24
Limbah Teh Melati Sebagai Pewarna Alami Kain Batik (Pengaruh Jenis Fiksatif Terhadap Ketuaan dan Ketahanan Luntur Ditelaah dengan Metode Pengolahan Citra Digital RGB) Jasmine Tea Waste as Natural Colorant For Batik Cloth (The Effect of Fixative On The Depth of Shade and Fadeless as Revealed by RGB Digital Image Processing Method) Oleh Ibnu Basofi NIM : 652009014 TUGAS AKHIR Diajukan kepada Program Studi Kimia, Fakultas Sains dan Matematika guna memenuhi sebagian dari persyaratan untuk mencapai gelar Sarjana Sains Program Studi Kimia Fakultas Sains dan Matematika Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga 2015

Limbah Teh Melati Sebagai Pewarna Alami Kain Batik

  • Upload
    others

  • View
    10

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Limbah Teh Melati Sebagai Pewarna Alami Kain Batik

1

Limbah Teh Melati Sebagai Pewarna Alami Kain Batik

(Pengaruh Jenis Fiksatif Terhadap Ketuaan dan Ketahanan Luntur

Ditelaah dengan Metode Pengolahan Citra Digital RGB)

Jasmine Tea Waste as Natural Colorant For Batik Cloth

(The Effect of Fixative On The Depth of Shade and Fadeless as Revealed

by RGB Digital Image Processing Method)

Oleh

Ibnu Basofi

NIM : 652009014

TUGAS AKHIR

Diajukan kepada Program Studi Kimia, Fakultas Sains dan Matematika

guna memenuhi sebagian dari persyaratan untuk mencapai gelar Sarjana Sains

Program Studi Kimia

Fakultas Sains dan Matematika

Universitas Kristen Satya Wacana

Salatiga

2015

Page 2: Limbah Teh Melati Sebagai Pewarna Alami Kain Batik
Page 3: Limbah Teh Melati Sebagai Pewarna Alami Kain Batik
Page 4: Limbah Teh Melati Sebagai Pewarna Alami Kain Batik

ii

Page 5: Limbah Teh Melati Sebagai Pewarna Alami Kain Batik

iii

Page 6: Limbah Teh Melati Sebagai Pewarna Alami Kain Batik

iv

Page 7: Limbah Teh Melati Sebagai Pewarna Alami Kain Batik

1

Limbah Teh Melati Sebagai Pewarna Alami Kain Batik

(Pengaruh Jenis Fiksatif Terhadap Ketuaan dan Ketahanan Luntur

Ditelaah dengan Metode Pengolahan Citra Digital RGB)

Jasmine Tea Waste as Natural Colorant For Batik Cloth

(The Effect of Fixative On The Depth of Shade and Fadeless as Revealed

by RGB Digital Image Processing Method)

Ibnu Basofi*, A. Ign. Kristijanto**

*Mahasiswa Program Studi Kimia Fakultas Sains dan Matematika

**Dosen Program Studi Kimia Fakultas Sains dan Matematika

Universitas Kristen Satya Wacana

Jl. Diponegoro 52 – 60 Salatiga (50711)

[email protected]

ABSTRAK

The objectives of this study are: Firstly, to determine the effect of fixative on the

depth of shade color of cotton and silk which stained using jasmine tea waste extract.

Secondly, to determine the effect of fixative types on the fade proof color of cotton and

silk toward washing. Thirdly, to determine the effect of fixative types on the fade proof

color of cotton and silk toward washing and ironing. And all three were revealed by

RGB digital image processing methode.

The results of this study showed that: 1) The depth of shade color of cotton and

silk produce from the darkest color are: “tunjung”, verdigris, alum, respectively and

the brightest color is lime. 2) On cotton and silk, the fixative of “tunjung” didn’t

showed fadeless of color toward washing for all hue. On cotton the fixative of verdigris

showed fadeless of color exception blue hue, and on silk showed fadeless of color for

blue and grey hue. On the contrary, on cotton with fixative of alum and lime showed

fadeless of color for all hue, while on silk the fadeless of color for red and green hue.

3) On cotton and silk the fixative of “tunjung” didn’t showed fadeless of color toward

washing-ironing for all hues, in the contrary, cotton showed fadeless of color for red

and green hue with fixative of verdigris. While on cotton, fixative of alum and lime

showed fadeless of color for all hue. On the contrary, on silk the use of alum as fixative

showed fadeless of color for red hue, while with lime has fadeless of color for red and

grey hue.

Key words: waste Jasmine tea, natural dyes, mori, silk, RGB

PENDAHULUAN

Batik merupakan kerajinan yang memiliki nilai seni tinggi serta menjadi bagian

dari budaya Indonesia. Kata batik berasal dari bahasa jawa “ambatik” yang artinya

menuliskan atau menorehkan titik – titik (Susanto, 2009).

Page 8: Limbah Teh Melati Sebagai Pewarna Alami Kain Batik

2

Warna merupakan salah satu komponen penting dalam industri batik, sebab warna

menunjang estetika produk kain batik sehingga dapat menarik konsumen untuk

membeli. Zat pewarna yang biasa digunakan adalah zat warna sintetis, seperti :

indigosol, rapid, soga ergan, dan soga croom (Mey, 2009). Didalam pewarna sintetis

tersebut tersimpan beberapa senyawa karsinogenik penyebab alergi kulit dan dapat

menyebabkan kanker kulit serta mencemari lingkungan (Sulasminingsih, 2006).

Sehingga pewarna alami menjadi salah satu alternatif pengganti pewarna sintetis.

Menurut Kusriniati (2007), kelebihan zat warna alam adalah beban pencemaran rendah

dan tidak beracun, namun kekurangannya belum ada standar warna, ketahanan luntur

rendah, perolehannya sulit, prosesnya rumit dan koleksi warna terbatas.

Berkaitan dengan pencemaran lingkungan, salah satu cara pengelolaan limbah

yaitu dengan menggunakan kembali limbah hasil industri sebagai bahan baku produk

baru yang memiliki nilai tambah. Sejauh ini pemanfaatan limbah teh melati (ampas teh)

untuk kompos dan pakan ternak, ternyata dalam limbah tersebut terkandung senyawa

tanin yang berpotensi sebagai pewarna alami. Senyawa tanin tersebut mengandung

gugus-gugus hidroksil yang mempunyai pasangan elektron bebas, sehingga

dimungkinkan dapat membentuk kompleks dengan logam yang menyediakan orbital

kosong (Dalzell dan Kerven, 1998 dalam Rosyda dan Ersam, 2010) hal tersebut akan

berpengaruh terhadap ketuaan warna pada kain. Di Indonesia sumber tanin diperoleh

dari jenis bakau – bakauan atau jenis – jenis tumbuhan dari Hutan Tanaman Industri

(HTI) seperti akasia (Acacia sp.), ekaliptus (Eucalyptus sp.), pinus (Pinus sp.), teh

(Camellia sinensis) dan sebagainya (Risnasari, 2002 dalam Padmasari, 2012).

Bahan dasar yang biasa digunakan untuk membuat batik terbuat dari serat alam

(serat selulosa atau serat yang dihasilkan dari binatang). Serat selulosa dan sutera

mempunyai sifat yang hampir sama diantaranya yaitu sangat higroskopis sehingga

memungkinkan dapat menyerap zat warna dengan baik (Suheryanto, 2010). Mekanisme

reaksi antara tanin dengan selulosa (kain mori) sebagai berikut:

Gambar 1. Reaksi tanin dengan selulosa (Suheryanto, 2010 termodifikasi)

Page 9: Limbah Teh Melati Sebagai Pewarna Alami Kain Batik

3

Tanin Fibroin Sutera

Menurut Noerati dkk. (2013), komposisi penyusun serat protein yang terbesar dari serat

sutera adalah fibroin 76% dan serisin 22% sebagai perekat, sehingga fibroin memiliki

peran penting dalam reaksi pewarnaan. Mekanisme reaksi antara tanin dengan fibroin

sutera sebagai berikut :

Gambar 2. Reaksi tanin dengan fibroin sutera (Hamid dan Muhlis, 2005

termodifikasi)

Ketahanan luntur warna merupakan salah satu unsur penentu mutu suatu bahan

berwarna, di mana warna yang baik pada bahan tekstil nantinya tidak diminati

konsumen jika bahan tersebut warnanya pudar (Kusriniati, 2007). Penggunaan larutan

fiksatif inilah yang akan membuat warna menjadi tidak mudah pudar, intinya ikatan

antara zat warna dengan serat kain akan diperkuat oleh ion logam dari fiksatif tersebut

(Ruwana, 2008). Fiksatif yang biasa digunakan adalah tunjung, tawas dan kapur. Dalam

penelitian ini fiksatif prusi (tembaga sulfat) juga digunakan karena ion Cu2+

dapat

membentuk kompleks dengan senyawa tanin (Rosyda dan Ersam, 2010). Oleh sebab itu

perlu diketahui sejauh mana pengaruh fiksasi terhadap ketuaan dan ketahanan luntur

warna pada kain batik dengan metode pengolahan citra digital RGB (Arham, dkk.,

2004).

Berdasarkan latar belakang di atas maka tujuan dari penelitian ini adalah :

1. Menentukan ketuaan warna pewarna alami limbah teh melati yang difiksasi dengan

tunjung, tawas, prusi dan kapur terhadap kain batik mori dan sutera.

2. Menentukan ketahanan luntur warna kain mori dan sutera yang telah difiksasi

terhadap pencucian.

3. Menentukan ketahanan luntur warna kain mori dan sutera yang telah difiksasi

terhadap pencucian dan penyetrikaan.

Page 10: Limbah Teh Melati Sebagai Pewarna Alami Kain Batik

4

METODE PENELITIAN

Waktu dan Tempat

Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Kimia Lingkungan, Prodi Kimia,

Fakultas Sains dan Matematika, Universitas Kristen Satya Wacana dari bulan Desember

2013 – Maret 2014.

Bahan

Sampel limbah teh diperoleh dari penjual teh Tong Tji di UKSW Salatiga, kain

mori dan kain sutera. Sedangkan bahan kimiawi yang digunakan adalah Na2CO3 (Soda

abu), FeSO4.7H2O (tunjung), KAl(SO4)2.12H2O (tawas), CuSO4.5H2O (prusi), Ca(OH)2

(kapur ), CH3COOH (asam asetat), dan detergen. Semua bahan kimiawi yang digunakan

dengan grade teknis

Piranti

Piranti yang digunakan antara lain : neraca analitis, panci stainless steel, kompor,

termometer, seterika, kipas angin, pemindai (scanner) canon MP230, Spektrofotometer

Optizen 2120UV dan program MatLab 65.

Metode

Ekstraksi limbah Teh (Kusriniati, 2007 yang dimodifikasi)

500 g limbah teh kering direbus dengan air 2,5 L sampai volumenya menjadi

± 1/3 bagian. Kemudian didinginkan, didiamkan selama satu malam setelah itu disaring.

Proses Mordanting kain mori dan sutera (Kusriniati, 2007)

Untuk kain mori sebelumnya direndam dalam larutan deterjen 2%(b/v) selama 12

jam kemudian direbus dalam campuran larutan (8 g tawas + 2 g soda abu / 1L air)

selama 1 jam, kemudian didiamkan semalam selanjutnya dibilas dan dikering anginkan.

Sedangkan kain sutera direbus dengan menggunakan soda abu 1 g / 1 L air pada suhu

60ºC, kain sutera direndam dan dibolak – balik selama 5 menit. Setelah itu dibilas

dengan air hangat lalu dibilas ulang dengan air dingin sampai bersih kemudian dikering

anginkan.

Pewarnaan kain

Kain mori dan sutera yang sudah dimordanting kemudian dicelupkan ke ekstrak

limbah teh selama 3 menit sambil dibolak – balik lalu dikering anginkan. Proses

pencelupan dilakukan sebanyak 5 kali.

Page 11: Limbah Teh Melati Sebagai Pewarna Alami Kain Batik

5

Pengfiksasian atau Penguncian Warna

Kain mori dan sutera yang telah melewati proses pewarnaan, kemudian difiksasi

dengan menggunakan tunjung (2%), prusi (3,75%), tawas (5%), dan kapur (2,5%). Kain

direndam dalam larutan fiksatif selama 5 menit, kemudian dikering anginkan.

Pengujian ketuaan warna (Padmasari, 2012)

Kain mori dan sutera yang telah melalui proses pewarnaan dan fiksasi dipindai

dengan piranti pemindai (scanner). Data gambar yang diperoleh diberi kode sesuai

dengan perlakuan yang diberikan. Selanjutnya data gambar dianalisa dengan program

MatLab 65 sehingga diperoleh nilai RGB dan Grey scale-nya.

Pengujian Scanning spektrofotometer Uv-Vis (Sastrohamidjojo, 2001)

Ektrak tanin, masing-masing fiksatif, dan campuran ekstrak tanin dengan

masing-masing fiksatif pada konsentrasi yang sama diukur panjang gelombang serapan

optimumnya menggunakan spetrootometer optizen 2120UV pada panjang gelombang

cahaya tampak (370-700 nm).

Pengujian ketahanan luntur terhadap pencucian (Atikasari, 2005)

Kain yang telah difiksasi dicuci 5 kali dengan larutan detergen 1%, kemudian

dibilas air hangat (40⁰C) 2 kali. Selanjutnya kain dicelupkan dalam asam asetat 0,014%

± 1 menit lalu dibilas dengan air dingin sampai bersih dikering anginkan. Kemudian

dipindai dengan scanner dan dianalisa dengan program Matlab 65.

Pengujian ketahanan luntur terhadap panas penyetrikaan (Atikasri, 2005)

Kain yang telah dicuci kemudian dilapisi kain putih di atasnya lalu diseterika

selama 10 detik. Kemudian dipindai dan dianalisa dengan program Matlab 65.

Analisis data

Data ketuaan warna dianalisis dengan menggunakan RAK (Rancangan Acak

Kelompok) dengan 4 perlakuan dan 6 kali ulangan. Sebagai perlakuan adalah jenis

fiksasi yaitu: tunjung, prusi, tawas, dan kapur, sedangkan sebagai kelompok adalah

waktu pemrosesan kain.

Data ketahanan luntur terhadap pencucian dan penyetrikaan dianalisis dengan

analisis Dwi Ragam dengan rancangan dasar RAK, 4 perlakuan dan 6 ulangan.

Pengujian antar rataan perlakuan menggunakan Beda Nyata Jujur (BNJ) dengan tingkat

kebermaknaan 5 % (Steel dan Torrie,1980).

Page 12: Limbah Teh Melati Sebagai Pewarna Alami Kain Batik

6

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengaruh berbagai jenis fiksatif terhadap ketuaan warna kain mori dengan

pewarna limbah teh melati

Rataan ketuaan warna (±SE) kain mori dengan pewarnaan limbah teh melati antar

berbagai fiksatif yang diekspresikan dengan nilai RGB dan Grey berkisar antara 0,2487

± 0,0286 sampai dengan 0,7676 ± 0,0130 (Tabel 1).

Tabel 1. Rataan Ketuaan Warna (±SE) Kain Mori Hasil Pewarnaan Limbah Teh

Melati antar Berbagai Jenis Fiksatif

Jenis Fiksatif

Tu 2% Pr 3,75% Tw 5% Ka 2,5%

Red (R) w =0,0335

0,2787±0,0245

(a)

0,6198±0,0184

(b)

0,7604±0,0099

(c) 0,7676±0,0130

(c)

Green (G) w =0,0326

0,2487±0,0286

(a)

0,4792±0,0128

(b)

0,6263±0,0072

(c)

0,6185±0,0180

(c)

Blue (B) w =0,0308

0,2507±0,0194

(a)

0,3594±0,0160

(b)

0,4955±0,0051

(c)

0,5046±0,0127

(c)

Grey (Gr) w =0,0269

0,2600±0,0197

(a)

0,5117±0,0151

(b)

0,6537±0,0118

(c)

0,6576±0,0078

(c)

Keterangan :

*w = BNJ 5 %

*Tu = Tunjung; Pr = Prusi; Tw= Tawas; Ka= Kapur

*Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan ketuaan warna yang sama,

sedangkan angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda menunjukkan antarperlakuan berbeda

secara bermakna. Keterangan ini juga berlaku untuk Tabel 2-7

Tabel 1 menunjukkan ketuaan warna kain mori paling gelap secara berurutan

adalah dengan fiksatif tunjung, prusi, tawas, dan terakhir kapur. Hasil ketuaan warna

kain dengan limbah teh melati serupa dengan penelitian Padmasari (2012) yang

menggunakan teh hijau, yaitu dengan fiksatif tunjung menghasilkan warna paling gelap,

sebaliknya dengan fiksatif kapur dan tawas dihasilkan warna lebih terang dari pada

fiksatif tunjung. Sedangkan dengan penelitian Sumasa (2014) menggunakan limbah

kulit biji coklat juga menunjukkan hasil serupa untuk fiksatif prusi dengan urutan

ketuaan warna, yaitu : tunjung paling gelap diikuti prusi dan tawas yang paling terang

(Gambar 3).

Page 13: Limbah Teh Melati Sebagai Pewarna Alami Kain Batik

7

Gambar 3. Diagram Batang Rataan Ketuaan Warna Kain Mori Hasil Pewarnaan

Limbah Teh Melati antar Berbagai Jenis Fiksatif Keterangan : R = Red/merah, G = Green /hijau, B = Blue/biru dan Gr = Grey/abu-

abu. Keterangan ini berlaku juga untuk Gambar 4 – 10

Dari Gambar 3, kain mori dengan fiksatif tunjung memberikan warna yang

paling gelap dari hasil reaksi antara tanin teh dengan logam Fe2+

(tunjung)

menghasilkan garam kompleks, garam ini terbentuk karena ikatan kovalen koordinasi

antara ion logam dengan ligannya (Taofik, dkk., 2010 dalam Padmasari, 2012).

Selanjutnya untuk kain mori dengan fiksatif tawas (Al3+

) dan Kapur (Ca2+

)

menghasilkan warna yang paling terang, karena hasil reaksi antara ion logam

(Al3+

/Ca2+

) dengan tanin teh tidak membentuk garam kompleks, melainkan ikatan ionik

(Padmasari, 2012). Menurut Gitopadmojo, (1978 dalam Ruwana, 2008) auksokrom

dalam tanin akan berikatan lebih baik dengan serat kain apabila didukung dengan

adanya garam-garam kompleks.

Sedangkan kain mori dengan fiksatif prusi memberikan warna yang lebih gelap

dibandingkan fiksatif tawas dan kapur, namun lebih terang dibandingkan fiksatif

tunjung. Hasil reaksi antara tanin teh dengan logam Cu2+

(prusi) sama seperti fiksatif

tunjung yang menghasilkan garam kompleks. Menurut Rosyda dan Ersam (2010) ion

logam yang paling banyak membentuk kompleks dengan senyawa tanin adalah Fe(III)

> Cu(II) > Zn(II).

Pengaruh berbagai jenis fiksatif terhadap ketuaan warna kain sutera dengan

pewarna limbah Teh Melati

Rataan ketuaan warna (±SE) kain sutera dengan pewarnaan limbah teh melati

antar berbagai fiksatif yang diekspresikan dengan nilai RGB dan Grey berkisar antara

0,1803 ± 0,0198 sampai dengan 0,9649 ± 0,0708 (Tabel 2).

0,0

0,1

0,2

0,3

0,4

0,5

0,6

0,7

0,8

0,9

1 2 3 4Tu Pr Tw Ka

R G B Gr

Tu Pr Tw Ka Tu Pr Tw Ka Tu Pr Tw Ka

Page 14: Limbah Teh Melati Sebagai Pewarna Alami Kain Batik

8

Tabel 2. Rataan Ketuaan Warna (±SE) Kain Sutera Hasil Pewarnaan Limbah Teh

Melati antar Berbagai Jenis Fiksatif

Jenis Fiksatif

Tu 2% Pr 3,75% Tw 5% Ka 2,5%

Red (R) w =0,1581

0,1999±0,0208

(a)

0,5443±0,0305

(b)

0,9349±0,1312

(c) 0,9649±0,0708

(c)

Green (G) w =0,0471

0,1803±0,0198

(a)

0,3464±0,0276

(b)

0,5846±0,0161

(c)

0,6002±0,0160

(c)

Blue (B) w =0,0486

0,1914±0,0234

(a)

0,2142±0,0290

(a)

0,3874±0,0089

(b)

0,4518±0,0177

(c)

Grey (Gr) w =0,0446

0,1901±0,0179

(a)

0,3913±0,0252

(b)

0,6172±0,0161

(c)

0,6322±0,0166

(c)

Dari Tabel 2 terlihat bahwa ketuaan warna kain sutera dengan fiksatif tunjung

paling gelap dalam semua rona (red, green, blue) dan grey, sedangkan pada fiksatif

prusi ketuaan warna paling gelap hanya pada rona blue, sebaliknya rona red, green, dan

grey lebih terang dari pada fiksatif tunjung. Untuk fiksatif tawas dan kapur memiliki

warna lebih terang yang sama dalam rona red , green dan grey, kecuali rona blue untuk

tawas lebih gelap dari pada kapur (Gambar 4).

Gambar 4. Diagram Batang Rataan Ketuaan Warna Kain Sutera Hasil Pewarnaan

Ekstrak Limbah Teh Melati antar Berbagai Jenis Fiksatif

Gambar 4 menunjukkan pewarna lebih mudah terserap dalam kain sutera

sehingga rona green, blue dan grey yang dihasilkan lebih gelap dari pada kain mori

untuk semua fiksatif. Menurut Fitrihana (2011, dalam Kombado, 2013), kain sutera

memiliki afinitas paling bagus terhadap zat warna alam, sehingga ikatan antara zat warna

dan fibroin (kain sutera) akan membentuk ikatan kovalen yang lebih tahan luntur.

0,0

0,2

0,4

0,6

0,8

1,0

1,2

1 2 3 4Tu Pr Tw Ka

R G B Gr

Tu Pr Tw Ka Tu Pr Tw Ka Tu Pr Tw Ka

Page 15: Limbah Teh Melati Sebagai Pewarna Alami Kain Batik

9

Berdasarkan hasil penelitian di atas, selanjutnya dilakukan pengukuran terhadap

panjang gelombang maksimum masing-masing fiksatif, serta fiksatif yang diberi ekstrak

tanin limbah teh untuk menentukan pengaruhnya terhadap intensitas serapan UV-cahaya

tampak dengan spektrofotometri UV-Vis (Tabel 3).

Tabel 3. Data Panjang Gelombang Maksimum Serapan UV-Vis Ekstrak Limbah

Teh Melati dengan Penambahan Berbagai Fiksatif

λ E Tu E+Tu Pr E+Pr Tw E+Tw Ka E+Ka

370 0,309 1,475 0,294 0,0136 0,39 0,0298 0,304 0,1488 0,237

375 0,538 1,2277 0,522 0,0142 0,631 0,03 0,495 0,1497 0,454

420 3,222 0,4269 4 0,0103 3,222 0,0242 2,721 0,159 3,222

425 3,699 0,4153 4 0,0105 3,097 0,0236 2,721 0,158 3

430 3,155 0,404 4 0,0102 3,301 0,0229 2,796 0,1575 3,046

435 3,222 0,3919 4 0,0101 3,222 0,0223 2,921 0,1587 3,046

440 3,301 0,3825 3,699 0,0102 3,301 0,0219 3 0,1599 3,155

445 3,222 0,3762 4 0,01 3,398 0,0214 3,097 0,1595 3,155

450 3,155 0,372 4 0,0098 3,699 0,0207 3,155 0,1592 3,046

455 3,046 0,3711 4 0,0097 3,699 0,02 3,222 0,1565 3,046

460 2,921 0,3723 4 0,0097 3,699 0,0195 3,222 0,1548 3

465 2,824 0,3713 4 0,0098 3,699 0,0187 3,222 0,1524 2,959

470 2,678 0,3707 3,699 0,0103 3,398 0,018 3,301 0,1516 2,824

475 2,538 0,3692 3,699 0,0113 3,398 0,0179 3,398 0,1508 2,721

700 0,42 0,2297 1,863 1,2449 0,962 0,0094 1,072 0,1069 0,449

Tabel 3 menunjukkan ekstrak tanin dengan penambahan fiksatif tunjung memiliki

titik serapan pada panjang gelombang maksimum 420-435 nm dan 445-465 nm (jika

dibandingkan dengan ekstrak lebih dominan kearah batokromik), sedangkan pada prusi

panjang gelombang maksimumnya 450-465 nm (batokromik), begitu juga dengan

penambahan tawas panjang gelombang maksimun 475 nm (batokromik). Sebaliknya

ekstrak tanin dengan penambahan fiksatif kapur mengalami penurunan panjang

gelombang maksimum dari 425 nm menjadi 420 nm (efek hipsokromik) (Gambar 5).

Page 16: Limbah Teh Melati Sebagai Pewarna Alami Kain Batik

10

Gambar 5. Serapan UV- Cahaya Tampak Limbah Ekstrak Teh Melati dengan

Penambahan Berbagai Fiksatif

Gambar 5 menunjukkan ekstrak tanin dengan fiksatif tunjung, prusi dan tawas

mengalami pergeseran panjang gelombang maksimum menuju panjang gelombang yang

lebih panjang (efek batokromik). Geseran ini biasanya terjadi karena kerja auksokrom

yaitu gugus fungsi yang menempel pada kromofor (bagian molekul penyerap cahaya)

yang tidak menyerap energi cahayanya sendiri tetapi mempengaruhi panjang gelombang

cahaya yang diserap kromofor (Cairns, 2008) sehingga warna yang dihasilkan lebih

tajam/jelas. Pada penambahan tunjung disertai juga dengan kenaikan intensitas serapan

cahaya (efek hiperkromik) sehingga fotosensitivitasnya semakin kuat dan warna yang

dihasilkan menjadi paling gelap (Kombado, 2013). Sebaliknya pada penambahan tawas

mengalami penurunan intensitas serapan cahaya (efek hipokromik) menyebabkan

fotosensitivitasnya menjadi lemah sehingga warna yang dihasilkan lebih terang

(Kombado,2013), namun tajam/jelas karena efek batokromik.

Hasil berbeda dijumpai pada penambahan fiksatif kapur dalam ekstrak tanin

dimana terjadi penurunan panjang gelombang maksimum (efek hipsokromik). Geseran

ini terjadi jika senyawa dengan ausokrom dan pasangan elektron bebas tidak lagi dapat

berinteraksi dengan elektron-elektron kromofor sehingga warnanya lebih redup (Cairns,

2008). Pada penambahan kapur juga disertai penurunan intensitas serapan yang

menyebabkan fotosensitivitasnya lemah sehingga warna yang dihasilkan lebih terang

Page 17: Limbah Teh Melati Sebagai Pewarna Alami Kain Batik

11

(Kombando, 2013). Perbedaan warna yang dihasilkan antara keempat fiksatif disiapkan

pada Gambar 6.

Gambar 6. Hasil Pewarnaan Kain Mori dan Sutera dengan Ekstrak Limbah Teh

Melati antar Berbagai Jenis Fiksatif (Keterangan : Ko : Kontrol, Tu : Tunjung, Pr : Prusi, Tw : Tawas, dan Ka : Kapur)

Dari hasil spektrofotometri UV-Vis di atas jika dibandingkan dengan hasil

penelitian Sumasa (2014), untuk penambahan fiksatif tunjung dalam ekstrak tanin

diperoleh hasil yang sama yaitu penambahan tunjung menyebabkan efek batokromik

disertai efek hiperkromik sehingga warna yang dihasilkan paling gelap. Sebaliknya

diperoleh hasil yang berbeda pada penambahan fiksatif prusi dan tawas, namun dilihat

dari urutan hasil ketuaan warna kain yaitu : Tu > Pr > Tw, serupa dengan hasil

penelitian Sumasa (2014).

Pengaruh berbagai jenis fiksatif terhadap ketahanan luntur warna kain mori

dengan pewarna limbah Teh Melati terhadap pencucian

Rataan ketahanan luntur warna (±SE) kain mori dengan pewarnaan limbah teh

melati antar berbagai fiksatif terhadap pencucian diekspresikan dengan nilai RGB dan

Grey berkisar antara 0,2366 ± 0,0202 sampai dengan 0,7965 ± 0,0166 (Tabel 4).

Tabel 4. Rataan Ketahanan Luntur Warna (±SE) Kain Mori Hasil Pewarnaan Limbah

Teh Melati antar Berbagai Jenis Fiksatif Terhadap Pencucian

Jenis Fiksatif

Tu 2% Pr 3,75% Tw 5% Ka 2,5%

Red (R)

w =0,2598

0,2442±0,0202

(a)

0,6268±0,0091

(b)

0,7778±0,0248

(b) 0,7965±0,0166

(b)

Green (G)

w =0,2052

0,2520±0,0218

(a)

0,4647±0,0110

(b)

0,5843±0,0202

(b)

0,5922±0,0150

(b)

Blue (B)

w =0,1226

0,3158±0,0132

(a)

0,3526±0,0093

(a)

0,4459±0,0127

(b)

0,4547±0,0158

(b)

Grey (Gr)

w =0,2382

0,2366±0,0202

(a)

0,4973±0,0140

(b)

0,6392±0,0126

(b)

0,6472±0,0205

(b)

Dari Tabel 4 tampak bahwa kain mori dengan fiksatif tunjung tidak mengalami

kelunturan terhadap pencucian untuk semua rona dan grey, sebaliknya untuk fiksatif

Mori

Sutera

Ko Tu Pr Tw Ka

Page 18: Limbah Teh Melati Sebagai Pewarna Alami Kain Batik

12

prusi, tawas, dan kapur mengalami kelunturan untuk semua rona dan grey kecuali rona

blue dengan fiksatif prusi (Gambar 7).

Gambar 7. Diagram Batang Rataan Ketahanan Luntur Warna Kain Mori Hasil

Pewarnaan Ekstrak Limbah Teh Melati antar Berbagai Jenis Fiksatif

Terhadap Pencucian

Dari Gambar 7 tampak bahwa kain mori dengan fiksatif tunjung mempunyai

ketahanan luntur yang kuat terhadap pencucian oleh karena adanya ikatan tanin limbah

teh yang mampu masuk ke dalam serat kain mori secara maksimum dan berikatan kuat

dengan serat kain mori (Sulasminingsih, 2006 dalam Padmasari, 2012).

Pengaruh berbagai jenis fiksatif terhadap ketahanan luntur warna kain sutera

dengan pewarna limbah Teh Melati terhadap pencucian

Rataan ketahanan luntur warna (±SE) kain sutera dengan pewarnaan limbah teh

melati antar berbagai fiksatif terhadap pencucian diekspresikan dengan nilai RGB dan

Grey berkisar antara 0,0070 ± 0,0000 sampai dengan 0,9997 ± 0,0000 (Tabel 5).

Tabel 5. Rataan Ketahanan Luntur Warna (±SE) Kain Sutera Hasil Pewarnaan Limbah

Teh Melati antar Berbagai Jenis Fiksatif Terhadap Pencucian

Jenis Fiksatif

Tu 2% Pr 3,75% Tw 5% Ka 2,5%

Red (R) w =0,0816

0,1118±0,0153

(a)

0,4149±0,0202

(b)

0,9932±0,0131

(c) 0,9997±0,000

(c)

Green (G) w =0,1695

0,0186±0,0079

(a)

0,2438±0,0153

(b)

0,5068±0,0189

(c)

0,5211±0,0207

(c)

Blue (B) w =0,1137

0,0103±0,0052

(a) 0,0070±0,0000

(a)

0,3205±0,0259

(b)

0,4168±0,0228

(b)

Grey (Gr) w =0,2881

0,0810±0,0370

(a)

0,2706±0,0112

(a)

0,5650±0,0321

(b)

0,5828±0,0185

(b)

0,00

0,10

0,20

0,30

0,40

0,50

0,60

0,70

0,80

0,90

1 2 3 4Tu Pr Tw Ka

R G B Gr

Tu Pr Tw Ka Tu Pr Tw Ka Tu Pr Tw Ka

Page 19: Limbah Teh Melati Sebagai Pewarna Alami Kain Batik

13

Tabel 5 menunjukkan kain sutera dengan fiksatif tunjung tidak mengalami

kelunturan untuk semua rona dan grey, sebaliknya pada fiksatif prusi untuk rona red dan

green mengalami kelunturan. Sedangkan untuk fiksatif tawas dan kapur paling luntur

untuk rona red dan green (Gambar 8).

Gambar 8. Diagram Batang Rataan Ketahanan Luntur Warna Kain Sutera Hasil

Pewarnaan Ekstrak Limbah Teh Melati antar Berbagai Jenis Fiksatif

Terhadap Pencucian

Dari Gambar 8 terlihat kain sutera yang difiksasi tunjung mempunyai ketahanan

yang tinggi terhadap pencucian. Sedangkan fiksasi tawas dan kapur tidak tahan terhadap

pencucian untuk semua rona. Fiksasi prusi tahan terhadap pencucian untuk rona blue

dan grey, sebaliknya luntur untuk rona red dan green. Adanya kelunturan berhubungan

dengan kuat lemahnya ikatan antara serat kain dan zat pewarnanya (Prayitno dkk.,

2014).

Pengaruh berbagai jenis fiksatif terhadap ketahanan luntur warna kain mori

dengan pewarna limbah Teh Melati terhadap pencucian dan penyeterikaan

Rataan ketahanan luntur warna (±SE) kain mori dengan pewarnaan limbah teh

melati antar berbagai fiksatif terhadap pencucian dan penyeterikaan diekspresikan

dengan nilai RGB dan Grey berkisar antara 0,3220 ± 0,0258 sampai dengan 0,7709 ±

0,0216 (Tabel 6).

0,00

0,20

0,40

0,60

0,80

1,00

1,20

1 2 3 4Tu Pr Tw Ka

R G B Gr

Tu Pr Tw Ka Tu Pr Tw Ka Tu Pr Tw Ka

Page 20: Limbah Teh Melati Sebagai Pewarna Alami Kain Batik

14

Tabel 6. Rataan Ketahanan Luntur Warna (±SE) Kain Mori Hasil Pewarnaan Limbah

Teh Melati antar Berbagai Jenis Fiksatif Terhadap Pencucian dan

Penyeterikaan

Jenis Fiksatif

Tu 2% Pr 3,75% Tw 5% Ka 2,5%

Red (R) w =0,1489

0,3325±0,0211

(a)

0,6329±0,0124

(b) 0,7709±0,0231

(b)

0,7704±0,0216

(b)

Green (G) w =0,1409

0,3479±0,0300

(a)

0,4702±0,0190

(b)

0,5543±0,0171

(b)

0,5495±0,0190

(b)

Blue (B) w =0,1217

0,3220±0,0258

(a)

0,3582±0,0093

(a)

0,4590±0,0093

(b)

0,4767±0,0171

(b)

Grey (Gr) w =0,1520

0,3663±0,0166

(a)

0,5039±0,0186

(a)

0,5957±0,0213

(b)

0,5875±0,0245

(b)

Tabel 6 menunjukkan kain mori dengan fiksatif tunjung tidak mengalami

kelunturan terhadap pencucian dan penyetrikaan untuk semua rona dan grey, sebaliknya

pada fiksatif prusi, tawas dan kapur mengalami kelunturan untuk semua rona dan grey

kecuali rona blue dan grey pada fiksatif prusi yang tidak luntur (Gambar 9).

Gambar 9. Diagram Batang Rataan Ketahanan Luntur Warna Kain Mori Hasil

Pewarnaan Ekstrak Limbah Teh Melati antar Berbagai Jenis Fiksatif

Terhadap Pencucian dan Penyeterikaan Pengaruh berbagai jenis fiksatif terhadap ketahanan luntur warna kain sutera

dengan pewarna limbah Teh Melati terhadap pencucian dan penyeterikaan

Rataan ketahanan luntur warna (±SE) kain sutera dengan pewarnaan limbah teh

melati antar berbagai fiksatif terhadap pencucian dan penyeterikaan diekspresikan

dengan nilai RGB dan Grey berkisar antara 0,1459 ± 0,0000 sampai dengan 0,9700 ±

0,0000 (Tabel 7).

0

0,1

0,2

0,3

0,4

0,5

0,6

0,7

0,8

0,9

1 2 3 4Tu Pr Tw Ka

R G B Gr

Tu Pr Tw Ka Tu Pr Tw Ka Tu Pr Tw Ka

Page 21: Limbah Teh Melati Sebagai Pewarna Alami Kain Batik

15

Tabel 7. Rataan Ketahanan Luntur Warna (±SE) Kain Sutera Hasil Pewarnaan Limbah

Teh Melati antar Berbagai Jenis Fiksatif Terhadap Pencucian dan

Penyeterikaan

Jenis Fiksatif

Tu 2% Pr 3,75% Tw 5% Ka 2,5%

Red (R) w =0,3219

0,1733±0,0157

(a)

0,4427±0,0121

(a) 0,9700±0,0000

(b)

0,9696±0,0004

(b)

Green (G) w =0,2533

0,2931±0,0000

(a)

0,3107±0,0174

(a)

0,3400±0,0184

(a)

0,3485±0,0343

(a)

Blue (B) w =0,1651

0,1459±0,0000

(a)

0,1480±0,0000

(a)

0,2208±0,0166

(a)

0,2522±0,0310

(a)

Grey (Gr) w =0,2378

0,2187±0,0426

(a)

0,3354±0,0201

(a)

0,4526±0,0135

(a)

0,4789±0,0344

(b)

Tabel 7 menunjukkan kain sutera dengan fiksatif tunjung dan prusi tidak

mengalami kelunturan terhadap pencucian dan penyetrikaan untuk semua rona dan grey,

sebaliknya rona red pada fiksatif tawas dan kapur, serta grey pada fiksatif kapur

mengalami kelunturan (Gambar 10).

Gambar 10. Diagram Batang Rataan Ketahanan Luntur Warna Kain Sutera Hasil

Pewarnaan Ekstrak Limbah Teh Melati antar Berbagai Jenis Fiksatif

Terhadap Pencucian dan Penyeterikaan

Ketahanan luntur warna baik kain mori maupun sutera terhadap pencucian

maupun pencucian-penyeterikaan tidak lepas dari peran fiksatif. Sebab penggunaan

larutan fiksatif dalam proses pewarnaan kain akan membuat warna menjadi tidak mudah

pudar (Ruwana, 2008).

0

0,2

0,4

0,6

0,8

1

1,2

1 2 3 4Tu Pr Tw Ka

R G B Gr

Tu Pr Tw Ka Tu Pr Tw Ka Tu Pr Tw Ka

Page 22: Limbah Teh Melati Sebagai Pewarna Alami Kain Batik

16

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

1. Urutan ketuaan warna kain mori dan sutera dari warna paling gelap adalah fiksatif

tunjung, prusi, tawas, dan warna paling terang adalah fiksatif kapur.

2. Kain mori dan sutera dengan fiksatif tunjung tidak mengalami kelunturan terhadap

pencucian untuk semua rona. Kain mori pada fiksatif prusi mengalami kelunturan

kecuali rona blue, serta pada sutera untuk rona blue dan grey. Sebaliknya kain mori

dengan fiksatif kapur dan tawas mengalami kelunturan untuk semua rona, serta

pada sutera paling luntur untuk rona red dan green.

3. Kain mori dan sutera dengan fiksatif tunjung tidak mengalami kelunturan terhadap

pencucian dan penyeterikaan untuk semua rona, sebaliknya kain mori mengalami

kelunturan untuk rona red dan green pada fiksatif prusi. Sedangkan untuk fiksatif

tawas dan kapur mengalami kelunturan untuk semua rona pada kain mori,

sebaliknya pada kain sutera dengan fiksatif tawas mengalami kelunturan untuk rona

red dan dengan kapur akan luntur untuk rona red dan grey.

Saran

1. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut tentang pembuatan pewarna limbah teh

melati dalam bentuk serbuk (bentuk instan)

2. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai ketahanan luntur terhadap

pengaruh panas sinar matahari, air hujan, dan keringat.

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Andreas Setiawan, S.Si, MT.

yang telah membantu dalam processing data RGB-Grey dan kepada Bapak Lutiyono,

S.Si. dalam penggunaan Spektrofotometri UV-Vis

Daftar Pustaka

Arham, Z., U. Ahmad, dan Suroso, 2004. Evaluasi Mutu Jeruk Nipis (Citrus

aurantifolia Swingle) dengan Pengolahan Citra Digital dan Jaringan Syaraf

Tiruan. Prosiding Semiloka Teknologi Simulasi dan Komputasi serta Aplikasi

2004. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Atikasari, A., 2005. Kualitas Tahan Luntur Warna Batik Cap Di Griya Batik Larissa

Pekalongan. Universitas Negeri Semarang. Semarang.

Page 23: Limbah Teh Melati Sebagai Pewarna Alami Kain Batik

17

Cairns, D., 2008. Intisari Kimia Farmacy, Ed. 2. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran

EGC

Hamid, T. dan D. Muhlis, 2005. Perubahan Sifat Fisika dan Kimia Kain Sutera Akibat

Pewarna Alami Kulit Akar Pohon Mengkudu (Morinda citrifolia). Jurnal

Teknologi : Edisi N0. 2, Tahun XIX, Juni 2005, 163-170 ISSN 0215-1685.

Program Studi Teknik Kimia, Departemen Teknik Gas dan Petrokimia Fakultas

Teknik Universitas Indonesia. Depok.

Kombado, A. R., 2013. Limbah Kerabang Telur Puyuh (Cortunix cortunix japonica)

sebagai Pewarna Alami Kain Batik. (Pengaruh Jenis Fiksatif terhadap Ketuaan

dan Ketahanan Luntur Ditelaah dengan Metode Pengolahan Citra Digital

RGB). Skripsi. Salatiga : Universitas Kristen Satya Wacana

Kusriniati, D., 2007. Pemanfaatan Daun Sengon (Albizia falcataria) Sebagai Pewarna

Kain Sutera Menggunakan Mordan Tawas Dengan Konsentrasi Yang Berbeda

Pada Busana Camisol. Skripsi. Universitas Negeri Semarang. Semarang.

Kwartiningsih, E., D. A. Setyawardhani, A. Wiyanto, dan A. Triyono., 2009. Zat

Pewarna Alami Tekstil Dari Kulit Buah Manggis. Ekuilibrium Vol. 8. No. 1.

Januari 2009 : 41-47. Jurusan Teknik Kimia, Fakultas Teknik. Universitas

Sebelas Maret. Solo.

Mey, S., 2009. Tips Memilih Kain Sutera untuk Batik.

http://jatim.kemenag.go.id/file/dokumen/279sahabat..pdf/. Diunduh 29

September 2012

Noerati, Gunawan, M. Iwan dan Atin S., 2013. Bahan Ajar Pendidikan dan latihan

Profesi Guru (PLPG): Teknologi Tekstil Sekolah Tinggi. Teknologi Tekstil Padmasari, A. K., 2012. Limbah Teh Hijau Sebagai Pewarna Alami Batik Tulis

(Pengaruh Jenis Fiksatif Terhadap Ketuaan dan Ketahanan Luntur Ditelaah

dengan Metode Pengolahan Citra Digital RGB). Skripsi. Program Studi Kimia,

Fakultas Sains dan Matematika, Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga.

Prayitno, R. Eko, S. Wijana, dan B. S. Diyah D., 2014. Pengaruh Bahan Fiksasi

Terhadap Ketahanan Luntur dan Intensitas Warna Kain Mori Batik Hasil

Pewarnaan Daun Alpukat (Persea americana Mill.). Malang : Fakultas Teknologi

Pertanian, Universitas Brawijaya

Rosyda, A. Ika, dan T. Ersam, 2010. Peningkatan Kualitas Kayu (Instia bijuga) :

Kompleksasi Logam Cu(II), Fe(III) Dan Zn(II) Oleh Senyawa Tanin. Surabaya :

Jurusan Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut

Teknologi Sepuluh Nopember

Ruwana, Iftitah, 2008. Pengaruh Fiksasi Terhadap Ketahanan Luntur Warna pada

Proses Pencelupan Kain Kapas dengan Menggunakan Zat Warna dari Limbah

Kayu Jati. Teknologi dan Kejuruan. Vol. 31, No.1

Sastrohamidjojo, H., 2001. Spektroskopi. Edisi 2. Liberty. Jakarta

Steel, R.G.D. dan J.H. Torie, 1980. Prinsip Dan Prosedur Statistika Suatu Pendekatan

Biometrik. Gramedia. Jakarta.

Suheryanto, D., 2010. Optimalisasi Celupan Ekstrak Daun Mangga pada Kain Batik

Katun dengan Iring Kapur . Seminar Rekayasa Kimia dan Proses 2010. ISSN :

1411-4216. Balai Besar Kerajinan Batik. Semarang.

Sulasminingsih, 2006. Studi Komparasi Kuaitas Kain Kapas Pada Pencelupan Ekstrak

Kulit Pohon Mahoni Dengan Mordan Tawas Dan Garam Diazo. Universitas

Negeri Semarang. Semarang.

Page 24: Limbah Teh Melati Sebagai Pewarna Alami Kain Batik

18

Sumasa, T. T. L., 2014. Limbah Kulit Biji Coklat (Theobroma cacao Linn.) sebagai

Pewarna Alami Kain Mori dan Sutra (Pengaruh Jenis Fiksatif Terhadap

Ketuaan dan Ketahanan Luntur Ditelaah dengan Metode Pengolahan Citra

Digital RGB). Skripsi. Salatiga : Universitas Kristen Satya Wacana

Susanto, D. A., 2009. Pusat Percontohan Produksi Dan Pengembangan Batik Di

Surakarta Sebagai Sarana Pelestarian Budaya. Tugas Akhir. Jurusan Teknik

Arsitektur, Fakutas Teknik. Universitas Muhammadiyah Surakarta. Solo.