Upload
others
View
7
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kesadaran bernegara merupakan tujuan kegiatan dan fungsi
pemerintah dan pihak lain merupakan syarat bagi tercapainya tujuan
tujuan Negara yang telah ditetapkan. Masyarakat yang sudah tinggi
kesadaran bernegara akan ikut berpartisipasi dan membantu pemerintah
dalam melaksanakan kegiatan-kegiatannya, oleh karena kegiatan tersebut
ditujukan untuk kepentingan masyarakat. Bantuan dan partisipasi tersebut
diwujudkan dalam bentuk melaksanakan tugas yang dibebankan oleh
Negara, membantu masyarakat dalam mengatasi masalah gangguan
keamanan, melakukan pembelaan Negara, menbayar pajak dan
sebagainya.
Sebaliknya tugas pemerintah ditujukan untuk meningkatkan
kesadaran masyarakat untuk bernegara. Penyelenggaraan pendidikan
disekolah, pendidikan informal melalui media (telivisi, media massa, dan
radio), peningkatan kesehatan masyarakat, pemilihan umum, dan
2
sebagainya juga ditujukan juga untuk meningkatkan kesadaran bernegara
masyarakat. Dalam hal ini kebijakan perpajakan dapat juga dijadikan alat
atau instrument untuk melaksanakan atau meningkatkan kesadaran
bernegara tersebut.
Penerimaan pajak merupakan salah satu sumber penerimaan yang
penting bagi Negara dalam membiayai pengeluaran yang harus dilakukan
untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Karena itu pemerintah
harus melakukan usaha untuk memungut pajak dari masyarakat dan
senantiasa berusaha untuk meningkatkan kesadaran masyarakat
membayar pajak. Kesadaran masyarakat membayar pajak sangat
dipengaruhi oleh tingkat pendidikan dan pengetahuan masyarakat.
Semakin tinggi pengetahuan masyarakat maka akan semakin mudah bagi
pemerintah untuk menyadarkan masyarakat, bahwa dalam kehidupan
tidak ada satupun dapat diperoleh tanpa membayar, atau mengorbankan
sesuatu. Semua yang dinikmati oleh seseorang akan dibayar sendiri oleh
yang bersangkutan, atau bisa pula bebannya dialihkan kepada pihak lain.
Seseorang yang mengendarai mobil pada suatu kota yang belum pernah
disinggahinya sebelumnya dapat melewati jalan raya yang cukup baik
yang dibangun oleh pemerintah, tanpa harus membayar sejumlah biaya
sama sekali. Walaupun orang tersebut tidak mengeluarkan pengorbanan
3
untuk ikut serta membangun jalan tersebut, tetapi ia dapat menikmatinya
secara gratis. Tanpa disadarinya sebenarnya jalan tersebut dibiayai oleh
sekelompok masyarakat lain yang membayar pajak kepada pemerintah,
yang mungkin tidak mendapatkan manfaat langsung (pada saat itu) dari
dibangunnya jalan tersebut. 1
Negara Indonesia adalah Negara kesatuan yang berbentuk
republik. Sebagai Negara kesatuan, bangsa Indonesia mempunyai tujuan
Negara seperti halnya seperti Negara-negara lain. Tujuan Negara
Indonesia dituangkan dalam pembukuan Undang-undang Dasar 1945
alenia IV yaitu :
Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah
Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan
bangsa dan ikut serta melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan
perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Dalam rangka mewujudkan tujuan nasional tersebut, maka
pemerintah menempuh langkah dengan jalan melaksanakan pembangunan
di semua sektor. Pembangunan nasional yang sedang dilaksanakan
1 Siahaan, Marihot Pahala, 2010. Hukum Pajak Elementer. Yogyakarta: Graha
Ilmu
4
pemerintah ini hakekatnya adalah pembangunan manusia seutuhnya dan
pembangunan manusia seluruhnya, dengan berdasarkan Pancasila dan
Undang-undang Dasar 1945 guna mencapai tujuan nasional yaitu
mewujudkan masyarakat adil dan makmur, material dan spiritual. Dalam
rangka mewujudkan tujuan nasional tersebut, maka pemerintah menempuh
langkah dengan jalan melaksanakan pembangunan disemua bidang.
Dengan adanya program pembangunan ini pemerintah akan banyak
membutuhkan dana untuk pelaksanaannya. Oleh sebab itu untuk
mendistribusikan beban pemerintah kepada masyarakat maka perlu
digalakkan sumber penerimaan Negara melalui pajak. Oleh karena itu
biaya-biaya untuk melaksanakan pembangunan akan dapat terpenuhi
dengan berbagai sumber penerimaan Negara melalui:
1. Bumi, air dan kekayaan alam
2. Pajak-pajak dan bea cukai
3. Hasil perusahaan Negara
4. Dan lain-lain seperti denda-denda dan keuntungan saham yang
dipegangnya, deviden, sertifikat dan sebagainya.
Dari teori tersebut diatas, terlihat bahwa sumber penerimaan
Negara berasal dari sektor pajak dan non pajak. Seiring dengan
5
perkembangam zaman ini, pemerintah lebih menekankan penerimaan
Negara dari sektor pajak mengingat sektor pajak sangat dominan bagi
kepentingan pembangunan.
Upaya pemerintah untuk mendapatkan sektor pajak sebagai salah
satu sumber pendapatan Negara yang strategis semakin tampak setelah
dikeluarkan UU No.9 tahun 1994 tentang ketentuan umum dan tatacara
perpajakan, UU No.10 tahun 1994 tentang pajak penghasilan UU No.11
tahun 1994 tentang Ppn dan penjualan atas barang mewah dan sekaligus
UU No.12 tahun 1994 tentang pajak bumi dan bangunan. Serta
diadakannya penyuluhan-penyuluhan mengenai pajak, akan tetapi
penyuluhan tersebut hanya terbatas pada pelaksanaan perpajakan saja,
sehingga masalah kesadaran utuk membayar pajak perlu diadakan
pengkajian lebih lanjut.
Pada dasarnya faktor yang menghambat pembayar pajak adalah
masalah kesadaran masyarakat, dimana perlu diberi pengarahan bahwa
pajak itu bukan semata-mata merupakan kewajiban setiap warga Negara,
tetapi juga merupakan hak setiap masyarakat untuk ikut serta dalam
pembiayaan Negara melalui pembangunan. Berdasarkan kenyataan
sekarang ini, bahwa sebagian masyarakat Desa Langensari mata
6
pencahariannya adalah petani, pedagang, supir dan lain-lain sehingga
pendapatan masyarakat masih relatif rendah, maka dana yang terhimpun
dari peran serta masyarakat melalui pajak akan mengalami banyak kendala
yaitu pembayaran pajak tidak tepat waktu atau menunggak sehingga
pelaksanaan pembangunan akan terlambat atau tidak lancar.
Selain itu juga masalah pendidikan rakyat dimana lulusan
masyarakat Desa Langensari sebagian besar lulusan Sekolah Dasar (SD)
sedangkan lulusan Sekolah Menengah Pertama (SMP), Sekolah Menengah
Atas (SMA) dan Perguruan Tinggi hanya sebagian kecil saja, dan bahkan
ada masyarakat yang tidak bersekolah. Dalam hal ini pendidikan wajib
pajak yang belum maju atau masih terbelakang akibatnya pandangan
mengenai hakekat dan arti pembayaran pajak serta kesadaran dalam
melaksanakan kewajiban dan mengalami kesulitan, sehingga
menyebabkan program pembangunan akan mengalami hambatan.
Kesadaran membayar pajak secara makro akan melahirkan
moralita perpajakan (tax morality) masyarakat. Masyarakat yang memiliki
moralita perpajakan yang tinggi akan merasa membayar pajak merupakan
kewajiban kenegaraan yang harus dipenuhi sebagai anggota dari
organisasi Negara yang telah memberikan perlindungan dan fasilitas
7
kepadanya. Mereka akan merasa bahwa pajak sangat diperlukan oleh
Negara dalam menjalankan tugas dan fungsinya, dan sebagai anggota
masyarakat ia wajib untuk mendukung setiap kegiatan pemerintah.
Masyarakat akan mau membayar pajak dengan rela karena ia tahu bahwa
hasil dari pajak yang dibayarkannya akan digunakan oleh pemerintah
untuk melaksanakan fungsinya mengayomi masyarakat, yang berarti ia
juga akan memperoleh manfaat dari pembayaran pajak yang
dilakukannya.
Berdasarkan keterangan dari bapak kepala Desa langensari bahwa
pada tahun 2015 pembayaran pajak bumi dan bangunan di Desa
Langensari mengalami banyak kendala yaitu pembayaran pajak bumi dan
bangunan yang tidak tepat waktu ataupun terlambat, prosentase wajib
pajak yang menunggak kurang lebih 25% dari jumlah wajib pajak yang
membayar tepat pada waktunya. Oleh karena itu masalah kesadaran dalam
rangka meningkatkan pendapatan yang berguna bagi pembangunan
desanya dapat dilakukan melalui Hpembayaran pajak tepat pada
waktunya, sehingga pemerintah dapat memanfaatkannya untuk
pembangunan. Salah satu jenis pajak yang mendukung bagi terlaksananya
pembangunan di Desa Langensari, Kecamatan Saketi Kabupaten
8
Pandeglang adalah pajak bumi dan bangunan. Dalam hal ini kesadaran
masyarakat untuk membayar pajak bumi dan bangunan perlu adanya
peningkatan baik kesadaran masyarakat, prosedur perpajakan terus
disempurkan dan aparatur perpajakan makin diarahkan agar dapat
mendorong pendayagunaan dan pengembangan daerahnya.
Pajak bumi dan bangunan (PBB) merupakan pajak pusat yang
objeknya berada didaerah. Hasil penerimaan PBB merupakan penerimaan
Negara (dalam hal ini pemerintah pusat) dan disetor sepenuhnya ke
rekening Kas Negara. Dana bagi hasil dengan penerimaan pajak bumi dan
bangunan akan dibagi untuk pemerintah pusat dan daerah dengan rincian
sebagai berikut:
1) 90% (Sembilan puluh persen) untuk daerah
2) 10% (sepuluh persen) untuk pusat
Jumlah 90% (Sembilan puluh persen) bagian daerah dibagi dengan rincian
sebagai berikut:
a) 16,2% (enam belas koma dua persen) untuk daerah Provinsi
yang bersangkutan dan disalurkan ke Kas Umum Daerah
Provinsi.
9
b) 64,8% (enam puluh empat koma delapan persen) untuk daerah
Kabupaten/Kota yang bersangkutan dan disalurkan ke
Rekening Kas Umum Daerah Kabupaten/Kota.
c) 9% (Sembilan persen) untuk biaya pemungutan yang dibagikan
kepada Direktorat Jenderal Pajak dan Daerah.
Jumlah 10% (sepuluh persen) dalam Undang-undang No.12 tahun 1994
tentang pajak bumi dan bangunan, bagian pemerintah pusat dibagikan
kepada seluruh daerah Kabupaten/Kota yang didasarkan atas realisasi
penerimaan PBB tahun anggaran berjalan dengan rincian sebagai berikut:
a) 65% (enam puluh lima persen) dibagikan secara merata kepada
seluruh daerah Kabupaten/Kota.
b) 35% (tiga puluh lima persen) dibagikan sebagai intensif kepada
daerah Kabupaten/Kota yang realisasi tahun sebelumnya
mencapai/melampaui rencana penerimaan sektor tertentu.2
Berdasarkan latar belakang yang ada, maka penulis tertarik untuk
melakukan penelitian dengan judul kesadaran masyarakat Desa
Langensari membyar pajak terhadap pembayaran pajak bumi dan
2 Mardiasmo, Pajak di Indonesia. 2009. Jakarta: Graha Ilmu
10
bangunan (PBB) di Desa Langensari Kecamatan Saketi Kabupaten
Pandeglang Provinsi Banten.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka dapat
dirumuskan masalah penelitian sebagai berikut :
1. Bagaimana Kesadaran masyarakat Desa Langensari membayar
pajak terhadap pembayaran pajak bumi dan bangunan ?
2. Bagaimana Hukum Pajak menurut Islam ?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka tujuan penelitian ini
adalah sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui kesadaran masyarakat Desa Langensari
membayar terhadap pembayaran pajak Bumi dan Bangunan.
2. Untuk mengetahui hukum pajak menurut Islam.
D. Kerangka Pemikiran
Pajak berasal dari kata al-dharibah yang secara etimologis berarti
beban, seperti dalam kalimat :
11
“ Ia telah membebankan kepadanya upeti untuk dibayarkan.”
Kadang pula diartikan pula dengan al-jizyah yang berarti pajak tanah
(upeti), yang diserahkan oleh ahli dzimmah (orang yang tetap dalam
kekafiran, tetapi tunduk dalam aturan pemerintah Islam) kepada
pemerintahan Islam.3
Allah Swt berfirman dalam surat Al-Baqarah ayat 177
3 Gusfahmi, S.E.,M.A. 2011. Pajak Menurut SYARIAH. Jakarta: Rajawali Pers
12
Artinya :”Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu
suatu kebajikan, akan tetapi Sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman
kepada Allah, hari Kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi
dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak
yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan
orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya,
mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang
menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam
kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. mereka Itulah orang-
orang yang benar (imannya); dan mereka Itulah orang-orang yang
bertakwa”.(Q.S Al-Baqarah: 177)4
Pengertian Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) adalah Pajak Negara
yang dikenakan terhadap Bumi dan atau Bangunan berdasarkan Undang-
undang No. 12 tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan
sebagaimana telah dirubah dengan Undang-undang No. 20 tahun 2000.
Sedangkan objek PBB adalah “Bumi dan atau bangunan”.
4 Yayasan Penyelenggara Penterjemah Al-Quran Departemen Agama RI, Al-
Quran dan Terjemahnya (Semarang: Diponegoro: 2012) h. 21.
13
Bumi adalah permukaan bumi (tanah dan perairan) dan tubuh bumi
yang ada dibawahnya. Contohnya: sawah, lading, kebun, tanah,
pekarangan, tambang dan lain-lain. Bangunan adalah konstruksi teknik
yang ditanamkan atau diletakkan secara tetap pada tanah atau perairan
diwilayah Republik Indonesia. Contohnya: rumah tempat tinggal,
bangunan tempat usaha, gedung bertingkat, pusat perbelanjaan, jalan tol,
kolam renang, anjungan minyak lepas pantai, dan lain-lain. Jadi dapat
disimpulkan dari beberapa pengertian diatas pajak bumi dan bangunan
adalah pajak Negara yang sebagian besar penerimaannya merupakan
pendapatan daerah yang antara lain dipergunakan untuk penyediaan
fasilitas yang juga dinikmati oleh pemerintah pusat dan pemerintah
daerah.5
Pajak pada dasarnya nerupakan peralihan sebagian kekayaan dari
masyarakat kepada Negara yang dimungkinkan oleh undang-undang
pajak. Peralihan kekayaan tersebut membuat pajak dipandang dari dua sisi
yang berbeda. Bagi masyarakat pajak sering kali dianggap sebagai beban,
mengingat setiap anggota masyarakat yang memenuhi ketentuan
perpajakan sebagai wajib pajak harus membayar pajak yang dikenakan
5Gusfahmi, S.E.,M.A. 2007. Pajak Menurut SYARIAH. Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada
14
kepadanya. Pajak dianggap sebagai beban mengingat adanya keharusan
membayar pajak yang pada akhirnya akan mengurangi daya beli orang
tersebut, terutama jika dibandingkan apabila ia tidak memiliki kewajiban
untuk membayar pajak. Disisi lain bagi pemerintah dan fiskus pajak harus
dipungut karena terbukti pajak memberikan kontribusi yang cukup besar
terhadap penerimaan Negara. Hal ini membuat pemerintah selalu
berupaya untuk meningkatka penerimaan pajak, baik dengan usaha
insentifikasi maupun ekstensifikasi pajak.
Beban bagi masyarakat di satu lain dan potensi penerimaan yang
cukup besar disisi lain bagi pemerintah sering kali membuat manfaat dan
peranan pajak dipandang berbada, sesuai dengan sudut pandang masing-
masing pihak. Hal demikian tidak saja hanya terjadi di Indonesia tetapi
juga diberbagai Negara yang menerapapkan pajak sebagai sumber
penerimaan Negara. Hal ini membuat para ahli pajak mempelajari pajak
dan mengembangkan ilmu tentang pajak dan mengembangkan ilmu
tentang pajak dengan maksud agar pajak dapat diterima oleh semua pihak.
Pemungutan pajak di Indonesia berasal dari kesepakatan rakyat
dan pemerintah, yang dituangkan dalam berbagai undang-undang pajak.
Hal ini melahirkan adanya hukum pajak di Indonesia. Dalam hokum pajak
15
diatur berbagai ketentuan yang memungkinkan pajak dapat dipungut dari
masyarakat tanpa mendapat perlawanan dan harus dipatuhi oleh
masyarakat. Salah satu sumber dana berupa pajak yang dimaksud adalah
Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). Pajak Bumi dan Bangunan dapat
dimanfaatkan untuk berbagai fungsi penentuan kebijakan yang terkait
dengan bumi dan bangunan. Penerimaaan pajak bumi dan bangunan
memberikan kontribusi terhadap penerimaan pajak yang relatife kecil,
namun pajak bumi dan bangunan merupakan sumber penerimaan yang
sangat potensial bagi daerah.6
Dasar hukum PBB adalah pasal 33 ayat (3) undang-undang dasar
1945 yang berbunyi “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung
didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan sebesar-besarnya
untuk kemakmuran rakyat”.
Peraturan pemerintah yang mengatur pemungutan PBB adalah:
1. Peraturan pemerintah No.46 tahun 1985 tentang presentase nilai
jual kena pajak pada pajak bumi dan bangunan.
2. Peraturan pemerintah No.104 tentang penerimaan Negara dari
pajak bumi dan bangunan.
6 Marihot pahala siahan, SE, MT pajak erlamenter hal 12
16
3. Peraturan pemerintah No.47 tahun 1985 tentang pembagian hasil
pajak bumi dan bangunan antara pemerintah pusat dan daerah.
4. Keputusan Mentri Keuangan No.83/KMK.04/1994.
5. Keputusan Direktorat Jenderal Pajak No.KEP-04/PJ.6/1998
tentang petunjuk pelaksanaan pendaftaran,pendataan dan penilaian
objek pajak dan subyek pajak bumi dan bangunan dalam rangka
pembentukan dan atau pemeliharaan basis system manajemen
informasi objek pajak (SISMIOP).7
E. Langkah-langkah Penelitian
a. Field Research ( penelitian lapangan )
Dalam hal ini penulis mengumpulkan data dari lapangan yang
menjadi objek penelitian melalui pengamatan secara langsung
dengan ketentuan sebagai berikut :
a) Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian di Desa Langensari Kecamatan Saketi
Kabupaten Pandeglang karena adanya kesesuaian dengan
7 Undang-undang No.12 tahun 1994 tentang perubahan atas undang-undang
N0.12 tahun 1985.
17
masalah yang diangkat oleh penulis dan adanya izin dan
kemudahan untuk diteliti dan lokasi yang terjangkau.
b) Populasi dan sampel
Populasi adalah keseluruhan objek penelitian, sedangkan
sampel adalah sebagian dari objek yang dikenai penelitian.
c) Teknik pengumpulan data
b. Teknik pengumpulan data
Untuk pengumpulan data ini dilakukan dengan beberapa langkah
sebagai berikut :
a) Wawancara yaitu cara yang digunakan dengan tujuan
mendapatkan keterangan serta lisan dan responden, atau
metode pengumpulan data dengan Tanya jawab dengan cara
sistematis dan berlandaskan pada tujuan penelitian.
b) Observasi atau pengamatan merupakan metode yang pertama
yang digunakan dalam penelitian ilmiah.
c) Pustaka
Daftar bacaan yang dijadikan rujukan dalam penulisan karya
tulis ilmiah ini. Bahan yang dijadikan rujukan tersebut dapat
berasal dari buku-buku, kamus, majalah, artikel, surat kabar
ataupun internet.
18
F. Sistematika Pembahasan
Penelitian ini terdiri dari lima bab dengan sistematika pembahasan
sebagai berikut :
Bab satu, membahas tentang pendahuluan yang meliputi, latar
belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, kerangka
pemikiran, angkah-langkah penelitian, dan sistematika pembahasan.
Bab dua, membahas tentang kondisi obyektif lokasi penelitian
yang meliputi, letak geografis Desa Langensari, karakteristik masyarakat
Desa Langensari, penidikan masyarakat Desa Langensari, dan kondisi
ekonomi masyarakat Desa Langensari.
Bab tiga, membahas tentang tinjauan teoritis tentang pajak bumi
dan bangunan yang meliputi, pengertian pajak bumi dan bangunan, tujuan
pajak bumi dan bangunan, dasar hukum pajak bumi dan bangunan, obyek
dan subyek pajak bumi dan bangunan.
Bab empat, membahas tentang peran pajak bumi dan bangunan
bagi masyarakat yang meliputi, persepsi masyarakat Desa Langensari
terhadap pajak bumi dan bangunan, tinjauan hukum Islam terhadap pajak
bumi dan bangunan.
19
Bab lima, membahas tentang penutup yang meliputi, kesimpulan
dan saran.
20
BAB II
KONDISI OBYEKTIF LOKASI PENELITIAN
1. KONDISI DESA
1. Sejarah Desa
Desa Langensari merupakan salah satu desa di wilayah kecamatan
saketi yang mempunyai luas wilayah 343 Ha. Sebagian besar mata
pencaharian penduduk desa Langensari adalah petani dan buruh tani. Hal
tersebut dapatdilihat dari aktivitas sehari-hari masyarakat serta data
monografi yang ada di desa. Adapun data monografi desa Langensari
adalah sebagai berikut:
2. Demografi
1. Batas Wilayah
Secara demografis, Desa Langensari berbatasan dengan :
- Sebelah Utara : Desa Rawasari Kec.Cisata
- Sebelah Selatan : Desa Sukalangu Kec.Saketi
- Sebelah Timur : Desa Cibarani Kec.Cisata
- Sebelah Barat : Desa Medalsari Kec.Saketi
21
2. Orbitasi (jarak dari pusat pemerintahan)
a. Jarak dari pusat pemerintahan Kecamatan
b. Jarak dari pusat pemerintahan Kota Administratif
c. Jarak dari Ibukota Kabupaten Pandeglang
d. Jarak dari Ibukota Propinsi Banten
e. Jarak dari Ibukota Negara
3. Luas Wilayah
Luas wilayah Desa Langensariadalah 343 Ha, dengan
penggunaannya sebagai berikut:
a. Pemukiman : 53 Ha
b. Perkantoran : 0 Ha
c. Pertanian : 219 Ha
d. Perkebunan : 38 Ha
e. Peternakan : … Ha
f. Perikanan : … Ha
g. Fasilitas Umum : … Ha
h. Fasilitas Sosial : 86 Ha
22
4. Topografi Desa
Secara Umum keadaan Desa Langensari merupakan daerah dataran
rendah dengan ketinggian 200 meter diatas permukaan laut.
Desa Langensari mempunyai iklim tropis sehingga mempunyai
pengaruh langsung terhadap aktivitas pertanian dan pola tanam di
Desa ini.
2. Keadaan Sosial
1. Jumlah penduduk menurut :
a. Jenis Kelamin :
1) Laki- laki : 1.128 Orang
2) Perempuan : 1.210 Orang
b. Kepala Keluarga : 726 KK
c. Kepala Keluarga RTM : 450 KK
d. Kewarganegaraan
1) WNI : 2.338 Orang
2) WNA : - Orang
2. Jumlah penduduk menurut agama
a. Islam : 2.338 Orang
b. Kristen : …… Orang
c. Katholik : …… Orang
23
d. Hindu : ……. Orang
e. Budha : ……. Orang
3. Jumlah penduduk menurut usia
a. Kelompok Pendidikan
1) 04-06 tahun : 40 Orang
2) 07-12 tahun : 112 Orang
3) 13-15 tahun : 63 Orang
b. Kelompok Tenaga Kerja
1) 20-26 tahun : 65 Orang
2) 27-40 tahun :546 Orang
4. Jumlah penduduk menurut tinkat pendidikan
a. Sarjana : 22 Orang
b. SLTA : 35 Orang
c. SMP : 63 Orang
d. SD : 112 Orang
e. Tidak menyesaikan pendidikan :119 Orang
3. Keadaan Ekonomi
Sebagian besar penduduk Desa Langensari bekerja di sector
pertanian dan perkebunan. Hal ini didukung oleh faktor wilayah Desa
24
Langensari yang terletak di daerah pegunungan, tepatnya dilereng gunung
Pulosari.
Jumlah penduduk menurut mata pencaharian
a. Karyawan/ABRI/PNS : 52 Orang
b. Wiraswasta/pedagang : 115 Orang
c. Tani : 27 Orang
d. Pertukangan : 18 Orang
e. Buruh Tani : 695 Orang
f. Pensiuan : 24 Orang
g. Nelayan : - Orang
h. Pemulung : - Orang
i. Jasa : 19 Orang
4. Kondisi pemerintah desa
1. Pembagian Wilayah Desa
Desa Langensari terbagi dalam 4 RW dan 14 RT.
Jumlah Perangkat Desa
1. Kepala Dusun : 4 Orang
2. Kepala Urusan : 3 Orang
25
3. Pembantu kepala urusan : 3 Orang
2. Struktur organisasi pemerintahan desa
Lembaga-lembaga pemerintah yang ada di Desa : BPD, LPM,
Karang Taruna, PKK.8
STRUKTUR ORGANISASI DESA
8Profil Desa Langensari tahun 2015
KEPALA DESA
SEKDES
BPD
KAUR UMUM/KEU
KAUR PERENCANAAN
KAUR PEMERINTAHAAN
KASI KESRA
KASI PELAYANAN
KASI TRANTIB
KASI PEMBANGUNAN
KADUS I KADUS II KADUS IV KADUS III
26
BAB III
TINJAUAN TEORITIS TENTANG PAJAK BUMI DAN BANGUNAN
A. Pengertian pajak, fungsi dan tujuan Pajak Bumi dan Bangunan.
1. Pengertian Pajak di Indonesia
Suatu undang-undang dikatakan baik apabila undang-undang
tersebut mendefinisikan secara jelas dan tegas tentang segala sesuatu yang
diaturnya guna menghindari terjadinya kesalahan dalam penafsiran oleh
para pengguna undang-undang itu. Kejelasan menjadi sesuatu keharusan
agar tujuan pembuatan undang-undang itu dapat tercapai.9
Demikian pula dengan undang-undang perpajakan,ia harus dibuat
definisi tentang pajak. Dari sisi teori perundang-undangan, jika pajak tidak
didefinisikan dalam undang-undang perpajakan, akan mengakibatkan
ketentuan undang-undang perpajakan.10
Kalau di lihat dalam perpajakan Indonesia, dari tahun 1983-2002,
telah dibuat 22 undang-undang ( UU ) dibidang perpajakan. Dari 22 itu,
9 Augus hendra Simatupang, Sulitnya Mendefinisikan Pajak, Opini, Berita Pajak,
Edisi 1 Agustus 2005, hlm 21. 10 Augus hendra Simatupang, Sulitnya Mendefinisikan Pajak, Opini, Berita Pajak,
Edisi 1 Agustus 2005, hlm 22
27
hanya ada 2 ( dua ) UU yang mendefinisikan pajak,yaitu UU nomor 19
Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa dan UU Nomor
19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa.11
Definisi pajak menurut UU Nomor 19 Tahun 1997 tentang
Penagihan Pajak dengan Surat Paksa ( UU PPSP ) adalah :
“semua jenis pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat, termasuk Bea
Masuk dan Bea Cukai, dan pajak yang dipungut oleh pemerintah Daerah,
menurut aturan perundang-undangan yang berlaku.”12
Definisi di atas tentu saja belum mencerminkan dengan sesungguhnya
tentang siapa yang memungut, apa yang dipungut, untuk tujuan apa
dipungut pajak tersebut, sehingga dapat dipahami.Inilah kekeliruan
pertama dalam sistem perpajakan di Indonesia.
2. Tidak Ada Definisi Pajak dalam UU Perpajakan di Indonesia
Reformasi perpajakan di Indonesia telah dilakukan pertama kali tahun
1983, yakni dengan dikeluarkannya tiga undang-undang ( UU ), yaitu: UU
Nomor 6 Tahun 1983 tentang ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
11 Augus hendra Simatupang, Sulitnya Mendefinisikan Pajak, Opini, Berita Pajak,
Edisi 1 Agustus 2005, hlm 22 12 Definisi yang sama juga dinyatakan dalam UU Nomor 19 tahun 2000 pada
Pasal 1 butir
28
(UU KUP), UU Nomor 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan ( UU
PPh ) dan UU Nomor 8 Tahun 1983 Tentang Pajak Pertambahan Nilai dan
Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (UU PPN dan PPnBM). Anehnya
dalam ketiga undang-undang tersebut ternyata tidak ditemukan adanya
definisi tentang pajak kenapa hal ini bisa terjadi?
Hal ini tampaknya terkait dengan definisi pajak itu sendiri,dimana
jika ia didefinisikan, akan terlihat bahwa pajak itu sebenarnya hanya alat
kepentingan penguasa. hal itu tidak dapat di dipungkiri, sebab definisi
pajak yang paling sering dijadikan rujukan di Indonesia adalah definisi
yang menunjukan pemaksaan semata, seperti yang di kemukakan oleh dua
tokoh pajak sebagai berikut
Menurut Prof. Dr. Rochmat Soemitro, S.H., mendefinisikan pajak sebagai
berikut:
“Pajak adalah peralihan kekayaan dari sektor swasta ke sektor
publik berdasarkan undang-undang yang dapat dipaksakan dengan tidak
mendapat imbalan yang secara langsung dapat ditunjukkan, yang
digunakan untuk membiayai pengeluaran umum dan yang digunakan
29
sebagai alat pendorong, penghambat atau pencegah, untuk mencapai
tujuan yang ada diluar bidang keuangan”.13
Menurut Prof. Dr. P. J. A. Andriani, mendefinisikan pajak sebagai:
“Pajak adalah iuran kepada Negara (yang dapat dilaksanakan) yang
terutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan,
dengan tidak mendapat prestasi kembali, yang langsung dapat ditunjuk,
dan yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran umum berhubung
dengan tugas Negara untuk menyelenggarakan pemerintahan.14
Karena adanya kata-kata yang dapat dipaksakan pada definisi
pajak, hal ini dihindari oleh rezim Orde Baru. Sebab pencantuman kata-
kata itu dalam undang-undang akan mencerminkan kediktatoran penguasa,
sehingga dikhawatirkan dapat menimbulkan resistensi masyarakat
terhadap undang-undang perpajakan.
Tidak didefinisikannya pajak dalam perundang-undangan
perpajakan di Indonesia adalah suatu hal yang sangat bertentangan dengan
prinsip-prinsip perundang-undangan secara umum. Tidak didefinisikannya
13 Rohmat Soemitro, Pengantar Singkat Hukum Pajak, 1988, hlm. 12 14 R. Santoso Brotodiharjo, Pengantar Ilmu Hukum Pajak, (Bandung: PT Eresco,
1982), hlm. 2.
30
pajak merupakan kesalahan yang dapat mengakibatkan Pajak didefinisikan
oleh semua orang.
Jika pajak didefinisikan oleh pemungut pajak, cenderung akan
dibuat agar menguntungkan pemungutnya, yang bisa menjadi suatu
kezaliman. Sebaliknya, jika pajak didefinisikan oleh pembayarnya,
cenderung akan dibuat untuk keuntungan pembayarnya. Jika hal ini
terjadi, maka akan tercipta hukum rimba. Wajib pajak yang kuat, kaya dan
berpengaruh akan berusaha menyembunyikan kekayaannya, sementara
yang lemah tidak mampu menghindar karena kelemahannya. Siapa yang
kuat jadi raja, yang lemah menjadi babu. Hukum bisa dibeli oleh orang
yang kaya, sementara si miskin tak mampu berbuat apa-apa, sehingga
tidak ada jaminan bahwa si miskin terjamin haknya.
Secara etimologi pajak dalam bahasa Arab disebut dengan istilah
Dharibah15
, yang berasal dari kata doroba,yadribu,dorban yang artinya:
mewajibkan, menetapkan, menentukan, memukul, menerangkan, atau
membebankan dan lain-lain.16
15Gazy Inayah, Op.cit, hlm.24, dan Qardhawi, Fiquz Zakah, Op.cit, hlm.359 16 A. Munawir, Kamus Al-Munawwir, (Surabaya: Pustaka Progressif, 2002), Bab
Dharaba, hlm.815
31
Dalam Al-Quran, kata dengan kata da-ra-ba terdapat dibeberapa
ayat, antara lain pada QS. Al-Baqarah ayat 61
Artinya: “Dan (ingatlah), ketika kamu berkata: "Hai Musa, Kami tidak
bisa sabar (tahan) dengan satu macam makanan saja. sebab itu
mohonkanlah untuk Kami kepada Tuhanmu, agar Dia mengeluarkan bagi
Kami dari apa yang ditumbuhkan bumi, Yaitu sayur-mayurnya,
ketimunnya, bawang putihnya, kacang adasnya, dan bawang merahnya".
Musa berkata: "Maukah kamu mengambil yang rendah sebagai pengganti
yang lebih baik ? Pergilah kamu ke suatu kota, pasti kamu memperoleh
32
apa yang kamu minta". lalu ditimpahkanlah kepada mereka nista dan
kehinaan, serta mereka mendapat kemurkaan dari Allah. hal itu (terjadi)
karena mereka selalu mengingkari ayat-ayat Allah dan membunuh Para
Nabi yang memang tidak dibenarkan. demikian itu (terjadi) karena mereka
selalu berbuat durhaka dan melampaui batas.”( QS. Al-Baqarah ayat 61)17
Dharaba adalah bentuk kata kerja (fi‟il), sedangkan bentuk kata
bendanya (ism) adalah dharibah, yang dapat berarti beban. Dharibah
adalah isim mufrad (kata benda tunggal) dengan bentuk jamaknya adalah
dharaib . Ia disebut beban, karena merupakan kewajiban tambahan atas
harta setelah zakat, sehingga dalam pelaksanaannya akan dirasakan
sebagai sebuah beban (pikulan yang berat). Dalam contoh pemakaian,
jawatan perpajakan disebut dengan maslahah adh-dharaaib .
Secara bahasa maupun tradisi, dharibah dalam penggunannya
memang mempunyai banyak arti, namun para ulama memakai ungkapan
dharibah untuk menyebut harta yang dipungut sebagai kewajiban. Hal ini
tampak jelas dalam ungkapan bahwa jizyah dan kharaj dipungut secara
17Yayasan Penyelenggara Penterjemah Al-Quran Departemen Agama RI, Al-
Quran dan Terjemahannya (Semarang: Diponegoro) h. 9.
33
dharibah, yakni secara wajib18
. Bahkan sebagian ulama menyebut kharaj
merupakan dharibah19
.
Dalam kitab Al-Ahkam al-Sulthaniyah karya Imam Al-MAwardi,
kharaj diterjemahkan dengan kata pajak (pajak tanah), sedangkan jizyah
tidak diterjemahkan dengan pajak, melainkan tetap disebut jizyah.20
Dalam kitab Al-Umm karya Imam Syafi‟i, jizyah diterjemahkan dengan
pajak.21
Istilah pajak ( dharibah ) juga tidak bisa untuk menyebut „ushr (bea
cukai), yakni pungutan yang dipungut dalam besaran tertentu dari importir
atau eksportir yang bukan Negara Khilafah, baik Muslim maupun zimmi,
dan bukan mu‟ahad. Sebab „ushr hanyalah tindakan balasan atas tindakan
negara mereka. Oleh karena itu, besar „ushr sama dengan besaran yang
dipungut oleh Negara mereka dari warga Negara khilafah ketika
mengimpor komoditas dari Negara tersebut atau mengekspor komoditas
ke Negara tersebut.
18 As-Sarashi, al-mabsuth, dalam yahya Abdurrahman, Dharibah (pajak),
publikasi 4 Mei 2005. 19 Asy-Syawkani, Fath al-Qadir, 3/493, dalam Yahya Abdurrahman, Ibid. 20 Al-Mawardi, Al-ahkam al-Sulthaniyyah Fi Al-Wiyayah Ad-Diniyyah, Beirut, Dar
al-Kutub Al-Araby, 1978, edisi terj.oleh Fadhli Bahri, Lc, Prinsip-prinsip Penyelenggaraan Negara Islam, (Jakarta: Darul Falah, Cet.1,200), hlm. 261
21 Imam Syafi’I, Mukhtasar Kitab Al-Umm fi Al-Fiqh, Edisi terj. Oleh Imron Rosadi, S. Ag, Amiruddin, dan Imam Awaluddin, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2005), hlm. 233-284
34
Pengertian ini adalah realitas dari dharibah sebagai harta yang
dipungut secara wajib dari rakyat untuk keperluan pembiayaan Negara.
Dengan demikian, dharibah bisa kita artikan dengan pajak (muslim).
Istilah dharibah dalam arti pajak secara Syar‟i dapat kita pakai sekalipun
istilah “pajak” itu berasal dari Barat, karena realitasnya ada dalam sistem
ekonomi Islam.
Ada tiga ulama yang memberikan definisi tentang pajak, yaitu
Yusuf Qardhawi dalam kitabnya Fiqh az-zakah, Gazi Inayah dalam
kitabnya Al-Iqtishad al-Islami az-zakah wa ad-Dharibah, dan Abdul
Qadim Zallum dalam kitabnya Al-Amwal Fi Daulah al-Khilafah,
ringkasannya sebagai berikut:
1. Yusuf Qardhawi berpendapat:
Pajak adalah kewajiban yang ditetapkan terhadap wajib pajak, yang
harus disetorkan kepada Negara sesuai dengan ketentuan, tanpa
mendapat prestasi kembali dari Negara, dan hasilnya untuk membiayai
pengeluaran-pengeluaran umum disatu pihak dan untuk merealisasi
35
sebagian tujuan ekonomi, sosial, politik dan tujuan-tujuan lain yang ingin
dicapai oleh Negara22
.
1. Gazi Inayah berpendapat:
Pajak adalah kewajiban untuk membayar tunai yang ditentukan oleh
pemerintah atau pejabat berwenang yang bersifat mengikat tanpa adanya
imbalan tertentu. Ketentuan pemerintah ini sesuai dengan kemampuan si
pemilik harta dan dialokasikan untuk mencukupi kebutuhan pangan
secara umum dan untuk memenuhi tuntunan politik keuangan bagi
pemerintah.
2. Abdul Qadim Zallum berpendapat:
Pajak adalah harta yang diwajibkan Allah Swt. Kepada kaum muslim
untuk membiayai berbagai kebutuhan dan pos-pos pengeluaran yang
memang diwajibkan atas mereka, pada kondisi baitul mal tidak ada
uang/harta23
.
22 Yusuf Qardhawi, Fiquz Zakah, Muassasat ar-Risalah, Beirut, Libanon, Cet. Ke
II, 1973, Terj. Oleh Salman Harun (jiid I), Didin Hafidhudin dan Hasanudiin (jilid II), Hukum Zakat, (Jakarta: PT Pustaka Litera Antar Nusa, Cet Ke V, 1999), hlm. 998.
23 Abdul Qadim Zallum, Al-Amwal fi Daulah al-Khilafah, Dar al-Ilmi Lilmalayin, Cet. II. 1408 H/1998 M, Edisi Terj. Oleh Ahmad S, dkk, Sistem Keuangan di Negara Khilafah, (Bogor: Pustaka Thariqul Izzah,2002), hlm. 138.
36
Definisi yang diberikan oleh Qardhawi dan Inayah masih terkesan
secular, karena belum ada unsure-unsur syari‟ah. Dua definisi tersebut
hampir sama dengan definisi pajak menurut tokoh-tokoh non Islam.
Penulis lebih setuju dengan definisi yang dikemukakan oleh
Zallum, karena dalam definisinya, terangkum lima unsure pokok yang
merupakan unsure penting yang harus terdapat dalam ketentuan pajak
menurut syariat, yaitu:
1. Diwajibkan oleh Allah Swt.
2. Objeknya adalah harta (al-mal).
3. Subjeknya kaum Muslim yang kaya (ghaniyyah), tidak termasuk non-
Muslim.
4. Tujuannya untuk membiayai kebutuhan mereka (kaum Muslim) saja.
5. Diberlakukan karena adanya kondisi darurat (khusus), yang harus
segera diatasi oleh Ulil Amri.
Kelima unsur dasar tersebut, sejalan dengan prinsip-prinsip
penerimaan Negara menurut Sistem Ekonomi Islam, yaitu harus
memenuhi empat unsur:
1. Harus adanya Nash (Al-Quran dan Al-Hadis) yang memerintahkan
setiap sumber pendapatan dan pemungutannya.
37
2. Adanya pemisahan sumber penerimaan dari kaum Muslim dan non-
Muslim.
3. Sistem pemungutan zakat dsn psjsk hsrud menjamin bahwa hanya
golongan kaya dan golongan makmur yang mempunyai kelebihan
saja yang memikul beban utama.
4. Adanya tuntutan kemaslahatan umum.
Dengan definisi diatas, jelas terlihat bahwa pajak adalah kewajiban
yang datang secara temporer, diwajibkan oleh Ulil Amri sebagai
kewajiban tambahan sesudah zakat (jadi dharibah bukan zakat), karena
kekosongan/kekurangan baitul mal, dapat dihapus jika keadaan baitul mal
sudah terisi kembali, diwajibkan hanya kepada kaum Muslim yang kaya,
dan harus digunakan untuk kepentingan mereka (kaum Muslim), bukan
kepentingan umum, sebagai bentuk jihad kaum Muslim untuk mencegah
datangnya bahaya yang lebih besar jika hal itu tidak dilakukan.
Dari definisi diatas juga terlihat perbedaan antara pajak (dharibah)
dengan kharaj dan jizyah, yang sering kali dalam berbagai literature
disebut juga dengan pajak, padahal sesungguhnya, ketiganya berbeda.
Objek pajak (dharibah) adalah adalah al-Mal (harta), objek jizyah adalah
38
jiwa (an-nafs), dan objek kharaj adalah tanah (status tanahnya)24
. Namun
jika dilihat dari sisi objeknya, objek pajak (dharibah) adalah harta, sama
dengan objek zakat
B. Pengertian Pajak Bumi dan Bangunan
Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) adalah Pajak Negara yang
dikenakan terhadap bumi dan atau bangunan berdasarkan Undang-undang
nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana
telah diubah dengan Undang-Undang nomor 12 Tahun 1994. PBB adalah
pajak yang bersifat kebendaan dalam arti besarnya pajak terutang
ditentukan oleh keadaan objek yaitu bumi/tanah dan atau bangunan.
Keadaan subjek (siapa yang membayar) tidak ikut menentukan besarnya
pajak25
.
Bumi :
Permukaan bumi (tanah atau perairan) dan tubuh bumi yang ada
dibawahnya. Contoh: sawah, ladang, kebun, tanah, pekarangan, tambang,
dan lain-lain.
24Pajak dalam shahih Abu Daud, Buku 2, Kitab Kharaj (pajak) hlm. 357, 416,
419-420. 25 http://www.kanwilpajakkhusus.depkeu.go.id/penyuluhan/PBB/PBB umum.
htm.
39
Bangunan :
Konstruksi teknik yang ditanamkan atau diletakkan secara tetap pada
tanah dan/ atau perairan diwilayah Republik Indonesia. Contoh: rumah
tempat tinggal, bangunan tempat usaha, gedung bertingkat, pusat
perbelanjaan, jalan tol, kolam renang, anjungan minyak lepas pantai, dan
lain-lain.26
C. Fungsi Pajak
Fungsi pajak dapat dibedakan menjadi dua yaitu :
1. Fungsi Budgeter
Yaitu fungsi yang letaknya disektor publik yang merupakan
suatu alat (suatu sumber) untuk memasukan uang sebanyak-
banyaknya kedalam kas Negara yang pada waktunya dapat
digunakan untuk membiayai pengeluaran Negara. Pajak-pajak
ini terutama akan digunakan untuk membiayai pengeluaran-
pengeluaran rutin, dan apabila masih ada sisa (surplus), naka
surplus ini dapat digunakan untuk membiayai invesatasi
pemerintah (public saving untuk public investmen).
2. Fungsi Regulerend
26 Hilarius Abut, Perpajakan Indonesia, Cetakan Pertama (Jakarta: Diadit media,
2010) h. 89
40
Yaitu fungsi mengaturnya pajak digunakan sebagai suatu alat untuk
mencapai tujuan-tujuan tertentu yang letaknya diluar bidang keuangan dan
fungsi mengatur ini banyak ditujukan terhadap sektor swasta. Kebijakan
fiskal sebagai suatu alat pembangunan harus mempunyai tujuan yang
simultan yaitu secara langsung menemukan dana-dana yang akan
digunakan untuk publik investment, dan secara tidak langsung digunakan
untuk menyalurkan private saving kearah sektor-sektor produktif,
sekaligus digunakan untuk mencegah pengeluaran-pengeluaran yang
menghambat pembangunan. Misalnya melalui kebijakan pembebasan
pajak (tax holiday) dan pengenaan PPnBm.27
D. Tujuan pajak Bumi dan Bangunan
1. Dasar Hukum Pajak Bumi dan Bangunan
Dasar hukum pajak bumi dan bangunan (PBB) adalah undang-
undang No.12 tahun 1985 sebagaimana telah diubah dengan undang-
udang No. 12 tahun 1994.28
27 Hilarius Abut, Perpajakan Indonesia, Cetakan Pertama (Jakarta: Diadit media,
2010) h. 4 28Prof. Dr. Mardiasmo, MBA., Ak. Perpajakan Edisi Revisi 2008 (Yogyakarta: C.V
Andi Offset, 2008) h. 315
41
2. Obyek dan Subyek Pajak Bumi dan Bangunan
a. Obyek Pajak Bumi dan bangunan
Bumi adalah permukaan bumi (tanah dan perairan) dan tubuh bumi
yang ada dibawahnya. Contohnya: sawah, ladang, kebun, tanah,
pekarangan, tambang dan lain-lain. Bangunan adalah konstruksi teknik
yang ditanamkan atau diletakkan secara tetap pada tanah atau perairan di
wilayah Republik Indonesia. Contoh: rumah tempat tinggal, bangunan
tempat usaha, gedung bertingkat, pusat perbelanjaan, jalan tol, kolam
renang, dan lain-lain.29
Yang menjadi objek pajak adalah bumi atau bangunan. Sedangkan
yang dimaksud klasifikasi bumi dan bangunan adalah pengelompokkan
bumi dan bangunan menurut nilai jualnya dan digunakan sebagai
pedoman, serta memudahkan penghitungan pajak yang terutang. Dalam
menentukan klasifikasi bumi/tanah diperhatikan faktor sebagai berikut:
a. Letak
b. Peruntuksn
c. Pemanfaatan
d. Kondisi lingkungan dan lain-lain
29 Gusfahmi, S.E., M.A. Pajak menurut syariat (Jakarta: PT. Raja Grafindo, 2007) h. 236.
42
3. Subyek Pajak Bumi dan Bangunan
Dalam mementukan klasifikasi bangunan diperhatikan faktor-faktor
sebagai berikut:
a. Bahan yang digunakan
b. Rekayasa
c. Letak
d. Kondisi lingkungan dan lain-lain.30
E. Pajak Bumi dan Bangunan menurut Syari‟ah
1. Ada nash Al-Quran dan Hadis. Kalau dilihat dari sisi subjeknya, PBB
ini jelas bertentangan dengan syari‟at, karena kaum Muslim ikut
dibebankan atas tanah dan/ atau bangunan yang mereka miliki,
tempati, atau manfaatkan, padahal mereka adalah pemilik dari bumi
dan atau bangunan tersebut.
Bumi ini bahkan sudah diwariskan kepada kaum Muslim,
sebagaimana firman Allah Swt. Dan hadis Rasulullas Saw:
a. Dan sungguh telah kami tulis didalam Zabur sesudah (kami tulis
dalam) Lauhul Mahfuzh, bahwasannya bumi ini dipusakai hamba-
hamba ku yang saleh. (Q.S Al-Anbiya‟ : 105).
30 Kasirin, S.E., Perpajakan (Serang: CV Cahaya Minolta, 2012) h. 208
43
b. Dan dia mewariskan kepada kamu tanah-tanah, rumah-rumah dan
harta benda mereka, dan (begitu pula) tanah yang belum kamu injak.
Dan adalah Allah maha kuasa terhadap segala sesuatu (Q.S Al-Ahzab :
27).
c. Musa berkata kepada kaumnya:” Mohonlah pertolongan kepada Allah
dan bersabarlah; Sesungguhnya bumi (ini) kepunyaan Allah;
dipusakakannya kepada siapa yang dikendakinya dari hamba-
hambanya. Dan kesudahan yang baik adalah bagi orang-orang yang
bertaqwa.” (Q.S Al-A‟raf : 128).
d. “Kaum muslimin berserikat dalam tiga hal: dalam air, padang rumput
[gembalaan], dan api.” (H.R Abu Dawud, Ahmad, Ibnu Majah).
(Imam Syaukani, Nailul Authar, hlm. 1140). Hadis ini menunjukan
bahwa tiga benda tersebut adalah milik umum, karena sama-sama
mempunyai sifat tertentu sebagai illat (alasan penetapan hokum),
yakni menjadi hajat hidup orang banyak (minmarafiq al-jama‟ah).
44
BAB IV
TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PAJAK BUMI
DAN BANGUNAN MASYARAKAT DESA
LANGENSARI
A. Persepsi Masyarakat Desa Langensari terhadap Pajak Bumi dan
Bangunan
Masyarakat Desa Langensari sebagian besar berpendidikan SD
(sekolah dasar) dan sebagian besar penduduk Desa Langensari bekerja
disektor pertanian dan perkebunan. Setelah melakukan wawancara
kepada warga masyarakat Desa Langensari sekitar 70% yang mengerti
dan memahami pentingnya membayar pajak bumi dan bangunan. Berikut
hasil wawancara dengan warga masyrakat Desa Langensari:
1. Bapak Madsuki, warga Kp.Langansari Rt 03/01 Desa Langansari
bekerja sebagai seorang petani yang berusia 55 Tahun. Menurut beliau
pajak bumi dan bangunan itu sangat penting dan harus dibayar di
karenakan pembayaran pajaknya hanya dilakukan setahun sekali dan
45
kalau tidak dibayar akan menghambat pembangunan infrastruktruktur
Negara31
.
2. Bpk. H. Sa‟ad Sahroni, warga Kp. Langansari Rt 02/01 Desa
Langansari bekeraja sebagai pedagang. Beliau berpendapat pajak bumi
dan bangunan harusnya didistribusikan kembali dan seharusnya hanya
orang yang kaya lah yang harus membayar pajak bumi dan bangunan
tidak harus dibebankan kepada masyarakat kecil32
.
3. Bpk. Oo Suharyo, warga Kp. Mulyasari Rt 06/02 Desa Langansar
bekerja sebagai seorang petani. Menurut beliau memang benar pajak
bumi dan bangunan dikenakan kepada semua masyarakat baik yang
kaya maupun yang miskin tetapi seharusnya dan kalau bisa pajak itu
seharusnya dikenakan kepada orang-orang yang kaya saja dan jangan
dibebankan kepada masyarakat kecil yang hanya mengharapkan dari
hasil panennya saja seperti para petani33
.
4. Bpk. Hasanudin, warga Kp. Margasari Rt 11/03 Desa Langansari
bekerja sebagai pemungut pajak Desa Langensari, menurut beliau
31 Bpk. Madsuki, warga Kp. Langansari Rt 03/01 Desa Langensari 32 Bpk. H. Sa’ad Sahroni, warga Kp. Langensari Rt 02/01 Desa Langansari 33 Bpk. Oo Suharyo, warga Kp. Mulyasari RT 06/02 Desa Langansari
46
banyak masyarakat yang tidak mengerti akan pentingnya membayar
pajak sehingga banyak hambatan dalam proses pemungutan pajak.34
B. Tinjauan Hukum Islam Terhadap Pajak Bumi dan Bangunan
1. Konsep kepemilikan Tanah (Bumi) dalam Hukum Islam
Persoalan kepemilikan dalam ekonomi Islam didasari atas konsep
tauhid Allah SWT sebagimana Maha Pencipta adalah sebagai pemilik
mutlak segala sesuatu yang ada di alam semesta seperti yang tertera dalam
Q.S Ibrahim (14)ayat 32.
Artinya: Allah-lah yang telah menciptakan langit dan bumi dan
menurunkan air hujan dari langit, kemudian Dia mengeluarkan dengan air
hujan itu berbagai buah-buahan menjadi rezki untukmu; dan Dia telah
menundukkan bahtera bagimu supaya bahtera itu, berlayar di lautan
34 Bpk. Hasanudin warra Kp. Margasari Rt 11/04 Desa Langensari
47
dengan kehendak-Nya, dan Dia telah menundukkan (pula) bagimu sungai-
sungai.(Q.S Ibrahim: 32).35
Seluruh isi alam semesta ini adalah milik Allah SWT dan manusia
dapat memanfaatkan yang ada di alam ini untuk memenuhi kelangsunga
hidup mereka Islam menganggap hak kepemilikan adalah pembemberian
Allah SWT yang bertujuan untuk kemaslahatan seluruh umat. Kekausaan
manusia untuk memikul suatu tanggung jawab berasal dari perannya
sebagai kahalifah di muka bumi. Sebagaimana firkman Allah dalam Q.S
Al-baqarah ayat 30 yang berbunyi:
Artinya: “Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada Para Malaikat:
"Sesungguhnya aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi."
35Yayasan Penyelenggara Penterjemah Al-Qur’an Departemen Agama RI, Al-
Qur’an dan Terjemahannya (Semarag: Diponegoro:2012) h. 207.
48
mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi
itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan
darah, Padahal Kami Senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan
mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya aku mengetahui
apa yang tidak kamu ketahui."(Q.S Al-Baqarah: 30)36
.
Allah telah menyediakan semua yang dibutuhkan manusa sehingga
sebagai khalifah, manusia bertugas mengelola apa yang telah Allah
sediakan di muka bumi. Semua yang halal dapat menjadi hak milik
manuisa yang akan dipergunakan uantuk menyejahterahkan kehidupan
mereka. Dan dalam mempergunakan hak miliknya tentu tidak boleh
bertentangan dengan syariat yang ada. dalam kamus besar Bahasa
Indonesia, ysng dimaksud dengan hak milik adalah hak untuk
menggunakan atau mengambil keuntungan dari suatu badan yang berada
dlam kekusaan tanpa merugikan orang lain.
Menurut Undang-Unang Pokok Agraria Nomor 5 tahun 1960 hak
milik adalah hak turun menuru, terkuat dan yang dapat dipunyai orang atas
tanah. Hak milik dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain.
Konsep kepemilikan dalam hukum islam ada tiga bentuk yaitu:
36Yayasan Penyelenggara Penterjemah Al-Qur’an Departemen Agama RI, Al-
Qur’an dan Terjemahannya (Semarag: Diponegoro:2012) h. 6.
49
1. Kepemilikan pribadi (Prifate Ownership)
2. Kepemilikan Publik (Public ownership)
3. Kepemilikan Negara (State ownership)
Berikut adalah pemaparan mengenai konsep kepemilikan dalam
ekonomi Islam:
1. Kepemilikian Pribadi (Private Ownership)
Setiap individu memiliki hak untu menikmati hak miliknya,
menggunkan secara Produktif, memindahkannya dan melindunginya dari
pemborosan. Tetapi, haknua itu dibatasi oleh sejumlah batasan. Ia tidak
boleh menggunakannya secara berhambur-hambur, juga tidak
bolehmenggunakannya semena-mena (dengan buruk) dan dilarang untuk
tujuan bermewah-mewahan. Salin itu, setiap individu tidak boleh
menggunakan hak miliknya, yang biasa bisa menimbulkan kerugian bagi
orang lain.
2. Kepemilikan Publik (public ownership)
Kepemilikan publik atau disebut juga hak milik sosial baisanya
diperlukan untuk kepentingan sosial. Contohnya pentig dari pemilikan
bersama adalah anugrah alam. Seperti air, rumput dan api, yang secara
khusus disebut dalam hadis Rosulullah SAW. Semua itu pemberian dari
Allah SWT dan manusia tidak meimiliki kesulitan apapun untuk
50
menggunakannya. Aladan lain adalah dami kepentingan umum. Jika ada
individu yang menguasannya dan memilikinya secara pribadi, hal itu bisa
mengakibatkan kesulitan dan kesusahan bagi masyarakat. Menurut Ibnu
Taimiyah, air, rumput dan api hanya contoh kecil saja, akan tetapi masih
banyak objek yang lain yang meimiliki kesamaan karakteristik dengannya.
Ia manganjurkan seluruh bahan mineral yang dihasilkan oleh tanah bebas
(tanah negara) menjadi milik kolektif, seperti emas, perak, minyak dan
sebagainya.
3. Kepemilikan Negara (State Ownership)
Negara membutuhkan hak milik untuk memperoleh pendapatan,
sumber-sumber penghasilan dan kekuasaan untuk melaksanakan
kewajiban-kewajibannya. Misanlnya untuk menyelenggarakan pendidikan,
regenerasi moral, memelihara keadailan, dan secaara umum melindungi
seluruh kepentingan rakyat. Menurut Ibnu Taimiyah, sumber utama
kekayaan negara adalah zakat, dan ghanimah. Selain itu, negara juga bisa
meningkatkan sumber penghasilannya dengan mengenakan pajak, ketika
dibutuhkan atau saat kebutuhannya meningkat. Kekayaan negara secara
aktual merupakan kekayaan publik (umum). Kepala negara hanya sebagai
pemegang amanah (caretaker), sehingga merupakan kewajiban negara
untuk mengeluarkannya guna kepentingan publik.
51
Kepemilikan tanah adalah salah satu perkara sosial yang
memainkan peranan penting dalam pemikiran manusia, yang menjadi
fenomena penting dalam kehidupan manusia sejak ribuan tahun lalu. Pada
dasarnya tanah adalah milik negara dalam Islam. Seorang individu
mendapatkan hak kepemilikan atas sebidang tanah kecuali berdasarkan
usaha yang ia curahkan dalam mengharap dan mengeksplorasinya.
Apabila seseorang menghidupkan sebidang tanah mati maka ia akan
memiliki hak atas tanah tersebut37
.
Pendapat lain mengatakan, Islam tidak memiliki kepemilikan
pribadi atas tanah kecuali bila individu telah memiliki sebidang tanah
sejak sebelum tanah tersebut masuk kepangkuan Islam secara sukarela
atau melalui perjanjian38
. Menurut Ibnu Taimiyah, penggunaan hak milik
itu dimungkinkan sejauh tak bertentangan dengan prinsip-prinsip syariat39
.
Hak kepemilikan pribadi atas tanah bukanlah hak absolut atas tanah
tersebut. Mereka terikat dengan kewajiban untuk terus menggarap dan
menyuburkan tanah mereka guna memberikan kontribusi bagi kemajuan
masyarakat Islam.
37 A.A. Islahi, Konsep Ekonomi Ibnu Taimiyah hal.144-145 38 M. Baqir Ash-shadr, Buku Induk Ekonomi Islam Iqtishaduna, hal.210 39 A.A. Islahi, Konsepsi Ekonomi Ibnu Taimiyah, Ter. Anshari Thayib (Surabaya:
PT Bina Ilmu, 1997) hal.137
52
Dalam buku Iqtishaduna karya Muhammad Baqir Ash-Shadr
dijelaskan bahwa ada berbagai keadaan yang mendasari status
kepemilikan tanah berdasarkan kategorinya, antara lain:
1. Tanah yang masuk wilayah Islam melalui penaklukan (fath)
Tanah taklukan adalah tanah yang jatuh ke pangkuan negara Islam
melalui jihad demi misi Islam, seperti tanah Irak, Mesir, Iran, Suriyah dan
banyak belahan lain dunia Islam. Saat penaklukan Islam, keadaan tanah-
tanah tersebut tidak sama sehingga status kepemilikannya menjadi
berbeda, yaitu40
:
a. Tanah yang digarap oleh tangan manusia pada saat penaklukan. Tanah
tersebu menjadi milik bersama kaum muslim, baik generasi muslim saat
penaklukan maupun generasi muslim di masa mendatang.
b. Tanah mati pada saat penaklukan, tanah yang tidak tergarap oleh
tangan manusia pada saat penaklukan maka tanah ini akan menjadi milik
imam (negara).
c. Tanah yang subur secara alam pada saat penaklukan, hutan dan tanah
subur secara alami mendapat status kepemilikan bersama kaum muslim.
2. Tanah yang Masuk Wilayah Islam Melalui Dakwah
40 M. Baqir Ash-Shadr, Buku Induk Ekonomi Iqtishaduna, hal.159-193
53
Tanah yang masuk wilayah Islam melalui dakwah adalah setiap
tanah yang penduduknya menyambut panggilan Islam tanpa menimbulkan
konflik bersenjata, seperti kota Madinah, Indonesia, dan sejumlah wilayah
lainnya.
Tanah-tanah hasil dakwah dibagi menjadi dua jenis, yaitu:
a. Tanah yang digarap oleh para penduduknya dan mereka masuk Islam
secara sukarela.
b. Tanah yang subur secara alami seperti hutan serta berupa tanah mati.
Tanah yang subur alami menjadi milik negara dan individu boleh
mengambil manfaat darinya tetapi tidak dapat menguasainya. Tanah mati
juga menjadi milik negara. Akan tetapi apabila ada individu yang
menghidupkan (menggarap) maka tanah mati tersebut menjadi miliknya.
3. Tanah yang Masuk Wilayah Islam Melalui Perjanjian (Sulh)
Tanah ini disebut dengan tanah perjanjian, dimana mereka tetap
memeluk agama mereka serta hidup damai dan aman dibawah naungan
negara Islam. Tanah ini tetap menjadi milik mereka. Namun, jika didalam
perjanjian dinyatakan bahwa tanah tersebut menjadi milik masyarakat
muslim, maka tanah ini menjadi subjek prinsip kepemilikan bersama.
2. Pemungutan Pajak Tanah (Bumi) dalam Hukum Islam
54
Harta rampasan perang dalam Islam tidak semuanya adalah harta
bergerak atau harta yang dapat dipindahkan tetapi juga harta tidak
bergerak yang meliputi tanah-tanah pertanian di negara yang dikuasai.
Di antara tindakan Rasulullah SAW. terhadap tanah yang dikuasai
yang dapat dijadikan contoh adalah perlakuan beliau terhadap tanah
Khaibar adalah sumber kharaj untuk perekonomian umat Islam. Pada saat
Khaibar ditaklukan, tanah tersebut diserahkan pada bangsa Yahudi khaibar
bukan untuk dijadikan sebagai milik mereka, tetapi diolah untuk lahan
pertanian sesuai dengan syarat yang mereka ajukan, yaitu mereka
mendapatkan setengahnya dari hasil tanaman dan buah-buahan. Dan untuk
menghitung hasil bumi dan mengambil setengahnya sebagai kharaj, Nabi
SAW. mengutus Abdullah bin Rawahah41
.
Secara sederhana, kharaj berarti pajak tanah. Arti kharaj menurut
bahasa dia ambil dari kata “kharaja”, yng artinya mengeluarkan dari
tempatnya. Kharaj adalah apa yang dikeluarkan, lawan dari upaya untuk
mengeluarkan. Kharaj dapat diartiakan harta yang dikeluarkan oleh
pemilik tanah untuk diberikan kepada negara. Ada yang memeberikan
pengertian lain, kharaj adalah apa yang dibayarkan untuk pajak tanah
41 Quth Ibrahim Muhammad, Kebijakan Ekonomi Umar Bin Khattab, Ter.Ahmad
Syarifuddin Shaleh (Jakarta: Pustaka Azzam,2002) hal.79
55
pertanian atau pajak hasil buminya. Beberapa analisis yang lain
beranggapan bahwa kharaj adalah 3 macam dari bentuk perpajakan; yaitu
pajak bumi, jizyah dan „usyr42
.
Pada masa rosullulah saw, jumlah kharaj yang dibayarkan masih
sangat terbatas sehingga tidak diperlukan suaru sistem administrasi yang
terperinci. Selama pemerintahan khalifah Umar, wilayah kekuasaan islam
semakin luas seiring dengan banyaknya daerah-daerah yang berhasil
ditaklukan, baik melalui peperangan maupun secara damai. Sehingga
dibutuhkan kebijakan baru untuk diterapkan negara terhadap kepemilikan
tanah-tanah yang berhasil ditaklukan tersebut.
Dengan semakin luasnya wilayah negara Islam maka dibutuhkan
sistem administrasi yang terperinci untuk penaksiran, pengumpulan dan
pendistribusian pendapatan yag diperolah dari pajak tanah-tanah tersebut.
Dimasa Umar Bin Khatab, kaum muslimin mendapatkan
kemenangan atas Syam, Irak, Dan Mesir serta memperoleh harta rampasan
yang sangat banyak. Para pasukan islam meminta agar harta rampasan
tersebut dibagi-bagikan. Merujuk pada dasar umum yang ditetapkan
rasulullah saw atas tanah Khaibar, Umar membagikan harta yang berupa
42 Quth Ibrahim Muhammad, Kebijakan Ekonomi Umar Bin Khattab, hal. 79
56
barang saja sedangakan tanah tidak dibagikan dan menjadikannya sebagai
milik umum umat islam dan diambil kharaj darinya43
.
Sistem pemungutan kharaj (assesment of kheraj) ada dua macam
sistem yaitu sistem wazifah (tetap) dn sistem muqasamah (proporsional).
Dalam buku reading in islamic fiscal policy dijelaskan tentang sistem
pemungutan kharaj yaitu sebagai berkut:
Cara pemungutan kharaj yang pertama adalah kharaj tetap
(waziyah), yaitu beban pada tanah sebanyak hsil alam atau uang persatuan
lahan yang dibayarkan wajib setelah lampau satu tahun. Sistem ini berlaku
mulai dari halifah Umar bin Khattab sampai pada amasa daulah Abbasiyah
dibwah pemerintahan al-Mahdi. Metode perhitungan wazifah didasaekan
pada pengukuran tanah, tanpa memperhitungkan tingkat kesuburan tanah,
sistem irigasi dan jenis tanaman.
Metode ini mulai berubah pada masa daulah Bani Abbasiayah.
Abu yusuf berpandangan bahwa sistem misaha atau wazifah ini tidak lagi
efesien untuk diterapkan. Dia merujuk pada asaar Umar nin Khattab
menerapkan metode ini hanya sebagian besar tanah yang dapat diolah
sedangakan seabgian lainnya menganggur. Area yang diolah
diklasifikasikan dalam satu kategori dan kharaj juga dikumpulkan dari
43 Quth Ibrahim Muhammad, Kebijakan Ekonomi Umar Bin Khattab, hal. 80
57
tanah yang tidak diolah. Atas dasar pertimbangan optimalisasi pemsukan
bagi negara dan keadilan sosion ekonomi, maka Abu Yusuf
menyampaikan gagasan kepada Khalifah Harun Ar-Rasyid untuk
mengubah sistem Wazifah dengan muqasamah.
Dan yang kedua adalah kharaj perbandingan ( muqasamah) yang
ditetapkan berdasarkan porsi hail seperti ½,1/3, 1/5 dari total hasil yang
panen yang dipunyit pada setiap kali panen. Abu Ubaid adalah orang yang
menemukan sistem baru ini dan kemudian Abu Yusuf mendukung serta
menerapkan sistem baru ini. Pada masa daulah abbasiyah, pajak atas tanah
mengalami perubahan dari tarif tetap menjadi proporsional, dengan
pertimbangan persentase yang ditetepkan oleh negara tidak terlalu tinggi.
Abu yusuf merekomendasikan adaptsi dari sistem muqasamah
denganmengenakan presentase dari produksi panen. Yang sudah ada
Penetapan kharaj (pajak tanah) harus memperhatikan betul
kemampuan kandungan tanah, sebab ada tiga hal berbeda yang sangat
berpengaruh, yaitu:
1. Jenis tanah : karena kandungan tanah bagus, maka tanaman akan subur
dan hasilnya lebih baik dari tanah yang buruk.
2. Jenis tanaman : ada yang harganya tinggi dan juga ada yang rendah.
58
3. Pengelolaan tanah : biaya pengelolaan yang tinggi, maka pajak tanah
tidak sebesar pajak tanah yang disiram dengan air hujan (biaya rendah).
Kharaj yang ada pada masa pemerintahan Islam, secara umum
sesuai dengan ukuran dan nilai-nilai ilmu modern terhadap sumber
pemasukan umum. Jadi Kharaj telah memenuhi syarat-syarat yang urgen
dalam ilmu ekonomi untuk mencapai devisa yang bagus. Kharaj adalah
pajak yang memperhatikan keadilan dalam penetapannya, demikian juga
dalam pengambilannya.
2. Dasar Hukum Pajak Bumi dan Bangunan ditinjau dari
Hukum Islam
Pajak bumi dan bangunan di Indonesia dipungut berdasarkan
Undang-undang No.12 Tahun 1985 sebagaimana telah diubah dengan
Undang-undang N0.12 Tahun 1994. Dengan pertimbangan bahwa bumi
dan bangunan memberikan keuntungan dan kedudukan social yang lebih
baik bagi orang atau badan yang mempunyai suatu hak atasnya atau
memperoleh manfaat dari padanya. Oleh karena itu wajar apabila mereka
diwajibkan memberikan sebagian dari manfaat atau kenikmatan yang
diperolehnya kepada Negara melalui pajak. Hasil penrimaan dari pajak
sangat penting bagi pelaksanaan dan peningkatan pembangunan nasional
59
yang bertujuan untuk meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan
rakyat.44
Dalam hukum Islam memang tidak ada rujukan secara eksplisit
tentang PBB, yang ada hanya pajak bumi yang dikenal dengan kharaj.
Dilihat dari objeknya, baik itu PBB maupun kharaj memeiliki objek yang
sama yaitu tanah. Namun, pada PBB objeknya ditambah dengan
bangunan. PBB dikenakan kepada seluruh masyarakat yang memiliki
tanah dan atau bangunan, lain halnya dengan kharaj yang dikenakaan bagi
non muslim sebagai biaya atas sewa tanah yang dimiliki Negara Islam
karena telah menaklukan wilayah tersebut. Dan kharaj dibayarkan saat
panen dengan mempertimbangkan kemampuan dari tanah tersebut.
Kebijakan dapat terus berubah seiring dengan perubahan kondisi
dan potensi yang dimiliki masyarakat, serta masalah dan kesulitan yang
harus dihadapi. Oleh karena itu, kodisi objektif mempengaruhi penentuan
kebijakan yang harus dijalankan45
.
Dalam memformulasikan kebijakan-kebijakan bagi Negara-negara
muslim menurut kerangka syariat, tidak mungkin dan tidak perlu harus
44 Undang-undang Republik Indonesia No.12 Tahun 1985 tentang pajak bumi
dan bangunan 45 M.Baqir Ash-Shadr, Buku Induk Ekonomi Islam: Iqtishaduna hal. 419-420
60
menemukan contoh masing-masing pada masa lalu46
. Kebijakan yang
relevan bagi kehidupan modern adanya hak Negara islam untuk
mengenakan pajak dengan keadilan. Adalah pendapat yang tidak realistis
bila perpajakan Negara-negara muslim harus terbatas hanya pada lahan
pajak yang telah dinahas oleh para fuqoha. Siyuasi telah berubah dengan
menyertakan realitas perubahan terhadap kebutuhan Negara
berkembang47
.
Salah satu sumber penerimaan Negara Islam adalah zakat dan
sasaran penggunaan dana zakat hanya terbatas pada delapan asnaf yang
telah ditentukan Al-Quran. Oleh karena itu, keperluan pembangunan
infarstruktur seperti untuk membangun jembatan, perbaikan jalan,
pengairan, dan lain sebagainya harus dibiayai dari sumber lain diluar
zakat.
Pada masa-masa penaklukan Islam awal, kas Negara dapat
tercukupi dari seperlima ghanimah (harta rampasan perang), kharaj,dan
lain-lain.
.
46 M.Umer Chapra, Islam dan Tantangan Ekonomi, hal. 247 47 M.Umer Chapra, Islam dan Tantangan Ekonomi, hal. 296
61
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Pajak adalah peralihan kekayaan dari sektor swasta ke sektor publik
berdasarkan undang-undang yang dapat dipaksakan dengan tidak
mendapat imbalan yang secara langsung dapat ditunjukkan, yang
digunakan untuk membiayai pengeluaran umum dan yang digunakan
sebagai alat pendorong, penghambat atau pencegah, untuk mencapai
tujuan yang ada diluar bidang keuangan.
2. Bumi dan bangunan termasuk kedalam jenis kekayaan dan dapat
didistribusikan melalui PBB untuk mengurangi jurang kekayaan antara
orang kaya dan orang miskin. Dengan adanya pengenaan PBB maka
masyarakat akan lebih mempertimbangkan keputusannya dalam
menambah kekayaan mereka. Apabila kekayaan mereka digunakan
untuk hal yang produktif, maka kekayaan mereka akan tetap
bertambah. Sedangkan apabila kekayaan mereka hanya untuk ditimbun
maka secara matemastis akan berkurang seiring dengan pengenaan
PBB setiap tahunnya.
62
3. System tarif pajak yang adil bukan berarti sama rata besarnya
pungutan pajak yang dibebankan kepada masyarakat, akan tetapi
besarnya tarif pajak harus mempertimbangkan juga keadaan ekonomi
dan social wajib pajak. Maka system tarif progresif lebih dianjurkan
dimana semakin tinggi tingkat ekonomi seseorang maka semakin
tinggi pula pajak yang dikenakan, dengan demikian keadilan akan
tercipta di masyarakat.
B. Saran
1. Untuk benar-benar merealisasikan keadaan social dimasyarakat subjek
PBB harus diseleksi lebih ketat berdasarkan jumlah ekayaan, bumi dan
bangunan yang dimiliki, sehingga hanya orang kaya saja yang
dikenakan PBB dan adanya pengecualian bagi orang yang miskin, para
petani yang hanya mengandalkan pembayaran PBB dari hasil
pertaniannya, para pensiunan yang tinggal dijalan protokol dan
sebagainya
2. Kebijakan PBB di Indonesia baru berfungsi sebagai sumber
penerimaan Negara dan belum berfungsi dalam meningkatkan
produktivitas tanah dan bangunan Negara dalam hal ini Direktorat
63
Jenderal Pajak harus terus melakukan evaluasi dan perbaikan dalam isi
kebijakan maupun pelaksanaan PBB tersebut.
3. Tarif proporsional yang digunakan dalam PBB tidak mencerminkan
keadilan social di masyarakat. Oleh karena itu, kebijakan yang ada
didalam PBB ini harus ditinjau ulang maupun dilakukan perubahan
untuk mengikuti perkembangan ekonomi saat ini.
4. Pemerintah harus terus meningkatkan kepercayaan masyarakat agar
pendapatan dalam sektor pajak terus bertambah. Oleh karena itu,
semua aspek pendukung pajak harus memperoleh perhatian yang besar
termasuk didalamnya pemberlakuan peraturan yang menyimpang dan
wajib pajak yang tidak menunaikan kewajibannya.