30
BAB I PENDAHULUAN Autisme (autism) merupakan gangguan pada sistem syaraf pusat yang berdampak pada gangguan interaksi sosial, gangguan komunikasi verbal- nonverbal dan perilaku tertentu yang cenderung terbatas, mengulang dan tidak mempunyai ketertarikan terhadap hal lainnya (baru). Autisme mempunyai banyak gejala lainnya yang menyertai gangguan tersebut seperti permasalahan penggunaan bahasa, menjalin hubungan dan memiliki interpretasi yang berbeda dalam merespon lingkungan sekitarnya. Autisme diartikan sebagai gangguan syaraf mental di awal perkembangan masa kanak-kanak, meskipun kadang diagnosa autisme itu sendiri tidak terdeteksi ketika sejak masa prasekolah atau masa sekolah. Gejala autisme kemungkinannya telah muncul ketika usia anak mencapai 12-18 bulan. Perilaku karakteristik autisme sendiri mudah terdeteksi pada usia 3 tahun, misalnya dengan mengetahui keterlambatan dalam berbicara atau penguasaan kosa kata pada masa prasekolah. Keterlambatan anak menguasai bahasa sampai usia 5 tahun menjelang sekolah merupakan permasalahan yang sering terjadi pada anak-anak autisme, gejala-gejala yang tampak pada autisme dapat

Autis asdfasfasfafdhfdgdfgesfsdfsdfsdefsf

Embed Size (px)

DESCRIPTION

fsdfsdfsdfsdg sdg sd gfsdgsdgdfsg sgSDGSGSDGsgfsgsdfgsdf sd sdgfsdfsdfsdfsdfsddfsDfsDF DSGdFhgfdgSDG sDgSDg SDG

Citation preview

BAB IPENDAHULUAN

Autisme (autism) merupakan gangguan pada sistem syaraf pusat yang berdampak pada gangguan interaksi sosial, gangguan komunikasi verbal- nonverbal dan perilaku tertentu yang cenderung terbatas, mengulang dan tidak mempunyai ketertarikan terhadap hal lainnya (baru).

Autisme mempunyai banyak gejala lainnya yang menyertai gangguan tersebut seperti permasalahan penggunaan bahasa, menjalin hubungan dan memiliki interpretasi yang berbeda dalam merespon lingkungan sekitarnya.

Autisme diartikan sebagai gangguan syaraf mental di awal perkembangan masa kanak-kanak, meskipun kadang diagnosa autisme itu sendiri tidak terdeteksi ketika sejak masa prasekolah atau masa sekolah. Gejala autisme kemungkinannya telah muncul ketika usia anak mencapai 12-18 bulan. Perilaku karakteristik autisme sendiri mudah terdeteksi pada usia 3 tahun, misalnya dengan mengetahui keterlambatan dalam berbicara atau penguasaan kosa kata pada masa prasekolah.

Keterlambatan anak menguasai bahasa sampai usia 5 tahun menjelang sekolah merupakan permasalahan yang sering terjadi pada anak-anak autisme, gejala-gejala yang tampak pada autisme dapat terlihat secara jelas pada usia 4-5 tahun ketika anak mengalami permasalahan dalam berinteraksi sosial dengan usia sebayanya. Permasalahan tersebut akan terus berlanjut pada fase perkembangan selanjutnya, bahkan seumur hidupnya.

BAB IITINJAUAN PUSTAKAEPIEMIOLOGYSelama beberapa dekade sejak pertama kali dijelaskan oleh Leo Kanner pada tahun 1943, autisme diyakini terjadi dengan angka 4-5 per 10.000 anak. Mungkin, penyebab autisme pada saat itu terutama karena genetik. Dari survei yang dilakukan antara tahun 1966 dan 1998 di 12 negara (misalnya, Amerika Serikat, Inggris, Denmark, Jepang, Swedia, Irlandia, Jerman, Kanada, Perancis, Indonesia, Norwegia, dan Islandia), prevalensi (yaitu, jumlah penyakit yang ada kasus dalam kelompok orang yang ditentukan selama periode waktu tertentu) berkisar antara 0,7-21,1 / 10.000, dengan nilai rata-rata 5,2 / 10.000 (atau 1/1923). Untuk semua bentuk PDD, prevalensi adalah 18,7 / 10.000 (atau 1/535). Di Amerika Serikat, prevalensi (diukur pada tahun 1970) adalah 0,7 / 10.000 (atau 1 / 14.286). Di California, ketika prevalensi 1998 autisme dibandingkan dengan tahun 1987, tercatat prevalensi meningkat 273%; dibandingkan dengan pervasive developmental disorder (PDD) lainnya, peningkatannya 1.966% (Ratajczak, 2011).

Seperti prevalensi, insiden (yaitu, jumlah kasus baru penyakit dalam kelompok orang yang ditentukan selama waktu tertentu) autisme juga meningkat tajam. Sebuah peningkatan 10 kali lipat dalam kejadian di Amerika Serikat dilaporkan pada tahun 2001, dengan tingkat 1/250 pada tahun 1990 dibandingkan dengan 1/2500 di tahun 1970-an. CDC menyatakan bahwa prevalensi autisme meningkat pada tingkat epidemi. Menggunakan metode yang sama untuk analisis data dari kedua tahun, perbandingan prevalensi pada tahun 2002 dengan tahun 2006. Hasilnya 1/150 pada tahun 2002 dan 1/110 untuk tahun 2006. Dari 10 situs yang mengumpulkan data untuk kedua surveilans tahun 2002 dan 2006, 9 mengamati peningkatan prevalensi autisme, dengan kenaikan antara laki-laki di semua situs dan di antara perempuan di 4 / 11 situs, dan variasi antara subkelompok lainnya. Kenaikan rata-rata keseluruhan 2002-2006 adalah 57%. Dalam sebuah survei yang dilakukan orang tua pada tahun 2007 oleh National Survey of Childrens Health, prevalensinya adalah 1/91. Prevalensi resmi terbaru untuk Amerika Serikat adalah rata-rata sekitar 1/110. Sebagai perbandingan, kejadian di Inggris juga meningkat, dengan tingkat lebih tinggi daripada di Amerika Serikat. Pada tahun 2006, prevalensi autisme dalam kelompok anak-anak di South Thames adalah 1/86. Tiga tahun kemudian, sebuah studi berbasis sekolah Cambridgeshire melaporkan prevalensi 1/64 (Ratacjzak, 2011).

ETIOLOGY (Sadock & Sadock, 2015)1. Faktor GenetikBukti saat ini mendukung genetik sebagai dasar pengembangan gangguan autisme dalam banyak kasus, dengan kontribusi hingga empat atau lima gen. Studi pada keluarga telah menunjukkan 50 sampai 200 kali peningkatan tingkat autisme pada saudara kandung dari anak dengan gangguan autis. Selain itu, bahkan apabila tidak terpengaruh dengan autisme, saudara berada pada peningkatan risiko untuk berbagai gangguan perkembangan yang sering berhubungan dengan komunikasi dan keterampilan sosial. Kesulitan-kesulitan ini dalam keluarga non autis orang dengan gangguan autis juga dikenal oleh para peneliti sebagai fenotipe yang luas. Bentuk spesifik diturunkannya genetik autism masih belum jelas. Penelitian saat ini telah mengungkapkan mengarah pada gen kandidat yang akan mendasari perkembangan gangguan autis. Analisis hubungan menunjukkan bahwa daerah kromosom 7, 2, 4, 15, dan 19 cenderung untuk berkontribusi pada dasar genetik autisme. Sekarang tampak bahwa beberapa gen yang terlibat dalam pengembangan autisme. Para peneliti berhipotesis bahwa beberapa bentuk genetik autisme dapat diidentifikasi dalam waktu dekat.2. Faktor BiologisTingginya tingkat keterbelakangan mental pada anak-anak dengan gangguan autis dan tingkat seizure yang lebih tinggi mendukung dasar biologis untuk gangguan autistik. Sekitar 70 persen anak-anak dengan gangguan autis memiliki keterbelakangan mental. Sekitar sepertiga dari anak-anak ini memiliki ringan keterbelakangan mental ringan sampai sedang, dan hampir setengah dari anak-anak ini mengalami keterbelakangan mental berat. Anak-anak dengan gangguan autis dan keterbelakangan mental biasanya menunjukkan defisit lebih jelas pada penalaran abstrak, pemahaman sosial, dan tugas lisan daripada tugas-tugas kinerja, ingatan digit, di mana detail dapat diingat.Orang dengan autisme, 4-32 persen mengalami grand mal seizure pada suatu waktu, dan sekitar 20 sampai 25 persen menunjukkan pembesaran ventrikel pada computed tomography (CT) scan. Berbagai kelainan electroencephalogram (EEG) ditemukan dalam 10 sampai 83 persen dari anak-anak autis, dan meskipun tidak ada temuan EEG khusus untuk gangguan autistik, ada beberapa indikasi kegagalan lateralisasi serebral. Baru-baru ini, studi satu magnetic resonance imaging (MRI) mengungkapkan hipoplasia cerebellar lobulus Vermal VI dan VII, dan studi MRI lain mengungkapkan kelainan kortikal, terutama polymicrogyria, pada beberapa pasien autis. Mereka kelainan mungkin mencerminkan migrasi sel yang tidak normal dalam 6 bulan pertama kehamilan. Sebuah studi otopsi menunjukkan sel-sel Purkinje lebih sedikit, dan studi lain menemukan peningkatan metabolisme kortikal difus selama positron emission tomography (PET) scan.

3. Faktor ImunologiBeberapa laporan menunjukkan bahwa ketidakcocokan imunologis (yaitu, antibodi ibu menyerang janin) dapat berkontribusi untuk gangguan autisme. Limfosit dari beberapa anak autis bereaksi dengan antibodi maternal, yang meningkatkan kemungkinan bahwa jaringan saraf atau ekstraembrionik embrio mungkin rusak selama kehamilan.4. Faktor PerinatalTingginya insiden komplikasi perinatal tampaknya terjadi pada bayi yang kemudian didiagnosis dengan gangguan autis. Perdarahan setelah trimester pertama dan mekonium dalam cairan ketuban telah dilaporkan dalam sejarah anak-anak autis lebih sering daripada populasi umum. Pada periode neonatal, anak-anak autis memiliki insiden respiratory distress syndrome dan anemia neonatal yang lebih tinggi. Pria dengan autisme ditemukan memiliki usia kehamilan yang lebih panjang dan lebih berat saat lahir daripada bayi pada populasi umum. Wanita dengan autisme lebih cenderung memiliki riwayat kehamilan postterm dibandingkan dengan bayi pada populasi umum.5. Faktor neuroanatomiDasar neuroanatomical autisme masih belum diketahui, namun bukti terbaru menunjukkan bahwa pembesaran volume white matter dan grey matter cerebrum, tapi tidak volume cerebellum, yang hadir pada anak-anak dengan gangguan autis pada usia 2 tahun. Lingkar kepala tampak normal saat lahir, dan peningkatan laju pertumbuhan lingkar kepala tampaknya muncul di sekitar usia 12 bulan. Sebelumnya studi MRI membandingkan subjek autis dan kontrol normal mengungkapkan total volume otak lebih besar pada mereka dengan autisme, meskipun anak-anak autis dengan keterbelakangan mental yang berat umumnya memiliki kepala yang lebih kecil. Rata-rata persentase kenaikan terbesar dalam ukuran terjadi di lobus oksipital, lobus parietalis, dan lobus temporal. Tidak ada perbedaan yang ditemukan di lobus frontal. Asal spesifik pembesaran ini tidak diketahui. Peningkatan volume dapat timbul dari tiga mekanisme yang berbeda yang mungkin: peningkatan neurogenesis, penurunan kematian neuronal, dan peningkatan produksi jaringan otak non saraf, seperti sel-sel glial atau pembuluh darah. Pembesaran otak telah disarankan sebagai penanda biologis yang mungkin untuk gangguan autisme.

6. Faktor BiokimiaSejumlah studi dalam beberapa dekade terakhir telah menunjukkan bahwa sekitar sepertiga dari pasien dengan gangguan autis memiliki konsentrasi serotonin plasma yang tinggi. Temuan ini tidak spesifik untuk gangguan autisme, dan orang-orang dengan keterbelakangan mental tanpa gangguan autisme juga menampilkan sifat ini. Beberapa penelitian telah melaporkan bahwa individu autis tanpa keterbelakangan mental memiliki insiden hyperserotonemia yang tinggi. Pada beberapa anak autis, konsentrasi asam homovanillic yang tinggi (metabolit dopamin utama) dalam cairan serebrospinal (CSF) berhubungan dengan peningkatan penarikan dan stereotip. Beberapa bukti menunjukkan bahwa keparahan gejala berkurang sebagai rasio 5-hidroksi asam (5-HIAA, metabolit serotonin) untuk homovanillic asam dalam CSF meningkat. Konsentrasi 5-HIAA di CSF mungkin berbanding terbalik dengan konsentrasi serotonin dalam darah, yang meningkat pada sepertiga pasien gangguan autis, penemuan yang spesifik yang juga terjadi pada orang cacat mental.

7. Faktor Keluarga & PsikososialStudi membandingkan orang tua anak-anak autis dengan orang tua dari anak normal menunjukkan tidak ada perbedaan yang signifikan dalam keterampilan membesarkan anak. Anak-anak dengan gangguan autis, sebagai anak-anak dengan gangguan lain, dapat merespon terhadap stresor psikososial, termasuk perselisihan keluarga, kelahiran saudara baru, atau bergerak keluarga. Beberapa anak dengan gangguan autis mungkin luar biasa sensitif terhadap perubahan kecil dalam keluarga mereka dan lingkungan sekitar.

PATOFISIOLOGIPada pasien dengan autisme, neuroanatomic dan neuroimaging mengungkapkan kelainan konfigurasi seluler di beberapa daerah otak, termasuk lobus frontal dan temporal dan otak kecil. Pembesaran amigdala dan hippokampus yang umum di masa kanak-kanak. Nyata lebih banyak neuron terdapat dalam korteks prefrontal spesimen otopsi dari beberapa anak dengan autisme, dibandingkan dengan mereka yang tidak autisme (Brasic, 2014).

Magnetic resonance imaging (MRI) menunjukkan bukti perbedaan neuroanatomy dan konektivitas pada orang dengan autisme dibandingkan dengan kontrol normal. Secara khusus, penelitian ini telah ditemukan berkurangnya atau konektivitas atipikal di daerah otak frontal, serta penipisan corpus callosum pada anak-anak dan orang dewasa dengan autisme dan kondisi terkait. Yang penting, beberapa perbedaan regional dalam neuroanatomy berkorelasi secara signifikan dengan tingkat keparahan gejala autis tertentu. Sebagai contoh, defisit sosial dan bahasa orang dengan autisme cenderung berhubungan dengan disfungsi lobus frontal dan temporal (Brasic & Mohamed, 2011).

Dalam sebuah studi dari jaringan otak postmortem dari 11 anak autis dan 11 kontrol tidak terpengaruh, peneliti menemukan gangguan fokus arsitektur laminar kortikal di cortexes dari 10 anak-anak dengan autisme dan 1 kontrol, menunjukkan bahwa penyimpangan otak autisme mungkin memiliki asal prenatal. Patch neuron yang abnormal ditemukan di lobus frontal dan temporal, daerah yang terlibat dalam sosial, emosional, fungsi komunikasi, dan bahasa. Karena perubahan itu dalam bentuk patch, para peneliti percaya bahwa pengobatan dini dapat memperbaiki gejala ASD. Pada scan MRI, otak anak-anak dengan gangguan spektrum autisme menunjukkan mielinisasi yang lebih besar dalam korteks medial frontal bilateral dan kurang mielinisasi di persimpangan temporoparietal kiri. Demikian pula, perbedaan khusus kawasan dalam konsentrasi grey matter, yang terdiri dari sel badan saraf, dendrit, unmyelinated axon dan sel glial, juga ditemukan dalam otak penderita autisme (Brasic, 2014).

Spesimen postmortem dari otak orang dengan autisme menunjukkan penurunan reseptor gamma-aminobutyric acid-B (GABAB) di korteks cingulate, wilayah kunci untuk evaluasi hubungan sosial, emosi, dan kognisi, dan gyrus fusiform, yang penting daerah untuk mengevaluasi wajah dan ekspresi wajah. Temuan ini memberikan dasar untuk penyelidikan lebih lanjut autisme dan gangguan perkembangan pervasif lainnya (Oblak, Gibbs, Blatt, 2010).

MANIFESTASI KLINISGejala autisme biasanya timbul sebelum anak mencapai usia 3 tahun. Namun, pada sebagian anak gejala gangguan perkembangan ini sudah terlihat sejak lahir. Gejala yang sangat menonjol adalah tidak adanya kontak mata dan kurangnya minat untuk berinteraksi dengan orang lain. Dalam perkembangannya yang normal, seorang bayi mulai bisa berinteraksi dengan ibunya pada usia 3 - 4 bulan. Bila ibu merangsang bayinya dengan menggerincingkan mainan dan mengajak berbicara, maka bayi tersebut akan berespon dan bereaksi dengan ocehan serta gerakan. Makin lama bayi makin responsive terhadap rangsang dari luar seiring dengan berkembangnya kemampuan sensorik. Pada umur 6-8 bulan ia sudah bisa berinteraksi dan memperhatikan orang yang mengajaknya bermain dan berbicara. Hal ini tidak muncul atau sangat kurang pada bayi autistik. Ia bersikap acuh tidak acuh dan seakan-akan menolak interaksi dengan orang lain. Ia lebih suka bermain dengan dirinya sendiri atau dengan mainannya. Gangguan-gangguan yang terjadi pada anak autism dapat berupa (Volkmar et al, 2005):1. Gangguan Komunikasi: Pada anak tidak tampak usaha untuk berkomunikasi dengan lingkungan sekitar. Tidak mampu untuk memulai suatu pembicaraan yang melibatkan komunikasi dua arah dengan baik. Anak tidak imajinatif dalam hal permainan atau cenderung monoton. Bahasa yang tidak lazim yang selalu diulang-ulang atau stereotipik.2. Gangguan Interaksi Sosial: Anak mengalami kegagalan untuk bertatap mata, menunjukkan wajah yang tidak berekspresi. Ketidakmampuan untuk secara spontan mencari teman untuk berbagi kesenangan dan melakukan sesuatu bersama-sama. Ketidakmampuan anak untuk berempati dan mencoba membaca emosi yang dimunculkan orang lain.3. Gangguan Perilaku Aktivitas: Adanya suatu kelekatan pada rutinitas atau ritual yang tidak berguna. Adanya suatu preokupasi yang sangat terbatas pada sutu pola perilaku yang tidak normal. Adanya gerakan-gerakan motorik aneh yang diulang-ulang, seperti menggoyang-goyang badan dan geleng-geleng kepala.4. Gangguan Sensoris: Sangat sensitif terhadap sentuhan, seperti tidak suka dipeluk. Bila mendengar suara keras langsung menutup telinga. Senang mencium-cium, menjilat mainan atau benda-benda. Tidak sensitif terhadap rasa sakit dan rasa takut.5. Gangguan Pola Bermain Tidak bermain seperti anak-anak pada umumnya. Tidak suka bermain dengan anak sebayanya. Tidak bermain sesuai fungsi mainan. Menyenangi benda-benda yang berputar. Dapat sangat lekat dengan benda-benda tertentu yang dipegang terus dan dibawa kemana-mana.6. Gangguan Emosi: Sering marah-marah tanpa alasan yang jelas, tertawa-tawa dan menangis tanpa alasan. Temper tantrum (mengamuk tak terkendali) jika dilarang. Kadang suka menyerang dan merusak, berperilaku yang menyakiti dirinya sendiri, serta tidak mempunyai empati dan tidak mengerti perasaan orang lain.Gangguan perkembangan di atas tidak semua muncul pada setiap anak autisme, tergantung dari berat ringannya gangguan yang diderita anak.

DIAGNOSISMenurut DSM IV, pada dasarnya gangguan autisme tergolong dalam gangguan perkembangan pervasive, namun bukan satu-satunya golongan yang termasuk dalam gangguan perkembangan pervasif ( Pervasive Developmental Disorder). Namun dalam kenyataannya hampir keseluruhan golongan gangguan perkembangan pervasif disebut oleh para orangtua atau masyarakat sebagai Autisme. Padahal di dalam gangguan perkembangan pervasif meski sama-sama ditandai dengan gangguan dalam beberapa area perkembangan seperti kemampuan interaksi sosial, komunikasi serta munculnya perilaku stereotipe, namun terdapat beberapa perbedaan antar golongan gangguan autistik (Autistic Disorder) dengan gangguan Rett ( Retts Disorder), gangguan disintegatif masa anak ( Childhood Disintegrative Disorder ) dan gangguan Asperger ( Aspergers Disorder ) (Filipek et al, 2000; APA, 2000: Matson et al, 2008).Menurut DSM IV (APA, 2000), kriteria gangguan autistme adalah sebagai berikut :a. Harus ada total 6 gejala dari (1),(2) dan (3), dengan minimal 2 gejala dari (1) dan masing-masing 1 gejala dari ( 2 ) dan (3) :(1). Kelemahan kwalitatif dalam interaksi sosial, yang termanifestasi dalam sedikitnya 2 dari beberapa gejala berikut ini : Kelemahan dalam penggunaan perilaku nonverbal, seperti kontak mata, ekspresi wajah, sikap tubuh, gerak tangan dalam interaksi sosial. Kegagalan dalam mengembangkan hubungan dengan teman sebaya sesuai dengan tingkat perkembangannya. Kurangnya kemampuan untuk berbagi perasaan dan empati dengan orang lain. Kurang mampu mengadakan hubungan sosial dan emosional yang timbal balik.(2). Kelemahan kualitatif dalam bidang komunikasi. Minimal harus ada 1 dari gejala berikut ini: Perkembangan bahasa lisan ( bicara) terlambat atau sama sekali tidak berkembang dan anak tidak mencari jalan untuk berkomunikasi secara non verbal. Bila anak bisa bicara, maka bicaranya tidak digunakan untuk berkomunikasi Sering menggunakan bahasa yang aneh, stereotype dan berulangulang. Kurang mampu bermain imajinatif (make believe play) atau permainan imitasi sosial lainnya sesuai dengan taraf perkembangannya. (3). Pola perilaku serta minat dan kegiatan yang terbatas, berulang. Minimal harus ada 1 dari gejala berikut ini : Preokupasi terhadap satu atau lebih kegiatan dengan fokus dan intensitas yang abnormal/ berlebihan. Terpaku pada suatu kegiatan ritualistik atau rutinitas Gerakan-gerakan fisik yang aneh dan berulang-ulang seperti menggerak-gerakkan tangan, bertepuk tangan, menggerakkan tubuh. Sikap tertarik yang sangat kuat/ preokupasi dengan bagianbagian tertentu dari obyek. b. Keterlambatan atau abnormalitas muncul sebelum usia 3 tahun minimal pada salah satu bidang (1) interaksi sosial, (2) kemampuan bahasa dan komunikasi, (3) cara bermain simbolik dan imajinatif.c. Bukan disebabkan oleh Sindroma Rett atau Gangguan Disintegratif Masa Anak. Dengan kriteria diagnostik tersebut, tidak sulit untuk menentukan apakah seorang anak termasuk penyandang autisme atau gangguan perkembangan lainnya. Namun kesalahan diagnosis masih sering terjadi terutama pada autisme ringan yang umumnya disebabkan adanya tumpang tindih gejala. Sebagai contoh, penyandang hiperaktivitas dengan konsentrasi yang kurang terfokus kadang kala juga menunjukkan keterlambatan bicara dan bila dipanggil tidak selalu berespon sesuai yang diharapkan. Demikian juga bagi penderita retardasi mental yang moderate, severe dan profound mereka menunjukkan gejala yang hampir sama dengan autisme seperti keterlambatan bicara, kurang adaptif dan impulsive (Filipek et al, 2000; APA, 2000).TATALAKSANAAutisme merupakan gangguan neurobiologis yang menetap. Walaupun autisme adalah gangguan yang tidak bisa disembuhkan (not curable), namun bisa diterapi ( treatable ). Semakin dini terdiagnosis dan terintervensi, semakin besar kesempatan untuk sembuh. Penyandang autisme dinyatakan sembuh bila gejalanya tidak terlihat lagi sehingga ia mampu hidup dan berbaur secara normal dalam masyarakat luas. Kesembuhan pada pasien autisme dipengaruhi oleh berbagai faktor yaitu:a. Berat ringannya gejala atau berat ringannya kelainan otak.b. Usia, diagnosis dini sangat penting oleh karena semakin muda umur anak saat dimulainya terapi semakin besar kemungkinan untuk berhasil.c. Kecerdasan, makin cerdas anak tersebut makin baik prognosisnyad. Bicara dan bahasa, 20 % penyandang autis tidak mampu berbicara seumur hidup, sedangkan sisanya mempunyai kemampuan bicara dengan kefasihan yang berbeda-beda. Mereka dengan kemampuan bicara yang baik mempunyai prognosis yang lebih baik.e. Terapi yang intensif dan terpadu.Jenis-Jenis TerapiTerapi perlu diberikan untuk membangun kondisi yang lebih baik. Terapi juga harus rutin dilakukan agar apa yang menjadi kekurangan anak dapat terpenuhi secara bertahap. Terapi perlu diberikan sedini mungkin sebelum anak berusia 5 tahun. Sebab, perkembangan pesat otak anak umumnya terjadi pada usia sebelum 5 tahun, puncaknya pada usia 2-3 tahun. Beberapa terapi yang ditawarkan oleh para ahli adalah sebagai berikut (Levy & Hyman, 2008; Lofthouse et al, 2012).a. Applied Behavioral Analysis (ABA)ABA adalah jenis terapi yang telah lama dipergunakan dalam penatalaksanaan pasien autism. Sistem yang dipakai adalah memberi pelatihan khusus pada anak dengan memberikan positive reinforcement (hadiah/pujian). Saat ini terapi inilah yang paling banyak dipakai di Indonesia.

b. Terapi WicaraTerapi wicara (speech therapy) merupakan suatu keharusan, karena anak autis mempunyai keterlambatan bicara dan kesulitan berbahasa. Tujuannya adalah untuk melancarkan otot-otot mulut agar dapat berbicara lebih baik. Hampir semua anak dengan autisme mempunyai kesulitan dalam bicara dan berbahasa. Biasanya hal inilah yang paling menonjol, banyak pula individu autis yang non-verbal atau kemampuan bicaranya sangat kurang. Kadang-kadang bicaranya cukup berkembang, namun mereka tidak mampu untuk berkomunikasi/berinteraksi dengan orang lain. Dalam hal ini terapi wicara dan berbahasa akan sangat menolong.c. Terapi OkupasiHampir semua anak autistik mempunyai keterlambatan dalam perkembangan motorik halus. Gerak-geriknya kaku dan kasar, mereka kesulitan untuk memegang pinsil dengan cara yang benar, kesulitan untuk memegang sendok dan menyuap makanan kemulutnya, dan lain sebagainya. Terapi okupasi ini sangat penting untuk melatih mempergunakan otot-otot halus anak dengan benar. Pada terapi okupasi terapis menyediakan waktu dan tempat secara khusus kepada anak untuk belajar bagaimana cara yang benar memegang benda.d. Terapi FisikAutisme adalah suatu gangguan perkembangan pervasif. Banyak diantara individu autistic mempunyai gangguan perkembangan dalam motorik kasarnya. Kadang-kadang tonus ototnya lembek sehingga jalannya kurang kuat. Fisioterapi dan terapi integrasi sensoris akan sangat banyak menolong untuk menguatkan otot-ototnya dan memperbaiki keseimbangan tubuhnyae. Terapi SosialKekurangan yang paling mendasar bagi individu autisme adalah dalam bidang komunikasi dan interaksi. Banyak anak-anak ini membutuhkan pertolongan dalam ketrampilan berkomunikasi 2 arah, membuat teman dan main bersama ditempat bermain. Seorang terapis sosial membantu dengan memberikan fasilitas pada mereka untuk bergaul dengan teman-teman sebaya dan mengajari cara-caranya. f. Terapi Integrasi SensoriAnak autis memiliki kekurangan dalam kemampuan mengolah, mengartikan seluruh rangsangan sensoris yang diterima oleh tubuh meupun lingkungan dan menghasilkan respon yang terarah. Terapi integrasi sosial ini berfungsi meningkatkan kematangan susunan saraf pusat. Aktivitas terapi ini merangsang koneksi sinaptik yang lebih kompleks sehingga dapat meningkatkan kapasitas untuk belajar.g. Terapi BermainInternational Association for Play Therapy (APT), sebuah asosiasi terapi bermain yang berpusat di Amerika, mendefinisikan terapi bermain sebagai penggunaan secara sistematik dari model teoritis untuk memantapkan proses interpersonal. Terapi bermain ini merupakan pemanfaatan pola permainan sebagai media yang efektif melalui kebebasan eksplorasi dan ekspresi diri.Bermain merupakan bagian masa kanak-kanak yang merupakan media untuk memfasilitasi ekspresi bahasa, ketrampilan komunikasi, perkembangan emosi, keterampilan sosial, keterampilan pengambilan keputusan dan perkembangan kognitif pada anak-anak. Bermain pada anak-anak seperti berbicara pada orang dewasa.h. Terapi PerilakuTerapi perilaku memfokuskan penanganan pada pemberian reinforcement positif tiap kali anak memberikan respon benar sesuai instruksi yang diberikan. Tetapi bila anak memberikan respon negatif atau tidak merespon sama sekali maka anak tersebut tidak mendapatkan reinforcement postif yang disukai. Tujuan terapi ini adalah untuk meningkatkan pemahaman dan kepatuhan anak terhadap aturan.i. Terapi PerkembanganBeberapa terapi perkembangan adalah Floortime, Son-rise dan RDI (Relationship Developmental Intervention).

Floortime dilakukan oleh orang tua untuk membantu melakukan interaksi dan kemampuan bicara RDI mencoba membantu anak autis menjalin interaksi positif dengan orang lain meskipun tanpa menggunakan bahasa. Son-rise merupakan terapi untuk mempelajari minat anak, kekuatannya dan tingkat perkembangannya, kemudian ditingkatkan kemampuan sosial, emosional dan Intelektualnya.j. Terapi VisualIndividu autistik lebih mudah belajar dengan melihat (visual learners/visual thinkers). Hal inilah yang kemudian dipakai untuk mengembangkan metode belajar komunikasi melalui gambar-gambar, misalnya dengan PECS (Picture Exchange Communication System).k. Terapi MusikTerapi musik adalah terapi menggunakan musik untuk membantu seseorang dalam fungsi kognitif, psikologis, fisik, perilaku dan social yang mengalami hambatan maupun kecacatan.terapi musik memiliki manfaat sebagai berikut: Memperbaiki self-awareness Meningkatkan hubungan sosial, penyesuaian diri, lebih mandiri dan peduli dengan orang lain Mangakomodasi dan membangun gaya komunikasi Membangun identifikasi dan ekspresi emosi yang sesuail. Terapi MedikamentosaTerapi ini dilakukan dengan pemberian obat-obatan oleh dokter yang berwenang. Gejala yang sebaiknya dihilangkan dengan obat adalah hiperaktivitas yang hebat, menyakiti diri sendiri, menyakiti orang lain (agresif), merusak (destruktif) dan gangguan tidur. Sampai saat ini, tidak ada obat yang dibuat khusus untuk menyembuhkan autisme. Kebanyakan obat dipakai untuk menghilangkan gejala dan gangguan pada susunan saraf pusat.Beberapa jenis obat memiliki efek yang sangat bagus untuk menimbulkan respon anak terhadap dunia luar. Dengan pemakaian obat, intervensi dini untuk mengobati anak autis akan lebih cepat berhasil.n. Terapi Melalui MakananTerapi melalui makanan (diet therapy) diberikan pada anak-anak dengan masalah alergi makanan tertentu. Terapi ini memberikan solusi tepat bagi orangtua untuk menyiasati menu yang cocok dan sesuai bagi anaknya sesuai dengan petunjuk ahli mengenai gizi makanan.Diet yang sering dilakukan pada anak autis adalah GFCF (Glutein Free Casein Free). Penderita autisme memang tidak disarankam untuk mengasup makanan dengan kadar gula tinggi. Hal ini berpengaruh pada sifat hiperaktif sebagian besar dari mereka.Pemilihan terapi tersebut diatas yang diberikan pada anak, tergantung dari kondisi kemampuan dan kebutuhan anak. Jadi tidak semua terapi sesuai dengan kebutuhan anak, namun terapi utama bagi anak adalah terapi perilaku, terapi wicara dan terapi okupasi (Levy & Hyman, 2008).TERAPI NUTRISI AUTISME

Diet yang umum dilakukan adalah Diet Gluten Free Casein Free (GFCF). Pada umumnya, orangtua mulai dengan diet tanpa gluten dan kasein, yang berarti menghindari makanan dan minuman yang mengandung gluten dan kasein. Suatu penelitian menemukan kandungan peptida yang tidak normal dalam urine penderita autisme. Sebagian besar dari peptida yang terkandung dalam urine tersebut terbentuk karena penderita mengonsumsi gluten atau kasein, atau keduanya. Gluten adalah protein yang terkandung dalam gandum, sedangkan kasein adalah protein yang ditemukan di semua susu hewan dan produk-produk olahannya. Bagian yang tidak dapat terpisah dari peptida, yang disebut beta-casomorphin dan gliadinomorphin, adalah zat yang mirip dengan opioid. Zat ini memiliki efek sama seperti heroin atau morfin dan akan menimbulkan gejala sama seperti pecandu heroin. Maka dari penelitian tersebut disimpulkan anak-anak dan orang dewasa yang urinenya banyak mengandung peptida dari gluten dan kasein kondisinya hanya akan membaik jika setiap sumber kasein dan gluten dihilangkan dari diet makanan dan lingkungan mereka.Diet GFCF dilaksanakan pada anak autisme dengan cara menghindari sumber makanan yang mengandung protein gluten dan kasein. Susu sapi mengandung protein kasein sedangkan terigu mengandung protein gluten. Diet GFCF adalah terapi yang dilaksanakan dari dalam tubuh dan apabila dilaksanakan dengan terapi lain, seperti terapi perilaku, terapi wicara, dan terapi okupasi yang bersifat fisik akan lebih baik. Setelah mengikuti dan menjalani diet GFCF banyak anak autisme mengalami perkembangan pesat dalam kemampuan bersosialisasi dan mengejar ketinggalan dari anak-anak lain.Seperti yang kita ketahui, penerapan diet ini tidak lah mudah karena beberapa produk makanan seperti susu dan roti mengandung glutein dan kasein, sehingga anak autism akan cenderung mengalami defisiensi kalsium, vitamin A, vitamin B, vitamin D, serta kekurangan kalori.Berikut Suplemen Makanan yang direkomendasikan untuk anak autism (Zahra dan Warsiki, 2012) :

a. Vitamin B6 dan MagnesiumDibutuhkan dosis harian Vitamin B6 300-50 mg diberikan bersamaan dengan 200 mg magnesium. Manfaatnya mencakup peningkatan pada kontak mata, bertambah minatnya terhadap dunia sekitar mereka, berkurangnya tantrum, dapat meningkatkan kemampuan berbicara, merangsang perkembangan bicara (speech), mendukung sistem imun, proses visual, sensori, dan kemampuan kognitif, mendukung proses detoksifikasi, serta mendukung sistem pencernaan.

b. Seng /ZincPenambahan seng berhubungan dengan peningkatan pertumbuhan terutama diantara anak-anak yang terhambat pertumbuhannya. Seng juga mengurangi jangka waktu dan tingkat diare kronis serta akut. Dosis yang umum diberikan adalah 25-50 mg (2-3 mg per kilogram berat badan), namun jika anak autisme tersebut juga memiliki kadar copper/ tembaga yang tinggi maka dosis seng dapat ditingkatkan karena bermanfaat untuk melawan dan menurunkan kadar tembaganya karena seng dapat berfungsi untuk proses metallothioneine yang diperlukan untuk melawan radikal bebas dan mengeluarkan racun logam berat dari tubuh.

c. KalsiumAnak-anak yang kekurangan kalsium lebih cenderung menunjukkan sifat mudah tersinggung, mengalami gangguan tidur, amarah dan tidak mampu memberikan perhatian pada sesuatu. Anak-anak membutuhkan kalsium 800 200 mg perhari terutama yang sedang menjalani diet GFCF.

d. SeleniumSelenium adalah mineral dengan sifat antioksidan yang bekerja sama dengan vitamin E untuk mencegah radikal bebas yang dapat merusak membran sel. Kekurangan selenium menyebabkan penurunan fungsi imun dan berakibat meningkatnya kerentanan pada infeksi karena penurunan kadar sel darah putih. Total pemberian selenium berkisar 100- 200 mcg/hari, hati-hati agar tidak overdosis karena dapat mengakibatkan toksik bagi tubuh.

e. Vitamin AVitamin A berperan sebagai antioksidan dan meningkatkan imun. Vitamin A dalam bentuk alami dapat ditemukan pada cod liver oil yang dapat diberikan pada anak autisme dengan pemberian suplemen cod liver oil (5000 IU/hari) sehingga dapat meningkatkan fungsi penglihatan, persepsi sensorik, pengolahan bahasa dan perhatian.

f. Vitamin C dan EVitamin C bekerja secara sinergis dengan vitamin E sehingga keduanya harus diberikan secara bersamaan. Vitamin C dianjurkan hingga 1000 mg per hari atau lebih dan vitamin E 200- 600 IU/ hari. Vitamin E merupakan antioksidan utama yang sangat penting, berfungsi untuk menjaga membran sel dari kerusakan oksidatif, dapat memperbaiki metabolisme dan penerimaan vitamin D serta kalsium, meningkatkan sirkulasi, dan memperbaiki jaringan tubuh.

g. Asam Lemak EssentialAsam lemak Omega-3 sangat vital untuk perkembangan normal otak dan pemeliharaan neurotransmitter yang diperlukan untuk mempengaruhi perilaku dan cara belajar serta dapat meningkatkan perhatian. Asam lemak Omega-3 essential juga membantu meningkatkan respon imun, membantu melawan inflamasi di sistem pencernaan. Dosis yang dinjurkan untuk EPA (Eicosapentaenoic Acid) 500-1000 mg/hari, DHA (Docosahexaenoic Acid )250-500 mg/hari dan GLA (Gamma Linolenic Acid ) 50-100 mg/hari.

h. Asam aminoFungsi asam amino, diantaranya untuk membangun struktur protein otot, membuat enzim yang mengontrol setiap reaksi kimia dalam tubuh, membuat variasi neurotransmitter otak dan hormon-hormon, berperan dalam detoksifikasi dan proteksi anti oksidan. Kekurangan asam amino dapat menyebabkan efek yang merugikan seperti gangguan belajar dan perilaku.Pada anak autisme dibutuhkan 700 mg suplemen asam amino setiap harinya.

PROGNOSISSebuah studi follow-up selama dua puluh tahun pada orang dewasa dengan autism. Lima puluh empat persen dipekerjakan dalam pekerjaan penuh atau paruh waktu. Meskipun demikian, hanya sekitar 12% hidup mandiri dan 56% tinggal bersama orang tua mereka. (Farley, 2009)Sekitar 75% dari anak-anak dengan baik cacat intelektual dan gangguan spektrum autisme akan membutuhkan dukungan sosial dan pendidikan jangka panjang. (Mefford, 2012)KOMPLIKASIAnak-anak dengan ASD biasanya menderita gejala gastrointestinal, seperti sembelit, diare, muntah, dan nyeri perut, sering, dan mungkin lebih sering, daripada anak-anak lain. Prevalensi telah dilaporkan mencapai 70% dalam beberapa studi. (Buie, 2010)

DAFTAR PUSTAKAAmerican Psychiatric Association (APA). 2000. Diagnostic and statistical manual of mental disorders (4th ed., text rev.). Washington, DC: Author.Brasic JR, Mohamed M, 2011. Human brain imaging of autism spectrum disorders. In: Seeman P, Madras B, Eds. Imaging of the Human Brain in Health and Disease. Neuroscience-Net, LLC. Available from: http://neuroscience.com/books/book-1-imaging-human-brain-health-and-disease/human-brain-imaging-autism-spectrum-disorders. (Accessed: 2015, April 14)Brasic JR, (2014, Desember 15 Last Updated). Autism (Emedicine), Available from: http://emedicine.medscape.com/article/912781-overview#aw2aab6b2b3aa. (Accessed: 2015, April 14)Buei T, et al. 2010. Evaluation, Diagnosis, and Treatment of Gastrointestinal Disorders in Individuals With ASDs: A Consensus Report http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC1124597/ (Accessed: 2015, April 14)Farley, M., et al. 2009. Twenty-Year Outcome for Individuals With Autism and Averageor Near-Average Cognitive Abilities Available at: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2534675/ (Accessed: 2015, April 14)Filipek et al, 2000. Practice parameter: Screening and diagnosis of autism. American Academy of Neurology and the Child Neurology Society. 55:468 479.Levy SE, Hyman SL. 2008. Complementary and Alternative Medicine Treatments for Children with Autism Spectrum Disorders,Child and adolescent psychiatric clinics of North America.Available at: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2597185/Matson J L et al. 2008. Early identication and diagnosis in autism spectrum disorders in young children and infants: How early is too early?. Research in Autism Spectrum Disorders (2): 75-84.Mefford, H., et al. 2012. Genomics, Intellectual Disability, and Autism Available at: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2568246/ (Accessed: 2015, April 14)Nicholas Lofthouse, Robert H, Elizabeth H, L, et al. 2012. A Review of Complementary and Alternative Treatments for Autism Spectrum Disorders,Autism Research and Treatment. Available at: http://www.hindawi.com/journals/aurt/2012/870391 (Accessed: 2015, April 14)Oblak AL, Gibbs TT, Blatt GJ, 2010. Decreased GABA(B) receptors in the cingulate cortex and fusiform gyrus in autism. J Neurochem. Sep 1 2010;114(5):1414-23. Available from: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2923229/. (Accessed: 2015, April 14)

Ratajczak HV, 2011. Theoretical Aspects of Autism: Causes-A Review. Journal of Immunotoxicology, 2011; 8(1): 6879. Available from: http://www.rescuepost.com/files/theoretical-aspects-of-autism-causes-a-review1.pdf. (Accessed: 2015, April 14)Sadock BJ, Sadock, BA, 2015. Kaplan & Sadocks Synopsis of Psychiatry: Behavioral Sciences/Clinical Psychiatry. 11th ed. New York, Lipincott Williams & Wilkins.Volkmar F et al. 2005. Autism in Infancy and Early Childhood. Annu. Rev. Psychol. 56:31536.