View
235
Download
2
Category
Preview:
DESCRIPTION
BAHAN
Citation preview
A. Pengertian
Guillain-Barre Syndrome (GBS) adalah penyakit autoimun neurologis yang
mana penyakit ini timbul dikarenakan sistem kekebalan tubuh menghasilkan antibodi
terhadap saraf, sehingga terjadi kerusakan pada saraf itu sendiri. Kasus GBS dapat
berkembang setelah infeksi (misalnya gangguan sistem pernapasan atas atau penyakit
system pencernaan). Hal ini terjadi ketika tubuh membuat antibodi untuk melindungi
diri melawan invasi bakteri atau virus. Namun, bakteri dan virus tertentu memiliki
penutup protein yang menyerupai beberapa protein yang normal pada selubung yang
membungkus saraf (selubung mielin) sehingga dapat mengakibatkan sistem
kekebalan tubuh menyerang saraf itu sendiri (1).
B. Etiologi
Etiologi dari GBS (Guillain-Barre Syndrome menurut Kenici K, et all
penyakit Sindrom Guillain-Barre dapat dipicu oleh infeksi mikroorganisme
Compylobacter jejuni, Haemophilus influenza, dan Cytomegalovirus. SGB sering
sekali berhubungan dengan infeksi akut non spesifik. Insidensi kasus SGB yang
berkaitan dengan infeksi ini sekitar antara 56% - 80%, yaitu 1 sampai 4 minggu
sebelum gejala neurologi timbul seperti infeksi saluran pernafasan atas atau infeksi
gastrointestinal. Pada bebearapa keadaan dapat terjadi setelah vaksinasi atau
pembedahan (2).
C. Klasifikasi
GBS diklasifikasikan menjadi dua subtipe utama yaitu demielinasi dan
aksonal. Bentuk demielinasi adalah inflamasi demielinasi polineuropati akut (Acute
Inflammatory Demyelinating Polyneuropathy (AIDP) yaitu peradangan dimielinasi
yang menyebabkan penyakit pada persarafan. AIDP adalah bentuk paling umum GBS
di Negara-negara Barat dan ditandai oleh demielinasi segmental saraf perifer. Subtipe
lainnya dari GBS adalah degenerasi aksonal primer, keadaan ini dikenal sebagai
neuropati motor aksonal akut (Acute Motor Axonal Neuropathy (AMAN).AMAN
jarang ditemukan di Amerika Utara dan Eropa, akuntansi hanya sekitar 5% dari total
kasus GBS, daripada demielinasi GBS, tetapi AMAN lebih umum ditemuka di
Negara Cina dan Jepang. GBS aksonal hampir jarang menyebabkan defisit sensorik.
Primer aksonal GBS yangmenyebabkan defisit sensorik disebut Acute motor And
Sensory Axonalneuropathy (AMSAN) (2).
D. Patofisiologi dan path way of caution
Adapun patofisiologi dapat digambarkan pada bagan berikut (3):
Gagal ginjal akut9. Kecemasan keluarga
Anuria
Penurunan filtrasi glomerulus
Penurunan curah jantung ke ginjal
3. Penurunan curah jantung
Penurunan curah jantung ke otak dan jantung
Gangguan frekuensi jantung dan ritme, perubahan tekanan darah (hipertensi transien, hipotensi ortostatik), dan gangguan vasomotor.
Kurang bereaksinya sistem saraf simpatis dan parasimpatis, perubahan
sensori
Kematian
Prognosis penyakit kurang baik Gawat kardiovaskular
Pneumonia
KomaRisiko tinggi infeksi saluran napas bawah dan parenkim paru
Gagal fungsi pernapasan
Risiko tinggi gagal pernapasan (ARDS), penurunan kemampuan batuk, peningkatan sekresi mukus
1. Ketidak efektifan pola napas
Sekresi mukus masuk lebih ke bawah jalan napas
2. Ketidakefektifan bersihan jalan napas.
Penurunan tonus otot seluruh tubuh, perubahan
estetika wajah
Kelemahan fisik umum, paralisis otot wajah
Paralisis lengkap, otot pernapasan terkena, mengakibatkan insufisiensi pernapasan
Parastesia (kesemutan kebas) dan kelemahan otot kaki,
yang dapat berkembang ke ekstremitas atas, batang tubuh, dan otot wajah
4. Risiko tinggi defisit cairan tubuh
5. Risiko tinggi pemenuhan nutrisi kurang dari kebutuhan
Gangguan pemenuhan nutrisi dan cairan
Paralisis pada ocular, wajah dan otot orofaring,
kesulitan berbicara, mengunyah dan menelan
6. Gangguan pemenuhan ADL
7. Kerusakan mobilitas fisik
8. Gangguan konsep diri (gambaran diri)
Disfungsi otonomGangguan saraf perifer dan neuromuskularGangguan fungsi saraf kranial: III, IV, V, VI,
VII, IX dan X
Gangguan fungsi saraf perifer dan kranial
Konduksi saltatori tidak terjadi dan tidak ada transmisi
Proses demielinisasi
Selaput mielin hilang akibat dari respon alergi, respons autoimun, hipoksemia, toksik kimia, dan insufisiensi vaskular
Faktor-faktor predisposisi terjadi 2-3 minggu sebelum onset meliputi adanya ISPA, infeksi gastrointestinal, dan tindakan bedah saraf
Akson bemielin mengonduksi implus saraf lebih cepat disbanding akson tidak
bermielin. Sepanjang perjalanan serabut bermielin terjadi gangguan dalam selaput
(nodus Renvier) tempat kontak langsung antara membran sel akson dengan cairan
ekstraseluler. Membran sangat permeable pada nodus tersebut sehingga konduksi
menjadi baik (3).
Gerakan ion-ion masuk dan keluar akson dapat terjadi dengan cepat banyak
pada nodus Renvier sehingga implus saraf sepanjang serabut bermielin dapat
melompat dari satu nodus ke nodus lain (konduksi saltatori) dengan cukup kuat.
Kehilangan selaput myelin pada GBS pada konduksi saltatori tidak mungkin terjadi
dan transmisi implus saraf batalkan (3).
E. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis dari Sindroma Guillain-Barre (SGB) yaitu (4):
1. Gejala diawali dengan parestasia dan kelemahan otot kaki
2. Berkembang ke ekstremitas atas, batang tubuh dan otot wajah
3. Terserangnya saraf kranial dengan adanya paralisi pada okular, wajah, otot
orofaring, kesukaran berbicara, mengunyah dan menelan
4. Disfungsi autonom merupakan komplikasi diantaranya dimanifestasikan oleh
gangguan frekuensi jantung dan ritme, perubahan tekanan darah (hipertensi
transien, hipotensi ortostatik), disfungsi gastrointestinal, kelainan usus dan
gangguan vasomotor lainnya yang bervariasi.
5. Terjadinya nyeri berat dan menetap pada punggung dan daerah kaki
6. Kehilangan sensasi terhadap posisi tubuh
7. Terjadinya gejala neurologik yaitu kadang-kadang tampak seperti penyakit flu
ringan dan penyakit ini dikenal sebagai polyneuritis infeksi akut, sekarang nama
ini secara umum telah dikenal dan di duga sebagai reaksi imun yang salah
8. Terjadinya gejala motorik yaitu biasanya timbul lebih awal daripada gangguan
sensorik. Biasanya terdapat gangguan sensasi perifer. Otot-otot proksimal dan
distal terganggu dan reflex tendon menghilang. Nyeri bahu dan punggung
biasanya ditemukan. Otot fasial dan otot okuler kadang-kadang terganggu.
Perluasan dan kelemahan otot-otot batang tubuh menuju thoraks akan
mengganggu pernafasan.
Jika tidak diobati, kondisi penderita biasanya mengalami kemunduran selama
beberapa minggu pertama penyakit. Pada kasus yang berjalan cepat (disebut paralisis
Landry) kematian merupakan akibat dari kegagalan pernafasan. Setelah periode
statik, terjadi penyembuhan sedikit demi sedikit dan serangan ulang dapat terjadi.
Serta komplikasi-komplikasi yang lain dapat muncul. Berikut komplikasi yang dapat
ditemui pada GBS10:
Kesulitan bernapas
Kontraktur atau cacat sendi
Deep vein thrombosis
Risiko infeksi
Tekanan darah rendah atau tidak stabil
Kelumpuhan yang permanen
Pneumonia
Kerusakan kulit (ulkus)
Pengisapan makanan atau cairan ke dalam (aspirasi) paru-paru
F. Pemeriksaan Diagnostik
Diagnosis GBS sangat bergantung pada riwayat penyakit dan perkembangan
gejala-gejala klinik dan tidak ada satu pemeriksaan pun yang dapat memastikan GBS;
pemeriksaan tersebut hanay menyingkirkan dugaan gangguan (3).
Lumbal pungsi dapat menunjukkan kadar protein normal pada awalnya
dengan kenaikan pada minggu ke-4 sampai ke-6. Cairan spinal memperlihatkan
adanya peningkatan konsentrasi protein dengan menghitung jumlah sel normal (3).
Pemeriksaan konduksi saraf mencatat transmisi implus sepanjang serabut
saraf. Pengujian elektrofisiologis diperlihatkan dalam bentuk lambatnya laju
konduksi saraf (3).
1. Cairan serebrospinal (CSS)
Yang paling khas adalah adanya disosiasi sitoalbuminik, yakni meningkatnya
jumlah protein (100-1000 mg/dL) tanpa disertai adanya pleositosis (peningkatan
hitung sel). Pada kebanyakan kasus, di hari pertama jumlah total protein CSS normal;
setelah beberapa hari, jumlah protein mulai naik, bahkan lebih kanjut di saat gejala
klinis mulai stabil, jumlah protein CSS tetap naik dan menjadi sangat tinggi.
Puncaknya pada 4-6 minggu setelah onset. Derajat penyakit tidak berhubungan
dengan naiknya protein dalam CSS. Hitung jenis umumnya di bawah 10 leukosit
mononuclear/mm (3).
2. Pemeriksaan kecepatan hantar saraf (KHS) dan elektromiografi (EMG)
Manifestasi elektrofisiologis yang khas dari GBS terjadi akibat demyelinasi
saraf, antara lain prolongasi masa laten motorik distal (menandai blok konduksi
distal) dan prolongasi atau absennya respon gelombang F (tanda keterlibatan bagian
proksimal saraf), blok hantar saraf motorik, serta berkurangnya KHS. Pada 90% kasus
GBS yang telah terdiagnosis, KHS kurang dari 60% normal. EMG menunjukkan
berkurangnya rekruitmen motor unit Dapat pula dijumpai degenerasi aksonal dengan
potensial fibrilasi 2-4 minggu setelah onset gejala, sehingga ampilitudo CMAP dan
SNAP kurang dari normal. Derajat hilangnya aksonal ini telah terbukti berhubungan
dengan tingkat mortalitas yang tinggi serta disabilitas jangka panjang pada pasien
GBS, akibat fase penyembuhan yang lambat dan tidak sempurna. Sekitar 10%
penderita menunjukkan penyembuhan yang tidak sempurna, dengan periode
penyembuhan yang lebih panjang (lebih dari 3 minggu) serta berkurangnya KHS dan
denervasi EMG (3).
3. Pemeriksaan darah
Pada darah tepi, didapati leukositosis polimorfonuklear sedang dengan
pergeseran ke bentuk yang imatur, limfosit cenderung rendah selama fase awal dan
fase aktif penyakit. Pada fase lanjut, dapat terjadi limfositosis; eosinofilia jarang
ditemui. Laju endap darah dapat meningkat sedikit atau normal, sementara anemia
bukanlah salah satu gejala (3).
4. Dapat dijumpai respon hipersensitivitas antibodi tipe lambat
Dengan peningkatan immunoglobulin IgG, IgA, dan IgM, akibat demyelinasi
saraf pada kultur jaringan. Abnormalitas fungsi hati terdapat pada kurang dari 10%
kasus, menunjukkan adanya hepatitis viral yang akut atau sedang berlangsung;
umumnya jarang karena virus hepatitis itu sendiri, namun akibat infeksi CMV
ataupun EBV (3,5).
5. Elektrokardiografi (EKG)
Menunjukkan adanya perubahan gelombang T serta sinus takikardia.
Gelombang T akan mendatar atau inverted pada lead lateral. Peningkatan voltase
QRS kadang dijumpai, namun tidak sering (3).
6. Tes fungsi respirasi (pengukuran kapasitas vital paru)
Menunjukkan adanya insufisiensi respiratorik yang sedang berjalan
(impending)5.
7. Pemeriksaan patologi anatomi
Umumnya didapati pola dan bentuk yang relatif konsisten; yakni adanya
infiltrat limfositik mononuklear perivaskuler serta demyelinasi multifokal. Pada fase
lanjut, infiltrasi sel-sel radang dan demyelinasi ini akan muncul bersama dengan
demyelinasi segmental dan degenerasi wallerian dalam berbagai derajat Saraf perifer
dapat terkena pada semua tingkat, mulai dari akar hingga ujung saraf motorik
intramuskuler, meskipun lesi yang terberat bila terjadi pada ventral root, saraf spinal
proksimal, dan saraf kranial. Infiltrat sel-sel radang (limfosit dan sel mononuclear
lainnya) juga didapati pada pembuluh limfe, hati, limpa, jantung, dan organ lainnya
(3).
Sekitar 25% orang dengan penyakit ini mempunyai antibody baik terhadap
sitomegalovirus atau virus Epstein-Barr. Suatu perubahan respons imun pada antigen
saraf perifer dapat menunjang perkembangan gangguan (3).
G. Pentalaksanaan Medis
Sindrom Guillain-Barre dipertimbangkan sebagai kedaruratan medis dan
pasien diatasi di unit perawatan intensif. Pasien yang mngalami masalah pernapasan
yang memerlukan ventilator, kadang-kadang untuk periode yang lama. Plasmaferesis
(perubahan plasma) yang menyebabkan reduksi antbiotik ke dalam sirkulasi
sementara, yang dapat digunakan pada serangan berat dan dapat membatasi keadaan
yan memburuk dan demielinasi. Diperlukan pemantauan EKG kontinu, untuk
kemungkinan perubahan kecepatan atau ritme jantung. Disritmia jantung
dihubungkan dengan keadaan abnormal autonom yang diobati dengan propanolol
untuk mencegah takikardi dan hipertensi. Atropin dapat diberikan untuk menghindari
episode brakikardi selama terapi fisik (6,7).
Pengobatan SGB terdiri dari 2 komponen, yaitu pengobatan secara suportif
dan terapi khusus. Pengobatan secara suportif tetap merupakan terapi yang utama,
jika pasien sebelumnya melewati fase akut pada penyakit, kebanyakannya akan
mengalami kesembuhan. Bagaimanapun, neuropati dapat memburuk dengan cepat
dan diperlukan intubasi endotrakeal dan ventilasi mekanik dalam 24 jam selama onset
gejala. Oleh karena itu, semua pasien SGB harus diterima di Rumah Sakit untuk
diobservasi tertutup untuk kedaruratan system respirasi pasien, disfungsi kranialis,
dan ketidakstabilan system autonom. Disfungsi system saraf autonom dapat
bermanfestasi; tekanan darah yang berubah-ubah, disritmia, psudoobstruktif
gastrointestinal dan retensi urin. Profilaksis untuk trombosis vena dalam harus
tersedia karena pasien seringkali tidak dapat bergerak selama beberapa minggu (8).
Pada depresi otot pernafasan harus dipertimbangkan persiapan intubasi.
Pasien tidak sanggup untuk menunjukkan fungsi minimal paru memerlukan intubasi.
Penilaian ulang frekuensi pernafasan dengan tes fungsi paru untuk progresi yang
cepat sangat diperlukan. Perkiraan tambahan untuk ventilasi mekanik selanjutnya
adalah (8):
Waktu dari onset SGB sampai masuk RS kurang dari 7 hari.
Ketidaksanggupan untuk mengangkat siku atau kepala dari tampat tidur
Tidak sanggup berdiri
Peninggian kadar enzim hati
Nyeri dan stress psikologi juga harus diobati. Terapi psikologis termasuk
memijat dengan lembut, latihan pergerakan secara pasif dan sering merubah posisi
dapat meringankan nyeri. Karbamazepin (tegretol) dan Gabapentin (nerontin) telah
digunakan sebagai tambahan untuk menghilangkan nyeri pada SGB. Pada pasien
dengan paralysis memiliki jiwa yang was-was dan takut. Menenangkan pasien dan
diskusi tentang fase penyakit dan perbaikan dapat membantu mengurangi stress
psikologi (9).
Belum ada drug of choice yan tepat untuk SGB. Yang diperlukan adalah
kewaspadaan terhadap kemungkinan memburuknya situasi sebagai akibat perjalanan
klinik yang memberat sehingga mengancam otot-otot pernafasan (9).
Pasien yang tidak mampu bergerak atau dengan berbagai derajat disfungsi
otot-otot respirasi harus mendapatkan terapi aktif dengan plasmapharesis atau
immunoglobulin secara intravena (IVIg). Plasmapharesis menggunakan suatu plasma
exchange lebih kurang 20 L (200-250 mL/Kg selama beberapa hari) secara bermakna
menurunkan lama dan beratnya disability pada pasien SGB, namun beberapa
penyelidikan terbaru juga memperlihatkan keuntungan dari IVIg (3,7).
The Dutch Guillain-Barre Study Group mengemukakan pengobatan dengan
IVIg (400mg/KgBB selama 5 hari) sama atau malahan lebih superior dibandingkan
dengan plasma exchange. Penyelidikan-penyelidikan yang lain kurang meyakinkan
dan mengemukakan kemungkinan terjadinya relaps pada pasien dengan pemberian
IVIg dibandingkan plasma exchange (3,7).
IVIg merupakan pengobatan lini pertama yang lebih praktis yang tidak
diragukan lagi kemanjurannya dengan komplikasi yang rendah, dan mudah
digunakan, namun sangat mahal biayanya. Plasma exchange memerlukan tenaga
yang terlatih dan peralatan yang tidak selalu dapat tersedia dengan biaya yang juga
mahal, namun lebih murah dibandingkan dengan IVIg. Tidak ada studi tentang
keuntungan menggabungkan penggunaan IVIg dan plasma exchange, sehingga hanya
salah satu terapi saja yang digunakan (3,7).
Kerugian plasmapharesis termasuk komplikasinya jarang ditemukan, seperti
sepsis yang diyakini dapat menyebabkan penipisan immunoglobulin. Jika plasma
beku digunakan sebagai cairan pengganti, beresiko untuk mendapatkan virus seperti
hepatitis dan HIV (10).
IVIg memiliki efek samping dari terapi. IVIg memperluas volume plasma
juga dapat memicu terjadinya Congestif Heart Failure (CHF) dan Renal Insuffiensi.
Pasien-pasien dapat menjadi demam, myalgia, sakit kepala, mual, dan muntah, tetapi
gejalaseperti influenza dapat sembuh dengan sendirinya. Pasien juga dapat
mnegalami meningitis aseptic, nutropenia, dan hipertensi. Riwayat alergi sebelumnya
terhadap penggunaan IVIg merupakan kontra indikasi pengobatan (9).
Manfaat kortikosteroid untuk SGB masih controversial. Namun demikian,
apabila keadaan menjadi gawat akibat terjadinya paralysis otot-otot respirasi maka
kortikosteroid dosis tinggi dapat diberikan. Pemberian kortikosteroid harus diiringi
dengan kewaspadaan terhadap efek samping yang mungkin terjadi (9).
Penggunaan ventilator mekanik menjadi suatu keharusan apabila diduga telah
terjadi paralysis otot-otot respirasi. Diperlukan rawatan intensif apabila didapati
keadaan seperti ini. Apabila terjadi kelumpuhan otot-otot wajah dan menelan, maka
perlu dipasang pipa hidung-lambung (NGT) untuk dapat memenuhi kebutuhan
makanan dan cairan. Latihan dan fisioterapi sangat diperlukan untuk mempercepat
proses pemulihan (3).
H. Prognosis
Prognosis akan lebih baik apabila penderita berusia muda, selama sakit tidak
memerlukan pernafasan bantuan, perjalanan penyakit yang lebih lambat, dan tidak
terjadi kelumpuhan total (3).
Sekitar 85% pasien dengan SGB berhasil sembuh dengan penyembuhan
fungsi dalam 6-12 bulan. Penyembuhan maksimal dalam 18 bulan setelah onset,
bagimanapun pada beberapa pasien memiliki kelemahan yang menetap, arefleksia,
dan parestesia. Sekitar 7-15% pasien memiliki gejala neurologist sisa yang menetap
termasuk bilateral footdrop. Otot tangan instrinsik kebas, sensori ataxia, dan
disestesia. Angka kematian <5% pada pengobatan yang professional. Penyebab
kematian biasanya berupa sindrom distress pernafasan, sepsis, emboli paru, dan henti
jantung (3).
Faktor-faktor yang memperberat selama fase akut dari penyakit dapat
memperburuk proses penyembuhan. Faktor-faktor ini yaitu, usia > 60 tahun, berat,
memerlukan pernafasan bantuan. Pada umunya, prognosis yang jelek secara langsung
berhubungan dengan beratnya episode akut dan lambatnya onset pada pengobatan
spesifik (3).
I. Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
Pengkajian terhadap Sindrom Guillain-Barre meliputi (3):
Keluhan utama
Keluhan utama sering menjadi alasan lien meminta pertolongan kesehatan
berhubungan dengan kelemahan otot bak kelemahan fisik secara umum maupun
lokal seperti melemahnya otot pernapasan.
Riwayat penyakit sekarang
Tanyakan dengan jelas tentang gejala yang timbul seperti kapan mulai
serangan, sembuh atau bertambah buruk. Pada pengkajian klien Sindrom
Guillain-Barre biasanya didapatkan keluhan yang berhubungan dengan proses
dimielinisasi. Keluhan tersebut diantaranya gejala-gejala neurologis diawali
dengan prestasia (kesemutan kebas) dan kelemahan otot kaki, yang dapat
berkembang ekstremitas atas, batang tubuh dan otot wajah. Kelemahan dapat
diikuti dengan paralisis lengkap.
Keluhan yang paling sering ditemukan pada klien Sindrom Guillain-Barre dan
merupakan komplikasi yang paling berat dari Sindrom Guillain-Barre adalah
gagal napas. Melemahnya otot pernapasan membuat klien dengan gangguan ini
berisiko lebih tinggi terhadap hipoventilasi dan infeksi pernapasan berulang.
Disfagia juga dapat muncul pada penyakit Sindrom Guillain-Barre ini yang lebih
mengarah pada aspirasi. Keluhan kelemahan ekstremitas atasah hampir sama
seperti keluhan klien stroke. Keluhan lainnya adalah kelainan dari fungsi
kardiovaskular seperti terjadinya disaritmia jantung yang diakibatkan oleh
gangguan system saraf otonom pada klien dengan Sindrom Guillain-Barre.
Riwayat penyakit dahulu
Pengkajian penyakit yang pernah dilami klien yang memungkinkan adanya
hubungan atau menjadi predisposisi keluhan sekarang meliputi pernahkah klien
mengalami ISPA, insfeksi gastrointestinal dan tindakan bedah Syaraf.
Pengkajian pemakain obat-obatan yang sering digunakan klien, seperti
pemakaian obat kartikosteroid, antibiotik dan menilai reaksinya (resistensi
pemakaian antibiotik) dapat menambah komprehensipfnya pengkajian.
Pengkajian riwayat dahulu dapat mendukung pengkajian riwayat penyakit
sekarang dan merupakan data dasar untuk mengkaji lebih jauh dan untuk
memberikan tindakan selanjutnya.
Pengkajian psikospiritual
Pengkajian mekanisme koping yang digunakan klien juga penting untuk
menilai respon emosi klien terhadap penyakit yang dideritanya dan perubahan
peran klien dalam keluarga dan masyarakat serta respon atau pengaruhnya dalam
kehidupan sehari-hari baik dalam keluarga ataupun dalam masyarakat. Apakah
ada dampak yang timbul pada klien yaitu timbul seperti ketakutan akan
kecacatan, cemas, ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas secara optimal dan
pandangan terhadap dirinya yang salah (gangguan citra tubuh). Pengkajian
mengenai mekanisme koping yang secara sadar biasa digunakan klien selama
masa stress, seperti kemampuan klien untuk mendiskusikan masalah kesehatan
saat ini yang telah diketahui dan perubahan perilaku saat stress.
Pemeriksaan Fisik
Klien dengan Sindrom Guillain-Barre biasanya didapatkan suhu tubuh
normal. Penurunan denyut nadi terjadi berhubungan dengan tanda-tanda penurunan
curah jantung . peningkatan frekuensi napas berhubungan dengan peningkatan laju
metabolism umum dan adanya infeksi pada system pernapasan serta akumulasi secret
akibat insufisiensi pernapasan. Tekanan darah didapatkan ortostatsik hipotensi atau
tekanan darah meningkat (hipertensi transien) berhubungan dengan penurunan reaksi
saraf simpatis dan parasimpatis. Pemeriksaan fisik meliputi5:
B1 (Breathing)
Hasil inspeksi akan didapatkan klien batuk, peningkatan produksi sputum,
sesak napas, penggunaan otot bantu napas meningkat dan yang paling sering
didapatkan pada klien Sindrom Guillain-Barre adalah menurunnya ferkuensi
pernapasan karena melemahnya fungsi otot-otot pernapasan. Palpasi biasanya
taktil premitus seimbang kanan dan kiri. Auskultasi bunyi napas tambahan seperti
ronki pada klien dengan Sindrom Guillain-Barre berhubugan dengan akumulasi
sekret dari infeksi saluran pernapasan.
B2 (Blood)
Pengkajian pada system kardiovaskular pada klien Sindrom Guillain-Barre
menunjukkan bradikardi akibat penurunan perfusi perifer. Tekanan darah
didapatkan hipotensi atau hipertensi akibat penurunan reaksi saraf simpatis dan
parasimpatis.
B3 (Brain)
Pengkajian Brain merupakan pemeriksaan fokus dan lebih lengkap
dibandingkan system lainnya. Pemeriksaan Brain meliputi:
Pegkajian Tingkat Kesadaran
Klien dengan Sindrom Guillain-Barre biasanya kesadaran klien
komposmentis. Apabila klien mengalami penurunan tingkat kesadaran maka
penialaian GCS sangat penting untuk menilai tingkat keasadarn klien dan bahan
evaluasi untuk monitoring pemberian asuhan.
Pengkajian Fungsi Serebral
Pengkajian fungsi sersebral merupakan pengkajian yang menyangkut status
mental yaitu observasi penampilan, tingkah laku, nilai gaya bicaram ekspresi
wajah dan aktivitas motorik klien. Klien dengan Sindrom Guillain-Barre untuk
tahap yang lebih lanjutnya disertai penurunan kesadaran biasanya status mental
klien mengalami perubahan.
Pengkajian Saraf Kranial
Pengkajian saraf cranial meliputi pengkajian saraf kranial I-XII (3):
Saraf I. Biasanya pada klien Sindrom Guillain-Barre tidak ada kelainan dari
fungsi penciuman.
Saraf II. Tes ketajaman dan Penglihatan pada kondisi normal.
Saraf III, IV, dan VI. Penurunan membuka dan menutup kelopak mata disebut
paralisis okuler.
Saraf V. Klien dengan Sindrom Guillain-Barre didapatkan paralisis pada otot
wajah sehingga mengganggu proses mengunyah.
Saraf VII. Persepsi pengecapan dlam batas normal, wajah asimetris karena
adanya paralisis unilateral.
Saraf VIII. Tidak ditemukan adanya tuli konduksi adan tuli persepsi
Saraf IX dan X. Paralisis otot orofaring, kesulitan berbicara, mengunyah dan
menelan. Kemampuan menelan kurang baik sehingga mengganggu
pemenuhan nutrisi via oral.
Saraf XI. Tidak ada atrofi otot sternkleidomantoideus dan trapezius.
Kemampuan mobilisasi leher baik.
Saraf XII. Lidah simetris, tidak ada deviasi paa satu sisi dan tidak ada
fasikulasi. Indra pengecapan normal
Pengkajian Sistem Motorik
Kekuatan otot menurun, control keseimbangan dan koordinasi pada Sindrom
Guillain Barre tahap lanjut mengalami perubahan. Klien mengalami kelemahan
motorik secara umum sehingga mengganggu mobilitas fisik.
Pengkajian Refleks
Pemeriksaan refleks propunda, pengetukan pada tendon, ligamentum atau
periosteum derajat refleks pada respon normal.
Pengkajian Sistem Sensorik
Parestesia (kesemutan kebas) dan kelemahan otot kaki, yang dapat
berkembang ke ekstremitas atas, batang tubuh, dan otot wajah. Klien mengalami
penurunan kemampuan penilaian sensorik raba, nyeri, dan suhu.
B4 (Bladder)
Pemeriksaan pada sistem perkemihan biasanya didapatkan berkurangnya
volume penegeluaran urine, hal ini berhubungan dengan penurunan perfusi dan
penurunan curah jantung ke ginjal.
B5 (Bowel)
Mual sampai muntah dihubungkan denganpeningkatan produksi asam
lambung. Pemenuhan nutrisi pada klien meningitis menurun karena anoreksia dan
kelemahan otot-otot pengunyah serta gangguan proses menelan menyebabkan
pemenuhan via oral menjadi berkurang.
B6 (Bone)
Penurunan kekuatan otot dan penurunan tingkat kesadaran menurunkan
mobilitas klien secara umum. Dalam pemenuhan kebutuhan sehari-hari klien
lebih banyak dibantu oleh orang lain.
2. Diagnosis keperawatan
Berdasarkan data pengkajian, diagnosa utama pasien terdiri dari5:
Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan kelemahan progresif cepat otot-
otot pernafasan dan ancaman gagal pernafasan
Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan akumulasi secret,
kemampuan batuk menurun akibat penurunan kesadaran
Penurunan curah jantung berhubungan dengan perubahan frekuensi, irama, dan
konduksi listrik jantung
Risiko tinggi defisit cairan tubuh berhubungan dengan gangguan pemenuhan
nutrisi dan cairan
Risiko tinggi pemenuhan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan
ketidakmampuan mengunyah dan menelan makanan
Gangguan persepsi sensorik berhubungan dengan kerusakan penerima rangsang
sensorik, transmisi sensorik dan integrasi sensori
Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan neuromuscular,
penurunan kekuatan otot dan penurunan kesadaran
Koping individu dan keluarga tidak efektif berhubungan dengan prognosis
penyakit, perubahan psikososial, perubahan persepsi kognitif, perubahan actual
dalam struktur dan fungsi, ketidakberdayaan, dan merasa tidak ada harapan
Kecemasan keluarga berhubungan dengan kondisi sakit dan prognosis penyakit
yang buruk.
Tabel 1. NIC dan NOC
N O C N I C
1. Status Respirasi: Patensi jalan
napas
Respiratory rate
Irama respirasi
Kedalaman dari inspirasi
Kemampuan untuk mengeluarkan
1. Manajemen Jalan Napas
Buka jalan napas
Posisikan klien untuk potensi
ventilasi yang maksimal
Bantuan jalan napas melalui oral
atau nasofaring
sekresi
Kecemasan
Ketakutan
Tersedak
Bunyi napas tambahan
Terengah-engah
Penggunaan otot bantu
Akumulasi dari sputum
Melakukan fisioterapi dada
Mengeluarkan sekresi dengan
mendorong untuk batuk atau
suction.
Dorong perlahan; tarik napas
dalam; keluarkan; batukkan
Instruksikan bagaimana cara batuk
yang efektif
Auskultasi bunyi nafas, mencatat
area yang mengalami penurunan
atau tidak terdapat ventilasi dan
adanya suara tambahan.
Gunakan bronkodilator
Melakukan suction endotrakeal
atau nasotrakeal
Ajarkan pasien bagaimana cara
menggunakan peresepan inhaler
Gunakan pengobatan aerosol
Gunakan pengobatan nebulizer
ultrasonic
Gunakan udara yang lembab atau
oksigen
Regulasi pemasukan cairan untuk
keseimbangan cairan yang optimal
Posisikan klien untuk
meringankan dispnea
Monitor status respirasi dan
oksigenisasi
2. Status Respirasi
Respiratori rate
Irama pernapasan
Kedalaman inspirasi
Auskultasi bunyi napas
Volume tidal
Kapasitas vital
Saturasi oksigen
Tes fungsi paru
Penggunaan otot aksesoris
Retraksi dada
Sianosis
Dispnea saat istirahat
Somnolen
Diaporesis
Gangguan kognitif
Akumulasi sputum
Suara napas tambahan
3. Keefektivan Pompa Jantung
Tekanan darah sistol
Tekanan darah diastol
Denyut nadi perifer
2. Pemantauan Respirasi
Monitor RR, irama pernafasan,
kedalaman dan usaha bernafas
Catat pergerakan dada, perhatikan
kesimetrisannya, penggunaan otot
aksesoris dan rewtraksi otot supra
klavikular dan interkostal
Monitor bising nafas, seperti
crowing dan snoring
Monitor pola nafas : bradipnea,
takipnea, hiperventilasi, pernafasn
kussmaul, pernafasan cheyne-
stokes, bioapneostik, respirasi biot
dan pola ataxic
Monitor kelelahan otot diafragma
Monitor peningkatan kelelahan,
kecemasan, dan kekurangan
udara.
Auskultasi bunyi napas, catatan
adanya bunyi tambahan.
Monitor kapasitas vital, fev1/fv5c.
Gunakan trikmen terapi respirasi
(nebulizer).
Monitor sekresi pernapasan
pasien.
3. Cardiac Care
Evaluasi nyeri dada (intensitas,
lokasi, radiasi, durasi)
Monitor frekuensi dan ritme
Irama jantung
RR
Irama pernapasan
Kedalaman inspirasi
Output urin
Saturasi oksigen
Fatigue
Keseimbangan intake dan
output selama 24 jam
Disritmia
Bunyi jantung abnormal
Angina
Edema perifer
Edema paru
Asites
Intoleran aktivitas
Hepatomegali
Ukuran jantung
jantung
Auskultasi suara jantung
Auskultasi paru (bunyi crackles
dan bunyi tambahan)
Monitor status syaraf
Monitor intake/output, keluaran
urin dan berat badan
Monitor pemeriksaan EKG secara
berkala
Menggunakan 12 lead EKG, jika
diperlukan
Monitor fungsi ginjal (mis. BUN
dan CR level), jika dibutuhkan
Monitor hasil lab untuk elektrolit
yang mungkin meningkatkan
resiko disritmia (mis. Serum
potassium dan magnesium)
Gunakan X-ray dada
Monitor keefektipan terapi
oksigen
Monitor factor yang menentukan
penyampaian oksigen (mis. Pa O2
dan tingkat hemoglobin dan
kardiak output)
Monitor keefektifan pengobatan
DAFTAR PUSTAKA
1. Ryszard MP, Cassio L, Robert MG, Guillain-Barré Syndrome. JAMA
2011;305(3):319
2. Kenichi K, Toshio A, and Robert KY. Antiganglioside antibodies and their
pathophysiological effects on Guillain–Barr´e syndrome and related disorders—A
review. Glycobiology 2009;19(7):676–692
3. Muttaqin A. Asuhan keperawatan klien dengan Gangguan sistem persyarafan.
Jakarta: Salemba Medika, 2008
4. Harsono. Kapita Selekta Neurologi. Yogyakarta: Gajah Mada University Press,
2007
5. Lehman HC, Parastoo J, Eva KK, et all. Autoantibody-Mediated Dysfunction of
Sympathetic Neurons in Guillain-Barre Syndrome. ARCH NEUROL
2010;6(2):203
6. Smeltzer SC, Bare BG. Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah Brunner &
Suddarth Volume 3. Jakarta: EGC, 2001
7. Hughes R, Anthony VS, Jean CR, et all. Immunotherapy for Guillain-Barre
syndrome: asystematicreview. Brain 2007;130:2245-2257
8. Howard L, Werner, Levitt LP. Buku Saku Neurologi Edisi Kelima. Jakarta: EGC,
2001
9. Asnawi CM. Neuropati Kapita Selekta Edisi Kedua. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press, 1996
10. Mardjono M, Sidharta P. Neurologi Klinis Dasar Edisi VIII. Jakarta: Dian
Rakyat, 2000
Recommended