75
ABSTRAK KADAR 25-HYDROXYVITAMIN D PLASMA BERKORELASI NEGATIF DENGAN INDEKS BAKTERI PADA PENDERITA KUSTA Kusta adalah penyakit infeksi dengan spektrum klinis bervariasi yang sangat dipengaruhi oleh respon imunitas penderita untuk melawan M. leprae. Sistem imunitas alamiah yang terutama diperankan oleh makrofag dapat melawan invasi patogen melalui produksi antimikrobial katelisidin. Penelitian terakhir menemukan peranan vitamin D pada proses transkripsi gen peptida antimikroba katelisidin, dan terdapat hambatan pada jalur antimikrobial tergantung vitamin D pada kusta tipe lepromatosa, sehingga didapatkan indeks bakteri yang lebih tinggi dibandingkan kusta tipe tuberkuloid. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara kadar 25-hydroxyvitamin D plasma dengan indeks bakteri pada penderita kusta. Penelitian ini adalah penelitian cross sectional analitik, melibatkan 55 orang penderita kusta yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Pada penelitian ini subjek pasien kusta dikelompokkan berdasarkan klasifikasi Ridley dan Jopling yang dikorelasikan dengan klasifikasi kusta menurut WHO menjadi 18 subjek kusta tipe pausibasilar dan 37 subjek kusta tipe multibasilar. Seluruh subjek dilakukan pemeriksaan indeks bakteri dan kadar 25-hydroxyvitamin D plasma dengan metode ELISA. Pada penelitian ini didapatkan perbedaan bermakna rerata kadar 25- hydroxyvitamin D plasma antara subjek kusta tipe multibasilar (19,48 ± 3,17 ng/mL dan median 18,36 ng/mL) dengan subjek kusta tipe pausibasilar (24,44 ± 1,98 ng/mL dan median 25,57 ng/mL), dengan nilai p < 0,001. Didapatkan pula korelasi negatif yang kuat antara kadar 25-hydroxyvitamin D plasma dengan indeks bakteri (r = -0,860; p < 0,001). Simpulan dari hasil penelitian ini adalah kadar 25-hydroxyvitamin D plasma berkorelasi negatif dengan indeks bakteri pada penderita kusta. Semakin rendah kadar 25-hydroxyvitamin D plasma maka indeks bakteri semakin tinggi. Kata kunci: 25-hydroxyvitamin D plasma, indeks bakteri, kusta

ABSTRAK KADAR 25-HYDROXYVITAMIN D PLASMA …

  • Upload
    others

  • View
    4

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

ABSTRAK

KADAR 25-HYDROXYVITAMIN D PLASMA BERKORELASI NEGATIF

DENGAN INDEKS BAKTERI PADA PENDERITA KUSTA

Kusta adalah penyakit infeksi dengan spektrum klinis bervariasi yang sangat

dipengaruhi oleh respon imunitas penderita untuk melawan M. leprae. Sistem

imunitas alamiah yang terutama diperankan oleh makrofag dapat melawan invasi

patogen melalui produksi antimikrobial katelisidin. Penelitian terakhir

menemukan peranan vitamin D pada proses transkripsi gen peptida antimikroba

katelisidin, dan terdapat hambatan pada jalur antimikrobial tergantung vitamin D

pada kusta tipe lepromatosa, sehingga didapatkan indeks bakteri yang lebih tinggi

dibandingkan kusta tipe tuberkuloid. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui

hubungan antara kadar 25-hydroxyvitamin D plasma dengan indeks bakteri pada

penderita kusta.

Penelitian ini adalah penelitian cross sectional analitik, melibatkan 55 orang

penderita kusta yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Pada penelitian ini

subjek pasien kusta dikelompokkan berdasarkan klasifikasi Ridley dan Jopling

yang dikorelasikan dengan klasifikasi kusta menurut WHO menjadi 18 subjek

kusta tipe pausibasilar dan 37 subjek kusta tipe multibasilar. Seluruh subjek

dilakukan pemeriksaan indeks bakteri dan kadar 25-hydroxyvitamin D plasma

dengan metode ELISA.

Pada penelitian ini didapatkan perbedaan bermakna rerata kadar 25-

hydroxyvitamin D plasma antara subjek kusta tipe multibasilar (19,48 ± 3,17

ng/mL dan median 18,36 ng/mL) dengan subjek kusta tipe pausibasilar (24,44 ±

1,98 ng/mL dan median 25,57 ng/mL), dengan nilai p < 0,001. Didapatkan pula

korelasi negatif yang kuat antara kadar 25-hydroxyvitamin D plasma dengan

indeks bakteri (r = -0,860; p < 0,001).

Simpulan dari hasil penelitian ini adalah kadar 25-hydroxyvitamin D plasma

berkorelasi negatif dengan indeks bakteri pada penderita kusta. Semakin rendah

kadar 25-hydroxyvitamin D plasma maka indeks bakteri semakin tinggi.

Kata kunci: 25-hydroxyvitamin D plasma, indeks bakteri, kusta

2

ABSTRACT

NEGATIVE CORRELATIONS BETWEEN

PLASMA 25-HYDROXYVITAMIN D LEVEL WITH BACTERIAL

INDEX IN LEPROSY PATIENTS

Leprosy is a chronic graulomatous infection whose clinical spectrum are highly

influenced by the immune respon of the subject againts M. leprae invasion. Innate

immunity system whose playing by macrophage will fight the patogen through

cathelicidin antimycrobial production. Recent studies found the role of vitamin D

as an transcription factor of cathelicidin antimycrobial peptida. Also found that

there are inhibition on vitamin D-dependent antimicrobial pathway in lepromatous

type of leprosy, result in higher bacterial index of lepromatous type compare with

tuberculoid type of leprosy. Purpose of this study is to show the correlation

between plasma 25-hydroxyvitamin D level with bacterial index in leprosy

patients.

This study was observational analytic cross-sectional study. The number of

leprosy subject that quality inclusion and exclusion criteria were 55 patients.

The leprosy subjects in this study were classified based on Ridley and Jopling

classification and were correlated with WHO classification into 18

paucibacillary and 37 multibacillary type of leprosy subjects. Examination of

bacterial index and plasma 25-hydroxyvitamin D level by ELISA were done in

all of the subjects.

This study shows there were significant difference between 25-

hydroxyvitamin D levels average of multibacillary type of leprosy subject

[19,48 ± 3,17 ng/mL and median 18,36 ng/mL] compare with paucibacillary

type [24,44 ± 1,98 ng/mL and median 25,57 ng/mL] with p < 0,05. Also

found there were a negative correlation between plasma 25-hydroxyvitamin D

levels with bacterial index (r = -0,862; p < 0,001).

It is concluded that plasma 25-hydroxyvitamin D level have negative correlation

with bacterial index, which mean lower levels of plasma 25-hydroxyvitamin D

will increases the bacterial index of leprosy subject.

Keywords : plasma 25-hydroxyvitamin D, bacterial index, leprosy

3

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kusta merupakan salah satu penyakit infeksi yang masih mendapatkan

perhatian khusus dari Badan Kesehatan Dunia atau World Health Organization

(WHO), terutama di negara-negara yang sedang berkembang. Pengobatan

penyakit kusta dengan mutly drug therapy (MDT) yang direkomendasikan oleh

WHO telah mampu menurunkan kasus kusta secara bermakna, namun kasus kusta

baru tetap ada. Pasien kusta yang sudah sembuh dapat mengalami kecacatan fisik

akibat kerusakan saraf yang progresif dan menetap, dapat mengalami relaps, atau

mengalami reaksi kusta yang merusak jaringan. Stigma sosial yang beranggapan

kusta sebagai penyakit menular yang tidak bisa diobati, penyakit keturunan, atau

akibat kutukan memperburuk kondisi pasien dan keluarga serta masyarakat

sekitarnya. Permasalahan ini juga menjadi tantangan yang harus dihadapi oleh

para klinisi.

Data WHO mengenai epidemiologi penyakit kusta menunjukkan adanya

penurunan prevalensi kusta secara global yang signifikan setelah pengenalan

MDT. Kasus kusta pada pertengahan tahun 1980 didapatkan sejumlah lebih dari

lima juta kasus, kemudian mengalami penurunan yang signifikan pada tahun 2015

menjadi kurang dari 200.000 kasus, tetapi kasus baru masih terus muncul

walaupun dalam skala kecil. Indonesia pada tahun 2014 menempati peringkat

ketiga untuk temuan kasus kusta baru di seluruh dunia setelah Brazil dan India

1

4

sejumlah 17.025 kasus. Indonesia juga merupakan penyumbang kasus kusta baru

tipe multi basilar (MB) tertinggi di Asia Tenggara sejumlah 14.213 kusta tipe MB

atau sekitar 83,4% (WHO, 2015). Jumlah kasus baru tertinggi di Indonesia

didapatkan di Propinsi Jawa Timur sejumlah 4.132 kasus (Infodatin, 2015).

Prevalensi penyakit kusta di Bali pada tahun 2014 berdasarkan data dari Dinas

Kesehatan Provinsi Bali sejumlah 0,21 per 10.000 penduduk dengan jumlah kasus

baru 89 orang. Jumlah total pasien kusta yang melakukan rawat jalan di Poliklinik

Kulit dan Kelamin Rumah Sakit Umum (RSUP) Sanglah Denpasar per Januari

2015 hingga Januari 2016 sejumlah 44 kasus, 30 kasus diantaranya merupakan

kusta tipe MB (Yudianto et al., 2014; Dinkes Provinsi Bali, 2015).

Manifestasi klinis penyakit kusta sangat bervariasi, dibedakan menjadi

spektrum penyakit kusta. Ridley dan Jopling pada tahun 1966 mengklasifikasikan

spektrum penyakit kusta berdasarkan klinis, respon imunitas, histopatologi, dan

indeks bakteri (IB), menjadi kusta tipe lepromatosa polar dan tuberkuloid polar.

Diantara kusta tipe tuberkuloid polar dan lepromatosa polar didapatkan kusta tipe

borderline yang terdiri atas kusta borderline tuberkuloid (BT), mid borderline

(BB), dan borderline lepromatosa atau BL (Lastoria, 2014). World Health

Organization menetapkan klasifikasi kusta pada tahun 1997, menjadi tipe

pausibasilar (PB) dan MB berdasarkan jumlah lesi kulit atau IB untuk

memudahkan pemberian pengobatan. Jumlah lesi satu atau dua hingga lima

diklasifikasikan menjadi tipe PB, sedangkan jumlah lesi lebih dari lima menjadi

tipe MB. Apabila didapatkan IB yang positif pada pemeriksaan slit-skin smear,

5

maka diklasifikasikan ke dalam tipe MB tanpa memandang jumlah lesi kulit

(Santos et al, 2013).

Mycobacterium leprae (M. lepra) sebagai penyebab kusta merupakan

bakteri yang bersifat obligat intraseluler dengan tingkat virulensi yang rendah.

Virulensi yang rendah diperankan oleh komponen kapsul M. lepra yaitu phenolic

glicolipid-1 (PGL-1). Phenolic glicolipid-1 merupakan antigen spesifik M. leprae

yang lemah, namun bersifat stabil dalam jangka waktu lama dalam tubuh host

(Sekar, 2010). Kondisi ini menyebabkan patogenesis kusta tidak semata-semata

dipengaruhi oleh paparan mikobakteri, namun lebih dipengaruhi faktor imunitas

host. Sistem imunitas seluler tinggi akan menghasilkan spektrum penyakit kusta

tuberkuloid polar yang ditandai dengan IB rendah. Sebaliknya sistem imunitas

seluler rendah akan menghasilkan spektrum penyakit kusta lepromatosa polar

yang ditandai dengan IB yang tinggi. Sistem imunitas alamiah host merupakan

barier pertama melawan infeksi M. leprae yaitu terutama diperankan oleh

makrofag teraktivasi yang dapat menghancurkan mikobakteri, dilanjutkan dengan

terbentuknya sistem imunitas adaptif (Modlin, 2010).

Terdapat 4 jalur metabolik respon imun pada kusta yang diekspresikan

pada makrofag. Empat jalur tersebut melibatkan interaksi molekuler yaitu pertama

melalui jalur aktivasi toll-like receptor 2 dan 1 (TLR2/1) oleh antigen M. leprae,

kedua melalui jalur tumor growth factor (TGF-), ketiga melalui jalur tumor

necrosis factor (TNF-), dan keempat adalah jalur yang diperantarai reseptor

vitamin D atau vitamin D receptor (VDR). Vitamin D pada kusta diketahui

berperan sebagai imunomodulator melalui jalur anti mikroba yang diperantarai

6

oleh VDR (Goulart et al., 2008; Bartley et al., 2013). Vitamin D telah diketahui

terlebih dahulu memiliki peran klasik (peran skeletal) dalam menjaga homeostasis

kalsium dan fosfor dalam tubuh. Kondisi defisiensi vitamin D dahulu

dihubungkan dengan penyakit riketsia atau osteomalasia. Penelitian terakhir dari

wide genome analysis berdampak pada terungkapnya peranan non klasik (peran

ekstra skeletal) vitamin D melalui penemuan VDR, dan enzim 1-hydroxylase

(CYP27B1). Enzim ini yang mengkonversi vitamin D belum aktif 2,5-

hydroxyvitamin D (25-OHD) menjadi bentuk aktif 1,25-dihydroxyvitamin D

1,25-(OH)2 D. Reseptor vitamin D diekspresikan oleh sekitar 60 tipe sel, dan

lebih dari 30 sel dimodulasi oleh vitamin D seperti sel monosit-makrofag,

epidermis, pankreas, kolon, dan plasenta (Chun et al, 2014). Kondisi defisiensi

vitamin D saat ini juga dihubungkan dengan berbagai penyakit autoimun seperti

psoriasis, vitiligo, arthritis reum atoid, diabetes melitus tergantung insulin, dan

multipel sklerosis (Gupta, 2012). Tuberkulosis adalah salah satu penyakit infeksi

kronis oleh mikobakteri yang dihubungkan dengan defisiensi kadar vitamin D.

Metaanalisis dari tujuh penelitian observasional melaporkan adanya penurunan

risiko tuberkulosis aktif pada kelompok dengan kadar vitamin D yang lebih tinggi

dibandingkan yang lebih rendah, dan defisiensi vitamin D dapat meningkatkan

progresifitas tuberkulosis. Sebelum penemuan penyebab tuberkulosis, vitamin D

yang diperoleh melalui minyak hati ikan kod dan paparan sinar matahari sudah

dimanfaatkan sebagai pengobatan tuberkulosis kutis atau lupus vulgaris (Telet et

al, 2010; Hawthorne et al, 2010).

7

Mekanisme vitamin D sebagai imunomodulator pada infeksi oleh

mikobakteri hingga saat ini masih dalam penelitian, namun beberapa mekanisme

telah diketahui (Gupta, 2012; Luong et al, 2012). Pada infeksi oleh mikobakteri

vitamin D berperan sebagai imunomodulator pada jalur anti bakteri melalui VDR

yang mempengaruhi sistem imunitas alamiah. Adanya invasi patogen, berbagai

sitokin inflamasi seperti IFN- akan mengaktivasi enzim CYP27B1 untuk

mengubah 25-OHD menjadi vitamin D aktif 1,25-(OH)2D. Infeksi kronis

memerlukan kadar 1,25-(OH)2D yang tinggi untuk memodulasi transkripsi gen

target cathelicidin antimicrobial peptida (CAMP), yaitu gen pengkode peptida

antimikroba katelisidin yang berfungsi membunuh bakteri. Kebutuhan akan kadar

1,25-(OH)2D yang tinggi ini akan menyebabkan rendahnya kadar 25-OHD.

Vitamin 25-OHD dalam plasma memiliki waktu paruh yang lebih panjang

dibandingkan bentuk aktif, dan meningkat secara signifikan setelah penambahan

suplemen, sehingga bentuk inaktif dapat mempresentasikan kadar vitamin D aktif

dalam plasma (Youssef et al, 2011; Chun et al, 2014).

Aktivasi sistem vitamin D intrakrin pada kusta sesuai dengan respon

imunitas seluler host. Pada kusta tipe tuberkuloid, sistem vitamin D intrakrin tidak

mengalami gangguan, menyebabkan jalur anti bakteri yang diperantarai vitamin D

pada makrofag dapat berfungsi optimal, ditandai dengan rendahnya nilai IB. Hal

ini berlaku sebaliknya pada kusta lepromatosa dengan sistem vitamin D intrakrin

yang terganggu, menyebabkan penurunan kemampuan makrofag membunuh

mikobakteri, ditandai dengan IB yang tinggi (Montoya et al, 2009; Chun et al,

2014). Penelitian kadar vitamin D pada penderita kusta sudah pernah dilakukan

8

sebelumnya, namun jumlahnya masih terbatas. Penelitian oleh Mandal et al.

(2015), ditemukan kadar 25-OHD plasma yang lebih rendah pada penderita kusta

yaitu sebesar 27,47±4,17 ng/ml, sedangkan pada individu normal sebesar 33±3,76

ng/ml. Penelitian yang menghubungkan kadar vitamin 25-OHD dengan IB belum

pernah dilakukan di Indonesia. Berdasarkan uraian latar belakang tersebut, perlu

dilakukan penelitian untuk mengetahui apakah terdapat korelasi antara kadar 25-

OHD plasma dengan indeks bakteri pada penderita kusta.

1.2 Rumusan Masalah

Dengan memperhatikan latar belakang tersebut, dapat dirumuskan masalah

penelitian sebagai berikut:

1. Apakah terdapat perbedaan kadar 25-hydroxyvitamin D plasma antara

penderita kusta tipe pausibasilar dengan kusta tipe multibasilar di RSUP

Sanglah Denpasar?

2. Apakah terdapat korelasi negatif antara kadar 25-hydroxyvitamin D plasma

dengan nilai indeks bakteri pada penderita kusta di RSUP Sanglah Denpasar?

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan umum

Untuk mengetahui hubungan antara 25-hydroxyvitamin D plasma dengan

penyakit kusta di RSUP Sanglah Denpasar.

1.3.2 Tujuan khusus

1. Untuk mengetahui adanya perbedaan kadar 25-hydroxyvitamin D plasma

antara penderita kusta tipe pausibasilar dengan kusta tipe multibasilar di

RSUP Sanglah Denpasar.

9

2. Untuk mengetahui adanya korelasi negatif antara kadar 25-hydroxyvitamin D

plasma dengan indeks bakteri pada penderita kusta di RSUP Sanglah

Denpasar.

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Manfaat teoritis

Menambah wawasan keilmuan dan pemahaman tentang peranan vitamin D

pada patogenesis penyakit kusta, serta hubungan vitamin D dengan indeks bakteri

pada penderita kusta.

1.4.2 Manfaat praktis

1.4.2.1 Manfaat untuk klinisi

Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai dasar pemikiran pada

penelitian selanjutnya untuk mengetahui apakah kadar 25-hydroxyvitamin D

plasma penderita kusta dapat berperan sebagai salah satu faktor risiko

perkembangan kusta tipe multibasilar.

1.4.2.2 Manfaat untuk penderita

Pembuktian hubungan antara kadar 25-hydroxyvitamin D plasma dengan

indeks bakteri pada penderita kusta, maka pemeriksaan kadar 25-hydroxyvitamin

D plasma dapat dipertimbangkan sebagai parameter untuk mengetahui tingkat

keparahan penyakit kusta.

10

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Kusta

2.1.1 Definisi kusta

Penyakit kusta merupakan infeksi granulomatosa kronis yang disebabkan

oleh kuman M. leprae. Berdasarkan penemu kuman M. leprae yaitu Armauer

Gerald Hansen, kusta juga disebut dengan Morbus Hansen. Infeksi oleh M. leprae

berlangsung secara perlahan dan progresif, secara primer menyerang saraf tepi,

dan secara sekunder menyerang kulit. Konsentrasi kuman yang tinggi dalam tubuh

dapat melibatkan organ dalam lainnya seperti otot, mukosa saluran pernafasan

atas, sistem retikuloendothelial, saluran pencernaan, mata, tulang, dan testis

(Kumar dan Dogra, 2010).

2.1.2 Epidemiologi kusta

Prevalensi kusta di dunia menurut WHO, berdasarkan data dari 121

negara yang dikelompokkan dalam 5 wilayah sejumlah 213.899 kasus pada tahun

2014, mengalami peningkatan dari 215.656 kasus pada tahun 2013. Sejumlah

154.834 kasus terdapat di wilayah Asia Tenggara, India menempati posisi kasus

kusta terbanyak sejumlah 125.785 kasus, disusul oleh Brazil sejumlah 31.064

kasus, dan Indonesia menempati posisi ketiga (WHO, 2015). Departemen Keseha

tan Republik Indonesia pada tahun 2013 melaporkan jumlah penderita kusta di

Indonesia meningkat dari tahun 2013 sejumlah 16.856 kasus menjadi 17.025

8

11

kasus. Jawa Timur menempati posisi dengan jumlah kasus kusta baru terbanyak

sejumlah 4.132 kasus dari total 16.856 kasus pada tahun 2013 (Infodatin, 2015).

Diantara negara-negara di Asia, Indonesia juga menempati jumlah kasus

kusta tipe MB terbanyak yaitu sebesar 83,4% diantara kasus baru yang terdeteksi,

serta jumlah kasus kusta baru pada anak yang terbanyak yaitu sebesar 11,3%

(Depkes, 2013). Keadaan ini memberi kesan bahwa MDT berhasil menurunkan

prevalensi namun tidak dapat mencegah timbulnya kasus kusta baru di

masyarakat. Kondisi ini dihubungkan dengan fenomena gunung es dimana MDT

hanya membasmi kusta yang sudah bermanifestasi, namun kusta subklinis sebagai

kandidat kasus kusta baru tidak terjamah (Desikan et al, 2003).

Data epidemiologi menunjukkan bahwa penyakit kusta dapat terjadi pada

semua usia, namun yang terbanyak pada usia muda dan produktif. Berdasarkan

jenis kelamin penyakit kusta dapat mengenai laki-laki dan perempuan, namun

laporan di beberapa negara menemukan angka kejadian yang lebih sering pada

laki-laki dibandingkan perempuan. Penyakit kusta juga dipengaruhi oleh sosial

ekonomi, dimana penyakit kusta lebih jarang ditemukan pada tingkat sosial

ekonomi yang tinggi (Hando et al, 2011).

2.1.3 Etiologi kusta

Mycobacterium leprae merupakan mikobakteri berbentuk batang tahan

asam, gram positif, tidak dapat dikultur pada media buatan, bersifat non motil,

aerob, dan obligat intraseluler. Bakteri ini memiliki ukuran panjang 1 mikron

hingga 8 mikron, diameter 0,3 mikron dengan sisi paralel dan ujung yang

membulat. Seperti mikobakteri yang lain M. leprae membelah secara biner.

12

Tropisme dari bakteri ini adalah sel histiosit dan sel Schwann, namun dapat pula

pada sel otot dan sel vaskuler endotel. Pembelahan terjadi setiap 11 hari hingga

13 hari, dan tumbuh maksimal pada suhu 30o C hingga 33

o C. Pemeriksaan

mikroskopis secara langsung menunjukkan bentukan khas adanya basil

menggerombol seperti ikatan cerutu, sehingga disebut packet of cigars (globi)

yang terletak intraseluler dan ekstraseluler (Rees dan Young, 1994).

Dinding sel M. leprae mengandung peptidoglikan yang berikatan dengan

arabinogalaktan dan mycolic acid. Lipoarabinomanan merupakan target respon

imunitas selular maupun humoral yang ditemukan pada membran sel bagian luar.

Kapsul M. leprae mengandung 2 lipid bakteri utama yaitu pthiocerol

dimycocerosate yang berperan sebagai perlindungan pasif terhadap terhadap

respon imun host, dan PGL-1, merupakan glikolipid spesifik untuk M. leprae

yang aktif secara serologis. Phenolic glycolipid-1 sangat imunogenik, dapat

memicu immunoglobulin kelas imunoglobulin M (IgM) yang ditemukan pada

60% kusta tipe TT dan 90% kusta tipe LL (Mahapatra et al, 2008).

2.1.4 Mekanisme penularan kusta

Mekanisme penularan M. leprae hingga saat ini masih belum diketahui

secara pasti. Penelitian mengenai mekanisme penularan penyakit kusta sulit

dilakukan karena biologi M. leprae yang bersifat unik dan periode inkubasi yang

panjang. Sumber infeksi kusta pada manusia adalah kasus kusta yang tidak

diobati. Kusta tipe MB merupakan sumber infeksi yang paling utama

dibandingkan tipe pausi basiler (PB), namun semua kasus kusta aktif harus

dipertimbangkan sebagai sumber infeksi yang potensial.

Saluran pernafasan

13

terutama mukosa nasal merupakan tempat masuk utama M. leprae, sehingga

inhalasi droplet merupakan mekanisme penularan yang paling penting.

Kemampuan transmisi M. leprae yang bersifat rendah menyebabkan kontak yang

lama (nara kontak) serta penduduk yang padat merupakan salah satu faktor risiko

(Thorat et al, 2010).

Faktor genetik yaitu gen human leucocyte antigen (HLA-DR2) dan gen

non HLA diduga berperan pada kerentanan genetik baik pada kusta secara umum

maupun tipe kusta. Lokus pada kromosom 6q25 tampaknya berperan dalam

mengendalikan kerentanan terhadap kusta. Penelitian lain di India menunjukkan

lokus pada kromosom 10p13 berkaitan dengan peningkatan risiko kusta tipe PB

(Thorat et al, 2010).

Penularan kusta dapat melalui kulit secara langsung dan fomit. Metode

transmisi lain yang masih belum terbukti adalah transmisi in utero dan melalui air

susu ibu (ASI). Transmisi in utero dicurigai berperan pada penularan karena

adanya kasus kusta yang dilaporkan pada bayi usia 3 minggu, sedangkan transmisi

melalui ASI dicurigai karena ditemukannya basil M. leprae pada ASI, namun

hipotesis ini masih memerlukan pembuktian lebih lanjut. Penularan juga

dipengaruhi oleh IB dan tipe kusta pada kontak (Thorat et al, 2010).

2.1.5 Imunopatogenesis kusta

Patogenesis kusta dipengaruhi oleh interaksi kompleks antara faktor

patogen (M. leprae), faktor host (usia, jenis kelamin, migrasi, imunitas, genetik),

lingkungan (kelembaban, daerah endemis), dan sosial (lingkungan padat,

pendidikan rendah, kebersihan diri rendah, dan ventilasi yang kurang). Faktor

14

patogen adalah M. leprae yang bersifat obligat intraseluler dengan afinitas tinggi

terutama pada sel Schwann, dan sel dalam sistem retikuloendothelial. Kondisi

jaringan yang dingin merupakan tempat pertumbuhan paling baik untuk M. leprae

seperti saraf tepi, kulit, saluran pernafasan atas, dan testis (Sekar, 2010).

Komponen imunogenik M. leprae yaitu polisakarida yang menginduksi respon

imun humoral, dan protein yang menginduksi baik respon humoral maupun imun

seluler. Komponen imunogen M. leprae ini berasal dari antigen sitoplasma dan

antigen yang disekresikan oleh sel mikobakteri (Bryceson, 1990).

Penyakit kusta ditandai dengan spektrum klinis luas yang didasarkan atas

respon imunitas seluler host. Penderita kusta tipe tuberkuloid menunjukkan

adanya respon imunitas seluler yang dimediasi oleh sel Thelper 1 (Th1) pada kulit

dan saraf, menggambarkan adanya respon hipersensitivitas tipe lambat terhadap

antigen M. leprae. Hal ini mengakibatkan gambaran klinis adanya gangguan saraf

tepi yang jelas namun jumlah basil serta lesi yang sedikit. Sebaliknya kusta tipe

lepromatosa dihubungkan dengan respon imun yang dimediasi oleh sel Th2 yang

tidak responsif terhadap antigen M. leprae (Modlin, 2010).

Respon imunitas host terhadap infeksi M. leprae diawali masuknya

patogen menembus barier fisik mukosa hidung, kemudian menuju ke kulit dan

saraf tepi melalui sirkulasi. Keberhasilan invasi M. leprae menembus barier fisik,

kemudian direspon oleh sistem seluler yang diperankan oleh makrofag, sehingga

sistem fagositosis makrofag merupakan barier pertama untuk melawan M. leprae

(Modlin, 2010).

15

Terdapat 4 rute sinyal disertai interaksi molekuler pada makrofag yang

melibatkan aktivasi TRLs, TGF-, jalur regulasi TNF-, dan jalur yang

diperantarai oleh VDR seperti yang ditunjukkan pada gambar 2.1 (Lastoria,

2014). Fagositosis M. leprae oleh makrofag dimediasi oleh PGL-1 pada dinding

sel M. leprae yang dikenali oleh complement receptor atau CR1(CD35), CR3

(CD11b/CD18), dan CR4 (CD11c/CD18), serta diregulasi oleh protein kinase.

Sistem fagositosis makrofag diaktivasi melalui pengenalan PGL-1 oleh TLRs

pada permukaan makrofag. Interaksi makrofag dengan PGL-1 melalui TLRs ini

menimbulkan aktivasi sel Tnaive melalui sekresi interleukin-12 (IL-12) dan IL-10.

Sitokin-sitokin ini menginduksi perubahan sel Tnaive menjadi sel Th1 maupun sel

Th2. Masing-masing sel limfosit T teraktivasi ini akan mempromosikan sel respon

imun seluler dan humoral terhadap M. leprae, sehingga muncul perkembangan

penyakit kusta ke bentuk tuberkuloid atau lepromatosa.

Aktivasi TLRs makrofag juga meningkatkan regulasi VDR dan gen 1--

hydroxylase vitamin D yang menyebabkan induksi peptida anti mikroba

katelisidin untuk membunuh M. leprae. Selain itu, stimulasi TLRs memicu

aktivasi nuclear transcription factor (NF) yang berperan dalam proses

transkripsi berbagai gen pada respon imun (Lastoria, 2014; Spierings et al, 2000).

16

Sitokin proinflamasi akibat aktivasi makrofag memodulasi TGF- yang

berperan mempertahankan toleransi sistem imun melalui regulasi proliferasi,

diferensiasi, dan pertahanan hidup limfosit. Aktivasi TGF- ini mengontrol

inisiasi dan resolusi respon inflamasi tanpa mempengaruhi respon imun terhadap

patogen. Aktivasi TGF- memicu protein SMAD3 yang berfungsi sebagai

koaktivator VDR atau faktor transkripsi pada inti (Lastoria, 2014). Makrofag

teraktivasi akibat stimulus patogen mensekresi sitokin seperti TNF- yang dapat

menginduksi inducible nitric oxide species (iNOS) dan nitric oxide (NO) yang

berperan untuk membunuh M. leprae (Lastoria, 2014).

Gambar 2.1

Jalur metabolik respon imun pada kusta (Lastoria, 2014)

17

2.1.6 Penegakan diagnosis dan klasifikasi kusta

Diagnosis penyakit kusta dapat ditegakkan berdasarkan pemeriksaan klinis

dan didukung dengan pemeriksaan slit skin smear. Diagnosis kusta ditegakkan

bila memenuhi satu atau lebih dari tanda kardinal sebagai berikut: (WHO,1997).

1. Lesi kulit disertai anestesi.

Lesi kulit dapat berupa makula, atau plak eritema berwarna seperti tembaga,

hipopigmentasi, hiperpigmentasi, dapat juga berupa infiltrasi atau edema. Jumlah

lesi dapat tunggal atau multipel. Hilangnya fungsi kelenjar menyebabkan

permukaan lesi tampak kering, kasar, berkeringat atau berkilap. Folikel rambut

dapat menghilang. Anestesi atau gangguan hingga hilangnya fungsi sensorik

terhadap rasa raba, nyeri, dan suhu dapat ditemukan pada lesi dan area yang

dipersarafi oleh saraf perifer. Pada kusta tipe lepromatosa dapat juga mengenai

area di luar persarafan yang terlibat.

2. Penebalan saraf tepi

Pembesaran saraf tepi biasanya baru ditemukan setelah adanya lesi kulit, paling

sering mengenai nervus ulnaris dan nervus peroneus komunis. Pembesaran saraf

multipel umumnya lebih sering ditemukan pada kusta tipe MB. Pemeriksaan saraf

meliputi pemeriksaan nervus supraorbital, nervus aurikularis magnus, nervus

ulnaris, nervus radialis, nervus medianus, nevus poplitea lateralis, nervus

peroneus, dan nervus tibialis posterior (WHO, 1997).

3. Pemeriksaan slit skin smear ditemukan basil tahan asam

Pemeriksaan slit skin smear memiliki spesifisitas 100% dengan sensitivitas lebih

rendah sekitar 10-50%. Hapusan kulit dapat diambil dari kedua lobus telinga, lesi

18

kulit, bagian dorsum interfalang digiti III manus, dan bagian dorsum digiti I pedis.

Pewarnaan dilakukan dengan metode Ziehl-Neelsen. Berdasarkan pemeriksaan

slit skin smear dapat ditentukan IB dan indeks morfologis (IM) yang membantu

dalam menentukan tipe kusta dan evaluasi terapi. Indeks bakteriologi merupakan

ukuran semi kuantitatif kepadatan BTA dalam sediaan hapus yang dihitung

menurut skala logaritma Ridley. Nilai IB berkisar dari terendah +1 yang

mengandung jumlah bakteri paling sedikit, hingga +6 yang mengandung jumlah

bakteri paling banyak pada setiap lapangan pandang (WHO,1997).

Klasifikasi kusta sangat penting dalam menentukan regimen pengobatan,

prognosis, komplikasi, perencanaan operasional, dan untuk identifikasi pasien

yang kemungkinan besar akan menderita cacat. Klasifikasi kusta yang sering

digunakan adalah klasifikasi berdasarkan atas Ridley dan Jopling (1966) yang

membagi kusta menjadi lima spektrum berdasarkan pada kriteria klinis,

bakteriologis, imunologis dan histopatologis seperti yang ditunjukkan pada Tabel

2.1. Lima spektrum kusta tersebut yaitu kusta tipe tuberkuloid atau tuberculoid

tuberculoid (TT), kusta tipe lepromatosa atau lepromatous lepromatous (LL), dan

kusta tipe borderline. Kusta tipe borderline terdiri atas tiga tipe yaitu kusta

borderline-borderline (BB), borderline tuberculoid (BT), dan borderline

lepromatous atau BL. Pada fase awal perjalanan alamiah penyakit kusta dapat

terbentuk tipe inderterminate (Suzuki et al, 2012).

19

Tabel 2.1

Klasifikasi kusta Ridley dan Jopling (Suzuki et al, 2012)

Lesi TT BT BB BL LL

Jumlah biasanya

tunggal

(sampai

dengan 3

lesi)

sedikit

(sampai

dengan 10

lesi)

beberapa

(10-30

lesi)

banyak

asimetris

(>30 lesi)

tidak

terhitung,

simetris

Ukuran bervariasi,

umumnya

besar

bervariasi,

beberapa

besar

Bervariasi kecil,

beberapa

dapat besar

kecil

Permukaan kering,

dengan

skuama

kering,

dengan

skuama,

terlihat

cerah,

infiltrasi

kusam atau

sediki

mengkilap

mengkilap mengkilap

Sensasi absen menurun

dengan

jelas

menurun

sedang

sedikit

menurun

menurun

minimal,

atau

normal

Pertumbuhan

rambut

absen menurun

dengan

jelas

menurun

sedang

sedikit

menurun

normal

pada tahap

awal

BTA negatif negatif

atau sedikit

jumlah

sedang

banyak banyak

sekali

termasuk

globi

Reaktivitas

lepromin

positif kuat

(+++)

positif

lemah (+

atau ++)

negatif

atau positif

lemah

negatif negatif

Berdasarkan kepentingan pengobatan dan untuk memudahkan petugas

lapangan, WHO mengklasifikasikan kusta menjadi dua tipe berdasarkan jumlah

lesi kulit yaitu kusta tipe MB terdiri atas lebih dari 5 lesi kulit, dan PB lesi tunggal

(single lession paucibacillary atau SLPB), dan PB dua hingga lima lesi kulit.

Apabila didapatkan hasil IB yang positif diklasifikasikan menjadi tipe MB tanpa

20

memandang jumlah lesi seperti yang ditunjukkan pada Tabel 2.2 (Northern

Territory Government, 2010).

Tabel 2.2

Klasifikasi penyakit kusta berdasarkan WHO

(Northern Territory Government, 2010)

Klasifikasi klinis SLPB PB MB

Jumlah lesi kulit Hanya 1 lesi 2- 5 lesi 6 atau lebih lesi

DAN

Sediaan hapusan Negatif pada

semua area

Negatif pada

semua area

Positif pada semua

area

Distribusi - Asimetris Lebih simetris

Hilangnya

sensasi

Terbatas Terbatas Luas

Kerusakan saraf Saraf dibadan

tidak terlibat

Hanya 1 saraf

dibadan yang

terlibat

Banyak saraf

dibadan yang

terlibat

Korelasi dengan

Ridley dan Jopling

I, TT, BT TT, kebanyakan

BT

Beberapa BT, BB,

BL, LL

2.1.7 Pengobatan kusta

World Health Organization sejak tahun 1981 merekomendasikan

penggunaan MDT yang terdiri dari rifampisin, dapson dan klofasimin untuk

pengobatan kusta. Pengobatan dengan MDT bertujuan untuk menurunkan insiden

relaps paska pengobatan, menurunkan efek samping serta menurunkan durasi

pengobatan sehingga menurunkan biaya. Untuk kepentingan terapi, WHO

mengklasifikasi penderita kusta menjadi tiga kelompok yaitu kusta PB dengan lesi

tunggal, kusta PB dengan lesi kulit dua hingga lima, dan kusta MB dengan lesi

kulit lebih dari lima, atau semua pasien dengan BTA positif. Regimen PB dengan

lesi kulit dua hingga lima terdiri atas rifampisin 600mg sebulan sekali ditambah

dapson 100mg/hari selama enam bulan. Regimen MB dengan lesi kulit lebih dari

21

lima, terdiri atas kombinasi rifampisin 600mg sebulan sekali, klofazimin

300mg/sebulan sekali dan 50mg/hari, dapson 100mg/hari dengan lama

pengobatan 12 bulan. Regimen PB lesi tunggal terdiri atas rifampisin 600mg

ditambah dengan ofloksasin 400mg dan minosiklin 100mg (ROM) dosis tunggal.

Regimen PB 2-5 lesi terdiri atas rifampisin 600 mg sebulan sekali, dapson 100

mg setiap hari selama 6 bulan (Worobec, 2009; Desikan et al, 2003).

2.2 Vitamin D

2.2.1 Definisi vitamin D

Vitamin D merupakan vitamin larut dalam lemak yang berperan sebagai

hormon sekosteroid yaitu hormon steroid dengan cincin B yang hilang. Terdapat

dua bentuk vitamin D yang belum aktif yaitu vitamin D2 (ergokalsiferol), dan

vitamin D3 (kolekalsiferol). Vitamin D2 bersumber dari tumbuhan seperti ragi

dan jamur. Vitamin D3 (kolekalsiferol) yang disintesis di kulit manusia dengan

bantuan sinar matahari dan dikonsumsi dari diet makanan berbahan hewan seperti

ikan salmon, tuna, makarel, sarden, kuning telur, hati, keju. Kedua jenis vitamin

dapat disintesis secara komersial dan didapatkan dalam suplemen diet dan

makanan yang difortifikasi. Struktur vitamin D2 dan D3 hanya berbeda pada rantai

samping (Norman, 2008).

Sumber utama vitamin D adalah produksi endogen oleh kulit saat terpapar

radiasi sinar ultraviolet B (UVB) dengan panjang gelombang 290-315 nm. Pada

kondisi normal kulit dapat memenuhi 80-100% kebutuhan vitamin D. Paparan

tubuh dari sinar matahari langsung bersifat terbatas, sehingga suplai tergantung

22

juga pada asupan vitamin D yang akan diolah menjadi vitamin D yang

sebenarnya. Walaupun individu banyak mengkonsumsi makanan mengandung

vitamin D, tanpa paparan sinar matahari tidak akan cukup memenuhi kebutuhan

tubuh terhadap vitamin D. Sehingga paparan sinar matahari yang terbatas, tanpa

disertai asupan vitamin D dengan dosis 800-1000 IU atau 20-25 mcg per hari,

maka akan meningkatkan risiko menderita defisiensi vitamin D (DeLuca, 2013).

2.2.2 Sejarah penemuan vitamin D

Penemuan vitamin D berawal dari penelitian oleh Sir Edward Mellanby

dari Inggris pada tahun 1914 mengamati tingginya insiden riketsia di Inggris,

berpendapat vitamin A dalam minyak dari hati ikan kod yang berhasil

menyembuhkan penyakit riketsia. Rekan Mellanby yaitu McCollum di Universitas

Johns Hopkins pada tahun 1922 menguji kembali hipotesis apakah vitamin A

yang bertanggung jawab pada penyembuhan riketsia. McCollum dan rekan-rekan

akhirnya menyimpulkan bahwa yang menyembuhkan riketsia adalah vitamin baru,

yaitu vitamin D. Sementara itu Huldsshinky seorang fisikawan dari Vienna, Chick

et al menemukan bahwa paparan sinar matahari selama musim panas atau sinar

ultraviolet artifisial dapat menyembuhkan riketsia.

Profesor Steenbock pada tahun 1916 melakukan pengamatan pada

kambing yang berada di luar kandang saat musim panas memiliki kalsium yang

seimbang dibandingkan kambing saat berada di dalam kandang pada musim

dingin. Steenbock menyimpulkan bahwa lemak yang belum aktif dalam diet dan

pada kulit diubah oleh sinar ultraviolet menjadi substansi aktif sebagai anti

riketsia (DeLuca, 2013).

23

Isolasi dan identifikasi vitamin D2 pertama kali dilakukan oleh Askew et

al. Windaus dan Linsert membuktikan bahwa vitamin D1 hanya merupakan

artefak tambahan diantara vitamin D2 dan lamisterol. Pada tahun 1935, 7-

dehydocholecalceferol diisolasi oleh Windaus et al, sedangkan vitamin D3 oleh

Windaus dan Bock pada tahun 1937. Esvelt et al mengisolasi dan

mengidentifikasi vitamin D3 melalui mass spectrometry (DeLuca, 2013).

Sejarah penemuan vitamin D berkembang dengan penemuan 41 metabolit,

diantaranya 25-OHD dan 1,25-(OH)2D. 1,25-dihydroxyvitamin D merupakan

produk aktif akhir dari regulasi kompleks produksi ginjal dan berperan sebagai

hormon steroid. Selanjutnya pengangkutan metabolit vitamin D ekstra sel oleh

lipoprotein, albumin, dan vitamin D binding protein (DBP), sedangkan intra sel

oleh VDR. Vitamin D receptor kemudian diidentifikasi sebagai faktor transkripsi

nukleus yang mengatur sejumlah gen target. Hal ini menegaskan bahwa 1,25-

(OH)2D sebagai hormon klasik. Vitamin D receptor ini terdapat di berbagai

tempat, dan VDR ekstra renal memproduksi metabolit vitamin D, meregulasi

berbagai gen yang tidak terlibat pada metabolisme kalsium (DeLuca, 2013).

2.2.3 Metabolisme vitamin D

Metabolisme vitamin D3/D2 bersifat identik, dapat melalui proses

bioaktivasi melalui jalur klasik yang melibatkan renal dan jalur non klasik atau

ekstra renal. Vitamin D3 disintesis di kulit dengan perubahan 7-

dehydrocholesterol melalui proses fotolitik menjadi pre vitamin D3, selanjutnya

melalui isomerisasi termal menjadi vitamin D3. Proses berikutnya vitamin D3

dikeluarkan melalui membran plasma keratinosit dan vitamin D2 yang berasal

24

dari intestin ditarik oleh DBP ke dalam plasma, kemudian ke dalam sistem

limfatik, memasuki darah vena, diikat oleh DBP dan lipoprotein, yang akhirnya

diangkut menuju hepar. Proses hidroksilasi vitamin D2/D3 di hepar pada rantai C-

25 oleh enzim 25-hydroxilase vitamin D (CYP2R1) akan menghasilkan 25-OHD.

Vitamin 25-OHD ditransport oleh DBP dan disimpan dalam lemak. Kadarnya

meningkat secara proporsional dalam serum dengan asupan vitamin D, memiliki

waktu paruh sekitar tiga minggu, sehingga kadar 25-OHD merupakan marker

yang baik untuk mengukur kandungan vitamin D dalam tubuh (Bilke, 2014).

Proses metabolisme yang kedua adalah bioaktivasi vitamin D yang terjadi

di renal. Enzim vitamin D 1-hydroxylase (CYP27B1) menghidrolisis 25-OHD

pada posisi C1 rantai A menjadi 1,25-(OH)2D. Regulasi di ginjal ini sangat ketat,

dan dilakukan oleh hormon paratiroid. Penurunan kadar kalsium atau peningkatan

kadar fosfat akan segera memicu produksi hormon paratiroid oleh kelenjar

paratiroid yang meningkatkan produksi 1,25-(OH)2D. Hidroksilasi 1,25-(OH)2D

ditekan oleh peningkatan kalsium atau oleh 1,25-(OH)2D sendiri. 1,25-

dihydroxyvitamin D kemudian ditransport menuju usus halus, dan berinteraksi

dengan reseptor VDR spesifik, yang akan meningkatkan efisiensi absorpsi

kalsium intestinal.

Aktivitas biologi 1,25-(OH)2D 500 kali hingga 1000 kali lebih tinggi

dibandingkan 25-OHD, namun konsentrasi serum 25-OHD yang normal sekitar

100 kali lebih tinggi dibandingkan 1,25-(OH)2D. Setelah beberapa kali proses

hidroksilasi dan oksidasi, dihasilkan produk degradasi yaitu asam kalsitroik yang

diekskresikan melalui urin. Sebagian metabolit vitamin D juga masuk ke sirkulasi

25

intra hepatik, dan sebagian dari simpanan vitamin D menghilang melalui saluran

empedu (Bilke, 2014).

Enzim CYP27B1 yang berperan penting dalam bioaktivasi vitamin D

dominan diekspresikan pada renal, namun belakangan sebagai dampak dari

genome wide analysis, telah dibuktikan bahwa enzim ini juga dieskpresikan pada

berbagai sel atau jaringan ekstra renal seperti sel imunitas alamiah

(monosit/makrofag, sel dendritik, dan sel T), sel beta pankreas, plasenta, sel

paratiroid, kolon, payudara, dan paru. Enzim CYP27B1 dan VDR akan berperan

dalam sintesis vitamin D intrakrin melalui mekanisme yang berbeda dengan

sintesis di renal sesuai dengan target sel yang spesifik. Hal ini mengungkapkan

berbagai fungsi vitamin D ekstra skeletal seperti peran pada sistem imun,

endokrin, muskuler, kardiovaskuler, kanker, neurogeneratif, renal, dan pulmonal

(Christakos, 2010; Gupta, 2015)

2.2.4 Peranan vitamin D sebagai anti bakteri

Penelitian epidemiologi terkini telah mengamati adanya peran ekstra

skeletal (peran non klasik) vitamin D sebagai imunomodulator dalam sistem

imunitas. Terdapat hubungan antara kadar vitamin D yang rendah dengan

berbagai penyakit autoimun maupun infeksi. Vitamin D dikatakan memiliki efek

anti mikroba dan memodulasi imunitas serta mempengaruhi kadar sitokin

(Viswewaran dan Lekha, 2015; Bartley dan Camargo, 2013). Respon

imunomodulator vitamin D bentuk aktif 1,25-(OH)2D telah diketahui sejak

beberapa tahun yang lalu, namun baru sejak 5 tahun terakhir diketahui peranan

penting vitamin D pada fungsi imunitas normal manusia. Hal ini merupakan

26

dampak dari wide genome analysis yang mendefinisikan kembali perspektif

mengenai vitamin D dan imunitas (Pike, 2011).

Dari berbagai laporan mengenai efek imunomodulator vitamin D, yang

paling menarik perhatian adalah kemampuan vitamin D untuk meregulasi sistem

imunitas alamiah dan adaptif. Berawal dari penelitian seorang ilmuwan peraih

nobel, Dr. Finsen pada tahun 1903 yang mampu menyembuhkan epidermis dari

infeksi tuberkulosis dan lupus vulgaris dengan menggunakan iradiasi sinar

terkonsentrasi. Penelitian selanjutnya menunjukkan bahwa paparan sinar UV

dapat memicu sintesis vitamin D epidermis dan mendorong penelitian lebih lanjut

yang menunjukkan keberhasilan suplementasi vitamin D oral dalam pengobatan

lupus vulgaris dan infeksi mikroba seperti kusta. Pada tahun 2006, wide genome

analysis menemukan bukti bahwa aktivasi sistem vitamin D intrakrin pada

monosit/makrofag oleh patogen berhubungan dengan mekanisme anti mikroba

vitamin D. Talat et al. (2010) melaporkan hubungan antara defisiensi vitamin D

dengan progresifitas tuberkulosis.

Pengungkapan mengenai respon anti bakteri vitamin D berawal dari dua

pengamatan. Pengamatan pertama melaporkan sebagian besar sel-sel yang

berproliferasi dalam sistem imunitas mengekspresikan VDR untuk 1,25-(OH)2D

seperti ikatan 1,25-(OH)2D dengan sel dalam sistem imunitas adaptif (sel limfosit

T dan B), dan ikatan spesifik 1,25-(OH)2D dengan sel-sel dalam sistem imunitas

seluler (monosit, makrofag, sel dendritik, neutrofil, dan derivat sel monositik).

Pengamatan kedua melaporkan metabolisme vitamin D oleh sel-sel dalam sistem

imunitas. Berdasarkan dua pengamatan ini disimpulkan bahwa sel imun yang

27

mengekspresikan VDR ini dapat merespon vitamin D aktif sirkulasi sama halnya

dengan jaringan target vitamin D klasik seperti intestinal, renal dan tulang (Chun

et al, 2014). Secara garis besar vitamin D berperan penting pada imunoregulasi

sistem imunitas alamiah seperti induksi peptida anti mikroba katelisidin dan

defensin 2 pada berbagai jenis sel, sedangkan pada sistem imunitas adaptif seperti

supresi aktivasi sel T, induksi sel T regulator, regulasi pola sekresi sitokin,

regulasi maturasi dan diferensiasi APC (Chun et al, 2014).

Respon anti mikroba yang diperantarai vitamin D, diawali dengan

pengenalan patogen oleh pattern recognition receptor TLR2/1 yang menginduksi

ekspresi 1--hydroxylase (CYP27B1) dan VDR. Induksi ekspresi CYP27B1 pada

sistem intrakrin akan mengubah 25-OHD menjadi vitamin D bentuk aktif 1,25-

(OH)2D, yang kemudian berikatan dengan VDR dan mendorong regulasi

transkripsi gen dari sel target. Respon penting dari aktivasi vitamin D intrakrin

meliputi, pertama induksi cathelicidin antimicrobial peptide (CAMP) dan -

defensin-4 (DEFB4), kedua menekan iron-regulatory hepcidin (HAMP), ketiga

mendorong autofagosom, keempat menginduksi ekspresi protein nucleotide-

binding oligomerization domain containing 2 (NOD2), dan kelima memberikan

umpan balik regulasi ekspresi TLR2/1 yang pada akhirnya akan meningkatkan

pembunuhan bakteri. Respon induksi DEFB4 juga memerlukan sinyal imun

asesoris seperti ikatan muramyl dipeptide (MDP) yang berikatan dengan NOD2,

dan respon interleukin-1 (IL-1) melalui NK, seperti yang ditunjukkan pada

gambar 2.2 (Jo et al, 2013).

28

2.2.5 Peranan vitamin D pada penyakit kusta

Genome wide analysis berperan penting dalam mengungkapkan

mekanisme utama yang memicu sistem vitamin D intrakrin dan respon imunitas

terkait dalam sel monosit/makrofag dan sel dendritik. Penelitian tersebut

menggunakan baik sel imun yang diisolasi secara langsung dari subyek penelitian

maupun yang dikultur, telah membuktikan adanya respon vitamin D yang

diinduksi oleh patogen. Bagaimana respon ini berfungsi pada penyakit imun yang

sebenarnya seperti halnya pada kusta, belum sepenuhnya jelas (Chun et al, 2014).

Seperti halnya pada tuberkulosis, vitamin D pernah dipertimbangkan

sebagai terapi putatif pada kusta. Berbeda dengan tuberkulosis, penyakit kusta

dibedakan menjadi dua tipe, yaitu kusta tipe lerpomatosa dan kusta tipe

tuberkuloid. Kedua tipe kusta ini memiliki profil imunitas serta prognosis yang

Gambar 2.2

Mekanisme induksi respon anti bakteri yang diperantarai oleh vitamin D

pada makrofag (Chun et al, 2014)

29

berbeda. Berdasarkan hasil analisis DNA, didapatkan profil ekspresi gen pada

kusta tuberkuloid menunjukkan adanya peningkatan ekspresi CYP27B1,

CYP24A1, dan VDR yang signifikan, sebaliknya pada kusta tipe lepromatosa

didapatkan ekspresi yang lebih rendah (Montoya et al, 2009). Disimpulkan dari

penelitian ini bahwa sistem vitamin D intrakrin pada kusta tipe tuberkuloid masih

intak atau tidak terganggu, sehingga mampu untuk membantu respon anti bakteri

dari vitamin D. Berbeda halnya sistem vitamin D intrakrin pada kusta lepromatosa

yang terganggu, khas ditandai oleh tingginya makrofag yang terinfeksi M. leprae

(Chun et al, 2014).

Terdapat beberapa mekanisme yang diduga meyebabkan sistem vitamin D

intrakrin terganggu pada kusta lepromatosa seperti yang ditunjukkan pada Gambar

2.3.

Gambar 2.3

Mekanisme sistem vitamin D yang terganggu pada makrofag

(Chun et al, 2014)

30

Mekanisme pertama adanya gangguan sistem vitamin D intrakin yang

diinduksi TLR2/1 oleh adanya peningkatan IL4, IL-10, IFN/. Sitokin IFN

melalui IL-10 berperan menekan ekspresi CYP27B1 (Teles et al, 2013).

Sedangkan sitokin IFN- pada kusta tuberkuloid berperan meningkatkan aktivasi

vitamin D yang diinduksi TLR2/1 (Edelfelt et al, 2010; Fabri et al, 2011).

31

BAB III

KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN

3.1 Kerangka Berpikir

Wide genome analysis mengungkap berbagai fungsi ekstraskeletal vitamin

D meliputi modulasi sistem imun, menghambat diferensiasi dan proliferasi sel,

serta kontrol sistem hormonal lainnya. Pada sistem imun alamiah terutama yang

diperankan oleh makrofag, vitamin D melalui reseptor vitamin D (VDR) berperan

meningkatkan fungsi makrofag dalam melawan patogen melalui jalur anti bakteri

yang diperantarai vitamin D. Vitamin D dikonversi menjadi bentuk 25-

hydroxyvitamin D (25-OHD) di liver, dan selanjutnya di ginjal menjadi bentuk

aktif 25-dihydroxyvitamin D [1,25-(OH)2 D]. Pengukuran kadar 25-OHD plasma

merupakan indikator status vitamin D dalam darah karena memiliki waktu paruh

yang lebih panjang dibandingkan bentuk aktif.

Patogenesis kusta sangat dipengaruhi oleh peran sistem imunitas seluler

host. Sistem imunitas alamiah yang diperankan oleh sistem fagositosis makrofag

merupakan barier pertama melawan infeksi M. leprae. Pada sistem vitamin D

intrakrin terjadi induksi toll-like receptor 2/1 oleh M. leprae yang akan

meningkatkan ekspresi enzim CYP27B1. Enzim ini selanjutnya menghidrolisis

25-OHD menjadi bentuk aktif 1,25-(OH)2D. Metabolit aktif vitamin D ini akan

berikatan dengan vitamin D receptor (VDR) yang berperan sebagai faktor

transkripsi gen cathelicidine antimycrobial peptide (CAMP), sehingga terjadi

peningkatan ekspresi katelisidin untuk menghancurkan mikobakteri. Aktivasi

29

32

sistem vitamin D intrakrin pada kusta dipengaruhi oleh respon imunitas seluler

host. Pada kusta tuberkuloid, sitokin IFNγ memicu bioaktivasi vitamin D yang

diinduksi oleh TLR2/1, sehingga makrofag mampu menghasilkan katelisidin,

sebaliknya pada kusta lepromatosa terjadi supresi bioaktivasi vitamin D intrakrin

oleh sitokin IL-10 dan IFN.

3.2 Kerangka Konsep

Konsep penelitian untuk mengetahui hubungan antara kadar 25-OHD

plasma dengan IB pada penderita kusta, yang ditunjukkan pada Gambar 3.1

Faktor Instrinsik:

Umur

Genetik

Faktor ekstrinsik:

Penyakit autoimun

Penyakit infeksi

Penyakit sistemik

Gangguan

keseimbangan

hormonal

Suplemen vitamin

D, steroid, anti

kejang

Paparan sinar

matahari

Status gizi

Faktor

intrinsik:

Sistem

imunitas

seluler

Genetik

Diteliti dan dianalisis

Tidak dianalisis

Gambar 3.1

Bagan kerangka konsep penelitian

Keterangan

Infeksi M. leprae

Kadar 25-hydroxyvitamin D

plasma

Kusta tipe PB dan MB

Indeks Bakteri

Katelisidin

33

3.3 Hipotesis Penelitian

1. Kadar 25-OHD plasma penderita kusta tipe MB lebih rendah dibandingkan

kusta tipe PB di RSUP Sanglah Denpasar.

2. Kadar 25-OHD plasma memiliki korelasi negatif dengan indeks bakteri

pada penderita kusta di RSUP Sanglah Denpasar.

34

BAB IV

METODE PENELITIAN

4.1 Rancangan Penelitian

Penelitian observasional analitik dengan menggunakan rancangan cross-

sectional study adalah rancangan penelitian yang dipilih untuk mengetahui adanya

korelasi antara kadar 25-OHD plasma dengan IB pada penderita kusta. Rancangan

penelitian ini dapat dilihat secara skematis pada Gambar 4.1 di bawah ini:

Gambar 4.1

Rancangan penelitian cross-sectional

4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian akan dilakukan di Poliklinik Kulit dan Kelamin RSUP Sanglah

Denpasar selama satu setengah bulan, dimulai pada pertengahan bulan Mei 2016

sampai dengan Juni 2016. Pemeriksaan BTA untuk menghitung indeks bakteri

dilakukan di Laboratorium Poliklinik Kulit dan Kelamin RSUP Sanglah

Populasi

32

Sampel

Kusta Tipe PB

-Kadar 25-OHD plasma

-Indeks Bakteri

Kusta Tipe MB

-Kadar 25-OHD plasma

-Indeks Bakteri

35

Denpasar. Pemeriksaan kadar 25-OHD plasma dilakukan di Unit Pelayanan

Teknik Laboratorium Analitik Universitas Udayana Denpasar.

4.3 Penentuan Sumber Data

4.3.1 Populasi penelitian

1. Populasi target adalah seluruh pasien kusta di Bali yang berusia antara 5

tahun hingga 65 tahun.

2. Populasi terjangkau adalah semua pasien kusta, berusia antara 5 tahun

hingga 65 tahun, yang berkunjung ke Poliklinik Kulit dan Kelamin

Subdivisi Morbus Hansen RSUP Sanglah Denpasar pada periode

pertengahan bulan Mei 2016 sampai dengan Juni 2016.

4.3.2 Sampel penelitian

Sampel dalam penelitian ini diambil dari populasi terjangkau melalui

metode consecutive sampling, yaitu mengambil setiap pasien yang didiagnosis

sebagai kusta dan memenuhi kriteria penerimaan sampel sampai memenuhi

jumlah yang diperlukan.

4.3.2.1 Kriteria inklusi

a. Semua pasien kusta dalam periode pengobatan yang berkunjung ke Poliklinik

Kulit dan Kelamin RSUP Sanglah Denpasar, yang memenuhi kriteria

diagnosis penyakit kusta secara klinis dan dilakukan pemeriksaan BTA untuk

menghitung indeks bakteri, kemudian diinterpretasikan berdasarkan skala

logaritme Ridley.

b. Kewarganegaraan Indonesia, berumur antara lima hingga 65 tahun dengan

jenis kelamin laki-laki dan perempuan.

36

c. Bersedia untuk mengikuti penelitian dan menandatangani lembaran informed

consent.

4.3.2.2 Kriteria eksklusi

a. Semua pasien kusta yang sudah selesai pengobatan MDT atau release

from treatment (RFT).

b. Semua pasien kusta yang sedang mengalami reaksi kusta baik reaksi kusta

tipe satu maupun tipe dua.

c. Semua pasien kusta yang mengalami relaps.

d. Terdapat penyakit atau kondisi yang berkaitan dengan ketidakseimbangan

hormonal seperti penyakit tiroid, paratiroid, kehamilan, menyusui,

menstruasi, dan tumor ovarium.

e. Terdapat penyakit infeksi seperti infeksi tuberkulosis, infeksi saluran

pernafasan atas.

f. Terdapat penyakit sistemik seperti gagal ginjal kronis, penyakit hati

kronis, multipel sklerosis, dan kardiovaskuler.

g. Status gizi dikatagorikan obesitas.

h. Terdapat penyakit autoimun seperti diabetes melitus, arthritis reumatoid,

sistemik lupus eritematosus, psoriasis, dan vitiligo.

i. Terdapat riwayat mengkonsumsi obat-obatan anti kejang (penobarbital,

fenitoin, karbamazepin), dan steroid dalam satu bulan terakhir.

j. Melakukan fototerapi dengan NB-UVB dalam empat minggu terakhir.

k. Subjek mengkonsumsi suplemen vitamin D dalam satu bulan terakhir.

37

4.3.3 Besar sampel

Besar sampel pada penelitian ini dihitung dengan menggunkan rumus untuk

uji korelasi sesuai dengan tujuan penelitian yaitu mencari korelasi antara kadar

25-OHD plasma dengan IB pada pasien kusta. Rumus yang digunakan adalah

rumus dari Ronald Fisher’s classic Z transformation (Dahlan, 2008; Madiyono

dkk, 2010).

Informasi data yang diperlukan untuk menentukan besar sampel pada

penelitian cross-sectional dengan menggunakan koefisien korelasi (r), yaitu :

1. Taksiran koefisien korelasi, r yaitu sebesar 0,4.

2. Tingkat kemaknaan atau interval kepercayaan yang dikehendaki sebesar 95%,

yaitu α = 0,05

3. Power penelitian yang direncanakan sebesar 80%, yaitu β = 0,20

Rumus Ronald Fisher’s Classic Z transformation (Dahlan, 2008; Madiyono

dkk, 2010):

Pada penelitian dengan rancangan cross-sectional ini direncanakan

menggunakan power sebesar 80 persen, yaitu β = 0,20 dengan Zβ = 0,842. Pada

penelitian ini juga ditetapkan α = 0,05 sehingga besarnya Zα = 1,96 dan koefisien

korelasi yang diperkirakan adalah 0,4. Berdasarkan perhitungan dengan

menggunakan rumus diatas, maka jumlah sampel minimal (n) yang diperlukan

n = Zα + Zβ 2

0,5 ln[ (1+r)/(1-r)]

+3

38

untuk rancangan ini adalah 47 orang. Jumlah sampel pada penelitian ini adalah 55

orang.

4.4.4 Variabel Penelitian

4.4.4.1 Klasifikasi dan identifikasi variabel

Variabel penelitian merupakan karakteristik sampel penelitian yang

diukur, baik secara numerik maupun kategorikal. Variabel pada penelitian ini

adalah:

1. Variabel bebas adalah kadar 25-OHD plasma yang digolongkan variabel

numerik.

2. Variabel tergantung adalah nilai indeks bakteri yang dikategorikan variabel

numerik.

3. Variabel kendali adalah umur, status gizi, menstruasi, kehamilan, menyusui,

tumor ovarium, penyakit tiroid, penyakit paratiroid, gagal ginjal kronis,

diabetes melitus, sistemik lupus eritematosus, multipel sklerosis, psoriasis,

vitiligo, penyakit hati kronis, tuberkulosis, infeksi saluran pernafasan atas,

penyakit kardiovaskuler, status gizi, fototerapi NB-UVB, paparan sinar

matahari, suplemen vitamin D, obat anti kejang, dan steroid.

Indeks Bakteri

Kadar 25-OHD plasma

Indeks bakteri

Variabel Bebas Variabel Tergantung

39

Keterangan :

Gambar 4.2

Hubungan antar variabel

4.4.4.2 Definisi operasional variabel

1. Kusta adalah penyakit infeksi granulomotosa kronis yang ditandai tiga tanda

kardinal yaitu adanya lesi kulit berupa bercak putih atau bercak merah yang

mati rasa, pembesaran saraf, dan didapatkan adanya basil tahan asam (BTA)

pada hapusan sayatan kulit. Diagnosis ditegakkan berdasarkan satu atau lebih

tanda kardinal kusta melalui anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan

BTA, dan histopatologi kemudian diklasifikasikan sesuai klasifikasi Ridley

dan Jopling menjadi kusta tipe TT, BT, BB, BL, dan LL. Kusta menurut

klsifikasi Ridley dan Jopling dapat dikorelasikan dengan klasifikasi kusta

menurut WHO, dimana TT dan BT diklasifikasikan menjadi PB, sedangkan

BB, BT, LL diklasifikasikan menjadi kusta tipe MB.

2. Kusta relaps adalah munculnya gejala dan tanda baru penyakit kusta pada

individu yang sudah menyelesaikan pengobatan MDT secara lengkap, selama

periode pengamatan 2 tahun untuk kusta tipe PB dan lima tahun untuk kusta

tipe MB atau setelahnya. Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis,

Suplemen vitamin D, steroid, obat anti kejang, menstruasi, kehamilan,

menyusui, tumor ovarium, penyakit tiroid, penyakit paratiroid, gagal ginjal

kronis, penyakit hati kronis, diabetes melitus, artritis reumatoid, sistemik lupus

eritematosus, multipel sklerosis, psoriasis,vitiligo, tuberkulosis, infeksi saluran

pernafasan atas, status gizi, umur.

,

Variabel Kendali

40

pemeriksaan fisik serta penunjang.

3. Reaksi kusta adalah reaksi yang terjadi selama perjalanan alami penyakit,

selama pengobatan atau setelah pengobatan. Terdapat dua tipe reaksi kusta

yaitu reaksi kusta tipe satu yang juga disebut reaksi reversal (RR) dan reaksi

kusta tipe dua yang disebut juga eritema nodusum leprosum (ENL).

Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik.

4. Indeks bakteri adalah jumlah rata-rata basil M. leprae pada kulit yang didapat

dari hasil pemeriksaan hapusan sayatan kulit dan pengecatan Ziehl Nielzen.

Jumlah rata-rata basil M. leprae dihitung di bawah mikroskop cahaya dengan

mencari BTA yang solid, fragmentasi dan granuler pada 100 lapangan

pandang. Berdasarkan skala logaritme Ridley’s, IB diberi skor mulai dari 0

sampai +6.

5. Kadar 25-hydroxyvitamin D plasma adalah kadar 25-hydroxyvitamin D

dengan satuan ng/mL dalam plasma pasien kusta dari darah vena di fossa

kubiti dengan nilai defisiensi <10 ng/mL; insufisiensi 10-30 ng/mL; sufisiensi

30-100 ng/mL, dan toksisitas >100 ng/mL, yang diperiksa dengan teknik the

enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA).

6. Warga negara Indonesia dilihat dari kewarganegaraan subjek sesuai dengan

yang tercantum pada kartu tanda penduduk (KTP).

7. Jenis kelamin pasien adalah laki-laki/perempuan, ditetapkan berdasarkan

jenis kelamin yang tercantum dalam KTP.

8. Umur adalah jumlah tahun kehidupan ditentukan dari tanggal kelahiran

sampai saat datang ke rumah sakit yang dapat ditentukan dengan melihat data

41

kelahiran pada kartu tanda penduduk, surat ijin mengemudi atau kartu

keluarga.

9. Multiple drug therapy (MDT) adalah pengobatan standar kusta menurut

WHO terdiri dari kombinasi obat rifampisin, dapson, dan klofazimin.

Regimen PB dosis tunggal terdiri atas rifampisin 600 mg ditambah ofloksasin

400 mg dan minosiklin 100 mg (ROM) dosis tunggal. Regimen PB dengan

lesi kulit 2-5 buah, terdiri atas rifampisin 600 mg sebulan sekali ditambah

dapson 100 mg/hari selama 6 bulan. Regimen MB dengan lesi kulit lebih dari

5 buah, terdiri atas kombinasi rifampisin 600 mg sebulan sekali, klofazimin

300 mg/bulan dan 50 mg/hari, dapson 100 mg/hari dengan lama pengobatan

12 bulan, diperoleh melalui teknik wawancara.

10. Menstruasi adalah perdarahan periodik dari uterus yang dimulai sekitar 14

hari setelah ovulasi secara berkala akibat terlepasnya lapisan endometrium

uterus yang diperoleh melalui teknik wawancara.

11. Kehamilan adalah keadaan terkandungnya janin dalam rahim seorang wanita

yang ditandai dengan terhentinya menstruasi selama 6 minggu berturut-turut

dihitung berdasarkan hari pertama haid terakhir (HPHT).

12. Menyusui adalah proses pemberian susu kepada bayi atau anak kecil dengan

air susu ibu (ASI) dari payudara ibu yang diperoleh melalui tekhnik

wawancara

13. Tumor ovarium adalah neoplasma yang berasal dari jaringan ovarium, yang

diketahui melalui teknik wawancara.

42

14. Penyakit tiroid merupakan penyakit akibat adanya gangguan pada kelenjar

tiroid sehingga mengakibatkan produksi hormon yang tidak seimbang berupa

kelebihan hormon tiroid (hipertiroid) dan kekurangan hormon tiroid

(hipotiroid) yang diketahui melalui teknik wawancara.

15. Penyakit paratiroid merupakan penyakit akibat adanya gangguan pada

kelenjar paratiroid sehingga mengakibatkan produksi hormon yang tidak

seimbang berupa kelebihan hormon paratiroid (hiperparatiroid) dan

kekurangan hormon paratiroid (hipoparatiroid) yang diketahui melalui teknik

wawancara.

16. Sistemik lupus eritematosus adalah riwayat penyakit lupus yang diderita oleh

pasien yang ditemukan dari teknik wawancara.

17. Multipel sklerosis adalah penyakit pada sistem saraf pusat ditandai dengan

defisit neurologis yang pernah atau sedang dialami, diketahui melalui teknik

wawancara.

18. Psoriasis adalah suatu penyakit kulit autoimun bersifat kronis yang ditandai

dengan adanya hiperproliferasi epidermis, diferensiasi keratinosit epidermis

yang berlangsung singkat dan inflamasi kulit disertai dengan fenomena

tetesan lilin, Auspitz, dan Koebner, yang diketahui melalui teknik wawancara.

19. Vitiligo adalah suatu kelainan didapat yang mengenai kulit dan mukosa yang

ditandai dengan makula depigmentasi berbatas tegas yang terjadi akibat

adanya kerusakan selektif pada melanosit, yang diketahui melalui teknik

wawancara.

43

20. Penyakit kardiovaskuler adalah riwayat penyakit jantung yang pernah atau

sedang dialami yang ditemukan dari teknik wawancara.

21. Diabetes melitus adalah kelainan metabolik yang disebabkan oleh banyak

faktor seperti kurangnya insulin atau resistensi insulin yang ditandai dengan

gejala hilangnya berat badan, poliuri (sering berkemih), polidipsi (sering

haus), dan polifagi (sering lapar). Informasi diperoleh berdasarkan anamnesis.

22. Tuberkulosis adalah infeksi oleh M. tuberculosis yang menyerang terutama

paru-paru, kelenjar getah bening, tulang yang diketahui melalui teknik

wawancara.

23. Infeksi saluran pernafasan atas adalah infeksi salauran pernafasan atas yang

disebabkan oleh infeksi virus maupun bakteri, ditandai dengan nyeri menelan,

batuk dan atau pilek, ditanyakan melalui anamnesis dan pemeriksaan fisik.

24. Gagal ginjal kronis adalah seseorang yang menjalani hemodialisis atau

seseorang yang sebelumnya telah didiagnosis mengalami gagal ginjal kronis

oleh dokter, yang ditanyakan melalui anamnesis.

25. Penyakit hati kronis adalah riwayat menderita gangguan fungsi hati kronis

yang telah didiagnosis oleh dokter, ditanyakan melalui anamnesis.

26. Riwayat fototerapi dengan NB-UVB adalah riwayat melakukan pengobatan

menggunakan sinar NB-UVB dalam 1 bulan terakhir, diketahui melalui

wawancara.

27. Riwayat konsumsi suplemen vitamin D adalah riwayat mengkonsumsi

suplemen yang mengandung vitamin D dalam waktu satu bulan terakhir,

diketahui melalui wawancara.

44

28. Riwayat konsumsi steroid adalah konsumsi obat-obatan yang mengandung

glukokortikoid yang dikonsumsi dalam satu bulan terakhir, diketahui melalui

wawancara.

29. Riwayat konsumsi obat anti kejang adalah riwayat konsumsi obat-obatan

yang mengandung diazepam, fenitoin, karbamazepin, asam valproat yang

dikonsumsi dalam satu bulan terakhir, diketahui melalui wawancara.

30. Status gizi adalah keadaan kecukupan gizi seseorang yang diukur berdasarkan

nilai indeks massa tubuh (IMT), dihitung dengan rumus perbandingan berat

badan (BB) dalam killogram dengan kuadrat tinggi badan dalam sentimeter,

diklasifikasikan menjadi BB ideal apabila nilai IMT < 18,5, BB normal

apabila IMT antara 18,5-22,9, BB lebih apabila IMT > 23, dan obesitas

apabila nilai IMT > 25.

4.4 Bahan Penelitian

Bahan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah sampel darah

yang diambil dari pembuluh darah vena fossa kubiti dari subjek penelitian.

4.5 Instrumen Penelitian

4.5.1 Instrumen

Alat-alat penelitian yang digunakan dalam penelitian ini antara lain:

45

1. Lembaran informed consent.

2. Lembaran status pemeriksaan dermatologis, seperti tampak pada lampiran.

3. Kuesioner dipersiapkan sebelumnya untuk memperoleh karakteristik pasien.

4. Perlengkapan untuk mengambil sampel darah vena seperti sarung tangan,

torniket, antiseptik, jarum serta spuit sekali pakai 5 ml, kasa verban, plester.

5. Peralatan yang digunakan dalam pengukuran kadar 25-(OH)D plasma adalah

sarung tangan, tourniket, spuit, tabung yang telah berisi koagulan, HVD3 (25-

hydroxyvitamin D3) ELISA Kit merek Elabscience, kupet, pipet, kacamata

pelindung, jas laboratorium.

6. Ice box dan centrifuge dengan pendingin 40C untuk memisahkan sel darah

dengan plasma.

7. Microplate reader dan aksesoris.

8. Pengocok dan pengaduk.

9. Mikropipet 10µL, 50 µL, 100 µL.

10. Tabung kaca, rak tabung dan gelas beker.

4.5.2 Reagen

1. Micro ELISA plate

2. Standart referensi & pencair sampel

3. Concentrated biotinylated detection Ab

4. Biotinylated detection Ab diluents

5. Concentrated HRP conjugate dan concentrated wash buffer (25x)

6. Substrate reagent dan stop solution

46

4.6 Prosedur dan Alur Penelitian

1. Pemilihan sampel penelitian berdasarkan kriteria penerimaan sampel dengan

melakukan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan hapusan sayatan

kulit.

2. Diagnosis penyakit kusta ditegakkan berdasarkan adanya satu atau lebih tanda

kardinal kusta dengan kriteria tanda kardinal sebagai berikut: bercak kulit

putih atau merah yang mati rasa, penebalan saraf, dan didapatkan adanya

basil tahan asam (BTA) pada hapusan sayatan kulit. Kusta kemudian

diklasifikasikan menjadi kusta tipe PB dan MB.

3. Subjek yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi diminta untuk

menandatangani informed consent sebagai bukti telah setuju untuk ikut serta

dalam penelitian.

4. Pemeriksaan IB melalui hapusan sayatan kulit, dengan cara sebagai berikut:

a. Menentukan lokasi pengambilan spesimen (5 lokasi : cuping telinga kiri

dan kanan, lesi kulit yang paling aktif pada bagian tubuh kanan dan kiri,

ruas kedua dorsum interfalang digiti III manus dan dorsum digiti I

pedis).

b. Mencuci tangan dan menggunakan sarung tangan

c. Membersihkan tepi lobus telinga dan lesi dengan kapas alkohol 70%

sampai mengering.

d. Menjepit lobus telinga dengan kuat menggunakan ibu jari dan telunjuk

sampai kulit menjadi pucat.

47

e. Melakukan sayatan menggunakan scalpel (scalpel no. 15) dengan

panjang sayatan ± 5 mm dan kedalaman 2-3 mm, pisau scalpel diputar

90°, arah sayatan dari atas ke bawah sampai didapat bubur jaringan.

f. Serum atau bubur jaringan pada scalpel dioleskan pada object glass

pada sisi yang sama dengan letak identitas, hapuskan serum berbentuk

lingkaran berukuran diameter 8 mm. Satu object glass dapat digunakan

untuk membuat 2-3 hapusan. Object glass dibiarkan mengering dalam

suhu ruangan.

g. Fiksasi hapusan dengan melewatkan bagian bawah object glass

sebanyak 3 kali diatas api bunsen sebelum dilakukan pewarnaan.

h. Pada saat pengambilan spesimen, hindari terjadinya perdarahan, karena

mengganggu pewarnaan dan pembacaan. Jika terjadi perdarahan bisa

dibersihkan dengan kapas alkohol 70%.

i. Luka ditutup dengan kapas dan dilekatkan dengan selotip.

j. Melakukan dekontaminasi alat yang telah dipakai: scalpel dihapus

dengan kapas alkohol dan lewatkan di atas nyala api bunsen selama 3-4

detik dan biarkan dingin.

k. Langkah yang sama diulangi pada lokasi lain.

l. Melakukan pewarnaan dengan metode Ziehl-Neelsen dengan cara

sebagai berikut:

1) Object glass diletakkan pada rak pewarnaan

2) Seluruh permukaan object glass ditutup dengan larutan carbol

fuchsin (dibiarkan selama 10 menit).

48

3) Object glass dipanaskan dengan hati-hati diatas lampu spiritus

sampai uap carbol fuchsin keluar tetapi tidak sampai mendidih.

4) Object glass dibasuh dengan hati-hati di bawah air mengalir dan

dikeringkan.

5) Asam alkohol 3% diteteskan pada permukaan object glass selama

10 detik kemudian dibilas perlahan dengan air.

6) Sediaan ditetesi dengan methylene blue 0,3% selama 1 menit.

7) Object glass dibilas air dan dibiarkan mengering di rak

pengeringan.

m. Cara melakukan pembacaan slit-skin smear:

1) Object glass diletakkan di bawah mikroskop. Posisi hapusan

menghadap ke atas.

2) Atur fokus menggunakan pembesaran 10 kali kemudian object

glass ditetesi dengan setetes minyak emersi.

3) Atur fokus obyektif dengan pembesaran 100 kali.

4) Basil tahan asam terlihat sebagai batang merah dengan latar

belakang biru dengan bentuk bervariasi (batang lurus atau

melengkung), berwarna merah homogen yang disebut kuman

solid (utuh), atau tidak rata akibat dinding sel terputus sebagian

atau secara keseluruhan yang disebut kuman tidak utuh (

fragmentasi dan granuler).

49

5) Setelah melakukan pemeriksaan lapangan pandang pertama,

dipindahkan ke lapangan pandang berikutnya. Pemeriksaan

dilakukan sekitar 100 lapangan pandang tiap hapusan.

6) Jika terlihat BTA lakukan penghitungan BTA menurut skala di

bawah ini, dan penjumlahan IB dilakukan untuk setiap hapusan

secara terpisah.

a) 0 : 0 BTA per 100 LP

b) +1 : 1-10 BTA per 100 LP

c) +2 : 1-10 BTA per 10 LP

d) +3 : 1-10 BTA per rata-rata 1 LP

e) +4 : 10-100 BTA per rata-rata 1 LP

f) +5 : 100-1000 BTA per rata-rata 1 LP

g) +6 : >1000 BTA per rata-rata 1 LP

5. Pengambilan sampel penelitian dilakukan oleh petugas laboratorium pada

darah vena di fossa kubiti sebanyak 1 cc dan ditampung dalam tabung dengan

koagulan.

6. Pemeriksaan kadar 25-hydroxyvitamin D dilakukan dari sampel darah vena di

Unit Pelayanan Teknik Laboratorium Analitik Universitas Udayana Denpasar.

7. Prosedur analisis 25-hydroxyvitamin D

Tambahkan 100µL standart atau sampel dan diinkubasi selama 90 menit pada

suhu 370 C lalu tambahkan 100µL biotinylated detection Ab dan diinkubasi

selama 1 jam pada suhu 370

C lalu aspirasi dan wash tiga kali. Tambahkan

100µL HRP conjugate, inkubasi 30 menit pada suhu 370C lalu aspirasi dan

50

wash lima kali. Tambahkan 90µL substrate reagent dan diinkubasi selama 15

menit pada suhu 370C lalu tambahkan stop solution. Baca pada 450nm

secepatnya lalu kalkulasi hasil. Untuk mempermudah dalam pelaksanaan

penelitian, maka dibuat alur penelitian dalam bentuk bagan alur penelitian pada

Gambar 4.3.

Gambar 4.3

Alur penelitian

Populasi terjangkau

Pasien kusta, berumur 5 tahun hingga 65 tahun, yang berobat ke Poliklinik

Kulit dan Kelamin RSUP Sanglah selama periode Mei 2016-Juni 2016

Kriteria Eksklusi

Pemeriksaan Indeks Bakteri

Pengambilan darah vena

Data penelitian

Kadar 25-OHD plasma

Indeks bakteri

Analisis data

Populasi target

Semua pasien kusta berumur 5 tahun hingga 65 tahun

Kriteria Inklusi

Informed Consent

Sampel

Kusta tipe PB

Sampel

Kusta tipe PB

51

4.7 Analisis Data

Data yang dicatat dalam lembar pengumpulan data yang telah tersusun,

diolah dan dianalisis secara deskriptif menggunakan perangkat lunak komputer

SPSS 17 maupun secara manual, kemudian dianalisis dengan uji statistik yang

sesuai.

1. Analisis statistik deskriptif

Analisis ini dilakukan untuk menggambarkan karakteristik subjek

penelitian yaitu: umur, jenis kelamin, indeks bakteri, riwayat kontak,

riwayat terapi MDT, tipe kusta menurut WHO, dan tipe kusta menurut

Ridley dan Jopling.

2. Uji normalitas data

Untuk menilai normalitas data, digunakan uji normalitas Kolmogorov-

Smirnov karena jumlah sampel lebih dari 50. Pada uji normalitas, data

memiliki distribusi normal apabila nilai kemaknaan atau nilai p > 0,05 dan

berdistribusi tidak normal apabila nilai p < 0,05.

3. Analisis komparasi

Analisis komparasi dipergunakan untuk mengetahui apakah terdapat

perbedaan kadar 25-OHD plasma antara penderita kusta tipe MB dengan

kusta tipe PB, dan untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan kadar 25-

OHD antara penderita kusta yang belum dengan yang sudah mendapat

pengobatan MDT. Uji Mann-Whitney dipergunakan untuk menganalisis

perbedaan kadar 25-OHD plasma karena data pada penelitian ini memiliki

distribusi yang tidak normal.

52

4. Analisis korelasi dan regresi linear

Untuk mengetahui korelasi antara kadar 25-OHD plasma dengan IB pada

pasien kusta dilakukan analisis korelasi. Analisis yang digunakan adalah

uji Spearman’s rho karena data berdistribusi tidak normal dengan tingkat

kepercayaan α=0,05 .

4.8 Etika Penelitian

Peneliti telah mendapatkan protokol penelitian untuk ethical clearance

dari Komisi Etik Penelitian Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/RSUP

Sanglah Denpasar sebelum penelitian dilaksanakan. Subjek yang memenuhi

kriteria penelitian diberikan penjelasan mengenai tujuan dari protokol penelitian

serta diminta untuk mengisi secara tertulis informed consent.

Subjek penelitian memiliki hak sepenuhnya untuk menolak ikut serta

dalam penelitian apabila tidak bersedia untuk ikut serta dalam penelitian ini.

Seluruh biaya penelitian dan biaya lainnya yang dibutuhkan akibat penelitian ini

ditanggung oleh peneliti.

53

BAB V

HASIL PENELITIAN

5.1 Karakteristik Subjek Penelitian

Penelitian mulai dilakukan pada pertengahan bulan Mei 2016 sampai

dengan Juni 2016 di Poliklinik Kulit dan Kelamin RSUP Sanglah dengan

melibatkan 55 subjek kusta yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi.

Karakteristik jenis kelamin, umur, indeks bakteri, riwayat kontak, tipe kusta, dan

riwayat terapi MDT, disajikan pada Tabel 5.1.

Distribusi jenis kelamin pada penelitian ini didapatkan laki-laki lebih

banyak dibandingkan perempuan, masing-masing sejumlah 34 orang (61,8%) dan

21 orang (32,8%). Kharakteristik umur subjek menunjukkan umur termuda adalah

9 tahun, dan tertua adalah 65 tahun. Rerata umur subjek kusta adalah 38,71 ±

14,237 tahun dengan median 37,00 tahun. Kelompok umur terbanyak pada

rentang umur 26 – 35 tahun sebesar 30,9%. Kelompok umur yang paling sedikit

adalah rentang usia 6 – 15 tahun sejumlah 2 orang (3,6%).

Riwayat kontak subjek dengan penderita kusta didapatkan subjek kusta

dengan riwayat kontak didapatkan sedikit lebih banyak dibandingkan tanpa

kontak, masing-masing sejumlah 28 orang (51%) dan 27 orang (49%). Subjek

yang kontak dengan keluarga yang menderita kusta sebesar 25,5%, kontak dengan

teman sebesar 18,2%, dan sebesar 7,3% yang kontak dengan teman kerja.

Tabel 5.1

Karakteristik subjek penelitian

54

No Karakteristik Jumlah (n)

Persentase (%)

1. Jenis kelamin

Laki-laki

Perempuan

34

21

61,8

38,2

2. Umur (tahun)

06 – 15

16 – 25

26 – 35

36 – 45

46 – 55

56 – 65

2

8

17

11

7

10

3,6

14,5

30,9

12,0

12,7

18,2

3. Indeks bakteri

0

+1

+2

+3

+4

14

12

6

15

8

25,5

21,8

10,9

27,3

14,5

4. Riwayat kontak

Tidak ada kontak

Kontak serumah

Kontak tetangga

Kontak teman kerja/dll

27

14

10

4

49,1

25,5

18,2

7,3

5. Riwayat terapi MDT

Belum diterapi

Sudah diterapi

13

42

23,6

76,4

6. Riwayat kusta (WHO)

Kusta tipe PB

Kusta tipe MB

18

37

32,7

67,3

7. Riwayat kusta (Ridley-Jopling)

TT

BT

BB

BL

LL

2

16

9

20

8

3,6

29,1

16,4

36,4

14,5

Indeks bakteri paling banyak adalah IB +3 yang didapatkan pada 15 subjek

(27,3%), berikutnya adalah IB 0 didapatkan pada 14 subjek kusta (25,5%). Subjek

kusta dikelompokkan berdasarkan klasifikasi WHO, didapatkan kusta terbanyak

55

adalah kusta tipe MB sejumlah 37 (67,3%) kasus, dan tipe PB sejumlah 18

(32,7%) kasus. Berdasarkan klasifikasi Ridley dan Jopling didapatkan tipe kusta

terbanyak adalah kusta tipe BL sejumlah 20 (36,4%) kasus. Kusta tipe TT

merupakan tipe kusta yang paling sedikit yaitu sejumlah 2 (3,6%) kasus. Dari

keseluruhan subjek kusta terdapat 42 (76,4%) orang yang sudah mendapat

pengobatan MDT, sedangkan 13 (23,6%) orang belum mendapat pengobatan

MDT.

5.2 Uji Normalitas Data

Uji normalitas dilakukan terhadap data penelitian kadar 25-OHD plasma

dan indeks bakteri dengan menggunakan uji normalitas Kolmogorov-Smirnov

karena jumlah subjek sebanyak 55 orang. Hasil uji normalitas disajikan pada

Tabel 5.2, didapatkan bahwa data kadar 25-OHD plasma dan indeks bakteri pada

subjek kusta berdistribusi tidak normal, karena masing-masing didapatkan nilai p

< 0,05.

Tabel 5.2

Hasil uji normalitas data

No Variabel P

1.

2.

Kadar 25-OHD plasma

Indeks bakteri

0,003

< 0,001

Signifikansi nilai p > 0,05

5.3 Komparasi Kadar 25-OHD Plasma pada Subjek Kusta Tipe Pausibasilar

dan Kusta Tipe Multibasilar

Pada penelitian ini didapatkan bahwa rerata kadar 25-OHD plasma pada

kelompok subjek kusta tipe PB adalah 24,44 ± 1,98 ng/mL, dan nilai median

56

25,57 ng/mL dengan nilai minimum 20,86 ng/mL, nilai maksimum 26,59 ng/mL.

Pada kelompok subjek kusta tipe MB didapatkan rerata kadar 25-OHD plasma

adalah 19,48 ± 3,17 ng/mL, dan nilai median 18,36 ng/mL dengan nilai minimum

adalah 14,73 ng/mL, nilai maksimum adalah 26,58 ng/mL. Uji non parametrik

Mann-Whitney pada data kadar 25-OHD plasma menurut tipe kusta menunjukkan

bahwa kadar 25-OHD plasma pada subjek kusta tipe MB lebih rendah secara

signifikan dibandingkan pada subjek kusta tipe PB dengan nilai p < 0,001, seperti

yang disajikan di Tabel 5.3.

Tabel 5.3

Hasil analisis perbandingan kadar 25-OHD plasma

antara kusta tipe pausibasilar dengan kusta tipe multibasilar

Kadar 25-

OHD

n Rerata ± SD

(ng/mL)

Median (ng/mL)

(minimum -

maksimum)

P

Kusta Tipe

PB

Kusta Tipe MB

18

37

24,44 ± 1,98

19,48 ± 3,17

25,57

(20,86 - 26,59)

18,36

(14,73 - 26,58)

< 0,001

Signifikansi nilai p < 0,05

Grafik box plot menunjukkan perbandingan nilai kadar 25-OHD plasma

pada kelompok subjek kusta tipe MB lebih rendah dibandingkan kelompok subjek

kusta tipe PB, seperti yang disajikan pada Gambar 5.1.

57

Gambar 5.1

Grafik boxplot perbandingan kadar 25-OHD plasma antara

kelompok subjek kusta tipe PB dengan tipe MB

Riwayat pengobatan dengan MDT pada subjek kusta dapat menjadi

variabel perancu pada penelitian ini. Sejumlah 42 subjek kusta (76,4%) sudah

mendapatkan pengobatan MDT, sedangkan sisanya 13 subjek (23,6%) belum

mendapatkan pengobatan. Hal ini diatasi dengan melakukan analisis terhadap

kadar 25-OHD plasma antara subjek kusta yang sudah mendapatkan pengobatan

MDT dengan yang belum pengobatan. Rerata kadar 25-OHD plasma pada

kelompok subjek kusta yang sudah mendapatkan pengobatan MDT adalah 21,23 ±

3,66 ng/mL, dan nilai median 21,23 ng/mL, dan nilai minimum 14,73 ng/mL,

serta nilai maksimum 26,59 ng/mL. Rerata kadar 25-OHD plasma pada kelompok

subjek kusta yang belum mendapatkan pengobatan MDT adalah 20,69 ± 3,83

ng/mL, dan nilai median 21,74 ng/mL, dan nilai minimum 15,62 ng/mL, serta

nilai maksimum 26,58 ng/mL. Perbedaan kadar 25-OHD pada kelompok kusta

Kad

ar

25-O

HD

(n

g/m

L)

Tipe Kusta

WHO

58

yang sudah dengan yang belum mendapatkan pengobatan MDT dianalisis

menggunakan uji Mann-Whitney. Hasil analisis menunjukkan adanya perbedaan

yang tidak signifikan antara kadar 25-OHD plasma pada kelompok subjek kusta

yang sudah mendapatkan pengobatan MDT dengan yang belum mendapatkan

pengobatan MDT dengan nilai p = 0,663 (p > 0,05), seperti yang disajikan pada

Tabel 5.4.

Tabel 5.4

Hasil analisis perbandingan kadar 25-OHD plasma

antara subjek kusta yang sudah mendapat pengobatan

MDT dengan yang belum mendapatkan pengobatan MDT

Kadar 25-

OHD

n Rerata ± SD

(ng/mL)

Median (ng/mL)

(minimum -

maksimum)

p

Belum

terapi

Sudah terapi

13

42

20,69 ± 3,83

21,23 ± 3,66

21,74

(15,62 - 26,58 )

21,12

(14,73 - 26,59)

0,663

Signifikansi nilai p < 0,05

Grafik box plot menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang signifikan

antara nilai kadar 25-OHD plasma pada kelompok subjek kusta yang sudah

mendapatkan pengobatan MDT dengan yang belum mendapat pengobatan MDT,

seperti yang disajikan pada Gambar 5.2.

59

Gambar 5.2

Grafik boxplot perbandingan kadar 25-OHD plasma antara

kelompok subjek kusta yang sudah mendapat pengobatan MDT

dengan yang belum mendapat pengobatan MDT

5.4 Korelasi Kadar 25-OHD Plasma dengan Indeks Bakteri

Untuk mengetahui korelasi kadar 25-OHD plasma dengan indeks bakteri

pada subjek kusta, dilakukan uji korelasi Spearman’s rho karena data kadar 25-

OHD plasma dan indeks bakteri berdistribusi tidak normal. Dari uji ini didapatkan

bahwa terdapat korelasi negatif antara kadar 25-OHD plasma dan indeks bakteri

dengan nilai r = -0,860; p < 0,001, seperti yang disajikan pada Tabel 5.5.

Tabel 5.5

Korelasi antara kadar 25-OHD plasma dengan indeks bakteri

Variabel Kekuatan Korelasi

(r)

p

25-OHD – Indeks Bakteri -0,860 < 0,001

Kad

ar

25-O

HD

(n

g/m

L)

Riwayat Terapi MDT

60

Grafik boxplot kadar 25-OHD plasma dengan indeks bakteri disajikan

pada Gambar 5.3. Pada grafik tersebut dapat dilihat bahwa semakin tinggi kadar

25-OHD, maka semakin rendah nilai indeks bakteri.

Gambar 5.3

Grafik boxplot kadar 25-OHD dengan indeks bakteri

5.5 Analisis Regresi Linier Hubungan Kadar 25-OHD Plasma dengan IB

Hasil analisis regresi linier didapatkan koefisien beta (β = -0,341),

menunjukkan adanya pengaruh bermakna antara kadar 25-OHD plasma dengan

indeks bakteri pada subjek kusta. Artinya setiap penurunan kadar 25-OHD plasma

sebesar 1 ng/mL, akan diikuti oleh peningkatan indeks bakteri sebesar 0,341

Berdasarkan koefisien determinasi (R2 = 74,3%), artinya sebesar 74,3% indeks

bakteri dipengaruhi oleh kadar 25-OHD plasma, dan sisanya sebesar 25,7%

dipengaruhi oleh faktor lain, yang dapat dilihat pada Tabel 5.6.

Tabel 5.6

Kad

ar

25

-OH

D (

ng

/mL

)

Indeks bakteri

61

Hasil analisis regresi linier hubungan kadar 25-OHD plasma

dengan indeks bakteri

Variabel Koefisien beta

(β)

P Koefisien determinasi

(R2)

25-OHD -0,341 < 0,001 74,3%

62

BAB VI

PEMBAHASAN

6.1 Karakteristik Subyek Penelitian

Penelitian ini melibatkan 55 subjek kusta yang dipilih secara concecutive

sampling yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Tidak ada subjek yang

hilang dalam penelitian ini. Keseluruhan subjek kusta diperlakukan sama yaitu

mendapat pemeriksaan kadar 25-OHD plasma melalui pengambilan darah vena,

dan pemeriksaan BTA untuk menentukan indeks bakteri.

Pada penelitian ini didapatkan frekuensi penderita kusta laki-laki lebih

banyak dibandingkan perempuan yaitu laki-laki sejumlah 34 orang (61,8%), dan

perempuan sebanyak 21 orang (38,2%), dengan perbandingan laki-laki dan

perempuan adalah 1,6:1. Studi oleh Teixeira et al. (2010) melaporkan jumlah

penderita kusta laki-laki (65,2%), lebih tinggi dibandingkan perempuan (34,8%).

Studi oleh Maria (2008) mendapatkan laki-laki memiliki risiko 2,9 kali menderita

kusta dibandingkan perempuan, dimana hal ini kemungkinan disebabkan oleh

mobilitas laki-laki yang lebih tinggi sehingga kemungkinan terpapar lebih besar

dibandingkan perempuan.

Pada penelitian ini didapatkan pada subjek kusta umur termuda adalah 9

tahun dan tertua adalah 65 tahun dengan rerata umur 38,71 ± 14,237 tahun.

Kelompok umur terbanyak pada penelitian ini adalah pada kelompok umur 26 –

35 tahun sebesar 30,9%. Kelompok umur paling sedikit adalah pada rentang umur

6 – 15 tahun hanya sejumlah 2 kasus. Penelitian oleh Bakker et al. (2006) di

63

Makasar menemukan hal yang serupa dimana kasus kusta terbanyak ditemukan

pada kelompok usia produktif yaitu 15-44 tahun (59,6%), terkait dengan mobilitas

yang tinggi dan risiko mendapatkan paparan yang lebih besar. Kasus kusta pada

anak lebih jarang ditemukan. Hal ini disebabkan karena masa inkubasi yang

panjang hingga puluhan tahun. Namun kasus kusta pada anak sering ditemukan di

daerah endemik kusta. Widodo et al.(2012) di RSCM menemukan kasus kusta

berusia 5-14 tahun sebesar 5,9%, sedangkan Bakker et al. (2006), menemukan

kasus kusta pada rentang umur 6-14 tahun sebesar 18,1%.

Pada penelitian ini didapatkan riwayat kontak subjek dengan penderita

kusta lebih banyak dibanding tanpa kontak yaitu 51% dan 49%. Riwayat kontak

paling besar adalah kontak subjek dengan keluarga atau kontak serumah yaitu

sebanyak 25,5% Hal ini sesuai dengan mekanisme penularan pada penyakit kusta

yang memerlukan kontak erat dan lama. Penelitian yang dilakukan oleh Goulart et

al. (2008) menemukan bahwa kontak keluarga terutama penderita kusta tipe MB

memiliki risiko 5-10 kali lebih besar untuk menderita kusta dibandingkan populasi

umum. Sales et al. (2011), melaporkan risiko menderita kusta sebesar 1,96 kali

lebih tinggi pada penderita dengan kontak serumah dibandingkan tanpa kontak,

dan didapatkan pula peningkatan risiko menderita kusta seiring dengan

peningkatan indeks bakteri dari kontak pasien kusta tipe MB.

Berdasarkan pemeriksaan hapusan sayatan kulit, nilai indeks bakteri

terbanyak pada subjek kusta adalah +3 (27,3%.). Hal ini sesuai dengan jumlah

kasus kusta tipe MB yang ditemukan lebih dominan pada penelitian ini. Pada

penelitian ini tidak mengekslusi subjek kusta dengan riwayat pengobatan MDT,

64

pertimbangannya adalah dampak penurunan IB paska pengobatan berlangsung

perlahan (Mahajan, 2015). Nilai IB 0 juga banyak didapatkan pada penelitian ini

karena sesuai dengan jumlah kusta tipe PB. Berdasarkan tipe kusta WHO, pada

penelitian ini ditemukan kusta tipe MB (67,3%) lebih banyak dibanding PB

(32,7%). Hasil pada penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh

Teixeira et al.(2010), dimana didapatkan kasus MB lebih banyak yaitu 50,2%

dibanding PB sebesar 49,8%. Penelitian yang dilakukan di Makasar oleh Apriani

et al. (2013) menemukan kasus MB sebanyak 88,6% dan kasus PB sebanyak

11,39%. Epidemiologi kusta di Indonesia berdasarkan laporan WHO pada tahun

2015, tercatat kasus MB sebesar 83,4% dari total kaus kusta baru. Lebih tingginya

kasus kusta tipe MB dibandingkan PB, berkaitan dengan tingginya tingkat

penularan kasus kusta tipe MB.

Berdasarkan tipe kusta Ridley dan Jopling, kusta tipe BL ditemukan

paling banyak yaitu sebesar 36,4%, diikuti oleh tipe BT sebanyak 29,1%, tipe BB

sebanyak 16,4%, tipe LL sebanyak 14,5% dan yang paling sedikit adalah tipe TT

sebanyak 3,6%. Penelitian dengan hasil serupa dilaporkan oleh Mattos et al.

(2015), mendapatkan kusta tipe lepromatosa (BL dan LL) lebih dominan, masing–

masing sebesar 34,39% dan 35,93%. Hasil ini berbeda dengan penelitian yang

dilakukan oleh Thakkar dan Patel (2014) di India, yang mendapatkan jumlah

kasus terbanyak adalah tipe TT. Perbedaan jumlah tipe kusta terbanyak pada

masing-masing penelitian tergantung pada lokasi dimana penelitian dilakukan.

Penelitian di rumah sakit rujukan pada umumnya mendapatkan kusta yang lebih

65

berat karena keterlambatan pasien berobat sehingga kasus yang terbanyak adalah

kasus yang sudah berat (Mattos et al, 2015).

6.2 Komparasi Kadar 25-OHD Plasma pada Subjek Kusta Tipe Pausibasilar

dengan Kusta Tipe Multibasilar

Pada penelitian ini didapatkan bahwa rerata kadar 25-OHD plasma pada

kelompok kusta tipe PB adalah 24,44 ± 1,98 ng/mL, nilai median 25,57 ng/mL

sedangkan pada kelompok kusta tipe MB didapatkan 19,48 ± 3,17 ng/mL, dan

nilai median 18,36 ng/mL. Hasil uji non parametrik Mann-Whitney, didapatkan

rerata kadar 25-OHD plasma pada kelompok kusta tipe MB lebih rendah secara

bermakna dibandingkan dengan kelompok kusta tipe PB dengan nilai p < 0,001.

Pemeriksaan kadar 25-OHD plasma pada penelitian ini dilakukan baik pada

subjek kusta yang belum maupun yang sudah mendapat pengobatan, karena

variabel pengobatan MDT bukan sebagai variabel perancu. Hal ini dibuktikan

dengan analisis data menggunakan uji Mann-Withney pada kadar 25-OHD plasma

dari subjek kusta yang belum mendapat pengobatan MDT dibandingkan dengan

yang sudah mendapat pengobtan, tidak didapatkan perbedaaan yang signifikan.

Infeksi mikobakteri seperti oleh M. leprae dikaikan dengan vitamin D.

Talat et al. (2010), melaporkan bahwa kadar vitamin D yang rendah berhubungan

dengan peningkatan risiko terinfeksi tuberkulosis sebesar 5 kali lipat dibandingkan

populasi normal. Penelitian oleh Mandal et al. (2015), ditemukan kadar 25-OHD

plasma yang lebih rendah pada penderita kusta yaitu sebesar 27,47±4,17 ng/ml,

sedangkan pada individu normal sebesar 33±3,76 ng/ml. Penelitian yang

66

membandingkan kadar vitamin 25-OHD dengan tipe kusta PB dan MB belum

pernah dilakukan.

Wide genome analysis mengungkap peran vitamin D pada modulasi sistem

imunitas alamiah. Makrofag merupakan barier imun pertama untuk melawan

invasi kuman M. leprae. Sistem TLR2/1 yang diaktivasi oleh M. leprae akan

memicu ekspresi CYP27B1 dan reseptor vitamin D, sehingga terjadi bioaktivasi

25-OHD menjadi 1,25-(OH)2 D. Vitamin D aktif dan reseptor akan bekerja pada

transkripsi gen target peptida antimikroba katelisidin yang berfungsi membunuh

M. leprae. Chun et al. (2014), melaporkan adanya gangguan sistem vitamin D

intrakrin pada kusta tipe lepromatosa. Sistem vitamin D intrakrin pada kusta tipe

tuberkuloid masih intak atau tidak terganggu, sehingga mampu memicu

bioaktivasi vitamin D yang berperan pada transkripsi gen target katelisidin,

berbeda halnya sistem vitamin D intrakrin pada kusta lepromatosa yang

terganggu, khas ditandai oleh tingginya makrofag yang terinfeksi M. leprae. Hal

ini menyebabkan kadar vitamin D pada kusta tipe PB lebih tinggi dibandingkan

kusta tipe MB.

6.3 Korelasi Kadar 25-OHD Plasma dengan Indeks Bakteri pada Subjek

Kusta

Pada penelitian ini didapatkan korelasi negatif antara kadar 25-OHD plasma

dan indeks bakteri dengan nilai r = -0,860 dan nilai p < 0,001, seperti yang

disajikan pada Tabel 5.6. Hal ini berarti terdapat hubungan bermakna antara kadar

25-OHD plasma dengan nilai indeks bakteri, yaitu semakin rendah kadar 25-OHD

67

maka semakin tinggi nilai indeks bakteri. Tingkat korelasi pada hasil penelitian ini

didapatkan lebih kuat (nilai r = -0,860), dibandingkan hipotesisnya (r=0,4). Hasil

penelitian mengenai korelasi kadar 25-OHD dengan indeks bakteri belum

ditemukan, namun beberapa peneliti melaporkan mekanisme gangguan sistem

vitamin D intrakrin pada kusta. Teles et al. (2013), melaporkan bahwa pada kusta

tipe lepromatosa, didapatkan adanya supresi bioaktivasi sistem vitamin D

intrakrin oleh sitokin IL-10 dan IFNα/β akibat sistem imunitas seluler yang

rendah. Edfeldt, et al. (2010), juga melaporkan IL-4 yang ditemukan tinggi pada

kusta tipe lepromatosa berperan memicu aktivasi enzim CYP27A1, yaitu enzim

yang berperan pada katabolisme vitamin D. Supresi bioaktivasi vitamin D dan

meningkatkanya katablisme vitamin D menyebabkan defisiensi vitamin D

sehingga tidak tercapai transkripsi gen target katelisidin. Hal ini menyebabkan

makrofag tidak mampu membunuh kuman M. leprae dan berdampak pada

tingginya indeks bakteri. Hal ini terjadi sebaliknya pada kusta tipe tuberkuloid,

dimana didapatkan tingginya IFN- yang dapat meningkatkan aktivasi vitamin D

yang diinduksi oleh TLR2/1, sehingga makrofag mampu menghasilkan katelisidin

untuk membunuh M. leprae ditandai dengan tidak ditemukannya M. leprae

(Edfeldt et al. 2010; Fabri, et al. 2010).

Vitamin D merupakan suatu prohormon yang metabolitnya mengalami

hidroksilasi karbon 25 di liver dan diubah menjadi 25-OHD, selanjutnya melalui

hidroksilasi 1α pada ginjal akan menghasilkan 1,25-(OH)2 D (Shuler et al. 2012).

Hormon vitamin D ini mengaktifkan reseptor selular VDR di berbagai sel, yang

mengubah tingkat transkripsi gen target yang bertanggung jawab atas respon

68

biologis, salah satunya adalah target gen katelisidin (Dusso et al, 2005). Kadar 25-

OHD meningkat secara proporsional dengan asupan vitamin D, dan dengan alasan

ini kadar plasma 25-OHD biasanya digunakan sebagai indikator status vitamin D

(Dusso et al, 2005). Penelitian ini dirancang menggunakan metode cross sectional

yang memiliki kelemahan dalam menentukan hubungan sebab akibat antara

penurunan kadar 25-hydroxyvitamin D plasma dengan nilai indeks bakteri. Untuk

mengetahui defisiensi vitamin D sebagai faktor risiko perkembangan kusta tipe

multibasilar maka penelitian ini dapat dijadikan dasar bagi penelitian selanjutnya

dengan rancangan case control.

69

BAB VII

SIMPULAN DAN SARAN

7.1 Simpulan

Berdasarkan hasil analisis data dan pembahasan tersebut, dapat

disimpulkan bahwa semakin rendah kadar 25-hydroxyvitamin D plasma,

semakin tinggi indeks bakteri yang dibuktikan dengan:

1. Rerata kadar 25-hydroxyvitamin D plasma pada subjek kusta tipe

multibasilar (19,48 ± 3,17 ng/mL, median 18,36 ng/mL) lebih rendah

dibandingkan kusta tipe pausibasilar (24,44 ± 1,98 ng/mL, median 25,57

ng/mL).

2. Terdapat korelasi negatif antara kadar 25-hydroxyvitamin D plasma

penderita kusta dengan indeks bakteri (r = -0,860; p < 0,001).

7.2 Saran

Berdasarkan hasil penelitian tersebut, dapat disarankan hal-hal sebagai

berikut:

1. Hasil penelitian ini dapat dipertimbangkan sebagai dasar pada

penelitian lanjutan untuk mengetahui kadar 25-hydroxyvitamin D

plasma yang rendah sebagai faktor risiko terjadinya kusta tipe

multibasilar menggunakan rancangan case control.

2. Penelitian lanjutan menggunakan rancangan randomized controlled

trial untuk mengetahui keefektifan vitamin D pada kusta, sebagai

70

bahan petimbangan pemberian terapi tambahan derivat vitamin D pada

pengobatan kusta tipe multibasilar.

3. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan edukasi bagi

penderita kusta mengenai pentingnya peranan sinar matahari sebagai

sumber utama vitamin D untuk mencegah perburukan klinis penyakit

kusta.

71

DAFTAR PUSTAKA

Apriani, D.W., Rismayanti, Wahiduddin. 2013. Faktor Risiko Kejadian Penyakit

Kusta di Kota Makasar. Skripsi . Makasar: Fakultas Kesehatan Masyarakat

Universitas Udayana.

Bakker, I.M., Hatta, M., Kwenang, A., Mosseveld, P.V., Faber, W.R., Klatser,

P.R., Oskam, L. 2006. Risk Factor for Developing Leproy-a Population-

Based Cohort Study in Indonesia. Lepr Rev;77:48-61.

Bartley, J., Camargo, C. A. 2013.Vitamin D and Infection. In: Gombart, A. F.

Vitamin D: Oxidative Stress, Immunity, and Aging. United State: CRC

press.p.323-51.

Bilke, D.D. 2014.Vitamin D Metabolism, Mechanism of Action, and Clinical

Applications. Chemistry and Biology; 21(3): 319-29.

Bryceson, A, Pfaltzgraff, R.E. 1990. Symptoms and Sign of Leprosy. In:

Bryceson A, Pfaltzgraff RE. Leprosy, 3rd

ed. London: Churchill

Livingstone. p. 25-55.

Bryceson, A., Pfaltzgraff. R.E. 1990. Bryceson, A., Pfaltzgraff. R.E. Immunology.

In: Leprosy. 3rd

ed. London: Churchill Livingstone. p. 93-114.

Bryceson, A.A., Pfaltzgraff, R.E. 1990. Diagnosis of Leprosy. In: Bryceson A,

Pfaltzgraff RE. Leprosy, 3rd

ed. London: Churchill Livingstone.p.57-75.

Chun, R.F., Liu, P.T., Modlin, R.L., Adams, J.S., Hewison, M. 2014. Impact of

Vitamin D on Immune Function: Lessons Learned from Genom-Wide

Analysis. Frontiers in Physiology. (serial online), [cited 2015 Jul. 10].

Available from: doi:10.3389/fphys.2014.00151.

Christakos, S., Ajibade, D.V., Dhawan, P., Fechner, A.J., Mady, L.J. 2010.

Vitamin D: Metabolism. Endocrinol Metab Clin North Am; 39(2): 243-53.

Dahlan, M.S. 2013. Besar Sampel dan Cara Pengambilan Sampel Dalam

Penelitian Kedokteran dan Kesehatan. Edisi ke-3. Jakarta: Salemba

Medika.p.35-48.

DeLuca, H.F. 2013. History of the Discovery of Vitamin D and Its Active

Metabolits. BoneKey Reports 3; 479. Doi:10.1038/bonekey.2013.213.

Depkes RI. 2014. Profil Kesehatan Indonesia. Pusat Data dan Informasi. [cited

2015 Aug. 10]. Available from: depkes.go.id.

69

72

Desikan, K.V. 2003. Multy Drug Regimen in Leprosy and Its Impact on

Prevalence of the Disease. MJAFI; 59: 2-4.

Dinas Kesehatan Propinsi Bali. 2015. Profil Kesehatan Propinsi Bali. Diakses

dari:www.depkes.go.id/PROPINSI_2015/17_Profil_Kes.Prov.Bali_2015.p

df (diakses tanggal 12 Februari 2016).

Dusso, A.S., Brown, A.J., Slatopolsky, E. 2005. Vitamin D. Am J Physiol Renal

Physiol; 289: 8-28.

Edfelt, K., Liu, P.T., Chun R., Fabri, M., Schenk, M., Wheelwright, M. 2010. T-

cell cytokines differentially controlhuman monocyte antimicrobial

adaptations. Proc. Natl.Acad. Sci. USA 107, 22593-98. Cited on: [2015

Aug. 15]. Available from: doi:10.1073/pnas.1011624108.

Fabri, M., Stenger, S., Shin, D., Yuk, J.M., Liu, P.T., Realegeno, S. 2011. Vitamin

D is Required for IFN-gamma-mediated antimycrobial activity of human

macrophages. Sci.Transl. Med. 3, 104ra102. Cited on: [2016 April. 15].

Available from: doi: 10.1126/sci-translamed.3003045.

Goulart, L. R., Goulart, I. M. B. 2008. Leprosy Pathogenetic Background; A

Review and Lessons From Other Mycobacterial Disease. Arch Dermatol

Res;1-15.

Goulart, M.B., Souza, D.O.B., Marquez, C.R., Pimenta, V. L., Goncalves, M.A.,

Goulart, L.R. 2008. Risk and Protective Factors for Leprosy Development

Determined by Epidemiological Surveillance of Household Contacts.

Clinical and Vaccine Immunnology;15(1):101-05.

Gupta, V. 2012. Vitamin D: Extra Skeletal Effects. Journal of Medication

Nutrition and Neutraceuticals; 1(1):17-26.

Handog, E.B., Gabriel, T.G., Co, C.C. 2011. Leprosy in the Philippines: a Review.

Int. J. Dermatol; 50: 573–81.

Hawthorne, G. M., Thickett, D. R. 2011.Vitamin D and Tuberculosis. JPMI;

29(3):185-87.

Infodatin, 2015. Pusat Data dan Informasi Kementrian Kesehatan Republik

Indonesia. Kusta. p. 1-7.

Jo, E.K., Shin, D.M., Modlin, R. L. 2013.Vitamin D and Human Innate Immunity.

In: Gombart, A. F. Vitamin D, Oxidative Stress, Immunity, and Aging.

New York: CRC Press. p. 223-39.

73

Kumar, B., Dogra, S. 2010. Case Definition and Clinical Type. In: Kar H.K.,

Kumar, B. IAL Texbook of Leprosy. India: Jaypee. p.152-66.

Lastoria, J.C. 2014. Leprosy: Review of the Epidemiological, Clinical, and

Etiopathogenic Aspect-Part 1. An Bras Dermatol; 89(2): 205-18.

Liu, P.T., Stenger S., Li H., Wenzel, I., Tan, B.H., Krutzik, S.R., Ochoa, M.T.,

Schauber, J., Wu, K., editors. Toll-like Receptors Triggering of a Vitamin

D Mediated Anti-Microbial Response. Science.2006;311:1770-3.

Luong, K.V.Q., Nguyen, L.T.H. 2012. The Role of Vitamin D ini Leprosy. The

American Journal of the Medical Sciences; 343(6): 471-82.

Mahapatra, S., Crick, D.C., McNeil, M. R., Brennan, P. J. 2008. Unique Structural

Features of the Peptidoglycan of Mycobacterium leprae. Jurnal of

Bacteriology; 190(2): 655-61.

Madiyono, B., Moeslichan, S. Sastrosamoro, S., Budiman, I., Purwanto, S.H.

2010. Perkiraan Besar Sampel. Dalam: Sudigdo, S., Sofyan, I., penyunting.

Dasar-Dasar Metodelogi Penelitian Klinis. Edisi ke-3, cetakan kedua.

Jakarta: Sagung Seto. p. 301-30.

Mahajan,V. 2013. Smear in Leprosy: Lest We Forget It. Indian J Lepr;85:77-83.

Mandal, D., Reja, A.H.H., Biswas, N., Bhattacharyya, P., Patra, P.K.,

Bhattacharyya, B.2015. Vitamin D Receptor Expression Levels Determine

the Severity and Complexity of Disease Progression among Leprosy

Reaction Patients.New Microbe and New Infect;6:35-9.

Maria C., 2008. “Analisis Faktor Risiko Kejadian Kusta (Studi Kasus di Rumah

Sakit Kusta Donorejo Jepara)” (Skripsi). Semarang: Universitas Negeri

Semarang.

Modlin. R.L. 2010. The Innate Immune Response in Leprosy. Curr Opin

Immunol; 22(1): 48-54.

Montoya, D., Cruz, D., Teles, R.S.M., Lee, D. J., Ochoa, M.T., Kritzik, S. R.,

Chun, R., Schenk, M., Zhang, X., Ferguson, B.G., Burdick, A.E., Sarno,

E.N., Rea, T.H., Hewison, M., Adams, J.S., Cheng, G., Modlin, R. 2009.

Divergence of Macrophage Phagocytic and Antimicrobial Programs in

Leprosy. Cell Host Microbe;6(4):343-53.

Norman, A.W. 2008. From Vitamin D to Hormone D: Fundamentals of the

Vitamin D Endocrine System Essential for Good Health. Am J Nutr; 88:

491s-9s.

74

Northern Territory Goverment. 2010. Guidelines for the Control of Leprosy in the

Northern Territory. Department of Health and Family.p.1-55.

Pike, J. W., Meyer, M. B., Lee, S. M. 2011.Vitamin D Receptor: Biochemical,

Molecular, Biological, and Genomic Era Investigation. In: Feldman, D.,

Pike, J. W., Adams, J. S. Vitamin D. 3rd

ed. London: Elsevier.p.97-137.

Rees, R.J.W., Young, D.B. 1994.The Mycrobiology of Leprosy. In: Hasting, R.C.,

Opromolla, D.V.A. Leprosy. 2nd

ed. London: Churchill Livingstone. p. 49-

86.

Sales, A.M., Ponce de Leon, A., Duppre, N.C., Hacker, M., Nery, J.A.C., Sarno,

E.N., Penna, M.L.F. 2011.Ploss Neglected Tropical Diseases:5(3) e1013

[2016 July. 04]. Available at: doi:10.1371/journal.pntd.0001013.t002.

Santos, V.S., Teles de Mendonca Neto. P., Raposo, O. F. F., Fakhouri, R., Reis, F.

P., Feitosa, V.L.C. 2013. Evaluation of Agreement Between Clinical and

Histopathological Data for Classifying Leprosy. International Journal of

Infectious Diseases, 17:e189-92.

Sekar, B. 2010. Bacteriological Aspect. In: Kar H.K., Kumar, B. IAL Texbook of

Leprosy. India: Jaypee. p.87-99.

Shuler, F.D., Wingate, M.K., Moore, G.H., Giangarra, C. 2012. Sports Health

Benefits of Vitamin D. Sports Health: 496-501

Spierings, E., De Boer, T., Zulianello, L., Ottenhoff, T. H. 2000. The Role of

Schwann Cells, T Cells, and Mycobacterium leprae in the

Immnunopathogenesis of Nerve Damage in Leprosy. Lepr Rev; 7: s121-9.

Suzuki, K., Akama, T., Kawashima, A., Yoshihara, A., Yotsu, R.R., Ishii, N.

2012. Current Status of Leprosy: Epidemiology, Basic Science and

Clinical Perspectives. J of Dermatol; 39: 121–29.

Talat, N., Perry, S., Parsonnet, J., Dawood, G., Hussain, R. 2010.Vitamin D

Deficiency and Tuberculosis Progression. Emerg Infect Dis. 2010 May;

16(5): 853–55.

Teixeira, M.AG., Magalhaes da Silveira, V., Rodrigues de Franca, E. 2010.

Characteristic of Leprosy Reaction in Paucibacillary and Multibacillary

Individuals Attented at Two Refference Centers in Recife,

Pernambuco.Revista de Sociadade Brasileira de Medicina

Tropical;43(3);287-92.

Teles, R.M., Graeber, T.G., Krutzik, S.R., Montoya, D., Schenk,M., Lee, D.J.

2013. Type I Interferon Suppresses Type II Interferon-Triggered

75

Mycobacterial Responses. Science 339,1448-53 (serial online), cited on

[2016 April. 05]. Available from: doi:10.1126/science.1233665.

Thakkar, S., Patel, S.V. 2014. Clinical Profile of Leprosy Patients: A Prospective

study. Indian J Dermatol;59(2):158-62.

Thorat, D.M., Sharma, P. 2010. Epidemiology. In: Kar H. K., Kumar, B. IAL

Texbook of Leprosy. India: Jaypee. p. 24-31.

Viswewaran, R.K., Lekha, H. 2015. Extraskeletal Effects and Manifestations of

Vitamin D Deficiency. Indian J Endocrinology Metab; 17(4): 602-10.

Widodo, A.A., and Menaldi, S.L. 2012. Characteristics of Leprosy Patients in

Jakarta. J Indon Med Assoc; 62(11): 423-27.

World Health Organization. 2015. Global Leprosy Update 2014: Need for Early

Case Detection. WHO Weekly Epidemiological Record; 36(90): 461-76.

Worobec, S.M. 2009.Treatment of Leprosy/Hansen's Disease in the Early 21st

Century. Dhermatol.Ter; 22: 518-37.

Yudianto, Didik, B. Boga, H., Titu, A. S. 2015. Pengendalian Penyakit. Dalam:

Profil Kesehatan Republik Indonesia Tahun 2014: Jakarta. Kementerian

Kesehatan Republik Indonesia. p. 134-68.

Youssef, D.A., Miller, C.W.T., El-Abbassi, A. M., Cutchins, D.C., Grant, W.B.,

Peiris, A. N.2011. Antimicrobial Implications of Vitamin D. Dermato-

Endocrinology; 3(4): 220-9.