299
BAB 1 ADMINISTRASI PUBLIK DAN MANAJEMEN PUBLIK BARU Pemerintah seharusnya tidak dijalankan seperti sebuah perusahaan; pemerintah seharusnya dijalankan seperti sebuah demokrasi. Di semua negara ini dan di seluruh penjuru dunia, pegawai pemerintah terpilih atau tertunjuk bertindak menurut prinsip ini dan mengekspresikan komitmen baru terhadap keidealan seperti kepentingan publik, proses penyelenggaraan pemerintahan, dan memperluas kewarganegaraan demokratis. Sebagai akibatnya, mereka mempelajari skill baru dalam pengembangan dan implementasi kebijakan, mengakui dan menerima kompleksitas tantangan yang mereka hadapi, dan memperlakukan pegawai pemerintah lain dan warga negaranya dengan martabat dan penghormatan baru. Pegawai publik merasa lebih bernilai dan berenergi selama pemahaman mengenai layanan dan komunitas meluas. Dalam proses ini, pegawai pemerintah juga berhubungan kembali dengan warga negara. Administrator menyadari bahwa mereka memiliki banyak hal untuk memperoleh keuntungan dengan “mendengarkan” publik bukan “memberitahukan”, dan dengan “melayani” bukan “menyetir” mereka. Dengan mengundang pegawai pemerintah, bahkan mendorongnya, warga negara umum dapat terlibat lagi dalam proses penyelenggaraan pemerintahan. Warga negara dan pejabat publik bekerja sama untuk mendefinisikan dan memecahkan masalah-masalah umum secara kooperatif dan sama-sama menguntungkan. Kami menunjukkan bahwa sikap baru dan keterlibatan 1

Pelayanan Publik

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Model pelayanan publik terbaru

Citation preview

Page 1: Pelayanan Publik

BAB 1ADMINISTRASI PUBLIK DAN MANAJEMEN PUBLIK BARU

Pemerintah seharusnya tidak dijalankan seperti sebuah perusahaan; pemerintah seharusnya dijalankan seperti sebuah demokrasi. Di semua negara ini dan di seluruh penjuru dunia, pegawai pemerintah terpilih atau tertunjuk bertindak menurut prinsip ini dan mengekspresikan komitmen baru terhadap keidealan seperti kepentingan publik, proses penyelenggaraan pemerintahan, dan memperluas kewarganegaraan demokratis. Sebagai akibatnya, mereka mempelajari skill baru dalam pengembangan dan implementasi kebijakan, mengakui dan menerima kompleksitas tantangan yang mereka hadapi, dan memperlakukan pegawai pemerintah lain dan warga negaranya dengan martabat dan penghormatan baru. Pegawai publik merasa lebih bernilai dan berenergi selama pemahaman mengenai layanan dan komunitas meluas. Dalam proses ini, pegawai pemerintah juga berhubungan kembali dengan warga negara. Administrator menyadari bahwa mereka memiliki banyak hal untuk memperoleh keuntungan dengan “mendengarkan” publik bukan “memberitahukan”, dan dengan “melayani” bukan “menyetir” mereka. Dengan mengundang pegawai pemerintah, bahkan mendorongnya, warga negara umum dapat terlibat lagi dalam proses penyelenggaraan pemerintahan. Warga negara dan pejabat publik bekerja sama untuk mendefinisikan dan memecahkan masalah-masalah umum secara kooperatif dan sama-sama menguntungkan.

Kami menunjukkan bahwa sikap baru dan keterlibatan

1

Page 2: Pelayanan Publik

ini adalah bukti dari gerakan baru dalam administrasi publik, yang akan kami sebut sebagai “Layanan Publik Baru” (New Public Service). Layanan Publik Baru berusaha untuk mengajukan dan menginformasikan sejumlah pertanyaan normatif sentral tentang bidang itu. Bagaimana kita dapat mendefinisikan karakter esensial dari apa yang kita lakukan dalam layanan publik? Apa kekuatan pendorong yang menggerakkan tindakan-tindakan kita? Apa yang memberikan kita kekuatan dan kapasitas ketika percobaan dan kekacauan usaha kita muncul ke permukaan? Bagaimana kita dapat bertahan bahkan selama kita menghadapi masalah-masalah yang kompleks dan rumit dengan sumber-sumber terbatas dan publik yang kerap kali mengkritik dan benci terhadap apa yang kita lakukan? Kita berpikir bahwa jawabannya terletak pada komitmen kita terhadap layanan publik.

Kita tidak menemukan penjelasan lain yang masuk akal terhadap dedikasi dan komitmen luar biasa dari orang-orang yang berusaha untuk membuat dunia lebih aman dan bersih guna memperbaiki kesehatan kita, untuk mendidik anak-anak kita, dan untuk membuka seluk beluk kumpulan penyakit masyarakat yang menghadapi kita. Di mana tempat lain untuk menemukan fondasi usaha-usaha kita untuk memfasilitasi kewarganegaraan dan keterlibatan publik sebagai bagian utama pekerjaan kita? Siapa lagi yang dapat menjaga pemadam kebakaran, pejabat kepolisian, pekerja sosial, perencana dan inspektur, resepsionis dan klerek, manajer dan analis yang melayani komunitas dan negaranya dengan energi, ketetapan hati, dan determinasi?

Page 3: Pelayanan Publik

Penelitian memberitahukan kepada kita bahwa keidealan layanan publik adalah sangat penting dalam memahami bagaimana pegawai pemerintah dapat berhasil dalam pekerjaan yang mereka laksanakan. Namun apa yang nampaknya terlalaikan pada saat ini adalah penggabungan serangkaian tema dan prinsip yang mengekspresikan dan menegaskan kembali pentingnya nilai-nilai layanan publik. Beberapa pertanyaan tentang nilai-nilai tersebut tentu saja masih diperdebatkan sepanjang sejarah administrasi publik di negara ini dan di negara lain, namun kelihatannya terdapat perhatian berlebih mengenai isu-isu tersebut pada saat ini daripada sebelumnya. Yang jelas, terdapat beberapa “kekuatan penggerak” yang telah didiskusikan secara panjang lebar dalam bidang administrasi publik baru-baru ini, yakni: Manajemen Publik Baru (New Public Management), Review Kinerja Nasional (National Performance Review), gerakan Pelaksanaan Hasil-Hasil (Managing for Results

Movement),dan Total Quality Management (TQM)- untuk sekedar menyebutkan sebagian namanya. Selama semua pengaruh tersebut adalah penting, tak satupun yang bisa memuaskan kebutuhan dasar berlebih untuk menjawab beberapa pertanyaan inti: Apa kita sebenarnya? Mengapa kita di sini? Apa maksud dari hal ini semua? Orang-orang dalam administrasi publik sepanjang sejarah bidang kami telah terdorong untuk membuat sesuatu bekerja, namun hal itu hanya merupakan jawaban parsial belaka. Kita juga ingin melakukan sesuatu yang berharga bagi masyarakat.

3

Page 4: Pelayanan Publik

Di sanalah terletak jiwa administrasi publik. Apa yang paling signifikan,dan paling berharga, tentang administrasi publik yakni kita melayani warga negara untuk memajukan kebaikan bersama. Administrator publik bertanggung jawab untuk memperbaiki kesehatan publik guna mempertahankan keamanan publik, untuk mempertinggi kualitas lingkungan kita, dan banyak tugas lainnya. Yang disayangkan, bagi mereka, dan bagi kita, apa yang sebenarnya dipersoalkan bukanlah seberapa efisienkah kita melaksanakan pekerjaan kita, namun bagaimana kita mengontribusikan kehidupan yang lebih baik bagi kita semua. Dalam buku ini, kami memerlukan afirmasi jiwa progresif melalui Layanan Publik Baru, sebuah gerakan yang didasarkan pada kepentingan publik, pada keidealan penyelenggaraan pemerintahan demokratis, dan pada keterlibatan sipil baru, gerakan yang akan kami argumenkan sekarang ini adalah jelas sejauh kita berinteraksi dengan pemimpin-pemimpin politik, sejauh kita turut serta dengan warga negara, dan sejauh kita melakukan perubahan-perubahan positif dalam organisasi-organisasi kita dan komunitas kita.

Kami akan berusaha untuk mendeskripsikan berbagai macam elemen Layanan Publik Baru dengan membandingkannya dengan pendekatan tradisional dan lebih kontemporer terhadap kebijakan publik dan administrasi publik. Dalam Bab ini, kami akan secara ringkas mereview sejarah dan pengembangan administrasi publik tradisional, apa yang sekarang harus kita sebut sebagai Administrasi Publik Lama (Old Public Administration). Selanjutnya, kami akan

Page 5: Pelayanan Publik

menguraikan apa yang kami lihat sebagai pendekatan dominan atau mainstream terhadap administrasi publik kontemporer saat ini, yakni Manajemen Publik Baru (New Public Management). Dalam Bab 2, kami akan memperhatikan beberapa pandangan alternatif terpenting atas administrasi publik, pandangan-pandangan yang lebih kecil daripada “mainstream” sepanjang sejarah bidang ini, namun sekarang disuarakan dengan urgensi yang meningkat. Dengan menguji konteks dan dasar pemikiran historis untuk memahami Layanan Publik Baru, dalam Bab 3 sampai 9, kami akan mengeksplorasi tujuh aspek Layanan Publik Baru yang muncul dalam dua dekade terakhir. Kami tidak berusaha untuk mengembangkannya sebagai argumen teoritis sempit demi kepentingan Layanan Publik Baru. Lebih daripada hal itu, tujuan kami di sini adalah untuk menata beberapa isu normatif dan cara-cara alternatif dalam memikirkan tentang administrasi publik yang kemungkinan besar dihadapi oleh para akademisi dan praktisi selama mereka berusaha untuk membangun Layanan Publik Baru.

Administrasi Publik Lama (Old Public Administration)Selama pemerintah menggunakan struktur-struktur

manajemen dan organisasi yang kompleks sepanjang sejarah manusia, administrasi publik sebagai bidang studi dan praktek kesadaran-diri umumnya dianggap mulai muncul dalam peralihan abad. Versi Amerikanya, misalnya, ditandai dengan essay terkenal dari Woodrow Wilson, yang kemudian menjadi profesor college, dan terakhir menjabat presiden Amerika Serikat. Wilson mengakui tugas-tugas

5

Page 6: Pelayanan Publik

pemerintah administratif yang semakin meningkat dan kompleks dengan berkomentar bahwa “muncul kesulitan untuk menjalankan sebuah konstitusi daripada mengerangkakannya” (Wilson 1987/1887, 2000). Supaya bisa menjalankan pemerintahan secara efektif, Wilson menyarankan kepada kita untuk mengamati bidang bisnis, sebab “bidang administratif adalah sebuah biang bisnis” (209). Supaya bisa mengikuti model bisnis, Wilson menyarankan kepada pemerintah untuk menetapkan otoritas eksekutif, dengan mengontrol organisasi-organisasi hierarkis dan menetapkan tujuan untuk mencapai operasi semampu dan seefisien mungkin.

Orang-orang yang memegang pusat-pusat kekuasaan tidak harus dilibatkan secara aktif dan ekstensif dalam pengembangan kebijakan. Tugas-tugasnya adalah melakukan implementasi kebijakan dan provisi layanan, dan dalam tugas-tugas tersebut, mereka diharapkan bisa bertindak secara netral dan profesional untuk melaksanakan petunjuk menurut caranya. Mereka dipantau secara cermat dan bertanggung jawab terhadap pimpinan politik terpilih, dengan tidak menyimpang dari kebijakan yang tetap. Wilson mengakui adanya bahasa potensial dalam petunjuk lain karena terdapat kemungkinan bahwa politik, atau secara lebih khusus, politisi korup mungkin akan berpengaruh negatif terhadap administrator dalam pengejarannya atas efisiensi organisasional. Persoalan ini menimbulkan diktum terkenal Wilson, “Administrasi terletak di luar ruang lingkup politik yang tepat. Pertanyaan-pertanyaan administratif bukanlah pertanyaan-pertanyaan politik.

Page 7: Pelayanan Publik

Meskipun politik menetapkan beberapa tugas administrasi, namun jabatannya tidak seyogyanya dimanipulasi” (Wilson 1987/1887, 210). Jadi, Wilson menetapkan apa yang dikenal selama beberapa tahun sebagai dikotomi politik-administrasi (atau kebijakan-administrasi).

Dua Tema KunciDalam essay Wilson, kami menemukan dua tema kunci

yang berfungsi sebagai fokus terhadap studi administrasi publik untuk separuh abad berikutnya atau lebih. Pertama, terdapat perbedaan antara politik (atau kebijakan) dan administrasi, dengan ide-ide akuntabilitas terkaitnya kepada pimpinan-pimpinan terpilih dan kompetensi netral dalam bagian administrator. Kedua, terdapat persoalan terhadap penciptaan struktur-struktur dan strategi-strategi manajemen administratif yang akan memudahkan beberapa organisasi publik dan manajer-manajernya untuk bertindak seefisien mungkin. Masing-masing ide tersebut patut mendapatkan komentar lebih lanjut.

Pertama, ide pemisahan politik dan administrasi menerima komentar awal dan berusaha memedomani praktek dalam sejumlah hal. Misalnya, dikotomi itu jelas merupakan basis terhadap bentuk dewan-manajer atas pemerintahan daerah, yang meliputi dewa yang diberikan responsibilitas untuk menetapkan kebijakan dan manajer kota yang diberikan tanggung jawab untuk mengimplementasikannya. Tentu saja, dalam contoh dewan-manajer, sebagaimana dalam area-area lainnya, pemisahan politik dan administrasi terbukti sulit. Anggota-anggota

7

Page 8: Pelayanan Publik

badan pemerintahan, baik anggota dewan kota ataupun legislator negara bagian atau federal, selalu mempertahankan sebuah kepentingan aktif dalam pelaksanaan agensi-agensi administratif. Melalui fungsi terpantau, mereka menanamkan pengaruh dalam operasi agensi. Sebaliknya, beberapa administrator berusaha untuk memainkan peran yang lebih aktif dalam proses kebijakan, khususnya selama mereka bawa saran ahli untuk dimunculkan dalam proses kebijakan. Sepanjang waktu, kebanyakan komentator seperti Luther Gulick, administrator kota pertama New York dan pendiri American Society for Pulib Administration, berargumen bahwa kebijakan dan administrasi tidak dapat dipisahkan, dan setiap tindakan manajer publik memerlukan “jaringan diskresi dan tindakan gabungan” (1933, 561). Pakar lainnya seperti Paul Appleby, dekan Maxwell School di Syracuse University bahkan menunjukkan bahwa “administrasi publik adalah pengambilan kebijakan” (Appleby, 1949, 170).

Perbedaan yang Wilson gambarkan antara politik dan administrasi tidaklah begitu jelas sepanjang waktu. Dalam banyak kaitan, hubungan antara politik dan administrasi tetap penting untuk bidang administrasi publik. Selama “dikotomi” antara politik dan administrasi digambarkan secara berlebihan, interaksi terhadap persoalan politik dan administratif adalah kunci untuk memahami bagaimana pemerintah beroperasi pada saat ini. yang lebih penting, pemisahan politik dan administrasi terletak pada inti versi akuntabilitas Administrasi Publik Lama, di mana administrator tertunjuk bertanggung jawab kepada “master”

Page 9: Pelayanan Publik

politiknya – dan hanya melaluinya kepada rakyat. Menurut pandangan ini, persyaratan penyelenggaraan pemerintahan terpenuhi di mana layanan sipil yang netral dan kompeten dikontrol dan bertanggung jawab kepada pimpinan politik terpilih. Frederick Cleveland, seorang penulis awal, berkomentar bahwa akuntabilitas demokratis dipertahankan di mana terdapat “badan representatif (seperti badan pembuat undang-undang) di luar administrasi dengan kekuasaan untuk menentukan kehendak keanggotaan (warga negara) dan menyelenggarakan kehendak dalam administrasi” (Cleveland 1920, 15, tanda kurung ditambahkan). Menurut pandangan ini, badan pembuat undang-undang beroperasi seperti dewan direktur yang mengawasi operasi bisnis.

Kedua, Wilson berpendapat, dan lainnya setuju, bahwa organisasi-organisasi publik seharusnya mencari efisiensi terbesar dalam operasinya dan efisiensi semacam itu dapat dicapai dengan baik melalui struktur hierarkis manajemen administratif yang terpadu dan besar. Yang pasti pandanga itu adalah konsisten dengan pemikiran di antara manajer-manajer bisnis pada masa itu. Kebanyakan pakar, seperti pakar efisiensi yang bernama Frederick W. Taylor (1923) menggunakan pendekatan “manajemen ilmiah” untuk mencoba mempelajari, melalui studi-studi “waktu dan gerakan” detil, tentang bagaimana proses produktif dapat diperbaiki, Taylor, misalnya,, berusaha untuk menentukan “satu cara terbaik” untuk memecahkan masalah dengan mendesain sebuah eksperimen yang dapat mengalkulasi pertimbangan ideal pemecahan masalah tunggal, keidealan dalam pengertian menghadirkan pemecahan masalah terbanyak

9

Page 10: Pelayanan Publik

setiap hari!. Teoritikus awal lainnya seperti Leonard White (1926)

dan W.F. Willoughby (1927), memfokuskan pada pembangunan struktur-struktur organisasional yang dapat beroperasi dengan efisiensi tinggi. Sebagian besar ide atraktif yang ditemukan dari para kepala eksekutif yang kuat memiliki kekuasaan dan otoritas untuk menjalankan pekerjaan yang ditetapkan oleh agensi. Selain itu, kepala eksekutif itu dapat mengalami keberhasilan jika ia beroperasi melalui sebuah struktur organisasi yang dicirikan oleh persatuan komando, otoritas hierarkis, dan divisi tenaga kerja yang ketat. Pekerjaan eksekutif adalah menentukan divisi tenaga kerja terbaik, kemudian mengembangkan cara koordinasi dan kontrol yang tepat.

Model Rasional Administrative Behavior (1957) klasik, yang ditulis

oleh Herbert Simon, seorang saintis politik yang memenangkan Nobel Prize dalam bidang ekonomi, menyuguhkan argumen yang sangat bagus. Menurut sudut pandang sains positif yang Simon representasikan,beberapa pernyataan bisa diklasifikasikan menurut apakah mereka adalah benar atau salah. Tentu saja saintis memperhatikan penetapan kebenaran proposisi khusus. Supaya bisa melakukan hal itu, mereka harus menghilangkan “nilai-nilai” yang buruk yang cenderung mengganggu urusan manusia. Terma-terma yang tidak membicarakan preferensi individu atau kelompok tersebut tidaklah diakui dalam studi ilmiah, di mana dalam kasus ini adalah studi perilaku administratif.

Page 11: Pelayanan Publik

Lebih daripada itu, Simon berargumen bahwa standar tunggal, yakni standar efisiensi, bisa digunakan untuk membantu menghilangkan nilai-nilai dari diskusi tindakan terorganisir.

Kunci terhadap argumen ini adalah konsep rasionalitas. Menurut Simon, manusia dibatasi pada tingkat rasionalitas yang dapat mereka peroleh dalam referensi terhadap beberapa masalah yang mereka hadapi; namun mereka dapat bergabung bersama dalam beberapa kelompok dan organisasi untuk menghadapi dunia di sekitarnya secara efektif, dan mereka dapat melakukannya secara rasional. Secara abstrak, muncul kesulitan untuk mengembangkan sebuah rangkaian tindakan rasional untuk mencapai sebagian besar tujuan. Masalah itu muncul ketika kita memasukkan kehidupan riil seseorang, dengan semua persoalan dan idiosinkrasi manusianya, ke dalam sebuah gambaran. Isu itu menjadi isu tentang bagaimana menyesuaikan orang-orang tersebut dengan rencana rasional dan bagaimana memastikan bahwa perilaku manusia mengikuti pijakan yang paling efisien.

Bertentangan dengan tradisi filosofis lama yang menganggap akal manusia terkait dengan isu-isu seperti keadilan, ekualitas, dan kebebasan pandangan terbatas Simon yakni rasionalitas terkait dengan penyelarasan cara yang tepat untuk menyempurnakan tujuan yang diinginkan. Menurut pandangan ini, rasionalitas disamakan dengan efisiensi. Berkaitan dengan apa yang Simon sebut sebagai manusia administratif”, perilaku yang paling rasional yakni perilaku yang dapat menggerakkan organisasi secara

11

Page 12: Pelayanan Publik

efisien ke arah tujuan-tujuannya. “Manusia administratif menerima tujuan-tujuan organisasi sebagai premis nilai atas beberapa keputusannya, khususnya yang sensitif dan reaktif terhadap pengaruhnya pada anggota-anggota lain DM organisasi itu, membentuk ekspektasi stabil mengenai perannya sendiri dan memiliki moral tinggi mengenai tujuan-tujuan pria” (Simon, Smithburg, dan Thompson, 1950, 82). Jadi, melalui apa yang disebut sebagai persuasi (inducement) – model kontribusi, dengan mengontrol persuasi yang ditawarkan kepada beberapa anggota organisasi, pemimpin-pemimpinnya dapat menjamin kontribusinya dan pemenuhannya dengan desain rasional organisasi, yang membuat organisasi menjadi lebih efisien dan produktif. Pilihan Publik

Beberapa tahun setelah penelitian Simon, sebuah interpretasi menarik mengenai perilaku administratif, dan yang tergabung dengan posisi “manusia ekonomi” klasik, muncul ke permukaan. Pendekatan baru yang disebut sebagai “teori pilihan publik” ini sebenarnya memberikan sebuah jembatan yang menarik antara Administrasi Publik Lama dan Manajemen Publik Baru, di mana, selama teori pilihan publik dikembangkan selama masa kami berhubungan dengan Administrasi Publik Lama, pilihan publik menjadi lebih signifikan sebagai basis teoritis kunci terhadap Manajemen Publik Baru. Untuk alasan inilah, kami hanya akan menguraikan teori pilihan publik dalam pembahasan ini, namun akan tetap kembali pada material yang disajikan.

Page 13: Pelayanan Publik

Teori pilihan publik didasarkan pada beberapa asumsi kunci. Pertama, dan paling penting, teori pilihan publik memfokuskan pada individu, yang mengasumsikan bahwa pembuat keputusan individuil, seperti “manusia ekonomi” tradisional, adalah rasional, berkepentingan-sendiri, dan berusaha untuk memaksimalkan “utilitas”nya sendiri. Menurut pandangan ini, beberapa individu mencari keuntungan terbesar (pada biaya terkecil) dalam situasi keputusan, yang bertindak untuk “selalu mencari keuntungan sebesar mungkin dan biaya terkecil dalam beberapa keputusan. Orang-orang pada dasarnya bersifat egoistik, mengunggulkan-diri dan instrumental dalam perilakunya (Dunleavy, 1991, 3). Bahkan jika orang-orang tidak bersifat demikian, para ekonom dan teoretikus pilihan publik berargumen bahwa ini akan memudahkan kita untuk menjelaskan dengan lebih baik perilaku manusia jika kami mengasumsikan bahwa mereka memang memiliki sifat demikian. Kedua, teori pilihan publik memfokuskan pada ide “kebaikan publik” sebagai output agensi publik. Hal tersebut dapat dibedakan dari kebaikan privat di mana kebaikan publik, seperti pertahanan nasional, ketika diberikan kepada satu orang akan diberikan kepada semua orang.

Ide ketiga yang terkait dengan pilihan publik yakni jenis-jenis berbeda aturan keputusan atau situasi keputusan akan menghasilkan pendekatan-pendekatan berbeda terhadap pembuatan pilihan. Untuk alasan inilah, strukturisasi aturan-aturan keputusan untuk mempengaruhi pilihan manusia, dan perilaku manusia, adalah kunci

13

Page 14: Pelayanan Publik

terhadap operasi agensi-agensi publik dan sistem penyelenggaraan pemerintahan yang lebih umum. Menurut pandangan ini, “agensi-agensi publik dipandang sebagai alat untuk mengalokasikan kapabilitas pembuatan-keputusan supaya bisa memberikan kebaikan dan layanan publik yang responsif terhadap preferensi individu dalam konteks sosial berbeda” (Ostrom dan OStrom, 1971, 207). Dengan kata lain, pendekatan pilihan publik meliputi aplikasi model-model ekonomi dan pendekatan-pendekatan terhadap lingkungan non-pasar, khususnya pemerintah dan sains politik, guna memberikan beberapa struktur dan insentif untuk memedomani perilaku manusia.

Terdapat sejumlah pertanyaan yang muncul berkaitan dengan teori pilihan publik. Pertanyaan pertama dan paling nyata adalah pertanyaan empiris. Apakah individu benar-benar bertindak menurut cara yang menarik dirinya sendiri guna memaksimalkan utilitasnya? Yang jelas, terdapat banyak situasi di mana mereka benar-benar bertindak demikian, namun kebanyakan darinya tidak bertindak demikian. Ini berarti bahwa model pilihan publik harus mengorbankan akurasi behavioral supaya bisa memajukan sebuah konstruk kunci yang bergantung pada basis teorinya. Hasilnya adalah serangkaian proposisi logis yang didasarkan pada asumsi-asumsi yang mungkin hanya sesuai dengan perilaku manusia aktual. Tingkat yang lebih besar daripada model “manusia administratif” Simon, yakni “manusia ekonomi” pilihan publik, didasarkan pada asumsi rasionalitas komplit. Seseorang mungkin akan bertanya, “Mengapa tidak memfokuskan pada aspek-aspek

Page 15: Pelayanan Publik

lain pengalaman manusia, seperti perasaan atau intuisi?” bagi teoretikus pilihan publik, jawabannya yakni, supaya bisa memberikan penjelasan yang lebih baik mengenai perilaku manusia, kita seharusnya memusatkan diri pada cara individu dan kelompok dalam berusaha memaksimalkan kepentingannya sendiri dan cara mekanisme pasar mempengaruhi dan merespons pilihan-pilihan individu.

Sebagaimana yang ditunjukkan oleh saintis politik Yale yang bernama Roberts Dahl (1947) dalam kritiknya atas pandangan Simon, sebuah kritik yang juga dipakai pada model pilihan publik baru-baru ini, mengatakan bahwa sebuah tindakan yang rasional bukan berarti bahwa tindakan itu bisa menyajikan tujuan moral atau secara politik dapat dipertanggung jawabkan, namun semata-mata mengatakan bahwa ini menggerakkan organisasi menjadi organisasi yang lebih efisien. Yang bertentangan, Dahl menunjukkan bahwa efisiensi itu adalah nilai dan seharusnya bersiang dengan nilai-nilai lain, seperti responsibilitas individu atau moralitas demokratis. Dahl berargumen bahwa dalam banyak kasus, efisiensi bukan merupakan nilai primer yang dipilih. Misalnya, bagaimana kita mengevaluasi operasi camp penjara Jerman dalam Perang Dunia II, di mana beberapa camp itu berjalan sangat efisien? Atau, bagaimana menyumbangkan persoalan terhadap efisiensi administratif dalam sebuah agensi publik dengan kebutuhan terhadap agensi itu untuk melibatkan warga negara dalam proses keputusannya? Kami berpikir bahwa hal itu adalah sebuah pertanyaan penting. Namun poin Dahl, seperti halnya argumen serupa yang

15

Page 16: Pelayanan Publik

dibuat oleh Waldo dan para pakar lainnya, dialihkan ke posisi yang ada di luar mainstream dalam dialog baru tentang struktur dan perilaku organisasi publik.

Ide-Ide IntiYang jelas, kebanyakan pakar lain dan praktisi telah

mengontribusikan pengembangan awal bidang administrasi publik. Dan sebagaimana yang telah kita lihat, tidak terdapat rangkaian ide tunggal yang disepakati oleh semua orang yang mengontribusikan Administrasi Publik Lama sepanjang dekade itu. Namun demikian, kami berpikir bahwa ada baiknya mengatakan bahwa elemen-elemen yang umumnya merepresentasikan mainstream pandangan Administrasi Publik Lama adalah sebagai berikut:

• Fokus pemerintah adalah pada pemberian layanan langsung melalui agensi-agensi pemerintah yang eksis atau melalui otoritas baru.

• Kebijakan dan administrasi publik terkait dengan pendesainan dan pengimplementasian kebijakan memfokuskan pada tujuan tunggal yang terdefinisi secara politis.

• Administrator publik memainkan sebuah peran terbatas dalam pengambilan kebijakan dan penyelenggaraan pemerintahan; mereka bertanggung jawab terhadap implementasi kebijakan publik.

• Pemberian layanan seharusnya dijalankan oleh beberapa administrator yang bertanggung jawab kepada para pejabat terpilih dan memberikan diskresi terbatas dalam pekerjaannya.

Page 17: Pelayanan Publik

• Beberapa administrator bertanggung jawab kepada pimpinan yang dipilih secara demokratis.

• Program-program publik dapat dijalankan dengan baik melalui organisasi-organisasi hierarkis, dengan beberapa manajer yang melaksanakan kontrol dari puncak organisasi itu.

• Nilai-nilai primer organisasi publik adalah efisiensi dan rasionalitas.

• Beberapa organisasi publik beroperasi dengan sangat efisien sebagai sistem tertutup; keterlibatan warga negara adalah terbatas.

• Peran administrator publik didefinisikan sebagai perencanaan, pengaturan, penempatan staf, pengarahan, pengoordinasian, pelaporan, dan penganggaran. Tidak ada pertanyaan bahwa Administrasi Publik Lama

seharusnya diberikan sejumlah penghargaan. Beberapa administrator yang beroperasi di dalam batas-batas pandangan ini membuat (dan terus membuat) kontribusi dramatis dan penting terhadap masyarakat, dalam area-area yang berkisar dari pertahanan nasional, jaminan sosial, transportasi, kesehatan publik, dan sampai proteksi lingkungan. Administrasi Publik Lama mengizinkan kita untuk menghadapi secara efektif masalah-masalah yang sangat kompleks dan sulit dan untuk mempertahankan keseimbangan antara persoalan-persoalan politik dan administratif. Mengingat pada masa itulah, Administrasi Publik Lama berfungsi dengan baik, bahkan jika tidak

17

Page 18: Pelayanan Publik

sempurna. Ini akan terus berlangsung demikian. Sebagian besar agensi pemerintah masih mengikuti model organisasi dan manajemen dasar ini – atau setidaknya model ini nampaknya menjadi posisi “kegagalan” bagi beberapa agensi di semua level pemerintah. Namun model lama muncul di bawah serangan yang meningkat, khususnya oleh para pendukung apa yang kami sebut sebagai Manajemen Publik Baru.

Manajemen Publik Baru Sebagaimana yang digunakan di sini, Manajemen Publik

Baru mengacu pada sebuah kluster ide-ide dan praktek-praktek kontemporer yang, pada intinya, berusaha untuk menggunakan pendekatan sektor dan bisnis swasta dan dalam sektor publik. Sebagaimana yang telah kita saksikan, selama terdapat panggilan untuk “menjalankan pemerintah seperti sebuah bisnis”, versi terbaru perdebatan ini meliputi lebih daripada sekedar penggunaan teknik bisnis. Lebih daripada hal itu, Manajemen Publik Baru menjadi sebuah model normatif, model yang menandai perubahan yang amat besar tentang bagaimana kita berpikir tentang peran administrator publik, sifat p[profesi, dan bagaimana dan mengapa kita melakukan apa yang kita lakukan.

Selama dua dekade silam, Manajemen Publik Baru telah menjalar ke negara ini dan ke seluruh penjuru dunia. Sebagai akibatnya, sejumlah perubahan positif telah diimplementasikan dalam sektor publik (Osborne dan Gaebler 1992; Osborne dan Plastik, 1997; Kettl 2000a; Kettl dan Milward, 1996; Lynn 1996; Pollit dan Bouckaert,

Page 19: Pelayanan Publik

2000). Tema umum dalam banyak aplikasi ide-ide tersebut adalah penggunaan mekanisme pasar dan terminologi, di mana hubungan antara agensi-agensi publik dan para konsumennya dipahami dan mencakup transaksi yang sama dengan transaksi yang terjadi dalam pangsa pasar. “Digambarkan dengan penjelasan yang sangat luas, reformasi tersebut berusaha menggantikan proses-proses berbasis-aturan dan digerakkan oleh otoritas dengan taktik berbasis-pasar dan digerakkan oleh pasar (Kettl, 2000a, 3).

Dalam Manajemen Publik Baru, manajer-manajer publik ditantang untuk menemukan cara-cara baru dan inovatif untuk mencapai hasil-hasil atau untuk memprivatisasi fungsi-fungsi yang sebelumnya diberikan oleh pemerintah. Mereka didorong untuk “menyetir, bukan mendayung”, yang berarti bahwa mereka seharusnya mengasumsikan beban pemberian layanannya sendiri, namun jika memungkinkan, seharusnya mendefinisikan program-program yang akan dijalankan oleh orang lain, melalui pemberian kontrak atau rencana lainnya. Kuncinya yakni Manajemen Publik Baru banyak bergantung pada mekanisme pasar untuk memedomani program-program publik. Linda Kaboolian Harvard menjelaskan bahwa rencana tersebut mungkin mencakup “kompetisi di dalam unit-unit pemerintah dan di semua batas-batas pemerintahan ke sektor non-profit dan profit, bonus kinerja, dan hukuman” (Kaboolian 1998, 190). Tujuannya adalah untuk melonggarkan apa sokongan yang Manajemen Publik Baru lihat sebagai franchise monopoli inefisien agensi-agensi publik dan pegawai

19

Page 20: Pelayanan Publik

publik. Dengan mengelaborasi poin ini, Christopher Hood dari London School of Economics menulis bahwa Manajemen Publik Baru bergerak jauh dari model-model tradisional dalam melegitimasi birokrasi publik, seperti usaha perlindungan prosedural dalam diskresi administratif, dan lebih menyukai “kepercayaan pada pasar dan metode bisnis swasta serta ide-ide yang dituliskan dalam bahasa rasionalisme ekonomi” (1995, 94).

Dengan mengikuti ide tersebut, kebanyakan manajer publik memprakarsai usaha-usaha untuk meningkatkan produktivitas dan menemukan mekanisme-mekanisme pemberian-layanan alternatif berdasarkan asumsi-asumsi dan perspektif-perspektif ekonomi. Mereka berkonsentrai pada akuntabilitas kepada konsumen dan kinerja tinggi, dengan merestrukturisasi agensi birokratis, mendefinisikan kembali misi organisasi, mempersingkat proses-proses agensi, dan meresentralisasikan pengambilan keputusan. Dalam banyak kasus, pemerintah dan agensi pemerintah berhasil dalam memprivatisasi fungsi-fungsi publik sebelumnya, dengan mempertahankan eksekutif puncak agar tetap bertanggung jawab terhadap tujuan kinerja yang dapat diukur, penetapan proses-proses baru untuk mengukur produktivitas dan efektivitas, dan merancang kembali sistem-sistem departemental untuk merefleksikan komitmen yang kuat terhadap akuntabilitas (Barzelay 2001; Boston dan rekan-rekannya, 1996; Pollitt dan Bouckaert 2000).

Donald Kettl dari Brookings Institution melihat apa yang beliau sebut sebagai “reformasi manajemen publik global” dengan memfokuskan pada enam isu inti, antara

Page 21: Pelayanan Publik

lain:1. Bagaimana pemerintah dapat menemukan beberapa cara

untuk memberikan layanan berlebih dari basis pendapatan yang sama atau lebih kecil?

2. Bagaimana pemerintah dapat menggunakan insentif gaya-pasar untuk menemukan patologi birokrasi; bagaimana mekanisme komando-dan-kontrol birokratis tradisional digantikan dengan strategi-strategi pasar yang akan mengubah perilaku manajer-manajer program itu?

3. Bagaimana pemerintah dapat menggunakan mekanisme pasar untuk memberikan warga negara (sekarang sering disebut sebagai konsumen) pilihan yang lebih besar di antara beberapa layanan – atau setidaknya mendorong perhatian yang lebih besar untuk melayani beberapa konsumen secara lebih baik?

4. Bagaimana pemerintah dapat membuat beberapa program lebih responsif? Bagaimana pemerintah dapat meresentralisasikan responsibilitas untuk memberikan beberapa manajer lini-depan dengan insentif yang lebih besar untuk memberikan layanan?

5. Bagaimana pemerintah dapat memperbaiki kapasitasnya untuk merencanakan dan melacak kebijakan? Bagaimana pemerintah dapat memisahkan perannya sebagai pembeli layanan (kontraktor) dari perannya dalam pemberian layanan aktual?

6. Bagaimana pemerintah dapat memfokuskan pada output dan outcome bukan proses atau struktur? Bagaimana mereka menggantikan sistem top-down berbasis-

21

Page 22: Pelayanan Publik

peraturan dengan sistem bottom-up berbasis-hasil? (Disadur dari Kent 2000a, 1-2).

Selain itu, Jonathon Boston New Zealand telah mencirikan ciri-ciri atau doktrin pokok Manajemen Publik Baru sebagai berikut:

Penekanan pada manajemen bukan kebijakan;l perubahan dari penggunaan kontrol input ke kebergantungan pada ukuran-ukuran output yang dapat diukur dan target kinerja; devolusi kontrol manajemen yang dipadukan dengan pengembangan mekanisme pelaporan, pemantauan, dan akuntabilitas baru; diagregasi struktur-struktur birokrasi besar ke dalam agensi-agensi kuasi-otonom, khususnya pemisahan fungsi komersial dari non-komersial; preferensi terhadap kepemilikan privat, perjanjian, dan persaingan dalam provisi layanan publik; imitasi atau peniruan praktek-praktek manajemen sektor swasta khusus, seperti pengembangan rencana-rencana korporasi (dan) kesepakatan kinerja, pengenalan sistem renumerasi terkait-kinerja dan perhatian yang lebih besar pada imej korporasi; preferensi umum untuk insentif moneter bukan insentif non-moneter, seperti etika, etos, dan status; dan penekanan pada pemotongan-biaya, efisiensi, dan manajemen pengurangan. (Boston, 1991, 9-10). Seluruh Dunia

Efektivitas agenda reformasi praktis di beberapa negara seperti Selandia Baru, Australia, Inggris Raya, dan Amerika Serikat menempatkan pemerintah di seluruh penjuru dunia agar memperhatikan bahwa standar-standar baru dicari dan peran-peran baru ditetapkan. Ini bukan

Page 23: Pelayanan Publik

untuk mengatakan bahwa masing-masing negara tersebut mengikuti pola yang sama dalam mencari reformasi manajemen dalam sektor publik. Sebagaimana yang ditunjukkan dengan cermat oleh para pakar terkenal yang bernama Christopher Pollitt dan Geert Bouckaert, beberapa usaha terhadap reformasi dibatasi oleh filosofi dan kultur penyelenggaraan pemerintahan di dalam negara tertentu, oleh sifat dan struktur pemerintah negara itu, dan oleh keberuntungan dan kejadian yang kebetulan. Namun demikian, “rejim khusus melihat seolah-olah mereka lebih terbuka terhadap ide-ide ‘berbasis-kinerja yang lebih menyukai pasar dalam Manajemen Publik Baru daripada yang lainnya, khususnya negara-negara Anglo-Saxon, Australia, Kanada, Selandia Baru, Inggris, dan Amerika Serikat” (2000, 60-61).

Beberapa usaha reformasi Selandia Baru patut diperhatikan, yang dimulai pada pertengahan tahun 1980an di mana Partai Buruh berkuasa setelah sembilan tahun keluar dari jabatan itu. Pada masa itu, ekonomi Selandia Baru mengalami stagnasi dan negara itu menemukan kesulitan dalam menopang program-program yang dulunya cukup banyak dan bantuan ekonomi. “reformasi Selandia Baru dimulai dengan pendekatan top-down yang berusaha untuk memprivatisasi program-program guna menggantikan insentif pasar untuk birokrasi komando-dan-kontrol; dan memfokuskan pada output dan hasil tunggal bukan input” (Kettl 2000a, 8). Prinsip utama yang mendasari model itu kelihatannya yakni pemerintah seharusnya hanya terlibat dalam aktivitas-aktivitas yang tidak dapat ditangani

23

Page 24: Pelayanan Publik

secara efisien dan efektif di tempat lain dan pemerintah seharusnya diorganisir sepanjang lini-lini usaha privat. Selain itu, terdapat dependensi yang kuart pada sistem-sistem insentif dan penggunaan kontrak eksplisit antara menteri dan manajer atau antara pembeli (agen-agen) dan provider (kontraktor) (Boston dan rekan-rekannya, 1996, 4-6). Dalam terma sistem manajemen, Selandia Baru pada dasarnya tidak banyak terlibat dalam sistem layanan sipilnya, dengan mengizinkan para manajernya untuk menegosiasikan kontraknya sendiri dengan para pegawai dan mengenalkan sistem anggaran secara lebih terfokus pada kinerja dan hasil. Hasilnya adalah transformasi masif manajemen publik di Selandia Baru.

Perubahan-perubahan yang sama dalam pendekatan Australia terhadap administrasi dan manajemen publik pada tahun 1980an dan setelahnya juga dipicu oleh masa ekonomi yang sulit namun berjalan jauh dengan mengizinkan pemerintah untuk mengurangi program-program publik. Pada awal tahun 1983, pemerintahan di bawah Perdana Menteri Roberts Hawke mengesahkan gagasan “pengelolaan hasil-hasil” dan memprakarsai serangkaian manajemen finansial dan reformasi lain untuk mencapai tujuan ini. beragam usaha pada privatisasi, restrukturisasi pemerintah, dan usaha-usaha untuk mengevaluasi beberapa program dari sudut pandang hasil-hasil khusus yang diinginkan diimplementasikan. Beberapa manajer didorong untuk menggunakan proses-proses perencanaan gaya-korporasi guna mengidentifikasi beberapa prioritas, tujuan, dan sasaran, untuk merekonstitusi proses-proses manajemen finansial

Page 25: Pelayanan Publik

guna melacak pengeluaran secara lebih baik untuk menjelaskan hasil-hasil yang diinginkan, dan untuk menekankan efisiensi, produktivitas, dan akuntabilitas hasil-hasilnya.

Reformasi Inggris dipicu oleh usaha-usaha neo-konservatif Margaret Thatcher guna mereduksi ukuran negara bagian itu. Usaha awal kuncinya adalah untuk mereduksi biaya dan menjalankan beberapa aktivitas yang mungkin bisa disempurnakan dengan lebih baik dalam sektor swasta, sambil mensubyeksikan aktivitas-aktivitas itu tetap pada kompetisi pasar. Selain itu, Inisiatif Manajemen Finansial (Finansial Management Initiative) memusatkan pada pengidentifikasian pusat-pusat responsibilitas khusus, dengan mempertalikan biaya dengan outcome, dan mempertahankan beberapa manajer dengan kontrak agar bertanggung jawab terhadap pencapaian outcome tersebut. Pelaksanaan “citizens charter” berusaha untuk mempertahankan beberapa agensi agar bertanggung jawab terhadap pemenuhan standar-standar layanan khusus. (Versi Inggris atas) manajemen publik baru berasal dari argumen ekonomi dasar bahwa pemerintah menghadapi gangguan monopoli, biaya transaksi tinggi, dan masalah informasi yang memunculkan inefisiensi yang besar. Dengan menggantikan kompetisi pasar – dan insentif seperti-pasar – beberapa reformer percaya bahwa mereka dapat mengurangi ukuran pemerintah , mereduksi biaya-biayanya, dan memperbaiki kinerjanya” (Kent 200a, 14).

Pengalaman Amerika

25

Page 26: Pelayanan Publik

Ide-ide tersebut pertama kali direalisasikan dan dipopulerkan di Amerika Serikat oleh buku terlaris David Osborne dan Ted Gaebler yang berjudul reinventing Goverment (1992; lihat juga Osborne dan Plastik, 1997). Dengan menggambarkan pengalaman-pengalaman negara lain, khususnya Selandia Baru, dan juga pengalaman di level negara bagian dan daerah di Amerika, Osborne dan Gaebler, seorang jurnalis dan mantan manajer kota, menyajikan sejumlah “prinsip” yang saat ini terkenal di mana “enterprener publik” bisa menjalankan reformasi pemerintahan masif, ide-ide yang tetap menjadi inti Manajemen Publik Baru, antara lain:

1. Pemerintah katalisator, yang menyetir bukan

mendayung: enterprener publik bergerak melebihi opsi-opsi kebijakan, yang berfungsi sebagai katalisator di dalam komunitas untuk menghasilkan rangkaian tindakan alternatif. Mereka memilih untuk menyetir, dengan mengenalkan beberapa kemungkinan dan menekankan keseimbangan antara sumber dan kebutuhan-kebutuhan, bukan mendayung, dengan mengonsentrasikan pada sebuah tujuan tunggal. Orang-orang yang menyetir mendefinisikan masa depannya, bukan bergantung pada asumsi-asumsi tradisional (Osborne dan Gaebler 1992, 35).

2. Pemerintah milik-komunitas, yang memberdayakan

bukan melayani: Enterpener publik mempelajari bahwa usaha lama untuk melayani beberapa klien menghasilkan dependensi, yang bertentangan dengan independensi ekonomi dan sosial. Tanpa

Page 27: Pelayanan Publik

mempertahankan pendekatan ini, enterprener tersebut mengalihkan kepemilikan inisiatif publik ke dalam komunitas. Mereka memberdayakan warga negara, kelompok-kelompok berdekatan, dan organisasi komunitas menjadi sumber-sumber solusinya sendiri (Osborne dan Gaebler, 1992, 52).

3. Pemerintah kompetitif, yang memasukkan kompetisi

ke dalam pemberian layanan: Enterprener publik mengakui bahwa usaha untuk memberikan setiap layanan tidak hanya menempatkan saluran dalam sumber-sumber publik namun juga menyebabkan organisasi-organisasi publik memperluas kapasitasnya, kemudian mereduksi kualitas layanan dan efektivitasnya. Enterprener tersebut menentang trend ini dengan mengembangkan kompetisi di antara provider layanan publik, swasta, dan non-pemerintah. Hasil-hasilnya adalah besarnya efisiensi, tingginya responsifitas, dan lingkungan yang menghargai inovasi” (Osborne dan Gaebler 1992, 80-83).

4. Pemerintah berbasis-misi, transformasi organisasi

berbasis-aturan: Enterprener publik telah melihat bagaimana pembuatan aturan yang berlebihan dalam organisasi-organisasi birokratis dapat memperlemah inovasi dan membatasi kinerja pemerintah. Pembuatan aturan semacam itu selanjutnya didukung oleh sistem penganggaran dan sumber daya manusia yang kaku. Yang bertentangan, enterprener publik lebih dahulu memfokuskan pada misi kelompok itu –

27

Page 28: Pelayanan Publik

apa yang organisasi usahakan di lingkup internal dan eksternal. Anggaran, administrasi dan sistem-sistem lain didesain untuk mencerminkan misi menyeluruh (Osborne dan Gaebler, 1992, 110).

5. Pemerintah berbasis-hasil, pembiayaan outcome,

bukan input: Enterprener publik percaya bahwa pemerintah seharusnya mencurahkan perhatiannya pada pencapaian tujuan publik substantif, atau outcome, yang bertentangan dengan pemusatan pada pengontrolan sumber-sumber publik yang diperluas dalam menjalankan pekerjaannya. Evaluasi terkini dan sistem penghargaan memfokuskan pada efisiensi fiskal dan kontrol, yang jarang menanyakan apa dampak yang diperoleh dari masing-masing inisiatif publik. Enterprener publik mentransformasikan sistem-sistem tersebut ke orientasi hasil – yakni akuntabilitas yang didasarkan pada kinerja pemerintah (Osborne dan Gaebler, 1992, 140-141).

6. Pemerintah berbasis-konsumen, pemenuhan kebutuhan-

kebutuhan konsumen, bukan birokrasi: Enterprener publik belajar dari enterprener lain sektor swasta-nya di mana jikalau seseorang memfokuskan pada konsumen, warga negara tidak akan pernah merasa senang. Selama badan legislatif menyediakan sumber publik yang sangat besar untuk agensi pemerintah, agensi tersebut akan benar-benar akan mengaburkan basis konsumennya. Mereka berfungsi menurut prioritasnya sendiri, dan agensi-agensi tersebut akan menuntut sumber-sumber pembiayaan

Page 29: Pelayanan Publik

kepada mereka, bukan apa yang sebenarnya dibutuhkan oleh konsumen. Enterprener publik menjalankan sistem ini dengan prioritas tertinggi, yakni melayani konsumen lebih dahulu (Osborne dan Gaebler, 1992), 166-167).

7. Pemerintah enterpraise, pendapatan bukan

pengeluaran: Enterprener publik menghadapi batasan-batasan fiskal yang sama sebagaimana enterprener publik tradisional, namun perbedaannya adalah pada cara mereka memberikan respons. Bukannya meningkatkan pajak atau mengecam program-program publik, enterprener publik menemukan cara inovatif untuk melakukan lebih banyak dengan sedikit biaya. Dengan melembagakan konsep motif profit ke dalam bidang publik – misalnya, dengan bergantung pada harga dan fee untuk layanan publik dan investasi untuk membiayai inisiatif masa depan – enterprener publik mampu menambah nilai dan memastikan hasil-hasilnya, bahkan dalam masa-masa finansial yang sulit (Osborne dan Gaebler, 1992, 203-206).

8. Pemerintah antisipatif, pencegahan bukan

perawatan: Enterprener publik menghabiskan sumber-sumber penyaluran ke dalam beberapa program untuk memecahkan masalah-masalah publik. Mereka mempercayai bahwa persoalan pokok seharusnya dicegah, dengan menghentikan masalah itu sebelum masalah itu sendiri terjadi. Pemerintah dalam masa sebelumnya merasa bangga dengan pemberian layanan

29

Page 30: Pelayanan Publik

– mampu menempatkan inisiatif lebih dahulu yang bertujuan untuk menyembuhkan sakit publik. Namun demikian, selama beberapa masalah dalam masyarakat postindustrial menjadi lebih kompleks, pemerintah kehilangan kapasitasnya untuk mbeir respons. Dengan kembali pada pencegahan, organisasi-organisasi publik akan lebih efisien dan efektif di masa mendatang (Osborne dan Gaebler, 1992, 219-221).

9. Pemerintah desentralisasi, dari hierarki ke

partisipasi dan temawork. Enterprener publik mengapresiasi peran organisasi-organisasi terpusat yang dilayani dalam masa industrial. Lembaga-lembaga tersebut merepresentasikan tahap pertama ke arah profesionalisme dalam bidang administrasi publik. Namun masa lembaga-lembaga hierarkis telah berlalu. Kemajuan dalam teknologi informasi, perbaikan sistem komunikasi, dan peningkatan dalam kualitas tenaga kerja memunculkan masa baru organisasi-organisasi berbasis-tim yang lebih fleksibel. Pengambilan keputusan diperluas sepanjang organisasi – diserahkan kepada orang-orang yang pdt menemukan dan menentukan rangkaian kinerja tinggi (Osborne dan Gaebler 1992, 219-252).

10. Pemerintah orientasi-pasar, melakukan perubahan

melalui pasar: Enterprener publik merespons kondisi-kondisi yang berubah dengan pendekatan-pendekatan tradisional, seperti berusaha untuk

Page 31: Pelayanan Publik

mengontrol situasi menyeluruh, namun dengan strategi-strategi inovatif yang bertujuan untuk membentuk lingkungan yang bisa memudahkan kekuatan-kekuatan pasar untuk bertindak. Masing-masing yurisdiksi – apakah negara, negara bagian, atau komunitas lokal – merepresentasikan sebuah pasar, kumpulan orang-orang, kepentingan, dan kekuatan sosial dan ekonomi. Enterprener publik menyadari bahwa pasar-pasar tersebut tetap melebihi kontrol badan politik tunggal. Jadi, strategi-strateginya memusatkan pada strukturisasi lingkungan sehingga pasar dapat beroperasi secara sangat efektif, yang dapat memastikan kualitas kehidupan dan peluang ekonomi (Osborne dan Gaebler, 1992, 280-282).

Osborne dan Gaebler mengajukan sepuluh prinsip yang berfungsi sebagai kerangka konseptual baru untuk administrasi publik – sebuah checklist analitis untuk mentransformasikan tindakan-tindakan pemerintah. “Apa yang kami deskripsikan bukanlah apa-apa selain sebuah perubahan dalam model penyelenggaraan pemerintahan dasar yang digunakan di Amerika. Perubahan ini berjalan di sekitar kita, namun karena kita tidak mencarinya – karena kita berasumsi bahwa semua pemerintah harus besar, terpusat,dan birokratis – kita jarang melihatnya. Kita buta dengan realitas-realitas baru, sebab realitas-realitas tersebut tidak sesuai dengan pra-konsepsi kita” (Osborne dan Gaebler, 1992, 321).

Di Amerika Serikat, usaha untuk “menemukan kembali

31

Page 32: Pelayanan Publik

pemerintah” muncul terakhir daripada kemunculannya di negara Anglo-Saxon, yang lebih dipolitisi dan, menurut sebagian alasan, memiliki efek yang kecil pada struktur menyeluruh penyelenggaraan pemerintahan di negara itu dan lebih pada praktek-praktek manajerial. Dua usaha yang cukup penting yakni dikeluarkannya National Performance Review (NPR) dan Government Performance and Results Act. National Performance Review adalah usaha Presiden Bill Clinton, yang dipelopori oleh Wakil Presiden Al Gore, untuk menciptakan sebuah pemerintah yang bisa “bekerja lebih baik dan dengan biaya kecil”. Untuk melakukan hal itu, beberapa skor pegawai pemerintah dikirimkan ke agensi-agensi pemerintah yang berusaha untuk membuat operasinya dapat diperbaiki dan dibuat tidak mahal. Beberapa rekomendasi khusus yang dipertimbangkan dalam ratusan dan mencakup reformasi usaha pemerolehan, perubahan-perubahan dalam kebijakan personal, dan pengembangan dalam teknologi informasi. Lebih jauh lagi, terdapat penekanan yang kuat pada pelayanan “konsumen” pemerintah. Namun demikian, National Performance Review muncul berlawanan dengan latar belakang politik yang membutuhkan pengurangan serius dalam pekerjaan federal, sebab ini adalah salah satu aktivitas yang dapat menghasilkan penghematan yang cepat. Sementara itu, Government Performance and Result Act berbasis-kongres mengharuskan para manajer untuk menetapkan standar-standar kinerja khusus dan “mengelola hasil-hasil”-nya. Dengan meringkas masa-masa awal National Performance Review, Kettl menulis bahwa, meskipun terdapat

Page 33: Pelayanan Publik

kekurangan, NPR “bisa menghemat jumlah uang signifikan, menghasilkan reformasi manajerial substansial (khususnya dalam layanan konsumen dan proses-proses pemerolehan kembali), dan mempromosikan diskusi berbasis-kinerja tentang fungsi-fungsi pemerintah” (Kettl 200a, 29).

Pada poin ini, kami telah mendiskusikan Manajemen Publik Baru dari sudut pandang usaha-usaha praktis yang dijalankan dalam pemerintah di seluruh dunia untuk mereformasi operasi pemerintah. Namun kami seharusnya juga memperlihatkan berbagai macam justifikasi intelektual untuk Manajemen Publik Baru. Sebagaimana yang diperlihatkan oleh Lynn (1996), Justifikasi ini muncul dari sekolah-sekolah “kebijakan publik” yang berkembang pada tahun 1970an dan dari gerakan “manajerialis” di seluruh penjuru dunia (Pollitt 1993).

Perspektif kebijakan yang muncul di beberapa sekolah urusan publik dan khususnya sekolah-sekolah kebijakan publik pada dua dekade terakhir memiliki akarnya lebih jelas dalam ilmu ekonomi yang bertentangan dengan program-program orientasi sains politik dalam administrasi publik. Kebanyakan analis kebijakan dan orang-orang yang terlibat dalam evaluasi kebijakan dilatih dalam atau setidaknya mengenal ilmu ekonomi, dan di rumah dengan terma seperti “ekonomi pasar”, “biaya dan manfaat”, dan “model pilihan rasional”. Sebaliknya, sekolah-sekolah tersebut mulai mengalihkan perhatiannya pada implementasi kebijakan, yang mereka sebut sebagai “manajemen publik” untuk membedakannya dari “administrasi publik”, meskipun terdapat fakta bahwa manajemen publik

33

Page 34: Pelayanan Publik

dan administrasi publik menekankan implementasi kebijakan publik melalui perilaku dan operasi berbagai agensi pemerintah. (Dua terma itu dapat digunakan secara sama dan kerap kali serupa, namun jika terdapat perbedaan, maka diskusi manajemen publik ini akan cenderung menunjukkan sebuah bias ke arah interpretasi ekonomi perilaku manajerial yang bertentangan dengan diskusi administrasi publik, yang kemungkinan besar didasarkan pada sains politik, sosiologi, atau analisis organisasional).

Sebagai ekstensi terakhir pandangan ekonomi, Manajemen Publik Baru jelas terkait dengan perspektif rasionalis dan, sebagaimana yang telah kita perhatikan sejak awal, teori pilihan publik. Salah satu variasi penting dalam teori pilihan publik yang juga mempengaruhi pengembangan Manajemen Publik Baru adalah apa yang disebut sebagai “teori agensi” atau “teori agen utama”. Teori agensi terkait dengan relasi antara principal dan agen. “Agensi” mengacu pada sebuah kondisi di mana satu individu (agen) bertindak demi kepentingan yang lain (principal). Misalnya, jika saya menggaji seorang pengacara, saya adalah principal dan pengacara adalah agen saya, namun pengacara memiliki banyak insentif – memenangkan kasus (tujuan saya) dan memaksimalkan jam-jam yang menguntungkan (tujuannya). Karena tujuan saya tidaklah konsisten, semua jenis masalah muncul ke permukaan. Dalam Manajemen Publik Baru, teori agensi dapat digunakan untuk menganalisis isu-isu yang muncul di dalam sebuah birokrasi khusus (misalnya, apa insentif

Page 35: Pelayanan Publik

yang mungkin disediakan oleh principal untuk mengasumsikan pemenuhan permohonan seorang agen?) atau untuk menilai efek-efek struktur institusional berbeda (misalnya, bagaimana banyak kepentingan yang mempengaruhi perilaku polisi bisa mempengaruhi sebuah keputusan untuk memprivatisasi kepolisian?).

Pilihan publik (dan teori agensi yang menyertainya) tidak hanya menghasilkan model pemerintah yang elegan dan kuat, namun mereka juga berfungsi sebagai jenis peta jalan intelektual untuk usaha-usaha praktis dalam mereduksi pemerintah dan membuatnya mengeluarkan biaya yang tidak begitu besar. Misalnya, Boston dan para koleganya berargumen bahwa “satu dari sebagian besar ciri berbeda dan menyolok reformasi manajemen publik Selandia Baru adalah sesuatu yang dibentuk oleh teori pilihan publik dan ekonomi organisasional, khususnya teori agensi” (1996, 16). Sebagaimana yang telah kita lihat, dalam bentuknya yang paling sederhana, pilihan publik memandang pemerintah dari sudut pandang pasar dan konsumen. Sebaliknya, komitmen teri pilihan publik terhadap pilihan rasional mengimplikasikan sebuah seleksi nilai, yang kerap kali adalah sebuah komitmen terhadap efisiensi dan produktivitas. Sebagaimana yang ditunjukkan oleh Hood, tidaklah mengejutkan bahwa Manajemen Publik Baru jelas menempatkan penekannya pada nilai-nilai seperti efisiensi, dengan mengeliminir pemborosan, atau menyesuaikan sumber-sumber untuk tujuan-tujuan yang jelas (apa yang beliau sebut sebagai “nilai sigma”). Namun demikian, beliau menunjukkan bahwa pencapaian nilai-nilai

35

Page 36: Pelayanan Publik

tersebut mungkin muncul dengan mengorbankan kejujuran dan perjanjian yang wajar, penghindaran bias, pengejaran akuntabilitas (“nilai-nilai theta”) atau keamanan, keuletan, dan kapasitas untuk menyesuaikan diri (“nilai-nilai lambda”) (Hood, 1991; lihat juga Hood dan Jackson, 1994, 14).

Justifikasi intelektual kedua menunjukkan bahwa Manajemen Publik Baru berakar dalam pada apa yang diistilahkan sebagai “manajerialisme” atau “non-manajerialisme”. Menurut pandangan manajerialis, kesuksesan sektor bisnis dan publik bergantung pada kualitas dan profesionalisme manajer. Christopher Pollitt mendeskripsikan “manajerialisme” sebagai kepercayaan bahwa jalan ke kemajuan sosial adalah melalui produktivitas yang lebih besar, di mana produktivitas itu akan dipertinggi oleh disiplin yang ditentukan oleh beberapa manajer yang berorientasi ke arah efisiensi dan produktivitas yang lebih besar, dan untuk menjalankan peran penting ini (bahkan apocalyptic), beberapa manajer harus memberikan apa yang diistilahkan sebagai “kebebasan untuk mengelola” atau bahkan “hak untuk mengelola” (Pollitt, 1993, 1-3).

Beberapa pakar berargumen bahwa kemunculan Manajemen Publik Baru dapat dipertalikan tidak hanya oleh manajerialisme, namun dengan pengaruh “manajerialis” yang meningkat. Yang menarik, di Selandia Baru dan Australia, bagian transformasi yang terjadi jelas terkait dengan kemunculan kelas manajerial yang didominasi oleh ekonomi dan orang-orang yang dilatih dalam ekonomi. Pakar

Page 37: Pelayanan Publik

Australia yang bernama Anna Yeatman, misalnya, berargumen bahwa perubahan ke arah manajerialisme dalam layanan publik Australia terjadi ketika sejumlah besar kandidat orientasi-kerja mencurahkan perhatiannya pada konsep administrasi publik rasional dan orientasi-kerja, digaji dengan posisi level-tinggi. Michael Pusey dari University of New South Wales mendukung pandangan itu, dengan berargumen bahwa, dalam agensi-agensi pusat Australia, staf ditarik dari profesi ekonomi atau terkait-bisnis – sebuah kelompok yang ia istilahkan sebagai “rasionalis ekonomi”, mampu mempengaruhi birokrasi lini dan, ketika mengancam dengan menyembunyikan sumber-sumber, menariknya ke dalam perspektif rasionalitas (Pusey, 1991).

Kami telah melihat bahwa Manajemen Publik Baru, sebagai Administrasi Publik Lama sebelumnya, bukan hanya tentang implementasi teknik-teknik baru, namun ini membawanya dengan serangkaian nilai baru, serangkaian nilai dalam kasus yang ditarik dari ekonomi pasar dan manajemen bisnis. Sebagaimana yang telah diperlihatkan, terdapat tradisi lama dalam administrasi publik yang mendukung ide bahwa “pemerintah seharusnya dijalankan seperti sebuah bisnis”. Bagi sebagian besar pihak, rekomendasi ini berarti bahwa agensi-agensi pemerintah seharusnya memakai praktek-praktek yang berkisar dari “manajemen ilmiah” ke “total quality management”, yang bermanfaat dalam sektor swasta. Manajemen Publik Baru menggunakan ide ini satu langkah ke depan, dengan berargumen bahwa pemerintah seharusnya tidak hanya memakai teknik-teknik administrasi bisnis namun juga

37

Page 38: Pelayanan Publik

nilai-nilai bisnis khusus. Saat ini, Manajemen Publik Baru dipresentasikan sebagai model normatif untuk administrasi publik dan manajemen publik.

Melakukan PerdebatanYang jelas, Manajemen Publik Baru bukannya tanpa

kritik. Kebanyakan pakar dan praktisi mengungkapkan beberapa persoalan tentang implikasi-implikasi Manajemen Publik Baru dan peran bagi manajer-manajer publik yang ditunjukkan oleh model ini. Misalnya, dalam simposium Public Administrasi Review tentang kepemimpinan, demokrasi, dan manajemen publik, sejumlah penulis mempertimbangkan beberapa peluang dan tantangan yang dipresentasikan oleh Manajemen Publik Baru. Orang-orang yang menentang Manajemen Publik Baru dalam simposium itu dan pakar lain yang mengajukan pertanyaan-pertanyaan tentang kontradiksi inheren dalam gerakan itu (Fon, 1996), nilai-nilai yang dipromosikan (Frederickson 1996; deLeon dan Denhardt 2000; Schacther 1997), ketegangan antara penekanan pada desentralisasi yang dipromosikan dalam model pasar dan kebutuhan untuk koordinasi dalam sektor publik (Peters dan Savoie, 1996), dan peran berimplikasi dan hubungan cabang eksekutif dan legislatif (Carroll dan Lynn 1996). Lainnya mempertanyakan implikasi-implikasi gerakan privatisasi untuk nilai-nilai demokratis dan kepentingan publik (McCabe dan Vinzant 1999) dan bagaimana kewirausahaan dan apa yang Terry (1993, 1998) sebut sebagai “neo-manajerialisme” mengancam untuk melemahkan nilai-nilai demokratis dan

Page 39: Pelayanan Publik

konstitusional seperti kejujuran, keadilan, representasi, dan partisipasi.

Osborne dan Gaebler (1992) memberitahukan kepada kita untuk menyetir, bukan mendayung, sebuah kapal boat. Pertanyaan kami yakni: Selama bidang administrasi publik mengemukakan gagasan mendayung dan menerima tanggung jawab untuk menyetir, pernahkah bidang ini menukar salah satu pandangan “adminicentric” dengan yang lain? Dengan kata lain, pernahkah kita menukar salah satu model di mana para manajer publik berusaha untuk mencapai efisiensi dan produktivitas yang lebih besar dengan mengontrol agensi-agensinya dan kliennya untuk model lain yang kesamaan sesuatunya terjadi? Osborne dan Gaebler menulis, orang-orang yang menyetir kapal boat memiliki kekuasaan berlebih atas tujuannya daripada orang-orang yang mendayungnya (1992, 32). Jika ini adalah kasus, perubahan dari mendayung ke menyetor mungkin tidak hanya akan meninggalkan administrator dengan tanggung jawab terhadap kapal boat itu – memilih tujuan-tujuannya dan arah-arahnya dan menggambarkan sebuah jalan untuk mencapainya – namun juga memberikannya kekuasaan yang lebih besar.

Karena kesulitan kami dalam menyetir, kami melupakan siapa yang memiliki kapal boat itu. Dalam buku terbarunya yang berjudul Government Is Us (1998), King dan Stivers memperingatkan kita bahwa pemerintah memiliki warga negara (lihat juga Box, 1998; Cooper 1991; King, Feltoy, dan O’Neil 1998; Stivers 1994a, 1994b; Thomas 1995). Administrator publik seharusnya memfokuskan pada tanggung

39

Page 40: Pelayanan Publik

jawabnya untuk melayani dan memberdayakan warga negara selama mereka mengelola organisasi publik dan mengimplementasikan kebijakan publik. Dengan kata lain, dengan prioritas pada warga negara, penekanan seharusnya bukan pada menyetir atau mendayung kapal boat pemerintahan, namun pada pembangunan lembaga-lembaga publik yang ditandai oleh integritas dan responsifitas.

Yang penting, dalam membuat kasus ini, beberapa pendukung Manajemen Publik Baru kerap kali menggunakan Administrasi Publik Lama sebagai usaha untuk melawan prinsip-prinsip enterprenerial yang dapat dipandang sebagai superior. Perhatikanlah, misalnya, bagaimana Osborne dan Gaebler membangun prinsip-prinsipnya dengan alternatif birokrasi kaku yang diganggu dengan aturan-aturan berlebihan, yang di restriksi oleh sistem anggaran dan personel berbasis-peraturan, dan terikat dengan kontrol. Birokrasi tradisional tersebut dideskripsikan sebagai pengabaian warga negara, yang menjauhkan diri dari inovasi, dan memenuhi kebutuhan-kebutuhannya sendiri. Menurut Osborne dan Gaebler, “Jenis pemerintah yang berkembang selama era industrial, dengan birokrasi lemah dan terpusat, preokupasinya dengan beberapa peraturan dan regulasi, dan rantai komando hierarkisnya, tidak akan lagi bekerja dengan baik” (1992, 11-12). Menurut fakta, selama mereka melayani tujuan-tujuan awalnya, “lembaga-lembaga birokratis benar-benar akan menggagalkan kita” (15).

Jika prinsip-prinsip Manajemen Publik Baru dibandingkan dengan Administrasi Publik Lama, maka

Page 41: Pelayanan Publik

Manajemen Publik Baru jelas akan terlihat seperti sebuah alternatif yang lebih disukai. Namun pengujian sepintas terhadap literatur terbaru dalam administrasi publik secara jelas menunjukkan bahwa dua pendekatan tersebut tidak mencakup teori atau praktek pemerintah kontemporer (Box 1998; Bryson da Crosby 1992; Carnavale 1995; Cook 1996; Cooper 1991; deLeon 1997; Denhardt 1993; Farmer 1995; Fox dan Miller 1995; Frederickson 1997; Gawthrop 1998; Goodsell 1994; Harmon 1995; Hummel 1994; Ingraham dan rekan-rekannya, 1994; Light 1997; Luke 1998; McSwite 1997; Miller dan Fox 1997; Perry 1996; Rabin, Hildrreath, dan Miller, 1998; Rohr 1998; Stivers 1993; Terry 1995, Thomas 1995; Vinzantdan Crothers 1998; Wamsle dan rekan-rekannya, 1990; Wamsley dan Wolf 1996). Bidang administrasi publik tentu saja tidak berbenturan dengan retorika reformasi progresif selama beberapa ratus tahun terakhir. Terdapat evolusi intelektual dan praktis dalam pemikiran dan praktek, dengan pengembangan penting dan substansial yang tidak dapat digolongkan di bawah titel “Manajemen Publik Baru”. Jadi, terdapat lebih dari dua pilihan. Kami menolak gagasan bahwa Manajemen Publik Baru orientasi-pasar yang ditemukan kembali seharusnya hanya dibandingkan dengan Administrasi Publik Lama di mana, meskipun banyak kontribusi pentingnya, harus dipandang sebagai sesuatu yang sama dengan birokrasi, hierarki, dan kontrol. Sebagaimana yang telah kami katakan, jika ini adalah perbandingan, Manajemen Publik Baru akan selalu menang. Yang bertentangan, kami akan menunjukkan bahwa

41

Page 42: Pelayanan Publik

apa yang terlupakan dalam perdebatan adalah serangkaian prinsip-prinsip terorganisir untuk alternatif yang lebih kontemporer terhadap Manajemen Publik Baru. Kami menyarankan bahwa Manajemen Publik Baru seharusnya dibandingkan dengan apa yang kami istilahkan sebagai Layanan Publik Baru,serangkaian ide tentang peran administrasi publik dalam sistem penyelenggaraan pemerintahan yang menempatkan layanan publik, pemerintahan demokratis, dan keterlibatan sipil di bagian pusat atau inti.

Page 43: Pelayanan Publik

BAB 2AKAR LAYANAN PUBLIK BARU

Dalam bab pertama, kami melacak perkembangan Administrasi Publik Lama dan Manajemen Publik Baru. Sebelum melanjutkan pembahasan, akan sangat bermanfaat jika kita terlebih dulu mengkaji kembali beberapa tema yang muncul dalam analisis tersebut. Pertama selama sekitar tiga kuarter pertama abad kedua puluh, model mainstream dari administrasi publik adalah model yang digagas oleh para penulis seperti Woodrow Wilson, Frederick Taylor, Luther Gulick, dan Herbert Simon. Meskipun beberapa pendukungnya memotret administrasi publik ortodoks sebagai administrasi yang netral dari nilai-nilai, faktanya tidak seperti ini. Administrasi tersebut merupakan sebuah model normatif bagi pelaksanaan agen-agen publik. Di antara pilihan-pilihan nilai yang dibuat dalam pembentukan model ini adalah sebuah deskripsi khusus dari peran administrator publik, khususnya dalam hubungannya dengan proses politik (atau kebijakan), pilihan efisiensi (yang bertentangan dengan responsivitas, dsb) sebagai kriteria dasar dalam menilai pekerjaan dari agen-agen administratif, dan penekanan pada perancangan agen-agen publik sebagai sistem tertutup, yang bercirikan dengan adanya eksekutif “pengontrol” tunggal yang memiliki kewenangan tinggi dan bergerak dalam model top-down. Barangkali ciri paling menonjol dari model ini, yang bisa dilihat dalam versi-versi awalnya tetapi sangat jelas dalam versi-versinya

43

Page 44: Pelayanan Publik

kemudian adalah penggunaan “pilihan rasional” sebagai fondasi teoritis utama dari administrasi publik.

Kedua, meskipun model ini sangat dominan, asumsi-asumsi yang digunakan dari versi mainstream Administrasi Publik lama ini sering kali ditentang oleh beberapa penulis dan praktisi yang menggagas adanya pemisahan, tingkat respons dan keterbukaan yang lebih besar dalam proses administratif. Pandangan-pandangan alternatif ini – yang kami kaitkan dengan tokoh-tokoh seperti Marshall Dimock, Robert Dahl, dan Dwight Waldo – memberikan suatu tambahan bagi model tersebut secara keseluruhan yang perlu diingat dan sering kali diterima dalam situasi-situasi tertentu, tetapi jarang ada. Yang jelas, akan tepat untuk dikatakan bahwa ide-ide ini melekat pada model yang berlaku, yang mereka patuhi selama ini.

Ketiga, Manajemen Publik Baru dewasa ini muncul sebagai sebuah alternatif bagi cara ‘birokratis’ tradisional dalam menjalankan “bisnis” publik. Manajemen Publik Baru menyatakan bahwa pemerintah hendaknya hanya terlibat dalam aktivitas-aktivitas yang tidak dapat diswastanisasikan atau dikontrakkan kepada pihak luar dan secara lebih umum, mekanisme pasar harus diterapkan di manapun sehingga penduduk akan memiliki pilihan-pilihan jasa layanan. Selain itu, Manajemen Publik Baru memberikan sebuah peran khusus bagi manajer, khususnya manajer kewirausahaan, yang diberikan kesempatan lebih besar dalam meningkatkan efisiensi dan produktivitas melalui “pengelolaan hasil-hasil”. Terakhir, Manajemen Publik Baru menegaskan bahwa manajer publik “cenderung

Page 45: Pelayanan Publik

menyetir dibandingkan mendayung”, yaitu mereka bergerak untuk menjadi monitor implementasi kebijakan atau pembeli jasa, tidak terlibat secara langsung dalam pemberian layanan itu sendiri. Di bagian dasar rekomendasi ini, terdapat komitmen-komitmen teoritis terhadap ide-ide seperti teori pilihan publik; teori agensi; dan secara umum, penggunaan model-model ekonomi dalam rancangan dan implementasi kebijakan publik.

Yang menarik adalah bahwa meskipun Manajemen Publik Baru dinyatakan sebagai alternatif bagi Administrasi Publik Lama, banyak persamaan antara manajemen publik baru ini dengan model mainstream dari administrasi publik, khususnya ketergantungan dan komitmen pada model-model pilihan rasional. Misalnya, seperti dibahas sebelumnya, teori agen utama bisa diterapkan pada hubungan antara eksekutif publik dengan mereka yang memberi laporan kepada mereka. Ketika digunakan melalui cara seperti ini, sebuah pertanyaan sentral yang muncul adalah “Apa struktur insentif yang tepat untuk menciptakan kerja sama atau bahkan kepatuhan dari bawahan?” Pendekatan seperti ini menunjukkan persamaan dengan kesimpulan dari Herbert Simon – model kontribusi dari setengah abad yang lalu. Dalam pandangan ini, sebuah pertanyaan pokok yang dihadapi oleh kelompok pengontrol organisasi adalah bagaimana cara menyediakan dorongan yang memadai dan tepat sehingga partisipan rendah akan memberikan kontribusi terhadap aktivitas organisasi. Dalam setiap kasus yang membuat model bisa berjalan adalah komitmen terhadap pilihan rasional. Sehingga

45

Page 46: Pelayanan Publik

meskipun terdapat perbedaan yang jelas antara Administrasi Publik Lama dengan Manajemen Publik Baru, fondasi teoritis dasar dari versi “mainstream” administrasi publik dengan kebijakan publik memiliki banyak persamaan.

Berbeda dengan model-model mainstream dari administrasi publik atau manajemen publik yang berakar pada ide mengenai pilihan rasional, kami menggagas sebuah alternatif, Layanan Publik Baru (lihat Tabel 1). Seperti Manajemen Publik Baru dan Administrasi Publik lama, Layanan Publik Baru ini terdiri dari elemen-elemen berbeda, dan beberapa ahli dan praktisi sering kali saling memiliki pertentangan. Tetapi terdapat ide-ide umum tertentu yang menandai pendekatan ini sebagai sebuah model normatif dan membedakan satu dengan yang lainnya. Meskipun Layanan Publik Baru muncul baik dalam teori maupun dalam praktek inovatif dan lanjut dari beberapa manajer publik, kami akan mengkaji fondasi konseptual dari Layanan Publik Baru. Yang pasti Layanan Publik Baru bisa memberikan klaim terhadap sebuah warisan intelektual yang mengesankan, termasuk aktivitas dari mereka yang kami sebutkan di awal yang memberikan penolakan konstruktif terhadap gagasan rasionalis dari model maintream tersebut (misalnya, Dimock, Dahl dan Waldo). Tetapi di sini kami akan memfokuskan pada pendahulu yang lebih kontemporer dari Layanan Publik Baru, termasuk (1) teori-teori kewarganegaraan demokratis, (2) model-model komunitas dan masyarakat sipil, (3) humanisme organisasional dan administrasi publik baru, dan (4)

Page 47: Pelayanan Publik

administrasi publik post-modern. Kemudian kami akan menjelaskan secara singkat apa yang kami lihat sebagai prinsip utama dari Layanan Publik Baru.

Kewarganegaraan DemokratisPermasalahan mengenai kewarganegaraan dan demokrasi sangat penting dan jelas terlihat dalam teori politik dan sosial saat ini, di mana keduanya membutuhkan adanya kewarganegaraan yang menyegarkan kembali dan lebih aktif serta partisipatif (Barber 1984, 1998; Mansbridge 1990, 199; Pateman 1970; Sandel 1996). Tetapi kewarganegaraan bisa dilihat dengan cara yang berbeda. Definisi pertama dan sangat jelas memfokuskan pada hak dan kewajiban dari penduduk seperti ditetapkan oleh sistem hukum; yaitu, kewarganegaraan dilihat sebagai sebuah status hukum. Sebuah pandangan alternatif yang lebih luas melihat kewarganegaraan sebagai hal yang terkait dengan isu-isu lebih umum yang terkait dengan sifat dari keanggotaan seseorang dalam sebuah komunitas politik, termasuk isu-isu sepreti hak dan tanggung jawab penduduk, apapun sistem hukumnya (Turne 1993,3). Dalam pandangan ini kewarganegaraan terkait dengan kemampuan individu untuk mempengaruhi sistem politik; kewarganegaraan menunjukkan keterlibatan aktif dalam kehidupan politik. Kewarganegaraan merupakan pandangan yang akan kita fokuskan di sini dan di buku ini.

Di luar masalah-masalah definisional ini, terdapat cara-cara berbeda dalam memahami apa yang terlibat dalam kewarganegaraan demokratis. Misalnya, orang mungkin

47

Page 48: Pelayanan Publik

berpendapat bahwa pemerintahan itu ada untuk meningkatkan kepentingan ekonomi dari komunitas dan individu-individu yang ada di dalam komunitas. Dalam hal ini negara dan hubungan penduduk dengan negara harus didasarkan pada ide mengenai kepentingan-diri. Menurut Sandel (1996), model menonjol dari hubungan antara negara dengan penduduk bisa membuat pilihan-pilihan yang sesuai dengan kepentingan-dirinya dengan menjamin prosedur-prosedur tertentu (seperti voting) dan hak-hak individu. Peran pemerintah adalah untuk memastikan bahwa pengaruh dari kepentingan-diri individual berjalan secara bebas dan adil. Yang jelas perspektif ini sesuai dengan ekonomi pilihan publik dan Manajemen Publik Baru (lihat Kamensky 1996) dan para ahli pilihan publik sangat mendukung pandangan ini. Misalnya, James Buchanan, seorang ahli pilihan publik terdepan, menyatakan bahwa meskipun altruisme (selalu mementingkan kepentingan orang lain) sering kali masuk ke dalam pertimbangan publik, lembaga-lembaga politik harus dirancang sedemikian rupa untuk meminimalisir tingkat kebergantungan institusi terhadap perilaku altruistik (dicuplik dalam Mansbridge 1994, 153).

Yang lainnya berpendapat bahwa altruisme politik, atau apa yang oleh Mansbridge disebut sebagai “spirit publik” memainkan sebuah peran penting, bahkan sebuah peran esensial dalam proses pemerintahan demokratis. Sandel, misalnya, menawarkan sebuah pandangan alternatif mengenai kewarganegaraan demokrasi di mana orang jauh lebih terlibat secara aktif dalam pemerintahan. Penduduk melihat melebihi kepentingan-dirinya menuju kepentingan

Page 49: Pelayanan Publik

publik yang lebih besar, dengan menggunakan sebuah perspektif yang lebih luas dan dengan jangka yang lebih panjang yang membutuhkan pengetahuan tentang urusan publik dan juga rasa memiliki, perhatian terhadap semuanya, dan sebuah ikatan moral dengan komunitas yang takdir masyarakatnya telah ditentukan (Sandel, 1996, 5-6). Mansbridge menyatakan bahwa pandangan kewarganegaraan ini memberikan ‘perekat’ tertentu yang menyatukan sistem politik. Dalam pandangannya, spirit publik (atau altruisme politik) melibatkan cinta dan kewajiban, di mana keduanya memainkan peran yang sangat penting:

“Jika saya membuat kebaikan anda menjadi miliki saya melalui empati (cinta), saya tidak akan berperilaku yang membuat anda sakit. Jika saya membuat kebaikan kolektif menjadi miliki saya (cinta negara), maka saya akan memberikan kebaikan saya untuk kebaikan tersebut. Jika saya berkomitmen terhadap sebuah prinsip yang karena alasan tertentu menuntut adanya kerja sama, saya akan menjalankan kepentingan diri untuk alasan kewajiban. (Mansbridge, 199, 147)”.

Tetapi Mansbridge secara cepat menegaskan bahwa altruisme yang tak terbatas tidak selalu baik. Ada kemungkinan bahwa para elit politik mungkin memanipulasi spirit publik melalui indoktrinasi atau karisma, melalui pembatasan kemungkinan ekspresinya atau melalui penciptaan perdebatan publik sehingga tantangan terhadap kekuasaannya dapat dihindari.

Spirit publik harus ditingkatkan dan dipertahankan,

49

Page 50: Pelayanan Publik

dan hal tersebut dapat dibantu oleh perhatian konstan terhadap prinsip-prinsip keadilan, partisipasi publik dan pertimbangan mendalam. Rasa keadilan memunculkan emosi kuat bagi mereka yang merasa diperlakukan secara tidak benar atau dieksploitasi, dan penolakan mereka sering kali bisa menjadi sangat kuat. Di sisi lain, sistem politik yang bertujuan untuk mengembangkan keadilan cenderung melahirkan afeksi dan keterlibatan. Partisipasi merupakan alat kedua dalam mengembangkan spirit publik. Mereka yang terlibat dalam Keputusan merasa lebih baik mengenai keputusan-keputusan tersebut dan cenderung membantu dalam implementasinya; tetapi partisipasi dapat ditentukan sedemikian rupa sehingga memberi orang perasaan keterlibatan yang salah, oleh karena itu harus ditimbangkan dengan kondisi-kondisi pertimbangan mendalam dan wacana terbuka. Pertimbangan mendalam bisa mengklarifikasi dan terkadang memperbaiki perbedaan-perbedaan yang ada; pertimbangan mendalam dapat memberikan dasar informasi umum sehingga orang setidaknya memulai “pada halaman yang sama”; dan hal ini dalam membangun rasa solidaritas dan komitmen terhadap solusi yang mungkin diajukan. “Dan pertimbangan yang baik sering kali akan mendorong semua orang, terutama mereka yang memiliki pikiran yang paling berbeda untuk melakukan perubahan beberapa pilihannya, terkadang menghasilkan kesepakatan, mengklarifikasi konflik melalui cara-cara yang menunjukkan langkah-langkah apa yang harus dilakukan selanjutnya” (Mansbridge, 1994, 156).

Lihatlah bahwa pandangan alternatif terhadap

Page 51: Pelayanan Publik

kewarganegaraan ini tidak menunjukkan eliminasi kepentingan-diri sebagai individu atau motif sosial atau pergantian naifnya melalui gagasan spirit publik. Melakukan hal ini berarti mengabaikan masalah yang penting dan tepat – serta perdebatan panjang di Amerika dan di tempat-tempat lain. Tetapi pandangan ini tidak menunjukkan sebuah keseimbangan dari “motif-motif” ini dan keseimbangan pemahaman peran utama kebaikan sipil dan kepentingan publik, seperti yang mungkin kita perkirakan dalam masyarakat demokratis. Ide mengenai pertimbangan mendalam, misalnya, menunjukkan sebuah pertukaran awal antar ide yang muncul dari kepentingan-diri, tetapi juga menunjukkan bahwa pertukaran tersebut mungkin membuka orang pada ide-ide baru dan bahkan praktek-praktek baru, termasuk beberapa yang ingin dicapai meskipun mereka mungkin harus berjalan melawan kepentingan-diri sempit.

Dalam setiap kasus, saat ini terjadi peningkatan tuntutan pembaharuan kewarganegaraan yang didasarkan pada kepentingan sipil, bukan kepentingan diri sendiri. Dalam pandangan ini, penduduk akan terfokus pada kepentingan publik luas, mereka akan aktif dan partisipatif, dan mereka akan memberikan tanggung jawab kepada orang lain. Seperti yang dikatakan oleh Evans dan Boyte bahwa sebuah gagasan kewarganegaraan yang menyegarkan akan mencakup:

“perhatian bagi sebuah kebaikan umum, kesejahteraan komunitas secara keseluruhan, kemauan untuk memberikan hak kepada orang lain yang berhak memilikinya, toleransi keyakinan agama, politik dan sosial yang berbeda, keberterimaan keunggulan

51

Page 52: Pelayanan Publik

keputusan komunitas dibandingkan kecenderungan pribadi, dan kesadaran akan kewajiban untuk mempertahankan dan melayani publik. (Evans dan Boyte, 1986,5)”

Dengan kata lain, penduduk akan melakukan apa yang harus mereka lakukan dalam sebuah demokrasi – mereka akan menjalankan pemerintahan. Ketika mereka melakukan hal ini, mereka akan memberikan kontribusi tidak hanya kepada kebaikan masyarakat, tetapi juga kepada pertumbuhan mereka sebagai manusia yang aktif dan bertanggung jawab.

Meskipun kita akan membahas poin ini nanti (dalam buku ini tentunya), pelajaran-pelajaran yang memfokuskan pada kewarganegaraan yang lebih aktif dan vital ini secara jelas menemukan jalannya menuju literatur dan praktek administrasi publik. Sebuah simposium awal mengenai “kewarganegaraan dan administrasi publik”, yang dipublikasikan dalam the Public Administration Review, mempertimbangkan berbagai isu-isu praktis dan teoritis yang menghubungkan ide-ide yang muncul mengenai sipil dan kewarganegaraan dengan profesi administrasi publik (Frederickson dan Chandler, 1984). Dewasa ini, dua buku, Government Is Us (King dan Stivers 1998) dan Citizen Governance (Box, 1998), memfokuskan pada bagaimana administrasi publik memberikan kontribusi terhadap penciptaan pemerintahan yang lebih berpusat pada penduduk. Sesuai dengan perspektif ini, King dan Stivers (1998) menegaskan bahwa administrator hendaknya melihat penduduk sebagai penduduk (bukan hanya sebagai pemilih,

Page 53: Pelayanan Publik

klien atau “konsumen”), harus berbagi kewenangan dan mengurangi kontrol, dan harus mempercayai efektivitas dari kolaborasi. Selain itu, berbeda dengan tuntutan manajerialist akan efisiensi yang lebih besar, King dan Stivers menyatakan bahwa manajer publik harus mencari responsifitas yang lebih besar dan peningkatan pada kepercayaan penduduk. Box menggerakkan argumen secara khusus menuju level pemerintah daerah, dengan menunjukkan cara-cara yang digunakan oleh pemerintah daerah dalam melakukan restrukturisasi untuk mendorong keterlibatan penduduk yang lebih besar dalam proses pemerintahan. Seperti yang akan kita lihat, adaptasi terhadap tugas saat ini dalam teori demokratis dan teori pendudukan serta keterlibatan sipil memberikan kontribusi terhadap apa yang kita sebut sebagai Layanan Publik Baru.

Model-model Komunitas dan Masyarakat SipilKita juga dapat menempatkan akar-akar penting dari

Layanan Publik Baru dalam diskusi terkini mengenai komunitas dan masyarakat sipil. Kepentingan terkini dalam masyarakat merupakan sebuah fenomena menarik yang muncul dalam berbagai area (Bellah dkk, 1985, 1991; Etzioni,1988, 1995; Gardner, 1991; Selznick, 1991; Wolfe, 1989) dan diungkapkan oleh para komentator baik dari sayap kiri maupun kanan. Di satu sisi mereka yang berada di sayap kiri melihat komunitas sebagai sebuah antidot bagi ketamakan dan kepentingan diri sendiri yang berlebihan dan tidak terbatas yang menandai masyarakat modern, sebuah obat bagi individualisme yang semakin

53

Page 54: Pelayanan Publik

menjadi-jadi. Pada waktu yang bersamaan, mereka yang berada di sayap kanan melihat masyarakat sebagai jalan untuk membangkitkan nilai-nilai Amerika dasar yang pernah diyakini tetapi sekarang ditentang oleh kekuatan-kekuatan yang berada di luar kontrol kita.

Mengapa hal-hal yang menarik dalam masyarakat menjadi sebuah permasalahan yang menarik. Mereka menyatakan bahwa orang Amerika menjadi terasing oleh kekuatan-kekuatan dari sebuah masyarakat teknologis, yang dilambangkan oleh garis rakitan atau komputer, dan berusaha kembali pada asosiasi yang “lebih manusiawi”. Yang lainnya menyalahkan dislokasi sosial dan politik yang terkait dengan Perang Vietnam dan gerakan Hak-Hak Sipil; dan harapan akan waktu atau kondisi dari Kebangsawanan dan barangkali penyesalan yang lebih besar. Yang lainnya lagi menyatakan efek dari kapitalisme dan kebodohan moral dari mereka yang terlibat dalam praktek-praktek pasar yang masih bermasalah dan skema “perdangan dari dalam/insider trading” yang membutuhkan rasa tanggung jawab sosial yang lebih besar. Selain itu yang lain menjadi sangat hati-hati terhadap prospek dari ekonomi global yang tidak selalu didominasi oleh Amerika Serikat dan harapan akan kepastian ekonomi. Terakhir, beberapa poin menuju degradasi lingkungan dan kemungkinan tujuan dari eksistensi manusia ditunjukkan oleh keberadaan dari senjata perusak masal; mereka menginginkan keseimbangan dan keamanan ekologis. Semuanya sepertinya menyadari bahwa hidup telah “keluar dari kontrol” dan manusia membutuhkan sebuah cara untuk

Page 55: Pelayanan Publik

mengembalikan hidupnya.Dalam berbagai kasus komunitas menjadi sebuah tema

dominan dalam kehidupan Amerika. Jika para penulis memfokuskan pada aspek-aspek yang berbeda dari komunitas, karya Jauh Gardner merupakan contoh dari kejelasan dan daya persuasifnya. Gardner (1991) menyatakan bahwa masyarakat, yang mungkin berasal dari level asosiasi manusia berbeda mulai dari keluarga sampai kelompok kerja, yang dapat memberikan struktur mediasi penting antara individu dengan masyarakat. Gardner menulis “dalam sistem kita, ‘kebaikan umum’ merupakan sebuah perlindungan dari sistem di mana seluruh jenis manusia – di dalam hukum – dapat mengejar berbagai visi dari kebaikan umum dan pada waktu yang bersamaan menyelesaikan jenis-jenis akomodasi saling menguntungkan yang membuat sistem sosial menjadi lebih hidup dan dapat dijalankan. Permainan kepentingan yang saling bertentangan dalam sebuah kerangka tujuan bersama merupakan drama dari sebuah masyarakat bebas” (1991, 15). Menurut Gardner, nilai-nilai bersama dari sebuah komunitas sangat penting, tetapi ia menegaskan bahwa kita juga menyadari bahwa keutuhan juga harus melibatkan keragaman. Gardner menulis.

“Untuk mencegah keutuhan agar tidak menghambat keragaman, harus ada sebuah filosofi pluralisme, sebuah iklim terbuka bagi perbedaan pendapat, dan sebuah peluang bagi sub-komunitas untuk mempertahankan identitas dan bagiannya dalam setting tujuan-tujuan kelompok besar. Untuk mencegah

55

Page 56: Pelayanan Publik

keragaman agar tidak merusak keutuhan, harus ada tatanan kelembagaan dalam menghilangkan polarisasi, karena mengajarkan kelompok-kelompok yang berbeda untuk saling tahu satu sama lain, untuk membangun koalisi, akan merusak resolusi, negosiasi dan mediasi. Tentunya keberadaan masyarakat yang sehat dengan sendirinya merupakan sebuah instrumen dalam menyelesaikan konflik” (Gardner, 1991, 16).

Menurut Gardner dan yang lainnya, di luar ciri-ciri ini, komunitas didasarkan pada kepedulian, saling percaya dan teamwork, yang disatukan oleh sebuah sistem kuat dan efektif bagi komunikasi dan penyelesaian konflik. Sifat interaktif dari komunitas memberikan mediasi dan rekonsiliasi antara individu dengan kolektif. Rosabeth Moss Kantor, seorang ahli manajemen terkenal, mengomentari ide ini dalam beberapa karya awalnya mengenai komunitas. Dia menulis “pencarian komunitas juga merupakan sebuah pertanyaan akan arah dan tujuan dalam pelabuhan kolektif dari kehidupan individu. Investasi diri dalam sebuah komunitas, keberterimaan kewenangan dan kemauan untuk mendukung kehidupannya dapat menawarkan identitas, makna personal dan peluang untuk tumbuh dalam term-term prinsip standar dan petunjuk yang oleh para anggotanya dirasakan menjadi ungkapan dari kondisinya sendiri” (Kantor, 1972, 1973).

Usaha ini sebagian tergantung pada pengembangan serangkaian “lembaga mediasi” yang sehat dan aktif yang secara simultan berusaha memfokuskan pada hasrat dan

Page 57: Pelayanan Publik

kepentingan penduduk dan memberikan pengalaman yang akan secara lebih baik mempersiapkan penduduk untuk bertindak dalam sistem politik yang lebih besar. Seperti yang dikatakan oleh Robert Putnam (2000) bahwa tradisi demokratis Amerika tergantung pada keberadaan penduduk yang terlibat secara sipil, aktif dalam seluruh jenis kelompok, asosiasi, dan unit-unit pemerintahan. Keluarga, kelompok kerja, gereja, asosiasi sipil, kelompok-kelompok rumah tangga, klub organisasi relawan, dan kelompok-kelompok sosial – dan bahkan tim atletik – membantu menetapkan hubungan antara individu dengan masyarakat yang lebih besar. Secara kolektif, kelompok-kelompok kecil ini membentuk sebuah “masyarakat sipil” di mana orang perlu mengejar kepentingan personalnya dalam konteks masalah komunitas. Masyarakat sipil merupakan sebuah tempat di mana penduduk bisa saling terlibat satu dengan yang lainnya dalam jenis dialog personal dan pertimbangan mendalam yang tidak hanya merupakan esensi dari bangunan masyarakat, tetapi bagi demokrasi itu sendiri.

Sebagian besar komentar terkini mengenai gagasan kewarganegaraan dan masyarakat sipil memfokuskan pada penurunan keterlibatan penduduk Amerika dalam politik dan pemerintahan. Orang sepertinya kecewa dengan pemerintah, mereka menarik diri dari proses politik, dan mereka menjadi semakin terisolir dari ruang pribadinya. Poling opini publik, misalnya, menunjukkan penurunan tajam dalam kepercayaan orang dalam pemerintahan, khususnya pada level federal. Selama beberapa dekade, the University of

57

Page 58: Pelayanan Publik

Michigan’s Survey Research Center mengumpulan respons-respon warga Amerika terhadap pertanyaan “Berapa kali anda percaya pemerintah di Washington akan melakukan hal yang benar”. Empat puluh tahun yang lalu, lebih dari tiga dari setiap empat warga Amerika menyatakan bahwa mereka percaya kepada pemerintah seperti biasanya atau mereka lebih banyak percaya kepada pemerintah. Saat ini kurang dari satu dari empat orang memberikan respons ini. Kepercayaan kepada pemerintah sepertinya sangat rendah.

Tetapi beberapa orang menggagas sebuah pandangan yang lebih seimbang. David Mathews dari Kettering Foundation, misalnya, menyatakan bahwa meskipun kepentingan penduduk dalam proses politik mungkin telah mengalami sublimasi selama beberapa tahun terakhir, kepentingan ini tidak mati. Matthews (1994) menunjukkan sebuah studi yang disponsori oleh Kettering yang menemukan perasaan tak berdaya dan tidak masuk dalam lingkaran penduduk, tetapi juga memiliki perhatian mendalam terhadap kewajiban sipil. Penduduk merasa frustrasi dan marah bahwa “mereka dipaksa keluar dari sistem politik oleh para kelas politik profesional dari para pelobi kuat, politisi yang berkuasa, manajer kampanye dan elit media. Mereka melihat sistem sebagai sebuah aspek di mana suara tidak lagi memberikan kontribusi tinggi karena uang yang berkuasa. Mereka melihat sistem dengan pintu-pintunya yang tertutup oleh rata-rata penduduk” (Mathews, 1994, 12-15). Sehingga penduduk merasa terasing.

Di sisi lain penduduk masih ingin bertindak. Mereka

Page 59: Pelayanan Publik

bangga dengan masyarakat dan negaranya dan ingin membantu membawa perubahan positif. Faktanya beberapa penduduk terlibat dalam aktivitas-aktivitas politik dari dalam jangka pendek dan tidak banyak menghabiskan waktunya dalam politik pemilu atau partai, yang mereka lihat sebagai sebuah sistem yang tertutup dan tidak dapat ditembus, tetapi dalam gerakan berbasis penduduk akar rumput di dalam keluarga, kelompok kerja dan asosiasi. Aktivitas-aktivitas ini membentuk laboratorium kewarganegaraan, arena-arena ketika orang berusaha mencapai hubungan-hubungan baru dan tatanan politik yang lebih besar, hubungan dari dilema-dilema partisipasi yang dimunculkan oleh dunia modern, tetapi juga diberi informasi oleh kemungkinan-kemungkinan aktivisme dan keterlibatan baru yang ditawarkan oleh kondisi-kondisi modern (Boyte dan Kari, 1996; Lappe dan DuBois, 1994).

Juga terdapat sebuah peran penting bagi pemerintah untuk mendorong bangunan komunitas dan masyarakat sipil. Yang menarik, beberapa pemimpin politik dan sipil progresif dan modern menyadari peran dan kemampuan bertahan dari usaha-usaha tersebut – dan semakin melibatkan diri mereka sendiri. Para pemimpin politik mendatangi penduduk dengan cara-cara substansial, baik melalui teknologi informasi modern maupun alat-alat yang lebih konvensional. Dan para manajer publik menentukan kembali peran mereka terkait dengan keterlibatan penduduk dalam proses pemerintahan (Thomas 1995). Sekali lagi seperti yang dinyatakan oleh King dan Stivers (1998), pemerintah bisa memainkan sebuah peran penting dan kritis

59

Page 60: Pelayanan Publik

dalam menciptakan, membantu dan mendukung hubungan antara penduduk dengan masyarakat atau komunitasnya.

Bagaimana administrator dipengaruhi dan mempengaruhi komunitas dan masyarakat sipilnya? Meskipun pertanyaan ini akan terus muncul dalam buku ini, terdapat beberapa komentar umum yang bisa kami munculkan. Pertama, ketika terdapat jaringan interaksi kuat dan level kepercayaan dan kohesi tinggi antar penduduk, administrator publik bisa menggunakan cadangan modal sosial yang ada ini untuk membangun jaringan yang lebih kuat, membuka jalan baru bagi dialog dan perdebatan, dan mendidik penduduk secara lebih jauh dalam kaitannya dengan permasalahan pemerintahan yang demokratis (Woolum 2000). Kedua, administrator publik bisa memberikan kontribusi dalam membangun masyarakat dan modal sosial. Beberapa orang berpendapat saat ini bahwa peran utama dari administrator publik adalah membangun komunitas (Nalbandian 1999). Yang lainnya berpendapat bahwa administrator publik bisa memainkan peran aktif dalam meningkatkan modal sosial dengan mendorong keterlibatan penduduk dalam pembuatan keputusan publik. Di dasarkan pada pengalamannya dalam melakukan usaha-usaha skala-luas dalam keterlibatan sipil, Joseph Gram dan Linda Chapin menyatakan “penduduk tidak selalu mendapatkan apa yang mereka inginkan, tetapi melibatkan mereka dalam mempersonalisasikan aktivitas yang kita lakukan – menghubungkan administrasi publik dengan publik. Dan hubungan ini mendorong pada pemahaman baik bagi penduduk maupun administrator. Dan hubungan ini membawa kita untuk memahami penduduk dan administrator”

Page 61: Pelayanan Publik

(1998, 192). Pemahaman seperti ini memperkaya pemerintah dan komunitas.

Humanisme Organisasional dan Administrasi Publik BaruAkar teoritis penting ketiga dari Layanan Publik

Baru adalah humanisme organisasional. Selama dua puluh lima tahun terakhir, para ahli administrasi publik bergabung dengan kolega dalam disiplin-disiplin ilmu lain dalam menyatakan bahwa pendekatan-pendekatan hierarkis tradisional bagi organisasi sosial terbatas dalam pandangan mereka mengenai perilaku manusia dan mereka bergabung dalam sebuah kritik birokrasi dan pencarian pendekatan-pendekatan alternatif terhadap manajemen dan organisasi. Secara kolektif, pendekatan-pendekatan ini berusaha membentuk organisasi publik yang tidak didominasi oleh isu-isu kekuasaan dan kontrol dan lebih perhatian terhadap kebutuhan dan permasalahan konstituen internal dan eksternal.

Seperti halnya para penulis, antara lain Dimock, Dahl dan Waldo, ketika memberikan sebuah perbedaan terhadap pandangan yang menonjol mengenai teori administrasi publik, para penulis seperti Chris Argyris dan Robert Golembiewski memberikan pandangan yang berbeda terhadap pandangan menonjol dari pemerintahan organisasional melalui bagian terakhir dari abad kedua puluh. Dalam sebuah buku awal, Personality and

Organization, Argyris mengeksplorasi dampak dari praktek-praktek manajemen tradisional terhadap pekembangan psikologis individu di dalam organisasi yang kompleks.

61

Page 62: Pelayanan Publik

Argyris menyatakan bahwa studi mengenai kepribadian manusia menunjukkan bahwa orang yang tumbuh dari bayi sampai dewasa bergerak dari kondisi pasif menuju aktif, dari ketergantungan menuju kebebasan, dari rentang perilaku terbatas menuju rentang yang lebih besar, dari ketertarikan dangkal menuju ketertarikan mendalam, dari perspektif jangka pendek menuju jangka panjang, dari posisi bawah menuju posisi yang setara atau posisi atas, dan dari kurangnya kesadaran menuju kesadaran tinggi (1975, 50). Sebaliknya apa yang oleh Argyris dilihat sebagai praktek manajemen standar pada waktu itu (dan orang mungkin berpendapat bahwa mereka tidak ada yang berubah saat ini) sepertinya tidak meningkatkan tetapi justru menghambat perkembangan pekerja. Misalnya, di sebagian besar organisasi orang relatif memiliki kontrol kecil terhadap pekerjaannya. Dalam beberapa kasus mereka diyakini tunduk, terikat dan terbatas pada apa yang dapat mereka lakukan. Untuk mendorong pertumbuhan individu serta meningkatkan kinerja organisasi, Argyris menggagas sebuah pendekatan dalam manajemen di mana manajer akan mengembangkan dan menerapkan “keterampilan kesadaran diri, dalam diagnosis efektif, untuk membantu pertumbuhan individu dan menjadi lebih kreatif, dan dalam menghadapi para pekerja yang memiliki ketergantungan besar” (Argyris 1962, 213). Ketika karya Argyris semakin matang, ia memfokuskan pada cara-cara yang dapat digunakan oleh organisasi untuk bergerak menuju arah ini melalui program-program perubahan terencana yang dikenal sebagai “Perkembangan organisasi”.

Page 63: Pelayanan Publik

Kita harus memperhatikan bahwa ide-ide Argyris bertentangan langsung dengan model rasional administrasi yang ada, yang diungkapkan dengan sangat jelas oleh Herbert Simon. Yang pasti pada tahun 1973, Argyris menggunakan halaman-halaman Public Administration Review untuk mengeksplorasi beberapa keterbatasan atau kelemahan dari model rasional (Argyris, 1973). Argyris memulainya dengan menyatakan bahwa model rasional Simon hampir sama dengan teori administratif tradisional, di mana manajemen menentukan tujuan organisasi dan tugas-tugas yang harus dijalankan, serta memberi training, penghargaan dan hukuman kepada pekerja – semuanya di dalam kerangka struktur piramidal formal di mana kekuasaan mengalir dari atas ke bawah (top down). Yang ditambahkan Simon dalam model ini adalah fokus terhadap perilaku rasional, yaitu, perilaku yang dapat didefinisikan dalam term-term alat dan tujuan. (Sekali lagi dalam pandangan ini, “rasional” tidak terkait dengan konsep filosofi luas seperti kebebasan atau keadilan, tetapi dengan bagaimana orang bisa secara efisien menyelesaikan pekerjaannya di dalam organisasi). Dengan penekanan ini, model rasional memfokuskan pada “aktivitas berpikir yang konsisten, terprogram, terorganisir dari manusia” yang memberikan “keunggulan terhadap perilaku yang terkait dengan tujuan” dan menentukan “tujuan tanpa bertanya bagaimana tujuan tersebut dikembangkan” (Argyris 1973, 261).

Pandangan ini gagal mengakui rentang utuh dari pengalaman manusia, fakta bahwa orang bertindak secara spontan, bahwa mereka mengalami chaos dan kondisi yang

63

Page 64: Pelayanan Publik

tidak dapat diprediksi dalam kehidupannya, dan bahwa mereka bertindak menurut perasaan dan emosi yang jauh dari rasional. Selain itu karena pertumbuhan manusia merupakan sebuah proses yang tidak sepenuhnya rasional, organisasi yang dibangun dalam model ini tidak akan mendukung pertumbuhan, perkembangan dan “aktualisasi-diri” dari individu. Model rasional akan memberikan pilihan terhadap perubahan-perubahan yang akan meningkatkan rasionalitas (efisiensi) organisasi. Perubaan-perubahan tersebut cenderung konservatif, yang memperkuat status quo dengan lebih memfokuskan pada “apakah itu, bukan apa kemungkinannya” (Argyris 1973, 261). Berbeda dengan pandangan ini, Argyris memunculkan perhatian besar terhadap “moralitas individu, otentisitas, (dan) aktualisasi-diri manusia” yang terkait dengan “sisi wirausaha manusia” (253).

Dalam bidang administrasi publik, perspektif perkembangan organisasi (OD) telah banyak dieksplorasi oleh Robert Golembewski. Dalam karya awal, Men, Management and Morality (1967), Golembiewski mengembangkan sebuah kritik teori organisasi tradisional, dengan penekanannya pada kekuasaan top-down, kontrol hierarkis, dan prosedur operasi standar, yang menyatakan bahwa pendekatan-pendekatan tersebut mencerminkan ketidakpekaan terhadap postur moral dari individu, khususnya pertanyaan mengenai kebebasan individu. Sebaliknya Golembiewski mencari sebuah cara untuk “memperluas area diskresi yang terbuka bagi kita dalam mengorganisir dan meningkatkan kebebasan individu” (1967,

Page 65: Pelayanan Publik

305). Menindaklanjuti perspektif OD, Golembiewski mendorong manajer menciptakan sebuah iklim penanganan masalah terbuka melalui organisasi sehingga para anggota bisa menyelesaikan masalah, dan bukan menentangnya. Dia mendorong mereka membangun rasa percaya antar individu dan kelompok yang ada di dalam organisasi untuk menambah atau mengganti kewenangan dari peran atau status dengan kewenangan pengetahuan dan kompetensi. Dia menyatakan bahwa tanggung jawab pembuatan keputusan dan penanganan-masalah harus ditempatkan sedekat mungkin dengan sumber informasi untuk membuat kompetisi bisa memberikan kontribusi bagi pencapaian tujuan kerja yang bertentangan dengan kompetisi menang-kalah. Dia menyatakan bahwa ide tersebut adalah untuk memaksimalkan kolaborasi antar individu dengan unit yang tugasnya independen dan mengembangkan siswa reward yang menyadari pencapaian misi organisasi dan pertumbuhan serta perkembangan anggota organisasi. Manajer harus bekerja untuk meningkatkan kondisi ketika konflik muncul ke permukaan dan dikelola secara tepat dan positif, dan meningkatkan kesadaran dari proses kelompok dan konsekuensinya bagi kinerja (Denhardt 1999, 405).

Yang menarik, Golemblewski, seperti halnya Argyris, membedakan pandangannya yang lebih humanistis dari organisasi dengan model pilihan rasional, melalui sebuah kritik terhadap model pilihan publik. Golembiewski terlebih dulu menyatakan bahwa asumsi rasionalitas klasik merupakan sebuah konstruk metodologis yang tidak mencerminkan realitas (sebuah poin yang bahkan juga

65

Page 66: Pelayanan Publik

diakui oleh para ahli pilihan publik). Orang tidak selalu bertindak rasional atau mendekati perilaku rasional. Untuk mendasarkan teori pilihan terhadap asumsi-asumsi yang mereka miliki memiliki arti bahwa orang dibatasi oleh proposisi logis mengenai bagaimana orang akan berperilaku jika mereka bertindak secara rasional. Menurut Golembiewski, pandangan seperti itu mengabaikan pertimbangan politik atau emosional yang harus dipertimbangkan dalam mengembangkan teori perilaku manusia secara komprehensif. Atau mungkin orang menyimpulkan dengan Norton Long bahwa para ahli pilihan publik berargumen dengan logika yang elegan dan tanpa cela mengenai kuda terbang” (dicuplik dalam Golembiewski, 1977, 1942).

Kontribusi penting lain terhadap konstruksi organisasi yang lebih humanis dalam sektor publik diberikan oleh sekelompok ahli yang secara kolektif dikenal sebagai Administrasi Publik Baru, yang pada dasarnya merupakan administrasi publik yang menentang gerakan radikal pada akhir tahun 60-an atau 70-an dalam masyarakat secara umum dan dalam disiplin ilmu sosial lainnya. Meskipun Administrasi Publik Baru tidak pernah merupakan gerakan yang sangat koheren, dengan kontributornya yang sering kali memiliki perbedaan substansial antara yang satu dengan yang lainnya, ide-ide yang terkait dengan Administrasi Publik Baru menjadi sangat penting untuk diingat. Yang jelas terkait dengan isu humanisme organisasional, beberapa ahli selama periode itu menekankan keutuhan untuk mengeksplorasi

Page 67: Pelayanan Publik

alternatif-alternatif bagi model top-down hierarkis dari organisasi birokratis.

Kita harus perhatikan bahwa Administrasi Publik Baru memberikan kontribusi sudut pandang lain terhadap diskusi mainstream mengenai administrasi publik. Secara khusus muncul sebuah argumen agar administrator memainkan sebuah peran yang lebih aktif dalam pengembangan kebijakan publik dibandingkan sebelumnya, karena kompleksitas dari masalah-masalah kontemporer membutuhkan keahlian dari administrator yang terlatih secara profesional dan ahli teknis terkaitnya, dan karena “harus ada orang yang mau menghadapi tantangan”. Bahkan terdapat pengakuan dan diskusi yang lebih eksplisit mengenai peran dari nilai dalam administrasi publik. Misalnya, George Frederickson dalam New Public Administration menyatakan atas nama kesetaraan sosial sebagai konsep pembimbing dalam pembuatan keputusan administratif dan politik. “Pegawai negeri harus dapat mengembangkan dan mempertahankan kriteria dan ukuran kesetaraan dan memahami dampak dari layanan publik terhadap martabat dan kebaikan penduduk” (1980,46). Esensinya memberikan solusi yang setara terhadap masalah publik tidak hanya melibatkan penawaran layanan yang sama kepada seluruh level layanan yang lebih besar kepada mereka yang berada dalam kebutuhan yang lebih besar. Frederickson menyatakan bahwa administrasi publik itu tidak netral dan hendaknya tidak dinilai melalui kriteria efisiensinya saja. Tetapi konsep seperti kesetaraan, kesamaan dan responsivitas juga harus memiliki peran.

67

Page 68: Pelayanan Publik

Administrasi Publik Post-ModernSebuah akar teoritis penting keempat dari Manajemen

Publik Baru adalah postmodernisme. Pada akhir tahun 60 dan awal tahun 70-an, para ahli dalam administrasi publik mulai mengeksplorasi secara lebih kritis pendekatan terhadap pemerolehan pengetahuan yang mendasari model rasional mainstream dari administrasi. Dasar bagi eksplorasi ini adalah ide bahwa administrasi publik mainstream seperti ilmu sosial lainnya, menjadi terikat pada pendekatan tertentu dalam pemerolehan pengetahuan – positivisme – dan penekatan ini secara kabur dan dramatis membatasi rentang berpikir di lapangan. Sederhananya, pendekatan positivist menyatakan bahwa ilmu sosial dapat dipahami dengan menggunakan pendekatan yang sama, yang diterapkan dalam ilmu alam. Dalam pandangan ini, fakta-fakta kehidupan sosial atau organisasional bisa dipisahkan dari nilai; peran sains adalah memfokuskan pada fakta, bukan nilai. Fakta-fakta dapat diamati dan diukur seperti halnya perilaku elemen fisik atau kimia dapat diukur. Sebaliknya konsep dan teori dapat dibangun dengan didasarkan pada observasi “perilaku manifestasi” ini. Pendekatan positivist diakui sebagai dasar dari model administrasi rasional Simon dan mendominasi aspek-aspek lain dari studi administrasi publik, khususnya ilmu kebijakan.

Para kritikus terhadap pandangan ini menyatakan bahwa mengamati perilaku manusia “dari luar” tidak memberikan pemahaman yang banyak mengenai makna tindakan manusia. Misalnya, anda mungkin melihat manusia yang

Page 69: Pelayanan Publik

berjalan melewati hutan, tetapi anda akan tahu lebih banyak mengenai apa yang terjadi jika anda tahu dia adalah seorang kriminal yang melarikan diri dari sherif. Dan dalam kehidupan sosial, fakta dan nilai sangat sulit dipisahkan dan dalam beberapa kasus nilai lebih penting dibandingkan fakta dalam memahami tindakan manusia. Karena perilaku manusia berbeda dari waktu ke waktu dan dari kultur ke kultur, akan mustahil merumuskan jenis pernyataan seperti-hukum serupa yang ingin dicari oleh sains. Selain itu, mendeskripsikan tindakan manusia dalam term observasi “obyektif” dan “hubungan seperti hukum” gagal memahami komponen-komponen nonrasional dari pengalaman manusia – intuisi, emosi dan perasaan.

Di satu sisi, para kritikus menyatakan bahwa ketergantungan pada model positivist memperkuat kecenderungan menuju obyektifikasi dan depersonalisasi yang menjadi bagian dari model mainstream administrasi publik. Di sisi lain, mereka juga menyatakan bahwa bergantung pada positivisme saja tidak akan memberikan pemahaman utuh mengenai makna dan nilai yang merupakan bagian dari kehidupan manusia. Dalam pencarian alternatif, para ahli berpindah dari pendekatanm interpretatif menuju pemerolehan pengetahuan, pendekatan yang memfokuskan pada pemahaman makna yang dibawa orang dalam pengalamannya, khususnya pengalaman yang juga dimiliki oleh orang lain. Yang lainnya berpindah dari pengujian kritis-nilai dari kekuatan yang mendasari pengalaman manusia, khususnya kekuatan dari kekuasaan dan dominasi yang menyimpang dari komunikasi antar manusia.

69

Page 70: Pelayanan Publik

Melalui pendekatan ini para ahli ingin membangun pendekatan-pendekatan alternatif terhadap studi dan praktek administrasi publik, alternatif-alternatif yang lebih peka terhadap nilai (bukan hanya fakta), terhadap makna manusia obyektif (bukan hanya perilaku obyektif) dan rentang emosi dan perasaan utuh dalam hubungan antar manusia.

Meskipun postmodernisme itu sangat kompleks dan beragam, sebagian besar modernis berpendapat bahwa sebuah masalah yang kita hadapi saat ini adalah hilangnya kemampuan kita untuk mengatakan apa yang nyata. Mereka yang sebelumnya memegang “pandangan dunia” serta “penjelasan ilmiah” yang bekerja di masa lalu, mengalami kerusakan fatal yang sebagian besar terkait dengan fakta bahwa penjelasan ini merupakan produk dari tempat dan waktu tertentu dan hanya bisa melihat dunia dari sudut pandang unik. Jika kita menciptakan dunia melalui bahasa dan interaksi kita, maka pasti akan muncul batasan-batasan mengenai apa yang bisa dinyatakan sebagai “riil”.

Bahkan situasinya menjadi semakin rumit karena dunia simbolisme yang luas dan membingungkan semakin mendominasi pemikiran dan perasaan kita. Misalnya , dalam komersial televisi, seks digunakan untuk menjual mobil dan kodok digunakan untuk menjual bir. Komunikasi terjadi satu arah. Kita sebagai pemirsa pasif tidak memiliki kesempatan untuk berbicara ulang.

Para ahli administrasi publik yang menerapkan perspektif postmodern sangat kritis terhadap posisi yang sangat jelas dengan rasionalisme (khususnya teori pilihan

Page 71: Pelayanan Publik

rasional berbasis-pasar) dan keahlian teknokratis. “Dalam birokrasi, dunia tindakan sosial yang kuat ditampilkan oleh dunia tindakan yang terorganisir secara rasional. Kepatuhan terhadap rutinitas komando hierarkis mendahului hubungan empatik dengan yang lainnya... Dalam komunikasi monologis tidak ada tempat pulang-pergi, tidak ada peluang untuk terlibat dalam perjuangan verbal dalam menetapkan masalah dan memutuskan apa yang harus dilakukan. Sebaliknya para ahli administrasi publik postmodern memiliki komitmen sentral terhadap ide “wacana”, gagasan bahwa masalah-masalah publik cenderung muncul melalui wacana dibandingkan melalui pengukuran “obyektif” atau analisis rasional (McSwite 1997, 377). Ide tentang wacana otentik melihat administrator dan penduduk saling terlibat sepenuhnya, bukan hanya sebagai individu yang memiliki kepentingan-diri secara rasional yang dipertemukan untuk berbicara, tetapi sebagai partisipan dalam sebuah hubungan ketika mereka saling terlibat sebagai manusia. Proses negosiasi dan bangunan konsensus yang dihasilkan merupakan sebuah proses di mana seluruh orang saling terlibat ketika mereka melibatkan diri mereka, yang sepenuhnya merangkul seluruh aspek dari kepribadian manusia, bukan hanya rasional, tetapi eksperiensial, intuitif dan emosional. Tetapi perubahan tersebut sangat sulit dilakukan dan menuntut kepada kita untuk memahami (1) bagaimana bisa bertindak tanpa bergantung pada alasan dan (2) bagaimana sampai pada tuntutan-tuntutan dengan ide mengenai hal lain.

71

Page 72: Pelayanan Publik

Layanan Publik BaruPara ahli kewarganegaraan, komunitas dan masyarakat

sipil, humanisme organisasional dan administrasi publik baru serta postmodernisme membantu menetapkan sebuah iklim di mana akan masuk akal saat ini untuk berbicara mengenai Layanan Publik Baru. Meskipun kami mengakui perbedaan ini, bahkan terdapat perbedaan besar dalam berbagai sudut pandang ini, kami meyakini juga terdapat persamaan-persamaan yang membedakan kelompok-kelompok ide yang kita sebut sebagai Administrasi Publik Baru dari mereka yang terkait dengan Manajemen Publik Baru dan Administrasi Publik Lama. Selain itu, terdapat sejumlah pelajaran praktis yang digagas oleh Layanan Publik Baru pada diri mereka yang ada dalam administrasi publik. Pelajaran-pelajaran ini tidak eksklusif, tetapi sangat menguatkan. Kami akan menjelaskan secara singkat ide-ide tersebut di sini, lalu membahas satu per satu secara lebih detil dalam tujuh bab berikutnya. Di antara ide-ide tersebut, yang paling menarik adalah sebagai berikut:

1. Melayani Penduduk, bukan Konsumen. Kepentingan publik merupakan hasil dari sebuah dialog mengenai nilai-nilai bersama, bukan kumpulan kepentingan individu. Sehingga pegawai negeri tidak hanya merespons terhadap tuntutan “konsumen”, tetapi memfokuskan pada pengembangan hubungan saling percaya dan kolaborasi dengan dan antar penduduk (Bab 3).

2. Mencari Kepentingan Publik. Administrator harus memberikan kontribusi terhadap pembangunan gagasan

Page 73: Pelayanan Publik

kolektif bersama dari kepentingan publik. Tujuannya bukan untuk menemukan solusi tepat yang didorong oleh pilihan-pilihan individu. Tetapi merupakan penciptaan dari kepentingan dan tanggung jawab bersama (Bab 4).

3. Menilai penduduk lebih dari kewirausahaan: Kepentingan publik lebih baik dikembangkan oleh pegawai negeri dan penduduk yang berkomitmen untuk memberikan kontribusi bermakna kepada masyarakat dibandingkan oleh manajer kewirausahaan yang bertindak seolah-olah uang publik adalah miliknya (Bab 5).

4. Berpikir Strategis, Bertindak Demokratis: Kebijakan dan program yang memenuhi kebutuhan publik bisa dicapai dengan paling efektif melalui usaha-usaha kolektif dan proses kolaboratif (Bab 6).

5. Menyadari Bahwa Akuntabilitas itu Tidak Sederhana: Pegawai negeri harus perhatian lebih dari perhatiannya terhadap pasar; mereka juga harus memenuhi hukum perundang-undangan dan konstitusional, nilai komunitas, norma politik, standar profesional dan kepentingan penduduk (Bab 7).

6. Melayani, bukan Menyetir: Pegawai negeri harus menggunakan kepemimpinan berbasis-nilai bersama dalam membantu penduduk mengungkapkan dan memenuhi kepentingan bersamanya, dan tidak berusaha mengontrol atau menyetir masyarakat menuju arah baru (Bab 8).

73

Page 74: Pelayanan Publik

7. Menilai Orang, bukan Hanya Produktivitasnya: Organisasi publik dan jaringan yang menjadi tempat mereka berpartisipasi cenderung berhasil dalam jangka panjang jika dijalankan melalui proses kolaborasi dan kepemimpinan bersama yang didasarkan pada penghargaan terhadap semua orang (Bab 9).

Page 75: Pelayanan Publik

BAB 3MELAYANI WARGA NEGARA, BUKAN KONSUMEN

Layanilah warga negara, bukan konsumen. Kepentingan publik adalah hasil dari dialog tentang nilai-nilai bersama bukan agregasi kepentingan-diri individual. Oleh karena itu, pegawai pemerintah tidak semata-mata merespons permintaan “konsumen”, namun lebih memfokuskan pada pembangunan hubungan kepercayaan dan kolaborasi dengan dan di antara warga negara.

Layanan Publik Baru tentu saja dimulai dengan konsep layanan publik. Namun ide layanan publik sangat terkait dengan responsibilitas kewarganegaraan demokratis. Menurut apa yang dikatakan oleh Benjamin Barber, “Layanan untuk negara adalah sebuah tugas pria dan wanita merdeka yang kebebasannya seluruhnya bergantung pada dan hanya dapat hidup melalui asumsi-asumsi tanggung jawab politik. Dalam tradisi ini, layanan adalah sesuatu yang kami perlihatkan kepada diri sendiri atau bagian dari diri kita sendiri yang melekat pada komunitas sipil” (Barber 1998, 195). Layanan publik berasal dari kebaikan sipil atas tugas dan tanggung jawab.

Ide layanan publik adalah bervariasi sepanjang waktu. Dalam beberapa periode, komitmen warga negara terhadap layanan publik adalah jauh lebih kuat daripada dalam layanan lainnya. Selain itu, hubungan antara pegawai pemerintah dan publik dicirikan dalam beberapa hal berbeda sepanjang waktu. Dalam Bab ini, kami lebih dahulu akan mereview beberapa aspek penting

75

Page 76: Pelayanan Publik

kewarganegaraan demokratis, kemudian membahas pandangan-pandangan layanan publik berbeda yang berkaitan dengan kewarganegaraan. Kami akan menguji interpretasi khusus layanan publik dalam Administrasi Publik Lama, Manajemen Publik Baru, dan Layanan Publik Baru. Kami sejak awal telah memperlihatkan sebuah perbedaan antara definisi legal kewarganegaraan dan apa yang kami sebut sebagai definisi etis kewarganegaraan – kewarganegaraan terkait dengan sifat keanggotaan seseorang dalam sebuah komunitas politik, termasuk isu-isu seperti hak dan tanggung jawab warga negara. Kami akan memfokuskan pada interpretasi etis kewarganegaraan, bahkan dalam pembahasan ini, terdapat beberapa pertanyaan tentang (1) bagaimana “teori” kewarganegaraan bisa diformulasikan, (2) bagaimana masyarakat modern membentuk dan – kami dapat mengatakan – membatasi peran warga negara, dan (3) apakah terdapat dasar pemikiran dan harapan untuk membangun keterlibatan warga negara secara lebih aktif dalam proses penyelenggaraan pemerintahan. Dalam bagian ini, kami akan secara ringkas menguji masing-masing topik tersebut.

Teori-Teori KewarganegaraanBeberapa usaha untuk memahami peran dan tanggung

jawab yang tepat warga negara dapat ditemukan kembali pada filosofi Yunani kuno. Teoretikus politik yang bernama J.G.A. Pocock pada kenyataannya menunjukkan bahwa sejarah konsep kewarganegaraan dalam pemikiran politik Barat dapat dipandang sebagai “dialog yang belum selesai” antara yang ideal dan yang riil dan antara orang dan

Page 77: Pelayanan Publik

benda (Pocock, 1995, 42). Menurut Pocock, penjelasan klasik mengenai kewarganegaraan. Yang mengekspresikan “yang ideal”, pertama kali dikembangkan dalam Politics Aristotle. Menurut pandangan ini, warga negara turut serta dalam penelitian polis sebab individu bisa mencapai humanitas terpenuhnya (bagi Aristotle, ini hanya adalah “his/nya”). Karena manusia adalah orang yang aktif, sosial dan bermoral, yang berhubungan dengan tujuan hidup, mereka berusaha untuk mencapai tujuan tinggi dan harus terlibat dalam determinasi-diri. “Oleh karena itu, warga negara mengatur dan diatur; warga negara bergabung satu sama lain dalam membuat keputusan di mana masing-masing pengambil keputusan menghormati otoritas lainnya dan semuanya bergabung dalam mematuhi beberapa keputusan yang mereka buat” (Pocock, 1995, 31). Warga negara lebih berhubungan dengan “tujuan” yang dicapai dalam kehidupan sosial; mereka kurang memperhatikan “alat” industri atau produksi. Kewarganegaraan dipandang sebagai aktivitas instrumental (cara untuk mencapai tujuan). Agar aktif, warga negara harus menjadi tujuan itu sendiri. Ini dinilai karena kebebasan yang diperoleh dengan berpartisipasi dalam pekerjaan pemerintahan.

Terdapat pandangan alternatif, pandangan yang Pocock lacak pada ahli hukum Roma yang bernama Gaius, yang bergerak dari sebuah konsep warga negara sebagai keberadaan political ke warga negara sebagai keberadaan legal, yang eksis dalam dunia orang, tindakan, dan sesuatu/benda. Konsep “sesuatu” adalah konsep yang membuat sebuah perbedaan. Warga negara Aristotle tentu

77

Page 78: Pelayanan Publik

saja, berkaitan dengan sesuatu (seperti tanah atau perdagangan), namun mereka tidak bertindak melalui medium sesuatu. Yang sangat bertentangan, “warga negara Aristotle adalah orang-orang yang bertindak satu sama lain, sehingga kehidupan aktifnya adalah bersifat moral” (Pocock, 1995, 34).

Bagi Gaius, orang-orang pada dasarnya bertindak karena ada sesuatu, dan sebagian besar tindakannya terfokus pada pengambilan dan pertahanan kepemilikan sesuatu. Perselisihan yang dihasilkan atas sesuatu adalah apa yang menimbulkan kebutuhan terhadap regulasi. Individu sebagai warga negara lebih dahulu terkait dengan kepemilikan sesuatu dan kedua dengan tindakan-tindakan legal yang diambil dengan menghubungkan sesuatu itu – otorisasi, alat pembawa, litigasi, dan lain sebagainya. Menurut pandangan ini, dunia sesuatu menjadi suatu realitas, medium di mana manusia menghidupi kehidupannya, dan tentu saja mendefinisikan kehidupannya. Kewarganegaraan menjadi sebuah status legal, status yang terkait dengan “hak-hak” khusus, khususnya hak-hak properti, namun bukan menjadi status moral atau politik. “warga negara Yunani melangkah di luar dunia sesuatu ke dalam dunia interaksi personal, dunia perbuatan dan perkataan, pembicaraan dan peperangan. Warga negara Roma, yang bergantung pada hukum dan rajanya, tetap diperingatkan oleh formula Gaian bahwa ia tinggal dalam dunia sesuatu, dan juga dunia orang dan tindakan.” (Pocock, 1995, 40).

Jean-Jacques Rousseau, yang mengikuti tradisi

Page 79: Pelayanan Publik

Aristotelian, pada dasarnya mendefinisikan warga negara sebagai seseorang yang bertindak demi kebaikan komunitas. Kewarganegaraan adalah pola hidup yang meliputi sebuah komitmen terhadap komunitas dan terhadap anggota-anggotanya, sebuah level keterlibatan signifikan dalam urusan publik, dan keinginan berkala untuk menempatkan kepentingan diri seseorang di bawah kepentingan masyarakat luas, apa yang Alexis de Tocqueville sebut sebagai “kepentingan diri yang dipahami dengan benar” (Tocqueville, 1969, 526-27). Lainnya, seperti John Start Mill, juga memimpikan partisipasi warga negara sebagai sebuah komponen yang diperlukan pemerintah demokratis. Sebagaimana yang Mill nyatakan, “pemerintah yang baik bergantung pada kualitas manusia yang terdiri dari masyarakat di mana pemerintahan diselenggarakan” (Mill 1862, II, 2).

Tradisi legal, yang kerap kali bersifat skeptis terhadap partisipasi publik, dipertahankan dalam tulisan Konstitusi Amerika Serikat. Sesuai dengan tradisi legalisme dan yurisprudensi, ayah pendiri menciptakan pemerintah dengan perhatian teliti terhadap keseimbangan,atau seseorang bisa mengatakan dilusi kekuasaan , supaya bisa memproteksi publik dari tirani pemerintah. Pada waktu yang bersamaan, para pembuat Konstitusi merasa sangat curiga dengan peraturan yang dibuat oleh massa atau rakyat. Untuk alasan ini, hak pilih sangat dibatasi. Konsep “warga negara” hanya dimiliki oleh pemilik tanah pria, yang dipercaya bisa memiliki pengetahuan yang cukup untuk berpartisipasi

79

Page 80: Pelayanan Publik

melalui pemilihan dan layanan publik. James Madison sangat memperhatikan gagasan tindakan

warga negara. Beliau percaya bahwa di antara “ketidakberuntungan terbesar” Republik baru adalah “ketidakstabilan dan ketidakadilan yang spirit ternodai oleh administrasi publik kami” (Madison, 1787/1987, #10, 1). Bagi Madison, beberapa golongan adalah “beberapa warga negara, baik yang mayoritas maupun minoritas keseluruhan, yang bersatu dan digerakkan oleh beberapa impuls keinginan bersama, atau kepentingan komunitas yang berlawanan” (#10, 1). Thomas di sisi lain, Jefferson sangat mempertahankan keterlibatan warga negara dalam memimpin pemerintah, yang menulis Declaration of Independence bahwa “Pemerintah dilembagakan di antara manusia, memperoleh kekuasaan dari persetujuan yang diperintah” (Declaration of Indeendence 1776/1970). Dan perdebatan itu tetap saja berlangsung.

Selama sistem konstitusional Amerika Serikat tidak benar-benar mendukung keidealan demokratis, yang memiliki fokus legalistik yang didesain untuk memproteksi pemerintah dari gangguan berlebihan dari warga negara, terdapat komitmen informal yang kuat terhadap cita-cita demokratis. Sebagai nilai abstrak, konsep partisipasi warga negara diterima sebagai kebaikan yang sempurna. Arahan Lincoln di Gettysburg Address mempengaruhi sentimen dalam frase terkenal “pemerintah rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat”. Jadi, terdapat nilai yang kuat dan eksplisit yang ditempatkan pada peran warga negara dalam ideologi Amerika.

Page 81: Pelayanan Publik

Lebih lanjut, orang Amerika memiliki tradsi yang kuat untuk bertindak sesuai dengan cita-cita kewarganegaraan demokratis. Dengan meringkas sejarah keterlibatan sipil dalam abad ini, Terry Cooper menulis, “Dari tradisi-kovenantal komunal Puritan awal dengan bentuk-bentuk pemerintahan partisipatif; pertemuan kota Inggris; pengalaman pembentukan asosiasi, yang mempengaruhi perhatian Tocqueville; pemikiran anti-federalis; dan penetapan kooperatif daerah perbatasan, terdapat serangkaian nilai, adat istiadat, kepercayaan, prinsip,dan teori yang memberikan substansi terhadap kewarganegaraan etis” (1991, 10). Tradisi yang kuat ini atas kewarganegaraan etis ini bertentangan dengan pendekatan-pendekatan legal yang lebih formal, dan memberikan basis untuk kewarganegaraan yang aktif dan terlibat dalam negara ini.

Sejak awal kami telah memperlihatkan sebuah perbedaan antara sebuah perspektif tentang penyelenggaraan pemerintahan di mana warga negara melihat melebihi kepentingan-diri ke kepentingan publik yang lebih besar, dan penyelenggaraan pemerintahan yang pemerintahnya eksis untuk memastikan bahwa warga negara dapat membuat beberapa pilihan yang konsisten dengan kepetingan-dirinya dengan menjamin prosedur-prosedur khusus dan hak-hak individuil. Apa yang sekarang menjadi jelas yakni beberapa teori kewarganegaraan adalah berbeda dalam hal yang sama. Cita-cita demokratis dari orang-orang yang terlibat aktif dalam pekerjaan komunitas atau negara, yang memberikan keuntungan kepada masyarakat

81

Page 82: Pelayanan Publik

dan dirinya sendiri selama mereka menjadi manusia yang lebih sempurna melalui keterlibatannya dalam sistem politik, bertentangan dengan dunia yurisprudensi dan hak-hak legal, baik yang terbentuk untuk memproteksi kepentingan kami terhadap sesuatu maupun kepemilikan kami. Dalam Bab ini, kami berargumen bahwa pandangan yang berlaku dalam politik dan administrasi terkait dengan kepentingan-diri, namun kemunculan spirit demokratis mungkin memiliki keuntungan besar bagi masyarakat dan bagi anggota-anggotanya.

Peran Warga Negara Yang disayangkan, cita-cita kewarganegaraan baru-

baru ini dipenuhi dengan meningkatnya kekuasaan, profesionalisme, dan kompleksitas. Robert Pranger, misalnya, berargumen bahwa kebanyakan dari apa yang diistilahkan sebagai “politik” saat ini sebenarnya adalah “politik kekuasaan”, yang terkait dengan aktivitas-aktivitas pemimpin, pejabat, dan pemegang kekuasaan lain dalam masyarakat. Pranger membandingkan orientasi ini dengan sebuah alternatif, yakni politik kewarganegaraan atau “politik partisipasi”. Dalam politik partisipasi, warga negara biasa terlibat dalam dialog dan wacana (diskursi) mengenai arah masyarakat dan bertindak berdasarkan pada prinsip-prinsip oral seperti prinsip-prinsip yang berhubungan dengan istilah “kebaikan sipil”. Perbedaan yang sama dibuat antara pandangan tinggi dan rendah mengenai kewarganegaraan. Definisi tinggi kewarganegaraan, yang terkait dengan penulis-penulis

Page 83: Pelayanan Publik

seperti Aristotle, Rousseau, dan Mill, mengasumsikan distribusi luas kekuasaan dan otoritas dan memandang warga negara sebagai pembagian dalam pelaksanaan otoritas. Kewarganegaraan rendah, yang terkait dengan nama-nama seperti Thomas Hobbes atau elitis demokratis kontemporer, mengasumsikan distribusi hierarkis otoritas, dengan kekuasaan terbesar yang dipegang oleh orang-orang yang berada “di posisi tertinggi” dan kekuasan kecil yang dilaksanakan oleh orang lain (Cooper, 1991, 5). Dalam masing-masing kasus, nampaklah bahwa dalam masyarakat Amerika modern, “politik partisipasi” atau “kewarganegaraan tinggi” mendominasi – mungkin tidak untuk meniadakan “politik partisipasi” atau kewarganegaraan tinggi”, namun untuk kerugiannya.

Carole Pateman berargumen bahwa teori-teori kewarganegaraan “rendah” tersebut menjadi pemenuhan-diri. Beliau diganggu oleh adanya fakta bahwa kebanyakan teori kontemporer tidak “terpusat pada partisipasi ‘rakyat’, atau pengembangan kualitas relevan politikkan kualitas yang diperlukan dalam individu biasa”. Beliau menyatakan bahwa “dalam teori demokrasi kontemporer, ini adalah partisipasi elit minoritas yang krusial dan non-partisipasi manusia biasa yang apatis yang kurang memiliki rasa efiksasi politik yang dianggap sebagai pertahanan utama terhadap instabilitas” (Pateman, 1970, 104). Beliau menunjukkan bahwa setting institusional saat ini adalah bermusuhan dengan partisipasi warga negara, pengembangan “karakter demokratis” di antara warga negara, yang beliau tunjukkan adalah diperlukan untuk

83

Page 84: Pelayanan Publik

partisipasi, digagalkan dalam sistem terbaru. Untuk alasan apapun, sebagaimana yang telah

disebutkan sejak awal, partisipasi politik saat ini pada umumnya mengalami penurunan, setidaknya ketika diukur dalam terma keterlibatan formal, seperti pemilihan atau menghadiri pertemuan. Pada saat yang sama, kepercayaan pada pemerintah mengalami penurunan dan orang-orang nampaknya sangat merasa sinis tentang cara dan motif politisi. Kesenjangan antara pemimpin dan warga negara nampaknya lebih besar daripada sebelumnya. Menurut fakta, Barber menunjukkan sebuah ironi bahwa selama demokrasi memerlukan kepemimpinan yang kuat dan kewarganegaraan yang penuh semangat, kepemimpinan yang kuat itu, khususnya ketika ini terkait dengan pelaksanaan kekuasaan manifes, pada kenyataannya akan meruntuhkan kewarganegaraan partisipatif yang lebih aktif (1998).

Kewarganegaraan aktif juga diperlemah oleh profesionalisasi pemerintah dan meningkatkan dependensinya pada “para ahli”. Selama saran ahli digembor-gemborkan sebagai sesuatu yang esensial untuk memecahkan beberapa masalah yang dihadapi oleh pemerintah modern, beberapa opini warga negara biasa akan didevaluasi. Di bawah keadaan seperti itu, para pejabat dan administrator mungkin akan cenderung tidak memperdulikan pandangan yang mereka tolak selama kurang memiliki kejelasan dan kecanggihan. Tentu saja, mendengarkan pandangan-pandangan semacam itu menjadi “gangguan” yang akan menghambat pemecahan masalah-masalah teknis yang pemecahannya dilatih oleh para ahli. Lebih

Page 85: Pelayanan Publik

lanjut, warga negara biasa sendiri akan dipenuhi oleh kerumitan masalah-masalah dan merasakan bahwa mereka tidak memiliki apapun untuk dikontribusikan – meskipun “pemahaman”-nya mungkin akan sangat berguna.

Terakhir, kompleksitas masyarakat saat ini membuat keterlibatan sipil menjadi sulit. Tekanan-tekanan dalam membuat anak-anak hidup dan menjadi dewasa dan memenuhi semua tuntutan lain kehidupan modern berarti bahwa kebanyakan orang merasakan bahwa mereka tidak memiliki cukup energi untuk berpolitik. Keterlibatan dalam ruang lingkup publik tentu saja membutuhkan waktu, dan kebanyakan orang tidak merasakan bahwa mereka DP mencurahkan waktu yang diperlukannya untuk membuat demokrasi itu berjalan dengan lancar.

Pembangunan Keterlibatan Warga Negara Untuk alasan-alasan yang jelas, kami mengharapkan

level tinggi partisipasi publik dalam sebuah masyarakat demokratis. Semua alasan tersebut didasarkan pada gagasan demokrasi yang meliputi aturan orang-orang yang dijalankan sesuai dengan nilai-nilai demokratis fundamental. Alasan pertama adalah kepercayaan kami bahwa melalui partisipasi aktif, kami dapat mencapai outcome politik terbaik, outcome yang mencerminkan keputusan luas orang-orang secara menyeluruh atau mempertimbangkan keputusan kelompok khusus dan sesuai dengan norma-norma demokrasi. Kedua, melalui partisipasi, kami bisa memenuhi apa yang Thompson sebut sebagai tujuan demokratis, “untuk mencapai beberapa aturan dan keputusan yang memenuhi

85

Page 86: Pelayanan Publik

kepentingan jumlah warga negara terbesar” (Thompson, 190, 184). Melalui partisipasi publik luas dalam urusan sipil, warga negara dapat membantu memastikan bahwa kepentingan individu dan kolektif dapat didengar dan direspons oleh para pejabat pemerintah. Selain itu, mereka dapat mencegah para penguasa untuk melanggar kepentingan warga negara. Ketiga, partisipasi demokratis dapat mempertinggi legitimasi pemerintah. Orang-orang yang terlibat dalam membuat keputusan kemungkinan besar mendukung keputusan-keputusan tersebut dan lembaga-lembaga yang terlibat dalam membuat dan menjalankan keputusan tersebut.

Ide tersebut, bersama-sama dengan apa yang disebut Emmett S. Redford (1969) sebagai “moralitas demokratis”, sebuah ekspresi cita-cita demokratis yang bersandar pada tiga premis. Pertama, moralitas demokratis mengasumsikan bahwa individu adalah ukuran dasar nilai manusia. Sistem sosial dan politik kami hanya dapat dianggap berhasil sejauh sistem itu bisa mempromosikan realisasi potensi terpenuh individu. Kedua, moralitas demokratis mengasumsikan bahwa klaim-klaim individu dapat dipromosikan melalui keterlibatan semua orang dalam proses pengambilan keputusan dan partisipasi itu bukan hanya merupakan nilai instrumental, namun sangat penting untuk pengembangan kewarganegaraan demokratis. Cita-cita partisipasi universal mungkin mengambil berbagai bentuk; namun Redford menunjukkan beberapa sesuatu mendasar: “Di antara hal-hal tersebut adalah (1) akses ke informasi, berdasarkan pendidikan, pemerintah terbuka, komunikasi bebas, dan diskusi terbuka; (2) akses, baik langsung

Page 87: Pelayanan Publik

maupun tidak langsung, ke forum diskusi; (3) kemampuan untuk membuka isu ke diskusi publik; (4) kemampuan untuk menegaskan klaim-klaim seseorang tanpa takut terhadap pembalasan koersif; dan (5) pertimbangan semua klaim yang ditegaskan” (1969, 8).

Melalui proses-proses semacam itu, para penyokong demokrasi percaya bahwa pemerintah terbaik akan diperoleh dan dipertahankan. Namun apa yang sebenarnya dimaksud dengan sisi lain persamaan itu? Dari sudut pandang warga negara, apa yang diperoleh dari keterlibatan lanjutan dalam lembaga politik? Secara umum dapat dikatakan, teoretikus politik memiliki tiga jawaban, yakni etika, integratif, dan edukatif. Kami telah mengeksplorasi argumen etis – bahwa keterlibatan aktif dalam kehidupan politis adalah bagian dari realisasi potensi terpenuh seseorang. Bagi Barber, misalnya, tujuan partisipasi adalah untuk menciptakan komunitas warga negara yang aktif dan tertarik “yang disatukan bukan oleh kepentingan homogen namun oleh pendidikan sipil dan yang mampu membuat tujuan bersama dan tindakan bersama demi kebaikan sikap sipilnya dan lembaga-lembaga partisipatifnya” 91984, 117). Beliau melihat bahwa warga negara ditransformasikan dari yang hanya memiliki kepentingan pribadi dan suka mementingkan diri sendiri ke warga negara yang memiliki rasa hormat terhadap kebaikan publik. Selain itu, Pranger menulis bahwa “perilaku warga negara dalam kultur kekuasaan pada dasarnya adalah buruk di mana ini tidak begitu banyak berkaitan dengan tugas utama warga negara sebagai agen yang bertanggung jawab

87

Page 88: Pelayanan Publik

terhadap partisipasi bersama berdasarkan sudut pandang independen, yang sebenarnya mengembangkan tanggung jawab bersama yang bisa memperkaya kehidupan makmurnya” (1968, 53).

Partisipasi aktif dan pengorbanan kepentingan diri seseorang yang kerap kali terlibat dalam sebuah demokrasi akan membangun sebuah “karakter”. Melalui disiplin dan pengorbanan-diri, warga negara menjadi lebih bijak. Keterlibatan dalam pekerjaan pemerintahan akan mengajarkan tanggung jawab dan toleransi. Kewarganegaraan yang aktif mungkin tidak akan menimbulkan perbuatan spektakuler, namun, menurut Tocqueville, “setiap hari, ini akan mendorong beberapa perbuatan kecil; ini tidak dapat membuat seseorang menjadi bijak, namun disiplinnya akan membentuk banyak warga negara yang tertib, sabar, layak, berhati-hati, dan dapat mengontrol-dirinya sendiri. Jika ini tidak menimbulkan keinginan untuk berbuat bijak, ini akan mendorong kebiasaan yang tanpa disadari akan bersifat bijak” (1969, 526-27). Seseorang yang tetap aktif terlibat dalam kehidupan sipil, orang itu akan menjadi orang yang lebih baik.

Argumen integratif yang mendukung kewarganegaraan yang lebih aktif menunjukkan bahwa orang-orang memainkan banyak peran dalam masyarakat – employer, pegawai, guru, siswa, orang tua, konsumen, perwakilan serikat kerja, pengikut setia gereja – namun peran kewarganegaraan adalah salah satu dari sebagian peran yang membawa aspek-aspek kehidupan berbeda secara bersama-sama. (Religi mungkin adalah hal lainnya). Teoretikus politik yang

Page 89: Pelayanan Publik

bernama Sheldon Wolin menulis, “Kewarganegaraan memberikan apa peran-peran lain yang tidak dapat dimainkan, yakni pengalaman integratif yang membawa banyak aktivitas peran orang kontemporer dan menuntut bahwa peran terpisah disurvey dari sudut pandang yang lebih umum” (1960, 434). Peran saya sebagai orang tua kadang-kadang bertentangan dengan peran saya sebagai pegawai. Ketika ini adalah kasus yang membuat saya memerlukan sebuah cara luas untuk membawa berbagai peran secara bersama-sama dalam sebuah tinjauan umum. Peran kewarganegaraan dapat memberikan integrasi semacam itu.

Argumen ini adalah menarik selama kami mempertimbangkan pertanyaan masyarakat sipil, sebab ini adalah kelompok kecil, asosiasi, dan pola interaksi sehari-hari yang bisa memberikan “perekat sosial” yang mempertahankan masyarakat secara bersama-sama. Michael Walzer menunjukkan bahwa kewarganegaraan adalah satu dari banyak peran yang dimainkan oleh anggota, namun negara itu sendiri tidak menyukai semua asosiasi lainnya. “Ini mengerangkakan masyarakat sipil dan menempati ruang di dalamnya, ini sesuai dengan kondisi-kondisi terbatas dan aturan-aturan dasar semua aktivitas asosiasional (termasuk aktivitas politik). Ini akan mendorong beberapa anggota untuk berpikir tentang kebaikan bersama, melebihi konsepsinya sendiri atas kehidupan yang baik” (1995, 169). Melalui peran kewarganegaraan, kami bisa mengintegrasikan kepentingan dan pengalaman yang kami miliki dalam bidang lain yang kurang begitu komprehensif. Selain itu, dengan bertindak sebagai warga negara,

89

Page 90: Pelayanan Publik

pelaksanaan kebaikan sipilkan membawa kita ke dalam hubungan yang lebih dekat dengan orang lain. Ini akan tingkat perasaan bahwa orang-orang memiliki sebuah komunitas. Jadi, “aktivitas kewarganegaraan menjalankan sebuah fungsi integratif dalam dua hal. Pertama, ini akan memudahkan individu untuk mengintegrasikan berbagai macam peran yang ia mainkan. Kedua, ini akan mengintegrasikan individu ke dalam komunitas” (Dagger, 1997, 101).

Argumen edukatif yang mendukung partisipasi aktif dan dengan semangat-publik dapat dikembangkan dengan baik dalam diskusi klasik Carole Pateman mengenai pandangan-pandangan Rousseau terhadap persoalan ini. menurut Rousseau, selama individu terlibat dalam proses politik, ia akan mempelajari tentang pentingnya mempertimbangkan pandangan-pandangan orang lain supaya bisa memperoleh kerjasamanya. “Sebagai hasil dari partisipasi dalam pembuatan keputusan, individu akan terdidik untuk membedakan impuls-impuls dan keinginan-keinginannya, ia belajar menjadi publik dan juga sebagai warga negara privat” (Pateman, 1970, 25). Selama individu turut serta dalam partisipasi, mereka akan mulai mempelajari dan mengembangkan skill yang sesuai dengan proses partisipasi, sehingga proses itu dapat dilanjutkannya sendiri. Dengan demikian, semakin besar individu berpartisipasi, semakin mampu dirinya untuk melanjutkannya. Teori klasik atau ideal atas kewarganegaraan demokratis memiliki agenda ambisius – “pendidikan seluruh orang yang dapat membuat kapasitas intelektual, emosional dan moralnya mencapai potensi

Page 91: Pelayanan Publik

penuhnya dan mereka digabungkan, baik secara bebas dan aktif dalam komunitas sejati” (Davis, dikutip dalam Pateman, 1970, 21).

Argumen edukatif tentu saja, didasarkan pada kepercayaan dalam “perbaikan” warga negara biasa. Jika terdapat beberapa masalah dengan keterlibatan warga negara, jika partisipasinya tidak menimbulkan perbaikan politis dan juga meningkatnya legitimasi, maka responsnya tidak akan mengakhiri partisipasi, namun akan mendidik warga negara. Thomas Jefferson secara jelas menunjukkan bahwa: “Saya tidak mengetahui tempat kekuasaan terakhir yang aman dalam masyarakat kecuali pada orang-orang di dalamnya, dan jika kita berpikir bahwa mereka tidak merasa jelas untuk menjalankan kontrolnya dengan diskresi atau kebijakan yang bermanfaat, perbaikan bukanlah untuk mengambil kekuasaan itu dari mereka, namun untuk menginformasikan diskresi atau kebijakannya” (Jefferson 1903, 278). Jika terdapat beberapa masalah yang dihadapi dalam sebuah masyarakat partisipatif, jawabannya bukanlah untuk membatasi partisipasi (respons Madisonian) namun untuk mendidik dan memberikan informasi lanjutan.

Layanan Publik sebagai Perluasan KewarganegaraanYang jelas, ide kebaikan umum, setidaknya cita-cita,

dapat menggabungkan gagasan layanan ke publik. Untuk alasan inilah, diskusi mengenai teori demokratis harus menyertai peran dan tanggung jawab atau tugas dan kewajiban kewarganegaraan. Bagian dari diskusi relevansi tertentu terhadap argumen kami di sini terkait dengan ide

91

Page 92: Pelayanan Publik

layanan terhadap komunitas atau bangsa. Warga negara yang baik adalah warga negara yang terlibat dalam usaha komunitas, namun warga negara yang baik juga memiliki tugas dan tanggung jawab untuk melayani orang lain. Ide kewarganegaraan demokratif pada masa-masa awal mengimplikasikan tugas atau kewajiban khusus warga negara yang memberikan kontribusi terhadap perbaikan komunitas. Kebanyakan darinya akan mengakui Sumpah Athena (Athena Oath) dari jaman Yunani kuno:

Kami tidak pernah mencemarkan kota kami ini dengan melakukan tindakan yang tidak jujur atau bersikap pengecut.

Kami akan memperjuangkan cita-cita dan Sesuatu Yang Suci di Kota ini sendirian dan dengan banyak orang lain.

Kami akan memuji-menguji dan hukum Kota ini, dan akan melakukan sesuatu yang terbaik untuk menghormati dan mematuhi orang-orang yang berada di atas kita yang rentan untuk meruntuhkannya atau menjatuhkannya.

Kami akan berusaha mempercepat pemahaman publik mengenai tugas sipil.

Jadi dalam semua hal, kami akan mentransmisikan Kota ini, bukan hanya banyak, namun lebih besar dan indah daripada yang ditransmisikan kepada kita (Dikutip dalam Bennett 1993, 217).

Selain itu, Thomas Jefferson pernah menulis kepada seorang teman dengan mencaci-makinya karena ia tidak aktif dalam urusan nasional, dengan mengatakan, “Terdapat kewajiban terhadap layanan yang dibebankan kepada setiap orang demi negaranya, yang dibandingkan dengan karunia

Page 93: Pelayanan Publik

yang sifat dan keberuntungannya akan mengukurnya” (Jefferson, dikutip dalam Staats 1988, 605). Cita-cita demokratif jelas menimbulkan warga negara yang aktif dan mau berpartisipasi, setidaknya dengan memiliki komitmen untuk melayani orang lain dan melayani komunitas. Sebagaimana yang dinyatakan oleh teoretikus kontemporer, “Kebaikan sipil dan disposisi kultural yang tepat terhadap kewarganegaraan mengandung dua aspek: yang pertama, sebuah keinginan untuk melangkah maju dan mengemban tanggung jawab terhadap jabatan publik; dan kedua, keinginan untuk menempatkan kepentingan pribadi lebih rendah daripada kepentingan publik. Apa yang Aristotle sebut sebagai ‘watak yang benar’ seorang wah adalah disposisi untuk menempatkan kebaikan publik di atas kepentingan pribadi” (Ignatieff, 1995, 56).

Bagi beberapa orang, impuls untuk turut serta dalam proses-proses publik akan meluas melebihi pemilihan umum, menghadiri pertemuan komunitas atau hearing publik, menulis surat atau e-mail, atau terlibat dalam kelompok fokus dan memvisikan proyek. Ini menimbulkan komitmen full-time untuk turut serta dalam apa yang kami sebut sebagai “layanan publik”. Panggilan untuk memberikan layanan publik yang dialami oleh banyak orang didasarkan pada tanggung jawab semua warga negara untuk memberikan layanan, namun ini berjalan melebihi tanggung jawab ini, mungkin untuk karir rentang waktu singkat, dan mungkin jangka waktu panjang; namun ia juga adalah seseorang yang bekerja dalam agensi pemerintah – dalam layanan sosial, kesehatan publik, proteksi lingkungan, penyelenggaraan

93

Page 94: Pelayanan Publik

hukum, atau satu dari banyak agensi publik dan pemerintahan. Saat ini, pegawai pemerintah adalah seseorang yang bekerja di luar pemerintah, mungkin dalam organisasi non-profit atau dalam berperan sebagai advokasi publik. Ketika pegawai pemerintah ditemukan, mereka kemungkinan terdorong oleh keinginan untuk membuat perbedaan, memperbaiki kehidupan orang, melakukan sesuatu yang bermanfaat dalam kehidupannya, dan melakukan sesuatu “yang signifikan”.

Apa yang kami anggap sebagai layanan publik adalah sebuah perluasan kebaikan yang semua warga negara inginkan dalam sebuah demokrasi, suatu poin yang paling banyak dikemukakan oleh Terry Cooper dalam bukunya yang berjudul An Ethic of Citizenship for Public

Administrartion (1991). Cooper mengargumenkan peran kewarganegaraan sebagai basis untuk memahami peran pegawai pemerintah dan secara lebih eksplisit, peran administrator publik. Beliau mulai menunjukkan bahwa, dahulu, hubungan antara kewarganegaraan dan administrasi adalah sangat dekat. Misalnya, dua sekolah tertua administrasi publik, Syracuse dan University of Southern California, dimulai sebagai sekolah kewarganegaraan. Selama bidang administrasi publik jauh dari akarnya dalam kaitan ini, Cooper berargumen bahwa pegawai pemerintah dan administrator publik masih memperoleh pendirian dan legitimasinya dari perannya sebagai warga negara profesional. Menurut pandangan ini, administrator publik bukan semata-matamrp teknisi, sebuah pemecah masalah, atau pegawai pemerintah. Lebih daripada itu, pegawai

Page 95: Pelayanan Publik

pemerintah atau administrator publik dapat dipahami dengan sangat baik sebagai seseorang yang memperluas tanggung jawab kewarganegaraan terhadap mata pencahariannya. Menurut Michael Walzer, administrator publik “warga negara sebagai pengganti sisa dari kita; kebaikan bersama adalah keahliannya” (dikutip dalam Cooper 1991, 139).

Jika administrator memperoleh identitas etisnya dari basis dalam kewarganegaraan, maka mereka mengemban peran dan tanggung jawab khusus, termasuk pemahaman khusus mengenai isu-isu seperti responsifitas dan akuntabilitas, yang inheren dalam ide moralitas demokratis. Cooper menulis:

Identitas etis administrator publik seharusnya adalah identitas warga negara yang dipekerjakan sebagaiseseorangdari kita yang bekerja demi kita; jenis warga negara profesional yang dinobatkan untuk melaksanakan pekerjaan yang tidak mampu dilaksanakan oleh komunitas politik skala- besar kompleks kita. Administrator adalah warga negara “dengan tanggung jawab khusus” yang kepercayaannya diberikan oleh warga negara secara menyeluruh. (Cooper 1991, 139).

Dengan demikian, administrator secara alamiah akan dirahasiakan sebagai serangkaian standar etis yang sesuai dengan perilaku urusan publik. Tentu saja, sebuah literatur substansial tentang etika layanan publik telah berkembang. Tanpa harus memberikan kedetilan material, kami seharusnya menyebutkan beberapa komponen penting persoalan etika dalam layanan publik. Beberapa tahun

95

Page 96: Pelayanan Publik

silam, Paul Appleby mendesak administrator untuk mencapai “sikap khusus tanggung jawab publik” dan selain mempelajari skill manajemen, mereka diberikan “spirit demokratis” (1945, 4).

Stephen K. Bailey menginterpretasikan pernyataan Appleby untuk memaknai bahwa administrator memerlukan pemahaman mengenai ambiguitas moral kebijakan publik, sebuah pengakuan prioritas moral dan paradoks layanan publik,dan kualitas moral atas “(1) optimisme, (2) keberanian, (3) kejujuran yang diperkuat oleh kemurahan hati (1944, 24). Dalam tradisi dalam elaborasi, kebanyakan tulisan terbaru mengikuti pemahaman administrator mengenai tanggung jawab demokratis ini. misalnya, Patrick Dobel (1990) menunjukkan bahwa integritas administrator meliputi beberapa justifikasi berbeda untuk pelaksanaan diskresi.

Hal tersebut mencakup akuntabilitas rejim, tanggung jawab personal, dan kebijakan, justifikasi yang prakteknya harus direncanakan dan diintegrasikan:

Pertama, bertanggung jawablah kepada otoritas dan publik. Kedua, milikilah nilai-nilai publik dari suatu rejim. Ketiga, hormatilah dan bangunlah beberapa lembaga dan prosedur untuk mencapai beberapa tujuan. Keempat, pastikan partisipasi yang jujur dan mencukupi dari stakeholder yang relevan. Kelima, carilah kinerja kompeten dalam melaksanakan kebijakan dan program. Keenam, bekerjalah demi efisiensi dalam pelaksanaan pemerintahan. Ini akan membangun legitimasi rejim guna mencapai tujuan-tujuan dasar dan genealogi dana publik,

Page 97: Pelayanan Publik

dan menunjang persoalan-persoalan yang berkaitan dengan kesadaran dan kompetensi. Ketujuh, kaitkanlah kebijakan dan program dengan kepentingan diri publik dan partisipasi agar tujuan-tujuan dasar tidak di subversi. (Dobel 1990, 363).

Sebagaimana yang diargumenkan oleh Cooper, jika peran administratif berasal dari peran warga negara, maka bagian dari tanggung jawab administrator adalah untuk membantu warga negara untuk memenuhi tugas sipilnya dengan turut serta dan terlibat aktif dalam pekerjaan pemerintahan. Selama administrator yang terorientasi ke arah efisiensi dan produktivitas menemukan bahwa keterlibatan warga negara adalah lemah dan membuang-buang waktu, maka dorongan terhadap keterlibatan itu adalah sebuah elemen esensial peran pegawai pemerintah. Dennis Thompson menunjukkan bahwa tuntutan bahwa warga negara mengambil peran signifikan dalam proses politik berarti bahwa para pemimpin dan kita akan, termasuk pegawai pemerintah seperti administrator publik, seharusnya “tidak membagi nilai-nilai dan kepercayaan-kepercayaan warga negara biasa, bukan hanya mengharuskan mereka untuk tetap peka terhadap kebutuhan-kebutuhannya, namun para pimpinan juga harus berusaha untuk mengaktifkan warga negara yang belum aktif”(1970, 26).

Di sini kami berargumen bahwa pegawai pemerintah, khususnya administrator publik, memiliki kewajiban etis untuk memperluas batas-batas partisipasi publik dalam proses politik semampu mereka. Usaha semacam itu tidaklah menyenangkan bagi para administrator. Dalam banyak kasus,

97

Page 98: Pelayanan Publik

keterlambatan dan kebingungan “yang tak berdasar” akan muncul ke permukaan. Waktu yang diperlukan dalam melibatkan warga negara akan menjengkelkan administrator; namun ini akan menjadi suatu masalah hanya jika administrator melihat perannya sebagai peran teknis yang terfokus pada pemecahan masalah efisien. Jika mereka melihat perannya sebagai warga negara yang terlibat dalam usaha demokrasi maka usaha semacam itu pasti tidak akan berantakan. Selama kesulitan muncul dalam usaha itu, usaha tersebut tetap saja akan menjadi sumber yang menyenangkan dan menggembirakan.

Administrasi Publik Lama dan Layanan KlienAdministrasi publik tradisional atau Administrasi

Publik Lama terkait dengan pemberian layanan langsung atau regulasi individu dan perilaku korporasi. Orang-orang yang “menerima” pada umumnya disebut sebagai “klien”. Kata “klien” tentu saja berarti “pihak yang diberikan layanan profesional” (American Heritage

Dictionary 2000). Apa yang menarikyakni kata “klien” diperoleh dari bahasa Latin cliens, yang berarti “dependent” (tanggungan) atau “follower” (pengikut). Dalam banyak kasus, agensi-agensi publik yang beroperasi di bawah Administrasi Publik Lama berhadapan dengan para kliennya untuk menangani persoalannya. Para klien dipandang sebagai orang-orang yang membutuhkan bantuan dan orang-orang yang ada dalam pemerintah membuat usaha yang jujur untuk memberikan bantuan yang diperlukan melalui administrasi program-program publik. Yang tak

Page 99: Pelayanan Publik

terelakkan, orang-orang dalam agensi harus dipandang sebagai orang-orang yang dapat “dikontrol” oleh orang-orang yang bergantung pada agensi tersebut. Bagi banyak klien, pandangan agensi nampaknya sangat bersifat patronase dan bahkan dismisif. Stereotype birokrat yang acuh tak acuh dan tidak memedulikan tentunya akan dilebihi-lebihkan namun mengandung sejumlah kecil kebenaran.

Manajemen Publik Baru dan Kepuasan KonsumenManajemen Publik Baru menjawab hubungan antara

pemerintah dan warga negara, bukan hanya persoalan praktis, namun juga dari posisi teoritis berbedanya. Dalam awal Bab ini, kami telah menguji secara detil konsep ideal kewarganegaraan yang aktif, terlibat, dan memiliki spirit publik. Kami juga menunjukkan definisi legal alternatif kewarganegaraan – sebuah pandangan yang kami temukan tidak hanya didasarkan pada legalisme namun juga pada kepentingan-diri. sudut teoritis ini jelas mendasari cara Manajemen Publik Baru memandang hubungan antara orang-orang dalam pemerintahan dan orang-orang yang dilayani atau diatur oleh pemerintah yang bermanfaat untuk mengelaborasi gagasan teoritis warga negara sebagai konsumen. Pandangan ini diperoleh dari teori ekonomi atas demokrasi, sebuah teori yang menjelaskan perilaku politik ditinjau dari sudut pandang kompetisi ekonomi. Beberapa partai politik, misalnya, dipandang sebagai persaingan pemilihan sebagaimana halnya korporasi yang dipandang sebagai persaingan untuk mendapatkan profit. Sebaliknya,

99

Page 100: Pelayanan Publik

warga negara dipandang sebagai pemilihan yang diperebutkan oleh para partai. Warga negara/konsumen tersebut membuat beberapa keputusan berdasarkan usaha-usahanya untuk memaksimalkan utilitasnya sendiri, yang memberikan pilihannya kepada satu partai atau partai lain, atau beralih jauh dari politik dan pencarian utilitas yang besar dengan mengeluarkan waktu dan energinya untuk yang lainnya (Dagger 1997, 105).

Pandangan warga negara sebagai konsumen ini adalah konsisten dengan interpretasi kepentingan-diri kehidupan politik yang telah kami uji sebelumnya: pandangan bahwa pemerintah pada akhirnya mencerminkan kepentingan diri terakumulasi dari individu-individu yang tidak berhubungan dan individu yang dapat memaksimalkan-utilitas. Interpretasi ini juga konsisten dengan definisi legal kewarganegaraan, sebab warga negara/konsumen memperoleh haknya dan kebebasan yang diproteksi oleh sistem yurisprudensi negara. Terakhir, pandangan ini konsisten dengan interpretasi ekonomi atas kehidupan demokratis. Para pendukung pandangan ini “memahami kewarganegaraan dalam terma-ekonomi, sehingga warga negara bisa ditransformasikan ke dalam konsumen yang otonom, dengan mencari partai atau posisi pasarnya.mereka memerlukan negara, namun tidak memiliki hubungan moral terhadapnya, dan mereka mengontrol para pejabatnya hanya selama konsumen mengontrol produsen komoditi, dengan membeli atau tidak membeli apa yang mereka buat” (Walzer 1995, 160).

Manajemen Publik Baru membawa ide konsumerisme ini

Page 101: Pelayanan Publik

secara langsung untuk diperdebatkan berkaitan dengan hubungan yang tepat antara administrator publik dan warga negara dengan memahami penerima layanan pemerintah (atau diberikan oleh agensi-agensi kontrak) sebagai konsumen atau “pelanggan”. Seperti halnya elemen-elemen lain Manajemen Publik Baru, orientasi layanan konsumen jelas terkait dengan pengalaman bisnis, dalam kasus gerakan layanan konsumen pada dua puluh tahun terakhir. Dalam duku yang berjudul In Search of Excellence (Peters dan Waterman 1981) dan Service America (ALbretch dan Zemke, 1985), beberapa konsultan manajemen membuat argumen bahwa jika beberapa perusahaan benar memperhatikan konsumen, maka segala sesuatu yang lain, termasuk profit, akan diperhatikan. Konsumen dikonsepkan sebagai utilitas kepuasan yang dikalkulasi: “Kami dapat memikirkan konsumen sebagai orang-orang yang membawa jenis ‘kartu laporan’ di kepalanya yang merupakan basis untuk menggolong-golongkan sistem yang menyebabkan konsumen memutuskan tentang apakah mengambil bagian layanan atau pergi ke tempat lain” (Albretch dan Zemke, 1985, 32). Konsumen jelas merupakan sebuah konstruk yang berasal dari model klasik manusia ekonomi.

Osborne dan Gaebler berargumen bahwa pemerintah berbasis-konsumen adalah lebih tinggi daripada pemerintah birokratis, yang memiliki keuntungan berupa akuntabilitas yang lebih besar, inovasi yang lebih besar, kemungkinan dalam menghasilkan pilihan layanan berlebih, dan pemborosan yang kecil (1992, 180-85). Selain itu, Barzelay berpendapat bahwa pemikiran dalam layanan

101

Page 102: Pelayanan Publik

konsumen bisa membantu para manajer publik untuk mengartikulasikan persoalan-persoalannya tentang kinerja dan menghadirkan solusi-solusi inovatif terhadap beberapa masalah yang muncul (Barzelay, 1992, 6-7). Bagi agensi-agensi yang berinteraksi langsung dengan publik, penerima layanan adalah “konsumen”. bagi beberapa agensi staf (seperti penganggaran atau pembelian), terdapat konsumen internal yang mendukung pekerjaan mereka.

Bahasa layanan konsumen menekankan Manajemen Publik Baru. National Performance Review, misalnya, memiliki tujuan “memberikan layanan konsumen yang sama dengan layanan terbauk dalam bisnis” (Gore, 1993, 44). Dengan memperlihatkan bahwa losmen pemerintah kerap kali menghadapi lini panjang, sinyal sibuk, informasi yang tidak cukup, dan pegawai yang acuh tak acuh, laporan itu mendorong agensi-agensi federal “enterprenerial” untuk menilai kebutuhan konsumen, menetapkan standar-standar untuk pemberian layanan, dan mengambil langkah yang diperlukan untuk memenuhi standar-standar tersebut. Bahasa dan pendekatan yang sama diambil pada level negara dan lokal, selama pemerintah dan agensi berusaha “menemukan kembali” dirinya sendiri sebagai operasi berbasis-konsumen. di beberapa negara lain, usaha-usaha sebanding dijalankan, dan dalam banyak kasus, sebenarnya mendahului usaha-usaha Amerika Serikat dalam hal ini. Gerakan “Citizen’s Carter” inggrismteta standar layanan minimum, yang disokong oleh otoritas kementrian, dan dalam beberapa kasus, memberikan ganti-rugi ketika standar-standar tersebut belum terpenuhi. Usaha-usaha

Page 103: Pelayanan Publik

yang sama dijalankan di negara-negara lain, termasuk Australia, selandia Baru, Perancis, dan Belgia.

Selama memperbaiki kualitas layanan pemerintah adalah ide yang tidak dapat ditentang oleh seorangpun, penggunaan retorika dan pendekatan “layanan konsumen” memiliki kesulitan praktis dan teoritis. Dalam bagian awal, gagasan pilihan adalah esensial untuk konsep ekonomi konsumen. Dalam pemerintahan, pada umumnya terdapat sebagian kecil alternatif. Misalnya, hanya terdapat satu departemen pemadam kebakaran (dan departemen pemadam kebakaran tidak dapat memilih masuk ke lini pekerjaan lainnya). Selain itu, kebanyakan payanan yang diberikan oleh pemerintah adalah layanan yang mungkin tidak diinginkan oleh penerima khusus – menerima tiket balapan mobil, dipenjara, dan lain sebagainya. Bahkan pengidentifikasian konsumen pemerintah memunculkan masalah. Siapa yang dapat disebut sebagai konsumen departemen kesehatan? Siapa yang mengunjungi klinik? Siapa warga negara yang memperhatikan bahaya kesehatan tertentu? Dokter dan perawatkah? Rumah sakit daerahkah? publik umumkah? Semua yang disebutkan diataskah? Pendaftaran semua konsumen potensial menunjukkan dilema lainnya: Semua konsumen pemerintah nampaknya memiliki kepentingan berbeda. Misalnya, terdapat sebuah konflik antara kepentingan penerima khusus layanan pemerintah dan pembayar pajak yang harus membayar pajak. Tentu beberapa layanan pemerintah – kebijakan luar negeri atau proteksi lingkungan, misalnya – tidak berhubungan dengan konsumen individuil; sekali mereka diberikan, mereka akan

103

Page 104: Pelayanan Publik

diberikan semuanya, baik Anda menginginkannya ataupun tidak.

Penolakan terpenting terhadap orientasi konsumen adalah berhubungan dengan akuntabilitas. Dalam pemerintahan, warga negara bukan hanya konsumen; mereka adalah “pemilik” (Schachter 1997). Sebagaimana yang ditunjukkan oleh George Fredickson, “Para konsumen memilih antara produk-produk yang dipresentasikan dalam pasar; warga negara memutuskan apa yang penting untuk dilakukan pemerintah dengan mengorbankan publik” (1992, 13). Kepentingan konsumen dan pemilik tidak selalu sama – dalam bisnis atau pemerintah. Selama beberapa perusahaan memperoleh keuntungan jangka panjang dari pemenuhan kebutuhan konsumen, pemerintah tidak memperolehnya. Divisi sarana-prasarana negara membuat usaha penting untuk memperbaiki kepuasan konsumen – menerangi area-area menunggunya, memotong waktu menunggu, dan bahkan membuat gambaran secara lebih baik. Namun komisi negara mempertanyakan tentang apakah perubahan-perubahan tersebut dibuat dengan mengorbankan keselamatan di jalan raya. Selain itu, Tom Peters menceritakan sebuah kisah dalam memperoleh izin membangun. “Saya tidak menginginkan beberapa birokrat di City Hall memberikan saya waktu yang sulit. Saya menginginkan perlakuan yang benar, cepat, dan sama dengan perlakuan yang diberikan oleh perusahaan. Namun apa yang terjadi jika tetangga saya menginginkan izin untuk memperluas rumahnya? Siapa konsumen City Hall-nya kemudian?” (dikutip dalam Mintzberg 1996, 77). Pemerintah harus bertanggung jawab terhadap kepentingan

Page 105: Pelayanan Publik

publik yang lebih besar – bukan semata-mata kepentingan-diri konsumen atau pelanggan individuil. Dalam kasus apapun, isu akuntabilitas adalah sangat penting. “Lini bawah terhadap pemerintahan demokratis adalah akuntabilitas – bukan profit atau kepuasan warga negara – dan layanan konsumen tidak memberikan ukuran proksi yang bagus untuk akuntabilitas” (Kettls 200a, 43).

Layanan Publik Baru dan Layanan Bermutu bagi Warga Negara Layanan Publik Baru mengakui bahwa orang-orang yang

berinteraksi dengan pemerintah bukanlah konsumen namun warga negara. Henry Mintsberg, teoretikus manajemen Kanada, menunjukkan bahwa sebenarnya terdapat beberapa tipe hubungan yang kami miliki bersama dengan pemerintah. “Saya adalah konsumen pemerintah. Saya mengharapkan sesuatu yang lebih daripada perdagangan yang panjang dan sesuatu yang kurang daripada dorongan untuk mengonsumsi” (1996, 77). Seseorang yang turut serta dalam transaksi langsung dengan pemerintah – pembelian tiket lotere – tentu saja, dianggap sebagai konsumen. Namun demikian, seseorang yang menerima layanan profesional dari pemerintah – pendidikan, misalnya – mungkin lebih tepat disebut sebagai klien. Tentu saja, kami juga merupakan subyek pemerintah – diharuskan untuk membayar pajak, menghormati regulasi, dan menaati hukum. Yang terpenting, kami adalah warga negara dan sebagian besar layanan yang diberikan oleh pemerintah nampaknya masuk dalam kategori ini, “infrastruktur sosial (seperti museum), fisik (seperti jalan dan pelabuhan), ekonomi (seperti kebijakan

105

Page 106: Pelayanan Publik

moneter), mediatif (seperti pengadilan sipil), offshore (seperti kedutaan besar), dan infrastruktur penunjang pemerintah sendiri (seperti mesin pemilihan)” (77).

Tidak terdapat pertanyaan namun agensi pemerintah seharusnya berusaha untuk memberikan kualitas layanan terbaik, di dalam batas-batas hukum dan akuntabilitas – dan tentu kebanyakan agensi melakukannya. Satu dari usaha tercanggih untuk memperbaiki kualitas layanan dimulai dengan mengenalkan perbedaan-perbedaan antara konsumen dan warga negara (Schmiodt dengan Strickland 1998). Warga negara dideskripsikan sebagai pengemban hak dan kewajiban di dalam konteks komunitas luas. Beberapa konsumen adalah berbeda di mana mereka tidak membagi tujuan bersama namun lebih berusaha untuk mengoptimalkan keuntungan individunya. Perbedaan itu dibuat antara warga negara dan klien, baik yang bersifat eksternal maupun internal: “Contoh berikut ini disajikan untuk perhatian tentang bagaimana sistem itu berfungsi; penerima aktual terhadap suatu pembayaran jaminan sosial tenaga kerja adalah klien eksternal. Kantor jaminan sosial tenaga kerja regional yang bergantung pada agensi pusat untuk mendistribusikan pembayaran jaminan sosial tenaga kerja kepada kantornya adalah klien internal” (3). Ada baiknya mengakui bahwa pegawai pemerintah jarang berhadapan dengan klien atau warga negara tunggal. Pegawai lini-depan membantu seseorang untuk duduk di meja, namun ia secara simultan melayani warga negara dengan memastikan bahwa proses itu memenuhi kebutuhan-kebutuhan legal. Kompleksitas interaksi pemerintah dengan warga negara dan klien

Page 107: Pelayanan Publik

menandai semua usaha untuk memperbaiki kualitas layanan dalam pemerintah.

Meskipun kompleksitas seperti ini muncul, terdapat beragam usaha untuk mendefinisikan kualitas layanan sektor publik. Salah satu daftar komprehensif yang dikembangkan untuk pemerintah lokal mencakup hal-hal berikut ini:

1. Kenyamanan mengukur tingkatan di mana layanan pemerintah lebih mudah diakses dan tersedia bagi warga negara.

2. Keamanan mengukur tingkatan di mana layanan diberikan agar membuat warga negara merasa aman dan percaya diri ketika menggunakannya.

3. Reliabilitas menilai tingkatan di mana layanan-layanan pemerintah diberikan dengan benar dan tepat waktu.

4. Perhatian personal mengukur tingkatan di mana pegawai memberikan informasi kepada warga negara dan bekerja sama dengan mereka untuk membantu memenuhi kebutuhan-kebutuhannya.

5. Pendekatan pemecahan-masalah mengukur tingkatan di mana para pegawai memberikan informasi kepada warga negara dan bekerja sama dengan mereka untuk membantu memenuhi kebutuhan-kebutuhannya.

6. Kejujuran mengukur tingkatan di mana warga negara percaya bahwa layanan pemerintah diberikan secara merata kepada semuanya.

7. Tanggung jawab fiskal mengukur tingkatan di mana warga negara percaya bahwa pemerintah daerah

107

Page 108: Pelayanan Publik

memberikan layanan dengan memanfaatkan uang secara bertanggung jawab.

8. Pengaruh warga negara mengukur tingkatan di mana warga negara merasa bahwa mereka dapat mempengaruhi kualitas layanan yang diterima dari pemerintah daerah (Carlson dan Schwarz, 1995, 29).

Apa yang menarik perhatian tentang daftar ini tidak hanya warga negara yang menginginkan layanan publik untuk memenuhi standar-standar seperti ketepatan waktu dan reliabilitas, namun mereka seharusnya dan benar-benar mengharapkan bahwa layanan diberikan secara jujur dan dengan memperhatikan tanggung jawab fiskal juga; warga negara berkeinginan untuk memiliki peluang untuk mempengaruhi layanan yang mereka terima dan juga kualitas dari layanan tersebut.

Poin yang sama ini dapat dibuat secara lebih teoritis. Menurut Jenny Potter (1988), teori konsumerisme memperlihatkan bahwa terdapat ketidakseimbangan kekuasaan atrorangg yang memberikan layanan dan orang-orang yang menerima layanan. Orang-orang yang menerima layanan hanya dianggap sebagai hasil dari pilihan-pilihannya yang terakumulasi. Untuk mengalihkan kekuasaan yang lebih besar ke arah para konsumen, beberapa teoretikus telah mengidentifikasi lima faktor kunci: akses, pilihan, info, ganti-rugi, dan representasi. Selama faktor-faktor tersebut dikembangkan sejak awal dengan menghubungkan barang-barang dan layanan-layanan pribadi dalam pangsa pasar, mereka dapat disesuaikan dengan sektor publik, yang memberikan pedoman tentang bagaimana kepentingan

Page 109: Pelayanan Publik

warga negara, baik individu maupun kolektif bisa dipertinggi. Akses – memutuskan siapa yang akan memiliki sesuatu- bukanlah sebuah persoalan hak individu; ini adalah sebuah persoalan tanggung jawab politis. Namun demikian, warga negara seharusnya berkeinginan untuk terlibat dalam membuat keputusan itu. Pilihan juga bukan merupakan persoalan hak, namun warga negara seharusnya berkeinginan untuk terlibat dalam membentuk dan memperluas pilihan-pilihan yang tersedia bagi mereka. Mereka seharusnya juga berkeinginan untuk memiliki informasi penuh tentang tujuan dan sasaran, standar layanan, hak-haknya untuk diberikan layanan, alternatif yang diperdebatkan, mengapa keputusan dibuat, dan apa keputusan-keputusan itu sebenarnya. Warga negara seharusnya juga berkeinginan untuk memiliki beberapa cara untuk mengomunikasikan keluhan dan pengaduan, dan menerima ganti-rugi jika dianggap tepat. Representasi membuka pertanyaan-pertanyaan luas mengenai konsultasikan akhirnya partisipasi oleh warga negara dalam membuat keputusan.

Potter berkesimpulan bahwa teori konsumerisme dapat menunjukkan warga negara arah yang benar berkaitan dengan perbaikan kualitas layanan; namun demikian, pada akhirnya, sebagai konsep ekonomi, teori konsumerisme tidak dapat menjawab pertanyaan politik tentang bagaimana kekuasaan dapat dibagi secara lebih ekstensif antara pemberi perintah dan yang diperintah, pemimpin dan yang dipimpin” (1998, 156). Sebagaimana yang telah diperlihatkan, teori konsumerisme dimulai dengan

109

Page 110: Pelayanan Publik

ketidakseimbangan kekuasaan. Pertanyaan kunci kepada pemerintah adalah seberapa jauhkah pemerintah berkeinginan untuk memperbaiki ketidakseimbangan kekuasaan antara provider dan user atau warga negara.

Bertentangan dengan penekanan pada pendekatan “sekolah yang menarik dan wallpaper yang lebih baik” (Pollitt, 1988, 125) yang diambil oleh banyak agensi publik dalam usahanya untuk memperbaiki layanan konsumen, isu-isu riil yang harus dijawab sebagai Layanan Publik Baru yang muncul akan berhadapan dengan informasi dan kekuasaan. Orientasi konsumen menganggap provisi informasi sebagai pemberian papan petunjuk atau jadwal yang lebih baik. Pendekatan yang lebih komplit terhadap provisi informasi kemungkinan besar mencakup pemberian dorongan kepada agensi untuk memublikasikan data kinerja sehingga warga negara dapat membuat keputusan berinformasi tentang pilihan-pilihan yang tersedia bagi mereka. Ini juga berarti penyediaan informasi detil tentang standar-standar layanan dan kesuksesan agensi dalam memenuhi standar-standar tersebut. Terakhir,beberapa agensi seharusnya melibatkan dan berunding dengan usernya dalam tugas tersebut dan seharusnya memberikan perbaikan efektif jika sesuatunya berjalan tidak benar. Terakhir, orang-orang dalam pemerintahan harus mengakui bahwa layanan publik bukanlah sebuah konstruk ekonomi, namun sebagai konstruk politis. Ini berarti bahwa isu-isu perbaikan layanan perlu memperhatikan bukan hanya tuntutan “konsumen” namun juga distribusi kekuasaan dalam masyarakat. Terakhir, dalam

Page 111: Pelayanan Publik

Layanan Publik Baru, pemberian layanan bermutu adalah langkah pertama dalam memperluas keterlibatan publik dan memperluas kewarganegaraan demokratis.

KesimpulanMeskipun terdapat hal penting untuk memperbaiki

kualitas pemberian layanan sektor publik, Layanan Publik Baru menunjukkan bahwa orang-orang yang bertindak sebagai warga negara harus menunjukkan perhatiannya bagi komunitas yang lebih besar, komitmennya terhadap persoalan-persoalan yang berjalan melebihi kepentingan jangka pendek, dan keinginannya untuk mengemban tanggung jawab personal terhadap apa yang terjadi dalam lingkungan dan komunitasnya. Hal di atas adalah definisi elemen-elemen kewarganegaraan efektif dan bertanggung jawab. Sebaliknya, pemerintah harus bertanggung jawab terhadap kebutuhan dan kepentingan warga negara. Dalam kasus apapun, Layanan Publik Baru berusaha untuk mendorong lebih banyak orang untuk memenuhi tanggung jawab mereka sebagai warga negara, dan sebaliknya, mendorong mereka untuk peka terhadap pernyataan opininya.

111

Page 112: Pelayanan Publik

BAB 4MENCARI KEPENTINGAN PUBLIK

Mencari kepentingan publik. Administrator publik harus memberikan kontribusi terhadap pengembangan gagasan kolektif bersama dari kepentingan publik. Tujuannya bukan untuk menemukan solusi cepat yang didorong oleh pilihan-pilihan individu. Tetapi merupakan penciptaan kepentingan dan tanggung jawab bersama.

Salah satu prinsip inti dari Layanan Publik Baru adalah penguatan kembali senetralitas kepentingan publik dalam layanan pemerintah. Layanan Publik Baru menuntut agar proses penetapan sebuah “visi” bagi masyarakat tidak hanya diserahkan kepada pemimpin politik terpilih atau administrator publik yang ditunjuk. Tetapi aktivitas dalam menentukan visi atau arah, dalam menentukan nilai bersama, merupakan sesuatu yang membutuhkan dialog dan pertimbangan mendalam sebagai sentralnya (Bryson dan Crosby 1992; Luke 1998; Stone 1988). Bahkan yang lebih penting, kepentingan publik bukan merupakan sesuatu yang terjadi begitu saja sebagai hasil dari interaksi antar pilihan-pilihan penduduk individual, prosedur organisasional dan politik pemilihan. Tetapi mengungkapkan dan menyadari kepentingan publik merupakan salah satu alasan utama adanya pemerintahan.

Layanan Publik Baru melihat sebuah peran vital bagi pemerintah dalam proses menyatukan orang ke dalam setting yang memberikan kesempatan bagi munculnya wacana tak

Page 113: Pelayanan Publik

terbatas dan otentik terkait dengan arah yang harus diambil oleh masyarakat. Didasarkan pada pertimbangan mendalam ini, sebuah visi berbasis-luas bagi komunitas, negara atau bangsa bisa ditetapkan dan dapat memberikan serangkaian ide petunjuk (atau ideal) bagi masa depan. Tujuan yang dihasilkan oleh proses ini kurang penting jika dibandingkan dengan melibatkan administrator, politis dan penduduk dalam proses berpikir mengenai masa depan yang diharapkan bagi komunitas dan bangsanya.

Selain perannya sebagai pemberi bantuan (memfasilitasi), pemerintah juga memiliki kewajiban moral untuk memastikan bahwa solusi yang dikembangkan melalui proses tersebut sepenuhnya sesuai dengan norma-norma keadilan dan kejujuran, dan dicapai melalui sebuah proses yang sepenuhnya sesuai dengan norma dan etika demokrasi. Pemerintah akan berperan dalam memfasilitasi solusi bagi masalah-masalah publik, tetapi juga bertanggung jawab dalam memastikan bahwa solusi-solusi tersebut sesuai dengan kepentingan publik – baik dalam substansi maupun prosesnya (Ingraham dan Ban 1988; Ingraham dan Rosenbloom, 1989). Dengan kata lain, peran dari pemerintah salah satunya adalah memastikan bahwa kepentingan publik benar-benar dominan; bahwa baik solusi maupun proses pengembangan solusi bagi masalah-masalah publik sesuai dengan norma dan nilai demokratis yang berupa keadilan, kejujuran dan kesetaraan.

Dalam Layanan Publik Baru pemerintah memainkan sebuah peran penting dan aktif dalam menciptakan arena di mana penduduk melalui wacana dapat mengungkapkan nilai-

113

Page 114: Pelayanan Publik

nilai bersama dan mengembangkan sebuah rasa kolektif terhadap kepentingan publik. Administrator publik tidak hanya merespons suara-suara berbeda melalui pembentukan kompromisasi, tetapi akan saling melibatkan penduduk agar mereka saling memahami kepentingannya dan pada akhirnya menggunakan pemahaman kepentingan komunitas dan masyarakat secara lebih luas dalam jangka panjang. Selain itu melakukan hal ini sangat penting bagi realisasi nilai-nilai demokratis dalam proses pemerintahan. Isu ini sangat kompleks yang tidak hanya melibatkan sifat dari kepercayaan penduduk dan responsivitas pemerintah, tetapi juga tujuan dan tanggung jawab dari pemerintah itu sendiri. Yang menjadi sentralnya adalah pertanyaan mengenai apakah penduduk percaya atau tidak terhadap pemerintahannya dalam menjalankan kepentingan publik. Seperti yang dinyatakan oleh Kenneth Ruscio, “Resep dalam membentuk kepercayaan – dan pemahaman kita mengenai bagaimana kepercayaan ini dibutuhkan – membutuhkan posisi bagi sifat manusia, makna dari kepentingan publik dan alasan untuk terlibat dalam kehidupan politik” (1996, 471).

Bab ini akan mengeksplorasi konsep dari kepentingan publik. Kami akan memulainya dengan melihat berbagai cara dalam mendefinisikan dan menetapkan kepentingan publik, dengan memperhatikan ide-ide yang saling bertentangan mengenai apa tujuan dari konsep tersebut dalam pemerintahan. Kami kemudian akan mengkaji bagaimana gagasan mengenai kepentingan publik dipahami pada waktu bidang administrasi publik di temukan di Amerika Serikat,

Page 115: Pelayanan Publik

dan melacak beberapa alasan atas penurunannya sebagai sebuah komponen sentral dari teori dan praktek administrasi publik. Kami kemudian bertanya bagaimana konsepsi dari kepentingan publik terus berubah dari waktu ke waktu dan apa kontroversi dan isu-isu yang terkait dengan keberadaan dan maknanya. Kami juga akan menanyakan mengenai peran dari kepentingan publik dari perspektif administratif. Lalu kami mendiskusikan mengenai bagaimana kepentingan publik di mata Administrasi Publik Lama dan Manajemen Publik Baru, dan ditutup dengan beberapa pemikiran mengenai bagaimana pencarian terhadap kepentingan publik membentuk Layanan Publik Baru.

Dalam seratus tahun terakhir, konsep kepentingan publik mendapatkan cemoohan, penghargaan, lenyap dan bertahan – menyisakan sedikit konsensus mengenai apa yang dimaksud dengan kepentingan publik atau bahkan ini merupakan konsep yang berguna. Walter Lippman mendefinisikan kepentingan publik sebagai “apa yang dipilih oleh manusia jika mereka melihat secara jelas, berpikir rasional dan bertindak obyektif dan bijak” (1955,42). Tetapi Glendon Schubert menyatakan bahwa konsep kepentingan publik “secara operasional tidak masuk akal....ilmuwan politik mungkin menghabiskan waktunya untuk mendefinisikan konsep yang menawarkan janji yang lebih besar untuk menjadi alat yang berguna dalam studi ilmiah dari tanggung jawab politik” (1962,176). Frank Sorauf menyatakan bahwa istilah tersebut “terlalu terhambat dengan makna ganda bagi penggunaan yang bernilai” (Sorauf, 1957, 624). Di sisi lain Howard Smith

115

Page 116: Pelayanan Publik

mengatakan bahwa meskipun kepentingan publik merupakan sebuah mitos, ini merupakan mitos yang berguna (1960). Dan yang lainnya menyatakan bahwa apapun ambiguitasnya “tidak pernah ada masyarakat yang tidak diarahkan oleh ide ini” (Bell dan Kristol 1965,5). Meskipun muncul perselisihan ini, konsep kepentingan publik masih tetap penting dalam wacana publik dan literatur akademis.

Di satu sisi berusaha menentukan “kepentingan publik” seperti sebuah usaha dalam mendefinisikan “cinta”. Juga sangat jelas bahwa cinta berarti hal-hal yang berbeda pada orang-orang berbeda dalam kondisi yang berbeda pula. Definisi ini bisa berubah dari waktu ke waktu baik dalam bentuk maupun substansinya. Definisi ini juga mengubah kita – bagaimana kita berpikir dan berperilaku. Meskipun melihat dampaknya sering kali bisa dilakukan, akan sulit mengamatinya secara langsung. Definisi ini secara simultan bisa dilihat sebagai kondisi dan proses berkelanjutan. Kualitas dan signifikansinya terikat pada proses untuk mencarinya dan dalam realisasi yang ingin dicapai. Sehingga definisi ini menentang kuantifikasi dan pengukuran yang bermakna, sehingga sulit digunakan dalam jenis-jenis analisis tertentu. Beberapa orang menyimpulkan dari kompleksitas ini, fluiditas dalam makna dan kesulitan pengukuran bahwa cinta bukan merupakan konsep yang sangat berguna. Yang lainnya mungkin mempertanyakan apakah cinta itu ada. Dan yang lainnya lagi mengakui bahwa cinta mungkin ada, tetapi menambahkan bahwa cinta tidak dapat dan tidak harus menjadi subyek dari studi empiris dan ilmu sosial karena

Page 117: Pelayanan Publik

cinta tidak dapat dioperasionalisasikan secara tepat. Tetapi sebagian dari kita setuju bahwa penjelasan mengenai pengalaman manusia – apakah itu personal, ilmiah sosial, filosofis – sangat kurang tanpa menggunakan konsep cinta.

Kepentingan publik, seperti cinta, berarti hal-hal berbeda bagi orang-orang yang berbeda, berubah dari waktu ke waktu, memotivasi perilaku, membentuk pemikiran kita, menentang pengukuran dan melibatkan substansi serta proses. Karena memahami pengalaman manusia secara virtual membutuhkan pengakuan akan peran cinta, akan sulit atau bahkan mustahil memahami kedalaman dan rentang dari layanan publik tanpa mengakui peran dari kepentingan publik. Kesulitan dan ambiguitas yang dihadapi dalam usaha menentukan dan menempatkan batas-batas konseptual dalam kepentingan publik melebih beban kekayaan yang dibawa bagi pemahaman kita mengenai kewarganegaraan, pemerintahan dan layanan publik. Kami mengakui bahwa kepentingan publik itu ambigu dan mengalir pada waktu yang sama dengan ketika kita mendukung sentralitasnya bagi pemerintahan demokratis.

Kami harus menekankan bahwa mengeksplorasi ide tentang kepentingan publik tidak hanya merupakan sebuah tuntutan akademis yang menarik. Pola pikir kita mengenai pemerintahan dan kepentingan publik akan menentukan tindakan dan perilaku kita. Tergantung pada pandangan mengenai kepentingan publik mana yang kita gunakan, tindakan kita akan diarahkan dalam cara-cara berbeda. Di sini kita mendekati tugas dalam mendefinisikan konsep

117

Page 118: Pelayanan Publik

kepentingan publik dengan menguji empat pendekatan terhadap ide. Meskipun kategori-kategori ini tidak sepenuhnya eksklusif, mereka menggunakan titik awal yang masuk akal bagi diskusi kita. Dengan sebagian menggunakan skema Clarke Cochran (1974) untuk pola pikir berbeda terkait dengan kepentingan publik, kami akan mengklasifikasi model-model kepentingan publik sebagai model (1) normatif, (2) abolitionist, (3) berorientasi pada proses politik atau (4) didasarkan pada nilai-nilai bersama.

Model-Model NormatifModel-model normatif digunakan oleh para ilmuwan sosial bukan untuk mendeskripsikan apa itu (what is), tetapi apa seharusnya. Dalam model normatif mengenai kepentingan publik, “kepentingan publik menjadi sebuah standar etis dalam mengevaluasi kebijakan-kebijakan publik tertentu dan tujuan yang harus dikejar oleh tatanan politik” (Cochran 1974, 330). Dalam pandangan ini kepentingan publik merupakan sebuah standar moral dan etis dalam pembuatan keputusan. Misalnya, C.W.Cassinelli (1962) menulis bahwa kepentingan publik merupakan sebuah standar kebaikan dalam menilai tindakan-tindakan politis. Dengan kata lain, tindakan-tindakan yang dapat dilakukan dalam kepentingan publik membutuhkan persetujuan karena tindakan-tindakan tersebut memenuhi standar kebaikan ini. Karena Cassinelli mendefinisikan kepentingan publik sebagai sebuah standar etis, dia mengabaikan klaim yang menyatakan bahwa kepentingan publik tidak berguna sebagai

Page 119: Pelayanan Publik

sebuah “alat analisis” atau sebuah “alat bantu bagi studi ilmiah”. Tetapi dia menyatakan bahwa kepentingan publik sebagai sebuah konsep etis memiliki fungsi berbeda dari model analitik. “Para ilmuwan sosial tidak dapat mengabaikan isu fundamental dari kebaikan politis akhir: ini merupakan pelajaran utama yang harus dipelajari dari pengujian konsep kepentingan publik” (1962, 47).

Bagi Cassinelli dan pendukung model normatif lainnya, kepentingan publik merupakan “standar etis tertinggi yang dapat diterapkan dalam urusan politik” (1962, 46). Dalam pandangan ini, ketika sesuatu dianggap baik oleh publik, atau memiliki level kebaikan yang lebih tinggi dibandingkan ketika sesuatu itu baik pada hanya sebagian dari publik. Sistem politik harus berusaha mencari distribusi keuntungan secara adil dalam komunitas. Hal ini tidak berarti bahwa seluruh orang diberi keuntungan identik atau sama, tetapi menunjukkan bahwa setiap orang harus diperlakukan secara adil.

Seorang ahli administrasi publik awal, E. Pendleton Herring, misalnya, menulis tentang kepentingan publik dari perspektif normatif. Pada bukunya tahun 1936, Public Administration and the Public Interest, Herring menyatakan bahwa hukum itu kabur dan tugas dari para birokrat adalah merekonsiliasikan tekanan-tekanan kelompok yang saling bertentangan untuk menginterpretasikan undang-undang secara etis. Administrator dapat memenuhi kewajiban etis dan legalnya dalam menyelesaikan konflik-konflik ini menurut ide kepentingan publik. Dia menulis “Di bawah demokrasi,

119

Page 120: Pelayanan Publik

kepentingan publik didasarkan tidak pada kesejahteraan satu kelas, tetapi pada gabungan dari beberapa kepentingan kelompok. Kami meyakini adanya kemungkinan untuk mencapai keseimbangan kekuatan, sosial dan ekonomi” (1936, vii). Secara lebih jelas ia menyatakan bahwa “kepentingan publik adalah standar yang membimbing administrator dalam menjalankan hukum” (23).

Emmette Redford juga mendefinisikan kepentingan publik dalam model normatif. “Kepentingan publik dapat didefinisikan sebagai respons terbaik terhadap sebuah situasi dalam term seluruh kepentingan dan konsep nilai yang umumnya diterima dalam masyarakat kita” (1954, 1108). Kode etika Philip Monypenny bagi administrasi publik melibatkan sebuah sektor yang disebut sebagai “Kepentingan Publik” yang menyatakan bahwa administrator “harus mengikuti kepentingan publik ketika ia memahamiya, bukan kepentingan personal atau tujuan pribadi” (1953, 441). Dalam pandangan mengenai kepentingan publik sebagai model normatif ini, standar etis tetap menjadi penting untuk ada dalam bidang administrasi publik. Faktanya the American Society for Public Administration (ASPA), dalam kode etikanya untuk para angotanya, membuat pernyataan sebagai prinsip pertama, yaitu “Pelaksanaan kewenangan untuk mendorong kepentingan publik” (2001).

Pandangan Abolitionist mengenai Kepentingan Publik

Berbeda dengan para ahli normatif seperti dibahas di atas, mereka yang mendukung pandangan abolitionist mengenai kepentingan publik menyatakan bahwa konsep

Page 121: Pelayanan Publik

kepentingan publik itu tidak bermakna dan tidak penting. Para ahli ini cenderung mengambil salah satu dari dua garis penalaran, apakah itu (1) kepentingan publik tidak dapat diukur atau diamati secara langsung, sehingga tidak valid, atau (2) konsep kepentingan publik atau keinginan kolektif tidak diperlukan karena pilihan-pilihan individu merupakan cara terbaik untuk memahami proses kebijakan dan menetapkan kebijakan. Misalnya, meskipun Glendon Schubert mengakui bahwa orang berbicara mengenai kepentingan publik, sehingga membuatnya menjadi bagian dari studi perilaku politik, kepentingan publik tetap saja merupakan ide yang secara ilmiah tidak relevan.

Dalam tulisan Schubert disebutkan bahwa agar bisa berguna, maka sebuah teori kepentingan publik harus mampu mendeskripsikan hubungan antara kepentingan publik dengan perilaku dalam sebuah cara tertentu yang dapat divalidasikan secara empiris. Dia menyimpulkan bahwa teori-teori yang terkait dengan kepentingan publik tidak dapat melakukan hal tersebut, “sangat sulit memahami justifikasi pengajaran siswa mengenai ilmu politik yang menyatakan bahwa kepentingan publik merupakan sebuah norma relevan dari tanggung jawab resmi (Schubert, 1960, 220).

Teori Proses Politik

Ahli teori proses dideskripsikan sebagai orang yang “menetapkan konsep dengan merujuk pada proses politik dalam pembuatan kebijakannya” (1974,331). Dalam pandangna ini, kepentingan publik direalisasikan melalui sebuah

121

Page 122: Pelayanan Publik

proses tertentu yang membuat kepentingan bisa disatukan, ditimbangkan atau direkonsiliasikan. Misalnya, Smith menyatakan dengan jelas bahwa “Kepentingan Publik dapat diidentifikasi dengan paling tepat bukan sebagai politik nyata, tetapi sebagai jenis tertentu dari sebuah proses di mana akan diputuskan mengenai apa yang harus dilakukan” (1960,159). Dengan kata lain, para pendukung dari pandangan ini menyatakan bahwa apa yang disebut dengan kepentingan publik bukan merupakan hal penting, yang penting adalah bagaimana kita sampai pada kepentingan publik tersebut. Karena para ahli proses cenderung memfokuskan pada proses, beberapa dari mereka dapat dianggap menganalisis kepentingan publik sebagai perluasan logis dari sebuah perdebatan lama dan terus-menerus antar para ilmuwan politik mengenai cara terbaik dalam memahami proses politik. Sebuah poin kunci dalam perdebatan ini adalah apakah partai-partai politik atau kelompok-kelompok kepentingan dianggap sebagai mekanisme yang dipilih bagi representasi kepentingan dalam sebuah demokrasi.

Seperti yang dibuktikan oleh rujukan awal James Madison dalam the Federalist Papers Number 10, fraksi telah lama dianggap sebagai hal yang alamiah bagi sistem pemerintahan di Amerika (Hamilton, Madison dan Jay 1982/1787). Meskipun Madison dan yang lainnya memperdebatkan “kemalangan” dan kerugian dari politik dengan didasarkan pada aktivitas kelompok kepentingan, pandangan-pandangan tersebut dewasa ini dicerminkan dalam A Preface to Democratic Theory oleh Robert Dahl (1959)

Page 123: Pelayanan Publik

dan dalam Who Govern? (1961). Pandangan pluralis mengenai demokrasi didasarkan pada ide bahwa kelompok kepentingan, dan bukan penduduk secara individu atau orang secara keseluruhan, merupakan kendaraan terbaik dalam mewakili dan mempertahankan kepentingan dari penduduk dalam proses kebijakan. Para pluralis menyatakan bahwa partisipasi langsung itu tidak dapat dilakukan dan tidak praktis, dan melalui pembentukan kelompok, individi-individu yang berorientasi pada kesenangan bisa memiliki suara yang lebih besar dalam pembuatan keputusan dibandingkan yang dapat mereka lakukan sebagai individu. Dahl menyatakan bahwa pluralisme kelompok kepentingan bukan hanya merupakan cara terbaik dalam mendeskripsikan politik Amerika seperti yang dijalankan dewasa ini, tetapi juga merupakan cara terbaik dalam memaksimalkan prinsip-prinsip demokratis.

Dominasi pluralisme sebagai model bagi demokrasi Amerika sangat mempengaruhi mereka yang mendefinisikan kepentingan publik dari sudut pandang proses. Tetapi para pluralis bukannya kosong dari kritikus yang menyatakan bahwa demokrasi dan kepentingan publik bisa dilayani secara lebih baik melalui proses-proses lain. E.E.Schattschneider, misalnya, merupakan seorang pendukung vokal dari politik partai mayoritas sebagai cara terbaik untuk melayani kepentingan publik. Dia menyatakan bahwa kepentingan pribadi, khusus dan lokal merupakan musuh dari kepentingan umum, tetapi partai politik dapat menyintesis dan mengangka kepentingan-kepentingan khusus. Dengan menolak ide bahwa kompilasi

123

Page 124: Pelayanan Publik

kepentingan-kepentingan khusus akan setara dengan kepentingan publik, ia menyatakan bahwa “kepentingan publik bukan hanya merupakan jumlah dari kepentingan khusus, dan bukan merupakan jumlah dari kepentingan-kepentingan khusus yang terorganisir” (1952,23).

Dalam berbagai kasus, apakah mendukung politik kelompok kepentingan atau politik partai, para ahli ini mengabaikan peran penduduk. Asumsinya adalah penduduk bisa diwakili secara tepat oleh kelompok-kelompok kepentingan atau partai, dan jika kita menetapkan lembaga-lembaga mediasi ini sebagai suara utama dari orang dalam proses politik, maka itu akan menjadi kepentingan publik.

Nilai-nilai bersama

Cochran menyebut model dari kepentingan publik yang didasarkan pada nilai-nilai bersama sebagai “konsensualis”. Konsesualist melihat kepentingan publik sebagai sebuah istilah yang kabur tetapi bermakna yang merujuk pada perdebatan kebijakan untuk mencapai sebuah konsensus nilai publik. Kami telah memperluas kategori ini untuk melibatkan gagasan mengenai kepentingan publik yang didasarkan pada nilai-nilai bersama yang membimbing proses dalam mengungkapkan kepentingan ini dan substansi dari kepentingan publik itu sendiri. Model nilai bersama ini dibuktikan dalam tulisan awal Paul Appleby yang menyatakan:

“Kepentingan publik tidak pernah hanya merupakan jumlah dari seluruh kepentingan pribadi maupun jumlah

Page 125: Pelayanan Publik

yang tersisa setelah menghentikan beberapa plus dan minus-nya...kepentinan publik tidak sepenuhnya terpisah dari kepentingan pribadi, dan kepentingan publik ini diperoleh dari penduduk yang memiliki beberapa kepentingan pribadi; tetapi kepentingan publik merupakan sesuatu yang berbeda, yang muncul dari dalam kepentingan pribadi ini, yang terpisah dari kepentingan pribadi tersebut, dan memfokuskan beberapa aspirasi yang paling banyak muncul dan ketaatan paling dalam yang bisa diberikan oleh manusia” (Appleby 1950, 34-35).

Ide kepentingan publik yang merupakan kepentingan bersama dan luas dari masyarakat sesuai dengan cara yang digunakan oleh Deborah Stone (1988) dalam mendefinisikan kepentingan publik pada apa yang ia sebut sebagai “polis” atau komunitas politik. Kepentingan publik dalam pandangan Stone didasarkan pada pencarian nilai-nilai kolektif secara aktif dan sadar. Dia mendefinisikan polis dengan membedakannya dengan pasar atau kumpulan model kepentingan individu (dideskripsikan di atas pada bahasan mengenai pandangan abolitionist). Menurut Stone, pandangan pasar didasarkan pada ide yang menyatakan bahwa kebijakan publik atau kepentingan publik merupakan hasil bersih dari seluruh individu yang mengejar kepentingan dirinya. Sehingga kepentingan publik dalam model pasar merupakan produk dari pilihan-pilihan individu.

Di sisi lain dalam polis atau model kolektif, membangun masyarakat dalam kepentingan kolektif merupakan

125

Page 126: Pelayanan Publik

tujuan, bukan produk. Stone menyatakan bahwa:“Kebijakan publik itu berbicara tentang komunitas yang mencoba mencapai sesuatu sebagai komunitas. Yang terjadi memang seperti ini meskipun hampir selalu ada konflik di dalam sebuah komunitas mengenai apa tujuan yang harus dicapai dan siapa anggotanya, dan meskipun setiap tujuan komunal pada akhirnya harus dicapai melalui perilaku individu. Tidak seperti pasar yang dimulai dengan individu dan tidak memiliki tujuan, pilihan atau maksud selain yang dimiliki oleh individu, sebuah model polis harus memiliki keinginan kolektif dan usaha kolektif (Stone 1997,18, diberi tekanan)”.Stone tidak memulai dengan asumsi pasar bahwa orang

hanya tertarik pada dirinya sendiri, tetapi dia menyatakan bahwa nilai-nilai seperti berbagi, peduli dan mempertahankan hubungan cukup kuat dalam memotivasi perilaku maupun kompetisi, pemisahan dan promosi kepentingan diri sendiri. Meskipun sejarah, loyalitas dan kepemimpinan merupakan faktor penting dalam polis, pasar tidak memberi kita cara untuk berbicara mengenai pengaruh-pengaruh tersebut. Selain itu, dalam model pasar, masalah-masalah “umum” dianggap sebagai perkecualian. Masalah-masalah “umum” adalah situasi ketika kepentingan diri sendiri dan kepentingan publik saling bertentangan. Contoh yang sering digunakan adalah padang rumput yang dimiliki oleh seluruh pemilik ternak. Kepentingan diri sendiri menunjukkan bahwa tiap orang akan berusaha memaksimalkan keuntungan individunya dengan

Page 127: Pelayanan Publik

menjaga ternaknya sebanyak mungkin di lahan umum ini. Tetapi karena tiap orang yang berbagi lahan yang sama akan membuat keputusan yang sama ini, hal-hal umum akan dihilangkan dan tidak digunakan oleh semua orang. Sehingga dengan mengejar kepentingan individunya, kepentingan bersama dari pemilik peternakan akan hilang.

Seperti dinyatakan di atas, masalah-masalah umum dianggap sebagai kejadian tidak umum di pasar. Sebaliknya di polis, masalah-masalah umum dianggap sebagai hal yang biasa. Masalah-masalah ini tidak hanya sering terjadi; masalah kebijakan yang paling signifikan adalah masalah-masalah umum. Dalam polis tersebut dinyatakan bahwa kebijakan akan jarang mempengaruhi satu atau dua orang saja. Sehingga tujuan dari dialog politik adalah untuk mendorong orang mengekspresikan kepentingan bersamanya dan memberikan keunggulan bagi konsekuensi pilihan kebijakan yang lebih luas. Orang didorong untuk melakukan hal tersebut dengan didasarkan pada pengaruh, kerja sama, loyalitas dan hubungan yang menyatukan orang dari waktu ke waktu.

Selain itu, pencarian kepentingan publik dalam polis masih berjalan. Seperti yang dinyatakan pencarian ini lebih merupakan sebuah perjalanan, bukan tujuan. Masalah-masalah dalam polis “tidak diselesaikan” melalui cara tertentu ketika kebutuhan ekonomi dipenuhi dalam model pasar”. Hal ini tidak sama dengan menempatkan sebuah pesanan bagi keadilan, dan ketika pesanannya telah dipenuhi, maka pekerjaan telah selesai dilakukan” (Stone, 1997, 34). Selain itu tidak pernah ada kesepakatan utuh

127

Page 128: Pelayanan Publik

mengenai apa yang disebut dengan kepentingan publik itu. Pencarian terhadap makna merupakan raison d’etre dari kehidupan publik, sebagian besar pilihan yang didasarkan pada kepentingan sendiri merupakan landasan bagi pasar. Seperti yang dinyatakan oleh Stone, “Konsep kepentingan publik adalah kepada polis sedangkan konsep kepentingan pribadi adalah kepada pasar. Konsep tersebut merupakan abstrak yang kandungan khususnya tidak perlu kita ketahui dalam rangka menggunakannya untuk menjelaskan dan memprediksikan perilaku manusia. Kami meyakini bahwa orang berperilaku seolah-olah mereka mencoba merealisasikan kepentingan publik atau memaksimalkan kepentingan dirinya” (1997,21).

Dalam polis, perkembangan nilai-nilai bersama dan perasaan kolektif dari kepentingan publik merupakan tujuan utama. Stone menyatakan bahwa kepentingan publik dapat dipahami sebagai hal-hal yang diinginkan oleh “sisi penduduk berjiwa-publik” seperti sekolah yang baik dan udara bersih meskipun menghambat hak mereka untuk membakar sampah atau memiliki pajak rendah. Kepentingan publik juga dapat diekspresikan sebagai “tujuan di mana terdapat sebuah konsensus dan/atau hal-hal yang baik untuk komunitas sebagai sebuah komunitas” seperti perlindungan tatanan, pemeliharaan proses pemerintahan dan pertahanan terhadap orang luar. Tidak pernah ada kesepakatan utuh mengenai kepentingan publik. Faktanya Stone mengatakan “biarkan itu menjadi sebuah kotak kosong, tetapi itu tidak masalah; dalam polis, orang mengembangkan banyak energi untuk mencoba mengisi kotak

Page 129: Pelayanan Publik

tersebut” (1997,21).Sehingga kepentingan publik yang didasarkan pada

nilai-nilai bersama menunjukkan sebuah proses yang bergerak keluar dari pertemuan kepentingan-kepentingan khusus untuk melibatkan nilai-nilai demokratis dan konstitusional bersama. Yang lebih penting, para ahli kepentingan bersama menyatakan bahwa orang tidak hanya memiliki kemampuan lebih dari kepentingan dirinya, tetapi juga pemerintah harus bekerja untuk mengembangkan dan meningkatkan kemampuan tersebut. Kapasitas tersebut sebagian tergantung pada kepercayaan. Kepercayaan dan konfidensi penduduk dibangun menurut keyakinan bahwa pemerintah bertindak dalam merespons kepentingan publik dan nilai-nilai bersama dari komunitas. Kepercayaan dan bertindak menurut kepentingan publik menjadi penguat yang menguntungkan – ketika pemerintah bertindak dalam kepentingan publik, kepercayaan penduduk meningkat. Sebaliknya ketika kepercayaan penduduk meningkat, penduduk mungkin mengalami peningkatan kepasiasnya untuk melihat dan bertindak berdasarkan kepentingan bersama.

Dengan adanya evolusi dalam pemikiran ini, apa pandangan-pandangan tentang kepentingan publik dan apa asumsi-asumsi bagi peran pelayan publik yang terkait dengan Administrasi Publik Lama, Manajemen Publik Baru dan Layanan Publik Baru? Seperti yang telah dijelaskan dari diskusi sebelumnya, ide dan argumen-argumen mengenai kepentingan publik tidak terbuka dalam sebuah model yang rapi dan linear. Tetapi kita dapat mengidentifikasi tema-tema dominan tertentu yang terkait dengan Administrasi

129

Page 130: Pelayanan Publik

Publik Lama, Manajemen Publik Baru dan Layanan Publik Baru.

Administrasi Publik Lama dan Kepentingan PublikDalam Administrasi Publik Lama, layanan publik

dianggap sebagai sebuah proses teknis tanpa nilai dan kewenangan dari administrator adalah kewenangan keahliannya. Seperti yang dinyatakan oleh Schubert “kepentingan publik ditemukan dalam rasionalisasi proses keputusan sehingga secara otomatis akan menghasilkan pelaksanaan Keinginan Publik (Public Will). Diskresi manusia diminimalkan atau dieliminir dengan menentukannya di luar situasi keputusan; tanggung jawab berada pada perilaku otonomi (1957,347). Perspektif ini terhubung secara ketat dengan penekanan pada netralitas dan efisiensi yang kita lihat di awal terkait dengan gerakan reformasi progresif dan gerakan manajemen ilmiah. Di satu sisi, Administrasi Publik Lama tidak memiliki teori tanggung jawab administratif untuk mempertahankan dan melindungi kepentingan publik. Kepentingan publik harus ditentukan oleh pejabat-pejabat terpilih. Tetapi dalam Administrasi Publik Lama kita bisa lihat dengan jelas bahwa memfokuskan pada netralitas, efisiensi dan pemisahan ketat antara politik dengan administrasi merupakan cara terbaik bagi pegawai negeri atau pelayan publik untuk melayani kepentingan publik. Sehingga terdapat subordinasi aktivitas administratif dan diskresi menuju kontrol hierarkis, perundang-undangan dan pertemuan antara kepentingan-kepentingan khusus.

Page 131: Pelayanan Publik

Ketika penulis seperti Woodrow Wilson dan Frank Goodnow berusaha untuk pertama kalinya mendefinisikan bidang administrasi publik pada perubahan abad, konsep kepentingan publik menjadi sangat penting, tetapi dianggap hanya masuk di dalam wilayah politik. Wilson menulis “Kebijakan tidak akan memiliki noda ofissialisme mengenai hal tersebut. Kebijakan bukan merupakan penciptaan dari pegawai permanen. Tetapi pejabat negara yang tanggung jawabnya kepada opini publik akan bersifat langsung dan tidak dapat dihindari” (dicuplik dalam Shafritz dan Hyde 1997, 22). Goodnow mendefinisikan politik sebagai “ekspresi dari keinginan negara” dengan administrasi yang melayani peran bawahan dalam menjalankan keinginan tersebut (dicuplik dalam Shafritz dan Hyde 1997, 28).

Peran administrasi publik dalam hubungan dengan kepentingan publik masih tetap pasif sampai pertengahan tahun 1930-an: sebuah pandangan yang diartikulasikan dalam karya E. Pendleton Herring. Dalam era New Deal ini, Herring menemukan bahwa administrator sering kali harus menginterpretasikan dan mendefinisikan perundang-undangan yang kabur. Dia menulis “Di pundak birokrat diletakkan beban berat dalam merekonsiliasikan perbedaan-perbedaan kelompok dan membuat kompromisasi ekonomi dan sosial menjadi efektif dan dapat dijalankan melalui proses legislatif” (1936,7). Herring tidak menolak gagasan tentang keahlian netral; dia hanya menyatakan bahwa beberapa level diskresi dibutuhkan untuk memenuhi tuntutan dari kepentingan-kepentingan khusus. Dalam

131

Page 132: Pelayanan Publik

menjalankan diskresi ini, Herring berargumen bahwa “kepentingan publik merupakan standar yang membimbing administrator dalam menjalankan hukum” (23). Sekali lagi, asumsinya adalah bahwa kepentingan publik dapat ditemukan dalam pertemuan kepentingan-kepentingan khusus. Sehingga dalam model ini, administrator memfasilitasi “rekonsiliasi kepentingan-kepentingan kelompok” dengan menggunakan kepentingan publik sebagai sebuah “simbol verbal yang dirancang untuk mengenalkan kesatuan, tatanan, dan objektivitas” (23). Meskipun akuntabilitas terhadap kepentingan publik ditekankan, model Herring menunjukkan bahwa tidak diperlukan keterlibatan penduduk secara langsung.

Selain itu, peran administrator jelas merupakan peran pasif. Misalnya, Herring menyatakan “Tugas pemerintah dalam sebuah demokrasi adalah menyesuaikan kekuatan-kekuatan ekonomi dan sosial. Kepentingan publik merupakan standar yang menentukan tingkat pemberian kekuasaan pemerintah kepada satu sisi atau yang lainnya. Tanpa standar untuk penilaian antar pesaing ini, skala akan dinilai menurut kemenangan bagi yang paling kuat” (1936,23). Dampaknya Herring mendeskripsikan administrator publik sebagai “pelepas iklatan” terakhir ketika konflik antar kepentingan mendorong pada hasil-hasil yang tidak jelas atau tidak memasukkan kepentingan-kepentingan penting tertentu.

Pendeknya dalam Administrasi Publik Lama, kepentingan publik didefinisikan oleh pembuat kebijakan yang terpilih secara populer. Dinyatakan bahwa

Page 133: Pelayanan Publik

administrator dapat melayani kepentingan publik dengan mengimplementasikan hukum dalam cara yang paling efisien, ilmiah, dan netral dari politik. Meskipun tuntutannya adalah agar administrator memperhatikan kepentingan publik dalam menyelesaikan konflik antar kepentingan-kepentingan khusus dalam implementasi kebijakan legislatif, idenya adalah agar diskresi dapat dibatasi. Administrator publik akan memainkan peran pasif dalam merekonsiliasikan kepentingan-kepentingan khusus dan hanya ketika dibutuhkan untuk melakukan tindakan administratif.

Manajemen Publik Baru dan Kepentingan PublikDengan munculnya Manajemen Publik Baru tahun 1980

dan 1990-an, ide kepentingan publik yang didasarkan pada nilai-nilai bersama kehilangan kekinian dan relevansinya. Seperti dinyatakan sebelumnya, Manajemen Publik Baru diberi predikat sebagai gagasan yang menyatakan bahwa pemerintah harus menciptakan arena pilihan seperti pasar di mana individu sebagai konsumen dapat membuat keputusan didasarkan pada kepentingan mereka sendiri. Dalam peran konsumen, orang tidak perlu memfokuskan pada keinginan dari para konsumennya. Ketika kita mulai berpikir mengenai penduduk sebagai individu yang sama dengan konsumen, dan pemerintah sama dengan pasar, kebutuhan untuk berbicara atau bertindak pada “kepentingan publik” akan lenyap.

Dalam hal ini, pertanyaan-pertanyaan mengenai

133

Page 134: Pelayanan Publik

tanggung jawab administratif yang terkait dengan kepentingan publik dianggap tidak relevan dengan Manajemen Publik Baru. Para ahli pilihan publik, misalnya, akan menolak bahwa “kepentingan publik” tersebut sebagai sebuah konsep atau ideal akan sangat bermakna, dan akan mempertanyakan apakah kepentingan publik itu benar-benar ada. Penalaran mereka adalah bahwa pilihan-pilihan individu dalam sebuah arena seperti pasar akan lebih superior dibandingkan tindakan kolektif yang didasarkan pada nilai-nilai bersama. Karena kebergantungannya pada metafora pasar, dan asumsi bahwa kepentingan sendiri merupakan dasar utama dan yang paling tepat dalam pembuatan keputusan, kepentingan publik bersama akan menjadi tidak relevan dan kemustahilan definisional. Perspektif mereka mengenai kepentingan publik akan secara jelas didefinisikan oleh abolitionist.

Seperti yang dijelaskan oleh Stone (1997), ketika masyarakat dilihat sebagai pasar, maka diyakini bahwa orang memiliki pilihan yang relatif pasti dan independen bagi barang, layanan dan kebijakan (9). Sehingga model pasar tidak memberi jalan kepada kita untuk berbicara mengenai bagaimana orang meraih visinya dari kepentingan publik atau sifat dari komunitas – pertanyaan-pertanyaan politik sangat signifikan yang mendasari pilihan-pilihan kebijakan. Orang dianggap sebagai hakim terbaik dari kepentingan mereka sendiri. Kepentingan publik jika memang ada merupakan produk dari penduduk (sebagai konsumen) yang membuat pilihan-pilihan individu dalam sebuah area seperti pasar.

Page 135: Pelayanan Publik

Baru-baru ini, sebuah pandangan bersama mengenai kepentingan publik dilingkupi oleh kemunculan Manajemen Publik Baru. Menurut Trudi Miller (1989), negasi konsep kepentingan publik bersama dengan kebergantungan terhadap model pilihan pasar dan model politik pluralis memiliki dampak yang jauh dan merusak bagi pemerintahan demokratis dan bidang administrasi publik. Faktanya dia menyatakan bahwa pada tingkatan keterikatan pegawai negeri dengan pandangan politik pluralis, mereka memberikan kontribusi dalam melemahkan dan merusak demokrasi liberal. Dalam demokrasi liberal, lembaga pemerintah merespons terhadap “pandangan populer bersama dari kepentingan publik [dan pada waktu yang bersamaan menghormati kebebasan yang berada di luar jangkauan pemerintah] dan “menghambat usaha-usaha oleh fraksi sempit untuk memaksakan dan mengenakan pajak publik dengan alasan-alasan yang tidak sesuai dengan kepentingan publik”.

Miller kemudian menyatakan bahwa kemunculan model politik pluralis memutar demokrasi liberal “pada kepalanya” dengan membuat “pandangan bersama dari kepentingan publik menjadi tidak bermakna dan tidak penting” dan menegasikan nilai-nilai yang membentuk fondasi demorasi” (1989,511). Dalam model pluralis, demokrasi merespons terhadap pengaruh dari kepentingan khusus, tetapi tidak merespons atau menyadari nilai-nilai bersama dari kepentingan publik. Dengan kata lain, menurutnya pemerintah dalam model pluralis “tidak merespons terhadap apa yang diharapkan oleh penduduk secara kolektif”. Pemerintah menggantikan keinginan dari

135

Page 136: Pelayanan Publik

koalisi pemenang kepentingan-kepentingan khusus.

Layanan Publik Baru dan Kepentingan PublikSebaliknya Layanan Publik Baru menolak pandangan

kepentingan publik yang terdapat secara implisit baik dalam Administrasi Publik Lama maupun Manajemen Publik Baru. Faktanya ini merupakan penolakan terhadap perspektif yang merupakan sebuah pemberi definisi dari Layanan Publik Baru. Kami berpendapat bahwa pegawai negeri memiliki peran sentral dan penting dalam membantu penduduk mengartikulasikan kepentingan publik, dan sebaliknya nilai-nilai bersama dan kepentingan penduduk kolektif akan membimbing perilaku dan pembuatan keputusan dari administrator publik. Hal ini tidak berarti bahwa hasil-hasil dari proses politik itu salah atau bahwa administrator publik harus mengganti keputusannya terhadap kebijakan-kebijakan yang tidak mereka setujui. Tetapi administrator publik harus bekerja keras untuk memastikan bahwa penduduk diberi suara dalam setiap tahap pemerintahan – bukan hanya politik elektoral. Pegawai negeri memiliki tanggung jawab unik dan penting untuk melibatkan penduduk dan menciptakan forum atau dialog publik.

Yang menarik, pandangan sekilas mengenai sudut pandang ini dapat ditemukan dalam beberapa suara awal dalam bidang administrasi publik. Meskipun ide-ide ini dilingkupi oleh pandangan-pandangan dari pluralis kelompok kepentingan, penting untuk diperhatikan bahwa beberapa rujukan awal bagi kepentingan publik didasarkan

Page 137: Pelayanan Publik

pada nilai bersama dan kepentingan umum dari orang-orang. Misalnya, meskipun Paul Appleby nanti melihat kepentingan publik sebagai pengaruh dari kepentingan khusus, pada tahun 1950 dia menyatakan bahwa tugas administrator adalah “memfokuskan – menyelesaikan dan mengintegrasikan – kebutuhan yang dirasakan populer; memberikan bentuk khusus terhadap respons pemerintah yang dirancang untuk memenuhi kebutuhan tersebut; menyuntikkan pandangan dan perhatian bagi faktor-faktor yang tidak terlihat oleh penduduk; mencoba mengorganisir respons-respon pemerintah untuk mengamankan konsensus mayoritas (155).

Pada tahun 195, Emmette Redford menulis bahwa keputusan-keputusan administratif didasarkan pada “kepentingan dan ide-ide umum” dan bahwa administrator yang berusaha “mencari kepentingan umum merupakan pelindung esensial bagi kepentingan publik (1107). Dia membuat sebuah kasus bagi perhatian administrator terhadap mereka yang tidak diwakili secara tepat, tetapi berbicara mengenai pentingnya masa depan dan kepentingan bersama: “bahaya nyatanya adalah bahwa kepentingan dari mereka yang tidak terorganisir dan lemah, kepentingan bersama dari manusia secara umum dan kepentingan manusia di masa yang akan datang tidak akan memiliki nilai yang tepat dalam dewan pemerintahan” (1109).

Meskipun muncul suara-suara awal yang menuntut perhatian administratif terhadap kepentingan publik, kritik terhadap pandangan tersebut juga sangat banyak. Schubert, misalnya, menolak ide kepentingan publik sebagai sebuah kekuatan pembimbing dalam pembuatan

137

Page 138: Pelayanan Publik

keputusan administratif, dengan menolak ide “birokrat bijak yang merupakan penjaga dari negara demokratis” (1957,349). Dia mempertanyakan dan bahkan mengabaikan ketepatan dan kemasukaklan dari apa yang ia sebut sebagai premis dari pandangan-pandangan tersebut, bahwa “kepentingan publik akan direalisasikan jika birokrat...mematuhi desakan...para moralis..untuk menjadi cerdas, bijak dan baik!” (354).

Layanan Publik Baru melihat kritik ini sebagai sesuatu yang sederhana dan salah alamat. Administrator tidak hanya bisa dituntut untuk pintar atau bijaksana dan bertindak sebagai penjaga dalam menilai apa yang bisa dianggap sebagai moral. Layanan Publik Baru justru mendukung peran aktif dan positif dari administrator dalam membantu keterlibatan penduduk dalam menentukan dan melakukan sesuatu sesuai dengan kepentingan publik. Layanan Publik Baru juga menolak ide yang menyatakan bahwa kepentingan publik dapat dipahami sebagai kumpulan dari kepentingan pribadi. Dalam Layanan Publik Baru, tujuannya adalah untuk bergerak melebihi kepentingan pribadi untuk mengungkapkan dan bertindak atas nama kepentingan bersama – kepentingan publik.

Layanan Publik Baru menyatakan bahwa pemerintah harus mendorong penduduk untuk menunjukkan perhatiannya terhadap komunitas besar, komitmennya terhadap permasalahan yang melebihi kepentingan jangka pendek, dan keinginan mereka untuk memberikan tanggung jawab personal atas apa yang terjadi di rumah dan komunitasnya. Dalam pandangan ini, seperti dinyatakan dalam Bab 2, penduduk

Page 139: Pelayanan Publik

menggunakan perspektif yang lebih luas dan dalam jangka panjang yang didasarkan pada pengetahuan mereka terhadap urusan publik dan rasa memiliki, perhatian terhadap keutuhan dan ikatan moral dengan komunitas (Sandel, 1996).

Hal ini tidak berarti bahwa menentukan tindakan pemerintah yang paling sesuai dengan pelayanan kepentingan publik merupakan sebuah proposisi sederhana atau langsung. Seperti yang ditegaskan oleh Edward Weeks “solusi terhadap masalah publik signifikan akan cenderung tidak menyenangkan beberapa segmen masyarakat” (2000,362). Mencari kepentingan publik bukan berarti menyatakan bahwa pembuatan keputusan pemerintah akan mengembangkan kebijakan yang akan disetujui oleh seluruh penduduk. Tetapi kepentingan publik dianggap sebagai sebuah proses dialog komunitas dan keterlibatan. Proses ini memberi informasi mengenai pembuatan keputusan dan membangun kewarganegaraan. “Dengan menuntut agar kita berinteraksi – yaitu terlibat dalam wacana demokratis – dengan orang lain, partisipasi akan memperluas perspektif kita dan membantu kita melihat diluar kepentingan sempit kita” (deLeon dan Denhardt, 2000,94). Kemampuan untuk melebihi kepentingan sempit dan menyadari kepentingan komunitas bersama inilah yang menjadi inti kewarganegaraan dalam sebuah demokrasi. Pemerintah dapat memainkan peran sentral dalam memfasilitasi proses tersebut dan memunculkan wacana untuk memfokuskan pada kepentingan komunitas jangka panjang.

Yang kita lihat di sini adalah penekanan baru pada

139

Page 140: Pelayanan Publik

kepentingan publik dan nilai bersama sebagai dasar bagi bidang administrasi publik. Faktanya beberapa ahli administrasi kontemporer menggunakan konsep kepentingan publik sebagai alat untuk menjelaskan dan melegitimasi peran dari administrasi dalam demokrasi. John Rohr (1986) misalnya, menyatakan bahwa legitimasi konstitusional dari administrasi publik berada pada beban untuk meningkatkan nilai-nilai konstitusional dalam kepentingan publik. Dalam model yang sama, Charles Goodsell menyatakan bahwa “birokrasi publik adalah lembaga terdepan dan pendukung kepentingan publik dalam kehidupan warga Amerika (1994,107)”.

Gary Wamsley dan rekan penulisnya (1990) mengonseptualisasi ulang birokrasi sebagai “Administrasi Publik” dan menyatakan bahwa Administrasi Publik merupakan sebuah lembaga pemerintah, bukan bentuk organisasional. Idenya bukan untuk mengatakan bahwa administrator publik adalah penjaga demokrasi dengan mengganti visi superior kepentingan publiknya dengan keinginan cabang legislatif atau yudisial, misalnya. Dengan kata lain, administrator publik tidak dapat bertindak sebagai “Platonist administratif” seperti yang ditakutkan oleh Schubert.

KesimpulanDalam Layanan Publik Baru, administrator publik

bukan merupakan wasit tunggal dari kepentingan publik. Tetapi administrator publik dilihat sebagai aktor kunci di dalam sebuah sistem pemerintahan besar, termasuk

Page 141: Pelayanan Publik

penduduk, kelompok, perwakilan terpilih serta lembaga-lembaga lain. Seperti yang dikatakan oleh Frederickson:

“Pencapaian kepentingan pribadi melalui pemerintah, meskipun merupakan hal yang umum, akan ditolak ketika kepentingan pribadi penduduk atau pegawai negeri mengikis kepentingan secara umum. Administrator publik tidak akan memfasilitasi usaha untuk mencapai kepentingan pribadi, tetapi akan terus-menerus mendorong para perwakilan terpilih dan penduduk untuk menemukan dan mengekspresikan kepentingan umum dan mendorong pemerintah memenuhi kepentingan tersebut (Frederickson 1991, 415-416)”.

Argumen ini memiliki implikasi penting bagi peran dan tanggung jawab administrator publik yang menekankan bahwa peran pemerintah adalah menjadi orang yang memastikan bahwa kepentingan publik betul-betul mendominasi, bahwa solusi sendiri dan proses pengembangan solusi terhadap masalah publik sesuai dengan norma-norma keadilan demokratis, kejujuran, dan kesetaraan (Ingraham dan Ban 1988; Ingrahan dan Rosenbloom, 1989). Salah satu implikasi paling penting dari melihat pemerintah sebagai kendaraan dalam mencapai nilai-nilai seperti kejujuran dan kesetaraan adalah bahwa tujuan pemerintah benar-benar berbeda dengan tujuan bisnis. Perbedaan-perbedaan ini secara eksklusif memanfaatkan mekanisme dan asumsi-asumsi pasar mengenai kepercayaan sebagai sebuah kalkulasi kepentingan pribadi. Meskipun terdapat beberapa karakteristik yang membedakan bisnis dari pemerintah,

141

Page 142: Pelayanan Publik

tanggung jawab pemerintah adalah meningkatkan kewarganegaraan dan melayani kepentingan publik sebagai salah satu perbedaan paling penting – dan merupakan landasan bagi Layanan Publik Baru.

Page 143: Pelayanan Publik

BAB 5Menilai Kewarganegaraan Diatas Kewirausahaan

Menilai kewarganegaraan diatas kewirausahaan. Kepentingan publik dimajukan lebih baik oleh para pegawai negeri yang berkomitmen memberikan kontribusi berarti pada masyarakat dari pada oleh manajer enterprener yang bertindak seolah-olah uang publik adalah miliknya.

Meskipun, di masa lalu, pemerintah memainkan peranan sentral dalam hal yang disebut sebagai “penggerak masyarakat” (Nelissen dan kawan-kawan, 1999), kompleksitas dari kehidupan modern kadang kala membuat peranan semacam itu tidak hanya tidak sesuai, tetapi tidak mungkin. Kebijakan-kebijakan dan program-program yang memberikan struktur dan arah kehidupan sosial dan politik saat ini adalah hasil dari interaksi banyak kelompok dan organisasi berbeda, campuran dari banyak opini dan kepentingan berbeda. Dalam banyak area, tidak lagi masuk akal memikirkan kebijakan publik sebagai hasil dari proses pembuatan keputusan pemerintah. Pemerintah sebenarnya seorang pemain – dan dalam banyak kasus seorang pemain yang sangat penting. Tetapi kebijakan publik saat ini, kebijakan-kebijakan yang memandu masyarakat, adalah hasil dari serangkaian interaksi kompleks yang melibatkan banyak kelompok dan banyak kepentingan, pada akhirnya bergabung dengan cara-cara yang menarik dan tidak dapat diprediksikan. Pemerintah tidak lagi “menanggung tanggungjawab”.

Dalam dunia baru ini, peranan utama pemerintah tidak

143

Page 144: Pelayanan Publik

untuk mengarahkan tindakan publik melalui regulasi dan surat keputusan (meskipun hal itu kadang kala sesuai), bukan peranan pemerintah untuk benar-benar membangun serangkaian peraturan dan insentif melalui mana orang-orang akan dipandu dalam arah “yang tepat”. Pemerintah sedikit menjadi pemain lain, walaupun seorang pemain penting, dalam proses menggerakkan masyarakat dalam satu arah atau lainnya. Tindakan-tindakan pemerintah, sejalan dengan kelompok dan organisasi swasta dan nonprofit, untuk mencari solusi untuk masalah-masalah yang komunitas hadapi. Dalam proses ini, peranan pemerintah ditransformasikan dari peranan mengontrol salah satu dari penetapan, membawa pemain yang tepat “ke dalam daftar” dan memfasilitasi, menegosiasikan, atau “memecahkan” solusi untuk masalah-masalah publik (seringkali melalui koalisi publik, swasta, dan agen nonprofit). Mengingat secara tradisional pemerintah merespon kebutuhan-kebutuhan dengan mengatakan, “ya, kita dapat memberikan jasa itu”, atau “tidak, kita tidak dapat memberikan”, Layanan Publik Baru menyatakan bahwa para pejabat terpilih dan manajer publik seharusnya merespon permintaan warga negara tidak hanya dengan mengatakan ya atau tidak, tetapi dengan mengatakan hal-hal seperti “Marilah bekerja bersama untuk merealisasikan apa yang akan kita lakukan, kemudian kita mewujudkannya.”

Dalam sebuah dunia warga negara aktif, peranan dari pegawai negeri berubah. Para administrator publik akan semakin berperan lebih dari peranan pemberian jasa – mereka akan memainkan peranan mengkonsiliasi,

Page 145: Pelayanan Publik

memerantarai atau bahkan bertindak sebagai hakim yang memutuskan. Dan mereka tidak lagi mengandalkan pada keterampilan kontrol manajemen tetapi lebih pada keterampilan memfasilitasi, brokering, bernegosiasi, dan resolusi konflik.

Perspektif Penyelenggaraan PemerintahanSalah satu dari pengembangan paling penting dalam kehidupan politik saat ini, dan satu yang diakui oleh pendukung dari Manajemen Publik Baru dan Layanan Publik Baru, adalah perubahan dramatis dalam cara dimana peraturan dan regulasi, program dan proses yang memandu masyarakat dikembangkan – atau melihat hal ini secara sedikit berbeda – sebuah perubahan dalam cara kebijakan publik dikembangkan. Sebagaimana dicatat sebelumnya, di masa lalu, pemerintah memainkan peranan utama dalam “penggerak masyarakat” (Nelissen dkk, 1999). Yakni tidak untuk mengatakan bahwa kepentingan-kepentingan lain tidak direpresentasikan, tetapi bahwa pemerintah memainkan peranan yang menentukan.

Dengan menggunakan analogi olah raga, bidang bermain pada permainan dari formasi kebijakan publik yang terjadi adalah satu yang ditentukan oleh pemerintah, dan para pemain utama adalah pejabat publik terpilih dan penasehat kebijakan di seluruh agen pemerintah. Pada gilirannya, administrator publik, bermain dalam bidang sama, meskipun seringkali ada di suatu tempat dekat garis sisi lapangan, sebagian besar berhubungan dengan implementasi kebijakan-kebijakan publik. Mereka berhubungan dengan mengatur

145

Page 146: Pelayanan Publik

organisasi sedemikian rupa sehingga hal-hal yang tepat dikerjakan. Tetapi waktu dan keadaan telah berubah. Permainan formulasi kebijakan publik tidak lagi dimainkan terutama oleh mereka dalam pemerintahan. Anda bahkan bisa mengatakan bahwa saat ini audien tidak lagi di tribun, tetapi tepat berada di lapangan, berpartisipasi dalam setiap permainan. Untuk menempatkan hal ini secara lebih formal, ada reformulasi mekanisme penggerak masyarakat. Saat ini banyak kelompok dan banyak kepentingan yang secara langsung terlibat dalam pengembangan dan implementasi kebijakan publik. “Hal ini berarti bahwa pemberian dorongan berlangsung melalui saluran-saluran selain dari struktur hirarkis terkontrol dari pemerintah pusat” (Nelissen 2002, 6).

Ada beberapa alasan hal ini terjadi. Pertama, karakter pasar lebih cair, terutama sekali ekspansi pasar global atau internasional, telah membuka isu-isu baru urusan publik. Pemerintah terlibat secara lebih intensif dengan pemerintah lain dan dengan organisasi-organisasi seperti WTO (World Trade Organization), tidak memberitahu apapun tentang korporasi multinasional dan secara sama organisasi non-pemerintah yang besar dan kompleks. Kedua, Negara kesejahteraan disusun kembali sehingga pemerintah sendiri tidak lagi pelaku utama dalam pemberian jasa. Terutama dalam Negara ini, responsibilitas kesejahteraan dan pemerintah lain didorong ke level bawah dari pemerintahan dan keluar ke organisasi-organisasi untuk-profit dan nonprofit.

Donald Kettle mengomentari tentang tren ini dalam

Page 147: Pelayanan Publik

globalisasi dan devolusi sebagai berikut:Singkatnya, strategi kebijakan paling unggul di

Amerika cenderung untuk berkembang di luar negara bagian, dengan berhubungan dengan organisasi-organisasi internasional, dan untuk memusatkan diri dibawah hal itu, dengan kemitraan dengan organisasi subnasional, untuk-profit, dan nonprofit. Organisasi-organisasi supranatural tumbuh jadi baru tetapi fungsi-fungsi dipahami dengan buruk. Organisasi-organisasi subnasional telah mentransformasikan peranan dari Negara bagian dan pemerintah lokal. Ketika kita memperdebatkan memprivatisasi pemerintah, mereka secara periodic juga memasukkan dalam perintahan bagian substansial dari sektor untuk-profit dan nonprofit. Institusi-institusi pemerintah federal, politik dan administratif, menemukan diri mereka lebih menantang dari pada menyelaraskan kemitraan ini dengan membentuk kepentingan nasional. Peranan dari semua pemain ini secara dramatis berubah. Mengatur peranan-peranan ini membutuhkan kapasitas yang ada jauh diluar respon-respon standar, struktur, dan proses-proses yang diakumulasikan secara bertahap dalam pemerintahan Amerika (Kettle 2006, 489-90).

Ketiga, teknologi memiliki kemungkinan lebih besar dan akses publik lebih besar pada proses kebijakan, tidak hanya dalam pengertian bahwa orang-orang dapat mengakses informasi secara lebih mudah dan dapat menggunakan informasi itu untuk dampak yang lebih besar. Mengingat dalam pemerintah masa lalu pemerintah memiliki sedikit monopoli pada pengumpulan dan penyebaran sejumlah besar

147

Page 148: Pelayanan Publik

data – dan menikmati posisi uni karena hal ini – saat ini kapasitas itu didistribusikan secara luas. Sebagai akibatnya, peranan pemerintah dalam proses kebijakan berkurang. Dalam pengertian ini, Harlan Cleveland benar dalam memprediksikan bahwa ledakan informasi global mungkin menyebabkan “senja kala hirarki” (1985).

Secara sama, H. Brinton Milward telah menyatakan beberapa faktor terkait yang menyebabkan penyebaran kekuasaan dan responsibilitas yang mencirikan proses politik jaman sekarang, (1) overlap institusional, (2) otoritas tumpang tindih di antara level-level pemerintahan, (3) Fakta bahwa organisasi-organisasi tertentu hanya memiliki responsibilitas yang terbatas untuk implementasi program, dan (4) instrumen kebijakan publik yang menyebabkan fragmentasi (misalnya, hadiah bantuan, kontrak, dan subsidi) (1991, 52). Faktor-faktor ini menyebabkan pengembangan apa yang disebut dengan “jaringan politik”, jaringan yang tersusun dari bisnis-bisnis, dan warga negara biasa. Jaringan politik ini saat ini merupakan arena utama dimana permainan kebijakan publik dimainkan.

Sebenarnya, apa yang kita saksikan adalah pengembangan dari banyak jaringan politik berbeda – masing-masing melayani kepentingan substantif mereka sendiri, apakah transportasi, kesejahteraan sosial, pendidikan, atau area lain. Tiap-tiap jaringan memusatkan diri pada area kebijakan mereka sendiri, dan dalam banyak cara mendefinisikan cara dimana kebijakan-kebijakan akan dikembangkan dalam area itu. Yakni, satu

Page 149: Pelayanan Publik

serangkaian peraturan mungkin mendefinisikan cara permainan “bertahan” dimainkan, sementara serangkaian peraturan yang lain mungkin mendefinisikan bagaimana permainan “kesejahteraan sosial” dimainkan. Dalam tiap-tiap arena, pengembangan utama dalam kebijakan publik, dan pengembangan utama dalam penggerak masyarakat, mungkin terjadi melalui proses sulit dan kusut tawar-menawar dan negosiasi dalam jaringan kebijakan tertentu itu.

Dibawah kondisi ini, peranan pemerintah berubah. Ketika kita menyaksikan sebuah fragmentasi responsibilitas politik dalam masyarakat, kita harus juga mengakui bahwa mekanisme tradisional kontrol pemerintah tidak lagi bisa bekerja – atau bahkan layak. Pemerintah hirarkis tradisional memberikan cara untuk desentralisasi kepentingan politik yang berkembang. Kontrol memberikan cara untuk interaksi dan keterlibatan. Saat ini, pemerintahan negara, negara bagian, dan lokal terlibat dalam penyelenggaraan pemerintahan bersama dengan ribuan warga negara, institusi publik lain, perusahaan-perusahaan swasta, dan organisasi nonprofit. karena alasan ini, semakin masuk akal untuk membicarakan tidak hanya tentang pemerintahan, tetapi tentang proses penyelenggaraan pemerintahan.

Kami mendefinisikan penyelenggaraan pemerintahan sebagai penggunaan otoritas publik. Kata “pemerintah’ biasanya digunakan untuk mengacu pada struktur-struktur dan institusi-institusi pemerintah dan dari organisasi publik tersebut secara formal dirubah dengan menentukan

149

Page 150: Pelayanan Publik

kebijakan dan memberikan pelayanan. Penyelenggaraan pemerintahan, pada satu sisi, adalah konsep yang jauh lebih luas. Penyelenggaraan pemerintahan dapat didefinisikan sebagai tradisi, institusi, dan proses-proses yang menentukan dan menggunakan kekuasaan dalam masyarakat, termasuk bagaimana keputusan dibuat berdasarkan isu urusan publik dan bagaimana warga negara diberi suara dalam keputusan publik. Penyelenggaraan pemerintahan membicarakan bagaimana masyarakat benar-benar membuat pilihan, mengalokasikan sumber daya, dan menciptakan nilai-nilai bersama; hal ini membahas pembuatan keputusan masyarakat dan penciptaan arti dalam bidang publik. Sebagaimana pendapat John Kirlin, konsepsi pemerintahan yang ada yang menekankan pemberian pelayanan “menilai rendah peranan besar yang pemerintah harus lakukan secara berhasil dalam memberikan kerangka kerja institusional untuk semua aktivitas manusia” (1996, 161). Pemerintahan ada, kata dia, untuk menciptakan nilai, termasuk nilai tempat dan karakter komunitas.

Dalam skema penyelenggaraan pemerintahan, kemudian, apa peranan yang pemerintah formal akan mainkan? Pertama pemerintah akan terus memainkan peranan secara keseluruhan dalam membangun peraturan legal dan politik melalui mana berbagai jaringan akan beroperasi. Kami mungkin mengatakan bahwa pemerintah akan beroperasi pada “meta-level”,yakni, pemerintah akan membantu dalam ratifikasi, kodifikasi, dan legitimasi keputusan-keputusan yang muncul dari dalam berbagai macam jaringan politik. Lagi pula, pemerintah akan terus membangun

Page 151: Pelayanan Publik

prinsip-prinsip luas penyelenggaraan pemerintahan yang diterapkan pada semua, misalnya, , menentukan peraturan permainan skala luas. Kedua, pemerintah mungkin membantu dalam memecahkan distribusi sumber daya dan isu-isu ketergantungan dalam berbagai macam jaringan, tetapi terutama sekali antara dan diantara jaringan-jaringan tersebut. Pemerintah akan membantu dalam melindungi kepentingan ekonomi yang dimainkan dalam hubungan antara sektor-sektor berbeda atau jaringan politik.; hal ini akan memainkan peranan menyeimbangkan, negosiasi, dan memudahkan hubungan antara batas-batas jaringan (seringkali melalui penggunaan insentif dari pada direktif), dan menjamin bahwa satu sektor tidak mulai mendominasi yang lain. Ketiga, pemerintah akan diperlukan untuk memonitor jaringan saling mempengaruhi untuk mengasumsikan bahwa prinsip-prinsip demokrasi dan ekuitas sosial dipelihara dalam jaringan khusus dan dalam hubungan antara dan di antara jaringan berbeda. pemerintah harus memastikan bahwa proses-proses demokratis dipelihara dan pada akhirnya kepentingan publik dilayani.

Pada hakekatnya penggerak masyarakat berubah, sehingga peranan dan responsibilitas dari para pejabat publik terpilih dan ditunjuk berubah – dan merubah cara-cara parallel secara persis. Secara tidak mengejutkan, masing-masing dari tiga peranan yang baru saja kami deskripsikan – mereka dihubungkan dengan standar-standar legal atau politik, mereka terkait dengan pertimbangan ekonomi atau pasar, dan mereka dihubungkan dengan

151

Page 152: Pelayanan Publik

kriteria demokratis atau sosial – tercermin dalam pendekatan-pendekatan popular untuk memahami peranan pemerintah dan terutama administrasi publik saat ini. Ketika penggerak masyarakat dirubah, peranan dari para pejabat publik dan standar dimana performa administratif yang akan dinilai juga berubah.

Bagaimana tiga peranan pemerintah ini diterjemahkan ke dalam sekolah-sekolah teori dan praktis, dan bagaimana mereka mempengaruhi standar atau harapan untuk menilai per pemerintah? Yang pertama dari sekolah-sekolah teori dan praktek ini paling familiar dan dicirikan paling mudah. Perhatian pada pengembangan standar politik dan legal akan terus penting dalam bidang urusan publik. Menurut sekolah ini, para pejabat publik terlibat dalam merancang dan mengimplementasikan kebijakan-kebijakan yang difokuskan pada tujuan-tujuan yang secara politik didefinisikan terbatas. Mereka diikat oleh hukum dan oleh realitas politik. Mereka terkait dengan mengembangkan program-program melalui agen pemerintahan tradisional. Pada gilirannya, kebijakan-kebijakan ini dilakukan oleh para administrator dalam berbagai agen pemerintah. Pertanyaan akuntabilitas – pertanyaan tentang bagaimana administrator mengetahui bahwa pekerjaan mereka sesuai dengan keinginan orang-orang – dijawab dengan akuntabilitas administrator pada pemimpin politik yang dipilih secara demokratis. Sekolah teori dan praktek yang dihubungkan dengan pendekatan ini adalah kebijakan publik tradisional biasa dan administrasi publik, Administrasi Publik Lama.

Page 153: Pelayanan Publik

Dua pendekatan selanjutnya muncul lebih banyak akhir-akhir ini. Kedua, yang harus berhubungan dengan pertimbangan ekonomi dan pasar, didasarkan pada pandangan kehidupan politik yang melihat peranan pemerintah untuk terus menyetir, setidaknya dalam pengertian bertindak sebagai katalis melepaskan tali kekuatan pasar dan dalam menciptakan mekanisme dan struktur-struktur insentif untuk mencapai tujuan-tujuan politik melalui agen swasta dan nonprofit. Pendekatan pada akuntabilitas tercermin dalam sudut pandang ini menyatakan bahwa pada akhirnya akumulasi kepentingan individu sendiri akan menghasilkan hasil-hasil yang diinginkan oleh kelompok luas warga negara, sebagaimana kita lihat sebelunya, pendekatan ini memanggil “konsumen”. Sekolah teori administrasi publik dan praktek yang terkait dengan pendekatan ini tentu saja adalah, Manajemen Publik Baru.

Peranan pemerintah yang baru muncul (atau mungkin muncul kembali) memusatkan diri pada kriteria demokratis dan sosial. Pandangan ini menyatakan bahwa kepentingan publik adalah yang tertinggi dan bahwa kepentingan publik adalah hasil dari sebuah dialog tentang kepentingan bersama atau overlapping. Hal ini melihat peranan pemerintah sebagai brokering kepentingan diantara warga negara dan kelompok lain sehingga menciptakan nilai bersama. Hal ini bisa berarti, misalnya, membangun berdasarkan kebutuhan yang disetujui bersama. John Hall menyatakan tantangan menghadapi administrasi publik dengan baik: “Manajemen publik yang mencakup kekuasaan dan memperhalus keahlian kolaborasi, memudahkan

153

Page 154: Pelayanan Publik

kepemimpinan, kemitraan swasta-publik, dan “penyelenggaraan pemerintahan katalis”, adalah formula baru … Dalam semangat itu, … manajemen publik proaktif akan perlu mempertajam kapasitasnya untuk mendengarkan” (Hall 2002, 24). Memahami akuntabilitas (yang akan dibahas secara lebih penuh dalam Bab 7) yang tercermin dalam pendekatan ini menyatakan bahwa pegawai negeri harus mematuhi hukum, nilai-nilai komunitas, norma politik, standar professional dan kepentingan warga negara. Sekolah teori dan praktek administrasi publik yang paling jelas dihubungkan dengan pendekatan ini tentu saja adalah Layanan Publik Baru.

Administrasi Publik Lama Dan Peranan AdministratorSebagaimana kita lihat sebelumnya, administrasi publik selalu berjuang dengan pertanyaan tentang peranan administrator dalam mengembangkan kebijakan dan dengan hubungan antara para administrator dan pembuat kebijakan lain. Pernyataan paling awal tentang isu ini menyatakan pemisahan kebijakan dan administrasi. Para pemimpin politik terpilih dibebani dengan membuat kebijakan dan administrator dibebani dengan menjalankan kebijakan. Administrasi, meskipun terisolasi dari warga negara, akuntable untuk para pemimpin politik terpilih yang pada gilirannya akuntable untuk orang yang memilih, yang memberikan suara mereka diluar kantor, sehingga mempertahankan “rantai” kontrol demokratis dari warga negara melalui administrator.

Page 155: Pelayanan Publik

Dikotomi kebijakan dan administrasi, jika selalu merupakan fakta hadir secara cepat dianggap sebagai fiksi. Para administrator mulai memainkan peranan yang semakin penting meskipun sering kali enggan berperan dalam proses politik. Keengganan mereka dapat dipahami. Jika administrator mulai secara substansial mempengaruhi proses politik, seseorang mungkin bertanya apakah pengertian akuntabilitas demokratis diimpikan dibawah dikotomi administrasi politik tetap cukup. Dimana peranan administrator hanya harus berhubungan dengan implementasi, pilihan utama tentang arah masyarakat tetap dibuat oleh pimpinan politik terpilih yang diselenggarakan tiap dua, empat atau enam tahun. Tetapi ketika pengaruh administrator dalam proses politik tumbuh, rantai akuntabilitas itu mulai dipertanyakan. Bagaimana warga negara dapat yakin bahwa administrator membuat pilihan kebijakan yang responsif pada kepentingan publik?

Para administrator juga enggan untuk terlibat dalam proses politik karena mereka tidak jelas tentang hubungan mereka dengan pimpinan terpilih. Administrasi publik tradisional, karena berbagai alasan, memahami pemimpin politik terpilih sebagai memiliki gengsi yang lebih besar dan terkenal dari pada para pejabat yang ditunjuk. Para administrator terlibat dalam pembuatan keputusan mungkin dianggap sebagai penghinaan pada otoritas pemimpin yang terpilih. Hal ini mungkin dilihat sebagai menggunakan beberapa kekuasaan yang benar jauh dari perwakilan orang-orang. Secara pasti jika kekuasaan dipandang sebagai

155

Page 156: Pelayanan Publik

zero-sum game, tidak ada penjelasan lain. Dengan adanya kondisi itu, dikombinasikan dengan fakta bahwa para pemimpin terpilih dapat tetap memberhentikan pejabat yang ditunjuk, ha ini tidak nampak sebagai ide baik untuk “menantang” kepemimpinan terpilih dengan keterlibatan jelas dalam proses kebijakan.

Untuk alasan itu, ketika administrator publik dengan segan dimasukkan dalam pembuatan kebijakan publik, mereka demikian hanya dibawah beberapa “jubah”. Misalnya ada jubah kebijaksanaan. Administrasi dapat membenarkan peranan kebijakan mereka dengan menjelaskan bahwa legislasi sering kali perlu luas dan membutuhkan administrator untuk mendefinisikan secara lebih cermat apa arti kebijakan yang diundangkan. Para administrator menggunakan kebijakan tentu saja membuat kebijakan, tetapi mereka diharuskan untuk melakukan hal demikian menurut luas legislasi. Ada juga jubah keahlian. Argumen adalah bahwa administrator memiliki pengetahuan khusus dan keahlian dalam area-area kepentingan khusus mereka dan bahwa keahlian mereka dibutuhkan untuk masuk dalam proses kebijakan. Para legislator, sebagai generalis, tidak diharapkan untuk mengetahui banyak tentang area kebijakan tertentu seperti administrator yang menghabiskan karir mereka bekerja pada masalah-masalah khusus tersebut. Sehingga, di bawah Administrasi Publik Lama, administrator adalah partisipan yang enggan dalam proses politik, memelihara netralitas mereka sejak lama setelah terbukti bahwa mereka secara substansial mempengaruhi kebijakan publik.

Page 157: Pelayanan Publik

Di bawah jubah justifikasi untuk keterlibatan administrator dalam pembuatan kebijakan, ada berkala tentang sesuatu yang lebih luas – sebuah filosofi yang menempatkan administrator jauh lebih banyak pada pusat proses pemerintah. Ahli teori disarankan menciptakan satu pusat responsibilitas administratif dan kontrol melalui mana administrator dapat mempengaruhi pengembangan rasional rencana-rencana untuk memenuhi tujuan-tujuan kemasyarakatan. Sarana analitis khusus dapat dikembangkan untuk menghitung pilihan kebijakan optimum. Hasil adalah pergeseran dari berkenaan dengan masalah-masalah melalui politik sampai mengenai masalah-masalah melalui manajemen. Sementara memainkan peranan ini, walaupun secara hati-hati dan diam-diam, administrator dapat menggunakan keahlian dan pengalaman mereka untuk membuat rencana terkontrol lebih rasional dan keputusan-keputusan untuk (bukan oleh) warga negara. Seperti ucapan Schneider dan Ingram, “Bawa ke ekstrim-nya, kebijakan publik menjadi sebuah usaha ilmiah yang didominasi oleh para ahli yang menemukan kepentingan publik, menemukan kebijakan-kebijakan optimal untuk mencapainya, dan mengembangkan instrumen keputusan untuk menjamin kontrol atas proses implementasi. Orang-orang hanya target dari politik, tersedia untuk dimanipulasi melalui stimulus-stimulus atau hukuman untuk mencapai tujuan-tujuan politik, dari pada warga negara yang merupakan bagian integral untuk proses demokratis dan untuk produksi hasil-hasil yang secara sosial diinginkan.” (1997,38).

157

Page 158: Pelayanan Publik

Manajemen Publik Baru Dan Peranan AdministratorPendekatan Manajemen Publik Baru untuk pertanyaan peranan dari administrator dalam pengembangan politik memiliki dua wajah yang berbeda. Pada satu sisi, Manajemen Publik Baru memahami peranan aktif yang jauh lebih banyak untuk administrator dalam proses politik, peranan dari enterprener politik. Pada sisi lain, Manajemen Publik Baru memaksa manajer untuk merespon permintaan “konsumen” dan, dimana saja mungkin, untuk menyusun kebijakan-kebijakan sehingga “konsumen” dapat memilih, yakni, untuk memindahkan sebanyak mungkin pilihan bahkan keluar dari arena politik dengan merubah alternatif politik tersebut menjadi pilihan pasar. Dalam salah satu kasus, Manajemen Publik Baru lebih jauh bahkan meluaskan kalkulus biaya dan manfaat rasional dalam pengujian alternatif-alternatif politik-nya.

Membangun manajer publik sebagai “enterprener” adalah elemen penting dari Manajemen Publik Baru. Subjudul dari “bible” dari Manajemen Publik Baru, buku Reinventing Government, adalah How the Entrepreneurial Spirit Is Transforming the Public Sector (1992). Pengarangnya; Osborne dan Gaebler, mendeskripsikan kewirausahaan sebagai memaksimalkan produktivitas dan efektivitas, tetapi kewirausahaan mencakup lebih dari kepanjangan akal. Pertama, ada keprihatinan dasar untuk “membiarkan para manajer mengatur”, memberikan para manajer ruang gerak luas untuk menjalankan urusan-urusan mereka tanpa halangan-halangan model akuntabilitas khusus, seperti halangan anggaran atau kebijakan personel

Page 159: Pelayanan Publik

(Pollitt 1993). Contoh dari pengalaman Gaebler sebagai seorang manajer kota digunakan oleh Osborne dan Gaebler untuk menguraikan poin ini, “ ide adalah untuk membuat mereka [tim manajemen kota] berfikir seperti pemilik, “Jika ini adalah uang saya, dapatkan saya menggunakannya seperti ini?” (1992,3)

Yang lebih penting, manajer didorong untuk mengambil peranan aktif dalam mempromosikan kebijakan-kebijakan, “pengaturan”, atau “perjanjian-perjanjian” yang dia anggap mungkin menguntungkan agen atau komunitas mereka. Lagi pula, manajer publik enterprener didorong untuk menerima resiko-resiko dimana saja diperlukan untuk sampai pada solusi yang lebih kreatif dan inovatif untuk masalah-masalah publik. Eugene Lewis mendeskripsikan tiga “raksasa” kewirausahaan manajemen publik (Hyman Rickover, Herbert Hoover, dan Robert Moses) dalam cara ini: mereka bukan “kriminal dalam pengertian konvensional apapun; tetapi, mereka adalah ‘peraturan mengikat’. Mereka pintar/licik, dan mereka mendorong batas-batas dari apa yang legal dan waktu yang diijinkan setelah waktu tanpa penangkapan atau, ketika penangkapan, tanpa hukuman serius” (1980, 243). Singkatnya, sebagaimana Larry Terry menjelaskan hal ini, Manajemen Publik Baru mendukung sebuah posisi dimana “manajer publik sifatnya (dan seharusnya menjadi) mementingkan diri sendiri inovator yang oportunis dan pengambil resiko yang mengeksploitasi informasi dan situasi-situasi untuk menghasilkan perubahan radikal” (1998, 197).

Peranan politik dari enterprener publik mulai

159

Page 160: Pelayanan Publik

dipertanyakan oleh beberapa penulis. Pertama, enterprener kebijakan mungkin orang yang kreatif dan inovatif, tetapi mereka juga oportunis dan tidak berkompromi. “Sebagai sebuah masalah praktis, dalam organisasi riil, para manajer entreprener memunculkan masalah yang sulit dan beresiko, mereka bisa inovatif dan produktif, tetapi penekanan-tunggal, kegigihan, dan keinginan mereka untuk mengalihkan peraturan membuat mereka sangat sulit dikontrol. Mereka bisa “kehilangan arah” (DeLeon dan Denhardt 2000, 92). Yang kedua, ada pertanyaan akuntabilitas. Ide manajer publik secara independen membuat pilihan politik dalam kedok “mendapatkan perjanjian terbaik” dan, yang tetap lebih penting, bertindak seolah-olah uang publik milik mereka terbang dalam menghadapi tradisi lama akuntabilitas demokratis dan integritas fiskal dalam pemerintahan. Bisnis publik dan uang publik banyak yang mengatakan, seharusnya diperlakukan sebagai milik publik.

Di samping merekomendasikan peranan kewirausahaan lebih banyak untuk para manajer publik, Manajemen Publik Baru juga merekomendasikan menstruktur pilihan-pilihan sehingga mereka dapat dilakukan oleh “konsumen” dalam sebuah pasar dari pada oleh para pelaku dalam bidang politik. Kunci, menurut Osborne dan Gaebler, mungkin untuk menciptakan insentif pasar dimana saat ini ada pilihan-pilihan politik:

Dalam pendidikan, hal ini bisa berarti pindah ke pasar persaingan dimana para konsumen memiliki pilihan dan stakeholder kunci (orang tua dan guru) memiliki

Page 161: Pelayanan Publik

kontrol sungguh-sungguh. Dalam pekerjaan training, ini bisa berarti memasukkan informasi tentang mutu dari semua provider training ke dalam sistem, menempatkan sumber daya secara langsung ke dalam tangan konsumen, memberi mereka dengan broker yang dapat diakses, dan memberdayakan mereka untuk memilih antara beberapa provider yang bersaing. Dalam asuransi pengangguran, ini bisa berarti menciptakan sebuah insentif keuangan untuk korporasi untuk melatih kembali para pekerja dari pada menolak mereka, atau menciptakan sebuah insentif untuk mereka mengumpulkan pengangguran untuk mencari retraining. (Osborne dan Gaebler 1992, 308)

Sekali lagi, rekomendasi seperti ini sesuai dengan ketergantungan Manajemen Publik Baru pada teori pilihan publik dan asumsinya bahwa pasar adalah institusi sentral dalam masyarakat dan dapat bersandar, lebih dari institusi lain (tentunya lebih dari pemerintah), untuk memberikan pilihan yang bebas dan wajar. Melalui mekanisme pasar individu-individu dapat mengejar kepentingan terbaik mereka dengan halangan minimal. Pasar, dikatakan, bebas dan tanpa paksaan, dimana pemerintah dan kebijakan politik adalah memaksa. Dalam pandangan ini, satu-satunya peranan untuk pemerintah adalah untuk mengoreksi kegagalan pasar dan memberikan barang dan jasa yang tidak mampu diberikan pasar.

Argumen ini terkait dengan kritikan terhadap proses politik yang lebih umum dari teori pilihan publik. Secara kasarnya, bahwa kritikan pertama kali menyatakan

161

Page 162: Pelayanan Publik

pemerintah memberikan barang atau jasa tertentu yang bisa ditanggani lebih baik melalui pasar dan pemerintah itu diatur tidak secara efisien untuk memberikan banyak jasa. Misalnya, pendukung dari sikap ini berpendapat bahwa jika pendidikan disediakan berdasarkan pilihan konsumen, katakanlah, melalui voucher, persaingan untuk para siswa bisa menambah mutu layanan yang diberikan. Sekolah-sekolah harus diperbaiki untuk menarik para siswa, “konsumen” mereka. Persaingan bisa mengharuskan sekolah-sekolah untuk bertindak secara lebih efisien dari pada jika mereka tetap di bawah perlindungan pemerintah.

Lagi pula, pendukung dari teori pilihan publik berpendapat bahwa para pemimpin politik dan “birokrat” dimotivasi oleh kepentingan diri sendiri, mencari kenaikan berlebih dalam program dan anggaran, diluar apa yang publik benar-benar inginkan. Akhirnya, mereka berpendapat bahwa program-program pemerintah membiakkan “ketergantungan”, sejak penerima pelayanan menemukan kepentingan mereka sendiri untuk mengambil bagian dari program-program tersebut dari pada pemenuhan diri sendiri. Argumen ini sering kali dibuat berkenaan dengan kesejahteraan, dimana nampak bahwa memiliki anak kedua mungkin menambah besarnya pembayaran kesejahteraan dan oleh karena itu menjadi dorongan untuk melakukan hal demikian. Argumen yang sama mungkin juga dibuat terkait dengan para petani yang menerima subsidi-subsidi untuk berkembang dan bahkan tidak mengembangkan hasil panen khusus.

Keterlibatan warga negara dalam pemerintah tentunya

Page 163: Pelayanan Publik

bukan konsep baru. Sebenarnya, beberapa level keterlibatan warga negara penting untuk penyelenggaraan pemerintah yang demokratis – menurut definisi. Namun, secara historis, demokrasi perwakilan kami sebagian besar dibatasi peranan dari warga negara untuk memberikan suara setiap beberapa tahun dan kadangkala berkomunikasi dengan para pejabat terpilih. Yang lebih baru, bertambahnya kelompok kepentingan khusus telah merestrukturisasi hubungan antara warga negara dan pemerintah mereka.

Pada saat yang sama, pemerintah telah membuka jalan-jalan baru untuk keterlibatan warga negara lebih langsung. Mulai dengan War on Poverty (Perang melawan Kemiskinan) dalam tahun 1960-an, pemerintah telah merancang kesempatan-kesempatan untuk “partisipasi maksimum yang mungkin dilakukan” menjadi proses-proses rancangan kebijakan dan implementasi mereka. Sebagai akibatnya, lusinan pendekatan untuk mengumpulkan input warga negara menjadi proses politik telah diusahakan, berkisar dari dengar pendapat umum untuk survey warga negara, dan dari dewan perencanaan untuk panel komunitas. Meskipun banyak dari usaha ini gagal menghasilkan apa yang King, Feltey, dan O’Neill (1998) sebut dengan “partisipasi otentik’ dan meskipun ada sebuah kebutuhan untuk terus memperbaiki proses keterlibatan warga negara, tidak ada pertanyaan kecuali bahwa para manajer publik perlu bersifat atentif pada pertanyaan-pertanyaan partisipan. Sebagaimana John Clayton Thomas tunjukkan, “keterlibatan publik baru telah mentransformasikan kerja dari para manajer publik sehingga partisipasi publik

163

Page 164: Pelayanan Publik

dalam proses manajerial telah menjadi sebuah fakta kehidupan. Di masa depan, hal ini bisa menjadi kasus bahkan untuk lebih banyak manajer, karena tuntutan publik akan keterlibatan tidak nampak mereda” (1995, xi).

Ada variasi dari alasan praktis dan teoritis mengapa administrator publik seharusnya mendorong keterlibatan warga negara yang besar dalam proses politik. Pada level teoritis, sebagaimana kita lihat sebelumnya, sikap etis dari administrator publik membutuhkan sikap peduli dan keterlibatan. David K. Hart (1984) menjelaskan bahwa kewajiban professional dan administrator mulai dengan tugas-tugas mereka sebagai warga negara yang berbudi luhur, dan sehingga menciptakan hubungan penting dengan warga negara lain. Dalam menggunakan kepercayaan publik mereka, tidak hanya keharusan administrator memelihara kepatuhan pada ‘nilai-nilai rezim”, mereka seharusnya diharapkan peduli dengan sesama warga negara mereka dan berinteraksi dengan mereka berdasarkan kepercayaan. Dia menyatakan bahwa administrator harus belajar mempercayai warga negara itu, dengan adanya kesempatan, akan membuat pilihan yang benar. Secara cukup menarik, dengan adanya diskusi awal kami tentang “pemerintahan enterprener” Hart menggunakan istilah “enterprener moral” untuk mendeskripsikan administrator yang diwajibkan untuk melakukan urusan publik berdasarkan kepercayaan dari pada tekanan/paksaan, kadangkala bisa membutuhkan “pengambilan resiko” moral tertentu yang bahkan lebih signifikan dari pengambilan resiko ekonomi. Sebagaimana dikemukakan Louis Gawthrop, “untuk berkomitmen pada diri sendiri dengan

Page 165: Pelayanan Publik

pelayanan demokrasi membutuhkan, setidaknya, sebuah kesengajaan dan kesadaran yang matang terhadap (1) impulsi demokrasi etis, (2) nilai-nilai transcenden demokrasi, dan (3) dan visi moral dari demokrasi” (1998, 24).

Yang lainnya menjelaskan bahwa administrator memegang responsibilitas membantu mendidik warga negara. Kami mencatat sebelumnya argumen bahwa partisipasi dalam aktivitas-aktivitas kewarganegaraan dapat melayani fungsi edukatif, membantu orang-orang untuk menghibur kepentingan lebih luas dari pada diri mereka dan untuk memahami kompleksitas dari proses penyelenggaraan pemerintahan. Partisipasi dalam penyelenggaraan pemerintahan demokratis membangun karakter moral, pemahaman empatis terhadap kebutuhan orang lain, dan keterampilan untuk terlibat dalam tindakan kolektif. Dalam proses pendidikan itu, beberapa berpendapat, administrator berada dalam posisi yang unik, posisi menjadi “pendidik sipil””. Karena mereka terdiri dari segmen dunia ahli yang paling dilindungi dari proses yang bermusuhan, mereka paling baik ditempatkan untuk mengambil pimpinan dalam membingkai pertanyaan-pertanyaan sehingga perdebatan publik bisa dapat dimengerti. Mereka memiliki responsibilitas utama untuk mengusik isu etika dan sosial yang penting beresiko dari campuran dari data ilmiah dan formalisme legal dimana isu-isu tersebut terselubung” (Landy 1993, 25). Secara penting, dalam konteks ini, peranan edukatif dari administrator tidak hanya peranan “memberikan saran”, tetapi lebih pada

165

Page 166: Pelayanan Publik

peranan menciptakan kondisi dialog dan keterlibatan dimana pembelajaran bersama bisa terjadi.

Akhirnya, dan yang paling dasar, sebagaimana yang ditulis Bellah dkk., “demokrasi adalah memberikan perhatian” (1991, 254). Sebagai seorang partisipan aktif dalam penyelenggaraan pemerintahan demokratis, administrator menanggung responsibilitas untuk mendengarkan suara-suara warga negara dan menjadi responsif pada apa yang dikatakan. Dalam proses mendengarkan, secara hati-hati dan secara jelas, administrator menggabungkan dirinya dan masyarakat dalam sebuah hubungan reflektif. Stivers melihat hal itu seperti ini, “ketika kita memperbaiki kemampuan kita untuk mendengarkan, kita semakin memahami sejauh mana kita mendengarkan diri kita pada diri orang lain dan mereka dalam diri kita; timbal balik ini terkuak dalam teori-teori kami dan praktek-praktek keadilan. Dari pada menguliti sifat-sifat dari individu yang unik untuk mendukung cita-cita universalitas, mendengarkan keadilan luas dengan memasukkan rincian situasi dan perbedaan-perbedaan signifikan di antara manusia” (1994b, 366).

Di samping pertimbangan teoritis ini, ada beberapa alasan lebih praktis untuk melibatkan warga negara dalam proses pengembangan politik. Pertama, partisipasi lebih besar dapat membantu memenuhi harapan warga negara yang mereka dengar dan sehingga kebutuhan dan kepentingan mereka diikuti. Kedua, partisipasi lebih besar dapat memajukan mutu dari kebijakan publik, ketika pemerintah membuka sumber informasi, kreativitas dan solusi lebih

Page 167: Pelayanan Publik

lebar. Ketiga, partisipasi lebih besar dalam proses politik membantu implementasi, ketika partisipan memiliki lebih banyak taruhan dalam hasil. Keempat, partisipasi lebih besar merespon panggilan akan transparansi dan akuntabilitas lebih besar dalam pemerintah. Kelima, partisipasi lebih besar dapat membantu memenuhi tantangan dari sebuah masyarakat informasi yang baru muncul. Ketujuh, partisipasi lebih besar dapat menciptakan kemungkinan akan kemitraan baru dikembangkan. Kedelapan, partisipasi lebih besar dapat menghasilkan publik diberi informasi lebih baik. Kesembilan, dalam sebuah demokrasi, apa yang dikerjakan adalah sesuatu yang benar.

Robert Reich mereview sikap dari manajer publik secara baik ketika menulis:

Tetapi kadang kala, saya percaya, manajer publik level lebih tinggi memiliki kewajiban untuk mendorong perdebatan publik tentang apa yang mereka lakukan. Pertimbangan publik dapat membantu manajer menjelaskan mandat-mandat yang ambigu. Yang lebih penting, hal ini dapat membantu publik menemukan kontradiksi laten dan komonalitas dalam apa yang ingin dicapai. Dengan demikian, pekerjaan manajer publik bukanlah satu-satunya, atau begitu saja membuat pilihan politik dan mengimplementasikannya. Hal ini juga berpartisipasi dalam sebuah sistem penyelenggaraan pemerintahan demokratis dimana nilai-nilai publik secara kontinu diartikulasikan dan diciptakan kembali. (Reich 1988, 123-24).

Celakanya, dalam banyak kasus, pembuat kebijakan gagal untuk melibatkan warga negara dalam proses politik.

167

Page 168: Pelayanan Publik

Peter deLeon telah menguji isu ini secara rinci dan menemukan banyak kekurangan dalam pendekatan saat ini pada pengembangan politik. Berbeda dengan cita-cita ilmu pengetahuan politik dari Harold Lasswell yang mungkin “memperbaiki praktek demokrasi” (dikutip dalam deLeon 1997, 7), penelitian kebijakan saat ini sebagian besar dilakukan oleh analis politik yang dilatih secara teknis terlibat dalam studi-studi politik rinci dan analisis biaya-manfaat. Dalam ucapan Deleon, analis ini “secara efektif diasingkan dari permintaan, kebutuhan dan nilai orang-orang (secara paling kritis) yang mereka reputasikan bisa membantu” (1997, 8). Tanpa keterlibatan orang-orang dalam proses pengembangan politik, ilmu pengetahuan politik mungkin berbahaya menjadi apa yang Lasswell takutkan “ilmu pengetahuan politik tirani”. Berbeda dengan ilmu pengetahuan politik yang didominasi oleh keahlian teknis, melibatkan warga negara biasa dalam proses pengembangan politik nampak paling sesuai dengan impian demokratis.

Meskipun warga negara kadang kala hanya diabaikan dalam proses, dalam contoh lain, mereka terlibat untuk alasan yang salah dan dengan hasil-hasil yang buruk. Misalnya, partisipasi digunakan untuk menunda keputusan-keputusan dengan melibatkan dalam diskusi tanpa akhir atau dilakukan dengan tanpa komitmen nyata pada sebagian administrator dengan menggunakan informasi dan saran yang dikembangkan. Yang tetap lebih buruk, seperti yang sering kita lihat, keputusan telah dibuat, membuat keterlibatan warga negara sebuah kepura-puraan semata. Usaha-usaha

Page 169: Pelayanan Publik

“kosmetik” ini pada partisipasi merupakan kegagalan yang bisa kita pelajari ketika kita memikirkan tentang cara-cara untuk secara lebih penuh melibatkan warga negara dalam proses penyelenggaraan pemerintahan.

Ada pengalaman positif yang jauh lebih banyak dengan keterlibatan warga negara juga – dalam Negara ini dan diseluruh dunia. Contoh-contoh ini didokumentasikan dalam banyak publikasi (misalnya, lihat OECD 2001; Sirianni dan Friedland 2001; Thomas 1995). Didasarkan pada survey lingkup dunia komprehensif terhadap aktivitas-aktivitas ini, The Public Management Service Working Group on Government-Citizen Connections of the Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) mendefinisikan tiga level keterlibatan, informasi, konsultasi, dan partisipasi aktif:

Informasi adalah hubungan satu arah dimana pemerintah menghasilkan dan menyampaikan informasi untuk warga negara. Hal ini mencakup akses “pasif” pada informasi yang diminta oleh warga negara dan ukuran “aktif” dari pemerintah untuk menyebarkan informasi. Contoh-contoh meliputi, akses pada catatan publik, surat kabar resmi, website pemerintah.

Konsultasi adalah hubungan dua arah dimana warga Negara memberikan umpan balik pada pemerintah. Pemerintah mendefinisikan isu-isu untuk konsultasi, menentukan pertanyaan dan mengatur proses, sementara warga negara diundang untuk memberi kontribusi pada pandangan dan opini mereka. Misalnya meliputi, survey opini publik, komentar tentang legislasi draft.

169

Page 170: Pelayanan Publik

Partisipasi aktif adalah sebuah hubungan didasarkan pada kemitraan dengan pemerintah, dimana warga negara secara aktif terlibat dalam mendefinisikan proses dan isi dari pembuatan kebijakan. Hal ini mengakui kedudukan yang sama untuk warga negara dalam penetapan, mengusulkan opsi-opsi kebijakan dan membentuk dialog politik meskipun responsibilitas untuk keputusan akhir atau formulasi kebijakan terletak pada pemerintah. Misalnya meliputi, konferensi konsensus, juri-juri warga negara (OECD 2001, 23).

Dari pada mereview pengalaman praktis partisipasi publik di masa lalu, yang mana dilakukan di tempat lain, malahan kita mungkin akan mereview perdebatan saat ini mengenai bagaimana menghasilkan partisipasi otentik aktif. Sama pentingnya dengan rancangan praktis untuk partisipan, ada kesulitan konseptual signifikan dalam menstruktur proses-proses keterlibatan sipil. Secara menarik, kebanyakan dari keprihatinan ini berpusat pada pertanyaan dialog, perdebatan, pertimbangan, atau wacana – yakni, bagaimana warga negara, politisi dan administrator bisa terlibat dalam diskusi yang penuh dan lengkap tentang isu-isu relevan yang dihadapi pemerintah dengan sebuah cara yang representatif atau bahkan inklusif dari warga negara sebagai satu kesatuan, yang menggabungkan informasi teknis dan preferensi politik, dan yang memperhitungkan semua sudut pandang melalui perdebatan kontruktif dan diberitahukan.

Secara jelas, jalan tradisional untuk partisipasi,

Page 171: Pelayanan Publik

seperti dengar pendapat publik atau dewan penasehat, melibatkan jumlah orang yang terbatas dan secara khusus hanya mereka dengan kepentingan khusus dalam topik yang dibahas. Lagi pula, pendekatan-pendekatan ini terutama dibatasi dalam hal jumlah dialog yang diberitahukan yang dapat terjadi. Untuk alasan ini, mereka menghadirkan para pembuat kebijakan dengan versi opini publik yang agak simetris. Satu cara untuk berusaha bergerak di luar batasan ini adalah dengan menciptakan lembaga yang lebih representatif dan mengijinkan mereka untuk berinteraksi panjang lebar seputar isu-isu politik sebelum sampai pada rekomendasi politik. James Fishkin, misalnya, mendukung apa yang dia sebut dengan “polling opini deliberatif” sebagai sebuah cara menilai lebih baik opini publik (Fishkin 1991, 1995). Polling opini deliberatif menyatukan bersama kelompok orang-orang representatif secara statistic dalam satu tempat selama periode beberapa hari, membenamkan mereka dalam isu melalui materi briefing yang diseimbangkan secara cermat, memungkinkan mereka untuk terlibat dalam sebuah proses interaksi langsung secara terus-menerus dan untuk menanyakan pertanyaan pada para ahli dan pimpinan politik, kemudian sampai pada sebuah kesimpulan. Melalui proses pertimbangan ini, diharapkan bahwa para partisipan akan belajar dari satu sama lain dan bisa memodifikasi posisi awal mereka, mungkin sampai pada sebuah konsensus. Dalam kasus tertentu, polling akhir partisipan kemudian dianggap sebagai sebuah “proksi” untuk masyarakat sebagai satu kesatuan.

171

Page 172: Pelayanan Publik

Karya dari Fishkin diparalelkan dalam beberapa cara dengan karya dari Yankelovich, yang mulai dengan perhatian lain yang dimunculkan di atas – kemungkinan bahwa pengetahuan ahli akan mulai mendominasi proses politik, memungkinkan sedikit ruang untuk publik. Untuk mengimbangi tendensi ini, dia berpendapat untuk mempertinggi mutu opini publik atau apa yang dia istilahkan dengan “pertimbangan publik”, bentuk opini publik tertentu yang memperlihatkan “(1) lebih perhatian, lebih menimbang alternatif-alternatif, keterlibatan lebih sungguh-sungguh dengan isu, lebih memperhitungkan banyak faktor dari pada opini publik ketika diukur dalam polling opini, dan (2) penekanan lebih pada sisi normatif, penilaian, sisi etis dari pertanyaan-pertanyaan dari pada sisi faktual, informasional” (1991). Untuk mempertajam penilaian publik, Yankelovich merekomendasikan proses pertimbangan terstruktur melalui mana para partisipan dapat menilai opsi, mengembangkan informasi yang dibutuhkan untuk membuat pilihan, terlibat dalam diskusi penuh pertimbangan dengan teman mereka, dan sampai pada penilaian/pertimbangan reflektif. Dalam proses ini, partisipan, sebenarnya, warga negara pada umumnya, akan dibantu dengan menciptakan kondisi untuk “dialog”, situasi-situasi dimana ada kesamaan dan ketiadaan pengaruh yang memaksa, mendengarkan dengan empati, dan membawa asumsi ke dalam keterbukaan (1999, 41-44). Sekali lagi, kunci adalah dengan menjawab keahlian teknis (dan potensinya untuk kontrol yang tidak diinginkan) adalah proses dialog luas oleh warga negara. “Informasi yang

Page 173: Pelayanan Publik

dikosongkan dari perasaan-perasaan bukan jalan kerajaan untuk pertimbangan publik; dialog, kaya dalam perasaan dan nilai” (25).

Benjamin Barber menggunakan arah yang sama dalam argumenya atas nama “demokrasi kuat”, sebuah bentuk demokrasi partisipatori yang melibatkan komunitas warga negara “mampu dengan tujuan umum dan tindakan bersama dengan kebaikan sikap sipil mereka dan institusi partisipasi” (1984, 117). Dalam pandangan Barber, massa menjadi warga negara ketika mereka berunding. Partisipasi warga Negara yang kekurangan sifat pertimbangan tidak ada. Untuk alasan ini penting untuk mereka terlibat dalam merancang institusi-institusi yang mungkin memungkinkan keterlibatan warga negara lebih besar untuk memahami secara jelas sifat dari “pembicaraan demokratis”, yang melibatkan mendengarkan serta berbicara, merasa serta berfikir, dan bertindak serta merefleksikan (178). Sekali lagi, sifat empati, emosi, dan aktivitas mulai mengemuka. Dilihat dengan cara ini, pembicaraan demokratis dalam pandangan Barber dapat melayani banyak fungsi. Yang paling sering kita memikirkan pembicaraan politik melibatkan artikulasi kepentingan, persuasi, dan tawar-menawar dan pertukaran. Pembicaraan demokratis dapat juga membantu dalam penetapan, mengkaji kebersamaan, afiliasi dan afeksi, memelihara otonomi, menyaksikan, mengekspresikan, merumuskan kembali, dan mengkonseptualisasikan kembali. Yang paling penting, pembicaraan demokratis dapat membantu dalam bangunan komunitas, menciptakan kepentingan publik, barang

173

Page 174: Pelayanan Publik

konsumsi, dan warga negara yang aktif (178-98).Sejumlah ahli teori telah menguji pertanyaan tentang

demokrasi deliberatif dari perspektif yang lebih filosofis. Jurgen Habermas, misalnya, berpendapat bahwa, meskipun masyarakat kita beroperasi dibawah definisi rasionalitas yang sempit, satu definisi sesuai dengan sebuah masyarakat yang didominasi oleh teknologi dan birokrasi, kami memelihara kapasitas bawaan lahir untuk berfikir dalam pengertian yang jauh lebih luas. Lagi pula, kapasitas untuk berfikir ini memungkinkan kita untuk berkomunikasi lintas berbagai macam batasan sosial dan ideologis. Tetapi untuk alasan yang berlaku dalam situasi tertentu, kita harus (1) terlibat dalam sebuah dialog, bukan sebuah monolog, dan (2) dialog harus bebas dari dominasi dan distorsi. Dimana satu pihak untuk komunikasi memiliki kekuasaan lebih dari pada pihak lain, komunikasi mengalami distorsi. Komunikasi yang sungguh-sungguh dalam sebuah demokrasi hanya dapat terjadi dimana semua bentuk dominasi, baik nampak atau tidak kentara, dihilangkan. Bagian dari kemanusiaan kita adalah “lembut, tetapi keras kepala, tidak pernah diam meskipun jarang mendapatkan kembali klaim untuk berfikir, sebuah klaim yang harus diakui kapan saja dan dimana saja ada tindakan konsensus” (dikutip dalam Yankelovich 1991, 217).

Dalam buku terbaru, Between Facts and Norms,

Habermas (1996) menggunakan teori tindakan komunikatif (secara singkat diuraikan diatas) sebagai basis untuk sebuah bentuk “demokrasi deliberatif”. Meskipun Habermas skeptis terhadap seluruh masyarakat yang memerintah

Page 175: Pelayanan Publik

melalui proses deliberatif, dia merasa bahwa dalam “struktur-struktur diskursif yang dilembagakan” orang-orang sebenarnya dapat sama-sama berfikir. Tetapi ingat masalah distorsi. Distorsi dapat hadir dalam banyak cara – melalui penggunaan kekuasaan dan pengaruh yang jelas., melalui tekanan ekonomi dan manipulasi pasar, atau melalui penangkapan media untuk tujuan politik atau ekonomi. Dibawah kondisi ini, menciptakan demokrasi deliberatif sangat sulit, tetapi setidaknya kita memiliki petunjuk yang sama mengenai apa yang mungkin dibutuhkan untuk mencapai tujuan itu.

Usaha-usaha lain untuk menguraikan teori-teori demokrasi deliberatif berusaha menjelaskan pertimbangan-pertimbangan teoritis mengenai legitimasi berbagai macam bentuk demokrasi deliberatif – dan perdebatan yang dihasilkan kuat. (Lihat, misalnya, Dryzek 1999; Gutman dan Thompson 1996; Macedo 1999). Beberapa dari hal ini difokuskan pada kondisi dimana orang-orang setuju bahwa hasil-hasil dari sebuah proses deliberatif adalah valid. Seyla Benhabib, misalnya, menyatakan tiga kondisi yang dibutuhkan untuk sebuah proses semacam itu dianggap syah, “(1) partisipasi dalam pertimbangan semacam itu diatur oleh norma-norma ekualitas dan simetri; semua memiliki kesempatan yang sama untuk memulai tindakan berbicara, bertanya, menginterograsi, dan untuk membuka perdebatan; (2) semua memiliki hak untuk menanyakan topik-topik percakapan yang ditentukan; (3) Semua memiliki hak untuk memulai argumen reflektif tentang peraturan dari prosedur wacana saat ini dan cara dimana

175

Page 176: Pelayanan Publik

mereka diaplikasikan atau dijalankan” (1996, 70).Ahli teori postmodern, termasuk ahli teori

administrasi publik, juga masuk dalam perdebatan. Charles Fox dan Hugh Miller, misalnya, mengkritik demokrasi perwakilan sebagai perwakilan yang tidak demokratis (1995). Tetapi, kekuatan pertimbangan demokratis yang diduga melegitimasi digantikan oleh sistem birokrasi top-down dan politik yang dipicu oleh media. Sebagai sebuah alternatif, Fox dan Miller menawarkan serangkaian kondisi dimana wacana syah dan “wacana otentik” mungkin terjadi. Pertimbangan semacam itu mungkin terjadi dalam sebuah cara yang mungkin mengeluarkan klaim-klaim tidak jujur, mereka hanya melayani diri sendiri, mereka dari orang-orang yang tidak ingin mengikuti wacana, dan klaim dari “pengedara bebas” (free riders). Forum-forum dibangun dengan norma-norma tambahan, perhatian, dan pemahaman bisa membantu dalam menegaskan kembali cita-cita demokratis. Ahli teori lain, seperti Farmer (1995) dan McSwite (1997), menggunakan isu sebuah tahapan selanjutnya dengan berpendapat bahwa kita yang dibatasi dengan wacana “rasional” bisa menghambat kapasitas kita untuk melihat di luar pengalaman kita dan untuk terlibat ide-ide baru dan hubungan baru dengan cara yang secara fundamental berbeda. “Yang sangat penting dari perspektif wacana adalah ide menciptakan macam hubungan diantara orang-orang sedemikian rupa sehingga ketika mereka terlibat dalam dialog, sumber yang secara fundamental baru akan dimainkan” (McSwite 2000, 60).

Page 177: Pelayanan Publik

KesimpulanDalam bab ini, kami mengkaji kondisi-kondisi baru dimana “penggerak masyarakat” terjadi dan bagaimana Administrasi Publik Lama, Manajemen Publik Baru, dan Layanan Publik Baru merespon tantangan-tantangan kondisi ini hadir untuk para manajer publik yang terlibat dalam proses kebijakan. Berbeda dengan kepercayaan pada keahlian birokratis atau kewirausahaan manajerial, Layanan Publik Baru setuju dengan kapasitas yang dipertinggi untuk keterlibatan warga negara dalam semua aspek proses. Kami menguji berbagai macam pendekatan dengan melibatkan warga negara dalam proses penyelenggaraan pemerintahan, serta beberapa pertimbangan teoritis penting yang harus masuk dalam pilihan rancangan. Meskipun kita akan menjelaskan sekali lagi bahwa ada perbedaan-perbedaan, bahkan perbedaan yang dramatis, diantara sudut pandang ini, mereka semua berbagi kepentingan yang sama untuk penyelenggaraan pemerintahan demokratis dan keterlibatan sipil yang merupakan pusat Layanan Publik Baru, meskipun hilang dalam Administrasi Publik Lama dan Manajemen Publik Baru. Dalam semua kasus, para ahli teori ini berhubungan dengan memperbaiki dialog, pertimbangan, atau wacana untuk memenuhi prinsip penyelenggaraan pemerintahan yang demokratis secara lebih baik.

177

Page 178: Pelayanan Publik

BAB 6BERPIKIR STRATEGIS, BERTINDAK DEMOKRATIS

“Berpikir strategis, bertindak demokratis. Kebijakan dan program-program yang memenuhi kebutuhan publik bisa dicapai paling efektif dan masuk akal melalui usaha-usaha kolektif dan proses kolaboratif”.

Dalam Bab 4, kami berpendapat bahwa kepentingan publik didasarkan pada dialog publik luas dan pertimbangan mendalam mengenai nilai dan kepentingan bersama. Dalam layanan Publik Baru, idenya bukanlah untuk menetapkan visi dan meninggalkan implementasinya dalam pemerintahan; tetapi menyatukan seluruh pihak dalam proses perancangan dan pelaksanaan program pendidikan sipil dan dengan membantu mengembangkan rentang pemimpin sipil luas, pemerintah dapat merangsang rasa kebanggaan dan tanggung jawab sipil. Kami meyakini bahwa rasa bangga dan tanggung jawab ini akan muncul dalam kemauan yang lebih besar untuk terlibat dalam beberapa level, ketika seluruh pihak bekerja sama menciptakan peluang bagi partisipasi, kolaborasi dan komunitas. Sekali lagi partisipasi ini hendaknya tidak dibatasi pada pembentukan isu, tetapi juga harus meluas pada implementasi kebijakan.

Bagaimana hal ini dapat dilakukan? Memulai dari sana merupakan sebuah peran penting dan jelas dari kepemimpinan politik – mengekspresikan dan mendorong penguatan tanggung jawab penduduk dan mendukung kelompok dan individu yang terlibat dalam pengembangan badan komunitas. Pemerintah tidak dapat menciptakan komunitas;

Page 179: Pelayanan Publik

tetapi pemerintah, dan khususnya pemimpin politik bisa menetapkan dasar bagi tindakan penduduk yang efektif dan bertanggung jawab. Orang harus menyadari bahwa pemerintah itu terbuka dan dapat diakses – dan hal tersebut tidak akan tercapai jika pemerintah tidak terbuka dan tidak dapat diakses, baik dalam proses perumusan kebijakan maupun implementasi program. Orang harus menyadari bahwa pemerintah itu responsif – dan bahwa hal tersebut tidak akan terjadi jika pemerintah tidak responsif terhadap pembentukan program dan pemberian layanan. Orang harus menyadari bahwa pemerintah itu ada untuk memenuhi kebutuhan mereka – dan hal ini tidak akan tercapai jika pemerintah tidak ada dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan penduduk. Cara terbaik untuk melakukan hal tersebut adalah menciptakan peluang bagi partisipasi dan kolaborasi dalam mencapai tujuan publik. Tujuannya adalah untuk memastikan bahwa pemerintah itu terbuka dan dapat diakses, responsif dan melayani penduduk serta menciptakan peluang bagi kewarganegaraan dalam seluruh fase proses kebijakan.

Asumsi-asumsi yang terkait dengan peran administrator publik dan penduduk dalam implementasi kebijakan publik merupakan kunci untuk memahami sifat dari kewarganegaraan dan hubungan administrasi publik dengan sistem pemerintahan demokratis yang lebih besar. Para penulis awal menyatakan bahwa peran dari administrasi publik mencakup implementasi efisien tujuan-tujuan yang ditetapkan secara politis dengan sedikit keterlibatan penduduk atau keterlibatan secara tidak

179

Page 180: Pelayanan Publik

langsung. Karya-karya selanjutnya memotret proses implementasi yang lebih kompleks dan multi-aspek, tetapi masih mengabaikan peran penduduk.

Untuk memahami prinsip dasar dari implementasi dalam konteks nilai-nilai Layanan Publik Baru, bab ini akan terlebih dulu secara singkat memperhatikan evolusi teori implementasi kontemporer dan menghubungkannya dengan asumsi dan nilai-nilai dari Manajemen Publik Baru. Kemudian kami lanjutkan dengan penjelasan mengenai fondasi-fondasi teoritis yang mendukung pendekatan yang lebih demokratis dan partisipatif terhadap implementasi selanjutnya.

Implementasi dalam Perspektif HistorisYang menarik, studi “implementasi” tidak ada dalam tahap-tahap awal perkembangan administrasi publik. Hal ini bukan karena agen-agen publik tidak terlibat dalam implementasi, tetapi dalam beberapa hal implementasi tidak dapat dilihat sebagai konsep atau fungsi terpisah karena implementasi membentuk keseluruhan bidang administrasi publik. Secara virtual tujuan tunggal dari agen publik adalah mengimplementasikan kebijakan dan program yang telah ditetapkan secara politis. Karena tujuan dari administrasi publik adalah untuk mempertahankan netralitas dan menggunakan keahlian administratif untuk mencapai efisiensi, tidak ada kebutuhan untuk memiliki sebuah konsep implementasi karena asumsinya adalah bahwa kebijakan akan tetap tidak berubah ketika agen-agen publik menjalankannya. Secara

Page 181: Pelayanan Publik

keseluruhan seperti yang dikatakan oleh Wilson, Goodnow dan ahli penemu lainnya dalam bidang tersebut, bentang politik membuat keputusan dan peralatan administratif hanya secara sederhana dan mekanis mewujudkannya ke dalam tindakan. Pendeknya, proses implementasi kebijakan tidak membutuhkan studi atau teori karena tidak dianggap penting dalam hubungannya dengan keputusan-keputusan yang telah dibuat oleh para politisi.

Teori dan praktek memfokuskan pada pencapaian tujuan-tujuan yang telah ditetapkan secara politik. Hal ini mendorong pada konsentrasi struktur dan fungsi organisasi yang lama ada dalam bidang tersebut. Bahkan pada tahun 1940 dan 1950-an, dengan pemahaman yang lebih besar bahwa politik dan administrasi tidak sepenuhnya terpisah, fokusnya tetap pada manajemen organisasi untuk mencapai efisiensi dan efektivitas biaya.

Tidak sampai pada kemunculan studi kebijakan pada tahun 1970-an, ide mengenai aktivitas organisasi publik sebagai implementer kebijakan (yang ditentang oleh manajer organisasi) dipegang erat. Karya signifikan pertama yang terkait dengan implementasi sebagai sebuah isu berbeda adalah buku Jeffrey Pressman dan Aaron Wildavsky tahun 1973, Implementation: How Great

Expectation in Washington Are Dashed in Oakland. Para penulis ini menunjukkan serangkaian kegagalan dan masalah-masalah implementasi dari proyek Administrasi Perkembangan Ekonomi Federal di Oakland, California, yang menemukan bahwa meskipun program tersebut dimulai dengan tujuan yang baik dan komitmen kuat, implementasi aktual

181

Page 182: Pelayanan Publik

dari proyek federal skala besar ini sangat sulit dan tidak berhasil. Kesimpulannya adalah bahwa kebijakan tidak secara otomatis diterjemahkan sebagai determinan utama dari hasil-hasil kebijakan. Karya Pressman dan Wildavsky merupakan titik luncur bagi sejumlah karya yang berusaha memahami dan menjelaskan proses implementasi. Faktanya enam tahun setelah Wildavsky, pembukaan pada edisi kedua dari buku mereka memberi komentar bahwa implementasi telah menjadi sebuah industri pertumbuhan (1979).

Meskipun perhatian tinggi diberikan kepada implementasi kebijakan selama tiga dekade terakhir, pemetaan batas-batas dari teori implementasi masih tetap sulit. Kebingungan ini sebagian disebabkan oleh adanya fakta bahwa riset implementasi terus tumpang tindih dan ditarik dari karya dalam teori organisasi, pembuatan keputusan, perubahan organisasi dan hubungan antar-pemerintahan. Dalam Implementation Theory and Practice: Toward a Third Generation (1990), Goggin dan rekan membagi perkembangan implementasi ke dalam riset generasi pertama, kedua dan ketiga. Tipologi tiga generasi riset ini memberikan sebuah dasar penting dalam meninjau ulang evolusi historis dari teori implementasi.

Generasi Pertama

Riset generasi pertama terhadap implementasi, termasuk karya Wildavsky dan Pressman menggagas proses kebijakan linear top-down yang didorong oleh bahasa hukum dan

Page 183: Pelayanan Publik

tujuan dari pejabat terpilih. Model top-down dimulai dengan keputusan-keputusan dari pembuat kebijakan, yang umumnya diekspresikan dalam bahasa hukum dan menjalankan proses kebijakan “ke bawah”. Model ini beranggapan bahwa implementasi harus menjadi sebuah proses linear di mana arah kebijakan diterjemahkan ke dalam aktivitas-aktivitas program dengan penyimpangan yang sedikit mungkin. Riset generasi pertama didasarkan pada studi kasus satu situs dan dikonsentrasikan pada dua sumber kegagalan implementasi: isi kebijakan dan ketidakmampuan orang dan organisasi dalam mengimplementasikannya secara tepat. Meskipun riset generasi pertama terhadap implementasi ditempatkan pada dasar-dasar studi, riset ini secara metodologis dianggap lemah karena secara umum tidak teoritis dan merupakan kasus khusus.

Dalam kerangka ini, ketertarikan dalam studi implementasinya dimulai dibangun pada awal tahun 1980-an. Misalnya dua artikel dipublikasikan dalam Public Administration Review melaporkan hasil-hasil dari kasus implementasi khusus. Pertama, Weimer pada analisisnya tahun 1980 mengenai implementasi sebuah sistem manajemen kasus otomatis menemukan bahwa tiga jenis masalah ditemukan dalam proyek tersebut: masalah rancangan dan kognisi, masalah kerja sama organisasi dan kualitas data yang buruk. Dia menyimpulkan bahwa bantuan teknis barangkali bisa membantu mengatasi masalah rancangan dan kognisi.

Kedua, Menzel meneliti implementasi dari Federal Surface Mining Control and Reclamation Act yang

183

Page 184: Pelayanan Publik

dikonsentrasikan pada peran pembuat aturan administratif dan menemukan bahwa batas waktu hukum, hubungan antar-pemerintahan kompleks dan kurangnya klien pendukung memperburuk masalah implementasi (1981). Dalam kedua contoh ini, riset merupakan program khusus; sehingga beberapa proposisi umum bisa dihasilkan.

Isu implementasi juga dibahas dalam literatur mengenai evaluasi program selama periode waktu ini. Tiga artikel muncul dalam Evaluation and program Planning pada tahun 1982 yang menunjukkan pentingnya mempertimbangkan apa yang disebut sebagai kesalahan “tipe III” dalam evaluasi. Kesalahan tipe III merupakan kesalahan yang terjadi karena kegagalan untuk membawa kelompok eksperimental pada variabel bebas, dengan kata lain, ketika hasil-hasil ditempatkan secara keliru dalam aktivitas-aktivitas program yang tidak pernah diimplementasikan secara ktual.

Pada seluruh kasus ini, fokus eksplisitnya adalah pada ide bahwa implementasi sering kali berjalan dengan keliru dan bertentangan dengan tujuan dari pembuat kebijakan. Tetapi yang terdapat secara implisit dalam temuan-temuan ini adalah sebuah asumsi bahwa implementasi harus merupakan proses linear top-down di mana arah kebijakan diterjemahkan ke dalam aktivitas-aktivitas program dengan penyimpangan sekecil mungkin.

Generasi Kedua

Dalam riset implementasi generasi kedua, asumsi top-down diubah. Dengan kata lain, ketidakpuasan terhadap

Page 185: Pelayanan Publik

perspektif top-down mendorong para ahli untuk mengembangkan sejumlah model yang melihat implementasi dari bawah ke atas. Linder dan Peters (1986), misalnya, menyatakan bahwa untuk keberhasilan implementasi, rancangan program harus memperhatikan kebutuhan dan nilai-nilai dari implementer. Model bottom-up menunjukkan keberadaan jaringan pelaku yang tujuan, strategi dan tindakannya harus diperhatikan dalam memahami implementasi. Dalam model ini, agen-agen implementasi memainkan sebuah peran positif , tepat dan dibutuhkan dalam mendefinisikan dan memfokuskan kembali para perundang-undangan sesuai dengan realitas tingkat organisasi. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah bagaimana anda menentukan keberhasilan? Dalam model top-down, keberhasilan dicapai ketika implementer tidak menyimpang dari kebijakan yang ditetapkan secara politik. Dalam model bottom-up, asumsinya adalah bahwa implementer dianggap menjalankan diskresi dan mendefinisikan kembali program dan kebijakan secara tepat.

Kemudian peneliti implementasi berusaha meleburkan atau mengintegrasikan model top-down dengan bottom-up ini. Dalam model terpadu ini, implementasi terjadi dalam sebuah proses kebijakan interaktif dan sirkular. Sehingga adaptasi dan direksi dalam proses implementasi dilihat sebagai hal yang dibutuhkan dan diharapkan. Tetapi kepemimpinan legislatif juga dianggap penting. Model ini secara eksplisit mengakui bahwa baik pembuat kebijakan maupun administrator secara aktif terlibat dalam proses implementasi.

185

Page 186: Pelayanan Publik

Pendeknya berbagai perspektif mengenai implementasi kebijakan telah muncul. Model top-down beranggapan bahwa implementasi harus merupakan sebuah proses linear yang dikontrol oleh pembuat kebijakan. Perspektif bottom-up melihat kontrol dan menjalankan diskresi di bagian bawah birokrasi menjadi satu bagian tepat dari implementasi. Pandangan terpadu menggunakan perspektif top-down dan bottom-up dengan mengakui pentingnya kepemimpinan baik dari atas dan diskresi dari bawah.

Generasi Ketiga

Dalam generasi ketiga riset, pertanyaan lebih banyak memfokuskan pada rancangan kebijakan dan jaringan kebijakan dan implikasinya bagi bagaimana “kesuksesan” implementasi bisa dievaluasi dengan paling tepat. Dengan kata lain, terdapat peningkatan kesadaran bahwa cara merancang program dan kebijakan menentukan bagaimana dan seberapa sukses program dan kebijakan tersebut diimplementasikan di dalam jaringan kebijakan tertentu.

Sayangnya implementasi sering kali tidak dipertimbangkan dalam rancangan kebijakan. Para ahli berdebat bahwa implementasi bukan merupakan sebuah kegagalan jika kebijakannya dirancang dengan buruk atau tidak tepat; dengan kata lain, kesuksesan harus diperhatikan sesuai dengan pertimbangan rancangan (Linder dan Peters, 1987). Dennis Palumbo (1987) menyatakan masalahnya adalah bahwa riset yang ada tidak membedakan antara kegagalan implementasi dengan masalah-masalah yang muncul dari rancangan kebijakan yang buruk. Dia juga

Page 187: Pelayanan Publik

mengkritik bias top-down yang meyakini bahwa tujuan dan maksud dari pembuat kebijakan lebih tinggi dibandingkan maksud dan tujuan dari implementer level jalan serta kegagalan untuk melihat adaptasi secara tepat dalam implementasi yang dibutuhkan dan diharapkan. Selain itu menurut Palumbo, bidang riset implementasi memiliki bias ideologis yang mendorong investigator untuk beranggapan bahwa pemerintah tidak dapat melakukan hal yang benar.

Tetapi pada sisi positif Palumbo berpendapat bahwa inkuiri memberi kita sejumlah pandangan penting yang akan mengubah cara pemahaman terhadap implementasi. Diantara yang paling penting dari pandangan ini adalah bahwa peralatan implementasi lebih penting dibandingkan teknik manajemennya. Ini menjadi lebih penting dalam jaringan kebijakan kompleks. Cline (2000) menyatakan bahwa proses implementasi didefinisikan melalui dua cara: sebagai masalah manajemen organisasional yang didasarkan pada proses administratif atau sebagai sebuah masalah mengenai bagaimana memunculkan kerjasama dari partisipan dalam proses implementasi.

Satu cara dalam melihat jaringan implementasi adalah dari sebuah perspektif komunikasi antar-pemerintahan. Goggin dan rekan, misalnya, melihat implementasi dari sebuah kerangka pembuatan kebijakan antar-pemerintahan yang didasarkan pada “pesan, pembawa pesan, saluran, target yang berjalan di dalam sebuah sistem komunikasi luas” (Goggin dkk, 1990, 33). Sistem komunikasi ini memberikan pesan politis terkait dengan kesimpulan, batasan, harapan dan desakan dalam kerangka antar

187

Page 188: Pelayanan Publik

pemerintahan. Lynn, Fienrich dan Hilal melihat implementasi dalam

setting jaringan: “publik, non-profit dan sektor-sektor pemilik melalui jaringan negara, area, distrik khusus, area pemberian layanan, kantor lokal, organisasi independen, asosiasi kolaboratif, kemitraan atau entitas administratif lainnya” (2000,551). Tidak seperti Goggin, para peneliti ini meneliti implementasi dari sebuah perspektif ekonomi politik yang menekankan pada “Logika pemerintahan”. Logika pemerintahan yang didasarkan pada konsep ekonomi politik berhubungan dengan pilihan dan konsekuensi rasional dari mekanisme yang digunakan oleh bentuk-bentuk kelembagaan alternatif untuk membatasi dan mengontrol perilaku.

Meskipun sebagian besar literatur terbaru menganalisis implementasi dari sebuah perspektif rancangan kebijakan, Linder dan Peters (1986) mengingatkan bahwa sebuah perspektif rancangan yang diambil dalam sisi logisnya akan mendorong pada munculnya pandangan bahwa kebijakan yang baik adalah kebijakan yang paling layak atau yang bisa diimplementasikan dengan paling mudah, yaitu arah yang salah dari ilmu kebijakan. Menurut pandangan mereka, yang lebih bermakna adalah memfokuskan pada perintah kebijakan terlebih dulu, lalu mempertimbangkan instrumen-instrumen alternatif bagi pencapaiannya.

Pendeknya dengan bergerak melalui berbagai generasi riset mengenai implementasi akan muncul dua trend. Pertama, terjadi perubahan yang menjauh dari pandangan

Page 189: Pelayanan Publik

implementasi kebijakan sebagai sebuah proses linear unidireksional di mana maksud dari pejabat terpilih benar-benar diikuti (keberhasilan implementasi) atau atau tidak (kegagalan implementasi). Implementasi dilihat sebagai sebuah proses interaktif sirkular. Kedua, sejumlah variabel terbukti mempengaruhi proses implementasi, termasuk pelaku individu, pertimbangan perilaku manusia, faktor-faktor organisasi dan faktor-faktor institusional dan interinstitusional dan rancangan kebijakan. Sehingga studi implementasi tidak lagi memfokuskan secara eksklusif pada agen tunggal sebagai unit analisis. Tetapi mereka melihat implementasi dalam konteks jaringan kebijakan.

Administrasi dan Implementasi Publik LamaSeperti dinyatakan pada awal bab ini, dalam ortodoksi administrasi publik, terdapat sedikit perbedaan antara proses administratif dengan proses implementasi. Implementasi adalah apa yang menjadi tanggung jawab dari administrasi publik. Sehingga meskipun apa yang nanti disebut sebagai model “implementasi” itu tidak ada, terdapat sejumlah asumsi implisit mengenai sifat dari implementasi (yang ekuivalen dengan administrasi efisien dan netral) dan cara terbaik untuk mencapainya.

Asumsi pertama adalah bahwa proses implementasi kebijakan itu top-down, hierarkis dan unidireksional. Dinyatakan bahwa kebijakan terbentuk sepenuhnya pada ambang pintu agen-agen administratif. Agen-agen ini kemudian menegaskan agar kebijakan atau program

189

Page 190: Pelayanan Publik

ditempatkan dengan sedikit kebutuhan untuk melakukan penilaian atau diskresi. Faktanya diskresi tidak diakui sebagai bagian yang dibutuhkan dalam tugas administrator publik. Tetapi agen dan manajernya harus menerapkan keahlian administratif untuk mengontrol proses sehingga kebijakan akan ditempatkan secara tepat seperti yang dimaksudkan oleh pembuat kebijakan. Tugas dari agen-agen administratif adalah secara netral menjalankan hukum yang dikeluarkan oleh pihak legislatif.

Kedua, karena pengaruh manajemen ilmiah dan penekanan pada organisasi formal, fokusnya adalah pada perilaku pengontrol untuk menyesuaikan prinsip-prinsip yang diperoleh secara ilmiah ini. Lalu tugasnya adalah menemukan prosedur yang paling bisa diprediksi, reguler dan tepat dan aturan-aturan untuk mengimplementasikan program, lalu menggunakan teknik dan kontrol manajemen untuk memastikan bahwa orang di dalam organisasi melakukan apa yang harus mereka lakukan. Fokus tunggalnya adalah pada manajemen organisasi dan orang yang bertanggung jawab dalam menyediakan layanan dan fungsi dalam mendukung kebijakan yang ditetapkan. Nilai menonjolnya adalah efisiensi: memberikan layanan pada biaya paling rendah sesuai dengan hukum.

Asumsi ketiga adalah bahwa implementasi bukan merupakan bagian dari proses kebijakan. Proses administratif dan pembuatan kebijakan (seperti dinyatakan melalui dikotomi politik/administrasi) sepenuhnya terpisah. Sehingga tidak ada pertanyaan mengenai apakah kebijakan itu baik atau buruk, dapat diterapkan atau

Page 191: Pelayanan Publik

tidak, yang ada hanyalah kekuatan pembimbing di belakang apa yang harus dilakukan oleh administrator dalam cara yang paling efisien. Karena asumsi-asumsi ini, berpikir strategis – dan tidak mengimplementasikan program secara demokratis – akan tidak tepat dan tidak dibutuhkan.

Manajemen dan Implementasi Publik BaruSulit untuk menghilangkan asumsi yang terkait dengan

proses implementasi yang terdapat dalam Manajemen Publik Baru. Hal ini sebagian disebabkan oleh fakta bahwa Manajemen Publik Baru tidak berhubungan dengan implementasi secara langsung. Tetapi teori pilihan publik dan manajemen publik baru menyatakan bahwa pada dasarnya pemerintah keluar dari jalur untuk mengikuti kekuatan dan dorongan pasar dalam mencapai tujuan publik. Seperti yang akan kita eksplorasi secara lebih jelas pada bagian ini, para pendukung dari Manajemen Publik Baru berbicara mengenai mekanisme dan pendekatan yang sama dalam implementasi dan keterlibatan penduduk yang ditemukan dalam literatur mengenai layanan Publik Baru, tetapi pendekatan-pendekatan ini didasarkan pada asumsi-asumsi fundamental berbeda dan di justifikasi karena alasan-alasan yang berbeda. Sehingga meskipun pendekatan-pendekatannya sepertinya sama dalam beberapa hal, dan bahkan menggunakan terminologi yang sama, implementasi Manajemen Publik Baru berbeda dengan Administrasi Publik Lama dan Layanan Publik Baru.

Dua pendekatan utama dalam implementasi yang diterima oleh para ahli Manajemen Publik Baru adalah

191

Page 192: Pelayanan Publik

privatisasi dan co-produksi – dengan kata lain, melepaskan implementasi dari tangan birokrat dan menuju arena seperti pasar. Seperti dinyatakan sebelumnya, privatisasi merupakan sebuah prosedur dari gerakanan Manajemen Publik Baru. Pandangan implementasi yang didukung oleh para ahli Manajemen Publik Baru adalah melepaskan fungsi implementasi dari birokrasi dan mengenalkan dorongan seperti bisnis untuk memastikan bahwa program diimplementasikan secara benar dan efisien.

Jika Administrasi Publik Lama mencari implementasi efisien dari top-down, Manajemen Publik Baru berusaha mencari implementasi efisien secara literal dari samping – dari sektor swasta menuju ranah publik, dan dari bottom – dari konsumennya. Co-produksi adalah keterlibatan penduduk dalam memproduksi dan memberikan layanan publik. Para ahli pilihan publik, Vincent dan Elinor Osbtrom adalah di antara orang pertama yang menggunakan istilah “co-produksi” dalam diskusinya mengenai barang-barang publik dalam hubungannya dengan tatanan kelembagaan untuk pemberian layanan (Ostrom dan Ostrom, 1971). Ironisnya beberapa pendukung awal lainnya terhadap co-produksi (di bahas pada bagian berikutnya) mendukung penggunaan keterlibatan penduduk untuk memberdayakan komunitas, tetapi ide ini secara cepat dilingkupi oleh ide penggunaan co-produksi untuk mengurangi biaya.

Penekanan terhadap pengurangan biaya dan penghilangan tekanan terhadap pemberdayaan ini diungkapkan oleh John Alford yang menyatakan bahwa masalah dengan co-produksi muncul ketika terlalu

Page 193: Pelayanan Publik

tergantung pada volunteerisme dan altruisme. Pandangan Alford ini didasarkan pada ide dan norma-norma pasar. Dia menyatakan bahwa organisasi bisa memberikan dorongan kepada klien untuk berperilaku melalui cara-cara yang bisa menurunkan biaya organisasi.

Di sisi lain Brudney dan England (1983) menyatakan bahwa co-produksi bekerja dengan baik untuk mengurangi biaya dan meningkatkan performa jika didasarkan pada kerja sama suka rela dari penduduk dan perilaku yang aktif, tidak pasif. Tetapi fokusnya tetap pada co-produksi sebagai ukuran penghematan biaya dalam merespons batasan-batasan fiskal: “Dengan melengkapi – atau barangkali menggantikan – tenaga dari pejabat publik yang dibayar dengan aktivitas berorientasi layanan dari pemukim urban, coproduksi memiliki potensi untuk meningkatkan kualitas dan efisiensi layanan kota” (1983, 959). Dengan kata lain, dalam Manajemen Publik Baru, keterlibatan penduduk terkait dengan “perilaku produktif yang dapat meningkatkan level dan kualitas dari layanan yang disediakan” (Percy 1984,432, tambahan penekanan).

Layanan Publik Baru dan ImplementasiDalam Layanan Publik Baru, fokus utama dari

implementasi adalah keterlibatan penduduk dan bangunan komunitas. Penduduk tidak diperlakukan sebagai penghambat implementasi yang benar, dan mereka juga tidak digunakan sebagai kendaraan bagi pengurangan biaya. Tetapi keterlibatan penduduk dilihat sebagai sebuah bagian yang tepat dan dibutuhkan dari implementasi kebijakan dalam

193

Page 194: Pelayanan Publik

sebuah demokrasi. Karena direksi harus dilakukan dalam implementasi kebijakan, diskresi harus diinformasikan melalui partisipasi penduduk. Peter deLeon (1999) menyatakan, misalnya, bahwa dengan memberikan penekanan yang lebih besar terhadap bentuk implementasi demokrasi dan partisipatif, digabungkan dengan metodologi yang lebih postpositivist, kita akan mendapatkan pemahaman yang lebih baik mengenai bagaimana implementasi bisa berhasil.

Dalam Layanan Publik Baru, keterlibatan penduduk tidak terbatas pada penetapan prioritas. Faktanya kita akan mengelola organisasi publik sehingga dapat meningkatkan dan mendorong keterlibatan penduduk dalam seluruh aspek dan fase proses pembuatan kebijakan dan implementasi. Melalui proses ini, penduduk “melihat diri mereka sebagai penduduk...bukan sebagai konsumen, klien dan penerima negara administratif” (Stivers 1990, 96). Para penduduk menjadi terlibat dalam pemerintahan, bukan hanya memberikan tuntutan kepada pemerintah untuk memenuhi kebutuhan jangka pendeknya. Pada waktu yang bersamaan, organisasi menjadi “ruang publik di mana manusia (penduduk dan administrator) dengan perspektif yang berbeda...bertindak bersama-sama bagi kebaikan publik” (96). Interaksi dan keterlibatan dengan penduduk inilah yang memberikan tujuan dan makna bagi layanan publik.

Dari perspektif Layanan Publik Baru, mekanisme seperti co-produksi diperoleh dari konsep komunitas, bukan dari konsep pasar. Komunitas ditandai oleh

Page 195: Pelayanan Publik

interaksi sosial, sebuah ikatan umum bersama. Dalam jenis komunitas ini, penduduk dan pegawai negeri memiliki tanggung jawab yang saling menguntungkan dalam mengidentifikasi masalah dan mengimplementasikan solusi. Tidak adanya sifat-sifat komunitas ini memberikan kontribusi terhadap hubungan kepentingan pribadi dengan impersonal antar manusia. Dalam lingkungan ini, satu-satunya cara untuk mengimplementasikan kebijakan adalah menawarkan insentif atau disinsentif dalam memodifikasi pilihan dari orang-orang yang memiliki kepentingan pribadi.

Para pendukung Layanan Publik Baru menyatakan bahwa terlalu sedikit perhatian yang diberikan kepada penduduk yang berpartisipasi dalam pembuatan keputusan pemerintah dan pemberian layanan secara aktual. Dalam Layanan Publik Baru, penduduk dan administrator berbagi tanggung jawab dan bekerja sama untuk mengimplementasikan program. Dalam proses tersebut, penduduk belajar lebih banyak mengenai pemerintah dan pemerintah belajar lebih banyak mengenai penduduk. Charles Levinne (1984), misalnya, berbicara langsung mengenai isu ini, dengan mengatakan bahwa perdebatan mengenai keterlibatan penduduk dalam penyampaian layanan publik terlalu sering memfokuskan pada kriteria ekonomi dan politik sempit.

Terkait dengan privatisasi Levine menyatakan bahwa efisiensi sering kali muncul karena adanya keuntungan dalam memilih antar penawar yang saling bersaing. Tetapi dalam model privatisasi, kondisi idealnya adalah bahwa salah satu ari keberadaan pemerintah adalah memberikan

195

Page 196: Pelayanan Publik

lingkungan kompetitif di mana perusahaan memberikan layanan kepada konsumen dengan atau tanpa kontrak pemerintah. Tatanan seperti ini tidak memberikan kontribusi bagi pengembangan kepercayaan kewarganegaraan atau penduduk. Penduduk dilihat dan diperlakukan hanya sebagai konsumen layanan swasta yang berperilaku seperti ketika mereka membeli layanan dari sebuah perusahaan. Pendeknya privatisasi tidak dapat mendorong pada penduduk yang baik, hanya kemungkinan terbentuknya konsumen yang lebih pintar. Sebaliknya co-produksi menurut Levine “menempatkan fondasi bagi hubungan positif antara pemerintah dengan penduduk dengan membuat penduduk sebagai bagian integral dari proses pemberian layanan” (288).

KesimpulanKami menyimpulkan dengan melihat bahwa perbedaan antara pendekatan Manajemen Publik Baru terhadap co-produksi dengan Layanan Publik Baru bukan hanya merupakan masalah semantik. Misalnya, salah satu dari aplikasi teknik co-produksi yang paling banyak digunakan adalah dalam area tugas polisi. Pikirkan sesaat mengenai apa program kebijakan nantinya jika hanya difokuskan pada penghematan biaya dan efisiensi – prosedur Manajemen Publik Baru. Jika departemen polisi berusaha meningkatkan efisiensi dan mengurangi biaya, penduduk dapat, misalnya, direkrut melalui serangkaian insentif atau disinsentif untuk melaporkan kejahatan yang terjadi dan/atau menciptakan pengawasan di lingkungan rumah tangganya untuk mencegah

Page 197: Pelayanan Publik

aktivitas kejahatan. Alternatif ini dan yang lainnya akan dievaluasi dengan didasarkan pada tingkat pengurangan biaya layanan kebijakan dengan melibatkan konsumen dan bantuan mereka untuk memenuhi tujuan dari departemen kepolisian. Dalam beberapa kasus dan dalam beberapa fungsi barangkali dapat disimpulkan bahwa privatisasi merupakan alternatif yang lebih dipilih karena adanya penghematan biaya yang bisa diperoleh dari perusahaan-perusahaan swasta yang merekrut pengutas keamanan kurang terlatih dengan gaji rendah. Peran dari departemen kepolisian salah satunya adalah menciptakan lingkungan yang kompetitif. Peran dari petugas kepolisian dalam hubungannya dengan aktivitas produksi adalah memastikan bahwa penduduk dan kelompok-kelompok rumah tangga memahami tujuannya secara jelas dan sebanyak mungkin menyerap fungsi kebijakan dengan biaya efisien dan praktis untuk mengurangi dan mencegah kejahatan. Akan muncul tuntutan kecil terhadap hubungan berkelanjutan antara petugas polisi dengan penduduk. Faktanya usaha seperti itu akan sangat mahal karena mereka akan mengubah personel polisi dari kewajiban tradisionalnya menjadi petugas yang siap mengatasi kejahatan.

Di sisi lain, co-produksi yang diperoleh dari kondisi ideal komunitas dan kewarganegaraan seperti dalam layanan Publik Baru terlihat sangat berbeda. Polisi masyarakat seperti yang banyak diketahui umumnya melibatkan kerja sama anggota komunitas untuk mengembangkan solusi kreatif bagi permasalahan rumah tangga. Polisi masyarakat didasarkan pada “konsep yang

197

Page 198: Pelayanan Publik

menyatakan bahwa petugas kepolisian dan penduduk pribadi yang bekerja sama melalui cara-cara kreatif dapat membantu menyelesaikan masalah komunitas kontemporer” (Trajnowicz dkk, 1998, 3). Hal ini membutuhkan adanya perubahan dalam hubungan antara petugas polisi dengan penduduk, yang memberdayakan mereka untuk menetapkan prioritas polisi dan melibatkan mereka dalam usaha-usaha untuk meningkatkan kualitas hidup dari lingkungan rumah tangganya. Meskipun mekanisme yang digunakan dalam usaha-usaha ini mungkin sama dengan yang digunakan dalam strategi pengurangan biaya dan strategi yang didorong oleh pasar, dalam prakteknya mereka berbeda. Pengawasan dalam lingkungan rumah tangga, misalnya akan digunakan sebagai kendaraan dalam membangun ikatan komunitas dan hubungan antara pekerja publik dengan penduduk untuk mengatasi masalah-masalah dalam lingkungan rumah tangga. Tujuannya bukan untuk mengurangi biaya marginal dari petugas polisi yang merespons panggilan, tetapi membangun masyarakat yang lebih kuat, dengan penduduk yang terlibat dan diberdayakan untuk mencegah dan mengurangi kejahatan, dan yang berbagi tanggung jawab dengan petugas pemerintah dalam membuat komunitasnya menjadi lebih baik. Peran dari pelayan publik salah satunya adalah memfasilitasi dan mendorong keterlibatan tersebut dan membantu membangun kapasitas penduduk.

Page 199: Pelayanan Publik

BAB 7MENGAKUI BAHWA AKUNTABILITAS BUKANLAH HAL YANG SEDERHANAAkuilah bahwa akuntabilitas bukanlah hal sederhana. Pegawai negeri seharusnya lebih memperhatikan pangsa pasar; mereka seharusnya mengikuti undang-undang dan hukum konstitusional, nilai-nilai komunitas, norma-norma politik, standar professional, dan kepentingan warga Negara.

Masalah akuntabilitas dan responsibilitas dalam pelayanan umum benar-benar kompleks. Para administrator publik telah dan seharusnya memiliki tanggung jawab pada sebuah konstelasi institusi dan standar, termasuk kepentingan umum, undang-undang dan hukum konstitusional; agensi-agensi lain; level pemerintahan lain; media, standar profesional; nilai-nilai dan standar-standar komunitas; faktor-faktor situasional; norma demokrasi; dan tentu saja warga negara. Memang, mereka diharuskan bersikap responsif terhadap semua bermacam-macam norma, nilai dan preferensi dari sistem pemerintahan kita yang kompleks. Variabel-variabel ini merepresentasikan sesuatu yang tumpang tindih, kontradiktif, dan poin-poin akuntabilitasnya terus berkembang. Sebagai akibatnya, ada tantangan signifikan yang dihadapi dalam “membangun harapan, memverifikasi performa, memelihara daya respon terhadap agen, menilai kesalahan, memilah-milah tanggung jawab, menentukan siapa penguasa (penanggungjawab)-nya, dan mengatur dibawah kondisi-kondisi sistem akuntabilitas” (Romzek dan Ingraham 2000, 241-42).

199

Page 200: Pelayanan Publik

Layanan Publik Baru mengakui baik sentralitas akuntabilitas dalam pemerintahan demokratis maupun realitas tanggung jawab administratif. Kami menolak ide bahwa ukuran sederhana dari efisiensi atau standar berbasis pasar dapat secara memadai mengukur atau mendorong perilaku yang bertanggung jawab. Malahan, kami berpendapat bahwa akuntabilitas dalam sektor publik seharusnya didasarkan pada ide bahwa administrator publik dapat dan seharusnya melayani warga negara dalam kepentingan umum, bahkan dalam situasi yang melibatkan pertimbangan nilai yang rumit dan norma-norma yang tumpang tindih. Untuk melakukan hal yang demikian, para administrator tidak harus membuat pertimbangan-pertimbangan ini sendiri. Tetapi, isu-isu ini harus dipecahkan berdasarkan tidak hanya pada dialog dalam organisasi, tetapi juga pada pemberdayaan warga negara dan keterlibatan umum berbasis luas. Meskipun pegawai negeri bertanggung jawab untuk memastikan bahwa solusi-solusi untuk masalah-masalah umum sesuai dengan undang-undang, norma demokratis, dan halangan-halangan lain, ini bukanlah masalah penilaian semata mereka terhadap kelayakan ide-ide yang dihasilkan komunitas dan proposal menurut fakta. Tetapi ini merupakan peranan dari administrator publik untuk konflik-konflik ini dan parameter-parameter diketahui warga negara sehingga realitas-realitas ini menjadi bagian dari proses wacana. Melakukan hal demikian tidak hanya membuat solusi realistik, hal ini juga membangun kewarganegaraan dan akuntabilitas.

Page 201: Pelayanan Publik

Meskipun akuntabilitas dalam pelayanan umum tidak bisa tidak bersifat kompleks, baik Administrasi Publik Lama dan Manajemen Publik Baru cenderung untuk terlalu menyederhanakan isu. Sebagaimana yang akan dikaji secara lebih penuh dalam bab ini, dalam versi klasik dari Administrasi Publik Lama, para administrator publik begitu saja dan secara langsung bertanggung jawab pada pejabat politik. Pada sisi lain dari spectrum, seperti dikatakan oleh Manajemen Publik Baru, fokus adalah pada memberikan para administrator publik banyak ruang gerak untuk bertindak sebagai enterprener. Dalam peranan enterprener mereka, para manajer publik terutama diperhitungkan terkait dengan efisiensi, efektivitas biaya, dan daya respon pada kekuatan-kekuatan pasar.

Bab ini mempertimbangkan bagaimana ide-ide kami tentang akuntabilitas dan tanggung jawab dalam administrasi publik berkembang dan berubah seiring waktu. Pertama, untuk mendefinisikan beberapa parameter kunci dari isu, kami merangkum perdebatan klasik antara Carl Friedrich (1940), kami berpendapat bahwa profesionalisme adalah cara terbaik untuk menjamin akuntabilitas, dan Herman Finer (1941), mengatakan bahwa akuntabilitas harus didasarkan pada kontrol eksternal. Kemudian kami melihat pada pengertian tanggung jawab dan evolusi pemikiran mengenai jawaban-jawaban untuk tiga besar pertanyaan tentang responsibilitas dan akuntabilitas: (1) Apa saja tanggung jawab administrator publik? (2) Pada siapa

mereka bertanggung jawab? (3) Dengan sarana apa seharusnya akuntabilitas dan responsibilitas dicapai?

201

Page 202: Pelayanan Publik

Akhirnya, kami membandingkan dan menyoroti pandangan implisit dan eksplisit tentang akuntabilitas dan pendekatan-pendekatan yang mereka kemukakan dalam Administrasi Publik Lama, Manajemen Publik Baru, dan Layanan Publik Baru.

Perdebatan KlasikDalam sebuah pengertian, bidang administrasi publik didirikan berdasarkan sebuah klaim yang dibuat oleh Wilson dan yang lainnya bahwa pertanyaan akuntabilitas administratif dapat dijawab dengan mendefinisikan penelitian administrator publik sebagai hal yang obyektif dan semacam bisnis – dan sepenuhnya terpisah dari politik. Kesulitan dengan akuntabilitas, setidaknya secara inteletual dikatakan dari mula sekali ketika kredibilitas politik dan dikotomi administratif mulai runtuh dibawah tekanan fungsi-fungsi pemerintah yang semakin kompleks. Jika kita tidak dapat menjelaskan fungsi-fungsi administratif ketika sebagian besar bersifat mekanik dan sepenuhnya terpisah dari politik, dan administrator tidak dipilih, bagaimana kemudian kami membuat mereka bertanggung jawab? Jika fungsi-fungsi administratif melibatkan kebijaksanaan, bagaimana kita yakin bahwa kebijaksanaan dilakukan dengan cara yang bertanggung jawab sesuai dengan cita-cita demokrasi? Untuk alasan-alasan itu, bagaimana perilaku administratif yang “bertanggung jawab”? menemukan jawaban-jawaban untuk pertanyaan-pertanyaan ini sulit dan penting. Sebagaimana yang dikatakan Frederick Mosher, “Tanggung jawab mungkin

Page 203: Pelayanan Publik

merupakan kata paling penting dalam semua kosa kata administrasi, publik dan privat” (1986, 7).

Pertanyaan-pertanyaan tentang seberapa baik untuk menjamin administrasi/pemerintahan yang akuntabel dan bertanggung jawab mencakup beberapa isu paling penting dalam pemerintahan demokrasi. Sebenarnya, salah satu dari prinsip yang mendefinisikan demokrasi adalah pengertian tentang pemerintah yang akuntable dan terkontrol. Sebagaimana dikemukakan Dwivedi, “Akuntabilitas adalah fondasi dari proses pemerintahan apapun. Efektivitas dari proses tergantung pada bagaimana mereka dalam otoritas menerangkan cara mereka untuk memenuhi tanggung jawab mereka, baik legal dan konstitusional. Sebagai akibatnya, pada akar demokrasi saat ini ada ketentuan akan responsibilitas dan akuntabilitas publik” (1985, 63-64).”

Parameter fundamental dari perdebatan tentang tanggung jawab dan akuntabilitas dalam bidang administrasi publik diuraikan dalam pertukaran terkenal antara Card Friederich dan Herbert Finer. Dalam tahun 1940, ketika orang Amerika bersiap untuk perang, Friederich menulis dalam jurnal Public Policy bahwa kunci untuk tanggung jawab birokrasi adalah profesionalisme. Friederich mengatakan bahwa tanggung jawab administratif melibatkan lebih banyak lagi dari pada hanya menjalankan kebijakan yang telah dibuat sebelumnya. Formulasi kebijakan dan pelaksanaan, sebenarnya menjadi semakin tidak dapat dipisahkan. Lebih lanjut, para administrator adalah para profesional dan memiliki pengetahuan khusus dan keahlian teknis yang tidak dimiliki oleh warga negara

203

Page 204: Pelayanan Publik

pada umumnya. Karena tanggung jawab mereka didasarkan pada pengetahuan profesional dan norma-norma perilaku, para administrator seharusnya bertanggung jawab pada sesama profesional untuk memenuhi standar-standar yang disetujui bersama.

Friederich berkatan bahwa menjadi responsif pada sentiment publik bukanlah tidak penting. Tetapi, sifat dari tanggung jawab administratif yang berubah mengharuskan diantara para ahli teknis, profesionalisme, atau ahli “ketrampilan” menjadi komponen sentral dari akuntabilitas (1940, 191). Dalam membuat argument ini, dia menyatakan bahwa ada dua aspek dari responsibilitas ini: personal dan fungsional. Responsibilitas personal mengacu pada administrator menjadi mampu untuk memberikan alasan tindakan-tindakan-nya menurut aturan, rekomendasi, dan seterusnya. Responsibilitas fungsional melibatkan administrator melihat pada fungsi-nya dan standar profesional mereka untuk panduan. Ada kemungkinan dia memperingatkan responsibilitas personal dan fungsional memicu konflik. Dalam kasus-kasus ini, baik pengetahuan teknis dan hirarki harus dipertimbangkan.

Friederich menyatakan bahwa ada sejumlah cara untuk mengukur dan menegakkan akuntabilitas, dan “hanya kombinasi dari mereka semua yang menawarkan prospek menjamin hasil-hasil yang diinginkan” (1940, 201). Tetapi, dia mengatakan, “para pejabat bekerja dalam semua bidang layanan pemerintah yang lebih esoterik, aktivitas-aktivitas ilmiah yang terus meningkat jumlahnya, baik nasional dan internasional, lebih peka pada dan lebih

Page 205: Pelayanan Publik

mencermati kritikan yang dibuat dari aktivitas-aktivitas mereka oleh rekan profesional mereka dari pada oleh superior manapun dari organisasi yang mereka layani” (201). Pada akhirnya, ketika masalah-masalah pemerintah tumbuh semakin kompleks dan kebutuhan akan kebijaksanaan/keleluasaan yang diperluas, profesionalisme menjadi landasan responsibilitas administratif.

Herman Finer (1941), dari Universitas London, tidak setuju. Dalam tulisan yang merespon Freiderich, dia mengatakan bahwa kontrol-kontrol eksternal adalah paling baik dan satu-satunya sarana menjamin akuntabilitas administratif dalam sebuah demokrasi. Dia berpendapat bahwa para administrator seharusnya berada dibawah pejabat yang dipilih karena para pejabat yang dipilih secara langsung bertanggung jawab pada orang-orang. Para pejabat ini, didasarkan pada interpretasi mereka terhadap keinginan publik, seharusnya memberitahukan apa yang administrator lakukan. Kemudian, administrator bertanggung jawab untuk melaksanakan tugas-tugas tersebut menurut petunjuk-petunjuk tersebut. Dalam membuat argumen ini, Finer mendefinisikan responsibilitas dalam dua cara. Definisi pertama adalah bahwa “X bertanggung jawab pada Y ke Z”. Definisi yang kedua (dan menurut Finer, keputusan yang buruk) meliputi “pengertian personal terhadap kewajiban moral.” Dia menyatakan “Definisi kedua memberikan penekanan pada nurani agen, dan hal ini mengikuti dari definisi bahwa jika dia melakukan sebuah kesalahan , ini adalah kesalahan hanya ketika diakui oleh nurani mereka sendiri, dan bahwa hukuman agen akan hanya

205

Page 206: Pelayanan Publik

menjadi tusukan dari hal itu. Satu yang mengimplikasikan eksekusi publik; selain hara-kiri” (1941, 336).

Finer berpendapat dari pada itu bahwa kelayakan teknis dan pengetahuan harus selalu menjadi faktor kedua kontrol demokrasi, kontrol-kontrol didasarkan pada tiga doktrin tentang ide-ide. Pertama, dia mengacu pada “penguasaan publik” menyatakan bahwa pegawai negeri tidak bekerja untuk kebaikan publik didasarkan pada pengertian mereka terhadap apa kebutuhan-kebutuhan publik, tetapi lebih pada apa yang diinginkan publik (1941, 337). Ide kedua adalah bahwa institusi harus berada pada tempatnya, terutama sekali kebanyakan lembaga yang dipilih, untuk mengekspresikan dan menggunakan otoritas publik. Yang lebih penting adalah ide ketiga; bahwa institusi yang dipilih ini tidak hanya untuk mengekspresikan dan menyalurkan keinginan publik, tetapi juga memiliki otoritasun memutuskan dan menjalankan bagaimana keinginan-keinginan ini dipenuhi.

Dalam proses ini, jika kontrol eksternal kurang, penyalahgunaan kekuasaan tidak terhindarkan. Finer menolak argument Friederich bahwa responsibilitas dari administrator lebih pada moral dari pada isu politik, dan sehingga tunduk pada standar-standar dari profesi mereka adalah jawaban-nya. Dia lebih lanjut menyatakan bahwa Friederich “memberikan kesan melewati mayat responsibilitas politik untuk memahami pijar yang menjanjikan dari berbagai macam responsibilitas moral’ (1941, 339). Finer menyimpulkan bahwa:Responsibilitas moral mungkin beroperasi dalam proporsi

Page 207: Pelayanan Publik

langsung dengan kekerasan dan efisiensi responsibilitas politik, dan berkurang dalam semua macam perbuatan jahat/tidak ajar ketika yang terakhir dijalankan secara lemah. Meskipun standar profesional, kewajiban pada publik, dan pengejaran efisiensi teknologi adalah faktor-faktor dalam operasi administratif yang baik, mereka bukan unsur, dan tidak secara kontinu memotivasi faktor-faktor, dari kebijakan yang baik dan mereka membutuhkan kontrol dan petunjuk politik dan publik (Finer 1941, 350).

Selama bertahun-tahun, Friederich menegaskan kembali posisinya, menyebut Finner “pembuat mitos yang alim” dengan pandangan-pandangannya yang tidak realistis dan ketinggalan jaman (1960). Dia berpendapat bahwa pandangan Finer tentang akuntabilitas mungkin tidak bekerja kecuali jika ada perjanjian jelas mengenai apa yang perlu untuk dikerjakan dan sedikit atau tidak perlu kebijaksanaan administratif. “ketika seseorang mempertimbangkan kompleksitas dari aktivitas pemerintah modern, seketika nyata bahwa perjanjian semacam itu hanya dapat menjadi parsial dan tidak lengkap, tidak peduli siapa yang terlibat’ (3-4). Dia menjelaskan bahwa responsibilitas administratif lebih dari berusaha untuk “menjaga pemerintah dari berbuat salah” (4). Tetapi, perhatian utama seharusnya menjamin tindakan administratif yang efektif. Untuk melakukan hal ini, kata dia, saling ketergantungan antara alam/dunia pembuat kebijakan dan pelaksanaan kebijakan harus dipertimbangkan. “Sejauh mana individu-individu tertentu atau kelompok mendapatkan atau

207

Page 208: Pelayanan Publik

kehilangan kekuasaan atau kontrol dalam area tertentu, ada politik; sejauh mana para pejabat bertindak atau mengajukan tindakan atas nama kepentingan publik, ada administrasi/pemerintahan.

Friederich sekali lagi mengkritik maksud dari Finer bahwa kontrol-kontrol eksternal harus menjadi dasar untuk menjamin akuntabilitas. Meskipun kontrol-kontrol politik penting, “ada jenis responsibilitas yang muncul pada sebagian dari administrator permanen, orang yang diminta untuk mencari dan menemukan solusi kreatif untuk kebutuhan-kebutuhan teknis kami yang menjerit, yang tidak dapat secara efektif dijalankan kecuali oleh sesama teknisi yang mampu menilai kebijakan-nya terkait dengan pengetahuan ilmiah yang terkandung didalamnya” (1960, 140. Di samping itu, mekanisme kontrol eksternal dan ukuran akuntabilitas “merepresentasikan perkiraan, dan bukan perkiraan sangat dekat pada hal itu” (14). Dalam kata lain, kecuali jika ada set standar yang didasarkan pada pengetahuan teknis dan professional, sehingga administrator menginternalkan dan saling bertanggung jawab, responsibilitas tidak dapat dicapai. Friederich menyimpulkan bahwa:

Tingkah laku fungsi-fungsi administratif yang bertanggung jawab tidak begitu banyak dijalankan ketika didapatkan. Tetapi maksud dari awalnya bahwa tingkah laku yang bertanggung jawab tidak pernah secara keras dapat dilaksanakan, bahkan dibawah raja lalim paling kejam, para pegawai administratif akan menghindari kontrol jangka pendek yang efektif, dari pada masalah tentang

Page 209: Pelayanan Publik

bagaimana menghasilkan tingkah laku bertanggung jawab dari para staf administratif dari sebuah organisasi besar, terutama sekali dalam sebuah masyarakat demokratis sebagian besar pertanyaan tentang peraturan yang bekerja dengan baik dan moral yang efektif. (Friederich 1960, 19).

Dalam bentuk paling sederhana, Friederich menyatakan bahwa para administrator harus menggunakan pengetahuan professional dan teknis mereka untuk menjadi bertanggung jawab. Oleh karena itu untuk seorang administrator publik, menjadi bertanggung jawab tidak hanya mengikuti hukum dan melakukan apa yang anda beritahu untuk dikerjakan oleh para pejabat terpilih, tetapi juga menggunakan keahlian dari profesi.

Perdebatan di antara Friederich dan Finer memunculkan beberapa pertanyaan kunci yang tetap pada pusat dari isu-isu saat ini mengenai akuntabilitas demoratis. Sebagaimana yang Dunn dan Legee kemukakan, “Konsep dan metode yang mendefinisikan akuntabilitas dan responsibilitas merupakan isu-isu fundamental dalam teori demokrasi karena mereka menentukan bagaimana kebijakan publik dan administrasi tetap responsif pada preferensi-preferensi publik” (2000,74). Nampak bahwa Friederich dan Finer memiliki cara pandang yang sangat berbeda dalam hal proses politik yang seharusnya bekerja. Friederich menerima kebutuhan akan kebijaksanaan administratif. Finer, sebaliknya, ingin membatasi hal itu sebanyak mungkin. Mungkin secara paling mendasar, posisi-posisi

209

Page 210: Pelayanan Publik

mereka terpancang pada fondasi yang sedikit tidak tetap dari dikotomi politik dan administrasi: Dengan cara apa kekuatan demokrasi harus diseimbangkan dengan struktur birokrasi dan keahlian professional? Institusi atau institusi-institusi apa yang paling baik disesuaikan untuk mengartikulasikan kebutuhan dan keinginan publik? Dapatkah kerja dari administrator dibuat dapat diprediksikan dan obyektif, dan oleh karena itu dapat dikontrol dengan menggunakan ukuran-ukuran yang ditentukan sebelumnya? Atau apakah ini sudah menjadi sifatnya bersifat subyektif dan terlalu kompleks untuk mengurangi set standar yang dipertimbangkan sebelumnya? Apakah keduanya? Ini adalah pertanyaan-pertanyaan yang terus mengganggu usaha-usaha untuk mendorong dan melaksanakan akuntabilitas dalam pelayanan publik, dan tidak mungkin terpecahkan secara pasti dalam waktu singkat.

Responsibilitas Administratif: Pada Siapa Untuk Apa?Pertukaran antara Friederich dan Finer merealisasikan beberapa isu kunci berkenaan dengan akuntabilitas administratif dalam proses demokrasi. Tidak terlalu mengejutkan, sejak saat itu, kebanyakan administrator dan penulis dalam bidang tersebut menempatkan diri mereka di tempat dalam pertengahan kontroversi, mengatakan bahwa akuntabilitas administratif membutuhkan kontrol eksternal dan profesionalisme. Sebagaimana Marshall Dimock dan Gladys Dimock ekspresikan, akuntabilitas adalah legal dan sebuah isu moral yang dilaksanakan secara internal dan

Page 211: Pelayanan Publik

eksternal:Menjadi bertanggung jawab berarti bertindak secara

bertanggung jawab, yakni, sesuai dengan standar-standar kesopanan/kelayakan yang ditentukan sebelumnya. Untuk administrator publik, bagaimanapun juga, akuntabilitas lebih dari sebuah masalah kesopanan dan adapt; ini adalah masalah hk. Untuk menjadi bertanggung jawab juga mendeskripsikan seseorang yang bisa dinilai orang lain. Untuk administrator, hal ini berarti mengetahui tugasnya dan melakukan tugasnya – jujur dan bertindak dengan ketulusan. Dengan demikian arti modern gabungan dari akuntabilitas adalah tugas, baik legal dan moral. (Dimock dan Dimock 1969, 123).

Akuntabilitas dalam administrasi publik dicapai baik dengan sarana internal dan eksternal. Kontrol internal adalah kontrol yang dibangun dan dijalankan dalam sebuah agen ketika “administrator sendiri atau seseorang disamping atau diatasnya dalam hirarki melihat bahwa dia melaksanakan tugasnya” (Dimock dan Dimock 1969, 123). Kontrol eksternal bisa melibatkan pengawasan legislatif, aktivitas anggaran dan audit; penggunaan sebuah kantor seperti ombudsman, kritikan dari pers, dan pengawasan oleh kelompok-kelompok konsumen, kelompok-kelompok kepentingan, dan individu-individu yang berkepentingan lain.

Celakanya, meskipun daya tarik dari pandangan yang lebih seimbang ini, hal ini tidak “memecahkan” isu akuntabilitas, hal ini juga tidak memberitahu kita

211

Page 212: Pelayanan Publik

sebenarnya apa yang harus dilakukan. Sebagai akibatnya, pertanyaan-pertanyaan tentang akuntabilitas terus bangkitkan seputar set tensi dalam bidang administrasi publik yang dapat diekspresikan dalam tiga pertanyaan-pertanyaan yang seolah-olah sederhana: (1)Apa saja yang menjadi tanggung jawab kita? (2) Pada siapa kami bertanggung jawab? Dan (3) Bagaimana tanggung jawab itu paling baik dijamin? Tergantung pada bagaimana pertanyaan-pertanyaan ini dijawab, dan dalam urutan kepentingan apa, perspektif berbeda tentang sistem-sistem akuntabilitas administratif paling sesuai yang dikemukakan. Yang paling problematic biasanya adalah pertanyaan terakhir: Kita dapat mendeskripsikan proposisi/dalil tentang apa tanggung jawab kita dan pada siapa, tetapi memahami bagaimana menjamin akuntabilitas bukanlah proposisi yang mudah.

Misalnya, Maass dan Radaway (1959) secara jelas menyatakan posisi mereka (yang mereka sebut “bias kerja”) pada dua pertanyaan pertama. Sebenarnya, mereka menolak pertanyaan pertama (tanggung jawab untuk apa?) dalam satu kalimat, menyatakan bahwa agen administratif akan bertanggung jawab untuk merumuskan serta menjalankan kebijakan. Berkenaan dengan pertanyaan-pertanyaan kedua (pada siapa para administrator bertanggung jawab?), jawaban-awmereka sedikit lebih memenuhi syarat. Mereka mulai dengan mengatakan bahwa para administrator seharusnya tidak secara langsung bertanggung jawab pada publik pada umumnya atau pada partai-partai politik. Tetapi agen administratif seharusnya bertanggung jawab

Page 213: Pelayanan Publik

untuk menekan kelompok-kelompok untuk memungkinkan mereka mendapat akses dan informasi yang cukup untuk menjaga kepentingan mereka. Responsibilitas utama dari administrator adalah “pada legislatif, tetapi hanya melalui eksekutif kepala, dan terutama untuk isu luas kebijakan publik dan performa administrasi” (1959, 169), membawa kembali pada pertanyaan-pertanyaan tentang untuk apa mereka bertanggung jawab. Maass dan Radaway menyatakan bahwa administrator bertanggung jawab untuk menyesuaikan dengan program umum eksekutif kepala dan aktivitas-aktivitas koordinasi dengan agen cabang eksekutif lain untuk menjalankan program itu. Lebih lanjut, mereka ah “bertanggung jawab memelihara, mengembangkan, dan menerapkan standar-standar profesional semacam itu yang mungkin relevan dengan aktivitas-aktivitas-nya” (170).

Dengan jawaban-jawaban ini ditangan, Maass dan Radaway kembali ke pertanyaan tentang bagaimana akuntabilitas harus dicapai dibawah kondisi-kondisi ini. Karena prinsip dasar dari responsibilitas administratif seringkali tidak tegas dan sama-sama tidak cocok, pertanyaan tentang bagaimana menjamin akuntabilitas tidak dapat dijawab secara umum. Mereka menyatakan, oleh karena itu, bahwa perlu untuk menggunakan bahasa “kriteria” responsibilitas yang paling praktis dan paling modern. Beberapa dari kriteria ini bisa bertentangan dengan kriteria lain, “tetapi semua dari hal ini harus ditimbang dan diaplikasikan bersama-sama dalam usaha apapun untuk mengukur responsibilitas dari agen administratif khusus”

213

Page 214: Pelayanan Publik

(1959, 163). Tidak ada satu solusi yang sesuai untuk semua hal. Sebagaimana kami katakan pada permulaan bab ini, akuntabilitas adalah kompleks. Dalam ucapan dari Maass dan Radaway:

Responsibilitas administratif menentukan seluruh praktek konstitusional, undang-undang, administratif, yudisial, dan praktek profesional dimana para pejabat publik dihalangi dan dikontrol dalam tindakan-tindakan resmi mereka. Tetapi tidak mungkin untuk mengidentifikasi kriteria untuk mengukur responsibilitas administratif dengan mengandalkan pada bahasa umum semacam itu. Oleh karena itu perlu untuk menghubungkan konsep responsibilitas umum dengan fungsi-fungsi khusus dari kekuasaan (yakni tanggung jawab pada siapa?) dan tujuan (yakni, tanggung jawab untuk apa?).(Maass dan Radaway 1939, 164).

Satu jawaban kemudian mungkin untuk memastikan bahwa akuntabilitas dan responsibilitas (atau otoritas) selalu seimbang dalam keadaan tertentu. Dalam kata lain, administrator mungkin hanya memegang tanggung jawab pada hal-hal yang menjadi wewenang dan tanggung jawab-nya. Tetapi ada masalah-masalah potensial juga dengan hal ini. Herbert Spiro, dalam Responsibility in Government (1969), menjelaskan bahwa proposisi semacam itu tidak sangat praktis dan memunculkan pertanyaan-pertanyaan yang tidak terelakkan lagi menyebabkan kebingungan. Kata “responsibilitas” sendiri pun memiliki banyak definisi dan penggunaan, dan hal ini digunakan lebih sering dari

Page 215: Pelayanan Publik

pada yang didefinisikan. Kekurangan kejelasan definisi ini, kata dia, memberi kontribusi pada kontroversi dan kebingungan.

Argumennya adalah bahwa ada tiga konotasi berbeda yang digunakan ketika membahas responsibilitas, akuntabilitas, penyebab, dan kewajiban. Seperti beberapa pengarang lain, tetapi menggunakan istilah-istilah berbeda, Spiro berpendapat bahwa akuntabilitas bisa eksplisit atau implisit. Akuntabilitas eksplisit mengacu pada membuat jawaban dan menerangkan bagaimana administrator menjalankan tugas-tugasnya. Tetapi, dia mengatakan, “Semua dari kami secara implisit bertanggung jawab sejauh mana kita mungkin tanpa sengaja dipengaruhi konsekuensi-konsekuensi keputusan yang dibuat oleh manusia lain” (1969, 15). Dengan kata lain, orang-orang dapat secara implisit bertanggung jawab pada hasil-hasil hasil-hasil yang mereka pengaruhi secara tidak langsung. Responsibilitas kausal eksplisit, sebaliknya, “terdiri dari empat elemen, hadir dalam berbagai tingkat dibawah kondisi berbeda; sumber daya, pengetahuan, pilihan, dan tujuan” (16). Responsibilitas kausal implisit terjadi ketika satu atau lebih elemen ini kurang.

Diskusi tentang responsibilitas yang membingungkan akuntabilitas dengan responsibilitas kausal, atau yang mengasumsikan bahwa responsibilitas dan akuntabilitas ada dalam keseimbangan dihalangi menjadi tidak realistik. “sebenarnya, hal ini tidaklah demikian. Sebagai sebuah masalah nilai, pembelaan terhadap keseimbangan wajar antara responsibilitas kausal dan akuntabilitas sangat

215

Page 216: Pelayanan Publik

mungkin (Spiro 1969, 17). Tetapi ketidakseimbangan yang masuk akal tidak perlu merupakan hal buruk, menurut Spiro. Jika fungsi responsibilitas adalah bertanggung jawab untuk kejadian yang tidak dia sebabkan secara langsung atau secara sendiri. Sebaliknya. Spiro menulis:

Dari sudut pandang demokrasi konstitusional, kami harus menyarankan keseimbangan wajar antara dua wajah responsibilitas ini, antara akuntabilitas dan responsibilitas kausal. Kami mungkin tidak ingin membuat organisasi bertanggung jawab untuk sebuah kejadian dimana dia tidak membuat kontribusi kausal. .. kami ingin dia menjadi dalam situasi responsibilitas yang baik, dimana responsibilitas kausal ada dalam keseimbangan wajar dengan akuntabilitas (Spiro 1969, 18)

Di bawah kondisi ini, pecahkan bagaimana untuk memastikan responsibilitas adalah sulit. Isu bukan apakah kita ingin para administrator publik bertanggung jawab. Isu yang lebih penting adalah bagaimana menjamin akuntabilitas, sebuah isu yang secara langsung kembali ke perdebatan friederic-Finer. Jika mekanisme akuntabilitas memusatkan diri pada kerangka kerja legal dan konstitusional saja, dan tidak memperhitungkan sumber pengetahuan dan sumber daya lain, tujuan menjadi salah satu dari birokrat yang menghalangi secara negative. Jika kita mengambil pendekatan lebih luas, akuntabilitas dapat memiliki tujuan lebih positif mempertinggi responsibilitas lintas bidang publik. Spiro menyatakan:

Kami harus memberikan keasyikan berlebihan dengan

Page 217: Pelayanan Publik

situasi birokrat untuk mendukung warga negara perorangan. Hal ini khususnya benar karena birokrat dan warga negara tidak lagi bertentangan menghadapi satu sama lain dalam sikap permusuhan terus-menerus. Lagi pula, birokrat juga seorang warga negara. Dari sifat mengasumsikan responsibilitas tambahan, khusus, didelegasikan dan akuntabilitas qua birokrat, dia tidak menyerahkan responsibilitas qua warga negara umum, original-nya. Situasi-nya sebagai seorang warga negara, dan situasi dari sesama warga negara, harus menjadi pusat utama perhatian kami.” (Spiro 1969, 101)

Dari perspektif ini, kemudian, fokus seharusnya pada karakter dan etika administrator perorangan. Beberapa sebenarnya telah mengemukakan bahwa pada intinya, akuntabilitas bukan sebuah pertanyaan etika, dan bahwa peranan dari administrator seharusnya dipahami kembali sebagai seorang pelaku etis. Sebagaimana dinyatakan Dwivedi, “Administrasi tidak etis adalah antitesis dari administrasi yang akuntable” (1985, 65). Penelitian Terry Cooper menyederhanakan pemikiran dari mereka yang memusatkan diri pada etika sebagai dasar untuk akuntable dan tindakan administratif yang bertanggung jawab. Dalam The Responsible Administrator(1998), Cooper menguji proses pembuatan keputusan etis dan mengusulkan model untuk membahas masalah-masalah etis. Seperti beberapa penulis lain, Cooper mendiskusikan sifat dari responsibilitas obyektif (eksternal) dan subyektif (internal). Dia berpendapat bahwa masalah-masalah itu muncul ketika ada konflik antara dua bentuk tanggung

217

Page 218: Pelayanan Publik

jawab ini secara fundamental sifatnya etis. Tingkah laku etis, yang dikemukakan Cooper, dipertinggi oleh kontrol internal dan eksternal. Hal ini demikian adanya, kata dia, karena ada empat komponen tingkah laku yang bertanggung jawab; sifat-sifat individual, budaya organisasi, struktur organisasi, dan harapan masyarakat. Perilaku etis individual, kata dia, menghendaki otonomi etis perorangan dan kesadaran diri sendiri serta batas untuk jangkauan dan kekuasaan organisasi.

Apa yang dapat kita simpulkan dari semua ini? Kami dapat menyatakan bahwa beberapa generasi sarjana telah menentukan bahwa akuntabilitas administratif sulit didefinisikan dan bahkan lebih sulit dilakukan. Hal ini sebagian merupakan fungsi dari kompleksitas proses administratif sebagai sebuah komponen dari sistem pemerintah lebih luas. Hasil adalah jaringan mekanisme dan sistem akuntabilitas kompleks yang mencirikan sistem pemerintahan Amerika saat ini. Romzek dan Ingraham (2006) memberikan kerangka kerja bermanfaat untuk memahami banyak perspektif ini pada akuntabilitas. Mereka menyatakan bahwa ada empat jenis utama akuntabilitas berdasarkan pada apakah mereka internal atau eksternal, dan apakah mereka menerima level otonomi individual tinggi atau rendah. Jenis pertama adalah akuntabilitas hirarkis, yakni “didasarkan pada pengawasan tertutup terhadap individu-individu yang memiliki otonomi kerja rendah”. Kedua, akuntabilitas legal melibatkan “ pengawasan eksternal rinci terhadap performa untuk ketaatan pada mandat-mandat yang ditentukan … seperti

Page 219: Pelayanan Publik

struktur legislatif dan konstitusional”. Hal ini bisa memasukkan audit fiskal dan dengar pendapat pengawasan, misalnya. Ketiga, akuntabilitas profesional didasarkan pada “pengaturan yang mengusahakan tingkat otonomi tinggi pada individu-individu yang mendasarkan pengambilan keputusan mereka pada norma praktek sesuai yang dilembagakan.” Akhirnya, akuntabilitas politik mengharuskan daya respon pada “stakeholder esternal kunci, seperti para pejabat terpilih, kelompok-kelompok para pelanggan, masyarakat umum, dan seterusnya” (2000, 242).

Romzek dan Ingraham menjelaskan bahwa meskipun semua dari jenis hubungan akuntabilitas ini ada, beberapa bentuk bisa menjadi lebih dominan sementara yang lainnya sebagian besar menjadi dominan dalam kondisi tertentu. Pada saat reformasi, mereka mengatakan, “seringkali ada pergeseran dalam penekanan dan prioritas diantara jenis-jenis akuntabilitas berbeda” (2000, 242). Dalam seksi yang selanjutnya, kita akan mendiskusikan asumsi dan bentuk akuntabilitas yang dapat dilihat dominan dalam Administrasi Publik Lama, Manajemen Publik Baru, dan Layanan Publik Baru.

Administrasi Publik Lama Dan AkuntabilitasSebuah pandangan akuntabilitas formal, hirarkis dan

legal mencirikan Administrasi Publik Lama dan dalam beberapa cara tetap menjadi model paling familiar untuk melihat responsibilitas administratif dan akuntabilitas saat ini. Pandangan akuntabilitas ini mengandalkan pada

219

Page 220: Pelayanan Publik

asumsi bahwa para administrator tidak dan seharusnya tidak melakukan banyak kebijaksanaan yang signifikan. Tetapi, mereka hanya mengimplementasikan hukum, peraturan dan standar-standar yang ditentukan untuk mereka oleh para pemimpin hirarkis, pejabat terpilih dan pengadilan. Akuntabilitas, menurut para pengikut Administrasi Publik Lama, memusatkan diri pada menjamin bahwa para administrator mematuhi standard an menyesuaikan dengan peraturan dan prosedur-prosedur yang ditentukan untuk mereka dalam menjalankan fungsi-fungsi mereka. Hal ini bukan masalah menggunakan kebijaksanaan secara tepat dan bertanggung jawab, ini adalah masalah menghindari penggunaan kebijaksanaan dengan secara dekat mematuhi hukum, regulasi, prosedur-prosedur organisasi, dan petunjuk pengawas.

Dalam pandangan ini, daya respon atau akuntabilitas langsung pada publik secara implisit setidaknya dilihat sebagai hal yang tidak perlu dan tidak tepat. Para pejabat terpilih dipandang sebagai orang yang bertanggung jawab dan untuk menerjemahkan keinginan publik menjadi kebijakan. Sebagaimana yang dihadirkan Goodnow, “Politik harus berhubungan dengan memandu atau mempengaruhi kebijakan pemerintah, sementara administrasi harus berhubungan dengan pelaksanaan kebijakan itu” (1987, 28). Publik memiliki sedikit atau tidak memiliki peranan langsung dalam proses pelaksanaan kebijakan atau pemerintahan. Wilson, sebenarnya, nampak ingin menyangga proses yang mengatur dari kepentingan popular, sehingga mencegah orang-orang dari menjadi “orang yang suka

Page 221: Pelayanan Publik

mencampuri urusan orang lain’ dengan keterlibatan langsung. Dalam Administrasi Publik Lama, administrator yang bertanggung jawab adalah mereka yang memiliki dan mengandalkan pada keahlian mereka dan “kompetensi netral”. Sesuai dengan itu, tindakan administratif yang bertanggung jawab didasarkan pada prinsip-prinsip nilai-netral dan ilmiah.

Sulit untuk melihat pengaruh dari perspektif ini dalam sistem-sistem akuntabilitas yang dilembagakan saat ini. Tinjauan cepat terhadap topik dimasukkan dalam edisi Rosen (1988) Holding Government Bureaucracies

Accountable, misalnya, menghasilkan susunan proses luas, institusi, dan mekanisme untuk menjamin akuntabilitas formal. Dalam cabang eksekutif, pengawasan hirarkis, anggaran , anggaran dan proses audit, sistem evaluasi performa, dan pengawasan oleh agen staf seperti departemen pembelian dan personalia digunakan untuk menyelenggarakan tindakan administrator dalam pemeriksaan dan untuk menjamin ketaatan dengan undang-undang, prosedur, dan regulasi. Cabang administratif juga menggunakan barisan mekanisme akuntabilitas, termasuk proses yang tepat, pengawasan komite, dengar pendapat dan penyelidikan, ketentuan pelaporan, dan audit legislatif. Pengadilan juga menggunakan sejumlah kontrol administratif, melalui tinjauan judisial dan case law, serta pengawasan dan interpretasi mereka terhadap The Administrative Procedure Act tahun 1946 (yang mengatur prosedur-prosedur dan proses yang agen eksekutif harus gunaan dalam membangun dan mengaplikasikan regulasi

221

Page 222: Pelayanan Publik

pemerintahan). Kebanyakan dari pendekatan-pendekatan ini lebih besar atau kurang, mengandalkan pada pengertian akuntabilitas eksternal, formal – yakni, bahwa para administrator bertanggung jawab untuk mematuhi kontrol eksternal dan menjawab tindakan-tindakan mereka berhubungan dengan standar yang dibangun dan preferensi stakeholder kunci.

Manajemen Publik Baru dan AkuntabilitasDalam satu pengertian, pandangan akuntabilitas yang

disarankan oleh para pengikut Manajemen Publik Baru mengemukakan pandangan akuntabilitas dari Administrasi Publik Lama dimana ada sebuah kepercayaan terus-menerus pada ukuran obyektif dan kontrol-kontrol eksternal. Namun, ada perbedaan-perbedaan penting. Pertama, dalam Manajemen Publik Baru, asumsi adalah bahwa birokrasi tradisional tidak efektif karena mengukur dan mengontrol input bukannya mengukur dan mengontrol hasil-hasil. Sebagaimana dikemukakan Osborne dan Gaebler, “Karena mereka tidak mengukur hasil-hasil, pemerintah birokratis jarang mencapai hasil” (1992, 139). Mengontrol input-input seperti uang dan personel, dari pada hasil-hasil, seperti kebersihan jalan-jalan atau pengetahuan diperoleh dari anak-anak, menyebabkan kegagalan pemerintah. Osborne dan Gaebler berpendapat bahwa jawaban adalah dengan melihat pada model bisnis: “Organisasi-organisasi swasta memusatkan diri pada hasil-hasil karena mereka akan meninggalkan bisnis jika angka-angka kunci menjadi negatif” (139).

Page 223: Pelayanan Publik

Sekali lagi, seperti dengan Manajemen Publik Baru pada umumnya, asumsi adalah bahwa model bisnis dan pasar adalah superior dan seharusnya disamai atau dilebihi dalam sektor publik. Sejak agen pemerintah tidak dapat keluar dari bisnis ketika mereka tidak menghasilkan hasil-hasil, ukuran performa harus digunakan sebagai sebuah ukuran pengganti untuk apa yang dalam bisnis merupakan lini bawah – keuntungan. Fokus akuntabilitas kemudian adalah pada memenuhi standar performa untuk menghasilkan hasil-hasil.

Kedua, publik dikonseptualkan kembali sebagai sebuah pasar yang tersusun dari individu-individu konsumen yang masing-masing bertindak dengan suatu cara untuk melayani kepentingan mereka sendiri. Dalam hal ini, agen publik tidak bertanggung jawab, baik secara langsung atau tidak langsung, kepada warga negara atau pada publik atau kebaikan bersama. Tetapi, mereka bertanggung jawab kepada “konsumen” mereka. Responsibilitas pemerintah kemudian adalah dengan menawarkan pilihan-pilihan pada konsumen mereka dan dengan merespon preferensi individual yang mereka tunjukkan dalam hal pelayanan dan fungsi yang diberikan. Akuntabilitas adalah cara memuaskan preferensi dari konsumen-konsumen langsung pelayanan pemerintah.

Perbedaan ketiga dalam pandangan dominan tentang akuntabilitas administratif yang dikemukakan dalam perspektif Manajemen Publik Baru adalah kepercayaan pada privatisasi. Ada penekanan kuat dalam Manajemen Publik Baru pada privatisasi fungsi-fungsi publik sebelumnya jika mungkin. Sekali lagi, hal ini menggeser

223

Page 224: Pelayanan Publik

akuntabilitas dari perspektif publik ke swasta, memusatkan diri sekali lagi pada lini dasar. Pada hakekatnya, sistem akuntabilitas dalam pemerintah yang diprivatisasi menekankan ketentuan layanan dan fungsi yang menghasilkan hasil-hasil yang diinginkan dalam biaya paling efektif yang mungkin dicapai sementara memuaskan konsumen mereka.

Layanan Publik Baru dan AkuntabilitasPerspektif tentang akuntabilitas dalam Layanan Publik Baru berbeda baik dengan Administrasi Publik Lama dan Manajemen Publik Baru. Ukuran efisiensi dan hasil-hasil adalah penting, tetapi mereka tidak dapat membahas atau mencakup harapan-harapan lain yang kami miliki untuk administrator publik bertindak secara bertanggung jawab, secara etis, dan sesuai dengan prinsip-prinsip demokratis dan kepentingan publik. Dalam Layanan Publik Baru, cita-cita kewarganegaraan dan kepentingan publik berada pada tahap pusat.

Akuntabilitas dalam Layanan Publik Baru memiliki banyak segi dan meminta pengakuan peranan kompleks yang dimainkan oleh administrator publik dalam pemerintahan saat ini. Manajemen Publik Baru secara buatan terlalu menyederhanakan isu akuntabilitas dalam beberapa cara. Keul mengekspresikan hal ini secara lebih kuat; sehingga pengejaran praktek semacam bisnis dan reformasi yang digerakkan pasar merupakan sebuah “serangan agresif pada tradisi akuntabilitas demokratis” (1998,v). pertama, privatisasi dan usaha-usaha untuk menirukan sektor swasta

Page 225: Pelayanan Publik

mempersempit ruang lingkup akuntabilitas dan menempatkan fokus pada memenuhi standar dan memuaskan konsumen. Pendekatan-pendekatan semacam itu tidak merefleksikan saluran akuntabilitas yang banyak dan bertumpuk dalam sektor publik karena standar-standar dalam sektor swasta sedikit keras (Mulgan 2000). Sebuah perusahaan swasta yang bertanggung jawab pada stakeholdernya tidak sama dengan agen pemerintah menjadi responsif dengan warga negara-nya. Sementara perusahaan-perusahaan swasta tanpa terkecuali dan terutama sekali bertanggung jawab untuk menghasilkan sebuah keuntungan, sektor publik harus memberikan perhatian lebih pada proses dan kebijakan. Dalam pemerintah, “Penekanan adalah pada akuntabilitas kekuasaan publik, tentang bagaimana untuk membuat pemerintah, agensi dan pejabat mereka, lebih bertanggung jawab kepada pemilik mutlak mereka, warga negara” (Mulgan 2000, 87).

Glen Cope (1997) juga membuat observasi penting dalam hal ini. Dia menyatakan bahwa ada sejumlah alasan bahwa daya respon pada warga negara berbeda dari daya respon pada konsumen. Untuk menjadi responsive pada konsumen, perusahaan swasta berusaha untuk memberikan sebuah produk atau pelayanan yang diinginkan dan dari mutu yang dapat diterima, semurah mungkin. Para konsumen tidak harus menyukai produk atau membeli produk kecuali jika mereka memilih melakukannya. Pelayanan pada konsumen digerakkan oleh motif keuntungan: Konsumen harus cukup dipuaskan sehingga mereka akan membeli produk atau jasa menurut harga yang ditentukan. Respon pada warga negara,

225

Page 226: Pelayanan Publik

pada satu sisi, secara unik berbeda. Pemerintah seharusnya memberikan pelayanan/jasa atau produk yang diinginkan mayoritas warga negara. Karena membeli produk atau jasa tidak secara sukarela yang seringkali dibayar dengan pendapatan pajak. “Hal ini menciptakan responsibilitas khusus untuk pemerintah tidak hanya untuk memuaskan konsumen dekatnya dan beroperasi dengan cara yang efisien biaya, tetapi juga untuk memberikan pelayanan yang warga negaranya minta” (1997, 464).

Kedua, Manajemen Publik Baru tidak menempatkan tingkat penekanan yang layak pada hukum publik dan norma-norma demokratis. Akuntabilitas publik berkurang ketika pelayanan pemerintah dilakukan oleh organisasi nonprofit atau organisasi swasta yang tidak dibatasi oleh prinsip-prinsip hukum publik (Leazes 1997). Sebagaimana dijelaskan Gilmore dan Jensen, “Karena pelaku-pelaku swasta tidak tunduk pada konstitusi, undang-undang dan batasan pengawasan yang sama seperti pelaku pemerintah, delegasi fungsi-fungsi publik diluar batas pemerintah sangat menantang pengertian tradisional terhadap akuntabilitas, membuat semuanya … lebih sulit” (1998, 243).

Dalam Layanan Publik Baru, jika administrator swasta berfungsi sebagai administrator publik, mereka seharusnya menjadi tunduk pada standar-standar akuntabilitas publik. Berdasarkan pada pemeriksaannya terhadap program kesejahteraan anak Negara bagian. Leazes menyimpulkan bahwa “Efisiensi dan efektivitas sendiri bukan standar administrasi publik satu-satunya yang tersedia untuk

Page 227: Pelayanan Publik

mengukur keberhasilan privatisasi. Akuntabilitas melekat dalam hukum publik yang menghubungkan usaha perlindungan terhadap demokrasi, pemerintahan konstritusional seharusnya memiliki tempat yang sama pada table implementasi-kebijakan privatisasi” (1997, 10). Secara khusus, mereka tidak bisa dan tidak memiliki.

Fokus pada hasil-hasil atau akibat yang dipopulerkan oleh para pendukung Manajemen Publik Baru tidak memuaskan kebutuhan akan akuntabilitas pada norma atau nilai demokratis. Sebagaimana dikemukaan Myers dan Lacey, “performa pegawai negeri seharusnya dinilai … menurut sejauh mana mereka menegakkan nilai-nilai semacam itu, meskipun banyak, jika tidak lebih dari, membenarkan keberhasilan mereka memenuhi target-target output” (1996, 343). Tidak untuk mengatakan bahwa perhatian pada hasil-hasil dan ukuran output tidaklah penting. Dengan memfokuskan pada hasil-hasil, organisasi-organisasi publik dapat membuat perbaikan penting pada manfaat dari orang-orang yang mereka layani. Tetapi hal ini menyatakan bahwa ukuran performa yang berorientasi hasil seharusnya dikembangkan berdasarkan pada proses publik terbuka; mereka seharusnya tidak dikembangkan dan dibebankan oleh mereka yang ada dalam pemerintah hanya untuk menirukan ukuran-ukuran keuntungan.

Ketiga, dalam Manajemen Publik Baru, administrator publik dipahami sebagai seorang enterprener, mencari kesempatan untuk menciptakan kemitraan swasta dan melayani konsumen. Perspektif pada peranan dari administrator ini sempit, dan secara buruk disesuaikan

227

Page 228: Pelayanan Publik

untuk mencapai prinsip-prinsip demokratis seperti kejujuran, keadilan, partisipasi, dan artikulasi kepentingan bersama. Mutu saat ini yang membuat seorang administrator seorang enterprener yang baik, sebenarnya bisa membuatnya seorang pegawai negeri yang tidak efektif. Cooper menyatakan “Sifat-sifat terkait dengan administrasi dan manajemen yang efektif dalam dunia bisnis, seperti daya saing dan orientasi keuntungan, mungkin tidak sesuai dengan, atau kurang tepat dengan, kepentingan masyarakat politik demokratis” (1998, 149). Sebenarnya, dia menjelaskan, jika masalah untuk efisiensi diberi perhatian lebih dari kepentingan sekunder, keterbukaan pada kedaulatan popular mungkin dikompromikan.

Layanan Publik Baru menolak semua tiga asumsi tentang akuntabilitas yang dimajukan oleh Manajemen Publik Baru. Kompleksitas dari akuntabilitas publik yang dihadapi oleh pegawai negeri diakui sebagai sebuah tantangan, kesempatan, dan sebuah panggilan. Hal ini membutuhkan keahlian, sebuah komitmen pada cita-cita demokratis, sebuah pengetahuan tentang hukum publik, dan pertimbangan yang diberitahukan melalui pengalaman, norma komunitas, dan tingkah laku etis. Akuntabilitas dalam Layanan Publik Baru menyatakan sebuah rekonseptualisasi peranan terhadap pegawai negeri sebagai pemimpin, pelayan, dan wakil kepentingan publik, bukan sebagai enterprener. Sebagaimana dinyatakan Kevin Kearns, meskipun “fakta bahwa akuntabilitas adalah sebuah konsepsi yang berantakan memperdebatkan tentang

Page 229: Pelayanan Publik

akuntabilitas yang seharusnya diberitahukan melalui struktur-nya yang buruk dan tidak dihalangi oleh struktur. Untuk tujuan ini, dialog yang benar-benar berarti seharusnya dipandu oleh kerangka kerja analitis yang mencakup banyak dimensi akuntabilitas dan memungkinkan faktor-faktor kontekstual dan pertimbangan subyektif pada permukaan untuk dialog yang diinformasikan tentang asumsi-asumsi” (1994, 187).

Prinsip-prinsip demokratis, legal dan konstitusional adalah bagian tengah dari tindakan administratif bertanggung jawab yang tidak terbantahkan. Layanan Publik Baru berbeda dari Administrasi Publik Lama dan Manajemen Publik Baru dalam penekanannya pada mempertinggi kepentingan dan sentralitas kewarganegaraan dan publik sebagai dasar tindakan publik yang akuntabel dan responsibel. Misalkan, sumber otoritas dari administrator publik adalah warga negara. “Administrator publik dipekerjakan untuk melakukan otoritas atas nama mereka. Mereka melakukan hal demikian sebagai salah satu dari warga negara; mereka tidak pernah dapat membebaskan diri mereka dari status mereka sendiri sebagai anggota komunitas politik dengan kewajiban untuk kesejahteraannya” (Cooper 1991, 145). Akuntabilitas mengharuskan bahwa pegawai negeri berinteraksi dan mendengarkan warga negara dengan cara memberdayakan dan menguatkan peranan mereka dalam pemerintah demokratis. Sebagaimana N. Joseph Cayer kemukakan, “Tujuan dari partisipasi warga negara biasanya adalah untuk membuat pemerintahan lebih responsif pada publik dan untuk

229

Page 230: Pelayanan Publik

mempertinggi legitimasi program-program dan agen pemerintah” (1986, 171). Perilaku yang bertanggung jawab mengharuskan bahwa para administrator berinteraksi dengan sesama warga negara, tidak sebagai konsumen tetapi sebagai anggota dari sebuah komunitas demokratis.

Dalam bureaucratic Responsibility (1986), John Burke menyatakan bahwa dalam hal masalah-masalah dengan akuntabilitas dan tensi yang menyertai antara nilai-nilai birokrasi dan demokrasi, perhatian kami akan memusatkan diri pada “bagaimana pejabat demokratis memahami peranan mereka, tugas, dan kewajiban dan terutama sekali prinsip-prinsip apa yang memandu mereka dalam petunjuk yang akuntable dan lebih responsible” (1986, 5). Dia menyatakan bahwa sebuah “konsepsi responsibilitas yang dilandaskan demokrasi” “dihasilkan tidak hanya dari peraturan formal, regulasi, dan undang-undang tetapi dari pemahaman lebih luas terhadap tempat birokrat dalam set institusi-institusi dan proses-proses politik” (39).

Ada dua komponen dari model responsibilitas demokratis ini. Yang pertama adalah responsibilitas dari pegawai negeri untuk menggunakan otoritas politik secara serius. Yang kedua melibatkan set responsibilitas yang bersandar pada kewajiban berhubungan dengan tugas-tugas orang lain serta peranan dari pegawai negeri yang bertanggung jawab dalam rumusan dan implementasi kebijakan. Model demokratis ini, kata Burke, “berusaha untuk merekonsiliasi kesetiaan yang kemungkinan bertentangan diperlihatkan politik dan profesi dengan membatasi domain dimana ahli diberikan lisensi dan

Page 231: Pelayanan Publik

otonomi” (1986, 149).Terutama sekali Burke berpendapat bahwa banyak

pandangan terhadap kewajiban moral, responsibilitas, dan relevansi politik mereka tidak dapat dibiaskan berdasarkan pengertian administrator publik sendiri tentang apa yang benar. Bukannya, pertimbangan semacam itu yang harus dibuat sebagai bagian dari proses partisipatori. Burke menyatakan:

Tidak hanya melakukan kewajiban khusus yang ditentukan oleh konsepsi responsibilitas demokratis mempertinggi proses dan hasil partisipatori, tetapi pengertian responsibilitas umum yang dikembangkan – terutama sekali sumber dan karakter demokratisnya – memudahkan tujuan-tujuan partisipasi. Hal ini mengandung gema emplisit melakukan demokrasi secara serius, apakah struktur-nya adalah formal atau informal, terpusat atau didesentralisasikan. (Burke 1986, 214)

Sudut pandang ini juga ditunjukkan oleh diskusi dari Edward Weber (1999) tentang model manajemen ekosistem rakyat jelata (GREM), yang melihat pada akuntabilitas administratif “dalam sebuah dunia pemerintah yang terdesentralisasi, kekuasaan yang dibagi, proses keputusan kolaboratif, manajemen berorientasi hasil, dan partisipasi sipil yang luas’ (1999, 451). Model GREM melihat pada daya respon politik, performa administratif, dan dimensi normatif ketika menilai akuntabilitas. Sementara Weber secara langsung mengatakan tentang isu akuntabilitas dan daya respon, argumennya juga diterapkan pada pertanyaan tentang bagaimana kita memandang dan

231

Page 232: Pelayanan Publik

mengevaluasi kebijaksanaan administratif yang dilakukan dalam implementasi kebijakan. Dia menantang pandangan bahwa daya respon adalah “jalan satu arah” berasal dari superior politik dan administratif dan input bottom-up dari stakeholder berbasis komunitas serta yang lainnya” 9454-55). Meskipun model memberikan bobot pada partisipasi bottom-up, akuntabilitas hierarkis dan legal juga penting. Dia menyatakan, pada dasarnya, sebuah fokus kebijakan holistik itu memberikan manajemen adaptif dan keterlibatan warga negara.

Dalam Layanan Publik Baru, akuntabilitas didefinisikan secara luas untuk mencakup barisan responsibilitas professional, legal, politik dan demokratis. Tetapi “Maksud akhir dari mekanisme akuntabilitas dan responsibilitas dalam kebijakan demokrasi adalah untuk menjamin daya respon dari pemerintah untuk preferensi dan kebutuhan warga negara” (Dunn dan Legge 2000, 75). Akuntabilitas dan responsibilitas ini paling baik dicapai oleh sebuah layanan publik yang mengetahui dan merespon banyak norma dan faktor yang bertentangan yang dapat dan akan mempengaruhi tindakan-tindakan dari administrator. Kunci untuk menyeimbangkan faktor-faktor ini dalam cara yang responsible dan secara demokratis akuntable ada pada keterlibatan warga negara, pemberdayaan, dan dialog. Administrator publik bukan ahli netral atau enterprener bisnis. Mereka diminta untuk menjadi pelaku yang bertanggung jawab dalam sebuah sistem pemerintahan yang kompleks, dimana mereka bisa memainkan peranan

Page 233: Pelayanan Publik

fasilitator; reformer, broker kepentingan; hubungan publik, ahli, manajer krisis; broker; analis; penasehat; dan yang paling penting, pemimpin moral dan pelayan kepentingan umum (Vinzant dan Crothers 1998; terry 1995).

Jika fungsi-fungsi publik diprivatisasi, atau “diciptakan kembali” sehingga mencerminkan korporasi sektor swasta, nilai-nilai demokratis menjadi kurang penting. Malahan, fokus ditempatkan pada efisiensi pasar dan prestasi/pencapaian ‘lini dasar” pemerintah. Terutama sekali ketika privatisasi melibatkan fungsi-fungsi yang penting untuk kepentingan publik (seperti perawatan medis, kesejahteraan, atau pendidikan), hubungan antara pemerintah dan warga negara menjadi lebih kompleks dari pada hanya ketentuan sebuah jasa untuk seorang konsumen. Sesuai dengan itu, lebih dari ukuran efisiensi yang dikendalikan pasar dibutuhkan untuk menyelenggarakan pemerintahan yang akuntable (Gilmore dan Jensen 1998). Dalam setor swasta, insentif keuangan dan preferensi shareholder memandu perilaku dari administrator. Ketika fungsi-fungsi publik diberikan pada sektor swasta atau digambarkan lagi untuk menirukan dalam model swasta, akuntabilitas publik untuk akuitas, akses warga negara, dan hak konstitusional dan hak undang-undang dari warga negara hampir dengan definisi yang dikompromikan, jika tidak hilang. Sebagaimana dikemukakan Shamsul Haque, “Tanda birokrasi publik adalah akuntabilitas-nya pada publik untuk kebijakan-kebijakan dan tindakan-tindakan-nya. Tanpa realisasi dari akuntabilitas semacam itu, birokrasi publik menghilangkan

233

Page 234: Pelayanan Publik

identitas publiknya, menyerahkannya pada legitimasi publik, dan bisa memindahkan dirinya ke pemujaan atas mencari kepentingan pribadi” (1994, 265).

Sebagaimana dikatakan Michael Harmon (1995), responsibilitas tetap sebuah paradoks. Paradox adalah bahwa sifat responsibilitas menegakkan dua ide-ide yang bertantangan; akuntabilitas moral versus answerabilitas untuk sebuah organisasi. Dia berpendapat bahwa konsepsi responsibilitas itu mengandalkan pada konsep agen (bertindak atas nama dari), akuntabilitas dan kewajiban tidak memperhitungkan elemen moralitas. Karena kekurangan penekanan pada moralitas, tiga paradoks muncul: paradoks kewajiban, paradoks kesalahan, paradoks akuntabilitas. Paradoks kewajiban menyatakan bahwa jika “pegawai negeri bebas untuk memilih tetapi pada saat sama diwajibkan untuk bertindak hanya seperti yang lainnya secara otoritatif memilih mereka, kemudian mereka tidak untuk semua tujuan praktis yang bebas. Jika pada sisi lain, pegawai negeri memilih secara bebas, tindakan-tindakan mereka bisa menghalangi kewajiban otoritatif, dalam kasus mana penggunaan pilihan bebas mereka tidak bertanggung jawab” (1995, 102). Paradoks agen terjadi ketika menggunakan responsibilitas personal untuk bertindak sebagai agen moral yang bertentangan dengan jawaban mutlak pada orang lain yang hanya dapat dicapai dengan penolakan agen perorangan’ (128). Paradoks akuntabilitas kata Harmon, adalah bahwa ketika Pegawai negeri hanya akuntable untuk pencapaian tujuan efektif yang dimandatkan oleh otoritas politik, maka ketika instrumen

Page 235: Pelayanan Publik

dari otoritas mereka saja yang tidak menanggung responsibilitas personal seperti agen moral untuk produk tindakan mereka. Apakah, di sisi lain, pegawai negeri secara aktif berpartisipasi dalam menentukan tujuan-tujuan publik, akuntabilitas mereka dikompromikan dan otoritas politik dirong-rong. (Harmon 1995, 164).

Harmon menyimpulkan, “Reformasi rasional institusi pemerintah bukan pengganti untuk, dan sebenarnya bisa dengan baik mencegah, memperkuat ikatan komunal yang membentuk substansi institusi mereka sendiri” (1995, 207). Dengan kata lain, pegawai negeri secara benar diharuskan untuk bertanggung jawab, memperoleh jawaban, responsibel, dan bermoral; dengan memilih salah satu dari sifat ini untuk mengeluarkan yang lain menempatkan pemerintahan demokratis beresiko. Meskipun tensi yang melekat, dan kesulitan, jika bukan sesuatu yang tidak mungkin, atau secara sempurna dan secara penuh memuaskan tiap-tiap sisi akuntabilitas dalam setiap kondisi, yakni apakah kita, sebagai sebuah masyarakat, membutuhkan pegawai negeri kita. Untungnya, dengan keberanian dan profesionalisme, mereka melakukan hal itu setiap hari dalam komunitas di seluruh Amerika. Ini adalah responsibilitas kita ketika sebuah bidang mengakui kesulitan dari pekerjaan mereka, mempersiapkan mereka, menyambut meriah keberhasilan mereka, dan memajukan nilai-nilai demokratis yang mengelilingi apa yang mereka lakukan.

235

Page 236: Pelayanan Publik

KesimpulanPertanyaan akuntabilitas dalam pelayanan publik adalah pertanyaan yang kompleks, melibatkan menyeimbangkan norma dan responsibilitas yang bersaing dalam sebuah jaringan kontrol eksternal yang rumit; standar professional; preferensi warga negara; isu moral; hukum publik; dan pada akhirnya, kepentingan publik. Atau seperti yang dikemukakan Robert Behn, “Pada siapa para manajer publik bertanggung jawab? Jawaban adalah pada setiap orang” (2001, 120). Dengan kata lain, administrator publik diminta untuk menjadi responsif pada semua norma yang bersaing, nilai, dan preferensi sistem pemerintahan kompleks kita. Tensi dan paradoks yang Harmon dan lainnya identifikasi adalah tidak bisa dikurangi dan tidak bisa dihindari dalam sistem pemerintahan demokratis kita. Ini adalah sebuah kesalahan, dalam perkiraan kita, dengan terlalu menyederhanakan sifat dari akuntabilitas demokratis dengan memusatkan diri hanya pada set ukuran performa sempit atau dengan berusaha untuk menirukan kekuatan pasar – atau, yang lebih buruk, dengan hanya bersembunyi dibalik pengertian keahlian netral. Dengan melakukan hal demikian memunculkan pertanyaan sifat demokrasi, dan peranan warga negara dan pelayanan umum yang didedikasikan untuk melayani warga negara dalam kepentingan publik. Layanan Publik Baru mengakui bahwa menjadi pegawai negeri adalah sebuah usaha yang menuntut, menantang, kadangkala heroik yang melibatkan akuntabilitas untuk orang lain, patuh pada hukum,

Page 237: Pelayanan Publik

moralitas, pertimbangan, dan responsibilitas.

237

Page 238: Pelayanan Publik

BAB 8MELAYANI, BUKAN MENYETIR

Melayani, bukan menyetir. Pelayan publik harus menggunakan kepemimpinan bersama berbasis-nilai dalam membantu penduduk mengekspresikan dan memenuhi kepentingan bersama mereka, bukan mengontrol atau menyetir masyarakat menuju arah baru.

Kita lihat dalam Bab 5 bahwa kebijakan publik dibuat melalui interaksi dari beberapa kelompok dan organisasi yang berbeda, saling tumpang tindih dan sering kali saling bersaing dalam kepentingan dan yurisdiksi dan terlibat dalam usaha-usaha untuk memenuhi tujuan individu maupun kolektif melalui sebuah proses buka-tutup, dan proses mengalir dan sering kali proses tersebut menimbulkan kericuhan. Kita juga melihat beberapa cara ketika pandangan penduduk dibawa untuk mendukung proses pengembangan kebijakan publik dalam sebuah model demokratis. Di sini kita akan lebih memfokuskan pada cara ketika berbagai kelompok dan kepentingan dapat disatukan dalam sebuah model kolaboratif untuk mencapai tujuan memuaskan yang saling menguntungkan. Secara lebih khusus kita akan bertanya bagaimana kepemimpinan dapat dibawa untuk mendukung orang-orang yang memiliki beban tanggung jawab. Di bawah kondisi seperti ini, di mana terdapat sedikit bukti mengenai kepemimpinan formal atau tradisional, barangkali akan muncul kekosongan kepemimpinan – setidaknya kami melihat kepemimpinan

Page 239: Pelayanan Publik

sebagai pelaksanaan kekuasaan terhadap orang lain. Kepemimpinan masih dibutuhkan; faktanya kepemimpinan lebih banyak dibutuhkan dibandingkan sebelumnya. Tetapi yang dibutuhkan adalah kepemimpinan jenis baru.

Mengubah Perspektif mengenai KepemimpinanTerdapat kesepakatan bahwa model top-down

tradisional dari kepemimpinan yang kita kaitkan dengan kelompok-kelompok seperti militer sudah usang dan tidak dapat digunakan lagi dalam masyarakat modern. Faktanya ini merupakan ide yang justru juga diterima oleh militer. Seperti yang kita lihat, masyarakat saat ini bisa dideskripsikan sebagai (1) pergolakan, yang selalu mengalami perubahan secara tiba-tiba dan dramatis; (2) saling terikat, yang membutuhkan kerja sama dari berbagai sektor; dan (3) sangat membutuhkan solusi kreatif dan imajinatif terhadap masalah-masalah yang kita hadapi. Di dalam kondisi seperti ini, organisasi publik (dan swasta) perlu lebih bisa beradaptasi dan fleksibel dibandingkan sebelumnya. Tetapi bentuk kepemimpinan komando dan kontrol tradisional tidak mendorong munculnya resiko dan inovasi. Yang cukup berbeda, kepemimpinan seperti ini mendorong keseragaman dan konvensi. Karena alasan inilah beberapa orang berpendapat bahwa pendekatan baru terhadap kepemimpinan sangat diharapkan.

Kepemimpinan mengalami perubahan dalam beberapa hal, dan kita harus memberikan perhatian terhadap perubahan ini. Pertama dalam dunia saat ini dan esok hari, akan lebih banyak orang yang berpartisipasi dalam keputusan

239

Page 240: Pelayanan Publik

yang mempengaruhi mereka. Dalam model kepemimpinan tradisional top-down tradisional, pemimpin merupakan orang yang menetapkan visi kelompok, merancang cara-cara untuk mencapai visi tersebut, dan memberi inspirasi atau memaksa orang lain untuk membantu merealisasikan visi tersebut. Tapi mereka yang ada di organisasi memiliki keinginan yang lebih besar untuk di libatkan; mereka ingin menjadi bagian dari aktivitas. Selain itu klien atau penduduk juga ingin berpartisipasi seperti yang mereka inginkan. Beberapa tahun yang lalu Warrent Benis secara benar memprediksi “kepemimpinan akan menjadi proses yang semakin penting dalam pialang multilateral...akan semakin banyak keputusan yang bersifat publik, yaitu orang yang dipengaruhi juga ingin didengarkan”. (1992, 311).

Kedua, kepemimpinan tidak lagi dianggap sebagai sebuah posisi dalam hierarki, tapi sebagai sebuah proses yang terjadi di dalam organisasi secara keseluruhan (dan di luar organisasi). Di masa lalu pemimpin di anggap sebagai orang yang memegang posisi kekuasaan formal dalam organisasi atau masyarakat. Tetapi sekarang kita melihat kepemimpinan sebagai proses yang terjadi dalam organisasi atau masyarakat secara keseluruhan. Kepemimpinan bukan hanya merupakan sesuatu yang dimiliki oleh presiden, gubernur, walikota atau kepala departemen; tetapi kepemimpinan merupakan sesuatu yang di dalamnya melibatkan seluruh orang di dalam organisasi dan masyarakat kita dari waktu ke waktu. Yang pasti terdapat beberapa orang yang berpendapat bahwa perubahan dalam

Page 241: Pelayanan Publik

distribusi kepemimpinan seperti ini dibutuhkan untuk mempertahankan hidup kita. JohnGardner, mantan sekretaris kabinet dan penemu kelompok kepentingan publik Common Cause, menyatakan “Di negara ini, kepemimpinan tersebar antar seluruh elemen dari masyarakat dan menuruni seluruh level, dan sistem tidak akan bekerja kecuali sejumlah besar orang di dalam masyarakat dipersiapkan untuk bertindak seperti-pemimpin dalam membuat segalanya berjalan dalam level mereka” (1987,1).

Ketiga, kita harus memahami bahwa kepemimpinan tidak hanya mengenai melakukan sesuatu dengan benar, kepemimpinan adalah mengenai bagaimana melakukan hal-hal yang benar. Dengan kata lain, kepemimpinan pasti akan terkait dengan nilai-nilai penting manusia, termasuk nilai publik yang paling fundamental, nilai-nilai seperti kebebasan, kesetaraan dan keadilan. Melalui proses kepemimpinan orang akan bekerja sama untuk membuat pilihan mengenai arah yang ingin mereka ambil; mereka membuat keputusan-keputusan fundamental mengenai masa depannya. Pilihan-pilihan seperti ini tidak bisa ditetapkan hanya dengan didasarkan pada kalkulasi biaya dan keuntungan secara rasional. Mereka membutuhkan keseimbangan cermat dari nilai-nilai manusia, khususnya ketika penduduk dan pejabat pemerintah bekerja sama dalam mengembangkan kebijakan-kebijakan publik. Kepemimpinan seperti yang akan kita lihat, bisa memainkan sebuah peran “transformasional” dalam proses ini, dengan membantu orang untuk menghadapi nilai-nilai penting dan tumbuh serta berkembang secara individual dankolektif. Sejumlah

241

Page 242: Pelayanan Publik

penulis terkini mengenai kepemimpinan menyatakan bahwa kami meneliti peran “pelayan” kepemimpinan dan kami sangat perhatian dengan istilah “memimpin dengan jiwa”.

Dalam bab ini kami menyatakan bahwa administrator publik saat ini dan masa yang akan datang harus mengembangkan pemahaman yang cukup berbeda mengenai kepemimpinan dibandingkan yang terkait dengan Administrasi Publik lama atau Manajemen Publik Baru. Kepemimpinan harus dikonseptualisasikan kembali secara dramatis. Setidaknya peran dari pemimpin publik adalah (1) membantu masyarakat dan penduduknya untuk memahami kebutuhan dan potensi mereka, (2) mengintegrasikan dan mengartikulasikan visi komunitas dan visi dari berbagai organisasi yang aktif dalam area tertentu, dan (3) bertindak sebagai pemicu atau perangsang bagi tindakan. Konseptualisasi ulang terhadap kepemimpinan publik ini dideskripsikan sebagai kepemimpinan bersama, kepemimpinan berbasis-nilai dan kepemimpinan level-jalan. Sebelum kami mengkaji alternatif-alternatif ini, yang kami hubungkan secara sangat jelas dengan layanan Publik Baru, kami akan secara singkat meninjau kembali pendekatan-pendekatan terhadap kepemimpinan yang digunakan oleh Administrasi Publik Lama dan Manajemen Publik Baru.

Administrasi Publik Lama dan Manajemen EksekutifSeperti yang kita lihat sebelumnya, pandangan

mengenai kepemimpinan dalam Administrasi Publik lama didasarkan pada sebuah model manajemen eksekutif. Ingatlah bahwa Woodrow Wilson untuk pertama kalinya

Page 243: Pelayanan Publik

menggagas penciptaan pusat kekuasaan dan tanggung jawab tunggal, sebuah teguran yang dikaji secara mendalam oleh beberapa penulis sebelumnya. W.F.Willoughby, misalnya, menyatakan bahwa kewenangan administratif harus terlebih dulu dimiliki oleh eksekutif utama, yang harus memiliki kekuasaan dan kewenangan yang dibutuhkan untuk menciptakan sebuah “bagian mesin administratif tunggal dan terpadu” (1927,37). Langkah kedua adalah mengelompokkan aktivitas yang sama dalam unit-unit yang mencerminkan sebuah divisi buruh. Kemudian hierarki manajemen bisa diciptakan, di mana eksekutif bisa secara esensial mengontrol perilaku dari mereka yang berada di bagian rendah organisasi. Prinsip-prinsip kunci yang mendasari interpretasi kepemimpinan eksekutif ini adalah prinsip-prinsip yang ditemukan dalam organisasi bisnis pada waktu itu – kesatuan komando, kewenangan hierarkis/top-down, dan divisi buruh.

Sifat top-down dari manajemen organisasi internal dalam Administrasi Publik Lama sebagian paralel dengan sebuah pendekatan serupa antara agen-agen pemerintah dengan penduduk atau kliennya. Seperti kami tunjukkan sebelumnya, administrator memainkan peran yang semakin berpengaruh dalam proses pengembangan kebijakan, meskipun selalu dengan kehati-hatian untuk mempertahankan keunggulan dari pejabat terpilih. Dalam proses ini peran penduduk terbatas – peran pemilihan pejabat secara periodik, lalu mengawasi apa yang mereka lakukan. Setidaknya sampai pertengahan tahun 1960-an, keterlibatan penduduk dalam operasi agen sangat terbatas. Memang benar

243

Page 244: Pelayanan Publik

bahwa beberapa penulis mempertanyakan kepatuhan tersebut. Leonard White, misalnya, menentang sentralisasi berlebihan dari kekuasaan karena penduduk perlu mendapatkan pengalaman dalam menerima tanggung jawab sipilnya. “Agar administrasi bisa berjalan dalam birokrasi yang sangat terpusat, akan mustahil mengharapkan adanya rasa tanggung jawab personal (pada diri penduduk) bagi pemerintahan yang baik” (1926,96). Luther Gulick, di satu sisi menginginkan peran yang lebih aktif dan independen dari administrator di mana keterlibatan penduduk merupakan alat terbaik untuk menjamin pemenuhan. Menurut Gullick, “Kesuksesan dari perjalanan demokrasi tidak tergantung pada aktivitas politik yang luas atau terus-menerus dari penduduk, dan juga bukan oleh pengetahuan kecerdasan untuk menjawab permasalahan-permasalahan kompleks” (1933,558). Penentuan kebijakan di sisi lain hendaknya diberikan kepada ahli.

Manajemen Publik Baru dan KewirausahaanDalam Manajemen Publik Baru, kebutuhan bagi kepemimpinan setidaknya secara parsial dipudarkan oleh aturan dan insentif keputusan. Dalam kasus-kasus seperti itu, kepemimpinan tidak terletak pada satu orang; tetapi kumpulan dari pilihan individu mengganti kebutuhan akan fungsi kepemimpinan. Misalnya, Don Kettl mengatakan bahwa isu kunci dalam reformasi berbasis-pasar adalah “Bagaimana pemerintah dapat menggunakan insentif gaya-pasar untuk mencabut penyakit birokrasi?” (2000a,1). Dalam beberapa kasus pemerintah memberikan layanan mulai

Page 245: Pelayanan Publik

dari pengumpulan sampah sampai penjara. Yang lainnya masih mencoba menciptakan mekanisme bagi pilihan konsumen melalui sistem pemberian layanan alternatif atau melalui usaha-usaha seperti menyediakan “voucher” bagi layanan yang dibutuhkan. Dalam berbagai kasus, manajemen Publik Baru bertujuan untuk mengganti pemberian layanan tradisional berbasis aturan dengan taktik berbasis pasar yang didorong oleh kompetisi. Penduduk “dipimpin” oleh pilihannya terhadap satu pilihan atau yang lainnya.

Osborne dan Gaebler (1992) secara eksplisit mendeskripsikan penurunan peran pemberian layanan sebagai cara yang lebih baik untuk memimpin masyarakat. Mereka merekomendasikan bahwa pemerintah harus meninggalkan peran pemberian layanan yang mereka sebut sebagai “pendayung” dan mengedepankan perkembangan kebijakan (yang mereka sebut sebagai “menyetir”). Organisasi penyetir menetapkan kebijakan, menyediakan dana bagi agen-agen operasional (apakah pemerintah maupun non-pemerintah) dan mengevaluasi kinerja. Mereka menetapkan struktur “insentif” di mana agen-agen dapat bersaing atau penduduk dapat memilih. Tetapi mereka tidak secara aktual terlibat dalam pemberian layanan.

Elemen lain dari pendekatan Manajemen Publik Baru terhadap kepemimpinan publik adalah desakan untuk memasukkan kompetisi dalam area-area yang sebelumnya menjadi monopoli pemerintah. Dengan menetapkan proses kompetitif bagi layanan seperti pengumpulan sampah, beberapa kota telah mampu mengurangi biayanya dalam jumlah besar; tetapi perubahan yang lebih dramatis dari

245

Page 246: Pelayanan Publik

tradisi bahkan telah muncul. Misalnya, beberapa yurisdiksi melakukan eksperimentasi pilihan sekolah sebagai sebuah alat untuk menciptakan kompetisi di dalam sistem pendidikan. Idenya adalah bahwa sekolah harus diberi otonomi yang cukup besar untuk mengelola sumber dayanya sendiri dan kemudian pasar akan menentukan sekolah mana yang paling efektif. Mekanisme insentif berjalan dalam beberapa arah. Sekolah memiliki insentif untuk menunjukkan kualitas tinggi. Siswa memiliki insentif untuk mencoba sistem sekolah terbaik.

Yang sangat penting bagi diskusi kita di sini adalah bahwa insentif pasar diterapkan oleh Manajemen Publik Baru sebagai sebuah pengganti bagi kepemimpinan publik. Osborne dan Gaebler, misalnya, secara antusias memunculkan pernyataan dari Jauh Chubb, co-penulis dari sebuah buku penting mengenai pilihan sekolah.

“Anda bisa mendapatkan sekolah yang efektif melalui cara-cara lain – seperti kekuatan kepemimpinan yang kuat. Tetapi jika kita harus bergantung pada perkembangan pemimpin yang benar-benar luar biasa untuk mengamankan sekolah kita, prospek kita tidak akan berjalan baik. Sistem yang ada saat ini tidak ditetapkan untuk mendorong jenis kepemimpinan seperti itu. Sebuah sistem kompetisi dan pilihan di sisi lain secara otomatis memberikan insentif bagi sekolah untuk melakukan hal yang tepat (dicuplik dalam Osborne dan Gaebler, 1992,95)”

Page 247: Pelayanan Publik

Layanan Publik Baru dan KepemimpinanLayanan Publik Baru melihat kepemimpinan bukan dalam term manipulasi individu maupun manipulasi insentif. Tetapi kepemimpinan dilihat sebagai sebuah bagian alamiah dari pengalaman manusia, yang selalu terkena kekuatan rasional dan intuitif, dan memfokuskan energi manusia pada proyek-proyek yang menguntungkan bagi humanitas. Kepemimpinan tidak lagi dilihat sebagai prerogatif dari mereka yang berada di kantor-kantor publik tinggi, tetapi sebagai sebuah fungsi yang meluas dalam kelompok, organisasi dan masyarakat. Dalam hal ini yang dibutuhkan adalah kepemimpinan dasar dalam organisasi publik dan masyarakat secara keseluruhan. Di sini kita akan mengkaji beberapa interpretasi yang tepat dari pendekatan baru ini terhadap kepemimpinan.

Kepemimpinan Berbasis NilaiBarangkali rumusan kepemimpinan yang paling kuat, apakah itu diterapkan pada politik, bisnis atau manajemen adalah ide “kepemimpinan transformasional”. Kepemimpinan transformasional adalah konsep kunci dalam sebuah Pulitzer Prize klasik – memenangkan studi, yang ditulis oleh ilmuwan politik Harvard, James MacGregor Burns dan hanya berjudul Leadership (1978). Dalam karya monumental ini, Burns tidak hanya mencoba memahami dinamika kepemimpinan dalam term efisiensi rasional, menyelesaikan sesuatu atau memenuhi tujuan organisasi. Tetapi dia mencoba mengembangkan sebuah teori kepemimpinan yang akan membentang melintasi kultur dan waktu serta diterapkan

247

Page 248: Pelayanan Publik

pada kelompok, organisasi dan masyarakat. Secara khusus Burns mencoba memahami kepemimpinan bukan sebagai sesuatu yang dilakukan pemimpin kepada bawahan, tetapi sebagai sebuah hubungan antara pemimpin dengan bawahan, sebuah interaksi saling menguntungkan yang pada akhirnya mengubah keduanya.

Proses kepemimpinan harus dilihat sebagai bagian dari dinamika konflik dan kekuasaan...kepemimpinan tidak akan berarti apapun jika tidak dihubungkan dengan tujuan kolektif;...efektifitas pemimpin harus dinilai bukan melalui kliping pers, tetapi melalui perubahan sosial nyata;...kepemimpinan politik tergantung pada rantai proses biologis dan sosial panjang, interaksi dengan struktur peluang politik, hubungan saling mempengaruhi antara panggilan prinsip moral dengan kebutuhan kekuasaan...dalam menempatkan konsep kepemimpinan ini secara terpusat ke dalam sebuah teori...kami akan memperkuat kembali kemungkinan tujuan manusia dari standar keadilan umum dalam melaksanakan urusan manusia (Burns 1978,4)”.Burns memulai dengan menyatakan bahwa meskipun

secara historis kita dilingkupi dengan hubungan antara kekuasaan dengan kepemimpinan, terdapat sebuah perbedaan penting antara keduanya. Kekuasaan dianggap sebagai pelaksana dari keinginan seseorang, bukan penolakan. Konsepsi kekuasaan seperti itu mengabaikan fakta penting bahwa kekuasaan melibatkan hubungan antara pemimpin dengan bawahan, dan bahwa nilai sentral dalam hubungan tersebut adalah tujuan – apa yang dicari dan apa yang

Page 249: Pelayanan Publik

dimaksudkan, baik oleh orang yang menjalankan kekuasaan maupun orang yang menerima tujuan. Pada sebagian besar situasi, penerima ini memiliki fleksibilitas dalam responsnya terhadap pelaksanaan kekuasaan, sehingga kekuasaan yang dapat dijalankan oleh seseorang tergantung pada cara yang digunakan oleh kedua belah pihak dalam melihat situasi. Pemegang kekuasaan menarik sumber daya dan motifnya sendiri, tetapi harus relevan dengan sumber daya dan motivasi dari penerima kekuasaan.

Menurut Burns, kepemimpinan merupakan satu aspek dari kekuasaan, tetapi kepemimpinan juga merupakan sebuah proses terpisah. Kekuasaan dijalankan ketika calon pemegang kekuasaan, yang berusaha mencapai tujuannya sendiri, mendapatkan sumber daya yang membuat mereka dapat mempengaruhi orang lain. Kekuasaan dijalankan untuk merealisasikan tujuan dari pemegang kekuasaan, apakah tujuan tersebut juga merupakan tujuan responden atau bukan (1978,18). Di sisi lain, kepemimpinan dijalankan “ketika orang dengan motif dan tujuan tertentu memobilisasi (dalam kompetisi dan konflik dengan orang lain) sumber daya kelembagaan, politik, psikologis dan sumber daya lainnya untuk memunculkan, melibatkan dan memenuhi motif dari bawahan. Perbedaan antara kekuasaan dan kepemimpinan adalah bahwa kekuasaan melayani kepentingan dari pemegang kekuasaan, sedangkan kepemimpinan memenuhi kebutuhan pemimpin serta bawahannya. Nilai, motivasi, keinginan, kebutuhan, kepentingan, dan harapan dari pemimpin maupun bawahan harus terwakili agar kepemimpinan bisa dijalankan.

249

Page 250: Pelayanan Publik

Menurut Burns, pada dasarnya terdapat dua jenis kepemimpinan. Yang pertama adalah kepemimpinan “transaksional” yang melibatkan pertukaran hal-hal berharga (apakah ekonomis, politis maupun psikologis) antara inisiator dengan responden. Misalnya, seorang pemimpin politik mungkin setuju untuk mendukung kebijakan tertentu untuk mendapatkan suara pada pemilihan mendatang. Atau seorang siswa dapat menulis sebuah makalah untuk mendapatkan nilai “A”. Dalam aspek kepemimpinan transaksional, dua pihak menyatu dalam sebuah hubungan yang meningkatkan kepentingan dari keduanya, tetapi tidak ada hubungan mendalam antar mereka. Di sisi lain, kepemimpinan “transformasional” terjadi ketika pemimpin dan bawahan saling terlibat dalam sebuah cara tertentu sehingga mereka saling mengangkat menuju level moralitas dan motivasi yang lebih tinggi. Meskipun pemimpin dan yang dipimpin mungkin pada awalnya bersatu untuk mengejar kepentingannya sendiri atau karena pemimpin menyadari beberapa potensi khusus dari bawahan, ketika hubungan muncul, kepentingan mereka menjadi menyatu dalam dukungan saling menguntungkan untuk tujuan umum. Hubungan antara pemimpin dengan bawahan menjadi sebuah hubungan di mana tujuan dari keduanya diangkat melalui hubungan tersebut; kedua belah pihak menjadi termobilisasi, berinspirasi, terangkat. Dalam beberapa kasus, kepemimpinan transformasional bahkan muncul menjadi kepemimpinan moral ketika kepemimpinan memunculkan level aspirasi moral dan pelaksanaan moral dari pemimpin dan bawahan. Kepemimpinan moral

Page 251: Pelayanan Publik

menghasilkan tindakan-tindakan yang sesuai dengan kebutuhan, kepentingan dan aspirasi bawahan, tetapi ini juga merupakan tindakan yang secara fundamental mengubah pemahaman moral dan kondisi sosial. Pada akhirnya kepemimpinan, khususnya transformasional atau kepemimpinan moral, memiliki kapasitas untuk menggerakkan kelompok, organisasi, bahkan masyarakat menuju pengejaran tujuan yang lebih tinggi.

Interpretasi yang sama tetapi lebih kontemporer mengenai kepemimpinan diberikan oleh Ronald Heifetz dalam buku ini, Leadership without Easy Answers (1994). Heifetz berpendapat seperti yang kita lakukan pada awal bab ini bahwa kepemimpinan tidak lagi hanya mengenai penetapan visi dan mendorong orang untuk bergerak menuju arah tersebut. Kepemimpinan tidak lagi mengenai “memerintah orang untuk melakukan sesuatu”. Tetapi kepemimpinan, apakah itu dari seseorang dalam posisi kewenangan formal maupun dengan kewenangan kecil atau non-formal, dianggap sebagai alat bantu sebuah kelompok, organisasi atau masyarakat dalam memahami visinya, lalu belajar cara untuk bergerak menuju arah baru. Sebagai sebuah ilustrasi mengenai perbedaan antara dua pandangan mengenai kepemimpinan ini, lihatlah dua definisi mengenai kepemimpinan berikut ini, “kepemimpinan berarti mempengaruhi masyarakat untuk mengikuti visi pemimpin” vs “kepemimpinan berarti mempengaruhi komunitas untuk menghadapi masalahnya” (Heifetz, 199,14).

Dari sudut pandang teoritis ini, Heifetz mengidentifikasi beberapa pelajaran praktis bagi pemimpin

251

Page 252: Pelayanan Publik

– bahkan dengan pemimpin yang tidak memiliki kekuasaan formal:

1. Mengidentifikasi Tantangan Adaptif: Mendiagnosis situasi yang sesuai dengan nilai-nilai yang ada, dan membebaskan isu-isu yang menyertainya.

2. Menjaga agar Level Stres masih berada di dalam

Rentang yang bisa Ditolerir untuk Melakukan

Aktivitas Adaptif: Menggunakan analogi pemasak tekanan, menjaga agar panas tidak keluar dari panci.

3. Memfokuskan Perhatian pada Pematangan Isu dan

bukan pada Distraksi Pengurangan Stres: Mengidentifikasi isu-isu yang saat ini bisa menarik perhatian; dan ketika mengarahkan perhatian pada isu-isu ini, jangan terima mekanisme penghindaran kerja seperti penolakan, pengambinghitaman, eksternalisasi musuh, berpura-pura masalah yang terjadi bersifat teknis, atau menyerang orang, bukan isu.

4. Memberikan Kembali Tugas kepada Orang, tetapi Pada

Tingkatan yang Bisa Mereka Atasi: Menempatkan dan mengembangkan tanggung jawab dengan meletakkan tekanan pada orang yang menghadapi masalah.

5. Melindungi suara-suara kepemimpinan tanpa

kekuasaan: Memberikan perlindungan kepada mereka yang memunculkan pertanyaan-pertanyaan keras dan mendorong munculnya stres – orang yang mengarah pada kontradiksi internal masyarakat. Orang-orang ini sering kali akan memiliki dimensi untuk

Page 253: Pelayanan Publik

mendorong pemikiran ulang yang tidak dimiliki oleh mereka yang berkuasa (Heifetz 199, 128).

Kepemimpinan BersamaJauh Bryson dan Berbara Crosby (1992) menetapkan

tahap bagi diskusi mengenai kepemimpinan bersama dengan membandingkan model kepemimpinan birokratis tradisional dengan kepemimpinan kontemporer – di mana tak ada satu orangpun yang memegang tanggung jawab. Di satu sisi, terdapat birokrasi hierarkis tradisional, yang memiliki kapasitas untuk “mencakup seluruh masalah” dan untuk terlibat dalam proses penanganan masalah dan perencanaan ahli dan rasional agar bisa mencapai sebuah solusi yang bisa mereka implementasikan. Di sisi lain, seperti kita lihat dalam diskusi kita mengenai proses pemerintahan baru, masalah yang muncul saat ini membutuhkan keterlibatan jaringan dari beberapa organisasi berbeda dengan gaya, agenda dan perhatian berbeda. Kelompok-kelompok tersebut mungkin memiliki perbedaan serius – dalam arah, motivasi, waktu, aset dan sebagainya – dan perbedaan-perbedaan tersebut mungkin sangat parah. Dalam lingkungan yang terus berubah dan kisruh ini, model kepemimpinan formal rasional tidak lagi tepat. Tetapi seseorang, khususnya orang yang tidak memiliki posisi kekuasaan formal mungkin melihat kepemimpinan sebagai satu hal yang menyatukan seluruh orang yang peduli pada masalah dan membantu menyelesaikan atau melemahkan perbedaan-perbedaan tersebut, dan tidak pernah mengontrol, tetapi memimpin dengan memberi contoh,

253

Page 254: Pelayanan Publik

bujukan, dorongan dan pemberdayaan.Model kepemimpinan alternatif ini, yang oleh Bryson

dan Einsweiler dideskripsikan sebagai “kapasitas transformatif bersama” (1991,3) terkadang lambat dan sering kali membosankan, tetapi memiliki alasan yang bagus. Pemimpin dalam dunia kekuasaan dan kemampuan bersama memiliki kebutuhan yang menuntut waktu dan perhatian khusus. Meskipun kepemimpinan bersama itu membutuhkan banyak waktu, karena lebih banyak orang dan kelompok yang terlibat, ironisnya kepemimpinan ini jauh lebih berhasil untuk alasan yang sama – karena lebih banyak orang dan kelompok yang terlibat.

Tetapi kesuksesan membutuhkan adanya pemahaman terhadap berbagai tempat dalam pembuatan keputusan kebijakan dan berbagai langkah yang harus dilalui agar meraih kesuksesan. Bryson dan Crosby (1992) menunjukkan tiga setting yang menjadi lebih sering diterapkan dalam menyatukan orang dan menegosiasikan sudut pandang mereka yang berbeda. Forum adalah ruang di mana orang terlibat dalam diskusi, perdebatan dan pertimbangan mendalam. Forum ini mencakup kelompok diskusi, debat formal, dengar pendapat publik, satuan tugas, konferensi, surat kabar, radio, televisi dan internet. Arena di sisi lain lebih formal dan memiliki ranah yang lebih tak terbatas. Contohnya adalah komite eksekutif, dewan kota, senat fakultas, dewan direktur, dan legislatif. Terakhir, pengadilan adalah setting yang memfokuskan pada penyelesaian perselisihan menurut norma-norma masyarakat yang ada.

Page 255: Pelayanan Publik

Bryson dan Crosby lalu menetapkan beberapa langkah kunci dalam menyelesaikan masalah publik secara efektif:

1. Mendorong Kesepakatan Awal untuk Bertindak: sebuah kelompok pemimpin, pembuat keputusan kunci, dan penduduk awam menyatu dan menyetujui kebutuhan untuk merespons masalah tertentu.

2. mengembangkan definisi masalah efektif untuk

mengarahkan tindakan: cara ketika masalah ditetapkan akan secara dramatis mempengaruhi cara berbeda yang digunakan oleh beberapa pihak dalam merespons dan terlibat dalam proses, serta cara ketika solusi ditetapkan.

3. mencari solusi dalam forum. Dalam fase ini, akan terjadi pencarian solusi terhadap masalah yang telah diidentifikasi sebelumnya. Dalam fase ini pemimpim memfasilitasi konstruksi skenario alternatif untuk bergerak dari masa lalu yang penuh masalah menuju masa depan yang bebas masalah.

4. mengembangkan sebuah proposal yang bisa menang

dalam arena. Di sini fokusnya berubah menuju pengembangan kebijakan yang bisa diletakkan pada agenda-agenda dari badan pembuat keputusan formal.

5. menggunakan solusi kebijakan publik: dalam fase ini, mereka yang mendukung perubahan mencari penggunaan proposalnya oleh mereka yang memiliki kewenangan pembuatan keputusan formal dan sumber daya serta dukungan yang dibutuhkan untuk keberhasilan.

6. mengimplementasikan kebijakan dan rencana baru:

255

Page 256: Pelayanan Publik

kebijakan tidak berimplementasi dengan sendirinya, sehingga memperluas kebijakan baru dalam sistem melibatkan sebuah dimensi penjelasan detil dan tatanan yang terkait dengan proses implementasi. Jika hal ini tidak muncul, perubahan tidak bisa dianggap utuh.

7. menilai kembali kebijakan dan program: Setelah implementasi, muncul kebutuhan untuk mengevaluasi kembali situasi. Semuanya berubah, orang berubah, dan komitmen sumber daya berubah – dan hal ini bisa mendorong pada putaran perubahan kebijakan baru.

Argumen yang sama dikembangkan oleh Jeffrey Luke dalam Catalytic Leadership (1998). Sesuai dengan diskusi awal kita mengenai pemerintahan berbasis-jaringan, Luke menyatakan bahwa organisasi publik sangat dibatasi pada apa yang dapat mereka lakukan pada dirinya sendiri. Beberapa kelompok dan organisasi lain harus dilibatkan dalam mengatasi isu-isu seperti kehamilan remaja, kemacetan lalu lintas dan polusi lingkungan. Selain kepemimpinan tradisional, tipe kepemimpinan dari Luke ini terkait dengan kerja sama bisnis dan agen-agen pemerintahan birokratis yang didasarkan pada kewenangan hierarkis dan tidak mudah ditransfer ke dalam situasi yang tersebar dan kompleks. Sebaliknya dalam lingkungan ini yang menandai proses kebijakan publik, kepemimpinan harus “memfokuskan perhatian dan memobilisasi tindakan berkelanjutan oleh para stakeholder” (1998,5).

Page 257: Pelayanan Publik

Menurut Luke, kepemimpinan publik yang efektif dalam sebuah dunia yang saling terikat, yang ia sebut sebagai kepemimpinan katalitis, melibatkan empat tugas khusus:

1. memfokuskan perhatian dengan memunculkan isu-isu kepada publik dan agenda kebijakan. Menggerakkan masalah tertentu ke dalam agenda publik melibatkan identifikasi masalah, menciptakan kesadaran akan urgensi solusi dan memicu kepentingan publik luas.

2. melibatkan orang dalam usaha untuk melakukan pertemuan dengan berbagai orang, agen dan kepentingan berbeda yang dibutuhkan untuk mengatasi masalah.

3. merangsang strategi dan pilihan bagi tindakan. Langkah ini membutuhkan pengembangan kelompok kerja efektif dengan tujuan bersama dan proses diskusi dan belajar kelompok yang dapat dipercaya.

4. mempertahankan tindakan dan momentum dengan mengelola hubungan melalui kelembagaan yang tepat dan berbagi serta memberikan umpan balik informasi secara cepat.

Pelayan, bukan PemilikDalam Layanan Publik Baru, terdapat kesadaran eksplisit bahwa administrator publik bukan merupakan pemilik bisnis dari agen dan program-programnya. Mindset dari administrator publik adalah bahwa program dan sumber daya publik tidak menjadi miliki mereka. Tetapi administrator publik menerima tanggung jawab untuk melayani penduduk dengan menjadi penjaga dari sumber daya publik (Kass,

257

Page 258: Pelayanan Publik

1990), pelindung organisasi publik (Terry, 1995), fasilitator kewarganegaraan dan dialog demokratis (Box, 1998; Chapin dan Denhardt 1995; King dan Stivers 1998), dan katalis bagi keterlibatan komunitas (Denhardt dan Gram 1999; Lappe dan duBois 1994). Ini merupakan perspektif yang sangat berbeda dari pemilik bisnis yang memfokuskan pada profit dan efisiensi. Layanan Publik Baru menyatakan bahwa administrator publik tidak hanya harus berbagi kekuasaan, bekerja bersama orang-orang, dan pialang solusi, tetapi juga harus mengonseptualisasikan kembali perannya dalam proses pemerintahan sebagai partisipan yang bertanggung jawab, bukan sebagai pengusaha.

Dalam layanan Publik Baru, kepemimpinan bersama berbasis-nilai dilihat sebagai sebuah fungsi dan tanggung jawab pada seluruh level organisasi, dari level eksekutif sampai level jalan. Vinzant dan Crothers (1998), misalnya, menjelaskan bagaimana pelayan publik di garis depan dituntut untuk melakukan diskresi, melibatkan orang dan membuat keputusan yang menghargai dan mencerminkan berbagai faktor dan nilai. Mereka harus responsif terhadap aturan-aturan agen, supervisornya, komunitas yang mereka layani, rekan kerja serta variabel situasional dan etis.

KesimpulanDalam Layanan Publik Baru, kepemimpinan didasarkan pada nilai dan dibagi dalam seluruh organisasi dan masyarakat. Perubahan dalam konseptualisasi peran administrator

Page 259: Pelayanan Publik

publik ini memunculkan implikasi bagi tipe-tipe tantangan dan tanggung jawab kepemimpinan yang dihadapi oleh pelayan publik. Pertama, administrator publik harus mengetahui dan mengelola lebih dari syarat dan sumber daya dari program-program mereka. Pandangan sempit tidak akan bermanfaat bagi penduduk yang dunianya dibagi oleh departemen dan kantor-kantor program. Masalah yang dihadapi penduduk sering kali multiaspek, berubah dan dinamis – dan mereka tidak mudah jatuh di dalam kantor tertentu atau deskripsi pekerjaan sempit dari individu. Untuk melayani penduduk, administrator publik hendaknya tidak hanya mengetahui dan mengelola sumber dayanya sendiri; mereka juga harus menyadari dan berhubungan dengan sumber dukungan dan bantuan lain, melibatkan penduduk dan komunitas dalam proses. Mereka tidak mengontrol dan tidak berpikiran bahwa pilihan kepentingan pribadi berfungsi sebagai wakil dari dialog dan nilai bersama. Pendeknya, mereka harus berbagi kekuasaan dan memimpin dengan motivasi tinggi, komitmen, integritas dalam hal tertentu yang menghargai dan memberdayakan penduduk.

259

Page 260: Pelayanan Publik

BAB 9

MENILAI MANUSIA, BUKAN HANYA PRODUKTIFITAS

Menilai manusia, bukan hanya produktifitas. Organisasi publik dan jaringan-jaringan dimana mereka berpartisipasi lebih mungkin memperoleh kesuksesan jangka panjang jika mereka melakukan kolaborasi dan kepemimpinan bersama dengan asas saling menghormati.

Dalam pendekatannya untuk managemen dan organisasi, Layanan Publik Baru (New Public Service) menekankan pada pentingnya bagaimana memenej melalui manusia. Sistem peningkatan produktifitas, rekayasa proses dan ukuran kinerja dianggap sebagai sarana penting untuk mendesain sistem manegemen. Tetapi Layanan Publik Baru menunjukkan bahwa usaha-usaha rasional untuk mengontrol perilaku manusia kemungkinan akan menemui kegagalan dalam jangka panjang, jika pada saat yang sama tidak diberikan perhatian yang memadai terhadap masalah nilai-nilai dan minat anggota organisasi. Selain itu, walaupun pendekatan-pendekatan tersebut emmberikan hasil, tetapi pendekatan itu tidak akan membentuk pekerja atau warga yang bertanggung jawab, merasa memiliki dan berorientasi pada kepentingan bersama.

Evolusi pikiran yang terkait dengan bagaimana cara terbaik untuk memenej manusia meliputi serangkaian topik dan gagasan termasuk motivasi, “supervisi” dan kepemimpinan, budaya organisasi, struktur organisasi dan

Page 261: Pelayanan Publik

kekuasaan organisasi. Evolusi itu juga meliputi pertanyaan-pertanyaan tentang karakteristik dasar sebuah kekuasaan, definisi kinerja dan tanggung jawab serta pembentukan kepercayaan. Namun, yang paling fundamental adalah bahwa evolusi tersebut didasarkan pada asumsi kita yang paling mendasar tentang sifat dasar manusia dan perilakunya. Di bab ini, kita akan menggali asumsi-asumsi yang sangat berbeda serta landasan konseptual untuk pandangan-pandangan tentang managemen manusia seperti yang dicontohkan dalam Old Public Administration, New Publik Managemen dan New Public Service. Kita akan mulai dengan membahas sejarah konsep-konsep dan gagasan dasar yang terkait dengan motivasi dan managemen. Kemudian, kami akan membandingkan asumsi dan model-model yang mendasari managemen manusia jika dilihar dari sudut pandang Old Publik Administration, New Public Managemen dan New Public Service.

Perilaku Manusia Dalam Organisasi: Konsep KunciKeyakinan kami tentang apa yang mendorong perilaku manusia akan menentukan baagimana kami menginterpretasikan, merespon dan mencoba mempengaruhi perilaku orang lain. ketika para teoritikus mulai mempelajari perilaku manusia dalam organisasi, maka asumsi yang mereka gunakan tentang sifat dasar manusia adalah asumsi yang simplistic dan secara umum negatif. Salah satu gagasan paling awal dan paling utama dalam

261

Page 262: Pelayanan Publik

studi managemen organisasi adalah bahwa agar organisasi isa berfungsi, maka pekerja harus didorong atau dipaksa untuk menghasilkan perilaku tertentu dan melakukan tugas tertentu. Tugas-tugas tersebut dilakukan oleh orang-orang dalam organisasi yang dipahami secara prinsipil sebagai sebuah “struktur” untuk mempermudah interaksi dan proses yang ada. Sasaran dari struktur ini adalah untuk menghasilkan kinerja yang efisien dan konsisten untuk tugas yang ada.

Walaupun sekarang kita membicarakan tentang struktur organisasi sebagai salah satu factor yang mempengaruhi perilaku pekerja, tetapi pada awalnya struktur organsasi adalah focus managemen. Ott menyatakan, “struktur – sebuah bentuk organisasi, prosesur ukuran, teknologi produksi, deskripsi posisi, tatanan pelaporan dan koordinasi hubungan – akan mempengaruhi emosi dan perasaan dan oleh karenanya juga mempengaruhi perilaku manusia dan kelompok di dalam mereka (1996: 304). Selama beberapa decade, Perasaan dan emosi tersebut biasanya diabaikan dalam studi organisasi dan managemen. Diasumsikan bahwa jika pekerjaan didesain dengan bagus dan hubungan kewenangan ditata secara tepat dan teratur, maka efisiensi optimum akan bisa direalisasikan.

Hierarki dan Managemen Ilmiah Sosiolog Jerman, Marx Webber adalah orang yang mungkin paling dikaitkan dengan pendekatan structural untuk memenej dan mengontrol perilaku manusia dalam organisasi. Weber menggambarkan struktur organisasi birokratis

Page 263: Pelayanan Publik

sebagai struktur yang dicirikan dengan adanya hierarki otoritas, aturan dan prosedur yang teratur dan posisi-posisi formal dengan tugas yang tetap dan mengatakan bahwa struktur positif semacam itu akan menghasilkan kinerja yang efisien dan bisa diprediksi. “presisi, kecepatan dan unambiguitas, pengetahuan, kontinuitas, kesatuan, subornisasi, pengurangi friksi dan ongkos personal dan material – itu semua diangkat sampai titik optimal dalam administrasi birokratis (Weber, yang dikutip dalam Gerth dan Mills, 1946, 214). Disatu sisi, birokrasi adalah cara terbaik untuk memperoleh efisiensi. Weber mengatakan bahwa birokrasi adalah sarana paling rasional yang diketahui manusia untuk melakukan kontrol imperatif terhadap manusia” (337). Ini dilakukan dnegan membua proses administrative menjadi obyektif, rasional dan impersonal. “pelaksanaan bisnis adalah pelaksanaan bisnis berdasarkan aturan dan tanpa memandang pada manusianya (215). Weber juga mengatakan bahwa dehumanisasi pekerjaan ini “adalah sifat dasar birokrasi dan itu dianggap sebagai karakter utamanya” (216).

Tetapi Weber sendiri mengkhawatirkan tentang konsekwensi birokrasi untuk nilai-nilai demokratis dan semangat kemanusia. Dia mengatakan “demokrasi” seperti itu bertentangan dengan aturan “birokrasi” (Weber, dikutip dalam Gerh dan Mills, 1946, 231). Walaupun begitu, Weber menganggap bahwa pada akhirnya kekuatan birokratis akan keluar dari ranah politis” “dibawah kondisi normal, posisi kekuasaan dari sebuah birokrasi yang sudah maju akan selalu sangat berlebihan” (232).

263

Page 264: Pelayanan Publik

Weber tidak hanya mengkhawatirkan tentang implikasi birokrasi untuk pemerintahan yang demokratis, tetapi dia juga mengkhawatirkan konsekwensinya bagi manusia. “birokrat tidak bisa menyingkirkan alart yang selama ini mengekangnya (Weber, dikutip dalam Gerth dan Mills, 1946, 228). Dia menyebut birokrasi sebagai menciptakan sebuah “sangkar besi” dimana “semua bentuk tatanan sosial yang berorientasi pada nilai akan dilemahkan oleh struktur birokrasi dan oleh jaringan yang ketat dalam hukum serta regulasi yang formal rasional sehingga manusia tidak bisa bertahan sama sekali menghadapi itu” 9Mommsen, 1974, 57).

Selain kekhawatiran-kekhawatiran tersebut, nilai birokrasi dan egisiensi menemukan wadah yang tepat ditangan para teoritikus managemen yang berusaha untuk menemukan sarana terbaik untuk mengontrol pekerja dan menghasilkan efisiensi. Para teoritikus managemen tersebut menganggap pekerja sebagai kepanjangan dari sarana dan mesin yang mereka miliki. Diyakini bahwa diperlukan adanya ketakutan akan hubungan fisik atau ekonomi untuk membuat manusia bekerja. Hanya mereka yang “termotivasi” oleh uang atau ketakutan yang akan melaksanakan tugas yang sudah diberikan.

Sebagai contoh, seperti yang sudah kta bahas sebelumnya, Frederick Taylor menyatakan bahwa pekerja akan melakukan apa yang diperintahkan jika mereka diberi instruksi khusus. Dia mendorong manager untuk mempelajari tugas yang akan dilakukan, menentukan cara terbaik untuk melakukannya dan kemudian memilih dan melatih pekerja untuk melakukan pekerjaan itu. Pekerja kemudian bisa

Page 265: Pelayanan Publik

didorong untuk melakukan pekerjaan dengan memberikan sejumlah uang untuk tiap pekerjaan yang sudah diselesaikan atau produk yangdihasilkan. Walaupun Taylor menganggap ini sebagai pendekatan yang saling menguntungkan bagi pekerja dan manager, tetapi jelas bahwa dia menganggap pekerja sebagai orang yang malas dan bodoh. Sebagai contoh dalam komentarnya tentang bagaimana mendorong pekerja untuk mengangkut besi berukuran besar, dia mengatakan “kita bisa melatih gorilla yang pandai” untuk melakukan pekerjaan itu (1911, 40). Dia juga mengharapkan pekerja untuk mematuhi atasan tanpa ada pertanyaan.

Faktor ManusiaGagasan-gagasan tentang kepatuhan kepada pihak yang berwenang dan hierarki adalah doktrin managemen yang dominan di awal tahun 1900-an dan masih tetap berpengaruh sekarang. Walaupun hanya ada beberapa tulisan humanistis awal tentang managemen dan pekerja (contoh, Follet, 1926; Munsterberg 1913); tetapi baru setelah munculnya publikasi studi yang dilakukan oleh Hawthorne pada tahun 1930-an, maka ada pengakuan signifikan terhadap pentingnya factor-faktor sosial (sebagai lawa dari factor teknis atau ekonomis) dalam motivasi kerja. Bahkan eksperimen Hawthorne sendiri dimulai sebagai sebuah studi “relasi antara kondisi-kondisi kerja dan insidensi kelelahan dan monotoni diantara para pekerja” (Roethlisberger dan Dickson 1939, 3). Tetapi studi itu

265

Page 266: Pelayanan Publik

tidak berjalan sesuai dengan rencana dan para peneliti pada akhirnya menemukan bahwa hubungan manusia (termasuk hubungan pekerja dengan peneliti) mempengaruhi perilaku pekerja. Sebagai akibatnya, diperlukan model-model baru untuk menjelaskan perilaku pekerja. Peneliti menemuakn bahwa perilaku dan motivasi bersifat kompleks, dipengaruhi oleh sikap, perasaan dan makna yang diberikan oleh pekerja kepada pekerjaan mereka dan hubungan mereka dengan orang lain di tempat kerja. Seperti yang dikatakan oleh Roethlisberger dan Dickson, “bahwa sebuah masalah manusia membutuhkan solusi manusia adalah sebuah tesis sederhana” (1939, 35).

Riset yang dilakukan setelah studi oleh Hawthorne menghasilkan munculnya sebuah pemahaman yang lebih rumit tentang hubungan antara manusia, pekerjaan dan organisasi. Gagasan-gagasan seperti pentingnya kerja sama manusia (Barnard 1948) dan pengaruh kelompok (Knickerbocke dan McGregor 1942) dipelajari oleh para peneliti untuk menenukan bagaimana factor-faktor tersebut bisa mempengaruhi kinerja kerja. Menjelang tahun 1950-an, semakin banyak kesepakatan diantara para teoritikus managemen yang menyatakan bahwa motivasi adalah sebuah konsep psikologis dan bukan konsep yang murni ekonomis.

Pengakuan ini dicontohkan dalam karya McGregor (1957) dimana dia membedakan antara apa yang disebut dengan asumsi teori X dan Y tentang pekerja. Dia mengatakan bahwa pendekatan komando dan kontrol tradisional (Teori X), yang didasarkan pada asumsi bahwa manusia adalah malas, tidak suka melibatkan diri pada

Page 267: Pelayanan Publik

sesuatu dan hanya bisa dimotivasi oleh uang, menyebabkan manusia berperilaku dalam pola yang sesuai dengan apa yang sudah diduga. Sebaliknya, teori Y didasarkan pada pandangan yang lebih optimistis dan humanistis tentang manusia dan menekankan pada martabat dan penghargaan individual dalam organisasi. Dengan menggunakan asumsi-asumsi tersebut dan bertidndak berdasarkan asumsi itu, memungkinkan kualitas yang lebih positif dalam diri pekerja untuk muncul dalam organisasi.

Teoritikus lainnya melihat aspek-aspek yang berbeda dalam motivasi pekerja dan melakukan riset yang meneliti perilaku individu dibawah kondisi-kondisi yang berbeda. dalam istilah yang lebih sederhana, teori motivasi kontemporer berusaha untuk menjelaskan perilaku sukarela yang berorientasi pada sasaran. Ada berbagai macam model yang menekankan aspek-aspek yang berbeda dalam motivasi: kebutuhan manusia (contoh, Herzberg 1868; McCelland 1985; Maslow 1943); ekspektasi individual, skill dan harapan (Vroom, 1963); peluang untuk berpartisipasi (Lawler 1990); dan yang terbaru, motivasi yang didasarkan pada nilai-nilai dan norma-norma layanan publik (Perry dan Wise 1990).

Ketika asumsi tentang pekerja dan motivasi mengalami perubahan, maka kerangka dominan untuk memahami peranan managemen dan kepemimpinan juga mengalami perubahan. Peranan managemen, awalnya dianggap sebagai tugas dan prosedur dokumentasi dan kemudian mensupervisi dan mengontrol pekerja. Dengan munculnya komponen psikologis yang terkait dengan motivasi manusia, maka munculah

267

Page 268: Pelayanan Publik

dorongan untuk memperluas definisi managemen sehingga mencakup “hubungan manusia” dengan tujuan untuk membuat pekerja tetap puas dan produktif. Namun, yang penting adalah jika parameter managemen berubah, maka sasaran yang ada biasanya tetap sama – yaitu bagaimana meningkatkan dan mempertahankan produktifitas. Dalam banyak kasus, gagasan yang muncul terkait dengan usaha bagaimana memperlakukan manusia secara lebih baik dan lebih manusiawi untuk memperoleh kinerja yang lebih baik. Segera setelah itu, argumen tentang bagaimana memperlakukan manusia dengan rasa hormat dan bermartabat menjadi semakin penting, tidak hanya sebagai sarana untuk meningkatkan produktifitas.

Kelompok, Budaya dan Administrasi DemokratisMuncul banyak sudut pandang tentang bagaimaan memenej perilaku pekerja dan itu semakin diakui secara luas. Sebagai contoh, ada konsep yang menyatakan bahwa norma dan perilaku kelompok mempengaruhi perilaku individual (contoh, Asch 1951; Homans 1954; Lewin 1951; Sheriff 1936; Whyte 1943). Para teoritikus tersebut menyatakan bahwa manusia adalah mahluk sosial dan membentuk kelompok baik didalam atau di luar organisasi. Kelompok-kelompok tersebut menciptakan norma dan ekspektasi bagi anggota yang memenuhi kebutuhan individu untuk menjalin afiliasi dan rasa memiliki, tetapi itu juga membutuhkan korformitas dengan tujuan untuk mempertahankan

Page 269: Pelayanan Publik

keanggotaan. Oleh karena itu, kelompok kerja, baik yang formal atau informal, menciptakan sebuah konteks normative untuk perilaku dalam organisasi. Mary Parker Follet, sebagai contoh, menyatakan bahwa dinamika kelompok dan motivasi individual haruslah membentuk bassis administrasi. Daripada hanya sekedar merepsons orang lain, manager dan pekerja harus menentukan masalah administrative secara bersama-sama dan memberikan respons yang sesuai. Mary menulis pada tahun 1926 “satu orang jangan memerintah orang lain tetapi keduanya harus setuju untuk menerima perintah dari situasi yang ada” (dikutip dalam Shafritz dan Hyde 1997, 56). Teoritikus lainnya melihat bagaimana karakteristik individual mempengaruhi perilaku organisasi seperti mereka yang menekankan pada tahap kehidupan pekerja (Schott 1986) atau karakteristik personalitas (Myers dan Brigg atau riset lainnya). kekuasaan dan politis, yang dulunya menjadi bidang garapan para ilmuwan dan filsuf politis, juga digunakan sebagai lensa untuk memahami perilaku manusia dalam organisasi (French dan Raven 1959; Kotter 1977; Pfefer 1981).

Kritik birokrasi dan hierarki juga banyak bermunculan dan itu didasarkan pada sudut pandang inkonsistensi antara birokrasi dan pemerintahan demokratis. Waldo dalam bukunya The Administrative State (1948), sebagai contoh, menyatakan bahwa pertanyaan-pertanyaan administrative tidak hanya pertanyaan yang penuh nilai tetapi administrasi itu sendir harus dibuat lebih sesuai dengan prinsip demokratis. “The

269

Page 270: Pelayanan Publik

administrative state memiliki pesan yang kuat: bahwa penerimaan yang tidak kritis terhadap kajian administrative akan menghasilkan penolakan terhadap teori demokratis dan bahwa iniadalah sebuah masalah sosial dan bukan hanya masalah manajemen” (Dengardt 2000, 66-67). Dengan kata lain, argumen Waldo bahwa pengembangan birokrasi hierarkis dan “netral” pada akahirnya akan melemahkan demokrasi.

Hanya dengan membuat perangkat administrative mematuhi norma-norma dan prinsip-prinsip demokratis, maka ancaman ini bisa diatasi. Ini membutuhkan bukan hanya pengembangan peranan masyarakat dalam administrasi kebijakan, tetapi juga perlu dilakukan perubahan dalam proses administrative itu sendiri. Seperti yang dinyatakan oleh Levitan “sebuah negara demokratis tidak hanya berdasarkan pada prinsip demokratis tetapi juga diadministrasikan secara demokratis, dengan kata lain, filosofi demokratis masuk ke dalam perangkat administrative” (1943, 359). Bahkan Waldo bersikap lebih terus terang dalam kritiknya tentang hierarki dan kontrol birokrasi dan juga harapannya akan perubahan, dengan mengatakan bahwa yang diperlukan adalah:

Pengesampingan otoritas – kepatuhan, bawahan – pola pemikiran bawahan yang cenderung mendominasi teori administrative kita …. Dalam kondisi dimana optimisme menjadi barang langka, kita memimpikan tentang masyarakat masa depan dimana pendidikan dan budaya sesuai dengan dunia kerja dimana semua berpartisipasi sebagai “pimpinan” dan “pengkut” sesuai dengan “aturan main” yang

Page 271: Pelayanan Publik

diketahui oleh semuanya. Masyarakat seperti itu adalah masyarakat post birokratis (Waldo, 1848, 103).

Kritik birokrasi ini dan harapan untuk membuat administrasi menjadi lebih demokratis sejalan dengan pengembangan yang terjadi dalam teori motivasi. Sebagai contoh, membuat administrasi menjadi lebih demokratis dan tidak terlalu hierarkis memungkinkan individu untuk mengekspresikan tendensi natural mereka untuk bekerja dan bertanggung jawab seperti yang ditunjukkan oleh McGregor, kecenderungan untuk memenuhi kebutuhan sosial/harga diir/aktualisasid iri seperti yang dinyatakan oleh Maslow dan menerima perintah dari situasi yang ada seperti yang dinyatakan oleh Follet.

Gagasan penting lain yang terkait dengan bagaimana memenej perilaku manusia dalam organisasi adalah konsep budaya organisasional. Alih-alih memandang sebuah organisasi sebagai sebuah “struktur”, perspektif budaya organsiasial berpijak pada bidang antropologi untuk memahami bagaimana norma, keyakinan dan nilai-nilai dianut bersama oleh angota orhanisasi dan menentukan batasan-batasannya. Norma-norma dan nilai-nilai bersama tersebut muncul dalam bahasa, perilaku, ritual dan symbol anggota organisasi dan dalam artefak yang mereka hasilkan. Budaya mengekspresikan gagasan dan nilai-nilai yang mendefinisikan sebuah organisasi dan memiliki pengaruh jangka panjang yang signifikan pada anggota-anggotanya. Schein (1987) menyatakan bahwa ada tiga level budaya organisasi: (1) lingkungan fisik dan sosial yang bisa diamati, atau seperti lay out fisik, preferensi

271

Page 272: Pelayanan Publik

teknologi, pola bahasa dan rutinitas sehari-hari yang mengarahkan perilaku manusia (2) nilai-nilai dan gagasan tentang bagaimana “seharusnya” sebuah organisasi dan (3) asumsi tak terbantahkan dan keyakinan yang dipegang oleh anggota organisasi dan itu menjadi petunjuk untuk mengarahkan perilaku mereka. Schein menyatakan bahwa kategori terakhir membentuk definisi inti dari budaya: “sebuah pola asumsi dasar…. Yang bekerja cukup baik sehingga dianggap valid dan oleh karenanya diajarkan pada anggota baru sebagai cara berfikir dan bertindak yang benar dalam kaitannya dengan masalah-masalah tersebut” (1987, 9). Atau seperti yang dikatakan oleh Ott, “ia berfungsi sebagai sebuah mekanisme kontrol organisasional, sehingga mampu menerima atau melarang perilaku secara informal” (1989, 50).

Selain evolusi gagasan tersebut, tetap tidak ada consensus tentang apa yang mendorong manusia dan bagaimana cara terbaik untuk mempengaruhi perilaku dalam organisasi. Seperti yang akan kita bahas dalam bagian berikut, para teoritikus pilihan publik menentang model perilaku dan motivasi manusia yang hanya digasarkan pada minat, pembuatan keputusan, atau tidak adanya penjelasan lain tentang perilaku manusia. Bagi lainnya, tetap ada pengakuan bahwa selain minat, motivasi melibatkan factor-faktor sosial dan psikologis. Ini mengarah pada pandangan yang lebih kompleks tentang hubunagn antara organisasi dan perilaku manusia dimana kedua stryktur organisasi dan interaksi serta hubungan antara individu dan kelompok mampu mempengaruhi perilaku. Dalam pandangan yang lebih

Page 273: Pelayanan Publik

kompleks ini, diasumsikan bahwa indibidu dengan pengalaman dan personalitas yang berbeda akan memberikan respons pada organisasi dengan cara yang berbeda. politik organisasi juga diyakini mampu mempengaruhi perilaku terutama ketika manusia berusaha untuk memperoleh dan mempertahankan kekuasaan. Terakhir, menurut pandangan ini, budaya organisasi dipahami sebagai pencipta konteks normative untuk perilaku kita dalam organisasi. Singkatnya, bagi para teoritikus tersebut, manusia dianggap membawa kepentingan sosial dan emosional mereka ke tempat kerja. Dalam bagian berikut, kami akan menggali bagaimana isu-isu tersebut dibahas dengan menggunakan sudut pandang Old Public Administration, New Public Management dan New Public Service.

Administrasi publik Lama (Old Public Administration): Menggunakan Kontrol Untuk memperoleh efisiensi

Old Public Administration didasarkan pada gagasan bahwa efisiensi adalah nilai-nilai unggul dan bahwa manusia tidak akan produktif dan bekerja kerja kecuali kita membuat mereka bekerja keras. Menurut pandangan ini, pekerja akan produktif hanya jika mereka dberi insentif dalam bentuk uang dan jika mereka yakin bahwa managemen bisa dan akan memberikan sangsi atas kinerja jelek mereka. Motivasi pekerja tidak dilihat dalam sebuah pola langsung. Di awal abad ke dua puluh, ketika Old Public Administration menjadi model dominan, manusia diharapkan hanya mengikuti perintah dan kebanyakan yang terjadi, mereka melakukannya. Lapangan kerja publik dianggap

273

Page 274: Pelayanan Publik

sebagai area yang sama dengan lapangan kerja swasta: sebagai balasan atas gaji tetap, pekerja melakukan tugas yang diberikan dengan hati-hati. Memperlakukan pekerja sebagai manusia dengan emosi dan kebutuhan, dengan kontribusi dan pemahaman, dengan nilai mereka sendiri, tidak termasuk dalam pertimbangan.

Efisiensi yang didefinisikan sebagai rasio biaya atas output, mengharuskan kontrol dan produktifitas menjadi tujuan utama dari managemen. Tantangan yang ada adalah bagaimana mengorganisir dan mengatur pekerjaan sehingga mampu meminimalkan biaya dan memaksimalkan produksi. Pekerja dianggap sebagai biaya. Sehingga sasaran yang ada adalah bagaimaan meminimalkan biaya tenaga kerja dan itu dilakukan dengan memperoleh output maksimal dari tiap pekerja sambil memberikan gaji serendah mungkin dan insentif lain. penekanannya disini adalah pada potensi keuntunagn dalam hal egisiensi dan bukan kesejahteraan jangka panjang si manusia yang bekerja dalam organisasi. Diasumsikan bahwa isu-isu tentang masyarakat, warga dan demokrasi masuk ke dalam ranah politis dan diluar ranah administrasi. Sejauh pendekatan “humanisis” bisa diakomodasikan ke dalam Old Public Administration, maka pendekatan-pendekatan itu hanya dipandang sebagai sarana untuk menghasilkan lebih banyak produktifitas. Sebagai contoh, dalam eksperimen Hawthorne disarankan agar manager meluncurkan “kotak saran” bagi pekerja, untuk membuat mereka merasa lebih terlibat dan akibatnya mereka menjadi lebih produktif. Tetapi tidak ada pertimbangan tentang gagasan bahwa saran

Page 275: Pelayanan Publik

pada hakekatnya bisa berguna atau penting.Gagasannya adalah bahwa organisasi sendiri

haruslah menjadi focus utama managemen. Jika ofganisasi bisa ditata menurut keidealan birokrasi, jika organisasi memunculkan nilai kompetensi dan keahlian dan jika sistem managemen bisa digunakan untuk mengontrol dan menjelaskan pengeluaran dana, maka organisasi publik bisa memenuhi fungsi mereka.

Managemen Publik Baru: Menggunakan Insentif Untuk Memperoleh ProduktifitasSeperti yang sudah kita bahas sebelumnya, teori pilihan publik didasarkan pada sejumlah asumsi penting tentang perilaku manusia dan bagaimana cara terbaik untuk memenej perilaku itu sehingga mampu mencapai tujaun kebijakan publik. Teori pincipal agent menerapkan asumsi-asumsi itu untuk menjelaskan hubungan antara eksekutif dan pekerja dalams ebuah organisasi yang menggunakan metafora kontrak. Kontrak ini penting karena walaupun pekerja (agen) bertindak atas nama eksekutif (principal), tetapi sasran dan tujuan mereka berbeda. sebagai akibatnya, principal harus memperoleh cukup informasi untuk mengawasi agen, menentukan hasil dan memberikan insentif yang memadai untuk memperoelhnya. Karena sasarannya adalah efisiensi, maka pertanyaan itu terfokus pada pendekatan apa yang paling minim biaya dan bisa digunakan orhanisasi untuk membuat pekerja tidak berusaha mencapai tujuannya sendiri tetapi tujuan organisasi.

275

Page 276: Pelayanan Publik

Managemen Publik Baru dengan ketergantungannya pada pilihan publik dan teori principal agent, memberikan beberapa kontribusi penting untuk pemahaman kita tentang perilaku manusia. Namun, penting untuk diingat bahwa ia bergantung pada rasionalitas ekonomi sebagai penjelasan perilaku manusia sehingga mengesampingkan cara lain untuk memahami motivasi dan pengalaman manusia. Jika memang begitu, maka satu-satunya cara untuk mempengaruhi perilaku mereka adalah dengan merubah aturan atau insentif pembuatan keputusan sehingga merubah minat mereka menjadi lebih sesuai dengan prioritas organisasi.

Layanan Publik Baru: Menghormati Keidealan Layanan PublikAsumsi tentang motivasi dan perlakuan manusia dalam Layanan Publik Baru sangatlah berbeda antara Administrasi Publik Lama dan Managemen Publik Baru. Administrasi Publik Lama menganggap manusia seperti yang dijelaskan dalam teori X dari McGregor: malas, bodoh, tidak bersemangat dan tidak mau menerima tanggung jawab. Jadi, mereka harus dikontrol dan diancam dengan hukuman untuk mempertahankan kinerja. Managemen Publik Baru memiliki pandangan yang berbeda namun lebih terpercaya tentang manusia. Ia berasumsi bahwa manusia memiliki minat priadi dan akan berusaha untuk mencapai tujaun pribadi kecuali mereka diawasi dan diberi cukup insentif untuk melakukan yang sebaliknya. Dengan itu, Managemen Publik Baru

Page 277: Pelayanan Publik

seperti managemen Ilmiah dari Taylor, mengesampingkan pertimbangan norma-norma dan nilai-nilai kelompok, budaya organisasi, pertimbangan emosional/sosial dan kebutuhan psikologis dan “irasional” lainnya. ia menegasikan gagasan bahwa manusia bertindak dalam responsnya terhadap nilai-nilai, loyalitas bersama serta kepentingan publik.

Kami tidak menyatankan bahwa manusia tidak pernah malas atau tidak memiliki minat. Tetapi, bergantung pada minat pribadi sebagai satu-satunya penjelasan untuk perilaku manusia adalah sebuah pandangan yang sempit dan negatif tentang anusia yang tidak didasarkan pada pengalaman dan juga tidak bisa dibenarkan dari sudut pandang normative. Dengan kata lain, manusia tidak bertindak seperti itu. Yang lebih penting lagi, jangan sampai mereka bertindak seperti itu.

Elemen-elemen perilaku manusia yan menjadi inti Managemen Publik Baru seperti kehormatan manusia, kepercayaan, rasa memiliki, perhatian pada orang lain, layanan dan kepatuhan yang didasarkan pada keidealan dan kepentingan publik tidak terlalu dijadikan prioritas dalam Managemen Publik Lma dan Managemen Publik Baru. Dalam Layanan Publik Baru, keidealan seperti keadilan, kesamaan, rasa hormat, pemberdayaan dan komitmen tidak menegasikan tetapi seringkali mengalahkan nilai efisiensi sebagai satu-satunya criteria untuk jalannya pemerintahan. Seperti yang dinyatakan oleh Frederickson, “orang yang mempraktekkan administrasi publik harus familiar dengan isu-isu demokrasi langsung dan representasional, dengan partisipasi masyarakat dan

277

Page 278: Pelayanan Publik

dengan pedoman keadilan dan kebebasan individu” (1982, 50). Frederickson berbicara tentang hubungan antara pegawai negeri dan warga negara, tetapi prinsip yang sama bisa diterapkan pada bagaimana manager seharusnya memperlakukan pihak lain selain pegawai negeri.

Jika anda berasumsi bahwa manusia mampu berfikir lain dan bertindk pada nilai-nilai bersama sebagai warga, maka itu secara logis sama dengan jika anda menganggap pelayanan masyarakat mampu menunjukkan motivasi dan perilaku yang sama. Kita tidak bisa mengharpkan pegawai negeri memperlakukan warga lain dengan rasa hormat jika mereka sendiri tidak diperlakukan dengan hormat. Kita tidak bisa mengharapkan mereka mempercayai dan memberdayakan orang lain, mendengarkan gagasan mereka dan bekerja sama jika kita tidak melakukan hal yang sama. Dalam Layanan Publik Baru, tantangan dan kompelsitas pekerjaan administrasi publik menjadi penting. Pegawai negeri dianggap bukan hanya pekerja yang menjamin keamanan dan struktur pekerjaan birokratis (Managemen Publik Lama) dan juga sebagai partisipan (Managemen Publik Baru); tetapi pegawai negeri adalah orang yang motivasi dan rewardnya adalah lebih dari sekedar gaji. Mereka ingin merubah hidup orang lain (Denhard 1993; Perry dan Wise 1990; Vinzant, 1998).

Elmer Staat, mantar comptroller Amerika dan seorang pegawai negeri terkenal pernah menulis bahwa layanan publik adalah lebih dari sekedar ketagori pekerjaan. Dia mengatakan bahwa lebih baik mendefinisikannya sebagai “sebuah sikap, sebuah kewajiban – dan bahkan moralitas

Page 279: Pelayanan Publik

publik” (1988, 602). Ini sesuai dengan gagasan bahwa motif pegawai negeri adalah sangat penting dan berguna untuk memotivasi perilaku pegawai negeri. Motivasi layanan publik didasarkan pada predisposisi seseorang untuk merespons motif yang utamanya didasarkan pada institusi dan organisasi publik (Perry dan Wise, 1990). Dengan kata lain, ada motif tertentu yang terkait dengan sifat dasar layanan publik yang berkutat seputar layanan kepada orang lain dan kepentingan publik. Motif-motif tersebut terkait dengan nilai-nilai seperti lpyalitas, kewajiban, kesamaan, peluang dan keadilan. Riset menunjukan bahwa motff afektif dan berbasis norma tersebu adalah unik untuk layanan publik dan penting untuk memahami perilaku dalam organisasi publik (Balfour dan Weschler, 1990; Denhart, Denhart dan Aristigueta,, 2002; Frederickson dan Hart 1985; Perry dan Wise 1990; Winzant, 1998).

Seperti yang sudah kita lihat sebelumnya, Frederikson dan Hart (1985) membantah bahwa kita terlalu sering gagal untuk menarik perbedaan antara apa yang mereka sebut dengan “dampak moral” dari layanan dalam sector publik dan lapangan kerja di sector swasta. Jika kita melakukannya, maka kita mencemarkan keidealan layanan publik. Mereka membutuhkan apa yang dikenal dengan naam “patriotisme kebijaksanaan” yang didasarkan pada cinta dan patriotisme didasarkan pada nilai-nilai demokratis dan kedua kebijaksanaan diartikan sebagai “cinta tanpa syarat kepada orang lain” (1985, 547). Ini berarti bahwa kita harus melayani dan peduli pada orang

279

Page 280: Pelayanan Publik

lain dan berusaha untuk melindungi hak mereka bukan karena kita mementingkan kepentingan kita tetapi karena itulah yang benar untuk dilakukan. Patriorisme kebijaksanaan itu, seharusnya menjadi “motivasi utama pegawai negeri di Aemrika” (547).

Selain itu, Hart meyatakan bahwa kewajiban utama pegawai negeri adalah “mendukung otonomi warga, mengatur dengan persuasi, mengurangi korupsi kekuasaan dan menjadi contoh bagi masyarakat” (1997, 967). Dia menyatakan bahwa “pegawai negeri diwajibkan untuk menganut nilai-nilai tersebut dalam segala tindakan mereka, apakah itu terhadap atasan, kolega, bawahan atau masyarakat” (1997, 968). Dalam organisais publik, kita perlu memperlakukan orang lain dengan pola yang sama dengan keidealan demokratis, dan penuh dengan kepercayaan dan rasa menghormati. Kita melakukan itu karena kita yakin bahwa layanan publik berperan penting untuk meningkatkan dan mendorong munculnya aspek-aspek positif dari karakter manusia.

Secara praktis, nilai-nilai Managemen Publik Baru menunjukkan bahwa kita mendorong, memodelkan, dan menegakkan komitmen kita kepada keidealan demokratis dan kepercayaan kita kepada orang lain. sebagai manager, kita menumbuhkan motif dan nilai layanan publik dengan cara membuatnya menjadi bagian utama dari identitas dan budaya organisasi. Karena kita tahu dan yakin bahwa orang yang bekerja sama dengan kita juga bertujuan melayani orang lain, maka kita harus memeprlakukan mereka sebagai partner. Ini menunjukkan adanya sebuah pendekatan

Page 281: Pelayanan Publik

partisipatif untuk managemen – bukan hanya sebuah sarana untuk meningkatkan produktifitas tetapi juga sebagai sarana untuk meningkatkan nilai pada inti layanan masyarakat. Roy Adams menyatakan: “Efisiensi tidak cukup” (1972: 18). Diperlukan pendekatan partisipatif agar manusia dalam organisasi memiliki “eksistensi yang pantas dan terhormat” (18). Namun, walaupun partisipasi sering mampu meningkatkan kinerja tetapi nilainya jangan sampai tergantung pada kontribusi aspek lain. partisipasi adalah nilai yang pentingd alam dan dari dirinya sendiri.

Robert Golembiewski (1977) seperti yang sudah kita lihat, menyatakan bahwa demokrasi organisasional didasarkan pasa partisipasi dari semua anggota organisasi dalam pembuatan keputusan, umpan balik hasil kinerja organisasi, sharing informasi, menjamin hak-hak individu dan nilai-nilai dan sikap pendukung. Dia menyatakan bahwa semakin dekat organisasi itu dengan criteria ini, maka semakin demokratis organisais tersebut. Edward Lawler (1990) menyarankan apa yang disebu dengan managemen “keterlibatan tinggi” yang didasarkan pada embagian informasi, training, pembuatan keputusan dan reward sebagai empat komponen utama kesuksesan program partisipasi pekerja. Dia menyatakan bawa partisipasi mampu meningkatkan motivasi karena itu membantu seseorang memahami apa yang diharapkan dan melihat hubungan antara kinerja dan hasilnya.

Menurut Kearny dan Hays (1994) manager publik mulai menyadari betapa pentingnya menggunakan pendekatan managemen partisipasi. mereka menyatakan bahwa pendekatan

281

Page 282: Pelayanan Publik

partisipatory harus dimulai dengan premis bahwa pekerja adalah asset organisasi yang paling penting dan diperlakukan secara layak. Semua pekerja harus diberdayakan oleh managemen untuk kemudian berpartisipasi dalam pembuatan keputusan. Berdasarkan pada kajian riset pendekatan partisipatif untuk pembuatan keputusan organisasional, mereka menyimpulkan bahwa pendekatan ini adalah sebuah cara yang efektif untuk meningkatkan kepuasan dan produktifitas pekerja.

Dalam Layanan Publik Baru, adalah sangat penting untuk mengetahui fakta bahwa pendekatan ini “berfungsi lebih baik” untuk meningkatkan kepuasan, produktifitas dan juga meningkatkan kapasitas organisasi untuk berubah. Pada kenyataannya, diketahui bahwa walaupun managemen kualitas dan partisipasi dalam pembuatan keputusan memiliki efek positif pada kinerja pekerja, tetapi partisipasi dalam pembuatan keputusan memiliki efek yang lebih besar (Stashesky dan Elizar, 2000). Apa yang penting dari sudut pandang Layanan Publik Baru adalah bahwa pendekatan partisipatif dan inklusif adalah satu-satunya pendekatan yang mampu membentuk tanggung jawab dan kepercayaan dan memunculkan nilai layanan dalam kepentingan publik. Itu adalah satu-satunya pendekatan yang bisa dipahami jika anda mulai dengan asumsi bahwa pegawai negeri dimotivasi oleh keidealan demokratis. Untuk memperlakukan mereka dengan cara sebaliknya hanya akan menghilangkan sumber kebanggaan dan motivasi ini.

Seperti yang sudah di bahas di bab 8, gagasan tentang kepemimpinan bersama adalah penting untuk

Page 283: Pelayanan Publik

memberikan peluang bagi pekerja dan warga untuk memperkuat dan bertindak berdasatkan motif dan nilai-nilai layanan publik. Dalam layanan publik baru, kepemimpinan bersama, kolaborasi, dan pemberdayaan menjadi norma baik di dalam atau di luar organisasi. Kepemimpinan bersama memfokuskan diri pada sasaran, nilai-nilai dan keidealan yang ingin dimunculkan oleh organisasi dan masyarakat. Seperti yang dikatakan oleh Burns (1978), kepemimpinan yang diterapkan dengan bekerja bersama-sama dengan orang lain akan merubah partisipan dan menggeser focus mereka ke nilai-nilai yang lebih tinggi. Melalui kepemimpinan bersama, tujuan dan sasaran organisasi, kelompok dan masyarakat diubah menjadi seperangkat sasaran dan nilai yang lebih tinggi. Proses ini diciriakn dengan adanya rasa saling menghormati, akomodasi, dan saling mendukung. Motif layanan publik dari masarakat dan pekerja juga bisa dikenal, didukung dan dihargai dalam proses ini.

KesimpulanMenulis tentang managemen dalam sector swasta, Plass (1996) menyatakan bahwa budaya organisasi harus berubah dan menemukan “tempat untuk hati” di tempat kerja. Pekerja harus diijinkan untuk berpartisipasi dalam pekerjaan, dengan menggunakan pikiran dan hati mereka. Manager harus dan harus mendorong pekerja untuk menjadi “otentik”. Manager dan pekerja harus berbagi rasa, nilai dan etika dalam lingkungan korporat. Plas mengatakan itu

283

Page 284: Pelayanan Publik

membutuhkan sebuah kontrak sosial baru antara pekerja dan atasan. Kontrak lama berasumsi bahwa pekerja harus bekerja keras dan organisais akan menjaga pekerja. Masyaarakat modern mampu menunjukkan bahwa kontrak semacam itu tidak berfungsi, walaupun dulu pernah berfungsi. Kontrak baru didasarkan pada asumsi bahwa individu dan organisasi memiliki tanggung jawab untuk menciptakan dan mempertahankan hubungan yang sukses.

Manager sector publik memiliki tanggung jawab khusus dan peluang untuk menonjolkan “hati” layanan publik. Seseorang tertarik dngan layanan publik karena mereka terdorong oleh nilai-nilai layanan publik. Nilai-nilai itu – seperti melayani orang lain, membuat dunia lebih baik, dan lebih aman dan memfungsikan demokrasi – merepresentasikan contoh terbaik tentang bagaimana menjadi warga dalam layanan sebuah masyarakat. Kita perlu menumbuhkembangkan motivasi dan nilai-nilai tersebut, tidak menghapuskannya dengan memperlakukan orang lain seakan-akan mereka adalah roda penggerak dalam sebuah mesin atau seakan-akan mereka mampu melayani diri mereka sendiri. Berapa banyak dari kita yang pernah melihat apa yang terjadi jika layanan publik idealistis dilakukan oleh organisasi publik dan diperlakukan seakan-akan idealisme menjadi barang naïf ? jika kita memperlakukan seseorang seperti birokrat, sebagai individu dengan kepentingan sendiri dan mampu melayani diri sendiri, maka kita mendorong mereka untuk menjadi sepeerti itu. Meyakini layanan publik dan peranan kita untuk melayani kepentingan publik adalah apa yang membuat

Page 285: Pelayanan Publik

kita bisa berkorban, memberikan yang terbaik, seperti yang dilakukan oleh polisi dan pemadam kebakaran dalam tragedy WTC.

Jika kita membantu orang lain untuk melihat bahwa pekerjaan yang mereka lakukan adalah lebih penting daripada individu yang melakukannya, jika kita membantu orang lain memahami bahwa layanan publik adalah terhormat dan berharga, maka mereka akan bertindak sesuai dengan itu. Memperlakukan pegawai negeri dengan rasa hormat dan bermartaba dan memberdayakan mereka untuk membantu menemukan cara bagaimana melayani masyarakat, memungkinkan kita untuk menarik dan memberdayakan orang-orang yang mau dan mampu melayani kepentingan publik. Ini adalah kewajiban, tugas dan privilese tiap manager untuk untuk melakukan itu. Seperti yang dikatakan oleh MacKenzie satu abad yang lalu.

Kita harus mencoba untuk melihat sekali lagi, seperti yang dipahami oleh si bijak dari Yunani, bahwa tidak ada yang lebih mulia dalam kehidupan manusia selain politik, dalam pengertiannya yang paling komprehensif. Hanya sedikit dari kita yang bisa melakukan banyak hal untuk melayani masyarakat; yang terbaik yang bisa kita lakukan adalah melayani negara kita (MacKenzie, 1901, 22).

285

Page 286: Pelayanan Publik

BAB 10

KESIMPULAN

Di bab sebelumnya, kami telah menyajikan kerangka teoritis yang menjadi prioritas untuk demokrasi, kewaranegaraan, dan layanan dalam kepentingan publik. Kami menyebut kerangka kerja itu sebagai Layanan Publik Baru. Kami menyatakan bahwa Layanan Publik Baru menawarkan alternatif penting bagi model managerialist tradisional dan dominan untuk managemen publik. Ia adalah sebuah alternatif yang didasarkan pada eksplorasi teoritis dan inovasi praktis dalam lembaga publik. Hasilnya adalah model normative, yang sama dengan model sejenis lainnya.

Kami mulai dengan gambaran tentang apa yang kami sebut dengan Administrasi Publik Lama atau ortodoksi lapangan. Kami menyatakan bahwa, dibawah Administrasi Publik Lama, tujuan pemerintah hanyalah memberikan layanan secara efisien, dan bahwa maslaah yang ada diatasi dnegan merubah struktur dan sistem kontrol organisasi. Walaupun ada beberapa yang perlu lebih diperhatikan unuk nilai-nilai demokratis, tetapi suara yang meminta adanya hierarki dan kontrol, sedikit keterlibatan warga dan keahlian netral tetap ada.

Managemen Publik Baru mulai mendominasi gagasan dan tindakan di bidang administrasi publik. Managemen Publik Baru didasarkan pada gagasan bahwa cara terbaik untuk memahami perilaku manusia adalah dengan berasumsi bahwa

Page 287: Pelayanan Publik

aktor pemerintah dan lainnya membuat pilihan dan melakukan tindakan berdasarkan kepentingan mereka sendiri. Menurut pandangan ini, peranan pemerintah adalah untuk melepaskan kekuatan pasar sehingga memudahkan pilihan individu dan mencapai efisiensi. Warga dianggap sebagai konsumen dan masalah diatasi dengan memanipulasi insentif. Pegawai negeri diharapkan menjadi pengambil resiko enterpreneural yang memperoleh “kesepakatan terbaik” dan mengurangi biaya.

Sebaliknya, kami juga mengajukan argumen untuk apa yang kami sebut dengan Layanan Publik Baru. Kami menyatakan bahwa administrator publik harus mulai dengan pengakuan bahwa warga yang terlibat aktif adalah penting untuk pemerintahan yang demokratis. Kami menegaskan tentang kewarganegaraan “tinggi” ini sebagai hal yang penting karena perilaku manusia bukan hanya masalah minat pribadi tetapi juga meliputi nilai, keyakinan dan perhatian kepada orang lain. warga dianggap sebagai pemilik pemerintahan dan mampu bertindak bersama untuk kesejahteraan bersama. Oleh karena itu, kami menyatakan bahwa kepentingan publik leboh penting daripada kumpulan kepentingan pribadi. Layanan Publik Baru mencari nilai-nilai dan kepentingan bersama melalui dialog. Layanan publik itu sendiri dianggap sebagai pengembangan dari kewarganegaraan, yang didorong oleh hasrat untuk melayani orang lain dan mencapai tujuan publik.

Dari sudut pandang ini, maka peranan administrator adalah membawa masyarakat “ke meja” dan melayani masyarakat dalam pola yang mengakui adanya lapisak

287

Page 288: Pelayanan Publik

tanggung jawab, etika dan akuntabilitas dalam sistem demokratis. Administrator yang bertanggung jawab harus berusaha untuk melibatkan warga tidak hanya dalam perencanaan tetapi juga dalam pelaksanaan program untuk mencapai tujuan publik. Itu dilakukan tidak hanya karena itu membuat pemerintahan bekerja lebih baik tetapi karena itu sesuai dengan nilai-nilai kita. Tugas administrator publik bukan hanya mengontrl atau memanipulasi insentif, tetapi melayani. Dalam model ini, keidealan demokratis dan rasa hormat kepada orang lain sudah terkandung dalam interaksi kita dengan orang lain.

Singkatnya, kami setuju dengan model Layanan publik Baru yang didasarkan pada kewarganegaraan, demokrasi, dan layanan dalam kepentingan publik sebagai alternatif untuk model dominan yang didasarkan pada teori ekonomi dan minat pribadi. Walaupun perdebatan diantara para teoritikus terus terjadi dan ketika para praktisi administrative menguji dan menggali kemungkinan baru, maka penting bagi kita untuk mengetahui bahwa itu bukan hanya sebuah perdebatan abstrak. Tindakan yang dilakukan administrator publik akan berbeda tergantung pada jenis asumsi dan pedoman yang menjadi dasar tindakan tersebut. Jika kita berasumsi bahwa tanggung jawab pemerintaj adalah meningkatkan kewarganegaraan, memperbaiki wacana publik, dan kepentingan publik, maka kamia kan menggunakan seperangka tindakan. Seperti yang dinyatakan dalam Street Level Leadership:

Salah satu cara paling efektif untuk mempengaruhi praktek adalah dengan merubah teori

Page 289: Pelayanan Publik

dan bahasa yang dipakai untuk memahami praktek tersebut ….. dari sudut pandang ini, maka tidaklah berlebihan jika kita menyatakan bahwa kapasitas sistem pemerintahan dan efisiensi admiistrasi publik sebagai sebuah komponen dari sistem adalah produk penerimaan seperangkat teori yang mendasarinya (Vinzant dan Crithers, 1998, 143-44).Sederhananya, teori tersebut kami lekatkan dengan

sesuatu. Teori, nilai dan keyakinan adalah apa yang memudahkan atau menghalangi, mendorong atau melemahkan tindakan tertentu. Sebagai contoh, pertimbangkan implikasi tindakan dari kedua pernyataan berikut: (1) konsumen menunggu kita” , dan 2) “pemilik menunggu kita”. Dalam contoh pertana, kita merespon preferensi tiap individu agar muncul dalam pola yan paling efisien. Kira merespon permintaan tersebut seramah dan secepat mungkin. Jika kita sudah menyelesaikan transaksi, maka hubungan tersebut akan berakhir sampai ada permintaan lainnya. Konsumen merasa puas dan pergi. Dalam kasus kedua, orang yang kita layani adalah pemilik. Ketika merespon pemilik, kita mengakui bahwa tiap pemilik memiliki peran dalam apa yang kita lakukan dan bahwa bimbingan dan keterlibatan semua pemilik adalah diperlukan dan memang seharusnya ada. Mereka boleh mempertahankan kehormatan dan dipelakukan dengan terhormat dalam koteks hubungan jangka panjang. Mereka dan kita mengetahui bahwa selain merespons pada kepentingan diri, kita juga harus terlibat dalam pembicaraan tentang kepentingan publik yang lebih luas. Singkatnya, ada implikasi praktis dan behavioral

289

Page 290: Pelayanan Publik

dalam cara kita memandang, memahami, dan berbicara dengan orang yang kita layani.

Adalah penting untuk dicatat bahwa walaupun merubah satu kata bisa menimbulkan implikasi penting pada bagaimana kita berfikir dan bertindak, tetapi menuadari nilai-nilai Layanan publik Baru memerlukan perhatian simulyan pada semua factor dan pedoman yang dibahas dibuku ini. Layanan publik Baru adalah sebuah permintaan akan redefinisi tentang bagaimana kita memandang orang yang kita layani tetapi juga perubahan pada bagaimana kita memandang diri dan tanggung jawab kita – bagaimana kita memperlakukan orang lain, bagaimana kita menentukan tujaun dan sasaran dan bagaimana kita mengevaluasi diri kita dan orang lain, bagaimana membuat keputusan, dan bagaimana kita memandang kesuksesan dan kegagalan dan bagaimana kita memikirkan tentang legitimasi tindakan kita. Itu akan memfokuskan kembali perhatian kita pada keidealan demokrasi dan kepentingan publik sebagai landangan dari segala yang kita lakukan.

Jadi pelajaran dan prinsi Layanan publik Baru bukan hanya langkah sekuensial atau proses linear; semuanya saling berkaitan dan itu semua merupakan ekspresi pedoman yang sama. Mereka membentuk untaian yang saling mendukung. Tanpa satu sama lain, mereka hanya akan menjadi potongan-potongan yang tidak berguna. Mereka menjadi “gaya” atau jenis managemen tanpa substansi.

Di bab penutup dari buku The Pursuit of

Significance (1993), Denhardt menyatakan bahwa konsep

Page 291: Pelayanan Publik

inti dan paling mendasar dalam pandangan tradisional tentang managemen adalah gagasan tentang kepentingan diri. Dia menyatakan bahwa pendekatan standar untuk managemen dimulai dari asumsi kepentingan pribadi, motivasi dan kontrol serta komunikasi dan konflik. Kemudian dia bertanya:

Bagaimana jika kita merubah segalanya dan menunjukkan apa yang penting untuk jalannya …. Organisasi publik tidak terkait dengan kepentinagn diri tetapi bagaimana itu menjadi begitu penting? Ini akan merubah cara berfikir kita tentang organisasi publik. Dengan menggunakan asumsi ini, sebagai contoh, apakah kita tidak ingin menyatakan dengan lebih jelas apa yang penting tentang pekerjaan organisasi sehingga manusia bisa memfokuskan energi dan hasrat mereka? Apakah kita tidak ingin menempatkan kebutuhan klien dan warga di garda terdepan? Apakah kita tidak ingin memberikan kekuatan dan kekuasaan pada orang-orang dalam organisasi? Dan apakah kita tidak ingin segala yang kita lakukan didorong oleh komitmen untuk layanan publik? Dengan kata lain, apakah kita melakukan segala yang sudah dilakukan oleh manager publik terbaik? (Denhardt 1993, 276).Layanan publik Baru bukan hanya jenis atau teknik

managemen baru. Ia adalah definisi tentang siapa kita dan mengapa kita melayani orang lain. itu adalah penataan kembali nilai-nilai fundamental kita. Kita tidak menganut nilai-nilai tersebut karena mereka meningkatkan kepuasan,

291

Page 292: Pelayanan Publik

motivasi, retensi, efektifitas dan layanan dan memperbaiki kualitas pembuatan keputusan. Kita bertindak berdasarkan hal-hal diatas karena kita yakin bahwa itu adalah komponen integral dalam demokrasi amerika.

Beberapa decade lalu, Herbert Kaufman (1956) menyatakan bahwa jika institusi administrative diorganisir dan dijalankan untuk memperoleh nilai-nilai berbeda selama periode dimana sebuah gagasan menjadi gagasan dominan, maka lainnya tidak akan terabaikan. Dengan gagasan ini, maka bisa dipahami jika kita memikirkan sebuah model normative yang bisa dipakai kapanun. Dalam proses ini, perhatian akan kewarganegaraan demokratis dan kepentingan publik tidak hilang tetapi diabaikan.

Namun, kami menyatakan bahwa dalam masyarakat demokratis, perhatian akan nilai-nilai demokratis haruslah menjadi yang paling penting dalam cara kita memikirkan tentang sistem pemerintahan. Nilai-nilai seperti efisiensi dan produktifitas tidak boleh hilang tetapi diletakkan dalam konteks demokrasi yang lebih luas. Layanan publik Baru memberikan titik awal yang bisa kita gunakan untuk merumuskan layanan publik dengan berdasarkan pada wacana publik dan kepentingan publik.

Bagaimana kita mewujudkan keidealan tersebut? Sebagai Pegawai negeri kita memiliki peluang dan tanggung jawab melayani orang lain dalam kepentingan publik. Kita bisa mengatakan bahwa kita punya tanggung jawab untuk memproses klaim, meneliti kasus, memproses pekerjaan, mengajar, mengawasi pekerja atau menjawab telepon. Tetapi

Page 293: Pelayanan Publik

jika kita berfikir bagaimana kita bisa memberikan kontribusi dalam layanan kepentingan publik, maka itu tidak hanya akan merubah bagaimana perasaan kita tentang pekerjaan yang kita lakukan tetapi juga bagaimana pendekatan kita terhadap tugas kita sehari-hari. Seperti yang dikatakan oleh Louis Gawthrop “ memberikan layanan dalam demokrasi berarti mengetahui bahwa kita semua terpanggil untuk menjadi penjaga, peramal bagi orang lain dan juga satu sama lain, dalam usaha untuk mencapai kebaikan bersama” (1998, 100).

Mungkin kita bisa mulai dengan diri kita sendiri. Pikirkan tentang apa yang membawa anda ke layanan publik? Apa yang memberi makna pada pekerjaan anda? Apakah anda ingat perasaan ketika anda memulai karir dan anda menjadi bagian dari sebuah hal yang penting? Bagaimana anda melakukan pekerjaan dengan cara yang mampu memperkuat tujuan yang lebih luas? Melalui proses refleksi diri ini, kita bisa mulai menemukan kembali harapan untuk melayani masyarakat dan menganggap layanan publik sebagai cara untuk menyesuaikan “jiwa” dan makna.

Kita sering kali heran dengan bagaimana siswa kita bereaksi terhadap diskusi kelas tentang nilai dan makna layanan publik dan perananya dalam penegakan nilai-nilai tersebut. Mereka mendengarkan secara seksama dan pembicaraan itu tidak dipenuhi dengan emosi. Banyak siswa yang terlibat di dalamnya. Beberapa siswa mengakui bahwa mereka tidak pernah berfikir tentang makna yang lebih besar dan nilai pekerjaan mereka. Yang paling banyak diucapkan adalah komentar seperti “ saya harap

293

Page 294: Pelayanan Publik

supervisor/pekerja merasakan hal yang sama tentang Layanan publik”.

Kebanyakan dari kta menghargai signifikansi, makna, “jiwa” dari Layanan publik. Tetapi kita tidak pernah membicarakannya. Yang terburuk, kita berfikir bahwa itu bisa diterapkan pada orang selain diri kita sendiri, dalam usaha untuk meningkatkan produktifitas dan efisiensi, tampaknya kita kehilangan kemampuan untuk berbicara dengan hasrat kepada orang lain. mungkin tuturan kita dan kemampuan diri kita dikalahkan oleh kata-kata dan kosnep seperti efisiensi, deadline, produktifitas, ukuran, tujuan, analisis, kinerja, kesesuaian, struktur, konsumen dan prosedur. Lihatlah bagaimana anda membicarakan pekerjaan dengan orang lain. jika kita tidakbisa berbicara tentang Layanan publik dengan cara yang merefleksikan nilai dan makna sosialnya, maka kita menyebabkan hilangnya jiwa dari bidang tersebut. Jika kita tidak bisa memunculkan identitas professional kita, dengan kata-kata dan frase seperti Layanan publik, kepentingan publik, makna, nilai, etika, masyarakat dan demokrasi maka kita kehilangan peluang untuk meningkatkan dan memunculkan hati layanan publik.

Refleksi diri adalah penting dan sulit. Hanya melalui refleksi diri kita bisa mengembangkan kapasitas kita untuk melayani orang lain dan memperoleh kembali kebanggaan yang telah hilang. Melalui proses itu, kita bisa merasa bangga tanpa harus merasa arogan; menjadi kuat tanpa menjadi insensitive, menjadi berhati-hati tanpa harus ketakutan dan peduli tanpa harus terbebani.

Page 295: Pelayanan Publik

Menemukan keseimbangan dalam refleksi diri adalah hal yang penting, tetapi itu membuat kita menjadi orang yang lebih baik.

Kita yakin bahwa pelayan publik ingin melakukan sesuatu yang berguna dan bernilai. Jika itu benar, maka penting bagi kita untuk menemukan suara dalam diri kita sendiir yang mengakui dan memunculkan gagasan-gagasan itu. Kita perlu menemukan dan menggunakan kata-kata itu. Lain kali anda berbicara kepada pekerja, siswa atau kolega, bertanyalah pada diri anda sendiri, bagaimana tuturan anda merefleksikan jiwa aministrasi publik? Pikirkan tentang kata-kata dan frase yang anda gunakan? Apakah itu menimbulakan inspirasi? Sebagai pelayanan publik, kita akan terlayani jika kita mengingatkan diri kita dan orang lain tentang apa yang benar-benar berguna.

Seperti yang telah kami katakana sebelumnya, jika kita merubah cara kita berfikir dan berbicara, maka kita juga merubah cara kita bertindak. Apa yang kita pikirkan tentang orang yang kita layani? Apakah mereka berbeda dengan kita? Apakah kita memperlakukan orang yang kita layani dengan cara yang merefleksikan rasa hormat kita? Apakah kita memandang mata mereka dan jujur? Apakah mereka merasa dihargai sebagai manusia? Apakah mereka menjadi lebih baik atau lebih buruk setelah berbicara dengan kita? Apakah interaksi kita menciptakan fondasi yang bagus untuk partisipasi, atau apakah orang yang kita layani takut berinteraksi dengan pemerintah? Kita bisa mulai dengan memperlakukan warga sebagai warga, mengingat bahwa dalam demokrasi orang-orang itu bukan hanya klien

295

Page 296: Pelayanan Publik

atau konsumen, mereka adalah “bos” kita dan mereka patut memperoleh rasa hormat dan keterlibatan menyeluruh dalam pekerjaan pemerintahan.

Apa yang bisa kita lakukan sebagai warga dan anggota masyarakat untuk berkontribusi pada penciptaan masyarakat madani dan mewujudkan keidealan demokrasi? Jawaban singkatnya adalah bahwa kita bisa melakukan apa yang terjadi secara alami – kita bisa bertindak berdasarkan keinginan kita untuk bergabung dengan orang lain. ini dimulai dengan bagaimana kita berfikir tentang peranan kita dalam pemerintahan demokratis. Kadang-kadang, peranan kita dalam pemerintahan dirampas dari kita bukan karena niat jahat tetapi sebagai pendekatan untuk pemerintahan dan managemen yang dimulai dan diakhiri dengan asumsi bahwa kita tidak mampu melakukan apa-apa selain menonjolkan kepentingan diri. Tetapi bagi kita sebagai warga, adalah penting untuk mengetahui bahwa membuat negara dan masyarakat menjadi lebih baik membutuhkan paling tidak kerja sama dan keterlibatan aktif. Kita bisa berharap banyak pada pemerintah, tetapi agar peemrintahan berjalan lancar, perlu adanya keterlibatan aktif. Kita bisa berharap pada warga lain yang bekerja untuk pemerintah agar memperlakukan kita secara terhormat dan meminta partisipasi kita dalam pekerjaan mereka. Adalah tugas dan kewajiban kita untuk melakukannya.

Terakhir, kita bisa bertanya pada diri kita sendiri apakah kita akan menemukan lebih banyak makna, dan signifikansi yang lebih besar dalam hidup kita jika kita

Page 297: Pelayanan Publik

membuat Layanan publik menjadi pekerjaan hidup kita. Ada banyak peluang dan kepuasan yang bisa diperoleh jika kita bisa membuat dunia dan masyarakat menjadi lebih baik. Sebagai individu, sebagai pelayan publik, dan sebagai sebuah negara, kita harus punya integritas, kekuatan dan komitmen untuk jujur dengan diir sendiri. Apakah kita mengekspresikan kewarganegaraan kita dengan lebih terlibat dalam dialog masyarakat, berpartisipasi langsung dalam proses dan institusi demokratis atau memperbarui komitmen kita atau menjadi pelayan publik – yang jelas pengembangan kewarganegaraan demokratis tidak hanya akan menguntungkan waraga dalam pekerjaan mereka tetapi juga membantu membentuk semangat layanan publik dalam masyarakat. Ingatlah karakterisasi dalam drama Shakespeare The Merchant of Venice:

Kualitas ampunan tidak terbatas. Ia jatuh seperti hujan dari surga ke bumi. Ia memberkati mereka yang memberi dan mereka yang menerima.

Hal yang sama juga berlaku untuk layanan publik. Kami mengundang anda untuk Layanan Publik Baru.

297

Page 298: Pelayanan Publik
Page 299: Pelayanan Publik

299