Upload
daeyah
View
5.751
Download
4
Embed Size (px)
DESCRIPTION
Citation preview
BIOREMEDIASI *) - SB091435
LAPORAN PRAKTIKUM BIOREMEDIASI
Dosen Pengampu
AUNURROHIM, S.Si., DEA
JURUSAN BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT TEKNOLOGI SEPULUH NOPEMBER
SURABAYA
2012
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Timbal (Pb) yang juga sering disebut timah hitam (lead) merupakan salah
satu logam berat yang berbahaya bagi kesehatan manusia dan organisme lainnya.
Kegiatan industri yang perpotensi sebagai sumber pencemaran Pb misalnya
industri baterai, bahan bakar, kabel, pipa serta industri kimia. Selain itu juga
sumber Pb dapat berasal dari sisa pembakaran pada kendaraan bermotor dan
proses penambangan. Semua sisa buangan yang mengandung Pb dapat masuk ke
dalam lingkungan perairan dan menimbulkan pencemaran (Herman, 2006).
Pb di dalam tubuh manusia dapat masuk secara langsung melalui air
minum, makanan atau udara. Pb dapat menyebabkan gangguan pada organ seperti
gangguan neurologi (syaraf), ginjal, sistem reproduksi, sistem hemopoitik serta
sistem syaraf pusat. Selain itu pula Pb di dalam badan perairan dapat meracuni
dan mematikan organisme yang ada di dalam perairan tersebut, sehingga dapat
mengganggu keseimbangan ekosistem (Santi, 2001).
Kelimpahan rata-rata unsur Pb dalam tanah adalah 5-50 ppm (Juliawan
dkk, 2005). Namun Pb adalah logam berat yang secara fisiologis tidak diperlukan
tanaman maupun hewan (Hindersah dkk, 2004). Logam berat tidak dapat
didegradasi, sehingga untuk melakukan remediasi area yang tercemar oleh logam
berat dilakukan secara fisik, kimawi ataupun biologis namun metode tersebut
mahal, tidak efektif dan berdampak negatif bagi lingkungan (Lasat, 2002). Oleh
karena itu, perlu dilakukan tindakan pemulihan (remediasi) yang mudah, murah
dan efisien agar lahan yang tercemar logam berat dapat digunakan kembali untuk
berbagai kegiatan dengan aman. Salah satu metode remediasi yang dapat
digunakan adalah fitoremediasi. Fitoremediasi merupakan teknik pemulihan lahan
tercemar dengan menggunakan tumbuhan untuk menyerap, mendegradasi,
mentransformasi dan mengimobilisasi bahan pencemar, baik itu logam berat
maupun senyawa organik. Metode ini mudah diaplikasikan, efisien, murah dan
ramah lingkungan (Schnoor and McCutcheon, 2003).
Penelitian tentang berbagai macam tumbuhan telah banyak dilakukan
untuk mengetahui potensi dari masing-masing tumbuhan tersebut dalam menyerap
logam berat. Tumbuhan yang telah digunakan dalam beberapa penelitian
fitoremediasi logam berat sebelumnya adalah Polygonum hydropiper L., Rumex
acetosa L. (Wang et al., 2003), Lolium perenne (O Connor et al., 2003),
Brassica juncea (Bennet et al., 2003), Thlaspi caerulescens, Zea mays L. (Lombi
et al., 2001), Vetiveria zizanioides (Greenfield, 1989), Helianthus annus dan
Brassica napus (Solhi et al., 2005), Streptanthus polygaloides, Sebertia
acuminata, Armeria maritima, Aeollanthus biformifolius, Haumaniatrum
katangense, dan dari genus Alyssum (Rismana, 2002).
Pada penelitian ini tanaman yang akan dimanfaatkan untuk proses
remediasi adalah tanaman gandarusa (Justicia gendarussa) tumbuh liar di hutan,
tanggul sungai atau ditanam sebagai tumbuhan obat, perdu, tumbuh tegak dengan
tinggi sekitar 0,8-2 m batangnya berkayu, segiempat, bercabang, beruas-ruas dan
berwarna coklat kehitaman. Daun mempunyai pertulangan yang menyirip
berhadapan, bertangkai pendek, hijau tua, tunggal, lanset, dengan panjang 5-20
cm, sedangkan lebarnya 1-3,5 cm. bunganya berwarna ungu, mahkota bentuk
tabung, berbibir dua, majemuk, bentuk malai dengan panjang 3 sampai 12 cm.
Buah berbentuk ganda berbiji empat. Biji berwarna coklat, kecil dan keras.
Tanaman gandarusa mempunyai akar tunggang dan berwarna coklat (Dalimartha,
2001).
Media tanam yang digunakan dalam penelitian ini adalah tanah taman
yang biasa dipakai untuk membuat taman-taman di rumah. Tanah taman ini
dianggap baik karena subur dan tidak memakai pupuk. Pada penelitian ini tidak
dilakukan pengaturan pH tanah, dengan tujuan untuk mengetahui kemampuan
alami tanaman jarak pagar dalam menyerap logam berat Pb. Beberapa variabel
yang akan digunakan antara lain variasi konsentrasi logam berat, dan efek
kombinasi logam berat dan akumulasi pada bagian tumbuhan. Berdasarkan
diatas, maka pada penelitian ini akan mengkaji tentang fitoremediasi tanah
tercemar logam berat dengan menggunakan tanaman gandarusa (Justicia
gendarussa).
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka dapat diajukan rumusan
masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana pengaruh logam berat Pb akumulasi di daun?
2. Berapakah nilai persentase reduksi tanah tercemar Pb oleh tanaman gandarusa
(Justicia gendarussa)?
3. Apakah tanaman gandarusa (Justicia gendarussa) mempunyai kemampuan
dalam mengakumulasi Pb dan Cd?
4. Berapakah nilai persentase akumulasi logam berat Pb dalam tanaman gandarusa
(Justicia gendarussa)?
1.3. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengkaji pengaruh logam berat Pb, akumulasi pada daun
2. Untuk mengetahui nilai persentase reduksi tanah tercemar Pb tanaman
gandarusa (Justicia gendarussa)
3. Untuk mengkaji kemampuan tanaman gandarusa (Justicia gendarussa) dalam
mengakumulasi Pb.
4. Untuk mengetahui nilai persentase akumulasi logam berat Pb dalam tanaman
gandarusa (Justicia gendarussa)
1.4. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian yang dilakukan diharapkan dapat memberikan informasi
ilmiah tentang potensi pemanfaatan tanaman gandarusa (Justicia gendarussa)
sebagai tanaman alternatif dalam meremediasi tanah yang tercemar logam berat
Pb.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Timbal
Timbal (plumbum/Pb) atau timah hitam adalah satu unsur logam berat
yang lebih tersebar luas dibanding kebanyakan logam toksik lainnya. Kadarnya
dalam lingkungan meningkat karena penambangan, peleburan dan berbagai
penggunaannya dalam industri. Timbal berupa serbuk berwarna abu-abu gelap
digunakan antara lain sebagai bahan produksi baterai dan amunisi, komponen
pembuatan cat, pabrik tetraethyl lead, pelindung radiasi, lapisan pipa,
pembungkus kabel, gelas keramik, barang-barang elektronik, tube atau container,
juga dalam proses mematri. Keracunan dapat berasal dari timbal dalam mainan,
debu ditempat latihan menembak, pipa ledeng, pigmen pada cat, abu dan asap
dari pembakaran kayu yang dicat, limbah tukang emas, industri rumah, baterai
dan percetakan (Brady, 1999).
Gambar 1. Timbal (Pb).
(Anonim, 2011)
Timbal dapat masuk kedalam tubuh manusia melalui pernafasan,
pemaparan maupun saluran pencernaan. Lebih kurang 90% partikel timbal dalam
asap atau debu halus di udara dihisap melalui saluran pernafasan. Timbal
(Plumbum) beracun baik dalam bentuk logam maupun garamnya. Garamnya
yang beracun adalah : timbal karbonat (timbal putih); timbal tetraoksida (timbal
merah); timbal monoksida; timbal sulfida; timbal asetat (merupakan penyebab
keracunan yang paling sering terjadi) (Anhar, 2000).
Logam timbal telah dipergunakan oleh manusia sejak ribuan tahun yang
lalu (sekitar 6400 BC) hal ini disebabkan logam timbale terdapat diberbagai
belahan bumi, selain itu timbale mudah di ekstraksi dan mudah dikelola. Timah
dalam bahasa Inggris disebut sebagai “Lead” dengan symbol kimia “Pb”. Simbol
ini berasal dari nama latin timbal yaitu “Plumbum” yang artinya logam lunak.
Timbal memiliki warna putih kebiruan yang terlihat ketika logam Pb dipotong
akan tetapi warna ini akan segera berubah menjadi putih kotor atau abu-abu gelap
ketika logam Pb yang baru dipotong tersebut terekspos oleh udara. Timbal
merupakan logam yang lunak, tidak bisa ditempa, memiliki konduktifitas listrik
yang rendah, dan tergolong salah satu logam berat seperti halnya raksa timbale
dapat membahayakan kesehatan manusia. Karena logam timbale berifat tahan
korosi maka container dari timbale sering dipakai untuk menampung cairan yang
bersifat korosif ataupun sebagai lapisan kontroksi bangunan (Brady, 1999).
Timbal memiliki empat isotop yang stabil yaitu 204Pb, 206Pb, 207Pb, dan 208Pb. Standar massa atom Pb rata-rata adalah 207,2. Sekitar 38 isotop Pb telah
diketemukan termasuk isotop sintesis yang bersifat tidak stabil. Isotop timbale
dengan waktu paruh yang terpanjang dimiliki oleh 205Pb yang waktu paruhnya
adalah 15,3 juta tahun dan 202Pb yang memiliki waktu paruh 53.000 tahun
(Brady, 1999).
Timbal memiliki nomor atom 82 dan nomor massa 207,2. Dengan nomor
atom 82 maka timbal memiliki konfigurasi electron [Xe] 4f14 5d10 6s2 6p2
dengan jumlah elektron tiap selnya adalah 2, 8, 18, 32, 18, 4. Timbal berada pada
golongan IVA (14) bersama dengan C, Si, Ge, dan Sn, periode 6 dan berada pada
blok s. Gambar susunan kulit pada timbal adalah:
Gambar 2. Susunan Kulit pada timbal.
(Brady, 1999).
2.1.1 Sumber Timbal
Timbal tidak ditemukan bebas dialam akan tetapi biasanya ditemukan
sebagai biji mineral bersama dengan logam lain misalnya seng, perak, dan
tembaga. Sumber mineral timbale yang utama adalah “Galena (PbS)” yang
mengandung 86,6% Pb, “Cerussite (PbCO3)”, dan “Anglesite (PbSO4).
Kandungan timbale dikerak bumi adalah 14 ppm, sedangkan di lautan adalah:
Permukaan samudra atlantik : 0,00003 ppm
Bagian dalam samudra atlantik : 0,000004 ppm
Permukaan Samudra pasifik : 0,00001 ppm
Bagian dalam samudra pasifik : 0,000001 ppm
(Anonim, 2011)
a. Galena
Galena adalah mineral timbal yang amat penting dan paling banyak
tersebar di penjuru belahan bumi dan umumnya berasosiasi dengan mineral lain
seperti sphalerite, calcite, dan flourite. Deposit galena biasanya mengandung
sejumlah tertentu perak dan juga terdapat seng, cadmium, antimoni,arsen, dan
bismuth, sehingga umumnya produksi timbal dari galena menghasilkan juga
logam-logam tersebut. Warna galena adalah abu-abu mengkilap dan formulanya
adalah PbS. Struktur kristalnya kubik dan oktahedral dan spesifik graviti 7,2 – 7,6
(Anonim, 2011).
Gambar 3. Galena
(Anonim, 2011).
b. Cerrusite
Cerrusite merupakan salah satu mineral timbal yang mengandung timbal
karbonat dan menjadi sumber timbal yang utama setelah galena. Mineral ini juga
terdapat dalam bentuk granular yang padat atau benbentuk fibrous. Warnanya
umumnya tidak berwarna, hingga putih, abu-abu, biru, atau hijau dengan
penampakkan darai transparan hingga translusen. Mineral ini bersifat getas tidak
larut dalam air akan tetapi larut dalam asam encer seperti asam nitrat. Dan spesifik
gravitinya 6,53-6,57 (Anonim, 2011).
Gambar 4. Cerrusite
(Anonim, 2011)
c. Anglesite
Anglesite merupakan mineral timbal yang mengandung timbal sulfat
PbSO4. Mineral ini terjadi sebagai hasil oksidasi mineral gelena akibat pengaruh
cuaca. Warna mineral ini dari putih, abu-abu, hingga kuning, jika tidak murni
maka warnanya abu-abu gelap. Mineral ini memiliki spesifik grafiti 6,3 dengan
kandungan timbal sekitar 73% (Anonim, 2011).
Gambar 5. Anglesite.
(Anonim, 2011)
2.1.2 Cara Memproduksi Timbal
Pada umumnya biji timbale mengandung 10% Pb dan biji yang memiliki
kandungan timbale minimum 3% bisa dipakai sebagai bahan baku untuk
memproduksi timbale. Biji timbale pertama kali dihancurkan dan kemudian
dipekatkan hingga konsentrasinya mencapai 70% dengan menggunakan proses
“froth flotation” yaitu proses pemisahan dalam industri untuk memisahkan
material yang bersifat hidrofobik dengan hidrofilik (Asiah, 2000).
Kandungan sulfide dalam biji timbale dihilangkan dengan cara
memanggang biji timbale sehingga akan terbentuk timbale oksida (hasil utama)
dan campuran antara sulfat dan silikat timbal dan logam-logam lain yang ada
dalam biji timbale. Pemanggangan ini dilakukan dengan menggunakan aliran
udara panas (Asiah, 2000).
Timbal oksida yang terbentuk direduksi dengan menggunakan alat yang
dinamakan “blast furnace” dimana pada proses ini hampir semua timbale oksida
akan direduksi menjadi logam timbale. Hasil timbale dari proses ini belum murni
dan masih mengandung kontaminan seperti Zn, Cd, Ag, Cu, dan Bi. Timbal
oksida yang tidak murni ini kemudian dicairkan dalam “furnace reverberatory”
dan di treatment menggunakan udara, uap, dan belerang dimana kontaminan akan
teroksidasi kecuali perak, emas, dan bismuth. Kontaminan ini akan terapung pada
bagian atas sehingga dapat dipisahkan. Logam silver dan emas dipisahkan dengan
menggunakan proses Parkes, dan bismuthnya dihilangkan dengan menggunakan
logam kalsium dan magnesium. Hasil logam yang dihasilkan dari keseluruhan
proses ini adalah logam timbale. Logam timbal yang sangat murni diperoleh
dengan cara elektrolisis meggunakan elektrolit silica flourida (Darmono, 1995).
2.1.3 Sifat Timbal
2.1.3.1 Sifat Fisika
Sifat fisika timbal menurut Palar (1994) adalah :
Fasa pada suhu kamar : padatan
Densitas : 11,34 g/cm3
Titik leleh : 327,5 0C
Titik didih : 17490C
Panas Fusi : 4,77 kJ/mol
Panas Penguapan : 179,5 kJ/mol
Kalor jenis : 26,650 J/molK
2.1.3.2 Sifat Kimia
Sifat kimia timbal menurut Palar (1994) adalah :
Bilangan oksidasi : 4,2,-4
Elektronegatifitas : 2,33 (skala pauli)
Energi ionisasi 1 : 715,6 kJ/mol
Energi ionisasi : 1450,5 kJ/mol
Energi ionisasi 3 : 3081,5 kJ/mol
Jari-jari atom : 175 pm
Radius ikatan kovalen : 146 pm
Jari-jari Van Der Waals : 202 pm
Struktur Kristal : kubik berpusat muka
Sifat kemagnetan : diamagnetik
Resistifitas termal : 208 nohm.m
Konduktifitas termal : 35,3 W/mK
2.1.3.3 Sifat Timbal yang Lain
Berbagai macam timbale oksida mudah direduksi menjadi logamnya. Hal
ini bisa dilakukan dengan menggunakan reduktor glukosa, atau mencampur antara
PbO dengan PbS kemudian dipanaskan. Logam Pb tahan terhadap korosi, jika
kontak dengan udara maka akan segera terbentuk lapisan oksida yang akan
melindungi logam Pb dari proses oksidasi lebih lanjut (Wardhana, 1999).
Logam Pb tidak larut dalam asam sulfat maupun asam klorida, melainkan
larut dalam asam nitrat dengan membentuk gas NO dan timbale nitrat yang larut.
Bila dipanaskan dengan nitrat dari logam alkali maka logam timbal akan
membentuk PbO yang umumnya disebut sebagai litharge. PbO adalah representasi
dari timbale dengan biloks 2. PbO larut dalam asam nitrat dan asam asetat. PbO
juga larut dalam larutan basa membentuk gara plumbit (Wardhana, 1999).
Klorinasi terhadap larutan diatas menghasilkan timbale dengan biloks
4.PbO2 adalah representasi dari timbale dengan biloks 4 dan merupakan agen
pengoksidasi yang kuat. Karena PbO larut dalam asam dan basa maka PbO
bersifat amfoter. Senyawa timbale dengan dua macam biloks juga ada yaitu Pb 3O4
yang dikenal dengan nama minium (Darmono, 1995).
Timbal atau yang kita kenal sehari -hari dengan timah hitam dan dalam
bahasa ilmiahnya dikenal dengan kata plumbum dan logam ini disimpulkan
dengan Pb. Logam ini termasuk kedalam kelompok logam-logam golongan IV–A
pada tabel Periodik unsur kimia. Mempunyai nomor atom (NA) 82 dengan bobot
atau berat (BA) 207,2 adalah suatu logam berat berwarna kelabu kebiruan dan
lunak dengan titik leleh 327C dan titik didih 1.620oC. Pada suhu 550- 600oC. Pb
menguap dan membentuk oksigen dalam udara membentuk timbal oksida. Bentuk
oksidasi yang paling umum adalah timbal (II). Walaupun bersifat lunak dan
lentur, Pb sangat rapuh dan mengkerut pada pendinginan, sulit larut dalam air
dingin, air panas dan air asam timah hitam dapat larut dalam asam nitrit, asam
asetat dan asam sulfat pekat (Palar, 1994).
Timah hitam yang diabsorsi diangkut oleh darah ke organ - organ tubuh
sebanyak 95% Pb dalam darah diikat oleh eritrosit. Sebagian Pb plasma dalam
bentuk yang dapat berdifusi dan diperkirakan dalam keseimbangan dengan pool
Pb tubuh lainnya. Yang dibagi menjadi dua yaitu ke jaringan lunak (sumsum
tulang, sistim saraf, ginjal, hati) dan ke jaringan keras (tulang, kuku, rambut, gigi
(Palar, 1994). Gigi dan tulang panjang mengandung Pb yang lebih banyak
dibandingkan tu lang lainnya. Pada gusi dapat terlihat lead line yaitu pigmen
berwarna abu abu pada perbatasan antara gigi dan gusi. Hal itu merupakan ciri
khas keracunan Pb. Pada jaringan lunak sebagian Pb disimpan dalam aorta, hati,
ginjal, otak, dan kulit. Timah hitam yang ada dijaringan lunak bersifat toksik.
Keracunan akibat kontaminasi Pb bisa menimbulkan berbagai macam hal
diantaranya:
1. Menghambat aktivitas enzim yang terlibat dalam pembentukan
hemoglobin (Hb).
2. Meningkatnya kadar asam aminolevulinat dehidratase (ALAD) dan kadar
protoporphin dalam sel darah merah.
3. Memperpendek umur sel darah merah.
4. Menurunkan jumlah sel darah merah dan retikulosit, serta meningkatkan
kandungan logam Fe dalam plasma darah.
2.1.4 Manfaat Timbal
Manfaat timbal menurut Kevacs (1992) adalah :
Timbal digunakan dalam accu dimana accu ini banyak dipakai dalam
bidang automotif.
Timbal dipakai sebagai agen pewarna dalam bidang pembuatan keramik
terutama untuk warna kuning dan merah.
Timbal dipakai dalam industri plastic PVC untuk menutup kawat listrik.
Timbal dipakai sebagai proyektil untuk alat tembak dan dipakai pada
peralatan pancing untuk pemberat disebakan timbale memiliki densitas yang
tinggi, harganya murah dan mudah untuk digunakan.
Lembaran timbal dipakai sebagai bahan pelapis dinding dalam studio
music.
Timbal dipakai untuk pelindung alat-alat kedokteran, laboratorium yang
menggunakan radiasi misalnya sinar X.
Timbal cair dipergunakan sebagai agen pendingin dalam peralatan reactor
yang menggunakan timbale sebagai pendingan.
Kaca timbal mengandung 12-28% Pb dimana dengan adanya Pb ini akan
mengubah karakteristik optis dari kaca dan mereduksi transmisi radiasi.
Timbal banyak dipakai untuk elektroda pada peralatan elektrolisis.
Timbal digunakan untuk solder untuk industri elektronik.
Timbal dipakai dalam berbagai kabel listrik bertegangan tinggi untuk
mencegah difusi air dalam kabel.
Timbal ditambahkan dalam peralatan yang terbuat dari kuningan agar
tidak licin dan biasanya digunakan dalam peralatan permesinan.
Timbal dipakai dalam raket untuk memperberat massa raket.
Timbal karena sifatnya tahan korosi maka dipakai dalam bidang kontruksi.
Dalam bentuk senyawaan maka tetra-etil-lead dipakai sebagai anti-knock
pada bahan bakar.
Semikonduktor berbahan dasar timbal banyak seperti timbal telurida,
timbal selenida, dan timbal antimonida dipakai dalam peralatan sel surya dan
dipakai dalam peralatan detector inframerah.
Timbal biasanya dipakai untuk menyeimbangkan roda mobil tapi sekarang
dilarang karena pertimbangan lingkungan.
2.1.5 Senyawaan Timbal
Senyawaan timbal yang umum adalah PbN6 timbal azida, timbal bromat
Pb(BrO3)2.2H2O, timbal klorida PbCl2, timbal (II) oksida (PbO), Pb(NO3)2, Pb3O4,
Pb(C2H5)4, dan Pb(CH3)4 (Brady, 1999).
a. Tetra Etil Lead (TEL)
Tetra etil lead disingkat sebagai TEL adalah senyawa organometalik yang
memiliki rumus Pb(CH3CH2). Senyawa ini disintesis dengan mereaksikan antara
alloy NaPb dengan etil klorida. TEL yang dihasilkan berupa cairan kental tidak
berwarna, tidak larut dalam air akan tetapi larut dalam benzena, petroleum eter,
toluena, dan gasoline. TEL dipakai sebagai zat “antiknocking” pada bahan bakar.
TEL jika terbakar tidak hanya menghasilkan CO2 akan tetapi juga Pb (Brady,
1999).
Gambar 6. Tetra Etil Eter
(Anonim, 2011)
Pb akan terakumulasi dalam mesin sehingga dapat merusak mesin. Oleh
sebab itu ditambahkan 1,2-dibromoetana dan 1,2-dikloroetana bersamaan dengan
TEL sehingga akan dapat dihasilkan PbBr2 dan PbCl2 yang dapat dibuang dari
mesin. Karena efek racun terhadap manusia maka TEL sekarang tidak boleh
dipergunakan (Darmono, 1995).
b. Timbal (II) Klorida PbCl2
PbCl2 merupakan salah satu reagen berbasis timbal yang sangat penting
disebabkan dari senyawa ini dapat dibuat berbagai macam senyawa timbal.
Banyak digunakan sebagai bahan untuk mensintesis timbal titanat dan barium-
timbaltitanat, untuk produksi kaca yang menstransimisikan inframerah, dipakai
untuk memproduksi kaca ornament, untuk bahan cat dan sebagainya. PbCl2 dibuat
dari beberapa metode yaitu dengan proses pengendapan senyawa Pb2+ dengan
garam klorida, atau dengan mereaksikan PbO2 dengan HCl. Atau dibuat dari
logam Pb yang direaksikan dengan gas Cl2. Timbal membentuk berbagai macam
kompleks dengan klorida. PbCl2 jika dilarutkan dalam HCl berlebih akan
membentuk kompleks PbCl42-. PbCl2 larut juga dalam air panas (Asiah, 2000).
Nama kimianya adalah Plumbi Oksida atau Timbal(IV) oksida merupakan
oksida timbale dengan biloks 4. PbO2 ada dialam sebagai mineral plattnerite. PbO2
bersifat amfoter dimana dapat larut dalam asam maupun basa. Jika dilarutkan
dalam basa kuat akan terbentuk ion plumbat dengan rumus Pb(OH)62-. Dalam
kondisi asam maka biasanya tereduksi menjadi ion Pb2+. Ion Pb4+ tidak pernah
diketemukan dalam larutan. Penggunaan PbO2 yang utama adalah sebagai katoda
dalam accu (Darmono, 1995).
c. Timbal tetra oksida (Pb3O4)
Dikenal dengan nama timbale tetroksida, minium, atau triplumbi
tetroksida. Berupa zat padat berwarna merah atau oranye. Rumus umumnya
adalah Pb3O4 atau 2PbO.PbO2. Memiliki titik leleh 500oC dimana pada suhu ini
Pb3O4 terdekomposisi menjadi PbO dan oksigen. Pb3O4 ini banyak dipergunakan
oleh industri penghasil baterai, kaca timbale, dan cat anti korosi. Senyawa timbal
ini tidak larut dalam air akan tetapi larut dalam HCl, asam asetat glacial, dan
campuran antara asam nitrat dan hydrogen peroksida. Pb3O4 dibuat dari proses
kalsinasi dari PbO2 dengan kehadiran oksigen pada suhu 450-4800C (Asiah,
2000).
Gambar 7. Timbal Tetra Oksida
(Anonim, 2011)
d. Timbal (II) Nitrat
Memiliki rumus kimia Pb(NO3)2. Timbal (II) nitrat umumnya merupakan
kristal yang tidak berwarna atau berbentuk bubuk putih, dibandingkan dengan
garam timbal yang lain maka gram timbal ini sangat mudah larut dalam air.
Timbal (II) nitrat sangat bersifat racun terhadap manusia dan merupakan
oksidator. Cara membuat timbal nitrat adalah dengan melarutkan logam Pb pada
larutan asam nitrat atau dengan melarutkan PbO dalam asam nitrat. Larutan
Pb(NO3)2 bereaksi dengan KI mebentuk PbI2 yang berwarna kuning. Intensitas
warna kuning ini tergantung dari banyaknya jumlah reaktan yang digunakan
(Darmono, 1995).
2.2 Fitoremediasi
Fitoremediasi adalah upaya penggunaan tanaman dan bagian-bagiannya
untuk dekontaminasi limbah dan masalah-masalah pencemaran lingkungan baik
secara ex-situ menggunakan kolam buatan atau reactor maupun in-situ (langsung
di lapangan) pada tanah atau daerah yang terkontaminasi limbah (Subroto, 1996).
Teknik fitoremediasi didefinisikan sebagai teknologi pembersihan,
penghilangan atau pengurangan zat pencemar dalam tanah atau air dengan
menggunakan bantuan tanaman. Teknik fitoremediasi merupakan metode
biokonsentrasi bahan berbahaya (polutan) dalam tanah dan air serta merupakan
teknologi pemulihan kualitas lingkungan tercemar yang ramah lingkungan dan
murah. Teknik fitoremediasi sering dikembangkan untuk pemulihan kualitas
lingkungan yang tercemar logam berat seperti Pb, Zn, Au dan pencemar dalam
bentuk radioaktif seperti Cs.
Persyaratan tanaman untuk fitoremediasi, tidak semua tanaman dapat
digunakan dikarenakan semua tanaman tidak dapat melakukan metabolisme,
volatilisasi dan akumulasi semua polutan dengan mekanisme yang sama. Menurut
Youngman (1999) untuk menentukan tanaman yang dapat digunakan pada
penelitian fitoremediasi dipilih tanaman yang mempunyai sifat:
1. Cepat tumbuh.
2. Mampu mengkonsumsi air dalam jumlah yang banyak pada waktu yang
singkat.
3. Mampu meremediasi lebih dari satu polutan.
4. Toleransi yang tinggi terhadap polutan.
Banyak tanaman yang telah diteliti dan memperlihatkan kemampuan
dalam meremediasi polutan seperti logam dan senyawa hidrophobik seperti BTEX
(Benzen, Toluene, Ethylbenzen dan Xylen), Larutan klor, Limbah amunisi dan
senyawa nitrogen. Pada tabel 1 memperlihatkan tanaman dan polutan yang dapat
diremediasi.
Tabel 1. Daftar tanaman dan senyawa kimia yang dapat diremediasi
Tanaman Senyawa kimia
Arabidopsis Merkuri
Blader Champion Seng, tembaga
Famili Brasicaceae Selenium, sulfur timbal, cadmium,
nikel, seng, tembaga, cesium, strotium
Buxaceae Nikel
Famili Compositae Cesium Stontium
Euphorbiaceae Nikel
Tomat Tembaga, seng, timbal
Poplar Pestisdia, atrazine, TCE, carbon
tetrachlorin, senyawa nitrogen, TNT
Pennyeress Seng, cadmium
Bunga matahari Cesium, strotium, uranium
Genus lemma Limbah bom
Parrot feather Limbah bom
Arrow root TNT, RDX
Perenial rye grass Polychlorinatedphenyl, polyaromatic
hidrokarbon
(Kelly et al., 1997)
Mekanisme kerja fitoremediasi terdiri dari beberapa konsep dasar yaitu:
fitoekstraksi, fitovolatilisasi, fitodegradasi, fitostabilisasi, rhizofiltrasi dan
interaksi dengan mikroorganisme pendegradasi polutan (Kelly, 1997).
Fitoekstraksi merupakan penyerapan polutan oleh tanaman dari air atau tanah dan
kemudian diakumulasi/disimpan didalam tanaman (daun atau batang), tanaman
seperti itu disebut dengan hiperakumulator. Setelah polutan terakumulasi,
tanaman bisa dipanen dan tanaman tersebut tidak boleh dikonsumsi tetapi harus di
musnahkan dengan insinerator kemudian dilandfiling. Fitovolatilisasi merupakan
proses penyerapan polutan oleh tanaman dan polutan tersebut dirubah menjadi
bersifat volatil dan kemudian ditranspirasikan oleh tanaman. Polutan yang di
lepaskan oleh tanaman keudara bisa sama seperti bentuk senyawa awal polutan,
bisa juga menjadi senyawa yang berbeda dari senyawa awal. Fitodegradasi adalah
proses penyerapan polutan oleh tanaman dan kemudian polutan tersebut
mengalami metabolisme didalam tanaman. Metabolisme polutan didalam tanaman
melibatkan enzim antara lain nitrodictase, laccase, dehalogenase dan nitrilase.
Fitostabilisasi merupakan proses yang dilakukan oleh tanaman untuk
mentransformasi polutan didalam tanah menjadi senyawa yang non toksik tanpa
menyerap terlebih dahulu polutan tersebut kedalam tubuh tanaman. Hasil
transformasi dari polutan tersebut tetap berada didalam tanah. Rhizofiltrasi adalah
proses penyerapan polutan oleh tanaman tetapi biasanya konsep dasar ini berlaku
apabila medium yang tercemarnya adalah badan perairan.
Gambar 8. Jalur penyerapan polutan pada tanaman pada proses
fitoremediasi (titik merah menunjukan polutan)
Meurut Haryanti (2007) mekanisme penyerapan dan akumulasi logam
berat oleh tanaman dapat dibagi menjadi tiga proses yang sinambung, sebagai
berikut :
1. Penyerapan oleh akar. Agar tanaman dapat menyerap logam, maka logam
harus dibawa ke dalam larutan di sekitar akar (rizosfer) dengan beberapa
cara bergantung pada spesies tanaman. Senyawa-senyawa yang larut
dalam air biasanya diambil oleh akar bersama air, sedangkan senyawa-
senyawa hidrofobik diserap oleh permukaan akar.
2. Translokasi logam dari akar ke bagian tanaman lain. Setelah logam
menembus endodermis akar, logam atau senyawa asing lain mengikuti
aliran transpirasi ke bagian atas tanaman melalui jaringan pengangkut
(xilem dan floem) ke bagian tanaman lainnya.
3. Lokalisasi logam pada sel dan jaringan. Hal ini bertujuan untuk menjaga
agar logam tidak menghambat metabolisme tanaman. Sebagai upaya untuk
mencegah peracunan logam terhadap sel, tanaman mempunyai mekanisme
detoksifikasi, misalnya dengan menimbun logam di dalam organ tertentu
seperti akar.
Mekanisme Fitoakumulasi atau fitoekstraksi
Fitoakumulasi atau fitoekstraksi merupakan merupakan salah satu proses
dalam fitoremediasi yang mencakup 4 hal, yaitu : pengelolaan tanaman pada
lokasi tercemar, pemindahan logam melalaui biomassa yang dipanen, dilakukan
perlakuan terhadap biomassa yang dipanen berikut pelenyapan biomassa sebagai
limbah berbahaya, penghilangan logam dari biomassa yang dipanen. Fitoekstraksi
termasuk pendekatan yang paling baik untuk memindahkan kontaminan, terutama
dari tanah dan mengisolasinya tanpa merusak struktur tanah dan kesuburan tanah.
Proses ini juga dikenal dengan istilah fitoakumulasi. Faktor yang harus
diperhatikan agar metode ini sesuai adalah tanaman yang digunakan harus dapat
mengekstrak logam dalam konsentrasi yang besar ke dalam akar, kemudian
menstranslokasikannya ke tajuk dan memproduksi biomassa tanaman dalam
jumlah besar. Pemindahan logam berat dapat didaur ulang kembali dari biomassa
tanaman yang telah terkontaminasi. Faktor-faktor tanaman seperti laju
pertumbuhan, selektifitas elemen, resisten terhadap penyakit, metode panen juga
penting untuk diperhatikan. Namun, pertumbuhan yang lambat, system perakaran
yang dangkal, produksi bimassa yang kecil dan pembuangan akhir dapat menjadi
pembatas penggunaan spesies hiperakumulator (Hayati, 2010).
Fitoakumulasi atau fitoekstraksi adalah penyerapan polutan logam berat
(Ag, Cd, Co, Cr, Cu, Hg, Mn, Ni, Pb, Zn) di dalam tanah oleh akar tumbuhan, dan
mengakumulasikan senyawa tersebut ke bagian tumbuhan, seperti akar, batang,
atau daun. Kontaminan dihilangkan dari lingkungan dengan cara memanen
tanaman dan menjadikannya sebagai limbah. Penekanan teknologinya adalah
bahwa daun tanaman mempunyai massa yang jauh lebih kecil dibandingkan
dengan tanah dan bahan lain yang selama ini digunakan dalam proses
dekontaminasi. Teknik fitoakumulasi ini banyak dipakai pada dekontaminasi
tanah, sedimen dan sludge.
Beberapa kelemahan dari teknik fitoekstraksi menurut Tjahaja et al (2009)
adalah :
a. Tanaman yang merupakan hiperakumulator logam biasanya mempunyai
pertumbuhan lambat, biomassanya kecil, dan sistem perakarannya
dangkal.
b. Biomassa tanaman harus dipanen dan dipindahkan, selanjutnya dilakukan
reklamasi logam atau pembuangan biomassa dengan cara yang sesuai.
c. Logam atau bahan pencemar dapat memberikan efek toxic pada tanaman.
Selama ini penelitian fitoekstraksi kebanyakan dilakukan secara
hidroponik di laboratorium dengan menambahkan kontaminan logam ke
dalam larutan. Kondisi ini tidak menggambarkan keadaan yang sebenarnya
apabila kontaminan berada di tanah. Koefisien fitoekstraksi atau faktor
akumulasi yang diperoleh dari kondisi lapangan akan berbeda dengan hasil
yang diperoleh dari penelitian di laboratorium.
Gambar 9. Mekanisme fitoekstraksi / fitoakumulasi
(Tjahaja et al, 2009)
Metode fitoekstraksi sering digunakan untuk dekontaminasi logam Ag,
Cd, Co, Cr, Cu, Hg, Mn, Mo, Ni, Pb, Zn. Beberapa unsur radioaktif dilaporkan
dapat juga didekontaminasi dengan teknik fitoekstraksi, yaitu Sr-90, Cs-137, Pu-
239, U-238, dan U-234. Biasanya teknik fitoekstraksi ini diaplikasikan pada tanah
atau sedimen yang terkontaminasi dengan metal (Pb, Cd, Zn, As, Cu, Cr, Se, U).
Tanaman yang dapat dipakai adalah bunga matahari (Helianthus anuus),
indianmustard atau sawi (B. juncea), rapeseed plants (B. napus), barle (Hordeum
vulgare, family Poaceae), hops (Humulus lupulus), crucifers (Chinese cabage atau
Brassica olerceae atau Bchinensis), serpentine plants Nettles (Urticadioica), dan
dandelions (Taraxacum officinale) (Tjahaja et al, 2009).
2.3 Tanaman Gandarusa
2.3.1 Klasifikasi
Klasifikasi tanaman gandarusa menurut
Dalimartha (2001) adalah :
Kingdom : Plantae
Divisi : Magnoliophyta
Kelas : Magnoliopsida
Ordo : Scrophulariales
Famili : Acanthaceae
Gambar 10. Tanaman gandarusa
Genus : Justicia
Spesies : Justicia gendarussa Burm.
2.3.2 Deskripsi
Tanaman gandarusa (Justicia gendarussa Burm. F) tumbuh liar di hutan,
tanggul sungai atau ditanam sebagai tumbuhan obat, perdu, tumbuh tegak dengan
tinggi sekitar 0,8-2 m. Batangnya berkayu, segiempat, bercabang, beruas-ruas dan
berwarna coklat kehitaman. Daun mempunyai pertulangan yang menyirip
berhadapan, bertangkai pendek, hijau tua, tunggal, lanset, dengan panjang 5-20
cm, sedangkan lebarnya 1-3,5 cm. Bunganya berwarna ungu, mahkota bentuk
tabung, berbibir dua, majemuk, bentuk malai dengan panjang 3 sampai 12 cm.
Buah berbentuk ganda berbiji empat. Biji berwarna coklat, kecil dan keras.
Tanaman gandarusa mempunyai akar tunggang dan berwarna coklat (Dalimartha,
2001).
2.4 Inductively Couple Plasma (ICP)
2.4.1 Deskripsi
Inductively Couple Plasma – Atomic Emission Spectrometry (ICP-AES)
Plasma 40 merupakan alat untuk analisis unsur-unsur logam dalam suatu bahan.
Bahan yang akan dianalisis harus berwujud larutan yang homogeny (Nugroho,
2006). Inductively Couple Plasma (ICP) adalah sebuah teknik analisis yang
digunakan untuk mendeteksi jejak logam yang terdapat didalam sampel. Tujuan
utama Inductively Couple Plasma (ICP) adalah untuk mendapatkan karakteristik
suatu elemen dan untuk mengukur panjang gelombang dari sampel yang akan
diukur (Purba, 2007).
Gambar 11. Inductively Couple Plasma (ICP)
(Purba, 2007)
Matriks lingkungan, yang mungkin mengandung konsentrasi rendah dan
mengandung unsur campur, mempunyai penyajian yang sulit dalam penentukan
analisis sampel. ICP-MS dikembangkan pada tahun 1980-an dan telah digunakan
di bidang lingkungan hidup karena sensitivitas yang tinggi dan kemampuan multi-
elemen. ICP-MS menawarkan kemungkinan yang sederhana dan langsung
menentukan beberapa unsur dalam tanah, seperti boron, fosfor, dan molibdenum,
yang tidak dapat analisis dengan metode lain (Vela, 1993).
ICP-AES telah banyak digunakan sejak tahun 1970-an untuk analisis
multielemen secara simultan dan biologis sampel lingkungan setelah dilakukan
pemisahan. Sensitivitas sangat baik dan jangkauan kerja yang luas untuk banyak
jenis elemen yang digabungkan dengan rendahnya tingkat gangguan, membuat
sebuah metode ICP-AES hampir sangat ideal. Laser sampling, dalam
hubungannya dengan ICP adalah cara untuk menghindari prosedur pelarutan
sampel padat sebelum penentuan elemen (Vela, 1993).
ICP-AES telah disetujui untuk penentuan logam. Metode ini telah disetujui
untuk sejumlah besar logam dan limbah. Semua matriks, termasuk air tanah,
sampel air, ekstrak EP, limbah industri, tanah, lumpur, sedimen, dan limbah padat
lainnya memerlukan proses sebelum analisis. Limit deteksi, sensitivitas, dan
kisaran optimum logam akan bervariasi dengan matriks dan model spektrometer.
Data yang disajikan dalam tabel berikut ini memberikan rentang konsentrasi untuk
sampel air bersih. Penggunaan metode ini dibatasi untuk spektroskopi yang
berpengetahuan pada analisis spektral, kimia, dan gangguan fisik (Alcock, 1995).
Panjang gelombang yang terdaftar direkomendasikan karena kepekaan dan
penerimaan keseluruhan. Panjang gelombang lain dapat diganti jika dapat
memberikan sensitivitas yang diperlukan dan diperlakukan dengan teknik-teknik
perbaikan yang sama untuk interferensi spektral. Unsur-unsur lain yang tersedia
dan diperlukan dapat ditambahkan sebagai informasi lebih lanjut. Estimasi deteksi
batas instrumental dapat ditampilkan sebagai panduan bagi batas instrumental.
Batas-batas deteksi metode yang sebenarnya adalah tergantung sampel dan dapat
berbeda-beda sebagai sampel matriks yang bervariasi (Alcock, 1995).
Tabel 2. Limit Deteksi Spektroskopi Atomik Untuk Unsur-Unsur Tertentu
UnsurAAS
Flame
AAS
Elektrotermal
AES
Flame
AES
ICP
Al 30 0,005 5 2
As 100 0,02 0,0005 40
Ca 1 0,02 0,1 0,02
Cd 1 0,0002 800 2
Cr 3 0,02 4 0,3
Cu 2 2 10 0,1
Fe 5 0,005 30 0,3
Hg 500 0,1 0,0004 1
Mg 0,1 0,00002 5 0,05
Mn 2 0,0002 5 0,06
Mo 30 0,005 100 0,2
Na 2 0,0002 0.1 0,2
Ni 5 0,02 20 0,4
Pb 10 0,002 100 2
Sn 20 0,1 300 30
V 20 0,1 10 0,2
Zn 2 0,00005 0,0005 2
(Alcock,1995)
2.4.2 Kelebihan dan Kekurangan Metode ICP
Keuntungan menggunakan ICP mencakup kemampuan untuk
mengidentifikasi dan mengkuantifikasi semua elemen dengan pengecualian Argon
karena sensitivitas panjang gelombang bervariasi untuk setiap penentuan suatu
unsur. ICP cocok untuk semua konsentrasi tidak memerlukan sampel yang
banyak, deteksi batas umumnya rendah untuk elemen dengan jumlah 1 - 100 g / L.
Keuntungan terbesar memanfaatkan suatu ICP ketika melakukan analisis
kuantitatif adalah kenyataan bahwa analisis multielemental dapat dicapai dan
cukup cepat (Boonen, 1996).
Analisis sempurna multielemen dapat dilakukan dalam waktu 30 detik,
memakai hanya 0,5 ml larutan sampel. Meskipun dalam teori, semua unsur
kecuali Argon dapat ditentukan menggunakan ICP, unsur-unsur yang tidak stabil
tertentu memerlukan fasilitas khusus dalam penanganan asap radioaktif plasma.
Selain itu, sebuah ICP sulit menganalisis unsur halogen, perlu optik khusus untuk
transmisi dari panjang gelombang yang rendah (Boonen, 1996).
2.4.3 Prinsip Kerja ICP
Prinsip umum pada pengukuran ini adalah mengukur intensitas energi atau
radiasi yang dipancarkan oleh unsur-unsur yang mengalami perubahan tingkat
energi atom (eksitasi atau ionisasi) (Nugroho, 2006). Langkah kerja pada ICP-
OES yaitu Preparasi Sampel, Nebulisasi, Desolvasi/Volatisasi, Atomisasi,
Eksitasi/Emisi, dan Deteksi/Pemisahan (Bouman, 1987).
2.4.4 Proses Pendispersian Cahaya pada ICP
Perangkat keras ICP dirancang untuk menghasilkan plasma, yang
merupakan gas dimana terdapat atom dalam keadaan terionisasi. Dasar pengaturan
suatu ICP terdiri dari tiga tabung konsentris, yang sering dibuat dari silika.
Tabung-tabung tersebut yaitu outer loop, loop menengah, dan loop dalam yang
membentuk obor suatu ICP. Obor terletak dalam kumparan pendingin air
frekuensi (rf) generator radio. Sebagai gas mengalir diperkenalkan ke senter,
bidang rf diaktifkan dan gas di wilayah koil dibuat elektrik konduktif. Ini urutan
kejadian pembentukan plasma. Pembentukan plasma tergantung pada kekuatan
medan magnet yang cukup dan pola aliran gas mengikuti pola rotasi simetris
tertentu. Plasma dikelola oleh pemanasan induktif gas yang mengalir. Induksi
medan magnet menghasilkan frekuensi tinggi arus listrik yang melingkar dalam
konduktor. Konduktor, pada akhirnya dipanaskan sebagai hasil dari tahanan
tersebut (Hoffman, 1996).
Untuk mencegah kemungkinan arus pendek serta krisis, plasma harus
terisolasi dari sisa instrumen. Isolasi dicapai oleh aliran gas secara bersamaan.
Tiga gas mengalir melalui sistem gas luar, gas menengah, dan gas dalam atau gas
pembawa. Gas yang luar biasanya adalah Argon atau Nitrogen. Gas luar
digunakan untuk beberapa tujuan yaitu memelihara plasma, menstabilkan posisi
plasma, dan memisahkan plasma dari tabung luar pada suhu tinggi. Argon
biasanya digunakan sebagai gas intermediet dan gas pembawa. Tujuan dari gas
pembawa adalah untuk menyampaikan sampel plasma (Hoffman, 1996).
Sampel yang telah mengalami preparasi diantarkan pada plasma
melewatin ebulizer dan spray chamber. Nebulizer berfungsi untuk mengubah
cairan sampel menjadi aerosol. Sedangkan spray chamber berfungsi untuk
mentransportasikan aerosol ke plasma, pada spray chamber ini aerosol mengalami
desolvasi atau volatisasi yaitu proses penghilangan pelarut sehingga didapatkan
aerosol kering yang bentuknya telah seragam (Liu, 1996).
RF generator adalah alat yang menyediakan tegangan (700-1500 Watt)
untuk menyalakan plasma dengan Argon sebagai sumber gasnya. Tegangan ini
ditransferkan ke plasma melalui load coil, yang mengelilingi puncak dari obor.
Saat sampel gas masuk ke dalam plasma terjadi eksitasi atom. Atom yang
tereksitasi kembali kekeadaan dasar dengan memancarkan energi pada panjang
gelombang tertentu. Panjang gelombang setiap unsur memiliki sifat yang khas.
Intensitas energi yang dipancarkan pada panjang gelombang sebanding dengan
jumlah (konsentrasi) dari unsur dalam sampel yang dianalisis. Selanjutnya
panjang gelombang tersebut masuk ke dalam monokromator dan diteruskan ke
detektor. Lalu diubah menjadi sinyal listrik oleh detektor dan masuk ke dalam
integrator untuk diubah ke dalam sistem pembacaan data (Liu, 1996).
Sebuah ICP mensyaratkan bahwa unsur-unsur yang harus dianalisis adalah
larutan. Larutan dalam bentuk pelarut air lebih disukai daripada pelarut organik,
Untuk larutan organik memerlukan perlakuan khusus sebelum injeksi ke dalam
ICP. Sampel padat juga tidak diperbolehkan, karena dapat terjadi penyumbatan
pada instrumentasi. Nebulizer yang mengubah larutan menjadi aerosol. Cahaya
yang dipancarkan oleh unsur atom-atom dalam ICP harus dikonversi ke sinyal
listrik yang dapat diukur secara kuantitatif. Hal ini dilakukan dengan memecahkan
cahaya menjadi komponen radiasi (hampir selalu melalui suatu kisi difraksi) dan
kemudian mengukur intensitas cahaya dengan tabung photomultiplier pada
panjang gelombang yang spesifik untuk setiap baris elemen. Cahaya yang
dipancarkan oleh atom atau ion dalam ICP diubah menjadi sinyal-sinyal listrik
oleh photomultiplier dalam spektrometer. Setiap elemen akan memiliki panjang
gelombang tertentu dalam spektrum yang dapat digunakan untuk analisis (Liu,
1996).
2.4.5 Cara Kerja ICP-OES
Perangkat keras ICP-OES dirancang untuk menghasilkan plasma, agar
terbentuknya plasma diperlukan aliran gas Argon, medan magnet fekuensi tinggi,
pemicu elektron (spark generator) dan media tempat terjadinya plasma. Plasma
merupakan sumber cahaya pada ICP ( Inductively Coupled Plasma). Pembentukan
plasma adalah bergantung pada medan magnet yang cukup kuat dan pola yang
mengikuti aliran gas tertentu (Purba, 2007).
Gambar 12. Cara Kerja ICP
BAB III
METODOLOGI
3.1 Alat dan Bahan
3.1.1 Alat
Alat yang digunakan dalam praktikum ini antara lain, petri disc, mortar,
penumbuk, spatula, oven, timbangan analit, labu ukur, corong, bottle wash, botol
sampel, hair driyer, lap penjepit, dan ICP.
3.1.2 Bahan
Bahan – bahan yang digunakan dalam praktikum ini antara lain sampel
tanah, sampel daun, kertas saring, wattman, aquademin, HCL, HNO3.
3.2 Cara Kerja naman
3.2.1 pemberian Pb Pada Tanaman
Dipilih 5 tanaman dengan spesies yang sama dimana tanaman memiliki
ukuran yang sama. Kemudian tanaman ditanam di dalam pot yang berisi media
tanam yaitu tanah dan pot ditandai dengan pemberian label sesuai dengan masing-
masing perlakuan. Sebelum pemberian perlakuan, daun tanaman di ambil
sebanyak 3 helai daun dan tanah dalam media tanam di ambil sebanyak 3 gram
sebagai pembanding dengan kondisi setelah perlakuan nantinya atau sebagai
kontrol. Setelah itu daun dan tanah yang telah diambil sebelum perlakuan
disimpan di dalam kantong plastik yang telah diberi label sesuai dengan perlakuan
yang akan diberikan. Selanjutnya tanaman didalam pot diberi perlakuan dengan
penyiraman logam berat Pb dengan 5 konsentrasi yang berbeda yaitu 250, 500,
750, 1000 dan 1250 ppm. Penyiraman Pb hanya dilakukan pada minggu pertama.
Selanjutnya dilakukan pengambilan sampel tanah sebanyak 3 gram dan 3 helai
daun pada setiap tanaman perlakuan yang dilakukan setiap seminggu sekali
selama 4 minggu. Kemudian sampel tanah dan daun tersebut siap di lakukan
preparasi yang nantinya akan di uji dengan menggunakan ICP untuk mengetahui
kadar logam beratnya.
3.2.2 Preparasi Sampel Tanah
Sampel tanah dioven selama 2,5 jam pada suhu 1000C, lalu ditimbang
menggunakan timbangan analitik kurang lebih sebanyak 2 gr. Setelah itu ditetesi
dengan HNO3 sebanyak 3 ml dan dipanaskan di atas hotplate stirex selamam 10 –
15 menit dengan suhu 2000C, diusahakan sampel tidak kering dengan sambil
ditetesi dengan Aquademin. Setelah itu sampel diangkat dari hotplate stirex dan
didiamkan lalu ditetesi dengan Aquademin hingga sampel kira-kira dapat dituang.
Sampel dituang kedalam labu ukur menggunakan corong yang telah diberi
kertas saring, ditunggu selama beberapa menit hingga cairan sampel diatas kertas
saring terlihat kering atau bisa dikatakan sudah tidak berair. Kemudian diencerkan
dengan menggunakan Aquademin hingga batas dalam labu ukur (50ml) dan
dikocok selama beberapa menit. Setelah itu cairan ekstrak dituang dari labu ukur
ke dalam botol sampel yang telah diberi label sesuai konsentrasi kandungan Pb
yang diberlakukan pada sampel sebelumnya. Terakhir, sampel diperiksa
kandungan logam beratnya dengan menggunakan ICP.
3.2.3 Preparasi Sampel Daun
Daun tanaman sampel yang diberi perlakuan dengan konsentrasi Pb yang
berbeda yaitu 250, 500, 750, 1000 dan 1250 ppm diambil dan dipotong kecil-kecil
dan di oven selama 1,5 jam dalam oven pada suhu 1000C. Kemudian Digerus
dengan menggunakan mortar dan penumbuk hingga halus, kemudian ditimbang
dengan menggunakan timbangan analitik dan ditetesi dengan HNO3 sebanyak 1
ml kemudian ditetesi dengan HCl pekat sebanyak 1 ml. Selanjutnya ditetesi
dengan aquademin sampai kira-kira sampel dapat dituang. Kemudian hasil sampel
dituang kedalam labu ukur melalui corong yang telah diberi kertas saring dan
ditunggu selama beberapa menit hingga cairan diatas kertas saring terlihat kering
atau sudah tidak berair. Kemudian sampel diencerkan dengan aquademin hingga
garis batas dalam labu ukur (50 ml) dan dikocok selama beberapa menit.
Selanjutnya cairan ekstrak dari labu ukur dituang atau disimpan dalam botol
sampel yang telah diberi label sesuai konsentrasi kandungan Pb yang telah
diberlakukan pada sampel sebelumnya. Kemudian kandungan logam berat
didalam sampel bisa langsung diperiksa menggunakan alat “ICP”.
DAFTAR PUSTAKA
Alcock, NW.1995. Flame, Flameless, and Plasma Spectroscopy. 67 (12) 503R-506R.
Anhar, A., Helendra., Hasfianora. 2000. Kontaminasi Timbal (Pb) pada Sayuran Sawi dekat Jalan Raya Padang Luar Bukittinggi. Jurnal Eksakta.
Anonim. 2011. Plumbum. http://jgarofalo8science.wikispaces.com/Lead+-+Pb. Diakses pada tanggal 22 Desember 2011 pukul 17.00 WIB.
Asiah. 2000. Kajian Tingkat Akumulasi Pb dalam tanah dan daun di Beberapa Kota di Indonesia. Prosiding Seminar Bimbingan Teknis Pemantauan timbal (Pb) di Udara Ambien. Sarpedal Kementerian Lingkungan Hidup. Jakarta.
Bennet L.E., Burkhead J.L., Hale K.L., Terry N., Pilon M., Pilon-Smits E.A. (2003), Analysis of transgenic Indian mustard plants for phytoremediation of metal-contaminated mine tailings , J. Environ. Qual. Vol. 32, No 2, hal. 432-440.
Boonen, S., Vanhaecke, F., Moens, L., and Dams, R. 1996. Direct determination of Se and As in solid certified reference materials using electrothermal vaporization. ICP-MS. 51 (2) 271-278.
Bouman, R. W. J. M. 1987. Inductively Coupled Plasma Emission Spectroscopy. John Wiley and Sons: New York.
Brady, J.. 1999. Kimia Untuk Universitas Azas dan Struktur. Jilid I Edisi kelima. Erlangga, Jakarta.
Chaney RL, Li YM, Angle JS, Baker AJM, Reeves RD, Brown SL, Homer FA, Malik M, Chin M. (1999), Improving metal hyperaccumulators wild plants to develop commercial phytoextraction systems: Approach and progress. In Phytoremediation of Contaminated Soil and Water, eds N Terry, GS Bauelos, CRC Press, Boca Raton, FL.
Chehregani, A and Behrouz E. Malayeri (2007), Reduction of heavy metals by native accumulator plants , International Journal of Agriculture and Biology, Vol 9, No 3, hal. 462-465
Dalimartha, 2001. Efek diuretik ekstrak etanol 70% daun gandarusa (Justicia
gendarussa burm. f ) pada tikus putih jantan galur wistar. Fakultas Farmasi, Universitas Muhammadiyah: Surakarta.
Darmono. 1995. Logam dalam Sistem Biologi Makhluk Hidup. Universitas Indonesia Press. Jakarta.
Greenfield, J.C. (1989), Vetiver grass (Vetiveria), the ideal plant for vegetative soil and moisture conservation , The World Bank, Wahington D.C.
Hambali, E., Ani, S., Dadang, Hariyadi, Hasim, H., Iman, K.R., Mira, R., Ihsanur, Prayoga, S., Soekisman, T., Tatang, H.S., Theresia, P., Tirto, P., Wahyu, P., (2007), Jarak Pagar: Tanaman Penghasil Biodiesel, Cetakan ke 4, Penebar Swadaya, Jakarta.
Hardiani Henggar. 2009. Potensi Tanaman dalam Mengakumulasi Logam Cu pada Media Tanah Terkontaminasi Limbah padat Industri Kertas. Vol. 44, no. 1. Balai Besar Pulp dan Kertas: Bandung
Hardyanti, Nurandani. 2007. Fitoremediasi Phospat dengan Pemanfaatan Enceng Gondok (Eichhornia crassipes) (Studi Kasus pada Limbah Cair Industri Kecil Laundry). Program Studi Teknik Lingkungan FT Undip: Semarang. Jurnal Presipitasi Vol. 2 No.1.
Hayati. 2010. Karakterisasi abu terbang (Fly ash) dan eksplorasi vegetasi. Diakses dari http://repository.ipb.ac.id pada tanggal 22 Desember 2011 Pukul 21.00 WIB.
Herman D.Z. 2006. Tinjauan terhadap Tailing Mengandung Unsur Pencemar Arsen (As), Merkuri (Hg), Timbal (Pb), dan Kadmium (Cd) dari Sisa Pengolahan Biji Logam, Jurnal Geologi Indonesia, (Online), Vol. 1, No. 1
Hindersah, H., Kalay, M.A., Muntalif, S.B. (2004), Akumulasi Pb dan Cd pada buah tomat yang ditanam di tanah mengandung lumpur kering dari instalasi pengolahan air limbah domestic, Departemen Teknik Lingkungan FTSP ITB, Bandung: Ganesha.
Hoffman, E., Ludke, C., and Stephanowitz, H.1996. Application of Laser ICP-MS in Environmental Analysis. Fresenius Journal of Analytical Chemistry 355: 900-903.
Juliawan, N., Widhiyatna, D., Jatim, J. (2005), Pendataan unsur Merkuri pada wilayah pertambangan Cibaliung, Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten. Hasil kegiatan subdit konservasi TA: Jakarta.
Kelly. E. B.1997. Ground Water Polution: Phytoremediation. Diakses dari http: www.cee.vt.edu/program_areas/enviromental/teach/gwprimer/phyto/phyto/html. pada hari Jum’at tanggal 23 Desember 2011 pukul 20.00 WIB
Kelly E. Belz, (1998), "Phytoremediation." Soil and groundwater pollution, Civil Engineering Dept. Virginia Tech. 1994. www.ce.vt.edu/program_areas...al /teach/gwprimer /phyto /phyto.html . 10 December 2011
Kevacs. M.. 1992. Biological Indicator in Environmental Protection. Ellis Horward. England.
Lasar, M.M., Baker, AJM., Kochian, L.V. (1998). Altered Zn compartmentation in the root symplasm and stimulated Zn absorption into the leaf as mechanisms involved in Zn hyperaccumulation in Thlaspi caerulescens. J. Plant Physiol. 118: 875-883.
Liu, H. and Montaser, A.1996. Evaluation Of a Low Sample Consumption, High Efficiency Nebulizer for Elemental Analysis of Biological Samples Using ICP-MS. Journal of Analytical Spectrometry11 (4) 307-311 (1996).
Lombi E., Zhao F.J., Dunham S.J., MacGrath S.P. (2001), Phytoremediation of heavy metal-contaminated soils: natural hyper-accumulation versus chemically enhanced phytoextraction , J. Environ. Qual, Vol. 30(6), hal. 1919-1926.
Mangkoedihardjo, S. (1999). Ekotoksikologi Lingkungan. Jurusan Teknik Lingkungan. FTSP ITS. Surabaya.
Nugroho, Arif. 2006. Validasi Metode Alat ICP-AES Plasma 40 Untuk Pengukuran Unsur Cr,P,Ti. Journal ISSN 0852-4777 Vol 12 No.2 April 2006:64-112
O Connor C.S., Leppi N.W., Edwards R., Sunderland G. (2003), The combined use of electro-kinetic remediation and phytoremediation to decontaminate metal-polluted soils: laboratory scale feasibility study , Environ. Monit. Asses, Vol. 84, No 1-2, hal. 141-158
Pahlsson AMB. (1989). Toxiciy of Heavy Metals (Zn, Cu, Cd, Pb) to Vascular Plants: A Literature Review. Water, Air and Soil Pollution, 47: 287-319.
Palar. 1994. Pencemaran dan Toksikologi Logam Berat. Rineka Cipta. Jakarta.
Purba, Damayanti, Fitasari. 2009. Analisis Pencemaran Logam Berat Pada Air Sumur Bor Dengan Metode Spektrofotometri Untuk Dapat Digunakan Sebagai Air Minum Di Kecamatan Medan-Belawan. Universitas Sumatra Utara: Medan.
Rismana, E. (2002). Fitoremediasi Teknologi Pengolah Limbah Alternatif. No. 4035. Sinar Harapan. Jakarta.
Robinson B, Schulin R, Nowack B, Roulier S, Menon M, Clothier B, Green S, Mills T. (2006). Phytoremediation for the Management of Metal Flux in Contaminated sites. Forest Snow and Landsacpe Research, 80: 221-234.
Santi, D.N. 2001. Pencemaran Udara oleh Timbal (Pb) serta Penanggulangannya, USU Digital Library.
Schnoor, J.L and McCutcheon, S.C. (2003), PHYTOREMEDIATION Transformation and Control of Contaminants , Wiley-Interscience Inc, USA.
Solhi, M., M.A. Hajabbasi, H. Shareatmadari, (2005), Heavy Metals Extraction Potential of Sunflower (Helianthus annus) and Canola (Brassica napus), Isfahan Agricultural Research, Soil and Water Department, College of Isfahan , Isfahan University of Technology, Isfahan.
Subroto, M.A. 1996. Fitoremediasi. Dalam: Prosiding Pelatihan dan Lokakarya Peranan Bioremediasi Dalam Pengelolaan Lingkungan. Cibinong
Tjahaja, et al. 2009. Teknik Fitoremediasi untuk Dekontaminasi Lingkungan Tercemar Unsur Radioaktif. Pusat Teknologi Nuklir Bahan dan Radiometri. BATAN : Bandung.
Vela, NP, Olson, LK, dan Caruso, JA Elemental. 1993. Spesiasi Dengan Spektrometer Massa Plasma. Analytical Chemistry 65 (13) 585A-597A
Wang, Q.R., Cui Y.S., Liu X.M., Dong Y.T., Christine P. (2003), Soil contamination and plant uptake of heavy metals at polluted sites in China , J. Environ. Sci. Health, Vol. 38, No 5, hal. 823-838.
Wardhana, W.A.. 1999. Dampak Pencemaran Lingkungan. Penerbit Andi Offset. Yogyakarta.
Youngman, L. 1999. Physiological respon Of Switchgrass (Panicum Virgatum L) to Organic And Inorganic Amened Heavy-Metal Contaminated Chat Tailings. Phytoremediation of Soil and Water Contaminants, American Chemical society Symposium: Washington, D.C.
Yuni,F.2008. Efek Diuretik Ekstrak Etanol 70% daun Gandarusa (Justicia gendarussa) pada Tikus Putih jantan galur Wistar.Fakultas Farmasi.Universitas Muhammadiyah Surakarta.Surakarta.