94
GAMBARAN GANGGUAN FUNGSI KOGNITIF PADA TUMOR OTAK PRIMER DAN METASTASIS TESIS Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SPESIALIS-1 NEUROLOGI RIMA ANINDITA PRIMANDARI 1106024981 FAKULTAS KEDOKTERAN PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS NEUROLOGI JULI 2016

gambaran gangguan fungsi kognitif pada tumor otak

Embed Size (px)

Citation preview

GAMBARAN GANGGUAN FUNGSI KOGNITIF PADA TUMOR OTAK

PRIMER DAN METASTASIS

TESIS

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

SPESIALIS-1 NEUROLOGI

RIMA ANINDITA PRIMANDARI

1106024981

FAKULTAS KEDOKTERAN

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS NEUROLOGI

JULI 2016

ii Universitas Indonesia

iii Universitas Indonesia

iv Universitas Indonesia

v Universitas Indonesia

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur saya panjatkan ke hadirat Allah swt karena atas limpahan dan

karunia-Nya saya dapat mengerjakan dan menyelesaikan penelitian serta

penulisan tesis ini. Shalawat dan salam juga saya panjatkan kepada junjungan

saya Nabi Muhammad saw.

Tesis ini disusun sebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar Spesialis

Neurologi pada Program Studi Pendidikan Dokter Spesialis Neurologi, Fakultas

Kedokteran Universitas Indonesia. Saya menyadari bahwa tanpa bantuan dan

bimbingan dari berbagai pihak, selama masa perkuliahan sampai pada penyusunan

tesis ini, sangatlah sulit bagi saya untuk menyelesaikan tesis ini. Dalam

kesempatan ini saya mengucapkan terima kasih kepada:

1. Rektor Universitas Indonesia, Dekan Fakultas Kedokteran Universitas

Indonesia, Direktur Utama RSCM, Direktur Instalasi Rawat Jalan

RSUPNCM, Koordinator Pendidikan DOkter Spesialis FKUI/RSUPNCM

beserta seluruh jajarannya, terima kasih untuk kesempatan yang telah

diberikan kepada saya untuk menempuh pendidikan spesialis di

FKUI/RSUPNCM.

2. Ketua Departemen Neurologi, dr. Diatri Nari Lastri, SpS (K), sekaligus

pembimbing dalam tesis ini, saya menyampaikan rasa hormat dan terima

kasih banyak atas kesediaannya untuk meluangkan waktu dalam

membimbing, mengarahkan, dan memberikan masukan selama saya

menjalani penelitian. Saya juga berterima kasih untuk dorongan, dan

kemudahan yang diberikan kepada saya selama mengenyam pendidikan di

bawah naungan Departemen yang beliau pimpin.

3. Ketua Program Studi PPDS Neurologi dr. Eva Dewati, SpS (K), yang telah

memberikan kepercayaan, bimbingan, dan perhatian selama saya

menjalani masa studi di Departemen Neurologi. Tak lupa saya ucapkan

terima kasih yang mendalam kepada seluruh Staf Program Studi dan

Koordinator Pendidikan, selruh Ketua Divisi, dan Staf Pengajar

vi Universitas Indonesia

lingkungan Departemen Neurologi yang telah memberikan dukungan,

sarana, dan prasarana selama proses pendidikan saya.

4. Koordinator penelitian sekaligus pembimbing penelitian saya, DR. dr.

Tiara Aninditha, SpS (K), terima kasih atas perhatian, kesabaran,

kesediaan waktu, dan pikiran sehingga banyak sekali masukan yang

berharga yang saya terima, tidak hanya selama menjalani penelitian dan

penulisan tesis ini, tetapi juga selama menjalani pendidikan saya.

5. Wakil koordinator penelitian sekaligus pembimbing akademik, dr. Ahmad

Yanuar, SpS, terima kasih banyak atas inspirasi, semangat, dan

pencerahan, serta kesediaannya untuk mendengar segala kendala yang

dialami selama menjalani pendidikan ini.

6. Pembimbing statistik, DR. dr. Joedo Prihartono, MPH, terima kasih yang

tidak terhingga atas keluangan waktu yang diberikan selama berdiskusi

sejak perumusan ide penelitian sampai dengan tesis ini selesai disusun.

7. Para penguji proposal, sampai dengan seminar hasil, Prof. dr. Teguh A.S.

Ranakusuma, SpS (K), DR. dr. Yetty Ramli, SpS (K), dr. Fitri Octaviana

SpS (K), Mpd.Ked, dan dr. Darma Imran, SpS (K), terima kasih atas

masukan, perbaikan, dan sumbang pemikiran dalam penyusunan tesis ini.

8. Para guru saya di Departemen Neurologi FKUI, dr. Zakiyah S, SpS (K),

DR. dr. Sitti Airiza Ahmad, SpS (K), dr. Salim Harris, SpS (K), FICA, dr.

Jan Sudir Purba, PhD, dr. Freddy Sitorus, SpS (K), DR. dr. Al Rasyid, SpS

(K), dr. Manfaluthy Hakim, SpS (K), dr. Adre Mayza, SpS (K), dr.

Riwanti Estiasari, SpS (K), dr. Amanda Tiksnadi, SpS (K), dr. Astri

Budikayanti, SpS (K), dr. Mohammad Kurniawan, SpS (K) FICA, dr.

Taufik Mesiano, SpS, dr. Rakhmad Hidayat, SpS, dr. Pukovisa

Prawirohardjo, SpS, dr. Ni Nengah Rida Ariarini, SpS, dr. Luh Ari

Indrawati, SpS, dr. Meidianie Camilla, SpS, dr. Winnugroho Wiratman,

SpS, dr. Henry Riyanto Sofyan, SpS, saya haturkan rasa syukur dan terima

kasih yang tidak terhingga, dapat memiliki guru-guru hebat dan memiliki

dedikasi luar biasa, serta semoga ilmu yang diberikan senantiasa menjadi

amal jariyah bagi mereka.

vii Universitas Indonesia

9. Perawat poliklinik Fungsi Luhur, sr. Triwati, Ibu Sukmawati, Kepala

Ruangan, perawat, serta seluruh staf Unit Rawat Jalan maupun Rawat Inap

Neurologi RSUPNCM, terima kasih banyak atas bantuan dan

kerjasamanya.

10. Orangtua saya, dr. Lenny Sari, SpPA, dan Ir. Lestaryo Rahardjo, Ellyna

Lohor dan (Alm) Ir. Tonny Livinus, tiada kalimat yang cukup untuk

melukiskan beta besarnya cinta kasih dan dukungan yang telah diberikan

kepada saya hingga detik ini. Betapa besar doa, pengorbanan, dan teladan

yang telah ditunjukkan hingga saya dapat mencapai semua ini.

11. Kepada keluarga kecilku, suami tercinta, dr. Victor Livinus, terima kasih

atas semua kasih sayang, pengorbanan, keikhlasan, dan dukungannya yang

amat luar biasa selama ini, serta putra kecilku, Aiden Drea Livinus, atas

semua gelak tawa, perhatian, dan kehadirannya yang menjadi motivasi

terbesar saya dalam menyelesaikan pendidikan ini.

12. Kepada adik-adikku, Dimas Prameshwara, STI, Irma Prameshwari, serta

Irene Margaretta Livinus, dan Jesslyn Margaret, SKG, terima kasih atas

doa, bantuan, dan dukungannya selama ini.

13. Teman sejawat PPDS, dr. Anyeliria Sutanto, dr. Sucipto, terima kasih atas

bantuan kecilnya yang begitu besar maknanya selama proses penelitian ini.

14. Sahabat, teman seangkatan dan seperjuangan, dr. Dameria Sri Indahwati

Panjaitan, SpS, dr. Kartika Maharani, SpS, dr. Ismi Adhanisa Hamdani,

SpS, dr. Andira Larasari, SpS, dr. Rahmi Ulfah, terima kasih banyak atas

persahabatan, segala dukungan, cerita, dan juga suka duka selama

menjalani pendidikan ini. Semoga persahabatan ini akan terus terjalin

hingga masa tua nanti. Teman-teman seperjuangan OSCE 22, dr. Dyah

Tunjungsari, SpS, dr. Teuku Reyhan Gamal, SpS, dr. Lubna Gadrie, SpS,

terima kasih atas suka duka yang dialami selama persiapan dan ujian,

bahkan sampai dengan detik ini. Terima kasih juga untuk dr. Andre, SpS,

dr. Mellia Ambarningrum, dr. Anastasia Maria Loho, dr. Anne Dina

Soebroto, dr. Eny Nurhayati, dr. Winda Kusumadewi, dr. Nanda

Charitanadya, dr. Chairunnisa Baziad, dr. Indah Chitra, dr. Mirna Marhami

Iskandar, dr. Andriani Putri Bestari, dr. Ade Wijaya, dan seluruh rekan-

viii Universitas Indonesia

rekan PPDS baik senior maupun junior yang tidak dapat disebutkan satu

persatu, terima kasih banyak atas bantuan, dorongan, serta

kebersamaannya selama ini.

15. Semua pihak yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu.

Akhir kata, dengan rasa syukur saya berharap Allah swt berkenan membalas

semua kebaikan semua pihak yang telah membantu saya dalam pendidikan ini dna

saya mohon maaf bila ada yang tidak berkenan. Semoga tesis ini dapat bermanfaat

bagi semua pihak.

Jakarta, 12 Juli 2016

Penulis

ix Universitas Indonesia

x Universitas Indonesia

ABSTRAK

Nama : Rima Anindita Primandari

Program studi : Pendidikan Dokter Spesialis Neurologi

Judul : “Gambaran Gangguan Fungsi Kognitif pada Tumor Otak Primer

dan

Metastasis”

Latar belakang: Gangguan fungsi kognitif merupakan salah satu defisit neurologis

kedua tersering setelah sakit kepala pada tumor intrakranial. Gangguan fungsi

kognitif yang paling sering terjadi pada tumor otak adalah gangguan fungsi

eksekutif. Penilaian fungsi kognitif sebelum dilakukan operasi maupun radioterapi

penting sebagai data dasar klinis pasien.

Tujuan: Mendapatkan informasi mengenai penilaian fungsi kognitif sebelum

dilakukan operasi maupun radioterapi sebagai data dasar klinis pasien.

Metode: Disain penelitian ialah survei potong lintang dengan pengambilan sampel

secara konsekutif. Data diperoleh dari Divisi Fungsi Luhur Poliklinik saraf dan

Departemen Rekam Medis RSUPN Cipto Mangunkusumo periode Januari 2009-

Maret 2016. Subjek penelitian berusia 18-65 tahun dan telah terdiagnosis tumor

otak, memiliki hasil histopatologi, serta telah menjalani pemeriksaan fungsi luhur

preoperatif.

Hasil: Terdapat 77 subjek penelitian dengan proporsi subjek laki-laki (50,6%) dan

perempuan (49,4%) hampir sama, terbanyak berusia 40 tahun ke atas (67,5%),

serta berpendidikan terutama 12 tahun ke atas (61%). Glioma (46,7%) dan

meningioma (63,2%) merupakan dua tumor otak primer terbanyak, sedangkan

paru (34,4%) dan payudara (18,8%) adalah asal metastasis otak terbanyak.

Hampir semua subjek mengalami gangguan fungsi kognitif (96,1%), terutama

ranah jamak (93,2%). Ranah memori dan fungsi eksekutif merupakan dua ranah

yang paling sering terganggu. Proporsinya semua metastasis dan 80% tumor otak

primer mengalami gangguan memori. Sebesar 77,5% tumor primer dan 89,7%

metastasis otak mengalami gangguan fungsi eksekutif.

Kesimpulan: Hampir semua fungsi kognitif pada tumor otak primer dan

metastasis terganggu, tetapi gangguan pada metastasis otak lebih berat. Ranah

jamak merupakan ranah yang paling banyak terganggu, terutama memori dan

fungsi eksekutif.

Kata kunci: Gangguan fungsi kognitif, tumor otak

xi Universitas Indonesia

ABSTRACT

Name : Rima Anindita Primandari

Course Program : Resident of Neurology

Title : “Cognitive Impairment Profile in Brain Tumors”

Aim: To obtain information about cognitive assessment before surgery and

radiotherapy.

Methods: This study was a cross-sectional retrospective study using consecutive

sampling. Data obtained from neurobehavior division of Neurology Clinic and

Medical Record Department of Cipto Mangunkusumo Hospital started at January

2009 to April 2016. Subjects, aged 18 to 65 years old, diagnosed brain tumors,

had histopatologic data, and done cognitive exam before surgery.

Results: There were 77 subjects, with no notable difference in gender proportion

(50,6% male subjects and 49,4% female subjects). All were aged 40 years old

above (67,5%) and had education level not lower than 12 years (61%). Glioma

(46,7%) and meningioma (63,2%) are two most common primary brain tumors,

whilst lungs (34,4%) and breast (18,8%) are two most major brain metastasis

origin. Most subjects had cognitive impairments (96,1%), predominantly

multidomain (93,2%). Of all domain, memory and executive function are mostly

affected. All metastasis, and 80% primary brain tumor had memory impairment

and 77,5% primary brain tumor and 89,7% brain metastasis had executive

impairment.

Conclusion: Almost all cognitive domain impaired in brain tumors, particularly in

brain metastasis. It suggested that multiple cognitive domain impairment were

majorly impaired, with memory and executive function as the most common

domain.

Keywords: Cognitive impairment, brain tumor.

xii Universitas Indonesia

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ............................................................................................... i

HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ................................................... ii

HALAMAN PENGESAHAN ................................................................................ iii

KATA PENGANTAR ............................................................................................ v

HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ............................ ix

ABSTRAK .............................................................................................................. x

ABSTRACT .......................................................................................................... xi

DAFTAR ISI ........................................................................................................ xii

DAFTAR TABEL ............................................................................................... xvi

DAFTAR GAMBAR ......................................................................................... xvii

DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................................... xviii

DAFTAR SINGKATAN ........................................................................................ i

BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... 1

I.1 Latar Belakang Masalah .................................................................. 1

I.2 Rumusan Masalah ........................................................................... 3

I.3 Tujuan Penelitian ............................................................................ 4

I.3.1 Tujuan Umum ...................................................................... 4

I.3.2 Tujuan Khusus ..................................................................... 4

I.4 Manfaat Penelitian .......................................................................... 4

I.4.1 Bidang Penelitian ................................................................ 4

I.4.2 Bidang Pelayanan Masyarakat ............................................ 4

I.4.3 Bidang Pendidikan .............................................................. 4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................... 5

II.1 Epidemiologi Tumor Otak .............................................................. 5

xiii Universitas Indonesia

II.2 Klasifikasi Tumor Otak ................................................................... 8

II.3 Fungsi Kognitif ............................................................................. 10

II.3.1 Atensi ................................................................................ 11

II.3.2 Bahasa ............................................................................... 13

II.3.3 Memori .............................................................................. 15

II.3.4 Fungsi Eksekutif ............................................................... 18

II.3.5 Visuokonstruksi dan Visuospasial .................................... 20

II.4 Fungsi Kognitif dan Tumor Otak .................................................. 22

II.4.1 Patofisiologi Tumor Primer ............................................... 23

II.4.2 Patofisiologi Metastasis Otak ............................................ 24

II.4.3 Mekanisme Gangguan Fungsi Kognitif pada Tumor Otak

......................................................................................................... 25

II.4.4 Epilepsi dan Gangguan Fungsi Kognitif pada Tumor Otak

......................................................................................................... 28

II.4.5 Berdasarkan Lokasi Tumor ............................................... 29

II.4.5.1 Lobus Frontal .................................................... 30

II.4.5.2 Lobus Temporal ................................................ 31

II.4.5.3 Lobus Parietal .................................................. 31

II.4.5.4 Lobus Oksipital ................................................. 32

II.4.5.5 Daerah Subkortikal lain .................................... 32

II.5 Instrumen Pemeriksaan Fungsi Kognitif ....................................... 33

II.5.1 Mini-Mental Status Examination ...................................... 33

II.5.2 Montreal Cognitive Assessment (MoCA) ......................... 34

II.5.3 Trail Making Test A&B ..................................................... 34

II.5.4 Consortium to Establish a Register for Alzheimer’s Disease

(CERAD) ........................................................................................ 35

II.6 Kerangka Teori .............................................................................. 36

xiv Universitas Indonesia

II.7 Kerangka Konsep .......................................................................... 37

BAB III METODE PENELITIAN ..................................................................... 38

III.1 Desain Penelitian ........................................................................... 38

III.2 Tempat dan Waktu Penelitian ....................................................... 38

III.3 Populasi Penelitian ......................................................................... 38

III.4 Sampel Penelitian .......................................................................... 38

III.5 Kriteria Penelitian ......................................................................... 39

III.5.1 Kriteria Inklusi .................................................................. 39

III.5.2 Kriteria Eksklusi ................................................................ 39

III.6 Estimasi Besar Sampel .................................................................. 39

III.7 Kerangka Operasional ................................................................... 40

III.8 Identifikasi Variabel ...................................................................... 41

III.9 Pengolahan Data dan Analisis Data .............................................. 41

III.10 Batasan Operasional ...................................................................... 41

III.11 Etika Penelitian ............................................................................. 44

BAB IV HASIL PENELITIAN .......................................................................... 45

IV.1 Karakteristik Demografik dan Klinis ............................................ 45

IV.2 Profil Gangguan Fungsi Kognitif pada Tumor Otak ..................... 48

BAB V PEMBAHASAN ................................................................................... 53

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................ 61

VI.1 Kesimpulan ................................................................................... 61

VI.2 Saran .............................................................................................. 62

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 63

LAMPIRAN .......................................................................................................... 70

xv Universitas Indonesia

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Lima Asal Keganasan Sistemik Umum pada Metastasis Otak ........ 8

Tabel 2.2 Persentase Jenis Tumor Otak Menurut Tipe Histologik Umum ..... 9

Tabel 2.3 Klasifikasi dan Derajat Keganasan Meningioma Menurut WHO . 10

Tabel 4.1.1 Sebaran Karakteristik Demografik ................................................ 45

Tabel 4.1.2 Sebaran Karakteristik Klinis ......................................................... 46

Tabel 4.1.3 Karakteristik Kejang ..................................................................... 47

Tabel 4.1.4 Karakteristik Demografik dan Klinis Tumor Otak Primer dan

Metastasis ....................................................................................... 48

Tabel 4.2.1 Profil Fungsi Kognitif ................................................................... 49

Tabel 4.2.2 Karakteristik Demografik dan Klinis Gangguan Fungsi Kognitif 50

Tabel 4.2.3 Profil Ranah Gangguan Kognitif pada Tumor Otak ...................... 51

xvi Universitas Indonesia

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 CBTRUS (2007-2009): Distribusi Usia pada Tumor Sistem Saraf

Pusat Primer .................................................................................... 5

Gambar 2.2 Proporsi Insidensi Terjadinya Metastasis Otak dari Beberapa

Keganasan Primer Ekstrakranial Menurut Metropolitan Detroit

Cancer Surveillance System (MDCSS) ........................................... 6

Gambar 2.3 Distribusi Tumor Primer Susuan Saraf Pusat Berdasarkan Letak

Lesi ................................................................................................... 6

Gambar 2.4 (a) Pembagian Batasan Zona Sirkulasi Vaskular ............................. 7

(b) Daftar Distribusi Metastasis Otak dan Fokus Metastasis pada

Daerah Gray-white matter junction ................................................ 7

Gambar 2.5 Perubahan Enam Ranah Kognitif Berdasarkan Usia (Longitudinal)

........................................................................................................ 11

Gambar 2.6 Sirkuit Proses Komunikasi ............................................................. 13

Gambar 2.7 Skema Tingkatan Pengolahan Bahasa .......................................... 15

Gambar 2.8 Diagram Kerangka Fungsional Proses Belajar dan Memori ......... 16

Gambar 2.9 Subdivisi Utama Memori Menurut Hodges ................................... 17

Gambar 2.10 Skema Fungsi Eksekutif Menurut Schneider dan Chein .............. 20

Gambar 2.11 Ilustrasi Alur Proses Visual ........................................................... 21

Gambar 2.12 Fasikulus yang Membentuk Otak................................................... 25

Gambar 2.13 Diagram Proses Pembelajaran yang Terjadi pada Seluruh Bagian

Otak ................................................................................................ 26

Gambar 4.2 Persentase Ranah Kognitif yang Terganggu Berdasarkan Jenis

Tumor ............................................................................................ 52

xvii Universitas Indonesia

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran . Anggaran dan Jadwal Penelitian .................................................... 70

Lampiran 2 Daftar Riwayat Hidup ................................................................... 71

Lampiran 3 Keterangan Lolos Kaji Etik ........................................................... 73

Lampiran 4 Data Induk Subjek Penelitian ........................................................ 74

xviii Universitas Indonesia

DAFTAR SINGKATAN

ACC : Anterior Cingulate Cortex

BDNF : Brain-Derived Neurotropic Factors

BNT : Boston Naming Test

CBTRUS : Central Brain Tumor Registry of the United States

CERAD : Consortium to Establish a Register for Alzheimer’s Disease

CT : Computed Tomography

DLPFC : Dorsolateral Prefrontal Cortex

GABA : Gamma-Aminobutyric Acid

MMSE : Mini-Mental Status Examination

MoCA : Montreal Cognitive Assessment

MoCA-Ina : Montreal Cognitive Assessment – Indonesian version

MPFC : Medial Prefrontal Cortex

MRI : Magnetic Resonance Imaging

MT : Middle Temporal area

MTL : Mesial Temporal Lobe

NGF : Neurotrophin Growth Factor

NMDA : N-methyl-D-Aspartate

OAE : Obat Anti Epilepsi

OPFC : Orbital Prefrontal Cortex

PCNSL : Primary Central Nervous System Lymphoma

xix Universitas Indonesia

PPC : Posterior Parietal Cortex

Riskesdas : Riset Kesehatan Dasar

RSUPN : Rumah Sakit Umum Pusat Nasional

SPSS : Statistical Package for the Social Sciences

STS : Superior Temporal Sulcus

TBI : Traumatic Brain Injury

Thal : Thalamus

TMT A&B : Trail Making Test A&B

Trk : Tropomyosin-receptor kinase

VLPFC : Ventrolateral Prefrontal Cortex

WBRT : Whole Brain Radiotherapy

WHO : World Health Organization

1 Universitas Indonesia

BAB I

PENDAHULUAN

I.1 LATAR BELAKANG MASALAH

Gangguan fungsi kognitif merupakan salah satu defisit neurologis kedua tersering

setelah sakit kepala pada tumor intrakranial baik primer maupun metastasis

dengan persentase sebesar 35%.1,2

Bentuknya dapat berupa gangguan atensi,

berbahasa, memori, persepsi visuospasial, dan orientasi waktu maupun tempat,

tergantung dari letak dan luasnya lesi otak yang terkena.1,3

Sebagai contoh,

gangguan berbahasa dapat terjadi pada pasien dengan tumor hemisfer kiri,

sedangkan gangguan persepsi visual dapat terjadi pada tumor hemisfer kanan.1,3

Tidak seperti defisit neurologis lainnya, gangguan fungsi kognitif pada tumor

intrakranial seringkali tidak terdeteksi, padahal tidak sedikit dari pasien dengan

tumor intrakranial hanya memiliki gejala gangguan fungsi kognitif saja tanpa

disertai defisit fokal neurologis lainnya.4 Suatu studi menyatakan bahwa gangguan

kognitif menjadi gejala awal pada 33% pasien dengan tumor intrakranial dan

dikonfirmasi oleh keluarga (46%) bahwa gejala awal gangguan fungsi kognitif

telah ada, seringkali mendahului gejala lainnya.5

Gangguan fungsi kognitif yang paling sering terjadi pada tumor otak adalah

gangguan fungsi eksekutif.4,6,7

Fungsi eksekutif sendiri merupakan suatu konsep

kompleks karena banyaknya jaras yang terkait dalam proses fungsi eksekutif,

daerah prefrontal dorsolateral merupakan daerah yang memiliki peran utama pada

fungsi eksekutif. Selain daerah prefrontal, sirkuit kortikostriatal disinyalir

berperan dalam proses fungsi eksekutif.8

Gangguan fungsi kognitif yang terjadi dapat diakibatkan langsung oleh tumor

tersebut atau akibat defisit neurologis lain seperti kejang, serta tatalaksana

definitif terhadap tumor tersebut berupa pembedahan, radioterapi atau

kemoterapi.9

Berkembang pesatnya modalitas tatalaksana tumor otak berdampak

pada peningkatan angka kesintasan hidup pasien-pasien dengan neoplasma.4

Seiring dengan perkembangan tersebut, penyintas gangguan kognitif pada tumor

2

Universitas Indonesia

otak tentunya akan berpengaruh terhadap produktivitas dan aktivitas sehari-hari

baik pasien maupun lingkungan penyokongnya secara sosial, interpersonal

maupun ekonomi.10,11,12

Berdasarkan patomekanismenya, proses terjadinya tumor otak primer dan

metastasis berbeda. Tumor otak primer baik intraaksial maupun ekstraaksial pada

umumnya merupakan suatu lesi tunggal yang berasal dari mutasi sel otak yang

kemudian tumbuh. Perbedaan tumor otak primer intraaksial derajat rendah dan

tinggi terletak pada sawar darah yang intak pada derajat rendah.13,14

Tumor otak

primer ekstraaksial, biasanya juga merupakan suatu lesi tunggal tetapi terletak di

luar parenkim, dalam hal ini yaitu meningioma.15

Sedangkan metastasis otak

merupakan penyebaran sel tumor primer sistemik secara hematogen dan

kemudian terperangkap di end-artery yang terletak di daerah white-gray matter

junction sehingga lesinya bersifat multifokal.16,17

Perbedaan patomekanisme ini diharapkan dapat menjelaskan gambaran gangguan

fungsi kognitif keduanya. Adanya lesi tunggal pada suatu daerah khusus di otak

dengan adanya lesi multipel di otak seharusnya dapat memberikan gambaran

fungsi kognitif yang berbeda satu sama lain terlepas dari fakta bahwa pasien

dengan tumor otak primer cenderung memiliki gangguan fungsi kognitif lebih

global bila dibandingkan dengan stroke yang lebih cenderung bersifat fokal.10

Distribusi usia awal terdiagnosis pasien tumor otak primer bervariasi dengan

puncak usia 59 tahun. Lain halnya dengan tumor otak primer lainnya,

meningioma dan glioblastoma paling banyak terjadi di usia tua dengan puncak

usia yaitu 79 tahun.18

Pada metastasis otak, usia 50-59 tahun merupakan distribusi

terbanyak metastasis yang berasal dari melanoma, karsinoma renal, dan

karsinoma kolorektal. Sedangkan karsinoma paru dan payudara memiliki angka

kejadian paling sering pada dewasa dan dewasa muda.19

Pentingnya mengetahui

distribusi usia terutama berkaitan dengan disabilitas yang terjadi pada pasien-

pasien usia produktif. Gangguan fungsi kognitif pada pasien-pasien usia produktif

tentunya akan menyebabkan penurunan kualitas hidup pasien dan keluarga baik

dari segi sosial maupun ekonomi.

3

Universitas Indonesia

Data statistik mengenai gangguan fungsi kognitif pada tumor otak di Indonesia

belum banyak. Padahal fungsi kognitif juga merupakan komponen penting dalam

penatalaksanaan baik kuratif maupun paliatif. Studi di luar negeri terhadap

gangguan fungsi kognitif dengan tumor otak lebih banyak dilakukan pada pasien

yang sudah menjalani operasi maupun radioterapi, padahal penilaian fungsi

kognitif sebelum dilakukan operasi maupun radioterapi juga penting sebagai data

dasar klinis pasien.10

Oleh karena itu, penulis bermaksud meneliti gambaran

fungsi kognitif pada tumor otak primer dan metastasis sebelum operasi dan whole

brain radiotherapy (WBRT) serta faktor-faktor lainnya yang terkait.

I.2 RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan uraian latar belakang tersebut diatas, dapat dirumuskan masalah

penelitian sebagai berikut:

1. Bagaimana pola distribusi gangguan fungsi kognitif pada tumor otak

primer dan metastasis?

2. Bagaimana prevalensi gangguan fungsi kognitif tumor otak primer dan

metastasis?

3. Apakah ada faktor-faktor lain (demografi, karakteristik tumor, dan

gejala klinis) yang berhubungan dengan gangguan fungsi kognitif pada

tumor otak primer dan metastasis?

I.3 TUJUAN PENELITIAN

I.3.1 Tujuan Umum

Mendapatkan informasi mengenai penilaian fungsi kognitif sebelum dilakukan

operasi maupun radioterapi juga penting sebagai data dasar klinis pasien.

4

Universitas Indonesia

I.3.2 Tujuan Khusus

1. Mengetahui prevalensi gangguan fungsi kognitif pada tumor otak

(primer dan metastasis).

2. Mengetahui faktor-faktor yang dapat berhubungan dengan gangguan

fungsi kognitif pada tumor otak primer dan metastasis (letak lesi dan

kejang).

3. Mengetahui pola distribusi gangguan fungsi kognitif pada tumor otak

primer dan metastasis berdasarkan derajat keganasan tumor dan lokasi

lesi.

I.4 MANFAAT PENELITIAN

I.4.1 Bidang Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran kesesuaian gangguan

fungsi kognitif pada tumor otak (primer dan metastasis) berdasarkan

patomekanismenya.

I.4.2 Bidang Pelayanan Masyarakat

Penelitian ini diharapkan dapat menjadikan pemeriksaan fungsi luhur

sebagai bagian dari rangkaian pemeriksaan yang rutin dikerjakan pada

pasien dengan tumor otak.

Penelitian ini diharapkan dapat mengoptimalkan tatalaksana dan

pendekatan kepada pasien dan caregiver dalam meningkatkan kualitas

hidup pasien.

I.4.3 Bidang Pendidikan

Penelitian ini merupakan sarana proses pendidikan, khususnya kemampuan

analisis dan pengelolaan pasien.

5 Universitas Indonesia

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.1 EPIDEMIOLOGI TUMOR OTAK

Secara umum tumor otak terbagi menjadi dua jenis, yaitu primer dan metastasis.

Secara keseluruhan metastasis otak merupakan neoplasma intrakranial tersering

terjadi pada dewasa.19,20,21

Angka kejadiannya mencapai 40% dari seluruh kejadian

neoplasma.22

Paru, payudara, dan melanoma merupakan primer utama yang paling

sering bermetastasis ke otak. Persentase masing-masing dari keganasan paru,

payudara, dan melanoma berturut-turut sebesar 50%, 15-20%, dan 10%.19,23

Distribusi usia terkait tumor otak dan tumor sistem saraf pusat primer mengalami

peningkatan di usia muda (0-4 tahun), kemudian menurun di usia remaja, dan

meningkat drastis setelah usia 40 tahun.18

Puncak usia untuk tumor otak primer

paling tinggi pada usia sekitar 59 tahun. Berbeda dengan primer lain, insidens

terdiagnosisnya meningioma dan glioblastoma paling tinggi terutama di usia

lansia, yaitu 79 tahun.18

Gambar 1. CBTRUS (2007-2009): Distribusi usia pada tumor sistem saraf pusat primer.18

6

Universitas Indonesia

Usia 50-59 tahun merupakan distribusi terbanyak metastasis otak yang berasal

dari melanoma, karsinoma renal, dan karsinoma kolorektal. Sedangkan pada

karsinoma paru dan payudara memiliki distribusi tersering di dewasa dan dewasa

muda. Usia remaja dan dewasa muda jarang mengalami kejadian metastasis otak.

Gambar 2 merupakan indeks proporsi usia terdiagnosisnya metastasis otak pada

keganasan paru, payudara, renal, kolorektal, dan melanoma.19

Gambar 2. Proporsi insidensi terjadinya metastasis otak dari beberapa keganasan primer

ekstrakranial menurut Metropolitan Detroit Cancer Surveillance System (MDCSS).19

Data statistik dari Central Brain Tumor Registry of the United States (CBTRUS)

tahun 2007-2011 menyebutkan berdasarkan jenisnya, meningioma dilaporkan

merupakan tumor tersering terjadi dengan angka kejadian lebih dari 35% dari

seluruh tumor otak primer usia dewasa yang tercatat di CBTRUS. Tumor primer

kedua terbanyak yaitu glioblastoma dan merupakan keganasan tersering dari

tumor primer. Angka kejadiannya mencapai 16% dari seluruh kejadian tumor otak

primer.24

Gambar 3. Distribusi tumor primer susunan saraf pusat berdasarkan letak lesi.24

0

10

20

30

40

Paru Melanoma Payudara Renal KolorektalPro

po

rsi i

nsi

den

si

(%)

20-39

40-49

50-59

60-69

≥70

7

Universitas Indonesia

Berdasarkan CBTRUS 2005-2009, lokasi tumor primer terbanyak (dalam hal ini

glioma) terletak pada lobus frontal dengan persentase 25,6%.18

Sedangkan tempat

predileksi terjadinya meningioma tersering adalah di daerah parasagittal, diikuti

pada konveksitas terutama daerah frontolateral.25,26

Metastasis otak penyebarannya terjadi secara hematogen, biasanya melalui

sirkulasi arterial dan berakhir pada end-artery yaitu pada bagian gray-white

matter junction yang memberikan gambaran watershed areas.16,17,27

Distribusi

dari metastasis di otak dipengaruhi aliran darah ke otak. Sebanyak 90% distribusi

dari metastasis otak terletak pada daerah supratentorial, sedangkan daerah fossa

posterior sebanyak 10% kasus.16,27

Gambar 4. (a) Pembagian batasan zona sirkulasi vaskular. (b) Daerah distribusi metastasis

otak (atas) dan fokus metastasis pada daerah gray-white matter junction (bawah) (Hwang

dkk, 1996)28

8

Universitas Indonesia

The American Cancer Society (2013) memperkirakan sebanyak 23.130 orang di

Amerika Serikat menderita keganasan pada otak dan sistem saraf lainnya, dan

sebanyak 14.080 yang diduga akan meninggal.29

Sayangnya data statistik pasien

tumor otak primer maupun metastasis di Indonesia hingga saat ini belum

memadai. Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013 tidak memberikan keterangan

spesifik mengenai angka kejadian tumor otak di Indonesia. Data mengenai

neoplasma otak masih menjadi bagian dari neoplasma secara keseluruhan dimana

jumlah kejadian neoplasma di Indonesia diperkirakan sebesar 1,4% dan kematian

yang diakibatkannya sebesar 2,4%.30

Tabel 1. Lima Asal Keganasan Sistemik Umum pada Metastasis Otak.31

Paru

Payudara

Melanoma

Ginjal

Rahim

25-30%

22-25%

11%

<5%

<5%

II.2 KLASIFIKASI TUMOR OTAK

Tumor otak merupakan bagian dari tumor sistem saraf pusat. Terminologi tumor

otak sendiri digunakan hampir di semua kepustakaan dalam menyatakan tumor

susunan saraf pusat intrakranial. Kebanyakan klasifikasi tumor otak saat ini

didasari oleh studi dari Bailey dan Cushing (1926) yang menamakan tumor

berdasarkan gambaran histologinya. Namun sistem klasifikasi tumor susunan

saraf pusat yang paling banyak digunakan saat ini berdasarkan WHO yang

membagi menjadi lebih dari 120 jenis.21,33

Secara umum tumor otak primer merupakan tumor yang berasal dari struktur

intrakranial itu sendiri.21

Berdasarkan garis besar struktur dasarnya terbagi lagi

menjadi dua kelompok besar, yaitu neuroepitelial dan non-neuroepitelial.33

Tumor yang berasal dari neuroepitelial biasa disebut sebagai glioma. Dari subgrup

ini, astrositoma merupakan jenis yang paling sering diikuti oligodendroglioma,

9

Universitas Indonesia

dan oligoastrositoma. Berdasarkan klasifikasi WHO, astrositoma terbagi menjadi

empat subdivisi untuk menentukan tingkat keganasannya. Derajat I atau II disebut

sebagai derajat rendah dan derajat III atau IV disebut sebagai derajat tinggi.33,34

Tumor non-neuroepitelial sendiri sebenarnya terbagi menjadi beberapa

kelompokan lagi. Berdasarkan jenis-jenis tumor tersebut, tumor yang berasal dari

lapisan meningeal, yaitu meningioma merupakan tumor otak primer yang

tersering terjadi. Meningioma terbagi menjadi tiga derajat keganasan, yaitu derajat

I, II, dan III (tabel 3).35

Berdasarkan letaknya, tumor otak dapat dibagi menjadi supratentorial dan

infratentorial. Walaupun pembagian ini tidak resmi, didapatkan bahwa angka

kejadian tumor supratentorial lebih tinggi pada dewasa daripada tumor

infratentorial. Hal ini berbanding terbalik dengan angka kejadian pada anak

dimana tumor infratentorial lebih banyak terjadi pada anak-anak.21,33

Tabel 2. Persentase Jenis Tumor Otak Menurut Tipe Histologik Umum.25

Jenis tumor Frekuensi (%)

Primer

Glioma

Astrositoma

Glioblastoma

Lain-lain

Meningioma

Adenoma hipofisis

Neurilemoma (terutama neuroma akustik)

Meduloblastoma dan Pinealoma

Tumor primer campuran

Metastasis

40-55

10-15

20-25

10-15

10-20

10

5-8

5

5

15-25

10

Universitas Indonesia

Tabel 3. Klasifikasi dan Derajat Keganasan Meningioma Menurut WHO.34

Jenis tumor

Derajat I

Meningotelial

Fibrosa (fibroblastik)

Transisional (campuran)

Psamomatosa

Angiomatosa

Mikrosistik

Sekretorik

Kaya-limfoplasmosit

Metaplastik

Derajat II

Clear cell

Kordoid

Atipikal

Derajat III

Rabdoid

Papiler

Anaplastik (maligna)

Varian lain (tidak terdefinisikan oleh WHO)

Giant cell

Meningioma dengan inklusi eosinofilik intrasitoplasma

Sklerosing

Onkositik

II. 3 FUNGSI KOGNITIF

Fungsi kognitif adalah suatu proses input sensorik yang mengalami elaborasi,

transformasi, pemadatan, penyimpanan, pengingatan dan penggunaannya kembali.

Fungsi ini merupakan suatu sistem multifaset, yang terdiri dari domain-domain

saling berkaitan yaitu, atensi/konsentrasi, visuospasial dan konstruksi, fungsi

sensorik dan perseptif, bicara, memori, fungsi eksekutif, dan fungsi intelektual.

Namun secara garis besar, fungsi kognitif terbagi menjadi lima domain, yaitu

atensi, bahasa, memori, visuospasial, dan fungsi eksekutif.36,37

Perubahan kognisi dapat dikarenakan proses normal ataupun patologis. Perubahan

kognisi dalam keadaan normal terjadi seiring dengan proses penuaan. Beberapa

11

Universitas Indonesia

kemampuan dapat mengalami perkembangan seiring pertambahan usia.38

Beberapa kemampuan lain sebaliknya mengalami penurunan, seperti contohnya,

kemampuan pemahaman konseptual, memori, kecepatan pengolahan informasi.

Sebuah literatur menyebutkan kognisi mencapai tingkat optimalnya di usia sekitar

50 tahun dengan standar deviasi ±10. Setelah usia tersebut, kognisi normalnya

akan mengalami penurunan bertahap (Gambar 5).38

Gambar 5. Perubahan Enam Ranah Kognitif Berdasarkan Usia

(Longitudinal).38

Adanya gangguan fungsi kognitif dapat disebabkan oleh berbagai hal, salah

satunya tumor otak. Gangguan fungsi kognitif pada tumor otak dapat terjadi pada

domain kognitif apapun tergantung lokasi tumor.39

Namun biasanya, baik tumor

primer maupun metastasis, gangguan fungsi eksekutif merupakan gangguan yang

paling sering terjadi. Tumor primer, glioma khususnya, baik derajat rendah

maupun derajat tinggi, gangguan fungsi memori juga cukup sering terjadi.39

II.3.1 Atensi

Atensi merupakan kemampuan seseorang untuk dapat mengikuti suatu stimulus

spesifik tanpa terdistraksi oleh stimulus internal maupun lingkungan. Kemampuan

ini tidak sama dengan konsep kewaspadaan (alertness/ vigilance). “Vigilance”

12

Universitas Indonesia

merupakan proses penimbulan (arousal) yang membuat seseorang bangun dan

merespon stimulus apapun di lingkungannya. Seseorang yang waspada, tetapi

atensi kurang akan tertarik terhadap suara-suara sekitar, pergerakan-pergerakan,

ataupun peristiwa-peristiwa di sekitarnya. Namun pada seseorang yang waspada

dan memiliki atensi yang baik dapat memilah-milah mana informasi yang

diperlukan saja.37

Terdapat lima bentuk atensi, yaitu, (1) focused, merupakan kemampuan merespon

terhadap input sensorik, (2) sustained, kewaspadaan dan kemampuan

mempertahankan konsentrasi tanpa terdistraksi, (3) selective, kemampuan untuk

membedakan stimuli yang berbeda, (4) alternating, yaitu kemampuan dalam

beralih fokus, dan (4) divided, yaitu kemampuan mengerjakan beberapa tugas.37,39

Secara anatomis, struktur yang bertanggung jawab dalam mempertahankan

kewaspadaan adalah batang otak daerah reticular activating system dan sistem

proyeksi talamik difus. Stimulasi kortikal dan limbik dapat mempengaruhi

ascending system, sehingga atensi dicurigai dihasilkan dari mekanisme inhibisi

eksitasi dari sistem retikulokortikal dan modulasi kortikoretikuler.37

Karena atensi merepresentasikan interaksi kompleks dari sistem limbik,

neokortikal, dan fungsi retikulokortikal, kerusakan pada beberapa area otak dapat

mempengaruhi atensi.5,37

Sebagai contoh, lesi pada kedua lobus frontal atau sistem

limbik akan mengalami inatensi yang ditandai dengan sikap acuh tak acuh dan

adanya perseverasi.40

Lesi hemisfer kanan akan mengalami gangguan atensi yang

lebih berat dibandingkan lesi hemisfer kiri. Adanya penyangkalan, unilateral

neglect, dan double simultaneous stimulation extinction sering terjadi pada lesi

hemisfer ini. Lain halnya pada lesi daerah parietal baik kanan maupun kiri akan

menyebabkan inatensi kontralateral terhadap double simultaneous stimulation.5,37

Untuk menilai atensi segera dapat digunakan Digit Repetition Test. Pemeriksaan

ini dilakukan dengan tujuan untuk menilai atensi pasien terhadap stimulus verbal

dan sustained attention. Pemeriksaan lain yang juga dapat dikerjakan yaitu “A”

Random Letter Test dan Serial Seven Substraction Tests. Pemeriksaan ini tidak

dapat digunakan pada pasien dengan gangguan berbicara yang nyata (afasia).37

13

Universitas Indonesia

II.3.2 Bahasa

Bahasa merupakan alat komunikasi primitif dari manusia. Komunikasi terdiri dari

dua aspek, yaitu sensorik dan motorik. Aspek sensorik merupakan masukan

bahasa (language input) yang melibatkan fungsi visual dan auditorik. Sedangkan

aspek motorik merupakan keluaran bahasa (language output) yang merupakan

hasil interpretasi dari masukan bahasa.37,401

Proses komunikasi diawali dari masukan sensorik berupa visual atau auditorik.

Masukan auditorik diterima dalam bentuk bahasa lisan melalui telinga dan

diteruskan ke area auditorik primer lobus temporal. Masukan visual diterima

dalam bentuk tulisan ataupun bahasa tubuh melalui mata dan diteruskan ke area

visual primer di lobus oksipital. Kedua masukan ini kemudian diteruskan ke area

Wernicke sebagai pusat reseptif bahasa dan penerjemah informasi yang dibawa

menjadi suatu pengertian. Informasi yang sudah dimodulasikan ini kemudian

dibawa melalui fasikulus arkuata menuju area Broca. Area Broca kemudian

bertanggung jawab terhadap luaran motorik berupa informasi pengendalian

vokalisasi yang eksekusinya berasal dari korteks motorik girus presentralis.37,41

Gambar 6. Sirkuit Proses Komunikasi.41

Komponen yang dievaluasi dari fungsi berbahasa meliputi kelancaran berbicara,

komprehensi/pemahaman, repetisi, penamaan, membaca, menulis, dan pengejaan.

Untuk menilai fungsi berbahasa, pertama-tama pemeriksa harus membuat suatu

14

Universitas Indonesia

pendekatan sistematik terhadap keadaan-keadaan yang mengakibatkan gangguan

berbahasa.37

Hampir 90% dari populasi merupakan non kidal. Dari 90% populasi ini, lebih dari

99% nya memiliki area dominan berbahasa pada hemisfer kiri. Karena dominasi

berbahasa terdapat pada seorang yang kinan, adanya lesi struktural pada hemisfer

kiri akan menyebabkan terjadinya afasia. Adapun seseorang yang kidal, 77%

diantaranya masih dengan area dominan berbahasa pada hemisfer kiri, 13%

diantaranya dengan dominasi hemisfer kanan, dan sisanya merupakan tipe

campuran.37

Penilaian dari berbahasa harus mencakup penilaian terhadap kemampuan bicara

spontan, komprehensi, repetisi, dan penamaan. Dalam kemampuan bicara spontan

yang perlu diperhatikan adalah artikulasi, fluensi, sintaksis, parafasia, word-

finding, dan prosodinya. Komprehensi merupakan kemampuan pasien dalam

mengerti suatu kalimat verbal dan dinilai dengan memberikan pertanyaan tertutup

dan perintah sederhana.37

Pada penilaian repetisi, pasien diminta mengulang

sejumlah obyek yang disebutkan pemeriksa. Terakhir, pada penamaan pasien

diminta menyebutkan nama-nama sejumlah obyek yang diperlihatkan oleh

pemeriksa. Usia dan pendidikan merupakan faktor perancu dalam menilai

penamaan.37,42

15

Universitas Indonesia

Gambar 7. Skema Tingkatan Pengolahan Berbahasa.7

II.3.3 Memori

Memori merupakan suatu proses mental seseorang dalam menyimpan suatu

informasi untuk dapat ditarik kembali di waktu nanti. Rentang waktu dapat

bervariasi, mulai dari segera setelah mendapat informasi ataupun memori lampau

seperti pengalaman masa kecil.36,37

Terdapat tiga fase dalam proses memori. Fase pertama yaitu penerimaan dan

registrasi informasi melalui modalitas sensorik tertentu (sentuh, auditorik atau

visual). Apabila input sensorik sudah diterima dan terregistrasi, infromasi akan

ditampung sementara sebagai short term memory atau working memory atau

memori jangka pendek. Fase kedua yaitu penyimpanan informasi dalam bentuk

yang lebih permanen, yang disebut long term memory atau memori jangka

panjang. Proses penyimpanan ini diperkuat oleh repetisi atau pengulangan atau

16

Universitas Indonesia

mengasosiasikannya dengan informasi lain yang sudah tersimpan terlebih

dahulu.37,41

Gambar 8. Diagram Kerangka Fungsional Proses Belajar dan Memori.39

Terdapat dua proses belajar dalam memori jangka panjang, yaitu eksplisit dan

implisit. memori eksplisit melibatkan proses pembelajaran yang disadari,

sedangkan memori implisit didapatkan secara alam bawah sadar, kegiatan dasar,

kebiasaan, dan keterampilan motorik. Memori semantik merupakan memori yang

didasari oleh fakta, sedangkan memori episodik merupakan memori yang didapat

dari beberapa episode hidup.39

Penyimpanan merupakan suatu proses aktif yang memerlukan usaha melalui

latihan dan ulangan. Namun ada beberapa informasi yang tersimpan secara pasif

selama hidup. Proses ini dikenal dengan nama incidental memory atau memori

insidental. Fase terakhir dari proses memori yaitu recall atau retrieval atau disebut

juga mengingat dari informasi yang sudah tersimpan. Proses ini merupakan proses

aktif dari penarikan informasi yang sudah tersimpan berdasarkan permintaan atau

kebutuhan, atau disebut juga declarative memory.37,42

17

Universitas Indonesia

Secara klinis, memori terbagi lagi menjadi tiga tipe berdasarkan rentang waktu

antara stimulus dan penarikan informasi. “Immediate”, “recent”, dan “remote”

merupakan denotasi yang banyak digunakan dalam mendeskripsikan rentang

waktu memori. Sayangnya definisi ini tidak spesifik, dan masing-masing rentang

waktu tiap-tiap individu tidak seragam.37

1. Immediate memory atau memori segera

Merupakan denotasi yang digunakan untuk mendeskripsikan memori yang

diingat segera dalam hitungan detik, contohnya repetisi serial digit.

2. Recent memory atau memori baru

Merupakan kapasitas individu dalam mengingat kejadian-kejadian terkini,

sebagai contoh, tanggal berapakah sekarang, nama dokter yang

memeriksa, sarapan hari ini. Lebih khusus, recent memory merupakan

kemampuan dalam mempelajari materi baru dan mengingatnya setelah

beberapa menit.

3. Remote memory atau memori lama

Merupakan kemampuan menarik informasi lampau (tahunan), seperti

nama teman semasa sekolah, tanggal lahir, ataupun sejarah.

Gambar 9. Subdivisi Utama Memori Menurut Hodges.42

MEMORI

Ekplisit (Deklaratif)

Memori jangka pendek

Verbal Spasial

Memori jangka panjang

Episodik (event)

Semantik (fakta)

Implisit (Prosedural)

Conditioning Priming Motor skills

18

Universitas Indonesia

Area anatomis khusus untuk pengkodean memori sifatnya difus, tetapi korteks

frontal dan temporal tengah merupakan daerah yang memegang fungsi penting

dalam pengolahan, penyimpanan, dan pengingatan kembali dari memori. Lobus

temporal tengah berperan dalam memori jangka panjang, sedangkan lobus frontal

daerah korteks prefrontal, memegang peran penting dalam proses working

memory.5,7,37

Setiap aspek memori harus dinilai secara cermat saat menilai status mental.

Remote memory dan recent memory dapat dinilai dengan menanyakan fakta

sejarah. Selain itu menilai orientasi pasien juga dapat digunakan dalam menilai

recent memory.37

II.3.4 Fungsi Eksekutif

Fungsi eksekutif merupakan sebuah prosesi kognitif yang kompleks dan terdiri

dari koordinasi beberapa subproses yang bertujuan atau disebut juga processing

(pengolahan). Fungsi eksekutif merupakan suatu konsep satu kesatuan

keterampilan dari berbagai fungsi kognitif. Fungsi ini didasari oleh adanya

pengetahuan dasar dan sistem metakognisi yang kemudian mengeksekusi

prosesnya.43

Konsep keterampilan mencakup kemampuan inisiasi, perencanaan,

organisasi, sequencing, problem solving, dan pengambilan keputusan. Working

memory bertugas memobilisasi pengetahuan dasar dan metakognisi bertugas

sebagai monitor mandiri proses ini. Fungsi eksekutif penting dalam perencanaan

tugas dan penyelesaian dari aktivitas sehari-hari.5,37,43

Pencitraan seperti MRI fungsional digunakan untuk menerangkan area yang

teraktivasi terkait fungsi eksekutif. Gambaran MRI fungsional dari fungsi

eksekutif tidak terlokalisir pada area tertentu dari otak, tetapi merupakan suatu

sirkuit yang terdistribusi. Lokalisasi yang tampak dari pencitraan terlihat bahwa

komponen fungsi eksekutif yang berbeda-beda terdistribusi di daerah prefrontal.

Kerusakan pada korteks prefrontal menunjukkan adanya kesulitan dalam

penilaian, organisasi, perencanaan, dan pengambilan keputusan serta adanya

disinhibisi perilaku dan kemampuan intelektual.5,43

19

Universitas Indonesia

Terdapat sebuah hipotesis yang membedakan fungsi dari area prefrontal menjadi

dua daerah, yaitu area dorsolateral dan ventrolateral. Keduanya memiliki

kontribusi dalam working memory. Area prefrontal ventrolateral (VLPFC –

ventrolateral prefrontal cortex) bertugas untuk mengontrol feedback dari korteks

posterior. Area prefrontal dorsolateral (DLPFC – dorsolateral prefrontal cortex)

ditengarai bertugas memediasi pemantauan dan memanipulasi representasi dari

VLPFC. Keduanya bekerja berdasarkan hierarki, dimana DLPFC berespon

beberapa saat setelah VLPFC. Tetapi tidak semua bukti mendukung perbedaan

fungsi DLPFC dan VLPFC. Beberapa studi melaporkan bahwa keduanya

memiliki pola respon yang cukup mirip dalam pemeliharaan

pengulangan.43

Alexander Luria (1966) mengusulkan bahwa prinsip penting dari

manajemen otak juga terletak pada sirkuit kortikostriatal yang menghubungkan

antara korteks frontal dengan struktur striatal melalui talamus dan globus palidus.

Berbagai penelitian mengindikasikan bahwa struktur striatal berperan penting

dalam fungsi eksekutif pada manusia. Defisit pada fungsi eksekutif tampaknya

berkaitan dengan kerusakan pada basal ganglia. Sirkuit ini sendiri diperantarai

oleh neurotransmiter dopaminergik Sebagai kesimpulan, fungsi eksekutif tidak

tergantung dari korteks prefrontal saja, tetapi juga oleh fungsi dari sirkuit

kortikostriatal yang intak.41

Tugas motorik yang dikembangkan oleh Luria (1973) untuk menilai lesi frontal

sering digunakan sebagai tes skrining. Sebagai contoh pemeriksaan fungsi

eksekutif adalah single finger opposition, fist-edge-palm test, dan reciprocal

motor programme test.44

Tidak ada pemeriksaan baku emas untuk menilai fungsi

eksekutif, tetapi selain pemeriksaan sederhana diatas, masih ada pemeriksaan

fungsi eksekutif lainnya yang menggunakan instrumen, salah satunya tower of

London dan Cambridge neurological inventory.42,44

20

Universitas Indonesia

Gambar 10. Skema Fungsi Eksekutif Menurut Schneider dan Chein (2003).

Skema Ini Tidak Menyertakan Peranan VLPFC dalam Fungsi Eksekutif.7

II.3.5 Visuokonstruksi dan Visuospasial

Visuokonstruksi dan visuospasial memiliki peran penting dalam kemampuan

fungsional harian seseorang. Kemampuan ini merupakan suatu kesatuan proses

identifikasi dan analisis kompleks yang otomatis tetapi tidak dapat

diverbalisasikan.36

Proses visuospasial melibatkan beberapa area korteks termasuk juga area

subkortikal tergantung dari prosesi visual yang diharapkan. Untuk lapang pandang

atau hemispasial kanan umumnya ditangani oleh korteks lobus oksipital kiri dan

sebaliknya. Selama input visual di proses, elemen-elemen dasar dari input akan

dipilah oleh korteks visual primer (area VI) seperti persepsi warna, bentuk, dan

gerak. Korteks visual sekunder kemudian akan memperhalus elemen-elemen ini

menjadi satu kesatuan dan korteks asosiasi yang akan mengidentifikasi obyek

yang dilihat atau menentukan dan membimbing gerak motorik.36

21

Universitas Indonesia

Gambar 11. Ilustrasi Alur Proses Visual. (V1 = Korteks Visual Primer, V2

Dan V3 = Korteks Visual Sekunder, STS = Sulkus Temporal Superior).36

Input visual sesudah melalui V1, V2, dan V3 akan mengalami proyeksi ke arah

ventral, dorsal, dan daerah sulkus temporal superior (STS). Proyeksi ventral

merupakan alur “apa”, bertugas mengenali objek (persepsi), input di proses pada

V1, diteruskan ke V2, V3, dan V4 kemudian berjalan menuju korteks lobus

temporal inferior dan posterior. Proyeksi dorsal merupakan alur “dimana”,

bertugas mengenali benda dalam ruang, input dibawa dari V1, ke V2, dan V3,

kemudian diproyeksikan ke temporal tengah dan korteks posterior lobus parietal.

Sistem ketiga, yaitu sistem khusus melalui alur STS yang bertugas menganalisis

pergerakan dari tubuh dan obyek biologis. Alur ini diproyeksikan secara lateral

menuju sulkus temporal dan sebagian daerah girus temporal superior.36

Kemampuan visuokonstruksi merupakan kemampuan dalam menggambarkan

bentuk benda dua dimensi atau tiga dimensi.37

Mengetahui adanya gangguan

visuokonstruksi sangat berguna dalam mengetahui adanya gangguan otak organik

dan sebaiknya selalu disertakan dalam setiap pemeriksaan status mental.37

Hilangnya persepsi atau proses stimulus visual cepat dari lingkungan dapat terjadi

akibat adanya gangguan pada jaras visual. Kelainan yang terkait fungsi kognitif

dapat berupa visual agnosia atau apraksia.36

Visual agnosia merupakan

ketidakmampuan dalam mempersepsikan input visual yang tidak disebabkan oleh

reseptor sensorik seperti gangguan lapang pandang atau visus atau kurang familier

terhadap obyek atau benda yang dimaksud. Gangguan yang dapat timbul pada

22

Universitas Indonesia

visual agnosia dapat berupa aperseptif, asosiatif, prosopagnosia, simultanagnosia

dorsal dan ventral. Secara umum lesi dari visual agnosia terletak pada area

temporal, oksipital, dan/atau parietal bilateral.36

Apraksia murni terbagi menjadi tiga tipe, yaitu apraksia ideomotor, apraksia

ideasional, dan apraksia konstruksional. Perbedaan ketiga apraksia tersebut adalah

apraksia ideomotor merupakan ketidakmampuan melakukan suatu gerak motorik

sesuai perintah, sedangkan apraksia ideasional merupakan rangkaian gerakan

motorik kompleks dimana apabila komponen serial tersebut dipisahkan pasien

masih dapat melakukannya. Terakhir, apraksia konstruksional merupakan ketidak

mampuan meniru sebuah gambar atau merekonstruksi suatu bentuk tiga dimensi.

II.4 FUNGSI KOGNITIF DAN TUMOR OTAK

Secara umum, perubahan kognisi akibat tumor otak dikaitkan dengan adanya efek

desak massa, disposisi, destruksi, dan/atau iskemik dari struktur intrakranial serta

adanya edema otak. Gangguan fungsi kognitif ini biasanya didapatkan pada 50-

80% pasien yang terdiagnosis dengan neoplasma intrakranial.32

Gangguan fungsi kognitif merupakan salah satu manifestasi klinis yang sering

terjadi pada tumor otak baik primer maupun metastasis. Literatur menyebutkan

bahwa gangguan fungsi kognitif pada tumor metastasis terjadi pada 58% kasus.

Persentase tersebut belum mencakup dengan gangguan bicara dan afasia yang

juga dapat terjadi pada metastasis otak.31

Tucha dkk (2000) melakukan sebuah studi kohort prospektif terhadap sejumlah

pasien dengan tumor otak primer dan metastasis daerah frontal dan temporal.

Sebanyak 91% pasien yang diteliti mengalami gangguan kognitif sekurangnya

pada satu area modalitas atau domain kognitif terutama gangguan fungsi

eksekutif.4 Hal ini hampir serupa dengan studi dari Miotto (2011) dan Maharani

(2013) yang menyebutkan domain fungsi kognitif yang paling sering terganggu

pada tumor otak adalah fungsi eksekutif.6,7

23

Universitas Indonesia

Selain itu, Miotto dkk (2011) menyatakan bahwa pada gangguan fungsi kognitif

glioma derajat tinggi lebih banyak domain yang terkena dibandingkan dengan

glioma derajat rendah.6 Terdapat gangguan pada memori episodik visual maupun

verbal imediet, fungsi eksekutif, fleksibilitas mental, fluensi verbal nominal dan

kategorikal, serta kecepatan pengolahan informasi. Sedangkan pada glioma

derajat rendah, domain fungsi kognitif yang terganggu hanya pada recall memori

visual serta verbal segera, fleksibilitas mental, dan kecepatan pengolahan

informasi.8

Seperti halnya glioma, gangguan fungsi kognitif pada meningioma juga

didominasi gangguan fungsi eksekutif. Waagemans dkk (2011) menyatakan

dalam studinya dari 6 domain kognitif yang dinilai, pasien dengan meningioma

memiliki gangguan pada 4 domain terutama domain fungsi eksekutif.45

Luas lesi lebih berpengaruh terhadap terjadinya gangguan fungsi kognitif pada

metastasis dibandingkan jumlah metastasis. Sebanyak 90% pasien dengan

metastasis otak sudah mengalami gangguan fungsi kognitif dari awal gejala

muncul.46

Hal ini berkaitan dengan pertumbuhan tumor yang sifatnya

mikroinfiltratif dan adanya diaskisis.47

Herman dkk menyebutkan memori

merupakan domain kognitif yang paling banyak terganggu pada metastasis otak.41

II.4.1 Patofisiologi Tumor Primer

Glioma memiliki pola pertumbuhan yang sangat infiltratif dan mampu menyebar

dalam parenkim otak di sekitarnya. Perbedaan glioma derajat rendah dengan

derajat tinggi terletak pada susunan vaskularisasi dan sawar darah otak. Pada

glioma derajat rendah susunan vaskularisasi hanya mengalami sedikit perubahan

dan sawar darah otak masih intak. Namun secara umum pertumbuhan sel tumor

akan menyebabkan distorsi arsitektur vaskularisasi normal dan akhirnya

menyebabkan hipoksia yang akan memicu terjadinya angiogenesis.13,14

Pada glioma derajat tinggi adanya disrupsi sawar darah otak, menyebabkan

terjadinya akumulasi cairan dan protein plasma di peritumoral dan jaringan otak

sekitarnya. Otak tidak memiliki sistem limfatik dan terletak pada ruangan yang

terbatas, kebocoran serum plasma ke ruang interstisial menyebabkan peningkatan

24

Universitas Indonesia

tekanan interstisial dalam tumor dan akumulasi cairan di luar tumor yang

menyebabkan edema vasogenik. Edema tersebut cenderung meluas ke dalam

traktus white-matter daripada ke gray-matter.14

Berbeda dengan glioma, meningioma merupakan tumor yang tumbuh dari

meningen sehingga pertumbuhannya tidak menginfiltrasi parenkim otak secara

langsung. Hampir semua jenis meningioma merupakan tumor jinak sehingga

tumbuhnya perlahan. Seringkali meningioma tidak bergejala, sehingga ketika

gejala muncul tumor biasanya sudah berukuran besar. Gejala baru timbul apabila

penekanan tumor ke struktur di sekitarnya dan menyebabkan terjadinya disposisi

dari jaringan yang tertekan. Hal ini menyebabkan terjadinya disrupsi transmisi

neuronal, sehingga timbullah gejala.15

II.4.2 Patofisiologi Metastasis Otak

Proses invasi pada tumor metastasis merupakan sebuah proses multifaset yang

diatur secara ketat oleh suatu mekanisme, termasuk motilitas sel, proses adhesi,

dan remodeling enzimatik dari matriks ekstraseluler.16

Terdapat aktivitas

proteolitik dari matriks ekstraseluler yang memproduksi beberapa faktor yang

akan mempercepat proliferasi sel dan angiogenesis.16,48,49

Mekanisme enzimatik

dan proteolitik ini akan menyebabkan ketidakseimbangan elektrokimiawi yang

berakibat terjadinya peningkatan jumlah neurotransmiter. Kelebihan jumlah

neurotransmiter pada sinaps akan menghambat kerja sel dan bahkan dapat

menyebabkan kematian sel.49

Proses terjadinya metastasis sangatlah selektif dan tidak sembarang sel kanker

dapat bermetastasis. Proses kompleks ini disebut “kaskade metastasis”. Terjadi

pelepasan sel kanker saat tumor primer menginvasi jaringan sehat sekitar. Sel

kanker yang lepas dan bertahan hidup kemudian terbawa aliran darah

(intravasasi), terperangkap dan/atau ikut terbawa saat ekstravasasi plasma pada

situs sekunder yang biasanya merupakan end-artery. Terakhir, apabila sel kanker

dapat bertahan hidup, ia akan mengalami proliferasi, sehingga terjadilah

metastasis.16,17

25

Universitas Indonesia

II.4.3 Mekanisme Gangguan Fungsi Kognitif pada Tumor Otak

Secara umum seluruh bagian dari otak berkaitan dengan fungsi belajar, memori,

dan plastisitas.41

Tidak ada bagian yang khusus bertugas menangani proses

pembelajaran. Setengah dari korteks frontal menyokong proses pembelajaran dari

fungsi eksekutif, working memory, bicara, dan pembelajaran terkait bahasa, serta

kontrol motorik. Seluruh fungsi tersebut saling berkaitan membentuk jalinan

informasi (networking) seperti yang terlihat pada gambar 9 dan diagram pada

gambar 10.8,41

Gambar 12. Fasikulus yang Membentuk Otak.36

Penampang koronal

Penampang medial

26

Universitas Indonesia

Gambar 13. Diagram Proses Pembelajaran yang Terjadi pada Seluruh

Bagian Otak.8

Sebagai organ yang paling banyak menggunakan energi secara intensif,

konsentrasi radikal bebas dan keadaan potensi inflamasi sangatlah tinggi di otak,

terutama di matriks ekstraseluler. Karena tidak disertai perangkat otoregulasi,

ruang ini menjadi tempat yang rentan mengalami gangguan kontrol kimiawi.7

Dalam proses pembelajaran, terdapat faktor pertumbuhan yang ikut berperan,

yaitu neurotropin dan brain-derived neurotropic factors (BDNF). Neurotropin

yang berperan yaitu neurotrophin growth factor (NGF). Neurotropin akan

mengaktivasi satu atau lebih reseptor golongan high-affinity tropomyosin-receptor

kinase (Trk) juga low-affinity p75 neurotrophin (p75). Selain pada sel sehat,

reseptor p75 juga ditemukan pada tumor otak primer dan metastasis. Pada glioma,

reseptor p75 merupakan regulator utama pada invasi glioma, begitu pula pada

metastasis terutama melanoma.7,50

BDNF secara langsung berperan dalam regulasi transmisi sinaptik dan plastisitas

sinapsis baik pada pre- maupun post-sinapsis. BDNF akan meningkatkan jumlah

27

Universitas Indonesia

reseptor N-methyl-D-aspartate (NMDA) di membran plasma sel-sel hipokampus.

Peningkatan reseptor NMDA berakibat terjadinya influks ion kalsium berlebihan

ke intraseluler.7,49

Hal ini menyebabkan kanal kalsium terbuka sehingga terjadi

pelepasan glutamat ke ekstraseluler dan mengakibatkan eksitotoksisitas glutamat

yang berujung pada kerusakan neuronal. Selain itu, diketahui beberapa tumor

primer ganas juga melepaskan glutamat sehingga konsentrasi glutamat

ekstraseluler meningkat.48

Segala mekanisme yang telah dijabarkan diatas dapat terjadi baik pada tumor

primer maupun metastasis. Luas lesi lebih berpengaruh terhadap gangguan fungsi

kognitif yang terjadi dibandingkan dengan jumlah lesi. Patomekanisme terjadinya

metastasis otak sifatnya mikroinfiltratif serta dapat menyebabkan terjadinya

diaskisis.16

Selain itu, proses angiogenesis lesi metastatik berlangsung lebih cepat

sehingga neovaskularisasi yang terbentuk tidak sempurna. Proses neovaskularisasi

tidak sempurna tersebut akhirnya menyebabkan edema perifokal. Hal ini yang

memicu edema perifokal pada kasus-kasus metastasis jauh lebih berat

dibandingkan tumor otak primer. Oleh karena patomekanisme tersebut, efek desak

ruang pada metastasis lebih dominan sehingga gangguan fungsi kognitifnya lebih

multidomain. 16,46

Pada glioma dan meningioma, gangguan fungsi kognitif pada glioma lebih berat

dibandingkan meningioma bila dilihat secara ukuran. Meningioma jarang

menimbulkan gejala bila ukuran masih kecil karena adanya plastisitas parenkim

otak terhadap pertambahan volume intrakranial. Gangguan kognitif pada

meningioma pun lebih jarang terjadi dibandingkan gejala neurologis lainnya

seperti sakit kepala atau kelemahan tubuh sesisi dan berpotensi mengalami

perbaikan apabila tumor di reseksi.45

Sedangkan pada glioma, karena sel asalnya

adalah sel glia gangguan fungsi kognitif lebih dominan karena sel glia sebagai

komponen suportif terhadap neuron menyebabkan proses transmisi sinyal neuron

terganggu, apabila dilakukan reseksi tumor atau radiasi, akan mengakibatkan

kerusakan permanen pada daerah glia sehat yang berdekatan dengan tumor.1

Fungsi eksekutif merupakan domain fungsi kognitif yang paling sering terganggu

baik pada tumor otak primer maupun metastasis. Seperti diterangkan sebelumnya,

28

Universitas Indonesia

perbedaannya terletak pada patomekanisme keduanya. Adapun fungsi eksekutif

lebih banyak terganggu dikarenakan sirkuit dari fungsi eksekutif merupakan suatu

sirkuit kompleks yang melibatkan banyak lokasi di otak.5,9

II.4.4 Epilepsi dan Gangguan Fungsi Kognitif pada Tumor Otak

Selain akibat langsung massa tumor otak terhadap fungsi kognitif, kejang akibat

tumor otak juga memiliki peran tidak langsung terhadap terjadinya gangguan

fungsi kognitif.9,51

Kejang akibat tumor otak dapat disebut sebagai epilepsi

simptomatik. Insidensi terjadinya kejang pada tumor otak sekitar 4%.51

Epilepsi simptomatik terkait tumor otak dapat terbagi menjadi dua, yaitu tanpa

disertai defisit neurologi dan disertai defisit neurologis. Epilepsi simptomatik

tanpa disertai defisit neurologi biasa terjadi pada anak-anak, sedangkan yang

disertai dengan defisit neurologis biasanya terjadi pada usia dewasa.51,52

Tumor otak yang timbul di usia muda, biasanya berupa tumor dengan

pertumbuhan lambat. Insidens terjadinya epilepsi berbanding terbalik dengan

tingkat keganasan dari tumor otak.51,52

Tumor otak derajat rendah (astrositoma,

oligodendroglioma, dan astrositoma tipe campuran derajat I dan II menurut WHO,

serta meningioma) memiliki angka kejadian tertinggi mengalami epilepsi sebesar

65 sampai dengan 95%. Sedangkan glioma derajat tinggi memiliki insidensi

terendah yaitu 15-25%.52

Gejala dari epilepsi pada tumor otak tidak hanya berkaitan dengan lokasi tumor,

tetapi juga dengan pertumbuhan biologis dari tumor. Namun mekanisme pastinya

masih belum diketahui secara pasti. Secara prinsip, aktivitas epileptogenik

kemungkinan timbul di daerah korteks yang bersinggungan dengan tumor.

Biasanya lesi bersifat inert elektrik.51

Sebuah hipotesis menyebutkan bahwa

terdapat hubungan antara onset kejang pada tumor otak dengan peran dari

neurotransmitter tertentu, seperti GABA dan glutamat.51,52

Tingginya kadar glutamat dapat menyebabkan hipereksitabilitas yang memicu

terjadinya aktivitas epileptogenik.51,52

Seperti disebutkan sebelumnya, tingginya

kadar glutamat juga dapat berperan terhadap kematian sel neuron yang berakibat

29

Universitas Indonesia

terhadap terjadinya gangguan pada fungsi kognitif. Berkaitan dengan mekanisme

di atas, gangguan fungsi kognitif akibat kejang pada tumor otak disebabkan oleh

onset dini, durasi terjadinya kejang, dan kejang yang tidak terkontrol dengan

baik.53

Selain akibat langsung dari kejang, beberapa obat anti epilepsi (OAE) sendiri

dapat berperan terhadap terjadinya gangguan kognitif.51

Sebuah penelitian kohort

dari Bosma dkk menyebutkan bahwa pada glioma derajat tinggi gangguan fungsi

kognitif diduga berkaitan dengan penggunaan OAE.54

Beberapa OAE generasi

baru tampaknya memiliki gangguan kognitif yang lebih ringan dibandingkan

generasi lama. Hingga kini, mekanisme yang mendasari gangguan kognitif pada

penggunaan OAE masih belum diketahui secara pasti. Diduga terkait efek

langsung obat dengan efek potensiasi GABAergik.55, 56

Topiramat memiliki risiko

terjadinya efek samping gangguan fungsi kognitif yang paling besar. Walaupun

begitu, pemberian topiramat dengan titrasi lambat dan target dosis yang kecil,

efek samping ini dapat berkurang.56

II.4.5 Berdasarkan Lokasi Tumor

Diekstrapolasikan dari cedera otak traumatik (TBI – traumatic brain injury),

adanya defisit kognitif pada tumor otak dapat terbatas berdasarkan area otak yang

terpengaruh. Pada cedera otak, akan terjadi neurodegenerasi jaras dan diaskisis

dimana sejumlah area otak kehilangan fungsi otaknya karena cedera pada daerah

dependen.57

Berbeda dengan tumor otak primer, metastasis otak tidak mempunyai daerah

predileksi khusus, hanya saja 80% metastasis terjadi pada daerah serebrum dan

sebanyak 15% terletak pada daerah serebelum.45

Hal ini berhubungan dengan

proses invasi sel metastasis melalui end-artery, yaitu daerah perbatasan antara

white-matter dengan gray-matter.16,17,28

30

Universitas Indonesia

II.4.5.1 Lobus frontal

Lobus frontal dibagi menjadi korteks prefrontal, korteks premotor posterior, area

motorik suplementer, dan korteks motorik primer. Cummings (1985)

membedakan disfungsi pada lobus frontal menjadi tiga sindroma mayor,

yaitu:39,58,59

1. Sindroma DLPFC (dorsolateral preforntal cortex – DLPFC syndrome) .

Hipotesis ini ditandai dengan apatis, depresi, acuh tak acuh, retardasi

psikomotor, impulsivitas, perseverasi motorik, impersisten,

ketidakmampuan menyelaraskan perilaku motorik dan verbal, serta

ketidakmampuan dalam programming, kongkritisasi, dan kategorisasi

motorik.

2. Sindroma Orbitofrontal (orbital prefrontal cortex – OPFC syndrome).

sindroma ini ditandai dengan adanya disinhibisi, iritabilitas, impulsivitas,

emosi labil, tilikan buruk, buruk dalam pengambilan keputusan, dan

mudah terdistraksi.

3. Sindroma medial prefrontal (medial prefrontal cortical – MPFC

syndrome). Sindroma ini biasanya berhubungan dengan presentasi kinetik.

Hilangnya gestur spontan dan sensasi, berkurangnya produksi

pembicaraan, dan adanya inkontinensia.

Daerah frontal merupakan tempat predileksi tersering tumor otak. Sebagaimana

karakteristik dari lesi daerah frontal, tumor pada lobus frontal paling sering

menyebabkan gangguan perilaku dikarenakan korteks lobus ini memediasi jaras

fungsi eksekutif dan fungsi kognitif umum.23

Glioma merupakan tumor otak

tersering terjadi dan daerah frontal merupakan daerah predileksi tersering dari

kebanyakan jenis glioma. Satu dari tiga kasus astrositoma terletak pada daerah

frontal. Begitu juga dengan oligodendroglioma, sebanyak 50-65% tumor jenis ini

terletak pada daerah frontal.60

Tumor primer lainnya yang juga dengan letak predileksi di daerah frontal adalah

glioma angiosentrik (38% dari kasus dengan glioma angiosentrik) dan limfoma

primer sistem saraf pusat (primary central nervous system lymphoma – PCNSL,

31

Universitas Indonesia

15% dari kasus).59

Daerah konveksitas frontal merupakan tempat predileksi kedua

tersering setelah daerah parasagital pada meningioma.45,59

II.4.5.2 Lobus Temporal

Struktur lobus temporalis medial penting untuk proses memori dan pengingatan

kembali. Adanya cedera daerah hipokampus akan mengganggu kemampuan recall

memori deklaratif dan kemampuan menerima memori baru begitu pula working

memory.36,38

Kemampuan mempelajari yang sifatnya prosedural masih dapat

terpelihara, dikarenakan aktivitas ini berpusat di daerah subkortikal. Kontrol

emosi dapat terganggu karena terletak pada daerah amigdala dan unkus. Lesi

lobus dominan bagian superior dapat mempengaruhi kemampuan menerima

informasi, karena adanya keterlibatan daerah Wernicke.36,39

Gejala neuropsikiatrik terkait tumor di lobus temporal cenderung menyerupai

pasien dengan tumor lobus frontal. Gejalanya termasuk mood depresi disertai

apati dan iritabel atau maniakal, hipomania ataupun eforia. Dilaporkan pula

bahwa schizophrenia-like illness juga timbul pada lesi daerah temporal.60

Glioblastoma memiliki predileksi tersering pada daerah ini (31% dari kasus

glioblastoma).59

II.4.5.3 Lobus Parietal

Adanya intervensi terhadap jaras motorik-sensorik dapat terjadi pada daerah lobus

parietal akibat suatu cedera. Lesi di hemisfer kiri akan dapat menimbulkan adanya

apraksia, sedangkan di hemisfer kanan akan menyebabkan gangguan visuospasial.

Gangguan fungsi kognitif lainnya terkait lesi daerah ini yaitu sindroma Gertsmann

yang ditandai dengan adanya akalkulia, agrafia, agnosia jari, dan disorientasi

kanan-kiri. Gejala lainnya yaitu, apraksia (ideomotor dan ideasional), dressing

apraxia, prosopagnosia, dan masalah visuospasial.60

Lesi daerah lobus parietal umumnya kurang menyebabkan gangguan

neuropsikiatri. Gejala yang timbul cenderung berupa depresi, apatis, eforia, dan

mania. Gejala psikotik juga jarang timbul, walaupun Selecki (1995) melaporkan

terdapat dua psikosis paranoid dari tujuh pasien dalam pengamatannya.60

Tidak

32

Universitas Indonesia

ada tumor otak dengan predileksi tersering di daerah ini. Sebanyak 24% kasus

dari glioblastoma terjadi pada daerah ini. Biasanya tumor yang tumbuh di lobus

parietal biasanya juga disertai keterlibatan daerah frontal, seperti contohnya

glioma angiosentrik.37,59

II.4.5.4 Lobus Oksipital

Lesi pada daerah ini prinsipnya akan menyebabkan adanya kebutaan dan

gangguan rekognisi visual. Bentuk gangguan rekognisi visual dapat berupa

aleksia, agrafia, prosopagnosia, dan apraksia konstruksional.36

Aspek

neuropsikiatrik pada tumor lobus oksipital juga dapat timbul walaupun tidak

sesering pada tumor lobus frontal dan temporal (Keschner 1938).39

Hampir semua jenis tumor otak primer sebenarnya dapat mengenai lobus

manapun dari otak, termasuk dengan lobus oksipital, namun tumor daerah ini

biasanya jarang terjadi. Kebanyakan lesi lobus oksipital berada pada urutan ketiga

atau keempat dari kebanyakan kasus tumor otak primer.59

II.4.5.5 Daerah subkortikal lain

Selain lobus-lobus yang disebutkan di atas, bagian dari otak lain yang dapat

terlibat yaitu, talamus, nukleus kaudatus, putamen, pons, dan serebelum.

Gangguan pada daerah talamus anterior akan mengganggu proses neuronal

informasi dari korteks ke batang otak, serta menyebabkan gangguan hemisensorik

dan motorik kontralateral, apraksia atau neglect. Bila kapsula interna yang terlibat,

akan mempengaruhi jaras motorik dan mengakibatkan gangguan eksekusi gerakan

terkait proses kognisi, seperti halnya pada lesi daerah talamus.5,39

Selain daerah-daerah yang disebutkan di atas, masih ada beberapa daerah lagi

yang menjadi predileksi tumor otak primer, seperti contohnya kraniofaringioma

dan adenohipofisis.59

Gangguan fungsi kognitif dan psikiatri pada kedua tumor ini

pada umumnya tidak berkaitan dengan letak lesinya yang mengganggu jarak

neuropsikiatri, tetapi lebih kepada hormon yang diproduksinya dan

mengakibatkan gejala neuropsikiatri, yaitu depresi dan apatis. Namun bila ukuran

dari tumor cukup besar untuk menyebabkan penekanan ke parenkim otak

33

Universitas Indonesia

sekitarnya, gejala seperti gangguan memori dapat terjadi, mengingat letak tumor

berdekatan dengan daerah amigdala dan temporal tengah.41,60

Gangguan fungsi kognitif lainnya yang dapat terjadi yaitu, adanya gangguan

memori prosedural dan working memory. Gangguan pada talamus posterior lebih

didominasi kontrol sensorik terutama daerah wajah dan ekstremitas atas, termasuk

adanya afasia.5

Confusion, agitasi, atau apatis dapat muncul apabila terdapat gangguan daerah

nukleus dalam. Adanya gangguan bicara seperti disartria dan gangguan working

memory dapat pula terjadi pada daerah nukleus. Sedangkan gangguan gaze dan

kesadaran serta gangguan sensorik motorik kontralateral juga dapat terjadi pada

cedera daerah putamen.5

II.5 INSTRUMEN PEMERIKSAAN FUNGSI KOGNITIF

Instrumen untuk penilaian fungsi kognitif dapat bermacam-macam, namun hingga

saat ini belum ada instrumen baku yang biasa digunakan untuk menilai fungsi

kognitif pada pasien dengan tumor otak.43

II.5.1 Mini-Mental Status Examination

Mini-mental status examination (MMSE) merupakan pemeriksaan status mental

tersistematisasi yang digunakan untuk skrining singkat kelainan status kognitif.

Sayangnya MMSE memberikan hasil paling baik hanya pada pasien dengan

gangguan fungsi kognitif berat daripada ringan.42,61

Lebih lanjut, MMSE tidak

dianjurkan digunakan dalam melihat perubahan kognisi. Meyers dan Wefel

menyebutkan bahwa MMSE merupakan pilihan yang lemah dalam mendeteksi

penurunan daya ingat dan fungsi eksekutif. Hensel dkk menyebutkan bahwa

stabilitas nilai pada MMSE rendah.42

Penelitian Crum dkk menyebutkan bahwa nilai normal MMSE terkait dengan usia

dan tingkat pendidikan.61

Terdapat hubungan yang berbanding terbalik antara skor

MMSE dengan usia. Nilai normal usia 18 sampai dengan 24 tahun memiliki

median yaitu 29, sedangkan usia 80 tahun ke atas memiliki nilai median yaitu

34

Universitas Indonesia

25.62

Nilai normal MMSE pada subyek dengan pendidikan minimal 9 tahun yaitu

29, sedangkan untuk pendidikan 5 sampai 8 tahun adalah 26, terakhir pada subyek

dengan pendidikan kurang dari 5 tahun adalah 22.62

Namun secara umum yang

dianggap merupakan nilai normal dari MMSE adalah di atas 27, nilai di bawah 26

kemungkinan mengalami gangguan fungsi kognitif, dan nilai di bawah 18 sudah

mengalami gangguan fungsi kognitif.61,62,53

II.5.2 Montreal Cognitive Assessment (MoCA)

Berbeda dengan MMSE, MoCA dapat digunakan sebagai skrining singkat untuk

mendeteksi gangguan fungsi kognitif ringan.64

Domain kognitif yang diuji yaitu,

atensi dan konsentrasi, fungsi eksekutif, memori, berbahasa, kemampuan

visuokonstruksi, kemampuan berpikir konsep, kalkulasi, dan orientasi.64,65,66

Uji

validasi instrumen ini dalam versi Indonesia telah dilakukan pada tahun 2010 oleh

Husein dkk serta telah digunakan sebagai salah satu instrumen skrining fungsi

luhur di Indonesia. Nilai normalnya yaitu di atas 26.66

II.5.3 Trail Making Tests A&B

Trail making tests (TMT) A & B walaupun terlihat mudah, namun memerlukan

keterampilan fungsi kognitif yang beragam, termasuk rekognisi angka dan huruf,

visual scanning, koordinasi visuomotor, pembagian atensi, working memory, dan

fleksibilitas kognitif. Kedua tes tersebut berkaitan dengan kewaspadaan,

kecepatan proses pikir, dan working memory.41

Skoring dilakukan berdasarkan waktu penyelesaian tes secara keseluruhan.

Sebagai tambahan pemeriksa dapat menunjukkan kesalahan yang dilakukan (tidak

dinilai), sementara penghitungan waktu tetap berjalan. Faktor-faktor tersebut

menjadikan rentang penilaian yang lebar. Faktor-faktor lain yang berperan sebagai

variabel skoring termasuk di dalamnya kemampuan mengingat sebagian dari

tugas; ragam motivasi mempertahankan konsentrasi, dan bantuan dari pemeriksa

dalam memfasilitasi penyelesaian tes (contoh, memberikan petunjuk angka atau

huruf selanjutnya yang harus ditandai).42

35

Universitas Indonesia

Normalnya waktu yang dibutuhkan dalam menyelesaikan uji TMT A&B

bergantung dengan usia. Median waktu normal pengerjaan TMT A berdasarkan

kelompok usia 18-24, 25-34, 35-44, 45-54, 55-59 tahun berturut-turut adalah 21,

23, 26, 31, dan 32 detik. Sedangkan median waktu normal untuk pengerjaan TMT

B adalah 47, 50, 58, 64, dan 73.5 detik.67

Studi dari Buck dkk menyebutkan bahwa pengujian TMT A&B sebanyak dua sesi

dengan format TMT yang tidak sama, lebih baik daripada hanya satu sesi,

sedangkan pengujian sebanyak tiga sesi lebih baik dibandingkan dua sesi. Temuan

ini mengarahkan bahwa sesi serial dapat efektif untuk dipergunakan dalam

praktek klinis.42

II.5.4 Consortium to Establish a Register for Alzheimer’s Disease (CERAD)

Seperti disebutkan sebelumnya, tidak ada instrumen khusus untuk pemeriksaan

fungsi kognitif pada tumor otak. Sebuah literatur menyebutkan bahwa ada pasien

usia tua dengan glioblastoma multiforme yang menunjukkan gejala patologis dari

Alzheimer. CERAD merupakan salah satu instrumen biasa digunakan dalam

menilai demensia Alzheimer.68

Ada beberapa aspek yang dinilai dalam CERAD. Salah satunya dalah penilaian

terhadap aspek neuropsikologi. Aspek neuropsikologi yang dinilai pada CERAD

yaitu fluensi, Boston naming test (BNT), MMSE, Word List Test, praksis

konstruksional, dan recall praksis konstruksional.68

Boston naming test terdiri dari sejumlah gambar yang akan dipertunjukkan kepada

subyek. Gambar-gambar yang ditunjukkan terdiri dari gambar yang umum

ditemukan sehari-hari sampai dengan yang jarang.57

Nilai normal dari BNT

bervariasi, tergantung dari versi BNT yang digunakan. BNT versi lengkap terdiri

dari 60 gambar, namun ada juga versi modifikasi 30 gambar atau 15 gambar. Nilai

normalnya pada versi lengkap adalah ≥ 49, untuk versi 30 nilai normalnya ≥ 25,

sedangkan untuk versi 15 diatas 10.69

36

Universitas Indonesia

II.6 KERANGKA TEORI

Ya Tidak

Kebocoran

serum plasma

Invasi &

Infiltrasi

Edema

perifokal

Neoplasia

Efek desak

ruang

Neoangiogenesis

Soliter

PRIMER

Intraaksial

Perubahan anatomi

TUMOR OTAK

Perubahan fisiologi

Tumor primer

ekstrakranial

METASTASIS

Ekstraaksial

Intak

Sawar darah otak

Disrupsi transmisi

neuronal

GF

Neuroinflamasi

P75 Trk BDNF

Glutamat ↑↑

Eksitotoksisitas

Apoptosis

neuron

Neurotropin

Multipel

LOKASI

Frontal** Parietal Oksipital Lokasi lain Temporal**

GANGGUAN FUNGSI

KOGNTIF

Atensi Fungsi

eksekutif8

Visuospasial &

visuokostruksi Bahasa Memori

Usia

Jenis kelamin

Pendidikan

Ukuran Kejang

Perubahan anatomi

Perubahan fisiologi

Mekanisme terjadinya efek desak ruang

Merupakan mekanisme terjadinya kebocoran serum plasma, terutama pada glioma derajat tinggi

dan metastasis * Dicetak tebal untuk menggambarkan bahwa domain ini merupakan domain yang paling sering

terganggu ** Dicetak tebal untuk menggambarkan bahwa kedua lobus ini memiliki peranan paling banyak

terhadap fungsi kognitif

Onset

Durasi

Frekuensi

Bangkitan

37

Universitas Indonesia

II.7 KERANGKA KONSEP

Tumor Otak

Metastasis^

Faktor Demografik Usia

Jenis kelamin

Pendidikan

Domain Atensi

Bahasa

Memori

Fungsi eksekutif

Visuospasial dan

konstruksional

Gangguan

Fungsi Kognitif

^Karakteristik tumor

Letak lesi

Ukuran lesi

Edema perifokal

Variabel dependen

Variabel independen

Faktor perancu

Huruf yang tercetak miring merupakan variabel yang tidak diteliti

Tumor Otak

Primer^

Glioma

Meningioma

Lain-lain

Faktor Medis lain

Kejang

38 Universitas Indonesia

BAB III

METODE PENELITIAN

III.1 DESAIN PENELITIAN

Penelitian ini merupakan studi potong-lintang dengan data sekunder diperoleh

dari rekam medis di Departemen Neurologi RSUPN Cipto Mangunkusumo.

III.2 TEMPAT DAN WAKTU PENELITIAN

Penelitian akan dilakukan di RSUPN Cipto Mangunkusumo, Jakarta yang akan

dilaksanakan dalam rentang waktu bulan Oktober 2015 sampai dengan Maret

2016.

III.3 POPULASI PENELITIAN

Populasi penelitian adalah pasien didiagnosis tumor otak dan menjalani

pemeriksaan fungsi luhur poliklinik fungsi luhur neurologi sejak 2009-2015.

III.4 SAMPEL PENELITIAN

Populasi penelitian adalah pasien tumor otak di ruang rawat inap dan poli saraf

RSUPN Cipto Mangunkusumo yang didiagnosis berdasarkan anamnesis,

pemeriksaan fisik, radiologis (CT Scan dan/atau MRI kepala), serta memenuhi

kriteria inklusi dan eksklusi. Penentuan sampel dilakukan menurut metode “non

random sampling” jenis konsekutif kebelakang sampai tercapai jumlah sampel.

39

Universitas Indonesia

III.5 KRITERIA PENELITIAN

III.5.1 Kriteria Inklusi

1. Usia 18 tahun sampai dengan 65 tahun.

2. Pasien telah terdiagnosis tumor otak (primer dan metastasis) dan

memiliki hasil histopatologi baik yang didapatkan dari tumor otak

maupun tumor primer ekstrakranial (metastasis).

3. Pasien telah menjalani pemeriksaan fungsi luhur sebelum operasi dan

sebelum WBRT.

III.5.2 Kriteria Eksklusi

Pasien dengan riwayat penyakit sebelumnya yang dapat menimbulkan bias,

meliputi riwayat penyakit serebrovaskular dan infeksi intrakranial.

III.6 ESTIMASI BESAR SAMPEL

Untuk menentukan besar sampel pada penelitian ini menggunakan rumus :

𝒏 =𝒁𝜶𝟐𝒑𝒒

𝒅𝟐

=𝟏. 𝟗𝟔𝟐 × 𝟎. 𝟕𝟐𝟒 × 𝟎. 𝟐𝟕𝟔

𝟎. 𝟏𝟐= 𝟕𝟔. 𝟖

Digenapkan menjadi ≅ 𝟕𝟕

Keterangan:

n = besar sampel

Z = nilai konversi pada kurva normal = 1,96; α = 0.05

p = merupakan p gangguan fungsi kognitif pada tumor otak42

q = 1-p

d = tingkat ketepatan absolut = 10%

40

Universitas Indonesia

III.7 KERANGKA OPERASIONAL

Resume medis pasien tumor otak

yang diperiksakan fungsi kognitif

Kriteria inklusi

Kriteria eksklusi

Sampel penelitian

Tumor otak primer Metastasis

Faktor Demografi (jenis kelamin, usia,

pendidikan)

Lokasi tumor, jumlah lesi, keterlibatan lobus,

kejang

Profil fungsi kognitif

Analisis statistik

Hasil penelitian

41

Universitas Indonesia

III.8 IDENTIFIKASI VARIABEL

Variabel dependen yang dianalisis pada penelitian ini adalah gangguan fungsi

kognitif, sedangkan variabel independen yang dianalisis meliputi :

1. Jenis kelamin

2. Usia

3. Tingkat pendidikan, dikategorikan menjadi riwayat pendidikan <12 tahun

dan >12 tahun

4. Jenis tumor, dikategorikan menjadi tumor primer (glioma, meningioma,

dan lain-lain) dan metastasis (paru, payudara, tiroid, dan lain-lain)

5. Jumlah lesi, dikategorikan menjadi tunggal dan jamak

6. Keterlibatan lobus, dibagi menjadi satu lobus dan lebih dari satu lobus

7. Sisi otak yang terlibat, dibagi menjadi unilateral, bilateral, dan garis

tengah

8. Kejang, sebagai faktor medis lain yang berkontribusi mempengaruhi

fungsi kognitif

III.9 PENGOLAHAN DATA DAN ANALISIS DATA

Data merupakan data kategorik yang akan disajikan dalam bentuk frekuensi dan

persentase. Analisis data akan dilakukan dengan SPSS for windows versi 18.0.

Hubungan antara dua variabel kategorik didapatkan dengan menggunakan uji chi

square jika memenuhi syarat. Uji Fischer dan Uji Kolmogorov-Smirnov akan

dilakukan sebagai uji alternatif sesuai dengan jumlah tabel dan kolom. Dinyatakan

bermakna apabila α ≤ 5%.

Apabila ditemukan lebih dari satu variabel independen yang berpengaruh, maka

akan dilakukan uji multivariat dengan pendekatan logistik regresi yang

melibatkan semua variabel independen yang mempunyai p < 0,2.

42

Universitas Indonesia

III.10 BATASAN OPERASIONAL

Tumor otak primer didefinisikan sebagai tumor intrakranial, terdiagnosis

berdasarkan gejala klinis dan terbukti berdasarkan hasil pemeriksaan histopatologi

dari tumor primernya. Tumor otak kemudian dikelompokkan menjadi glioma,

meningioma, dan lain-lain.

Tumor otak metastasis didefinisikan sebagai tumor intrakranial baik intraaksial

maupun ekstraaksial, terdiagnosis berdasarkan riwayat keganasan di tempat lain,

terbukti secara histopatologi dari tumor primernya. Lesi intraaksial dan

ekstraaksial pada metastasis tidak dibedakan, karena tidak tervisualisasikannya

metastasis otak intraaksial pada pencitraan tidak menyingkirkan kemungkinan

adanya metastasis intraaksial.

Derajat keganasan tumor otak merupakan derajat keganasan tumor otak primer

berdasarkan kriteria WHO. Derajat keganasan dikategorikan menjadi derajat

rendah dan derajat tinggi pada glioma, serta derajat I (tipikal) dan derajat II-III

(atipikal-anaplastik) pada meningioma. Derajat rendah mencakup semua derajat I-

II (berdiferensiasi baik sampai dengan sedang) dari glioma dan derajat tinggi

mencakup glioma derajat III (berdiferensiasi buruk) dan derajat IV (tidak

terdiferensiasi).

Jumlah lesi dikategorikan menjadi lesi tunggal dan jamak sebagai salah satu

faktor klinis dari tumor.

Jumlah lobus yang terlibat dikategorikan menjadi satu lobus dan lebih dari satu

lobus. Adapun lobus yang terlibat dibagi menjadi daerah frontal, temporal,

parietal, oksipital, dan lain-lain. Lain-lain disini didefinisikan sebagai daerah di

luar keempat lobus yang tersebut di atas. Daerah ini mencakup amigdala, talamus,

formasio retikularis, serebelum, dan lain-lain.

Sisi otak yang terkena dikategorikan menjadi unilateral, bilateral, dan garis

tengah. Kategori ini didasari oleh fungsi dari kedua sisi otak berbeda dan garis

tengah menjadi salah satu kategori karena gangguan dapat melibatkan kedua sisi

43

Universitas Indonesia

otak bukan karena lesi yang besar ataupun lesi multipel, tetapi karena tumor

terletak bersisian dengan kedua hemisfer otak.

Gangguan fungsi kognitif adalah gangguan pada domain gangguan fungsi

kognitif yang didapat pada pasien dengan tumor otak melalui pemeriksaan fungsi

luhur yang terdiri dari MMSE, MoCA-Ina, TMT A&B, dan CERAD. Domain

gangguan fungsi kognitif dikelompokkan menjadi lima kelompok yaitu, atensi,

bahasa, memori, fungsi eksekutif, dan visuospasial/visuokonstruksi. Dinyatakan

terganggu dan tidak terganggu.

Atensi kemampuan seseorang untuk dapat mengikuti suatu stimulus spesifik

tanpa terdistraksi oleh stimulus internal maupun lingkungan. Atensi diperiksakan

dengan penilaian secara kuantitatif dan kualitatif berdasarkan komponen atensi

pada MMSE dan MoCA-Ina, yaitu digit repetition test dan seven substraction

tests serta dinyatakan sebagai ada gangguan atau tidak.

Bahasa merupakan komponen komunikasi primitif pada manusia yang dinilai

berdasarkan kemampuan pasien mengerti suatu masukan bahasa dan kemampuan

merespon terhadap masukan tersebut. Kemampuan bahasa dinilai meliputi

kelancaran bicara, pemahaman, repetisi, penamaan, membaca, menulis, dan

mengeja serta dinyatakan sebagai terganggu atau tidak terganggu.

Memori adalah kemampuan menyimpan dan penarikan informasi yang diterima.

Gangguan memori dinyatakan sebagai gangguan memori segera, memori baru,

memori tunda, dan memori jangka panjang. Fungsi ini dinilai menggunakan

komponen yang terdapat pada MMSE, MoCA-Ina, dan CERAD. Dinyatakan

dalam terganggu atau tidak.

Fungsi eksekutif merupakan proses kognitif kompleks, didasari oleh pengetahuan

dasar. Fungsi eksekutif ini dinilai menggunakan MMSE, MoCA-Ina, dan

pemeriksaan TMT A&B. Komponen yang dinilai yaitu abstraksi, kalkulasi, dan

kemampuan memahami dan melakukan instruksi berupa serangkaian tes

kompleks. Kemudian hasilnya dikelompokkan menjadi terganggu atau tidak.

44

Universitas Indonesia

Visuospasial dan konstruksional didefinisikan sebagai kemampuan proses

identifikasi dan analisis suatu objek secara visual namun tidak dapat

diverbalisasikan. Hasilnya dinyatakan dengan terganggu dan tidak.

Usia dihitung berdasarkan tanggal lahir, dinyatakan dalam tahun, apabila belum

genap satu tahun dan di atas 6 bulan, maka dibulatkan menjadi tahun yang lebih

besar atau tahun berikutnya. Usia yang diambil merupakan usia saat pasien

terdiagnosis tumor otak. Batasan usia terhitung dari usia dewasa, yaitu 18 tahun

dan 65 tahun sebagai batasan usia yang dinilai diambil dari batasan usia pada

studi terdahulu oleh Maharani dkk.7,70

Pendidikan berdasarkan kriteria tingkat pendidikan pada MoCA-Ina (> 12 tahun),

tingkat pendidikan dibagi menjadi dua jenjang yaitu, <12 tahun dan > 12 tahun.

Kejang didefinisikan sebagai kejang yang terjadi pada pasien sebelum

terdiagnosis tumor otak dan masih terjadi kekambuhan dan/atau kejang yang

terjadi pada pasien setelah terdiagnosis tumor otak. Data yang dinilai adalah

frekuensi (<4 kali per bulan dan ≥4 kali per bulan), durasi (<3 menit dan ≥3

menit), dan bentuk bangkitan kejang (parsial, umum). Kejang parsial mencakup

kejang fokal dan umum sekunder (kejang fokal yang berubah menjadi umum).71

III.11 ETIKA PENELITIAN

1. Usulan penelitian akan diajukan ke komisi etik untuk mendapatkan

pengesahan sebelum dimulai.

2. Identitas dan hasil pemeriksaan subyek penelitian dirahasiakan.

45 Universitas Indonesia

BAB IV

HASIL PENELITIAN

IV.1. Karakteristik Demografik dan Klinis

Didapatkan 77 subjek yang memenuhi kriteria penelitian. Proporsi subjek laki-laki

(50,6%) dan perempuan (49,4%) hampir sama. Subjek terbanyak berusia 40 tahun

ke atas (67,5%), dengan rerata usia 45,5 ±11,7 tahun. Sebanyak 61% memiliki

tingkat pendidikan 12 tahun ke atas (Tabel 4.1.1).

Tabel 4.1.1. Sebaran Karakteristik Demografik (n=77)

n %

Jenis Kelamin

Laki-laki

Perempuan

39

38

50,6

49,5

Usia (tahun)

Mean, SD

18-39 tahun

≥40 tahun

45,5 ±11,7

25

52

32,5

67,5

Pendidikan

<12 tahun

≥12 tahun

30

47

39

61

Tabel 4.1.2. menunjukkan bahwa subjek dengan tumor otak primer memiliki

angka kejadian tersering (58,4%), terbanyak adalah glioma (49%) terutama derajat

tinggi (81%) dan meningioma (40%) berupa meningioma derajat I (63,2%).

Metastasis terjadi pada 41,1%, terutama dari paru (34,4%) dan payudara (18,8%).

Mayoritas tumor berlesi tunggal (61%) dan terletak pada satu sisi hemisfer

(63,6%) sebelah kiri (32%). Kebanyakan tumor melibatkan lebih dari satu lobus

(55,4%), dengan dominasi parietal (48,1%) dan frontal (45,5%).

46

Universitas Indonesia

Tabel 4.1.2. Sebaran Karakteristik Klinis (n=77)

n %

Jenis Tumor

Primer

Glioma

- Derajat rendah

- Derajat tinggi

Meningioma

- Derajat I

- Derajat II-III

Lain-lain

Metastasis

Paru

Payudara

Tiroid

Lain-lain

45

21

- 4

- 17

19

- 12

- 7

5

32

11

6

3

12

58,4

46,7

- 19

- 81

42,2

- 63,2

- 36,8

11,1

41,6

34,4

18,8

9,4

37,4

Jumlah lesi

Tunggal

Jamak

47

30

61

39

Berdasarkan sisi otak

Unilateral hemisfer

Kiri

Kanan

Bilateral hemisfer

Garis tengah

49

32

17

24

4

63,6

41,6

22,1

31,2

5,2

Keterlibatan lobus

Satu lobus

Lebih dari satu lobus

31

46

40,3

59,7

Lobus yang terlibat*

Frontal

Temporal

Parietal

Oksipital

Lain-lain

35

25

37

15

20

45,5

32,5

48,1

19,5

26

Kejang

Ya

Tidak

19

58

24,7

75,3

*semua lobus yang terlibat

47

Universitas Indonesia

Dalam tabel 4.1.3, terdapat 19 subjek tumor otak yang mengalami kejang.

Sebanyak 57,6% terjadi kurang dari 4 kali per bulan, berdurasi 3 menit ke atas,

dan mayoritas merupakan bangkitan parsial (78,9%) terutama umum sekunder

(tidak terlampir dalam tabel).

Tabel 4.1.3. Karakteristik Kejang (n=19)

n %

Frekuensi bangkitan

<4 kali per bulan

≥4 kali per bulan

11

8

57,6

42,1

Durasi bangkitan (n=16)

<3 menit

≥3 menit

4

12

25

75

Bentuk bangkitan

Parsial

Umum

15

4

78,9

21,1

Tabel 4.1.4. merupakan tabel karakteristik demografik dan klinis tumor otak

primer dan metastasis. Tumor otak primer lebih banyak diderita perempuan

(54,5%), sedangkan metastasis lebih banyak laki-laki (57,6%). Terdapat

perbedaan bermakna secara statistik (p=0,002), dimana rentang usia 18-39 tahun

terutama pada kelompok tumor otak primer (84%), sedangkan usia 40 tahun ke

atas lebih banyak pada metastasis (53,8%).

Masih dalam tabel yang sama, lesi pada metastasis otak lebih banyak yang

multipel (87,5%) dibandingkan tumor primer yang lebih banyak berlesi soliter

(95,6%), perbedaan ini secara statistik bermakna (p=0,000). Sebagian besar

metastasis melibatkan lebih dari satu lobus (90,6%), sedangkan tumor otak primer

utamanya satu lobus (62,2%) dan bermakna secara statistik (p=0,000).

Berdasarkan sisi lokasi tumor, terdapat perbedaan bermakna (p=0,030) dimana

tumor primer memiliki lesi yang lebih dominan sesisi hemisfer (71,4%),

sedangkan metastasis otak lebih banyak melibatkan kedua hemisfer (72,7%).

Kejang lebih banyak ditemukan pada kelompok tumor primer (68,4%) bila

48

Universitas Indonesia

dibandingkan dengan kelompok metastasis otak (31,6%), tetapi tidak didapatkan

perbedaan yang bermakna (p=0,309).

4.1.4. Karakteristik Demografik dan Klinis Tumor Otak Primer dan

Metastasis

Primer

(n=45)

Metastasis

(n=32)

p

Jenis Kelamin

Laki-laki

Perempuan

20 (44,4%)

25 (55,6%)

19 (59,4%)

13 (40,6%) 0,168*

Usia (tahun)

Mean, SD

18-39 tahun

≥40 tahun

40,89 ±11,09

21 (84%)

24 (46,2%)

51,97 ±9,36

4 (12,5%)

28 (53,8%)

0,000**

0,002*

Pendidikan

<12 tahun

≥12 tahun

18 (40%)

27 (60%)

12 (37,5%)

20 (62,5%) 0,825*

Keterlibatan lobus

Satu lobus

Lebih dari satu lobus

28 (62,2%)

17 (37,8%)

3 (9,4%)

29 (90,6%) 0,000*

Jumlah lesi

Tunggal

Multipel

43 (95,6%)

2 (4,4%)

4 (12,5%)

28 (87,5%) 0,000*

Berdasarkan sisi otak

Unilateral hemisfer

Bilateral hemisfer

Garis tengah

35 (71,5%)

6 (27,3%)

4 (66,7%)

14 (28,5%)

16 (72,7%)

2 (33,3%)

0,030***

Kejang

Ya

Tidak

13 (68,4%)

32 (55,2%)

6 (31,6%)

26 (44,8%)

0,309*

* chi square **t-test ***Fischer exact

IV.2. Profil Gangguan Fungsi Kognitif pada Tumor Otak

Tabel 4.2.1. merupakan tabel hasil pemeriksaan fungsi kognitif pada tumor otak.

Berdasarkan hasil pemeriksaan fungsi kognitif lengkap, hampir semua subjek

mengalami gangguan (96,1%), terutama ranah jamak (93,2%). Pemeriksaan

MMSE hanya dilakukan pada 71 subjek dan gangguan terjadi pada 73,2% subjek

49

Universitas Indonesia

(nilai median 24, 9-30), sedangkan MoCA-INA hanya dilakukan pada 44 subjek

dan terdapat gangguan sebanyak 79,5% (rerata nilai 18,18 ±6,69).

Tabel 4.2.1. Profil Fungsi Kognitif (n=77)

n %

Gangguan Fungsi Kognitif

Ya

Tidak

74

3

96,1

3,9

Hasil MMSE (n=71)

Nilai median (min.-maks.)

Terganggu

Tidak terganggu

24 (9-30)

50

19

73,2

26,8

Hasil MoCA-INA (n=44)

Nilai mean, SD

Terganggu

Tidak terganggu

18,18 ±6,69

35

9

79,5

20,5

Jumlah ranah yang terkena

Tunggal

Jamak

5

69

6,7

93,2

Tabel 4.2.2. merupakan karakteristik demografik dan klinis berdasarkan gangguan

fungsi kognitif. Tabel ini menunjukkan bahwa hampir semua subjek, baik laki-

laki (97,4%) maupun perempuan (94,7%) mengalami gangguan fungsi kognitif,

terutama pada usia 40 tahun ke atas, dan berpendidikan minimal 12 tahun ke atas.

Semua subjek metastasis otak mengalami gangguan fungsi kognitif, sedangkan

pada primer masih ada 6,7% subjek yang tidak terganggu.

Berdasarkan derajat keganasan tumor otak primer, subjek penelitian dengan

gangguan fungsi kognitif paling banyak terjadi pada semua glioma derajat rendah

dan meningioma derajat II-III. Sebagian kecil subjek dengan tumor otak primer

tidak mengalami gangguan fungsi kognitif yaitu, glioma derajat tinggi (5,9%) dan

meningioma derajat I (16,7%)

Gangguan fungsi kognitif terjadi pada semua tumor berlesi multipel dan 93,6%

lesi tunggal. Meski demikian, masih ada 6,4% subjek berlesi tunggal yang tidak

terganggu. Gangguan juga terjadi hampir pada semua subjek yang melibatkan satu

lobus (96,8%) ataupun lebih dari satu (95,6%). Baik unilateral, bilateral, maupun

50

Universitas Indonesia

garis tengah pada penelitian ini mengalami gangguan fungsi kognitif. Sebanyak

84,2% subjek dengan kejang dan mengalami gangguan fungsi kognitif.

Tabel 4.2.2. Karakteristik Demografik dan Klinis Gangguan Fungsi Kognitif

Gangguan Fungsi Kognitif

Ya, n (%) Tidak, n (%)

Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan

38 (97,4) 36 (94,7)

1 (2,6) 2 (5,3)

Usia 18-39 tahun ≥40 tahun

22 (88)

52 (100)

3 (12) 0 (0)

Pendidikan

<12 tahun

≥12 tahun

30 (100)

44 (100)

0 (0)

3 (0)

Jenis tumor Primer

Glioma

- Derajat rendah

- Derajat tinggi

Meningioma

- Derajat I

- Derajat II-III

Lain-lain Metastasis

Paru Payudara Tiroid Lain-lain

42 (93,3) 20 (95,2) 4 (100)

16 (94,1)

17 (89,5) 10 (83,3)

7 (100)

5 (100) 32 (100) 11 (100) 6 (100) 3 (100)

12 (100)

3 (6,7) 1 (4,8) 0 (0)

1 (5,9)

2 (10,5)

2 (16,7)

0 (0)

0 (0)

0 (0)

0 (0) 0 (0) 0 (0) 0 (0)

Jumlah lesi Tunggal

Multipel

44 (93,6) 30 (100)

3 (6,4) 0 (0)

Keterlibatan lobus Satu lobus Lebih dari satu lobus

30 (96,8) 44 (95,6)

1 (3,2) 2 (4,3)

Berdasarkan sisi otak

Unilateral Kiri

Kanan Bilateral Garis tengah

47 (95,9) 31 (96,9) 16 (94,1) 21 (95,5) 6 (100)

2 (4,1) 1 (3,1) 1 (5,9) 1 (4,5) 0 (0)

Kejang Ya Tidak

16 (84,2) 58 (100)

3 (15,8)

0 (0)

51

Universitas Indonesia

Baik tumor otak primer (88,1%) maupun metastasis (100%) sebagian besar

mengalami gangguan ranah kognitif jamak, seperti tercantum dalam tabel 4.2.3.

Skrining MMSE hanya dilakukan pada 71 subjek dan MoCA-INA hanya pada 44

subjek. Terdapat 68% gangguan kognitif pada tumor primer terdeteksi melalui

MMSE, sedangkan metastasis sebesar 80%. Hasil skrining MoCA-INA

didapatkan 63,6% tumor primer terdeteksi gangguan kognitif, sedangkan pada

metastasis sebesar 95,5%.

Tabel 4.2.3. Profil Ranah Gangguan Kognitif pada Tumor Otak (n=74)

Primer n=42 Metastasis n=32

Jumlah ranah yang terkena Tunggal Jamak

5(11,9%)

37 (88,1%)

0 (0%)

32 (100%)

MMSE (n=71)

Mean, SD

Median

Terganggu

Tidak

22,8 ±6.00

25 (9-30)

28 (68,3%)

13 (31,7%)

21,77 ±5,28

23 (9-29)

24 (80%)

6 (20%)

MoCA-INA (n=44)

Mean, SD

Median

Terganggu

Tidak

19 ±7,57

19 (2-29)

14 (63,6%)

8 (36,4%)

17,36 ±5,74

17,5 (7-29)

21 (95,5%)

1 (4,5%)

Gambar 4.2. merupakan grafik persentase ranah kognitif yang terganggu

berdasarkan jenis tumor. Gangguan terjadi terutama pada ranah memori dan

fungsi eksekutif dan persentase masing-masing ranah lebih tinggi pada kelompok

metastasis. Proporsinya semua metastasis dan 80% tumor primer mengalami

gangguan memori. Sebesar 77,5% tumor primer dan 89,7% metastasis otak

mengalami gangguan fungsi eksekutif. Gangguan atensi terjadi pada 50% tumor

otak primer dan 56,3% metastasis otak. Gangguan bahasa terjadi pada 52,4%

tumor otak primer dan 53,1% metastasis otak. Gangguan

visuospasial/konstruksional terjadi pada 63,2% tumor otak primer dan 65,5%

metastasis otak.

52

Universitas Indonesia

Gambar 4.2. Persentase Ranah Kognitif yang Terganggu Berdasarkan Jenis

Tumor.

Atensi Bahasa MemoriFungsi

eksekutifVisuospasial/

konstruksional

Primer 50,0% 52,4% 80,0% 77,0% 63,2%

Metastasis 56,3% 53,1% 100,0% 89,7% 65,5%

0%

20%

40%

60%

80%

100%

120%

53 Universitas Indonesia

BAB V

PEMBAHASAN

Penelitian ini merupakan studi potong lintang dengan tujuan untuk mengetahui

gambaran dan karakteristik gangguan kognitif pada tumor otak beserta faktor-

faktor yang dapat berhubungan. Penelitian ini merupakan penelitian terkait

neuroonkologi dan neurobehavior. Tidak banyak penelitian mengenai gangguan

fungsi kognitif pada tumor otak. Departemen Neurologi FKUI/RSCM sendiri

pernah melakukan dua penelitian mengenai gangguan kognitif pada tumor otak di

tahun Maharani dkk tahun 2013 dan 2014.7,70

Berbeda dengan penelitian

sebelumnya, penelitian ini bertujuan untuk mencari gambaran dan karakteristik

gangguan kognitif pada tumor otak sebelum dilakukan terapi dan faktor-faktor

yang dapat berhubungan.

Terdapat 357 subjek dengan kecurigaan tumor otak yang dilakukan pemeriksaan

fungsi luhur. Sebanyak 225 subjek mengalami eksklusi dikarenakan tidak

memiliki data yang lengkap dan sebanyak 65 subjek pada akhirnya mengalami

eksklusi karena tidak memenuhi kriteria inklusi. Didapatkan 77 subjek yang pada

akhirnya memenuhi kriteria penelitian.

Pemeriksaan skrining MMSE hanya dilakukan pada 71 subjek dari 77 subjek

penelitian. Sebanyak enam subjek penelitian disertai dengan afasia berat sehingga

tidak mampu mengerjakan skrining MMSE. Hanya terdapat 44 subjek yang

dilakukan skrining MoCA-INA. Dari total subjek yang tidak dilakukan skrining,

satu subjek disertai afasia berat, sedangkan 32 subjek lainnya dikarenakan

sebelum tahun 2013 MoCA-INA belum menjadi prosedur tetap di poliklinik

fungsi luhur. Pemeriksaan lengkap terhadap ranah memori dan fungsi eksekutif

hanya dilakukan pada 71 subjek karena sebanyak enam subjek mengalami dengan

afasia berat. Ranah visuospasial dan konstruksional hanya dinilai pada 69 subjek

karena terdapat dua subjek dengan gangguan penglihatan dan enam subjek dengan

afasia berat.

54

Universitas Indonesia

Berdasarkan karakteristik demografis, proporsi subjek laki-laki (50,6%) dan

perempuan (49,4%) hampir sama. Data ini didukung oleh hasil Cancer Research

UK, yaitu laki-laki 49% dan perempuan 51%.72

Kecenderungan dalam penelitian

ini bahwa tumor otak primer lebih banyak terjadi pada perempuan (54,4%),

sedangkan metastasis terutama laki-laki (57,6%) (Tabel 4.1.4.). Temuan ini juga

sesuai dengan data statistik dari CBTRUS 2007-2011 yaitu, tumor otak primer

lebih banyak pada perempuan (58%) dan studi dari Saha dkk yang menyebutkan

metastasis otak lebih sering pada laki-laki (52,78%).24,73

Proporsi usia terbanyak adalah 40 tahun ke atas (67,5%) dengan rerata usia kedua

kelompok pada penelitian ini adalah 45,5 ±11,7 tahun. Rerata ini serupa dengan

studi terdahulu dari Maharani dkk (2013), yaitu 45,25 ± 10,373 tahun.7 Penelitian

ini juga mendapatkan proporsi usia yang bermakna secara statistik berdasarkan

kelompok tumor, usia di bawah 40 tahun didominasi oleh tumor otak primer

(84%), dengan rerata 40,89 ±11,09 tahun. Namun data epidemiologi dari

CBTRUS 2007-2011 menyebutkan, usia tumor otak primer meningkat setelah

usia 40 tahun dan puncaknya adalah 59 tahun.24

Hal ini dapat dipikirkan terkait

adanya paparan lingkungan dan pola hidup.74

Indonesia sebagai negara

berkembang memiliki taraf hidup yang lebih rendah daripada negara maju

sehingga memiliki faktor risiko lebih tinggi terhadap paparan karsinogenik dan

terjadinya proses onkogenesis.

Dalam penelitian ini pendidikan tidak menjadi faktor yang dapat berhubungan

dengan gangguan fungsi kognitif pada tumor otak karena hasil pemeriksaan fungsi

kognitif dari poli neurobehavior kami sudah disesuaikan berdasarkan tingkat

pendidikan dan usia. Selain itu, sebagian besar subjek penelitian ini mengenyam

pendidikan 12 tahun ke atas (61%) dan lebih dari separuh subjek dengan

gangguan fungsi kognitif berpendidikan minimal 12 tahun. Hasil yang sama juga

dikemukakan dalam studi oleh Dwan dkk, bahwa tingkat pendidikan tidak

berpengaruh terhadap hasil penilaian fungsi kognitif pada tumor otak.75

Proporsi kelompok tumor pada penelitian ini lebih banyak pada tumor otak primer

(58,4%) dibandingkan metastasis. Proporsi ini berbeda dengan kebanyakan

kepustakaan yang menyatakan bahwa metastasis otak merupakan keganasan

55

Universitas Indonesia

intrakranial tersering pada usia dewasa.19,20,23

Perbedaan pada hasil penelitian ini

dapat disebabkan oleh banyaknya kasus dengan kecurigaan metastasis otak yang

telah dilakukan pemeriksaan fungsi kognitif tidak memenuhi kriteria inklusi

dikarenakan ketiadaan data histopatologi.

Dalam penelitian ini didapatkan glioma dan meningioma sebagai dua jenis tumor

otak primer tersering. Glioma terbanyak adalah derajat tinggi (81%) dan

meningioma adalah derajat I (63,2%). Walaupun beberapa kepustakaan memiliki

beda pendapat dalam menyatakan jenis primer tersering, tetapi keduanya

merupakan jenis tumor otak yang paling dominan.16,18,25,56,76

Laporan statistik dari

CBTRUS 2007-2011 menyebutkan bahwa meningioma merupakan tumor otak

tersering dengan angka kejadiannya lebih dari 35% diikuti glioblastoma

multiforme (15,4%).76

Disebutkan pula bahwa tumor otak primer jinak didominasi

oleh meningioma (53,7%) dan glioblastoma multiforme merupakan jenis tumor

otak primer ganas yang paling banyak terjadi (45,6%). Sebuah artikel oleh

Huttner menyebutkan bahwa astrositoma merupakan tipe tersering dari tumor otak

primer dan glioblastoma multiforme sebagai jenis terbanyak (>60%).24

Metastasis otak pada penelitian ini terutama berasal dari paru (34,4%) dan

payudara (18,8%). Hal ini sesuai dengan beberapa kepustakaan bahwa keduanya

merupakan keganasan sistemik utama yang bermetastasis ke otak.16,17,19,23

Dilihat

dari segi anatomi, paru dan payudara memiliki kedekatan anatomi pembuluh

darah dengan otak, sehingga menjadikan otak sebagai salah satu predileksi

metastasis tersering.19,23

Pada penelitian ini subjek dengan metastasis otak sebagian besar berlesi multipel,

mengenai lebih dari satu lobus, dan terutama melibatkan kedua hemisfer. Seperti

diketahui, metastasis otak terjadi secara hematogen dan berakhir pada end-artery

dimanapun terutama grey-white matter junction, sehingga lebih sering bersifat

multifokal.16,17,19,21,28

Adanya karakteristik pembuluh darah yang sangat rapuh,

memudahkan terjadinya edema peritumoral luas sehingga memberikan efek desak

ruang ke lobus yang berdekatan.17,19,21,28

Walaupun demikian, masih ada sebagian

kecil dari metastasis otak pada penelitian ini berlesi tunggal (12,5%), hal ini

56

Universitas Indonesia

serupa dengan Pestalozzi dkk yang menyatakan sebanyak 14% metastasis berlesi

tunggal.77

Berbeda dengan tumor primer, dalam penelitian ini didapatkan sebagian besar

berlesi tunggal, melibatkan satu lobus, dan paling banyak melibatkan sesisi

hemisfer. Hal ini berkaitan dengan fokus lesi tumor otak primer hampir pasti

tunggal, karena pertumbuhan dari sel abnormalnya hanya terlokalisir pada satu

tempat.21

Walaupun demikian, sebanyak 37,8% tumor primer yang juga

melibatkan lebih dari satu lobus. Lesi desak ruang akibat ukuran dan edema

peritumoral merupakan faktor utama mekanisme keterlibatan lebih dari satu lobus

pada tumor primer.

Lobus yang paling banyak terlibat dalam penelitian ini adalah frontal (45,5%) dan

parietal (48,1%). Berdasarkan analisis lebih lanjut, ternyata lobus frontal (32,2%)

merupakan lobus yang paling banyak terlibat secara mandiri. Hasil ini sesuai

dengan kepustakaan yang menyatakan bahwa regio frontal merupakan predileksi

tersering tumor otak.59

Perbedaan data mengenai lobus terbanyak ini berhubungan

dengan dampak efek massa dari tumor regio berdekatan, dalam kasus ini frontal

dan parietal merupakan dua lobus yang saling berdekatan.

Kejang merupakan salah satu faktor yang dapat berhubungan dengan gangguan

kognitif pada tumor otak. Pada penelitian ini didapatkan 24,7% subjek yang

disertai kejang, terutama pada tumor otak primer (68,4%). Data ini hampir sama

dengan kepustakaan yang menyebutkan bahwa kejang terjadi pada 35-70%

seluruh kasus tumor otak. Insidens tertinggi terjadi pada glioma derajat rendah

dan meningioma (65-95%).53

Lebih lanjut dalam penelitian ini, meningioma

merupakan jenis tumor yang paling banyak mengalami kejang. Seperti diketahui,

fokus epileptogenik terutama bermula dari daerah korteks otak, sedangkan

meningioma merupakan tumor yang berasal dari lapisan meningen serta paling

mudah bersinggungan dengan lapisan korteks otak.78,79

Dalam penelitian ini kejang terjadi pada sebagian besar subjek dengan gangguan

kognitif (84,2%). Tidak dapat dipungkiri bahwa kejang menjadi salah satu faktor

yang dapat memperburuk gangguan kognitif pada tumor otak. Disebutkan dalam

57

Universitas Indonesia

kepustakaan bahwa dengan ataupun tanpa tumor otak kejadian kejang dapat

memperburuk fungsi kognitif.52,53

Terkait kejang, gangguan fungsi kognitif dapat

dipengaruhi oleh frekuensi, durasi, dan bentuk bangkitan. Frekuensi terjadinya

kejang dalam penelitian ini didapatkan terutama kurang dari empat kali per bulan

(57,9%) dan berdurasi tiga menit atau lebih (75%). Walaupun demikian, tidak ada

kepustakaan yang menyatakan secara eksplisit seberapa lama dan seringnya

frekuensi kejang yang dapat memperburuk kognitif. Hanya saja, disebutkan

bahwa lamanya kejang berbanding lurus dengan penurunan kognitif.78

Serupa dengan kepustakaan, mayoritas tipe bangkitan dalam penelitian ini adalah

bangkitan parsial (78,9%).2,21,54,79

Semiologi kejang secara umum tergantung dari

lokasi fokus epileptogeniknya.2,53,78,79

Bangkitan parsial dapat fokal maupun

menjadi umum (umum sekunder). Hal ini tergantung dari fokus epileptogenik

awalnya akan mengalami lokalisasi atau berpropagasi dan kemudian menyebar

melibatkan lokasi lain dalam hemisfer yang sama dan/ atau kontralateral sehingga

menyebabkan bangkitan umum. Bentuk bangkitan juga dapat berhubungan

dengan fungsi kognitif. Bangkitan umum memiliki tingkat kognisi yang lebih

buruk dibandingkan bangkitan parsial.79

Tabel 4.2.2. menunjukkan bahwa hampir semua subjek, baik laki-laki dan

perempuan mengalami gangguan fungsi kognitif, terutama pada usia 40 tahun ke

atas. Studi dari Maharani dkk juga mendapatkan proporsi yang serupa, yaitu usia

di atas 35 tahun.70

Keadaan ini berhubungan dengan frekuensi tumor otak primer

dan metastasis yang mayoritas berusia 40 tahun. Dalam kepustakaan, disebutkan

bahwa fungsi kognitif normalnya akan mengalami penurunan seiring dengan

pertambahan usia. Penurunan fungsi kognitif normal dimulai pada dekade ke-3

sampai dengan dekade ke-5 dan ke-6. Penurunan ini masih dianggap normal

secara objektif apabila sesuai dengan nilai normal dari masing-masing tes kognitif

yang diperiksakan.80

Gangguan fungsi kognitif terjadi pada hampir semua subjek (96,1%), terutama

ranah jamak (93,2%). Data ini sesuai dengan studi dari Tucha dkk yang

menyatakan bahwa gangguan kognitif pada tumor otak mengenai lebih dari 90%

subjek dan hampir 71% pasien memiliki gangguan pada tiga ranah atau lebih.4

58

Universitas Indonesia

Seluruh fungsi kognitif merupakan sebuah jalinan informasi yang luas, saling

silang, dan berhubungan. Sebuah lesi yang bersinggungan dengan jalinan

informasi tersebut akan menimbulkan disrupsi sistem.8,41

Setiap ranah kognitif

diregulasi oleh beberapa lokasi yang berfungsi sebagai stasiun pengolahan data.8

Dengan demikian, manifestasi gangguan kognitif tergantung pada lokasi yang

terganggu.

Memori merupakan ranah kognitif yang paling banyak terganggu pada kedua

kelompok tumor dalam penelitian ini. Gangguan ranah eksekutif menempati

posisi kedua dengan persentase sedikit lebih rendah. Hasil ini hampir sama

dengan kepustakaan yang menyebutkan bahwa memori merupakan gangguan

terbanyak pada tumor otak.41,81

Walaupun demikian, terdapat penelitian lain yang

menyebutkan fungsi eksekutif merupakan gangguan tersering.4,6,7

Secara teori,

memori dan fungsi eksekutif terutama di proses di lobus frontal dan temporal,

akan tetapi lobus parietal juga memiliki peran dalam kedua fungsi tersebut.39,60

Teori ini membuktikan temuan pada penelitian ini, bahwa lobus tersering terkena

adalah frontal dan parietal. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa lokasi lesi

dapat menjadi faktor yang berhubungan dengan gangguan ranah fungsi kognitif.

Berdasarkan derajat keganasannya, subjek dengan tumor otak primer yang

mengalami gangguan fungsi kognitif terbanyak terjadi pada semua glioma derajat

rendah dan meningioma derajat II-III. Studi dari Miotto bahwa glioma derajat

tinggi memiliki gangguan fungsi kognitif yang lebih kompleks dibandingkan

derajat rendah.6 Perbedaan ini dapat disebabkan oleh jumlah subjek dengan

glioma derajat rendah yang jauh lebih sedikit (hanya 19%) bila dibandingkan

dengan jumlah subjek glioma derajat tinggi (81%). Meningioma derajat II dan III

diketahui memiliki perangai yang lebih ganas yaitu, pertumbuhan yang lebih

cepat dan edema perifokal yang lebih luas. Demikian, efek desak ruang terjadi

dengan lebih nyata, dan berimplikasi terhadap manifestasi gangguan fungsi

kognitif yang lebih dini.35

Walaupun hampir semua subjek mengalami gangguan fungsi kognitif, namun

masih ada 6,7% subjek pada penelitian ini yang tidak terganggu dan merupakan

tumor otak primer. Dua dari tiga jenis tumor otak yang tidak mengalami gangguan

59

Universitas Indonesia

adalah meningioma derajat I (16,7%). Seperti diketahui sebelumnya, meningioma

tumbuh perlahan pada jaringan meningen dan tidak berada di antara jaringan

parenkim otak, sehingga dapat dipikirkan adanya mekanisme adaptasi sel-sel otak

terhadap proses desak ruang tersebut.35

Didapatkan dalam penelitian ini bahwa baik lesi tunggal maupun multipel sama-

sama mengalami gangguan fungsi kognitif. Terjadinya gangguan fungsi kognitif

ini berkaitan dengan adanya disrupsi dari networking antar sel-sel saraf yang

berdekatan maupun yang berjauhan. Seperti disinggung sebelumnya, bahwa

adanya efek massa baik pada tumor dengan lesi tunggal maupun multipel juga

dapat mengakibatkan gangguan fungsi kognitif. Telah dijelaskan sebelumnya

bahwa ada mekanisme adaptasi dari sel-sel otak terhadap proses desak ruang, hal

ini menerangkan mengapa masih ada ada 6,4% subjek berlesi tunggal yang tidak

mengalami gangguan fungsi kognitif.

Berkaitan dengan lokasi lesi, tampak bahwa jumlah subjek yang mengalami

gangguan kognitif dengan lesi terletak di sisi kiri hampir dua kali lipat lebih

banyak dibandingkan kanan. Data ini serupa dengan studi terdahulu dari Maharani

dkk, gangguan fungsi kognitif pada tumor otak dalam penelitian ini paling sering

terjadi pada sesisi hemisfer kiri.70

Sebuah kepustakaan menyebutkan bahwa

proporsi keterlibatan hemisfer unilateral cenderung lebih tinggi dan terutama

mengenai sebelah kiri (50%). Disebutkan pula bahwa grup lesi pada hemisfer kiri

didapatkan memiliki reaksi yang lebih lambat dibandingkan sisi kanan

dikarenakan adanya gangguan pada rekonstruksi memori. Bagaimanapun juga,

dalam kepustakaan tersebut menyatakan lateralisasi tidak berpengaruh terhadap

ketepatan dalam rekognisi.82

Didapatkan gangguan fungsi kognitif berdasarkan MMSE 71,8% dan MoCA-INA

79,5% dari seluruh kasus gangguan fungsi kognitif. Rerata nilai MMSE dan

MoCA-INA pada kelompok metastasis otak, yaitu 21,77 ±5,28 dan 17,36 ±5,74.

Rerata tersebut berbeda dengan nilai median kelompok tumor primer, yaitu

MMSE 25 dan MoCA-INA 23. Dapat disimpulkan, gangguan fungsi kognitif pada

metastasis otak cenderung lebih buruk daripada tumor otak primer. Hal ini

berkaitan dengan jumlah lesi dan lokasi yang terlibat pada metastasis otak lebih

60

Universitas Indonesia

banyak, sehingga efek disrupsi networking kognitif lebih banyak nyata. Kemudian

berhubungan dengan persentase kognitif yang terganggu berdasarkan MMSE dan

MoCA-INA, didapatkan bahwa gangguan yang didapat menggunakan MoCA-

INA lebih tinggi daripada MMSE. Hasil tersebut serupa dengan studi dari Olson

dkk (2011) bahwa MoCA-INA lebih superior dibandingkan MMSE dalam

mendeteksi gangguan kognitif.83

Keterbatasan penelitian

Penelitian ini memiliki beberapa keterbatasan yaitu, penelitian ini merupakan

sebuah studi potong lintang retrospektif dan menggunakan data sekunder,

sehingga tidak dapat mencari faktor lain yang dapat terlibat dalam proses

gangguan kognitif. Uji statistik bivariat gangguan fungsi kognitif dengan

karakteristik demografik maupun klinis tidak dapat dilakukan dikarenakan adanya

ketimpangan antara data hasil kognitif terganggu dengan tidak. Data subjek

dengan gangguan kognitif hampir mengenai semua subjek tumor otak. Oleh

karena analisis bivariat tidak dilakukan, uji statistik multivariat tidak dapat

dilakukan.

61 Universitas Indonesia

BAB VI

KESIMPULAN DAN SARAN

VI.1. KESIMPULAN

1. Didapatkan karakteristik demografik tumor otak primer dan metastasis

terutama pada perempuan, berusia 40 tahun lebih, dan berpendidikan

minimal 12 tahun.

2. Didapatkan tumor otak primer memiliki proporsi lebih tinggi

dibandingkan sekunder. Tumor otak primer terbanyak adalah glioma dan

meningioma, sedangkan metastasis otak terbanyak berasal dari paru dan

payudara.

3. Berdasarkan karakteristik klinis didapatkan tumor otak mayoritas berlesi

tunggal, terletak pada unilateral hemisfer terutama kiri, dan melibatkan

lebih dari satu lobus terutama frontal dan parietal secara bermakna. Kejang

terdapat pada sebagian kecil subjek, dengan karakteristik kejang paling

banyak berfrekuensi ≥4 kali per bulan, berdurasi ≥3 menit, dan sebagian

besar bangkitan parsial.

4. Berdasarkan karakteristik demografik dari gangguan kognitif, baik laki-

laki maupun perempuan usia 40 tahun ke atas memiliki potensi mengalami

gangguan kognitif yang sama besar antar kedua kelompok.

5. Gangguan fungsi kognitif terjadi pada hampir semua subjek tumor otak

primer dan metastasis dengan proporsi gangguan fungsi kognitif pada

metastasis otak lebih tinggi daripada tumor otak primer.

6. Memori dan fungsi eksekutif merupakan dua ranah kognitif yang paling

banyak terganggu. Meskipun demikian, proporsinya lebih banyak pada

metastasis otak.

62

Universitas Indonesia

VI.2. SARAN

1. Pemeriksaan fungsi kognitif sebaiknya dilakukan sebagai pemeriksaan

rutin pada pasien dengan tumor otak baik primer maupun sekunder,

terutama sebelum dilakukan tindakan pembedahan maupun WBRT.

2. Diperlukan penelitian lebih lanjut terkait gangguan kognitif pasca-

tindakan operatif ataupun WBRT. Penelitian dapat berupa perbandingan

luaran fungsi kognitif sebelum dan setelah tindakan.

3. Pentingnya edukasi dan sosialisasi gangguan fungsi kognitif pada tumor

otak tidak hanya terbatas pada keluarga dan pelaku rawat pasien, tetapi

juga kepada pihak medis lain yang menangani pasien dengan tumor otak,

agar tercapai kualitas hidup yang optimal pada penderita maupun

penyintas tumor otak.

63 Universitas Indonesia

DAFTAR PUSTAKA

1. Shen C, Xie R, Cao X, Bao W, Yang B, Mao Y,et al. Intelligence deficits

in chinese patients with brain tumor: the impact of tumor resection. The

sci worl j. 2013: 1-6.

2. Adams C, Sullivan J, Vitaz TW. Clinical presentation of brain tumors in

molecular considerations and evolving surgical management issues in the

treatment of patients with a brain tumor. Open access book. Intech. 2005:

310-24.

3. Giovagnoli AR. Investigation of cognitive impairments in people with

brain tumors. J neurooncol. 2012; 108: 277-83.

4. Tucha O, Smely C, Preier M, Lange KW. Cognitive deficits before

treatment among patients with brain tumors. Neurosurgery. 2000; 47(2):

324-34.

5. Davies E, Clarke C. Early symptoms of brain tumors. Neurol neurosurg

psychiatry. 2004; 75:1200-7.

6. Miotto, Silva Jr A, Silva CC. Cognitive impairments in patients with low

grade gliomas. Arq neuropsiquiatr. 2011; 69(4): 596-601.

7. Maharani K, Aninditha T, Ramli Y. Gangguan Kognitif pada Pasien

Tumor Intrakranial dan Faktor-faktor yang berhubungan di Rumah Sakit

Cipto Mangunkusumo. Dipresentasikan pada: Pertemuan Ilmiah Nasional

2013. PERDOSSI. Medan.

8. Baars BJ, Gage NM. Cognition, brain and consciousness. 2nd Ed. Oxford.

Elsevier Ltd: 2010.

9. Kleinberg L. Neurocognitive challenges in brain tumor survivors: is there

anything we can do?. J clin oncol. 2015; 33.

10. Taphoorn MJ, Klein M. Cognitive deficits in adult patients with brain

tumours. The lancet neurology. 2004; 3 (3): 159-68.

11. Meyers CA, Kayl AE. Neurocognitive function in cancer in the nervous

system. 2nd Ed. Oxford university press. New York; 2002:557-71.

64

Universitas Indonesia

12. Liu R, Page M, Solheim K, Fox S, Chang SM. Quality of life in adults

with brain tumors: current knowledge and future directions. Neuro-oncol.

2009; 11: 330-9.

13. Vries HE, Montagne L, Dijkstra CD, Valk P. Chapter 8: molecular and

cellular biology of the blood–brain barrier and its characteristics in brain

tumors. Humana press. New Jersey; 2005: 163.

14. Jain RK, Tomaso E, Duda DG, et al. Angiogenesis in brain tumours.

Nature pub group. 2007; 8: 610-22.

15. Rees J, Wen PY. Neuro-oncology: blue books of neurology series.

Philadelphia. Saunders-elsevier. 2010.

16. Bloom JC, David RB. Clinical adult neurology. 3rd ed. Demos medical

publishing; 2009: 380-2.

17. Nathoo N, Chahlavi A, Barnett GH, et al. Review: Pathobiology of brain

metastases. J clin pathol 2005; 58: 237-42.

18. Dolecek TA, Propp JM, Stroup NE, et al. CBTRUS statistical report:

primary brain and central nervous system tumors diagnosed in the United

States in 2005-2009. Neuro- oncol. 2012; 14: 1-49.

19. Barnholtz-Sloan JS, Sloan AE, Davis FG, et al. Incidence proportions of

brain metastases in patients diagnosed (1973 to 2001) in the metropolitan

Detroit cancer surveillance system. J clin oncol 2004; 22(14): 2865-72.

20. Weiss L, Gilbert HA, Posner JB. Brain metastasis. Massachusetts.

Springer; 2012.

21. Rees J, Brandner S, Howard R, et al. Neuro-oncology in Neurology a

queen square textbook. Wiley-Blackwell. London; 2009:770-821.

22. Davey P, Hird A, et al. Case report: Brain metastasis from an unknown

primary, or primary brain tumour? A diagnostic dilemma. Curr oncol.

2009. 16 (1): 62-8.

23. Nayak L, Lee EQ, Wen PY. Epidemiology of brain metastases. Curr oncol

rep. 2012; 14(1): 48-54.

24. Ostrom QT, Gittleman H, Liao P, et al. CBTRUS statistical report:

primary brain and central nerve system tumors diagnosed in the United

States in 2007-2011. Neuro oncol. 2014; 16: iv1-63.

65

Universitas Indonesia

25. Kaye AH. Essential neurosurgery 3rd Ed. Massachusetts. Blackwell

publishing. 2005: 93-101.

26. Kautzky R, Zulch KJ, Wende S, et al. Neuroradiology: a

neuropathological approach. Springer. New York. 2012: 38.

27. Tosoni A, Ermani M, Brandes AA. The Pathogenesis and Treatment of

Brain Metastases: A Comprehensive Review. Crit Rev Onco-Hem. 2004;

52: 199-215.

28. Hwang TL, Close TP, Grego JM, et al. Predilection of brain metastasis in

gray and white matter junction and vascular border zones. Cancer. 1996;

77(8): 1551-5.

29. Siegel R, Naishadham D, Jemal A. Cancer Statistics, 2013. Ca cancer j

clin 2013; 63: 11-30.

30. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan

RI 2013. Riset Kesehatan Dasar 2013.

31. Biswas G, Bhagwat R, Khurana R, et al. Brain metastasis – evidence based

management. J cancer res ther. 2006; 2(1): 5-13.

32. Booth S, Bruera E. Palliative care consultations in primary and metastatic

brain tumours. Oxford university press. New York; 2004.

33. Molnar P. Classification of primary brain tumors: molecular aspects in

management of CNS tumors. China. Intech; 2011: 3-22.

34. Moore K, Kim L. Primary brain tumors: characteristics, practical

diagnostic and treatment approaches in glioblastoma: molecular

mechanisms of pathogenesis and current therapeutic strategies. New York.

Springer; 2010: 43-74.

35. Lee JH (ed). Meningiomas: diagnosis, treatment, and outcome. Springer.

2008.

36. Schoenberg MR, Scott JG (eds.). The little blackbook of neuropsychology:

a syndrome-based approach. New York. Springer; 2011.

37. Strub RL, Black FW. The mental status examination in neurology. 4th Ed.

Philadelphia. FA Davis Company; 2000.

38. Pew RW, van Hemel SB (eds). Cognitive aging in technology for adaptive

aging. Washington dc. National research council. 2004. 45, 55-6.

66

Universitas Indonesia

39. Back M, Back E, Kastelan M, et al. Cognitive deficits in primary brain

tumours: a framework for management and rehabilitation. J can th. 2014;

5:74-81.

40. Cummings JL, Trimble MR. Frontal lobe syndromes in concise guide to

neuropsychiatry and behavioral neurology. 2nd Ed. American Psychiatric

Publishing Inc. 2002: 71-83.

41. Baehr M, Frotscher M. Duus’ topical diagnosis in neurology. New York.

Thieme; 2005.

42. Hodges JR. Cognitive assessment for clinicians. New York. Oxford

University Press: 1995; 196-227.

43. Elliott R. Executive Functions and Their Disorders. Brit Med Bull. 2003;

65: 49-59.

44. Chan RCK, Shum D, Toulopoulou T, Chen EYH. Assessment of executive

functions: review of instruments and identification of critical issues. Arco

clin neuropsychol. 2008; 23: 201-216.

45. Waagemans ML, van Nieuwenhuizen D, Dijkstra M, et al. Long-term

impact of cognitive deficit and epilepsy on quality of life in patients with

low-grade meningioma. Neurosurg. 2011; 69 (1): 72-9.

46. Sawaya R (ed.). Intracranial metastates: current management strategies.

Blackwell futura. Massachusetts; 2004.

47. Schagen SB, Klein M, Reijneveld JC, et al. Monitoring and optimising

cognitive function in cancer patients: present knowledge and future

directions. EJC suppl. 2014 (12): 29-40.

48. Brady ST, Siegel GJ. Glutamate and glutamate receptors in basic

neurochemistry: principles of molecular, cellular, and medical

neurobiology. 8th Ed. Oxford. Elsevier: 2012.

49. Murray PS, Holmes PV. An overview of brain-derived neurotropic factor

and implications for exitotoxic vulnerability in the hippocampus. Int j

peptides. 2011; 2011: 1-12.

50. Johnston ALM, Lun X, Rahn JJ. The p75 Neurotrophin receptor is a

central regulator of glioma invasion. Plos biol. 2007; 5(8): 1723-37.

67

Universitas Indonesia

51. van Breemen MSM, Wilms EB, Vecht CJ. Epilepsy in patients with brain

tumours: epidemiology, mechanisms, and management. Lancet neurol.

2007; 6: 421-30.

52. Maschio M. Brain tumor-related epilepsy. Current neurophar. 2012; 10:

124-33.

53. Elger CE, Helmstaedter, Kurthen M. Chronic epilepsy and cognition.

Lancet neurol. 3; 663-72.

54. Bosma I, Vos MJ, Heimans, et al. The course of neurocognitive

functioning, in high-grade glioma patients. Neuro-oncol. 2007; 9: 53-62.

55. Mula M, Trimble MR. Antiepileptic drug-induced cognitive adverse

effects: potential mechanisms and contributing factors. CNS drugs. 2009;

23 (2): 121-37.

56. Mula M. Topiramate and cognitive impairment: evidence and clinical

implications. Ther adv drug saf. 2012; 3 (6): 279-89.

57. Crowe SF. The behavioural and emotional complications of traumatic

brain injury. London. Taylor & Francis; 2008: 50-2.

58. Murad A. Orbitofrontal syndrome in psychiatry. Encephale. 1999; 25(6):

634-7.

59. Louis DN, Ohgaki H, Wiestler OD, Cavenee WK. WHO classification of

tumours of the central nervous system. 4th Ed. Lyon. International Agency

for Research on Cancer; 2007.

60. Weintraub S. Neuropsychological assessment of mental state in principles

of behavioral and cognitive neurology. 2nd Ed. New York. Oxford

University Press: 2000; 122-62.

61. Crum RM, Anthony JC, Bassett SS, Folstein MF. Population-based norms

for the mini-mental state examination by age and educational level.

JAMA. 1993; 269 (18): 2386-91.

62. O’Bryant SE, Humphrey JD, Smith GE, et al. Detecting dementia with the

mini-mental state examination (MMSE) in highly educated individuals.

Arch neurol. 2008: 65 (7): 963-7.

63. Turana Y, Mayza A, Lumempouw SF. Pemeriksaan status mental pada

usia lanjut di Jakarta. Medika. 2004; 9: 563-7.

68

Universitas Indonesia

64. Nasreddine ZS, Philips NA, Bedirian V, et al.The Montreal Cognitive

Assessment, MoCA: a brief screening tool for mild cognitive impairment.

J am geriatr soc. 2005; 53 (4): 695-9.

65. Smith T, Glideh N, Holmes C. The Montreal Cognitive Assessment:

Validity and utility in a memory clinic setting. Can j psych. 2007; 52(5):

329-32.

66. Husein N, Lumempouw S, Ramli Y, Herqutanto. Uji validitas dan

reliabilitas Montreal cognitive assessment versi Indonesia (MoCA-INA)

untuk skrining gangguan fungsi kognitif. Neurona. 2010; 27(4).

67. Tombaugh TN. Trail Making Test A and B: Normative data stratified by

age and education. Arch clin neuropsy. 2004; 19: 203-14.

68. Nelson JS. Alzheimer Pathology in Elderly Patients with Glioblastoma

Multiforme. Arch Pathol Lab Med. 2002; 126 (12): 1515-7.

69. Graves RE, Bezeau, Fogarty J, Blair R. Boston Naming Test short forms:

A comparison of previous forms with new item response theory based

forms. J clin exp neuropsy. 2004; 24 (7): 891-902.

70. Maharani K, Larasari A, Aninditha T, Ramli Y. Profil gangguan fungsi

kognitif pada tumor intrakranial primer dan metastasis. eJKI. 2015 5: 107-

14.

71. Octaviana F, Wibowo BS, Lumempou SFL, Yamanie N. Hubungan antara

masa laten P300 auditorik dengan gangguan memori pada penderita

epilepsi umum sekunder. Neurona. 2006.

72. Cancer Research UK, http://www.cancerresearchuk.org/health-

professional/cancer-statistics/statistics-by-cancer-type/brain-other-cns-

and-intracranial-tumours/incidence#ref-0, Accessed in June 2016.

73. Saha A, Ghosh SK, Roy C, et al. Demographic and clinical profile of

patients with brain metastases: a retrospective study. Asian j neurosurg.

2013; 8: 157-61.

74. Wrensch M, Min Y, Chew T, Bondy M, Berger MS. Epidemiology of

primary brain tumors: current concept and review of the literature. Neuro-

oncol. 2002; 4:

69

Universitas Indonesia

75. Dwan TM, Ownsworth T, Chambers S, Walker DG, Shum DHK.

Neuropsychological assessment of individuals with brain tumor:

Comparison of approaches used in the classification of impairment. Front

oncol. 2015; 5: 1-8.

76. Huttner A. Overview of Primary Brain Tumors: Pathologic classification,

epidemiology, molecular biology, and prognostic markers. Hemato oncol

clin n am. 2012; 26: 715-32.

77. Pestalozzi BC. Brain metastases and subtypes of breast cancer. Ann oncol.

2009; 20: 803-5.

78. Glantz MJ, Edwards KR. The epidemiology and management of seizures

in patients with cancer in Cancer neurology in clinical practice. Humana

press. New Jersey. 2003: 9-13.

79. Panayiotopoulos CP. A clinical guide to epileptic syndromes and their

treatment. 2nd

Ed. Springer. London; 2010.

80. Harada CN, Love MCN, Triebel K. Normal cognitive aging. Clin geriartr

med. 2013; 29: 737-52.

81. Meador KJ. Cognitive outcomes and predictive factors in epilepsy.

Neurology. 2002; 58 (suppl 5): 821-6.

82. Armstrong CL, Schmus CJ, Delasco JB. Chapter 3: Neuropsychological

problem in neuro-oncology in Handbook of medical neuropsychology:

applications of cognitive neuroscience. Springer. New York; 2010: 33-52.

83. Olson R, Tyldesley S, Carolan H, Parkinson M, Chhanabhai T, McKenzie

M. Prospective comparison of the prognostic utility of the mini mental

state examination and the Montreal cognitive assessment in patients with

brain metastases. Supp care cancer. 2011; 19: 1849-55.

70

Universitas Indonesia

LAMPIRAN

LAMPIRAN 1. ANGGARAN DAN JADWAL PENELITIAN

ANGGARAN PENELITIAN

1. Pencarian Literatur (internet, jurnal berbayar,

penggandaan)

Rp. 500.000,00

1. Penggandaan referat penelitian 20 eks @ Rp.

7.500,00

Rp. 150.000,00

2. Penggandaan praproposal penelitian 10 eks @ Rp.

15.000,00

Rp. 150.000,00

3. Penggandaan proposal penelitian 10 eks @ Rp.

15.000,00

Rp. 150.000,00

4. Penggandaan hasil penelitian 40 eks @ Rp. 25.000,00 Rp. 1.000.000,00

5. Administrasi dan penggandaan perizinan komite etik Rp. 350.000,00

6. Biaya presentasi praproposal penelitian Rp. 350.000,00

7. Biaya presentasi proposal penelitian Rp. 700.000,00

8. Biaya seminar hasil penelitian Rp. 1.500.000,00

9. Biaya konsultasi dan transportasi ahli statistik Rp. 5.000.000,00

Rp. 9.850.000,00

JADWAL PENELITIAN

Bulan

1

Juli

2015

2 3 4 5 6 7 8 9

Referat penelitian

Persiapan rencana

penelitian

Proposal Penelitian

Pengurusan etik

penelitian

71

Universitas Indonesia

Pengumpulan data

Pengolahan data

Seminar hasil

LAMPIRAN 2. DAFTAR RIWAYAT HIDUP

KETERANGAN PERORANGAN

1. Nama Lengkap Rima Anindita Primandari

2. NPM 116024981

3. Tempat/Tanggal lahir Bandung, 27 Januari 1985

4. Jenis Kelamin Perempuan

5. Alamat rumah Jl. Medan no. 115 Megacinere, Depok, 16514

6. Nomor Telepon 0817775751/082175136222

7. Email [email protected]

PENDIDIKAN FORMAL

Tahun lulus Tempat

1. SD Bakti Mulya 400 1997 Jakarta

2. SLTP 85 2000 Jakarta

3. SMUN 34 2003 Jakarta

4. Fakultas Kedokteran Universitas

Trisakti 2010 Jakarta

5. Program Pendidikan Dokter Spesialis

FKUI/RSCM – Neurologi

2011 –

Sekarang Jakarta

PENELITIAN

PUBLIKASI (JURNAL INTERNASIONAL, NASIONAL, BUKU,

SEMINAR, dll)

Judul Peran Tahun Keterangan

1. Serial kasus: Status Epileptikus

pada CKD

Co-

Author

2014 PIN SOLO

2014

2. Tingkatan Fundus Hipertensif

pada Pasien Stroke dan

Author 2015 JAKNEWS,

2015

72

Universitas Indonesia

Nonstroke di Poli Neuro-

oftalmologi Saraf RSCM

Periode Januari – Desember

20154

3. Gambaran Doppler Karotis

Pasien dengan Fundus

Hipertensif

Author 2015 INA-SH,

2015

4. Serial Kasus: Aspek

Tatalaksana pada Trauma

Medulla Spinalis Cervicalis

Co-

Author

2016 JAKNEWS,

2016

Demikian daftar riwayat hidup saya buat dengan sesungguhnya dan apabila di

kemudian hari terdapat keterangan yang tidak benar, saya bersedia dituntut di

muka pengadilan serta bersedia menerima segala tindakan yang diambil

pemerintah.

Jakarta, Desember 2015

Yang membuat,

(Rima Anindita Primandari)

73

Universitas Indonesia

LAMPIRAN 3. FORMULIR KAJI ETIK

74

Universitas Indonesia

75

Universitas Indonesia