Upload
whiwiksurwindah
View
36
Download
1
Embed Size (px)
Citation preview
II. HUKUM KE NOL DAN PERTAMA TERMODINAMIKA
2.1. Beberapa Konsep dan pengertian dasar
Termodinamika adalah bidang ilmu pengetahuan yang mempelajari
transformasi dari berbagai bentuk energi, pembatasan-pembatasan dalam
transformasi ini serta penggunaannya.
Bagi ahli kimia pengetahuan tentang termodinamika adalah penting
sekali, karena banyak penggunaannya, baik dalam bidang ilmu
pengetahuan maupun dalam bidang ilmu teknik. Misalnya, aplikasi dari
termodinamika pada system kimia memungkinkan perumusan syarat-syarat
kespontanan dan kesetimbangan reaksi.
2.1.1. Sistem dan Lingkungan
Dalam pembahasannya, termodinamika memusatkan perhatiannya
pada suatu bagian tertentu dari alam semesta, yang disebut system. Sistem
dapat berupa suatu zat atau campuran zat-zat yang dipelajari sifat-sifatnya
pada kondisi yang dapat diatur. Sistem-sistem yang penting misalnya, gas
(misal : udara), uap (misal: uap air), campuran gas (misal : bensin dan
udara).
Segala sesuatu yang ada diluar system disebut lingkungan. Sistem
terpisah dari lingkungannya dengan batas-batas tertentu yang dapat nyata
dan tidak nyata. Dalam banyak hal batas-batas system adalah
permukaannya, misalnya pada setetes cairan.
Antara system dan lingkungannya dapat terjadi pertukaran energi
dan materi. Berdasarkan pertukaran ini dapat dibedakan tiga macam
sistem.
1. Sistem tersekat, sistem yang dengan lingkungannya tidak dapat
mempertukarkan baik energi maupun materi. Contohnya : Botol termos
yang ideal. Sistem tersekat merupakan sistem dengan energi tetap
walaupun didalamnya dapat terjadi perubahan energi dari satu bentuk ke
bentuk yang lain.
25
2. Sistem tertutup, sistem yang dengan lingkungannya hanya dapat
mempertukarkan energi. Contohnya sejumlah gas dalam silinder.
3. Sistem terbuka, sistem yang dengan lingkungannya dapat
mempertukarkan energi dan materi. Contoh suatu zat atau campuran
zat dalam gelas piala terbuka.
2.1.2. Keadaan sistem dan fungsi keadaan
Suatu sistem berada dalam keadaan tertentu apabila semua sifat-
sifatnya mempunyai harga tertentu dan tidak berubah dengan waktu.
Keadaan sistem ditentukan oleh sejumlah parameter atau variabel sistem
(misalnya temperatur, tekanan, volume, jumlah zat, energi dalam, entropi dan
sebagainya). Jumlah parameter yang diperlukan bergantung pada sistem itu
sendiri, misalnya untuk suatu gas tunggal diperlukan tiga parameter seperti
jumlah mol, temperatur, dan tekanan. Bila ketiga parameter ini telah
ditentukan harganya, maka gas tersebut berada dalam keadaan tertentu dan
semua variabel sistem lainnya mepunyai harga tertentu pula.
Variabel sistem dapat digolongkan sebagai variabel intensif, yang tidak
bergantung pada ukuran sistem (tekanan, temperatur, medan listrik, dan
sebagainya), dan sebagai variabel ekstensif yang bergantung pada ukuran
sistem (massa, volume, energi dalam, entropi, dan sebagainya).
Setiap besaran atau variabel yang harganya hanya bergantung pada
keadaan sistem dan tidak bergantung pada bagaimana keaadan itu tercapai,
disebut fungsi keadaan. Fungsi keadaan misalnya, temperatur, tekanan,
volume, energi dalam, entropi, dan sebagainya. Pada prinsipnya setiap
fungsi keadaan dapat dinyatakan sebagai fungsi dari suatu set variabel yang
cukup untuk menentukan keadaan sistem. Misalnya untuk gas ideal dapat
ditulis, V = V(n,T,P), P=P(n,T,V), atau T= T(n.P,V).
26
Diferensial dari setiap fungsi keadaan merupakan diferensial total. Jadi bila x
adalah suatu fungsi keadaan, maka dx adalah diferensial total. Sifat-sifat dx
sebagai diferensial total dapat disimpulkan sebagai berikut :
1.
2.
3. Jika x adalah fungsi dari y dan z, maka
x = f (y,z)
2.1. 3. Perubahan Keadaan
Bila suatu sistem mengalami perubahan keadaan maka perubahan ini
sudah tertentu bila keadaan awal dan keadaan akhir sistem diketahui. Urutan
keadaan-keadaan antara yang dilalui sistem dalam perubahan ini disebut
jalannya perubahan. Perubahan keadaan yang berlangsung melalui jalan yang
sudah ditentukan disebut proses. Suatu proses dapat bersifat reversibel atau
tidak reversibel.
Dalam termodinamika proses reversibel adalah proses yang harus memenuhi
dua persyaratan :
(a). Proses itu dapat dibalikkan arahnya sehingga setiap keadaan antara yang
telah dilalui oleh sistem akan dilaluinya kembali dengan arah yang
berlawanan.
27
(b) Proses itu harus berlangsung demikian lambatnya sehingga setiap keadaan
antara yang dilalui oleh sistem dapat dianggap berada dalam kesetimbangan.
Hal ini hanya mungkin bila pada setiap saat gaya penentang tak terhingga
lebih kecil dari gaya penggerak proses.
Perhatikan, misalnya sejumlah gas dalam silinder yang dilengkapi
dengan penghisap. Gas memuai dari volume awal V1 ke volume akhir V2.
Gaya penggerak dari proses ini ialah tekanan gas P, sedangkan gaya
penentangnya adalah tekanan luar Pl. Kalau proses pemuaian ini
berlangsung secara reversibel, maka pada setiap saat harus berlaku Pl = P –
dP, dengan dP ialah suatu bilangan yang tak terhingga kecil. Untuk proses
pemampatan secara reversibel dari V2 ke V1 harus berlaku Pl = P + dP.
Setiap proses yang tidak memenuhi persyaratan di atas bersifat tak
reversibel.
Walaupun dalam praktek proses yang benar-benar berjalan secara
reversibel tidak ditemukan, namun ada sejumlah proses yang dapat
diperlakukan demikian, misalnya proses perubahan fasa yang berlangsung
pada temperatur transisinya. Perhatikan, misalnya proses penguapan air
pada 1 atm dan 100 oC,
1 atm H2O(l) H2O(g) 100 oC
Pada kondisi 1 atm dan 100oC fasa cair dan fasa uap berada dalam
kesetimbangan dan bila perubahan ini berlangsung cukup lambat maka
prosesnya dapat dianggap reversibel. Perubahan
1 atm H2O(l) H2O(g) 25 oC
Tidak dapat dianggap irreversibel karena kedua fase tersebut tidak berada
dalam kesetimbangan pada 1 atm dan 25 oC.
28
Dalam termodinamika konsep kereversibelan adalah penting sekali, antara
lain dalam hubungannya dengan kerja maksimum dan pendefinisian fungsi
entropi.
Baik proses reversibel maupun proses tak reversibel dapat dilaksanakan
secara isoterm (temperatur tetap), isobar (tekanan tetap), isokhor (volume
tetap), adiabat (tanpa ada pertukaran kalor antara sistem dan
lingkungannya), dan sebagainya.
2.1.4. Kalor dan Kerja
Kalor dan kerja adalah dua konsep penting dalam termodinamika. Oleh
karena itu pengertian tentang kedua konsep ini harus difahami dengan baik.
Kalor, q, didefinisikan sebagai energi yang dipindahkan melalui batas-batas
sistem sebagai akibat langsung dari perbedaan temperatur antara sistem dan
lingkungannya. Menurut perjanjian q dihitung positif bila kalor masuk sistem
dan q negatif bila kalor ke luar sistem. Jumlah yang dipertukarkan antara sistem
dan lingkungannya bergantung pada caranya perubahan keadaan sistem
berlangsung. Oleh karena itu q bukan fungsi keadaan dan dq bukan diferensial
total (biasanya dinyatakan sebagai ðq). Penting sekali untuk diperhatikan bahwa
kalor sebagai suatu bentuk energi hanya mempunyai arti dalam sutu perubahan.
Adalah tidak benar untuk menyatakan bahwa sistem pada keadaan tertentu
mempunyai sejumlah kalor. Kalor hanya muncul dalam suatu perubahan
keadaan.
Kerja, w adalah energi yang bukan kalor yang dipertukarkan antara sistem dan
lingkungannya dalam suatu perubahan keadaan. Menurut perjanjian w dihitung
positif,bila lingkungan melakukan kerja terhadap sistem (misalnya pada proses
pemampatan gas), dan w negatif bila sistem melakukan kerja terhadap
lingkungan (misalnya bila gas memuai terhadap tekanan atmosfir). Besarnya w
bergantung pada jalannya perubahan. Jadi kerja bukan merupakan fungsi
keadaan dan dw bukan diferensial total (biasanya dinyatakan sebagai ðw).
29
Salah satu bentuk kerja yang penting adalah kerja yang bersangkutan dengan
perubahan volume sistem, disebut kerja ekspansi bila terjadi penambahan
volume sistem atau kerja kompresi bila terjadi pengurangan volume sistem.
2.2. Hukum ke Nol Termodinamika
Hukum kesetimbangan termal, hukum ke nol termodinamika, merupakan
prinsip penting yang lain. Pentingnya hukum ini terhadap konsep temperatur
tidak sepenuhnya dicapai sampai setelah bagian lain dari termodinamika telah
mencapai suatu pengembangan yang lebih maju, ini biasanya disebut hukum nol.
Untuk mengillustrasikan hukum ke nol tersebut kita menggunakan dua
sampel gas*. Satu sampel dibatasi dalam volume V1, yang lainnya dalam volume
V2. Tekanan secara berturut-turut adalah p1 dan p2. Pada awalnya kedua system
diisolasi dari masing-masing dan dalam kesetimbangan internal lengkap. Volume
dari setiap wadah adalah tetap, dan kita membayangkan bahwa masing-masing
mempunyai suatu ukuran tekanan, seperti ditunjukkan pada gambar 2-1 (a).
Gambar 2-1 (a) sistem terisolasi dan (b) sistem dengan kontak termal
Kedua sistem tersebut terbawa dalam kontak melewati sebuah dinding.
Terdapat dua kemungkinan yaitu ketika dalam kontak melewati dinding baik
system-sistem tersebut saling mempengaruhi maupun tidak saling
mempengaruhi. Jika system tidak saling mempengaruhi satu sama lain, dinding
tersebut merupakan suatu dinding yang terisolasi (insulating), atau dinding
adiabatik (adiabatic); Dalam kondisi ini tekanan dari kedua system tersebut tidak
dipengaruhi dengan adanya kontak. Jika system saling mempengaruhi satu
sama lain setelah dilakukan kontak, kita akan mengamati bahwa pembacaan dari
ukuran tekanan berubah dengan waktu, sampai mencapai dua nilai baru yaitu P1’
30
dan P2’, Gambar 2-1 (b). Dalam situasi ini dinding tersebut merupakan suatu
dinding penghantar secara termal (thermally conducting); system tersebut adalah
dalam kontak termal. Setelah sifat-sifat dari dua system yang berhubungan
secara termal mencapai nilai yang tidak berubah lagi dengan waktu, kedua
sistem berada dalam kesetimbangan termal. Kedua system ini kemudian
mempunyai suatu sifat umum, sifat tersebut menjadi kesetimbangan termal satu
sama lain.
Jika terdapat tiga system A, B, dan C yang ditata seperti pada Gambar 2-2
(a). Sistem A dan B berada dalam kontak termal, dan system B dan C berada
dalam kontak termal. Sistem campuran ini dibiarkan beberapa saat sampai
tercapai kesetimbangan termal, A berada dalam kesetimbangan termal dengan B
dan B dengan C
Gambar 2-2. Hukum ke nol
Jika kontak A dan C dihilangkan dari B (gambar b), tidak ada perubahan sifat A
dan C terhadap waktu, A dan C berada dalam kesetimbangan termal.
2.3. Perumusan Hukum Pertama Termodinamika
2.3.1 Energi dalam dan Perubahan energi dalam
Setiap sistem mempunyai sejumlah energi. Bentuk-bentuk energi ini
mencakup energi translasi, energi rotasi, energi vibrasi, energi elektronik dan
sebagainya. Dalam termodinamika energi total sistem disebut energi dalam, U.
Energi dalam hanya bergantung pada keadaan sistem, pada suatu keadaan
tertentu energi dalam mempunyai harga tertentu.
31
Jika sistem mengalami perubahan dari keadaan awal, i (energi dalam = U i) ke
keadaan akhir, f (energi dalam = Uf), maka sistem akan mengalami perubahan
energi dalam sebesar,
∆U = Uf – Ui (2.1)
Harga ∆U hanya bergantung pada keadaan awal dan keadaan akhir sistem dan
tidak bergantung pada jalannya perubahan. Satuan energi dalam, kalor dan kerja
adalah sama. Satuan SI untuk ketiganya adalah Joule ( J ), (1 J = kg m2 det-2)
2.3.2 Hukum Kekekalan energi
Secara eksperimen, energi dalam sistem dapat diubah dengan melakukan
kerja pada sistem atau dengan pemanasan. Transfer energi dapat diketahui
melalui naik turunnya suatu piston (transfer energi dengan melakukan kerja) dan
pencairan es di sekitar lingkungannya (transfer energi sebagai kalor). Antara
kerja dan kalor terhadap lingkungannya dapat dibedakan berdasarkan transfer
energinya. Kerja yaitu transfer energi yang mengubah gerakan atom pada
lingkungannya dengan cara yang seragam sedangkan kalor yaitu transfer energi
yang mengubah gerakan atom dalam lingkungannya secara acak.
Perubahan energi dalam dari sistem tertutup sama dengan energi yang ditransfer
melalui batas-batas sistem sebagai kalor atau kerja
32
DU = q + w (2.2)
Persamaan ini merupakan bentuk matematik dari hukum pertama termodinamika
Hukum ini adalah hukum kekekalan energi, energi tidak dapat diciptakan atau
dihancurkan. DU = q + w atau dU = dq + dw (2.3)
dq dan dw harus dapat dihubungkan dengan kejadian-kejadian yang terjadi pada
lingkungannya.Yang pertama akan ditinjau adalah kerja ekspansi, kerja yang
timbul karena adanya perubahan volume. Kerja ini termasuk kerja yang dilakukan
gas karena mengalami ekspansi
2.3.3. Kerja ekspansi
Dalam termodinamika, perhatian sering diberikan pada kerja yang
dilakukan pada atau oleh sistem karena adanya ekspansi. Kerja ini dapat
dihitung dengan memperhatikan gambar berikut
33
Perhatikan sejumlah gas yang berada dalam sebuah silinder yang dilengkapi
dengan piston (pengisap). Jika tekanan luar = Pe, gaya pada permukaan luar
dari piston adalah : F = Pe A.
Misalkan gerakan piston : kuasistatik (sangat lambat dibandingkan dengan tiap
proses yang menyebarkan energi dan materi ke lingkungan). Cara lain untuk
mengekspresikan sifat kuasistatik dari proses adalah dengan menyatakan bahwa
lingkungan harus tetap dalam kesetimbangan internal (tidak ada energi atau
materi mengalir dari satu daerah lingkungan ke daerah lingkungan lainnya jika
piston berhenti). Perhitungan kerja dimulai dari definisi yang digunakan dalam
fisika : kerja yang diperlukan untuk menggerakan suatu obyek sejauh dx
terhadap gaya, F adalah : dw = - F dx (2.4)
Tanda negatif menunjukkan bahwa jika sistem menggerakan obyek sejauh dx
terhadap gaya, energi dalam sistem yang melakukan kerja akan berkurang. Jika
sistem terekspansi secara kuasistatik melalui jarak dx terhadap tekanan eksternal
Pe, kerja yang dilakukan adalah : dw = - Pe A dx (2.5)
Jika : A dx = dv
Maka : dw = - Pe dv (2.6)
34
Kerja yang dilakukan oleh gas jika volume berubah dari V1 ke V2 dapat diperoleh
dengan mengintegralkan persamaan.
(2.7)
Harga dari integral ini hanya dapat dihitung apabila P l dapat dinyatakan sebagai
fungsi dari V. Pada umumnya fungsi ini tidak diketahui. Beberapa keadaan
khusus :
1. Pl = 0, yaitu bila gas memuai terhadap vakum; dalam hal ini w = 0. Proses
ini disebut ekspansi bebas.
2. .Pl = tetap, misalnya bila gas memuai tekanan atmosfir yang tetap
= (2.8)
3. Pl = P – dP, yaitu bila proses pemuaian berlangsung reversible.
(2.9)
Oleh karena suku kedua pada ruas kanan persamaan ini sangat kecil
dibandingkan terhadap suku pertama, maka pada P suku 2 reversibel
akan berlaku,
Dengan P ialah tekanan gas. Harga integral ini dapat dihitung bila
persamaan keadaan dari gas yang bersangkutan diketahui. Misalnya
untuk gas ideal, P = nRT/V, sehingga pada temperature tetap,
35
2.4. Fungsi Entalpi dan Perubahan Entalpi.
Kebanyakan reaksi-reaksi kimia dilaksanakan pada tekanan tetap yang
sama dengan tekanan atmosfer. Jika diketahui persamaan 2.3 adalah dU = dq
+ dw, dan dw = - PdV, maka persamaan menjadi,
dU = dqP – P dV
Jika persamaan diintegrasikan, maka
U2 – U1 = qP – P (V2 – V1)
Karena P1 = P2 = P
(U2 + P2 V2 ) - (U1 + P1 V1 ) = qP (2.10)
Oleh karena U, P dan V adalah fungsi keadaan, maka (U + PV) juga merupakan
fungsi keadaan. Fungsi ini disebut entalpi, H
H = U + PV (2.11)
Maka, H2– H1 = qP
Atau, DH = qP (2.12)
Karena H adalah fungsi keadaan, maka perubahan entalpi,DH hanya bergantung pada kedaan awal dan akhir sistem. Pada reaksi-reaksi kimia,DH = kalor reaksi pada tekanan tetap.
2.5. Kapasitas kalor
Kapasitas kalor suatu sistem didefinisikan sebagai jumlah kalor yang diperlukan untuk menaikkan suhu sistem sebanyak satu derajat
(2.13)
Karena dq bergantung pada jalannya perubahan, maka sistem mempunyai harga-harga untuk kapasitas kalor. Yang paling penting adalah kapasitas kalor
pada volume tetap dan pada tekanan tetap. 2.5.1. Kapasitas kalor pada volume dan tekanan tetap
36
Jika kerja yang dilakukan oleh sistem terbatas pada kerja ekspansi, maka
dq = dU + P dv, sehingga persamaan dapat diubah menjadi :
(2.14)
Pada volume tetap, C = CV dan dV = 0
Maka :
(2.15)
Menurut persamaan ini, kapasitas kalor pada volume tetap sama dengan
perubahan energi dalam per derajat kenaikan suhu pada volume tetap. Kapasitas kalor pada tekanan tetap dapat diturunkan sebagai berikut
(2.16)
Dik : H = U + P V, jika persamaan dideferensialkan,
Maka, dH = dU + P dV + Vdp
Pada P tetap, dH = dU + P dV
(2.17)
Sehingga :
(2.18)
Jadi, kapasitas kalor pada tekanan tetap sama dengan penambahan entalpi sistem per derajat kenaikan suhu pada tekanan tetap. Baik kapasitas kalor pada volume tetap maupun kapasitas kalor pada tekanan tetap biasanya dinyatakan permol zat.
2.5.2. Hubungan antara CP dan CV
(2.19)
37
Dari persamaan sebelumnya diketahui bahwa:
Sehingga :
(2.20)
Energi dalam, U, merupakan fungsi dari suhu dan volume.
U = f (T, V)
Jika persamaan dibagi dT pada P tetap, maka
Sehingga :
(2.21)
Untuk gas ideal, energi dalam hanya terdiri atas energi kinetik translasi sehingga
energi ini hanya bergantung pada suhu, maka :
Dan persamaan 2.21 berubah menjadi
(2.22)
Dari persamaan keadaan gas ideal, P = nRT/V dapat diturunkan menjadi
38
Sehingga untuk gas ideal berlaku
CP – CV = n R
Untuk n = 1, CP – CV = R (2.23)
2.5.3. Pengaruh Suhu terhadap Kapasitas kalor
Pada umumnya kapasitas kalor merupakan fungsi dari suhu.
Fungsi ini biasanya dinyatakan secara empiris sebagai :
CP = a + b T + c T2 (2.24)
Atau CP = a’ + b’T + c’/T2 (2.25)
diketahui a,b,c dan a’, b’, c’ adalah tetapan yang harganya telah diketahui untuk
beberapa jenis gas.
Tabel 1. Kapasitas kalor pada tekanan dan volume tetap (Kal/Mol-1K-1)
GasHarga pada 298 K Parameter
CP CV CP - CV a bx103 cx 107
He
H2
N2
O2
CO
HCl
Cl2
H2O
CO2
NH3
CH4
C2H6
4,97
6,90
6,94
6,05
6,97
7,25
8,25
7,94
8,96
8,63
8,60
12,14
2,98
4,91
4,95
5,05
4,97
5,01
6,14
5,93
6,92
6,57
6,59
10,65
1,99
1,99
1,99
2,00
2,00
2,04
2,11
1,98
2,04
2,06
2,01
2,66
4,98
6,947
6,449
6,095
6,342
6,732
7,576
7,187
6,396
6,189
3,422
1,376
-
- 0,200
1,413
3,253
1,836
0,433
2,424
2,373
10,193
7,887
17,845
41,852
-
4,808
-0,807
-10,171
-2,801
3,669
-9,650
2,084
-35,333
-7,280
-41,650
-138,27
39
2.6. Proses ekspansi Joule-Thomson
Joule dan Thomson melakukan serangkaian percobaan untuk
mengetahui apakah gas akan mengalami perubahan suhu apabila
diekspansikan secara adiabatis.
Sejumlah gas dengan volume V1 pada tekanan P1 pada ruang 1 dialirkan melalui
penyekat berpori ke ruang 2 dengan volume v2 dan tekanan P2. P1 > P2. Selama
ekspansi berlangsung, suhu dalam kedua ruangan diukur dengan teliti. Sistem
terisolasi dengan baik sehingga tidak terjadi pertukaran kalor dengan lingkungan.
Kerja yang dilakukan terhadap gas pada pengisap kiri = P1V1 dan yang dilakukan
oleh gas terhadap pengisap kanan = - P2V2. Kerja total dalam proses ini,
W = P1V1 – P2V2 (2.26)
Karena tidak ada pertukaran kalor antara sistem dan lingkungan, q = 0, sehingga
DU = W
U2 – U1 = P1V1 – P2V2
U2 + P2V2 = U1 + P1V1
H2 = H1 atau DH = 0
Hasil ini menunjukkan bahwa proses ekspansi berlangsung pada entalpi tetap.
Joule dan Thomson menemukan bahwa semua gas yang dipelajari kecuali H2
dan He mengalami penurunan suhu dalam ekspansi ini.
40
Besarnya perubahan suhu bergantung pada tekanan dan suhu awal gas yang
dinyatakan oleh suatu besaran yang disebut koefisien Joule-Thomson, m
(2.27)
Besaran ini dapat diukur langsung dari perubahan suhu bila gas mengalami
penurunan tekanan, DP melalui penyekat berpori. Bila m > 0, akan terjadi
penurunan suhu, sedangkan m< 0, akan terjadi kenaikan suhu. Temperatur
dimana m = 0 disebut suhu inversi. Pada suhu inversi gas tidak akan mengalami
perubahan suhu jika diekspansikan pada entalpi tetap. Suhu inversi bergantung
pada tekanan.
Tabel 1. Koefisien Joule-Thomson untuk gas nitrogen
(m dalam K atm-1)
P (atm) m pada
- 150 oC - 100 oC 0 oC 100 oC 200 oC 300 oC
1 1,266 0,6490 0,2656 0,1292 0,0558 0,0140
20 1,125 0,5958 0,2494 0,1173 0,0472 0,0096
60 0,0601 0,4506 0,2088 0,0975 0.0372 - 0,0013
Koefisien Joule-Thomson dapat dikaitkan dengan besaran termodinamika
lainnya.
H = H(T, P)
41
Pada entalpi tetap, dH = 0.
Karena, , maka
Dan, (2.28)
2.7. Aplikasi Hukum Pertama pada rekasi kimia (Termokimia)
Termokimia memperlajari efek panas yang terjadi baik dalam perubahan secara
kimia (reaksi kimia, proses pelarutan) maupun secara fisik (proses penguapan,
peleburan, dsb). Efek panas ini dapat bersifat eksoterm, yaitu bila kalor
dilepaskan dan endoterm yaitu bila proses disertai dengan penyerapan kalor.
Jumlah kalor yang bersangkutan dalam suatu reaksi bergantung pada jenis dan
jumlah zat-zat yang beraksi, pada keadaan fisik zat-zat pereaksi dan hasil reaksi
gas). Oleh karena itu kalor reaksi dari suatu reaksi hendaknya dinyatakan
bersama-sama persamaan reaksinya, dimana kondisi-kondisi reaksi tertera
dengan jelas. Misalnya,
,
2.7.1. Kalor reaksi pada volume tetap dan pada tekanan tetap
Dalam termokimia ada dua kondisi khusus yang penting, yaitu volume tetap
dan tekanan tetap, oleh karena pada kedua kondisi ini kalor reaksi dapat
dikaitkan dengan fungsi-fungsi termodinamika tertentu. Bila reaksi dikerjakan
pada volume tetap (misalnya dalam kalorimeter), maka kalor reaksinya sama
dengan perubahan energi dalam sistem,
42
sedangkan pada tekanan tetap, kalor reaksi sama dengan perubahan entalpi.
Hubungan antara kedua besaran ini dapat diturunkan sebagai berikut :
Atau DH = DU + D(PV) (2.29)
Bila semua zat-zat pereaksi dan hasil reaksi sebagai cairan atau padatan, maka
harga ∆ (PV) sangat kecil (kecuali bila tekanan sangat tinggi) dibandingkan
terhadap ∆H dan ∆U sehingga dapat diabaikan, dalam hal ini ∆H ≈ ∆U. Dalam
reaksi yang menyangkut gas, harga ∆(PV) bergantung pada perubahan jumlah
mol gas yang terjadi dalam reaksi. Dengan pengandaian yang bersifat ideal,
∆(PV) = ∆(nRT) = RT(∆n). sehingga pers. (2.29) mengambil bentuk :
∆H = ∆U + (∆n)RT (T tetap) (2.30)
Dengan ∆n = jumlah mol gas hasil reaksi – jumlah mol gas peraksi. Persamaan
ini berlaku apabila sistem hanya dapat melakukan kerja volume.
2.7.2. Entalpi Pembentukan Standar
Perubahan entalpi dalam proses pembentukan satu mol senyawa dari
unsur-unsurnya disebut entalpi pembentukan dari senyawa tersebut. Entalpi
pembentukan biasanya diberikan sebagai entalpi pembentukan standar, ∆Hfo
yaitu untuk semua zat dalam reaksi berada dalam keadaan standar. Keadaan
standar suatu zat tunggal murni ialah bentuknya yang paling stabil pada 25oC
dan 1 atm; misalnya keadaan standar dari karbon ialah grafit, dari belerang ialah
belerang rombik dan dari oksigen ialah gas oksigen.
(a) Ca (p) + C (p) + 3/2 O2 (g) ® CaCO3 (p)
43
(b) S (p) + O2 (g) ® SO2 (g)
Menurut perjanjian entalpi pembentukan standar dari semua unsur-unsur sama
dengan nol. Berdasarkan perjanjian ini entalpi standar dari setiap zat dapat
disamakan dengan entalpi pembentukan standarnya.
Entalpi pembentukan standar dapat ditentukan dengan cara sebagai berikut :
1. Penentuan langsung secara eksperimen
C (grafit) + O2 (g) ® CO2 (g)
2. Perhitungan dari data kalor pembakaran standar
Kalor pembakaran standar suatu senyawa, ∆Hco, ialaha perubahan entalpi
dalam reaksi pembakaran satu mol senyawa dengan oksigen secara
sempurna, dengan semua zat dalam keadaan standar. Data tentang kalor
pembakaran standar biasanya diberikan dalam literatur pada 25oC.
Penggunaan data ini dalam perhitungan kalor pembentukan, misalnya
pada reaksi pembetukan metana:
C (p) + 2 H2 (g) ® CH4 (g) ∆Ho= ?
Kalor pembakaran standar pada 35oC,
(a) C
(b) H2
(c) CH4
(a) C (s) + O2 (g) ® CO2 (g)
(b) H2 (g) + ½ O2 (g) ® H2O (l)
(c) CH4 (g) + 2 O2 (g) ® CO2 (g) + 2 H2O (l)
C (s) + O2 (g) ® CO2 (g)
2 H2 (g) + O2 (g) ® 2 H2O (l)
CO2 (g) + 2 H2O (c) ® CH4 (g) + 2 O2 (g)
C (p) + 2 H2 (g) ® CH4 (g)
44
Jadi CH4 = – 70,34 kJ
3. Perkiraan kalor pembentukan dari energi ikatan
Metode ini, yang hanya dapat digunakan pada reaksi gas yang menyangkut
zat-zat dengan ikatan kovalen, didasarkan atas anggapan bahwa (a) semua
ikatan dari suatu jenis tertentu, misalnya semua ikatan C–H dalam CH4
adalah identik, dan (b) energi ikatan dari ikatan tertentu tidak bergantung
pada senyawa dimana ikatan tersebut ditemukan.
Ada dua macam energi ikatan yaitu (1) energi disosiasi ikatan, D, ialah
perubahan entalpi dalam reaksi pemutusan ikatan tertentu dalam suatu
senyawa. Energi ikatan ini dapat ditentukan langsung secara kalorimetri.
(2) Energi ikatan rata-rata, ε ialah energi rata-rata yang diperlukan untuk
memutuskan ikatan tertentu dalam semua senyawa yang mengandung ikatan
tersebut. Misalnya untuk memutuskan satu ikatan C–H dalam CH4, CH3OH
atau CH3COOH diperlukan rata-rata 99 kkal Mol-1. Energi ikatan rata-rata
dapat ditentukan secara kalorimetri dengan menggunakan hukum Hess.
Contoh soal :
Perkirakan eC-H dari data pada 25 oC !
C (p) + 2 H2 (g) ® CH4 (g)
C (p) ® C (g)
H2 (g) ® 2 H (g)
Jawaban :
DH1 = DH2 + DH3 + DH4
-70,34 kJ = 722,4 kJ +2(437,64) kJ + DH4
DH4 = - 1527,34 kJ
2.7.3. Pengaruh suhu terhadap kalor reaksi
45
Pada umumnya DH reaksi merupakan fungsi dari suhu.
Perhatikan reaksi :
n1 A + n2 B ® n3 C + n4 D
Perubahan entalpi reaksi diberikan oleh :
DH = Hhasil – Hpereaksi
= n3 HC + n4 HD - n1 HA - n2 HB
Atau DH = S ni Hi (2.31)
Koefisien nI dihitung positif untuk hasil reaksi dan negatif untuk pereaksi. Jika
semua zat berada dalam keadaan standar,
(2.32)
Persamaan ini memungkinkan ∆Ho reaksi dari data kalor pembentukan standar.
Perubahan ∆H dengan temperatur diperoleh dengan cara mendiferensialkan
pers. (.2.37) terhadap temperatur pada tekanan tetap.
(2.33)
Karena maka
(2.34)
Atau (2.35)
Persamaan ini dikenal sebagai persamaan Kirchhoff
46
Persamaan (2.35) dapat diintegrasikan apabila Cp sebagai fungsi temperatur
diketahui. Kalau Cp dapat dianggap tetap antara T1 dan T2, misalnya kalau
perbedaan antara kedua tempratur ini tidak besar, maka integrasi dari pers.
(2.35) menghasilkan
DH2 - DH1 = DCP (T2 – T1) (2.36)
Dengan ∆H1 dan ∆H2 ialah masing-masing kalor reaksi pada T1 dan T2.
Kalau Cp tidak dianggap tetap, maka :
(2.37)
Contoh:
Hitung kalor yang dilepaskan jika satu mol air membeku pada – 10 oC pada
tekanan tetap. Diketahui DH273 = - 6027 J mol-1.
CP H2O (c) = 75,6 J K-1 mol-1 dan CP H2O (p) = 36,96 J kal-1 mol-1.
Jawaban :
H2O (c) ® H2O (p)
DH263 - DH273 = DCP (263 K – 273 K)
= [CP H2O (p) - CP H2O (c)](-10 K)
= (36,96 – 75,6) J mol-1 K-1 (-10 K)
= (-38,64)(-10) J mol-1
DH263 = DH273 + 386,4 J mol-1
= (- 6027 + 386,4) J mol-1
= - 5640,6 J mol-1
47
48