasiswa Berprestasi Fakultas Ilmu Sosial, Unnes 2013
j). Juara 1 Lomba Debat Kurikulum 2013 Tingkat Universitas 2013
k). Juara 1 Lomba Essay Gema Keadilan Tingkat Jateng dan DIY 2013
10. Scan Kartu Tanda Mahasiswa :
28
B. Pernyataan Orisinalitas Karya
Yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama : Arie Hendrawan
Tempat, Tanggal Lahir : Kudus, 28 Agustus 1992
NIM : 3301410053
Fakultas/ Jurusan : Ilmu Sosial/ Politik dan Kewarganegaraan
Menyatakan bahwa Karya Tulis Ilmiah saya ini, yang berjudul “KEARIFAN
DALAM “PERSALINAN” PANCASILA (Suatu Dekonstruksi Historis Tarik-Ulur
Hingga Kompromi antara Kalangan Nasionalis Sekuler dengan Nasionalis Muslim)”
adalah bukan merupakan hasil Karya Tulis orang lain baik secara sebagian, maupun
keseluruhan. Kecuali, pada bentuk kutipan-kutipan (footnote) yang telah disebutkan
sumbernya. Selanjutnya, Karya Tulis Ilmiah tersebut juga belum pernah dilombakan
serta diterbitkan sebelumnya.
Demikian surat pernyataan ini dibuat dengan sebenar-benarnya, dan apabila
pernyataan ini tidak benar, maka saya bersedia mendapatkan sanksi akademik.
Semarang, 9 Juni 2013
Yang Menyatakan,
Arie Hendrawan