Upload
arianto-adi-wibowo
View
93
Download
6
Embed Size (px)
DESCRIPTION
laporan kasus tentang bronkiektasis
Citation preview
BAB I
STATUS PENDERITA
I. ANAMNESIS
A. IDENTITAS PENDERITA
Nama : Tn.S
Umur : 64 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Pekerjaan : Swasta
Alamat : Tegal Arum RT 1 RW 31 Jebres Surakarta
No. RM : 01 01 46 16
Masuk RS : 7 Februari 2014
Tanggal pemeriksaan : 12 Februari 2014
B. Keluhan Utama :
Sesak napas
C. Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien datang dengan keluhan sesak napas sejak ± 7 hari SMRS dan
semakin memberat dengan aktivitas sejak 2 hari yang lalu. Sesak tidak
dipengaruhi oleh cuaca dan tidak memiliki riwayat asma. Kebiasaan pasien
saat tidur hanya menggunakan 1 bantal. Sesak disertai batuk memberat sejak 2
hari SMRS, batuk berdahak (+), sehari sebanyak 2 gelas belimbing, warna
kekuningan, kental, darah (+) satu kali, pada waktu malam 1 hari SMRS
berupa bercak berwarna merah. Pasien belum meminum obat batuk.
Nafsu makan pasien menurun sehingga badan menjadi lemas disertai
penurunan berat badan, nyeri dada (-), mual (+), muntah (-). Pasien juga
mengalami demam (+) tinggi 2 hari SMRS. Belum dibawa berobat
sebelumnya. Pasien juga mengeluh tidak BAB sejak 2 yang lalu, flatus (+),
BAK 4-5 x/ hari , warna kuning jernih, kira-kira sebanyak 0,5-1 gelas
belimbing tiap BAK.
D. Riwayat Penyakit Dahulu :
1. Riwayat hipertensi : disangkal
2. Riwayat pengobatan OAT : (+) sejak 10 Oktober 2013 sampai sekarang
3. Riwayat DM : disangkal
4. Riwayat asma : disangkal
5. Riwayat sakit jantung : disangkal
6. Riwayat mondok :(+) terakhir November 2013 di RSDM
diagnose Bronkiektasis terinfeksi TB paru BTA (+)
7. Riwayat alergi : disangkal
E. Riwayat Kebiasaan
1. Riwayat olah raga teratur : disangkal
2. Riwayat rutin minum obat bebas :disangkal
3. Riwayat merokok : (+) sejak berusia 20 tahun,
berhenti 5 tahun yang lalu. Habis ± 1 bungkus/ hari. Index brinkman 468
(perokok sedang)
F. Riwayat Penyakit pada Anggota Keluarga
1. Riwayat hipertensi : disangkal
2. Riwayat DM : disangkal
3. Riwayat asma/alergi : disangkal
4. Riwayat sakit jantung : disangkal
5. Riwayat TB : disangkal
G. Riwayat Sosial Ekonomi
Pasien adalah seorang laki-laki berusia 64 tahun bekerja swasta.
Pasien tinggal bersama seorang istri dengan rumah berlantai semen, sebagian
tanah, minim ventilasi. Pasien merupakan pasien BPJS.
H. Riwayat Gizi
Sehari –hari pasien makan dengan nasi sayur tiga kali sehari dengan
lauk tahu tempe, telur, atau ikan.
II. PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan umam : Lemah, composmentis
Berat badan : 45 kg
Tinggi badan : 165 cm
Vital Sign : Tekanan Darah : 110/70 mmHg
Nadi : 98 x/menit, teraba lemah, reguler
Pernapasan : 24 x/menit, teratur
SiO2 : 99 % dalam O2 2 lpm
Suhu : 38,3o C peraksila
Mata : Conjunctiva pucat (-/-), sklera ikterik (-/-)
Hidung : Napas cuping hidung (-/-), secret (-/-)
Telinga : Sekret (-/-)
Mulut : Sianosis (-), mukosa basah (+)
Leher : JVP tidak meningkat, KGB tidak membesar
Thoraks : retraksi (-), normochest, simetris
Jantung : I : ictus cordis tidak tampak
P: ictus cordis tidak kuat angkat, thrill (-)
P: batas jantung kesan tidak melebar
A:bunyi jantung I-II intensitas normal, reguler, bunyi
tambahan (-)
Pulmo : Anterior
I: pengembangan dada kiri=kanan, sela iga tidak melebar,
retraksi (-)
P: pengembangan dada kiri=kanan, fremitus raba kiri = kanan
P: sonor/sonor
A: SDV (+/+), RBK (+/+) di dada kanan kiri bawah
Posterior
I: pengembangan dada kiri=kanan
P: pengembangan dada kiri=kanan, fremitus raba kiri = kanan
P: sonor/sonor
A: SDV (+/+), RBK (+/+) di dada kanan kiri bawah
Abdomen : I: dinding perut // dinding dada, benjolan (-), sikatrik (-)
A: BU (+) N
P: tympani
P: Supel, NT (-), hepar dan lien tidak teraba
Ekstremitas : Akral dingin Oedem
- - - -
- - - -
III.PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan Laboratorium Darah
PEMERIKSAAN
7 Februari 2014 SATUAN RUJUKAN
HEMATOLOGIRUTIN
Hb 11,4 g/dl 13,5-17,5HCT 36 33-45
AL 12,8 103/l 4,5-11,0AT 270 103/l 150-450AE 4,03 106/l 4.50-5.90
Gol.darah BINDEX
ERITROSIT
MCV 88,9 /um 80-96.0
MCH 38,2 Pg 28.0-33.0
MCHC 31,8 g/dl 33.0-36.0RDW 13,2 % 11.6-14.6MPV 7,1 Fl 7.2-11.1PDW 15 % 25-65
HITUNG JENISGranulosit 82,40 % 56,00-78,00
Limfosit 9,10 % 22,00-44,00
Mono, Eos, Bas 8,50 % 0,00-12,00
KIMIA KLINIKGDS 147 mg/dL 80-140
Kreatinin 0.7 mg/dL 0,7-1,3
Ureum 29 mg/dL <50
SGOT 25 u/l 0-35
SGPT 20 u/l 0-43
Albumin 3,6 g/dl 3.2-4.6
ELEKTROLIT
Na 134 mmol/ L 136-145K 2.6 mmol/ L 3,3-5,1Cl 102 mmol/ L 98-106
Serologi
HbsAg Non reaktif Non reaktif
ANALISA GAS DARAH
Ph 7.467 7.301-7.420
BE -1,0 mmol/L -2 - +1
PCO2 30,8 mmHg 27.0-41.0
PO2 154,8 mmHg 80-100
HCO3 23,5 mmol/L 21-28
Total CO2 19,3 mmol/L 19-24
O2 saturasi 99,4 % 94-98
Pembacaan Analisis Gas Darah:
PaO2 : (713 x 0.24) – (1.25 x 30,8)
: 132,62
PaO2 target : 132,62x 90 / 154,8
: 77,1
FiO2 koreksi : 77,1 + (1.25 x 30,8)/713
: 0,16 ~ O2 ruangan
AaDO2 : 132,62 – 154,8 =-22,18
HS : 154,8 / 0,24
: 645
Kesan: alkalosis respiratorik tidak terkompensasi
2. Foto thorax PA
Pembacaan:
Foto Thorak proyeksi PA/lateral Tn.S umur 64 tahun diambil tanggal 7 Februari
2014 di RSUD Moewardi Solo.
Kekerasan cukup, inspirasi cukup, simetris, trakea di tengah
Cor : Besar dan bentuk normal, tampak kalsifikasi aortic knob
Pulmo :Tampak honey comb appearance di paracardial kanan kiri dengan
infiltrat di sekitarnya
Sinus costophrenicus kanan anterior posterior tajam,kiri anterior poterior tumpul
Retrosternal dan retrocardiac space dalam batas normal
Hemidiafragma kanan normal, bentuk kubah, licin, kiri tertutup perselubungan
Trachea di tengah
Sistema tulang baik
Kesan :
Suspect infected bronchiektasis
Efusi pleura kiri
Aortasclerosis
3. Elektrokardiografi
Kesan: sinus rhytm, HR 95 x/menit, normoaksis
IV. DIAGNOSIS KERJA
Bronkiektasis terinfeksi
TB paru BTA (?) lesi luas kasus baru dalam terapi OAT kategori I bulan V
V. TERAPI
1. Oksigen 2 lpm
2. InfusNaCl 0,9% 20 tpm
3. Inj Ceftriaxone 2gram/24jam
4. Rifampicin/INH 450gr/300 gr
5. Injeksi Ranitidin 500 gram/12 jam
6. Paracetamol 3x500mg
7. NAsetyl cysteine 3x200gr
VI. PLANNING
1. Pemeriksaan sputum BTA 3x
2. Laboratorium darah rutin, SGOT/SGPT, Ureum/Creatinin, elektrolit
3. KUVS/ 8 jam
BAB II
PEMBAHASAN
Pada kasus ini pasien didiagnosis sebagai Bronkiektasis terinfeksi dan TB
paru BTA (?) lesi luas kasus baru dalam terapi OAT kategori I bulan V. Didapatkan
dari anamnesis, gejala klinis, pemeriksaan fisik, foto toraks, dan laboratorium
Diagnosa bronkiektasis terinfeksi didapatkan dari anamnesis yaitu batuk
kronis yang produktif (sputum mukoid, purulent dan bercak darah), dispnea sejak ± 7
hari SMRS dan semakin memberat dengan aktivitas sejak 2 hari yang lalu. Sesak
tidak dipengaruhi oleh cuaca dan tidak memiliki riwayat asma. Pasien juga
mengalami demam (+) tinggi 2 hari SMRS. Riwayat penyakit dahulu, pasien
menyangkal adanya riwayat DM, hipertensi, dan penyakit jantung. Riwayat
pengobatan OAT (+) sejak 10 Oktober 2013 sampai sekarang, riwayat mondok (+)
terakhir November 2013 di RSDM diagnose Bronkiektasis terinfeksi TB paru BTA
(+). Riwayat kebiasaan merokok (+) sejak berusia 20 tahun, berhenti 5 tahun yang
lalu. Habis ± 1 bungkus/ hari. Index brinkman 468 (perokok sedang).
Pemeriksaan fisik : pasien terlihat lemas disertai penurunan berat badan. Suhu
tubuh pasien 38.3oC per aksila, pernafasan 24 x per menit. Pada auskultasi ditemukan
ronki basah kasar pada dada kanan kiri bawah.
Pemeriksaan penunjang foto thorax PA/lateral : Tampak honey comb
appearance di paracardial kanan kiri dengan infiltrat di sekitarnya.
Pasien diterapi dengan pemberian O22 lpm, IVFD NaCl 20 tpm, injeksi
ceftriaxone 2 gr/24 jam, N asetyl cysteine 3 x 200 mg peroral, dan paracetamol 3 x
500 mg peroral. Menurut PDPI penderita rawat inap diterapi dengan pemberian terapi
oksigen; pemasangan infus untuk rehidrasi dan elektrolit; pemberian obat
simptomatik antara lain antipiretik dan mukolitik; dan pemberian antibiotik.
1. Oksigen 2 lpm.Pemberian O2 sesuai dengan hasil AGD nya, didapatkan FiO2
koreksinya 0.16 atau setara dengan udara ruangan
2. Infus NaCl 0,9% 20 tpm
3. Inj Ceftriaxone,adalah golongan sefalosporin generasi 3 yang merupakan
antibiotik empiric, direncanakan untuk melakukan pemeriksaan sputum dan
sensitivitas antibiotik agar terapi empirik bisa diganti dengan terapi spesifik
berdasarkan sensitivitas antibiotiknya.
4. Rifampicin/INH 450gr/300 gr pasien dalam terapi OAT kategori I bulan V
5. Injeksi Ranitidin 500 gram/12 jam, pasien dengan keluhan mual dan ranitidin
merupakan terapi simptomatik
6. Paracetamol 500mg 3x1tab pasien dengan keluhan demam dan paracetamol
merupakan terapi simptomatik
7. NAsetyl Cystein 3x200gr, merupakan mukoprotective. Bekerja sebagai
mukolitik dan anti inflamasi
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Anatomi dan Histologi Sistem Respirasi
Trakea terdiri dari 16 sampai 20 cincin tulang rawan yang berbentuk
setengah lingkaran atau bulan sabit (cresent-shaped). Tulang rawan yang bersifat
elastis kuat ini, bersama-sama membentuk trakea dalam arah anterolateral
sehingga trakea menjadi kaku. Bagian posterior trakea dibentuk oleh jaringan
elastis bersama-sama dengan otot polos. Kedua jaringan ini membentuk suatu
lapisan yang disebut pars membranasea dari trakea. Otot di daerah ini akan aktif
berkontraksi pada saat ekspirasi dalam atau batuk sehingga lumen trakea
menyempit. Pada bagian dalam lapisan otot dan tulang rawan ini didapatkan suatu
lapisan jaringan ikat yang mengandung serabut saraf dan kelenjar mukus. Lebih
dalam lagi ke arah lumen terdapat membran mukosa yang mengandung sel goblet,
sel bersilia, dan terakhir sel-sel epitel. Bronkus dimulai dari bagian distal trakea
yang membagi dua menjadi bronkus utama kanan dan kiri. Selanjutnya bronkus
utama ini membagi diri menjadi bronkus generasi kedua yang disebut bronkus
lobar dengan penampang 0,7 cm, setelah itu terbentuk pula bronkus segmental
dengan penampang 0,5 cm. Generasi keempat merupakan bronkus terakhir diberi
nama bronchus subsegmental, generasi kelima hingga kesepuluh disebut bronkus
kecil dengan penampang 0,1 sampai 0,4 cm. Seperti halnya dengan trakea, tulang
rawan pada bronki besar berbentuk ladam kuda dengan otot polos
menghubungkan kedua ujungnya. Pada bronki yang lebih kecil tulang rawan
berbentuk lempengan kecil, semakin kecil, bentuk tulang rawan juga berubah
membentuk lempeng atau batang kecil, dan pada bronkiolus bentuk tulang rawan
ini hilang sama sekali. Di bagian dalam setiap bronki dijumpai suatu jaringan
yang terbentuk dari jaringan elastis, jaringan retikuler, otot polos, kapiler,
jaringan limfatik, serta serabut saraf. Diantara jaringan tadi dapat dijumpai sel-sel
radang PMN, sel limfosit dan sel mast. Lapisan lebih dalam lagi diapatkan
membrane basalis dan lapisan epitel, yang terdiri dari sel bersilia dan sel goblet.
Jumlah sel goblet paling banyak ditrakea dan bronki utama, jumlahnya makin
menurun sesuai dengan makin kecilnya bronki. (Mukty, et.al., 2005)
Bronkioli(-us), merupakan generasi ke-11 dengan penampang 0,15
sampai 0,1 cm. Dinding bronkioli mengandung jaringan elastis yang berjalan
secara longitudinal dan menutup serabut-serabut otot polos. Bronkioli yang lebih
kecil membagi diri menjadi bronkioli terminalis dengan penampang alveolaris.
Perubahan yang dilihat pada bronkioli antara lain tulang rawan tidak ada, epitel
berbentuk kuboid dan tidak mempunyai silia. Makin ke perifer, jumlah sel goblet
dan kelenjar mukus makin berkurang. Sekret mukus yang dihasilkan oleh sel
goblet dan kelenjar mukus melapisi bagian luar sel silia. Otot polos merupakan
suatu komponen yang penting di dalam saluran pernapasan. Otot polos terletak di
bagian posterior dan menghubungkan kedua ujung tulang trakea dan bronkus
utama. Pada bronki kecil, bronkioli generasi ke-5 dan seterusnya, serabut otot
polos ini menyusun diri dalam bentuk spiral dan double helical. Bentuk spiral
otot polos ini dapat dijumpai sampai ke alveoli(-us). Duktus alveolaris dan
alveolus merupakan perluasan bronkioli respiratorius. Alveoli yang merupakan
kantung-kantung berdinding tipis tersusun berkelompok pada duktus alveolaris
sehingga struktur yang membentuk keduanya juga serupa. Pada seorang laki-laki
dewasa diperkirakan terdapat 300x106 alveoli dan alveoli ini mengambil tempat
55 sampai 60% dari seluruh volume paru. Dinding alveoli yang disebut juga
alveolar-capillary membrane berperane berperan dalam pertukaran gas dari udara
ke darah. Orang dewasa diperkirakan mempunyai luas alveoli sekitar 80 m2,
begitu pula luas permukaan kapiler sama besarnya. Permukaan alveoli merupakan
tempat biosintesis bahan surfaktan dan terdapat pula sel histiosit dan makrofag
yang bersifat fagositosis. Tebal alveolar-capillary membrane 0,2 sampai 2,5
mikron dan merupakan tempat pertukaran gas secara pasif. Lapisan alveolus dan
endotel kapiler mempunyai hubungan yang sangat erat. Keduanya dihubungkan
oleh jaringan interstitial yang terdiri dari jaringan elastis, retikuler dan kolagen.
Serabut yang membentuk jaringan intersititial ini dapat mencegah terjadinya
perluasan yang berlebihan dari alveoli serta memberi sifat elastis pada paru.
Alveoli mempunyai ukuran 200 hingga 300 mikron, dan pada dinding alveolus
terdapat suatu lubang yang berhubungan dengan alveolus lain, lubang ini disebut
Porus dari Khon. Lobus paru terdiri dari primary lobules (asini) dan secondary
lobules dari Miller yang terdiri dari 5 sampai 10 asini dengan diameter 1-2 cm.
Terminal respiratory unit merupakan struktur paru yang terletak distal dari
bronkioli terminalis atau disebut juga asinus. Sedangkan secondary lobules
merupakan gabungan dari beberapa terminal respiratory unit. (Mukty, et.al.,
2005)
Selain hal-hal di atas, akan dibahas juga mengenai alveolar-capillary
plexus secara lebih dalam. Arteri pulmonalis merupakan pembuluh darah yang
menyertai saluran pernapasan dan berfungsi membawa darah vena dari ventrikel
kanan ke paru. Setiap arteri pulmonalis memberi cabang kecil ke bronkioli
respiratorius dan berakhir di sakus alveolaris dengan membentuk plexus
capillary. Dengan adanya pleksus ini darah akan lebih efektif memperoleh udara
(oksigen) dari alveoli. Selanjutnya darah yang meninggalkan alveolar- capillary
plexus yang kaya oksigen menuju system vena pulmonalis dan berakhir di atrium
kiri jantung. Pembuluh darah bronkial memberi vaskularisasi untuk paru. Arteri
bronkial yang kaya oksigen juga menyertai saluran pernapasan. Arteri ini
membawa makanan untuk saluran pernapasan sampai ke bronkioli terminalis.
Darah yang berasal dari arteri bronkial ini mengalir ke kapiler dan selanjutnya
menuju sistem pembuluh darah pulmonal atau sistem vena bronkial. Sistem saraf
saluran napas dan paru dilakukan oleh sistem saraf otonom. Ada tiga tipe jalur
yang ditempuh, yaitu aferen otonomik, eferen parasimpatik, eferen simpatik.
Serabut aferen otonomik seperti serabut aferen lain ysng berasal dari stretch
receptor di dalam alveol dan sama dengan reseptor iritan yang berada di bronki
dan bronkioli bersama-sama menuju ke nervus vagus setelah melalui pleksus
pulmonalis. Serabut saraf yang berasal dari reseptor iritan lain, seperti di trakea
dan reseptor batuk yang berada di laring akan mencapai system saraf pusat
melalui nervus vagus. Kemoreseptor yang berada di sinus karotikus dan arkus
aorta juga akan bergabung dengan serabut aferen. Serabut saraf yang berasal dari
sinus karotikus dan badan karotis melalui nervus glossopharyngeus, sedangkan
reseptor lain yang terdapat di hidung dan sinus paranasalis, serabut aferennya
bergabung di dalam n. trigeminus dan n. glossopharynge us. Semua serabut saraf
eferan parasimpatis yang menuju ke saluran pernapasan bergabung di dalam n.
vagus dan pleksus pulmonalis. Serabut eferen ini akan membawa semua impuls
yang menuju otot polos dan kelenjar yang berada di saluran pernapasan. Impuls
yang bersifat kolinergik menyebabkan kontraksi otot polos bronkial, pengeluaran
sekresi kelenjar dan dilatasi pembuluh darah. Serabut saraf eferen
postganglionikyang bersifat simpatik berasal dari trunkus simpatis langsung
masuk ke toraks melalui ganglia toraksis. Serabut saraf ini, semuanya bersifat
adrenergik dan akan mencapai paru setelah melalui pleksus pulmonalis.
Rangsangan simpatis akan menyebabkan relaksasi otot polos bronkial,
menghambat pengeluaran sekresi dari kelenjar serta menimbulkan vasokonstriksi
pada pembuluh darah. (Mukty, et.al., 2005)
Otot-otot skelet yang membungkus dinding toraks berfungsi untuk
inspirasi dan ekspirasi. Otot inspirasi utama seperti m. intercostalis externus,
yang mempunyai fungsi mengangkat iga (fungsi elevasi). Otot intercartilagineus
parasternalis, merupakan otot elevasi yang menghubungkan bagian antar tulang
rawan iga. Otot pernapasan yang paling penting ialah diafragma, berfungsi
melebarkan rongga dada dalam dimensi longitudinal serta menyebabkan elevasi
tulang iga bagian bawah. Otot inspirasi tambahan ialah m.
sternocleidomastoideus mengangkat sternum ke bagian depan dan atas,
sedangkan m. scalenus anterior, medius, dan posterior, mempunyai fungsi
elevasi serta memfiksir tulang iga bagian atas. Pada saat bernapas biasa,
bernapas normal atau quiet breahing, ekspirasi merupakan gerakan pasif sebagai
hasil dari rekoil paru. Jika ekspirasi dilaksanakan secara pasif, maka otot-otot
yang berperan adalah m. intercostalis internus kecuali m. intercartilagineus
parasternalis. Kelompok otot ini berfungsi menekan iga ke arah dalam. Otot
abdomen seperti m. rectus abdominis, m. abdominis externa obliqua, m. internal
obliqua dan m. transversus abdominis akan melakukan penekanan pada iga
bagian bawah serta kompresi isi perut. (Mukty, et.al., 2005).
B. Fisiologi Sistem Respirasi
Proses fisiologi pernapasan yaitu proses O2 dipindahkan dari udara ke
dalam jaringan-jaringan, dan CO2 dikeluarkan ke udara ekspirasi, dapat dibagi
menjasi tiga stadium. Stadium pertama adalah ventilasi, yaitu masuknya
campuran gas-gas ke dalam dan keluar paru. Stadium kedua, transportasi, yang
harus ditinjau dari beberapa aspek: (1) difusi gas-gas antara alveolus dan kapiler
paru (respirasi eksterna) dan antara darah sistemik dan sel-sel jaringan; (2)
distribusi darah dalam sirkulasi pulmonar dan penyesuaiannya dengan distribusi
udara dalam alveoli; dan (3) reaksi kimia dan fisik dari O2 dan CO2 dengan
darah. Respirasi sel atau respirasi interna, merupakan stadium akhir respirasi,
yaitu saat zat-zat dioksidasi untuk mendapatkan energi, dan CO2 terbentuk
sebagai sampah proses metabolisme sel dan dikeluarkan oleh paru. (Wilson,
2007)
Proses ventilasi adalah proses udara bergerak masuk dan keluar paru
karena ada selisih tekanan yang tedapat antara atmosfer dan alveolus akibat kerja
mekanik otot-otot. Selama inspirasi, volume toraks bertambah besar karena
diafragma turun dan iga terangkat akibat kontraksi beberapa otot. Otot
sternokleidomastoideus mengangkat sternum ke atas dan otot seratus, skalenus
dan interkostalis eksternus mengankat iga-iga. Toraks membesar ke tiga arah:
anteroposterior, lateral, dan vertikal. Peningkatan volume ini menybabkan
penurunan tekanan intrapleura, dari sekitar -4 mmHg (relatif terhadap tekanan
atmosfer) menjadi sekitar -8 mmHg bila paru mengembang pada waktu inspirasi.
Pada saat yang sama tekanan intrapulmonal atau tekanan jalan napas menurun
sampai sekitar -2 mmHg (relatif terhadap tekanan atmosfer) dari 0 mmHg pada
waktu mulai inspirasi. Selisih tekanan antara jalan napas dan atmosfer
menyebabkan udara mengalir ke dalam paru sampai tekanan jalan napas pada
akhir inspirasi sama dengan tekanan atmosfer. Dan ekspirasi dapat terjadi ketika
rongga toraks berkurang volumenya dan hal ini akan meningkatkan tekanan
intrapleura maupun tekanan intrapulmonal. Tekanan intrapulmonal sekarang
meningkat dan mencapai sekitar 1 sampai 2 mmHg di atas tekanan atmosfer.
Selisih tekanan antara jalan napas dan atmosfer menjadi terbalik, sehingga udara
mengalir keluar dari paru sampai tekanan jalan napas dan tekanan atmosfer
menjadi sama kembali pada akhir ekspirasi. Dan perlu diingat bahwa tekanan
intrapleura selalu di bawah tekanan atmosfer selama siklus pernapasan. (Wilson,
2007)
Proses transportasi erat hubungannya dengan proses difusi dan perfusi.
Proses difusi adalah suatu proses di mana gas-gas dalam udara pernapasan
melintasi dinding alveolus. Adanya perpindahan gas ini dapat terjadi oleh karena
adanya kekuatan pendorong untuk pemindahan ini yang berupa tekanan parsial
antara darah dan fase gas. Tekanan parsial O2 (PO2) dalam atmosfer pada
permukaan laut besarnya sekitar 159 mmHg (21% dari 760 mmHg). Namun,
pada waktu oksigen sampai di trakea, tekanan parsial ini akan mengalami
penurunan sampai sekitar 149 mmHg karena dihangatkan dan dilembabkan oleh
jalan napas (760-47 x 0,21) mmHg atau sekitar 149 mmHg. Tekanan uap air
pada suhu tubuh adalah 47 mmHg. Tekanan oksigen kapiler (40 mmHg) lebih
rendah daripada tekanan oksigen dalam alveolus (103 mmHg) sehingga oksigen
lebih mudah berdifusi ke dalam aliran darah. Perbedaan tekanan antara CO2 di
kapiler darah (46 mmHg) dan tekanan CO2 di alveolus (40 mmHg) yang jauh
lebih rendah (6 mmHg) menyebabkan CO2 berdifusi je dalam alveolus. Dalam
keadaan istirahat normal, difusi dan keseimbangan antara oksigen di kapiler
darah paru dan alveolus berlangsung kira-kira 0,25 detik dari total waktu kontak
selama 0,75 detik. Pemindahan gas secara efektif antara alveolus dan kapiler
paru membutuhkan distribusi merata dari udara dalam paru dan perfusi (aliran
darah) dalam kapiler. Dengan perkataan lain, ventilasi dan perfusi unit pulmonar
harus sesuai. Sirkulasi pulmonar dengan tekanan dan resistensi rendah
mengakibatkan aliran darah di basis paru lebih besar daripada di apeks paru, hal
ini disebabkan oleh karena gaya tarik bumi. Pada orang normal dengan posisi
tegak dan dalam keadaan istirahat, ventilasi dan perfusi hampir seimbang kecuali
pada apeks paru. Rasio antara ventilasi dan perfusi dinilai sebesar V/Q = 0,8.
Angka ini didapatkan dari rasio rata-rata laju ventilasi alveolar normal
(4L/menit) dibagi dengan curah jantung normal (5L/menit). Menurut konsep
V/Q, ada 3 macam kelainan akan ventilasi dan perfusi, yaitu suatu unit ruang
mati, unit pirau, dan unit diam. Dikatakan sebagai unit ruang mati jika rasio V/Q
tidak terhingga karena laju ventilasi normal tetapi laju perfusi tidak ada. Unit
pirau adalah jika rasio V/Q adalah nol (0) karena laju ventilasi tidak tetapi
perfusi normal sehingga perfusi terbuang sia-sia. Dan terdapat unit diam yaitu
suatu keadaan saaat tidak terdapat ventilasi maupun perfusi. Hal tersebut
merupakan kasus ekstrim, ada suatu gabungan dari kasus-kasus tersebut
sehingga memberikan suatu keadaan ruang mati dengan rasio V/Q lebih dari 0,8
dan suatu keadaan pirau dengan rasio V/Q kurang dari 0,8. (Wilson, 2007)
Selain adanya ventilasi dan perfusi, penting diketahui pula adanya
transpor oksigen dalam darah. Oksigen diangkut dari paru ke jaringan-jaringan
melalui 2 cara, yaitu secara fisik larut dalam plasma atau secara kimia berikatan
dengan Hb sebagai oksiHb (HbO2). Ikatan Hb dengan oksigen inilah
memberikan kontribusi sebesar 99% dalam proses transportasi. Ikatan antara Hb
dengan O2 bersifat reversibel dan jumlah sesungguhnya yang diangkut dalam
HbO2 memiliki hubungan nonlinear dengan tekanan parsial O2 dalam darah
arteri (PaO2), yang ditentukan oleh jumlah O2 yang secara fisik larut dalam
plasma darah. Selanjutnya jumlah O2 yang larut dalam plasma mempunyai
hubungan langsung dengan tekanan parsial oksigen dalam alveolus (PAO2).
Jumlah O2 juga ditentukan oleh daya larutnya dalam plasma. Hanya sekitar 1%
dari jumlah O2 total yang diangkut ke jaringan-jaringan ditranspor dengan cara
ini. Satu gram Hb dapat mengikat 1,34 mL O2. Konsentrasi Hb rata-rata dalam
darah laki-laki dewasa sekitar 15 g per 100 mL sehingga 100 mL darah dapat
mengangkut (15 x 1,34) atau sekitar 20,1 mL O2 bila O2 jenuh (SaO2) adalah
100%. Tetapi sedikit darah vena campuran dari sirkulasi bronkial ditambahkan
ke darah yang meninggalkan kapiler paru dan sudah teroksigenasi. Proses
pengenceran ini menjelaskan mengapa hanya kira-kira 97% darah yang
meninggalkan paru menjadi jenuh sehingga hanya 19,5(0,97 x 20,1) vol% yang
diangkut ke jaringan. Pada tingkat jaringan, oksigen akan melepaskan diri dari
Hb ke dalam plasma dan berdifusi dari plasma ke sel-sel jaringan tubuh untuk
memenuhi kebutuhan jaringan yang bersangkutan. Meskipun kebutuhan jaringan
bervariasi, namun sekitar 75% Hb masih berikatan dengan oksigen pada waktu
Hb kembali paru dalam bentuk darah vena campuran. Jadi hanya sekitar 25% O2
dalam darah arteri yang digunakan untuk keperluan jaringan. Hb yang telah
melepaskan O2 pada tingkat jaringan disebut Hb tereduksi. Hb tereduksi ini
berwarna ungu dan menyebabkan warna kebiruan pada darah vena, seperti yang
kita lihat pada vena superfisial, misalnya pada tangan, sedangkan HbO2
berwarna merah terang dan menyebabkan warna kemerah-merahan pada darah
arteri. (Wilson, 2007).
C. Tanda dan Gejala Umum Penyakit pada Sistem Respirasi
Tanda dan gejala yang paling umum yang terdapat pada penyakit-
penyakit dalam sistem respirasi adalah batuk, pengeluaran sputum, hemoptisis,
dispnea, dan nyeri dada. Walaupun masih ada banyak tanda khas lainnya pada
penyakit system respirasi tetapi tanda-tanda tersebut merupakan tanda-tanda
yang paling khas. Berikut akan sedikit dibicarakan mengenai tanda-tanda
tersebut. Batuk merupakan refleks pertahanan yang timbul akibat iritasi
percabangan trakeobronkial. Kemampuan untuk batuk merupakan mekanisme
yang penting untuk membersihkan saluran napas bagian bawah, dan banyak
orang dewasa normal yang batuk beberapa kali setelah bangun tidur pada pagi
hari untuk membersihkan trakea dan faring dari sekret yang terkumpul selama
tidur. Batuk juga merupakan gejala tersering penyakit pernapasan. Segala jenis
batuk yang berlangsung lebih dari tiga minggu harus diselidiki untuk
memastikan penyebabnya. Rangsangan yang biasanya menimbulkan batuk
adalah rangsangan mekanik, kimia, dan peradangan. Inhalasi asap, debu, dan
benda-benda asing kecil merupakan penyebab batuk yang paling sering. Perokok
seringkali menderita batuk kronik karena terus menerus mengisap benda asing
(asap), dan saluran napasnya sering mengalami peradangan kronik. Rangsangan
mekanik dari tumor (ekstrinsik maupun intrinsik) terhadap saluran napas
merupakan penyebab lain yang dapat menimbulkan batuk (tumor yang paling
sering menimbulkan batuk adalah karsinoma bronkogenik). Setiap proses
peradangan saluran napas dengan atau tanpa eksudat dapat mengakibatkan batuk.
Bronkitis kronik, asma, tuberkulosis, dan pneumonia merupakan penyakit yang
secara tipikal memiliki batuk sebagai gejala yang mencolok. Batuk dapat bersifat
produktif, pendek, dan tidak produktif, keras dan parau (seperti ada tekanan pada
trakea), sering, jarang, atau paroksismal (serangan batuk yang intermiten).
(Wilson, 2007)
Orang dewasa normal menghasilkan mukus sekitar 100 mL dalam
saluran napas setiap hari. Mukus ini diangkut menuju faring dengan gerakan
pembersihan normal silia yang melapisi saluran pernapasan. Kalau terbentuk
mukus yang berlebihan, proses normal pembersihan mungkin tidak efektif lagi
sehingga akhirnya mucus tertimbun. Bila hal ini terjadi, membran mukosa akan
terangsang dan mukus dibatukkan keluar sebagai sputum. Pembentukan mukus
yang berlebihan mungkin disebabkan oleh gangguan fisik, kimiawi, atau infeksi
pada membran mukosa. Kapan saja seorang pasien membentuk sputum, perlu
dievaluasi sumber, warna, volume, dan konsistensinya. Sputum yang dihasilkan
sewaktu membersihkan tenggorokan kemungkinan besar berasal dari sinus atau
saluran hidung, dan bukan dari saluran napas bagian bawah. Sputum yang
banyak sekali dan purulen menyatakan adanya proses supuratif, seperti abses
paru, sedangkan pembentukan sputum yang terus meningkat perlahan dalam
waktu bertahun-tahun merupakan tanda bronkitis kronik atau bronkiektasis.
Warna sputum juga penting. Sputum yang berwarna kekuning-kuningan
menunjukkan infeksi. Sputum yang berwarna hijau merupakan petunjuk adanya
penimbunan nanah. Warna hijau timbul karena adanya verdoperoksidase yang
dihasilkan oleh leukosit polimorfonuklear (PMN) dalam sputum. Sputum yang
berwarna hijau sering ditemukan pada bronkiektasis karena penimbunan sputum
dalam bronkiolus yang melebar dan terinfeksi. Banyak penderita infeksi pada
saluran napas bagian bawah mengeluarkan sputum berwarna hijau pada pagi hari
tetapi semakin siang semakin menjadi kuning. Fenomena ini mungkin
disebabkan karena penimbunan sputum yang purulen di malam hari, disertai
pengeluaran verdoperoksidase. Sifat dan konsistensi sputum juga dapat
memberikan informasi yang berguna. Sputum yang berwarna merah muda dan
berbusa merupakan tanda edema paru akut. Sputum yang berlendir, pekat dan
berwana abu-abu atau putih merupakan tanda bronkitis kronik. Sedangkan
sputum yang berbau busuk merupakan anda abses paru akut atau bronkiektasis.
(Wilson, 2007).
Sputum dapat bercampur dengan darah atau dapat juga seluruh cairan
yang dikeluarkan dari paru berupa darah. Hemoptisis adalah istilah yang
digunakan untuk menyatakan batuk darah atau sputum yang berdarah. Setiap
proses yang mengganggu kesinambungan pembuluh darah paru dapat
mengakibatkan perdarahan. Batuk darah merupakan suatu gejala yang serius dan
dapat merupakan manifestasi pertama dari tuberculosis aktif. Penyebab
hemoptisis lain yang sering adalah karsinoma bronkogenik, infark paru,
bronkiektasis, dan abses paru. Sputum yang mengandung darah (sehingga
berwarna seperti karat) merupakan cirri khas yang dapat ditemukan pada
pneumonia pneumokokus. Sputum yang terlihat seperti jelly buah kismis (merah
bata) terdapat pada pneumonia Klebsiella. Jika darah atau sputum yang
mengandung darah dibatukkan, perlu ditentukan apakah memang sumbernya
berasal dari saluran napas bagian bawah dan bukan dari saluran hidung atau
saluran cerna. Darah yang berasal dari saluran cerna (hematemesis) biasanya
berwarna gelap (seperti warna kopi) dan disertai mual, muntah, dan anemia.
Darah yang berasal dari saluran napas bawah (di bawah glotis) biasanya
berwarna merah cerah, berbusa, dan terdapat riwayat batuk dengan atau tanpa
anemia. Darah yang berasal dari saluran napas atas (misalnya, darah dari hidung
setelah tonsilektomi) bila sering ditelan, dapat terlihat seperti darah dari bagian
pencernaan ketika dimuntahkan. (Wilson, 2007).
Dispnea atau sesak napas adalah perasaan sulit bernapas dan merupakan
gejala utama dari penyakit kardiopulmonar. Seorang yang mengalami dispnea
sering mengeluh napasnya menjadi pendek atau merasa tercekik. Gejala objektif
sesak napas termasuk juga penggunaan otot-otot pernapasan tambahan
(sternokleidomastoideus, scalenus, trapezius, pectoralis mayor), pernapasan
cuping hidung, takipnea, dan hiperventilasi. Sesak napas tidak selalu
menunjukkan adanya penyakit; orang normal akan mengalami hal yang sama
setelah melakukan kegiatan fisik dalam tingkat-tingkat yang berbeda. Pemeriksa
harus dapat membedakan sesak napas dari gejala dan tanda lain yang mungkin
memiliki perbedaan klinis yang mencolok. Takipnea adalah frekuensi
pernapasan yang cepat, lebih cepat dari pernapasan normal (12 hingga 20 kali
per menit) yang dapat muncul dengan atau tanpa dispnea. Hiperventilasi adalah
ventilasi yang lebih besar daripada jumlah yang dibutuhkan untuk
mempertahankan pengeluaran CO2 normal, hal ini dapat diidentifikasi dengan
memantau tekanan parsial CO2 arteri, atau tegangannya (PaCO2), yaitu lebih
rendah dari angka normal (40 mmHg). Dispnea sering dikeluhkan pada sindrom
hiperventilasi yang sebenarnya merupakan seseorang yang sehat dengan stres
emosional. Selanjutnya, gejala lelah yang berlebihan juga harus dibedakan
dengan dispnea. Seseorang yang sehat mengalami lelah yang berlebihan setelah
melakukan kegiatan fisik dalam tingkat yang berbeda-beda, dan gejala ini juga
dapat dialami pada penyakit kardiovaskular, neuromuskular, dan penyakit lain
selain paru. Sumber penyebab dispnea bisa bermacam-macam, misalnya: (1)
reseptor-reseptor mekanik pada otot- otot pernapasan, paru, dan dinding dada;
dalam teori tegangan panjang, elemen-elemen sensoris, gelondong otot pada
khususnya, berperan penting dalam membandingkan tegangan dalam otot dengan
derajat elastisitasnya; dispnea terjadi jika tegangan yang ada tidak cukup besar
untuk satu panjang otot (volume napas tercapai); (2) kemoreseptor untuk
tegangan CO2 dan O2 (PCO2 dan PO2) (teori hutang oksigen); (3) peningkatan
kerja pernapasan yang mengakibatkan sangat meningkatnya rasa sesak napas;
dan (4) ketidakseimbangan antara kerja pernapasan dengan kapasitas ventilasi.
Mekanisme tegangan panjang yang tidak sesuai adalah teori yang paling banyak
diterima karena teori tersebut menjelaskan paling banyak kasus klinis dispnea.
Besarnya tenaga fisik yang dikeluarkan untuk menimbulkan dispnea bergantung
pada usia, jenis kelamin, ketinggian tempat, jenis latihan fisik, dan terlibatnya
emosi dalam melakukan hal tersebut. Selain itu, terdapat beberapa variasi gejala
umum dispnea. Ortopnea adalah sesak napas pendek yang terjadi pada posisi
berbaring dan biasanya keadaan diperjelas dengan penambahan sejumlah bantal
atau penambahan elevasi sudut untuk mencegah perasaan tersebut. Penyebab
tersering ortopnea adalah gagal jantung kongestif akibat peningkatan volume
darah di vaskularisasi sentral pada posisi berbaring. Ortopnea juga merupakan
gejala yang sering muncul pada banyak gangguan pernapasan. Ada juga bentuk
lain berupa dispnea nokturnal paroksismal menyatakan timbulnya dispnea pada
malam hari dan memerlukan posisi duduk dengan segera untuk bernapas.
Membedakan dispnea nokturna paroksismal dengan ortopnea adalah aktu
timbulnya gejala setelah beberapa jam dalam posisi tidur. Penyebabnya sama
dengan penyebab ortopnea yaitu gagal jantung kongestif, dan waktu timbulnya
yang terlambat itu karena mobilisasi cairan edema perifer dan penambahan
volume intravascular pusat. Pasien dengan gejala utama dispnea biasanya
memiliki satu dari keadaan ini, yaitu penyakit kardiovaskular, emboli paru,
penyakit paru interstitial atau alveolar, gangguan dinding dada dan otot-otot,
penyakit obstruktif paru, atau kecemasan. Dispnea adalah gejala utama edema
paru, gagal jantung kongestif, dan penyakit katup jantung. Emboli paru ditandai
dengan dispnea mendadak. Dispnea merupakan gejala paling nyata pada
penyakit yang menyerang percabangan trakeobronkial, parenkim paru, dan
rongga pleura. Dispnea biasanya dikaitkan dengan penyakit restriktif yaitu
terdapat peningkatan kerja pernapasan akibat meningkatnya resistensi elastic
paru (pneumonia, atelektasis, kongesti) atau dinding dada (obesitas,
kifoskoliosis) atau pada penyakit jalan napas obstruktif dengan meningkatnya
resistensi nonelastik bronchial (emfisema, bronkitis, asma). Tetapi jika beban
kerja pernapasan meningkat secara kronik maka pasien yang bersangkutan dapat
menyesuaikan diri dan tidak mengalami dispnea. Dispnea juga bisa terjadi jika
otot pernapasan lemah, misalnya pada miastenia gravis, selain itu juga pada
lumpuh (pada poliomielitis, sindrom Guillain-Barre), letih akibat meningkatnya
kerja pernapasan, atau otot pernapasan kurang mampu melakukan kerja mekanis
(contohnya, emfisema yang berat atau pada obesitas). (Wilson, 2007).
Ada berbagai penyebab nyeri dada tetapi nyeri dada yang paling khas
pada penyakit paru adalah nyeri akibat radang pleura (pleuritis). Hanya lapisan
parietalis pleura yang merupakan sumber nyeri karena pleura viseralis dan
parenkim paru dianggap sebagai organ yang tidak peka. Umumnya pleuritis
terjadi mendadak tetapi juga dapat timbul secara bertahap. Nyeri terjadi pada
tempat yang mengalami peradangan dan biasanya tempat peradangan dapat
diketahui dengan tepat. Nyeri itu bagaikan teriris-iris dan tajam, diperberat
dengan batuk, bersin dan napas yang dalam sehingga pasien sering bernapas
cepat dan dangkal serta menghindri gerakan-gerakan yang tidak diperlukan.
Nyeri dapat sedikit diredakan dengan menekan daerah yang terkena peradangan
tersebut. Penyebab utama nyeri pleuritik ini adalah infeksi paru atau infark
meskipun keadaan seperti itu juga dapat diderita tanpa timbulnya nyeri. Pasien
dengan pneumotoraks atau ateletaksis yang berat kadang-kadang dapat
mengalami nyeri dada yang diduga akibat tarikan pada pleura parietalis karena
adanya perlekatan dengan pleura viseralis. Nyeri pleura harus dibedakan dari
penyebab nyeri dada yang lain, seperti iskemia miokardial, perikarditis,
kostokondrosis, dan herpes zoster (disebabkan terkenanya nervus interkostalis).
(Wilson, 2007)
D. Bronkhiektasis
Bronkiektasis adalah pelebaran (dilatasi) yang ireversibel dari bagian
saluran jalan nafas (bronkus) akibat kerusakan dari dinding jalan nafas.
Penyebab tersering adalah infeksi saluran nafas berulang yang berat. Beberapa
orang akan menunjukkan batuk kronik, dan beberapa biasanya muncul batuk
berdarah dan memiliki nyeri dada, dan berulangnya episode pneumonia. Foto
thorax biasanya akan selalu dilakukan untuk mencari kelainan yang ada dan
beratnya kelainan. Biasanya banyak orang akan menggunakan antibiotik dan
obat-obatan lain untuk menekan mucus (Hay, 2004)
Bronkiektasis akan terjadi apabila kondisi kerusakan baik secara langsung
maupun tidak langsung dari dinding bronkus tidak dapat dipertahankan secara
normal. Pertahanan normal antara lain adalah cilia sepanjang dinding saluran
nafas. Cilia ini akan bergerak dan menghalau balik kemudian menggerakkan
cairan mukus yang dihasilkan secara normal dari saluran nafas. Mukus ini akan
membawa partikel berbahaya dan bakteri yang terperangkap di dalam mukus
dari dalam menuju keluar tenggorokkan dan akan dibatukkan ataupun
dibersinkan (Bradley dan Nelson, 2004).
Baik kerusakan jalan nafas langsung maupun tidak langsung, area bronkus
telah terjadi kerusakan dan mengalami inflamasi kronik. Inflamasi ini akan
menyebabkan bronkus menjadi tidak elastik, yang menyebabkan jalan nafas
menjadi lebar dan dan menghasilkan kantong kecil seperti balon kecil.
Peradangan juga menghasilkan sekresi mukus yang banyak. Karena sel-sel yang
mengandung silia tersebut mengalami kerusakan atau hancur, sekresi mucus ini
akan terkumulasi pada jalan nafas yang melebar dan menjadi tempat
berkembangnya kuman-kuman bakteri (Bradley dan Nelson, 2004).
Bakteri juga mengakibatkan kerusakan dinding bronkus yang lebih parah
dan menyebabkan suatu lingkaran setan berupa infeksi berulang dan berlanjutnya
kerusakan jalan nafas (Bradley dan Nelson, 2004).
E. Etiologi
Bronkiektasis sering mulai terjadi pada anak-anak namun dapat juga terjadi
pada awal kehidupan dewasa. Yang paling sering menyebabkan kerusakan
cabang-cabang bronkhial adalah kejadian pasca infeksi seperti tuberkulosis,
pneumonia bakteri ataupun virus, komplikasi gondongan ataupun pertusis
Bronkiektasis juga berhubungan dengan beberapa kelainan congenital-for
instance, sindrom Kartagener (kondisi dextrokardia dan sinusitis) Sindrom
Williams-Camnbell dan kelainan segmen paru. Obstruksi berupa karsinoma,
stenosis tuberculus, inhalasi benda asing akan menyebabkan pulmo menjadi
kolaps dan infeksi sekunder menyebabkan terjadi bronkiektasis. Infeksi sinus
berulang juga bisa menyebabkan hal tersebut (Kadarac, 2004).
Bronkiektasis dapat menyebabkan komplikasi yang lebih parah berupa
fibrosis kistik atau defisiensi imun yang berat seperti hipo-gammaglobulinemia.
Bronkiektasis yang terjadi pada bronkus proximal biasanya diakibatkan oleh
penyakit alergi pada bronkopulmonari aspergilosis (Hay, 2003).
F. Gejala dan Tanda
Gejala bronkiektasis adalah batuk disertai produksi dahak. Kadang berupa
hemoptisis dan gejala umum seperti bronchitis berupa wheezing dan dyspnoe.
Kondisi umum pasien lemah dan memiliki jari tabuh. Biasanya terdengar
krepitasi di atas area sekresi (Hay, 2003)
Pada gambaran foto thorak akan tampak pada posisi posterior-anterior dan
lateral berupa bayangan tubulus atau cincin, atau corakan bronkovaskular yang
abnormal. Diagnosis pasti dapat ditegakkan dengan bronkography, namun hal
tersebut tidak nyaman dilakukan, sehingga hanya dilakukan pada pasien yang
akan diterapi bedah saja (Kadarac, 2004).
G. Tatalaksana
Penatalaksanaan dapat dengan pengobatan maupun pembedahan. Bila
pasien memiliki gejala sedang atau berat, dimana kondisi tubuh bagus,masih
memiliki fungsi paru yang bagus dan hasil bronkografi jelas menyebutkan
lokasi kelainannya maka pasien dapat dilakukan pembedahan untuk mereseksi
lobus paru yang terkena. Jika fungsi paru pasien tersebut masih memungkinkan
maka hanya disisakan satu lobus, lobus paru kiri dan lingula atau lobus kanan
bawah dan lobus tengah.
Pada kasus yang dipilih dengan hati-hati akan memberikan hasil yang
baik, dan pengobatan secara medis seumur hidup dapat dihindarkan. Semua
pasien ini harus mendapatakan pengobatan intensif sebelum dilakukan operasi
(Kadarac, 2004).
Beberapa kasus bronkiektasis tidak dapat dilakukan terapi pembedahan
karena fungsi parunya sangat buruk atau bisa juga karena infeksi yang telah
menyebar luas. Aspek penting dari pengobatan medis adalah drainase postural
secara rutin pada segmen atau lobus paru yang terkena. Untuk mendrainase
bronkus basal pasien harus meninggikan kaki di tempat tidur, tempat tidur
khusus sangat membantu pada terapi ini. Di rumah pasien disarankan untuk
menggunakan bantal yang tipis (Kadarac, 2004).
Lobus tengah dan lingula didrainase dengan cara berbeda, yaitu pasien
tiduran terlentang, kaki ditinggikan dan bantal diletakkan di bawah lapang paru
yang terkena. Pasien harus mempertahankan posisi tersebut selama 10-15 menit
malam dan pagi dan selama waktu itu pasien harus mengambil nafas dalam dan
batuk untuk mengeluarkan dahak.
Jika memungkinkan, meminta bantuan orang lain untuk menepuk-nepuk
dada supaya membantu melegakan dada. Drainase postural membutuhkan
waktu lebih dan kesabaran pasien, kadang dia perlu ketekunan dengan rutinitas
tersebut. Selama fisioterapi bila mendapatkan kondisi eksaserbasi akut maka
terapi perlu ditingkatkan menjadi empat kali sehari (Kadarac, 2004)
Tabel 1. Bagan Pemberian Antibiotik Berdasarkan Organisme Penyebab
(menurut Hay, 2003)
Bakteri Penyebab Obat Pilihan Obat Alternatif
Haemophilus
influenzae (banyak
yang resisten terhadap
Kotrimoksazole)
Amoxycillin 500 mg 4
kali sehari selama 10 hari
Tetracyclin 500 mg 4 kali
sehari
Staphilococcus aureus Cloxacillin 500 mg 4 kali
sehari
Bakteri anaerob
patogen
Metronidazole 800 mg 3
kali sehari
Flora normal traktus
respiratori dan
Pseudomonas
aeroginosa
Antibiotik general secara
intermiten
Pasien di rumah
dengan bronchiectasis
Amoxycillin selama 10
hari
Kebanyakan kuman patogen di dalam sputum pasien dengan bronkiektasis
adalah Haemophilus influenza, Staphylococcus aureus dan Streptococcus
pneumonia. Organisme anaerobik juga perlu diperhatikan. Semua pasien dengan
bronkiektasis sebaiknya rutin melakukan pemeriksaan kultur sputum baik bakteri
aerob maupun anaerob. Jika bakteri patogen ditemukan dalam kultur sputum
maka antibiotik yang sesuai harus diberikan (Karadac et al, 2004)
Pasien dengan volume sputum yang besar dimana terapi sederhana di
rumah gagal, maka perlu dibawa ke rumah sakit untuk mendapatkan pengobatan
intensif. Mereka akan mendapatkan terpai yang intensif berupa fisioterapi dan
antibiotic lain selama 4 hinga 6 kali perhari. Antibiotik yang diberikan adalah
Benzylpenicillin 600 mg 4 kali per hari dan Streptomycin 0-5 gram dua kali per
hari secara intra muscular untuk 10 hingga 14 hari, atau kloramfenikol 500 mg 4
kali per hari selama 10 hari (Hay, 2003)
Beberapa pasien yang terinfeksi Pseudomonas aeroginosa akan sangat
membantu bila diberi Gentamicin 2 mg/kgBB 3 kali sehari dalam waktu sepuluh
hari dan Carbenicillin 5 gram 4 kali sehari. Sputum akan banyak berkurang dan
keadaan umum pasien akan meningkat, namun demikian organism di dalam
sputum tidak semuanya tereliminasi (Bradley dan Nelson, 2004).
Beberapa pasien dengan keadaan yang berat akan lebih menunjukkan
perkembangan yang lebih baik dengan penggunaan kemoterapi jangka panjang.
Tetracycline di sisi lain, yaitu 250 mg atau 500 mg 4 kali per hari untuk dua hari
dapat juga diberikan. Pengobatan ini boleh diteruskan bila keadaan pasien benar-
benar membaik. Pasien dengan penyakit alergi bronkopulmonari aspergilosis
perlu diberikan steroid untuk mencegah kerusakan dinding bronchial di masa
yang akan datang. Dan pada pasien dengan hipogamaglobulinemia bisa diberikan
gamaglobulin (Hay, 2003)
Semua pasien bronkiektasi harus disarankan untuk tidak merokok. Sepsis
pada paranasal sinus dan gigi harus segera dieliminasi. Semua pasien juga harus
diperiksa volume FEV1 (forced expiratory volume in one second) dan FVC
(forced vital capacity) sebelum dan sesudah mendapat Salbutamol untuk melihat
apakah mereka memiliki obstruksi jalan nafas yang reversible (Hay, 2003)
Jika mereka menunjukkan peningkatan maka mereka harus mendapatkan
terapi inhalasi salbutamol sebelum melakukan darinase postural. Mereka juga
harus mendapatkan imunisasi Influenza pada musim gugur, dan mereka harus
memiliki standar umum nutrisi dan perawatan di rumah yang adekuat.
H. Komplikasi
Komplikasi dari bronkiektasis meliputi gejala eksaserbasi akut dan
pneumonia. Sinusitis kadang sering menyertai dan hal itu harus segera diobati.
Hemoptisis juga biasanya terjadi dan dapat mengancam. Biasanya keadaan
tersebut sangatlah berat dan biasanya dapat hilang hanya dengan pemberian
antibiotik bagi penyakit infeksi yang mendasari, jika tidak dapat diatasi maka
perlu dilakukan pembedahan (Karadac et al, 2004)
Komplikasi yang jarang terjadi adalah empiema, abses otak, dan
amiloidosis. Banyak pasien yang mengalami cor-pulmonale setelah beberapa
tahun menderita sepsis dan hipoksemia arterial.
I. Pencegahan
Semua episode dari infeksi pulmo dan kolapnya pulmo harus segera
diobati secara adekuat, terutama pada anak-anak. Anak-anak harus diberi
imunisasi seperti pertusis. Seseorang yang dicurigai menghisap benda asing harus
dilakukan bronkoskopi. Pasien dengan penyakit alergi bronkopulmonari
aspergilosis harus dikoreksi secara rutin dan diobati secepatnya (Hodson, 1978;
Hay, 2003)
DAFTAR PUSTAKA
Karadag, B., Karakoc aF., Ersu aR., Kut aA., Bakac bS., & Dagli, aE. 2004. Non-
Cystic-Fibrosis Bronchiektasis in Children : A Persisting Problem in Developing
Countries. Respiration Edisi 72, dipublikasikan 22 April 2004. Istanbul : Divisi of
Pediatric, Mamara University and Division of Pediatric Pulmonology; 233-8.
Hodson, M.E. 1978. Bronchiectasis and Cystic Fibrosis. Disease of the Respiratory
System. London : British Medical Journal 1; 971-8.
Hay, W.W., Myron J., Lewis J.M. & Sondheimer R.R.D. 2003. Bronchiectasis.
Curent Diagnosis & Treatment in Pedriatics 8th Edition. New York : Lange; 509-
10.
Bradley, J.S & Nelson, J.D. 2005. Nelson’s Packet Book of Pedriatic Antimikrobial
Therapy. New York : Lippincot Williams & Wilkins.
Dorland, W. A. N. 2007. Kamus Kedokteran Dorland. Edisi 29. Terjemahan H.
Hartanto, et.al.Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Guyton, A. C., J. E. Hall. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi
11.Terjemahan Irawati, et.al. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Maitra, A., V. Kumar. 2007. Paru dan Saluran Napas Atas. Dalam: Kumar, V., R. S.
Cortran, dan S. L. Robbins. Buku Ajar Patologi. Edisi 7. Volume 2. Terjemahan
B. U. Pendit. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. pp: 509-70.
McFadden, E. R. 2007. Penyakit Asma. Dalam: Isselbacher, K. J., E. Braunwald, J.
D. Wilson, J. B. Martin, A. S. Fauci, D. L. Kasper. 2007. Harrison, Prinsip-
Prinsip Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 13. Volume 3. Terjemahan Asdie, A. H., et.
al. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. pp: 1311-8.
Tortora, G. J., N. P. Anagnostaskos. 2007. Principles of Anatomy and Physiology.
Edisi 11.New York: Harper&Row, Publishers.