Upload
asri-ramadhani
View
226
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
BAB I
PENDAHULUAN
Infark Miokard Akut dengan elevasi ST (ST elevation myocardial
infarction = STEMI) merupakan bagian dari spektrum sindrom koroner akut
(SKA) yang terdiri dari angina pektoris tidak stabil/APTS (unstable angina/UA),
infark miokard tanpa elevasi segmen ST (Non-ST elevation myocardial
infarction/ NSTEMI) dan infark miokard dengan elevasi segmen ST (ST elevation
myocardial infarction/STEMI) (Depkes, 2006; Lilly, 2011).
Infark Miokard Akut (IMA) merupakan salah satu diagnosis rawat inap
tersering di negara maju. Laju mortalitas awal (30 hari) pada infark miokard akut
adalah 30% dengan lebih dari separuh kematian terjadi sebelum pasien mencapai
Rumah Sakit. Walaupun laju mortalitas menurun sebesar 30% dalam 2 dekade
terakhir, sekitar 1 diantara 25 pasien yang tetap hidup pada perawatan awal,
meninggal dalam tahun pertama setelah infark miokard akut (Alwi, 2007).
Pemeriksaan awal pada pasien harus memudahkan penegakan diagnosis
atau diagnosis banding yang bisa dijadikan pedoman penatalaksanaan segera dan
pemberian terapi darurat dengan keterlambatan sesedikit mungki. Pemeriksaan
klinis cepat terdiri dari anamnesis dan pemeriksaan fisis ditambah dengan
pemeriksaan penunjang sederhana seperti EKG dan foto toraks (Davey, 2011).
Adanya elevasi segmen ST pada EKG menggambarkan adanya oklusi total
arteri koroner yang menyebabkan nekrosis pada seluruh atau hampir seluruh
lapisan dinding jantung. Pada NSTEMI dan angina pectoris tidak stabil terjadi
oklusi parsial arteri koroner. Keduanya mempunyai gejala klinis dan patofisiologi
serupa, tetapi berbeda derajat keparahannya. Diagnosis NSTEMI ditegakkan jika
iskemi cukup parah sehingga menyebabkan nekrosis sel – sel miokardium; hal ini
menyebabkan pelepasan biomarker dari sel – sel miokardium (Troponin T atau I,
atau CKMB) menuju ke sirkulasi. Sebaliknya., pada pasien dengan angina
pectoris tidak stabil tidak didapatkan peningkatan biomarker tersebut dalam
sirkulasi (Myrtha, 2012).
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi
STEMI ( ST Elevation Miocard Infarct) adalah suatu sindroma klinis yang
mempunyai karakteristik gejala dari iskemia miokardial (nyeri dada yang khas)
yang diikuti dengan ST elevasi yang persisten pada EKG dan pelepasan dari
biomarker nekrosis miokardial (ACCF/AHA guideline, 2013).
Sindrom Koroner Akut (SKA) sendiri merupakan suatu istilah atau
terminologi yang digunakan untuk menggambarkan spektrum keadaan atau
kumpulan proses penyakit yang meliputi angina pektoris tidak stabil/APTS
(unstable angina/UA), infark miokard tanpa elevasi segmen ST (Non-ST
elevation myocardial infarction/ NSTEMI), dan infark miokard dengan elevasi
segmen ST (ST elevation myocardial infarction/STEMI) (Depkes, 2006).
2.2. Epidemiologi
STEMI merupakan salah satu diagnosis yang paling umum terjadi pada
pasien yang dirawat di rumah sakit di negara-negara barat. Di Amerika Serikat,
kurang lebih 1,5 juta infark miokard terjadi setiap tahunnya. Mortalitas karena
infark akut kurang lebih 30 persen, dengan lebih dari separuh kematian terjadi
sebelum individu yang terserang mencapai rumah sakit. Risiko mortalitas
berlebihan dan infark miokard nonfatal rekuren menetap pada pasien yang
sembuh (ACCF/AHA guideline, 2013).
2.3. Faktor Risiko
Faktor risiko terbagi menjadi faktor risiko yang dapat dimodifikasi dan
yang tidak dapat dimodifikasi. Faktor risiko yang dapat dimodifikasi diantaranya
adalah hipertensi, kadar kolestrol, diabetes mellitus, dan obesitas. Faktor risiko
yang tidak dapat dimodifikasi diantaranya adalah jenis kelamin dan usia (laki-laki
> 45 tahun, perempuan > 55 tahun) dan faktor keturunan (Price & Wilson, 2006).
2
2.4. Patofisiologi
STEMI umumnya terjadi jika aliran darah koroner menurun secara
mendadak setelah oklusi trombus pada plak arterosklerosik yang sudah ada
sebelumnya. Stenosis arteri coroner berat yang berkembang secara lambat
biasanya tidak memicu STEMI karena berkembangnya banyak kolateral
sepanjang waktu. STEMI terjadi jika trombus arteri koroner terjadi secara cepat
pada lokasi injury vaskular, dimana injury ini dicetuskan oleh faktor - faktor
seperti merokok, hipertensi dan akumulasi lipid (Lilly, 2011; Myrtha, 2012).
Pada sebagian besar kasus, infark terjadi jika plak arterosklerosis
mengalami fisur, rupture atau ulserasi dan jika kondisi lokal atau sistemik memicu
trombogenesis, sehingga terjadi trombus mural pada lokasi ruptur yang
mengakibatkan oklusi arteri koroner. Penelitian histologis menunjukkan plak
koroner cenderung mengalami ruptur jika mempunyai fibrous cap yang tipis dan
inti kaya lipid (lipid rich core) (Lilly, 2011; Myrtha, 2012).
Pada STEMI gambaran patologis klasik terdiri dari fibrin rich red
trombus, yang dipercaya menjadi dasar sehingga STEMI memberikan respon
terhadap terapi trombolitik. Selanjutnya pada lokasi ruptur plak, berbagai agonis
(kolagen, ADP, efinefrin, serotonin) memicu aktivasi trombosit, yang selanjutnya
akan memproduksi dan melepaskan tromboxan A2 (vasokontriktor lokal yang
poten). Selain aktivasi trombosit memicu perubahan konformasi reseptor
glikoprotein IIb/IIIa (Lilly, 2011; Myrtha, 2012).
Setelah mengalami konversi fungsinya, reseptor mempunyai afinitas tinggi
terhadap sekuen asam amino pada protein adhesi yang larut (integrin) seperti
faktor von Willebrand (vWF) dan fibrinogen, dimana keduanya adalah molekul
multivalen yang dapat mengikat 2 platelet yang berbeda secara simultan,
menghasilkan ikatan silang platelets dan agregasi. Kaskade koagulasi di aktivasi
oleh pajanan tissue factor pada sel endotel yang rusak. Faktor VII dan X
diaktivasi, mengakibatkan konversi protrombin menjadi trombin, yang kemudian
mengkonversi fibrinogen menjadi fibrin. Arteri koroner yang terlibat kemudian
akan mengalami oklusi oleh trombus yang terdiri agregat trombosit dan fibrin.
Pada kondisi yang jarang, STEMI dapat juga disebabkan oleh emboli koroner,
3
abnormalitas kongenital, spasme koroner dan berbagai penyakit inflamasi
sistemik (Lilly, 2011; Myrtha, 2012).
Gambar 1. Mekanisme terbentuknya trombus koroner (Dikutip dari buku Leonard S.Lilly,
pathophysiology of heart disease, 2011)
Pada saat ini, proses terjadinya plak aterosklerosis dipahami bukan proses
sederhana karena penumpukan kolesterol, tetapi telah diketahui bahwa disfungsi
endotel dan proses inflamasi juga berperan penting. Proses pembentukan plak
dimulai dengan adanya disfungsi endotel karena faktor – faktor tertentu. Pada
tingkat seluler, plak terbentuk karena adanya sinyal-sinyal yang menyebabkan sel
darah, seperti monosit, melekat ke lumen pembuluh darah.
1. Inisiasi proses aterosklerosis: peran endotel
Aterosklerosis merupakan proses pembentukan plak di tunika intima arteri
besar dan arteri sedang. Proses ini berlangsung terus selama hidup sampai
akhirnya bermanifestasi sebagai SKA. Proses aterosklerosis ini terjadi
melalui 4 tahap, yaitu kerusakan endotel, migrasi kolesterol LDL (low-
density lipoprotein) ke dalam tunika intima, respons inflamatorik, dan
pembentukan kapsul fibrosis. Beberapa faktor risiko koroner turut
berperan dalam proses aterosklerosis, antara lain hipertensi,
4
hiperkolesterolemia, diabetes, dan merokok. Adanya infeksi dan stress
oksidatif juga menyebabkan kerusakan endotel. Faktor - faktor risiko ini
dapat menyebabkan kerusakan endotel dan selanjutnya menyebabkan
disfungsi endotel. Disfungsi endotel memegang peranan penting dalam
terjadinya proses aterosklerosis. Jejas endotel mengaktifkan proses
inflamasi, migrasi dan proliferasi sel, kerusakan jaringan lalu terjadi
perbaikan, dan akhirnya menyebabkan pertumbuhan plak (Myrtha, 2012).
2. Perkembangan proses aterosklerosis: peran proses infl amasi
Jika endotel rusak, sel-sel inflamatorik, terutama monosit, bermigrasi
menuju ke lapisan subendotel dengan cara berikatan dengan molekul
adhesif endotel. Jika sudah berada pada lapisan subendotel, sel-sel ini
mengalami differensiasi menjadi makrofag. Makrofag akan mencerna
LDL teroksidasi yang juga berpenetrasi ke dinding arteri, berubah menjadi
sel foam dan selanjutnya membentuk fatty streaks. Makrofag yang
teraktivasi ini melepaskan zat-zat kemoatraktan dan sitokin (misalnya
monocyte chemoattractant protein-1, tumor necrosis factor a, IL-1, IL-6,
CD40, dan c-reactive protein) yang makin mengaktifkan proses ini dengan
merekrut lebih banyak makrofag, sel T, dan sel otot polos pembuluh darah
(yang mensintesis komponen matriks ekstraseluler) pada tempat terjadinya
plak. Sel otot polos pembuluh darah bermigrasi dari tunika media menuju
tunika intima, lalu mensintesis kolagen, membentuk kapsul fibrosis yang
menstabilisasi plak dengan cara membungkus inti lipid dari aliran
pembuluh darah. Makrofag juga menghasilkan matriks metalloproteinase
(MMPs), enzim yang mencerna matriks ekstraseluler dan menyebabkan
terjadinya disrupsi plak (Myrtha, 2012).
3. Stabilitas plak dan kecenderungan mengalami rupture
Stabilitas plak aterosklerosis bervariasi. Perbandingan antara sel otot polos
dan makrofag memegang peranan penting dalam stabilitas plak dan
kecenderungan untuk mengalami ruptur. LDL yang termodifikasi
meningkatkan respons inflamasi oleh makrofag. Respons inflamasi ini
5
memberikan umpan balik, menyebabkan lebih banyak migrasi LDL
menuju tunika intima, yang selanjutnya mengalami modifikasi lagi, dan
seterusnya. Makrofag yang terstimulasi akan memproduksi matriks
metalloproteinase yang mendegradasi kolagen. Di sisi lain, sel otot
pembuluh darah pada tunika intima, yang membentuk kapsul fibrosis,
merupakan subjek apoptosis. Jika kapsul fi brosis menipis, ruptur plak
mudah terjadi, menyebabkan paparan aliran darah terhadap zat-zat
trombogenik pada plak. Hal ini menyebabkan terbentuknya bekuan. Proses
proinflamatorik ini menyebabkan pembentukan plak dan instabilitas.
Sebaliknya ada proses antiinflamatorik yang membatasi pertumbuhan plak
dan mendukung stabilitas plak. Sitokin seperti IL-4 dan TGF-ß bekerja
mengurangi proses inflamasi yang terjadi pada plak. Hal ini terjadi secara
seimbang seperti pada proses penyembuhan luka. Keseimbangan ini bisa
bergeser ke salah satu arah. Jika bergeser ke arah pertumbuhan plak, maka
plak semakin besar menutupi lumen pembuluh darah dan menjadi rentan
mengalami rupture (Myrtha, 2012).
4. Disrupsi plak, trombosis, dan SKA
Kebanyakan plak aterosklerotik akan berkembang perlahan-lahan seiring
berjalannya waktu. Kebanyakan akan tetap stabil. Gejala muncul bila
stenosis lumen mencapai 70-80%. Mayoritas kasus SKA terjadi karena
ruptur plak aterosklerotik. Plak yang ruptur ini kebanyakan hanya
menyumbat kurang dari 50% diameter lumen. Mengapa ada plak yang
ruptur dan ada plak yang tetap stabil belum diketahui secara pasti.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa inti lipid yang besar, kapsul
fibrosa yang tipis, dan inflamasi dalam plak merupakan predisposisi untuk
terjadinya ruptur. Setelah terjadi ruptur plak maupun erosi endotel, matriks
subendotelial akan terpapar darah yang ada di sirkulasi. Hal ini
menyebabkan adhesi trombosit yang diikuti aktivasi dan agregasi
trombosit, selanjutnya terbentuk trombus. Trombosit berperan dalam
proses hemostasis primer. Selain trombosit, pembentukan trombus juga
6
melibatkan sistem koagulasi plasma. Sistem koagulasi plasma merupakan
jalur hemostasis sekunder (Myrtha, 2012).
2.5. Anatomi Arteri Koroner Jantung
Arteri koronaria adalah cabang pertama dari sirkulasi sistemik. Muara
arteri koronaria ini terdapat dalam sinus valsalva dalam aorta, tepat di atas katup
aorta. Sirkulasi koroner terdiri dari arteri koronaria kiri dan arteri koronaria kanan.
Arteri koronaria kiri mempunyai dua cabang, yaitu arteri desendens arteri kiri dan
arteri sirkumpleksa kiri (Price & Wilson, 2006).
Arteri-arteri ini berjalan melingkar jantung dalam dua celah anatomi
eksterna: sulkus atrioventrikularis yang melingkari jantung diantara atrium dan
ventrikel, dan sulkus interventrikularis yang memisahkan kedua ventrikel. Tempat
pertemuan kedua celah dipermukaan posterior jantung merupakan bagian jantung
yang kritis, dipandang dari sudut anatomi dikenal sebagai kruks jantung yaitu
bagian jantung yang terpenting dari jantung. Nodus AV berlokasi pada tempat
pertemuan ini. Karena itu pembuluh manapun yang melintasi kruks tersebut
merupakan pembuluh yang menghantarkan ke nodus AV (Price & Wilson, 2006).
Aretri koronaria kanan berjalan ke lateral mengitari sisi kanan jantung di
dalam sulkus interventrikularis kanan. Pada 90 % jantung, arteri koronaria kanan
pada waktu mencapai posterior jantung akan menuju kruks lalu turun menuju
menuju afeks jantung dalam sulkus interventrikularis posterior. Arteri koronaria
kiri tidak bercabang lagi sesudah meninggalkan pangkalnya di aorta. Aretri
sirkumpleksa kiri berjalan ke lateral di bagian kiri jantung dalam sulkus
atrioventrikularis kiri (Price & Wilson, 2006).
Distribusi secara berkeliling ini sesuai dengan sebutan dan tujuan
fungsinya sebagai pembuluh sirkumpleksia. Demikian juga arteri desendens
arterior kiri menyatakan perjalanan anatomis dari cabang arteri tersebut. Arteri
tersebut berjalan ke bawah pada permukaan jantung dalam sulkus
interventrikularis anterior. Kemudian arteri ini melintasi apeks jantung dan
berbalik arah dan berjalan ke atas sepanjang permukaan posterior sulkus
interventrikularis untuk bersatu dengan cabang distal arteri koronaria kanan (Price
& Wilson, 2006).
7
Gambar 2. Distribusi arteri koroner jantung (Dikutip dari buku Leonard S.Lilly,
pathophysiology of heart disease, 2011)
Setiap pembuluh utama mencabangkan pembuluh epikardial dan
intramiokardia yang khas. Arteri desendens arterior kiri membentuk percabangan
septum yang memasok 2/3 bagian arterior septum dan cabang-cabang diagonal
yang berjalan di atas permukaan anterolateral dari ventrikel kiri. Permukaan
posterolateral dari ventrikel kiri diperdarahi oleh cabang-cabang marginal dari
arteri sirkumpeksa (Price & Wilson, 2006).
Jalur-jalur anatomis ini menghasilkan suatu korulasi antar arteri koronaria
dan penyediaan nutrisi otot jantung. Pada dasarnya arteri koronaria dextra
memberikan darah ke atrium kanan, ventrikel kanan dan dinding inferior ventrikel
kiri. Arteria sirkumpleksa sinistra memberikan darah pada atrium kiri dan dinding
posteriolateral ventrikel kiri. Arteri desendens arterior kiri memberikan darah ke
dinding depan ventrikel kiri yang massif (Price & Wilson, 2006).
Penyediaan nutrisi pada penghantar merupakan suatu korelasi kritis lain
yang juga ditentukan oleh jalur-jalur anatomis. Meskipun nodus SA letaknya
letaknya di atrium kanan, tetapi pada 55% individu mendapat darah dari arteri
koronaria kanan, dan 45% individu mendapat darah dari suatu cabang yang
berasal dari arteria sirkumpleksa kiri. Nodus AV yang dipasok oleh arteri yang
melintasi kruks, yaitu dari arteri koronaria kanan pada 90% individu dan pada
10% sisanya dari arteria sirkumpleksa kiri (Price & Wilson, 2006).
8
Anastomosis antara cabang arteria juga ditemukan pada sirkulasi koroner.
Anastomosis ini tidak berfungsi pada keadaan normal, akan tetapi mempunyai arti
yang sangat penting bagi sirkulasi kolateral maupun sirkulasi alternatif untuk
berfungsi daerah miokardium yang tidak mendapatkan aliran darah akibat lesi
obstuktif pada jalur koroner yang normal (Price & Wilson, 2006).
2.6. Gambaran Klinis
Gambaran klinis STEMI yang dapat dijumpai antara lain (Alwi, 2007;
Lilly, 2011):
1. Nyeri yang khas
- Lokasi : substernal, retrosternal, dan precordial
- Sifat nyeri : sakit, seperti ditekan, rasa terbakar, ditindih benda berat,
seperti ditusuk, diperas, dan dipelintir.
- Penjalaran : biasanya ke lengan kiri, leher, rahang bawah, gigi,
punggung, perut dan lengan kanan (dermatom C1 – T4)
- Faktor pencetus : latihan fisik, stress, emosi.
- Nyeri biasanya persisten, tidak banyak perubahan bila diberikan nitrat
sublingual.
- Nyeri terjadi karena pelepasan mediator seperti adenosin dan laktat
dari sel miokardial yang iskemik ke ujung saraf nyeri lokal.
2. Efek simpatis
Rasa nyeri yang tiba – tiba dan berat menyebabkan peningkatan respon
sistem simpatis yang menyebabkan diaphoresis, takikardi dan lain-lain
yang disebabkan oleh vasokonstriksi.
3. Dispnea
Karena iskemia sel miokardial yang luas, menyebabkan penurunan volume
sekuncup yang kemudian akan menyebabkan peningkatan volume dan
tekanan diastolik, yang akhirnya akan menyebabkan kongesti paru
sehingga terjadi dispnea
4. Gallop dan Murmur
- Gallop S3 menunjukkan overload yang disebabkan oleh karena
disfungsi sistolik ventrikel kiri
9
- Gallop S4 menunjukkan kontraksi atrium terhadap ventrikel kiri yang
kaku
- Murmur terjadi bila infark sudah berat sehingga menyebabkan
insufisiensi katup mitral atau ruptur infark.
5. Demam ringan
Nekrosis sel miokardial menyebabkan respon inflamasi sehingga terjadi
pelepasan mediator – mediator inflamasi seperti interleukin-1 dan TNF
yang akhirnya menyebabkan demam.
2.7. Diagnosis
Diagnosis umumnya berdasarkan (Alwi, 2007; Lilly, 2011):
1. Anamnese dan pemeriksaan fisik
Dari anamnese, didapatkan nyeri dada yang khas, yang dapat berlokasi
di substernal, retrosternal, dan precordial. Sifat nyeri yaitu seperti
ditekan, rasa terbakar, ditindih benda berat, seperti ditusuk, diperas,
dipelintir dan dapat menjalar ke lengan kiri, leher, rahang bawah, gigi,
punggung, perut dan lengan kanan.
Dari pemeriksaan fisik bisa dijumpai suara gallop atau murmur
dikarenakan disfungsi sistolik ventrikel kiri atau insufisiensi katup.
2. EKG yang abnormal
Pada gambaran EKG, didapatkan adanya ST elevasi pada keadaan
akut, sampai Q patologis yang menetap.
Gambar 3. ST-Elevation Myocardial Infarction (Dikutip dari buku Leonard S.Lilly,
pathophysiology of heart disease, 2011)
10
Gambar 4. Lokasi Infark Miokard (Dikutip dari buku Leonard S.Lilly,
pathophysiology of heart disease, 2011)
3. Ditemukan serum marker
Pada infark miokard terjadi pelepasan-pelepasan enzim enzim dan
protein jantung yang dapat dideteksi beberapa jam setelah onset terjadi
seperti CKMB dan troponin.
- CKMB
CKMB adalah suatu enzim kreatinin kinase yang terdapat terutama di
jantung. CKMB serum mulai meningkat 3-8 jam setelah infark dan
mencapai puncaknya setelah 24 jam dan kembali normal dalam 48-72
jam. CKMB tidak lebih sensitive dan spesifik untuk deteksi infark
miokard dibandingkan Troponin.
- Troponin
Troponin adalah suatu protein di sel otot yang mengontrol interaksi
antara aktin dan miosin. Kadar troponin mulai meningkat 3-4 jam
setelah infark dan mencapai puncaknya 18-36 jam kemudian mulai
menurun perlahan-lahan, sehingga troponin masih dapat dideteksi 10-
14 hari setelah infark.
11
Gambar 5. Kriteria Diagnosa ACS (Dikutip dari buku Leonard S.Lilly, pathophysiology
of heart disease, 2011)
2.8. Penatalaksanaan
Tatalaksana infark miokard akut dengan elevasi ST saat ini mengacu pada
data – data dari evidence based berdasarkan penelitian randomized clinical trial
yang terus berkembang ataupun konsensus dari para ahli sesuai pedoman
(guideline) (Alwi, 2007).
Pada STEMI, terjadi sumbatan komplit pada arteri koroner, sehingga
fokus utama dari penatalaksanaan akut pada STEMI adalah REPERFUSI dari
miokard untuk mengurangi kerusakan sel miokardial. Hal ini dicapai dengan
terapi fibrinolitik atau PCI (percutaneous coronary intervention). Tindakan
tersebut dapat mengurangi perluasan nekrosis miokard dan meningkatkan angka
keselamatan. Semakin cepat dilakukan intervensi, maka akan semakin banyak
jumlah miokard yang terhindar dari nekrosis. Pemilihan terapi harus ditentukan
dalam hitungan menit berdasarkan anamnese dan hasil EKG, bahkan sebelum
terjadi peningkatan serum marker (Lilly, 2011).
Sebagai tambahan, seperti halnya dalam kasus angina pectoris tidak stabil
dan NSTEMI, pemberian terapi spesifik harus dimulai segera untuk mencegah
trombosis yang lebih lanjut dan mengembalikan keseimbangan antara suplai
oksigen ke miokardial dan kebutuhannya. Sebagai terapi awal, diberikan anti-
12
platelet (aspirin dan clopidogrel), anti-koagulan (IV unfraction heparin/ UFH,
Low Molecular Weight Heparin / LWMH), beta-blocker dan golongan nitrat.
Pemberian obat – obat tersebut mengurangi rasa nyeri dan menurunkan angka
kematian dan angka re-infarc (Lilly, 2011).
Gambar 6. Penatalaksanaan ACS (Dikutip dari buku Leonard S.Lilly, pathophysiology of
heart disease, 2011)
2.8.1. Terapi Fibrinolitik
Jika tidak ada kontraindikasi, terapi fibrinolisis idealnya diberikan dalam
30 menit sejak masuk (door-to-needle time < 30 menit). Tujuan utama fibrinolysis
adalah restorasi cepat patensi arteri koroner. Obat – obatan fibrinolitik
mempercepat lisis dari trombus yang menyumbat dan mengurangi kerusakan pada
13
sel miokard. Streptokinase merupakan salah satu dari fibrinolitik yang sekarang
sudah jarang dipakai di Amerika Serikat karena efeknya yang bersifat sistemik
sehingga meningkatkan resiko terjadinya perdarahan. tPA (alteplase), rPA
(reteplase), TNK – TPA (tenecteplase) lebih sering digunakan saat ini karena
lebih bersifat lokal, sehingga menurunkan risiko terjadinya perdarahan (Alwi,
2007; Lilly, 2011).
Dosis obat-obatan fibrinolitik (ACCF/AHA guideline, 2013) :
- Streptokinase : 1,5 juta unit iv diberikan dalam 30-60 menit
- TNK-TPA : single iv bolus -> 30 mg (BB<60 kg), 35 mg (BB 60-69
kg), 40 mg (BB 70-79 kg), 45 mg (BB 80-89 kg), 50 mg (BB/90kg)
- rPA : 2 10 U iv bolus, jeda waktu 30 menit
- tPA : Bolus 15 mg, lalu infus 0,75 mg/kg dalam 30 menit (max 50
mg), lalu infus 0,5 mg/kg (max 35 mg) dalam 60 menit, dosis total
tidak melebihi 100 mg
Terapi fibrinolitik dapat menurunkan risiko relatif kematian di rumah sakit
sampai 50% jika diberikan dalam jam pertama onset gejala STEMI, dan manfaat
ini dipertahankan sampai 10 tahun. Setiap hitungan menit dan pasien yang
mendapat terapi dalam 1-3 jam onset gejala akan mendapat manfaat yang terbaik.
Walaupun laju mortalitas lebih tinggi jika dibandingkan terapi dalam 1-3jam,
terapi masih tetap bermanfaat pada banyak pasien 3-6 jam setelah onset infark,
dan beberapa manfaat tampaknya masih ada sampai 12 jam, terutama jika nyeri
dada masih ada dan segmen ST masih tetap elevasi pada sandapan EKG yang
belum menunjukkan gelombang Q yang baru. Jika dibandingkan dengan PCI pada
STEMI (PCI primer), fibrinolisis secara umum merupakan strategi reperfusi yang
lebih disukai pada pasien pada jam pertama gejala, jika perhatian terhadap
masalah logistic seperti transportasi pasien ke pusat PCI yang baik, atau ada
antisipasi keterlambatan sekurang-kurangnya 1 jam antara waktu trombolisis
dapat dimulai dibandingkan implementasi PCI (Alwi, 2007).
Tissue plasminogen activator (tPA) dan activator plasminogen spesifik
fibrin lain seperti rPA dan TNK lebih efektif daripada streptokinase dalam
14
mengembalikan perfusi penuh dan memperbaiki survival sedikit lebih baik (Alwi,
2007).
Tabel 1. Kontraindikasi Terapi Fibrinolitik pada STEMI
Kontraindikasi absolut
- Setiap riwayat perdarahan intraserebral
- Terdapat lesi vaskular serebral struktural (malformasi AV)
- Terdapat neoplasma intracranial ganas (primer atau metastasis)
- Strok iskemik dalam 3 bulan kecuali strok iskemik akut dalam 3 jam
- Dicurigai diseksi aorta
- Perdarahan aktif atau diathesis berdarah (kecuali mens)
- Trauma muka atau kepala tertutup yang bermakna dalam 3 bulan
Kontraindikasi relatif
- Riwayat hipertensi kronik berat, tak terkendali
- Hipertensi berat tak terkendali saat masuk (TDS > 180 mmHg atau TDD >
110 mmHg)
- Riwayat strok iskemik sebelumnya > 3 bulan, demensia, atau diketahui
patologi intracranial yang tidak termasuk kontraindikasi
- Resusitasi jantung paru traumatic atau lama (>10 menit) atau operasi besar
(< 3 minggu)
- Perdarahan internal baru (dalam 2 – 4 minggu)
- Pungsi vaskular yang tak terkompresi
- Untuk streptase/ anireplase: riwayat penggunaan > 5 hari sebelumnya atau
reaksi alergi sebelumnya terhadap obat ini.
- Kehamilan
- Ulkus peptikum aktif
- Penggunaan antikoagulan baru: makin tinggi INR makin tinggi risiko
perdarahan
2.8.2. Primary Percutaneous Coronary Intervention
Apabila PCI dapat dilakukan dalam rentang waktu 90 menit, maka PCI
menjadi pilihan utama dalam penanganan STEMI. PCI termasuk angioplasty dan
15
biasanya dilakukan stenting. Primary PCI sangat efektif untuk reperfusi koroner.
Pada uji klinis yang dilakukan oleh klinisi yang sudah sangat berpengalaman,
reperfusi optimal dapat dicapai pada > 95% (European Society of Cardiology,
2013; Fletcher, 2007; Lilly, 2011).
Dibandingkan dengan terapi fibrinolitik, primary PCI mempunyai angka
harapan hidup yang lebih tinggi dan menurunkan resiko reinfarc dan perdarahan.
Sebagai tambahan, primary PCI dianjurkan pada pasien yang mempunyai kontra
indikasi terhadap terapi fibrinolitik. PCI juga direkomendasikan pada pasien yang
tidak memberikan respon yang adekuat setelah diterapi dengan fibrinolitik (Lilly,
2011).
Gambar 7. Revascularization using a thrombectomy aspiration catheter (Dikutip dari
Risalina Myrtha, Patofisiologi Sindrom Koroner Akut, Kalbe Farma, CDK-192 / Vol. 39
no. 4, th 2012)
2.9. Komplikasi
Komplikasi dari STEMI dapat berupa (Price & Wilson, 2006) :
1. Gagal Jantung Kongestif
16
Gagal jantung kongestif merupakan kongesti sirkulasi akibat disfungsi
miokardium. Tempat kongesti bergantung pada ventrikel yang terlibat.
Disfungsi ventrikel kiri atau gagal jantung kiri, menimbulkan kongesti
pada vena pulmonalis, sedangkan disfungsi ventrikel kanan atau gagal
jantung kanan mengakibatkan kongesti vena sistemik. Kegagalan pada
kedua ventrikel disebut kegagalan biventricular. Gagal jantung kiri
merupakan komplikasi mekanis yang paling sering terjadi setelah
infark miokardium.
2. Syok Kardiogenik
Syok kardiogenik terjadi akibat disfungsi nyata ventrikel kiri sesudah
mengalami infark yang massif, biasanya mengenai lebih dari 40%
ventrikel kiri. Syok kardiogenik merupakan lingkaran setan perubahan
hemodinamik progresif hebat yang ireversibel: (1) penurunan perfusi
perifer, (2) penurunan perfusi koroner, (3) peningkatan kongesti paru.
3. Disfungsi Otot Papilaris
Penutupan katup mitralis selama sistolik ventrikel bergantung pada
integritas fungsional otot papilaris ventrikel kiri dan korda tendinea.
Disfungsi sistemik atau rupture nekrotik otot papilaris akan
mengganggu fungsi katup mitralis, memungkinkan eversi daun katup
ke dalam atrium selama sistol. Inkompetensi katup mengakibatkan
aliran retrograde dari ventrikel kiri ke dalam atrium kiri dengan dua
akibat : pengurangan aliran ke aorta, dan peningkatan kongesti pada
atrium kiri dan vena pulmonalis.
4. Defek Septum Ventrikel
Nekrosis septum interventrikular dapat menyebabkan rupture dinding
septum sehingga terjadi defek septum ventrikel. Septum mendapatkan
aliran darah ganda (yaitu dari arteria yang berjalan turun pada
permukaan anterior dan posterior sulkus interventrikularis) sehingga
rupture septum menunjukkan adanya penyakit arteria koronaria yang
cukup berat, yang mengenai lebih dari satu arteri.
5. Ruptur Jantung
17
Meskipun jarang terjadi, rupture dinding ventrikel jantung yang bebas
dapat terjadi pada awal perjalanan infark transmural selama fase
pembuangan jaringan nekrotik sebelum pembentukan parut. Dinding
nekrotik yang tipis pecah, sehingga terjadi perdarahan massif ke dalam
kantong pericardium yang relatif tidak elastis dan tak dapat
berkembang. Kantong pericardium yang terisi darah menekan jantung,
menimbulkan tamponade jantung. Tamponade jantung ini akan
mengurangi aliran balik vena dan curah jantung. Biasanya kematian
terjadi dalam beberapa menit kecuali apabila keadaan ini cepat
diketahui dan dipulihkan dengan perikardiosentesis transtoraks.
6. Aneurisme Ventrikel
Penonjolan paradoks sementara pada iskemia miokardium sering
terjadi, dan pada sekitar 15% pasien, aneurisme bentrikel akan
menetap. Aneurisme ini biasanya terjadi pada permukaan anterior atau
apeks jantung. Aneurisme ventrikel akan mengembang bagai balom
pada setiap sistolik, teregang secara pasif oleh sebagian volume
sekuncup. Aneurisme dapat menimbulkan tiga masalah : (1) gagal
jantung kongestif kronis, (2) embolisasi sistemik dari trombus mural,
dan (3) disritmia ventrikel refrakter.
7. Tromboembolisme
Tromboembolisme merupakan komplikasi klinis nyata pada infark
miokardium akut dalam sekitar 10% kasus (terutama dengan infark
yang luas pada dinding anterior). Emboli arteri berasal dari trombi
mural dalam ventrikel kiri dan dapat menyebabkan stroke bila terdapat
dalam sirkulasi serebral. Sebagian besar emboli paru terjadi di vena
tungkai dan terbatasnya aliran darah ke jaringan menyebabkan
meningkatnya risiko.
8. Disritmia
Gangguan irama jantung merupakan jenis komplikasi tersering pada
infark miokardium, dengan denyut premature ventrikel terjadi pada
hampir semua pasien dan terjadi denyut kompleks pada sebagian besar
pasien. Disritmia terjadi akibat perubahan elektrofisiologi sel – sel
18
miokardium. Perubahan elektrofisiologi ini bermanifestasi sebagai
perubahan bentuk potensial aksi, yaitu rekaman grafik aktivitas listrik
sel. Misalnya, perangsangan simpatis akan meningkatkan depolarisasi
spontan sehingga meningkatkan kecepatan denyut jantung.
2.9. Prognosis
Terdapat beberapa sistem untuk menentukan prognosis STEMI,
diantaranya KILLIP score yang digunakan untuk menentukan derajat disfungsi
ventrikel kiri dan untuk menentukan status klinis dari individu post MI (American
Heart Association, 2000; Alwi, 2007).
Tabel 2. Klasifikasi Killip pada Infark Miokard Akut
Klas Definisi Mortalitas (%)I Tak ada tanda gagal jantung
kongestif6
II + S3 dan/ atau ronki basah 17III Edema paru 30 – 40IV Syok kardiogenik 60 - 80
Prognosa pada pasien juga dapat digunakan “TIMI risk score for STEMI”
untuk menentukan kemungkinan mortalitas dalam 30 hari pasca infark (American
Heart Association, 2000; Alwi, 2007).
Gambar 8. TIMI Risk Score (Dikutip dari American Heart AssociationTIMI Risk
Score for ST-Elevation Myocardial Infarction, 2000)
19