referat bedah

Embed Size (px)

Citation preview

Referat/Blast Injury/ 1

BAB I PENDAHULUAN1.1 Latar Belakang Blast injury atau trauma ledakan yang menimpa tubuh manusia bukan merupakan hal yang baru, namun jarang ditemukan pada rumah sakit sipil. 1 Dalam beberapa dekade terakhir, kasus ledakan bom di masyarakat sipil terus meningkat. Hal ini terutama disebabkan oleh aksi teroris.1,2,3 Dari 1969 sampai 1983, di seluruh dunia terdapat 220 pemboman oleh aksi teroris yang menewaskan 463 orang dan melukai 2894 orang. Dalam dekade berikutnya, di Amerika Serikat (AS) saja terdapat 11.178 pemboman yang mengakibatkan 256 orang meninggal, 3.215 cedera, dan kerugian jutaan dolar. Peningkatan ini sekitar 400% jika dibandingkan antara 1984 dengan 19942. Diperkirakan, terdapat 3000 kasus bom di AS setiap tahunnya.4 Pemboman terbesar di AS adalah pemboman Gedung Federal di Oklahoma City, pada 19 April 1995. Bom yang diletakkan di dalam mobil menyebabkan runtuhnya sebagian gedung berlantai sembilan tersebut. Terdapat 759 orang korban, 167 orang (22%) meninggal, 509 orang (67%) menderita cedera ringan, dan 83 korban (11%) dirawat di rumah sakit. Pada korban yang selamat, cedera jaringan lunak berupa laserasi, abrasi, kontusio, dan puncture wound merupakan jenis cedera terbanyak, diikuti cedera muskuloskeletal dan cedera kepala. Cedera jaringan lunak paling banyak diderita pada ekstremitas, kepala dan leher, wajah, serta dada.2 Indonesia mencatat berbagai ledakan bom di luar perang di Timor Timur, Aceh, maupun kerusuhan yang bersifat suku, agama, ras, dan antar golongan (SARA) di berbagai daerah. Pada Maret 1990, terjadi ledakan granat di Cakung, Jakarta Utara, karena pertikaian dua kelompok pekerja. Ledakan yang terjadi di tempat terbuka tersebut mengakibatkan 9 orang korban: 6 orang meninggal di tempat, 1 orang meninggal di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) setelah 14 jam perawatan, dan 2 orang dirawat. Hasil otopsi terhadap semua korban yang meninggal ditemukan cedera pada toraks, abdomen, otak, dan vertebra. Kerusakan organ toraks berupa sobekan paru dan jantung ditemukan pada 4 korban. Perdarahan parenkim paru yang disertai sobekan paru ditemukan pada 2 korban. Cedera pada abdomen yang ditemukan adalah perforasi usus multipel, hematoma usus, ruptur hepar, dan limpa. Sedangkan cedera pada otak berupa sobekan otak, fraktur tulang temporal kominutif, dan kontusio jaringan otak. Fraktur kominutif korpus vertebra servikal ditemukan pada satu orang. Satu pasien meninggal setelah perawatan selama 14 jam akibat kontusio otak dan padaKepaniteraan Klinik Ilmu Bedah /Dewi Rochmah - Verna/Periode 31 Mei 06 Agustus 2010

Referat/Blast Injury/ 2

otopsi ditemukan fraktur tulang temporal serta laserasi otak. Pada dua korban yang dirawat, ditemukan adanya perdarahan intraperitoneal, hematoma mesenterium dan usus, serta sobekan seromuskular ileum dan nekrosis colon ascendens. Pada semua hasil otopsi didapatkan pecahan granat baik di otak, rongga toraks maupun rongga abdomen. Korban kedua yang dirawat baru menunjukkan tanda-tanda peritonitis setelah 22 jam perawatan. Pada laparotomi, didapatkan perforasi jejunum, laserasi serosa jejunum, hematoma omentum dan kurvatura major gaster, serta perforasi gaster dan pecahan granat serta kayu.5 Terdapat tendensi peningkatan ancaman bom dan kejadian ledakan bom di Indonesia. Pada 1998 terdapat ancaman bom sebanyak 73 kasus, ditemukan 6 bom, dan hanya satu kasus yang benar-benar meledak. Pada 1999 jumlah ancaman 88 kasus dan ledakan terjadi pada 4 kasus. Sedangkan pada 2000, sampai September tercatat 49 kasus ancaman bom, 8 di antaranya meledak. Dalam bulan Agustus 2000, terjadi 5 ledakan. Ledakan yang menimbulkan korban adalah ledakan yang terjadi di depan rumah duta besar Filipina pada 1 Agustus 2000.6 Pemboman rumah duta besar Filipina yang terjadi pada 1 Agustus 2000 menelan korban 22 orang, 1 orang di antaranya meninggal di tempat. Mayoritas korban (20 orang) menderita cedera jaringan lunak dan muskuloskeletal dengan RTS (revised trauma score) 7,84087 (Lampiran 1). Satu korban dengan RTS 4,007 (kontusio paru, syok hemoragik derajat III, cedera kepala berat/CKB, dan luka bakar 33%) meninggal dunia setelah resusitasi hampir 2 jam. Kecacatan akibat amputasi traumatik jari-jari tangan kiri didapatkan pada 1 korban.7 Kasus pemboman terakhir yang menelan korban jiwa terjadi di pelataran parkir bawah tanah gedung Bursa Efek Jakarta pada 13 September 2000. Ledakan berkekuatan 5 kg trinitrotoluen (TNT) tersebut mengakibatkan 10 orang meninggal dan 26 lainnya luka-luka. Pada kasus ini, tidak ada satupun korban yang diotopsi karena keluarga menolak tindakan tersebut.8 Peningkatan kejadian ledakan bom di Indonesia ini memerlukan perhatian khusus, terutama dari sisi medis dalam menangani korban ledakan yang umumnya bersifat masal dan dengan cedera multipel. Cedera yang diakibatkan trauma ledakan bersifat kompleks dan mempunyai patofisiologi tersendiri. Pemahaman mengenai mekanisme cedera akibat trauma ledakan diperlukan dalam penanganan pasien-pasien tersebut.1,3

Kepaniteraan Klinik Ilmu Bedah /Dewi Rochmah - Verna/Periode 31 Mei 06 Agustus 2010

Referat/Blast Injury/ 3

Berdasarkan peningkatan kasus Blast Injury dewasa ini dan pentingnya penanganan yang tepat pada korban blast injury maka tim penulis akan membahas mengenai definisi, klasifikasi, patofisologi, gejala klinis, pemeriksaan penunjang dan penatalaksanaan kasus trauma ledakan dalam referat yang diberi judul Blast Injury. 1.2 Tujuan Penulisan Untuk mengetahui definisi, klasifikasi, patofisiologi, gejala klinis, pemeriksaan penunjang dan penatalaksanaan kasus Blast Injury sesuai dengan derajat dan organ yang terkena kasus ledakan Sebagai prasyarat untuk mengikuti ujian kepaniteraan klinik ilmu Bedah di RSPAD

Kepaniteraan Klinik Ilmu Bedah /Dewi Rochmah - Verna/Periode 31 Mei 06 Agustus 2010

Referat/Blast Injury/ 4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Definisi Ledakan memiliki kemampuan yang menyebabkan multisistem, cedera yang mengancam hidup dalam satu atau beberapa korban secara bersamaan. Jenis kegiatan triase kompleks ini, diagnostik, dan tantangan manajemen untuk penyedia layanan kesehatan. Ledakan dapat menghasilkan pola cedera klasik dari tumpul dan penetrasi mekanisme untuk beberapa sistem organ, namun mereka juga dapat mengakibatkan cedera pola yang unik untuk organ tertentu termasuk paru-paru dan sistem saraf pusat. Memahami perbedaanperbedaan penting adalah penting untuk mengelola situasi ini. Tingkat dan pola cedera yang dihasilkan oleh ledakan adalah akibat langsung dari beberapa faktor, termasuk jumlah dan komposisi bahan peledak (misalnya, keberadaan pecahan peluru atau material lepas yang dapat mendorong, radiologi atau kontaminasi biologi), lingkungan sekitarnya (misalnya, adanya campur tangan pelindung), jarak antara korban dan ledakan, metode pengiriman jika bom yang terlibat, dan setiap bahaya lingkungan lainnya. Tidak ada dua peristiwa yang identik, dan spektrum dan tingkat cedera yang dihasilkan sangat bervariasi. Blast (shock) gelombang merupakan tekanan yang ditransmisikan radial dari sumber ke medium sekitarnya. Terdiri dari 3 komponen: fase positif, fase negatif dan blast wind atau mengikuti pergerakan angin. Karakteristik bahan peledak konvensional adalah variasi dalam tekanan ambien dari waktu ke waktu. Selama fase positif, gelombang menyebabkan peningkatan pesat dalam tekanan udara ambien (overpressure). Efek biologi ledakan konvensional tergantung terutama pada: peak overpressure dan durasi fase positif. Sedangkan blast berupa gelombang menyebabkan cedera akibat pembebanan eksternal yang sangat pesat dalam tubuh dan organ yang dapat menyebabkan cedera internal di udara yang mengandung organ eksternal tanpa tanda-tanda trauma seperti pada telinga bagian dalam, paru paru dan sistem gastrointestinal. II.2 Mekanisme Blast Injury(trauma ledakan) Bahan peledak dikategorikan sebagai bahan peledak high-order (HE) atau bahan peledak low-order (LE). HE menghasilkan gelombang kejut supersonik menentukan overKepaniteraan Klinik Ilmu Bedah /Dewi Rochmah - Verna/Periode 31 Mei 06 Agustus 2010

Referat/Blast Injury/ 5

tekanan. Contoh HE meliputi TNT, C-4, Semtex, nitrogliserin, dinamit, dan ammonium nitrat bahan bakar minyak (ANFO). LE membuat ledakan subsonik dan kurangnya HE's gelombang selama-tekanan. Contoh LE termasuk bom pipa, mesiu, dan bom minyak bumi berbasis paling murni seperti bom molotov atau pesawat improvisasi sebagai peluru kendali. LE dan HE menyebabkan cedera pola yang berbeda. Peledak dan pembakar (api) bom lebih lanjut ditandai berdasarkan sumber mereka. "Diproduksi" berarti standar militer dikeluarkan, massa yang dihasilkan, dan kualitas senjata-diuji. "Diimprovisasi" menggambarkan senjata yang diproduksi dalam jumlah kecil, atau penggunaan perangkat di luar tujuan yang dimaksudkan, seperti pesawat komersial mengkonversi ke dalam peluru kendali. Diproduksi (militer) senjata ledakan HE berbasis secara eksklusif. Teroris akan menggunakan apa saja yang tersedia - yang diperoleh secara ilegal senjata diproduksi atau alat peledak improvisasi (juga dikenal sebagai "IEDs") yang mungkin terdiri dari HE, LE, atau keduanya. Diproduksi dan improvisasi bom menyebabkan cedera yang sangat berbeda. Kecelakaan dari blast injury (luka ledakan) melibatkan korban yang menderita cedera jaringan lunak. Prinsip mekanisme kecelakaan melibatkan energi kinetik yang besar dalam waktu singkat berupa : a. High Order Explosives Merupakan ledakan yang besar akibat reaksi bahan kimia. Bahan kimia yang dimaksud adalah nitroglyserin, dinamit, C-4, campuran Amonium Nitrat & bahan bakar minyak. Untuk detonasi, digunakan bahan kimia yang dirubah menjadi bentuk gas dengan tekanan & temperature yang tinggi. Contohnya ledakan yang dihasilkan oleh C-4 yang dapat menghasilkan gelombang yang luas. Naiknya tekanan atau gelombang ledakan disebut Overpressure. Gelombang tekanan meningkat dengan segera & cepat. Jumlah kerusakan dari gelombang tekanan ini tergantung : (19) Tekanan puncak yang dihasilkan (Overpressure 60-80 Potensial Lethal) Durasi Medium tempat terjadinya ledakan (udara, air) Jarak dari tempat ledakan

b. Low Order Explosives Merupakan ledakan yang dihasilkan oleh tekanan dan energi yang rendah yang menyebabkan luka bakar. Ledakan ini disebut Propellants sebab digerakkan oleh objek yang menyerupai peluru yang meluncur dengan cepat. Ledakan yang rendah dihasilkan dari bubuk mesiu dan molotov. (19)Kepaniteraan Klinik Ilmu Bedah /Dewi Rochmah - Verna/Periode 31 Mei 06 Agustus 2010

Referat/Blast Injury/ 6

II.3 Klasifikasi Empat mekanisme dasar cedera ledakan ini disebut sebagai primer, sekunder, tersier, dan kuaterner. "Blast Wave" (primer) mengacu pada impuls-tekanan intens dibuat oleh diledakkan HE. Blast injury yang ditandai dengan perubahan anatomis dan fisiologis dari angkatan atas-tekanan secara langsung atau reflektif mempengaruhi permukaan tubuh. " Ledakan gelombang HE " (komponen overpressure) harus dibedakan dari "angin ledakan" (aliran udara paksa super-dipanaskan). a. Trauma Ledakan Primer Cedera ledakan secara langsung disebabkan oleh barotrauma yang biasanya terjadi karena udara memasuki organ-organ, sehingga mengalami kerusakan oleh tekanan dinamik di jaringan, tetapi tergantung dari lokasi ledakan. Ruptur dari membran timpani, kerusakan paru dan emboli udara, dan ruptur organ dalam adalah penyebab primer dari blast injury (luka ledakan). Membran timpani adalah struktur yang memiliki tehanan yang paling rendah terhadap tekanan dari ledakan. Gendang telinga dapat menahan efek dari ledakan. Peningkatan tekanan 5 Psi di atas tekanan atmosfer dapat menyebabkan rupturnya gendang telinga, yang bermanifestasi pada ketulian, tinnitus dan vertigo. Apabila tekanan dinamik tinggi, maka ossikula dari telinga tengah dapat terlepas. Gangguan karena trauma dapat menyebabkan tuli permanen. Ruptur membran timpani adalah komplikasi dari blast injury (luka ledakan). Beberapa pasien mengalami kerusakan paru tetapi membran timpaninya tidak ruptur. Pada Primary Injury terjadi perforasi gendang telinga. Organ lain yang mengalami kelainan setelah kecelakaan ledakan adalah mata & luka bakar pada tubuh. (19) Paru adalah organ kedua yang mudah mengalami cedera akibat Primer Blast Injury, akibat perbedaan tekanan antara alveolar-capillary disebabkan oleh Hemothorax, Pneumothorax, Pneumomediastinum, & Subcutaneus emphysema. Perhatian ini timbul dari tekanan yang bersumber dari gelombang ledakan. Oleh karena itu tidak mengherankan bila ditemukan pembesaran jantung atau emboli udara pada pasien yang menderita Primary Blast Injury yang sering menyebabkan kematian. Cedera pada paru setelah ledakan digambarkan sebagai kombinasi gejala paru yang disebabkan oleh paparan gelombang yang dihasilkan oleh ledakan. Biasanya cedera ledakan pada paru terjadi kira-kira 1-10%. Cedera pada paru setelah terjadi ledakan dapat digambarkan sebagai Acute Respiratory Distress dengan gejala sesak, bradikardi, hipotensi. Pasien kemungkinan menderita hipoxemia, hemoptysis, &

Kepaniteraan Klinik Ilmu Bedah /Dewi Rochmah - Verna/Periode 31 Mei 06 Agustus 2010

Referat/Blast Injury/ 7

dapat diintubasi endotracheal. Cedera pada paru setelah ledakan dapat di identifikasi dengan foto thorax di rumah sakit terdekat. Colon adalah organ viscera yang sering terkena akibat Primary Blast Injury berupa ruptur colon yang disebabkan oleh Ischemik Mesenterik. Selain itu Primary Blast Injury juga dapat menyebabkan perdarahan dari hati, lien, ginjal, selain itu dapat menyebabkan ruptur bola mata, & serous retinitis. (19) b. Trauma Ledakan Sekunder Banyaknya ledakan yang berisi metalik atau fragmen lainnya yang dapat menyebabkan luka penetrasi yang berakibat timbulnya kematian.(19,20)Suatu ledakan dapat menghamburkan bermacam-macam benda di sekitarnya (paku, logam, kaca, kayu, dll) disebabkan oleh tekanan yang dihasilkan oleh angin & mengenai korban. Rata-rata debu & kotoran yang berasal dari tanah atau lumpur dapat meninggalkan karakteristik yang sama berupa warna kehitam-hitaman pada kulit. c. Trauma Ledakan Tersier Trauma ledakan tersier merupakan hasil dari displasement pada pasien oleh angin ledakan. Kadang pasien sampai terlempar hingga ke tanah, sehingga dapat terjadi Abrasi, Kontusi & cedera tumpul. Biasanya pasien terlempar ke udara. Trauma ledakan tersier terjadi pada tahun 1995 di kota Oklahoma yang mendapat serangan Bom, dimana 135 orang dilaporkan terlempar akibat tekanan yang berasal dari ledakan & mengenai objek di sekitarnya.Ledakan yang menimbulkan kolaps dari dinding pembuluh darah yang bisa menyebabkan kematian akibat trauma yang luas. Crush syndrome dapat menyebabkan colaps karena kerusakan jaringan otot & pelepasan myoglobin, potassium, & phosphate. Selain itu Crush Syndrom dapat menyebabkan gagal ginjal karena retensi potassium yang berlebih dapat menyebabkan kerusakan otot. Oleh karena itu di butuhkan pengobatan yang tepat dengan melakukan hidrolisis & Alkalization. (19,20) Sindrom kompartemen dapat terjadi karena penyakit dekompresi disertai dengan gejala pembengkakan otot, Ischemia, penurunan perfusi jaringan. Kompartemen syndrome dapat menyebabkan kematian jaringan. Kompartemen syndrome biasanya terjadi pada extremitas. (19,20)Tertiary blast Injury juga terjadi pada orang yang mengalami luka karena ledakan yang mengakibatkan fraktur, cedera otot terbuka atau tertutup. (19,20) d. Trauma Ledakan kuarterner Disebut juga Miscellaneous Injuries yang disebabkan oleh kecelakaan akibat ledakan atau karena penyakit. Quarternar Blast Injuries meliputi komplikasi dari kondisi yang ditemukan.Kepaniteraan Klinik Ilmu Bedah /Dewi Rochmah - Verna/Periode 31 Mei 06 Agustus 2010

Referat/Blast Injury/ 8

Contohnya dapat terjadi pada wanita hamil atau pada pasien yang mengkomsumsi anticoagulant. Quarternary Injuries meliputi luka bakar (kimia), keracunan, radiasi, Asfiksia ( berupa CO atau Cyanida, Asbes ). Quarternar Blast Injuries bisa juga disebabkan oleh bom. Trauma ledakan Quarterner disebabkan dari bermacam-macam dampak dari ledakan, termasuk luka bakar kimia, debu yang mengandung racun & terhirup, paparan radiasi, terkena reruntuhan gedung. Fase ini dapat terjadi dalam periode yang panjang, contohnya Post Traumatic Stress Disorder (PTSD). Luka bakar kimia atau terhirupnya debu yang mengandung racun dapat berasal dari racun yang dikandung oleh bahan-bahan ledakan atau dari material-material setelah terjadi ledakan.(19,20) Tabel 1. Mekanisme Cedera ledakan Kategori Primary Karakteristik Bagian Tubuh Terkena paruJenis Cedera lung (pulmonary

Unik untuk HE, hasil dari Struktur diisi gas Blast dampak gelombang terutama selama tekanan dengan paru, permukaan tubuh. telinga tengah.

barotrauma) merusak telinga bagian tengah Abdomen perdarahan dan

saluran Membran timpani pecah dan bagian perforasi - Globe (mata) pecahKonkusi (TBI tanpa tanda-tanda fisik dari cedera kepala)

pencernaan, dan

Secondary Hasil dari terbang puing- Setiap puing dan pecahan bom. tubuh mungkin

bagian Menembus yang akan (fragmentasi) tumpul atau

balistik cedera

terpengaruh.

penetrasi mata (bisa terjadi)

Tertiary

Hasil dari individu yang Setiap dilemparkan oleh angin tubuh ledakan. mungkin

bagian Fraktur dan trauma amputasi yang akan Cedera terbuka (flash, parsial, dan bagian Burns otak tertutup dan

terpengaruh. Quaternary Semua ledakan yang Setiap

Kepaniteraan Klinik Ilmu Bedah /Dewi Rochmah - Verna/Periode 31 Mei 06 Agustus 2010

Referat/Blast Injury/ 9

berhubungan cedera, penyakit primer, tersier Termasuk atau bukan

dengan tubuh atau mungkin karena terpengaruh. atau

yang

ketebalan penuh) cedera terbuka Asma, PPOK, atau masalah pernapasan lainnya dari debu, asap, atau asap beracun Angina Hiperglikemia,hipertensi

penyakit, sekunder,

akan Crush otak tertutup dan

mekanisme. eksaserbasi dari komplikasi

kondisi yang ada.

II.4 Gejala klinis Tabel 2. Gejala Klinis Pada Cedera Ledakan

Sistem Auditori Mata, Orbita, Wajah Pernafasan tubuh

Cedera atau Kondisi Membran timpani pecah, gangguan ossicular, kerusakan koklea, asing Berlubang dunia, benda asing, emboli udara, patah tulang Ledakan paru-paru, hemothorax, pneumotoraks, luka memar paru dan perdarahan, fistula AV (sumber emboli udara), kerusakan epitel saluran napas, aspirasi pneumonitis, sepsis

Pencernaan Peredaran darah

Perforasi usus, perdarahan, pecah hati atau limpa, sepsis, iskemia mesenterika dari emboli udara Jantung memar, infark miokard dari emboli udara, shock, hipotensi vasovagal, cedera pembuluh darah perifer, emboli udara yang disebabkan cedera

Cedera SSP Cedera ginjal

Gegar otak, cedera otak terbuka dan tertutup, stroke, cedera tulang belakang, emboli udara yang disebabkan cedera Ginjal memar, luka, gagal ginjal akut karena rhabdomyolysis, hipotensi, dan hipovolemia

Kepaniteraan Klinik Ilmu Bedah /Dewi Rochmah - Verna/Periode 31 Mei 06 Agustus 2010

R e f e r a t / B l a s t I n j u r y / 10

Cedera ekstremitas

Trauma amputasi, patah tulang, luka menghancurkan, sindrom kompartemen, luka bakar, luka, lecet, oklusi arteri akut, emboli udara yang disebabkan cedera

Cedera pada paru merupakan penyebab morbiditas dan mortalitas terbesar akibat ledakan bom1,,10,11,15. Beberapa peneliti menyebutkan bahwa kematian segera paling banyak disebabkan oleh perdarahan pulmonal yang disertai dengan sufokasi. Emboli udara masif juga merupakan penyebab kematian segera1. Besar tekanan yang dapat mengakibatkan cedera primer paru lebih dari 40 psi1. Kompresi dinding dada yang terjadi berpengaruh terhadap keparahan cedera11,19,20,22. Tenaga yang mengenai rongga toraks dan penggunaan rompi pelindung juga mempengaruhi cedera yang terjadi23. Di dalam rongga toraks, gelombang tekanan akan mengalami refleksi dan peningkatan besar tekanan. Ini mengakibatkan adanya konsentrasi tekanan yang besar pada beberapa tempat, terutama yang dekat dengan organ padat seperti mediastinum dan hepar, sehingga cedera pada daerah ini lebih parah13,23,24. Istilah blast lung digunakan untuk menggambarkan cedera ledakan primer pada paru berupa kontusio paru dan insufisiensi pernapasan, yang disertai atau tanpa disertai tanda-tanda barotrauma pulmonal,11,14,23. Pada cedera paru-paru primer, terjadi mikrohemoragik pada alveoli, disrupsi perivaskular dan peribronkial, serta dinding alveolus sobek yang mengakibatkan paru-paru penuh darah dan emfisematosa1,13,27. Barotrauma dapat mengakibatkan sobeknya septa-septa alveolus27. Sobekan ini mengakibatkan hubungan antara rongga pleura dengan udara luar, yang pada akhirnya mengakibatkan pneumotoraks10. Ini ditemukan pada pasien kedua. Selain terjadi kontusio paru, juga terjadi hematopneumotoraks, yang dapat disebabkan oleh cedera primer maupun oleh cedera sekunder akibat fragmen besi yang masuk melalui sela iga II anterior sampai mencapai sela iga VI posterior. Gejala-gejala yang ditemukan, selain adanya hemoptisis, ronki, dan sesak napas, juga ditemukan dinding dada yang tidak simetris pada keadaan statis dan dinamis serta penurunan suara napas pada sisi kanan. Adanya kontusio paru dibuktikan dengan hasil pemeriksaan patologi anatomi yang menunjukkan adanya perdarahan dalam alveolus yang mencapai bronkiolus terminal. Pada cedera primer paru, terjadi edema di mana alveolus terisi eosinofil. Edema ini dapat membentuk membran hialin pada dinding-dinding saluran napas kecil3,11,13. Membran hialin yang terbentuk ini berperan dalam proses pembentukan sikatriks. Dalam penelitian yang dilakukan di Swedia, atelektasis dijumpai pada seluruh subjek penelitian24. Atelektasis ini terjadi karena pada cedera paru primer terjadiKepaniteraan Klinik Ilmu Bedah /Dewi Rochmah - Verna/Periode 31 Mei 06 Agustus 2010

R e f e r a t / B l a s t I n j u r y / 11

peningkatan produksi mukus, penurunan kemampuan evakuasi mukus, serta penurunan produksi surfaktan. Ketiga faktor tersebut mengakibatkan kolapsnya alveolus13,20,21. Akibat lain yang ditakutkan pada trauma ledakan adalah adanya emboli udara. Emboli udara hanya terjadi pada pasien dengan kontusio paru dan mengakibatkan kematian dalam jam pertama,11,13. Emboli terjadi akibat adanya fistula bronkovaskular yang dapat merupakan akibat langsung trauma ledakan maupun sebagai komplikasi penatalaksanaan gagal napas3. Adanya emboli udara tidak dapat disingkirkan pada pasien pertama. Pasien kedua jelas tidak menderita kelainan ini karena tidak ada gejala maupun tanda adanya emboli. Gejala dan tanda memberikan gambaran infark miokard, kebutaan, lidah yang pucat, dan livedo reticularis, yaitu bercak-bercak merah kebiruan pada ekstremitas, serta gangguan serebrovaskular berupa defisit neurologis fokal. Pada cedera ledakan yang ringan, fungsi respirasi dapat segera kembali normal dalam 24 jam. Sedangkan pada cedera lebih berat, fungsi ini mengalami penurunan 24 jam pasca trauma29. Efek jangka panjang cedera ledakan primer pada paruparu dapat berupa resolusi total atau fibrosis11,20. Foto toraks umumnya mengalami perbaikan dalam waktu satu minggu dan mengalami resolusi sempurna setelah lima bulan. Pemeriksaan fungsi paru-paru kembali normal dalam jangka waktu satu tahun pasca trauma30. Efek jangka panjang pada pasien kedua belum dapat ditentukan karena belum dilakukan pemeriksaan fungsi paru. Cedera pada gastrointestinal tidak selalu terjadi,11. Cedera pada sistem ini terjadi terutama pada kasus-kasus ledakan di dalam air atau dalam ruangan tertutup1,3,31,32. Hal ini terjadi karena traktus gastrointestinal mempunyai ambang yang lebih tinggi dibanding traktus respiratorius11. Mekanisme cedera yang terjadi sama dengan mekanisme cedera primer paruparu31. Pemakaian rompi pelindung melindungi usus halus dari cedera primer31. Cedera primer pada gastrointestinal ini penting secara klinis karena sulit dideteksi. Lesi pada usus sering tidak terdiagnosis sampai timbul komplikasi antara lain perforasi sekunder5,28. Cedera terutama mengenai caecum dan kolon karena volume udara lebih besar dan dindingnya lebih tipis1,11,18,31,34. Cedera primer pada gastrointestinal dibagi menjadi cedera primer dengan perforasi dan cedera primer tanpa perforasi. Cedera yang disertai dengan perforasi dibagi lagi menjadi perforasi primer dan sekunder. Perforasi primer terjadi sebagai akibat langsung gelombang tekanan, sedangkan perforasi sekunder terjadi dalam beberapa tahap perubahan morfologis dinding usus31,34. Perforasi primer terjadi pada cedera yang berat yang mengakibatkan laserasi usus dengan perdarahan per anum yang masif. Sedangkan bentuk kelainan yang lebih ringan dapat berupa edema dan kontusio usus1,3,11,31. Pada kontusioKepaniteraan Klinik Ilmu Bedah /Dewi Rochmah - Verna/Periode 31 Mei 06 Agustus 2010

R e f e r a t / B l a s t I n j u r y / 12

usus, terjadi perdarahan di bawah peritoneum viseral yang berlanjut ke mesenterium. Pada kontusio usus ini dapat terjadi perforasi yang dapat muncul 24--48 jam bahkan 5 hari pasca trauma1,9,34. Perforasi sekunder ini terjadi karena nekrosis akibat iskemi pada tempat hematom9,11,34. Perforasi sekunder ini terjadi mulai dari mukosa dan menyebar secara sentrifugal ke arah serosa31,34. Terdapat klasifikasi histologis cedera primer gastrointestinal (Tabel 2). Pada cedera ringan, kerusakan hanya meliputi mukosa. Cedera yang ringan dapat mengalami resolusi sempurna dalam 3 sampai 7 minggu pasca trauma31. Semakin berat cedera yang terjadi, semakin dalam lapisan yang mengalami kerusakan32. Cedera pada lapisan serosa secara pasti merupakan bukti adanya cedera yang berat. Cedera derajat IV dan V mempunyai risiko tinggi perforasi sekunder11,31,35. Umumnya, cedera organ padat abdomen disebabkan oleh cedera sekunder dan tersier dengan overpressure yang tinggi3,11,13,21. cedera ledakan primer menyebabkan sistem pendengaran morbiditas yang signifikan, namun mudah dilupakan. perforasi TM adalah cedera yang paling umum ke telinga bagian tengah. Tanda-tanda cedera telinga biasanya hadir pada saat evaluasi awal dan harus dicurigai bagi siapa pun penyajian dengan kehilangan pendengaran, tinnitus, otalgia, vertigo, perdarahan dari saluran eksternal, pecah TM, atau otorhea mukopurulen. Semua pasien terkena ledakan harus memiliki penilaian otologic dan Audiometri. Gelombang ledakan primer dapat menyebabkan gegar otak atau cedera otak ringan traumatis (MTBI) tanpa pukulan langsung ke kepala. Mempertimbangkan kedekatan korban untuk ledakan khususnya ketika diberikan keluhan sakit kepala, kelelahan, konsentrasi yang buruk, kelesuan, depresi, gelisah, insomnia, atau gejala konstitusional lainnya. Gejala gegar otak dan post traumatic stress disorder dapat serupa.

Tabel 3. Perjalanan klinis akibat cedera ledakan Gejala Konstitusional

Akut (0-2 Jam) Dyspnea Malaise Apati

Subakut (2-48 Jam)

Kronis (> 48 Jam)

Dyspnea Semakin memburuk

Demam atau Sakit Gangguan

Amnesia Pleuritic Chest Baru

Localized

Kepaniteraan Klinik Ilmu Bedah /Dewi Rochmah - Verna/Periode 31 Mei 06 Agustus 2010

R e f e r a t / B l a s t I n j u r y / 13

Pain

Dada Progresif non- Batuk Produktif

Pendengaran persisten

Batuk produktif

Emesis empedu Baru Mual Dorongan untuk buang air besar atau Sakit perut Progresif

Cardiac Chest Pain Sakit perut Hematochezia Hematemesis Sakit Telinga Gangguan Pendengaran

Tinnitus

Vertigo Jangar Balance Sakit mata Perubahan Visual Focal Numbness Parestesia Problems Saldo Masalah

Tabel 4. Pemeriksaan Fisik Pada Cedera Ledakan

Tanda Inspeksi

Akut (0-2 Jam) Menembus trauma Trauma amputasi Aktivitas kejang Kesulitan pernafasan Hemoptisis Pharyngeal petechiae

Subakut (2-48 Jam)

Kepaniteraan Klinik Ilmu Bedah /Dewi Rochmah - Verna/Periode 31 Mei 06 Agustus 2010

R e f e r a t / B l a s t I n j u r y / 14

Lidah blansing Tergantung pada macam Tidak memadai ekspansi

bintik-bintik dari kulit non

dinding dada

Lecet Nafas asimetrik Sounds Rales Wheezes Emfisema subkutan Abdominal Tenderness Spinal deformity or

Auskultasi

Nafas Baru asimetrik

Sounds

Palpation

Baru atau nyeri perut

progresif

Abdominal rigidity or

Tenderness Percussion Lain

rebound tenderness

Dada simetris Perkusi Status Diubah Mental Focal Neurologic Deficit Demam Delayed Shock

II.5 Pemeriksaan Penunjang Dalam menangani pasien dengan trauma ledakan, pemeriksaan penunjang yang perlu dilakukan adalah foto toraks untuk melihat tanda-tanda kontusio paru dan barotrauma. Gambaran khas pada cedera paru primer adalah gambaran bercak-bercak infiltrat. Kontusio awalnya terjadi pada daerah hilus. Pada keadaan yang lanjut, terjadi gambaran keputihan pada seluruh lapang paru seperti gambaran stadium akhir ARDS1,3. Foto toraks juga dapat menunjukkan adanya udara bebas di bawah diafragma, yang merupakan tanda ruptur organ pada sistem gastrointestinal. Pemeriksaan penunjang lain yang berguna adalah pemeriksaan darah perifer lengkap. Ini berguna untuk membantu dalam penentuan jumlah transfusi yang akan diberikan. Pemeriksaan kimia darah tidak berguna dalam menentukan ada tidaknya dan derajat beratnya cedera ledakan primer3.Kepaniteraan Klinik Ilmu Bedah /Dewi Rochmah - Verna/Periode 31 Mei 06 Agustus 2010

R e f e r a t / B l a s t I n j u r y / 15

Pemeriksaan cedera primer pada gastrointestinal meliputi pemeriksaan fisik, CT (Computed Tomography) scan abdomen, dan diagnostic peritoneal lavage (DPL)3,31. CT scan abdomen, walaupun mempunyai spesifisitas tinggi, sensitivitasnya rendah, terutama dalam mendeteksi adanya cedera gastrointestinal. Endoskopi berperan sangat penting dalam mendiagnosis cedera primer tanpa perforasi31,34. Yang perlu diingat adalah pemeriksaan radiologis dan bahkan pemeriksaan DPL sering tidak tepat jika dilakukan awal. Pemeriksaan fisik melalui follow-up yang cermat lebih efektif dalam mendiagnosis adanya perforasi sekunder31,32. Pasien dengan riwayat trauma ledakan primer yang signifikan sebaiknya dimonitor dengan baik selama 48 jam. Pada pasien dengan kesadaran menurun, masalah lebih rumit karena tidak dapat dilakukan pemeriksaan fisik dengan baik. Jika terdapat kecurigaan adanya perforasi sekunder, eksplorasi abdomen dapat dilakukan 48 jam pasca trauma walaupun abdominal tap inisial negatif32. Penanganan cedera ledakan pada traktus gastrointestinal sama seperti penatalaksanaan trauma tumpul abdomen lainnya. Namun, ada beberapa hal yang harus diperhatikan, yaitu: o Korban dengan keluhan abdomen, namun pemeriksaan CT scan dan DPL negatif harus dimonitor secara ketat, mengingat sering terjadi peritonitis dan abses intraabdomen beberapa hari, bahkan beberapa minggu setelah ledakan3,5. o Jika akan dilakukan CT scan, maka pemeriksaan tersebut harus dilakukan terlebih dahulu sebelum melakukan DPL. DPL akan meninggalkan udara dan cairan dalam rongga intraperitoneum3. o Foto toraks harus dilakukan sebelum laparotomi atau pembedahan lainnya untuk mencari tanda-tanda barotrauma. Pasien dengan cedera ledakan primer pada paru-paru mempunyai risiko yang lebih tinggi pada anestesi umum. Hal ini berhubungan dengan penggunaan ventilasi mekanik selama dan pasca operasi17. Risiko perburukan barotrauma dan emboli udara dapat dikurangi dengan mempertahankan tekanan seminimal mungkin atau menggunakan anestesi lokal atau regional. Jika ditemukan tanda-tanda barotrauma pada foto toraks pre-operatif maka tube torakostomi bilateral harus dipasang3. o Mengingat risiko anestesi yang besar pada pasien trauma ledakan maka laparotomi hanya dilakukan pada pasien dengan tanda-tanda cedera gastrointestinal yang jelas, baik secara klinis maupun radiologis8. II.6 PenatalaksanaanKepaniteraan Klinik Ilmu Bedah /Dewi Rochmah - Verna/Periode 31 Mei 06 Agustus 2010

R e f e r a t / B l a s t I n j u r y / 16

Penatalaksanaan pasien dengan trauma ledakan sebaiknya dilakukan berdasarkan standar Advance Trauma Life Support (ATLS) dan penanganan korban masal3. Dalam menilai penatalaksanaan pasien dalam ilustrasi kasus ini, sebaiknya ditinjau dari penanganan disaster pra-rumah sakit dan di rumah sakit1. Dari pengalaman-pengalaman sebelumnya, diketahui bahwa penanganan di lapangan yang tidak terorganisasi mengakibatkan tingginya kematian, sedangkan penanganan yang terorganisasi dengan baik akan menurunkan mortalitas46,47. Koordinasi yang baik antara petugas medis dan polisi di lapangan sangat diperlukan46. Pada saat pra-rumah sakit, sebaiknya pasien berbaring dengan bertumpu pada hemitoraks yang sakit. Ini untuk mencegah masuknya perdarahan pada sisi yang sehat yang dapat mengakibatkan terjadinya bronkospasme dan penurunan fungsi alveolus19. Triage di rumah sakit sebaiknya dilakukan oleh ahli bedah yang berpengalaman dan berdasarkan status fisiologis pasien yang dinilai dengan menggunakan RTS1,36,47. Dalam pedoman penanganan umum trauma ledakan, yang penting dilakukan adalah mempertahankan jalan napas, membantu ventilasi jika ventilasi spontan tidak mencukupi, dan mempertahankan sirkulasi yang adekuat3,9,18. Bantuan ventilasi mekanik pada pasien dengan cedera primer paru berisiko terhadap terjadinya barotrauma dan emboli udara. Oleh karena itu, tekanan puncak inspirasi dan volume puncak inspirasi perlu diatur3,50. Penatalaksanaan pasien yang dicurigai dengan emboli udara dimulai dengan pemberian suplementasi oksigen. Suplementasi oksigen ini bertujuan untuk memperbaiki difusi gas dan membantu absorpsi udara di arteri. Proses ini terjadi lebih cepat jika kandungan oksigen lebih tinggi dibanding nitrogen3,13. Langkah berikutnya adalah untuk membatasi kerusakan yang ditimbulkan oleh emboli dengan memposisikan tubuh pasien dengan tepat. Sebaiknya, pasien dalam posisi left lateral decubitus dengan kepala lebih rendah untuk mencegah terjadinya gangguan serebrovaskular dan infark miokard3,13,18. Terapi definitif emboli udara adalah dengan terapi hiperbarik. Tujuan terapi ini adalah untuk mengurangi volume gelembung, akselerasi resolusi gelembung, dan memperbaiki oksigenasi jaringan3,13,18. Langkah penting berikutnya dalam resusitasi pasien korban ledakan adalah mempertahankan sirkulasi. Hipotensi yang terjadi pada kasus trauma ledakan disebabkan kehilangan darah melalui luka yang terjadi pada cedera sekunder, perdarahan gastrointestinal, emboli udara, dan refleks vagal3,54. Resusitasi cairan harus segera dilakukan, namun

Kepaniteraan Klinik Ilmu Bedah /Dewi Rochmah - Verna/Periode 31 Mei 06 Agustus 2010

R e f e r a t / B l a s t I n j u r y / 17

pemberian cairan jangan berlebihan50. Hal ini akan memperburuk kontusio paru yang terjadi karena peningkatan permeabilitas paru-paru yang pada akhirnya mengakibatkan ARDS3,18. Resusitasi cairan sebaiknya menggunakan darah atau koloid daripada kristaloid. Jika cairan kristaloid digunakan, sambil menunggu tersedianya darah gunakan NaCl 0,9% atau ringer laktat. Pada perdarahan masif dapat digunakan cairan NaCl hipertonik 7.2--7.5%. Pada kasus dengan kehilangan darah sampai 50%, pemberian NaCl hipertonik ini dengan jumlah 1/10 volume darah yang hilang dapat mempertahankan tekanan pengisian jantung, cardiac output, dan tekanan darah sistemik. Jika dikombinasi dengan koloid seperti Dextran, hasil akan lebih optimal50. Tekanan pengisian kardiovaskular perlu dinilai pada pasien cedera ledakan yang mengalami hipotensi. Ini dilakukan dengan mengukur tekanan vena sentral atau kateter arteri pulmonalis. Pengukuran status volume intravaskular ini penting untuk mencegah terjadinya kelebihan cairan3,18,20. Kelebihan cairan akan memperparah cedera paru-paru yang terjadi dan menurunkan compliance paru-paru28. Setelah status hemodinamik stabil, dilakukan restriksi cairan untuk mengurangi risiko terjadinya ARDS pada pasien dengan kontusio paru3. Masalah sistem saraf pusat pada pasien pertama adalah adanya fraktur tulang temporal kiri dan kemungkinan adanya perdarahan epidural mengingat lokasi fraktur dan adanya lateralisasi ke kiri. Pasien masuk sudah dengan tanda-tanda herniasi unkus dan gangguan pada pons yang ditandai dengan pin point pupil dengan refleks cahaya menurun. Peningkatan tekanan intrakranial pada pasien ini dapat juga disebabkan oleh edema serebri yang terjadi primer akibat cedera kepala maupun sekunder akibat cedera primer paru-paru. Cedera primer paru-paru dapat mengakibatkan gangguan pada sistem saraf pusat berupa edema serebral. Ini terjadi akibat pelepasan leukotrien dan peningkatan produksi lipid peroksidase yang mengganggu fungsi membran sel otak dan gangguan elektrolit40,55. Seharusnya, rongga kranium harus didekompresi segera. Tidak tertanganinya masalah jalan napas, pernapasan, sirkulasi, dan herniasi unkus mengakibatkan kematian pada pasien pertama.Setelah kondisi pasien stabil, dilakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang menyeluruh. Pada anamnesis yang perlu diperhatikan adalah jarak dari sumber ledakan, lokasi ledakan, dan penggunaan lapisan pelindung. Penggunaan lapisan pelindung melindungi manusia dari cedera sekunder, tapi memperberat cedera primer pada paru-paru karena memperbesar tekanan yang terjadi3,23. Pada pemeriksaan fisik, perlu diperiksa tandatanda trauma ledakan, antara lain ruptur membran timpani, peteki atau ekimosis hipofaring,Kepaniteraan Klinik Ilmu Bedah /Dewi Rochmah - Verna/Periode 31 Mei 06 Agustus 2010

R e f e r a t / B l a s t I n j u r y / 18

emboli udara arteri retina, atau emfisema subkutis3. Pemeriksaan tambahan yang diperlukan berupa foto rontgen toraks juga tidak sempat dilakukan pada pasien pertama. Ini disebabkan perhatian lebih diutamakan dalam resusitasi. Jika cairan IV diberikan selama perdarahan dikontrol dengan shock atau perdarahan yang tidak terkontrol dengan status mental berubah, bolus dengan seperempat jumlah biasa (kristaloid atau hetastarch) dan mengevaluasi kembali untuk menghindari memperburuk paru-paru atau cedera otak. Boluses Ulangi seperlunya. Prosedur untuk emboli arteri Dugaan Gas

Esensial: Gunakan masker pilot bagi tekanan tambahan, jika diperlukan dan tersedia. Evakuasi ke ruang hiperbarik sesegera mungkin. Menekan evakuasi's kabin pesawat terhadap tekanan atmosfer di tempat tujuan, jika menggunakan transportasi udara dan secara teknis mungkin di dalam pesawat terbang yang digunakan.

Recommended : Fitur: Letakkan korban dalam posisi koma dengan sisi kiri bawah (pertengahan antara-lateral dekubitus kiri dan posisi rawan) dan kepalanya pada tingkat yang sama dengan hatinya.

Prosedur Airway Hemoptisis Massive Mengganggu

Esensial:

Lakukan intubasi selektif dari sisi terluka setidaknya dengan Gunakan lumen tabung endotrakeal untuk memfasilitasi pertukaran Gunakan manset

menggunakan.

gas masuk dan keluar dari paru-paru dengan pendarahan ringan. paru-paru yang lebih baik. Prosedur untuk Pneumotoraks Tension Dugaan

untuk mencegah darah dari sisi perdarahan berat persimpangan ke mainstem bronkus

Esensial: Melakukan Thoracentesis jarum untuk meringankan-shock mengancam kehidupan. Recommended : FiturMelakukan torakostomi tabung (tabung dada) , jika udara disedot selama Thoracentesis jarum , tetapi kesulitan pernapasan dan kompromi hemodinamik tidak dibebaskan. Meskipun thoracostomies tabung umumnya tidak dianjurkan selama Taktis Bidang Perawatan untuk berpenetrasi trauma, parah luka

Kepaniteraan Klinik Ilmu Bedah /Dewi Rochmah - Verna/Periode 31 Mei 06 Agustus 2010

R e f e r a t / B l a s t I n j u r y / 19

ledakan paru dapat menyebabkan komunikasi langsung antara saluran udara besar dan ruang pleura (fistula bronchopleural) di mana-gauge kateter 14 tidak dapat mengevakuasi udara dari rongga pleura lebih cepat daripada itu masuk. Pengobatan luka memar paru Dugaan

Primer: Hentikan semua aktivitas.

Mengadministrasikan-aliran tambahan oksigen

tinggi, jika tersedia. Prakarsai PPV hanya jika benar-benar diperlukan.

Alternatif: Tunggu paling tidak 1 jamLanjutkan tugas sebagai ditoleransi. Primitif: Hanya melakukan kegiatan di tingkat praktis terendah tenaga (seperti gerakan lambat, kurang berat badan kereta)

Prosedur Bantuan ventilasi

Esensial:

Meredakan ketegangan pneumotoraks .

Seal terbuka pneumotoraks

(menghisap dada luka). Biarkan bernapas spontan bila memungkinkan. Tempatkan korban pada posisi dia bisa bernapas terbaik.

Recommended : Fitur:

Jika tekanan ventilasi positif (PPV) menjadi dibutuhkan,

gunakan mulut ke masker atau bag-valve-mask/tube dengan kuat dan kurang-lebih lambat dari delivies sering digunakan dengan penyebab trauma lain masalah pernapasan. Persistent Hypoxemia: Persistent hipoksemia: Double-check that the definitive airway is still in place and its cuff is intact. Memeriksa bahwa Airway definitif masih di tempat dan manset utuh. Ensure oxygen is being delivered to the ventilator unit. Pastikan oksigen yang disampaikan ke unit ventilator. mengintip lebih besar (hingga 10 cmH 2 O). Pengobatan sinkop Vasovagal:

Change the

PEEP valve to a greater PEEP (up to 10 cmH 2 O). Mengubah katup mengintip untuk

Primer: Letakkan kepala korban di tingkat hatinya dan mengangkat kaki nya lebih rendah. Alternatif: Tunggu sampai terbangun korban. Tidak seperti sinkop dari ketakutan, ini bisa memakan waktu hingga 2 jam-luka dalam ledakan korban.

Pengobatan saluran GI Kemungkinan PecahnyaKepaniteraan Klinik Ilmu Bedah /Dewi Rochmah - Verna/Periode 31 Mei 06 Agustus 2010

R e f e r a t / B l a s t I n j u r y / 20

Primer. NPO.

Pemeliharaan cairan IV.

Cefoxitin atau ceftriaxone IV atau IM.

Evakuasi ditunda untuk perawatan bedah dalam waktu 4 jam. . Monitor untuk peritonitis dan sepsis. Prochlorperazine atau prometazin IV atau IM, jika perlu untuk mencegah muntah berulang.

Alternatif:

Pemeliharaan PO air, jika tidak ada IV dan waktu evakuasi> 4 jam. Hampir semua cakupan antibiotik adalah

Ciprofloxacin dan metronidazol PO, jika parenteral sefalosporin korban tidak dilakukan atau alergi terhadap mereka. berkepanjangan. Perawatan mediastinitis, Peritonitis, atau Sepsis

lebih baik daripada tidak sama ketika waktu untuk perawatan definitif adalah

Primer: Salah satu dari dua kombinasi parenteral: 1) cefoxitin (atau ceftriaxone) dan metronidazol (atau clindamycin), atau 2) ampisilin / sulbaktam (atau piper cillin a) dan gentamisin (atau tobramisin).

Alternatif: kombinasi Oral ciprofloxacin dan metronidazol.

Pengobatan TM Pecahnya

Primer. Jangan coba pemindahan puing asing. Mencegah air dan bahan yang tidak steril lainnya dari memasuki saluran telinga. ditunjukkan. Mengelola rasa sakit seperti Jika infeksi TM (myringitis)

Empiris:

antibiotik profilaksis tidak ditunjukkan.

mengembangkan, menanamkan ophthalmological (untuk mata) gentamisin 4 tetes (bukan salep) 4 kali sehari selama 10 hari. Otological (untuk telinga) suspensi untuk otitis eksterna adalah kontraindikasi ketika TM adalah pecah.

Alternatif:

Amoksisilin clavulanate atau ciprofloxacin PO /, jika tetes antibiotik Periksa daerah sekitarnya telinga, telinga eksternal itu sendiri,

ophthalmological tidak tersedia.

Kembali Evaluasi:

saluran telinga, dan harian TM untuk kemerahan, bengkak, atau drainase purulen. Nyeri ketika dengan lembut menarik dan kembali pinna atau menekan pada tulang rawan tepat di depan kanal juga menunjukkan otitis externa.

Konsultasi Kriteria korban itu idealnya harus dilihat oleh telinga, hidung, dan tenggorokan (THT) spesialis dalam waktu 3 hari, atau lebih cepat jika sampah yang

Kepaniteraan Klinik Ilmu Bedah /Dewi Rochmah - Verna/Periode 31 Mei 06 Agustus 2010

R e f e r a t / B l a s t I n j u r y / 21

signifikan di kanal. berkembang. Evakuasi Tujuan

Sampai 2 minggu dapat diterima, jika tidak ada infeksi

CASEVAC dari lingkungan taktis untuk tingkat yang lebih tinggi dari perawatan medis, kemudian evakuasi medis untuk perawatan lebih definitif. Tujuan yang dipilih harus mempertimbangkan mengikuti kebutuhan berdasarkan diagnosis diduga:

Cedera Kepala: Fasilitas dengan bedah saraf - URGENT-bedah. Intensive care at the same facility is desirable. perawatan intensif di fasilitas yang sama diinginkan. Trauma penetrasi Torso: Fasilitas dengan bedah umum - URGENT-bedah. Jantung dan bedah pembuluh diinginkan. Fasilitas dengan ruang hiperbarik - URGENT. yang sama diinginkan. pelayanan trauma lain di fasilitas

Pulmonary Contusion: Luka memar paru: Facility with intensive care URGENT. Fasilitas dengan perawatan intensif - URGENT Paru dan jasa operasi yang diinginkan.

GI Tract Pecahnya: TM Pecahnya: diinginkan.

Fasilitas dengan bedah umum - PRIORITAS.

A pulmonary

service is desirable. Layanan paru yang diinginkan.

Setiap fasilitas dengan dokter - RUTIN.

Layanan THT yang

BAB III KESIMPULANPemahaman mengenai mekanisme cedera trauma ledakan penting dalam

penatalaksanaan pasien. Terdapat 4 klasifikasi trauma ledakan. Cedera ledakan primer secara langsung disebabkan oleh barotrauma yang biasanya terjadi karena udara memasuki organorgan, sehingga mengalami kerusakan oleh tekanan dinamik di jaringan, tetapi tergantung dari lokasi ledakanCedera sekunder timbul sebagai akibat langsung serpihan bom yang dibawa oleh blast wind. Cedera ledakan tersier ini disebabkan kekuatan dinamis dari blast wind itu sendiri yang mengakibatkan terlemparnya tubuh manusia yang kemudian menabrak dinding atau benda stasioner lainnya. Cedera ledakan Quarterner disebabkan dari bermacamKepaniteraan Klinik Ilmu Bedah /Dewi Rochmah - Verna/Periode 31 Mei 06 Agustus 2010

R e f e r a t / B l a s t I n j u r y / 22

macam dampak dari ledakan, termasuk luka bakar kimia, debu yang mengandung racun & terhirup, paparan radiasi, terkena reruntuhan gedung. Fase ini dapat terjadi dalam periode yang panjang, contohnya Post Traumatic Stress Disorder (PTSD). Penanganan cedera akibat trauma ledakan dilakukan dengan memperhatikan ATLS dan penanganan disaster. Perlu mencari gejala dan tanda-tanda cedera primer.

Kepaniteraan Klinik Ilmu Bedah /Dewi Rochmah - Verna/Periode 31 Mei 06 Agustus 2010

R e f e r a t / B l a s t I n j u r y / 23

DAFTAR PUSTAKA1. Stein MS, Hirshberg A. Medical Consequences of Terrorism-The Conventional Weapon Threat. Dalam Rodriguez A (ed): Trauma Care in the New Millenium. Surg Clin North Am, December 1999: 1537-1552. 2. Mallonee S, Sariat S. Physical Injuries and Fatalities resulting From the Oklahoma City Bombing. JAMA, August 7, 1996; 276; 5: 382-387. 3. Argyros GJ. Management of Primary Blast Injury. Toxicology 1997; 121: 105-115. 4. Feliciano DV. Management of Casualties from the Bombing at the Centennial Olympics. AM J Surg 1998; 176: 538-543. 5. Subijanto HW, Pusponegoro AD, Hertian S. Efek Trauma Ledakan Terhadap Organ Intra Toraks dan Abdomen, Juli 1990. 6. Sudarsono RP. Bom! Polisi pun Cukup Bikin Sketsa. Kompas 2000 Sept 4; halaman 17. 7. Trauma Organisation. Revised Trauma Score. Available from URL: http://www.trauma.org/scores/rts.html. 8. Tim Kompas. Ledakan di BEJ, Sepuluh Tewas, Puluhan Luka-luka. Kompas 2000 Sept 14; halaman 1. 9. Siddall Corinne, Driscol Pm Hodgetts T. Soft Tissue Trauma. Dalam: Driscoll PA (ed). Trauma Resuscitation the Team Approach. Macmillan, 1993: 260-262. 10. Elsayed NM. Toxicology of Blast Overpressure. Toxicology 1997; 121: 1-15. 11. Mayorga MA. The Pathology of Primary Blast Overpressure Injury. Toxicology 1997; 121: 17-28. 12. Haywood I, Skinner D, Blast and Gunshot Injuries. Dalam: Skinner D (ed). ABC of Major Trauma. Cambridge, University Press, 1991: 88-91. 13. Guy RJ, Glover MA, Cripps NPJ. The Pathophysiology of Primary Blast Injury and Its Implication for Treatment. Part I: The Thorax. J R Nav Med Serv 1998; 84; 2: 79-86. 14. Tantan H, Indra S, Handoko D, Bakri KB. Gonjang-Ganjing C-4 di Siang Bolong. Gatra 2000 Aug 12; halaman 63-66. 15. Mellor SG. The Relationship of Blast Loading to Death and Injury from Explosion. World J Surg 1992; 16: 893-898. 16. Junkui H, Zhengguo W. Studies on Lung Injuries Caused by Blast Underpressure. J Trauma 1996; 40; 3: S77-84.

Kepaniteraan Klinik Ilmu Bedah /Dewi Rochmah - Verna/Periode 31 Mei 06 Agustus 2010

R e f e r a t / B l a s t I n j u r y / 24

17. Leibovici D, Gofrit ON, Stein MS, Shapira SC. Blast Injuries: Bus Versus Open-Air Bombings - A Comparative Study of Injuries in Survivors of Open Air Versus ConfinedSpace Explosions. J Trauma 1996; 41; 6: 1030-1035. 18. Bowen TE, Bellamy RF. Blast Injuries. Dalam: Bowen TE, Belllamy RF (ed). Emergency War Surgery, Second United States Revision of the Emergency War Surgery NATO Handbook. US Department of Defense. Washington DC, United States Government Printing Office, 1988: 74-82. 19. Nixon R.G. Available at http://www.fire engineering. Blast Injuries. Accessed on May,21th 2008. 20. Cohn SM. Pulmonary Contusion: Review of the Clinical Entity. J Trauma 1997; 42; 5: 973-979. 21. Boyd AD, Glassman LR. Trauma to the Lung. Chest Surg Clin North Am 1997; 7; 2: 263-284. 22. Axelsson H, Yelverton JT. Chest Wall Velocity as a Predictor of Nonauditory Blast Injury in a Complex Wave Environment. J Trauma 1996; 40; 3: S31-37. 23. Cooper GJ. Protection of Lung from Blast Overpressure by Thoracic Stress Wave Decouplers. J Trauma 1996; 40; 3: S105-110. 24. Cooper GJ, Pearce BP, Sedman AJ. Experimental Evaluation of a Rig to Simulate the Response of the Thorax to Blast Loading. J Trauma 1996; 40; 3: S38-41. 25. Cernak I, Savic J, Ignjatovic. Blast Injury from Explosive Munitions. J Trauma 1999; 47; 1: 96-104. 26. Huang JZ, Yang Z, Wang ZW, Leng H. Study on Characteristic of Blast-fragment Combined Injury in Dogs. J Trauma 1996; 40; 3: S63-67. 27. Brown RFR, Cooper GJ, Maynard RL. The Ultrastructure of Rat Lung Following Acute Primary Blast Injury. Int J Exp Path 1997; 74: 151-162. 28. Cohn SM, Zieg PM. Experimental Pulmonary Contusion : Review of the Literature and Description of a New Porcine Model. J Trauma 1996; 41; 3: 565-571. 29. Mundie TG, Dodd KT, Lagutchik MS, Morris JR, Martin D. Effects of Blast Exposure on Exercise Performance in Sheep. J Trauma 2000; 48; 6: 1115-1121. 30. Hirshberg B, Eden AO, Pizov R. Recovery from Blast Lung Injury. Chest 1999; 116; 6: 1683-1688.

Kepaniteraan Klinik Ilmu Bedah /Dewi Rochmah - Verna/Periode 31 Mei 06 Agustus 2010

R e f e r a t / B l a s t I n j u r y / 25

31. Cripps NPJ, Glover MA, Guy RJ. The Pathophysiology of Primary Blast Injury and Its Implications for Treatment. Part II: The Auditory Structures and Abdomen. J R Nav Med Serv 1999; 85; 1: 13-24. 32. Paran, Neufeld D, Shwartz I, et al. Perforation of the Terminal Ileum Induced by Blast Injury: Delayed Diagnosis or Delayed Perforation?. J Trauma 1996; 40; 3: 472-475. 33. Cripps NPJ, Cooper GJ. The Influence of Personal Blast Protection on the Distribution and Severity of Primary Blast Gut Injury. J Trauma 1996; 40; 3: S206-211. 34. Tatic V, Ignjatovic D, Jevtic M. Morphologic Characteristic of Primary Nonperforative Intestinal Blast Injuries in Rats and Their Evolution to Secondary Perforation. J Trauma 1996; 40; 3: S94-99. 35. Cripps NPJ, Cooper GJ. Risk of Late Perforation in Intestinal Contusions Caused by Explosive Blast. Br J Surg 1997; 84: 1298-1303. 36. Carter PS, Belcher PE, Leicester RJ. Small Bowel Adhesions Long After Blast Injury. J R Soc Med 1999; 92: 135-136. 37. Leibovici D, Gofrit ON, Shapira SC. Eardrum Perforation in Explosion Survivors: Is It a Marker of Pulmonary Blast Injury?. Ann Emerg Med 1999; 34; 2: 168-172. 38. Hull JB, Cooper GJ. Pattern and Mechanism of Traumatic Amputation by Explosive Blast. J Trauma 1996; 40; 3: S198-211. 39. Nicholau D. Brain Death. Dalam: Parson PE, Wiener-Kronish JP (ed). Critical Care Secrets. Philadelphia, Hanley and Belfus, 1992; 280-284. 40. Guy RJ, Glover MA, Cripps NPJ. Primary Blast Injury: Pathophysiology and Implication for Treatment. Part III: Injury to the Central Nervous System and the Limbs. J R Nav Med Serv 2000; 86; 1: 27-31. 41. Gorbunot NV et al. Air Blast Induced Pulmonary Oxidative Stress: Interplay Among Hemoglobin, Antioxidant and Lipid Peroxidation. Am J Physiol 1997; 272; 16: L320-334. 42. Cernak I, Malicevic Z. Leukotriens in the Pathogenesis of Pulmonary Blast Injury. J Trauma 1996; 40; 3: S148-156. 43. Elsayed NM, Gorbunov NV, Kagan VR. A Proposed Biochemical Mechanism Involving Hemoglobin for Blast Overpressure-Induced Injury. Toxicology 1997; 121: 81-90. 44. Slater MS, Trunkey DD. Terrorism in America, An Evolving Threat. Arch Surg 1997; 132: 1059-1066. 45. Rignault DP, Deligny MC. The 1986 Terrorist Bombing Experience in Paris. Ann Surg 1989; 209; 3:368-373.Kepaniteraan Klinik Ilmu Bedah /Dewi Rochmah - Verna/Periode 31 Mei 06 Agustus 2010

R e f e r a t / B l a s t I n j u r y / 26

46. Jones RK, Kissinger D, Golocovsky M, Jordan M. Bomb Related Injuries. Mil Med 1994; 159: 536-539. 47. Frykberg ER, Tepas JJ. Terrorist Bombings. Lesson Learned from Belfast to Beirut. Ann Surg 1988; 208; 5: 569-576. 48. Pizov RP, Eden OA, Matot I. Blast Lung Injury From an Explosion on a Civilian Bus. Chest 1999; 155; 1: 165-171. 49. Murray JF et al. An Expanded Definiton of the Adult Respiratory Distress Syndrome. Am Rev Respir Dis 1988; 138: 720-723. 50. Personal Communication with Ibolja Cernak, Professor of Military Surgery, Yugoslavia 14 Okt dan 2 Nov 2000. 51. Yelverton JT. Pathology Scoring System for Blast Injuries. J Trauma 1996; 40; 3: S111115. 52. Cernak I, Savic J, Zunic G et al. Recognizing, Scoring, and Predicting Blast Injuries. World J Surg 1999; 23: 44-53. 53. Trauma Organisation. Injury Severity Score. Available from URL: http://www.trauma.org/scores/iss.html. 54. Suneson A, Axelsson H, Hjelmqvist H. Physiological Changes in Pigs Exposed to a Blast Wave from a Detonating High Explosive Charge. Mil Med 2000; 165; 2: 119-126. 55. Cernak I, Malicevic SZ, Zunic G. Involvement of the Central Nervous System in the General Response to Pulmonary Blast Injury. J Trauma 1996; 40; 3; S100-104.

Kepaniteraan Klinik Ilmu Bedah /Dewi Rochmah - Verna/Periode 31 Mei 06 Agustus 2010