Author
greentree-mas
View
324
Download
16
Embed Size (px)
Universitas Kristen Krida Wacana
Reaksi Kusta Tipe 1
(Reaksi Reversal)
Oleh :
Siti Massita binti Misbari (11-2011-162)
Wan Noor Asmarina binti Wan Mahmood (11-2011-153)
Fatin Aina binti Mohamad Asri (11-2011-156)
Nurul Aini binti Abdul Rahman (11-2011-159)
Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Jakarta, Mei 2013
0
DAFTAR ISI
BAB I : PENDAHULUAN ……...…………………………………………………….. 4
BAB II : TINJAUAN PUSTAKA
i. Diagnosis …………………………………………………………………… 5
ii. Epidemiologi ……………………………………………………………….. 11
iii. Etiologi ……………………………………………………………………… 11
iv. Patogenesis …………………………………………………………………. 12
v. Gejala klinis ………………………………………………………………… 14
vi. Diagnosis Kerja …………………………………………………………….. 19
vii. Diagnosis Banding …………………………………………………………. 22
viii. Penatalaksanaan …………………………………………………………….. 24
ix. Komplikasi ………………………………………………………………….. 32
x. Pencegahan ………………………………………………………………….. 36
xi. Prognosis …………………………………………………………………….. 47
BAB III : PENUTUP ……………………………………………………………………. 48
DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………………………… 49
LAMPIRAN……………………………………………………………………………… 51
\
1
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Modified MRC grading untuk kekuatan otot …………………………………… 7
Tabel 2. Indeks bakteri menurut RIDLEY ………………………………………………. 9
Tabel 3. Karakteristik berbagai tipe kusta menurut klasifikasi RIDLEY-JOPLING…….. 10
Tabel 4. Gejala tanda reaksi tipe 1 ………………………………………………………. 17
Tabel 5. Berat ringannya Reaksi tipe 1 pada organ terkena ……………………………… 17
Tabel 6. Bagan Diagnosis Klinis Menurut WHO (1995) ………………………………... 18
Tabel 7. Gambaran klinis, bakteriologik dan imunologik kusta spectrum borderline …... 19
Tabel 8. Diagnosis banding reaksi tipe 1 dengan relaps …………………………………. 22
Tabel 9. Diagnosis banding bercak merah ……………………………………………….. 24
Tabel 10. Pedoman dosis MDT Tipe PB ………………………………………………… 28
Tabel 11. Pedoman dosis MDT Tipe MB ………………………………………………... 29
Tabel 12. Efek samping obat-obat MDT dan penanganannya …………………………… 31
Tabel 13. Kelainan yang timbul akibat gangguan fungsi saraf …………………………... 34
Tabel 14. Klasifikasi cacat pada tangan dan kaki………………………………………… 35
Tabel 15. Klasifikasi cacat mata …………………………………………………………. 35
2
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1 . Regimen pengobatan MDT ………………………………………………… 28
Gambar 2. Perawatan mata di rumah …………………………………………………… 38
Gambar 3. Perlindungan pada tangan yang mati rasa…………………………………… 39
Gambar 4. Merawat tangan untuk kulit yang kering ………………………….………… 40
Gambar 5. Meluruskan dan bengkokkan jari berulang kali di atas paha………………… 41
Gambar 6. Memegang ibu jari dengan tangan lain dan gerakkan sendi supaya tidak kaku.. 41
Gambar 7. Mengikat jari dengan 2-3 karet gelang, lalu memisahkan dan merapatkan jari
berulang kali …………………………………………………………………………….. 41
Gambar 8. Menyangkut pada bagian depan kaki itu dan tarik ke arah tubuh dengan kain panjang
atau sarung……………………………………………………………………………….. 42
Gambar 9. Latihan menarik tali karet dengan punggung kaki……………………………. 43
Gambar 10. Perawatan kaki untuk kulit tebal dan kering…………………………………. 44
Gambar 11. perawatan kaki yang mati rasa……………………………………………….. 45
Gambar 12. Mengistirehatkan kaki yang luka…………………………………………….. 45
Gambar 13. Berjalan menggunakan tongkat………………………………………………. 46
DAFTAR BAGAN
Bagan 1. Proses terjadinya kecacatan……………………………………………………… 33
3
BAB I
PENDAHULUAN
Kusta adalah penyakit kronik yang disebabkan oleh M. leprae yang pertama kali
menyerang susunan saraf tepi, selanjutnya dapat menyerang kulit, mukosa, saluran pernapasan
bagian atas, sistem retikulo endotelial, mata, otot, tulang dan testis. Penyakit kusta masih
merupakan masalah kesehatan masyarakat di Indonesia dan beberapa negara di dunia. Penyakit
kusta masih ditakuti oleh masyarakat, keluarga maupun petugas kesehatan sendiri. Hal ini
disebabkan karena masih kurangnya pemahaman dan kepercayaan yang keliru terhadap penyakit
kusta dan kecacatan yang ditimbulkannya.1
Pada tahun 2009, tercatat 17.260 kasus baru kusta di Indonesia (rate: 7,49/100.000) dan
jumlah kasus terdaftar sebanyak 21.026 orang dengan angka prevalensi: 0,91 per 10.000
penduduk. Sedangkan tahun 2010, jumlah kasus baru tercatat 10.706 (Angka Penemuan kasus
baru/CDR: 4.6/100.000) dan jumlah kasus terdaftar sebanyak 20.329 orang dengan prevalensi:
0.86 per 10.000 penduduk.2 Penderita kusta dapat mengalami reaksi kusta yang merupakan
episode akut hipersensitifitas terhadap M. Leprae yang menyebabkan gangguan dalam
keseimbangan sistem imunologi.1 Istilah reaksi digunakan untuk mendeskripsi adanya simptom
dan tanda lesi inflamasi akut pada pasien lepra. Reaksi merupakan penyebab pasien datang
untuk berobat untuk pertama kali.3
Reaksi kusta dibagi menjadi dua yaitu reaksi kusta tipe I atau reaksi reversal dan reaksi
kusta tipe II atau erythema nodosum leprosum (ENL). Reaksi tipe I (type I reaction/T1R) sering
berlaku pada pasien tipe borderline dan dianggap sebagai respons hipersensitivitas tipe IV
manakala reaksi tipe II merupakan respons hipersensitivitas tipe III. 3 Reaksi kusta tipe I
disebabkan karena meningkatnya kekebalan seluler secara cepat, ditandai adanya lesi kulit yang
memerah, bengkak, nyeri, panas, neuritis, gangguan fungsi saraf dan kadang disertai demam.
Sedangkan reaksi kusta tipe II merupakan reaksi humoral yang ditandai dengan timbulnya nodul
kemerahan, neuritis, gangguan saraf tepi, gangguan konstitusi dan komplikasi pada organ tubuh
lainnya.1
BAB II
4
TINJAUAN PUSTAKA
1. DIAGNOSIS
A. ANAMNESIS DAN PEMERIKSAAN FISIK
Deteksi sini T1R sangan penting untuk mencegah disabilitas permanen. Anamnesa dan
pemeriksaan yang teliti sangan penting untuk menegakkan diagnosa dengan cepat. Pada
pasien dengan T1R, harus dicari atau ditanyakan tanda-tanda klinis seperti
Tanda inflamasi pada lesi kulit yang ada (bengkak, kemerahan atau nyeri)
Nyeri dan bengkak pada saraf perifer
Tanda-tanda kerusakan saraf (gangguan sensasi atau kelemahan otot)
Gejala pada mata (lemas untuk menutup mata , mata merah akibat keratitis
terbuka)
Tangan dan kaki bengkak
Lesi kulit yang baru. Timbulnya lesi kulit yang baru pada pasien yang dalam
pengobatan MDT atau baru selesai pengobatan MDT harus dianggap sebagai
tanda reaksi daripada relaps.4
Pertanyaan yang bisa ditanyakan untuk menegakkan diagnosa T1R adalah seperti :
Adakah rasa nyeri, bengkak atau ulserasi pada lesi kulit
Adakah sebarang kesulitan dalam menutup mata
Adakah merasa lemah pada kedua tungkai
Adakah ada merasa lemas apabila coba untuk melakukan aktivitas harian
mengunakan kaki dan tangan
Adakah ada area yang terasa baal atau mati rasa.4
Diagnosis reaksi tipe I
Diagnosis biasanya dibuat secara klinis namun kadang-kadang biopsi kulit
membantu untuk medukung diagnosis. Menariknya, ahli patologi yang berpengalaman
juga bisa under diganose reaksi pada segmen kulit dari pasien dengan klinis reaksi tipe I.
Gambaran diagnostik yang penting adalah adanya edema epitheliod cell granuloma,
edema dermal, adanya sel plasma dan fraksi granuloma. Namun, kriteria yang standard
untuk diagnosis histopatologi untuk reaksi tipe I diperlukan.5
5
Neuritis timbul sekiranya seseorang mempunyai gejala seperti nyeri saraf spontan,
paraestesia, nyeri atau gangguan sensorik atau motorik. Nyeri saraf, paraestesia dan
nyeri bisa muncul sebelum adanya gangguan fungsi saraf (nerve function
impairment/NFI), yang mana sekiranya tidak diterapi dengan cepat dan adekuat akan
menjadi kelainan permanen. NFI bisa timbul tapa gejala yang lain dan sembuh sendiri
tanpa diketahui oleh pasien ‘silent neuropathy’.
Deteksi NFI dilakukan secara klinis. Untuk mendeteksi gangguan sensorik
digunakan tes monofilamen Semmes-Weinsten (atau pena ballpoint). Tes otot volunter
(Voluntary muscle testing) digunakan untuk mengetahui fungsi saraf motorik.5
a. Tes gangguan sensorik
1. Letakkan tangan di atas meja dengan telapak tangan menghadap ke atas.
2. Menjelaskan kepada pasien tentang pemeriksaan yang akan dilakukan.
3. Menyuruh pasien menutup mata.
4. Dengan menggunakan ballpoint pen atau tusuk gigi, sentuh di 4 tempat yang
ditunjukkan pada telapak tangan. Tekan dengan lembut, hanya cukup untuk
melakukan tekanan pada kulit. Jangan tekan terlalu kuat.
5. Menyuruh pasien menunjukkan temapt yang ditekan menggunakan jari
telunjuk (index finger) tangan sebelahnya.
6. Kedua-dua belah tangan diuji.
7. Ulang proses yang sama pada telapak kaki.
8. Hasil dari pemeriksaan dicatat.
Sekiranya pasien tidak dapat merasa ballpoint pen atau tusuk gigi, kita bisa mengatakan
bahwa pasien mengalami gangguan sensorik.4
b. Tes otot volunter (Voluntary muscle testing)
6
Tes ini dilakukan pada bagian saraf facial, saraf ulnar, saraf radial, saraf median
dan saraf popliteal lateralis. Tes ini menggunakan modified MRC grading untuk
kekuatan otot.
Saraf facialis : menutup mata secara normal dan pasif (m. orbikularis okuli)
Saraf median : abduksi ibu jari (m. Abduktor pollicis brevis), abduksi jari tengah
Saraf ulnar : abduksi jari ke V (m. Abduktor digiti minimi)
Saraf radial : ekstensi pergelangan tangan (otot ekstensor)
Saraf popliteal lateral : dorsofleksi kaki (m.tibialis anterior, peroneus longus dan
brevis).4
Tabel 1. Modified MRC grading untuk kekuatan otot
Penelitian yang dilakukan oleh van Brakel et al., menggunakan studi konduksi
saraf dan tes sensorik kuantitatif, menunjukkan bahwa individu yang mengalami neuritis,
NFI atau episode reaksi baik sendiri maupun kombinasi menunjukkan adanya bukti
mengalami neuropati subklinis sampai 12 minggu sebelum perubahan dapat dideteksi
secara klinis. Individu yang memiliki disabilitas tingkat 1 dan 2 saat didiagnosis
berdasarkan kriteria WHO, secara signifikan lebih besar kemungkinannya mengalami
T1R parah. T1R sering rekuren dan ini bisa mengarah kepada kerusakan saraf yang lebih
lanjut.5
B. PEMERIKSAAN PENUNJANG
7
1. Pemeriksaan bakterioskopik
Pemeriksaan bakterioskopik digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis
dan membuat pengamatan pengobatan. Sediaan dibuat dari kerokan jaringan kulit atau
usapan dan kerokan mukosa hidung yang diwarnai dengan perwarnaan terhadap basil
tahan asam, antar lain dengan ZIEHL-NEELSEN. Bakterioskopik negatif pada seseorang
penderita, bukan berarti orang tersebut tidak mengadung bakteri M. Leprae. Pertama-
tama harus ditentukan lesi di kulit yang diharapkan paling padat oleh basil, setelah
yerlebih dulu menetukan jumlah tempat yang akan diambil. Jumlah lesi untuk
pemeriksaan rutin sebaiknya minimal 4-6 tempat, yaitu kedua cuping telinga bagian
bawah dan 2-4 lesi lain yang paling aktif, berarti yang paling eritematosa dan paling
infiltratif. Pemilihan kedua cuping telingan tersebut tanpa menghiraukan ada tidaknya
lesi di tempat tersebut, oleh karena atas dasar pengalaman tempat tersebut diharap
mengandung basil paling banyak.6
M.leprae tergolong basil tahan asam (BTA), akan tampak merah pada sediaan.
Dibedakan bentuk batang utuh (solid), batang terputus (fragmented), butiran (granular).
Bentuk solid adalah basil hidup, sedang fragmented dan granular merupakan bentuk mati.
Penting untuk membedakan antara bentuk solid dan non sloid karena bentuk solid lebih
berbahaya karena dapat berkembang biak dan dapat menularkan ke orang lain. Namun,
dalam praktek, sukar untuk membedakan solid dan non sloid karena dipengaruhi oleh
banyak macam faktor. Kepadatan BTA tanpa membedakan solid dan non sloid pada
sebuah sediaan dinyakatan dalam bentuk indeks bakteri (IB) dengan nilai dari 0 sampai
6+ menurut RIDLEY.6
Tabel 2. Indeks bakteri menurut RIDLEY
0 Tidak ada BTA dalam 100 lapang pandang
1+ 1-10 BTA dalam 100 lapang pandang
8
2+ 1-10 BTA dalam 10 lapang pandang
3+ 1-10 BTA rata-rata dalam 1 lapang pandang
4+ 11-100 BTA rata-rata dalam 1 lapang pandang
5+ 101-1000 rata-rata dalam 1 lapang pandang
6+ >1000 BTA rata-rata dalam 1 lapang pandang
Pemeriksaan dengan menggunakan mikroskopik cahaya dengan minyak emersi
pada pembesaran lensa objektif 100x. IB seseorang adalah IB rata-rata semua lesi yang
dibuat pada sediaan. Indeks morfologi (IM) adalah persentase bentuk solid dibanding
dengan jumlah solid dan non solid.6
2. Pemeriksaan histopatologi
Adanya kuman M.lepre masuk, akibatnya akan bergantung pada sistem imunitas
seluler (SIS) orang itu. Apabila imunitas selulernya tinggi, makrofag akan mampu
memfagosit M.leprae. datangnya histiosit ke tempat kuman disebabkan karena proses
imunoligik dengan adanya faktir kemotaktik. Kalau datangnya berlebihan dan tidak ada
lagi yang harus difagosit, makrofag akan berubah bentuk menjadi sel epiteloid yang tidak
dapat bergerak dan kemudian akan berubah menjadi sel datia Langhans. Adanya massa
epiteloidyang berlebihan dikelilingi oleh lomfosit yang disebut tuberkel akan menjadi
penyebab utama kerusakan jaringan dan cacat. Pada panderita dengan imunitas seluler
rendah atau lumpuh, histiosit tidak dapar menghancurkan M.leprae yang sudah ada
didalamnya, bahkan dijadikan tempat berkembangbiak dan disebut sel Virchow/sel
lepra/sel busa dan sebagai alat pengangkut penyebarluasan. Karakteristik tipe kusta
berdasarkan klasifikasi RIDLEY-JOPLING dapat dilihat seperti tabel dibawah.
Tabel 3. Karakteristik berbagai tipe kusta menurut klasifikasi RIDLEY-JOPLING
9
TipeTT BT BB BL LL
TT Ti BT BB BL Li LLReaksi
lepromin3+ 2+ 1+ - - - -
Stabilitas imunologik
++ + ± - ± + ++
Reaksi borderline
- ± + ++ + ± -
E.N.L - - - - - + +Basil dalam
hidung- - - - + ++ ++
Basil dalam granuloma
0 0 - 1+ 1+ - 3+ 3 – 4+ 4 – 5+ 5 – 6+ 5 – 6+
Sel epiteloid + + + + - - -Sel datia Langhans
+++ ++ + + - - -
Globi - - - - - + +Sel Virchow - - - - + ++ +++
Limfosit +++ +++ ++ + + +/± ±Infiltasi zona
sub epidermal
+ + +/- - - - -
Kerusakan saraf
++ +++ ++ + ± + -
3. Pemeriksaan serologi
Pemeriksaan serologi lepra didasarkan atas terbentuknya antibodi pada tubuh
seseorang yang terinfeksi M. Leprae. Antibodi yang terbentuk dapat bersifat spesifik
terhadap M.leprae, yaitu antibodi anti phenolic glycolipid-1 (PGL-1) dan antibodi
antiprotein 16 kD serta 35kD. Sedangkan antibodi yang tidak spesifik antara lain
antibodi anti-lipoarabinomanan (LAM), yang juga dihasilakn oleh kuman
M.tuberkulosis.6
Kegunaan pemeriksaan serologik ini ialah dapat membantu diagnosa lepra yang
meragukan, karena tanda klinis dan bakteriologik tidak jelas. Disamping itu dapat
membantu menentukan lepra subklinis, karena tidak didapatkan lesi kulit, misalnya pada
nonkontak serumah. Macam-macam pemeriksaan serologik lepra ialah:
a. uji MLPA (Mycobacterium leprae Particle Aglutination)
10
b. uji ELISA (Enzyme Linked ImmunoSorbent Assay)
c. ML dipstick (Mycobacterium Leprae dipstick).6
2. EPIDEMIOLOGI
Adanya variasi epidemiologi bergantung teknik metodologi yang berbeda dan perubahan
definisi kategori paucibacillar dan multibacillar. 30.1% penderita borderline leprosy di Nepal
mengalami TIR. Setengah daripadanya menunjukkan adanya nerve function impairment(NFI)
atau kerusakan saraf. Hasil ini didapatkan dari studi retrospektif oleh leprosy referral centre dan
studi yang sama dilakukan di India yang melaporkan angka TIR sebanyak 8.9% pada studi
kohort Hyderabad yang mewakili 1 tahun (1987) dan diikuti selma kurang lebih 6 tahun, 10.7%
di Orissa( 1992 dan 2002) dan 24.1% di Chadigarh lebih dari 15 tahun. Angka kumulatif di
Hyderabad adalah 24% paucibacillar( tuberkuloid dan borderline tuberkuloid) penderita dari
ahun 1982 – 1987.7
35.7% penderita MB pada studi kohort di Melawi mengalami TIR dan gangguan fungsi saraf.
19.9% penderita dalam studi prospektif di Thailand mengalami TIR, dimana setiap penderita
difollow up minimum 3 tahun setelah didagnosa kusta. Studi prospektif di Rumah Sakit Vietnam
menunjukkan prevalensi TIR adalah 29.1% dari 237 penderita. Studi prospektif di Bangladesh
menemukan insidens rate TIR sebanyak 17% pada tipe MB setelah di follow up selama 5 tahun,
dan menyarankan bahwa kerusakan saraf dan TIR berlaku 1.7 kali ganda pada laki-laki
berbanding perempuan. Penemuan ini memerlukan penelitian lebih lanjut. 7
3. ETIOLOGI
Mycobacterium leprae merupakan penyebab dari kusta, tidak dapat dikultur, gram positif,
obligat, intraselluler dan basil tahan asam. Genomenya lebih pendek dari Mycobacterium
tuberculosa. M.leprae mengkode sebanyak 1600 gene, dan berkongsi 1439 gene yang sama. M
leprae sama seperti Triponema pallidum yang mana tidak bersifat toksik, gejala klinis yang
timbul seperti penyakit kusta ini biasanya adalah respons host terhadap bakteri M.leprae atau
antara lain, akumulasi dengan jumlah bakteri yang tinggi yang kelihatan seperti infiltrasi.8
4. PATOGENESIS
11
Reaksi kusta:
Definisi reaksi kusta adalah suatu episode dalam perjalanan kronis penyakit kusta yang
merupakan suatu reaksi kekebalan (seluler respons) atau reaksi antigen antibodi( humoral
respons) dengan akibat merugikan penderita terutama pada saraf tepi yang bisa menyebabkan
gangguan fungsi (cacat ) yang ditandai dengan peradangan akut baik dikulit atau di saraf tepi.
Reaksi kusta dapat terjadi sebelum pengobatan,selama pengobatan dan sesudah pengobatan. Hal
yang mempermudah( pencetus) terjadinya reaksi kusta misalnya:9
Penderita dalam kondisi lemah
Kehamilan dan setelah melahirkan(masa nifas)
Sesudah mendapat imunisasi
Infeksi(seperti malaria, infeksi pada gigi, bisul, dll)
Stress fisik dan mental
Kurang gizi
Reaksi Tipe I( T.I.R) = Reaksi Reversal = Reaksi Upgrading = Reaksi Borderline
Klasifikasi Ridley-Jopling membagi penderita kusta menjadi spectrum tipe tuberkuloid
polar dan lepromatosa polar dan tipe pertengahan yaitu Borderline tuberkuloid(BT), Mid
Borderline(BT) dan Borderline lepromatosa(Bl). Penderita dengan tipe penyakit yang berlainan
akan menunjukkan respons immunologi yang berbeda terhadap Micobakterium leprae.
Karakterisitik TIR adalah dengan adanya inflamasi pada lesi kulit atau nerves atau
keduanya. TIR secara dominananya terjadi pada tipe Borderline. Penyakit tipe borderline
12
Reaksi Kusta
Reaksi Tipe I = Reaksi Reversal = Reaksi Upgrading = Reaksi Borderline
Reaksi Tipe II = Eritema Nodusum Leprosum( E.N.L)
merupakan faktor resiko terbesar untuk terjadinya TIR, tetapi sebagian kecil penderita dengan
tipe polar juga ada yang mengalami TIR. Lesi kulit menjadi eritema dan atau udem dan mungkin
ulserasi. Udem di tangan, kaki dan muka juga merupakan tanda reaksi namun untuk gejala
sistemik jarang berlaku.7
Yang memegang peranan peranan utama dalam hal ini adalah sistim imunitas
selluler(SIS) , yaitu terjadi peningkatan peningkatan mendadak SIS. Meskipun faktor
pencetusnya belum diketahui pasti, diperkirakan adanya hubungan dengan reaksi hipersensitifitas
tipe lambat. Reaksi peradangan terjadi pada tempat-tempat basil Micobacterium leprae
berada,yaitu pada saraf dan kulit, umumnya terjadi pada pengobatan 6 bulan pertama. Neuritis
akut dapat menyebabkan kerusakan saraf secara mendadak, oleh karena itu memerlukan
pengobatan segera memadai.6
TIR merupakan reaksi hipersensitivitas tipe lambat. Gejala dermatopathological untuk
serangan TIR akut adalah udem, meningkatnya jumlah limfosit dalam lapisan dermis dan
hilangnya organisasi granuloma yang normal. Lama kelamaan, sel giant langerhans bertambah
jumlahnya. Studi yang terbaru menyatakan bahwa empat spesimen histopatologi menunjukkan
adanya udem dan giant sel sangat sensitif dalam indikator TIR.10
Antigen Micobakterium leprae telah ditemukan pada nerves dan kulit penderita TIR,
berlokasi di sel Schwann dan makrofag. Sel Schwann mengekspresikan toll-like receptor(TLR).
Infeksi Micobacterium leprae dapat menimbulkan ekspresi MHC II pada permukaan sel dan
dapat meningkatkan jumlah presentasi antigen yang dapat memicu limfosit CD4 membunuh sel
yang dimediasi oleh sitokin seperti TNF.7
Jumlah protein TNF yang tinggi dideteksi menggunakan teknik immunohistochemical
pada kulit dan nerves semasa TIR. TIR muncul dengan adanya mediasi melalui sel tipe Th 1 dan
lesi yang mengandung reaksi yang mengekspresikan pro-inflamasi seperti IFN-γ, IL-12 dan
oksigen sebagai radikal bebas yang memicu sintesis nitric oxide.
Sitokin yang dihasilkan semasa inflamasi TIR akan memberi kesan lokal yaitu dengan
adanya konversi dari kortikosteroid endogen( shuttle kortisol-kortisone) pada lesi kulit penderita
TIR. Gen akan mengekspresikan enzim tipe 2 11b-hydroxysteroid dehydrogenase yang mana
mengkonversi kortisol yang aktif manjadi cortisone yang tidak aktif berkurang pada lesi kulit
13
penderita TIR berbanding dengan kontrol. Ini mendukung hipotesis bahwa tingkat steroid aktif
endogen lokal meningkat selama T1R dalam menanggapi peradangan ditandai yang telah
memicunya tetapi tidak mencukupi untuk menekannya.7
5. GEJALA KLINIS
i. Gejala klinis penyakit kusta adalah:6
Anestesi (mati rasa)
o Hal ini dengan mudah dilakukan dengan menggunakan jarum terhadap rasa nyeri,
kapas terhadap rasa raba dan kalau masih belum jelas pula dengan kedua cara
tersebut barulah pengujian terhadap rasa suhu, yaitu panas dan dingin dengan
menggunakan 2 tabung reaksi.
Alopesia (tidak ada rambut)
o Diperhatikan adanya alopesia di daerah lesi, tetapi bagi penderita yang memiliki
kulit berambut sedikit, sangat sukar menentukannnya.
o Kerusakan mata primer mengakibatkan alopesia pada alis mata dan bulu mata,
juga dapat mendesak jaringan mata lauinnya.
Anhidrasi (tidak ada keringat)
o Diperhatikan ada tidaknya dehidrasi di daerah lesi yang dapat jelas dan dapat pula
tidak, yang dapat dipertegas dengan menggunakan pensil tinta (tanda Gunawan).
Cara menggoresnya mulai dari tengah lesi kearah kulit normal.
Akromia (hipopigmentasi atau eritema)
o Efloresensi : makula hipopigmentasi, hiperpigmentasi, eritematosa
Atrofi
Deformitas (cacat)
o Deformitas primer : Akibat langsung dari granuloma yang terbentuk sebagai
reaksi terhadap kerusakan saraf, umumnya deformitas M. leprae, yang mendesak
dan merusak jaringan di sekitarnya, yaitu kulit, mukosa traktus respiratorius atas,
tulang-tulang jari dan wajah.
o Deformitas sekunder : Terjadi sebagai akibat kerusakan saraf, umumnya
deformitas diakibatkan keduanya, tetapi terutama karena kerusakan saraf.
14
Gejala-gejala kerusakan saraf perifer
o Perlu diperhatikan ialah pembesaran, konsistensi dan nyeri atau tidak.
o Hanya beberapa saraf superfisial yang dapat dan perlu diperiksa yaitu:-
o N. ulnaris
₋ Anesthesia pada ujung jari anterior kelingking dan jari manis
₋ Clawing kelingking dan jari manis
₋ Atrofi hipotenar dan otot interoseus serta kedua otot lumbrikalis medial
o N. medianus
₋ Anestesia pada ujung jari bagian anterior ibu jari, telunjuk dan jari tengah
₋ Tidak mampu aduksi ibu jari
₋ Clawing ibu jari, telunjuk dan jari tengah
₋ Ibu jari kontraktur
₋ Atrofi otot tenar dan kedua otot lumbrikalis lateral
o N. radialis
₋ Anestesia dorsum manus, serta ujung proksimal jari telunjuk
₋ Tangan gantung (wrist drop)
₋ Tak mampu ekstensi jari-jari atau pergelangan tangan.
o N. poplitea lateralis
₋ Anestesis tungkai bawah, bagian lateral dan dorsum pedis
₋ Kaki gantung (foot drop)
₋ Kelemahan otot peroneus
o N. tibialis posterior
₋ Anestesia telapak kaki
₋ Claw toes
₋ Paralisis otot intrinsic kaki dan kolaps arkus pedis
o N. fasialis
₋ Cabang temporal dan zigomatik menyebabkan lagofthalmus
₋ Cabang bukal, mandibular dan servikal menyebabkan kehilangan ekspresi
wajah dan kegagalan mengatup bibir
15
o N. trigeminus
₋ Anestasia kulit wajah, kornea dan konjungtiva mata
ii. Gejala klinis reaksi reversal
Umumnya sebagian atau seluruh lesi yang telah ada bertambah aktif dan atau timbul lesi
baru dalam waktu yang relatif singkat.
Artinya lesi hipopigmentasi menjadi eritema, lesi eritema menjadi makin eritematosa, lesi
makula menjadi infiltrat, lesi infiltrat makin infiltratif dan lesi lama menjadi bertambah
luas.6
Timbul lesi baru makulopapular “satelit” yang kecil dan multiple.12
Lesi menjadi inflamasi akut disertai edema dan nyeri, bisa menjadi ulseratif.
Kebayakan edema di bagian muka, tangan dan kaki.
Tidak perlu seluruh gejala harus ada, satu saja sudah cukup.6
Pada saraf terjadi neuritis akut, berupa nyeri pada saraf (nyeri tekan atau spontan) dan
atau gangguan fungsi saraf.11
Adanya neuritis akut yang dapat menyebabkan kerusakan saraf secara mendadak penting
diperhatikan, karena sangat menentukan pemberian pengobatan kortikosteriod, sebab
tanpa gejala neuritis akut pemberian kortikosteroid adalah fakultatif.6
Kadang-kadang dapat terjadi gangguan keadaan umum11, seperti demam12
Lesi reaksi reversal tanpa nodus berarti reaksi non-nodular.
Tabel 4. Gejala tanda reaksi tipe 111
Gejala Tanda Reaksi tipe 1
Tipe kusta Dapat terjadi pada kusta tipe PB maupun MB
Waktu timbul Biasanya segera seteah pengobatan
16
Keadaan umum Umumnya baik, demam ringan (subfebris) atau
tanpa demam
Peradangan di kulit Bercak kulit lama menjadi lebih meradang
(merah), bengkak, berkilat, hangat. Kadang-
kadang hanya pada sebagian lesi. Dapat timbul
bercak baru.
Saraf Sering terjadi, umumnya berupa nyeri saraf
dan atau gangguan fungsi saraf
Silent Neuritis (+)
Udem pada ekstremitas (+)
Peradangan pada mata Anestesi kornea dan lagoftalmus karena
keterlibatan N. V dan N. VII
Peradangan pada organ lain Hampir tidak ada
Tabel 5. Berat ringannya Reaksi tipe 1 pada organ terkena11
Organ yang terkena Reaksi Tipe 1
Ringan Berat
Kulit Bercak putih menjadi merah,
yang merah jadi lebih merah.
Bercak meninggi
Bercak putih menjadi merah,
yang merah jadi lebih merah.
Timbul bercak baru, kadang-
kadang disertai panas dan
malaise
Ulserasi (-)
Edema tangan dan kaki (-)
Ulserasi (+)
Edema tangan dan kaki (+)
Saraf tepi Membesar, tidak nyeri.
Fungsi saraf tidak terganggu
Membesar, nyeri.
Fungsi saraf terganggu.
Gejala konstitusi Demam (-) Demam (±)
Gangguan pada organ lain Tidak ada Tidak ada
Hubungan tipe reaksi dengan klasifikasi
17
Untuk kepentingan pengobatan pada tahun 1987 telah terjadi perubahan. Yang dimaksudkan
dengan kusta PB adalah kusta dengan BTA negative pada pemeriksaan kerokan kulit, yaitu tipe
I,TT, dan BT menurut kalsifikasi Ridley-Jopling. Bila pada tipe-tipe tersebut disertai BTA
positif, maka akan dimasukkan ke dalam kusta MB. Sedangkan kusta MB adalah semua
penderita kusta tipe BB, BL dan LL atau apapun klasifikasi klinisnya dengan BTA positif, harus
diobati dengan rejimen MDT-MB. Hal ini tercantum pada tabel 5.6
Tabel 6. Bagan Diagnosis Klinis Menurut WHO (1995)
Sifat Kusta Pausibasiler (PB) Kusta Multibasilar (MB)
Lesi Kulit
Makula datar, papul yang
meninggi, nodus
1-5 lesi
Hipopigmentasi/eritema
Distribusi tidak simetris
Hilangnya sensasi yang jelas
>5 lesi
Distribusi lebih simetris
Hilangnya sensasi kurang jelas
Kerusakan saraf
Menyebabkan hilangnya
sessasi/kelemahan otot yang
dipersarafi oleh saraf yang
terkena
Hanya satu cabang saraf Banyak cabang saraf
Reaksi reversal (reaksi tipe 1) lebih banyak terjadi pada pasien yang berada di spektrum
borderline (Borderline lepramatous, Mid Borderline, Borderline tuberculoid) karena tipe
borderline ini merupakan tipe tidak stabil. 11Gambaran klinis, bakteriologik dan imunologik kusta
spectrum borderline adalah seperti tabel 7:
Tabel 7. Gambaran klinis, bakteriologik dan imunologik kusta spectrum borderline6
Tipe MB PB
Sifat Borderline
Lepromatosa (BL)
Mid Borderline (BB) Bordeline
Tuberculoid (BT)
Lesi
18
Bentuk
Jumlah
Distribusi
Permukaan
Batas
Anestesia
Makula
Plakat
Papul
Sukar dihitung
Masih ada kulit sehat
Hampir simetris
Halus berkilat
Agak jelas
Tidak jelas
Plakat
Dome-shaped (kubah)
Punched-out
Dapat dihitung
Kulit sehat jelas ada
Asimetris
Agak kasar,agak
berkilat
Agak jelas
Lebih jelas
Makula dibatasi
infiltrat
Infiltrat saja
Beberapa atau satu
dengan satelit
Masih simetris
Kering bersisik
Jelas
Jelas
BTA
Lesi kulit
Sekret hidung
Banyak
Biasanya negative
Agak banyak
Negatif
Negatif atau hanya 1+
Tes lepromin Negatif Biasanya negatif Positif lemah
6. DIAGNOSA KERJA
Kusta dengan reaksi reversal atau reaksi upgrading (Lepra reaksi tipe 1) adalah reaksi
reversal yang hanya dapat terjadi pada tipe borderline12 (Lepramatosa indefinite, Borderline
lepramatous, Mid Borderline, Borderline tuberculoid, Tuberkuloid indefinite) karena tipe
borderline ini merupakan tipe tidak stabil,11 sehingga dapat disebut reaksi borderline. Yang
memegang peran utama dalam hal ini adalah sistem imunitas selular (SIS), yaitu terjadi
peningkatan mendadak SIS. Pada reaksi reversal, terjadi perpindahan tipe ke arah TT dengan
disertai peningkatan SIS, hanya bedanya dengan cara mendadak dan cepat. Reaksi reversal
diperkirakan ada hubungannnya dengan reaksi hipersensitivitas tipe lambat. Reaksi peradangan
terjadi pada tempat-tempat basil M. leprae berada, yaitu pada saraf dan kulit, umumnya terjadi
pada pengobatan 6 bulan pertama.6 Dalam arti kata lain, reaksi reversal terjadi akibat respon
terhadap pengobatan.12
Untuk menetapkan diagnosis penyakit kusta perlu dicari tanda-tanda utama atau tanda cardinal
(cardinal sign), yaitu:11
19
1. Kelainan (lesi) kulit yang mati rasa.
Kelainan kulit/lesi dapat berbentuk bercak putih (hipopigmentasi) atau kemerahan
(eritema) yang mati rasa (anestesi).
2. Penebalan saraf tepi yang disertai dengan gangguan fungsi saraf.
Gangguan fungsi saraf ini merupakan akibat dari peradangan saraf tepi (neuritis perifer)
kronis.
Gangguan fungsi saraf ini bisa berupa:
a. Gangguan fungsi sensoris: mati rasa
b. Gangguan fungsi motoris: kelemahan (paresis) atau kelumpuhan (paralisis) otot
c. Gangguan fungsi otonom: kulit kering dan retak-retak.
3. Adanya basil tahan asam (BTA) di dalam kerokan jaringan kulit (slit skin smear).
Seseorang dinyatakan sebagai penderita kusta bilamana terdapat satu dari tanda-tanda utama di
atas. Pada dasarnya sebagian besar penderita dapat di diagnosis dengan pemeriksaan klinis.
Apabila hanya ditemukan cardinal sign kedua, perlu dirujuk kepada wasor atau ahli kusta. Jika
masih ragu orang tersebut dianggap sebagai penderita yang dicurigai (suspek).
Tanda-tanda tersangka kusta:11
1. Tanda-tanda pada kulit
a. Bercak kulit yang merah atau putih (gambran yang paling sering ditemukan)
dan/atau plakat pada kulit, terutama di wajah dan telinga
b. Bercak kurang/mati rasa
c. Bercak yang tidak gatal
d. Kulit mengkilap atau kering bersisik
e. Adanya kelainan kulit yang tidak berkeringat dan/atau tidak berambut.
f. Lepuh tidak nyeri
2. Tanda-tanda pada saraf
a. Nyeri tekan dan/atau spontan pada saraf
b. Rasa kesemutan, tertusuk-tusuk dan nyeri pada anggota gerak
c. Kelemahan anggota gerak dan/atau wajah
d. Adanya cacat (deformitas)
20
e. Luka (ulkus) yang sulit sembuh
3. Lahir dan tinggal di daerah endemik kusta dan mempunyai kelainan kulit yang tidak
sembuh dengan pengobatan rutin, terutama bila terdapat keterlibatan saraf tepi
Tanda-tanda tersebut merupakan tanda-tanda tersangka kusta dan belum dapat digunakan sebagai
dasar diagnosis penyakit kusta. Jika diagnosis kusta masih belum dapat ditegakkan, tindakan
yang dapat dilakukan adalah:11
Pikirkan kemungkinan penyakit kulit lain (seperti panu, kurap, kudis, psoriasis, vitiligo)
Pengambilan kerokan jaringan kulit
Bila tidak ada petugas terlatih dan tidak tersedia sarana pemeriksaan kerokan jaringan
kulit, tunggu 3-6 bulan dan periksa kembali adanya tanda utama. Jika ditemukan tanda
utama, diagnosis kusta dapat ditegakkan. Bila masih meragukan suspek harus dirujuk.
Perlu diingat bahwa tanda-tanda utama tersebut dapat tetap ditemukan pada pasien yang sudah
sembuh atau release from treatment (RFT). Anamnesis yang teliti perlu dilakukan untuk
menghindari pengobatan ulang yang tidak perlu.
Kusta reaksi reversal ditegakkan apabila ditemukan gejala klinis yaitu:6
Umumnya sebagian atau seluruh lesi yang telah ada bertambah aktif dan atau timbul lesi
baru dalam waktu yang relatif singkat.
Artinya lesi hipopigmentasi menjadi eritema, lesi eritema menjadi makin eritematosa, lesi
makula menjadi infiltrat, lesi infiltrat makin infiltratif dan lesi lama menjadi bertambah
luas.
Timbul lesi baru makulopapular “satelit” yang kecil dan multiple.12
Lesi menjadi inflamasi akut disertai edema dan nyeri, bisa menjadi ulseratif.
Kebayakan edema di bagian muka, tangan dan kaki.
Tidak perlu seluruh gejala harus ada, satu saja sudah cukup.6
Ada atau tidaknya gejala neuritis akut.
Kadang-kadang bisa disertai demam.12
Lesi reaksi reversal tanpa nodus berarti reaksi non-nodular.6
21
7. DIAGNOSA BANDING
i. Relaps11
a. Untuk kusta PB, reaksi reversal seringkali dikelirukan sebagai relaps. Kebanyakan
pasien yang dicatat sebagai relaps sebenarnya adalah reaksi reversal terlambat.Ini
disebabkan karena tidak adanya standard baku (gold standard) sebagai pembanding
oleh karena hasil pemeriksaan BTA-nya sejak awal negatif.
b. Pada pasien MB, reaksi reversal kadang masih juga dikelirukan dengan relaps, tetapi
kemungkinan untuk mengkonfirmasi relaps secara bakteriologi lebih memungkinkan,
melalui kerokan jaringna kulit yang menunjukkan peningkatan indeks bakteri dan
atau indeks morfologi yang positif. Tetapi tidak semua pasien mempunyai data awal
pemeriksaan kerokan jaringan kulit tersebut untuk dapat dibandingkan.
Tabel 8. Diagnosis banding reaksi tipe 1 dengan relaps11
Gejala Reaksi tipe 1 Relaps
Interval/onset Umunya dalam 4 minggu-6 bulan
pengobatan atau dalam 6 bulan setelah
RFT
Pada reaksi berulang sampai 2 tahun
setelah RFT
1 tahun atau lebih setelah RFT
PB : 3 tahun pada non-
lepromatosa
Borderline : 5 tahun
MB : 9 tahun
Timbulnya gejala Mendadak, cepat Lambat, bertahap
Tipe kusta BT, BB, BL Semua tipe
Lesi lama Beberapa atau seluruh lesi menjadi
berkilap, eritematosa dan bengkak ;
nyeri tekan (+); konsistensi lunak.
Terjadi perubahan tipe ke arah yang
lebih baik, edema tangan dan kaki (+)
Eritem dan plak di tepi lesi
Lesi bertambah dan meluas.
Lesi baru Jumlah beberapa, morfologi sama Jumlahnya banyak
Ulserasi (+) pada reaksi berat (-)
Keterlibatan saraf Neuritis akut yang nyeri; ada nyeri
spontan; abses saraf; tiba-tiba ada
Terjadi keterlibatan saraf baru;
tanpa nyeri spontan; nyeri tekan
22
paralisis otot disertai meluasnya
gangguan sensoris
positif; gangguan motoris dan
sensoris terjadi lambat/perlahan
Gangguan sistemik Mungkin (+) Mungkin (-)
BTA Terjadi penurunan BI
Peningkatan bentuk granuler
BI mungkin positif pada pasien
dengan BI yang sebelumnya
negative
Tes lepromin Reaksi Fernandez positif pada tipe BL
dan BB yang secara berurutan menjadi
BB dan BT
Hasil tes tergantung tipe saat
relaps
Respons terhadap
pemberian steroid
Bagus.
Lesi membaik dalam 2-4 minggu; tetap
membaik dengan pengobatan 2 bulan
Respons tidak ada atau sedikit
ii. Berbagai kelainan kulit11
a. Lesi kulit berbentuk plakat merah pada urtikaria akut, erisepelas, selulitis, erupsi obat
dan gigitan serangga.
b. Lesi kulit bercak merah adalah seperti tabel 9.
Tabel 9. Diagnosis banding bercak merah
Diagnosis
banding
Bercak
Merah
Psoriasis Tinea Circinata Dermatitis seboroik
Efloresensi Bercak merah berbatas
tegas, dengan sisik
berlapis-lapis
Bercak meninggi, sering
meradang, mengandung
vesikel/krusta
Lesi di daerah sebore
(berminyak) dengan sisik
kuning berminyak gatal,
23
kronis, residif, tidak ada
rasa baal
Gambar
8. PENATALAKSANAAN
A. MEDIKA MENTOSA
Kemoterapi kusta dimuali tahun 1949 dengan DDS sebagai obat tunggal. DDS
harus diminum selama 3-5 tahun untuk PB, sedangkan untuk MB 5-10 tahun, bahkan
seumur hidup. Kekurangan monoterapi DDS adalah terjadinya resistensi, timbulnya
kuman persisters serta terjadinya pasien defaulter. Pada tahun 1964 ditemukan resistensi
terhadap DDS. Oleh sebab itu, pada tahun 1982 WHO merekomendasiikan pengobatan
kusta dengan Multi Drug Therapy (MDT) untuk tipe PB maupun MB.11
Tujuan pengobatan MDT adalah:
1. Memutuskan mata rantai penularan
2. Mencegah resistensi obat
3. Memperpendek masa pengobatan
4. Meningkatkan keteraturan berobat
5. Mencegah terjadinya cacat atau mencegah bertambahnya cacat yang sudah ada
sebelum pengobatan
24
Dengan matinya kuman maka sumber penularan dari pasien, terutama tipe MB ke
orang lain terputus. Cacat yang sudah terjadi sebelum pengobatan tidak dapat diperbaiki
dengan MDT.
Bila pasien kusta tidak minum obat secara teratur, maka kuman kusta dapat
menjadi resisten/kebal terhadap MDT, sehingga gejala penyakit menetap bahkan
memburuk. Gejala baru dapat timbul pada kulit dan saraf.
Regimen Pengobatan MDT
Multi drug therapy (MDT) adalah kombinasi dua atau lebih obat antikusta, salah
satunya rifampisin sebagai anti kusta yang bersifat bakterisidal kuat sedangkan obat anti
kusta lain bersifat bakteriostatik.11
Berikut ini merupakan kelompok orang yang membutuhkan MDT:
1. Pasien yang baru didiagnosis kusta dan belum pernah mendapat MDT.
2. Pasien ulangan, yaitu pasien yang mengalami hal-hal di bawah ini:
a. Relaps
b. Masuk kembali setelah default (dapat PB maupun MB)
c. Pindahan (pindah masuk)
d. Ganti klasifikasi/tipe.
Regimen pengobatan MDT di Indonesia sesuai dengan yang direkomendasikan
oleh WHO. Regimen tersebut adalah sebagai berikut:11
1. Pasien pausibasiler (PB)
Dewasa
Pengobatan bulanan: hari pertama (obat diminum di depan petugas)
2 kapsul rifampisin @ 300mg (600mg)
1 tablet dapson/DDS 100mg
Pengobatan harian : hari ke 2-28
1 tablet dapson/DDS 100mg
25
Satu blister untuk 1 bulan. Dibutuhkan 6 blister yang diminum selama 6-9 bulan.
2. Pasien multibasiler (MB)
Dewasa
Pengobatan bulanan: hari pertama (obat diminum di depan petugas)
2 kapsul rifampisin @ 300mg (600mg)
3 tablet lampren @ 100mg (300mg)
1 tablet dapson/DDS 100mg
Pengobatan harian : hari ke 2-28
1 tablet lampren 50mg
1 tablet dapson/DDS 100mg
Satu blister untuk 1 bulan. Dibutuhkan 12 blister yang diminum selama 12-18
bulan.
3. Dosis MDT PB untuk anak (umur 10-15 tahun)
Pengobatan bulanan: hari pertama (obat diminum di depan petugas)
2 kapsul rifampisin @ 150mg dan 300mg
1 tablet dapson/DDS 50mg
Pengobatan harian : hari ke 2-28
1 tablet dapson/DDS 50mg
Satu blister untuk 1 bulan. Dibutuhkan 6 blister yang diminum selama 6-9 bulan.
4. Dosis MDT MB untuk anak (umur 10-15 tahun)
Pengobatan bulanan: hari pertama (obat diminum di depan petugas)
2 kapsul rifampisin @ 150mg dan 300mg
3 tablet lampren @ 50mg (150mg)
1 tablet dapson/DDS 50mg
26
Pengobatan harian : hari ke 2-28
1 tablet lampren 50mg selang sehari
1 tablet dapson/DDS 50mg
Satu blister untuk 1 bulan. Dibutuhkan 12 blister yang diminum selama 12-18
bulan.
Bagi dewasa dan anak usia 10-14 tahun tersedia paket dalam bentuk blister.
Dosis anak disesuaikan dengan berat badan:
Rifampisin: 10-15 mg/kgBB
Dapson : 1-2 mg/kgBB
Lampren : 1mg/kgBB
Gambar 1 . Regimen pengobatan MDT
Pedoman praktis untuk dosis MDT bagi pasien kusta digunakan seperti tabel 10 dan 11.
27
Tabel 10. Pedoman dosis MDT Tipe PB11
Jenis Obat <5 tahun 5-9 tahun 10-15 ahun >15 tahun Keterangan
Rifampisin Berdasarkan
berat badan
300mg/bulan 450mg/bulan 600mg/
bulan
Minum di
depan
petugas
DDS 25mg/bulan 50mg/bulan 100mg/
bulan
Minum di
depan
petugas
25mg/hari 50mg/hari 100mg/hari Minum di
rumah
Tabel 11. Pedoman dosis MDT Tipe MB11
Jenis Obat <5 tahun 5-9 tahun 10-15 tahun >15 tahun Keterangan
Rifampisin Berdasarkan
berat badan
300mg/
bulan
450mg/bulan 600mg/
bulan
Minum di
depan
petugas
Dapson 25mg/bulan 50mg/bulan 100mg/
bulan
Minum di
depan
petugas
25mg/bulan 50mg/bulan 100mg/
bulan
Minum di
rumah
Lampren 100mg/
bulan
150mg/bulan 300mg/
bulan
Minum di
depan
petugas
50mg 2x
seminggu
50mg setiap
2 hari
50 mg per
hari
Minum di
rumah
Sediaan dan Sifat Obat
28
MDT tersedia dalam bentuk blister. Ada 4 macam blister untuk PB dan MB dewasa serta
PB dan MB anak. 11
Obat MDT terdiri atas :
1) DDS (dapson)
a) Singkatan dari Diamino Diphenyl Sulphone.
b) Sediaan berbentuk tablet warna putih 50mg dan 100mg.
c) Bersifat bakteriostatik yaitu menghambat pertumbuhan kuman kusta.
d) Dosis dewasa 100mg/hari, anak 50mg/hari (umur 10-15 tahun).
2) Lampren (B663) juga disebut klofazimin
a) Sediaan berbentuk kapsul lunak 50mg dan 100mg, warna coklat.
b) Bersifat bakteriostatik, bakterisidal lemah, dan antiinflamasi.
c) Cara pemberian secara oral, diminum sesudah makan untuk menghindari
gangguan gastrointestinal.
3) Rifampisin
a) Sediaan berbentuk kapsul 150mg, 300mg, 450mg dan 600mg.
b) Bersifat bakterisidal; 99% kuman kusta mati dalam satu kali pemberian.
c) Cara pemberian secara oral, diminum setengah jam sebelum makan agar
penyerapan lebih baik.
Obat penunjang (vitamin/roboransia)
Obat neurotropik seperti vitamin B1, B6 dan B12 dapat diberikan.
Pasien dengan keadaan khusus
1) Hamil dan menyusui : regimen MDT aman untuk ibu hamil dan anaknya.
2) Tuberkulosis : bila seseorang menderita tuberkulosis (TB) dan kusta, maka
pengobatan antituberkulosis dan MDT dapat diberikan bersamaan, dengan dosis
rifampisin sesuai dosis untuk tuberkulosis.
a) Untuk pasien TB yang menderita kusta tipe PB
29
i) Untuk pengobatan kusta cukup ditambahkan dapson 100mg, karena rifampisin
sudah diperoleh dari obat TB. Lama pengobatan tetap sesuai dengan jangka
waktu pengobatan PB.
b) Untuk pasien TB yang menderita kusta tipe MB
i) Pengobatan kusta cukup dengan dapson dan lampren karena rifampisin sudah
diperoleh dari obat TB. Lama pengobatan tetap disesuaikan dengan jangka
waktu pengobatan MB. Jika pengobatan TB sudah selesai maka pengobatan
kusta kembali sesuai blister MDT.
3) Untuk pasien PB yang alergi terhadap dapson, dapson dapat diganti dengan lampren.
4) Untuk pasien MB yang alergi terhadap dapson, pengobatan hanya dengan 2 macam
obat saja, yaitu rifampisin dan lampren sesuai dosis dan jangka waktu pengobatan
MB.
Efek Samping dan Penanganannya
Tabel 12. Efek samping obat-obat MDT dan penanganannya11
Masalah Nama Obat Penanganan
Ringan
Air seni berwarna merah Rifampisin Reassurance (menenangkan
penderita dengan penjelasan
yang benar) Konseling
Perubahan warna kulit
menjadi coklat
Klofazimin Konseling
Masalah gastrointestinal Semua obat (3 obat dalam
MDT)
Obat diminum bersama
makanan (atau setelah makan)
Anemia Dapson Berikan tablet Fe dan Asam
folat
Serius
Ruam kulit yang gatal Dapson Hentikan dapson, Rujuk
30
Alergi urtikaria Dapson atau Rifampisin Hentikan keduanya, Rujuk
Ikterus (kuning) Rifampisin Hentikan Rifampisin, Rujuk
Shock, purpura, gagal ginjal Rifampisin Hentikan Rifampisin, Rujuk
Pengobatan Kusta Reaksi Reversal (Tipe 1)
Tujuan7
1) Mengendalikan peradangan akut
2) Mengurangi rasa sakit
3) Membalikkan kerusakan saraf
Sebelum memulai penanganan reaksi, terlebih dulu lakukan identifikasi tipe reaksi yang
dialami serta derajat reaksinya. Hal ini dapat dinilai dari hasil kesimpulan pemeriksaan
pada formulir pencatatan pencegahan cacat (POD), seperti :11
1) Adanya lagoftalmus baru terjadi dalam 6 bulan terakhir.
2) Adanya nyeri raba saraf tepi.
3) Adanya kekuatan otot berkurang dalam 6 bulan terakhir.
4) Adanya rasa raba berkurang dalam 6 bulan terakhir.
5) Adanya bercak pecah atau nodul pecah.
6) Adanya bercak aktif (meradang) di atas lokasi saraf tepi.
B. NON MEDIKA MENTOSA
Menghindari/menghilangkan faktor pencetus11
Anggota gerak yang terkena neuritis akut harus diistirahatkan.
9. KOMPLIKASI
Jika mendengar kata kusta maka yang dibayangkan adalah penyakit kulit yang akhirnya
akan menimbulkan mutilasi yang menakutkan. Bahwa penyakit ini dapat menyebabkan
31
kecacatan memang sudah diketahui, namun proses terjadinya tidak sepenuhnya diketahui. Ada 2
jenis cacat kusta, yaitu cacat primer dan cacat sekunder. Cacat primer adalah yang disebabkan
langsung oleh aktivitas penyakit, terutama kerusakan akibat respons jaringan terhadap M.
leprae, seperti anestesi, claw hand dan kulit kering. Cacat sekunder adalah terjadi akibat cacat
primer, terutamanya akibat adanya kerusakan saraf, seperti ulkus dan kontraktur.11
1. Proses terjadinya cacat kusta
Terjadinya cacat tergantung dari fungsi serta saraf mana yang rusak. Diduga kecacatan akibat
penyakit kusta dapat terjadi lewat 2 proses :
a. Infiltrasi langsung M. leprae ke susunan saraf tepi dan oran (misalnya mata)
b. Melalui reaksi kusta
Secara umum fungsi saraf ada 3 macam, yaitu fungsi motorik memberikan kekuatan
pada otot, fungsi sensorik memberi sensasi raba, nyeri dan suhu serta fungsi otonom
mengurus kelenjar keringat dan kelenjar minyak. Kecacatan yang terjadi tergantung pada
komponen saraf yang terkena, dapat sensoris, motoris, otonom, maupun kombinasi antara
ketiganya.
Berikut adalah skema yang menggambarkan proses terjadinya kecacatan akibat
kerusakan dari fungsi saraf.
Bagan 1. Proses terjadinya kecacatan11
32
Sesuai patogenesisnya, susunan saraf yang terkena akibat penyakit ini adalah susunan
saraf perifer, terutama beberapa saraf seperti saraf fasialis, radialis, ulnaris, medianus,
poplitea lateralis (peroneus communis) dan tibialis posterior. Kerusakan fungsi sensoris,
motoris, maupun otonom dari saraf-saraf tersebut secara spesifik memperlihatkan gambaran
kecacatan yang khas.
Berikut adalah tabel yang memperlihatkan kecacatan karena terganggunya saraf-saraf
tersebut.
Tabel 13. Kelainan yang timbul akibat gangguan fungsi saraf11
Saraf Fungsi
Motorik Sensorik Otonom
Facialis Kelopak mata tidak
menutup
Kekeringan dan kulit
retak akibat
kerusakan kelenjar
keringat, minyak dan
aliran darah
Ulnaris Jari manis dan
kelingking lemah/
lumpuh/ kiting
Mati rasa telapak
tangan bagian jari
manis dan kelingking
Medianus Ibu jari, telunjuk dan
jari tengah lemah,
lumpuh/ kiting
Mati rasa telapak
tangan bagian ibu
jari, jari telunjuk dan
33
jari tengah
Radialis Tangan lunglai
Peroneus Kaki semper
Tibialis posterior Jari kaki kiting Mati rasa telapak
kaki
2. Klasifikasi cacat
Kecacatan merupakan istilah yang luas yang maknanya mencakup setiap kerusakan,
pembatasan aktivitas yang mengenai seseorang. Tiap pasien baru yang ditemukan harus
dicatat tingkat cacatnya. Tiap organ (mata, tangan dan kaki) diberi tingkat cacat sendiri. 11
Tabel 14. Klasifikasi cacat pada tangan dan kaki6
Tingkat Kriteria cacat
0 Tidak ada gangguan sensisbilitas, tidak ada kerusakan atau
deformitas yang terlihat
1 Ada gangguan sensibilitas, tanpa kerusakan atau deformitas yang
terlihat
2 Terdapat kerusakan atau deformitas
Tabel 15. Klasifikasi cacat mata6
Tingkat Kriteria cacat
0 Tidak ada gangguan pada mata akibat kusta; tidak ada gangguan
penglihatan
1 Ada gangguan pada mata akibat kusta; tidak ada gangguan yang berat
pada penglihatan. Visus 6/60 atau lebih baik (dapat menghitung jari
34
pada jarak 6 meter)
2 Gangguan penglihatan berat (visus kurang dari 6/60; tidak dapat
menghitung jari pada jarak 6 meter)
Catatan :
Kerusakan atau deformitas pada tangan dan kaki termasuk ulserasi, absorbsi, mutilasi,
kontraktur; sedangkan pada mata termasuk anestesi kornea, iridosiklitis dan lagoftalmus. 6
10. PENCEGAHAN
1. Pencegahan Penyakit Kusta
Menghindari kontak droplet dari hidung dan sekret lain dari pasien yang mempunyai
infeksi M. leprae yang tidak mendapat pengobatan merupakan salah satu cara yang
direkomendasikan untuk mencegah penyakit ini. Pengobatan dengan antibiotik yang
bersesuaian akan menghentikan penyebaran penyakit ini. Mereka yang tinggal dengan
individu yang menghidap kusta yang tidak diobati mempunyai risiko 8 kali lebih besar untuk
terkena penyakit kusta karena mereka lebih dekat terhadap droplet yang terinfeksi. 13
2. Pencegahan Cacat Akibat Penyakit Kusta
Komponen pencegahan cacat adalah seperti berikut : 11
i. Penemuan dini pasien sebelum cacat
ii. Pengobatan pasien dengan MDT-WHO sampai RFT
iii. Deteksi dini adanya reaksi ksta dengan pemeriksaan fungsi saraf secara rutin
iv. Penanganan reaksi
v. Penyuluhan
35
vi. Perawatan diri
vii. Penggunaan alat bantu
viii. Rehabilitasi medis (antara lain operasi rekonstrusi)
Upaya pencegahan-pencegahan cacat sendiri oleh pasien di rumah. Petugas kusta harus
memperhatikan pasien dengan cacat menetap dan menentukan tindakan perawatan diri
apa yang perlu dilakukan pasien itu dengan mengupayakan penggunaan material yang
mudah diperoleh disekitar lingkungan pasien.
Prinsip pencegahan cacat dan bertambah beratnya cacat pada dasarnya adalah 3M yaitu :
memeriksa mata, tangan dan kaki secara teratur
melindungi mata, tangan dan kaki dari trauma fisik
merawat diri
Berbagai tanda cacat pada mata, tangan dan kaki, dan cara pencehannya. 11
1. Mata
a. Untuk mata yang tidak dapat ditutup rapat (lagoftalmos)
Goresan kain baju, sarung bantal, tangan, daun, debu, rambut, asap dan lain-lain
dapat merusak mata. Akibatnya, mata akan merah, meradang dan terjadi infeksi
yang bisa mengkibatkan kebutaan. Untuk mencegah kerusakan mata dengan :
Memeriksa
Sering bercermin untuk melihat apakah ada kemerahan atau benda yang
masuk ke mata
Melindungi
Melindungi mata dari debu dan angin yang dapat melukai
mata/mengeringkan mata dengan cara :
memakai kaca mata
36
menghindari tugas-tugas di mana ada debu
Merawat diri
tetes mata mengandungi saline, jika mata sangat kering
waktu istirehat, tutup mata dengan sepotong kain basah
Gambar 2. Perawatan mata di rumah
2. Tangan
a. Untuk tangan yang mati rasa
Tangan yang mati rasa dapat terluka oleh :
Benda panas
Benda tajam
Gesekan dari alat kerja
Pegangan yang terlalu kuat pada alat kerja
37
Untuk mencegah luka pada tangan yang mati rasa dengan cara :
Memeriksa
Seringlah berhenti dan periksa tangan dengan teliti apakah ada luka atau
lecet yang sekecil apapun.
Melindungi
Lindungi tangan dari benda yang panas, kasar atau pun tajam, dengan
memakai kaos tangan tebal atau alas kain dan mencegah luka dengan
mambagi tugas supaya orang lain mengerjakan bagian berbahaya bagi
tangan yang mati rasa.
Merawat luka
Jika ada luka, memar atau lecet sekecil apapun, rawatlah dan
isitrehatkan bagian tangan itu sampai sembuh.
Gambar 3. Perlindungan pada tangan yang mati rasa
b. Untuk kulit yang kering
Kekeringan akan mengakibatkan luka-luka kecil yang kemudian terinfeksi.
Mencegah kekeringan dengan cara :
Memeriksa
Umumnya jika kulit tangan kering sudah disertai dengan mati rasa. Oleh
karena itu selalu periksa kemungkinan adanya kekeringan, retak dan
kulit pecah-pecah yang tidak terasa.
38
Melindungi
Melindungi kulit tangan dari benda-benda yang mudah menimbulkan
luka seperti benda tajam atau panas.
Merawat
Merendam selama 20 menit setiap hari dalam air, menggosok bagian
kulit yang tebal kemudian langsung (tanpa dikeringkan terlebih dahulu)
mengolesi dengan minyak kelapa atau minyak lain untuk menjaga
kelembapan kulit.
Gambar 4. Merawat tangan untuk kulit yang kering
c. Untuk jari yang bengkok
Kalau dibiarkan bengkok, sendi akan menjadi kaku dan otot akan memendek
sehingga hari akan menjadi lebih kaku dan tidak dapat digunakan, serta
menyebabkan luka.
Untuk mencegahnya dengan cara :
Memeriksa
Tangan secara rutin untuk luka yang mungkin terjadi akibat penggunaan
tangan dengan jari yang bengkok.
Melindungi
39
Menggunakan alat bantu untuk akitivitas sehari-hari yang dimodifikasi
unutk digunakan oleh jari bengkok
Merawat
Sesering mungkin setiap hari memakai tangan lain untuk meluruskan
sendi-sendinya dan mencegah supaya jangan sampai terjadi kekakuan
lebih berat dengan cara :
Taruh tangan diatas paha seperti dalam gambar, luruskan dan
bengkokkan jari berulang kali
Gambar 5. Meluruskan dan bengkokkan jari berulang kali di atas
paha
Pegang ibu jari dengan tangan lain dan gerakkan sendi supaya
tidak kaku
Gambar 6. Memegang ibu jari dengan tangan lain dan gerakkan
sendi supaya tidak kaku
40
Atau jika ada kelemahan pada jari, kuatkan dengan cara taruh
tangan di meja atau paha, pisahkan dan rapatkan jari berulang
kali. Ikat jari dengan 2-3 karet gelang, lalu pisahkan dan rapatkan
jari berulang kali (jari ke 2 s/d 5)
Gambar 7. Mengikat jari dengan 2-3 karet gelang, lalu
memisahkan dan merapatkan jari berulang kali
3. Kaki
a. Untuk kaki yang semper
Kalau kaki semper dibiarkan tergantung, otot pergelangan kaki bagian belakang
(archilles) akan memendek sehingga kaki itu tidak bisa diangkat. Jari-jari kaki
akan terseret dan luka. Dan oleh karena itu miring waktu melangkah akan
mudah terjadi ulkus dibelakang jari kaki ke 4 dan 5.
Untuk mencegahnya dengan cara :
Memeriksa
Apakah ada luka atau tidak?
Melindungi
Unutk mencegah agar kaki yang semper (lumpuh) tidak bertambah cacat
maka dianjurkan
Selalu memakai sepatu supaya jari-jari tidak terseret dan luka
Angkat lutut lebih tinggi waktu berjalan
41
Pakai tali karet antara lutut dan sepatu guna mengangkat kaki
bagian depan waktu berjalan
Merawat
Duduk dengan kaki lurus ke depan. Pakailah kain panjang atau sarung
yang disangkutkan pada bagian depan kaki itu dan tarik ke arah tubuh.
Gambar 8. Menyangkut pada bagian depan kaki itu
dan tarik ke arah tubuh dengan kain panjang atau sarung
Jika kelemahan saja yang terjadi, kerjakan latihan seperti gambar berikut
Ikatlah karet (dari ban dalam) pada tiang atau kaki meja dan tarik tali
karet itu dengan punggung kaki, lalu tahan beberapa saat dan kemudian
ulangi beberapa kali
Gambar 9. Latihan menarik tali karet dengan punggung kaki
b. Untuk kulit yang tebal dan kering
Kulit yang kering akan mengakibatkan luka-luka kecil yang kemudian
terinfeksi.
42
Untuk mencegahnya dengan cara :
Memeriksa
Secara rutin apakah ada bagian kaki yang kering mengalami retak dan
luka
Melindungi dan merawat
Mencegah kulit kering dengan cara :
Merendam kaki selama 20 menit setiap hari dalam air biasa
Menggosok bagian yang menebal dengan batu gosok
Kemudian langsung mengolesi (tanpa dikeringkan terlebih
dahulu) dengan minyak kelapa untuk menjaga kelembapan kulit.
Gambar 10. Perawatan kaki untuk kulit tebal dan kering
c. Untuk kaki yang mati rasa
Kaki bisa terluka oleh :
Benda tajam
Gesekan dari sepatu/sandal yang terlalu besar ataupun kecil, batu dalam
sepatu dan lain-lain
Tekanan tinggi pada telapak kaki antara lain karena terlalu lama berdiri,
terlalu lama tanpa gerak, berjalan terjalu jauh atau terlalu cepat, jongkok
yang lama dan sebagainya
Untuk mencegahnya dengan cara :
Memeriksa
43
Sering berhenti dan memeriksa kaki dengan teliti apakah ada luka atau
memar atau lecet yang kecil sekalipun
Melindungi
Lindungi kaki dengan selalu memakai alas kaki
Membagi tugas rumah tangga supaya orang lain mengerjakan bagian
yang berbahaya bagi kaki yang mati rasa
Memilih alas kaki yang tepat. Alas kaki yang cocok adalah :
Empuk di dalam
Keras di bagian bawah supaya benda tajam tidak dapat tembus
Tidak mudah terlepas (ada tali di belakang)
Tidak perlu sepatu khusus, tetapi hati-hati kalu perlu memilih
sepatu/sandal di pasar, modifikasi jika perlu
Merawat
Kalau adanya luka, memar atau lecet kecil, langsung rawat dan
istirehatkan bagian kaki itu sampai sembuh, yaitu istirehatkan kaki
(jangan sekali-kali diinjakkan)
Gambar 11. perawatan kaki yang mati rasa
d. Untuk luka borok/ulkus
Luka borok atau ulkus terjadi karena menginjak benda tajam, panas, atau kasar,
atau ada memar yang tidak dihiraukan karena pasien tidak merasa sakit/mati
rasa. Kaki tetap dipakai untuk berjalan, sementara kaki menampung beban berat
badan. Akibatnya luka tersebut semakin rusak/hancur. Sebenarnya luka dapat
sembuh sendiri bila diistirehatkan selama beberapa minggu.
44
Perawatan yang tepat ialah bersihkan luka dengan air sabun kemudian rendam
kaki dalam air selama 20-30 menit, gosok bagian pinggiran luka yang menebal
dengan batu apung. Setelah dikeluargkan dari air, beri minyak bagian kaki yang
tidak luka, balut, lalu istirehatkan bagian kaki itu (jangan diinjakkan pada waktu
berjalan, berjalanlah pincang, pakai tongkat, kruk atau sepeda).
Gambar 12. Mengistirehatkan kaki yang luka
Gambar 13. Berjalan menggunakan tongkat
Jika ada pasien yang sudah menyelesaikan pengobatan (RFT) kemudian
mendapat luka atau borok pada telapak kakinya seringkali akan berfikir bahwa
penyakit kustanya kambuh. Hal itu tidak benar. Luka pada kaki yang mati rasa
bukan disebabkan oleh Mycobaterium leprae jadi pemberian MDT tidak perlu
diulang. 11
45
Jika pada ulkus tidak ada tanda infeksi (merah, bengkak, panas, sakit), berarti
tidak ada infeksi sekunder oleh bakteri lain sehingga antibiotik tidak diperlu
diberikan.
11. PROGNOSIS
Prognosis tergantung pada stadium penyakit. Kusta Borderline tuberkuloid (BT) biasanya
melibatkan kerusakan saraf yang cepat dan parah. Reaksi reversal jarang terjadi dengan penyakit
lepromatosa, justeru kusta lepromatosa adalah keadaan kronis dengan komplikasi jangka
panjang. Bahkan dengan MDT, pasien mengalami kerusakan saraf jangka panjang dan cacat.
Prognosis juga tergantung pada akses pasien terhadap terapi, kepatuhan pasien, dan inisiasi awal
pengobatan. Relapse (penyakit baru setelah MDT memadai selesai) terjadi pada 0,01-0,14%
pasien per tahun dalam 10 tahun pertama. Resistensi dapson dan / atau rifampisin harus
dipertimbangkan. 14
Sekitar 5-10% pasien memiliki tipe reaksi reversal I pada tahun pertama setelah
menyelesaikan MDT. Karena mengurangi imunitas seluler, kehamilan dapat memicu
kekambuhan atau reaksi penyakit, terutama jenis reaksi II pada wanita hamil muda dari 40 tahun.
Dapson umumnya dianggap aman pada kehamilan, keselamatan klofazimin dan rifampisin yang
kontroversial, dan thalidomide (digunakan dalam reaksi tipe II) merupakan kontraindikasi
selama kehamilan. Tipe I dan reaksi tipe II dapat memicu kekambuhan penyakit.14 Kusta pada
reaksi tipe 1 bertahan selama 2 hingga 4 bulan pada individu dengan BT dan sehingga 9 bulan
pada individu dengan BL.12
46
BAB III
PENUTUP
Penyakit kusta atau juga dikenali sebagai penyakit Hansen, merupakan penyakit
berjangkit yang disebabkan oleh jangkitan Mycobacterium leprae. Penyakit ini menyerang
susunan saraf tepi, selanjutnya dapat menyerang kulit, mukosa, saluran pernapasan bagian atas,
sistem retikulo endotelial, mata, otot, tulang dan testis. Penyakit kusta masih merupakan
masalah kesehatan masyarakat di Indonesia dan beberapa negara di dunia. Pada referat ini telah
dibahas mengenai penyakit kusta dengan reaksi reversal di mana gejala klinis reaksi reversal
ialah umumnya sebagian atau seluruh lesiyang telah ada bertambah aktif dan atau timbul lesi
baru dalam waktu yang relative singkat. Artinya lesi hipopigmentasi menjadi eritem, lesi eritem
menjadi makin eritomatosa, lesi macula menjadi infiltrate, lesi infiltrate menjadi makin infiltrate
dan lesi lama menjadi lebih luas. Dengan diagnosa yang dini dan pengobatan yang tepat,
komplikasi-komplikasi dari penyakit kusta dapat dicegah dan dengan perawatan yang benar akan
dapat membantu mencegah komplikasi atau kecacatan yang sudah ada daripada menjadi lebih
parah. Justeru, penyakit kusta ini tidak boleh dipandang ringan karena merupakan salah satu
penyakit menular yang menimbul masalah yang sangat kompleks. Masalah yang dimaksudkan
bukan hanya dari segi medis tetapi meluas sampai masalah sosial, ekonomi, budaya, keamanan
dan ketahanan nasional.
47
DAFTAR PUSTAKA :
1. Prawoto, Kabulrachman, Udiyono A, Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap terjadinya
reaksi kusta, http://eprints.undip.ac.id/6325/1/Prawoto.pdf
2. http://www.depkes.go.id/index.php/berita/press-release/1421-prevalensi-kusta-berhasil-
diturunkan-81-persen-.html
3. Sharma N, Koranne R.V, Mendiratta V, Sharma R.C, A study of leprosy reaction in a
tertiary Hospital in delhi, The Journal of Dermatology 2004;31:898-903
4. Kahawita I.P, Sirimanna G.M, Satgurunathan K, Athukorala D.N, Sri Lanka College of
Dermatologist : Guidelines on the management of leprosy reaction: 3-5
5. Walker S.L, Lockwood D.N.J, leprosy type 1 (reversal) reactions and their management,
diunduh dari http://www.leprahealthinaction.org/lr/Dec08/Lep372-386.pdf
6. A. Kosasih, I Made Wisnu, Emmy Sjamsoe-Daili, Sri Linuwih Menaldi. Kusta. Ilmu
Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi kelima. Penerbit FKUI Jakarta 2007; 73-88.
7. Stephen L.W, Diana N.J.L. Leprosy Type 1(reversal) reactions and their management.
Department of Infection and Tropical Disease, London School of Hygiene and Tropical
Medicine, Keppel St, London WC1E 7HT, UK. 2 December 2008.
8. Thomas H.R, Robert L.M, Chapter 186: Leptosy in Klaus W, Lowell A.G, Stephen I.K,
Barbara A.G, Amy S.P, David J.L. Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine 7th
Edition McGraw Hill comp. USA, 2008, page: 1786-96.
9. Modul pelatihan program P2 kusta.Sub Direktorat Kusta dan Frambusia , diperbanyak
oleh Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Barat
10. Indira P.K, Stephen I.W, Diana N.J.L. leprosy type 1 and erythmma nodosum leprosum.
Department of Infection and Tropical Disease, London School of Hygiene and Tropical
Medicine, Keppel St, London WC1E 7HT, UK. 28 Dicember 2007.
11. Mr. M.O. Regan, Dr. J. Keja. Pedoman Nasional Program Pengendalian Penyakit Kusta.
Kementerian Kesehatan RI. Direktor Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan
Lingkungan 2012; 67-71, 99-104, 112-21, 123-25, 127-37.
12. Klaus Wolff, A.J. Richard, S. Dick. Lepra. Fitzpatrick’s Atlas Berwarna dan Sinopsis
Dermatologi Klinikal. Edisi kelima. Penerbit McGraw-Hill Medical.2005; 655-661.
48
13. MedicineNet.com. Leprosy. How is Leprosy Prevented? Diunduh dari
http://www.medicinenet.com/leprosy/page7.htm#what_are_the_complications_of_lepros
y. 24 Mei 2013.
14. Medscape. Dermatologic Manifestation of Leprosy Follow-up. Prognosis. Diunduh dari
http://emedicine.medscape.com/article/1104977-followup#a2650. 24 Mei 2013.
49
LAMPIRAN
Kusta reaksi reversal
50