Upload
others
View
8
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
Berita
DIRGANTARA MAJALAH ILMIAH SEMI POPULER
VOL. 12 NO. 2 JUNI 2011 ISSN 1411-8920
PERKEMBANGAN SISTEM SATELIT NAVIGASI GLOBAL DAN
APLIKASINYA Jakondar Bakara
ANALISIS DAERAH BAHAYA DAN PENUTUP LAHAN WILAYAH
GUNUNGAPI SLAMET Susanto, Suwarsono
KAJIAN AWAL EFISIENSI WAKTU SISTEM AUTOMATIC LINK
ESTABLISHMENT (ALE) BERBASIS MANAJEMEN FREKUENSI Varuliantor Dear
GAS CO2 DI WILAYAH INDONESIA Toni Samiaji
KAJIAN KEDAULATAN NEGARA DI RUANG UDARA TERHADAP
ALUR LAUT KEPULAUAN INDONESIA (ALKI) Soegiyono
DITERBITKAN OLEH:
LEMBAGA PENERBANGAN DAN ANTARIKSA NASIONAL Jl. Pemuda Persil No. 1, Jakarta 13220, INDONESIA
BERITA DIRGANTARA VOL. 12 NO. 2 HLM. 38 - 82 JAKARTA, JUNI 2011 ISSN 1411-8920
Berita
DIRGANTARA MAJALAH ILMIAH SEMI POPULER
VOL. 12 NO. 2 JUNI 2011
PERKEMBANGAN SISTEM SATELIT NAVIGASI GLOBAL DAN
APLIKASINYA .................................................................................................... Jakondar Bakara
ANALISIS DAERAH BAHAYA DAN PENUTUP LAHAN WILAYAH
GUNUNGAPI SLAMET ................................................................................ Susanto, Suwarsono
KAJIAN AWAL EFISIENSI WAKTU SISTEM AUTOMATIC LINK
ESTABLISHMENT (ALE) BERBASIS MANAJEMEN FREKUENSI ........... Varuliantor Dear
GAS CO2 DI WILAYAH INDONESIA ..................................................... Toni Samiaji
KAJIAN KEDAULATAN NEGARA DI RUANG UDARA TERHADAP
ALUR LAUT KEPULAUAN INDONESIA (ALKI) .................................. Soegiyono
38 – 47
48 – 59
60 – 67
68 – 75
76 – 82
DITERBITKAN OLEH:
LEMBAGA PENERBANGAN DAN ANTARIKSA NASIONAL Jl. Pemuda Persil No. 1, Jakarta 13220, INDONESIA
BERITA DIRGANTARA VOL. 12 NO. 2 HLM. 38 - 82 JAKARTA, JUNI 2011 ISSN 1411-8920
Berita
DIRGANTARA MAJALAH ILMIAH SEMI POPULER
SUSUNAN DEWAN PENYUNTING BERITA
DIRGANTARA
Keputusan Kepala LAPAN
Nomor: KEP/096/II/2011
Tanggal: 8 Februari 2011
Penanggung Jawab:
Sekretaris Utama LAPAN
Pemimpin Umum:
Karo Kerjasama dan
Hubungan Masyarakat
Sekretaris:
Ka. Bag. Hubungan Masyarakat
Ka. Subbag Publikasi
Penyunting Penyelia:
Heru Supriyatno
Penyunting Pelaksana:
Abdul Rahman
Gatot Winarso
Jiyo
Waluyo Eko Cahyono
Euis Susilawati
Geni Rosita
VOL.12 NO.2 JUNI 2011 ISSN 1411-8920
DARI MEJA PENYUNTING
Sidang pembaca yang terhormat,
Puji syukur kita panjatkan ke hadirat Allah SWT, karena atas
rahmat dan karunia-Nya, Berita Dirgantara Vol. 12, No. 2, Juni 2011 dapat
hadir kembali ke hadapan para pembaca sekalian.
Berita Dirgantara edisi kali ini memuat 5 (lima) artikel yaitu,
“Perkembangan Sistem Satelit Navigasi Global dan Aplikasinya” ditulis
oleh Jakondar Bakara. Satelit navigasi global memancarkan sinyal navigasi
penentuan posisi kepada pengguna yang dikendalikan dari stasiun
pengendali di Bumi. Penentuan posisi dapat dilakukan berdasarkan 4
(empat) dimensi, yaitu berdasarkan garis bujur, garis lintang, ketinggian
dan waktu; “Analisis Daerah Bahaya dan Penutup Lahan Wilayah
Gunungapi Slamet” ditulis oleh Susanto, Suwarsono. Sistem operasi alarm
bencana alam melalui analisis gunungapi memberikan informasi tentang
geomorphologis, daerah bahaya dan kondisi penutup lahan, hal ini
digunakan data Landsat ETM+ tanggal 19 September 2001 pada wilayah
gunungapi Slamet; “Kajian Awal Efisiensi Waktu Sistem Automatic Link
Establishment (ALE) Berbasis Manajemen Frekuensi” ditulis oleh
Varuliantor Dear. Penggunaan sistem Automatic Link Establishment (ALE)
merupakan salah satu solusi untuk mengatasi perubahan frekuensi kerja
komunikasi radio High Frequency (HF) akibat dinamika lapisan ionosfer.
Namun, proses penentuan frekuensi kerja dalam sistem ALE masih perlu
ditingkatkan akibat banyaknya frekuensi yang diuji setiap waktunya; “Gas
CO2 di Wilayah Indonesia” ditulis oleh Toni Samiaji. Perubahan konsentrasi
gas CO2 di atmosfer yang merupakan bagian dari siklus karbon adalah
penting untuk diteliti. Indonesia sebagai negara yang telah meratifikasi
protokol Kyoto, dipandang perlu untuk menginformasikan keadaan gas
CO2. Emisi maupun konsentrasi gas CO2 di Indonesia cenderung naik,
tetapi Indonesia masih mempunyai penyerap gas CO2 yaitu hutan dan
lautan.
Artikel terakhir ditulis oleh Soegiyono dengan judul “Kajian
Kedaulatan Negara di Ruang Udara Terhadap Alur Laut Kepulauan
Indonesia (ALKI)”. Pasal 1 Konvensi Chicago Tahun 1944, menegaskan
bahwa setiap negara mempunyai kedaulatan yang penuh dan eksklusif atas
ruang udara atas wilayah kedaulatannya. Secara yuridis formal wilayah
kedaulatan atas ruang udara nasional belum ada peraturan perundang-
undangan yang mengatur secara khusus namun secara parsial telah diatur
dalam berbagai peraturan perundang-undangan nasional. Demikian makalah-makalah yang dapat kami sajikan dalam edisi kali ini, semoga sidang pembaca dapat mengambil manfaatnya.
Penyunting
Alamat Penerbit/Redaksi :
LAPAN, JL. Pemuda Persil No. 1
Rawamangun, Jakarta Timur 13220
Telepon : 4892802 (Hunting)
Fax : (012) 4894815
Email : [email protected]
Website: http://www.lapan.go.id
Berita Dirgantara merupakan terbitan ilmiah semi poluler di bidang
kedirgantaraan.
Terbit setiap 3 bulan, memuat tulisan yang bersifat ilmiah semi populer
mengenai hasil-hasil penelitian, tinjauan atau pandangan ilmu
pengetahuan dan teknologi yang berkaitan dengan bidang kegiatan
kedirgantaraan dari para peneliti dan staf LAPAN maupun non LAPAN.
Setiap orang dapat mengutip terbitan LAPAN dengan menyebutkan
sumbernya.
Berita Dirgantara Vol. 12 No. 2 Juni 2011: 38-47
38
PERKEMBANGAN SISTEM SATELIT NAVIGASI GLOBAL
DAN APLIKASINYA
Jakondar Bakara
Peneliti Bidang Pengkajian Kedirgantaraan Nasional, LAPAN
e-mail: [email protected]
RINGKASAN
Satelit navigasi global memancarkan sinyal navigasi penentuan posisi kepada
pengguna yang dikendalikan dari stasiun pengendali di Bumi. Penentuan posisi dapat
dilakukan berdasarkan 4 (empat) dimensi, yaitu berdasarkan garis bujur, garis
lintang, ketinggian dan waktu. Saat ini negara-negara mengembangkan sistem satelit
navigasi global Global Navigation Satellite Systems (GNSS). GNSS yang telah
dikembangkan antara lain: (i) Global Positioning System (GPS) milik Amerika Serikat, di
mana secara efektif telah menyediakan layanan global, dan (ii) Global Navigation
Satellite System (GLONASS) milik Rusia (Uni Soviet), juga telah efektif menyediakan
layanan global. Sedangkan GNSS yang sedang dikembangkan adalah (i) Sistem Galileo
milik Eropa yang dikembangkan Uni Eropa bekerjasama dengan European Space
Agency (ESA), (ii) Sistem navigasi regional Beidou, dikembangkan Cina, (iii) Sistem
navigasi India Regional Navigational Satellite System (IRNSS) dikembangkan oleh India,
dan (iv) Quasi-Zenith System Satellite (QZSS) akan dikembangkan oleh Jepang. Negara-
negara terus melengkapi dan meningkatkan kemampuan GNSS sehingga dapat di
gunakan oleh negara-negara di seluruh dunia. GNSS telah dimanfaatkan untuk tujuan
militer, transportasi/angkutan, baik darat, laut, maupun udara, dan digunakan untuk
penentuan geografis, pemantauan gunung berapi dan penelitian.
1 PENDAHULUAN
Sistem satelit navigasi global
GNSS terdiri dari segmen antariksa,
segmen pengendali dan segmen
pengguna. Segmen antariksa (satelit)
memancarkan sinyal navigasi kepada
segmen pemakai, yang dikendalikan
stasiun pengendali di Bumi. Satelit
navigasi terdiri dari konstelasi satelit
dengan cakupan global. Fungsi satelit-
satelit tersebut mengirim sinyal ke
receiver yang dipasang di pesawat
terbang, kapal laut, kendaraan bermotor
dan manusia, untuk dapat menentukan
posisi-posisi mereka.
Satelit navigasi mempunyai ke-
mampuan untuk memberikan informasi
tentang posisi lokasi geografis dan
sinkronisasi waktu dalam penggunaan
sinyal real time dari satelit navigasi yang
mengorbit. Posisi yang ditentukan terdiri
dari 4 (empat) dimensi yaitu garis bujur,
garis lintang, ketinggian, dan waktu
(Justin Borton, 2010). Satelit navigasi
juga digunakan dalam berbagai sektor
yaitu penelitian/survey, precision farming/
ketelitian dalam pertanian, mendukung
pencarian dan penyelamatan, ilmu
kebumian, manajemen transportasi,
pergantian waktu yang tepat, manajemen/
pelacakan/anti pencurian. Sistem GNSS
terus berkembang dan kemudian juga
digunakan dalam berbagai sektor, seperti
pengangkutan, keamanan, pengawasan,
dan industri.
Berbagai sistem GNSS yang telah
dikembangkan antara lain: (i) GPS milik
Amerika Serikat, di mana secara efektif
telah menyediakan layanan global, (ii)
Sistem GLONASS milik Rusia (Uni
Soviet), juga telah efektif menyediakan
layanan global. Sedangkan sistem GNSS
yang sedang dikembangkan adalah
(i) Sistem Galileo milik Eropa yang
dikembangkan Union Europe (UE)
bekerjasama dengan ESA. Sistem navigasi
Perkembangan Sistem Satelit Navigasi Global......(Jakondar Bakara)
39
regional Beidou dikembangkan negara
Cina, (iii) Sistem navigasi IRNSS
dikembangkan oleh India, dan (iv) QZSS
akan dikembangkan oleh Jepang.
Makalah ini bertujuan untuk menguraikan
perkembangan satelit navigasi global
dan aplikasinya.
2 SISTEM SATELIT NAVIGASI GLOBAL
2.1 Global Positioning System (GPS)
Pada tahun 1973, Angkatan Laut
Amerika Serikat bekerjasama dengan
Angkatan Udaranya mengembangkan
sistem satelit navigasi pertama yang
disebut dengan Defence Navigation Satellite
System (DNSS) (Paul Kimppi, 2007). Satelit
Transit merupakan sistem satelit navigasi
yang pertama untuk DNSS. Pada awalnya
satelit ini digunakan untuk penentuan
lokasi dalam rangka mendukung operasi
kapal-kapal selam, mendukung misil
balistik Amerika Serikat, tetapi kemudian
juga digunakan oleh kapal-kapal untuk
keperluan ilmiah.
Program satelit Transit berakhir
pada tanggal 31 Desember 1996, dan
kemudian fungsinya diambil alih oleh
GPS/Navstar. GPS/Navstar yang telah
diluncurkan tahun 1978 merupakan
suatu konstelasi yang terdiri dari 24
satelit pada 6 bidang orbit digunakan
untuk menentukan setiap lokasi obyek
dan penentuan waktu di Bumi secara
akurat. GPS/Navstar ini dioperasikan
dan dikendalikan Komando Antariksa
Angkatan Udara Amerika Serikat. Di
samping melayani keperluan militer
Amerika Serikat juga telah melayani
pengguna sipil secara global. Sistem
GPS/Navstar mampu memberikan infor-
masi posisi lokasi dengan tingkat kete-
litian 1-5 meter melalui receiver kode
A/C, dan dapat memberikan tingkat
ketelitian 10-30 cm melalui receiver carrier
(Introduction to the Global Positioning
System for GIS and TRAVERSE, 1996).
Konstelasi satelit GPS/Navstar
beroperasi pada orbit-orbit lingkaran
dengan ketinggian 10.900 nautical miles
(nm) atau sama dengan 20.200 km
dengan umur satelit rata-rata 7,3 tahun-
7,8 tahun. Navstar/GPS juga membawa
peralatan sistem deteksi nuklir. Selain
dimanfaatkan Amerika Serikat dan Eropa
Barat, DGPS juga telah dimanfaatkan
Jepang, China, Polandia, Afrika Selatan
dan sejumlah negara di kawasan lain
untuk keperluan penerbangan sipil,
yaitu dengan memasang peralatan dapat
penerima sinyal dan menentukan posisi
lokasi yang sangat teliti dan tepat
(Kemppi, Paul, 2007).
GPS Navstar yang telah beroperasi
secara penuh pada tahun 1994, dimana
segmen kendali GPS/Navstar terdiri atas
suatu jaringan yang dijejak dari stasiun
pengendali Master Control Station (MCS)
di Colorado Springs, Colorado. Stasiun
Pengendali ini digunakan untuk menen-
tukan dan memprediksi satelit, penem-
patan, memonitor waktu dan sistem
integritas. Informasi yang dikirim ke
MCS, kemudian menghasilkan pem-
baharuan pesan untuk masing-masing
satelit GPS secara teratur. Satelit tersebut
kemudian mensinkronkan waktu dan
melakukan penyesuaian model orbital
internal.
Konstelasi GPS pada tanggal 28
Mei 2007 terdiri dari 30 satelit yang
meliputi 15 satelit Blok IIA, 12 satelit
Blok IIR dan 3 satelit Blok IIR-M.
Pelayanan penentuan posisi yang tersedia
terdiri dari pelayanan standard melalui
frekuensi L1 A/C (frekuensi L1 dengan
kode A/C) dan pelayanan penentuan
posisi untuk kepentingan Militer Amerika
Serikat melalui frekuensi gabungan L1
P(Y) (frekuesnsi L1 dengan Kode P(Y))
dan L2 P(Y) (frekuensi L2 dengan kode
P(Y). Program GPS dimasa mendatang
(2015) pelayanan ditingkatkan untuk
penentuan posisi standard melalui
frekuensi L1 A/C ditingkatkan pada
pelayanan penentuan posisi standard
melalui frekuensi L1 C/A (frekuensi L1
kode A/C), L2C (frekuensi L2 kode C),
Berita Dirgantara Vol. 12 No. 2 Juni 2011: 38-47
40
dan frekuensi L5. Kemudian untuk
pelayanan kepentingan Militer Amerika
Serikat untuk pelayanan penentuan
posisi yang tepat melalui gabungan
frekuensi L1 P(Y) (frekuensi L1 dengan
kode P(Y), frekuensi L2 P(Y) (frekuensi
L2 dengan kode P(Y), frekuensi L1M
(frekuensi L1 dengan kode M), dan
frekuensi L2M frekuensi L2 kode M
(Tabel 2-2). Masing-Masing satelit mem-
punyai suatu kode yang berbeda kode
C/A, yang dapat digunakan untuk
mengidentifikasi sumber sinyal. Kode P
adalah suatu kode menyiarkan pada
10.23 Mhz. Lebih lanjut pada tahun
2008 Satelit GPS diluncurkan lagi setelah
dimodernisasi dengan meningkatkan
kemampuan dan meningkatkan per-
tambahan umur menjadi 12 tahun
(Kemppi, Paul, 2007).
2.2 Global Navigation Satellite System (GLONASS)
GLONASS adalah sistem satelit
navigasi global milik Uni Soviet (Rusia)
yang pengembangannya telah dimulai
pada tahun 1976 (GLONASS, 2011).
GLONASS mulai operasional pada tahun
1991, walaupun pengembangan konstelasi
secara penuh terselesaikan tahun 1996.
Satelit GLONASS terdiri dari konstelasi
24 satelit, dari jumlah konstelasi satelit
tersebut, untuk sementara 7 satelit
masih di matikan, dan 17 satelit telah
beroperasi (Paul Kimppi, 2007).
Satelit berada dalam 3 bidang
orbit di mana kedudukan satelit dengan
satelit lainnya terpisah dengan jarak
120°. Satelit beroperasi pada ketinggian
19.100 km di atas permukaan Bumi,
dengan inklinasi 64.8° dan siklus per-
putaran satelit mengelilingi Bumi 11
jam 15 menit.
Satelit GLONASS memberikan
pelayanan kepentingan Militer melalui
frekuensi L-Band, frekuensi L1 dengan
kode P, dan frekuensi L2 dengan kode P.
Pelayanan pesan penentuan posisi
melalui frekuensi L1 dengan Code C/A.
Satelit GLONASS memancarkan sinyal
dengan Code- C/A menggunakan carier
frekunensi. Frekuensi L1 antara 1,597-
1,617 MHZ dan frekuensi L2 antara
1,240-1,260 MHZ. GLONASS masa
mendatang (2015) ditingkatkan pada
pelayanan dalam ketelitian penentuan
posisi melalui frekuenasi L1, L2, dan
frekuensi yang ke-3 (3rd Signal).
Kemudian untuk kepentingan militer
untuk pelayanan dalam ketelitian tinggi,
Melalui frekuensi L1, dan L2. Stasiun
Pengendali GLONASS seluruhnya di-
tempatkan di Uni Soviet (Rusia). Pusat
pengendalian di darat berlokasi di Moscow
dan Stasiun Telemetry dan tracking yang
disebut Receiving Monitor Stations (RMS)
berlokasi di St. Petersburg, Ternopol, dan
Eniseisk. Satelit GLONASS dapat menyiar-
kan data melalui stasiun pengendali di
darat, namun demikian Sistem Satelit
GLONASS belum mampu berdiri sendiri
untuk satelit penetuan posisi, masih
menggunakan sistem rangkap GPS+
GLONASS terutama untuk para peng-
guna/pemakai dalam Real Time Kinematic
GPS (RTK-GPS), penerima yang dapat
menggunakan satelit GLONASS untuk
meningkatkan penentuan posisi ber-
integrasi dengan satelit GPS, dan telah
terbukti sangat menguntungkan di
dalam suatu lingkungan yang mem-
punyai suatu jarak yang sulit dicover
satelit. Dalam peningkatan pengembangan
sistem GLONASS dapat ditingkatkan ke
dalam sistem komersil yang mampu
bersaing di dalam pasar umum peng-
guna sistem GNSS (Paul Kimppi, 2007).
2.3 Galileo
Saat ini Uni Eropa (European
Union atau EU) bekerjasama dengan
badan antariksa Eropa atau ESA sedang
mengembangkan program GNSS Galileo.
Pembagian tugas adalah sebagai berikut;
Perkembangan Sistem Satelit Navigasi Global......(Jakondar Bakara)
41
UE adalah bertanggung jawab untuk
dimensi politik dan untuk pengaturan
sasaran program pengembangan, kemu-
dian ESA secara teknis mengembangkan
dan mensahkan sistem satelit. Pengem-
bangan program GNSS Gallieo ini
dilatarbelakangi karena para pengguna
navigasi satelit tidak mempunyai alternatif
pilihan selain menggunakan GPS atau
GLONASS. Untuk ini maka pada tahun
1990-an Eropa merasa perlu untuk
memiliki sendiri sistem satelit navigasi
global (ESA, 2010). Satelit pertama yaitu
Galileo In-Orbit Validation Element-A
(GIOVE-A diluncurkan pada tanggal 28
Desember 2005, dan satelit kedua
GIOVE-B diluncurkan bulan April 2008
(Veri Ilham, 2009).
Satelit awal ini digunakan untuk
mengumpulkan data untuk dipakai oleh
jaringan satelit Galileo nantinya dan
sekaligus mempersiapkan posisi orbit
satelit-satelit berikutnya. Setelah sistem
satelit navigasi Galileo beroperasi secara
penuh, sistem ini akan memiliki
beberapa pemonitor stasiun Bumi dan
30 satelit (27 satelit aktif dan 3 satelit
sebagai backup), akan mengorbit dan
memberikan arah yang lebih tepat lagi
pada pengguna peralatan navigasi.
Galileo akan memberikan data
yang lebih cepat dan akurat hanya
dalam radius 1 meter, dibandingkan
dengan GPS yang hanya mampu mem-
berikan keakuratan dalam radius 3 meter.
Seperti halnya GPS dan GLONASS, Galileo
akan memberikan service navigasi ke
masyarakat umum untuk digunakan
pada telpon mobile (HP, Ponsel) canggih,
peralatan-peralatan personal navigasi
dan peralatan navigasi lainnya yang
membutuhkan data dari satelit (Veri
Ilham, 2009). Program satelit Galileo yang
terdiri dari konstelasi 30 satelit navigasi
yang akan ditempatkan dalam 3 bidang
orbit di orbit MEO, sebagaimana dapat
dilihat dalam Gambar 2-1 (ESA, 2010).
Gambar 2-1: Konstelasi 30 satelit navigasi
Sistem satelit GALILEO akan
memberikan pelayanan seperti berikut;
(l) Layanan terbuka (Open Servise-OS)
yaitu layanan yang bebas untuk setiap
pengguna, melalui frekuensi E5A, E5B
dan frekuensi E2-L1-E1, (ii) Layanan
aplikasi Safety-Of-Life (SOL) yaitu untuk
aplikasi keselamatan transportasi. Layan-
an SOL tersedia untuk para pemakai
yang dilengkapi dengan dual-frequency
bersertifikat penerima pada frekuensi L1
dan E5, (iii) Layanan komersil pada
frekuensi C diarahkan pada aplikasi
yang lebih tinggi dibanding dengan
layanan terbuka OS. Layanan komersil
C menggunakan dua sinyal tambahan
pada frekuensi E5B dan E6 bersama-
sama dengan frekuensi O untuk mencapai
capaian lebih baik. Pengaturan layanan
untuk publik akan digunakan dengan
kelompok government-authorised seperti
polisi, dan penjaga pantai. Sistem satelit
GALILEO memiliki jaringan stasiun
sensor, dan akan termonitor di seluruh
dunia. Memiliki 2 (dua) stasiun pengendali
yang berlokasi di Eropa. Data tersedia
untuk para pemakai dimanapun melalui
satelit GALILEO atau terpusat melalui
sistem kendali GALILEO.
Perbandingan pelayanan dan
frekuensi yang tersedia pada sistem
GPS, GLONASS, GALILEO Tahun 2003,
dan Rencana Program Peningkatan
Tahun 2015, dapat dilihat pada Tabel 2-2.
Berita Dirgantara Vol. 12 No. 2 Juni 2011: 38-47
42
Tabel 2-2: PELAYANAN DAN FREKUENSI YANG TERSEDIA PADA SISTEM GPS, GLONASS, GALILEO TAHUN 2003, DAN RENCANA PROGRAM PENINGKATAN TAHUN 2015
GPS GLONASS GALILEO
Services 2003
2015 2003 2015 2003 2015
Basic Positioning (unencrypted)
SPS L1 C/A
SPS L1 C/A L2C L5
SP L1
SP L1 L2 3rd Signal
OS L1 E5a E5a
Integrity/safety (unencrypted)
Integrity message
SoL L1 E5b E5a
Commercial/ valueadded (encrypted)
CS E6
Security/military (unencrypted)
PPS L1 P(Y) L2 P(Y)
PPS L1 P(Y) L2 P(Y) L1 M L2 M
HP L1 L2
HP L1 L2 Unknown
PRS L1 E6
SPS-Standard Positioning Service, PPS-Precise Position Service, SP-Standard Precision, HP-High Precision, OS-Open Service, SoL-Safety of Life service, CS-Commercial Service, PRS – Public Regulated Service
Sumber: C.Seynat, A. Kealy, K. Zhang, 2004
2.4 Sistem Satelit Navigasi Beidou
Sistem satelit navigasi Beidou
adalah sistem satelit navigasi yang
sedang dikembangkan China untuk
menentukan lokasi bagi keperluan
militer. China mengembangkan satelit
Beidou ini untuk mengurangi keter-
gantungannya terhadap sistem satelit
navigasi GPS dan GLONASS. Sistem
Beidou generasi pertama terdiri dari dua
satelit yaitu satelit Beidou-1 A dan
satelit Beidou-1B yang diluncurkan
masing-masing pada Oktober 2000 dan
Desember 2000. Sedangkan sistem
Beidou generasi kedua yaitu Beidou -2A,
Beidou-2B, dan Beidou-2C diluncurkan
masing-masing pada tanggal 24 Mei
2003, 3 Pebruari 2007, dan 14 April
2007.
Walaupun kemampuan Beidou
ini masih kurang dibanding sistem GPS
milik Amerika Serikat dan sistem
GLONASS milik Rusia, namun telah
dapat mengurangi ketergantungan China
terhadap kedua sistem tersebut. Setelah
peluncurannya satelit Beidou-2C pada
bulan April 2007 ke GEO, sistem satelit
Beidou ini namanya diganti menjadi
sistem Compass atau China’s Compass
Navigation Satellite System (CNSS). Pada
tahun 2015 direncanakan, China akan
memiliki konstelasi satelit Compass
(Beidou) sebanyak 30 satelit yang
berada pada Medium Earth Orbit (MEO)
(Inside GNSS News, 2009). Empat satelit
Beidou sebelumnya berada di orbit
GEO. CNSS nantinya akan terdiri dari
lima satelit di GEO dan 30 (tiga puluh)
satelit di MEO.
Satelit Beidou yang telah dilun-
curkan sampai dengan tahun 2011
dapat dilihat pada Tabel 2-3.
Perkembangan Sistem Satelit Navigasi Global......(Jakondar Bakara)
43
Tabel 2-3: SATELIT BEIDOU (SAMPAI DENGAN 10 APRIL 2011)
Tanggal Peluncuran Nama Satellite Nama Sistem
31 Oktober 2000 BeiDou-1A
BeiDou-1 21 Desember 2000 BeiDou-1B
25 Mei 2003 BeiDou-1C
3 Pebruari 2007 BeiDou-1D
14 April 2007 Compass-M1
BeiDou-2 (Compass)
15 April 2009 Compass-G2
17 Januari 2010 Compass-G1
2 Juni 2010 Compass-G3
1 Agustus 2010 Compass-IGSO1
1 Nopemver 2010 Compass-G4
18 Desember 2010 Compass-IGSO2
10 April 2011 Compass-IGSO3
Sumber: Globaltimes.cn, April 10 2011
2.5 Quasi-Zenith Sistem Satelit (QZSS)
Pada tahun 2003, Jepang sebagai
negara yang maju secara teknologi
memulai sebuah proyek dengan nama
Quasi-Zenith System Satellite (QZSS)
atau dalam bahasa Jepang Jun-Ten-Cho
(Miljenko, 2007). QZSS akan meningkat-
kan kinerja GPS dalam dua cara, yaitu
peningkatan ketersediaan sinyal GPS,
dan peningkatan performa GPS (men-
cakup akurasi dan keaslian sinyal GPS)
(Service of QZSS).
QZSS terdiri dari 3 (tiga) satelit
dan akan memberikan layanan posisi
satelit secara regional serta komunikasi
dan broadcasting. Setiap satelit akan
berada dalam 3 bidang orbit yang
berbeda, di mana mempunyai kemiringan
45 derajat terhadap Geostationary Orbit
(GEO). Satelit pertama yang diberi nama
Michibiki telah diluncurkan pada tanggal
11 September 2010. Diharapkan QZSS
ini akan beroperasi secara penuh pada
tahun 2013. Pada Gambar 2-2 posisi
satelit terlihat pada angka 3 (tiga).
Dalam orbitnya tersebut, satelit
QZSS akan melengkapi sistem GNSS
lainnya yang selama ini digunakan
Jepang. Selain itu QZSS akan mencakup
wilayah Australia dan daerah Asia.
Sistem satelit QZSS diaplikasikan untuk
menyediakan layanan berbasis komuni-
kasi (video, audio, dan data), dan informasi
posisi. (Quasi-Zenith Satellite System, 2008)
Gambar 2-2: Orbit QZSS (Sumber: Geo-
metry of Zenith Satellites, 2001)
2.6 India Regional Navigation Satellite
System (IRNSS)
IRNSS adalah sistem satelit
navigasi yang dikembangkan oleh badan
antariksa India India Space Research
Organisation (ISRO) yang berada di
bawah kontrol pemerintah India.
Pemerintah menyetujui proyek pem-
bangunan ini pada bulan Mei 2006, dan
dijadwalkan sistem satelit navigasi ini
akan selesai dan dapat diimplemen-
tasikan pada tahun 2014.
Konstelasi IRNSS akan terdiri dari
7 (tujuh) satelit, 3 (tiga) di antaranya di
Berita Dirgantara Vol. 12 No. 2 Juni 2011: 38-47
44
orbit GEO (34º E, 83º E dan 131,5º E),
dan 4 (empat) di GSO dengan kemiringan
29 derajat terhadap bidang ekuator
seperti yang ditunjukkan pada gambar
2-3b. Semua satelit akan terus terlihat
di wilayah India selama 24 jam setiap
hari. Diagram rinci tentang konfigurasi
sistem IRNSS, ditunjukkan sebagaimana
pada Gambar 2-3c. Sistem IRNSS akan
menyediakan dua jenis layanan, yaitu
Service Standard Positioning (SPS), dan
Restricted Service for Special User (layanan
terbatas untuk pengguna khusus).
Kedua layanan ini akan disediakan pada
frekuensi band L5 dan S-band, sebagai-
mana ditunjukkan pada Gambar 2-3.
Aplikasi satelit ini digunakan untuk
pemetaan, penentuan posisi dan akurasi
cuaca yang lebih baik. (Sumber: Satellite
Navigation, 2010)
Gambar 2-3: Pelayanan regional (a), konstelasi IRNSS (b), dan sistem konfigurasi IRNSS
(c) (Sumber : Indian Regional Navigation Satellite System, 2011)
a)
b)
c)
Perkembangan Sistem Satelit Navigasi Global......(Jakondar Bakara)
45
3 APLIKASI SISTEM SATELIT NAVI-GASI GLOBAL
Satelit navigasi global diaplikasikan
untuk keperluan militer dan untuk
keperluan sipil, antara lain (Global
Positioning System, 2009):
a. Militer
Sistem satelit navigasi global digunakan
untuk keperluan perang, seperti
menuntun arah bom, atau mengetahui
posisi pasukan berada. Dengan cara
ini maka bisa mengetahui teman dan
lawan untuk menghindari salah target
ataupun menentukan pergerakan
pasukan. Salah satu contoh dalam
perlombaan senjata antar benua
ICBM (Intercontinental Ballistic Missile)
maka dalam menentukan lokasi
yang tepat dari lokasi misil yang di
tembakkan oleh musuh. Maka dengan
mengetahui lokasi secara tepat bisa
menghancurkan musuh beserta
seluruh perangkat persenjataan
mereka.
b. Sipil
Sistem satelit navigasi global diguna-
kan sebagai alat navigasi seperti
kompas. Beberapa jenis kendaraan
telah dilengkapi dengan sistem
satelit navigasi global seperti GPS
untuk alat bantu navigasi dengan
menambah peta, sehingga bisa
digunakan untuk memandu
pengendara. Dengan demikian,
pengendara bisa mengetahui jalur
mana yang sebaiknya dipilih untuk
mencapai tujuan yang diinginkan.
Teknologi ini telah digunakan di
Indonesia. Dengan kelengkapan
data yang ada, berbagai kemungkinan
rute perjalanan dapat diperoleh. Hal
ini sangat membantu apabila saat
terjebak kemacetan, dan dengan
mudah dapat mengambil jalan
terdekat, karena perangkat navigasi
secara otomatis akan me-rerouting
jalur baru untuk sampai ketujuan.
Di samping itu juga sistem GPS
navigasi dapat dipasang di pesawat
terbang, kapal laut, tank, kapal
selam, mobil, truk, dan yang lainnya.
Sistem satelit navigasi global juga
dapat digunakan dalam sistem
informasi geografi seperti dalam
pembuatan peta, antara lain untuk
mengukur jarak perbatasan, ataupun
sebagai referensi pengukuran.
Beberapa contoh penggunaan
menawarkan display peta yang di
pandu sistem satelit GPS. Setelah
terhubung dengan sistem GPS,
maka semua peta yang lengkap
dengan nama jalan dan tempat
layanan publik pun akan terlihat di
monitor.
Sistem satelit navigasi global (seperti
GPS) juga dapat digunakan untuk
pemantauan gempa. Dengan kete-
litian yang tinggi bisa digunakan
untuk memantau pergerakan tanah,
yang ordenya hanya milimeter dalam
setahun. Selain itu, juga dapat
digunakan untuk pemantauan
pergerakan tanah yang bermanfaat
untuk memperkirakan terjadinya
gempa, baik pergerakan vulkanik
ataupun tektonik.
Sistem satelit navigasi global (seperti
GPS) juga dapat digunakan sebagai
pelacak kendaraan. Dengan bantuan
GPS, pemilik kendaraan/pengelola
armada bisa mengetahui keberadaan
kendaraan serta arah pergerakannya.
Sistem ini telah digunakan di
Indonesia, di mana polisi dapat
meringkus seorang pencuri mobil
dengan bantuan sistem GPS yang
dipasang di mobilnya.
Sistem satelit navigasi global
(seperti GPS) juga dapat digunakan
untuk studi Ionosfer dan Troposfer.
Satelit tersebut akan memancarkan
sinyal-sinyal gelombang elektro-
magnetik yang sebelumnya diterima
antena receiver GPS akan melewati
medium lapisan-lapisan atmosfer
dan troposfer (Aplication Global
Positioning System-GPS, 2011).
Berita Dirgantara Vol. 12 No. 2 Juni 2011: 38-47
46
4 PENUTUP
Dari uraian pada pembahasan
dapat disimpulkan bahwa sampai saat
ini baru terdapat 2 (dua) sistem satelit
navigasi global yang telah beroperasi
dan memberikan pelayanan secara global,
yaitu sistem satelit navigasi global GPS
milik Amerika Serikat dan sistem satelit
navigasi global GLONASS milik Rusia.
Sistem satelit navigasi global tersebut,
utamanya GPS telah dimanfaatkan oleh
berbagai negara, termasuk Indonesia,
untuk berbagai kepentingan baik militer
maupun sipil. Untuk kepentingan militer,
antara lain telah digunakan perang,
sedangkan untuk kepentingan sipil
antara lain digunakan dalam sistem
informasi geografi, pemantauan gempa,
dan untuk pelacak kendaraan. Amerika
Serikat dan Rusia masih terus mening-
katkan kemampuan sistem satelitnya
tersebut sehingga dapat meningkatkan
pelayanannya termasuk untuk kepen-
tingan komersial.
Negara-negara lainnya yang sedang
mengembangkan sistem satelit navigasi-
nya adalah (i) Sistem Galileo milik Eropa
yang dikembangkan Uni Eropa bekerja-
sama dengan European Space Agency
(ESA) direncanakan akan selesai pada
tahun 2015 , (ii) Sistem navigasi regional
Beidou, dikembangkan Cina, juga akan
selesai pada tahun 2015, (iii) Sistem
navigasi India Regional Navi-gational
Satellite System (IRNSS) yang dikembang-
kan oleh India direncanakan akan
selesai pada tahun 2014, dan (iv) Quasi-
Zenith System Satellite (QZSS) yang
dikembangkan oleh Jepang direncanakan
akan beroperasi pada tahun 2013.
DAFTAR RUJUKAN
Aplication Global Positioning System
(GPS), 2011. http://himatesil.ipb.
ac.id/index.php/artikel-sil/116-gps.
Html.
BeiDou 1 Experimental Satellite Navigation
System, 2008. http:// www.
sinodefence.com/space/spacecraft/
beidou1.asp.
Borton, Justin, “GPS Surveying, 2010”
http://archive.cyark.org/gps-
surveying-blog.
Choir, Afdhol, 2011. Aplikasi Global
Positioning System GPS, http://
himatesil.ipb.ac.id/index.php/
artikel-tentang-sil/116-gps.html.
C. Seynat, A. Kealy, K. Zhang, 2004. A
Performance Analysis of Future
Global Navigation Satellite Systems.
ESA, 2010, Galileo : a Constellation of 30
Navigation Satellites, http://www.
esa.int/esaNA/ESAAZZ6708D_gal
ileo_0.html, Last update: 12 May
2010.
ESA, 2010. Why Europe Needs Gallileo,
http://www.esa.int/esaNA/GGG0
H750NDC_galileo_0.html, 12 May
2010.
Global Positioning System (GPS), 2009.
http://kumtukul.blogspot.com/
2009/10/global-positioning-
system-gps.html.
Global navigation satellite system, 2010
http://en.wikipedia.org/wiki
Global_navigation_satellite_system.
GNSS-Global Navication Satellite System,
1990.http://www.sp.se/en/index/
research/time_and_frequency/sid
or/default.aspx.
Globaltimes.cn, April 10 2011. http://
business.globaltimes.cn/industries
/2011-04/642763.html.
Gustav Lindstrong, Giovanni Gasparini,
2003. The Galileo Satellite System
and its Security Implications, http://
www.iss.europa.eu/uploads/media
/occ44.pdf.
Indian Regional Navigation Satellite
System, 2011. http:// www.
insidegnss.com/node/2429.
Introduction to the Global Positioning
System for GIS and TRAVERSE,
1996.http://www.cmtinc.com/gps
book/.
Paul Kimppi, 2007. Nex Generation Satellite
Navigation System. http://www.
activetectonics.coas.oregonstate.
edu/classes/Sonar/Kempi2007.
pdf.
Perkembangan Sistem Satelit Navigasi Global......(Jakondar Bakara)
47
Quasi-Zenith Satellite System, 2008.
http:// en. wikipedia. org/wiki/
Quasi-Zenith_Satellite_System.
Satellite Navigation, 2010. http://en.
wikipedia.org/wiki/Satellite_navi-
gation.
Berita Dirgantara Vol. 12 No. 2 Juni 2011: 48-59
48
ANALISIS DAERAH BAHAYA DAN PENUTUP LAHAN
WILAYAH GUNUNGAPI SLAMET
Susanto, Suwarsono
Peneliti PUSBANGJA, LAPAN
e-mail: [email protected]
RINGKASAN
Sistem operasi alarm bencana alam melalui analisis Gunungapi memberikan
informasi tentang geomorfologis, daerah bahaya dan kondisi penutup lahan, hal ini
digunakan data Landsat ETM+ tanggal 19 September 2001 pada wilayah Gunungapi
Slamet. Analisis geomorfologis menghasilkan sepuluh pengelompokan bentuk lahan
yaitu: Kawah aktif (V.02.a), Kerucut gunungapi cinder (V.04.a), Lereng gunungapi
(V.05.a), Lereng gunungapi atas (V.05.d), Lereng gunungapi tengah (V.05.c), Lereng
gunungapi bawah( V.05.d. Kaki gunungapi (V.06.a). Dataran kaki gunungapi (V.06.b.),
Medan lava (V.08.a) Gawir sesar pegunungan blok (S.03.d). Dan analisis daerah bahaya
gunungapi, diperoleh tingkat kerentanan tiap-tiap bentuk lahan terhadap bencana
Gunungapi Slamet yang dikelaskan ke dalam tiga tingkat, yaitu sangat rentan, (Kawah
aktif, Kerucut gunungapi cinder, Medan Lava, dan lereng gunungapi atas), rentan
(Lereng gunungapi tengah, Lereng gunungapi bawah, Kaki gunungapi, dan Gawir sesar
pegunungan blok) dan kurang rentan (lereng gunungapi, dan Dataran kaki gunungapi).
Demikian juga hasil analisis penutup lahan diperoleh tujuh kelas penutup yaitu
mulai yang paling luas berturut-turut adalah lahan hutan (10.657 ha), sawah (3.332
ha), tegalan (1.741 ha), perkebunan (1.545 ha), permukiman (418 ha), endapan
piroklastik (305 ha), dan lahan terbuka (65 ha). Tujuan dari tulisan ini menginfor-
masikan dari hasil penelitian tentang analisis Gunungapi Slamet bulan Juni 2003.
1 PENDAHULUAN
Gunungapi Slamet merupakan
salah satu dari 129 gunungapi di
Kepulauan Indonesia yang masih aktif
(www.pu.go.id). Dari jumlah tersebut 15
gunungapi dikategorikan sebagai gunung-
api kritis (sangat potensial untuk meletus).
Bentuk ancaman dari letusan gunungapi
ini berupa korban jiwa dan kerusakan
permukiman/harta/benda. Korban jiwa
dan kerusakan terjadi akibat tertimbun
hasil letusan seperti aliran lava (lava
flow), lemparan batu, abu vulkanis
(ash), awan panas (nuess ardentes), dan
gas-gas beracun.
Mengingat banyaknya gunungapi
aktif di Indonesia tersebut, maka perlu
adanya upaya penanggulangan bencana
letusan dengan pemberian informasi
dini guna mengantisipasi bencana ter-
sebut. Informasi dapat dikontribusikan
dengan menunjukkan lokasi daerah
bahaya menurut zonasi tingkat keren-
tanan dan kondisi penutup lahan.
Informasi lokasi daerah bahaya dan
penutup lahan yang ada diharapkan
dapat menjadi bahan untuk membangun
sistem mitigasi bencana gunungapi di
daerah tersebut dan di sekitarnya. Pada
kegiatan ini gunungapi yang dipantau
adalah Gunungapi Slamet.
Gunungapi Slamet merupakan
salah satu vulkan bertipe strato yang
masih menunjukkan gejala keaktifan
sampai saat ini dan merupakan gunung-
api tertinggi ke 2 di Pulau Jawa setelah
Gunungapi Semeru yaitu dengan keting-
gian 3.432 m (www.volcanolive. com).
Adapun sejarah letusan gunungapi ini
dimulai tahun 1772, dan terakhir meletus
tahun 2000 (www.volcanolive. com). Ber-
dasarkan pengukuran dari citra Landsat
ETM+ path/row 120/065 tanggal 19
September 2001, Kawah Gunungapi
Slamet terletak pada posisi koordinat
Analisis Daerah Bahaya dan Penutup Lahan Wilayah......(Susanto et al.)
49
7- 14’ 33” Lintang Selatan dan 109- 12’ 37”
Bujur Timur. Jumlah total penduduk
yang bermukim di sekeliling kaki
gunung ini dari 5 kabupaten sebesar
6.919.752 jiwa (BPS, 2001).
Secara administrasi, kompleks
Gunungapi Slamet mancakup daerah-
daerah sebagai berikut:
a. Lereng sebelah utara: Kecamatan
Pulosari Kabupaten Pemalang dan
Kecamatan Bojong Kabupaten Tegal.
b. Lereng sebelah barat: Kecamatan Cepu
dan Kecamatan Sirampok Kabupaten
Brebes.
c. Lereng sebelah timur: Kecamatan
Karangrejo dan Kecamatan Kutasari
Kabupaten Purbalingga
d. Lereng sebelah selatan: Kecamatan
Cilongok, Kecamatan Banteng, Keca-
matan Baturaden, dan Kecamatan
Sumbang Kabupaten Banyumas.
Data yang diperoleh digunakan
dalam analisis daerah bahaya dan
penutupan lahan diperoleh melalui
analisis citra Landsat ETM+ path/row
120/065 tanggal akuisisi 19 September
2001. Data citra satelit tersebut tersedia
di LAPAN.
2 METODOLOGI
Data yang digunakan dalam
analisis daerah bahaya adalah citra
Landsat ETM+ path/row 120/065 tanggal
akuisisi 19 September 2001. Metodologi
penelitian dilakukan melalui beberapa
pentahapan. Pentahapan pemantauan
aktivitas gunungapi yang dilakukan me-
liputi beberapa kegiatan yaitu sebagai
berikut:
Analisis dan deskripsi geomorfologis
gunungapi dan sekitarnya dengan
menggunakan data Landsat TM dan
Landsat-ETM+. Hasil analisis dan
deskripsi tersebut akan dihasilkan
peta bentuklahan (landforms map) dan
peta daerah bahaya gunungapi.
Analisis perubahan penutup lahan di
daerah gunungapi dan sekitarnya
dengan mengidentifikasi dan meng-
klasifikasi penutup lahan dari 2 data
dengan kurun waktu 5 tahun yaitu
dari tahun 1997-2002, untuk
mengetahui perubahan luasnya.
Analisis konsentrasi pemukiman
dikaitkan dengan tingkat kerentanan
daerah bencana
Analisis dan deskripsi geomor-
fologis dilakukan secara visual (visual
analysis) sedangkan analisis penutup
lahan dilakukan secara dijital (digital
analysis). Untuk mempertajam analisis
citra secara visual untuk bentuklahan
vulkanik dibantu dengan pembuatan
citra komposit warna RGB band 543
dan penajaman spasial highpass filter
sharpen 2 (Wikanti A., 2002). Sedangkan
analisis penutup lahan secara dijital
dilakukan dengan metode klasifikasi
isoclass unsupervised. Piranti lunak
yang digunakan yaitu ER Mapper versi
5.5 yang mempunyai fasilitas untuk
metode-metode tersebut (ER Mapper,
1997).
3 HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil dan pembahasan dibagi
atas 2 bagian berdasarkan metodologi
yang digunakan, yaitu analisis-deskripsi
geomorfologis dan identifikasi-klasifikasi
penutup lahan berikut analisis
perubahannya serta kaitannya dengan
konsentrasi pemukiman.
3.1 Analisis dan Deskripsi Geomor-fologis
3.1.1 Analisis bentuklahan (Landforms)
Geomorfologi merupakan studi
yang mendeskripsi bentuklahan dan
proses yang mengakibatkan terbentuknya
bentuklahan tersebut dan menyelidiki
hubungan timbal balik dari bentuk-
bentuk dan proses ini dalam susunan
keruangan (Zuidam, 1985). Penamaan
klasifikasi bentuklahan didasarkan pada
acuan yang dikeluarkan oleh Fakultas
Geografi dan Bakosurtanal (Badan
Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional)
tahun 2000. Hasil klasifikasi bentuk-
Berita Dirgantara Vol. 12 No. 2 Juni 2011: 48-59
50
lahan di kompleks Gunung Slamet
secara visual dapat dilihat dalam
Gambar 3-1.
Pada gambar tersebut tercantum
dua buah peta bentuklahan yaitu
sebelah kiri berupa peta dengan simbol
warna dan angka, sedangkan peta
sebelah kanan berupa peta yang
disimbolkan dengan angka dan batas
garis yang ditampakkan pada citra
komposit 543. Penyimbolan warna
untuk bentuklahan asal vulkanik
digunakan warna merah bergradasi dari
tua ke muda dan bentuklahan asal
fluvial digunakan warna biru tua (UGM-
Bakosurtanal, 2000).
Hasil analisis dan deskripsi
geomorfologis dengan menggunakan
data penginderaan jauh (dan Landsat
ETM+ tanggal 19 September 2001,
kawasan gunungapi Slamet dibagi atas
sepuluh bentuklahan (Landforms), masing-
masing yaitu 9 bentuklahan asal vulkanik
yang disimbolkan dengan huruf depan
besar ‘V’ dan 1 bentuklahan asal
struktural disimbolkan dengan huruf
depan besar ‘S’. Kesepuluh bentuklahan
tersebut yaitu sebagai berikut:
Kawah aktif (V.02.a)
Kerucut gunungapi cinder (V.04.a)
Lereng gunungapi (V.05.a)
Lereng gunungapi atas (V.05.b)
Lereng gunungapi tengah (V.05.c)
Lereng gunungapi bawah (V.05.d)
Kaki gunungapi (V.06.a)
Dataran kaki gunungapi (V.06.b)
Medan lava (V.08.a)
Gawir sesar pegununganblok (S.03.d)
Kondisi geomorfologis daerah
pemantauan ditinjau secara umum dari
aspek genesis dan kronologinya,
Gunungapi Slamet merupakan gunungapi
berbentuk strato dengan kawah yang
masih menunjukkan gejala keaktifannya.
Di dalam kawah aktif tersebut telah
muncul kerucut gunungapi cinder
dengan ukuran yang relatif kecil.
Gambar 3-1: Hasil klasifikasi bentuklahan di kompleks Gunungapi Slamet
Analisis Daerah Bahaya dan Penutup Lahan Wilayah......(Susanto et al.)
51
Bentuklahan kawah aktif (V.02.a)
mencerminkan morfologi kawah gunung-
api yang masih menunjukkan gejala-
gejala keaktifan. Berbentuk seperti
cekungan pada puncak gunungapi dengan
diameter sekitar 1 kilometer. Gejala-
gejala keaktifan tersebut dapat diamati
dari citra dengan mengamati warnanya.
Warna biru pada citra yang terdapat di
bagian puncak gunungapi mengindi-
kasikan warna material yang relatif
masih baru atau segar yang berasal dari
erupsi vulkan berupa lemparan material
piroklastik yaitu ash, tuff, lapili, dan
bomb. Material tersebut terendapkan
hingga mencapai lereng atas dan lereng
tengah. Umumnya semakin jauh jarak
dari pusat erupsi maka konsentrasi
endapan piroklastik semakin berkurang.
Jangkauan lemparan piroklastik yang
berukuran lebih halus akan menjang-
kau daerah yang lebih jauh dan luas,
dalam hal ini abu vulkan (ash) dan tuff
akan menjangkau daerah yang relatif
lebih jauh dan luas daripada material
lapili dan bomb. Selain itu aliran lava
yang dikeluarkan dari mulut kawah
telah membentuk bentuklahan Medan
lava (V.08.a), meskipun luasan areal
yang dijangkau aliran lava relatif sempit
yaitu sekitar 1 hingga 2 km. Dari citra
bentukan ini dapat diamati dari warna
merah menyala, memiliki bentuk dan
pola memanjang dari mulut kawah.
Arah aliran lava cenderung mengarah ke
baratlaut dan sebagian kecilnya ke arah
timur laut.
Di dalam tubuh kawah aktif telah
tumbuh kerucut gunungapi cinder
(V.04.a) dengan ukuran relatif kecil
yaitu dengan diameter kerucut sekitar
0,5 km. Pada puncak kerucut cinder
tersebut terbentuk pula kawah aktif
dengan diameter sekitar 100 meter dan
juga merupakan bagian dari pusat
aktivitas erupsi vulkan. Pada citra
menampakkan warna merah terang
yang mengindikasikan gejala keaktifan
yang masih terus berjalan.
Lereng Gunungapi Slamet dari
puncak ke arah bawah semakin landai
dan dapat dibedakan menjadi Lereng
gunungapi atas (V.05.b), Lereng
gunungapi tengah (V.05.c), dan Lereng
gunungapi bawah (V.05.d). Kemudian
kearah bawah berturut-turut dapat
dibedakan lagi menjadi Kaki gunungapi
(V.06.a) dan Dataran kaki gunungapi
(V.06.b). Karakteristik utama yang
membedakan bentuklahan tersebut
adalah kemiringan lereng dan posisi
lereng tersebut, di samping proses-
proses yang berlangsung yang juga
memiliki perbedaan. Pada lereng
gunungapi atas dan tengah dari citra
berwarna hijau terang atau hijau
dengan spot-spot berwarna putih.
Kemungkinan besar spot-spot berwarna
putih tersebut mengindikasikan pengaruh
temperatur magma dari pusat erupsi
yang berdampak pada penutup lahan.
Kemungkinan kedua adalah terkonsen-
trasi material piroklastik yang dapat
menjangkau dalam jumlah yang signifikan
di kedua bentuklahan tersebut.
Kemiringan lereng semakin bawah
akan semakin berkurang secara gradual
dari sangat terjal hingga datar-landai
dengan batas-batasnya merupakan takik
lereng (break of slope) yang membentuk
pola linier. Takik lereng yang membentuk
pola linier tersebut hanya dapat diamati
dengan interpretasi visual yang tajam
dan perlu kehati-hatian dalam membuat
delineasi. Kunci interpretasi lainnya
untuk mengetahui posisi takik lereng
tersebut adalah dengan mengamati
adanya jalur-jalur hijau (green belt) yang
merupakan letak pemunculan mata air.
Mata air-mata air pada daerah vulkan
umumnya terbentuk pada takik lereng
daerah dimana batas antara muka air
tanah (water table) menyentuh per-
mukaan tanah (ground surface). Pada
zona jalur hijau tersebut pada citra
menunjukkan penutup lahan dengan
vegetasi yang hijau subur berpola
melingkar mengelilingi lereng gunung.
Berita Dirgantara Vol. 12 No. 2 Juni 2011: 48-59
52
Tabel 3-1: KLASIFIKASI BENTUKLAHAN ASAL VULKANIK REKOMENDASI DARI BAKOSURTANAL DAN FAKULTAS GEOGRAFI UGM YOGYAKARTA TAHUN 2000
No. SKALA 1 : 25.000 SKALA 1 : 50.000
KODE NAMA BENTUK LAHAN KODE NAMA BENTUK LAHAN
1
V.01 Gunungan strato
V.01.a Gunungapi strato aktif
V.01.b Gunungapi strato tidak aktif
2
V.02
Kawah/Danau Kawah
V.02.a Kawah aktif
V.02.b Danau kawah aktif
V.02.c Kawah tidak aktif
V.02.d Danau kawah tidak aktif
3
V.03
Kawah/Danau kaldera
V.03.a Kaldera aktif
V.03.b Danau kaldera aktif
V.03.c Kaldera tidak aktif
V.03.d Danau Kaldera tidak aktif
4
V.04
Kerucut pegunungan
V.04.a Kerucut gunungapi cinder
V.04.b Kerucut gunungapi piroklasik
V.04.c Kerucut gunungapi abu volkan
V.04.d Kerucut parester
5
V.05
Lereng Gunungapi
V.05.a Lereng gunungapi
V.05.b Lereng gunungapi atas
V.05.c Lereng gunungapi tengah
V.05.d Lereng gunungapi bawah
6
V.06
Kaki Gunungapi
V.06.a Kaki gunungapi
V.06.b Dataran kakigunungapi
V.06.c Kipas Plovio gunungapi
7
V.07
Dataran Gunungapi
V.07.a Dataran gunungapi
V.07.b Dataran flovio gunungapi
V.07.c Dataran antar gunungapi
8 V.08 Medan lava/lahar V.08.a V.08.b
Medan lava
Medan lahar
9
V.09
Gunungapi penrisai
V.09.a Puncak gunungapi perisai
V.09.b Lereng gunungapi perisai
V.09.c Kaki gunungapi perisai
V.09.d Plato lava basalt
V.09.e Aliran lava basalt
10 V.10 Gunungapi bocca V.10.a Gunungapi bocca
V.10.b Kaki gunungapi bocca
11 V.11 Sumbat lava V.11.a Sumbat lava
12 V.12 Leher gungapi V.12.a Leher gunungapi
Sumber : Bakosurtanal
Di kompleks Gunungapi Slamet
juga masih dijumpai sisa-sisa tubuh
vulkan yang tersisa lebih tua yang dapat
diamati dengan jelas pada lereng
sebelah barat. Pada lereng sebelah timur
keberadaan tubuh vulkan tua juga
masih dapat diamati hanya saja hampir
sebagian besar telah tertutupi oleh
material vulkan baru. Untuk penamaan
sisa-sisa tubuh vulkan pada lereng
sebelah barat digunakan nama Lereng
gunungapi (V.05.a).
Bentuklahan lainnya yang ter-
dapat di kompleks Gunungapi Slamet
yaitu bentuklahan struktural Gawir sesar
pegunungan blok (S.03.d). bentuklahan
ini terbentuk pada bidang sesar atau
escarpment dari dua buah sesar naik
Analisis Daerah Bahaya dan Penutup Lahan Wilayah......(Susanto et al.)
53
dengan arah strike Baratlaut-Tenggara.
Kedua sesar naik tersebut pada peta
dapat diamati dengan jelas pada sisi kiri
atas. Penyebab terjadinya pengangkatan
tubuh vulkan tua tersebut kemung-
kinan besar akibat tenaga endogen
berupa desakan magma ke atas dan
mengenai tubuh vulkan lama. Pola-pola
patahan kecil juga dapat diamati pada
lereng timur Gunungapi Slamet hanya
saja intensitas peng-angkatannya relatif
lebih lemah.
3.1.2 Analisis tingkat kerentanan ben-cana gunungapi tiap-tiap bentuk-lahan (Landforms)
Bentuklahan memainkan peranan
penting dalam pemantauan kerentanan
bencana gunungapi. Apabila dikaitkan
antara unit bentuklahan yang memiliki
karakteristik tertentu terhadap tingkat
kerentanan terhadap letusan gunungapi
maka terdapat keterkaitan yang erat.
Kerentanan bencana untuk kasus
Gunungapi Slamet tiap-tiap bentuklahan
memiliki karakteristik yang khas, ter-
sebut ditunjukkan secara lebih rinci
pada Tabel 3-2.
Berdasarkan tabel tersebut dapat
diketahui bentuklahan yang memiliki
tingkat sangat rentan yaitu Kawah Aktif,
Kerucut gunungapi cinder, Medan Lava,
dan Lereng gunungapi atas. Bentuklahan
yang memiliki tingkat rentan yaitu Lereng
gunungapi tengah, Lereng gunungapi
bawah, Kaki gunungapi, dan Gawir sesar
pegunungan blok. Sedangkan bentuk-
lahan yang memiliki tingkat kurang
rentan yaitu Lereng gunungapi dan
Dataran kaki gunungapi. Namun demikian
tidak semua luasan di tiap-tiap bentuk-
lahan yang masuk kategori rentan dan
sangat rentan termasuk dalam daerah
bahaya letusan. Untuk itu dibuat peta
daerah bahaya letusan gunungapi yang
tentu saja pada sebagiannya akan
mencakup sebagian atau seluruh luasan
pada bentuklahan-bentuklahan yang
memiliki tingkat rentan maupun sangat
rentan.
Tabel 3-2: TINGKAT KERENTANAN BENCANA GUNUNGAPI SLAMET UNTUK TIAP-TIAP
BENTUKLAHAN
No. Bentuk Lahan
Tingkat kerentanan Material Erupsi
Sangat Rentan
Rentan Kurang Rentan
Aliran Lava/lahar
Material Piroklastis
Ash/Tuf Lapili Bom
1. Kawah aktif + - - + + + +
2. Kerucut
gunungapi cinder
+ - - + + + +
3. Medan lava + - - + + + +
4. Lereng gunungapi
atas
+ - - + + + +
5. Lereng gunungapi
tengah
- + - + + + -
6. Lereng gunungapi
bawah
- + - + - - -
7. Kaki gunungapi - + - + - - -
8. Dataran kaki
gunung
- - + - - - -
9. Lereng gunungapi - - + - - - -
10. Gawir sesar
peg.blok
- + - - + + +
Sumber : Analisis
Berita Dirgantara Vol. 12 No. 2 Juni 2011: 48-59
54
Pembuatan peta daerah bahaya
letusan tersebut digunakan untuk
keperluan mitigasi bencana alam.
Daerah Bahaya Gunungapi Slamet
dikelompokkan ke dalam tiga daerah
bahaya, yaitu Daerah Terlarang, Daerah
Bahaya I, dan Daerah Bahaya II.
Penamaan tersebut mengacu pada
zonasi daerah bahaya letusan gunungapi
yang dikeluarkan oleh Direktorat Vulka-
nologi. Pembagian ke dalam daerah-
daerah bahaya tersebut disajikan dalam
bentuk peta pada Gambar 3-2.
Daerah Terlarang meliputi daerah-
daerah yang akan terkena dampak
langsung dari erupsi vulkan baik aliran
lava, aliran lahar, jatuhan material
piroklastik, debris avalanche, maupun
awan panas. Daerah-daerah pada Daerah
Terlarang akan terkena atau mengalami
kontak langsung oleh material-material
erupsi tersebut. Pada peta disimbolkan
dengan warna merah. Daerah tersebut
terdapat pada Keseluruhan bentuklahan
Kawah aktif, Kerucut gunungapi cinder,
Medan lava, dan Lereng gunungapi atas.
Pada citra, daerah tersebut menunjukkan
warna merah menyala, biru, dan spot-
spot berwarna terang. Warna merah
menyala mengindikasikan aktivitas
vulkanisme pada kawah yang masih
berlangsung, warna biru menunjukkan
kandungan air yang terdapat pada
endapan-endapan lava dan piroklastik
yang masih baru, dan spot-spot cerah
menunjukkan endapan-endapan piro-
klastik yang masih baru dan bersifat
kering.
Daerah Bahaya I meliputi daerah-
daerah yang kemungkinan besar akan
mengalami dampak serupa pada Daerah
Terlarang, namun memiliki intensitas,
frekuensi dan resiko yang relatif lebih
rendah. Daerah Bahaya I tersebut
secara langsung akan terkena jatuhan
material piroklastik. Pada peta disimbol-
kan dengan warna kuning. Daerah Bahaya
I teragihkan keseluruhan bentuklahan
Lereng gunungapi tengah.
Gambar 3-2: Peta Daerah Bahaya Gunungapi Slamet
Analisis Daerah Bahaya dan Penutup Lahan Wilayah......(Susanto et al.)
55
Delineasi Daerah Bahaya I
didasarkan atas pemahaman bahwa
daerah tersebut terletak di bawah daerah
Terlarang dan sampai sejauh mana
lemparan material piroklastik masih
mampu menjangkau daerah tersebut
dalam jumlah relatif besar. Menganalisis
kondisi keruangan kompleks Gunungapi
Slamet secara regional, maka daerah-
daerah yang ditetapkan sebagai Daerah
Bahaya I seperti yang ditunjukkan pada
peta.
Pada citra Daerah Bahaya II
meliputi daerah-daerah di luar daerah
Terlarang dan Daerah Bahaya I yang
kemungkinan juga akan terkena dampak
erupsi vulkan meskipun tidak sebesar
pada Daerah Terlarang dan Daerah
Bahaya I yang dalam hal ini akan
dilewati oleh aliran-aliran lava dan lahar
yang bergerak ke bawah. Pada peta
Daerah Bahaya II disimbolkan dengan
warna hijau muda. Daerah-daerah ter-
sebut meliputi keseluruhan lereng
gunungapi bawah, sebagian Kaki
gunungapi, dan sebagian Gawir sesar
pegunungan blok yang lokasinya ber-
dekatan dengan pusat erupsi. Delineasi
didasarkan pula pada lokasi yang
memiliki kemungkinan besar dilalui
aliran-aliran piroklastik, lahar, dan lava.
Aliran piroklastik, lahar, dan lava yang
bergerak menuruni gunung akan ter-
kontrol oleh topografi, yaitu akan melalui
lur-alur sungai. Namun demikian tidak
semua alur-alur sungai pada lereng
gunung akan dilewati oleh aliran lahar
dan lava tersebut. Di sini harus mem-
perhitungkan juga morfologi lain yang
dapat berfungsi sebagai penghambat
atau pembelok aliran lahar dan lava
seperti morfologi vulkan tua yang
terangkat ke atas. Gambar 3-3 menun-
jukkan pola aliran Gunungapi Slamet
yang dapat dibedakan alur-alur sungai
mana yang kemungkinan akan dilewati
oleh aliran piroklastik, lahar, dan lava
sangat besar (disimbolkan dengan
warna merah), menengah (disimbolkan
dengan warna kuning), dan rendah
(disimbolkan dengan warna biru muda).
3.2 Identifikasi dan Klasifikasi Penutup Lahan serta Analisis Konsentrasi Permukiman terhadap Kemung-kinan Terkena Dampak Letusan
Hasil identifikasi dan klasifikasi
penutup lahan Gunungapi Slamet dengan
menggunakan data Landsat-ETM+ tanggal
19 September 2001 yaitu berupa peta
penutup lahan. Jumlah, nama kelas,
dan luasan tiap-tiap kelas penutup
lahan dapat dilihat pada Tabel 3-3 dan
Peta Penutup Lahan dapat dilihat pada
Gambar 3-4. Tabel 3-4 menyajikan
padanan klasifikasi penutup lahan yang
dipakai dalam penelitian ini dengan
standar klasifikasi penutup lahan/
penggunaan lahan yang direkomendasi-
kan oleh Bakosurtanal dan Fakultas
Geografi UGM tahun 2000.
Jumlah kelas penutup lahan
yang terdapat di kompleks Gunungapi
Slamet ada 7 kelas seperti dalam Tabel
3-3 meliputi kelas hutan, perkebunan,
tegalan, sawah, permukiman, lahan
terbuka, dan endapan piroklastik. Dari
hasil analisis dapat diketahui bahwa
luasan penutup lahan dari yang paling
besar ke yang terkecil berturut-turut
yaitu kelas hutan (10.657 Ha), sawah
(3.332 Ha), tegalan (1.741 Ha), perkebunan
(1.545 Ha), permukiman (418 Ha),
endapan piroklastik (305 Ha), dan lahan
terbuka (65 Ha).
Daerah-daerah permukiman di
kompleks Gunungapi Slamet merupakan
permukiman pedesaan dengan berdasar
pada pola-pola distribusinya yang me-
nyebar. Dari hasil analisis melalui citra
dapat diidentifikasi bahwa letak per-
mukiman-permukiman yang ada yaitu
terdapat pada Kaki gunungapi dan
Dataran kaki gunungapi. Selain itu,
terdapat lokasi-lokasi permukiman yang
terletak pada zona Daerah Bahaya II.
Secara administrasi permukiman-per-
mukiman tersebut termasuk wilayah
Kecamatan Kutasari dan Kecamatan
Karangrejo Kabupaten Purbalingga,
Berita Dirgantara Vol. 12 No. 2 Juni 2011: 48-59
56
Kecamatan Pulosari Kabupaten Pemalang,
dan Kecamatan Cepu Kabupaten Brebes.
Sedangkan di wilayah kecamatan yang
lain tidak termasuk dalam zona daerah
bahaya baik Daerah Terlarang, Daerah
Bahaya I, maupun Daerah Bahaya II.
Gambar 3-3: Pola Aliran Gunungapi Slamet
Tabel 3-3: KELAS PENUTUP LAHAN DAN LUASANNYA
No. Kelas penutup lahan Luas (Ha) %
1. Hutan 10.657 59
2. Perkebunan 1.545 9
3. Tegalan 1.741 10
4. Sawah 3.332 18
5. Permukiman 418 2
6. Lahan terbuka 65 0
7. Endapan piroklastik 305 2
Jumlah 18.063 100
Sumber :Hasil Analisis
Analisis Daerah Bahaya dan Penutup Lahan Wilayah......(Susanto et al.)
57
Gambar 3-4: Peta Penutup Lahan Gunungapi Slamet
Tabel 3-4: PADANAN KLASIFIKASI PENUTUP LAHAN YANG DIGUNAKAN DALAM PENELITIAN INI DENGAN STANDAR KLASIFIKASI PENUTUP LAHAN/ PENGGUNAAN LAHAN YANG DIREKOMENDASIKAN OLEH BAKOSURTANAL DAN FAKULTAS GEOGRAFI UGM TAHUN 2000
Tingkat I Tingkat II Tingkat III Padanan kelas
1. Daerah
Perkotaan
dan
Terbangun
1.1. Permukiman
perkotaan
1.1.1. Pemukiman perkotaan Permukiman
1.2. Perdagangan, jasa,
industri
1.2.1.Perdagangan, jasa,
industri
1.3. Kelembagaan 1.3.1. Kelembagaan
1.4. Transportasi,
komunikasi, utilitas
1.4.1. Transportasi,
komunikasi, utilitas
1.5. Lahan terbangun
lainnya
1.5.1. Lahan terbangun
lainnya
1.6. Bukan lahan
terbangun
1.6.1. Bukan lahan
terbangun
2. Daerah
Perdesaan
2.1. Permukiman
pedesaan
2.1.1. Permukiman pedesaan
2.2. Lahan bervegatasi
diusahakan
2.2.1. Sawah irigasi Sawah
Tegalan
2.2.2. Sawah tadah hujan
2.2.3. Sawah pasang surut
2.2.4. Tegalan
2.2.5. Perkebunan
Berita Dirgantara Vol. 12 No. 2 Juni 2011: 48-59
58
2.3. Lahan bervegatasi
tidak diusahakan
2.3.1. Hutan lahan kering Hutan
2.3.2. Hutan lahan basah
2.3.3. Belukar Tegalan
2.3.4. Semak
2.3.5. Rumput
2.4. Lahan tidak bervega-
tasi Diusahakan
(lahan kosong)
2.4.1. Lahar terbuka Lahan terbuka
2.4.2. Lahar dan Lava Lahar dan
Lava
Endapan
piroklastik
Singkapan
Batuan
2.4.3. Beting pantai Lahan terbuka
2.4.4. Gosong sungai
2.4.5. Gumuk pasir
2.5. Tubuh air 2.5.1. Danau Tubuh air
2.5.2. Waduk
2.5.3. Tambak
2.5.4. Rawa
2.5.5. Sungai
2.6. Kelurusan 2.6.1. Kelurusan
Sumber : Bakosurtanal
4 PENUTUP
Hasil analisis geomorfologis terhadap
kawasan Gunungapi Slamet dari data
Landsat-ETM+ tanggal 19 September
2001, daerah tersebut dikelompokkan
ke dalam sepuluh bentuklahan. Ke-10
bentuklahan tersebut yaitu : Kawah
Aktif (V.02.a), Kerucut gunungapi
cinder (V.04.a), Lereng gunungapi
(V.05.a), Lereng gunungapi atas
(V.05.b), Lereng gunungapi tengah
(V.05.c), Lereng gunungapi bawah
(V.05.d), Kaki gunungapi (V.06.a),
Dataran kaki gunungapi (V.06.b),
Medan lava (V.08.a), Gawir sesar
pegunungan blok (S.03.d).
Tingkat kerentanan tiap-tiap bentuk-
lahan terhadap bencana Gunungapi
Slamet dikelaskan ke dalam tiga
tingkat, yaitu sangat rentan, rentan,
dan kurang rentan. Masing-masing
yaitu tingkat sangat rentan meliputi
Kawah Aktif, Kerucut gunungapi
cinder, Medan Lava, dan Lereng
gunungapi atas. Tingkat rentan meliputi
Lereng gunungapi tengah, Lereng
gunungapi bawah, Kaki gunungapi dan
Gawir sesar pegunungan blok. Sedang-
kan bentuklahan yang memiliki
tingkat kurang rentan yaitu Lereng
gunungapi dan Dataran kaki pegu-
nungan.
Untuk keperluan mitigasi bencana
alam, berdasarkan interpretasi citra,
kompleks Gunungapi Slamet menun-
jukkan daerah-daerah yang termasuk
Daerah Terlarang, Bahaya I, dan
Bahaya II. Terdapat konsentrasi areal
permukiman yang termasuk Daerah
Bahaya III yaitu yang terdapat di kaki
gunungapi Slamet dan secara
administrasi permukiman-permukiman
tersebut termasuk wilayah Kecamatan
Kutasari dan Kecamatan Karangrejo
Kabupaten Purbalingga, Kecamatan
Pulosari Kabupaten Pemalang, dan
Kecamatan Cepu Kabupaten Brebes.
Sedangkan di wilayah kecamatan yang
lain tidak termasuk dalam zona
Analisis Daerah Bahaya dan Penutup Lahan Wilayah......(Susanto et al.)
59
daerah bahaya baik Daerah Terlarang,
Daerah Bahaya I, maupun Daerah
Bahaya II.
Hasil analisis penutup lahan
diperoleh tujuh kelas penutup yaitu
mulai yang paling luas berturut-turut
adalah lahan hutan (10.657 Ha), sawah
(3.332 Ha), tegalan (1.741 Ha),
perkebunan (1.545 Ha), permukiman
(418 Ha), endapan piroklastik (305 Ha),
dan lahan terbuka (65 Ha).
DAFTAR RUJUKAN
Wikanti, Asriningrum, 2002. Studi
Kemampuan Landsat ETM+ untuk
Identifikasi Bentuklahan (Landforms)
Di Daerah Jakarta-Bogor, Tesis S-2,
Program Pascasarjana IPB, Bogor.
ER Mapper 1997. ER Mapper 5.5 Level
One Trainig Workbook, Western
Australia, Earth Survey Mapping.
Sunarto, 1994. Laporan Penelitian:
Daerah Rawan Bencana Alam,
Kerjasama Bappeda Dati I Jawa
Tengah dengan Fakultas Geografi
UGM, Yogyakarta.
Fakultas Geografi UGM dan Bakosurtanal,
2000. Pembakuan Spek Metodologi
Kontrol Kualitas Pemetaan Tematik
Dasar Dalam Mendukung
Perencanaan Tata Ruang, Proyek
Inventarisasi dan Evaluasi
Sumberdaya Nasional Matra Laut,
Bakosurtanal, Bogor.
Zuidam R.A. van, 1985. Aerial Photo-
Interpretation in Terrain Analysis
and Geomorphologic Mapping, ITC,
Enschede, The Netherlands.
Web Addresses: www.pu.go.id dan www.
volcanolive.com.
Berita Dirgantara Vol. 12 No. 2 Juni 2011: 60-67
60
KAJIAN AWAL EFISIENSI WAKTU SISTEM AUTOMATIC LINK ESTABLISHMENT (ALE) BERBASIS MANAJEMEN FREKUENSI
Varuliantor Dear
Peneliti Bidang Ionosfer dan Telekomunikasi, LAPAN
e-mail: [email protected]
RINGKASAN
Penggunaan sistem Automatic Link Establishment (ALE) merupakan salah satu
solusi untuk mengatasi perubahan frekuensi kerja komunikasi radio High Frequency
(HF) akibat dinamika lapisan ionosfer. Namun, proses penentuan frekuensi kerja dalam
sistem ALE masih perlu ditingkatkan akibat banyaknya frekuensi yang diuji setiap
waktunya. Dengan mengkombinasikan sistem ALE dan manajemen frekuensi, efisiensi
waktu proses yang diperoleh menunjukkan perbedaan yang cukup signifikan terhadap
waktu proses yang dilakukan dalam sistem ALE konvensional. Dari hasil simulasi
yang dilakukan untuk sirkuit komunikasi Bandung-Pameungpeuk pada bulan Maret
2011, perbedaan waktu proses yang diperoleh untuk menentukan frekuensi kerja radio
komunikasi HF mencapai 1,6-1,8 detik pada pukul 00 hingga 06 WIB. Sedangkan pada
pukul 07 hingga 23 WIB perbedaan waktu yang diperoleh berkisar antara 1,2-1,4 detik.
Berdasarkan hasil tersebut, sistem ALE berbasis manajemen frekuensi dapat
meningkatkan efisiensi waktu proses penentuan frekuensi kerja yang dapat digunakan.
1 PENDAHULUAN
Sistem Automatic Link Establish-
ment (ALE) merupakan sistem yang
digunakan untuk mempermudah operator
komunikasi radio High Frequency (HF)
dalam menentukan frekuensi kerja yang
akan digunakan secara cepat. Pemilihan
frekuensi dilakukan berdasarkan hasil
proses analisa kualitas sinyal yang
dilihat dari nilai Bit Eror Rate (BER) dan
perbandingan kuat sinyal terhadap
noise (SN) dari tiap-tiap frekuensi yang
diuji. Dengan mengelompokan frekuensi
kerja berdasarkan kualitas sinyal atau
catatan dari keberhasilan hubungan
komunikasi yang telah dilakukan,
sistem ALE secara otomatis melakukan
proses penentuan frekuensi kerja yang
dapat digunakan dengan menguji semua
frekuensi yang ada didalam kelompok
frekuensi tersebut.
Kondisi lapisan ionosfer yang
dinamis merupakan salah satu alasan
munculnya sistem ALE. Keberhasilan
komunikasi radio HF, khususnya
propagasi angkasa (skywave), sangat
bergantung pada kondisi lapisan
ionosfer. Parameter kondisi lapisan
ionosfer, yakni frekuensi kritis (foF2)
dan frekuensi minimum (fmin) merupakan
salah satu batasan yang menentukan
keberhasilan komunikasi radio (Dear,
2009). Nilai parameter-parameter tersebut
dapat digunakan sebagai rujukan
penentuan frekuensi komunikasi radio
yang dapat digunakan atau waktu untuk
melakukan komunikasi. Penentuan
frekuensi kerja maupun waktu komuni-
kasi yang dilakukan dengan memper-
hatikan kondisi lapisan ionosfer yang
kemudian diolah sebagai prediksi
frekuensi disebut sebagai manajemen
frekuensi.
Sistem ALE merupakan pengem-
bangan perangkat untuk meningkatkan
keberhasilan suatu kanal frekuensi.
Pada kenyataannya sistem ini masih
bersifat mandiri dalam menentukan
frekuensi kerja yang diuji cobakan,
sehingga sistem ini juga dianggap masih
memiliki keterbatasan. Keterbatasan
tersebut dikemukakan dalam buku
panduan ALE untuk komunikasi militer
dengan salah satu solusinya adalah
Kajian Awal Efisiensi Waktu Sistem Automatic Link ......(Varuliantor Dear)
61
diperlukannya proses kombinasi mana-
jemen frekuensi dengan sistem ALE
(United Stated Army, 2003). Dengan
kombinasi tersebut, sistem ALE diasum-
sikan dapat lebih optimal akibat
meningkatnya efektifitas waktu proses
penentuan frekuensi kerja yang dilaku-
kan. Pada makalah ini dibahas per-
bandingan antara sistem ALE konven-
sional dengan sistem ALE yang dipadukan
dengan manajemen frekuensi. Penelitian
dilakukan untuk mengetahui selisih
waktu proses yang diperlukan dalam
sistem ALE berbasis manajemen prediksi
frekuensi dengan sistem ALE konven-
sional. Dengan diperolehnya selisih waktu
proses tersebut, maka dapat diketahui
efisiensi waktu proses sistem ALE ber-
basis manajemen frekuensi.
2 LANDASAN TEORI
2.1 Mekanisme Penentuan Frekuensi Kerja dalam Sistem ALE
Mekanisme dalam sistem ALE
untuk melakukan komunikasi dengan
stasiun yang dituju atau dikehendaki
disajikan pada Gambar 2-1. Untuk
memulai komunikasi, stasiun inisiator
melakukan pemanggilan sesuai dengan
identitas stasiun yang dituju meng-
gunakan frekuensi f1, f2,...fn yang telah
ditetapkan atau dimiliki. Apabila stasiun
yang dituju menerima sinyal tersebut,
maka sinyal respon yang berisi identitas
stasiun akan dikirimkan melalui frekuensi
yang sama (fc). Setelah menerima sinyal
respon dari stasiun yang dituju, sinyal
balasan (acknowledgment) dikirimkan
sebagai isyarat untuk memulai komuni-
kasi. Setelah sinyal balasan acknow-
ledgement diterima, maka komunikasi
antara kedua stasiun tersebut dapat
dilaksanakan.
Dalam sistem ALE tiap-tiap stasiun
selalu dalam kondisi siaga (standby)
atau kondisi memanggil (calling). Dalam
kondisi standby, radio melakukan
proses scaning untuk memeriksa sinyal
panggilan dari frekuensi-frekuensi yang
dimiliki atau digunakan. Proses scaning
tersebut memiliki durasi waktu antara
0,2 hingga 0,5 detik per satu frekuensi.
Apabila saat proses scaning diterima
sinyal panggil yang ditujukan kepada
stasiun tersebut, maka sinyal respon
akan dikirimkan melalui frekuensi yang
sama dan bersamaan dengan proses
menunggu sinyal acknowledgment dari
stasiun pemanggil.
Gambar 2-1: Proses handshaking dalam
sistem ALE
Keterangan:
f1, f2,.., fn : Frekuensi uji fc = frekuensi komunikasi
Dalam proses pemanggilan (calling),
pemilihan frekuensi yang hendak di-
gunakan tidak bersifat acak. Pemilihan
frekuensi dilakukan berdasarkan hasil
analisis kualitas sinyal dari tiap-tiap
frekuensi yang ada. Proses analisis
kualitas sinyal tersebut dikenal sebagai
algoritma Link Quality Analyze (LQA).
Frekuensi dengan kualitas terbaik akan
digunakan terlebih dahulu untuk
memanggil stasiun yang dituju. Apabila
tidak diperoleh respon dari stasiun yang
dituju pada frekuensi tersebut, maka
frekuensi terbaik berikutnya digunakan
untuk memanggil stasiun yang dituju.
Proses pemilihan frekuensi untuk
memanggil stasiun yang dituju terus
dilakukan hingga diperoleh sinyal
respon. Apabila semua frekuensi telah
Berita Dirgantara Vol. 12 No. 2 Juni 2011: 60-67
62
digunakan untuk memanggil stasiun
yang dituju, namun tidak diperoleh
sinyal respon, maka sistem ALE akan
memberi tahu operator bahwa komunikasi
tidak dapat dilakukan. Operator dapat
melakukan cara lain seperti meman-
faatkan stasiun relay atau jaringan
bersama (Net) agar informasi yang ingin
disampaikan dapat diterima stasiun
lawan (United Stated Army, 2003).
Urutan frekuensi berdasarkan
kualitas sinyal dengan algoritma LQA
dibuat dalam bentuk tabel. Contoh tabel
LQA disajikan pada Tabel 2-1. Kolom
address merupakan kolom yang berisikan
identitas masing-masing stasiun. Kolom
channels merupakan kolom frekuensi
atau kanal yang tersedia yang berisi
nilai kualitas sinyal dari frekuensi yang
dapat digunakan untuk menghubungi
stasiun-stasiun tersebut. Sebagai contoh;
untuk berkomunikasi dengan stasiun
ALPHA2, tersedia 4 kanal yang dapat
digunakan, yakni; kanal 1, 3, 4, dan 5.
Sedangkan untuk urutan frekuensi yang
digunakan dalam penentuan frekuensi
kerja yang hendak digunakan untuk
berkomunikasi akan dimulai dari kanal
4, 3, 5, dan 1.
Tabel 2-1: HASIL DARI LQA SISTEM ALE
Efisiensi waktu proses untuk
menentukan frekuensi terbaik sangat
dipengaruhi oleh durasi waktu scanning
stasiun yang dipanggil. Hal ini dikarena-
kan saat melakukan pemanggilan,
waktu untuk menunggu sinyal respon
dari stasiun yang dituju per-frekuensi
dapat diatur secara bebas dengan
pengaturan nilai minimum 1 detik.
Namun, untuk proses scanning, durasi
ditentukan oleh jumlah frekuensi yang
diuji serta durasi waktu pemeriksaan
sinyal panggilan untuk setiap frekuensi.
Umumnya dalam sistem ALE, selama 1
detik banyaknya frekuensi yang dipantau
adalah antara 2 hingga 5 frekuensi.
Akibatnya durasi waktu per 1 frekuensi
antara 0,2 detik hingga 0,5 detik
(Hflink1, 2010). Dengan sistem ini, dapat
diartikan bahwa semakin banyak
frekuensi yang diatur atau dimasukan
ke dalam sistem tersebut, akan
berdampak pada pe-ningkatan lamanya
waktu penentuan frekuensi kerja yang
dapat digunakan.
2.2 Variasi Lapisan Ionosfer dan Manajemen Frekuensi
Keberhasilan komunikasi radio
HF khususnya propagasi angkasa,
dipengaruhi oleh kondisi lapisan ionosfer.
Kondisi lapisan ionosfer yang dinamis
menyebabkan keberhasilan komunikasi
radio HF perlu dikelola dalam bentuk
manajemen frekuensi (McNamara, 1991).
Dalam manajemen frekuensi, penggunaan
komunikasi radio diatur berdasarkan
waktu operasional radio yang disesuaikan
dengan frekuensi kerja yang digunakan.
Hal ini dikarenakan satu frekuensi yang
digunakan terus menerus tidak selalu
dapat dipantulkan oleh lapisan ionosfer.
Parameter lapisan ionosfer yang
dapat digunakan untuk mengetahui
pemantulan yang mungkin terjadi
adalah nilai frekuensi terendah (fmin)
dan frekuensi tertingi lapisan F2
ionosfer (foF2). Dengan menggunakan
formula secant, parameter ionosfer
tersebut dapat digunakan untuk meng-
hitung batas terendah dan tertinggi
frekuensi yang dapat dipantulkan pada
suatu sirkuit komunikasi (Suhartini,
2006).
Kendatipun kondisi lapisan
ionosfer sangat dinamis, parameter
lapisan ionosfer yang mempengaruhi
keberhasilan pemantulan memiliki pola
yang tetap berdasarkan waktu. Pola
tersebut dikenal sebagai variasi lapisan
ionosfer yang meliputi variasi harian,
musiman, lokasi, dan siklus Matahari
(McNamara, 1991). Gambar 2-2 di bawah
ini merupakan contoh grafik variasi
harian lapisan ionsfer.
Kajian Awal Efisiensi Waktu Sistem Automatic Link ......(Varuliantor Dear)
63
Gambar 2-2: Variasi harian lapisan
ionosfer (Jiyo, 2011)
Pada Gambar 2-2 ditunjukkan
pola atau variasi harian parameter
lapisan ionosfer. Gambar tersebut
menunjukkan bahwa frekuensi tertinggi
(foF2) yang dapat dipantulkan oleh
lapisan ionosfer berbeda tiap jamnya.
Pola lapisan ionosfer memiliki pola
seperti huruf S setiap harinya. Pukul
00-06 LST, frekuensi tertinggi yang
dapat dipantulkan lapisan ionosfer
semakin menurun. Namun, pada pukul
07-12 LST, frekuensi tertinggi yang
dapat dipantulkan oleh lapisan ionosfer
mulai meningkat. Sedangkan pada
pukul 13 – 23 LST terlihat bahwa nilai
frekuensi tertinggi yang dapat dipantulkan
oleh lapisan ionosfer cenderung stabil.
Dengan kondisi lapisan ionosfer
yang memiliki variasi terhadap waktu
tersebut, manajemen frekuensi menjadi
salah satu solusi untuk menjamin
keberhasilan komunikasi yang dilakukan
(McNamara, 1991). Dengan keterbatasan
frekuensi yang diizinkan, maka komuni-
kasi yang dilakukan didasari pada waktu
untuk berkomunikasi. Waktu komunikasi
merupakan waktu dimana frekuensi
kerja yang dimiliki berada diantara nilai
tertinggi dan terendah dari frekuensi
yang dapat dipantulkan. Pada Gambar
2-3 disajikan contoh hasil manajemen
frekuensi yang dilakukan untuk sirkit
Bandung-Pameungpeuk pada bulan
Maret 2011.
Pada Gambar 2-3 garis Maximum
Usable Frequency (MUF) adalah batas
tertinggi frekuensi yang dapat dipantulkan
oleh lapisan ionosfer. Sedangkan garis
Lowest Usable Frequency (LUF) merupakan
batas terendah frekuensi yang dapat
dipantulkan oleh lapisan ionosfer. Garis
arsir berwarna kuning menunjukkan
frekuensi kerja yang dimiliki. Sedangkan
garis putus-putus menunjukkan waktu
komunikasi yang diperoleh berdasarkan
prediksi frekuensi yang dihasilkan
untuk sirkit Bandung-Pameungpeuk.
Dengan frekuensi kerja 7 MHz, waktu
komunikasi untuk sirkit tersebut adalah
antara pukul 07.00 WIB hingga 23.00
WIB. Keberhasilan komunikasi yang
dilakukan pada periode waktu tersebut
memiliki nilai yang lebih tinggi. Hal ini
juga telah dibuktikan berdasarkan
penelitian yang dilakukan (Perwitasari,
2010).
Gambar 2-3: Manajemen frekuensi pada frekuensi 7 MHz
2
4
6
8
10
12
14
16
18
20
0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22
Fre
ku
ensi
(M
Hz)
WIB (UT+7)
TJS, MARET (foF2)
2000 2001 2002 2003 2004
Berita Dirgantara Vol. 12 No. 2 Juni 2011: 60-67
64
3 DATA DAN METODOLOGI
Data yang digunakan dalam
penelitian ini merupakan data hasil olah
durasi scaning dari kelompok frekuensi
yang dialokasikan dalam sistem ALE
untuk lingkup radio amatir dalam
spektrum HF. Frekuensi tersebut adalah:
3,5 MHz; 7,1 MHz; 10,1 MHz; 14,1 MHz;
18,1 MHz; 21,09 MHz; 24,9 MHz; dan
28,1 MHz (HfLink, 2010). Durasi waktu
scaning yang digunakan untuk per-
hitungan setiap 1 frekuensi adalah 200
mili detik (Hflink, 2010).
Untuk memperoleh nilai frekuensi
sistem ALE berbasis manajamen frekuensi
digunakan software prediksi frekuensi
Advanced Stand Alone Prediction (ASAPS)
yang merupakan keluaran dari IPS
Australia. Sirkit yang digunakan merupa-
kan sirkit Bandung-Pameungpeuk untuk
waktu komunikasi bulan Maret 2011.
Hasil prediksi menggunakan ASAPS
yang diperoleh kemudian difilter untuk
menghasilkan frekuensi yang dapat
digunakan dalam sistem ALE. Proses
filtering yang dilakukan merupakan
proses manajemen frekuensi dengan
cara menggunakan batas frekuensi
terendah dan tertinggi yang dicocokan
dari alokasi frekuensi yang tersedia
dalam sistem ALE.
Dari kedua informasi tersebut,
dilakukan perhitungan waktu scaning
dalam setiap jam untuk satu hari.
Durasi waktu yang diperoleh digunakan
untuk melihat selisih waktu dalam satu
hari. Dengan diperolehnya perbandingan
durasi waktu dari kedua sistem tersebut
dapat diperoleh informasi tentang
kinerja sistem ALE berbasis manajemen
frekuensi. Secara garis besar langkah-
langkah yang dilakukan dalam kegiatan
penelitian ini disajikan pada diagram
alur 3-1.
4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Frekuensi kerja hasil prediksi
ASAPS untuk sirkit komunikasi Bandung-
Pameungpeuk ditunjukkan pada Tabel
4-1(a). Sedangkan pada Tabel 4-1(b)
ditunjukkan frekuensi kerja sistem ALE
yang telah dikombinasikan dengan
manajemen frekuensi dari Tabel 4-1(a).
Dari kedua hasil tersebut dapat di-
peroleh perbandingan banyaknya fre-
kuensi yang dapat diuji setiap jamnya
saat hendak melakukan komunikasi.
Gambar 3-1: Diagram alur analisis efisiensi waktu sistem ALE berbasis manajemen
frekuensi
Data ALE
Waktu
Proses a
Waktu
Proses b
Filtering dengan
Manajemen
Frekuensi
ASAPS (Bandung-
Pameungpeuk)
Analisis Efisiensi waktu sistem ALE
Hitung
= |a-b| sistem ALE
Kajian Awal Efisiensi Waktu Sistem Automatic Link ......(Varuliantor Dear)
65
Tabel 4-1: FREKUENSI KERJA YANG DAPAT DIGUNAKAN BER-DASARKAN HASIL PREDIKSI ASAPS, DAN SISTEM ALE BERBASIS MANAJEMEN FREKUENSI
Pada Gambar 4-1 disajikan
perbandingan antara jumlah kanal
frekuensi ALE dan jumlah kanal
frekuensi sistem ALE yang dikombinasi-
kan dengan manajemen frekuensi untuk
sirkuit Bandung dan Pameungpeuk.
Dari grafik tersebut, terlihat perbedaan
jumlah kanal frekuensi yang dapat
diujikan dalam satu hari. Jumlah kanal
frekuensi yang diujikan setiap jamnya
dalam sistem ALE konvensional akan
bernilai tetap yakni 10 kanal frekuensi.
Berbeda dengan jumlah frekuensi dalam
sistem ALE berbasis manajemen
frekuensi, jumlah kanal frekuensi yang
diujikan untuk melakukan komunikasi
setiap jamnya akan berubah-ubah
mengikuti variasi lapisan ionosfer.
Jumlah kanal frekuensi yang
diuji untuk melakukan komunikasi
akan menentukan durasi waktu untuk
memulai komunikasi (handshaking) antara
dua stasiun. Dengan periode waktu
scaning yang umumnya 0,2 detik per
satu frekuensi, sistem ALE konvensional
akan memerlukan waktu maksimum
untuk mulai berkomunikasi mencapai 2
detik. Hal ini sangat berbeda dengan
hasil waktu sistem ALE berbasis
manajemen frekuensi yang hanya dapat
mencapai waktu maksimum 0,6 detik.
Pada Gambar 4-2 disajikan perbedaan
waktu maksimum yang diperlukan dari
sistem ALE konvensional dan sistem
ALE berbasis manajemen frekuensi.
Pada Gambar 4-2 terlihat pola durasi
waktu maksimum yang diperlukan
untuk memulai komunikasi pada sistem
ALE berbasis manajemen frekuensi
dalam satu hari. Pola yang ditunjukkan
memiliki pola yang serupa dengan
variasi harian ionosfer. Pada dini hari,
yakni antara pukul 00-06 WIB, waktu
maksimum yang diperlukan untuk
memulai komunikasi berkisar antara
0,2 detik hingga 0,4 detik. Pada pukul
07.00 hingga pukul 10.00 WIB, durasi
waktu yang dipelukan mencapai 0,4
detik. Pada pukul 11.00 hingga pukul
21.00 WIB, durasi waktu maksimum
mulai meningkat naik hingga mencapai
0,6 detik. Sedangkan antara pukul
21.00 hingga 23.00 WIB, durasi waktu
yang diperlukan untuk komunikasi mulai
kembali turun mencapai 0,4 detik.
Fluktuasi durasi waktu maksimum yang
diperlukan tersebut sesuai dengan
proses pembentukan lapisan ionosfer
dalam satu hari dengan nilai maksimum
yang terjadi di siang hari atau yang
dikenal dengan sebutan variasi harian
(Mc Namara, 1991).
Pada Tabel 4-3 disajikan efisiensi
waktu yang diperoleh dalam sistem ALE
berbasis manajemen frekuensi dibanding-
kan dengan sistem ALE konvensional.
Dari hasil tersebut terlihat bahwa sistem
ALE berbasis manajemen frekuensi
memiliki performa yang lebih baik untuk
tiap jam-nya. Hal ini dikarenakan dalam
sistem ALE berbasis manajemen frekuensi,
uji coba hanya dilakukan untuk frekuensi
kerja yang memiliki peluang setiap
jamnya berdasarkan hasil prediksi.
Frekuensi yang tidak memiliki peluang
untuk digunakan tidak di uji-cobakan
sehingga proses pencarian frekuensi
kerja untuk komunikasi lebih efektif dan
efisien.
Berita Dirgantara Vol. 12 No. 2 Juni 2011: 60-67
66
Gambar 4-1: Perbandingan jumlah kanal frekuensi ALE konvensional dengan sistem
ALE berbasis manajemen frekuensi
Gambar 4-2: Durasi waktu maksimum per jam untuk memulai komunikasi dalam satu
hari
Tabel 4-3: EFISIENSI WAKTU DALAM SISTEM ALE BERBASIS MANAJEMEN FREKUENSI
Kelompok Waktu
Durasi (detik)
Perbedaan Waktu (detik)
00-06 0,2-0,4 1,6-1,8
07-10 0,4-0,6 1,2-1,4
11-23 0,4-0,6 1,2-1,4
0
2
4
6
8
10
12
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23
Jum
lah
Kan
al F
reku
ensi
Waktu (WIB)
Bandung-Pamengpeuk, Maret 2011
ALE + ManajemenFrekuensiALE Konvensional
Kajian Awal Efisiensi Waktu Sistem Automatic Link ......(Varuliantor Dear)
67
Dalam sistem ALE berbasis
manajemen frekuensi, pengujian frekuensi
kerja yang berada di luar ambang batas
nilai Maximum Usable Frequency (MUF)
dan Lowest Usable Frequency (LUF)
tidak dilakukan. Keputusan untuk tidak
menguji frekuensi yang berada di luar
batas nilai LUF dan MUF dilatar
belakangi bahwa pada saat kondisi
normal, lapisan ionosfer tidak dapat
memantulkan semua frekuensi yang
ada. Frekuensi yang dianggap dapat
dipantulkan adalah frekuensi yang
berada di antara nilai MUF dan LUF
sehingga nilai frekuensi lainnya tidak
perlu diuji.
6 PENUTUP
Perbandingan waktu persiapan
antara sistem ALE konvensional dengan
Sistem ALE berbasis manajemen
frekuensi memiliki nilai yang cukup
signifikan. Pada sistem ALE konvensional,
waktu yang diperlukan untuk memulai
komunikasi memiliki nilai yang tetap
setiap jam-nya. Sedangkan waktu yang
diperlukan dalam sistem ALE berbasis
manajemen frekuensi memiliki nilai
yang bervariasi. Berdasarkan hasil
simulasi yang dilakukan untuk sirkuit
komunikasi Bandung-Pameungpeuk,
antara pukul 00.00 WIB hingga 06.00 WIB
waktu yang diperlukan dalam sistem
ALE berbasis manajemen frekuensi lebih
cepat antara 1,6-1,8 detik dari sistem
ALE konvensional. Sedangkan pada
pukul 07.00-23.00 WIB pengurangan
waktu yang dicapai berkisar antara 1,2 -
1,4 detik. Perbedaan waktu tersebut
karena sistem ALE berbasis manajemen
frekuensi hanya menguji cobakan
frekuensi yang memiliki kemungkinan
dapat dipantulkan oleh lapisan ionosfer.
Frekuensi-frekuensi yang tidak memiliki
peluang untuk dapat dipantulkan tidak
diuji cobakan sehingga berdampak pada
berkurangnya waktu proses pencarian
frekuensi kerja yang dapat digunakan.
Berdasarkan hal tersebut, maka sistem
ALE berbasis manajemen frekuensi
memiliki tingkat efisiensi yang lebih
tinggi dari sistem ALE konvensional.
DAFTAR RUJUKAN
Dear, V., 2009. Pengaruh Perubahan
Ketinggian (h’) dan Frekuensi Kritis
Lapisan Ionosfer (fo) terhadap
Besarnya Frekuensi Kerja Maksi-
mum (MUF) Sirkit Komunikasi
Radio HF, Prosiding Seminar
Sains Antariksa IV. April 2009.
Hal. 132-137. ISBN: 978-979-
1458-23-8.
Hflink1, 2010. ALE Channel Frequency
List, http://hflink.com/channels/.
akses april 2011.
Hflink2, 2010, ALE Handbook for Govern-
ment Chapter 3. http:// hflink.
com/standards/download April
2011.
Jiyo, 2010. Riset Ionosfer dan Peman-
faatannya, Materi Pelatihan
Manajemen Frekuensi dan Teknis
Komunikasi Radio Tingkat Lanjut
Tahun 2011. Juni 2011.
McNamara, L.F., 1991. The Ionosphere:
Communications, Surveillance, and
Direction Finding, Krieger Publishing
Company.
Perwitasari S., 2010. Analisa Propagasi
Gelombang Radio Sirkit Bandung-
Pameungpeuk Frekuensi 7200 KHz.
Dalam proses publikasi Berita
Dirgantara.
Suhartini S., 2006. Prediksi dan
Manajemen Frekuensi Komunikasi
Radio HF, Publikasi ilmiah LAPAN,
ISBN 978-979-1458-00-99.
United States Army, 2003. HF-ALE;
Multi-Service Procedures for High
Frequency – Automatic Link
Establishment (HF-ALE) Radios.
Chief of Staff United States Army.
Berita Dirgantara Vol. 12 No. 2 Juni 2011: 68-75
68
GAS CO2 DI WILAYAH INDONESIA
Toni Samiaji
Peneliti Bidang Komposisi Atmosfer, LAPAN
e-mail: [email protected]/[email protected]
RINGKASAN
Pemanasan global sebagai indikasi perubahan iklim diisukan sebagai akibat
dari bertambahnya gas rumah kaca. Gas rumah kaca yang paling banyak menjadi
perhatian adalah CO2. Perubahan konsentrasi gas CO2 di atmosfer yang merupakan
bagian dari siklus karbon penting untuk diteliti. Indonesia sebagai negara yang telah
meratifikasi protokol Kyoto, dipandang perlu untuk menginformasikan keadaan gas
CO2. Emisi maupun konsentrasi gas CO2 di Indonesia cenderung naik, tetapi
Indonesia masih mempunyai penyerap gas CO2 yaitu hutan dan lautan. Emisi gas CO2
di Indonesia mengalami peningkatan, tetapi tidak semua daerah di Indonesia
mengalami perubahan iklim. Dari hasil penelitian diperoleh bahwa Jakarta mengalami
peningkatan intensitas curah hujan tetapi Kototabang justru sebaliknya mengalami
penurunan. Selanjutnya dari sisi kesetimbangan emisi dan penyerapan gas CO2 di
Indonesia, Pulau Jawa merupakan wilayah yang mengemisikan gas CO2 sedangkan
Pulau Irian yang menyerap gas CO2.
1 PENDAHULUAN
Sudah menjadi pengetahuan
umum bahwa perubahan iklim diakibat-
kan terjadinya pemanasan global.
Sedangkan pemanasan global diisukan
sebagai akibat dari bertambahnya gas
rumah kaca.
Pemanasan global adalah makin
panasnya udara di sekeliling kita bila
dibandingkan dengan beberapa dekade
sebelumnya. Pemanasan global diakibat-
kan oleh bertambahnya gas rumah kaca
seperti CO2, metan, N2O, CFC, HFCs,
SF6 di lapisan troposfer. Mengapa
disebut gas rumah kaca, karena gas-
gas ini bersifat seperti efek rumah kaca
yakni memantulkan kembali radiasi dari
Bumi kembali ke Bumi. Sebenarnya gas
rumah kaca itu diperlukan untuk
memelihara suhu di Bumi agar tetap
hangat dan memungkinkan berbagai
organisme untuk tetap hidup, karena
tanpa gas rumah kaca suhu di Bumi
bisa menjadi -18ºC dan mungkin
hampir tak ada kehidupan, sedangkan
dengan adanya gas rumah kaca suhu
rata-rata di Bumi menjadi 15ºC.
Namun bila jumlah gas rumah kaca ini
terlalu banyak maka bisa berdampak
negatif, suhu Bumi menjadi tinggi
sehingga akan menyebabkan pencairan
gunung es yang ada di kutub utara dan
kutub selatan. Sebagai akibatnya
permukaan air laut akan menjadi tinggi
dan pulau-pulau dengan dataran yang
rendah (umumnya pulau-pulau kecil)
akan tenggelam, sedangkan pulau-
pulau yang datarannya agak tinggi
(umumnya pulau-pulau besar) akan
terjadi penyusutan pantai.
Pemanasan global merupakan
salah satu indikasi dari perubahan
iklim. Perubahan iklim diindikasikan
dengan bergesernya musim hujan dan
kemarau, perubahan curah hujan,
perubahan suhu untuk beberapa
periode 30 tahunan. Sebagai contoh
daerah yang mengalami perubahan
iklim yakni Perth, parameter iklimnya
yang mengalami pergeseran adalah
Gas CO2 di Wilayah Indonesia (Toni Samiaji)
69
curah hujan, jumlah hari hujan dan
lama pancaran Matahari. Kemudian
bulan terjadinya jumlah hari hujan
minimum, curah hujan maksimum dan
minimum, minimum daripada suhu
minimum, lama pancaran Matahari
maksimum, jumlah hari cerah minimum
dan jumlah hari berawan minimum
mengalami pergeseran. Tetapi ada juga
parameter iklim yang tidak mengalami
perubahan bulan kejadiannya dalam
setahun yakni jumlah hari hujan
maksimum, maksimum dan minimum
daripada suhu maksimum, lama pancaran
Matahari minimum, jumlah hari cerah
maksimum, jumlah hari berawan maksi-
mum, dan kelembaban udara, kecepatan
angin, suhu udara pada jam 9:00 pagi
[Toni S., 2010].
Saat ini pemerintah telah mem-
bentuk Dewan Nasional Perubahan
Iklim (DNPI) yang bertugas mengelola
kebijakan nasional menyangkut peru-
bahan iklim. Dewan ini dibentuk melalui
Keppres 46/2008 dengan Ketuanya
Presiden RI, Wakil Ketuanya Menko-
kesra dan Menko Perekonomian serta
Menneg LH sebagai Ketua Harian.
Tugas DNPI tersebut yakni merumuskan
kebijakan nasional tentang perubahan
iklim, mengkoordinasi kegiatan terkait
perubahan iklim meliputi aspek adaptasi,
mitigasi, alih teknologi dan pendanaan.
Selain itu, DNPI bertugas merumuskan
peraturan dan mekanisme perdagangan
karbon, melaksanakan pemantauan dan
evaluasi implementasi kebijakan tentang
pengendalian perubahan iklim. DNPI
juga bertugas memperkuat posisi
Indonesia untuk mendorong negara
maju agar lebih bertanggung jawab
dalam perubahan iklim [www.inilah.
com, 2010].
Dalam issu perubahan iklim, gas
CO2 sebagai bagian dari gas rumah kaca
memegang peranan penting dalam
mengontrol suhu permukaan Bumi
dibanding gas rumah kaca lainnya,
karena meskipun mempunyai indek
pemanasan global yang paling kecil
tetapi konsentrasinya adalah yang
paling besar setelah uap air sehingga
kontribusinya terhadap perubahan
suhu adalah yang paling dominan
dibanding gas rumah kaca lainnya. Uap
air meskipun konsentrasinya yang
paling besar tetapi uap air mudah
menjadi air, sedangkan gas CO2
mempunyai waktu hidup di atmosfer
yang panjang yakni sekitar puluhan
ribu tahun (Daniel, 1999), sehingga
penting untuk dikaji lebih dalam.
2 SUMBER EMISI GAS CO2
Sumber gas CO2 adalah dari
pembakaran bahan bakar, pembakaran
biomasa, pernafasan mahluk hidup,
tumpukan sampah, letusan gunung
berapi, kebakaran hutan, pengeringan
lahan gambut, pabrik ketika mem-
produksi ammonia, semen, etanol,
hydrogen, besi baja bahkan dari lahan
pertanian, baik dari tanahnya maupun
dari tanaman itu sendiri, hanya saja
tanaman tidak hanya mengeluarkan gas
CO2 pada malam hari tetapi juga
menyerap CO2 pada siang hari.
Pada Gambar 2-1 ditunjukkan
emisi gas CO2 dan sebagian dari gas
rumah kaca lainnya dari respirasi
tanah, pembakaran biomasa dan pem-
busukan sampah organik. Sektor
pertanian yakni dari sawah dan ternak
mengemisikan 87 % GRK dari seluruh
gas rumah kaca. Bila emisi GRK tidak
dikendalikan dikuatirkan suhu udara
bertambah 6.5ºC setelah seratus tahun
lagi.
Berita Dirgantara Vol. 12 No. 2 Juni 2011: 68-75
70
Gambar 2-1: Siklus gas rumah kaca di lahan pertanian dan ternak (Sumber : IPCC,
2006)
3 PENELITIAN MENGENAI GAS CO2
Konsentrasi karbon dioksida
(CO2) global (permukaan) di atmosfer
telah meningkat sejak dimulainya
revolusi industri karena pertumbuhan
pesat aktivitas manusia. Saat ini telah
cukup bukti ilmiah yang menunjukkan
bahwa meningkatnya konsentrasi CO2
di atmosfer adalah penyebab utama
perubahan global dan perubahan iklim
(IPCC, 2007). Konsentrasi gas CO2 pada
masa pra-industri sebesar 278 ppm
sedangkan pada tahun 2005 adalah
sebesar 379 ppm. Akibat yang
ditimbulkan dari perubahan ini ádalah
temperatur global naik 0.74ºC, selain
itu telah terjadi kenaikan air laut
sebesar 0.17 m, kemudian telah terjadi
pengurangan tutupan salju sebesar 7 %
di belahan Bumi utara dan sungai-
sungai akan lebih lambat membeku (5.8
hari lebih lambat daripada 1 abad yang
lalu) serta mencair lebih cepat 6.5 hari.
Jika konsentrasi CO2 adalah stabil
sekitar 550 ppm (2 kali lipat dari masa
pra industri), maka diperkirakan terjadi
peningkatan suhu sekitar 3ºC. Naiknya
konsentrasi CO2 ini tergantung dari
naiknya jumlah populasi, pertumbuhan
ekonomi, perkembangan teknologi dan
faktor lainnya. Menurut United Nations
Framework Convention on Climate Change,
jika peningkatan suhu global melebihi
2.5ºC, maka 20%-30% spesies tumbuhan
dan hewan akan terancam kepunahan
(UNFCC,2007). Akibat lain adalah pe-
ningkatan presipitasi di lintang rendah
(daerah tropis) dan pengurangan presi-
pitasi di lintang tinggi (daerah sub-
tropis).
Jumlah CO2 di atmosfer tidak
hanya dipengaruhi oleh emisi CO2
Gas CO2 di Wilayah Indonesia (Toni Samiaji)
71
antropogenik saja tetapi dipengaruhi
juga oleh pertukaran CO2 dengan kedua
sumber utama karbon yaitu biosfer
daratan dan lautan (WMO, 2006).Variasi
spasial dan temporal konsentrasi CO2 di
atmosfer mengandung informasi tentang
sifat dasar dan karakteristik dari proses
pertukaran CO2 antara atmosfer dan
biosfer daratan serta lautan (Machida et
al., 2007).
Dari hasil penelitian penulis,
konsentrasi CO2 permukaan di Indonesia
dari tahun 2004 hingga 2010 mengalami
peningkatan dari 373 menjadi 383 ppm,
demikian juga yang terjadi di lapisan
troposfer, menurut Ninong (2010)
cenderung naik dari September 2002
hingga Juli 2010. Dengan adanya trend
konsentrasi CO2 pada ketinggian 500hPa
tersebut, diperlihatkan pula adanya
kenaikan suhu udara pada 1000 hPa
[Ninong, 2010]. Kedua data ini berasal
dari sensor Airs satelit Aqua milik NASA.
Kemudian yang total kolom CO2 pun
dari tahun 2003 hingga 2005 mengalami
peningkatan dari 6,2 – 6,8 x 1021 hingga
6,3 – 6,8 x 1021 molekul/cm2 (Toni S.
dkk, 2010).
Indonesia cukup besar meng-
emisikan gas CO2 dari sumber antro-
pogenik termasuk kebakaran biomasa
pada tahun 2000 dibanding negara lain
di Asia yakni menempati urutan ke 4
setelah Cina, India dan Jepang yakni
sebesar 587,400 (DG Street dkk, 2003).
Eddy H dkk., 2008, menyatakan
bahwa sejak tahun 1990 telah terjadi
laju kenaikan emisi CO2 yang cukup
signifikan di atas wilayah Indonesia.
Yang menarik adalah bahwa laju
kenaikan ini tidak diikuti oleh naiknya
laju intensitas curah hujan pada kawasan
yang diamati, seperti Kototabang.
Sementara kota Jakarta memiliki respon
yang positif dalam hal meningkatnya
emisi CO2 di Indonesia, yakni ditandai
dengan adanya peningkatan intensitas
curah hujan yang terjadi bersamaan
dengan meningkatkan emisi CO2 di
tahun 1989. Ini memberikan pengertian
bahwa kota industri dan polusi seperti
Jakarta sangat berpotensi menerima
dampak dari pemanasan global, bila
dibandingkan dengan kota-kota yang
masih relatif bersih seperti Kototabang.
Emisi CO2 dari pengeringan
lahan gambut dan kebakaran gambut
serta kebakaran hutan di Sumatera dan
Kalimantan tiap tahun mencapai 2
milyar ton, demikian hasil penelitian
Wetlands International, organisasi yang
bergerak di bidang pelestarian dan
pengelolaan lahan basah di dunia, serta
laboratorium hidrolika di Delft, Belanda.
Meskipun kebakaran hutan dan gambut
dapat dikembalikan, tetapi bila terjadi
pengeringan lahan gambut atau tanah
biasa maka CO2 akan terus diemisikan,
oleh karena itu jalan satu-satunya agar
tidak terjadi emisi CO2 adalah dengan
mengairi tanah-tanah agar tidak menge-
ring.
Pemakaian energi mutlak diper-
lukan karena kita dalam kehidupan
sehari-hari selalu menggunakan energi.
Menurut buku Indonesia Energy Outlook
& Statistics 2004 yang diterbitkan oleh
Pengkajian Energi Universitas Indonesia,
emisi gas CO2 per kapita ditunjukkan
oleh Gambar 3-1. Dari gambar ini
terlihat bahwa emisi gas CO2 per kapita
cenderung meningkat. Dengan mening-
katnya emisi CO2 per kapita dari tahun
ke tahun, ini menunjukkan bahwa
orang Indonesia semakin boros dalam
pemakaian energi. Ini dimungkinkan
dengan bertambahnya kesejahteraan
per jiwa.
Berita Dirgantara Vol. 12 No. 2 Juni 2011: 68-75
72
Gambar 3-1: Emisi CO2 per kapita dari pemakaian energi di Indonesia dengan metode IPCC (Sumber: PEUI, 2006)
Gambar 3-2:Emisi gas CO2 total tahun 2004 dalam ribu ton (Sumber : Samiaji, 2010)
Bila semua sumber emisi gas CO2
misalnya dari nafas manusia, ternak,
hutan, kebun, sawah, kebakaran lahan,
kebakaran hutan, banjir, sampah dan
pemakaian energi dijumlahkan kemudian
dikurangi penyerapan gas CO2 oleh
hutan, sawah dan kebun dipetakan tiap
provinsi maka dapat dilihat pada
Gambar 3-2. Dari gambar ini kita bisa
melihat bahwa emisi gas CO2 total ini
nilainya ada yang positif dan ada yang
negatif. Nilai yang negatif maksudnya
adalah terjadi penyerapan gas CO2,
sedangkan yang positif adalah terjadi
emisi gas CO2. Jadi menurut gambar ini
provinsi yang paling banyak meng-
0
0,5
1
1,5
2
2,5
3
3,5
4
4,5
1980 1990 2000 2010 2020 2030
Em
isi C
O2
per
kapita [
Ton/jiw
a]
Tahun [-]
Emisi CO2 per kapita dari pemakaian energi di Indonesia
Gas CO2 di Wilayah Indonesia (Toni Samiaji)
73
emisikan gas CO2 adalah provinsi Jawa
Barat (termasuk Banten) yakni 95 juta
ton, sedangkan provinsi yang paling
banyak menyerap gas CO2 adalah Papua
(termasuk Papua Barat) yakni 20 juta
ton. Namun apabila kita menghitung
kesetimbangan gas CO2 di Indonesia,
maka akan terlihat pada Tabel 3-1. Dari
tabel ini kita bisa melihat bahwa emisi
gas CO2 itu bisa dari alam (manusia,
ternak, gambut, sampah, banjir) maupun
non alam (energi, proses industri),
sedangkan yang menyerap gas CO2 pada
tabel ini yang ditampilkan hanyalah dari
alam yakni dari hutan, kebun, sawah
dan laut. Sebenarnya pada proses
industri gas CO2 bisa ditangkap
kemudian dibentuk menjadi CO2 cair
untuk keperluan industri minuman,
atau disuntikkan ke dalam tanah atau
air laut. Bagaimanapun dari Tabel 3-1
ini kita bisa melihat bahwa emisi gas
CO2 adalah lebih besar daripada
penyerapannya, meskipun pada tabel ini
penyerapan yang dilakukan akibat dari
kegiatan penghijauan kota-kota belum
dimasukkan karena tidak ada datanya.
Selain itu emisi gas CO2 dari proses
industri yang dihitung hanya berasal
dari produksi urea, semen dan amoniak
saja, sedangkan dari produksi gelas,
keramik dan yang lainnya karena
keterbatasan waktu tidak dihitung.
Dari Gambar 3-3 juga kita bisa
melihat bahwa penyerapan gas CO2 di
Indonesia oleh hutan, kebun, dan sawah
adalah lebih besar daripada penyerapan
oleh laut. Hal ini sesuai dengan penelitian
Tans dkk (1990), bahwa penyerapan
CO2 oleh daratan adalah lebih besar
daripada lautan. Selain dengan observasi
mereka juga dengan menggunakan
model GCM melihat bahwa sudut
kemiringan konsentrasi CO2 di belahan
Bumi utara dan selatan dapat diper-
tahankan apabila penyerapan CO2 di
belahan Bumi utara lebih besar
daripada di selatan (Tans dkk, 1990).
Memang untuk penyerapan CO2 bisa
dilakukan dengan berbagai cara di-
antaranya penanaman hutan yang gundul
(kegunaan hutan selain menyerap CO2
juga sebagai resapan air hujan sehingga
tidak terjadi longsor dan banjir bandang),
pencegahan penebangan hutan secara
liar, penghijauan di kota-kota, mendaur
ulang sampah, pembuatan taman di
rumah/kantor, penyuntikan gas CO2 ke
dalam tanah, penyuntikan CO2 cair ke
dalam laut (Toni S., 2009), selain itu
lautan juga dengan adanya phyto
plankton (tumbuhan mikro) dan ganggang
ikut menyerap gas CO2, kemudian
pemilihan energi alternatif yang lebih
ramah lingkungan atau menambahkan
teknologi penyerapan CO2 saat proses
industri berlangsung seperti yang
dilakukan oleh Mohammad R. M. Abu-
Zahra dan kawan-kawan yakni dengan
melarutkan gas CO2 pada larutan 40 %
monoethanolamine (MEA) pada pem-
bangkit tenaga listrik (Mohammad dkk,
2007). Mereka berhasil menyerap 0,3
mol CO2 untuk penggunaan 1 mol MEA,
bila dihitung biayanya ini relevan
dengan untuk menyerap gas CO2 1 ton
dibutuhkan biaya 33 €.
Berita Dirgantara Vol. 12 No. 2 Juni 2011: 68-75
74
Gambar 3-3: Emisi gas CO2 di Indonesia tahun 2004
Keterangan: nilai negatif menunjukkan penyerapan, sedangkan nilai positif menunjukkan emisi gas CO2
3 PENUTUP
Emisi dan konsentrasi gas CO2 di
Indonesia cenderung naik, akan tetapi
masih mempunyai penyerap gas CO2
sebagai penyeimbang ekosistem. Penyerap
ini berupa hutan dan lautan yang
keberadaannya harus dilestarikan. Dari
hasil penelitian menunjukkan bahwa
emisi gas CO2 di Indonesia meningkat,
tetapi tidak semua daerah di Indonesia
mengalami perubahan iklim akibat
peningkatan ini. Peningkatan curah
hujan sebagai indikasi perubahan iklim
menunjukkan bahwa Jakarta mengalami
peningkatan intensitas curah hujan
tetapi Kototabang justru sebaliknya
mengalami penurunan. Selanjutnya dari
sisi kesetimbangan emisi dan penye-
rapan gas CO2 di Indonesia, Pulau Jawa
merupakan wilayah yang mengemisikan
gas CO2 sedangkan Pulau Irian yang
menyerap gas CO2. Keberhasilan dalam
menekan laju emisi gas CO2 di
Indonesia sangat tergantung dari sikap
kita masing-masing dalam memandang
nilai sebuah kenyamanan kehidupan di
Bumi.
DAFTAR RUJUKAN
Daniel J., 1999. Introduction to
Atmospheric Chemistry. Princeton
University Press. pp. 25–26. ISBN
0-691-00185-5. http://www-as.
harvard.edu/people/faculty/djj/
book/.
Hermawan E., Trismidianto dan Samiaji
T., 2008. Perilaku Curah Hujan
di atas Beberapa Kawasan
Indonesia pada saat Emisi Karbondioksida (CO
2) Meningkat
Secara Drastis, Prosiding Seminar
Nasional Polusi Udara dan Ozon,
p. 152, Lembaga Penerbangan
dan Antariksa Nasional, 22
Oktober, Bandung.
Http:// www.inilah.com, unduh tahun
2010.
IPCC (Intergovernmental panel on Climate
Change), 2006. Guidelines for
National Greenhouse Gas
Inventories.
IPCC Climate Change, 2007. The Physical
Science Basis, Contribution of
Working Group I to the Fourth
Assessment Report of the
Bakar hutan ; 36
Bakar lahan ; 16
Nafas manusia ; 76446
Nafas ternak ; 16054
Sampah ; 198
Hutan ; -96122
Kebun ; -5011
Sawah ; -
1788Banjir ;
18
Proses Indust
ri ; 26108
Energi ; 449695
Gambut ; 41200
Laut ; -18213
Emisi CO2
tahun 2004[Ribu ton]
Gas CO2 di Wilayah Indonesia (Toni Samiaji)
75
Intergovernmental Panel on
Climate Change.
Machida, T, H. Matsueda and Y. Sawa,
2007. CONTRAIL Comprehensive
Observation Network for TRace
gases by AIrLiner, Igactivities, No.
37, page 23-30.
Mohammad R.M. Abu-Zahra, John P.M.
Niederer, Paul H.M. Feron and
Geert F. Versteeg, 2007. CO2
Capture from Power Plants: Part II.
A Parametric Study of the
Economical Performance Based on
Mono-ethanolamine. International
Journal of Greenhouse Gas
Control Volume 1, Issue 2, Pages
135-142, April 2007.
Ninong Komala., 2010. Variasi Temporal
Konsentrasi Karbon dioksida (CO2)
dan Temperatur di Indonesia
Berbasis Data Observasi Aqua-
AIRS, Prosiding Seminar Nasional
Sains Atmosfer I 2010 ISBN:
978-9779-1458-38-2 LAPAN,
Bandung – Oktober 2010.
PEUI, 2006. Indonesia Energy Outlooks
and Statistics 2006.
Streets, D.G., Bond, T.C., Carmichael,
G.R., Fernandes, S.D., Fu, Q.,
He, D., Klimont, Z., Nelson, S.M.,
Tsai, N.Y., Wang, M.Q., Woo,
J.H. and Yarber, K.F. 2003. An
inventory of gaseous and primary
aerosol emissions in Asia in the
year 2000, J. Geophys. Res., In
press.
Tans, P.P., Fung I.Y., and Takahashu T.,
1990. Observational Contraints on
the Global Atmospheric CO2
Budget. Science, 247, 1431-1439,
doi:10.1126/science.247.4949.14
31.
Toni Samiaji, dan Sinatra T., 2010.
Analisis Emisi Gas CO2 di
Indonesia, Prosiding Seminar
Nasional Sains Atmosfer I 2010,
Lapan, 16 Juni 2010, Bandung.
Toni Samiaji, Komala N., Ginanjar A.
N., Sinatra T., Awaludin A., Latief
C., Aditya E. dan Suherman H.,
2010. Inventori Emisi dan
Konsentrasi Gas Rumah Kaca di
Indonesia, Sebagai Bahan
Kebijakan Perubahan Iklim
Nasional, evaluasi akhir program
diknas 2010, Jakarta, Lapan.
Toni Samiaji, Martono dan Mugni H.,
2009. Beban Pencemaran Metan
dan CO2 dari Sampah di kota-kota
di Indonesia, prosiding seminar
nasional polusi udara dan ozon,
Lembaga Penerbangan Antariksa
Nasional (LAPAN), Bandung.
Toni Samiaji, 2009. Upaya mengurangi
CO2 di atmosfer, Berita
Dirgantara, vol. 10, No.3, Lapan,
September 2009, Jakarta.
Toni Samiaji, 2010. Sebaran Emisi Gas
CO2 di Indonesia, Prosiding
seminar Penerbangan dan
Antariksa 2010, Lapan.
UNFCCC, 2007. National greenhouse
gas inventory data for the period
1990–2005.
WMO, Green House Gas Bulletin, No. 1,
14 March 2006. .
Berita Dirgantara Vol. 12 No. 2 Juni 2011: 76-82
76
KAJIAN KEDAULATAN NEGARA DI RUANG UDARA TERHADAP
ALUR LAUT KEPULAUAN INDONESIA (ALKI )
Soegiyono
Peneliti Bidang Jikumgan, Pusjigan, LAPAN
e-mail: [email protected]
RINGKASAN
Pasal 1 Konvensi Chicago Tahun 1944, menegaskan bahwa setiap negara
mempunyai kedaulatan yang penuh dan eksklusif atas ruang udara atas wilayah
kedaulatannya. Secara yuridis formal wilayah kedaulatan atas ruang udara nasional
belum ada peraturan perundang-undangan yang mengatur secara khusus namun
secara parsial telah diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan nasional.
Sehingga setiap negara berhak mengelola dan mengendalikan secara penuh dan
eksklusif ruang udara nasionalnya. Setiap kegiatan di ruang udara nasional harus
mendapat izin terlebih dahulu dari pemerintah Indonesia. Indonesia sebagai negara
kepulauan memiliki kewajiban menyediakan Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) dan
tanggung jawabnya dibagi-bagi, sehingga ruang udara tidak dapat dikendalikan.
Sementara itu, kapal atau pesawat udara asing yang melintasi perairan dan wilayah
udara Indonesia masih berpedoman kepada Traditional Route for Navigation.
Permasalahan dalam kajian ini adalah sampai sejauhmanakah kewenangan Indonesia
dalam mengatur kedaulatannya di ruang udara termasuk di atas alur laut kepulauan
Indonesia, dengan tujuan untuk memperoleh pemahaman bahwa Indonesia mem-
punyai kedaulatan di ruang udara yang penuh dan eksklusif termasuk ruang udara di
atas ALKI. Metode pendekatannya adalah yuridis normatif melalui studi pengumpulan
data kepustakaan berupa peraturan perundang-undangan nasional/internasional serta
pendapat para ahli yang berkompeten di bidang ini. 1 PENDAHULUAN
Salah satu aspek yang perlu
diperhatikan dalam pemanfaatan ruang
udara beserta sumber daya di dalamnya
adalah masalah yurisdiksi (Anthony
Csabafi, 1971). Prinsip-prinsip dalam
yurisdiksi adalah prinsip teritorial,
nasional, personalitas pasif, perlindungan
atau keamanan, universalitas, dan ke-
jahatan menurut kriteria hukum yang
berlaku. Dalam hubungan dengan yuris-
diksi negara di ruang udara, sangat erat
hubungannya dengan penegakkan hukum
di ruang udara tersebut. Dengan adanya
yurisdiksi, negara yang bersangkutan
mempunyai wewenang dan tanggung
jawab di ruang udara untuk melaksana-
kan penegakkan hukum di ruang udara.
Berkaitan dengan wewenang dan
tanggung jawab negara melaksanakan
penegakkan hukum di ruang udara
tidak terlepas dari materi muatan Pasal
33 UUD-1945 ayat (3) yang menegaskan
bahwa bumi dan air dan kekayaan alam
yang terkandung di dalamnya dikuasai
oleh negara dan dipergunakan untuk
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Atas dasar ketentuan tersebut, maka
lahir hak menguasai oleh negara atas
sumber daya alam yang ada di Bumi, air
dan kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya (termasuk udara) dan pe-
nguasaan tersebut memberikan kewajiban
kepada negara untuk digunakan sebesar-
besarnya bagi kemakmuran rakyat.
Makna dari ketentuan tersebut bahwa
ruang udara merupakan sumber daya
alam yang dikuasai negara. Istilah
dikuasai negara bukan berarti dimiliki
oleh negara, melainkan memberikan arti
kewenangan sebagai organisasi atau
lembaga negara untuk mengatur dan
mengawasi penggunaannya untuk sebesar-
besarnya kemakmuran rakyat.
Kajian Kedaulatan Negara di Ruang UdaraTerhadap ......(Soegiyono)
77
Konvensi Chicago Tahun 1944,
dalam Pasal 1 menegaskan bahwa setiap
negara mempunyai kedaulatan yang
penuh dan eksklusif (complete and
exclusive souvereignity) atas ruang udara
atas wilayah kedaulatannya. Ketentuan
pasal tersebut memberikan pandangan
bahwa perwujudan dari kedaulatan
yang penuh dan eksklusif atas ruang
udara di atas wilayah teritorial, berarti
bahwa: (i) setiap negara berhak menge-
lola dan mengendalikan secara penuh
dan eksklusif atas ruang udara nasional-
nya; dan (ii) tidak satupun kegiatan atau
usaha di ruang udara nasional tanpa
mendapatkan izin terlebih dahulu atau
sebagaimana telah diatur dalam suatu
perjanjian udara antara negara dengan
negara lain baik secara bilateral maupun
multilateral.
Berkaitan dengan ruang udara di
atas ALKI, Konvensi PBB tentang
Hukum Laut Tahun 1982 Pasal 53 yang
telah diratifikasi dengan UU Nomor 17
Tahun 1985 Tentang Pengesahan United
Nations Convention on The Law of The Sea,
menegaskan bahwa negara kepulauan
seperti Indonesia dapat menentukan
ALKI dan rute penerbangan di atasnya.
Dari ketentuan konvensi tersebut, ruang
udara di atas ALKI dibagi-bagi dalam
ALKI I, ALKI II dan ALKI III. Sementara
itu, negara maju seperti Amerika Serikat
(AS) belum meratifikasi Konvensi ini,
sehingga apabila kapal atau pesawat
udara AS yang melintas ruang udara di
atas ALKI masih berpedoman kepada
aturan-aturan yang lama (Traditional
Route for Navigation). Hal ini sering
menimbulkan permasalahan dimana
berdasarkan aturan lama tersebut
pesawat-pesawat AS yang melintas di
atas rute tradisional mereka anggap sah
dengan alasan bahwa AS belum
meratifikasi Konvensi Hukum Laut PBB
Tahun 1982.
Tujuan kajian ini adalah untuk
memperoleh pemahaman dimana me-
nurut peraturan perundang-undangan,
Indonesia mempunyai kedaulatan di
ruang udara di atas ALKI untuk
kepentingan nasional dan masyarakat
internasional mengenai penetapan 3
(tiga) ALKI.
2 KEDAULATAN NEGARA DI RUANG UDARA KAITANNYA DENGAN ALKI
2.1 Pengaturan Kedaulatan Negara di Ruang Udara
Kedaulatan suatu negara merupa-
kan kekuasaan yang tertinggi dalam
batas-batas wilayah negara itu sendiri,
baik wilayah darat, laut maupun udara.
Dalam sejarah pernah terjadi perdebatan
yang cukup seru apakah suatu negara
memiliki kedaulatan di wilayah udara
atau tidak? Perdebatan tersebut telah
terjawab dengan berbagai teori dan
bahkan sudah diatur dalam hukum
internasional, bahwa setiap negara
memiliki kedaulatan penuh dan ekslusif
ruang udara di atasnya. Namun demikian
kedaulatan tersebut dibatasi oleh hak-
hak negara lain untuk melintas di
wilayah ruang udara sebagaimana telah
diatur dalam Konvensi Chicago, 1944.
Sebagaimana diketahui dalam
literatur ketatanegaraan, khususnya yang
membahas ilmu negara, disebutkan
bahwa syarat-syarat berdirinya suatu
negara adalah harus memenuhi 3 (tiga)
unsur pokok sebuah negara, yaitu
(i) adanya penduduk atau masyarakat
yang merupakan satu kesatuan politis,
(ii) adanya wilayah yang jelas batas-
batasnya dan (iii) adanya pemerintahan
yang berdaulat. Tampak ketiga unsur
tersebut sudah dipenuhi oleh Negara-
negara yang ada sekarang ini (Fenwick
dan Oppenheim-Lauterpacht, seperti
dikutip oleh FX. Adji Sumekto, (2009).
Negara Kesatuan Republik Indo-
nesia (NKRI) merupakan salah satu
negara kepulauan dengan jumlah
pulaunya ± 17.504 pulau, baik yang
bernama maupun yang belum bernama.
Indonesia terbentang antara 6º LU
sampai 11º LS, dan dari 91º BT sampai
141º BT, serta terletak antara 2 (dua)
benua yaitu benua Asia dan Australia.
Indonesia memiliki wilayah daratan
seluas ± 2.012.402 km2 dan wilayah
Berita Dirgantara Vol. 12 No. 2 Juni 2011: 76-82
78
perairan seluas ± 5.877.879 km2 dengan
panjang garis pantai ± 81.000 km.
Indonesia, terletak di antara benua Asia
dan Australia, dan di antara Samudera
Pasifik dan Samudera Hindia. Tercatat
ada 92 pulau terluar yang ada di
wilayah Indonesia. Rata-rata luas pulau
Indonesia adalah antara 0,02 km2
hingga 200 km2. Hanya 50% dari 92
pulau-pulau terluar ini yang berpenghuni
(http://www.indonesia.go.id/, download
18 Maret 2010) dan (Siti Nurbaya, Bakar,
2008). Hal ini sangat berpotensi terhadap
pelanggaran yang dilakukan oleh pesawat
udara asing karena terbukanya ruang
udara di atas ALKI. Untuk itu diperlukan
adanya pengaturan yang komprehensif
untuk mengantisipasinya baik di ruang
udara maupun ruang udara di atas ALKI.
UU Nomor 1 Tahun 2009 tentang
Penerbangan, Pasal 5 antara lain me-
ngatur mengenai NKRI berdaulat penuh
dan eksklusif atas wilayah udara
Republik Indonesia. Ketentuan ini me-
ngandung makna bahwa sebagai negara
berdaulat, Republik Indonesia memiliki
kedaulatan penuh dan eksklusif di
wilayah udara Republik Indonesia, sesuai
dengan ketentuan Konvensi Chicago
1944 tentang Penerbangan Sipil Inter-
nasional dan Konvensi Hukum Laut
Internasional Tahun 1982 yang telah
diratifikasi dengan UU Nomor 17 Tahun
1985 Tentang Pengesahan United Nations
Convention on the law of the sea.
Ketentuan dalam pasal ini hanya mene-
gaskan mengenai kewenangan dan tang-
gung jawab negara Republik Indonesia
untuk mengatur penggunaan wilayah
udara yang merupakan bagian dari
wilayah Indonesia.
2.2 Pengaturan Alur Laut Kepulauan Indonesia
UU Nomor 17 Tahun 1985 Tentang Pengesahan United Nations Conven-tion On The Law Of The Sea (Konvensi PBB Tentang Hukum Laut, 1982)
Upaya masyarakat internasional
untuk mengatur masalah kelautan
melalui Konvensi Perserikatan Bangsa-
Bangsa (PBB) tentang Hukum Laut III
telah berhasil diwujudkan dengan
keluarnya United Nations Convention on
the Law of the Sea, 1982 (Konvensi PBB
tentang Hukum Laut, 1982) yang telah
ditandatangani oleh 117 (seratus tujuh
belas) negara peserta termasuk Indonesia
di Teluk Montego Jamaika, 10 Desember
1982 (Kusumaatmadja, Mochtar 1978).
Konvensi PBB tentang Hukum
Laut, 1982 mengatur rejim-rejim hukum
laut secara lengkap dan menyeluruh,
yang rejim-rejimnya satu sama lainnya
tidak dapat dipisahkan. Konvensi PBB
tentang Hukum Laut memuat antara
lain: (i) sebagian merupakan modifikasi
ketentuan-ketentuan hukum laut yang
sudah ada, misalnya kebebasan-kebe-
basan di laut lepas dan hak lintas damai
di laut territorial; (ii) sebagian merupakan
pengembangan hukum laut yang sudah
ada, misalnya ketentuan mengenai lebar
laut territorial menjadi maksimal 12 mil
laut dan kriteria Landas Kontinen; dan
(iii) sebagian melahirkan rejim-rejim
hukum baru, seperti asas negara ke-
pulauan ZEE dan penambangan di
dasar laut Internasional.
Negara Kepulauan menurut Kon-
vensi ini adalah suatu Negara yang
seluruhnya terdiri dari satu atau lebih
gugusan kepulauan dan dapat mencakup
pulau-pulau lain. Konvensi menentukan
pula bahwa gugusan kepulauan berarti
suatu gugusan pulau-pulau termasuk
bagian pulau, perairan di antara gugusan
pulau-pulau tersebut dan lain-lain wujud
alamiah yang hubungannya satu sama
lainnya demikian eratnya sehingga
gugusan pulau-pulau, perairan dan wujud
alamiah lainnya tersebut merupakan
suatu kesatuan geografi dan politik yang
hakiki, atau secara historis telah dianggap
sebagai satu kesatuan (Pasal 46 s.d 54
Konvensi Hukum Laut PBB, 1982).
Negara Kepulauan dapat menarik
garis dasar/pangkal lurus kepulauan
yang menghubungkan titik-titik terluar
pulau-pulau dan karang kering terluar
kepulauan itu, dengan ketentuan bahwa
(i) di dalam garis dasar/pangkal demi-
Kajian Kedaulatan Negara di Ruang UdaraTerhadap ......(Soegiyono)
79
kian termasuk pulau-pulau utama dan
suatu daerah dimana perbandingan
antara daerah perairan dan daerah
daratan, adalah antara satu berbanding
satu (1 : 1) dan sembilan berbanding satu
(9 : 1). (ii) panjang garis dasar/pangkal
demikian tidak boleh melebihi 100 mil
laut, kecuali bahwa hingga 3% dari
jumlah seluruh garis dasar/pangkal
yang mengelilingi setiap kepulauan
dapat melebihi kepanjangan tersebut,
hingga kepanjangan maksimum 125 mil
laut, dan (iii) penarikan garis dasar/
pangkal demikian tidak boleh menyim-
pang dari konfigurasi umum Negara
Kepulauan (FX. Adji Samekto, 2009).
Negara kepulauan berkewajiban
menetapkan garis-garis dasar/pangkal
kepulauan pada peta dengan skala yang
cukup untuk menetapkan posisinya,
peta atau daftar koordinat geografi
demikian harus diumumkan sebagai
mestinya dan satu salinan dari setiap
peta atau daftar demikian harus di-
depositkan pada Sekretaris Jenderal
PBB. Dengan diakuinya asas negara
kepulauan, maka perairan yang dahulu
merupakan bagian laut lepas kini menjadi
perairan kepulauan yang berarti menjadi
wilayah perairan RI. Di samping keten-
tuan di atas, syarat-syarat yang penting
bagi pengakuan internasional atas asas
negara kepulauan. Dalam perairan
kepulauan berlaku hak lintas damai
(right of innocentpassage) bagi kapal-
kapal negara lain. Namun demikian
negara kepulauan dapat menangguhkan
untuk sementara waktu hak lintas
damai tersebut pada bagian-bagian
tersebut dari perairan kepulauannya
apabila dianggap perlu untuk melindungi
kepentingan keamanannya (R. Agoes,
Etty 1991).
Negara kepulauan dapat mene-
tapkan alur laut kepulauan dan rute
penerbangan di atas alur laut tersebut.
Kapal asing dan pesawat udara asing
menikmati hak lintas alur laut ke-
pulauan melalui alur laut dan rute
penerbangan tersebut untuk transit dari
suatu bagian laut lepas ZEE ke bagian
lain dari laut lepas atau ZEE. Alur laut
kepulauan dan rute penerbangan
tersebut ditetapkan dengan menarik
garis poros. Kapal dan pesawat udara
asing yang melakukan lintas transit
melalui alur laut dan rute penerbangan
tersebut tidak boleh berlayar atau
terbang melampaui 25 mil laut sisi kiri
dan sisi kanan garis poros tersebut.
Sekalipun kapal dan pesawat udara
asing menikmati hak lintas alur laut
kepulauan melalui alur laut dan rute
penerbangannya tersebut. Namun di
bidang lain seperti pelayaran dan pener-
bangan tidak mengurangi kedaulatan
negara kepulauan atas air serta ruang
udara di atasnya, dasar laut dan tanah
di bawahnya dan sumber kekayaan di
dalamnya.
Dengan demikian hak lintas alur
laut kepulauan melalui rute penerbangan
yang diatur dalam konvensi ini hanyalah
mencakup hak lintas penerbangan me-
lewati udara di atas alur kepulauan
tanpa mempengaruhi kedaulatan negara
untuk mengatur penerbangan di atas
wilayah sesuai dengan Konvensi Chicago,
1944 tentang Penerbangan Sipil.
UU Nomor 6 Tahun 1996 Tentang Perairan Indonesia
UU Nomor 6 Tahun 1996 Tentang
Perairan Indonesia mengatur bahwa
kedaulatan RI mencakup selain wilayah
daratan dan perairan pedalaman juga
laut territorial dan perairan kepulauan
serta wilayah udara di atas wilayah
daratan, perairan pedalaman, laut
territorial dan perairan kepulauan
tersebut. Dengan demikian berarti bahwa
kapal dan pesawat udara asing dapat
menikmati hak lintas alur laut
kepulauan melalui laut teritorial dan
perairan kepulauan Indonesia tersebut
untuk keperluan melintasi laut territorial
dan perairan kepulauan dari satu
bagian laut bebas atau ZEE ke bagian
lain dari laut bebas atau ZEE.
Dalam rangka pelaksanaan Hak
Lintas ALKI untuk melintasi laut terri-
torial dan Perairan Indonesia, Indonesia
dapat menetapkan alur-alur laut ter-
Berita Dirgantara Vol. 12 No. 2 Juni 2011: 76-82
80
tentu dari antara alur laut yang lazim
digunakan bagi pelayaran inter-nasional
untuk pelaksanaan lintas alur laut
kepulauan tersebut. Pelaksanaan Hak
Lintas ALKI tersebut dilakukan melalui
rute-rute yang biasanya digunakan untuk
pelayaran internasional dapat menim-
bulkan banyak resiko dari segi ke-
amanan, karena lintas ALKI tersebut
merupakan lintas yang mengandung
kebebasan-kebebasan tertentu. (Pasal
53 ayat (12) Konvensi Hukum Laut,
PBB, 1982).
Untuk mengurangi resiko dari
segi keamanan, pelaksanaan Hak Lintas
ALKI tersebut perlu ditetapkan Alur-Alur
Laut Kepulauan yang dapat digunakan
untuk pelaksanaan Hak Lintas ALKI
tersebut. Penetapan alur laut tersebut
dilakukan oleh Pemerintah Indonesia
dengan memperhatikan kepentingan
masyarakat internasional melalui orga-
nisasi internasional yang kompeten di
bidang pelayaran internasional yaitu
IntenationaI Maritime Organization (IMO)
yang mana pada tanggal 19 Mei 1998
telah dilaksanakan Sidang Komite
Keselamatan Maritim ke-69 dari Organi-
sasi Maritim yaitu Maritime Safely
Committee (MSC-69-IMO) yang menerima
usulan (submisi) Pemerintah Indonesia
mengenai penetapan sumbu 3 (tiga) alur
laut kepulauan beserta cabang-cabangnya
yang dapat digunakan untuk pelaksana-
an Hak Lintas Alur Laut Kepulauan
melintasi Perairan Indonesia. Sebagai
tindak lanjut diterimanya usulan Peme-
rintah Indonesia oleh IMO, perlu mene-
tapkan 3 (tiga) Alur Laut Kepulauan
beserta cabang-cabangnya dengan rute-
rute sebagai berikut:
a) ALKI I:
i) ALKI I: Laut Cina Selatan – Laut
Natuna – Selat Karimata – Laut
Jawa dan Selat Sunda ke Selat
Hindia (atau sebaliknya).
ii) ALKI I-A : (a) Dari Selat Singapura –
Laut Natuna – Selat Karimata –
Laut Jawa dan Selat Sunda ke
Samudera Hindia (atau sebaliknya),
atau (b) Melintasi Laut Natuna
langsung ke Laut Cina Selatan
(atau sebaliknya).
b) ALKI II: Laut Sulawesi-Selat Makasar-
Laut Flores-Selat Lombok ke Samudera
Hindia (sebaliknya)
c) ALKI III : (i) ALKI III-A: Samudera
Pasifik-Laut Maluku - Laut Seram-
Laut Banda- Selat Ombai-Laut Sawu
(atau sebaliknya), (ii) ALKI III-B:
Samudera Pasifik-Laut Maluku-Laut
Seram-Laut Banda-Selat Leti ke Laut
Tomor (sebaliknya), (iii) ALKI III-C:
Samudera Pasifik-Laut Maluku-Laut
Seram-Laut Banda-Laut Arafuru
sebaliknya), (iv) ALKI III-D: Samudera
Pasifik-Laut Maluku-Laut Seram-
Selat Ombai-Laut Sawu (timur Pulau
Sawu) ke Samudera Hindia (sebalik-
nya), dan (a) ALKI III-E: Laut
Sulawesi - Laut Maluku-Laut Seram-
Laut Banda-Selat Ombai: (b) Laut Sawu
(sebelah barat/timur Pulau Sawu)
sebaliknya, atau melintasi Laut Maluku
dan (c) Laut Seram-Laut Banda-Selat
Leti-Laut Timor ke Samudera Hindia,
atau Laut Seram-Laut Banda-Laut
Arafuru (sebaliknya).
Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2002 Tentang Hak dan Kewajiban Kapal dan Pesawat Udara Asing dalam Melaksanakan Hak Lintas Alur Laut Kepulauan Melalui Alur Laut Kepulauan yang Ditetapkan
Peraturan Pemerintah ini menetap-
kan 3 (tiga) ALKI dengan cabang-
cabangnya tersebut, tidaklah berarti
bahwa ketiga ALKI dengan cabang-
cabangnya tersebut hanya dapat diguna-
kan untuk pelaksanaan Hak Lintas ALKI
oleh kapal-kapal asing yang hendak
berlayar dari satu bagian laut bebas
atau ZEE melintasi Perairan Indonesia
ke bagian lain dari laut bebas atau ZEE.
Kapal asing yang hendak berlayar dari
satu bagian laut bebas atau ZEE
menuju salah satu pelabuhan di
Indonesia atau menuju bagian lain dari
laut bebas atau ZEE dapat melaksana-
kan pelayarannya berdasarkan Hak
Lintas Damai dalam Perairan Indonesia,
baik di ALKI maupun di luar ALKI.
Kajian Kedaulatan Negara di Ruang UdaraTerhadap ......(Soegiyono)
81
Dengan demikian, ketentuan mengenai
hak dan kewajiban kapal dan pesawat
udara asing dalam melaksanakan hak
lintas ALKI melalui ALKI yang ditetapkan,
sudah lengkap, namun belum semua
negara, seperti AS meratifikasi Konvensi
PBB tentang Hukum Laut PBB, Tahun
1982, sehingga dalam implementasinya
masih terdapat permasalahan di ALKI.
Sebagai contoh Amerika Serikat dalam
penerbangan Armada Angkatan Lautnya
di Laut Jawa dan penerbangan F-18
Hornetnya, dalam kaca mata pandang
uraian di atas sah sah saja, karena
mereka berusaha untuk melakukan
operasi menggunakan route normally
used for international navigation, meskipun
sangat mungkin rute tersebut bukan
merupakan rute yang tercantum dalam
pelayaran internasional. Bagaimanapun
manuver yang telah dibuat oleh pesawat
militer Amerika Serikat, F-18 Hornet,
tersebut merupakan manuver yang
membahayakan bagi operasi pemanduan
lalu lintas penerbangan sipil dan dianggap
sebagai bentuk pelanggaran pada per-
aturan keselamatan penerbangan sipil
secara internasional International Civil
Aviation Organization (ICAO).
Berdasarkan uraian tersebut di
atas, fungsi ruang di udara sebagai
wilayah nusantara tempat Negara Indo-
nesia melaksanakan kedaulatan, hak
berdaulat dan yuridiksinya, dan sekaligus
sebagai wadah/ruang yang berfungsi
politik, pertahanan dan keamanan, sosial,
ekonomi dan lingkungan bagi kepen-
tingan nasional. Meskipun Indonesia
telah lama menggunakan teknologi yang
memanfaatkan ruang udara untuk
kegiatan sosial dan ekonomi, namun
belum sepenuhnya menguasai, dengan
kata lain bangsa Indonesia masih sangat
bergantung pada aplikasi teknologi yang
dikembangkan negara lain. Ketergan-
tungan tersebut dalam situasi tertentu
akan menyebabkan masalah besar dalam
pembangunan serta pertahanan kemanan
negara (hankamneg), sebagaimana insiden
yang terjadi dalam beberapa tahun
terakhir ini di wilayah Indonesia.
Penegakkan hukum merupakan
bagian dari upaya mempertahankan
kedaulatan negara. Sebagai negara yang
berdaulat, Pemerintah Indonesia perlu
menetapkan seperangkat aturan hukum
untuk mengatur, mengendalikan dan
menegakkan hukum ruang udara di
atas ALKI dan dengan berpedoman pada
kepentingan Indonesia, juga memper-
hatikan kaidah-kaidah yang diatur
dalam hukum internasional.
3 PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Berdasarkan uraian tersebut di
atas, dapat diambil kesimpulan sebagai
berikut:
Untuk dapat menjaga kedaulatan
wilayah udara NKRI, harus dilakukan
penguasaan dan pengembangan tek-
nologi agar NKRI dapat menguasai
wilayah udaranya untuk kepentingan
yang seluas-luasnya bagi masyarakat
khususnya untuk kepentingan pener-
bangan.
Pemberlakuan 3 (tiga) jalur ALKI di
lautan territorial Indonesia untuk
mematuhi Konvensi Hukum Laut PBB,
1982 sebagai konsekuensi diterimanya
konsep Wawasan Nusantara (archipelagic
state), menyebabkan wilayah Indonesia
dipotong menjadi 4 (empat) bagian
oleh 3 (tiga) garis imajiner ALKI yang
dapat menjadi potensi kerawanan dan
ancaman kepada kedaulatan NKRI.
Untuk mengoptimalkan kemampuan
pengamanan, pengamatan dan peng-
intaian yang ada, dilaksanakan upaya-
upaya untuk meningkatkan profesio-
nalisme personel, memodernisasi
alutsistaud, mengoptimalkan sistem
dan prosedur pembinaan dan peme-
liharaan.
3.2 Saran
Dalam rangka mendukung pelak-
sanaan tugas dan kewenangan TNI
untuk pengamanan, pengamatan, peng-
intaian, di ruang udara di atas ALKI
terhadap segala bentuk pelanggaran
Berita Dirgantara Vol. 12 No. 2 Juni 2011: 76-82
82
wilayah kedaulatan di ruang udara,
perlu diberikan payung hukum secara
komprehensif untuk melaksanakan
penegakan hukumnya.
DAFTAR RUJUKAN
Csabafi, Anthony, 1971. The Concept of
State Jurisdiction in International
Space Law, (The Hague).
Eris Herriyanto, 2006. Makalah Peranan
penegakan Hukum dan peng-
amanan Wilayah Udara Nasional
dalam Pengelolaan Ruang Udara
Nasional, Graha Santika Hotel,
Semarang.
Fenwick dan Oppenheim-Lauterpacht,
seperti dikutip oleh FX. Adji
Sumekto, 2009. Dalam bukunya,
Negara dalam Dimensi Hukum
Internasional, Penerbit PT Citra
Aditya Bakti, Bandung.
FX. Adji, Samekto, 2009. Negara dalam
Dimensi Hukum Internasional, PT.
Cipta Aditya Bakti, Bandung.
H. Priyatna Abdurrasyid, 2003. Kedau-
latan Negara di Ruang Udara
(Jakarta: Fikahati Aneska & Badan
Arbitrase Nasional Indonesia).
http://www.indonesia.go.id/, download
18 Maret 2010.
http://www.tempointeraktif.com/hg/
nasional/2003/07/04/brk,20030
704-29,id.html dan http://www.
tempointeraktif.com/hg/nasional
/2008/01/24/brk,20080124-
11 698,id.html.
Kementerian Luar Negeri RI, Penetapan
3 (tiga) Alur Laut Kepulauan
Indonesia (ALKI), pada http://
www.dfa-deplu.go.id tanggal 18
April 2003.
Kusumaatmadja, Mochtar 1978. Bunga
Rampai Hukum Laut, Penerbit
Bina Cipta, Bandung.
PP Nomor 37 Tahun 2002 Tentang Hak
dan Kewajiban Kapal dan Pesawat
Udara Asing dalam Melaksanakan
Hak Lintas Alur Laut Kepulauan
Melalui Alur Laut Kepulauan
yang Ditetapkan.
R. Agoes, Etty. 1991. Konvensi Hukum
Laut, 1982 : Masalah Pengaturan
Hak Lintas Kapal Asing, PT.
Abardin, Bandung.
Sekretariat Negara RI, 2009. Kumpulan
Peraturan Perundang-undangan
Republik Indonesia.
Siti Nurbaya, Bakar, 2008. 12 Pulau
Terluar Rentan diambil Negara
Asing. Media Indonesia, 9 Desember
2008).
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985
Tentang Pengesahan United
Nations Convention On The Law Of
The Sea (Konvensi Perserikatan
Bangsa-Bangsa Tentang Hukum
Laut, 1982).
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996
Tentang Perairan Indonesia.
Undang-Undang No 1 Tahun 2009
Tentang Penerbangan.
United Nations Convention On International
Civil Aviation, Signed At Chicago,
On 7 December 1944).
PEDOMAN BAGI PENULIS
BERITA DIRGANTARA
Berita Dirgantara adalah majalah ilmiah semi populer bersifat nasional untuk pemasyarakatan hasil penelitian, pengembangan, pemikiran, dan/atau ulasan ilmiah di bidang sains dan teknologi dirgantara, termasuk analisis dan informasi kedirgantaraan yang ditulis dalam bahasa Indonesia. Sifat semi populer berarti istilah teknis dijelaskan secara lebih populer dan tidak menggunakan rumus-rumus, kecuali rumus sederhana yang mudah difahami awam. Gambar dan ilustrasi yang lebih menjelaskan isi karya tulis ilmiah sangat diharapkan.
Berita Dirgantara mengundang para penulis untuk mengirimkan naskah atau karya asli hasil penelitian, pengembangan, pemikiran, dan/atau ulasan ilmiah yang belum dipublikasikan atau dikirimkan ke media publikasi manapun. Naskah yang dikirim akan dievaluasi Dewan Penyunting dari segi keaslian (orisinalitas), kesahihan (validitas) ilmiah, dan kejelasan pemaparan. Penulis berhak menanggapi hasil evaluasi. Dewan Penyunting berhak menyempurnakan naskah tanpa mengurangi isi/maknanya. Naskah yang tidak dimuat, dikembalikan kepada penulis dengan alasan penolakannya. Penulis yang naskahnya dimuat mendapat 3 eksemplar dari nomor yang diterbitkan. Bagi naskah yang ditulis kolektif, hanya disediakan 2 eksemplar untuk masing-masing penulis.Ketentuan bagi penulis pada Berita Dirgantara ini adalah sebagai berikut.
a. Pengiriman naskah
Naskah dikirim rangkap 4 (empat), ditujukan ke Sekretariat Dewan Penyunting Berita Dirgantara dengan alamat, Bagian Publikasi dan Promosi LAPAN Jalan Pemuda Persil No. 1, Jakarta Timur 13220. Naskah diketik dengan MS Word dengan Bookman Old Styles font 11 pt pada kertas A4 dengan spasi ganda. Khusus untuk judul naskah ditulis huruf besar dengan font 16 pt. Penulis yang naskahnya diterima untuk dipublikasikan, diminta menyerahkan file dalam disket, atau dikirim melalui e-mail ke Sektetariat Dewan Penyunting ([email protected]).
b. Sistematika penulisan
Naskah terdiri dari halaman judul dan isi karya tulis ilmiah. Halaman judul berisi judul yang ringkas tanpa singkatan, nama (para) penulis tanpa gelar, instansi/perguruan tinggi, dan e-mail penulis utama. Halaman isi karya tulis ilmiah terdiri dari (a) judul, (b) ringkasan dalam bahasa Indonesia tidak lebih dari 200 kata dan tersusun dalam satu alinea, (c) batang tubuh naskah yang terdiri dari 1. Pendahuluan, 2. Bab-bab bahasan, 3. Penutup, dan (d) daftar rujukan.
c. Gambar dan Tabel
Gambar atau foto harus dapat direproduksi dengan tajam dan jelas. Gambar atau foto warna hanya diterima dengan pertimbangan khusus. Gambar dan tabel dapat dimasukkan dalam batang tubuh atau dalam lampiran tersendiri. Untuk kejelasan penempatan dalam jurnal, gambar dan tabel harus diberi nomor sesuai nomor bab dan nomor urut pada bab tersebut, misalnya Gambar 2-2 atau Tabel 2-1 yang disertai keterangan singkat gambar dan judul dari tabel yang bersangkutan.
d. Persamaan, Satuan, dan Data Numerik
Persamaan sederhana diketik atau ditulis tangan (untuk simbol khusus) dan diberi nomor di sebelah kanannya sesuai nomor bab dan nomor urutnya, misalnya persamaan (1-2). Satuan yang digunakan adalah satuan internasional (CGS atau MKS) atau yang lazim pada cabang ilmunya. Data numerik menggunakan ejaan Bahasa Indonesia dengan menggunakan koma untuk angka desimal.
e. Rujukan
Rujukan di dalam naskah ditulis dengan (nama, tahun) atau nama (tahun), misalnya (Hachert and Hastenrath, 1986). Lebih dari dua penulis ditulis “et al.”, misalnya Milani et al. (1987). Daftar rujukan hanya mencantumkan makalah/buku atau literatur lainnya yang benar-benar dirujuk di dalam naskah. Daftar rujukan disusun secara alfabetis tanpa nomor. Nama penulis ditulis tanpa gelar, disusun mulai dari nama akhir atau nama keluarga diikuti tanda koma dan nama kecil, antara nama-nama penulis digunakan tanda titik koma. Rujukan tanpa nama penulis, diupayakan tidak ditulis ‘anonim’, tetapi menggunakan nama lembaganya, termasuk rujukan dari internet. Selanjutnya tahun penerbitan diikuti tanda titik. Penulisan rujukan untuk tahun publikasi yang sama (yang berulang dirujuk) ditambahkan dengan huruf a, b, dan seterusnya di belakang tahunnya. Rujukan dari situs web dimungkinkan dengan menyebutkan tanggal pengambilannya. Secara lengkap contoh penulisan rujukan adalah sebagai berikut.
Escuider, P. 1984. Use of Solar and Geomagnetic Activity for Orbit Computation in Mountenbruck (Ed.). Solar Terrestrial Predictions: Proceeding of a workshop at Meudon, France, June 12
Hachert, E.C.and S. Hastenrath, 1986. Mechanisms of Java Rainfall Anomalies, Mon Wea. Rev., 114, 745-757
Milani, A; Nobili, A.M.; and P. Farinella, 1987. Non-gravitational Perturbations and Satellite Geodesy, Adam Higler Bristol Publishing, Ltd
UCAR, 1999. Orbital Decay Prediction, http://windows.ucar.edu, download September 2004