Upload
dian-fithria-hidayaty
View
53
Download
5
Embed Size (px)
Citation preview
MAKALAH PRESENTASI KASUS
TRAUMA
Disusun oleh:
Adinda Pramitra Permatasari
Dian Fithria Hidayaty
Salwa
Wildan Achalipha Wilkensia
KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN EMERGENCY
RSUP FATMAWATI JAKARTA
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
BAB I
STATUS PASIEN
I. Identitas Pasien
Nama : An. T
Jenis kelamin : Laki-laki
Usia : 16 tahun
Alamat : Komp Serengseng RT 002/019 Serengseng Sawah Jagakarsa
Pekerjaan : Pelajar
Status : Belum kawin
Agama : Islam
Suku bangsa : Jawa
II. Anamnesis
Dilakukan alloanamnesis dan autoanamnesis ke keluarga pasien pda tanggal 2 Agustus
2013
• Keluhan Utama
Nyeri dada dan perut sebelah kiri post KLL sejak 1 jam SMRS.
• Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke IGD RSUP Fatmawati dengan keluhan nyeri dada dan perut sebelah
kiri post KLL sejak 1 jam SMRS. Saat itu pasien sedang mengendarai motor dengan
kecepatan 70-80 km/jam tanpa menggunakan helm. Tiba-tiba ada motor yang ingin
menyeberang, lalu pasien mencoba mengerem mendadak. Kemudian pasien terjatuh
dengan posisi dada dan perut sebelah kiri terbentur aspal dan terseret sejauh ± 50 meter.
Saat ini pasien mengeluh nyeri di dada sebelah kiri dan agak sesak, selain itu nyeri juga
dirasakan di perut bagian kiri atas dan ulu hati, nyeri dirasakan terus menerus, selain itu
terdapat luka lecet dan perih di tangan kiri dan tungkai sebelah kiri.
pasien mengingat kejadiannya dengan baik Saat kecelakaan menurut pasien kepalanya
tidak terbentur apa-apa, keluhan sakit kepala, mual muntah pingsan disangkal.
• Riwayat Penyakit Dahulu
Tidak ada riwayat trauma sebelumnya.
• Riwayat Penyakit Keluarga
Ayah pasien meninggal karena penyakit ginjal dan ibu pasien memiliki riwayat sakit DM
• Riwayat Sosial
Konsumsi alkohol (-), obat-obatan terlarang (-)
Pemeriksaan Fisik
Status generalis
Keadaan umum : tampak sakit sedang
Kesadaran : compos mentis
Tanda vital (pra-resusitasi)
TD : 60 / palpasi
Nadi : 120 x / menit
Suhu : 37,4 °C
Pernafasan: 20x / menit
1. Primary survey
a. Airway :bebas
b. Breathing : spontan, tidak ada sumbatan,
c. Circulation : setelah resusitasi
TD : 100/70mmHg
Nadi :64x/menit
CRT : <2detik
d. Dissability : GCS 15
2. Secondary survey
Kepala : jejas (-), vulnus (-), trauma stigmata (-)
Mata : konjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-, pupil bulat isokor, Refleks
Cahaya Langsung +/+, Refleks cahaya Tidak Langsung +/+
Hidung : deviasi septum nasi (-), konka hipertrofi (-), mukosa tidak hiperemis,
sekret (-)
Mulut : bibir kering(+), sianosis (-), arcus faring tidak hiperemis, uvula lurus
ditengah
Telinga : normotia, serumen +/+, sekret -/-
Leher : Jejas (-), vulnus (-), nyeri tekan (-), KGB leher tidak teraba membesar,
kelenjar tiroid tidak teraba membesar
Thorax : Terdapat jejas eksoriasi (+) pada hemithorax sinistra
Paru
Inspeksi : kedua hemithorax simetris dalam keadaan statis dinamis,
penonjolan (-)
Palpasi : vocal fremitus kanan = kiri, massa (-)
Perkusi : sonor di kedua lapang paru
Auskultasi : suara nafas vesikuler +/+, ronkhi -/-, wheezing -/-
Jantung
Inspeksi : ictus cordis tidak terlihat.
Palpasi : teraba pada garis midclavicularis kiri di ICS 5
Perkusi : Batas jantung kanan : garis parasternalis dextra di ICS 4
Batas jantung kiri : garis midclavicularis sinistra di ICS 5
Auskultasi : S1 S2 reguler,murmur (-), gallop (-).
Abdomen
Inspeksi : perut datar, tampak kemerahan pada regio epigastrium (+)
dan hipokondria sinistra, defens(-), spider nevi (-)
Palpasi : Hepar dan lien tidak teraba membesar. Nyeri tekan (+)
Perkusi : shifting dullness (-) nyeri ketok CVA -/-
Auskultasi : bising usus (+) normal
Ekstremitas : Oedem (-), akral hangat, sianosis akral (-)
Genital : Rectal tuchae : TSA baik, ampula tidak kolaps, mukosa licin, massa (-),
feses (-), lendir (-), darah (-).
III. Pemeriksaan penunjang
Kimia Klinik
Fungsi Hati- SGOT- SGPT
1814
0-34 U/I0-40 U/I
Fungsi Ginjal- Ureum Darah- Creatinin Darah
21 mg/dl 0,8 mg/dl
20-40 mg/dl0.6-1.5 mg/dl
Diabetes - Gula darah sewaktu 126 mg/dl 70-140 mg/dl
ELEKTROLIT NatriumKalium Klorida
1433,93109
135 - 1473.10 -5.10 mmol/L95 -108 mmol/L
HemostasisAPTTKontrol APTTPTKontrol PTINR
31,634,213,813,71,01
27,4-39,3-12,7-16,1--
Radiologi ??
Toraks
Pemeriksaan Hasil Nilai rujukan Hematologi
- Hemoglobin - Hematokrit - Leukosit - Eritrosit - Trombosit
13,74013,24,79 306
13.2-17.3 g/dl 33-45 % 5-10 ribu/Ul 41.40-5.90 ribu/Ul l 150-440
VER/HER/ KHER/RDW
- VER - HER- KHER- RDW
84,1 fl28,6 pg34,0 g/dl13,6%
80.0-100.0 fl 26.0-34.032.0-3611.5-14.5 %
- kekerasan foto baik
- tulang dan jaringan lunak baik
- paru dalam batas normal
- CTR < 50%
- Sudut costrofrenikus kanan dan kiri lancip
- Diafragma dalam batas normal
- Terdapat gambaran homogen di paru kiri bagian bawah
Kesan :
USG
Interpretasi :
Hepar : ukuran dan bentuk normal. Permukaan reguler, tepi tajam.
Echostruktur parenkim homogen normal
Sistim bilier tak melebar V. Porta dan V. Hepatika baik.
Tak ada SOL
K.E : ukuran dan bentuk normal. Dinding tak menebal
Tak ada sludge/batu
Pankreas : besar dan bentuk normal. Echostruktur homogen.
Duktus pankreatikus tidak melebar. Tidak ada SOL/kalsifikasi
Lien : ukuran dan bentuk normal. Homogen tak ada SOL
Ginjal : ukuran dan bentuk normal. Korteks dan sinus ginjal baik. Sistem
pelviokalises tak melebar. Tak ada batu/sol.
Buli-buli : ukuran dan bentuk normal. Dinding rata/reguler. Tak ada batu
Aorta : kaliber normal, pembesaran KGB para Aorta (-), tampak fluid
collection di fossa hepatorenal.
Tidak tampak fluid collection
Kesan : Suspek Hematoperitoneum
IV. Resume
Pasien datang ke IGD RSUP Fatmawati dengan keluhan nyeri dada dan perut
sebelah kiri post KLL sejak 1 jam SMRS. Saat itu pasien sedang mengendarai motor
dengan kecepatan 70-80 km/jam tanpa menggunakan helm. Tiba-tiba ada motor yang
ingin menyeberang, lalu pasien mencoba mengerem mendadak. Kemudian pasien
terjatuh dengan posisi dada dan perut sebelah kiri terbentur aspal dan terseret sejauh ±
50 meter.
Saat ini pasien mengeluh nyeri di dada sebelah kiri dan agak sesak, selain itu
nyeri juga dirasakan di perut bagian kiri atas dan ulu hati, nyeri dirasakan terus
menerus, selain itu terdapat luka lecet dan perih di tangan kiri dan tungkai sebelah
kiri.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum pasien tampak sakit sedang,
tanda vital (pra-resusitasi), TD : 60 / palpasi, frekuensi nadi : 120 x / menit, suhu:
37,4 °C, Pernafasan: 20x / menit. Pada pemeriksaan thorax terdapat jejas eksoriasi
(+) pada hemithorax sinistra. Pemeriksaan abdomen tampak kemerahan pada regio
epigastrium (+) dan hipokondria sinistra, nyeri tekan (+). Pada pemeriksaan USG
didapatkan kesan suspek hematoperitoneum
V. Diagnosis
Diagnosis kerja
Trauma abdomen
Suspek Trauma Tumpul Thoraks
VI. Anjuran Pemeriksaan Penunjang
????
VII. Penatalaksanaan
Medikamentosa
IVFD Ringer Laktat 20 tetes/menit
Ketorolac 30 mg
Omeprazole 40 mg
Non medikamentosa
Pasang NGT & Cathether urine
VIII. Prognosis
Ad vitam : dubia ad malam
Ad fungsionam : dubia ad bonam
Ad sanationam : bonam
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
TRAUMA THORAKS
DEFINISI
Gagal ginjal akut merupakan suatu keadaan klinis, terjadi penurunan fungsi ginjal secara
mendadak dengan akibat kemampuan ginjal untuk mempertahankan homeotasis tubuh hilang,
dan disertai gejala-gejala sebagai akibat :
1. Gangguan keseimbangan air dan elektrolit
2. Gangguan keseimbangan asam-basa
3. Gangguan eliminasi limbah metabolisme misalnya ureum, creatinin
Gagal ginjal akut biasanya disertai anuria, oliguria, produksi urin normal maupun poliuria.
ETIOLOGI
Berbagai faktor penyebab Gagal Ginjal Akut dapat dikatagorikan menjadi : Faktor
Prarenal (Prerenal Failure), Faktor Renal (Intrinsic Renal Failure) dan Faktor Pasca Renal
(Postrenal Failure).
a. Gagal Ginjal Prarenal
Penyebab utama terjadi Prarenal Failure adalah hipoperfusi ginjal yang disebabkan
karena dehidrasi, hipoalbuminemia, luka bakar, gagal jantung.
b. Gagal Ginjal Renal
Pada tipe ini Gagal Ginjal Akut timbul akibat kerusakan jaringan ginjal. Kerusakan dapat
terjadi pada glomeruli atau tubuli sehingga faal ginjal langsung terganggu. Dapat pula
terjadi karena hipoperfusi prarenal yang tak teratasi sehingga mengakibatkan iskemia,
serta nekrosis jaringan ginjal, seperti misalnya glomerulonefritis, gangguan vaskularisasi
ginjal, nekrosis tubular akut, pielonefritis.
c. Gagal Ginjal Pascarenal
Semua faktor pascarenal yang menyebabkan obstruksi pada saluran kemih yang bersifat
bilateral, misalnya : kristal, batu, tumor, bekuan darah, trauma, kelainan bawaan.
PATOFISIOLOGI
GGA adalah suatu proses multifaktor yang meliputi gangguan hemodinamik renal,
suseptibel nefron yang spesifik, obstruksi tubulus renalis, gangguan sel dan metabolik. Vaso
konstriksi diduga merupakan faktor utama yang mengganggu hemodinamik renal yang dapat
menyebabkan terjadinya GGA. Gangguan pada epitel tubulus ginjal dapat mengakibatkan
pengeluaran komponen vasoaktif yang dapat mengakibatkan peningkatan resistensi pembuluh
darah kortek. Keadaan ini dapat menyebabkan penurunan aliran darah ke ginjal dan mengganggu
tubulus ginjal. Penurunan laju filtrasi glomerulus terjadi akibat vaso konstriksi pembuluh darah
afferen dan efferen, sehingga dapat menurunkan produksi urin.
Komponen vasoaktif yang dapat menyebabkan iskemia dan toksik pada ginjal, meliputi
angiotensin, prostaglandin, endotelin, nitric oxide. Walaupun vasokonstriksi diduga sebagai
penyebab utama GGA, namun pemberian vaso dilator tidak terbukti dapat memperbaiki fungsi
ginjal.Gangguan sel dan metabolik pada ginjal melibatkan molekul oksigen reaktif yang dapat
ditemukan pada beberapa penyakit ginjal. Molekul oksigen yang paling reaktif adalah radikal
bebas meliputi hidroksil radikal dan anion superoksid. Metabolit oksigen reaktif dapat
menyebabkan terjadi iskemia oleh karena terjadi reaksi dengan nitric oxide sintetase. Tubulus
ginjal merupakan tempat utama penggunaan energi pada ginjal. Sehingga tubulus mudah
mengalami kerusakan bila terjadi iskemia atau oleh obat obat nefrotoksik. Struktur dan fungsi sel
epitel mengalami kerusakan, sehingga terjadi peningkatan kalsium dalam sel, aktifasi
fosfolipase, polaritas menghilang, terjadi pengelupasan skeleton dari kortek.
Kematian sel yang terjadi setelah iskemia atau proses toksik, sebagai akibat nekrosis atau
apoptosis dan gangguan gene yang menyebabkan kerusakan DNA. Apoptosis terjadi akibat ada
bahan yaitu tumor necrosis factor dan inhibitor yaitu growth faktor, walaupun mekanisme yang
pasti belum diketahui.GGA pasca renal, disebabkan obstruksi aliran urin, dapat bersifat
kongenital maupun didapat. Kelainan kongenital yang sering menyebabkan GGA adalah
obstruksi katup uretra posterior. Obstruksi pasca renal yang dimaksud adalah obstruksi bagian
distal nefron misalnya ureter. Namun demikian obstruksi pada tubulus misalnya akibat kristal
jengkol, juga dimasukkan obstruksi pasca renal. Obstruksi kristal jengkol dapat terjadi mulai dari
uretra, ureter dan pelvis.
GEJALA KLINIS
Keluhan dan gejala Gagal Ginjal Akut sebagai berikut :
1. Gejala-gejala non-spesifik dari uremia : mual, muntah, anoreksia, drowsiness atau kejang.
2. Oliguria atau anuria (< 300 ml/m2/hari atau <1 ml/kg BB/jam)
3. Hiperventilasi karena asidosis.
4. Sembab.
5. Hipertensi.
6. Kelainan sedimen urine, misalnya : hematuria, proteinuria.
7. Tanda-tanda obstruksi saluran kemih, misalnya : pancaran urine yang lemah, kencing
menetes atau adanya masa pada palpasi abdomen.
8. Keadaan-keadaan yang merupakan faktor predisposisi Gagal Ginjal Akut, misalnya diare
dengan dehidrasi berat, penggunaan aminoglikosida, khemoterapi pada leukemia akut.
PEMERIKSAAN DAN DIAGNOSIS
Apabila dicurigai terjadinya Gagal Ginjal Akut, segera lakukan pemeriksaan kadar ureum dan
kreatinin serum. Kreatinin serum merupakan gambaran dari Laju Filtrasi Glomerulus (LFG),
yang dapat diprakirakan dengan menggunakan rumus :
DIAGNOSA BANDING
Perlu segera dibedakan jenis Gagal Ginjal Akut prarenal, renal atau pascarenal oleh karena
masing-masing mempunyai aspek pengobatan yang berbeda. Gagal Ginjal pascarenal (obstruksi)
paling mudah dipastikan dengan pemeriksaan ultrasonografi. Untuk membedakan Gagal Ginjal
prarenal atau intrarenal, dapat dilakukan 2 macam cara pemeriksaan :
1. Perbedaan secara laboratorium :
Urine Prarenal Renal
Volume Sedikit Sedikit
Protein Negatif Sering positif
Sedimen Normal Torak granular, eritrosit
Berat jenis > 1020 1010 – 1015
Na urine (mmol/l) < 10 > 25
Urea urine (mmol/l) > 250 < 160
Osmolalitas (mmol/l) > 500 200– 350
Ratio osmolalitas U/P > 1.3 < 1,1
FENa < 1 > 1
2. Perbedaan secara pemberian terapi :
Cara ini hendaknya dilakukan secara hati-hati untuk mencegah terjadinya overloading atau
dehidrasi.
a. Terapi cairan : dengan memberikan infus garam isotonik atau Ringer’s Lactate sebanyak
20 ml/kg berat badan selama 1 jam, dilanjutkan pemberian diuretik. Bila terjadi diuresis
> 2 ml/kg BB/jam berarti Gagal Ginjal Prarenal.
b. Diuretik : boleh dilakukan bila faktor prarenal telah dikoreksi :
1. Furosemide 1-2 mg/kg BB/kali, diberikan 2 kali (selang 4 jam).
Efek samping : eksaserbasi gagal ginjal dan ototoksisitas terutama bila diberikan
dalam dosis tinggi dan keadaan asidosis metabolik.
2. Mannitol 0,5-1 gram/kg bb diinfus dalam 10-20 menit .
Efek samping : meningkatkan volume darah dan sembab paru.
Bila terjadi diuresis > 2 ml/kg/jam pasca terapi berarti suatu Gagal Ginjal Prarenal.
Bila diuresis < 2 ml/kg/jam berarti suatu Gagal Ginjal Intrarenal.
PENATALAKSANAAN
1. Cairan :
Faktor-faktor prarenal (penyebab dehidrasi) harus segera dikoreksi dengan pemberian
cairan yang sesuai dan adekuat. Pemberian cairan pada Gagal Ginjal Akut harus hati-hati
untuk menghindarkan terjaidnya overload cairan. Dapat digunakan rumus, yaitu jumlah
cairan yang diperlukan diperhitungkan terhadap jumlah kalori yang dikeluarkan:
Kebutuhan cairan sehari = 25 ml per 100 cal yang dikeluarkan + jumlah volume urine.
Kebutuhan Kalori Sehari :
Berat Badan Kebutuhan Kalori Sehari
3-10 kg 100 cal/kg BB
11-20 kg 1000 cal + 50 cal/kg BB diatas 10 kg
> 20 kg 1500 cal + 20 cal/kg BB diatas 20 kg
Pemantauan :
a. Penurunan berat badan 0,5-1,0% tiap hari menunjukkan pemberian cairan yang tepat.
b. Panurunan kadar Natrium menunjukkan overhidrasi.
c. Pemantauan dengan CVP sangat dianjurkan.
2. Asidosis metabolik
Asidosis harus dikoreksi apabila kadar HCO3 < 12 mEq/L dan pH darah < 7,2. Jumlah
Bikarbonat yang diperlukan = (HCO3 ideal – HCO3 aktual) x berat badan (kg) x 0,3. Bila
pemberian ini tidak dimungkinkan, dapat diberi koreksi buta 2-3 mEq/kg bb/hari setiap
12 jam. Bila dengan koreksi tersebut tidak menunjukkan hasil, dialisis merupakan
indikasi.
3. Hiperkalemia
Bila terdapat tanda-tanda hiperkalemia berat (ada perubahan-perubahan pada EKG dan
kadar K+ serum > 7 mEq/L), perlu segera diberikan :
a. Glukonas kalsikus 10%, 0.5 ml/kg BB intravena dalam 10-15 menit. Tujuannya
untuk mengatasi efek toksik K+ pada jantung.
b. Sodium Bicarbonate 7,5%, 2,5 mEq/kg BB intravena selama 10-15 menit, untuk
meningkatkan ph darah sehingga terjadi intracellular shift sehingga kadar K+
serum turun.
c. Glucosa 0.5 g/kg bb per infus selama 30 menit ditambah insulin 0,1 unit/kg bb
atau 0,2 unit/g glukosa untuk menggerakkan K+ bersama glukosa ke dalam sel
masuk ke dalam proses glikolisis.
d. Ion exchange resin untuk mengeliminasi K+ dari tubuh.
4. Hiperfosfatemia dan Hipokalsemia :
Pada gagal ginjal pencegahan dilakukan dengan mempertahankan kadar kalsium serum
antara 9.0-10.0 mg/100 ml melalui pemberian suplemen kalsium yang cukup. Bila timbul
tetani akibat hipokalsemia, perlu diberi glukonas kalsikus 10% i.v. 0,5 ml/kg bb pelan
pelan 5-10 menit, dilanjutkan dosis rumatan kalsiumoral 1-4 gram/hari. Kadar fosfat
serum dipertahankan antara 4.0-5.0 mg/100 ml dengan diit rendah fosfat. Dapat pula
dilakukan pengikatan fosfat dalam usus dengan menggunakan kalcium karbonate 50
mg/kg bb/hari, laktat atau glukonat sebagai phosphate binder. Vitamin D perlu disertakan
dalam diit dan sebaiknya diberikan 1,25 (OH)2 cholecalciferol sebagai vitamin D3 aktif
dengan dosis 0.5-1.0 microgram per hari.
5. Anemia
Anemia ringan terjadi karena produksi erythropoetin menurun dan erythropoesis tak
sempurna sehingga produksi sel darah merah tak sempurna serta life-span memendek.
Transfusi tidak dianjurkan bila gejala-gejala klinis anemia tak terlihat atau Hb masih di
atas 6 g/dl, karena transfusi dapat memperberat hiperkalemia, hipertensi dan payah
jantung. Bila Hb < 6 g/dl atau Ht < 20%, tranfusi dilakukan dengan mempergunakan
pack red cell (10 ml/kg bb) dengan tetesan lambat 4-6 jam (lebih kurang 10 tetes/menit).
Pemberian erythropoitin rekombinan perlu dipertimbangkan bila Hb 10 g/dl, Ht
30%, dengan catatan cadangan besi adekuat: Feritin > 100 g/L, saturasi transferin >
20%, serta tidak ada infeksi berat.
6. Hipertensi
Penyebabnya biasanya fluid overload atau kelainan parenkhim ginjal. Terapi dengan
restriksi cairan dan natrium, pemberian diuretik, dan bila perlu diberikan antihipertensi,
misalnya : kaptopril 0.3 mg/kg bb/kali diberikan 2-3 kali sehari. Obat anti hipertensi lain
adalah Hydralazine (1-5 mg/kg BB/hari), Methyldopa (10-50 mg/kg BB/hari),
Propranolol (1-10 mg/kg BB/hari). Pada hipertensi krisis dapat diberikan nifedipin
sublingua 0.1 mg/kg bb/kali dengan pemberian maksimum 1 mg/kg bb/hari. Nitroprusid
natrium 0,5 mg/kg bb/menit juga dapat diberikan pada krisis hipertensi.
7. Kejang
Timbul karena hipervolemia, hipokalsemia, hipertensi atau BUN yang meningkat dengan
cepat. Kejang dapat pula timbul pasca transfusi darah atau albumin, karena terjadi
ekspansi secara tiba-tiba dari fluid compartment. Bila perlu diberi obat-obat anti kejang,
yaitu diazepam 0,3-0,5 mg/kg bb i.v dapat diulang tiap 15 menit seperti menangani
kejang pada umumnya, dan dilanjutkan rumatan dengan phenobarbital 4-8 mg/kg
bb/hari.
8. Infeksi
Infeksi biasanya menyerang saluran kemih, pernapasan dan pencernaan. Pengobatan
dengan antibiotik yang sesuai harus segera diberikan. Dosis harus disesuaikan dengan
turunnya fungsi ginjal. Sebaiknya pencegahan dilakukan, antara lain dengan cara
menghindari tindakan-tindakan yang tidak perlu, penanganan secara aseptik dan steril.
9. Nutrisi
Prinsip nutrisi yang harus diberikan adalah diit tinggi kalori rendah protein, dengan
jumlah kebutuhan kalori disesuaikan dengan umur dan berat badan. Jumlah kalori ideal
60-100 cal/kg BB/hari diberikan terutama dalam bentuk glukosa dan lemak. Protein
dibatasi antara 0.85-1.0 gram/kg BB/hari dalam bentuk protein hewani yang bernilai
biologik tinggi. Sebaiknya disertakan pula vitamin.
10. Edema paru
Edema paru merupakan keadaan yang sangat berbahaya dan dapat menimbulkan
kematian dalam waktu singkat. Tindakan yang dilakukan dengan memberikan furosemid
i.v. 1 mg/kg bb disertai torniket dan flebotomi. Di samping itu dapat diberi morfin 0,1
mg/kg bb. Bila tindakan tersebut tidak berhasil dalam waktu 20 menit, maka dialisis
harus segera dilakukan.
11. Dialisis
Dilakukan apabila dengan terapi konservatif tidak berhasil. Indikasi dialisis pada anak
dengan GGA ialah :
1. Kadar ureum darah > 200 mg%
2. Hiperkalemia > 7,5mEq/L
3. Bikarbonas serum < 12 mEq/L
4. Adanya gejala gejala overhidrasi : edema paru, dekompensasi jantung, hipertensi
yang tidak dapat diatasi dengan obat.
5. Perburukan keadaan umum dengan gejala uremia berat : perdarahan, kesadaran
menurun sampai koma.
NEFROLITIASIS
DEFINISI
Merupakan suatu penyakit yang salah satu gejalanya adalah pembentukan batu di dalam
ginjal. Batu Ginjal di dalam saluran kemih (kalkulus uriner) adalah massa keras seperti batu
yang terbentuk di sepanjang saluran kemih dan bisa menyebabkan nyeri, perdarahan,
penyumbatan aliran kemih atau infeksi. Batu ini bisa terbentuk di dalam ginjal (batu ginjal)
maupun di dalam kandung kemih (batu kandung kemih). Proses pembentukan batu ini disebut
urolitiasis (litiasis renalis, nefrolitiasis).
Gambar. Batu Ginjal
ETIOLOGI
Terbentuknya batu saluran kemih diduga ada hubungannya dengan gangguan aliran urin,
gangguan metabolik, infeksi saluran kemih, dehidrasi, dan keadaan-keadaan lain yang masih
belum terungkap (idiopatik). Secara epidemiologik terdapat beberapa faktor yang mempermudah
terbentuknya batu pada saluran kemih pada seseorang. Faktor tersebut adalah faktor intrinsik
yaitu keadaan yang berasal dari tubuh orang itu sendiri dan faktor ekstrinsik yaitu pengaruh yang
berasal dari lingkungan di sekitarnya.
Faktor intrinsik antara lain :
1. Herediter (keturunan) : penyakit ini diduga diturunkan dari orang tuanya.
2. Umur : penyakit ini paling sering didapatkan pada usia 30-50 tahun
3. Jenis kelamin : jumlah pasien laki-laki tiga kali lebih banyak dibandingkan dengan pasien
perempuan
Faktor ekstrinsik diantaranya adalah :
1. Geografis : pada beberapa daerah menunjukkan angka kejadian batu saluran kemih yang
lebih tinggi dari pada daerah lain sehingga dikenal sebagai daerah stonebelt.
2. Iklim dan temperatur
3. Asupan air : kurangnya asupan air dan tingginya kadar mineral kalsium pada air yang
dikonsumsi.
4. Diet : Diet tinggi purin, oksalat dan kalsium mempermudah terjadinya batu.
5. Pekerjaan : penyakit ini sering dijumpai pada orang yang pekerjaannya banyak duduk
atau kurang aktifitas atau sedentary life.(3)
EPIDEMIOLOGI
Abad ke-16 hingga abad ke-18 tercatat insiden tertinggi penderita batu saluran kemih
yang ditemukan diberbagai negara di Eropa. Berbeda dengan eropa, di negara-negara
berkembang penyakit batu ini masih ditemukan hingga saat ini, misalnya Indonesia, Thailand,
India, Kamboja, dan Mesir.(1)
EFEK BATU PADA SALURAN KEMIH
Ukuran dan letak batu biasanya menentukan perubahan patologis yang terjadi pada
traktus urinarius : (4)
a. Pada ginjal yang terkena
Obstruksi
Infeksi
Epitel pelvis dan calis ginja menjadi tipis dan rapuh.
Iskemia parenkim.
Metaplasia
b. Pada ginjal yang berlawanan
Compensatory hypertrophy
Dapat menjadi bilateral
GAMBARAN KLINIS
Batu ginjal dapat bermanifestasi tanpa gejala sampai dengan gejala berat. Umumnya gejala
berupa obstruksi aliran kemih dan infeksi. Gejala dan tanda yang dapat ditemukan pada penderita
batu ginjal antara lain : (1)
1. Tidak ada gejala atau tanda
2. Nyeri pinggang, sisi, atau sudut kostovertebral
3. Hematuria makroskopik atau mikroskopik
4. Pielonefritis dan/atau sistitis
5. Pernah mengeluarkan baru kecil ketika kencing
6. Nyeri tekan kostovertebral
7. Batu tampak pada pemeriksaan pencitraan
8. Gangguan faal ginjal.
DIAGNOSIS
Selain dari anamnesis dan pemeriksaan fisik untuk menegakkan diagnosis, penyakit batu ginjal
perlu didukung dengan pemeriksaan radiologik, laboratorium, dan penunjang lain untuk
menentukan kemungkinan adanya obstruksi saluran kemih, infeksi dan gangguan faal ginjal.
Batu, terutama yang kecil, bisa tidak menimbulkan gejala. Batu di dalam kandung kemih bisa
menyebabkan nyeri di perut bagian bawah. Batu yang menyumbat ureter, pelvis renalis maupun
tubulus renalis bisa menyebabkan nyeri punggung atau kolik renalis (nyeri kolik yang hebat).
Kolik renalis ditandai dengan nyeri hebat yang hilang-timbul, biasanya di daerah antara tulang
rusuk dan tulang pinggang, yang menjalar ke perut, daerah kemaluan dan paha sebelah dalam.
Gejala lainnya adalah mual dan muntah, perut menggelembung, demam, menggigil dan darah di
dalam air kemih. Penderita mungkin menjadi sering berkemih, terutama ketika batu melewati
ureter. Batu bisa menyebabkan infeksi saluran kemih. Jika batu menyumbat aliran kemih, bakteri
akan terperangkap di dalam air kemih yang terkumpul diatas penyumbatan, sehingga terjadilah
infeksi. Jika penyumbatan ini berlangsung lama, air kemih akan mengalir balik ke saluran di
dalam ginjal, menyebabkan penekanan yang akan menggelembungkan ginjal (hidronefrosis) dan
pada akhirnya bisa terjadi kerusakan ginjal.
A. Anamnesis
Anamnesa harus dilakukan secara menyeluruh. Keluhan nyeri harus dikejar mengenai onset
kejadian, karakteristik nyeri, penyebaran nyeri, aktivitas yang dapat membuat bertambahnya
nyeri ataupun berkurangnya nyeri, riwayat muntah, gross hematuria, dan riwayat nyeri yang
sama sebelumnya. Penderita dengan riwayat batu sebelumnya sering mempunyai tipe nyeri yang
sama.(5)
B. Pemeriksaan Fisik
Penderita dengan keluhan nyeri kolik hebat, dapat disertai takikardi, berkeringat, dan
nausea.
Masa pada abdomen dapat dipalpasi pada penderita dengan obstruksi berat atau dengan
hidronefrosis.
Bisa didapatkan nyeri ketok pada daerah kostovertebra, tanda gagal ginjal dan retensi
urin.
Demam, hipertensi, dan vasodilatasi kutaneus dapat ditemukan pada pasien dengan
urosepsis.(5,3)
C. Pemeriksaan penunjang
- Radiologi
Secara radiologi, batu dapat radiopak atau radiolusen. Sifat radiopak ini berbeda untuk
berbagai jenis batu sehingga dari sifat ini dapat diduga batu dari jenis apa yang ditemukan.
Radiolusen umumnya adalah jenis batu asam urat murni.
Pada yang radiopak pemeriksaan dengan foto polos sudah cukup untuk menduga adanya batu
ginjal bila diambil foto dua arah. Pada keadaan tertentu terkadang batu terletak di depan
bayangan tulang, sehingga dapat luput dari penglihatan. Oleh karena itu foto polos sering perlu
ditambah foto pielografi intravena (PIV/IVP). Pada batu radiolusen, foto dengan bantuan kontras
akan menyebabkan defek pengisian (filling defect) di tempat batu berada. Yang menyulitkan
adalah bila ginjal yang mengandung batu tidak berfungsi lagi sehingga kontras ini tidak muncul.
Dalam hal ini perludilakukan pielografi retrograd. (1)
Ultrasonografi (USG) dilakukan bila pasien tidak mungkin menjalani pemeriksaan IVP, yaitu
pada keadaan-keadaan; alergi terhadap bahan kontras, faal ginjal yang menurun dan pada wanita
yang sedang hamil (3). Pemeriksaan USG dapat untuk melihat semua jenis batu, selain itu dapat
ditentukan ruang/ lumen saluran kemih. Pemeriksaan ini juga dipakai unutk menentukan batu
selama tindakan pembedahan untuk mencegah tertinggalnya batu (1).
- Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium diperlukan untuk mencari kelainan kemih yang dapat menunjang
adanya batu di saluran kemih, menentukan fungsi ginjal, dan menentukan penyebab batu.(1)
PENATALAKSANAAN
1. Terapi medis dan simtomatik
Terapi medis berusaha untuk mengeluarkan batu atau melarutkan batu. Terapi simtomatik
berusaha untuk menghilangkan nyeri. Selain itu dapat diberikan minum yang berlebihan/ banyak
dan pemberian diuretik.
2. Litotripsi
Pada batu ginjal, litotripsi dilakukan dengan bantuan nefroskopi perkutan untuk membawa
tranduser melalui sonde kebatu yang ada di ginjal. Cara ini disebut nefrolitotripsi. Salah satu
alternatif tindakan yang paling sering dilakukan adalah ESWL. ESWL (Extracorporeal Shock
Wave Lithotripsy) yang adalah tindakan memecahkan batu ginjal dari luar tubuh dengan
menggunakan gelombang kejut.
3. Tindakan bedah
Tindakan bedah dilakukan jika tidak tersedia alat litotripsor, alat gelombang kejut, atau bila
cara non-bedah tidak berhasil.(1)
BAB III
ANALISIS KASUS
Pada pemeriksaan fisik didapatkan pasien tampak sakit sedang dan gelisah akibat
keadaan hipoksia. Sehingga akan mengkompensasi dengan peningkatan respiration rate
yaitu 54 kali dan ventilasi dengan sifat respirasi cepat dalam, atau dikenal dengan
pernapasan kussmaul, sesuai dengan kondisi asidosis metabolik. Pada fase ini pasien
belum mengalami keadaan syok namun masih dalam keadaan terkompensasi karena nilai
MAP dan blood pressure masih tinggi. Keadaan tekanan darah tinggi, dalam hal ini
160/80 mmHg atau hipertensi stage II belum perlu dikoreksi karena ini merupakan
respons reaktif tubuh dalam keadaan akut. Meskipun begitu, pasien harus segera
ditangani keadaan yang memperburuk keadaan hiperkalemianya memperburuk kondisi
jantung dan mengancam ke arah kondisi syok. Suhu tubuh pasien naik sedikit yaitu 37,4 0
C disertai leukositosis, keadaan ini dapat mencerminkan infeksi atau keadaan reaktif,
maka diberikan ceftriaxon 1x 2gr.
Sesak napas yang dapat terjadi pada masalah sistem metabolik, respirasi, atau
kardiovaskular. Pada pasien ini terdapat masalah pada ketiga sistem ini. Pertama masalah
pada sistem metabolik dan hemodinamik akibat gagal ginjal et causa obstruksi batu
bilateral dan cholilithiasis. Pemberian bicarbonat diberikan untuk menanggulangi pH
darah. Gangguan pada epitel tubulus ginjal akibat obstruksi ini dapat mengakibatkan
pengeluaran komponen vasoaktif yang dapat mengakibatkan peningkatan resistensi
pembuluh darah kortek, sehingga menurunkan laju darah yang melalui ginjal dan
penurunan laju glomerulus. Keadaan akut pada ginjal ini ditandai dengan keluhan sesak
napas ± 3 jam SMRS. Tiga hari SMRS pasien mengeluhkan BAK yang sering dan
sedikit, ada rasa tidak puas saat BAK. BAK disertai dengan pasir berwarna keputihan,
kemudian menjadi berdarah. Pasien juga mengeluhkan nyeri pada pinggang bagian
belakang. Selain itu pasien juga mengeluhkan mual dan muntah setiap kali pasien makan
muncul akibat mekanisme kompensasi. Dari pemeriksaan fisik pasien dirasakan dengan
sakit pinggang, dan pada pemeriksaan nyeri ketok CVA postif. Pada keadaan ini berlanjut
dapat mengakibatkan syok distributif akibat penurunan tahanan perifer. Oedem (+), akral
hangat, sianosis akral (-) menandakan kondisi perfusi perifer pasien masih baik. Dari
pemeriksaan ureum darah didapatkan 366 mg/dl dan kreatinin darah 16,6 mg/dl
merupakan indikasi untuk hemodialisa.
Keadaan hiperkalemia pada pasien terjadi karena kegagalan ginjal mengeluarkan
kalium. Untuk itu pasien diberi insulin untuk mengkoreki hiperkalemia dengan cara
menarik kalium kedalam intrasel. Glukosa juga perlu diberikan untuk menggerakkan K+
bersama glukosa ke dalam sel masuk dalam proses glikolisis. Keadaan Hiponatremia dan
hipoklorida disertai penurunan hemoglobin dikoreki dengan loading cairan kristaloid,
dalam hal ini ringer laktat.
DAFTAR PUSTAKA
1. Andreoli SP, 1999. Management of Acute Renal Failure. In Barratt TM, Avner ED,
Harmon WE. 4th ED. Baltimor, Maryland USA : Lippincott William & Wilkins; 1119-1133.\
2. Alatas H, 2002. Gagal ginjal akut. In Alatas H, Tambunan T, Trihono PP, Pardede SO.
Buku Ajar Nefrologi Anak. 2nd .Ed. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia;
490-508.
3. Fitzpatrick MM, Kerr SJ, Bradbury MG, 2003. Acute renal failure. In : Postlethwaite R,
Webb N. Clinical Paediatric Nephrology. 3rd Ed. New York : Oxford University Press; 405-
425.
4. Gauthir B, Edelmann JR, CM, Barnett HL, 1982. Management of Acute Renal Failure. In
: Ganthier B, et al eds. Nephrology and Urology for the Pediatrician. 1st ed. Boston; Little,
Brown and Company, 251-261.
5. Perhimpunan nefrologi Indonesia 2001. Konsensus manajemen anemia pada pasien
Gagal Ginjal Kronik. Jakarta; PERNEFRI, 15-17.
6. Yap HK, 1989. Acute renal failure. In : Yip WCL, Tay JSH eds. A Practical Manual on
Acute Paediatrics. 1st. Ed. Singapore : PG Publishing ; 273-288.
7. Sjamsuhidrajat R, 1 W. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi ke-2. Jakarta : Penerbit Buku
Kedokteran – EGC. 2004. 756-763.
8. Purnomo BB. Dasar-Dasar Urologi. Edisi Ke-2. Jakarta : Perpustakaan Nasional
republik Indonesia. 2003. 62-65.
9. Tanagho EA, McAninch JW. Smith’s General Urology. Edisi ke-16. New York : Lange
Medical Book. 2004. 256-283.