Upload
alphyn-wayan
View
239
Download
7
Embed Size (px)
DESCRIPTION
fsgfdgnmyen5hdd
Citation preview
Hepatitis C
Kurniawati Hesli Pratiwi
Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Jalan Terusan Arjuna No.6, Jakarta 11510
Pendahuluan
Defenisi hepatitis secara umum adalah proses inflamasi pada hati. Hepatitis dapat disebabkan
oleh virus hepatitis. Pada saat ini, setidaknya sudah bisa diidentifikasi beberapa jenis virus
hepatitis. Sesuai dengan urutan saat diidentifikasi, virus-virus tersebut diberi sebutan dengan
virus hepatitis A, B, C, D, E. Semua virus hepatitis diidentifikasikan dengan menggunakan
pemeriksaan serologi. Sejak berhasil ditemukan virus hepatitis C dengan teknik kloning
molekuler di tahun 1989, sejumlah perkembangan yang bermakna telah terjadi dalam
pemahaman mengenai perjalanan ilmiah, diagnosis dan terapi infeksi virus hepatitis C. Dahulu
kita hanya dikenal infeksi ini sebagai virus hepatitis non-A, non-B, namun saat ini telah
diketahui bahwa infeksi yang hanya memiliki tanda-tanda subklinis ringan ini ternyata memiliki
tingkat kronisitas dan progresifitas ke arah sirosis yang tinggi.1
Pembahasan
A. Hepatitis virus
1. Hepatitis A virus (HAV)
- Etiologi
Virus hepatitis A merupakan partikel dengan ukuran 27 nanometer tergolong virus
hepatitis terkecil, termasuk golongan pikornavirus. Dengan mikroskop elektron
terlihat virus yang tidak memiliki mantel, hanya memiliki suatu nukleokapsid yang
merupakan ciri khas dari antigen virus hepatitis A. Seuntai molekul RNA terdapat
dalam kapsid dan di salah satu ujungnya terdapat viral protein genomik (VPg) yang
berfungsi menyerang ribosom sitoplasma sel hati. Virus hepatitis A bisa dibiak dalam
kultur jaringan. Replikasi virus ini terjadi di sel epitel usus dan epitel hati. virus
hepatitis A sangat stabil dan tidak rusak dengan perebusan singkat. Stabil pada suhu
udara dan pH yang rendah. Tahan terhadap pH asam dan asam empedu
memungkinkan VHA melalui lambung dan dikeluarkan dari tubuh melalui saluran
empedu.1,2
- Masa inkubasi dan transmisi
Masa inkubasi hepatitis A akut bervariasi antara 14 hari sampai 49 hari, dengan rata-
rata 30 hari. Penularan yang paling dominan adalah fecal-oral yaitu melalui makanan
dan minuman yang tercemar oleh virus hepatitis A, sering ditemukan kerang sebagai
pembawa virus. Untuk kelompok homoseksual, cara penularannya adalah fecal-anal-
oral. Anak dan dewasa muda paling rentan terhadap infeksi hepatitis A, makin
bertambah usia makin tinggi kemungkinan sudah memiliki antibodi secara alamiah
terjadi baik secara terinfeksi dengan bergejala maupun asimptomatik.1,3
- Gejala klinis
Hepatitis A merupakan penyakit yang terutama menyerang anak dan dewasa muda.
Pada fase akut, hepatitis A umumnya 90 % asimptomatik atau bentuk yang ringan
dan hanya sekitar 1 % yang timbul ikterus. Pada anak manifestasinya sering kali
asimptomatik dan anikterik. Gejala dan perjalanan klinis hepatitis virus akut secara
umum dapat dibedakan dalam 4 stadium :1,3
Masa tunas
Lamanya viremia pada hepatitis A 2-4 minggu.
Fase pra-ikterik
Keluhan umunya tidak spesifik, dapat berlangsung 2-7 hari, gambaran sangat
bervariasi secara individual seperti pada tabel 1. Dengan keluhan yang beraneka
ragam ini sering menimbulkan kekeliruan.
Fase ikterik
Fase ini pada awalnya disadari oleh penderita, biasanya setelah demam turun
penderita menyadari bahwa urinnya berwarna kuning pekat seperti air teh
ataupun tanpa sadari, orang lain yang melihat sklera mata dan kulitnya berwarna
kekuning-kuningan. Pada fase ini kuningnya akan meningkat, menetap, kemudian
menurun secara perlahan-lahan, hal ini bisa berlangsung sekitar 10-14 hari. Pada
stadium ini gejala klinis sudah mulai berkurang dan pasien merasa lebih baik.
Pada usia lebih tua dapat terjadi gejala kolestasis dengan kuning yang nyata dan
berlangsung lama.
Fase penyembuhan
Fase penyembuhan dimulai dengan menghilangkan sisa gejala yang disebutkan diatas,
ikterus mulai menghilang, penderita merasa segar kembali meskipun mungkin masih
cepat capek. Umumnya masa penyembuhan sempurna secara klinis dan biokimia
memerlukan waktu sekitar 6 bulan.
Gejala %
Kuning 40-80
Urin berwarna gelap 68-94
Lelah/lemas 52-91
Hilang nafsu makan 42-90
Nyeri dan rasa tidak enak diperut 37-68
Tinja berwarna pucat 52-58
Mual dan muntah 32-73
Demam kadang menggigil 28-73
Sakit kepala 26-73
Nyeri pada sendi (arthralgia) 11-40
Pegal pada otot (myalgia) 15-52
Diare 16-25
Rasa tidak enak di tenggorokan 0-20
Tabel 1. Gejala hepatitis A
- Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala klinis, pemeriksaan laboratorium, anamnesa
dan pemeriksaan fisik.1
Pada anamnesa pasien akan didapatkan gejala prodromal dan riwayat kontak
pasien.
Pada pemeriksaan fisik akan didapatkan warna kuning yang terlihat pada sklera,
kulit, selaput lendir langit-langit mulut, pada kasus yang berat (fulminant)
didapatkan mulut yang berbau spesifik (foetor hepaticum). Pada perabaan hati
didapatkan perbesaran 2-3 jari dibawah arcus costae dengan konsistensi lunak,
tepi tajam, dan sedikit nyeri tekan. Perkusi pada abdomen kuadran kanan atas,
menimbulkan rasa nyeri dan limpa kadang-kadang membesar teraba lunak.
Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan tes fungsi hati, yaitu terdapat
peninggian bilirubin, SGOT, SGPT dan kadang-kadang dapat disertai dengan
peninggian GGT, fosfatase alkali, dan tes serologi anti-HAV, yaitu IgM anti-
HAV yang positif.
- Patogenesis
Antigen hepatitis A dapat ditemukan dalam sitoplasma sel hati segera sebelum
hepatitis akut timbul. Kemudian jumlah virus akan menurun setelah timbul
manifestasi klinis, baru kemudian akan muncul IgM anti-HAV spesifik. Kerusakan
sel-sel hati terutama terjadi karena viremia yang terjadi dalam waktu yang singkat dan
terjadi pada masa inkubasi. Sedangkan antigen virus hepatitis A dapat ditemukan
dalam tinja satu minggu setelah ikterus timbul. Kerusakan sel hati disebabkan oleh
aktivasi sel T limfosit sitolitik terhadap targetnya, yaitu antigen virus hepatitis A. pada
keadaan ini ditemukan HLA-restricted virus spesific cytotoxic CD8+T Cell di dalam
hati pada hepatitis virus A akut.
Gambaran histologis dari sel parenkim hati yaitu terdapatnya nekrosis sel hati
berkelompok, dimulai dari senter lobulus diikuti dengan infiltrasi sel limfosit,
makrofag, sel plasma, eosinofil dan neutrofil. Ikterus terjadi sebagai akibat hambatan
aliran empedu karena kerusakan sel parenkim hati, terdapat peningkatan bilirubin
direk dan indirek dalam serum. Ada tiga kelompok kerusakan yaitu di daerah portal,
dalam lobulus dan dalam sel hati sendiri. Daerah lobulus yang mengalami nekrosis
terutama yang terletak di bagian sentral. Kadang-kadang hambatan aliran empedu ini
mengakibatkan tinja berwarna pucat seperti dempul (faeces acholis) dan juga terjadi
peningkatan enzim fosfatase alkali, 5 nukleotidase dan gama glutamil transferase
(GGT). Kerusakan sel hati akan menyebabkan pelepasan enzim transaminase ke
dalam darah. Peningkatan SGPT memberi petunjuk adanya kerusakan sel parenkim
hati lebih spesifik dari peningkatan SGOT, karena SGOT juga akan meningkat bila
terjadi kerusakan pada miokardium dan sel otot rangka. Juga akan terjadi peningkatan
enzim laktat dehidrogenase (LDH) pada kerusakan hati. kadang-kadang hambatan
aliran empedu (cholestasis) yang lama menetap setelah gejala klinis sembuh.1,3,4
- Laboratorium
Untuk menunjang diagnosis perlu dibantu dengan pemeriksaan laboratorium yaitu
dengan timbulnya gejala, maka anti-HAV akan menjadi positif. IgM anti-HAV adalah
subkelas antibodi terhadap HAV. Respons inisial terhadap infeksi HAV hampir
seluruhnya adalah IgM. Antibodi ini akan hilang dalam waktu 3-6 bulan. IgM anti-
HAV adalah spesifik untuk diagnosis dan konfirmasi infeksi hepatitis A akut. Infeksi
yang sudah lalu atau adanya imunitas ditandai dengan adanya anti-HAV total yang
terdiri atas IgG anti-HAV dan IgM anti-HAV. Antibodi IgG akan naik dengan cepat
setelah virus dieradikasi lalu akan turun perlahan-lahan setelah beberapa bulan.
Petanda anti-HAV berguna bagi penelitian epidemiologi dan status imunitas.1,4
- Prognosis
Prognosis penyakit ini baik dan sembuh sempurna.1
2. Hepatitis B virus (HBV)
- Gejala
Gejala hepatitis amat bervariasi dari tanpa gejala sampai gejala yang berat seprti
muntah darah dan koma. Pada hepatitis akut gejala amat ringan dan apabila ada
gejala, maka gejalanya akan seperti influenza. Gejala itu berupa demam ringan, mual,
lemas, hilang nafsu makan, mata jadi kuning, kencing berwarna gelap, diare dan nyeri
otot. Pada sebagian kecilgejala dapat menjadi berat dan terjadi fulminan hepatitis
yang mengakibatkan kematian. Infeksi hepatitis B yang didapatkan pada masa
perinatal dan balita biasanya asimptomatik dan dapat menjadi kronik pada 90% kasus.
Sekitar 30% infeksi hepatitis B yang terjadi pada orang dewasa akan menimbulkan
ikterus dan pada 0,1-0,5% dapat berkembang menjadi fulminan. Pada orang dewasa
95% kasus akan sembuh dengan sempurna yang ditandai dengan menghilangnya
HBsAg dan timbul anti HBs.1
- Diagnosis
Diagnosis hepatitis B ditegakkan dengan pemeriksaan biokimia dan serologik, dan
apabila diperlukan dengan pemeriksaan histopatologik. Pada hepatitis B akut akan
ditemukan peningkatan ALT yang lebih besar dibandingkan dengan peningkatan AST
dengan kadar ALT nya 20-50 kali normal. Ditemukan pula IgM abti HBc didalam
darah selain HBsAg, HBeAg dan HBV DNA.
Pada hepatitis kronik peninggian ALT adalah sekitar 10-20 Batas Atas Nilai Normal
(BANN) dengan ratio de Ritis (ALT/AST) sekitar 1 atau lebih. Disamping itu IgM
anti-HBc juga negatif.
Diagnosis hepatitis B kronik dapat dipastikan dengan pemeriksaan patologi anatomik,
disamping mungkin pula dengan pemeriksaan fibrotest. Pencitraan dengan USG atau
CT scan dapat membantu bila proses sudah berlanjut.1
- Patogenesis
Infeksi VHB terjadi bila partikel utuh VHB berhasil masuk ke dalam hepatosit,
kemudian kode genetik VHB akan masuk ke dalam inti sel hati dan kode genetik itu
akan “memerintahkan” sel hati untuk membuat protein-protein yang merupakan
komponen VHB. Jadi, sebenarnya virus yang ada di dalam tubuh penderita itu dibuat
sendiri oleh hepatosit penderita yang bersangkutan dengan genom VHB yang pertama
masuk sebagai cetak biru.4
- Siklus replikasi
Untuk mudahnya siklus replikasi VHB dibagi menjadi beberapa tahap sebagai berikut :1
penempelan (attachment) VHB pada sel hepatosit. Penempelan tersebut dapat terjadi
dengan perantara protein pre-S1, protein pre-S2, dan poly HAS (Polymerized Human
Serum Albumin) serta dengan perantaraan SHBs.
VHB masuk (penetrasi) ke dalam hepatosit dengan mekanisme endositosis.
Pelepasan partikel core yang terdiri dari HBcAg, enzim polimerase dan DNA VHB
ke dalam sitoplasma. Partikel core tersebut selanjutnya ditransportasikan menuju
nukleus hepatosit.
Karena ukuran lubang pada dinding nukleus lebih kecil dari partikel core, sebelum
masuk nukleus akan terjadi genome uncoating ( lepasnya HBcAg), dan selanjutnya
genom VHB yang masih berbentuk partially double stranded masuk ke dalam
nukleus (penetrasi genom ke dalam nukleus)
Selanjutnya partially double stranded DNA tersebut akan mengalami proses DNA
repair menjadi double stranded covalently close circle DNA (ccc DNA)
Transkripsi cccDNA menjadi pregenom RNA dan beberapa messenger RNA
(mRNA LHBs, mRNA MHBs dan mRNA SHBs )
Pregenom RNA dan messenger RNA akan keluar dari nukleus melalui nukleus
pore. Translasi pregenom RNA dan messenger RNA akan menghasilkan protein
core (HBcAg), HBeAg dan enzim polimerase, sedangkan translasi mRNA LHBs,
mRNA MHBs dan mRNA SHBs akan menghasilkan komponen protein HBsAg,
yaitu large protein (LHBs), middle protein (MHBs) dan small protein (SHBs).
Enkapsidasi pregenom RNA, HBcAg dan enzim polimerase menjadi partikel core.
Proses ini disebut juga proses assembly dan terjadi di dalam sitoplasma.
Proses maturasi genom di dalam partikel core dengan bantuan enzim polymerase
berupa proses transkripsi balik pregenom RNA. Proses ini dimulai dengan proses
priming sintesis untai DNA (-) yang terjadi bersamaan dengan degradasi pregenom
RNA, dan akhirnya sintesa untai DNA (+)
Karena masa paruh hidup cccDNA di dalam nukleus hanya 2-3 hari, untuk
mempertahankan persistensi perlu suplai genom terus menerus. Suplai DNA
tersebut bisa berasal dari infeksi baru hepatosit oleh VHB atau proses re-entry
partikel core yang dihasilkan di dalam sitoplasma
Selanjutnya terjadi proses coating partikel core yang telah mengalami proses
maturasi genom oleh protein HBsAg. Proses coating tersebut terjadi di dalam
retikulum endoplasmik. Di samping itu di dalam retikulum endoplasmik juga
terjadi sintesa partikel VHB lainny partikel tubuler dan partikel sferik yang hanya
mengandung LHBs, MHBs, SHBs (tidak mengandung partikel core
Selanjutnya melalui apparatus Golgi disekresi partikel-partikel VHB yaitu partikel
Dane, partikel tubuler, dan partikel sferik. Hepatosit juga akan mensekresikan
HBeAg langsung ke dalam sirkulasi darah karena HBeAg bukan merupakan
bagian struktural partikel VHB
Gambar 1. Siklus replikasi virus hepatitis B
- Petanda serologi
Berikut ini adalah berbagai macam petanda serologik serta maknanya :
HBsAg ( Hepatitis B Surface Antigen)
Suatu protein yang merupakan selubung luar partikel VHB. HBsAg yang positif
menunjukkan bahwa pada saat itu yang bersangkutan mengidap infeksi VHB
Anti- HBs
Antibodi terhadap HBsAg. Antibodi ini baru muncul setelah HbsAg hilang. Anti-HBs
yang positif menunjukkan bahwa individu yang bersangkutan telah kebal terhadap infeksi
VHB baik yang terjadi setelah suatu infeksi VHB alami atau setelah dilakukan imunisasi
Hepatitis B
HbcAg
Antigen inti Hepatitis B. Tidak ada tes yang dapat dipakai secara rutin.
Anti-HBc
Antibodi terhadap protein core. Antibodi ini muncul pada semua kasus dengan infeksi
VHB pada saat ini(current infection) atau infeksi pada masa yang lalu (past infection).
Anti-HBc dapat muncul dalam bentuk IgM anti-HBc yang sering muncul pada Hepatitis B
akut.
HBeAg
Suatu protein nonstruktural dari VHB (bukan merupakan bagian dari VHB) yang
disekresikan ke dalam darah dan merupakan produk gen precore dan gen core. Didapatkan
pada fase awal Hepatitis Akut dan Kronik. Positifnya HBeAg merupakan petunjuk adanya
aktivitas replikasi VHB yang tinggi dari seorang individu HBsAg positif.
Anti-Hbe
Antibodi yang timbul terhadap HBeAg pada infeksi VHB tipe liar. Positifnya anti-HBe
menunjukkan bahwa VHB ada dalam fase nonreplikasi. Berbeda dengan anti-HBc atau
anti-HBs yang bertahan lama, anti-HBe biasanya hilang setelah beberapa bulan atau tahun.
DNA VHB
Positifnya DNA VHB dalam serum menunjukkan adanya partikel VHB yang utuh
(partikel Dane) dalam tubuh penderita. DNA VHB adalah petanda jumlah virus (viral
load) yang paling peka. Belakangan ini pengukuran DNA VHB secara kuantitatif
memegang peran yang sangat penting untuk menentukan tingkat replikasi VHB,
menentukan indikasi terapi antiviral dan menilai hasil terapi.
- Prognosis
Prognosis tergantung pada lamanya infeksi, luasnya kerusakan hati/kegagalan
hepatoseluler, dan timbulnya komplikasi lain. Tetapi umum nya Hepatitis B memiliki
prognosis yang lebih baik daripada hepatitis B, karena cronic carrier VHC > VHB.1,2
3. Hepatitis C virus (HCV)
- Epidemiologi
Infeksi virus hepatitis C (HCV) adalah suatu masalah kesehatan global. Diperkirakan
sekitar 170 juta orang di dunia telah terinfeksi secara kronik oleh HCV. Di indonesia
prevalensi infeksi virus hepatitis C ditemukan sangat bervariasi, mengingat geografis
yang sangat luas.1
- Virus hepatitis C
Genom virus hepatitis C
HCV adalah virus hepatitis yang mengandung RNA rantai tunggal yang dapat
diproses secara langsung untuk memproduksi protein-protein virus dikarenakan
HCV merupakan virus dengan RNA rantai positif.
Siklus hidup virus hepatitis C
Jika masuk ke dalam darah maka HCV akan segera mencari hepatosit (sel hati)
dan kemungkinan sel limfosit B. Hanya dalam sel hati HCV bisa berkembang
biak. Kehidupan HCV digambarkan secara alur skematis.
a. HCV masuk kedalam hepatosit dengan mengikat suatu reseptor permukaan
sel yang spesifik. Reseptor ini belum teridentifikasi secara jelas, namun
protein permukaan sel CD81 adalah suatu HCV binding protein yang
memainkan peranan dalam masuknya virus. Salah satu protein khusus virus
yang dikenal sebagai protein E2 menempel pada reseptor site di bagian luar
hepatosit.
b. Kemudian protein inti dari virus menembus dinding sel dengan suatu proses
kimiawi, dimana selaput lemak bergabung dengan dinding sel dan
selanjutnya dinding sel akan melingkupi dan menelan virus serta
memebawanya kedalam hepatosit. Di dalam hepatosit, selaput virus
(nukleokapsid) melarut dalam sitoplasma dan keluarlah RNA virus yang
selanjutnya mengambil alih peran dari ribosom hepatosit dalam membuat
bahan-bahan untuk proses reproduksi.
c. Virus dapat membuat sel hati memperlakukan RNA virus seperti miliknya
sendiri. Selama proses ini virus menutup fungsi normal hepatosit atau
membuat lebih banyak lagi hepatosit yang terinfeksi. Virus lalu membajak
mekanisme sintesis protein hepatosit dalam memproduksi protein yang
dibutuhkan untuk berfungsi dan berkembang biak.
d. RNA virus dipergunakan sebagai cetakan (template) untuk produksi masal
poliprotein dengan proses translasi.
e. Poliprotein dipecah dalam unit-unit protein yang lebih kecil. Protein ini ada
dua jenis yaitu protein struktural dan regulatori. Protein regulatori memulai
sintesis kopi virus RNA asli.
f. Sekarang RNA virus mengkopi dirinya sendiri dalam jumlah besar untuk
menghasilkan bahan dalam membentuk virus baru. Hasil kopi ini adalah
bayangan cermin RNA orisinil dan dinamai RNA negatif. RNA negatif
bertindak sebagai cetakan untuk memproduksi serta RNA positif yang sangat
banyak yang merupakan kopi dari identik materi genetik virus.
g. Proses ini berlangsung terus dan memberikan kesempatan untuk terjadinya
mutasi genetik yang menghasilkan RNA untuk strain baru virus dan subtipe
virus hepatitis C. Setiap kopi virus baru akan berinteraksi dengan protein
struktural, yang kemudian akan membentuk nukleokapsid dan kemudian inti
virus baru. Amplop protein kemudian akan melapisi inti virus baru.
h. Virus dewasa kemudian dikeluarkan dari dalam hepatosit menuju ke
pembuluh darah menembus membran sel. Diperkirakan bajwa seorang
penderita dapat menghasilkan hingga 10 triliun virion perhari.
Gambar 2. Siklus replikasi virus hepatitis C
- Faktor resiko
Faktor-faktor yang terkait erat (kuat) dengan terjadinya infeksi virus HCV adalah
penggunaan narkoba suntik dan menerima transfusi darah sebelum tahun 1990.
Tingkat ekonomi yang rendah, prilaku seksual resiko tinggi, tingkat eduksi yang
rendah (kurang dari 12 tahun), bercerai atau hidup terpisah dengan pasangan resmi
diduga juga merupakan faktor resiko. Transmisi dari ibu ke anak bisa saja terjadi
tetapi lebih sering terkait dengan adanya ko-infeksi bersama HIV-1 yang alasannya
belum jelas. Transmisi nosokomial berupa penularan dari pasien ke pasien telah
dilaporkan terjadi pada pasien yang menjalani kolonoskopi, hemodialisis dan selama
pembedahan. Faktor-faktor resiko untuk hepatitis C kronik dapat dilihat pada tabel 3.
Dengan diperkenalkannya metode skrinning darah yang didasarkan pada deteksi
antibodi anti-HCV pada tahun 1990 dan tahun 1992, maka penularan HCV lewat
transfusi telah berkurang secara dramatis.
Meski prevalensi infeksi HCV diantara para pekerja kesehatan tidaklah tinggi
dibandingkan keseluruhan populasi, luka akibat tertusuk jarum dirumah sakit tetap
menghasilkan transmisi nosokomial virus. Tingkat transmisi setelah luka tertusuk jarum yang
telah diketahui mengandung darah yang terinfeksi HCV berkisar antara 0-10 % dalam
berbagai studi.
Faktor resiko Keterangan
IDU (intravenous drug use) Jalur penularan paling lazim di negara berkembang.
Penggunaan narkoba suntik bisa saja telah berhenti bertahun-
tahun sebelum terdiagnosis.
Penggunaan narkoba lain (mis.
Kokain hirup)
Jarang ditemukan sebagai jalur penularan
Transfusi darah dan produk
darah
Sering ditemukan pada mereka yang menerima transfusi
sebelum tahun 1990, tapi sudah jarang saat ini di negara
berkembang.
Narapidana Infeksi biasa ditemukan pada mereka yang dipenjara,
kemungkinan akibat penyalahgunaan obat yang menyebabkan
seseorang dipenjara atau penggunaan narkoba suntik dipenjara.
Terapi di RS Cara penularan yang sudah jarang ditemukan di negara
berkembang. Namun masih umum terjadi di negara kurang
berkembang. Prosedur medis tertentu (mis. Hemodialisis)
masih memiliki risiko penularan yang tinggi dan pengawasan
yang ketat diperlukan untuk mencegah terjadi penularannya.
Infeksi pada ibu hamil Risiko penularan ke anak < 5 %, kecuali bila ada ko-infeksi
dengan HIV.
Infeksi pada anggota keluarga Risiko penularan sangat rendah. Namun anggota keluarga
tidak boleh berbagi peralatan yang bisa terpapar darah seperti
alat cukur dan sikat gigi.
Tindik badan Risiko penularan sangat kecil.
Hubungan seksual Risiko penularan sangat kecil.
Tabel 2. Faktor-faktor resiko untuk infeksi HCV
- Perjalanan ilmiah
Masa inkubasi hepatitis C umunya sekitar 6-8 minggu (berkisar antara 2-26 minggu)
pada beberapa pasien yang menunjukkan gejala malaise dan jaundice dialami oleh
sekitar 20-40 % pasien. Peningkatan kadar enzim hati (SGPT > 5-15 kali rentang
normal) terjadi pada hampir semua pasien. Selama masa inkubasi ini, HCV RNA
pasien bisa positif dan meningkat hingga munculnya jaundice. Selain itu, bisa juga
muncul gejala-gejala fatigue, tidak napsu makan, mual dan nyeri abdomen kuadran
kanan atas.
Manifestasi klinis bisa saja muncul dalam waktu 7-8 minggu (dengan kisaran 2-26
minggu) setelah terpapar dengan HCV, namun sebagian besar penderita umunya tidak
menunjukkan gejala atau kalaupun ada hanya menunjukkan gejala yang ringan. Pada
kasus-kasus infeksi akut HCV yang ditemukan gejala-gejala yang dialami biasanya
jaundice, malaise, dan nausea. Infeksi berkembang menjadi kronik pada sebagian
besar penderita dan biasanya tidak menunjukkan gejala. Hal ini menyebabkan sangat
sulitnya menilai perjalanan ilmiah infeksi HCV.
terjadi pada pasien dengan sirosis yang berkembang pada 15-20 % pasien yang
terinfeksi.
- Prognosis
Prognosis tergantung pada lamanya infeksi, luasnya kerusakan hati/kegagalan
hepatoseluler, dan timbulnya komplikasi lain. Tetapi umum nya Hepatitis C memiliki
prognosis yang buruk daripada hepatitis B, karena cronic carrier VHC > VHB.
4. Hepatitis D virus (HVD)
- Epidemiologi dan transmisi
Hepatitis delta terdapat diseluruh dunia. Prevalensinya berbeda-beda pada tipa daerah.
Pada saat ini HVD jauh berkurang daripada HVB atau HVC. Diseluruh dunia
diperkirakan kira-kira 5 % dari seluruh pasien pembawa HbsAg dalam darahnya
mengandung HVDAg. Daerah yang mempunyai prevalensi tinggi antara lain,
mediterania, timur tengah, asia tengah, afrika barat, lembah amazon, dan pulau-pulau
pasifik selatan. Sebaliknya asia timur, taiwan, cina dan india dilaporkan prevalensinya
lebih rendah. Faktor-faktor yang mempengaruhi penurunan prevalensi HVD adalah
penurunan HVB pada populasi umum diseluruh dunia, penggunaan jarum suntik
sekali pakai yang semakin luas dan perbaikan faktor sosioekonomi. Transmisi virus
ini mirip dengan VHB yakni melalui kontak erat antar manusia atau permukosal,
perkutan parenteral dan perinatal walaupun jarang. Pada saat ini terjadi superinfeksi,
titer VHD serum akan mencapai, puncak 2-5 minggu setelah inokulasi yang akan
menurun setelah 1-2 minggu kemudian.
- Patogenesis
Mekanisme kerusajan sel-sel hati akibat VHD belum jelas benar. Masih diragukan,
bahwa VHD mempunyai kemampuan sitopatik langsung terhadap hepatosit. Replikasi
genom VHD justru dapat menghalangi pertumbuhan sel, karena proses replikasi VHD
memerlukan enzim yang diambil dari sel inang. Replikasi juga dipengaruhi antara
HDAg-S dan HDAg-L yang akan mengatur kecepatan replikasi dan pembentukan
virion baru. Diduga kerusakan hepatosit pada hepatitis D akut terjadi akibat jumlah
HDAg-S yang berlebihan didalam hepatosit. Sedangkan kerusakan hepatosit pada
hepatitis D kronik lebih disebabkan oleh reaksi imunologik baik humoral maupun
selular terhadap VHD. VHB juga berperan amat penting sebagai kofaktor yang dapat
menimbulkan kerusakan hepatosit lebih lanjut.
- Gambaran klinis
Infeksi VHD hanya terjadi bila bersama-sama dengan infeksi VHB. Gambaran klinis
secara umum dapat dibagi menjadi koinfeksi, superinfeksi, dan laten.
Disebut koinfeksi bila infeksi VHD terjadi bersama-sama secara simultan dengan
VHB, sedangkan superinfeksi bila infeksi VHD terjadi pada pasien infeksi kronik
VHB. Koinfeksi akan menimbulkan baik hepatitis aku B maupun hepatitis akut D.
Sebagian besar koinfeksi VHB dan VHD akan sembuh spontan. Kemungkinan
menjadi hepatitis D kronik kurang dari 5 %. Masa inkubasi hepatitis akut D sekitar 3-
7 minggu. Keluhan pada masa preikterik biasanya menjadi lemah, tak suka makan,
mual, keluhan-keluhan seperti flu. Pada saat itu ALT dan AST meningkat. Fase
ikterus ditandai dengan fese pucat, urine berwarna gelap dan bilirubin serum
meningkat. Keluhan kelemahan umum dan mual dapat bertahan lama bahkan pada
fase penyembuhan pada pasien-pasien yang sembuh spontan. Keluhan-keluhan lain
menghilang pada fase penyembuhan. Superinfeksi VHD pada hepatitis B kronik
biasanya akan menimbulkan hepatitis akut berat, dengan masa inkubasi pendek, dan
kira-kira 80 % pasien akan berlanjut menjadi hepatitis D kronik. Hepatitis D kronik
akibat superinfeksi biasanya berat, progresif dan biasanya berlanjut menjadi sirosis
hati. selama fase akut VHD, sintesis HBsAg dan DNA VHB akan terhambat sampai
infeksi VHD mereda.
Bentuk yang ketiga yakni infeksi laten, bila dijumpai ekspresi infeksi VHD di sel-sel
hati tanpa infeksi VHB dan tidak dijumpai kerusakan parenkim hati atau dijumpai
kerusakan yang sangat ringat. Infeksi laten biasanya ditemukan pada saat transplantasi
hati. Infeksi laten sering dianggap infeksi VHD yang bersifat otonom, tetapi
sebenarnya tidak tepat benar. Dengan pemeriksaan PCR yang sangat sensitif dapat
ditunjukkan bahwa terdapat infeksi VHD dengan sintesis HVDAg yang titernya
rendah dan infeksi VHB yang memproduksi HBsAg dengan titer yang juga rendah.
Survai epidemiologi di daerah endemik HVD tinggi kadang-kadang dapat
menemukan pasien yang mempunyai anti HVD positif tetapi HBsAg negatif,
transaminase normal dan petanda pernah terinfeksi VHB yang lain positif.
Keadaan seperti itu merupakan tanda infeksi VHD yang sudah mengalami resolusi
sehingga HBsAg sudah negatif sedangkan dalam serumnya masih mengandung
antigen VHD residual. Konsep yang menyebutkan bahwa transisi dari HVD akut
menjadi kronik sangat tergantung pada perjalanan klinik HVB memang terbukti dari
berbagai penelitian.1,3
- Diagnosis
Diagnosis HVD didasarkan pada sejumlah pemeriksaan. Hanya pasien yang
mengandung HBsAg dalam darahnya atau mempunyai riwayat pernah terinfeksi oleh
VHB dapat dicurigai menderita HVD. Anti HDV dapat diperiksa dengan metode
radioimmunoassay (RIA) atau enzyme immunoassay (EIA), sedangkan RNA HVD
dengan polimerase chain raection (PCR). Sebaliknya dipilih reverse transciption (RT-
PCR) karena metode ini sangat sensitif. Ketelitiannya sampai 10-100 kopi/ml.
Penelitian-penelitian selanjutnya membuktikan bahwa ketelitian RT-PCR mencapai hampir
100% untuk mengenali HVD, sehingga sangat berguna untuk menegakkan diagnosis maupun
keberhasilan terapi. Pada tabel dapat dilihat pemeriksaan serologik untuk HVD.
Antibodi HDAg positif berarti pernah terinfeksi
titer tinggi 1 : 1000 infeksi sedang berlangsung
Titer rendah post infeksi
Anti-HVD IgM
HDAg baik serum maupun sel hati
RNA HVD dengan metode PCR atau RT-PCR
Tabel 3. Tes diagnosis serologik untuk HVD
Pada koinfeksi HVD dan HVB akut, akan didapatkan pemeriksaan serologis sebagai
berikut :1
Pada masa inkubasi, dapat dijumpai HBsAg, HBeAg dan DNA HVB, IgM ati
HVD, RNA HVD, HDAg.
Anti HBc akan terdeteksi bila penyakit berlanjut.
Anti HVD terdeteksi pada akhir masa akut dan kemudian akan menurun titernya
setelah penyakit membaik.
Semua petanda replikasi virus baik B maupun D akan menghilang pada saat
memasuki masa penyembuhan.
Sedangkan IgG maupun IgM anti HVD dapat bertahan sampai beberapa bulan
bahkan beberapa tahun setelah sembuh.
Superinfeksi VHD HBV, memberikan tanda sebagai berikut :
Didapatkan tanda viremia HVD yakni RNA VHD dan HVDAg selama fase
preakut.
Selama fase akut didapatkan IgM anti-HVD dan IgG anti-HVD dalam titer tinggi
dan keduanya dapat bertahan seterusnya pada infeksi persisten. Kejadian seperti ini
dapat diartikan progesivitas penyakit menjadi kronik dan sirosis hati.
Bila HVDAg terdeteksi di serum, titer HBsAg akan menurun.
Viremia dapat dihubungkan dengan aktivitas penyakit.
5. Hepatitis E virus (HEV)
- Etiologi
Virus hepatitis E (HEV) adalah suatu virus positive sense RNA berukuran 29-34 nm,
bentuk sferis yang kecil tanpa selubung, hampir menyerupai hepatitis virus A (HAV)
dengan 7600 nukleotida single strained. Virus hepatitis E ini termasuk dalam famili
hepeviridae genus hepevirus. Infeksi HEV utamanya disebabkan virus hepatitis E
genotip 1 pada negara-negara berkembang, sedangkan pada negara-negara maju,
disebabkan genotip 3 atau 4. Penyebaran virus ini masih belum jelas, tetapi di duga
disebarkan oleh unggas, babi, atau binatang buas/liar dan binatang peliharaan juga
dapat mengidap virus ini. Penyebaran klinis dapat karena mengkonsumsi hati babi
yang belum matang ataupun air yang terkontaminasi oleh virus.1-3
- Epidemiologi
Hepatitis E sering menyebabkan hepatitis akut epidemik dengan negara-negara
berkembang sanitasi yang kurang optimal atau buruk. Penyakit ini paling sering
terjadi di daerah tropis dan subtropis yaitu negara-negara di Asia, Afrika, dan
Amerika tengah. Jarang ditemukan di negara beriklim sedang seperti Amerika Serikat,
tetapi dapat dipertimbangkan pada seseorang yang habis melakukan perjalanan ke
daerah endemik hepatitis E. Penyakit ini merupakan penyakit yang sembuh tanpa
pengobatan. Tidak ada manifestasi karier atau kronik, dengan angka mortalitas yang
tinggi. Case fatality rate (CFR) adalah 1-3 % dan akan meningkat apabila diderita
pada saat kehamilan khususnya pada trimester ketiga, yaitu 15-25 %, dan adanya
penyakit yang mendasari seperti penyakit hati kronis. Anak dan dewasa muda lebih
peka sehingga angka kejadian pada dewasa muda paling tinggi.1
- Patogenesis
Pada keadaan biasa, tak satupun dari virus hepatitis bersifat sitopatik langsung
terhadap hepatosit, tetapi merupakan respon imunologik dari host. Lesi morfologik
dari semua yipe hepatitis sama, terdiri dari infiltrasi sel PMN pan lobuler, terjadi
neksrosis sel hati, hiperplasia dari sel-sel kupffer dan membentuk derajat kolestasis
yang berbeda-beda. Regenerasi sel hati terjadi, dibuktikan dengan adanya gambaran
mitotik, sel-sel multinuklear dan pembentukan rosette atau pseudoasinar. Infiltrasi
mononuklear terjadi terutama oleh limfosit kecil, walaupun sel plasma dan eosinofil
juga seringkali tampak. Kerusakan sel hati terdiri dari degenerasi dan nekrosis sel
hati, sel dropout, ballooning (pembentukan sel balon) dan degenerasi asidofilik dari
hepatosit (membentuk councilman bodies).3,4
- Gejala klinis
Virus hepatitis E mempunyai masa inkubasi 15-60 hari (rata-rata 40 hari) dan virus
hepatitis E dapat dideteksi dari kotoran, empedu dan hati yang diekskresikan dalam
kotoran selama periode akhir dari masa inkubasi. Anak-anak dan dewasa muda
mengalami ikterik dan hepatitis subklinis atau yang tidak tampak. Tanpa
memperhitungkan etiologi, keadaan hepatitis virus akut dibagi dalam stadium klinis,
yaitu fase prodromal, fase ikterik dan fase konvalesens.1
Fase prodromal
Fase ini disebut juga fase preikterik yang terjadi 1-10 hari. Selama fase ini,
kebanyakan penderita mengalami sejumlah keluhan konstitusional yang non
spesifik seperti malaise, kelelahan, demam, dan gejala gangguan gastrointestinal
seperti diare, nausea, dan muntah. Sindrom ini menyerupai serum sickness,
seperti kulit kemerahan, artralgia, sakit kepala bisa terjadi selama periode ini.
Fase ikterik
Fase ikterik umunya terjadi peningkatan kadar bilirubin dan enzim transaminase.
Urin berwarna gelap (bilirubinuria) biasanya terlihat dalam beberapa hari
sebelum awitan ikterik. Gejala konstitusional dan demam akan membaik setelah
muncul ikterik. Hepatitis tanpa ikterik/anikterik paling sering terjadi pada semua
hepatitis virus. Pada pemeriksaan fisis didapatkan hepar yang teraba dengan
konsistensi agak kenyal, sedangkan lien sering tidak teraba. Fase ikterik
berlangsung sekitar 12-15 hari dan akan kembali normal setelah 1 bulan.
Fase konvalesens
Selama fase konvalesens, penurunan berat badan segera terkoreksi, tetapi
kelelahan akan terus terjadi selama beberapa bulan. Hepatitis kolestasis dengan
kadar bilirubin serum yang tinggi dapat terjadi pada sejumlah kecil pasien.
Defisiensi G6PD memiliki kaitan erat dengan ikterik berat pada hepatitis virus
akut akibat hemodialisis.
- Pemeriksaan laboratorium
Untuk menegakkan diagnosis diperlukan pemeriksaan laboratoris, yaotu meliputi
pemeriksaan serum transaminase, bilirubin, serologis dengan metode ELISA seperti
antibodi HEV, IgG dan IgM anti HEV dan PCR serum dan kotoran untuk mendeteksi
hepatitis E RNA serta “immunofluorescent antibody blocking assays” untuk
mendeteksi antibodi terhadap antigen HEV diserum dan sel hati. serum transaminase
(AST dan ALT) menunjukkan peningkatan pada fase prodromal begitu juga bilirubin.
Namun demikian, kadar akut dari enzim ini tidak terkait dengan kerusakan sel hati.
kadar puncak bervariasi, mulai dari 400 sampai 4000 IU atau lebih, kadar ini biasanya
dicapai pada waktu terjadinya ikterus secara klinis dan akan berkurang secara
progresif selama fase pemulihan akut. Sekitar 80 % akan positif untuk IgM anti-HEV
dan kadarnya masih akan terdeteksi selama 6-7 minggu. Durasi IgG anti HEV yang
terdeteksi dapat berkisar kurang dari setahun sampai lebih dari 14 tahun. IgM anti-
HEV merupakan penanda yang sensitif dan dapat diandalkan sampai saat ini.1,4
- Diagnosis
Diagnosis hepatitis E berdasarkan gejala klinis, menunjukkan gejala hepatitis akut dan
adanya riwayat sehabis mengadakan perjalanan ke daerah endemis, terutama jika tes
untuk bentuk hepatitis lainnya tidak reaktif serta pemeriksaan laboratoris terhadap
serologis dengan metode ELISA seperti anti-HEV, IgG dan IgM anti-HEV dan PCR
serum dan kotoran untuk mendeteksi HEV RNA serta immunofluorescent antibody
blocking assays untuk mendeteksi antibodi terhadap antigen HEV diserum dan sel
hati. Karena Indonesia merupakan salah satu tempat endemis, maka penting di
lakukan pemeriksaan serologis.1
6. Komplikasi
Tidak semua penderita hepatitis virus akan mengalami perjalan penyakit yang lengkap.
Sejumlah kecil pasien memperlihatkan kemunduran klinis yang cepat setelah awitan
ikterus akibat hepatitis fulminan dan nekrosis hati masif. Hepatitis fulminan ditandai
dengan gejala dan tanda gagal hati akut, penciutan hati, kadar bilirubin serum meningkat
cepat, pemanjangan waktu protrombin yang sangat nyata, dan koma hepatikum.
Prognosis adalah kematian pada 60-80% pasien ini. Kematian dapat terjadi dalam
beberapa hari pada sebagian kasus dan yang lain dapat bertahan selama beberapa minggu
bila kerusakan tidak begitu parah. HBV merupakan penyebab 50% kasus hepatitis
fulminan, dan sering disertai oleh infeksi HDV. Agen delta (HDV) dapat menyebabkan
hepatitis bila terdapat dalam tubuh dengan HBsAg. Hepatitis fulminan jarang menjadi
komplikasi HCV dan kadang disertai oleh HAV.
Komplikasi tersering hepatitis virus adalah perjalanan klinis yang lebih lama hingga
berkisar dari 2 sampai 8 bulan. Keadaan ini dikenal sebagai hepatitis kronis persisten dan
terjadi pada 5-10% pasien. Walaupun pemulihan terlambat, penderita hepatitis kronis
persisten hampir selalu sembuh.
Sekitar 5-10% pasien hepatitis virus mengalami kekambuhan setelah sembuh dari
serangan awal. Hal ini biasanya berkaitan dengan individu berada dalam resiko tinggi
(misal, penyalahgunaan zat dan penderita karier). Kekambuhan ikterus biasanya tidak
terlalu nyata dan uji fungsi hati tidak memperlihatkan kelainan dalam derajat yang sama
seperti serangan awal. Tirah baring biasanya akan segera diikuti kesembuhan.
Setelah hepatitis virus akut, sejumlah kecil pasien akan mengalami hepatitis agresif atau
kronis aktif bila terjadi kerusakan hati seperti digerogoti (piece meal) dan terjadi sirosis.
Kondisi ini dibedakan dari hepatitis kronis persisten melalui pemeriksaan biopsi hati.
Terapi kortikosteroid dapat memperlambat perluasan cedera hati, namun prognosisnya
tetap buruk. Kematian terjadi biasanya dalam 5 tahun pada lebih dari separuh pasien-
pasien ini akibat gagal hati atau komplikasi sirosis. Hepatitis kronis aktif dapat
berkembang pada hampir 50% penderita HCV sedangkan proporsi pada penderita HBV
jauh lebih kecil yang mengalami komplikasi ini setelah pengobatan berhasil dilakukan.
Sebaliknya hepatitis kronis, tidak timbul sebagai komplikasi HAV atau HEV. Tidak
semua kasus hepatitis kronis aktif terjadi setelah hepatitis virus akut. Obat-obatan dapat
turut berperan dalam patogenesis kelainan ini termasuk alfa-metildopa (aldomet),
isoniazid, sulfonamid dan aspirin.
Yang terakhir komplikasi lanjut hepatitis yang cukup bermakna adalah berkembangnya
karsinoma hepatoseluler primer. Kendati jarang di Amerika Serikat, kanker hati primer
dapat sering terjadi di negara-negara berkembang. Dua faktor penyebab utama adalah
infeksi HBV kronis dan sirosis terkait.1,3
7. Pengobatan
Pada dasarnya penatalaksanaan infeksi virus hepatitis yaitu bersifat suportif, tidak ada
yang spesifik seperti tirah baring. Terutama pada fase awal dari penyakitnya dan dalam
keadaan penderita merasa lemah. Diet makanan tinggi protein dan karbohidrat, rendah
lemak untuk pasien yang dengan anoreksia dan nausea. Apabila simptomatik, pemberian
obat-obatan terutama untuk mengurangi keluhan, misalnya tablet antipiretik parasetamol
untuk demam, sakit kepala, nyeri otot, nyeri sendi dan food suplement. Dan perawatan
dirumah sakit. Terutama pada pasien dengan sakit berat, muntah yang terus menerus
sehingga memerlukan pemberian cairan parenteral dan pengawasan terhadap
kemungkinan timbul jenis hepatitis fulminant.5
- Interferon α (IFN-α)
Pengobatan interferon biasanya berhubungan dengan efek samping seperti flu-like
symptoms, neutropenia, trombositopenia, yang biasanya masih dapat ditoleransi,
namun kadang-kadang perlu dilakukan modifikasi dosis. Tetapi interferon yang
menginduksi hepatitis flare dapat menyebabkan dekompensasi pada pasien sirosis hati
dan dapat berbahaya bagi pasien dengan dekompensasi hati. lama interferon standar
adalah 4-6 bulan.1,5
- Lamivudine
Lamivudine efektif untuk supresi HBV DNA, normalisasi SGPT, dan perbaikan
secara histologi baik pada HBeAg positif dan HBeAg negatif/HBV DNA positif.
Lamivudine ditoleransi dengan baik dengan angka kejadian efek samping yang
diabaikan. Lamivudine aman digunakan bahkan pada sirosis dekompensasi.1,5
- Adefovir dipivoxil
Efektivitas adefovir dipivoxl dapat dipakai pada pasien baru hepatitis B dengan
replikasi virus yang aktif, pada pasien yang gagal dengan lamivudine, pasien pasca
transplantasi hati hingga pasien dengan dekompensasi hati maupun yang dengan
koinfeksi HIV. Adefovir difosfat bekerja menghambat HBV polymerase dengan
berkompentisi langsung dengan substrat endogen deoksiadenosin trifosfat dan setelah
berintegrasi dengan HBV DNA sehingga pembentukan rantai DNA virus hepatitis
terhenti.
Adefovir efektif dan aman, tidak adanya potensi adefovir menjadi resisten disebabkan
karena eratnya hubungan struktual dengan substrat alami sehingga membatasi potensi
untuk menjadi stric hindrance yang merupakan mekanisme terjadinya resistensi.
Penggunaan adefovir dapat dipertimbangkan sebagai pilihan pertama untuk
pengobatan hepatitis B baik yang baru maupun yang sudah resisten terhadap
lamivudine. Dosis yang dianjurkan untuk penggunaan adefovir adalah 10 mg per hari.
Efek samping adefovir jika digunakan dengan dosis tinggi dapat menyebabkan gagal
ginjal.1
- Entecavir
Entecavir adalah nukleosida analog yang mempunyai efek kuat untuk anti virus
hepatitis B. Entecavir dapat digunakan untuk terapi hepatitis B kronik peningkatan
pada orang dewasa yang dengan replikasi virus aktif.
Dosis yang dianjurkan adalah 0,5 mg/hari untuk pasien hepatitis B kronik. Untuk
pasien yang resisten lamivudine ditinggikan menjadi 1 mg/hari. Gejala samping
jarang ditemukan dan yang dapat terjadi adalah sakit kepala, mual, diare.1
- Pegylated interferon α-2a
Pegylated interferon α-2a adalah interferon α-2a yang dipegilasi. Implikasinya adalah:
Interferon alfa berada dalam sirkulasi darah lebih lama
Konsentrasi obat dalam plasma tetap bertahan sepanjang interval dosis (satu
minggu penuh)
Besarnya variasi dalam serum sangat kecil sehingga menghasilkan profil
tolerabilitas yang lebih baik dibandingkan interferon α konvensional.
Pegylated interferon α-2a memiliki mekanisme kerja ganda yang unik sebagai
imunomodulator dan antivirus. Sebagai imunomodulator, Pegylated interferon α-2a
akan mengaktivasi makrofag, sel natural killer, dan limfosit T sitotoksik serta
memodulasi pembentukan antibodi yang akan meningkatkan respon imun host untuk
melawan virus hepatitis B.1,5
- Telbivudine
Telbivudine adalah thymidine nukleoside analogue sintetik yang bekerja dengan
menghambat HBV DNA polymerase dengan cara berkompetisi dengan substrate
thymidine 5’-trifosfat. Ikatan telbivudine-5’-trifosfat terhadap virus menyebabkan
pemutusan rantai DNA sehingga menghambat replikasi HBV.1
- Ribavirin
Ribavirin adalah suatu analog nukleosida yang memiliki aktivitas antivirus
berspektrum luas dan dapat dipakai untuk melawan virus RNA maupun DNA,
termasuk virus kelompok flaviviridae.
Apabila dipakai secara tunggal untuk pasien hepatitis C kronis, mekipun dapat
memperbaiki hasil pemeriksaan fungsi hati, ribavirin tidak memberikan hasil terapi
yang memuaskan dan bahkan tidak memperlihatkan efek antivirus sama sekali. Akan
tetapi ribavirin dikombinasikan dengan interferon, kedua obat ini bekerja secara
sinergis dan secara nyata lebih efektif dibanding dosis tunggal.1,5
8. Pencegahan
Pengobatan lebih ditekankan pada pencegahan melalui imunisasi karena keterbatasan
pengobatan hepatitis virus. Kini tersedia imunisasi pasif dan aktif untuk HAV maupun
HBV. CDC (2000) telah menerbitkan rekomendasi unutk praktik pemberian imunisasi
sebelum dan sesudah pajanan virus.
Pada bulan Februari 1995, vaksin pertama untuk HAV disetujui untuk dilisensikan oleh
FDA (Food and Drug Administration) Amerika Serikat. Vaksin diberi dengan
rekomendasi untuk jadwal pemberian dua dosis bagi orang dewasa berumur 18 tahun dan
yang lebih tua, dan dosis kedua diberikan 6-12 bulan setelah dosis pertama. anak berusia
lebih dari 2 tahun dan remaja diberi tiga dosis, dosis kedua diberikan satu bulan setelah
dosis pertama, dan dosis ketiga diberikan 6-12 bulan berikutnya. Anak berusia kurang
dari 2 tahun tidak divaksinasi. Cara pemberian adalah suntikan intramuskular (IM) dalam
otot deltoideus.
Imunoglobulin (IG), dahulu disebut globulin serum imun, diberikan sebagai
perlindungan sebelum atau sesudah terpajan HAV. Semua sediaan IG mengandung anti-
HAV. Profilaksis sebelum pajanan dianjurkan untuk wisatawan mancanegara yang akan
berkunjung ke negara-negara endemis HAV. Bila kunjungan berlangsung kurang dari 3
bulan, maka diberikan dosis tunggal IG (0,2 ml/kgBB) secara IM, bila kunjungan
diperkirakan lebih lama, berikan 0,06 ml/kgBB setiap 4-6 bulan.
Pemberian IG pasca pajanan bersifat efektif dalam mencegah dan mengurangi keparahan
infeksi HAV. Dosis 0,02 ml/kg diberikan sesegera mungkin atau dalam waktu 2 minggu
setelah pajanan. Inokulasi dengan IG diindikasikan bagi anggota keluarga yang tinggal
serumah, staf pusat penitipan anak, pekerja dipanti asuhan, dan wisatawan ke negara
berkembang dan tropis.
Kini tersedia imunoglobulin HBV titer tinggi (HBIG) dan vaksin untuk mencegah dan
mengobati HBV. Pemberian profilaksis sebelum pajanan dianjurkan bagi individu yang
berisiko menderita HBV, yang meliputi :
- Pekerja layanan kesehatan
- Klien dan staf lembaga cacat mental
- Pasien hemodialisis
- Pria homoseksual yang aktif secara seksual
- Pemakai obat intravena
- Penerima produk darah secara kronis
- Kontak serumah atau berhubungan seksual dengan penderita karier HBsAg
- Heteroseksual yang aktif secara seksual dengan banyak pasangan
- Wisatawan mancanegara ke derah endemis HBV
- Pengungsi dari daerah endemis HBV
Vaksin HBV asli ditahun 1982 yang berasal dari karier HBV, kini telah digantikan
dengan vaksin muktahir hasil rekayasa genetika dari DNA rekombinan. Vaksin ini
mengandung partikel-partikel HBsAg yang tidak menular. Tiga suntikan secara serial
akan menghasilkan antibodi terhadap HBsAg pada 95% kasus yang telah vaksinasi,
namun tidak berefek pada individu karier.
HBIG merupakan obat terpilih untuk profilaksis pascapajanan jangka pendek. Pemberian
vaksin HBV dapat dilakukan bersamaan untuk mendapatkan imunitas jangka panjang,
bergantung pada situasi pajanan. CDC merekomendasikan pemberian HBIG dan HBV
dalam 12 jam setelah lahir pada bayi yang lahir ibu dengan HBsAg positif. Lebih jauh,
mereka menganjurkan uji rutin HBsAg pranatal pada semua wanita hamil di masa yang
akan datang, karena kehamilan akan menyebabkan penyakit berat pada ibu dan infeksi
kronik pada neonatus. Bayi yang lahir dari ibu dengan HBsAg-positif dan HBeAg-positif
berisiko sebesar 70-90% untuk terinfeksi HBV, 80-90% bayi yang terinfeksi akan
menjadi karier HBV kronis, dan lebih dari 25% dari penderita karier ini akan meinggal
akibat karsinoma hepatoseluler primer dan sirosis hati.
HBIG (0,06 ml/kg) adalah pengobatan terpilih untuk mencegah infeksi HBV setelah
suntikan perkutan (jarum suntik) atau mukosa terpajan darah HBsAg positif. Vaksin
HBV harus segera diberikan dalam waktu 7-14 hari bila individu yang terpajan belum
divaksinasi. Individu terpajan yang telah divaksinasi harus menjalani pengukuran kadar
antibodi anti-HBs, kemudian tidak membutuhkan pengobatan. Bila kadar antibodi anti-
HBs tidak mencukupi, maka perlu diberikan dosis booster vaksin.
Petugas yang terlibat dalam kontak resiko-tinggi (misal, pada hemodialisis, transfusi
tukar, dan terapi parenteral) perlu sangat berhati-hati dalam menangani peralatan dan
menghindari suntikan jarum.
Tindakan dalam masyarakat yang penting untuk mencegah hepatitis mencakup
penyediaan makanan dan air bersih yang aman, serta sistem pembuangan sampah yang
efektif. Penting untuk memperhatikan higiene umum, mencuci tangan, serta membuang
urine dan feses pasien terinfeksi secara aman. Pemakaian kateter, jarum suntik, dan spuit
sekali pakai, akan menghilangkan sumber infeksi yang penting. Semua donor darah perlu
disaring terhadap HAV, HBV, dan HCV sebelum diterima menjadi panel donor.4
9. Perbedaan antara hepatitis A hingga E *terlampir
B. Abses hati
1. Abses hati piogenik
Abses hati piogenik dulu lebih banyak terjadi melalui infeksi porta, terutama pada anak
muda dan sekunder terhadap peradangan apendisitis. Tetapi sekarang abses hati piogenik
sering terjadi sekunder terhadap obstruksi dan infeksi saluran empedu.
Terutama pada kelompok usia lanjut, keadaan ini meningkat. Disamping itu peningkatan
ini disebabkan imunosupresi, pemakaian kemoterapi intensif sehingga mempermudah
infeksi oleh organisme oportunistik. Diagnosis dini dapat menggunakan ultrasonografi,
scanning atau kolangiografi.1
- Etiologi dan patogenesis
Abses hati piogenik dapat terjadi melalui infeksi yang berasal dari vena porta yaitu
infeksi pelvis atau gastro intestinal, bisa menyebabkan pileflebitis porta atau emboli
septik saluran empedu yang merupakan sumber infeksi yang tersering.
Kolangitis septik dapat menyebabkan penyumbatan saluran empedu seperti juga
batu empedu, kanker, striktur saluran empedu atau pun anomali saluran empedu
kongenital. Infeksi langsung seperti luka penetrasi, fokus septik berdekatan seperti
abses perinefrik, kecelakaan lalu lintas. Septikemia atau bakterimia akibat infeksi
ditempat lain dan kriptogenik tanpa faktor predisposisi yang jelas, terutama pada
orang lanjut usia.1
- Bakteriologi
Infeksi terutama disebabkan oleh kuman gram negatif dan penyebab yang terbanyak
adalah E. Coli. Disamping itu penyebabnya S. Faecalis, P. Vulgaris dan Salmonella
typhi. Dapat bula bakteri anaerob seperti bakteroides, aerobakteria, aktinomises, dan
streptokokus anaerob. Untuk penetapan kuman penyebab perlu dilakukan biakan
darah, pus empedu dan swab secara aerob maupun anaerob.1,2
- Patologi
Abses hati piogenik dapat mengenai kedua lobus hati pada 53,2 % lobus kanan saja
41,8 %, dan sedang lobus kiri saja hanya 4,8 %. Abses hati umunya multiple. Selain
pembentukan abses dapat terjadi peradangan perihepatitis atau perlengketan. Jika
disertai pieflebitis, vena porta dan cabangnya dapat mengandung pus dan bekuan
darah. Bila penyebaran melalui duktus biliaris akam terdapat beberapa fokus yang
berhubungan dengan sistem bilier. Secara histologi didapatkan nekrosis sentral,
dikelilingi infiltrasi leukosit dan limfosit yang masif. Sebelah luarnya terdapat
proliferasi fibroplastik yang membentuk dinding jaringan ikat.3,4
- Gambaran klinis
Gambaran klinik abses hati piogenik menunjukkan menifestasi sistemik yang lebih berat dari
abses hati amuba. Terutama demam yang dapat intermiten, remiten atau kontinyu yang
disertai menggigil. Keluhan lain dapat berupa sakit perut, mual dan muntah, lesu dan berat
badan yang menurun. Dapat juga disertai batuk, sesak nafas serta nyeri pleura.
Keluhan %
Demam 79-98
Nyeri 51-90
Menggigil 30-77
Mual/muntah 15-70
Berat badan menurun 25-69
Anoreksia 26-65
Malaise 20-34
Hepatomegali 39-89
Nyeri tekan perut kanan 42-91
Ikterus 22-52
Kelainan paru 21-37
Tabel 4. Gejala klinis
- Pemeriksaan fisik dan penunjang
Pada pemeriksaan fisis didapatkan keadaan pasien yang septik disertai nyeri
perut kanan atas dan hepatomegali yang nyeri tekan. Kadang-kadang disertai ikterus
karena adanya penyakit bilier seperti kolangitis.
Pada pemeriksaan laboratorium mungkin didapatkan leukositosis dengan
pergeseran ke kiri, anemia, gangguan fungsi hati seperti peninggian bilirubin atau
fosfatase alkali. Pemeriksaan biakan pada permulaan penyakit sering tidak ditemukan
kuman. Kuman yang sering adalah kuman gram negatif seperti Proteus vulgaris,
Aerobacter aerogenes atau Pseudomonas aeruginosa, sedangkan kuman anaerob
Microaerofilic sp, Streptococcus sp, Bacteroides sp atau Fusobacterium sp. Pada
pemeriksan foto polos abdomen, kadang-kadang didapatkan gas atau cairan
subdiafragma kanan.
Pemeriksaan ultrasonografi, radionuclide scanning, CT scan dan MRI
mempunyai nilai diagnosis yang tinggi. Sekarang dapat dikatakan bahwa pemeriksaan
CT dan MRI merupakan baku emas. Pemeriksaan ini sangat penting dalam
pengelolaan abses hati terutama diagnosis dini, dan dapat menetapkan lokasi abses
lebih akurat terutama untuk drainase perkuatan atau tindakan bedah. Ultrasonografi
merupakan alat diagnosis yang berharga karena cepat, non-invasif, biaya relatif
murah, dan tidak ada radiasi.1
- Pengobatan
Pencegahan merupakan cara yang efektif untuk mengurangi mortalitas abses
piogenik. Misalnya pemberian. Misalnya pemberian antibiotik pada sepsis intra-
abdominal, dekompresi pada obstruksi bilier yang disebabkan oleh batu atau tumor.
Pengobatan yang defenitif dapat mencegah mortalitas sampai nol persen. Pengobatan
tersebut antara lain berupa antibiotik, drainase abses yang adekuat dan secara
bersamaan menghilangkan penyakit dasar seperti sepsis yang berasal dari saluran
cerna. Antibiotik yang digunakan adalah penisilin atau sefalosporinuntuk kokus gram
positif dan untuk kuman gram negatif yang sensitif, metronidazol, klindamisin, atau
kloramfenikol untuk anaerob seperti B. Fragilis dan aminoglikosida untuk kuman
gram negatif yang resisten. Disamping itu masih banyak yang dapat digunakan seperti
ampicilin-sulbaktam, atau kombinasi klindamisin-metronidazol, aminoglikosida dan
siklosporin. Pemberian antibiotika secara intravena sampai 3 gr/hari selama tiga
minggu diikuti pemberian oral selama satu sampai dua bulan. Pengobatan pilihan
untuk keberhasilan pengobatan adalah drainase terbuka terutama pada kasus yang
gagal dengan pengobatan konservatif.1,5
- Prognosis
Prognosis abses piogenik sangat ditentukan diagnosis dini, lokasi yang akurat dengan
ultrasonografi, perbaikan dalam mikrobiologi seperti kultur anaerob, pemberian
antibiotik perioperatif dan aspirasi perkutan tau drainase secara bedah. Faktir utama
yang menentukan mortilitas antara lain umur, jumlah abses, adanya komplikasi serta
bakterimia polimikrobial dan gangguan fungsi hati seperti ikterus atau
hipoalbuminemia. Komplikasi yang berakhir dengan mortalitas pada keadaan sepsis
abses subfrenik atau subhepatik, ruptur abses ke rongga peritonium, ke paru,
kegagalan hati, hemobilia, dan pendarahan ke dalam abses hati. penyakit penyerta
yang menyebabkan mortalitas tinggi adalah diabetes melitus, penyakit polikistik dan
sirosis hati.1
2. Amubiasis hati
Amubiasis hati masih merupakan masalah kesehatan dan sosial di daerah Asia tenggara,
Afrika dan Amerika latin. Terutama di daerah yang banyak di temukan strain virulen
Entamoeba histolytica dan dimana keadaan sanitasi buruk, status sosial-ekonomi yang
rendah serta status gizi yang kurang baik.
- Epidemiologi
Hampir 10 % penduduk dunia, terutama negara berkembang yang terinfeksi E.
histolytica, tetapi hanya sepersepuluhnya yang memperlihatkan gejala. Insidens
amubiasis hati di rumah sakit berkisar 0,17 % sedangkan di berbagai rumah sakit
Indonesia berkisar antara 5-15 % pasien per tahun.
Individu yang mudah terinfeksi adalah penduduk di daerah endemik, wisatawan ke
daerah endemik atau para homoseksual. Penelitian epidemiologi di Indonesia
menunjukkan perbandingan pria dan wanita berkisar 3 : 1 sampai 22 : 1, tang
tersering pada dekade keempat. Penularan umumnya melalui jalur oral-fecal dan
dapat juga oral-anal-fecal. Kebanyakan yang menderita amubiasis hati adalah pria
dengan rasio 3,4-8,5 kali lebih sering dari wanita. Usia yang sering dikenai berkisar
antara 20-50 tahun terutama dewasa muda dan lebih jarang pada anak.1-4
- Etiologi
Bakteri E. histolytica adalah bakteri yang patogen. Hanya sebagian kecil individu
yang terinfeksi E. histolytica yang memberi gejala amubiasis invasif, sehingga ada
dua jenis E. histolytica yaitu strain patogen dan non-patogen. Bervariasinya virulensi
berbagai strain E. histolytica ini berdasarkan kemampuannya menimbulkan lesi hati.
siklus hidup E. histolytica dapat dibagi menjadi dua bentuk yaitu trofozoit dan kista.
Trofozoit adalah bentuk motil yang biasanya hidup komensal dalam usus, dapat
bermultipikasi dengan cara membelah diri menjadi dua atau menjadi kista. Tumbuh
dalam keadaan anaerob dan hanya perlu bakteri atau jaringan untuk kebutuhan zat
gizinya. Trofozoit ini tidak penting dalam penularan dan mati karena terpajan
hidroklorida atau enzim pencernaan. Jika terjadi diare, trofozoit dengan ukuran 10-20
um yang berpseudopodia yang keluar, sampai yang ukuran 50 um. Bila tidak diare,
trofozoit akan membentuk kista sebelum keluar ke tinja.
Kista berinti empat setelah melakukan dua kali pembelahan dan berperan dalam
penularan karena tahan terhadap perubahan lingkungan, tahan asam lambung dan
enzim pencernaan. Kista berbentuk bulat dengan diameter 8-20 um, dinding kaku.
Pembentukan kista ini dipercepat dengan berkurangnya bahan makanan atau
perubahan osmolaritas media.1
- Patogenesis
Pastogenesis amubiasis hati belum dapat diketahui dengan pasti. Secara singkat dapat
dikemukakan dua mekanisme, yaitu E. histolytica ada yang patogen dan non-patogen
dan secara genetik E. histolytica dapat menyebabkan invasi tetapi bergantung pada
interaksi yang kompleks antara parasit dan lingkungan saluran cerna terutama flora
bakteri.
Mekanisme amubiasis hati, dimulai dengan penempelan E. histolytica pada mukosa
usus, perusakan sawar intestinal, lisis sel epitel intestinal serta sel radang. Terjadinya
supresi respon imun seluler yang disebabkan enzim atau toksin parasit juga. Juga
karena penyakit tuberkulosis, malnutrisi, keganasan dan penyebaran amuba ke hati.
Penyebaran amuba dari usus ke hati sebagian besar melalui vena porta. Di hati, terjadi
fokus akumulasi neutrofil periportal yang disertai nekrosis dan infiltrasi
granulomatosa. Lesi membesar, bersatu dan granuloma diganti jaringan nekrotik.
Bagian nekrotik ini dikelilingi kapsul tipis seperti jaringan fibrosa. Amubiasis hati ini
dapat terjadi berbulan-bulan atau tahunan setelah amubiasis intestinal dan sekitar 50%
amubiasis hati terjadi tanpa riwayat disentri amubiasis.1,3,4
- Patologi
Besarnya abses hati amuba bervariasi dari yang kecil sampai besar (lima liter) yang
isinya berupa bahan nekrotik seperti keju berwarna merah kecoklatan, kehijauan,
kekuningan atau keabuan. Jumlah abses dapat tunggal atau multiple, tetapi pada
umunya tunggal.
Secara mikroskopik dibagian tengah didapatkan bahan nekrotikdan fibrin, sedangkan
di perifer nampak bentuk amuboid dengan sitoplasma bergranul serta inti yang kecil.
Jaringan sekitarnya edematosa dengan infiltrasi limfosit dan proliferasi ringan sel
kupffer, serta tidak didapatkan sel polimorfo-nuklear. Lesi amubiasis hati tidak
disertai pembentukan jaringan parut karena tidak terbentukan jaringan fibrosis.
- Gambaran klinis
Gejala klinis yang klasik pada amubiasis hati dapat berupa demam, nyeri perut kanan
atas, hepatomegali yang nyeri spontan atau nyeri tekan atau disertai gejala
komplikasi. Kadang-kadang gejalanya tidak khas dan timbul pelan-pelan. Gejala
klinis yang digambarkan ada pada tabel.1
Gejala %
Demam 86,9-98,7
Nyeri perut kanan atas 86,9-100
Anoreksia 82,9-93,5
Nausea 60,5-91,6
Vomitus 8,3-22,5
Berat badan menurun 35,2-67,5
Batuk 8,3-45,1
Pembengkakan perut kanan atas 41,9-100
Ikterus 9,6-21,7
Buang air besar berdarah 4,3-8,3
Tabel 5. Gejala amubiasis hati
- Pemeriksaan
Laboratorium
Pemeriksaan hematologi pada amubiasis hati didapatkan hemoglobin 10,4-11,3g
% sedangkan lekosit 15.000-16.000/mL3. Pada pemeriksaan faal hati didapatkan
albumin 2,76-3,05 g%, globulin 3,62-3,75 g%, total bilirubin 0,9-2,44 mg%,
fosfatase alkali 270,4-382,0 u/L, SGOT 27,8-55,9 u/L dan SGPT 15,7-63,0 u/L.
Jadi kelainan laboratorium yang didapatkan pada amubiasis hati adalah anemia
ringan sampai sedang, leukositosis berkisar 15.000/mL3. Sedangkan kelainan faal
hati didapatkan ringan sampai sedang.1
Pemeriksaan penunjang
a. Foto dada : kelainan foto dada pada amubiasis hati dapat berupa peninggian
kubah diafragma kanan berkurangnya pergerakan diafragma efusi pleura
kolaps paru dan abses paru.
b. Foto polos abdomen : kelainan pada foto polos abdomen tidak begitu banyak.
Mungkin berupa gambaran ileus, hepatomegali atau gambaran udara bebas
diatas hati. Jarang didapatkan air fluid level yang jelas, dan ultrasonografi
untuk mendeteksi amubiasis hati, USG sama efektifnya dengan CT scan atau
MRI. Sensitivitasnya dalam diagnosis amubiasis hati 85-90 %. USG dapat
nendeteksi kelainan sebesar 2 cm disamping melihat kelainan traktus bilier dan
diafragma pada daerah tertentu, pada pasien gemuk dan kurang kooperatif.
Amubiasis stadium dini kelihatan seperti masa. Jika terlihat pencairan dibagian
tengah, terlihat sebagai kista. Gambaran ultrasonografi pada amubiasis hati
adalah bentuk oval atau bulat tidak ada gema dinding yang berarti
ekogenesitas lebih rendah daripada parenkin hati normal bersentuhan dengan
kapsul hati dan peninggian sonic distal.1
Tomografi dikomputerisasi (CT scan)
Sensitifitas tomografi komputer berkisar 95-100 % dan lebih baik untuk melihat
kelainan daerah superior dan posterior. Tetapi tidak melihat integritas diafragma,
sehingga tidak dapat menentukan efusi pleura sebagai efusi reaktif atau ruptur
diafragma.
Pemeriksaan serologi
Uji serologis bermanfaat pada kasus yang dicurigai amubiasis hati. Uji ini
umumnya negatif pada yang asimptomatik. Respon antibodi bergantung pada
lamanya sakit. Umumnya hasil masih negatif pada minggu pertama. Titer
antibodi dapat bertahan berbulan-bulan tahunan pada pasien daerah endemik. Jika
tidak begitu spesifik untuk daerah endemik. Tetapi sangat spesifik untuk daerah
bukan endemik. Ada beberapa uji yang sering digunakan yaitu, indirect
hemaglutination (IHA), countermunoelectrophoresis (CIE) dan ELISA. Yang
banyak digunakan adalah tes IHA. Tes IHA menunjukkan sensitifitas yang tinggi.
Titer 1:128 bermakna untuk diagnosis amubiasis infasif.
Real time PCR
Cocok untuk mendeteksi E. Histolytica pada feses dan pus penderita abses hepar.
Pemeriksaan ini mempunyai nilai diagnosis yang sangat tinggi.
- Diagnosis
Diagnosis amubiasis hati di daerah endemik dapat dipertimbangkan jika terdapat
demam, nyeri perut kanan atas atau hepatomegali yang nyeri tekan. Disamping itu
bila didapatkan leukositosis, fosfatase alkali meninggi disertai letak diafragma yang
tinggi maka perlu pemeriksaan ultrasonografi dan tes serologi. Untuk diagnosis
amubiasis digunakan beberapa kriteria, yaitu :
Kriteria sherlock (1969) : hepatomegali yang nyeri tekan, respons baik terhadap
obat amebisid, leukositosis, peninggian diafragma kanan dan pergerakan yang
kurang, aspirasi pus, pada USG didapatkan rongga dalam hati dan tes
hemaglutinasi positif.
Kriteria ramachandran (1973) : bila di dapatkan tiga atau lebih temua dari
hepatomegali yang nyeri, riwayat disentri, leukositosis, kelainan radiologis dan
respon baik terhadap terapi amebisid.
Kriteria lamond dan pooler : bila didapatkan tiga atau lebih temuan dari
hepatomegali yang nyeri, kelainan hematologis, kelainan radiologis, pus amuba,
tes serologi positif, kelainan sidikan hati dan respons baik terhadap amebisid.
- Komplikasi
Komplikasi yang paling sering adalah ruptur abses sebesar 5-15,6 %. Ruptur dapat
terjadi ke pleura, paru, perikardium, usus, intraperitoneal atau kulit. Kadang-kadang
bisa terjadi super infeksi, terutama setelah aspirasi atau drainase.
- Pengobatan
Kemoterapi derivat nitroimidazol dapat memberantas tropozoit intestinal, ekstra
intestinal dan kista. Obat ini diberikan secara oral atau intravena. Dosis yang
dianjurkan 4 x 750 mg atau 4 x 500 mg selama lima sampai sepuluh hari. Emetin dan
dehidroemetin dapat digunakan pada amubiasis hati, tetapi karena emetin mempunyai
efek samping dan toksisitas yang besar maka jarang digunakan.
Pemberian emetin secara intramuskular. Emetin efektif terhadap tropozoit jaringan
atau dinding usus. Efek sampingnya muntah, diare, kejang perut, lemah, nyeri otot,
takikardia, hipotensi, nyeri perikordial dan kelainan elektrokardiogram. Derivat
sintetik emetin adalah dehidroemetin. Dehidroemetin relatif lebih aman karena
sekresinya lebih cepat dan kadarnya pada otot jantung lebih rendah. Sebaiknya tidak
digunakan pada penyakit ginjal, jantung, kehamilan dan anak-anak.
Secara singkat pengobatan amubiasis hati sebagai berikut, metronidazol 3 x 750 mg
selama lima sampai sepuluh hari ditambah kloroquin fosfat 1gr/hari selama dua hari
dan diikuti 500 mg/hari selama 20 hari, ditambah dengan dehidroemetin 1-1,5 mg/kg
BB/hari intramuskular (maksimum 99 mg/hari) selama 10 hari.
Jika pengobatan tidak berhasil dapat dilanjutkan dengan :
Aspirasi jarum
Pada abses kecil atau tidak toksik tidak perlu dilakukan aspirasi, kecuali untuk
diagnosis. Aspirasi hanya dilakukan pada ancaman ruptur atau gagal pengobatan
konservatif. Sebaiknya aspirasi ini dilakukan dengan tuntutan USG.
Indikasi aspirasi jarum perkutan
Abses besar dengan ancaman ruptur atau diameter abses lebih dari 7 cm, respons
kemoterapi kurang, infeksi campuran, letak abses dekat permukaan kulit, tidak
ada tanda perforasi dan abses pada lobus kiri hati.
Drainase secara operasi
Tindakan ini sekarang jarang dilakukan kecuali pada abses dengan ancaman
ruptur atau secara teknis susah dicapai dengan aspirasi biasa. Jika terjadi piotorak
atau efusi pleura dengan fistel bronkopleura perlu dilakukan tindakan WSD
(water sealed drainage).
- Prognosis
Sejak digunakan obat seperti dehidroemetin atau emetin, metronidazol, dan kloroquin,
mortalitas menurun tajam. Mortalitas di rumah sakit dengan fasilitas memadai sekitar
2 % dan pada fasilitas yang kurang memadai mortalitas sekitar 10 %. Pada kasus yang
membutuhkan tindakan operasi mortalitas sekitar 12 %. Jika ada peritonitis amuba,
mortalitas dapat mencapai 40-50 %. Kematian yang tinggi ini disebabkan keadaan
umum yang jelek, malnutrisi, ikterus, dan renjatan. Sebab kematian biasanya sepsis
atau sindrom hepatorenal.
C. Karsinoma hati
Karsinoma hepatoselular merupakan tumor ganas yang berasal dari sel hepatosit dan
merupakan tumor hati primer dengan angka kematian yang masih tinggi. Umumnya pasien
meninggal tidak lama setelah diagnosis ditegakkan, ini disebabkan karena penderita
biasanya datang berobat sudah dalam keadaan lanjut dan sampai saat ini belum ada satu
pengobatan pun yang memuaskan.
- Etiologi
Karsinoma hepatoselular disebabkan oleh beberapa faktor, faktor yang berperan penting
adalah infeksi virus hepatitis B (VHB), virus hepatitis C (VHC) kronis dan aflatoksin
sebagai zat karsinogenik. Faktor genetik, imunologi, makanan dan lingkungan turut
berperan dalam terjadinya KHS. Beberapa penyebab lain yang dihubungkan dengan
KHS antaralain : hemokromatosis, pemaparan oleh vinil klorida, infestasi Schistosoma
japonica, defisiensi alfa 1 antitripsin, tirosinosis dan metotreksat yang menginduksi sel
hati.
- Manifestasi klinis
Pada awalnya penyakit KHS berlangsung pelan, tanpa adanya keluhan atau gejala yang
jelas, sehingga pasien tidak mengetahui sampai tumor mencapai ukuran yang besar.
Pasien bisa merasa lemah, malaise atau kondisi lain yang menyerupai hepatitis.
Keluhan utama yang muncul biasanya nyeri perut atau terabanya masa di perut bagian
atas, tidak nafsu makan dan berat badan menurun. Nyeri dirasakan sebagai rasa sakit
tumpul atau rasa penuh di kuadran kanan atas, nyeri mendadak yang disebabkan
peregangan kapsul karena pembesaran hati atau adanya perdarahan. Pada pemeriksaan
fisik ditemukan pembesaran hati dengan konsistensi padat, berbenjol-benjol dan tidak
rata, ditemukan pelebaran vena dan asites.
- Patogenesis
Infeksi virus hepatitis B kronis
Karsinoma hepatoselular merupakan komplikasi yang bisa berasal dari infeksi Virus
hepatitis B, namun mekanisma pasti timbulnya KHS karena infeksi VHB kronis
masih belum jelas. Diduga respon imun terhadap VHB berperan dalam timbulnya
KHS.3 Pasien dengan tanda infeksi VHB aktif beresiko 10,4 kali lebih besar
dibanding dengan pasien tanpa infeksi aktif. Pada bayi dan anak, terdapat 2 pola
penularan, secara vertikal dan horizontal. Penularan horizontal dari orang tua terjadi
melalui jalur parenteral seperti transfusi, suntikan dengan jarum suntik tercemar,
tindik kuping, khitan atau melalui luka. Penularan secara vertikal terjadi saat proses
persalinan, akibat darah ibu yang mengkontaminasi bayi. Infeksi perinatal ini
berperan sebagai penyebab kronisitas dan keganasan karena daya penghancur
hepatosist yang mengandng VHB pada bayi belum sempurna, sehingga DNA virus
lebih luas berintegrasi dengan DNA hepatosit .3
Antivirus sel T berperan penting dalam mengontrol infeksi VHB, respon sel T yang
kuat pada pasien VHB akan membunuh virus sehingga pasien menjadi sembuh,
namun hal ini tidak terjadi pada penderita infeksi VHB kronis, dimana respon sel T
tidak efektif. Respons sel T yang tidak efektif ini akan menyebabkan infeksi
persisten pada penderita infeksi VHB kronis. Infeksi VHB kronis ini merupakan
lingkungan mitogenik dan mutagenik yang akan merusak susunan genetik dan
kromosom sel, dimana DNA VHB akan masuk dalam susunan DNA sel, terjadi
microdeletions pada DNA sel sehingga kontrol pertumbuhan sel terganggu. Pada
kasus kronis terjadi siklus penghancuran dan regenerasi sel hati terinfeksi yang akan
berakhir pada KHS.
Mekanisme perubahan dari infeksi VHB kronis menjadi KHS belum jelas, suatu
teori menerangkan bahwa KHS timbul setelah beberapa tahun setelah infeksi VHB
kronis, yang mempermudah terjadinya kerusakan kromosom sehingga mencetuskan
KHS, namun teori lain menyatakan sebagian besar tumor mengandung DNA VHB
dan mikrodeletion pada susunan DNA, sehingga pembelahan sel tidak teratur.
Secara invitro, terdapat kerusakan pada gen X VHB, suatu bagian dari susunan
genom VHB yang akan menyebabkan pembelahan sel tidak terkontrol dan
menghambat fungsi gen p53 ( anti onkogen sel). 3,5 Salah satu produk dari gen X
adalah asam amino 154 yang diduga berperan penting dalam proses onkogenesis.
Kerusakan sel hati oleh reaksi terhadap protein VHB akan mencetuskan regenerasi
sel hati, kerusakan DNA karena teroksidasi dan berakhir dengan KHS.3
Peningkatan VHB dalam sel akan meningkatkan kemungkinan terjadinya KHS
melalui beberapa cara, polipeptida envelope bersifat hepatotoksik dan memacu
timbulnya keganasan, produksi berlebihan envelope ini akan menumpuk dalam
Retikulum endoplasma (ER) sel dan menimbulkan stres yang akan mengganggu
proses reduksi-oksidasi sel dan menurunkan sintesis glutation, hal ini akan
menimbulkan stres oksidatif. Stres oksidatif akan mempengaruhi metabolisme sel,
mempercepat proses mutasi, perubahan proliferasi sel dan pada stres oksidatif berat,
akan menimbulkan kematian sel, hati akan membelah untuk mengganti sel-sel yang
mati ini, namun pembelahan berlangsung tidak terkontrol sehingga timbul KHS. 3
Stres oksidatif juga akan mengaktifkan sel stelata yang berfungsi untuk mengatur
proses pertumbuhan dan diferesiasi sel. Sel stelata merupakan sel fibrogenik utama
dalam hati yang bereaksi terhadap sitokin, faktor pertumbuhan dan kemokin, sebagai
reaksi terhadap kerusakan sel hati. Fungsi sel ini adalah memproduksi suatu matriks
ekstrasel sebagai tempat untuk pertumbuhan dan diferensiasi sel. Aktivasi sel stelata
kronis akan menimbulkan fibrogenesis dan peningkatan proliferasi sel hepatosit
yang pada akhirnya akan menjadi KHS.2 Gambar 4.
Respon imun yang tidak efektif selama infeksi VHB kronis merupakan faktor
onkogenik pada KHS, jika respon imun sel T mampu menghancurkan VHB maka
infeksi VHB akan berakhir, tapi jika respon imun tidak efektif untuk
menghancurkan VHB, maka timbul proses nekroimflamasi kronis yang diikuti
dengan penggantian sel baru yang tidak terkendali sehingga berakhir pada KHS.
Imunobiologi infeksi HCV dan HBV kronis
Telah banyak di kemukakan peran Sel T dalam perjalanan infeksi VHB dan VHC
kronis serta KHS. Sel T killer yang aktif akan menghancurkan virus pada saat
infeksi akut, jika respon ini tidak adekuat, maka penderita akan menjadi karier
kronis.
Sistem imun dalam patogenesis infeksi VHB meliputi sel B, T dan sel Natural Killer
(NK). Masing-masing sel tersebut akan mempengaruhi sel mieloid dan sel non
hepatosit sebagai akibat adanya infeksi pada sel hepatosit. Suatu zat menyerupai
glikolipid, alkil α-aza galactose, α-galactosal-ceramide , akan mengaktifkan gen
pertahanan sel dan mengurangi replikasi virus hanya pada sel yang terinfeksi virus.
Aflatoksin
Aflatoksin merupakan metabolit Aspergillus flavus, suatu substansi karsinogenik
hepatotosik. Aflatoksin bisa mencemari bahan makanan yang disimpan dalam
keadaan lembab seperti jagung, beras, kacang tanah, kedelai dan gandum. Aflatoksin
B1 (AFB1) merupakan metabolit utama yang diproduksi oleh jamur ini dan
diketahui merupakan zat karsinogenik hati yang paling poten. AFB1 yang masuk
dalam tubuh, oleh hati akan dimetabolisme melalui sistem MPO (microsomal
mixed-function-oxydase) yang dapat mendetoksifikasi sifat karsinogen zat kimia
menjadi lebih lemah. Hasil metabolit tersebut seperti AFM1, AFQ1 yang mampu
berikatan dengan DNA dan RNA.
PENUTUP
Dari kasus yang didapatkan, seorang pria berusia 50 tahun memeriksakan dirinya ke dokter
karena merasa badannya lesu dan lemah. Penderita mengaku tidak pernah menggunakan
narkoba suntikan, tetapi pernah mendapat transfusi 25 tahun yang lalu waktu menjalani suatu
pembedahan dan 10 tahun yang lalu pernah mendapat imunisasi hepatitis B. Pada pemeriksaan
tidak tampak adanya ikterus, suhu tubuh normal, nadi normal, tekanan darah normal, hati teraba
membesar 1 jari dibawah arcus costae, uji fungsi hati (SGOT, SGPT, gamma GT) meningkat.
Serologi HBsAg (-), anti HBs (+), anti HBc (-), anti HAV (-), anti HCV (+). Setelah dilakukan
beberapa pemeriksaan terhadap penyakit lain, didapatkan diagnosisnya adalah hepatitis C.
DAFTAR PUSTAKA
1. Sulaiman Ali H, Akbar Nurul H, Lesmana A. Laurentius, Noer Sjaifoellah M.H. Buku Ajar
Ilmu Penyakit Hati. 1th ed. Jakarta : Jayabadi, 2007; 193-258, 485-7.
2. Sudoyo W. Aru, Setiyohadi Bambang, Alwi Idrus, K Simadibrata Marcellus, Setiati Siti.
Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. 5th ed. Jakarta : Interna Publishing, 2009.
3. Silbernagl Stefan, Lang Florian. Teks dan Atlas Berwarna Patofisiologi. Jakarta : Penerbit
Buku Kedokteran EGC, 2007.
4. Price A. Sylvia, Wilson M. Lorraine. Patofosiologi : Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit.
6th ed. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC, 2006.
5. Bagian farmakologi fakultas kedokteran Universitas Indonesia. Farmakologi dan Terapi. 5 th
ed. Jakarta : Gaya Baru, 2008.
6. Greenberg I. Michael. Teks Atlas Kedokteran Kedaruratan. 3 th vol. Jakarta : Penerbit
Erlangga, 2007.