33
BAGIAN ILMU PENYAKIT ANAK FAKULTAS KEDOKTERAN 2005 BAB I PENDAHULUAN Penyakit tetanus masih sering ditemui di seluruh dunia dan merupakan penyakit endemik di 90 negara berkembang. Bentuk yang paling sering pada anak adalah tetanus neonatorum yang menyebabkan kematian sekitar 500.000 bayi tiap tahun karena para ibu tidak diimunisasi. Sedangkan tetanus pada anak yang lebih besar berhubungan dengan luka, sering karena luka tusuk akibat objek yang kotor walaupun ada juga kasus tanpa riwayat trauma tetapi sangat jarang, terutama pada tetanus dengan masa inkubasi yang lama. Spora Clostridium tetani dapat ditemukan dalam tanah dan pada lingkungan yang hangat, terutama di daerah rural dan penyakit ini menjadi masalah kesehatan masyarakat yang utama di negara berkembang. Angka kejadian dan kematian karena tetanus di Indonesia masih tinggi. Indonesia merupakan negara ke-5 diantara 10 negara berkembang yang angka kematian tetanus neonatorumnya tinggi. Pada tahun 1988 jumlah kematian neonatus 54633 dan pada tahun 1992 berjumlah 33264 sedangkan angka kematian

Bagian Ilmu Penyakit Anak

Embed Size (px)

DESCRIPTION

x cx

Citation preview

Page 1: Bagian Ilmu Penyakit Anak

BAGIAN ILMU PENYAKIT ANAK

FAKULTAS KEDOKTERAN

2005

BAB I

PENDAHULUAN

Penyakit tetanus masih sering ditemui di seluruh dunia dan merupakan penyakit endemik

di 90 negara berkembang. Bentuk yang paling sering pada anak adalah tetanus

neonatorum yang menyebabkan kematian sekitar 500.000 bayi tiap tahun karena para ibu

tidak diimunisasi. Sedangkan tetanus pada anak yang lebih besar berhubungan dengan

luka, sering karena luka tusuk akibat objek yang kotor walaupun ada juga kasus tanpa

riwayat trauma tetapi sangat jarang, terutama pada tetanus dengan masa inkubasi yang

lama. Spora Clostridium tetani dapat ditemukan dalam tanah dan pada lingkungan yang

hangat, terutama di daerah rural dan penyakit ini menjadi masalah kesehatan masyarakat

yang utama di negara berkembang.

Angka kejadian dan kematian karena tetanus di Indonesia masih tinggi. Indonesia

merupakan negara ke-5 diantara 10 negara berkembang yang angka kematian tetanus

neonatorumnya tinggi. Pada tahun 1988 jumlah kematian neonatus 54633 dan pada tahun

1992 berjumlah 33264 sedangkan angka kematian tetanus neonatorum pada tahun 1988

sebesar 10,9 ‰ dan tahun 1992 sebesar 7,3 ‰. Angka tersebut cukup tinggi bila

dibandingkan dengan negara tetangga yakni Vietnam dengan jumlah kematian karena

tetanus neonatorum tahun 1988 sebanyak 9598 dan tahun 1992 berjumlah 85550 dan

angka kematian tahun 1988 dan 1992 adalah 4.8 ‰ dan 4,2 ‰ secara berurutan.

Prognosis tetanus ditentukan salah satunya adalah dengan penatalaksanaan yang tepat dan

dilakukan secara intensif. Penyakit tetanus pada neonatus mempunyai case fatality rate

Page 2: Bagian Ilmu Penyakit Anak

yang tinggi (70-90%) sehingga bila tetanus dapat didiagnosis secara dini dan ditangani

dengan baik maka dapat lebih menurunkan angka kematian.

Penatalaksanaan yang baik ditentukan antara lain oleh pemahaman yang tepat mengenai

patofisiologi, manifestasi klinik, diagnosis, komplikasi, penatalaksanaan dan prognosis

dari penyakit tetanus.

BAB II

TETANUS

Definisi

Tetanus adalah penyakit yang mengenai sistem saraf yang disebabkan oleh tetanospasmin

yaitu neurotoksin yang dihasilkan oleh Clostridium tetani. Penyakit ini ditandai oleh

adanya trismus, disfagia, dan rigiditas otot lokal yang dekat dengan tempat luka, sering

progresif menjadi spasme otot umum yang berat serta diperberat dengan kegagalan

respirasi dan ketidakstabilan kardiovaskular. Gejala klinis tetanus hampir selalu

berhubungan dengan kerja toksin pada susunan saraf pusat dan sistem saraf autonom dan

tidak pada sistem saraf perifer atau otot.

Clostridium tetani merupakan organisme obligat anaerob, batang gram positif, bergerak,

ukurannya kurang lebih 0,4 x 6 μm. Mikroorganisme ini menghasilkan spora pada salah

satu ujungnya sehingga membentuk gambaran tongkat penabuh drum atau raket tenis.

Spora Clostridium tetani sangat tahan terhadap desinfektan kimia, pemanasan dan

pengeringan. Kuman ini terdapat dimana-mana, dalam tanah, debu jalan dan pada kotoran

hewan terutama kuda. Spora tumbuh menjadi bentuk vegetatif dalam suasana anaerobik.

Bentuk vegetatif ini menghasilkan dua jenis toksin, yaitu tetanolisin dan tetanospasmin.

Tetanolisin belum diketahui kepentingannya dalam patogenesis tetanus dan menyebabkan

hemolisis in vitro, sedangkan tetanospasmin bekerja pada ujung saraf otot dan sistem

saraf pusat yang menyebabkan spasme otot dan kejang.

Page 3: Bagian Ilmu Penyakit Anak

Gambar Mikroskopik Clostridium tetani.

PATOFISIOLOGI

Clostridium tetani masuk ke dalam tubuh manusia biasanya melalui luka dalam bentuk

spora. Penyakit akan muncul bila spora tumbuh menjadi bentuk vegetatif yang

menghasilkan tetanospasmin pada keadaan tekanan oksigen rendah, nekrosis jaringan

atau berkurangnya potensi oksigen.

Masa inkubasi dan beratnya penyakit terutama ditentukan oleh kondisi luka. Beratnya

penyakit terutama berhubungan dengan jumlah dan kecepatan produksi toksin serta

jumlah toksin yang mencapai susunan saraf pusat. Faktor-faktor tersebut selain

ditentukan oleh kondisi luka, mungkin juga ditentukan oleh strain Clostridium tetani.

Pengetahuan tentang patofisiologi penyakit tetanus telah menarik perhatian para ahli

dalam 20 tahun terakhir ini, namun kebanyakan penelitian berdasarkan atas percobaan

pada hewan.

Penyebaran toksin

Toksin yang dikeluarkan oleh Clostridium tetani menyebar dengan berbagai cara, sebagai

berikut :

1. Masuk ke dalam otot

Page 4: Bagian Ilmu Penyakit Anak

Toksin masuk ke dalam otot yang terletak dibawah atau sekitar luka, kemudian ke

otot-otot sekitarnya dan seterusnya secara ascenden melalui sinap ke dalam susunan

saraf pusat.

2. Penyebaran melalui sistem limfatik

Toksin yang berada dalam jaringan akan secara cepat masuk ke dalam nodus

limfatikus, selanjutnya melalui sistem limfatik masuk ke peredaran darah sistemik.

3. Penyebaran ke dalam pembuluh darah.

Toksin masuk ke dalam pembuluh darah terutama melalui sistem limfatik, namun

dapat pula melalui sistem kapiler di sekitar luka. Penyebaran melalui pembuluh darah

merupakan cara yang penting sekalipun tidak menentukan beratnya penyakit. Pada

manusia sebagian besar toksin diabsorbsi ke dalam pembuluh darah, sehingga

memungkinkan untuk dinetralisasi atau ditahan dengan pemberian antitoksin dengan

dosis optimal yang diberikan secara intravena. Toksin tidak masuk ke dalam susunan

saraf pusat melalui peredaran darah karena sulit untuk menembus sawar otak. Sesuatu

hal yang sangat penting adalah toksin bisa menyebar ke otot-otot lain bahkan ke

organ lain melalui peredaran darah, sehingga secara tidak langsung meningkatkan

transport toksin ke dalam susunan saraf pusat.

4. Toksin masuk ke susunan saraf pusat (SSP)

Toksin masuk kedalam SSP dengan penyebaran melalui serabut saraf, secara

retrograd toksin mencapai SSP melalui sistem saraf motorik, sensorik dan autonom.

Toksin yang mencapai kornu anterior medula spinalis atau nukleus motorik batang

otak kemudian bergabung dengan reseptor presinaptik dan saraf inhibitor.

Hubungan antar bentuk manifestasi klinis dengan penyebaran toksin:

Tetanus lokal

Page 5: Bagian Ilmu Penyakit Anak

Pada bentuk ini, penderita biasanya mempunyai antibosi terhadap toksin tetanus yang

masuk ke dalam darah, namun tidak cukup untuk menetralisir toksin yang berada di

sekitar luka.

Tetanus sefal

Merupakan bentuk tetanus lokal yang mengikuti trauma pada kepala. Otot-otot yang

terkena adalah otot-otot yang dipersarafi oleh nukleus motorik dari batang otak dan

medula spinalis servikalis.

Ascending Tetanus

Suatu bentuk penyakit tetanus yng pada awalnya berbentuk lokal biasanya

mengenai tungkai dan kemudian menyebar mengenai seluruh tubuh. Setelah terjadi

tetanus lokal, toksin disekitar luka masuk cukup banyak dengan cara asenderen

masuk ke dalam SSP.

Tetanus umum

Pada keadaan ini toksin melalui peredaran darah masuk ke dalam berbagai otot dan

kemudian masuk ke dalam SSP. Penyakit ini biasanya didahului trismus kemudian

mengenai otot muka, leher, badan dan terakhir ekstremitas. Hal ini disebabkan

panjang sistem persarafan setiap tempat berbeda-beda, yang paling pendek adalah

yang mengurus otot-otot rahang, kemudian secara berurutan mengenai daerah lain

sesuai urutan panjang saraf.

Mekanisme kerja toksin tetanus:

1. Jenis toksin

Clostridium tetani menghasilkan tetanolisin dan tetanospsmin. Tetanolisin

mempunyai efek hemolisin dan protease, pada dosis tinggi berefek kardiotoksik dan

neurotoksik. Sampai saat ini peran tetanolisin pada tetanus manusia belum diketahui

Page 6: Bagian Ilmu Penyakit Anak

pasti. Tetanospasmin mempunyai efek neurotoksik, penelitian mengenai patogenesis

penyakit tetanus terutama dihubungkan dengan toksin tersebut.

2. Toksin tetanus dan reseptornya pada jaringan saraf

Toksin tetanus berkaitan dengan gangliosid ujung membran presinaptik, baik pada

neuromuskular junction, mupun pada susunan saraf pusat. Ikatan ini penting untuk

transport toksin melalui serabut saraf, namun hubungan antara pengikat dan toksisitas

belum diketahui secara jelas.

Lazarovisi dkk (1984) berhasil mengidentifikasikan 2 bentuk toksin tetanus yaitu

toksin A yang kurang mempunyai kemampuan untuk berikatan dengan sel saraf

namun tetap mempunyai efek antigenitas dan biotoksisitas, dan toksin B yang kuat

berikatan dengan sel saraf.

Tetanus toxin

Normal:

Inhibitory interneuron Glycine

blocks excitation & acetylcholine release muscle relaxation

Tetanus toxin:

Page 7: Bagian Ilmu Penyakit Anak

Blocks glycine release

no inhibition at acetylcholine release irreversible contraction Spastic

paralysis

3. Kerja toksin tetanus pada neurotransmitter

Tempat kerja utama toksin adalah pada sinaps inhibisi dari susunan saraf pusat, yaitu

dengan jalan mencegah pelepasan neurotransmitter inhibisi seperti glisin, Gamma

Amino Butyric Acid (GABA), dopamin dan noradrenalin. GABA adalah

neuroinhibitor yang paling utama pada susunan saraf pusat, yang berfungsi mencegah

pelepasan impuls saraf yang eksesif. Toksin tetanus tidak mencegah sintesis atau

penyimpanan glisin maupun GABA, namun secara spesifik menghambat pelepasan

kedua neurotransmitter tersebut di daerah sinaps dangan cara mempengaruhi

sensitifitas terhadap kalsium dan proses eksositosis.

Perubahan akibat toksin tetanus:

1. Susunan saraf pusat

Efek terhadap inhibisi presinap menimbulkan keadaan terjadinya letupan listrik yang

terus-menerus yang disebut sebagai Generator of pathological enhance excitation.

Keadaan ini menimbulkan aliran impuls dengan frekuensi tinggi dari SSP ke perifer,

sehingga terjadi kekakuan otot dan kejang. Semakin banyak saraf inhibisi yang

terkena makin berat kejang yang terjadi. Stimulus seperti suara, emosi, raba dan

cahaya dapat menjadi pencetus kejang karena motorneuron di daerah medula spinalis

berhubungan dengan jaringan saraf lain seperti retikulospinalis. Kadang kala

ditemukan saat bebas kejang (interval), hal ini mungkin karena tidak semua saraf

inhibisi dipengaruhi toksin, ada beberapa yang resisten terhadap toksin.

Rasa sakit

Rasa sakit timbul dari adanya kekakuan otot dan kejang. Kadang kala ditemukan

neurotic pain yang berat pada tetanus lokal sekalipun pada saat tidak ada kejang.

Page 8: Bagian Ilmu Penyakit Anak

Rasa sakit ini diduga karena pengaruh toksin terhadap sel saraf ganglion posterior,

sel-sel pada kornu posterior dan interneuron.

Fungsi Luhur

Kesadaran penderita pada umumnya baik. Pada mereka yang tidak sadar biasanya

brhubungan dengan seberapa besar efek toksin terhadap otak, seberapa jauh efek

hipoksia, gangguan metabolisme dan sedatif atau antikonvulsan yang diberikan.

2. Aktifitas neuromuskular perifer

Toksin tetanus menyebabkan penurunan pelepasan asetilkolin sehingga mempunyai

efek neuroparalitik, namun efek ini tertutup oleh efek inhibisi di susunan saraf pusat.

Neuroparalitik bisa terjadi bila efek toksin terhadap SSP tidak terjadi, namun hal ini

sulit karena toksin secara cepat menyebar ke SSP. Kadang-kadang efek neuroparalitik

terlihat pada tetanus sefal yaitu paralisis nervus fasialis, hal ini mungkin n. fasialis

lebih sensitif terhadap efek paralitik dari toksin atau karena axonopathi.

Efek lain toksin tetanus terhadap aktivitas neuromuskular perifer berupa:

1. Neuropati perifer

2. Kontraktur miostatik yang dapat berupa kekakuan otot, pergerakan otot yang

terbatas dan nyeri, yang dapat terjadi beberapa minggu sampai beberapa bulan

setelah sembuh.

3. Denervasi parsial dari otot tertentu.

3. Perubahan pada sistem saraf autonom

Pada tetanus terjadi fluktuasi dari aktifitas sistem simpatis dan parasimpatis, hal ini

mungkin terjadi karena adanya ketidakseimbangan dari kedua sistem tersebut.

Mekanisme terjadinya disfungsi sistem autonom karena efek toksin yang berasal dari

otot (retrograd) maupun hasil penyebaran intraspinalis (dari kornu anterior ke kornu

Page 9: Bagian Ilmu Penyakit Anak

lateralis medula spinalis torakal). Gangguan sistem autonom bisa terjadi secara umum

mengenai berbagai organ seperti kardiovaskular, saluran cerna, kandung kemih,

fungsi kendali suhu dan kendali otot bronkus, namun dapat pula hanya mengenai

salah satu organ tertentu.

4. Gangguan Sistem pernafasan

Gangguan sistem pernafasan dapat terjadi akibat :

a. Kekakuan dan hipertonus dari otot-otot interkostal, badan dan abdomen; otot

diafragma terkena paling akhir. Kekakuan dinding thorax apalagi bila kejang yang

terjadi sangat sering mengakibatkan keterbatasan pergerakan rongga dada

sehingga menganggu ventilasi. Tetanus berat sering mengakibatkan gagal nafas

yang ditandai dengan hipoksia dan hiperkapnia. Namun dapat terjadi takipnea

akibat aktifitas berlebihan dari saraf di pusat persarafan yang tidak terkena efek

toksin.

b. Ketidakmampuan untuk mengeluarkan sekret trakea dan bronkus karena adanya

spasme dan kekakuan otot faring dan ketidakmampuan untuk dapat batuk dan

menelan dengan baik. Sehingga terdapat resiko tinggi untuk terjadinya aspirasi

yang dapat menimbulkan pneumonia, bronkopneumonia dan atelektasis.

c. Kelainan paru akibat iatrogenik.

d. Gangguan mikrosirkulasi pulmonal

Kelainan pada paru bahkan dapat ditentukan pada masa inkubasi. Kelainan yang

terjadi bisa berupa kongesti pembuluh darah pulmonal, oedema hemorrhagic

pulmonal dan ARDS. ARDS dapat terjadi pula karena proses iatrogenik atau

infeksi sistemik seperti sepsis yang mengikuti penyakit tetanus.

e. Gangguan pusat pernafasan

Observaasi klinis dan percobaan binatang menunjukkan bahwa pusat pernafasan

dapat terkena oleh toksin tetanus. Paralisis pernafasan tanpa kekakuan otot dan

Page 10: Bagian Ilmu Penyakit Anak

henti jantung dapat terjadi pada pemberian toksin dosis tinggi pada hewan

percobaan. Selain itu ditemukan bahwa penderita mengalami penurunan resistensi

terhadap asfiksia.

Observasi klinis yang menunjukkan kecurigaan keterlibatan pusat pernafasan pada

penderita tetanus adalah :

Adanya episode distres pernafasan akibat kesulitan bernafas yang berat tanpa

ditemukan adanya komplikasi pulmonal, bronkospasme dan peningkatan

sekret pada jalan nafas. Episode ini bervariasi dalam beberapa menit sampai

½-1 jam.

Adanya apnoeic spells, tanda ini biasanya berlanjut menjadi prolonged

respiratory arrest (henti nafas berkepanjangan) dan akhirnya meninggal.

Henti nafas akut dan mati mendadak.

Sekalipun demikian gangguan pusat pernafasan disebabkan oleh penyebab sekunder

seperti hipoksia rekuren/berkepanjangan, asfiksia kaena kejang lama atau spasme

laring, hipokapnia setelah serangan distres pernafasan, dan akibat gangguan

keseimbangan asam basa.

5. Gangguan hemodinamika

Ketidakstabilan sistem kardiovaskular ditemukan penderita tetanus dengan gangguan

sistem saraf autonom yang berat. Penelitian mengenai hemodinamika pada tetanus

berat masih sangat jarang dilakukan karena :

Kendala etik

Perjalanan penyakit tetanus sering diperberat oleh komplikasi seperti sepsis, infeksi

paru, atelektasis, edema paru dan gangguan keseimbangan asam-basa, yang

kesemua ini mempengaruhi sistem kardio-respirasi

Page 11: Bagian Ilmu Penyakit Anak

Pemakaian obat sedatif dosis tinggi dan pemakaian obat inotropik mempersulit

penilaian dari hasil penelitian.

6. Gangguan metabolik

Metabolik rate pada tetanus secara bermakna meningkat dikarenakan adanya kejang,

peningkatan tonus otot, aktifitas berlebihan dari sistem saraf simpatik dan perubahan

hormonal. Konsumsi oksigen meningkat, hal ini pada kasus tertentu dapat dikurangi

dengan pemberian muscle relaxans. Berbagai percobaan memperlihatkan adanya

peningkatan ekskresi urea nitogen, katekolamin plasma dan urin, serta penurunan

serum protein terutama fraksi albumin.

Peninggian katekolamin meningkatkan metabolik rate, bila asupan oksigen tidak dapat

memenuhi kebutuhan tersebut, misalnya karena disertai masalah dalam sistem

pernafasan maka akan terjadi hipoksia dengan segala akibatnya. Katabolisme protein

yang berat, ketidakcukupan protein dan hipoksia akan menimbulkan metabolisme

anaerob dan mengurangi pembentukan ATP, keadaan ini akan mengurangi

kemampuan sistem imunitas dalam mengenali toksin sebagai antigen sehingga

mengakibatkan tidak cukupnya antibodi yang dibentuk. Fenomena ini mungkin dapat

menerangkan mengapa pada penderita tetanus yang sudah sembuh tidak/kurang

ditemukan kekebalan terhadap toksin.

7. Gangguan Hormonal

Gangguan terhadap hipotalamus atau jaras batang otak-hipotalamus dicurigai terjadi pada

penderita tetanus berat atas dasar ditemukannya episode hipertermia akut dan adanya

demam tanpa ditemukan adanya infeksi sekunder. Peningkatan alertness dan

awareness menimbulkan dugaan adanya aktifitas retikular dari batang otak yang

berlebihan. Aksis hipotalamus-hipofise mengandung serabut saraf khusus yang

merangsang sekresi hormon. Aktifitas sekresi oleh serabut saraf tersebut dimodulasi

monoamin neuron lokal. Adanya penurunan kadar prolaktin, TSH, LH dan FSH yang

diduga karena adanya hambatan terhadap mekanisme umpan balik hipofise-kelenjar

endokrin.

Page 12: Bagian Ilmu Penyakit Anak

8. Gangguan pada sistem lain

Berbagai percobaan pada hewan percobaan ditemukan bahwa toksin secara langsung

dapat mengganggu hati, traktus gastro-intestinalis dan ginjal. Pengaruh tersebut dapat

berupa nefrotoksik terhadap nefron, inhibisi mitosis hepatosit dan kongesti-

pendarahan-ulserasi mukosa gaster. Namun secara klinis hal tersebut sulit ditentukan

apakah kelainan klinis seperti gangguan fungsi ginjal, fungsi hati dan abnormalitas

traktus gastrointestinal disebakan semata-mata karena efek toksin atau oleh karena

efek sekunder dari hipovolemia, shock, gangguan elektrolit dan metabolik yang

terganggu.

Secara teoritis ileus, distonia kolon, gangguan evakuasi usus besar dan retensi urin dapat

terjadi karena gangguan keseimbangan simpatis-parasimpatis karena efek toksin baik

di tingkat batang otak, hipotalamus maupun ditingkat saraf perifer simpatis,

parasimpatis. Disfungsi organ dapat pula terjadi sebagai akibat gangguan

mikrosirkulasi dan perubahan permeabilitas kapiler pada organ tertentu.

BAB III

MANIFESTASI KLINIS DAN DIAGNOSIS

1. Manifestasi Klinis

Manifestsi klinis tetanus bervariasi dari kekakuan otot setempat, trismus sampai kejang

yang hebat. Masa timbulnya gejala awal tetanus sampai kejang disebut awitan

penyakit, yang berpengaruh terhadap prognostik.

Manifestasi klinis tetanus terdiri atas 4 macam yaitu:

a. Tetanus lokal

Page 13: Bagian Ilmu Penyakit Anak

Tetanus lokal merupakan bentuk penyakit tetanus yang ringan dengan angka

kematian sekitar 1%. Gejalanya meliputi kekakuan dan spasme yang menetap

disertai rasa sakit pada otot disekitar atau proksimal luka. Tetanus lokal dapat

berkembang menjadi tetanus umum.

b. Tetanus sefal

Bentuk tetanus lokal yang mengenai wajah dengan masa inkubasi 1-2 hari, yang

disebabkan oleh luka pada daerah kepala atau otitis media kronis. Gejalanya

berupa trismus, disfagia, rhisus sardonikus dan disfungsi nervus kranial. Tetanus

sefal jarang terjadi, dapat berkembang menjadi tetanus umum dan prognosisnya

biasanya jelek.

c. Tetanus umum

Bentuk tetanus yang paling sering ditemukan. Gejala klinis dapat berupa berupa

trismus, iritable, kekakuan leher, susah menelan, kekakuan dada dan perut

(opisthotonus), fleksi-abduksi lengan serta ekstensi tungkai, rasa sakit dan kecemasan

yang hebat serta kejang umum yang dapat terjadi dengan rangsangan ringan seperti

sinar, suara dan sentuhan dengan kesadaran yang tetap baik.

d. Tetanus neonatorum

Tetanus yang terjadi pada bayi baru lahir, disebabkan adanya infeksi tali pusat,

umumnya karena tehnik pemotongan tali pusat yang aseptik dan ibu yang tidak

mendapat imunisasi yang adekuat. Gejala yang sering timbul adalah ketidakmampuan

untuk menetek, kelemahan, irritable diikuti oleh kekakuan dan spasme. Posisi tubuh

klasik : trismus, kekakuan pada otot punggung menyebabkan opisthotonus yang berat

dengan lordosis lumbal. Bayi mempertahankan ekstremitas atas fleksi pada siku

dengan tangan mendekap dada, pergelangan tangan fleksi, jari mengepal, ekstremitas

bawah hiperekstensi dengan dorsofleksi pada pergelangan dan fleksi jari-jari kaki.

Kematian biasanya disebabkan henti nafas, hipoksia, pneumonia, kolaps sirkulasi dan

kegagalan jantung paru.

Page 14: Bagian Ilmu Penyakit Anak

Derajat penyakit tetanus menurut modifikasi dari klasifikasi Ablett’s :

a. Derajat I (ringan)

Trismus ringan sampai sedang, kekakuan umum, spasme tidak ada, disfagia tidak ada

atau ringan, tidak ada gangguan respirasi.

b. Derajat II (sedang)

Trismus sedang dan kekakuan jelas, spasme hanya sebentar, takipneu dan disfagia

ringan

c. Derajat III (berat)

Trismus berat, otot spastis, spasme spontan, takipneu, apnoeic spell, disfagia berat,

takikardia dan peningkatan aktivitas sistem otonomi

d. Derajat IV (sangat berat)

Derajat III disertai gangguan otonomik yang berat meliputi sistem kardiovaskuler,

yaitu hipertensi berat dan takikardi atau hipotensi dan bradikardi, hipertensi berat

atau hipotensi berat. Hipotensi tidak berhubungan dengan sepsis, hipovolemia

atau penyebab iatrogenik.

Bila pembagian derajat tetanus terdiri dari ringan, sedang dan berat, maka derajat

tetanus berat meliputi derajat III dan IV.

2. Diagnosis

Diagnosis ditegakkan berdasarkan temuan klinis dan riwayat imunisasi:

- Adanya riwayat luka yang terkontaminasi, namun 20% dapat tanpa riwayat luka.

- Riwayat tidak diimunisasi atau imunisasi tidak lengkap

Page 15: Bagian Ilmu Penyakit Anak

- Trismus, disfagia, rhisus sardonikus, kekakuan pada leher, punggung, dan otot perut

(opisthotonus), rasa sakit serta kecemasan.

- Pada tetanus neonatorum keluhan awal berupa tidak bisa menetek

- Kejang umum episodik dicetusklan dengan rangsang minimal maupun spontan

dimana kesadaran tetap baik.

Temuan laboratorium :

- Lekositosis ringan

- Trombosit sedikit meningkat

- Glukosa dan kalsium darah normal

- Cairan serebrospinal normal tetapi tekanan dapat meningkat

- Enzim otot serum mungkin meningkat

- EKG dan EEG biasanya normal

- Kultur anaerob dan pemeriksaan mikroskopis nanah yang diambil dari luka dapat

membantu, tetapi Clostridium tetani sulit tumbuh dan batang gram positif

berbentuk tongkat penabuh drum seringnya tidak ditemukan.

- Kreatinin fosfokinase dapat meningkat karena aktivitas kejang (> 3U/ml)

BAB IV

DIAGNOSIS BANDING DAN KOMPLIKASI

1. Diagnosis banding

Page 16: Bagian Ilmu Penyakit Anak

Penyakit-penyakit yang menyerupai gejala tetanus adalah

- Meningitis bakterialis - Rabies

- Poliomielitis - Epilepsi

- Ensefalitis - Tetani

- Keracunan striknin - Sindrom Shiffman

- Efek samping fenotiazin - Peritonsiler abses

2. Komplikasi

Komplikasi tetanus yang sering terjadi adalah pneumonia, bronkopneumonia dan sepsis.

Komplikasi terjadi karena adanya gangguan pada sistem respirasi antara lain spasme

laring atau faring yang berbahaya karena dapat menyebabkan hipoksia dan kerusakan

otak. Spasme saluran nafas atas dapat menyebabkan aspirasi pneumonia atau

atelektasis. Komplikasi pada sistem kardiovaskuler berupa takikardi, bradikardia,

aritmia, gagal jantung, hipertensi, hipotensi, dan syok. Kejang dapat menyebabkan

fraktur vertebra atau kifosis. Komplikasi lain yang dapat terjadi berupa

tromboemboli, pendarahan saluran cerna, infeksi saluran kemih, gagal ginjal akut,

dehidrasi dan asidosis metabolik.

BAB V

PENATALAKSANAAN

1. Dasar

a. Memutuskan invasi toksin dengan antibiotik dan tindakan bedah.

1. Antibiotik

Page 17: Bagian Ilmu Penyakit Anak

Penggunaan antibiotik ditujukan untuk memberantas kuman tetanus bentuk vegetatif.

Clostridium peka terhadap penisilin grup beta laktam termasuk penisilin G,

ampisilin, karbenisilin, tikarsilin, dan lain-lain. Kuman tersebut juga peka

terhadap klorampenikol, metronidazol, aminoglikosida dan sefalosporin generasi

ketiga.

Penisilin G dengan dosis 1 juta unit IV setiap 6 jam atau penisilin prokain 1,2 juta 1

kali sehari.

Penisilin G digunakan pada anak dengan dosis 100.000 unit/kgBB/hari IV selama 10-

14 hari.

Pemakaian ampisilin 150 mg/kg/hari dan kanamisin 15 mg/kgBB/hari digunakan bila

diagnosis tetanus belum ditegakkan, kemudian bila diagnosa sudah ditegakkan

diganti Penisilin G.

Rauscher (1995) menganjurkan pemberian metronidazole awal secara loading dose 15

mg/kgBB dalam 1 jam dilanjutkan 7,5 mg/kgBB selama 1 jam perinfus setiap 6

jam. Hal ini pemberian metronidazole secara bermakna menunjukkan angka

kematian yang rendah, perawatan di rumah sakit yang pendek dan respon yang

baik terhadap pengobatan tetanus sedang.

Pada penderita yang sensitif terhadap penisilin maka dapat digunakan tetrasiklin

dengan dosis 25-50 mg/kg/hari, dosis maksimal 2 gr/hari dibagi 4 dosis dan

diberikan secara peroral.

Bila terjadi pneumonia atau septikemia diberikan metisilin 200 mg/kgBB/hari selama

10 hari atau metisilin dengan dosis yang sama ditambah gentamisin 5-7,5

mg/kgBB/hari.

2. Perawatan luka

Luka dibersihkan atau dilakukan debridemen terhadap benda asing dan luka

dibiarkan terbuka. Sebaiknya dilakukan setelah penderita mendapat anti toksin

Page 18: Bagian Ilmu Penyakit Anak

dan sedasi. Pada tetanus neonatorum tali pusat dibersihkan dengan betadine dan

hidrogen peroksida, bila perlu dapat dilakukan omphalektomi.

b. Netralisasi toksin

1. Anti tetanus serum

Dosis anti tetanus serum yang digunakan adalah 50.000-100.000 unit, setengah dosis

diberikan secara IM dan setengahnya lagi diberikan secara IV, sebelumnya

dilakukan tes hipersensitifitas terlebih dahulu. Pada tetanus neonatorum diberikan

10.000 unit IV.

Udwadia (1994) mengemukakan sebaiknya anti tetanus serum tidak diberikan secara

intrathekal karena dapat menyebabkan meningitis yang berat karena terjadi iritasi

meningen. Namun ada beberapa pendapat juga untuk mengurangi reaksi pada

meningen dengan pemberian ATS intratekal dapat diberikan kortikosteroid IV,

adapun dosis ATS yang disarankan 250-500 IU.

2. Human Tetanus Immunuglobulin (HTIG)

Human tetanus imunoglobulin merupakan pengobatan utama pada tetanus dengan dosis

3000-6000 unit secara IM, HTIG harus diberikan sesegera mungkin. Kerr dan

Spalding (1984) memberikan HTIG pada neonatus sebanyak 500 IU IV dan 800-

2000 IU intrathekal. Pemberian intrathekal sangat efektif bila diberikan dalam 24

jam pertama setelah timbul gejala.

Namun penelitian yang dilakukan oleh Abrutyn dan Berlin (1991) menyatakan pemberian

immunoglobulin tetanus intratekal tidak memberikan keuntungan karena

kandungan fenol pada HTIG dapat menyebabkan kejang bila diberikan secara

intrathekal. Pemberian HTIG 500IU IV atau IM mempunyai efektivitas yang

sama.

Dosis HTIG masih belum dibakukan, Miles (1993) mengemukakan dosis yang dapat

diberikan adalah 30-300IU/kgBB IM, sedangkan Kerr (1991) mengemukakan

Page 19: Bagian Ilmu Penyakit Anak

HTIG sebaiknya diberikan 1000 IU IV dan 2000 IU IM untuk meningkatkan

kadar antitoksin darah sebelum debridemen luka.

c. Menekan efek toksin pada SSP

1. Benzodiazepin

Diazepam merupakan golongan benzodiazepin yang sering digunakan. Obat ini

mempunyai aktivitas sebagai penenang, anti kejang, dan pelemas otot yang kuat.

Pada tingkat supraspinal mempunyai efek sedasi, tidur, mengurangi ketakutan dan

ketegangan fisik serta penenang dan pada tingkat spinal menginhibisi refleks

polisinaps. Efek samping dapat berupa depresi pernafasan, terutama terjadi bila

diberikan dalam dosis besar. Dosis diazepam yang diberikan pada neonatus

adalah 0,3-0,5 mg/kgBB/kali pemberian. Udwadia (1994), pemberian diazepam

pada anak dan dewasa 5-20 mg 3 kali sehari, dan pada neonatus diberikan 0,1-0,3

mg/kgBB/kali pemberian IV setiap 2-4 jam. Pada tetanus ringan obat dapat

diberikan per oral, sedangkan tetanus lain sebaiknya diberikan drip IV lambat

selama 24 jam.

2. Barbiturat

Fenobarbital (kerja lama) diberikan secara IM dengan dosis 30 mg untuk neonatus

dan 100 mg untuk anak-anak tiap 8-12 jam, bila dosis berlebihan dapat

menyebabkan hipoksisa dan keracunan. Fenobarbital intravena dapat diberikan

segera dengan dosis 5 mg/kgBB, kemudian 1 mg/kgBB yang diberikan tiap 10

menit sampai otot perut relaksasi dan spasme berkurang. Fenobarbital dapat

diberikan bersama-sama diazepam dengan dosis 10 mg/kgBB/hari dibagi 2-3

dosis melalui selang nasogastrik.

3. Fenotiazin

Klorpromazin diberikan dengan dosis 50 mg IM 4 kali sehari (dewasa), 25 mg IM 4

kali sehari (anak), 12,5 mg IM 4 kali sehari untuk neonatus. Fenotiazin tidak

Page 20: Bagian Ilmu Penyakit Anak

dibenarkan diberikan secara IV karena dapat menyebabkan syok terlebih pada

penderita dengan tekanan darah yang labil atau hipotensi.

2. Umum

Penderita perlu dirawat dirumah sakit, diletakkan pada ruang yang tenang pada unit

perawatan intensif dengan stimulasi yang minimal. Pemberian cairan dan elektrolit

serta nutrisi harus diperhatikan. Pada tetanus neonatorum, letakkan penderita di

bawah penghangat dengan suhu 36,2-36,5oC (36-37oC), infus IV glukosa 10% dan

elektrolit 100-125 ml/kgBB/hari. Pemberian makanan dibatasi 50 ml/kgBB/hari

berupa ASI atau 120 kal/kgBB/hari dan dinaikkan bertahap. Aspirasi lambung harus

dilakukan untuk melihat tanda bahaya. Pemberian oksigen melalui kateter hidung dan

isap lendir dari hidung dan mulut harus dikerjakan.

Trakheostomi dilakukan bila saluran nafas atas mengalami obstruksi oleh spasme atau

sekret yang tidak dapat hilang oleh pengisapan. Trakheostomi dilakukan pada bayi

lebih dari 2 bulan. Pada tetanus neonatorum, sebaiknya dilakukan intubasi

endotrakhea.

Bantuan ventilator diberikan pada :

1. Semua penderita dengan tetanus derajat IV

2. Penderita dengan tetanus derajat III dimana spasme tidak terkendali dengan terapi

konservatif dan PaO2 <>

3. Terjadi komplikasi yang serius seperti atelektasis, pneumonia dan lain-lain.

3. Berdasarkan tingkat penyakit tetanus

a. Tetanus ringan

Penderita diberikan penaganan dasar dan umum, meliputi pemberian antibiotik,

HTIG/anti toksin, diazepam, membersihkan luka dan perawatan suportif seperti

diatas.

Page 21: Bagian Ilmu Penyakit Anak

b. Tetanus sedang

Penanganan umum seperti diatas. Bila diperlukan dilakukan intubasi atau trakeostomi

dan pemasangan selang nasogastrik delam anestesia umum. Pemberian cairan

parenteral, bila perlu diberikan nutrisi secara parenteral.

c. Tetanus berat

Penanganan umum tetanus seperti diatas. Perawatan pada ruang perawatan intensif,

trakeostomi atau intubasi dan pemakaian ventilator sangat dibutuhkan serta

pemberikan cairan yang adekuat. Bila spasme sangat hebat dapat diberikan

pankuronium bromid 0,02 mg/kgBB IV diikuti 0,05 mg/kg/dosis diberikan setiap

2-3 jam. Bila terjadi aktivitas simpatis yang berlebihan dapat diberikan beta

bloker seperti propanolo atau alfa dan beta bloker labetolol.

BAB VI

PROGNOSIS

Tetanus neonatorum mempunyai angka kematian 66%, pada usia 10-19 tahun, angka

kematiannya antara 10-20% sedangkan penderita dengan usia > 50 tahun angka

kematiannya mencapai 70%. Penderita dengan undernutrisi mempunyai prognosis 2 kali

lebih jelek dari yang mempunyai gizi baik. Tetanus lokal mempunyai prognosis yang

lebih baik dari tetanus umum.

Sistem Skoring

Skor 1 Skor 0

Masa inkubasi <> > 7 hari

Awitan penyakit <> > 48 jam

Tempat masuk Tali pusat, uterus, fraktur

terbuka, postoperatif, bekas

Selain tempat tersebut

Page 22: Bagian Ilmu Penyakit Anak

suntikan IM

Spasme (+) (-)

Panas badan (per rektal) > 38,4 0C (> 40 0C) < 38,4 0C ( < 40 0C)

Takikardia dewasa > 120 x/menit <>

neonatus > 150 x/menit <>

Dikutip dari Habermann, 1978, Bleck, 1991

Tabel klasifikasi untuk prognosis Tetanus

Tingkat Skor Prognosis

Ringan 0-1 <>

Sedang 2-3 10 – 20

Berat 4 20 – 40

Sangat berat 5-6 > 50

Dikutip dari Bleck, 1991

Catatan : Tetanus sefalik selalu dinilai berat atau sangat berat

Tetanus neonatorum selalu dinilai sangat berat

BAB VII

DAFTAR PUSTAKA

1. Azhali MS, Herry Garna, Aleh Ch, Djatnika S. Penyakit Infeksi dan Tropis.

Dalam : Herry Garna, Heda Melinda, Sri Endah Rahayuningsih. Pedoman

Diagnosis dan Terapi Ilmu Kesehatan Anak, edisi 3. FKUP/RSHS, Bandung,

2005 ; 209-213.

2. Rauscher LA. Tetanus. Dalam :Swash M, Oxbury J, penyunting. Clinical

Neurology. Edinburg : Churchill Livingstone, 1991 ; 865-871

Page 23: Bagian Ilmu Penyakit Anak

3. Behrman, Richard E., MD; Kliegman, Robert M.,MD ; Jenson Hal. B.,MD,

Nelson Textbook of Pediatrics Vol 1” 17th edition W.B. Saunders Company. 2004

4. Udwadia FE, Tetanus. Bombay: Oxford University Press, 1993 : 305

5. Soedarmo, Sumarrno S.Poowo; Garna, Herry; Hadinegoro Sri Rejeki S, Buku

Ajar Ilmu Kesehatan Anak, Infeksi & Penyakit Tropis, Edisi pertama, Ikatan

Dokter Anak Indonesia.

6. WHO News and activities. The Global Eliination of neonatal tetanus : progress to

date, Bull WHO 1994; 72 : 155-157

7. www.emidicine.com/ped/topic3038.htm