14

Penggunaan Teknologi Komputer dalam mempengaruhi kinerja ... · Ini dianggap berhasil apabila peserta didik telah memahami diri sendiri dan ... tujuan afektif lebih berhubungan pada

Embed Size (px)

Citation preview

DAFTAR ISI

Digital Literacy Mahasiswa Perguruan Tinggi Keagamaan Buddha Heriyanto 1

Tantangan Kewajiban Murid pada Manajemen Acariya (Guru Pembimbing) di Era Modern: Studi Kasus Kehidupan Pabbajjita di Vihara Tangerang I Ketut Damana 15

Peranan Kehidupan di Asrama terhadap Capaian Pembelajaran (Learning Outcome) Mahasiswa STABN Sriwijaya Tangerang Banten Madiyono 29

Kontribusi Buddhis dalam Memelihara Kelestarian Lingkungan Mulyana 43

Pengelolaan dan Kesiapan Dhammasekha Nonformal Menjadi Formal Puji Sulani, dkk. 55

Mengembangkan Toleransi untuk Menyikapi Potensi Konflik Antarumat Beragama dalam Perspektif Agama Buddha Sabar Sukarno 81

Gamelan dalam Perspektif Estetika Buddhisme Sapardi 91

Memperoleh Kesembuhan dengan Paritta (Kajian terhadap Bojjhanga Paritta Secara Abhidhamma) Sugianto 97

Ekspektasi Karier Mahasiswa STAB Negeri Sriwijaya Suntoro 107 Upaya Guru Pendidikan Agama Buddha dalam Pengembangan Ranah Afektif Peserta Didik Tri Amiro 119

119

UPAYA GURU PENDIDIKAN AGAMA BUDDHA DALAM PENGEMBANGAN RANAH AFEKTIF PESERTA DIDIK

Tri Amiro

STABN Sriwijaya [email protected]

ABSTRACT

This study aims to describe the efforts undertaken by teacher of Buddhist Religianon to develop student’s affective domain.

This study was a descriptive qualitative study. The data were collected through observations, interviews, and documents.

Research the results shows that the efforts undertaken by teacher of Buddhist Religiaon are through habituation, character formation, religious activities and exemplary. Habituation activities carried out in the form of morning prayers, meditation, and greeting with “Anjali”. Character formation developed by bamboo piggy bank, day without plastic, green house and honesty canteen. Religious activities that support the development of affective domains consist of Buddhist practice devotion, dhamma class, spiritual guidance, reading paritta and dhammapada, and “buku bakti” program. Keyword: Teacher of Buddhis Religion, affectives domain.

PENDAHULUAN Kurikulum 2013 mengamanatkan agar pendidikan tidak hanya

melahirkan manusia yang cerdas secara intelektual saja, tetapi juga membentuk manusia yang memiliki karakter yang baik. Maksudnya adalah ada keseimbangan antara pengetahuan, sikap, dan keterampilan peserta didik. Bila mengacu pada hasil lulusan masa datang tampak bahwa upaya melakukan perubahan afektif pada proses pembelajaran sudah waktunya menuntut perhatian yang lebih. Namun disayangkan bahwa pembelajaran yang terjadi di sekolah pada umumnya masih menitikberatkan pada perubahan aspek intelektual (kognitif) dan motorik dibandingkan dengan tujuan yang bersifat afektif. Tujuan belajar adalah memanusiakan manusia. Ini dianggap berhasil apabila peserta didik telah memahami diri sendiri dan lingkungannya. Berbeda dengan tujuan kognitif yang berorientasi kepada kemampuan berpikir, tujuan afektif lebih berhubungan pada sistem nilai dan sikap, emosi, dan perasaan.

Selain itu salah satu faktor yang mempengaruhi pembelajaran lebih berorientasi pada kognitif adalah tuntutan orangtua peserta didik yang beranggapan bahwa anak dianggap pandai jika cerdas secara intelektual. Banyak orang tua yang belum menyadari bahwa kecerdasan intelektual bukan satu-satunya faktor yang menentukan kesuksesan seseorang di masa datang. Akan tetapi masih ada faktor lain yang justru lebih menentukan

120

kesuksesan seseorang yaitu sikap. Sikap dapat terbentuk melalui pembelajaran yang berorientasi pada ranah afektif.

Pengembangan ranah afektif menjadi penting karena sangat berkaitan dengan pembentukan karakter dan sikap serta perilaku siswa. Pengembangan ranah afektif merupakan salah satu langkah untuk menjawab program Presiden Joko Widodo tentang revolusi mental. Di mana bangsa Indonesia sedang mengalami krisis atau degradasi moral. Pengembangan ranah afektif akan melahirkan pendidikan yang bermutu dan jujur yang akan melahirkan insan-insan yang berkarakter.

Guru merupakan faktor yang sangat penting dalam proses pembelajaran. Guru sebagai tenaga pendidik harus serius dalam menjalankan tugasnya dengan memiliki wawasan, pengetahuan, keterampilan, dan memberikan rasa percaya diri dalam melaksanakan tugas. Kewajiban guru sebagai seorang pendidik, tidak terbatas pada membuat peserta didik menjadi pandai, akan tetapi memberikan bekal dengan nilai-nilai kehidupan yang mempersiapkan menjadi manusia yang mampu untuk bertanggung jawab, terampil, teliti, jujur, dan bekerja sama. Seorang guru harus mampu memberikan arah bagi peserta didik menuju nilai-nilai moral luhur.

Pembelajaran Pendidikan Agama Buddha seharusnya memperhatikan pengembangan aspek peserta didik secara menyeluruh, baik batin maupun jasmani. Untuk mewujudkan pengembangan secara menyeluruh ini kurikulum harus memuat materi yang sesuai dengan tujuan pembinaan setiap aspek. Fakta di lapangan masih banyak penerapan pengajaran agama di sekolah dipraktikkan ketika pelajaran tersebut diajarkan di sekolah. Dengan demikian, tujuan utama dari pengembangan secara menyeluruh perlu waktu yang panjang untuk mewujudkannya.

Menurut beberapa guru Pendidikan Agama Buddha ranah afektif menjadi sangat penting untuk dikembangkan karena hal ini dapat menciptakan karakter dan sikap yang baik bagi peserta didik. Sebagai contoh dalam skala yang kecil, ada peserta didik (siswa) yang mengganggu temannya di kelas pada saat pembelajaran. Secara otomatis kegiatan pembelajaran pada saat itu menjadi terganggu bahkan bisa kacau. Ketika sikap demikian tidak mendapatkan perhatian atau bahkan cenderung dibiarkan maka dapat menimbulkan masalah yang besar ketika siswa tersebut sudah dewasa dan berada di tengah masyarakat. Seseorang dapat mengalami kendala untuk dapat bersosialisasi dengan baik, bersikap egois, dan kurang bisa mengendalikan diri. Bahkan dalam kategori yang sangat akut dapat membuat kekacauan dalam suatu negara.

KAJIAN PUSTAKA Guru Pendidikan Agama Buddha

Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, bahwa yang dimaksud dengan guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, mengarahkan,

121

melatih, menilai, dan mengevaluasi pada jalur pendidikan formal, pendikan dasar, dan pendidikan menengah. Guru adalah orang dewasa yang secara sadar bertanggung jawab dalam mendidik, mengajar, dan membimbing peserta didik. Orang yang disebut guru adalah orang yang memiliki kemampuan merancang program pembelajaran serta mampu menata dan mengelola kelas agar peserta didik dapat belajar dan pada akhirnya dapat mencapai tingkat kedewasaan sebagai tujuan akhir dari proses pendidikan (Uno, 2008: 15).

Menurut Buddha dalam Mańgala Sutta, Khuddakapāţha, Khuddaka Nikāya (Ňanamoli, 2005:146-147) bahwa “ample learning, and a craft, too, with a well-trained disciplining any speech that is well spoken: this is a supreme good omen”. Seseorang yang mempunyai banyak pengetahuan, keahlian, dan keterampilan serta terlatih baik dalam tata susila merupakan berkah utama. Agar guru patut dijadikan teladan bagi anggotanya, guru harus memiliki pengetahuan, keahlian, dan keterampilan serta terlatih dalam tata susila.

Guru mempunyai peranan sebagai agen pembelajaran, yaitu bahwa seorang guru berperan sebagai fasilitator, motivator, pemacu, dan pemberi inspirasi belajar bagi peserta didiknya. Sebagai motivator guru harus mampu membangkitkan motivasi belajar anak.

Penguasaan guru terhadap materi pelajaran Pendidikan Agama Buddha mencakup komponen yang hendak dikembangkan dalam Pendidikan Agama Buddha yang terdiri dari: 1) Menginterpretasikan materi, struktur, konsep, dan pola pikir ilmu-ilmu

yang relevan dengan pembelajaran Pendidikan Agama Buddha. 2) Menganalisis materi, struktur, konsep, dan pola pikir ilmu-ilmu yang

relevan dengan pembelajaran Pendidikan Agama Buddha. Menurut salah satu kitab suci agama Buddha yaitu Sutta Pitaka, seorang

guru memiliki tugas dan tanggung jawab yang sangat besar terhadap muridnya. Buddha bersabda dalam Digha Nikaya (31), Patika Vagga, Sigalaka Sutta bahwa kewajiban seorang guru adalah sebagai berikut: 1) Memberikan instruksi yang menyeluruh. 2) Memastikan semua murid menangkap seluruh materi yang

diajarkan. 3) Memberikan landasan menyeluruh terhadap semua keterampilan. 4) Merekomendasikan murid-murid mereka kepada teman dan rekan

mereka. 5) Memberikan keamanan di segala penjuru setiap saat (Walshe,

2009: 491). Dinyatakan dalam Pasal 13 Peraturan Menteri Agama Nomor 16 tahun

2010 tentang Pendidikan agama pada Sekolah bahwa Guru Pendidikan Agama minimal memiliki kualifikasi akademik Strata 1/DiplomaIV, dari program studi pendidikan agama dan/atau program studi agama dari Perguruan Tinggi yang terakreditasi dan memiliki sertifikat profesi guru pendidikan agama.

122

Jadi guru Pendidikan Agama Buddha adalah seorang guru yang memiliki kualifikasi pendidikan minimal Strata Satu dengan gelar Sarjana Agama Buddha atau Sarjana Pendidikan Buddha dan mengajar mata pelajaran Pendidikan Agama Buddha. Agar proses pembelajaran dapat berjalan dengan efektif, maka seorang guru harus memiliki kompetensi yang baik. Kompetensi yang harus dimiliki oleh seorang guru terdiri dari kompetensi pedagogis, kepribadian, sosial, dan profesional.

Menurut Nurfuadi (2012: 129) seorang guru harus mempunyai wewenang mengajar berdasarkan kualifikasi sebagai tenaga pengajar. Guru harus memiliki kemampuan profesional dalam bidang proses pembelajaran. Dengan kemampuan tersebut guru dapat menjalankan perannya sebagai: 1) Fasilitator, menyediakan kemudahan-kemudahan bagi peserta didik

untuk melakukan kegiatan belajar mengajar. 2) Pembimbing, membantu siswa mengatasi kesulitan dalam proses

pembelajaran. 3) Penyedia lingkungan, berupaya menciptakan lingkungan yang

menantang peserta didik agar melakukan kegiatan belajar. 4) Komunikator; melakukan komunikasi dengan siswa dan masyarakat. 5) Model, mampu memberikan contoh yang baik kepada siswanya agar

berperilaku yang baik. 6) Evaluator, melakukan penilaian terhadap kemajuan siswa. 7) Inovator, turut menyebarluaskan usaha-usaha pembaharuan kepada

masyarakat. 8) Agen moral dan politik, turut membina moral masyarakat, peserta didik,

serta menunjang upaya-upaya pembangunan. 9) Agen kognitif, menyebarluaskan ilmu pengetahuan kepada peserta didik

dan masyarakat. 10) Manajer, memimpin kelompok siswa dalam kelas sehingga pembelajaran

berhasil. Guru harus berpacu dalam pembelajaran, dengan memberikan

kemudahan belajar bagi seluruh peserta didik, agar dapat mengembangkan potensinya dengan baik. Guru harus kreatif, profesional, dan menyenangkan (Mulyasa, 2009: 36). Untuk memenuhi tuntutan tersebut guru harus mampu memaknai pembelajaran, serta menjadikan pembelajaran sebagi tempat untuk membentuk kompetensi dan memperbaiki kulitas pribadi. Dapat didentifikasikan beberapa peran guru, di antaranya: sebagai pendidik, pengajar, pembimbing, pelatih, penasihat, pembaharu, model dan teladan, pribadi, peneliti, pendorong kreativitas, pembangkit pandangan, pekerja rutin, pembawa cerita, aktor, emansipator, evaluator, dan kulminator.

Selain itu seorang guru harus memahami gaya belajar siswa yang menjadi subjek untuk dilayani, sehingga dapat melaksanakan pembelajaran yang baik di dalam kelas. Guru dapat meneladani Buddha yang merupakan guru model yang piawai dalam setiap pembelajaran. Dalam menyampaikan

123

ajaran Dhamma, Buddha menyesuaikan dengan karakter dan sifat para pendengarnya (Anusasani Patihariya).

Jadi dapat disimpulkan bahwa peranan guru dalam proses pembelajaran merupakan faktor yang paling vital untuk dapat menentukan keberhasilan pembelajaran. Seorang guru harus mampu menciptakan suasana belajar yang tidak membosankan dan menanamkan nilai-nilai yang baik bagi peserta didik. Seorang guru harus mampu menjalankan perannya dengan baik agar pembelajaran yang optimal dapat tercapai.

Ranah Afektif Menurut bahasa, afektif berarti segala sesuatu yang berkaitan dengan

perasaan, sedangkan perasaan mempengaruhi keadaan penyakit (Sugono, 2008: 20). Ranah afektif adalah ranah yang berkaitan dengan sikap dan nilai. Ranah afektif mencakup perilaku seperti perasaan, minat, sikap, emosi, dan nilai. Syah (2008: 121) berpendapat bahwa tingkah laku afektif adalah tingkah laku yang menyangkut keanekaragaman perasaan seperti: takut, marah, sedih, gembira, kecewa, senang, benci, dan sebagainya. Tingkah laku seperti ini tidak terlepas dari pengaruh pengalaman belajar. Seorang peserta didik dapat dianggap sukses secara afektif dalam belajar agama apabila telah menyayangi dan menyadari dengan ikhlas kebenaran ajaran agama yang dipelajari dan menjadikannya sebagai sistem nilai diri.

Menurut Krathwol klasifikasi tujuan domain afektif terbagi dalam lima kategori, yaitu: penerimaan (receiving), pemberian respon (responding), penilaian (valuing), organisasi (organization), dan karakterisasi (characterization by a value complex) (http://bukuanakcerdas.org/2016/02/ 19/apa-itu-kognitif-afektif-dan-psikomotorik). Penerimaan (receiving) mengacu kepada kemampuan anak memperhatikan dan memberikan respons terhadap stimulus yang tepat. Menerima adalah kepekaan seseorang dalam menerima rangsangan dari luar yang datang kepada dirinya dalam bentuk masalah, situasi, gejala dan lain-lain. Termasuk dalam jenjang ini misalnya adalah: kesadaran dan keinginan untuk menerima stimulus, mengontrol dan menyelesaikan rangsangan yang datang dari luar.

Pemberian respons (responding) yaitu kemampuan yang dimiliki seseorang untuk mengikutsertakan dirinya secara aktif dalam suatu masalah tertentu dan membuat reaksi terhadap permasalahan tersebut. Jenjang ini lebih tinggi dari pada receiving. Contoh hasil belajar ranah afektif responding adalah anak tumbuh hasratnya untuk mempelajari sebuah subjek pembelajaran lebih jauh atau mengenali lebih dalam lagi.

Penilaian (valuing) artinya memberikan nilai atau penghargaan terhadap sesuatu atau objek, sehingga apabila kegiatan tersebut tidak dikerjakan, dirasakan akan membawa kerugian atau penyesalan. Valuing adalah merupakan tingkat afektif yang lebih tinggi daripada receiving atau responding. Diharapkan, peserta didik tidak hanya mampu menerima nilai yang diajarkan

124

tetapi telah memiliki kemampuan untuk menilai konsep atau sebuah fenomena, yaitu baik atau buruk. Bila suatu ajaran yang telah mampu mereka nilai dan mampu mengatakan “sesuatu adalah baik”, maka ini berarti bahwa peserta didik telah mengalami proses penilaian. Nilai mulai dinternalisasi dalam dirinya. Dengan demikian nilai tersebut telah stabil dalam peserta didik. Contoh hasil belajar afektif jenjang valuing adalah tumbuhnya kemampuan yang kuat dalam diri peserta didik untuk berlaku disiplin, baik di sekolah, di rumah maupun di tengah kehidupan masyarakat, bisa menilai sesuatu yang baik dan buruk serta bermanfaat atau tidak bermanfaat terhadap dirinya.

Organisasi (organization) mengacu pada penyatuan nilai, sikap-sikap yang berbeda yang membuat peserta didik lebih memiliki kemampuan untuk konsisten dan membentuk suatu sistem nilai internal, mencakup tingkah laku yang tercermin dalam suatu filsafat hidup. Prosesnya adalah dengan mempertemukan perbedaan nilai sehingga membentuk nilai baru yang universal, yang membawa pada perbaikan umum. Mengatur atau mengorganisasikan merupakan pengembangan dari nilai ke dalam satu sistem organisasi, termasuk di dalamnya hubungan satu nilai dengan nilai yang lain. Contoh nilai afektif jenjang organisasi adalah peserta didik mampu mendukung penegakan disiplin dalam rumah, di sekolah maupun organisasi tempat peserta didik belajar.

Karakterisasi (characterization by value or value complex) mengacu pada karakter dan daya hidup seseorang. Nilai-nilai sangat berkembang, nilai teratur sehingga tingkah laku menjadi lebih konsisten dan lebih mudah diperkirakan. Tujuan dalam kategori ini ada hubungannya dengan keteraturan pribadi, sosial dan emosi jiwa. Pada jenjang ini peserta didik telah memiliki sistem nilai yang mengontrol tingkah lakunya untuk suatu waktu yang cukup lama, sehingga membentuk karakteristik pola hidup tingkah lakunya menetap.

Mufidah (2009: 268) mengidentifikasi komponen dari pendidikan afektif terdiri dari pengetahuan, keterampilan, dan sikap. Pengetahuan dan pemahaman adalan informasi yang terkait dengan dimensi pengetahuan tentang terminologi, gagasan, konsep, aturan dan strategi bagaimana menerpakan sesuatu pada diri sendiri dan orang lain. Keterampilan merupakan kemampuan yang didasarkan pada keserasian, pengetahuan yang relevan, dan mempraktikkan penampilan yang kompeten seperti keterampilan keterampilan pengendalian diri. Sikap merupakan respons positif, negatif atau netral untuk mengevaluasi referen, biasanya ditunjukkan sebagai posisi atau intensitas seperti suka, kehendak, apresiasi, tingkah laku mungkin atau tidak mungkin menghasilkan aksi.

METODE Jenis penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif yaitu

memaparkan semua fenomena yang terjadi dalam setting penelitian ini.

125

Pemilihan pendekatan ini dengan alasan karena penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan keadaan suatu fenomena yang terjadi, dan berusaha untuk memaparkan data sebagaimana adanya tentang upaya yang dilakukan oleh guru Pendidikan Agama Buddha dalam mengembangkan ranah afektif peserta didik. Dalam penelitian ini, pengumpulan data secara deskriptif tidak dituangkan dalam bentuk angka-angka. Metode yang digunakan dalam pengumpulan data pada penelitian ini adalah observasi, wawancara, dan dokumentasi serta pengisian angket.

PEMBAHASAN Upaya Pengembangan Ranah Afektif Peserta Didik

Upaya yang dilakukan oleh guru Pendidikan Agama Buddha dalam rangka mengembangkan afektif peserta didik dilakukan dengan beberapa strategi, yakni melalui kegiatan pembiasaan, pembentukan karakter, kegiatan keagamaan, kerja sama dengan pihak lain. Kegiatan untuk mengupayakan pengembangan ranah afektif melalui pembiasaan antara lain dengan melakukan doa bersama di pagi hari, mengucapkan salam, bersikap anjali dan membaca paritta. Upaya pembentukan karakter yaitu dengan cara mewujudkan sikap peduli (peduli sesama dan peduli lingkungan), disiplin, tanggung jawab, mandiri, jujur, sopan, dan jiwa patriotisme. Upaya yang selanjutnya yaitu melalui kegiatan keagamaan dalam bentuk perayaan hari besar agama Buddha, dhamma class, membimbing Sekolah Minggu Buddha, Pekan Penghayatan Dhamma (PPD), Pabbajja Samanera, bimbingan rohani, dan latihan membaca paritta, dan dhammapada. Satu faktor yang memegang peranan penting selain upaya di atas adalah keteladanan dari semua guru yang ada di sekolah.

Kegiatan pembiasaan yang diupayakan oleh guru Pendidikan Agama Buddha yang dianggap mampu mengembangkan ranah afektif siswa yaitu dengan pembiasaan berdoa bersama. Kegiatan ini dilaksanakan secara bersama-sama di lapangan sekolah oleh seluruh siswa dan guru. Seluruh siswa berbaris sesuai dengan kelasnya masing-masing, kemudian semua berbaris di hadapan siswa. Salah satu siswa berada di depan untuk memimpin doa bersama dengan memanjatkan Namakara Patha. Setelah doa selesai, siswa satu per satu keluar dari barisan secara tertib dan berurutan menghampiri barisan guru, berjalan di hadapan para guru dengan merangkapkan kedua tangan di depan dada (anjali) serta mengucapkan salam Namo Buddhaya, kemudian masuk ke kelas. Selain itu salam Namo Buddhaya juga diucapkan oleh siswa setiap bertemu atau berpapasan dengan guru, atau siswa masuk ke ruangan kantor guru. Aktivitas lain yang dilakukan oleh guru PAB dalam mengembangkan ranah afektif yaitu dengan cara mewajibkan semua siswa melaksanakan meditasi sebelum mata pelajaran pertama dimulai. Meditasi atau silent sitting ini dilaksanakan selama 3-5 menit dipimpin oleh ketua kelas. Dengan melaksanakan meditasi ini diharapkan

126

siswa dapat mengikuti kegiatan pembelajaran dengan tertib dan mudah untuk menerima materi yang disampaikan oleh guru.

Upaya pembentukan karakter antara lain untuk membentuk sikap peduli terhadap sesama, peduli lingkungan, disiplin, tanggung jawab, mandiri, jujur, sopan, dan jiwa patriotisme. Kegiatan yang ditujukan untuk membentuk sikap peduli terhadap sesama yaitu dengan melaksanakan bakti sosial pembagian sembako pada warga kurang mampu di sekitar lingkungan sekolah. Siswa diminta untuk mengumpulkan beras dan mie instan kemudian setelah terkumpul, berkoordinasi dengan aparat pemerintahan setempat membagikan sembako. Selain itu juga mengadakan kegiatan kunjungan ke panti asuhan dan panti jompo. Dengan melaksanakan kegiatan ini siswa dapat terjun secara langsung dan melihat dari dekat keadaan dan suasana serta kehidupan di panti, sehingga melalui kunjungan ini dapat memberikan motivasi bagi warga panti bahwa mereka tidak sendiri, sedangkan bagi siswa mampu memberikan pembelajaran bahwa siswa harus selalu bersyukur dengan kondisi yang dimiliki dan dirasakan saat ini. Pembentukan sikap peduli lainnya diupayakan dengan melaksanakan kegiatan berdana secara rutin yang ditabung menggunakan celengan bambu. Program ini merupakan kerja sama beberapa sekolah dengan Yayasan Buddha Tzu Chi Indonesia. Siswa diberi celengan bambu, kemudian setelah kurun waktu tiga bulan pihak dari Yayasan Buddha Tzu Chi datang ke sekolah-sekolah untuk mengambil donasi tersebut. Hasil dari donasi digunakan untuk berbagai kegiatan sosial yang dikoordinasi oleh Tzu Chi.

Dalam rangka membentuk kepedulian terhadap lingkungan, program yang dilakukan antara lain dengan mengikuti program kegiatan pemilahan sampah di depo daur ulang milik Yayasan Buddha Tzu Chi Indonesia. Siswa diajarkan dan praktik secara mandiri untuk memilih sampah organik-nonorganik. Selain itu untuk mensukseskan kegiatan peduli lingkungan juga ada guru PAB yang mengembangkan program hari tanpa plastik. Melalui program ini siswa diwajibkan untuk membawa tempat makanan dan minuman dari rumah. Ketika siswa membeli jajan, siswa menggunakan tempat makanan dan minuman yang sudah dibawa dari rumah. Jadi penggunaan plastik dapat ditekan sekecil mungkin. Selain itu diadakan pula kunjungan ke tempat pembuangan sampah (TPA), bekerja sama dengan Dinas Lingkungan Hidup Kota Tangerang. Pada kegiatan ini siswa belajar untuk mengolah sampah menjadi kompos, dengan harapan siswa mampu mengolah sampah yang ada di sekolah maupun di rumah, atau minimal siswa dapat menerapkan kehidupan yang tidak menciptakan banyak sampah.

Untuk melatih kedisiplinan siswa, siswa harus datang ke sekolah tepat waktu. Terdapat guru PAB yang menerapkan pemberian hukuman bagi siswa yang datang terlambat atau menggunakan seragam tidak lengkap dengan menyanyi, baik menyanyikan lagu-lagu Buddhis maupun lagu nasional. Selain itu ada kalanya siswa diminta untuk membacakan visi dan misi sekolah. Hal ini memiliki tujuan, selain mengondisikan siswa disiplin juga untuk

127

membentuk karakter siswa yang yakin terhadap agama serta memiliki rasa cinta terhadap tanah air dan berterima kasih kepada para pahlawan.

Dalam rangka menciptakan siswa menjadi insan yang mandiri, upaya yang dilakukan oleh guru PAB antara lain dengan memberikan tugas mandiri yang tidak boleh dibantu oleh orang tua. Untuk siswa sekolah dasar misalnya, dengan memberikan tugas membuat kliping. Pemberian tugas yang berbeda-beda dengan tingkat kesulitan yang hampir sama pada setiap siswa juga mampu menumbuhkan sikap mandiri. Dengan menerima tugas yang berbeda siswa terlatih untuk bisa mengerjakan tugasnya sendiri, tanpa harus menggantungkan diri atau menunggu pertolongan dari orang lain (teman). Untuk siswa kelas kecil (satu) juga dilatih agar ketika ada keperluan untuk buang air kecil harus berani sendiri dan menyampaikan izin kepada guru dengan sopan.

Guru PAB juga mengupayakan agar siswa menjadi orang yang bertanggung jawab. Dengan melaksanakan piket kebersihan kelas setiap pulang sekolah merupakan usaha untuk mendidik siswa dalam melaksanakan tanggung jawab. Merawat green house, selain sebagai upaya peduli lingkungan juga memupuk tanggung jawab siswa untuk merawat fasilitas yang digunakan sebagai media pembelajaran maupun media kepedulian. Terdapat pula program yang tidak hanya untuk mengembangkan satu skala sikap afektif saja. Ada kalanya satu jenis program yang membentuk beberapa karakter. Seperti dikembangkan oleh salah satu guru PAB, yaitu adanya kantin kejujuran. Melalui fasilitas ini siswa dilatih untuk mampu melayani diri sendiri, bersikap jujur yaitu dengan membayar atau mengambil uang kembalian dengan tidak lebih dan tidak kurang. Melalui program ini pula siswa dilatih untuk bertanggung jawab selalu menjaga kebersihan. Karena semua aktivitas yang berlangsung di kantin kejujuran ini sepenuhnya dijalankan oleh siswa, sedangkan guru hanya memantau supaya tidak terjadi pelanggaran dan penyelewengan.

Langkah lain yang ditempuh untuk mengembangkan ranah afektif siswa yaitu melalui kegiatan keagamaan. Kegiatan yang dilakukan antara lain dengan perayaan hari besar agama, dhamma class, meditasi, SMB, PPD, bimbingan rohani, dan buku bakti. Perayaan hari besar agama dengan maksud untuk meningkatkan keyakinan. Selain itu bagi sekolah dengan jumlah siswa beragama Buddha sedikit, perayaan hari besar dilaksanakan secara bersama. Sebagai contoh, pelaksanaan hari Kathina oleh siswa SD Negeri beragama Buddha se-Kecamatan Neglasari, Kota Tangerang. Dihadiri oleh hampir 350 siswa dari 18 sekolah. Melalui kegiatan ini dapat dikembangkan sikap sosial maupun spiritual. Siswa dapat berinteraksi dengan siswa dari sekolah lain. Dhamma class dilaksanakan dalam rangka menanamkan pengamalan nilai-nilai Buddhis, bukan sekadar pengetahuan tetapi nilai sikap dan moralitas. Pada kegiatan ini diajarkan praktik meditasi yang benar dan atthasila. Hal ini untuk menambah pemahaman bagi umat

128

Buddha keturunan yang memiliki budaya Tionghoa yang belum mengetahui praktik atthasila dan praktik Buddhis lainnya.

Upaya lain yang dilakukan oleh guru PAB dalam rangka pengembangan ranah afektif adalah dengan menerapkan strategi “buku bakti”. Strategi ini adalah dengan mengajak dan mewajibkan siswa untuk puja bakti di vihara pada setiap hari minggu. Siswa diminta untuk membuat laporan setiap bulan yang berisi kegiatan yang dilaksanakan di vihara dan mendapatkan pengesahan (tanda tangan) dari pengurus vihara atau pengasuh/pengajar sekolah minggu. Dengan kata lain buku bakti ini digunakan sebagai alat untuk memonitor kegiatan siswa selama di luar sekolah. Selain itu guru PAB juga melaksanakan kunjungan ke vihara-vihara untuk memonitor kegiatan siswa selama berada di vihara tersebut. Kegiatan yang dapat dilaksanakan di vihara yang lain yaitu membimbing kegiatan sekolah minggu Buddha (siswa kelas besar), di vihara atau cetiya yang masih kekuarang tenaga pengajar/pengasuh SMB. Kegiatan bimbingan rohani pada hari Jumat, juga sebagai salah satu upaya pengembangan afektif. Bimbingan rohani dilaksanakan oleh guru PAB pada peserta didik beragama Buddha ketika peserta didik yang beragama Islam melaksanakan pengajian. Kegiatan bimbingan rohani diisi dengan pelatihan membaca paritta, dhammapada, ataupun sharing dhamma.

Keteladanan guru juga merupakan faktor yang berpengaruh terhadap pengembangan afektif. Setiap tindakan yang dilakukan oleh guru dapat diamati dan ditiru dengan cepat oleh siswa, sehingga guru harus bisa menjadi contoh dalam segala hal. Mengenakan pakaian dengan rapi, datang tepat waktu, mengajar sesuai dengan kurikulum. Salah satu contohnya yaitu dengan cara rajin membaca dari banyak sumber, ketika mendapat pertanyaan dari siswa guru mampu memberikan jawaban yang memuaskan dan sesuai pada konteksnya. Kerja sama dengan pihak kepolisian juga dilakukan untuk memberikan pengetahuan dan pemahaman siswa tentang etika di jalan raya agar, sehingga siswa dapat penjadi warga dan pengguna jalan yang baik dan bertanggung jawab.

PENUTUP Upaya yang dilakukan oleh guru Pendidikan Agama Buddha dalam

mengembangkan ranah afektif siswa antara lain melalui kegiatan pembiasaan yang berupa doa bersama pada pagi hari, mengucapkan salam dengan bersikap anjali, dan meditasi pada awal pembelajaran di kelas. Kegiatan lain yang dilakukan adalah dengan pembentukan karakter sikap peduli, disiplin, mandiri, tanggung jawab, sopan, jujur, dan memiliki jiwa patriotisme. Melalui kegiatan keagamaan berupa perayaan hari besar, dhamma class, mengajar SMB, bimbingan rohani, latihan membaca paritta dan dhammapada, dan program buku bakti.

Langkah lain yang dilaksanakan dalam rangka pengembangan afektif siswa yaitu dengan melaukan kerja sama dengan Yayasan Buddha Tzu Chi

129

Indonesia, Dinas Lingkungan Hidup, dan Kepolisian Republik Indoensia, sehingga siswa langsung mempraktikkan aktivitas yang mencerminkan dan menumbuhkan sikap yang baik.

DAFTAR PUSTAKA Depdiknas. 2008. Pengembangan Soft Skills dalam Proses Pembelajaran di Pendidikan

Tinggi. Jakarta: Direktorat Akademik. http://bukuanakcerdas.org/ 2016/ 02/ 19/apa - itu - kognitif – afektif – dan –

psikomotorik (diakses tanggal 12 Februari 2017). Mulyasa, E. 2009. Menjadi Guru Profesional (Menciptakan Pembelajaran Kreatif dan

Menyenangkan). Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Ñānamoli. 2005. The Minor Readings (Khuddakapātha). Oxford: Pali Text Society. Nurfuadi, 2012. Profesionalisme Guru. Purwokerto. STAIN Press. Pemerintah Republik Indonesia. 2003. Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003

tentang Sitem Pendidikan Nasional. __________. 2005. Undang-undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. __________. 2005. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 tahun 2005

tentang Standar Nasional Pendidikan. __________. 2008. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 74 tahun 2008

tentang Guru. __________. 2008. Peraturan Menteri Agama Nomor 16 tahun 2010 tentang Pendidikan

Agama pada Sekolah. Sugiyono. 2013. Cara Mudah Menyusun Skripsi, Tesis, dan Disertasi. Bandung:

Alfabeta. __________. 2013. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung:

Alfabeta. Sugono, Dendy. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia Tata Bahasa. Jakarta: PT.

Gramedia Pustaka Utama. Syah, Muhibbin. 2008. Psikologi Pendidikan (Dengan Pendekatan Baru). Bandung:

PT. Remaja Rosdakarya. Uno, Hamzah B. 2008. Model Pembelajaran: Menciptakan Proses Belajar Mengajar

yang Kreatif dan Efektif. Jakarta: Bumi Aksara. Walshe, Maurice. The Long Discourses of the Buddha A Translation of the Digha

Nikaya (Kotbah-kotbah Panjang Sang Buddha Digha Nikaya. Diterjemahkan oleh Team Giri Mangala Publication.2009.Dhammacitta Press.