Upload
lydien
View
220
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
1
BAB II
KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI,
DAN MODEL PENELITIAN
2.1 Kajian Pustaka
Penelitian yang berhubungan dengan kawasan hutan sudah banyak
dilakukan di Indonesia, tetapi penelitian hutan lindung di Provinsi Bali sangat
sedikit dilakukan. Kegiatan yang berhubungan dengan kawasan hutan di Provinsi
Bali berupa kajian, identifikasi potensi, dan karakteristik teknis, digunakan untuk
acuan melaksanakan tugas.
Penelitian mengenai perambahan kawasan hutan di Kecamatan Kubu (di
RPH Kubu), Karangasem Bali belum ditemukan, terlebih lagi bila ditinjau dari
aspek Kajian Budaya. Guna mendukung kepentingan penelitian, beberapa hasil
penelitian digunakan sebagai pijakan sekaligus arahan dan menghindari duplikasi.
Adapun hasil penelitian yang diacu dalam penelitian ini sebagai kajian
pustaka adalah sebagai berikut. Pertama, hasil penelitian Dharmika (2012) dalam
disertasinya berjudul “Kekerasan terhadap Hutan lindung di Wilayah Desa
Penyanding, Kecamatan Pakutatan, Jembrana, Bali”. Teori yang digunakan untuk
memecahkan atau menganalisis masalah adalah teori kekerasan, teori semiotika,
teori perubahan sosial budaya, dan teori dekonstruksi. Hasil penelitian ini
menemukan adanya konflik paradigma di dalam pengelolaan hutan lindung
dengan model berpikir oposisi berpasangan, adanya panggung sandiwara yang
dimainkan oleh berbagai pihak yang berdampak pada ketidakmampuan di dalam
melakukan kontrol, serta ketidaktaatan berbagai pihak di dalam menjalankan nilai,
11
12
norma, hukum, dan aturan yang ada. Penelitian ini menawarkan model
pengelolaan hutan berbasis desa adat. Dengan model pengelolaan hutan lindung
berbasis desa adat, diyakini tujuan pembangunan hutan untuk mencapai
masyarakat sejahtera dan hutan lestari akan menjadi kenyataan. Persamaan
penelitian adalah hasil penelitian dari perspektif kajian budaya, dengan objek
kawasan hutan. Akan tetapi, perbedaannya adalah kasus yang dianalisis adalah
kasus illegal logging, lokasi penelitian, metodologi dan teori yang digunakan.
Penelitian tersebut menjadi sanggahan di bidang kehutanan dalam masalah
perambahan/ngawen, pemindahan patok, pembibrikan, dan illegal logging. Objek
yang diteliti oleh Dharmika (2012) sejatinya tahun 2009 sudah dicanangkan oleh
pemerintah provinsi menjadi model hutan desa. Hutan desa ini memang
berdasarkan adat setempat dan lembaga pengelola harus berbadan hukum. Selain
itu, pemanfaatannya pada hutan lindung, sehingga tidak bisa untuk
menanggulangi kasus seperti illegal logging.
Dalam aturan pemanfaatan di dalam kawasan hutan lindung tidak
diperkenankan melakukan penebangan kayu. Dalam kawasan hutan lindung hanya
diperbolehkan dalam pemanfaatan di antara tegakan dengan kegiatan budi daya
tanaman obat, tanaman hias, jamur, lebah, penangkaran satwa liar, rehabilitasi
satwa, atau budi daya makanan ternak. Pemanfaatan tersebut pada prinsipnya
antara lain budi daya dilakukan dalam pengolahan terbatas dan pada zona
pemanfaatan. Pada hutan lindung di samping pemanfaatan, juga bisa dilakukan
pemungutan berupa pemungutan buah, daun, bunga, dan getah. Terkait dengan
13
masalah perambahan, pembibrikan, illegal logging, merupakan permasalahan
holistik. Khususnya masalah illegal loging banyak menyangkut domain hukum.
Kedua, penelitian yang dilakukan oleh Wiasti, et al. (2012). Penelitiannya
berkaitan dengan hutan lindung di Provinsi Bali, yaitu mengenai “Laporan Hibah
Penelitian Unggulan Udayana: Menangani Kasus Perempuan Ngawen Menuju
Kelestarian Hutan serta Kesetaraan dan Keadilan Gender di Kabupaten Jembrana,
Bali”. Pemungutan dan pemanfaatan kawasan Hutan lindung secara illegal di
Kecamatan Pekutatan, Kabupaten Jembrana, Provinsi Bali, disebut ngawen.
Kegiatan ngawen ini bahasa teknisnya sama dengan merambah. Simpulan
penelitian itu, bahwa aktivitas ngawen dilatari oleh pengetahuan para pengawen
yang berkaitan dengan pengelolaan hutan. Berdasarkan pengetahuan itu para
pengawen berpendapat bahwa pengelolaan hutan sejak dahulu mengandung
peluang untuk terjadinya aktivitas ngawen meskipun aktivitas tersebut melanggar
hukum. Implikasi aktivitas ngawen adalah bahwa peran perempuan relatif setara
dengan peran laki-laki dalam aktivitas ngawen. Namun, dalam konteks tugas
kerumahtanggaan secara keseluruhan beban tugas perempuan lebih berat.
Walaupun demikian, status perempuan tetap pada posisi subordinat di bawah
status laki-laki. Manfaat hasil ngawen dalam kehidupan sosial ekonomi tampak
kurang signifikan, sedangkan hutan lindung dalam kondisi rusak parah akibat
ngawen.
Persamaan penelitian tersebut adalah penelitian dilakukan di kawasan
hutan. Perbedaannya, hasil penelitiannya bukan merupakan hasil disertasi,
melainkan hasil penelitian yang dibiayai dari hibah pemerintah. Di samping itu,
14
lokasi, metodologinya, dan teori yang digunakan berbeda. Terkait dengan
aktivitas ngawen di dalam kawasan hutan lindung, untuk pemanfaatannya
diperlukan kajian teknis karena inti dalam pengelolaannya harus menggunakan
pengolahan terbatas. Sebelum diterapkan pola pemanfaatan hutan desa di lokasi
kawasan hutan lindung termasuk kelompok hutan Bali Barat, sebaiknya dilakukan
penyuluhan yang bersifat komunikasi koersif /menekankan efek bahayanya, akibat
aktivitas ngawen oleh satuan kerja perangkat daerah/SKPD terkait.
Ketiga, penelitian yang berhubungan dengan hutan lindung, diambil
beberapa hasil penelitian. Untuk pengkajian yang terkait dengan hutan produksi di
Provinsi Bali diambil semua karena hanya berjumlah dua buah. Hasil penelitian
tersebut dapat diuraikan seperti berikut ini.
Penelitian Program Studi Teknik Geomatika ITS dan LAPAN (Lembaga
Penerbangan dan Antariksa Nasional) oleh Jefri Ardian Nugroho dkk. pada tahun
2008. Penelitian itu berjudul “Pemetaan Rawan Longsor dengan Pengindraan
Jarak Jauh Informasi Geografis, Studi Kasus Hutan lindung Kabupaten
Mojokerto”. Metode pengelolaan citra SPOT 4 (www.google. 17 Maret 2012).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa area hutan lindung di Kabupaten Mojokerto
termasuk kriteria daerah dengan tingkat kelongsoran tinggi (427,15 ha), tingkat
kelongsoran sedang (177,24 ha), dan tingkat kelongsoran rendah (13,28 ha).
Berdasarkan struktur geologi batuan termasuk formasi Notopuro dengan jenis
tanah mediteran. Adapun salah satu faktor penyebab kelongsoran adalah tingkat
curah hujan yang tinggi, yaitu 2.000--2.500 mm/th dan kelerengan daerah
(15--25% agak curam, seluas 32,318 ha, 25--40% curam seluas 109,939 ha,
15
dan >40% sangat curam seluas 476,385 ha). Terkait dengan aktivitas perambahan,
untuk hutan lindung diperlukan kecermatan dalam pemanfaatannya. Hutan
lindung mayoritas dengan posisi kemiringan curam sehingga perambahan akan
menambah bahaya kelongsoran, yang membahayakan masyarakat sekitar kawasan
hutan.
Penelitian IPB Repository pada tahun 2006 (www.google, 16 Maret 2012)
dengan judul “Pemberdayaan Masyarakat Sekitar Kawasan Hutan lindung Jompi
Kabupaten Muna, Provinsi Sulawesi Tenggara”. Penelitian itu menggunakan
metode survei. Hasil penelitian menunjukkan bahwa proses pemberdayaan
masyarakat sekitar kawasan hutan lindung masih rendah. Pemberdayaan yang
dilakukan oleh pemerintah, baik berupa fisik maupun nonfisik, sifatnya bertahap.
Artinya, alokasi dana untuk memberdayakan masyarakat sekitar kawasan hutan
selalu tergantung kepada kondisi anggaran yang ada. Selain itu, juga kondisi
sumber daya manusia yang sangat terbatas sehingga pembangunan yang bersifat
nonfisik memerlukan proses adopsi yang cukup lama.
Penelitian Balai Litbang Kehutanan Sumatra, Aek Nauli tentang
“Problematik Lembaga Pengelolaan Hutan Lindung di Pasaman, Sumatra Barat”
(2007). Penelitian tersebut menggunakan metode pendekatan kelembagaan. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa secara yuridis terdapat dua lembaga yang berperan
dalam upaya pengelolaan hutan lindung di Kabupaten Pasaman, yaitu Lembaga
Kenagarian dan Dinas Kehutanan Pasaman. Meskipun secara yuridis lembaga
Nagari mempunyai wewenang dalam mengelola hutan karena tergolong sebagai
harta Nagari, dalam implementasinya kewenangan tersebut tidak dapat digunakan
16
sehingga peran lembaga Nagari dalam upaya pengamanan hutan lindung tidak
menunjukkan hasil yang nyata. Di pihak lain, kewenangan Dinas Kehutanan
Pasaman sangat besar dalam upaya pengelolaan hutan lindung.
Sebagai lembaga yang paling bertanggung jawab terhadap hutan lindung
harusnya lembaga ini memerlukan aparat polsus dalam organisasinya. Lembaga
ini tidak mempunyai polisi hutan sehingga lebih sulit untuk mencegah dan
menanggulangi gangguan yang terjadi di hutan lindung. Faktor yang berpengaruh
terhadap kinerja lembaga adalah sumber kekuatan hukum, ketersediaan anggaran,
kualitas moral tenaga, dan tanda batas kawasan. Kelembagaan alternatif kedua
lembaga pengelola hutan lindung tersebut perlu disatukan dalam kelembagaan
tersendiri yang secara fungsional bertanggung jawab kepada Dinas Kehutanan dan
secara struktural bertanggung jawab kepada Wali Nagari (www.google. 17 Maret
2012).
Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Manado pada tahun 2008 oleh
Halidah (www.google. 16 Maret 2012). Penelitian itu berjudul “Potensi dan
Distribusi Air Hutan lindung Provinsi Gorontalo”. Di dalam pelaksanaan
penelitian digunakan metode identifikasi potensi. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa ada kecenderungan luas hutan lindung berpengaruh terhadap hasil air suatu
DAS. Distribusi air DAS sampel meliputi pertanian untuk irigasi, perikanan
(kolam dan keramba), PDAM, serta rumah tangga. Terkait dengan penelitian
aktivitas perambahan, akan memengaruhi tutupan hutan. Oleh karena itu, akan
memengaruhi aerasi hidrologi tanah di dalam kawasan hutan.
17
Kerja sama penelitian antara Fakultas Pertanian, Universitas Udayana dan
Dinas Kehutanan Provinsi Bali tahun 2005 dilakukan melalui pendekatan tiga
strategi pokok, yaitu kelola kawasan, kelola kelembagaan, dan kelola usaha. Hasil
penelitian ini menjadi salah satu arahan dan pegangan dalam perencanaan dan
pelaksanaan pemberdayaan masyarakat sekitar hutan produksi sejalan dengan pola
pengelolaan hutan.
Persamaan penelitian ini adalah kawasan hutan mempunyai fungsi yang
strategis dalam menyokong kehidupan manusia/masyarakat khususnya
masyarakat sekitar kawasan. Perbedaannya terletak dalam pemilihan lokasi objek,
kasus, waktu objek kasus, dan kajian bidang objek kasus. Di samping itu, kajian
tersebut sangat membantu penelitian ini untuk menambah wawasan dan inspirasi.
Di samping itu, juga membantu mengungkap penyebab terjadinya perambahan
hutan di Kecamatan Kubu, Kabupaten Karangasem, Provinsi Bali, tepatnya di
RTK 8 di RPH Kubu, Karangasem, Bali.
Dari kajian pustaka tersebut diketahui bahwa sampai dengan saat ini belum
dijumpai penelitian kajian budaya yang mendalami perambahan kawasan hutan di
Kecamatan Kubu, Kabupaten Karangasem, Provinsi Bali, tepatnya di RTK 8 di
RPH Kubu. Dengan demikian, penelitian ini dipandang layak dilakukan.
2.2 Konsep
Menurut Singarimbun dan Sofian Efendi (1982: 17), konsep adalah unsur
penelitian yang terpenting dan merupakan definisi yang dipakai oleh para peneliti
untuk menggambarkan secara abstrak suatu fenomena sosial atau fenomena alami.
18
Konsep dapat mempunyai tingkat generalisasi yang berbeda. Semakin dekat suatu
konsep kepada realita semakin mudah konsep tersebut diukur. Banyak konsep
ilmu sosial sangat abstrak terutama yang merupakan unsur dari teori yang sangat
umum (grand theory). Atas dasar pemahaman tersebut, dan agar dapat lebih
terarah, maka perlu disajikan konsep-konsep yang digunakan. Konsep dimaksud
setidaknya dapat dikelompokkan dalam lima alur utama, yaitu (1) perambahan;
(2) kawasan hutan/RTK 8, (3) hutan lindung, hutan produksi, KPH Bali Timur,
RPH Kubu, (4) dampak, (5) makna.
2.2.1 Perambahan
Perambahan menurut penjelasan Pasal 50 ayat (3) huruf b Undang-Undang
No. 41, Tahun 1999 tentang Kehutanan adalah upaya melakukan pembukaan
kawasan hutan tanpa mendapat izin dari yang berwenang. Perambahan yang
dimaksud dalam penelitian ini adalah aktivitas/kegiatan masyarakat sekitar
kawasan hutan, yang menanami kawasan hutan dengan tanaman rumput gajah,
kaliandra, gamal, jambu mete dan nenas. Di samping itu, melakukan
pembibrikan/mencari ranting-ranting untuk kayu bakar di kawasan hutan (hutan
lindung dan hutan produksi) di Kecamatan Kubu/RTK 8 di RPH Kubu.
2.2.2 Kawasan Hutan
Kawasan hutan menurut Undang-Undang No. 41, Tahun 1999 tentang
Kehutanan adalah wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan oleh
pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap.
19
Kawasan hutan RTK 8 adalah kawasan hutan termasuk Registrasi Tanah
Kehutanan Nomor 8, yaitu termasuk Kelompok Hutan Gunung Abang Agung,
yang terletak di Kecamatan Kubu.
2.2.3 Hutan lindung, Hutan Produksi, KPH Bali Timur, dan RPH Kubu
Hutan lindung menurut Undang-Undang No. 41, Tahun 1999 tentang
Kehutanan adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagai
perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah
banjir, mengendalikan erosi, mencegah instrusi air laut, dan memelihara
kesuburan tanah.
Hutan produksi menurut Undang-Undang No. 41, Tahun 1999 tentang
Kehutanan adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok memproduksi
hasil hutan. RTK 8 adalah Registrasi Tanah Kehutanan Nomor 8 (Dishut Prov.
Bali. 2009).
KPH Bali Timur adalah Kesatuan Pengelolaan Hutan Bali Timur.
Berdasarkan Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 2, Tahun 2008 tentang
Organisasi dan Tata Kerja Perangkat Daerah Provinsi Bali (Lembaran Daerah
Provinsi Bali Nomor 2, Tahun 2008 Dinas Kehutanan Provinsi Bali telah
membentuk empat UPT Dinas, yaitu UPT KPH Bali Barat, UPT KPH Bali Timur,
UPT KPH Bali Tengah, dan UPT Tahura Ngurah Rai.
UPT KPH Bali Timur dibagi menjadi sebelas Resor Pengelolaan Hutan
(RPH) yang terdiri atas sebelas RPH. Salah satu di antaranya adalah RPH Kubu
(Keputusan Kadishut Prov. Bali No. 188.46/20/Dishut-1 tentang Pembagian
20
Wilayah Kerja Resor Pengelolaan Hutan (RPH) pada Dinas Kehutanan Prov.
Bali).
RPH Kubu adalah Resor Pengolahan Hutan di Kecamatan Kubu. Tugas
dan fungsi Kepala Resor Pengolahan Hutan (RPH) adalah (1) membantu tugas-
tugas Kepala UPT KPH dalam pelaksanaan pengamanan, pembinaan, dan
pengendalian di wilayahnya; (2) melaksanakan patroli dan keamanan hutan di
wilayahnya; (3) membantu Kepala UPT KPH dalam menjaga prasarana
perlindungan hutan, yaitu pal batas keamanan hutan, ilaran api, menara pengawas,
dan jalur pemeriksaan; (4) membantu Kepala UPT KPH atas pelaksanaan kegiatan
reboisasi dan rehabilitasi; (5) melaksanakan sistem pengendalian intern (SPI);
dan (6) melaporkan hasil pelaksanaan kepada Kepala Dinas Kehutanan Provinsi
Bali. Kepala Resor Pengelolaan Hutan (RPH) bertanggung jawab penuh kepada
Kepala UPT KPH masing-masing.
2.2.4 Dampak
Menurut Soemarwotto (1997:48--49) dampak dapat bersifat, baik negatif
maupun positif, tetapi di negara maju orang hanya memperhatikan dampak negatif
daripada dampak positif. Dampak mempunyai arti tubrukan, benturan, pengaruh.
Dampak yang tercermin dari benturan tersebut merupakan kegiatan yang akan
menimbulkan dampak negatif (merugikan). Dampak ialah setiap perubahan yang
terjadi dalam lingkungan akibat adanya aktivitas manusia (Suratmo, 1991: 1--2).
Dampak yang ingin dilihat dari aktivitas perambahan kawasan hutan di
Kecamatan Kubu, Karangasem, Bali adalah dampak yang berkonotasi negatif.
21
2.2.5 Makna
Makna teks menurut Gibbons (2002: 12) selalu lebih luas daripada yang
dimaksud pada saat memproduksinya karena diyakini bahwa teks mengandung
ketidaksadaran kolektif. Makna adalah sesuatu yang memiliki sifat abstrak dan
relatif sehingga individu atau sekelompok orang tidak bisa memaknai suatu hal
dengan cara yang sama. Makna itu merupakan argumentatif dari pencirian
(makna) yang tidak terhitung (Cavallaro, 2004: 9--10). Lebih lanjut Fiske (2007:
68) juga mengatakan bahwa makna merupakan hasil dari interaksi dinamis antara
tanda, inter-pretend, dan objek sehingga makna tersebut dapat mengalami
perubahan seiring dengan perjalanan waktu. Makna bukanlah konsep yang mutlak
dan statis yang bisa ditemukan dalam persamaan pesan.
2.3 Landasan Teori
Penelitian ini adalah penelitian yang berangkat dari fenomena perambahan
kawasan hutan di Kecamatan Kubu (RTK 8 di RPH Kubu), KPH Bali Timur,
Kabupaten Karangasem, Provinsi Bali. Keberadaan kawasan hutan yang menurut
fungsinya sesuai dengan Undang-Undang No. 41, Tahun 1999 tentang Kehutanan
adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagai perlindungan sistem
penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan
erosi, mencegah intrusi air laut, dan memelihara kesuburan tanah. Di pihak lain
dalam RTRWP No. 16 Bab VI, Tahun 2009 Pasal 85 disebutkan bahwa seluruh
kawasan hutan lindung, gunung, dan perbukitan di wilayah Provinsi Bali
ditetapkan sebagai kawasan strategis provinsi dari sudut kepentingan fungsi dan
daya dukung lingkungan hidup. Menurut PP No. 6, Tahun 2007 tentang Tata
22
Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan Jo
PP No. 3 Tahun 2008 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan
Hutan serta Pemanfaatan Hutan. Dalam Bab IV Bagian Kesatu Pemanfaatan
Hutan, diperkenankan melakukan Pemanfaatan hutan lindung dan hutan produksi.
Pada UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup ditentukan sebagai berikut :
Pemerintah menetapkan kebijaksanaan tentang pengelolaanlingkungan hidup dan penataan ruang dengan tetap memperhatikannilai-nilai agama, adat istiadat, dan nilai-nilai yang hidup dalammasyarakat.
Selanjutnya pasal lainnya juga mengatur bahwa dalam menerbitkan izin
melakukan usaha dan/atau kegiatan wajib diperhatikan (1) rencana tata ruang, (2)
pendapat masyarakat, serta (3) pertimbangan dan rekomendasi pejabat yang
berwenang.
Aktivitas perambahan pada kawasan hutan di Kecamatan Kubu (RTK 8 di
RPH Kubu) menjadi objek penelitian. Fenomena ini dibedah melalui tiga buah
teori, yaitu teori diskursus kekuasaan dan pengetahuan, teori hegemoni, dan teori
tindakan komunikatif. Ketiga teori tersebut dipandang mewakili pemikiran kritis
posmodernisme yang masuk dalam kelompok poststructuralist.
2.3.1 Teori Diskursus Kekuasaan dan Pengetahuan
Foucault merupakan salah seorang tokoh yang paling berpengaruh dalam
gerakan postmodernisme, yang telah menyumbangkan pengaruh dan
pemikirannya terhadap perkembangan teori kritis dan teori perubahan sosial.
Analisis diskursus sangat membantu untuk memahami kekuasaan yang
23
tersembunyi di balik pengetahuan. Inilah pikiran utama Foucault. Analisis
terhadap kekuasaan (power) dan kemauan pengetahuan memungkinkan untuk
memahami peran pengetahuan untuk tetap mendominasi kaum marginal (Fakih,
2003: 186).
Diskursus adalah cara menghasilkan pengetahuan beserta praktik sosial
yang menyertainya, bentuk subjektivitas yang terbentuk darinya, relasi kekuasaan
yang ada di balik pengetahuan dan praktik sosial, serta saling keterkaitan di antara
semua aspek tersebut. Foucault dalam Barker. (2004: 83) menekankan hubungan
timbal balik yang saling membangun antara kekuasaan dan pengetahuan sehingga
pengetahuan menjadi tak dapat dipisahkan dengan kekuasaan.
Pengetahuan terbangun di dalam praktik kekuasaan serta membangun
perkembangan, perbaikan, dan profilerasi teknik baru kekuasaan. Bagi Foucault,
wacana tidak hanya mengatur apa yang boleh dan bisa dibicarakan di bawah
batasan kondisi-kondisi sosial dan cultural, tetapi juga mengatur siapa yang boleh
melakukan. Sebagai konsekuensinya, sebagian besar kerja Foucault merupakan
penyelidikan historis tentang kekuasaan dan produksi subjek-subjek lewat
kekuasaan tersebut. Foucault tidak merumuskan kekuasaan sebagai kekuatan
mengekang yang terpusat. Baginya kekuasaan larut dalam setiap tingkat formasi
sosial. Kekuasaan bersifat generatif, yaitu dapat melahirkan identitas dan
hubungan sosial baru.
Kekuasaan menurut Foucault bersifat produktif. Kekuasaan menghasilkan
dan menyebabkan munculnya pengetahuan baru serta mengakumulasikan
kawasan informasi baru, sehingga kekuasaan dan pengetahuan tidak bisa
24
dipisahkan. Tidak ada kekuasaan tanpa menghasilkan pengetahuan. Sebaliknya,
tidak ada pengetahuan yang tidak secara terus-menerus memberikan efek pada
kekuasaan. Pengetahuan itu terimplikasi pada kekuasaan dan tidak bisa dipisahkan
dari kekuasaan, yang terlihat dalam konsep kuasa/pengetahuan. Artinya, ada
hubungan timbal balik yang saling membentuk antara pengetahuan dan
kekuasaan, sehingga pengetahuan tidak dapat dipisahkan dari rezim-rezim
kekuasaan. Pengetahuan terbentuk di dalam konteks relasi dan praktik-praktik
kekuasaan. Di samping itu, turut berperan dalam pengembangan, perbaikan, dan
pemeliharaan teknik-teknik kekuasaan baru.
Kekuasaan memengaruhi tindakan. Kekuasaan yang berasal dari daerah
“marginal” tidak lagi mempunyai konotasi negatif sebagai satu mekanisme
represif. Sebaliknya, mempunyai efek positif karena dapat menghasilkan sesuatu,
yakni memproduksi pengetahuan dan melipatgandakan diskursus itu sendiri di
dalam masyarakat. Menurut Foucault, sejak dekade 60-an kekuasaan beroperasi
tidak lagi sebagai penindas yang berkuasa, tetapi lebih sebagai perangsang yang
efektif (Piliang, 1999: 81).
Pemikiran Foucault tentang kontrol penciptaan diskursus dan bagaimana
kekuasaan (power) bekerja pada pengetahuan membantu para teoretisi dan praktisi
perubahan sosial untuk melakukan pembongkaran terhadap teori dan praktik
pembangunan. Sumbangan terbesar Foucault terhadap teori dan praktik perubahan
sosial adalah membuat teori tersebut lebih sensitif terhadap relasi kekuasaan dan
dominasi yang memberikan kesadaran bagaimana relasi kekuasaan teranyam di
setiap aspek kehidupan dan kehidupan pribadi. Hal ini bertentangan dengan
25
umumnya keyakinan ilmu sosial yang cenderung mengabaikan kekuasaan dalam
dunia ilmu pengetahuan dan berasumsi bahwa pengetahuan itu netral dan tak
berdosa. Kecenderungan memandang bahwa kekuasaan hanya terpusat di negara
ataupun kelas, bagi Foucault merupakan pengingkaran kenyataan karena relasi
kekuasaan terdapat pada setiap aspek kehidupan.
Konsep tentang kekuasaan memberikan pengaruh besar tentang bagaimana
aspek dan pusat lokasi kekuasaan dan bentuk perjuangan untuk membatasi dan
bagaimana berbagi kekuasaan. Jika umumnya pemikiran kekuasaan lainnya hanya
tertuju pada negara dan kelas elite, pikiran Foucault membuka kemungkinan
untuk membongkar semua dominasi dan relasi kekuasaan, seperti kekuasaan
dalam pengetahuan, antara para pencipta diskurs, birokrat, akademisi dan rakyat
miskin jelata yang tidak beradab yang harus didisiplinkan, diregulasikan dan
dibina (Fakih, 2003: 193).
Foucault juga memberikan pengaruh terhadap relasi kekuasaan antara
birokrat dan intelektual universitas yang modern, ilmiah, dan positivistik terhadap
masyarakat awam yang tradisional, suku terasing, perambah hutan, tidak ilmiah,
tahayul, tidak mampu mengelola sumber daya alam, dan belum berbudaya
sehingga perlu dibudayakan dan diberdayakan. Pemikirannya tentang kekuasaan
bahkan menyadarkan orang tentang relasi kekuasaan antara organisasi non
pemerintah dan masyarakat binaan yang memiliki sistem kepercayaan adat lokal,
tidak ilmiah dan animisme, yang semua itu diberdayakan.
Analisis yang dikenal sebagai diskursus analisis merupakan sumbangan
Foucault bagi teori perubahan sosial yang memungkinkan teori tersebut
26
membongkar relasi kekuasaan dan dominasi pada suatu konsep atau wacana
pembangunan. Hal tersebut dimungkinkan karena konsepsi dan wacana
pembangunan memang tidak pernah netral, objektif, dan bebas nilai (Fakih, 2003:
194).
Teori Foucault tersebut di atas, digunakan untuk membedah bagaimana
terjadinya perambahan kawasan hutan di Kecamatan Kubu, Karangasem, Bali
(RTK 8 di RPH Kubu). Masalah perambahan merupakan permasalahan di dalam
kawasan dan di luar kawasan karena perambahan yang terjadi di Kecamatan Kubu
(RPH Kubu) merupakan permasalahan yang datang dari luar kawasan hutan,
tepatnya pada masyarakat di sekitar kawasan hutan yang memelihara ternak.
Untuk memenuhi kebutuhan pakan ternaknya, mereka melakukan kegiatan
penanaman hijauan makanan ternak pada kawasan hutan lindung dan kawasan
hutan produksi.
Wilayah di kawasan hutan lindung dan kawasan hutan produksi merupakan
kewenangan provinsi, sedangkan wilayah di luar kawasan hutan merupakan
kewenangan kabupaten. Pemerintah pemegang kekuasaan (power) mempunyai
konsep-konsep berdasarkan ilmu pengetahuan untuk dilaksanakan/diaplikasikan
di dalam kawasan dan di luar kawasan. Konsep-konsep tersebut berupa desain
program/kegiatan dan sarana pendukung (perangkat keras, dan perangkat lunak),
yaitu berupa peraturan, kebijakan pemerintah, iptek, mentransfer semua bentuk
program/kegiatan informasi pembangunan. Tujuannya agar masyarakat di sekitar
kawasan hutan dapat berdaya sehingga tidak menekan fungsi hutan secara illegal.
Perubahan sosial pada masyarakat di sekitar kawasan hutan di Kecamatan Kubu
27
(RPH Kubu) tersebut merupakan hasil relasi kekuasaan dan pengetahuan. Bukan
saja dari pihak pemerintah, pihak non pemerintah, perguruan tinggi, dan inovator
pun dapat mengapresiasi pengetahuannya untuk kasus perambahan ini.
Desain yang diaplikasikan juga mengatur siapa yang boleh melakukannya,
kapan, dan di mana bisa dilakukan sehingga mempunyai efek yang positif karena
dapat memproduksi pengetahuan dan melipatgandakannya. Keinginan masyarakat
sekitar kawasan hutan bisa dipikirkan oleh pemerintah dengan mengorelasikan
pengetahuan sehingga penguasa tidak menerima dan memenuhi begitu saja sesuai
dengan keinginan masyarakat. Dalam hal ini kekuasaan yang mempunyai power
bisa memenuhi keinginan masyarakat secara efisien dan benar dengan
menggunakan pengetahuannya.
Implementasi pembangunan didesain, juga disertai dengan pemonitoran
dan evaluasi sehingga tujuan tidak terjadinya perambahan di Kecamatan Kubu
(RPH Kubu) oleh masyarakat di sekitar kawasan hutan dapat dicapai. Perubahan
sosial yang diharapkan pada masyarakat sekitar kawasan hutan, antara lain tidak
lagi menganggap hutan sebagai sumber ekonomi tanpa pemilik serta perilaku dan
sikap masyarakat yang bersifat konsumtif terhadap hutan. Pemerintah bisa
mengidentifikasi kebutuhan prioritas untuk dituangkan dalam skala prioritas
perencanaan dan direalisasikan secara bertahap, difasilitasi, dan dikomunikasikan.
Pemerintah dalam posisi sebagai pemegang kebijakan atau kekuasaan dapat
menggunakan pengetahuannya untuk mewujudkan apa yang menjadi kebutuhan
dan keinginan masyarakat.
28
Dengan menggunakan teori diskursus kekuasaan dan pengetahuan ini,
apakah fenomena perambahan terjadi karena adanya dominasi dan relasi
kekuasaan, seperti kekuasaan dalam pengetahuan, antara para pencipta diskurs,
birokrat, akademisi dan rakyat miskin jelata yang tidak beradab yang harus
didisiplinkan, diregulasi, dan dibina? Pengetahuan menampakkan diri dalam
kekuasaan, artinya pengetahuan mewujudkan diri dalam teknologi dan merupakan
sarana untuk mengendalikan alam, membawa perubahan-perubahan sosial,
ekonomi, dan politik di tengah masyarakat.
2.3.2 Teori Hegemoni
Teori hegemoni merupakan sebuah teori politik paling penting pada abad
XX. Teori ini dikemukakan oleh Antonio Gramsci (1891--1937). Teori hegemoni
Gramsci sebenarnya merupakan hasil pemikiran Gramsci ketika dipenjara yang
akhirnya dibukukan dengan judul Selections from The Prisons Notebook yang
banyak dijadikan acuan atau diperbandingkan khususnya dalam mengkritik
pembangunan. Hegemoni adalah hal yang mengikat masyarakat tanpa
menggunakan kekerasan, melainkan dengan negoisasi dan kesepakatan sebagai
hal yang esensial untuk memahaminya. Hegemoni terjadi dalam satu kurun waktu
tertentu melalui serangkaian pertemuan dan proses (Google. 6 Januari 2012).
Simon (2004:19) menyatakan bahwa hegemoni Gramci bukanlah hubungan
dominasi dengan menggunakan kekuasaan, melainkan hubungan persetujuan
dengan menggunakan kepemimpinan politik dan ideologis. Hegemoni adalah
suatu organisasi konsensus. Penggunaan kekuatan koersif negara hanya sebagai
pilihan terakhir ketika “kesadaran spontan” memenuhi kegagalan. Lebih jauh hal
29
ini menunjukkan bahwa kecenderungan kelompok berkuasa mengandalkan
kekuasaan koersif/tekanan. Negara untuk menjaga kekuasaannya hanya
menunjukkan kelemahan, baik ideologis maupun kulturnya, daripada
keperkasaannya (Sugiono, 2006: 37).
Gramscian menggabungkan kekuatan dan kesepakatan dengan tergantung
pada situasi, yang akhirnya melahirkan warga negara yang melalui pendisiplinan
diri lantas menyesuaikan dirinya pada norma-norma yang telah disediakan negara.
Hal itu terjadi sebab warga negara yang melalui pendisiplinan diri melihat bahwa
itulah cara paling aman untuk bertahan hidup dan sejahtera dalam dunia. Artinya,
praktik-praktik terstruktur di sekitarnya tercipta oleh campur tangan kekuasaan
publik ke dalam wilayah privat (Beilharz, 2003: 203).
Gramsci dalam bukunya Theory Social Modern: Perspektif Itali (1990:
169--204) mengatakan bahwa hegemoni sebagai pendekatan teoretis penting
dalam kajian budaya. Analisisnya ditekankan pada hubungan power dan practice.
Hegemoni merujuk pada kedudukan ideologis satu kelompok atau lebih dalam
masyarakat sipil yang lebih tinggi dari pada yang lainnya. Hegemoni menunjuk
pada kuatnya pengaruh kepemimpinan, baik dalam bentuk moral maupun
intelektual, yang membentuk sikap kelas yang dipimpin. Ini terjadi dalam citra
konsensual. Konsensus yang terjadi antara dua kelas ini diciptakan, baik melalui
pemaksaan maupun pengaruh terselubung melalui pengetahuan yang disebarkan
lewat perangkat-perangkat kekuasaan. Dengan kata lain, hegemoni adalah sebuah
rantai kemenangan yang didapat melalui mekanisme konsensus daripada melalui
penindasan terhadap kelas sosial lainnya. Pada dasarnya hegemoni merupakan
30
upaya untuk menggiring orang agar menilai dan memandang problematika sosial
dalam kerangka yang ditentukan (Patria dan Arief dalam Santosa dkk., 2006: 90).
Hegemoni yang dimaksud dalam penelitian ini adalah suatu pemikiran
kritis yang melihat kekuasaan atau kemenangan yang dilakukan dengan cara
menggiring orang atau kelompok orang untuk mengikuti program yang telah
ditetapkan melalui pendekatan politik dan ideologi. Di samping itu, juga
berdasarkan mekanisme konsensus atau kesepakatan dengan menggunakan
instansi yang ada dalam masyarakat.
Beberapa peraturan pemerintah menjadi dasar hukum pembangunan di
bidang kehutanan yang ruang lingkupnya menyangkut di dalam kawasan dan di
luar kawasan. Peraturan tersebut dituangkan dalam program-program untuk
dilaksanakan di Kecamatan Kubu (RPH Kubu), apakah ada pihak masyarakat
yang terhegemoni sehingga masyarakat sekitar kawasan hutan melakukan hal-hal
penyimpangan secara diam-diam. Bentuk-bentuk hegemoni terhadap pelaksanaan
peraturan dan program tersebut tentunya memerlukan pemikiran yang
dipertautkan atau dikorelasikan dengan kekuasaan dan pengetahuan. Dengan
demikian, diperoleh produksi-produksi kebijakan pemerintah yang mampu
membantu masyarakat sekitar kawasan hutan yang disesuaikan dengan peraturan
yang berlaku. Atau adakah peraturan yang bisa mengakomodasi terkait dengan
kasus perambahan yang belum direspon oleh pemerintah.
Teori hegemoni ini digunakan dalam mengkaji bagaimana tindakan
pemerintah terhadap perambah hutan? Apakah fenomena perambahan di RPH
31
Kubu terjadi karena adanya bentuk hegemoni yang dilakukan oleh pemerintah
dalam melaksanakan kebijakan pembangunan di daerah?
2.3.3 Teori Tindakan Komunikasi Jurgen Habermas
Jurgen Habermas dilahirkan di Dusseldorf/Gummersbach pada tahun
1929. Ia belajar di Universitas di Kota Gotttingen. Ia mempelajari kesusastraan
Jerman, filsafat, dan mengikuti kuliah-kuliah psikologi dan ekonomi. Kemudian ia
meneruskan belajar filsafat di Universitas Bonn. Jurgen Habermas meraih doktor
filsafat pada tahun 1954 dan pada tahun 1964 menjabat sebagai profesor filsafat di
Universitas J. Von Goethe Frankfurt.
Habermas menyimpulkan bahwa tindakan manusia yang paling dasar
adalah tindakan komunikasi atau interaksi. Tujuan komunikasi adalah saling
pengertian, sedangkan rasionalitas komunikasi tercapai jika terbina saling
pengertian. Tindakan rasionalitas bertujuan/bersasaran (instrumental) sendiri
terdiri atas pekerjaan jika tujuannya diarahkan pada alam dan tindakan strategis
jika tujuannya diarahkan pada manusia. Dalam setiap komunikasi (dialog),
diandaikan keberlakuan empat klaim, yaitu understandability (kejelasan dalam
mengungkapkan diri sehingga dapat dipahami, truth (kebenaran), keinginan untuk
menyampaikan sesuatu, truthfulness (keterpercayaan) dalam menyingkapkan
sesuatu, dan rightness (ketepatan) pembicaraan harus sesuai dengan norma-
norma komunikasi. Jadi, komunikasi yang baik harus mempertimbangkan
kejelasan, kebenaran, kejujuran, dan ketepatan di samping konteks kehidupan
bersama yang disebut Habermas dengan “dunia kehidupan”. Dengan melakukan
32
dialog kritis melalui berbagai pemikiran filsafat ilmu pengetahuan, diyakini isolasi
dan kebuntuan dapat diatasi (Lubis, 2006: 33).
Melalui buku Theory of Communicative Action (Theorie des
Kommunikative Handelns, 1981), yang banyak dipengaruhi Max Weber dan
Ardono, Habermas membangun dasar-dasar ilmu sosial dalam teori
komunikasinya. Sebagai pemikir kiri demokrat dan kritikus terkemuka, ia
berusaha menghadapi fasisme Jerman. Sebagaimana Weber, ia menjelaskan
interrelasi antara tindakan rasional dan kondisi rasionalisasi sosial sambil
memahami perubahan teoretis yang terjadi dalam ilmu sosial sejak Weber.
Perubahan pertama adalah perubahan konsep tindakan bertujuan (teleologis)
seorang pelaku (agen) menjadi tindakan komunikatif yang menekankan interaksi
antarindividu (subjek) dalam mencapai saling pemahaman. Perubahan kedua
didasarkan atas kritiknya atas analisis Weber, Lukas, Horkkheimer, Adorno
tentang modernisasi kapitalis berdasarkan rasionalisasi sosial. Habermas
merumuskan konsep tindakan komunikatif, klaim validitas ucapan berkaitan
dengan alasan dan latar belakang atau kekuatan motif yang bersifat rasional.
Habermas mengemukakan bahwa setidaknya ada tiga klaim validitas yang
berkaitan dengan tindak bahasa (tindak ucapan). Pertama, klaim dinyatakan benar
(true) jika pernyataan eksistensinya memuaskan. Kedua, tindakan ucapan benar
(correct) berdasarkan konteks normatif yang legitimate (berlaku). Ketiga, maksud
si pengguna bahasa bersungguh-sungguh dalam menyatakan sesuatu. Klaim ini
memungkinkan pengguna bahasa membuka subjektivitasnya, artinya fungsi
bahasa ekspresif lebih ditekankan. Teori Habermas tentang rasionalisasi sosial dan
33
modernitas mendobrak filsafat subjek dengan mengadopsi paradigma pemahaman
timbal balik (mutual understanding) antara dunia kehidupan dan prinsip formal
rasionalitas komunikatif (Turner, 2000: 155 dalam Lubis: 36). Sejalan dengan
Heidegger, Habermas melihat bahwa percakapan (dialog) lebih mengekspresikan
upaya manusia untuk mencari makna daripada menyampaikan pesan-pesan yang
berguna. Habermas membedakan antara rasionalitas instrumental yang berupaya
mengejar secara efektif kepentingan diri sendiri dan rasional komunikatif, yang
bertujuan mencapai kesepahaman bersama melalui bahasa dan sarana-sarana
komunikasi yang lain. Rasionalitas komunikatif adalah keterbukaan terhadap
kritik dan mampu mengajukan argumen yang baik/rasional bagi berbagai
keyakinan, putusan, dan tindakan.
Menurut Habermas, ilmu pengetahuan telah menjadi daya kreatif yang
paling penting dalam masyarakat dewasa ini. Oleh karena itu, teori kritis lebih
memperhatikan peran dan aktivitas kaum ilmuwan, bukan kaum buruh (Lubis,
2006: 40).
Habermas mengembangkan teorinya sendiri mengenai perkembangan
masyarakat. Ia menjelaskan bahwa masyarakat pada hakikatnya komunikatif.
Selain itu, yang menentukan perubahan sosial bukanlah semata-mata
perkembangan kekuatan produksi atau teknologi, melainkan proses belajar dalam
dimensi praktis etis. Teknologi dan faktor objektif lain baru bisa mengubah
masyarakat kalau masyarakat mengintegrasikannya ke dalam tindakan
komunikatif yang memiliki “logikanya sendiri” (Hardiman F. Budi, 2009: 21).
34
Berdasarkan teori tindakan komunikasi Habermas tersebut diketahui bahwa
komunikasi pembangunan sangat diperlukan dalam melakukan perubahan sosial
pada masyarakat di sekitar kawasan hutan di Kecamatan Kubu (RPH Kubu).
Pemahaman terhadap produk-produk pembangunan yang dikomunikasikan secara
langsung oleh penguasa pada tingkatan tertentu, pada intinya masyarakat
diberikan kesempatan untuk duduk bersama, dikondisikan dalam kondisi santai
dan tidak terlalu formal, serta mampu menjadi pendengar yang baik. Hal ini
dilakukan untuk mendapatkan kesepahaman atau feedback komunikasi langsung
yang disampaikan. Pemerintah sebagai penguasa seharusnya mampu membangun
komunikasi yang baik berdasarkan pengetahuan. Untuk itu diperlukan dan
diinginkan kesetaraan dan pemahaman yang sama. Penguasa mampu memahami
apa yang menjadi kebutuhan dan keluhan atau keberatan masyarakat dan
mengusahakan jalan keluarnya.
Dari deskripsi di atas, dapat dikatakan bahwa teori tindakan komunikasi
Habermas digunakan untuk mengungkap komunikasi stakeholder dalam
fenomena perambahan di kawasan hutan RTK 8 di RPH Kubu. Tujuannya adalah
untuk memahami dampak dan maknanya.
2.4 Model Penelitian
Model penelitian merupakan abstraksi dan sintesis antara permasalahan
penelitian dan teori yang dijabarkan dalam bentuk gambar (bagan, grafik, dan
lain-lain) (PPS Unud 2003: 12). Diagram model perambahan pada kawasan hutan
di Kecamatan Kubu (di RPH Kubu) dapat digambarkan sebagai berikut.
35
Gambar 2.1
Model Perambahan Kawasan Hutan
Keterangan :
Saling memengaruhi
Memengaruhi
Bagaimana dampak danmakna perambahan kawasanhutan di Kecamatan Kubu,Karangasem, Bali?
Bagaimana tindakanpemerintah terhadapperambahan kawasanhutan di Kec. Kubu,Karangasem, Bali ?
Bagaimana terjadinyaperambahan kawasanhutan di Kec. Kubu,Karangasem, Bali?
TEMUAN/REKOMENDASI
HutanLindung & Produksi
Masyarakat Lokal
Perambahan kawasan hutandi Kec. Kubu ,
Karangasem, Bali
INTERNAL Sejarah Perambahan Kawasan
Hutan Pandangan Masyarakat tentang
Kawasan hutan Adanya Akses Jalan Menuju
Kawasan Hutan, Terbatasnya Airdan Budaya Pemanfaatan Air, sertaBudaya Pemanfaatan Lahan
Keterbatasan Informasi BidangKehutanan
Tidak Adanya Penjagaan di SekitarKawasan hutan
EKSTERNAL Keterbatasan Pengetahuan
Masyarakat di Bidang Pertanian
Peraturan Pemerintah yangKurang Tegas
Perubahan Iklim Kondisi Awig-Awig yang
Beragam
36
Diagram model penelitian di atas menggambarkan pokok-pokok pikiran
serta konseptual perambahan kawasan hutan di Kecamatan Kubu (RPH Kubu).
Perambahan atau aktivitas perambahan oleh masyarakat di sekitar kawasan hutan
merupakan kegiatan yang bisa mengganggu fungsi hutan. Dampak perambahan,
antara lain terjadinya banjir, berkurangnya air tanah, erosi, longsor, kebakaran dan
terganggunya fungsi hidrologis, terganggunya iklim mikro serta ketersediaan
sumber daya air yang berkelanjutan. Kawasan hutan yang dirambah terdiri atas
kawasan hutan lindung dan kawasan hutan produksi. Luas hutan lindung 2.009,23
ha, terjadi perambahan sekitar kurang lebih 25 ha, sedangkan luas hutan produksi
204,11 ha, terjadi perambahan sekitar kurang lebih 175 ha. Desa yang berdekatan
dengan kawasan hutan adalah Desa Batu Ringgit, Desa Kubu, Desa Dukuh, dan
Desa Tulamben. Terjadinya perambahan disebabkan oleh faktor eksternal dan
internal.