67

Seminar Final.pmd

Embed Size (px)

Citation preview

Seminar Internasional“Toward a Less Cash Society in Indonesia”

1

SEMINAR INTERNASIONAL

Towards a Less Cash SocietyTowards a Less Cash SocietyTowards a Less Cash SocietyTowards a Less Cash Society

in Indonesiain Indonesiain Indonesiain Indonesia

Direktorat Akunting dan Sistem Pembayaran

Juni 2006

Seminar Internasional“Toward a Less Cash Society in Indonesia”

2

Kata Pengantar

Kegiatan seminar internasional sistem pembayaran tentang “Towards a Less Cash

Society in Indonesia” telah dilaksanakan selama dua hari di Bank Indonesia, Jakarta,

pada tanggal 17-18 Mei 2006. Dari kegiatan tersebut telah dapat kami rangkumkan

pokok-pokok materinya dalam buku laporan seminar, dengan harapan agar dapat

disimak pandangan dari para pembicara baik dari luar maupun dalam negeri. Dengan

latar belakang nara sumber yang beragam mulai dari praktisi, pelaku bisnis, akademisi,

anggota parlemen dan dari kalangan bank sentral sendiri serta dengan pembagian

kelompok topik diskusi yang lebih terfokus diharapkan buku laporan seminar ini dapat

memberikan gambaran utuh dan lengkap tentang peta sistem pembayaran non tunai

di masyarakat Indonesia dan berbagai peluang pengembangannya ke depan.

Materi buku laporan seminar ini dibagi dalam lima bagian. Bagian Pertama –

Pendahuluan – memuat informasi topik para pembicara, pesan penting Gubernur Bank

Indonesia dalam pembukaan seminar, dan catatan-catatan penting Bank Indonesia

dalam pelaksanaan seminar yang perlu diketahui oleh para peserta seminar yang

terangkum dalam keynote speaker Deputi Gubernur Bank Indonesia Bidang Sistem

Pembayaran. Bagian Kedua - Pokok-Pokok Materi Seminar – dirangkum butir-butir

pokok bahasan yang disampaikan oleh masing-masing pembicara dilanjutkan dengan

rangkuman hasil diskusi dan tanya jawab yang dituangkan pada Bagian Ketiga.

Sementara itu, dalam mengoptimalkan kehadiran pembicara asing di Indonesia, kami

rangkumkan hasil sesi diskusi dan tanya jawab di ruang terpisah antara tim teknis

dengan Prof. Dr. Leo van Hove dari Vrije Universiteit Brussel dan Mr Antony Morris

dari Octopus Cards Ltd Hong Kong sebagaimana dapat dilihat pada Bagian Keempat.

Bagian terakhir, Bagian Penutup, kami sarikan pokok kesimpulan seminar yang

dilengkapi dengan lampiran materi tulisan dan tayangan seminar dari para pembicara.

Kami berharap dengan laporan hasil seminar ini dapat diingat kembali

wacana dan solusi yang telah berkembang selama berlangsungnya seminar serta

sekaligus sebagai tambahan pengetahuan bagi pihak yang tidak ikut seminar.

Makin banyak pihak yang mengetahui permasalahan ini, diharapkan dapat ikut

membantu terciptanya masyarakat yang berkecenderungan pada penggunaan

alat pembayaran non tunai. Jika terdapat masukan atau komentar mengenai materi

dalam laporan hasil seminar ini, dengan senang hati kami berharap masukan dan

komentar tersebut dapat disampaikan kepada kami, Tim Pengaturan dan Perizinan

Sistem Pembayaran, Biro Pengembangan Sistem Pembayaran Nasional, Direktorat

Akunting dan Sistem Pembayaran, Bank Indonesia, melalui e-mail: [email protected].

Jakarta, Juni 2006

DASP

Seminar Internasional“Toward a Less Cash Society in Indonesia”

3

Daftar Isi

Kata Pengantar ................................................................................................................. 2

Daftar Isi ............................................................................................................................. 3

Bagian Pertama .................................................................................................. 4

Pendahuluan ...................................................................................................................... 4

Penyelenggaraan Seminar Internasional Sistem Pembayaran

“Towards a Less Cash Society in Indonesia” ................................................................. 5

1. Waktu dan Tempat Seminar ........................................................................................ 5

2. Pembicara ....................................................................................................................... 5

3. Moderator. .................................................................................................................... 5

4. Peserta Seminar ............................................................................................................ 5

5. Jadwal Seminar. ............................................................................................................ 6

Sambutan Gubernur Bank Indonesia ............................................................................. 9

Keynote Speech Seminar Deputi Gubernur Bank Indonesia. .................................. 12

Bagian Kedua .....................................................................................................17

Pokok-Pokok Materi Seminar. ....................................................................................... 17

Pokok-Pokok Materi Seminar Hari I:

Non-Cash Payment Instruments ................................................................................... 18

A. Sesi 1: Policy Aspects on Non-Cash Payment Instruments Development ................... 18

B. Sesi 2: Oversight and Legal Aspect of Non-Cash Payment Instruments ........... 25

Pokok-Pokok Materi Seminar Hari II:

Market Collaboration and Expectations on

Non-Cash Payment Instruments Development .......................................................... 27

A. Sesi 1: National Payment Gateway from the Point of View of Practitioners .. 27

B. Sesi 2: Market Collaboration among Banks, Non Bank Issures, Billers,

Merchants and Supporting Services (Switching Companies and

Financial Acquirer) ..................................................................................................... 31

Bagian Ketiga .....................................................................................................37

Tanya Jawab dan Diskusi ............................................................................................... 37

I. Hari I Sesi 1 .................................................................................................................... 38

II. Hari I Sesi 2 ................................................................................................................... 40

III. Hari II Sesi 1................................................................................................................. 43

IV. Hari II Sesi 2 ................................................................................................................ 48

Bagian Keempat ................................................................................................52

Diskusi dengan Pembicara Asing di Luar Seminar ..................................................... 52

Bagian Kelima ....................................................................................................62

Penutup ............................................................................................................................ 62

Seminar Internasional“Toward a Less Cash Society in Indonesia”

4

Bagian PertamaPENDAHULUAN

Seminar Internasional“Toward a Less Cash Society in Indonesia”

5

Penyelenggaraan Seminar InternasionalPenyelenggaraan Seminar InternasionalPenyelenggaraan Seminar InternasionalPenyelenggaraan Seminar InternasionalPenyelenggaraan Seminar Internasional“““““TTTTTooooowwwwwards a Less Cash Society in Indonesiaards a Less Cash Society in Indonesiaards a Less Cash Society in Indonesiaards a Less Cash Society in Indonesiaards a Less Cash Society in Indonesia”””””

1 . Waktu dan Tempat Seminar

Seminar dilaksanakan pada tanggal 17 dan 18 Mei 2006 di Ruang Serbaguna, Gedung

Sjafruddin Prawiranegara, Lantai 3 Kompleks Perkantoran Bank Indonesia, Jl. M.H.

Thamrin No. 2 Jakarta 10110.

2 . Pembicara

Pembicara terdiri dari anggota parlemen, pakar ekonomi, akademisi, praktisi

perbankan dan praktisi bisnis yang sangat terkait dengan kegiatan sistem

pembayaran, serta internal Bank Indonesia, yaitu:

a. Theo L. Sambuaga, Ketua Komisi I DPR-RI;

b. Asman Abnur, Wakil Ketua Komisi XI DPR-RI;

c. Dr. Dradjad H. Wibowo, Pakar Ekonomi;

d. Prof. Dr. Leo van Hove, Vrije Universiteit Brussel;

e. Antony Morris, Executive Manager Strategic Development and Risk Management,

Octopus Cards Ltd, Hong Kong;

f. Prof. Hikmahanto Juwana, SH, LL.M, Ph.D, Dekan Fakultas Hukum Universitas

Indonesia;

g. Prof. Dr. Ahmad M. Ramli, SH, MH, Staf Ahli Bidang Hukum Menteri Komunikasi

dan Informatika;

h. Mohamad Ishak, Staf Ahli Dewan Gubernur Bank Indonesia;

i. Perry Warjiyo, Direktur Riset Ekonomi dan Kebijakan Moneter Bank Indonesia;

j. Bramudija Hadinoto, Deputi Direktur Akunting dan Sistem Pembayaran Bank In-

donesia;

k. D.E. Setijoso, CEO PT. Bank Central Asia, Tbk;

l. Budi S. Mulyadi, PT. Telkom (Persero), Tbk;

m.Ahmad Bambang, PT. Pertamina (Persero); dan

n. Ir. Djoko Dwidjono, Kepala Divisi Perencanaan Perusahaan Sistem Informasi dan

Pengembangan Teknologi PT. Jasa Marga (Persero).

3 . Moderator

Moderator terdiri dari akademisi dan internal Bank Indonesia, yakni:

a. Edmon Makarim, SH, S.Kom, LL.M, Lembaga Kajian Hukum dan Teknologi, Fakultas

Hukum Universitas Indonesia;

b. Halim Alamsyah, Direktur Statistik Ekonomi dan Moneter, Bank Indonesia;

c. Edi Siswanto, Direktur Akunting dan Sistem Pembayaran Bank Indonesia; dan

d. Dyah N.K. Makhijani, Kepala Biro Pengembangan Sistem Pembayaran Nasional,

Bank Indonesia.

4 . Peserta Seminar

Peserta seminar terdiri dari pakar dan praktisi perbankan, teknologi informasi, instansi

pemerintah, Bank Indonesia, merchants, perusahaan penyelenggara kliring/switch-

ing, akademisi dan wakil dari lembaga konsumen Indonesia. Dihadiri undangan sekitar

Seminar Internasional“Toward a Less Cash Society in Indonesia”

6

200 orang yang terdiri dari:

a. Internal Bank Indonesia (± 30 orang):

1) Beberapa Pimpinan Direktorat terkait; dan

2) Pimpinan Kantor Bank Indonesia Kelas 1 (Medan, Bandung, Semarang,

Surabaya, dan Makassar).

b. Eksternal Bank Indonesia (± 170 orang ), antara lain dari:

1) Departemen Kominfo, Departemen Keuangan, dan Departemen Hukum dan

Hak Asasi Manusia;

2) Kalangan perbankan penerbit alat pembayaran dengan menggunakan kartu;

3) Anggota DPR;

4) Mahkamah Agung, Kejaksaan (Agung, Tinggi, Negeri), Pengadilan (Negeri,

Tinggi) dan Aparat Kepolisian (Mabes Polri dan Polda);

5) Akademisi (beberapa perguruan tinggi di Jakarta, Bandung dan Bogor);

6) Perusahaan Penyelenggara Switching/Kliring ATM;

7) Merchants (KADIN, Hiswana Migas, Secure Parking, Trans Jakarta, Jasa Marga,

Telkom, PLN, Carrefour, Hero dan beberapa responden utama dalam survei);

8) Operator Seluler; dan

9) Wartawan Bidang Ekonomi.

5 . Jadwal Seminar

Hari Pertama, 17 Mei 2006

Non-Cash Payment Instruments

08.00 - 09.00 Registrasi Peserta

09.00 - 09.10 Pembukaan oleh Burhanuddin Abdullah, Gubernur Bank Indone-

sia

09.10 - 09.30 Coffee Break

09.30 - 09.45 R. Maulana Ibrahim, Deputi Gubernur Bank Indonesia Bidang

Sistem Pembayaran (Keynote Speaker)The Current Condition of

Less Cash Society in Indonesia

Sesi I.

Policy and Economy Aspects on Non-Cash Payment Instruments Development

09.45 - 11.45 Theo L. Sambuaga, Ketua Komisi I DPR-RIRegulating Less Cash

Society in Relation to National Security Aspect, especially in the

Attempt of Preventing Terrorism Financing Prof. Dr. Leo van Hove,

Vrije Universiteit BrusselMacro Economic Aspects of Creating Less

Cash Society Dr. Dradjad H. Wibowo, Pakar EkonomiLess Cash

Society and its Impact for Monetary Policy from the Point of View

of Indonesian ObserverPerry Warjiyo, Direktur Riset Ekonomi dan

Kebijakan Moneter Bank IndonesiaNon-cash Payments and Mon-

etary Policy Implications in IndonesiaModerator: Halim Alamsyah,

Direktur Statistik Ekonomi dan Moneter Bank Indonesia

11.45 - 12.45 Tanya Jawab, Diskusi dan Kesimpulan Hasil Diskusi Sesi I

Seminar Internasional“Toward a Less Cash Society in Indonesia”

7

12.45 - 14.00 Istirahat, Shalat dan Makan Siang

Sesi II. Oversight & Legal Aspect of Non-Cash Payment Instruments

14.00 - 15.30 Asman Abnur, Waki l Ketua Komis i XI DPR-RIAspek

Perl indungan Konsumen Dalam Less Cash SocietyProf.

Hikmahanto Juwana, SH, LL.M, Ph.D, Dekan Fakultas Hukum

Universitas Indonesia Aspek Hukum dalam Implementasi Alat

Pembayaran Non Tunai Elektronik (e-money) dan Kesiapan

Perangkat Hukum Indonesia dalam Menunjang Terciptanya

Less Cash SocietyBramudi ja Hadinoto, Deputi Direktur

Akunting dan Sistem Pembayaran Bank IndonesiaPeran Bank In-

donesia dalam Pengawasan Sistem PembayaranModerator: Edmon

Makarim, SH, S.Kom, LL.M, Lembaga Kajian Hukum dan Teknologi,

Fakultas Hukum UI

15.30 - 16.30 Tanya Jawab, Diskusi dan Kesimpulan Hasil Diskusi Sesi II

16.30 - 16.45 Coffee Break dan Selesai Hari I

Hari Kedua, 18 Mei 2006

Market Collaborations and Expectations on Non-Cash Payment Instruments Devel-

opment

08.00 - 08.30 Registrasi Peserta

Sesi I. National Payment Gateway from the Point of view of Practitioners

08.30 - 10.15 Antony Morris, Executive Manager Strategic Development and

Risk Management, Octopus Cards Ltd, Hong KongTowards a Less

Cash SocietyBudi S. Mulyadi, PT. Telkom (Persero), Tbk.Kesiapan

Infrastruktur Telekomunikasi dalam Mendukung Less Cash

SocietyAhmad Bambang, PT. Pertamina (Persero)Urgensi dan

Manfaat Penggunaan Non-cash Payment Instruments bagi SPBU

dan Masyarakat Moderator: Dyah N.K. Makhijani, Kepala Biro

Pengembangan Sistem Pembayaran Nasional Bank Indonesia

10.15 - 11.30 Tanya Jawab, Diskusi dan Kesimpulan Hasil Diskusi Sesi I

11.30 - 13.00 Istirahat, Shalat dan Makan Siang

Sesi II. Market Collaboration among Banks, Non Bank Issuers,

Billers, Merchants and Supporting Services

(Switching Company and Financial Acquirer)

13.00 - 15.00 Mohamad Ishak, Staf Ahli Dewan Gubernur Bank IndonesiaPeran

Bank Indonesia dalam Mendukung Pengembangan Penggunaan

Instrumen Pembayaran Non Tunai dalam Transaksi RitelProf. Dr.

Ahmad M. Ramli, SH, MH, Staf Ahli Bidang Hukum Menteri

Seminar Internasional“Toward a Less Cash Society in Indonesia”

8

Komunikasi dan InformatikaElectronic Money dan Peran

Pemerintah dalam Transaksi Keuangan berbasis Teknologi

InformasiD.E. Setijoso, CEO PT. Bank Central Asia, Tbk.Prospek dan

Tantangan dalam Mewujudkan Less Cash Society – Case Study

BCAIr. Djoko Dwidjono, Kepala Divisi Perencanaan Perusahaan dan

Pengembangan Teknologi PT. Jasa Marga (Persero)Optimisasi dan

Efisiensi Pengelolaan Jalan Tol dengan Menggunakan Non-cash

Payment InstrumentsModerator: Edi Siswanto, Direktur Akunting

dan Sistem Pembayaran Bank Indonesia

15.00 - 16.00 Tanya Jawab, Diskusi dan Kesimpulan Hasil Diskusi Sesi II

16.00 - 16.30 Kesimpulan dan Penutupan Seminar: Edi Siswanto, Direktur

Akunting dan Sistem Pembayaran Bank Indonesia

Seminar Internasional“Toward a Less Cash Society in Indonesia”

9

Pembukaan SeminarPembukaan SeminarPembukaan SeminarPembukaan SeminarPembukaan Seminaroleholeholeholeholeh

Burhanuddin Abdullah, Gubernur Bank IndonesiaBurhanuddin Abdullah, Gubernur Bank IndonesiaBurhanuddin Abdullah, Gubernur Bank IndonesiaBurhanuddin Abdullah, Gubernur Bank IndonesiaBurhanuddin Abdullah, Gubernur Bank Indonesia

Dear distinguished speaker, Professor Leo van Hove,

Para Pembicara dan Moderator yang saya hormati,

Rekan-rekan Anggota Dewan Gubernur yang berbahagia,

Para peserta seminar, serta hadirin sekalian yang berbahagia.

Assalaamu’alaikum Warahmatullaahi Wabarakatuh

Marilah kita memanjatkan puji syukur ke hadirat Illahi Robbi atas segala rahmat

dan karunia-Nya, sehingga pada hari ini kita dapat berkumpul dan berdiskusi dalam

suasana yang baik, menghadiri sebuah seminar yang sangat penting bagi masa depan

kita semua. Seminar hari ini membahas salah satu masalah yang merupakan konsekuensi

dari globalisasi dan semakin terintegrasinya perekonomian dunia saat ini. Uang dan

sistem pembayaran, semakin hari semakin bekembang sepanjang zaman. Kini kita

dihadapkan pada tantangan menuju masyarakat yang diistilahkan dalam seminar ini,

“less cash society”.

Untuk itu, saya mengucapkan terima kasih kepada para pembicara baik dari luar

maupun dari dalam negeri yang akan memberikan pandangan dan pengalamannya

dalam pengembangan dan penggunaan instrumen pembayaran non tunai. On behalf

of Bank Indonesia, I would like to extend a very warm welcome to Prof Leo Van Hove.

Your presence here to share your valuable insight on the payment system, especially

those on the aspects of economy and legal of less cash society, would be essential for

us in developing more reliable and healthier payment system in the future.

Hadirin sekalian yang berbahagia,

Beberapa waktu lalu ada sebuah tayangan di stasiun televisi CNN mengenai

pertumbuhan ekonomi di China. Di sana diceritakan bahwa sekitar 15-20 tahun yang

lalu, kalau kita kehilangan credit card di China, kita tak perlu khawatir. Karena pada

saat itu di China belum ada kartu kredit. Pencurinya tak akan bisa menggunakan kartu

kredit untuk melakukan transaksi keuangan. Tapi sekarang, kemajuan perekonomian

telah mendorong secara otomatis perkembangan teknologi, termasuk dalam sistem

pembayaran. Gubernur Bank Sentral China pernah bercerita bahwa mereka saat ini

sedang mengembangkan China National Advanced Payment System (CNAPS) yang di

dalamnya sudah mencakup perkembangan teknologi dalam sistem pembayaran. Tentu

kita harus berhati-hati kalau kehilangan kartu kredit sekarang di China.

Satu hal yang jadi catatan kita dari berita tersebut adalah, Indonesia juga sedang

menuju pada arah yang sama. Saat ini perkembangan alat pembayaran di negeri ini

telah meningkat begitu pesat. Teknologi penggunaan instrumen pembayaran non tunai,

baik secara domestik maupun secara internasional, telah berkembang pesat disertai

dengan berbagai inovasi yang mengarah pada penggunaannya yang makin efisien,

Seminar Internasional“Toward a Less Cash Society in Indonesia”

10

aman, nyaman dan cepat.

Kita melihat bahwa inovasi tersebut tidak saja pada berkembangnya penggunaan

instrumen pembayaran berbasis kertas (paper-based), penggunaan alat pembayaran

dengan menggunakan kartu (card-based), dan pembayaran secara elektronik (elec-

tronic-based) tetapi juga sudah disertai dengan makin cepatnya proses penyelesaian

setelmennya. Para pihak yang terlibatpun semakin bervariasi sehingga memerlukan

koordinasi yang baik dalam menyediakan kerangka aturannya.

Sejalan dengan itu, di lain sis i kita harus siap menghadapi berbagai

konsekuensi yang dapat timbul dari semakin pesatnya perkembangan teknologi

tersebut. Oleh karena itu, pada tahun 2005 lalu, Bank Indonesia mengeluarkan

Peraturan Bank Indonesia (PBI) yang mengatur mengenai penyelenggaraan

kegiatan alat pembayaran dengan menggunakan kartu (APMK). Dari PBI tersebut, kita

melihat respon dan minat lembaga selain bank untuk menjadi penyelenggara kegiatan

APMK, khususnya untuk penerbitan kartu pra bayar, sangat positif. Hal ini tercermin

dari banyaknya perhatian dari lembaga selain bank tersebut yang meminta konfirmasi

dan berdiskusi lebih lanjut kepada Bank Indonesia mengenai kemungkinannya untuk

menjadi penyelenggara APMK baik sebagai penerbit kartu, financial acquirer, techni-

cal acquirer, maupun switching company. Secara umum, area yang dituju lembaga

selain bank kebanyakan adalah untuk berpartisipasi dalam penerbitan kartu prabayar

guna kepentingan micro payment, seperti untuk pembayaran tarif tol, transportasi,

pembelian bahan bakar minyak, dan transaksi pembayaran retail lainnya.

Saudara-saudara para peserta seminar yang saya hormati,

Saya berharap seminar pada hari ini dapat dimanfaatkan sebagai wahana yang

tepat untuk menggali masukan dan bertukar pikiran, dimana nanti kita mendapatkan

garis, arahan, ataupun solusi yang tepat bagi kelancaran sistem pembayaran di Indo-

nesia. Kami di Bank Indonesia, sebagai otoritas, akan tetap bertindak sebagai fasilitator

dan katalisator untuk mendukung langkah konvergen antara berbagai pihak yang

terkait dalam penyelenggaraan sistem pembayaran tersebut. Hal ini perlu dilakukan

agar tercipta harmonisasi di antara para pihak, yang pada akhirnya dapat dirasakan

manfaatnya oleh masyarakat luas yang menuntut penggunaan instrumen pembayaran

yang lebih convenience.

Saya melihat seminar kita pada hari ini juga membahas berbagai aspek kebijakan

dan aspek ekonomi dalam pengembangan instrumen pembayaran non tunai. Harapan

saya berbagai pertanyaan dan kegalauan yang ada kiranya dapat kita diskusikan

bersama.

Saudara-saudara yang saya hormati,

Demikian yang dapat saya sampaikan pada hari ini. Semoga di ujung hari nanti

seminar ini dapat menghasilkan sebuah pandangan, gagasan dan rekomendasi yang

nyata yang akan memperkuat keinginan kita untuk mewujudkan Grand Desain Upaya

Peningkatan Penggunaan Pembayaran Non Tunai.

Seminar Internasional“Toward a Less Cash Society in Indonesia”

11

Saya juga menyampaikan penghargaan kepada panitia dan rekan-rekan yang telah

menyiapkan acara pada hari ini.

Akhirnya, saya ucapkan selamat mengikuti seminar, dan dengan mengucap

‘Bismillahirahmanirrahim’ Seminar Dua Hari ini saya nyatakan dibuka.

Sekian dan terimakasih. Wassalamu’alaikum Warahmatullaahi Wabarakatuh.

Jakarta, 17 Mei 2006

Gubernur Bank

Indonesia

Burhanuddin Abdullah

Seminar Internasional“Toward a Less Cash Society in Indonesia”

12

Keynote Speech : Keynote Speech : Keynote Speech : Keynote Speech : Keynote Speech : The Current Condition of Less Cash Society in Indonesia

R. Maulana IbrahimR. Maulana IbrahimR. Maulana IbrahimR. Maulana IbrahimR. Maulana IbrahimDeputi Gubernur Bank Indonesia Bidang Sistem PembayaranDeputi Gubernur Bank Indonesia Bidang Sistem PembayaranDeputi Gubernur Bank Indonesia Bidang Sistem PembayaranDeputi Gubernur Bank Indonesia Bidang Sistem PembayaranDeputi Gubernur Bank Indonesia Bidang Sistem Pembayaran

Distinguished speaker, Professor Dr. Leo van Hove from Vrije Universiteit Brussel,

Para Pembicara dan Moderator yang saya hormati,

Rekan-rekan Anggota Dewan Gubernur yang berbahagia,

Saudara-Saudara Tamu Undangan, Peserta Seminar dan Hadir in Sekal ian

yang Berbahagia

Assalaamu’alaikum Warahmatullaahi Wabarakatuh

Selamat Pagi dan Salam Sejahtera untuk kita semua

Pagi ini, saya sangat berbahagia dan mengucap syukur dapat menyampaikan

keynote speech pada seminar, yang saya rasa sangat penting bagi masa depan sistem

pembayaran Indonesia.

Topik less cash society yang beberapa waktu lalu masih merupakan wacana, hari

ini telah memasuki tahapan yang lebih riil berupa kajian akademis melalui pembahasan

dan diskusi yang berkembang dalam forum seminar “Towards a Less Cash Society”

pada hari ini.

Hasil seminar ini selanjutnya akan digunakan Bank Indonesia sebagai bahan untuk

menyusun Grand Design peningkatan penggunaan instrumen pembayaran non tunai,

yang merupakan spirit dari terciptanya less cash society.

Saudara-Saudara Sekalian yang Berbahagia,

Dalam beberapa tahun terakhir ini, perkembangan sistem pembayaran yang

berbasis teknologi telah mengubah secara signifikan arsitektur sistem pembayaran

konvensional yang mengandalkan fisik uang sebagai instrumen pembayaran. Paradigma

para pelaku ekonomi dalam setelmen transaksi, juga telah mengalami pergeseran.

Meski fisik uang sampai saat ini masih banyak digunakan masyarakat dunia sebagai

alat pembayaran, namun sejalan dengan perkembangan teknologi sistem pembayaran

yang pesat, pola pembayaran tunai (cash) secara berangsur beralih menuju pembayaran

non tunai (non-cash). Setidaknya terdapat tiga basis instrumen pembayaran non tunai,

yakni:

· Paper-based: cek, bilyet giro dan nota debet

· Card-based: kartu kredit, kartu debet dan kartu ATM

· Electronic-based: e-money, internet banking dan mobile banking

Kita sadari, bahwa perkembangan menuju less cash society merupakan trend

yang tidak dapat dihindari. Perubahan tersebut antara lain didukung oleh

perkembangan infrastruktur dan teknologi sistem pembayaran seperti kartu ‘chip’

misalnya.

Dari sisi konsumen, penggunaan instrumen (non-cash payment) seperti card-based

Seminar Internasional“Toward a Less Cash Society in Indonesia”

13

dan electronic-based saat ini sudah menjadi suatu kebutuhan karena transaksi dapat

dilakukan dengan praktis, cepat dan nyaman. Bagi masyarakat, penggunaan

pembayaran non tunai dengan menggunakan kartu mempermudah transaksi mereka

seperti penarikan tunai, transfer dana, dan pembayaran berbagai tagihan rutin lainnya.

Semua itu dilakukan tanpa harus datang ke counter atau kantor bank.

Bagi bank/penerbit, selain mengikuti trend, penggunaan instrumen non tunai

dan berbagai derivatif produknya, tidak dipungkiri menjadi salah satu jurus untuk

memperkuat daya saing bank, memperluas pasar, meningkatkan fee-based income dan

memberikan layanan plus kepada nasabah. Dari sisi operasional, penggunaan non-cash

instrument akan mempercepat dan mempermudah penyelesaian transaksi dan berbagai

kebutuhan nasabah dalam satu waktu, serta dengan biaya transaksi yang relatif lebih

rendah.

Dengan berbagai kelebihannya, e-banking dan APMK juga secara perlahan-lahan

telah menjadi bagian integral dari sistem operasional perbankan dan mengubah perilaku

pelayanan bank kepada nasabah melalui konsep ‘close to customer’.

Tidak hanya di Indonesia, perkembangan non-cash payment di kawasan Asia

Pasifik secara umum juga menunjukkan peningkatan dimana nilai transaksi pembayaran

melalui kartu kredit, kartu debet dan kartu ATM cenderung meningkat.

Saudara sekalian yang berbahagia,

Dari aspek makro, Bank Indonesia menyadari sepenuhnya bahwa fungsi sistem

pembayaran sangatlah kritikal dalam suatu perekonomian. Sistem pembayaran

diibaratkan sebagai aliran darah yang menggerakkan dan melancarkan organ-organ

perekonomian untuk menjamin kestabilan sistem keuangan. Setiap distorsi yang timbul

dalam sistem pembayaran akan mengganggu transmisi likuiditas dalam perekonomian.

Oleh karena itu, kelancaran sistem pembayaran melalui transaksi non tunai akan

merupakan faktor penentu keberhasilan terciptanya stabilitas sistem keuangan dan

efektivitas kebijakan moneter.

Peningkatan perputaran ekonomi jelas menuntut dukungan sistem pembayaran

yang cepat, aman, efisien, dan handal. Lancarnya sistem pembayaran, selain akan

memberikan kepastian masyarakat dalam bertransaksi, secara otomatis juga akan

mempercepat peredaran uang (velocity of money) dan mengurangi floating dana dalam

setelmen. Perputaran uang yang semakin cepat dalam masyarakat akan menstimulasi

kegairahan dan pertumbuhan ekonomi sebagai dampak dari money multiplier yang

diciptakannya.

Harus disadari, bahwa tingkat keberhasilan sistem pembayaran secara keseluruhan

sangat tergantung pada kehandalan instrumennya, teknologi yang digunakan dan

jaringan komunikasi. Setiap distorsi yang timbul pada jaringan komunikasi akan

menimbulkan gangguan dalam sistem pembayaran yang dapat mengganggu stabilitas

sistem keuangan secara keseluruhan.

Bank Indonesia sebagai otoritas yang berwenang mengatur dan menjaga

kelancaran sistem pembayaran, sangat concern terhadap potensi risiko tersebut. Oleh

Seminar Internasional“Toward a Less Cash Society in Indonesia”

14

karena itu saya sangat berharap bahwa para pelaku sistem pembayaran, baik bank

maupun non bank, memiliki sistem manajemen risiko yang handal untuk menjamin

keamanan dan kepastian bertransaksi.

Lemahnya sistem keamanan dalam bertransaksi akan berdampak pada

timbulnya risiko operasional dan risiko reputasi yang dapat menyebabkan

hilangnya kepercayaan masyarakat pada sistem pembayaran secara keseluruhan.

Terc iptanya kelancaran dan keamanan s i s tem in i akan sangat berperan

dalam menjaga stabilitas sistem keuangan nasional, dan gangguan atas sistem

ini akan menimbulkan financial disturbances yang dapat berisiko sistemik.

Saudara sekalian yang berbahagia,

Seiring dengan pesatnya perkembangan sistem pembayaran global dan

meningkatnya tuntutan publik akan layanan yang lebih baik di bidang jasa pembayaran

dengan instrumen non tunai, berbagai penyempurnaan infrastruktur sistem

pembayaran telah dan akan terus dilakukan Bank Indonesia, baik dari sisi regulasi,

teknologi maupun kompetensi sumber daya manusianya.

Kebijakan saat ini dan ke depan diarahkan dengan mengacu pada empat prinsip

utama yakni: (i) minimalisasi risiko sistem pembayaran, (ii) optimalisasi efisiensi nasional

dalam sistem pembayaran, (iii) kesetaraan akses bagi pelaku sistem pembayaran (fair-

ness), dan (iv) prinsip perlindungan konsumen.

Terlepas dari berbagai penyempurnaan infrastruktur tersebut, perkembangan

sistem pembayaran nasional masih menyisakan beberapa isu yang perlu prioritas

penanganan intensif. Meningkatnya pertumbuhan ekonomi yang diikuti dengan

peningkatan kegiatan transaksi, turut memperbesar kemungkinan risiko dalam sistem

pembayaran yang juga perlu dicermati dan diantisipasi.

Ke depan, Bank Indonesia secara berhati-hati akan tetap konsisten untuk

menegakkan aturan tentang transaksi non tunai ini, khususnya yang berbasis kartu

dan elektronik, dalam upaya memberikan perlindungan, baik terhadap institusi

penyelenggara maupun konsumen pengguna.

Khusus untuk transaksi berbasis kartu, pada akhir tahun 2005, Bank Indonesia

telah mengeluarkan ketentuan APMK yang didalamnya telah memberikan rambu-rambu

sekaligus guidance untuk pengembangan berbagai instrumen non-cash berbasis kartu.

Pengaturan tersebut berlaku untuk seluruh penyelenggara kegiatan APMK sehingga

dapat mendukung adanya persaingan yang sehat dalam usaha ini, termasuk aspek

perlindungan nasabah, aspek pengawasan, dan aspek prudential regulation.

Se la in berbaga i fak tor te r sebut , pengaturan APMK juga d idasa r i

per t imbangan pesatnya per tumbuhan a la t pembayaran berbas i s kar tu

ini dalam l ima tahun terakhir. Sebagai gambaran, pertumbuhan card based

instruments seperti kartu kredit rata-rata per tahunnya telah mencapai sekitar 15-30%.

Sedangkan untuk kartu debet mencapai 25%-30% per tahun. Sementara itu,

perkembangan instrumen kartu prabayar atau stored value card juga sudah mulai

marak digunakan, seperti kartu prabayar untuk kepentingan komunikasi, layanan

Seminar Internasional“Toward a Less Cash Society in Indonesia”

15

permainan anak-anak ataupun kartu busway.

Pengembangan dan penggunaan sistem pembayaran non tunai ini di Indonesia

potensinya masih sangat besar. Data dari World Bank menunjukkan bahwa hanya sekitar

40% penduduk usia 15-65 tahun memiliki rekening tabungan di bank.

Selain itu, statistik uang beredar mencatat bahwa rasio penggunaan uang giral

dibandingkan dengan uang kartal pada akhir tahun 2005 adalah 34% : 66%. Apabila

produk inovatif perbankan seperti layanan ATM dan kartu debet diperhitungkan, maka

rasio uang giral dan kartal mencapai 52% : 48%. Rasio tersebut menunjukkan bahwa

instrumen non tunai telah memberikan kontribusi yang besar dalam menekan jumlah

peredaran uang kartal dan mempercepat perputaran uang giral.

Mencermati perkembangan alat pembayaran berbasis kartu ini, Bank Indonesia

sebagai lembaga yang memiliki otoritas di bidang sistem pembayaran akan tetap

berperan sebagai fasilitator dan katalisator dalam pengembangan instrumen

pembayaran tersebut. Bank Indonesia juga akan terus mendorong institusi yang akan

menjadi penyelenggara dan pengembang instrumen pembayaran non tunai ini, seperti

pengelola transportasi, pengelola tol, perparkiran, dan penyedia jaringan komunikasi.

Selain itu, pada level penetapan kebijakan, kami juga telah berkoordinasi dengan

otoritas terkait pada level nasional seperti dengan Departemen Komunikasi dan

Informatika dan Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia dalam rangka sinkronisasi

dan harmonisasi peraturan perundangan di bidang transfer dana dan transaksi

elektronik.

Saudara-saudara para peserta seminar yang saya hormati,

Pertumbuhan berbagai instrumen pembayaran non-cash ini tak lepas dari upaya

Bank Indonesia dalam mendorong terbentuknya less cash society dalam sistem

pembayaran dengan tetap berpegang pada aspek prudensial dan sebesar-besarnya

untuk kepentingan masyarakat.

Namun demikian, dalam beberapa hal pengembangan less cash society ini masih

menghadapi kendala, antara lain: masyarakat Indonesia masih merupakan cash soci-

ety, dan memegang uang merupakan bagian dari suatu kebiasaan apabila tidak ingin

dikatakan sebagai budaya, dimana tendensi bertransaksi dengan uang tunai masih

tinggi. Disamping itu masalah infrastruktur pengamanan, teknologi, dan kesiapan

perangkat hukum, masih membutuhkan pembenahan lebih lanjut.

Dari aspek legal, belum diakuinya bukti virtual dalam hal terjadi dispute, masih

menjadi kendala dalam pengembangan instrumen non tunai khususnya yang berbasis

elektronik (paperless). Penyalahgunaan kartu juga masih marak terjadi. Dari sisi ini,

kepastian bertransaksi dan aspek perlindungan hukum baik kepada masyarakat

pengguna instrumen maupun kepada para penerbit masih menjadi isu. Untuk

melindungi masyarakat dari penyalahgunaan instrumen berbasis kartu ini, Bank Indo-

nesia secara bertahap meminta kepada para penerbit kartu untuk beralih dari

penggunaan kartu magnetic stripe menjadi chip. Kebijakan ini semata-mata didasari

pertimbangan untuk memberikan perlindungan baik kepada bank maupun nasabah.

Seminar Internasional“Toward a Less Cash Society in Indonesia”

16

Terkait dengan langkah pemerintah yang meratifikasi International Convention

for the Suppression of Terrorist Bombing, 1997 dan International Convention for the

Suppression of Terrorism Financing, 1999 pada tahun 2006, maka kekhawatiran sistem

pembayaran digunakan sebagai jalur lalu lintas illegal money juga perlu dicermati.

Untuk mengantisipasi hal tersebut, saat ini, melalui kerjasama dengan berbagai instansi

terkait, Bank Indonesia telah merumuskan Rancangan Undang-Undang Transfer Dana

yang antara lain mengatur mengenai kewajiban perizinan terhadap semua

penyelenggara transfer dana, termasuk non-bank money remitters. Dalam hubungan

ini, secara internal Bank Indonesia pada tahun ini pun akan mengeluarkan ketentuan

yang mengatur kegiatan money remittance.

Saudara-Saudara Sekalian yang Berbahagia,

I t u l a h y a n g d a p a t s a y a s a m p a i k a n . M e n e l a a h t o p i k - t o p i k y a n g

akan d i sampaikan dan dengan kua l i tas pembicara yang te lah memi l ik i

r e p u t a s i , s a y a o p t i m i s b a h w a s e m i n a r i n i a k a n m a m p u m e m b e r i k a n

s e b u a h p e m i k i r a n , s e b u a h p e n y e g a r a n , d a n pada akhirnya terlahir suatu

konsep strategis dalam mewujudkan less cash society.

Ke depan, saya sangat menaruh harapan bahwa pengembangan transaksi non-

cash melalui jalur elektronik dan mengingat besarnya tingkat penerimaan masyarakat

atas berbagai instrumen non-cash, akan menjadi salah satu stimulan untuk mempercepat

era less cash society tersebut di Indonesia.

Akhirul kalam, saya atas nama Bank Indonesia menyampaikan penghargaan dan

ucapan terima kasih kepada para pembicara dan hadirin sekalian yang telah meluangkan

waktu, meringankan langkah dan berkontribusi dalam seminar ini.

Demikian, semoga Tuhan Yang Maha Esa senantiasa memberikan tuntunan bagi

semua niat baik yang kita rencanakan. Amin.

Sekian dan terima kasih, Wassalaamu’alaikum Warahmatullaahi Wabarakatuh.

Jakarta, 17 Mei 2006

Deputi Gubernur

Bank Indonesia

R. Maulana Ibrahim S.

Seminar Internasional“Toward a Less Cash Society in Indonesia”

17

Bagian KeduaPOKOK-POKOK

MATERI SEMINAR

Seminar Internasional“Toward a Less Cash Society in Indonesia”

18

I. Pokok-Pokok Materi Seminar Hari I, Rabu, 17 Mei 2006

Non-Cash Payment Instruments

A .Sesi 1

Policy and Economy Aspects on Non-Cash Payment Instruments

Development

1. Regulating Less Cash Society in Relation to National Security Aspects, especially

in the Attempt of Preventing Terrorism Financing

(Theo L. Sambuaga, Ketua Komisi I DPR-RI)

Topik yang dipaparkan pembicara terkait dengan penggunaan transaksi yang

memanfaatkan sarana non tunai sebagai upaya untuk mencegah terjadinya aksi

teroris terkait dengan bidang keuangan dan pencucian uang. Dalam kesempatan

tersebut dikemukakan bahwa penggunaan sarana pembayaran non tunai dapat

membantu usaha pencegahan dan identifikasi kejahatan, terutama jika dilakukan

dengan melacak kegiatan pendanaannya termasuk didalamnya penggunaan

transaksi untuk kegiatan terorisme. Secara rinci materi yang disampaikan oleh

pembicara mencakup beberapa hal seperti:

a. Terdapat beberapa Undang-Undang yang telah disusun untuk mengawasi dan

mengatasi terorisme, antara lain:

1) Undang-Undang No. 1 Tahun 2002 tentang Terorisme;

2) Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Pelaksanaan Undang-Undang

No. 1 Tahun 2002 tentang Terorisme sebagaimana telah disahkan dengan

Undang-Undang No. 15 Tahun 2005 tentang Pengesahan Undang-Undang

No. 1 Tahun 2002;

3) Undang-Undang No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang

sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 25 Tahun 2003;

4) Undang-Undang No. 24 Tahun 2000 tentang Kerjasama Internasional;

5) Undang-Undang No. 1 Tahun 2006 tentang Kerjasama dalam Penanganan

Kejahatan;

6) Undang-Undang No. 5 Tahun 2006 tentang Pengesahan Kerjasama

Internasional dalam Pencegahan Terorisme Pengeboman, 1997; dan

7) Undang-Undang No. 6 Tahun 2006 tentang Pengesahan Kerjasama

Internasional dalam Pengawasan Pendanaan Terorisme, 1999.

b. Tindakan pencucian uang diartikan sebagai serangkaian kegiatan yang

dilakukan oleh seseorang atau suatu organisasi terhadap uang yang diperoleh

melalui kegiatan-kegiatan yang melanggar hukum seperti tindak kejahatan

untuk menyamarkan atau mengaburkan asal-usul uang tersebut. Tindakan

pencucian uang dilakukan untuk menutupi asal-usul uang terhadap tindakan

pelacakan yang mungkin dilakukan oleh pemerintah atau otoritas yang

berwenang dengan memasukkan uang tersebut pada sistem keuangan

sehingga seolah-olah uang tersebut menjadi uang yang diperoleh dari kegiatan

yang legal.

Seminar Internasional“Toward a Less Cash Society in Indonesia”

19

c. Tindakan pencucian uang diyakini dapat memiliki dampak yang relatif luas

terhadap masyarakat, antara lain:

1) Tindakan tersebut dapat memberikan kesempatan kepada pengedar

narkotika, penyelundup, dan pelanggar hukum lainnya untuk melakukan

dan bahkan memperluas ruang lingkup kegiatan illegal yang mereka

lakukan.

2) Tindakan tersebut memiliki dampak yang luas terhadap perekonomian

nasional karena melibatkan jumlah uang yang relatif besar.

3) Tindakan tersebut dapat meningkatkan rasa tidak percaya dunia

internasional karena dapat meningkatkan ancaman terhadap keamanan

internasional.

d. Dampak tindakan pencucian uang terhadap keamanan nasional antara lain:

1) Melemahkan sektor swasta yang legal;

2) Melemahkan integritas sistem keuangan;

3) Hilangnya kontrol atas kebijakan ekonomi;

4) Gangguan dan instabilitas ekonomi;

5) Hilangnya pendapatan;

6) Risiko dalam proses swastanisasi;

7) Risiko reputasi;

8) Risiko sosial.

e. Kebijakan seperti “Know Your Customer” (KYC) dapat mencegah tindakan

pencucian uang.

f. Dalam pelaksanaan sarana pembayaran non tunai, pihak perbankanlah yang

seharusnya menanggung biaya yang timbul karena pihak perbankan juga

menikmati pendapatan dari pelaksanaan sarana pembayaran non tunai

tersebut.

g. Dalam rangka mengubah budaya masyarakat yang relatif kurang memiliki

pengetahuan yang cukup mengenai sarana pembayaran non tunai, upaya yang

harus dilakukan adalah terutama memberikan edukasi yang memadai mengenai

sarana pembayaran non tunai tersebut.

h. Pemerintah Indonesia tengah mengusahakan kerjasama ekstradisi dengan

Singapura, tetapi perjanjian kerjasama tersebut sulit dicapai, terutama karena

adanya perbedaan persepsi dalam hal tindakan kejahatan yang dapat

diikutsertakan serta perbedaan hukum di kedua negara. Pemerintah Singapura

juga menginginkan agar kerjasama di bidang pertahanan juga dibicarakan

pararel dengan kerjasama ekstradisi tersebut.

2. Macro Economic Aspects of Creating Less Cash Society

(Prof. Dr. Leo van Hove, Vrije Universiteit Brussel)

Dalam topik ini dipaparkan beberapa aspek penting mengapa harus

mengupayakan less cash society (LCS) dan bagaimana caranya untuk mendorong

upaya peningkatan LCS sehingga diperoleh manfaat ekonomi yang lebih besar.

Seminar Internasional“Toward a Less Cash Society in Indonesia”

20

Pada topik ini digambarkan oleh pembicara tentang adanya contoh kasus

penggunaan instrumen non-cash di Eropa. Berdasarkan hasil studi yang dilakukan

oleh Bank Sentral Belgia dan Belanda dijelaskan bahwa manfaat ekonomi yang

dihasilkan apabila masyarakat mengubah perilaku penggunaan instrumen cash

menjadi non-cash (dalam kasus ini lebih ditekankan pada e-purse dan kartu de-

bet). Namun demikian terdapat beberapa tantangan dalam mewujudkan suatu

LCS karena adanya pandangan bahwa penggunaan instrumen non-cash lebih

mahal dibandingkan instrumen cash. Secara rinci materi yang disampaikan oleh

Prof Leo Van Hove mencakup hal-hal sebagai berikut:

a. Pada awal presentasi telah dijelaskan perbedaan antara less cash dengan cash-

less, dimana less cash berarti upaya untuk mengurangi penggunaan instrumen

cash sedangkan cashless adalah upaya untuk menghilangkan penggunaan

instrumen cash di masyarakat. Berdasarkan definisi tersebut, menurut

pembicara, upaya menuju less cash lebih realistis dibandingkan cashless

mengingat akan sangat sulit untuk menghilangkan instrumen cash sebagai

alat bayar. Dijelaskan pula bahwa fokus upaya less cash adalah untuk mengganti

kebiasaan penggunaan instrumen cash dalam transaksi pembayaran yang

bersifat ritel (micro payment) dengan menggunakan instrumen non-cash.

b. Telah dipaparkan pula mengenai fakta penggunaan instrumen non-cash untuk

retail payment di Belgia. Pada tahun 2004, berdasarkan studi dari bank sentral

Belgia, penggunaan cek mulai berkurang bahkan cenderung menghilang

sementara penggunaan instrumen cash masih tinggi yaitu mencapai 81% dari

total volume dan 63% dari total nilai. Fenomena lainnya adalah tingginya

penetrasi pada kartu debet yang mencapai lebih dari 100% selama kurun waktu

25 tahun terakhir (54 transaksi per kapita per tahun). Sementara itu

penggunaan kartu kredit kurang begitu populer di kalangan masyarakat Eropa

karena hanya mencapai 7,1 transaksi per kapita per tahun dibandingkan dengan

Amerika yang mencapai 65,1 transaksi per kapita per tahun dan penetrasi pada

kartu kredit hanya sekitar 28%.

c. Fenomena lain yang menarik adalah penggunaan e-purse di beberapa negara

Eropa yang ternyata juga tidak terlalu sukses. Salah satu e-purse yang tergolong

relatif berhasil adalah Proton card (Belgia). Jumlah kartu yang digunakan

mencapai 9 juta kartu atau 88% dari populasi. Dilihat dari jumlah, walaupun

jumlah pengguna cukup besar namun yang secara aktif (paling tidak 1 transaksi

dalam 6 bulan terakhir) menggunakan Proton card hanya mencapai 20%.

Apabila jumlah sleeping card diabaikan dalam penghitungan frekuensi

pemakaian, maka penggunaan Proton card mencapai 4,1 transaksi per kartu

aktif per bulan.

d. Lebih lanjut, pembicara menyampaikan alasan perlunya dukungan terhadap

upaya peningkatan less cash society antara lain:

1) Tingginya biaya penggunaan cash

Biaya dihitung berdasarkan social cost yang terjadi dari setiap instrumen

Seminar Internasional“Toward a Less Cash Society in Indonesia”

21

pembayaran yang digunakan. Perhitungan social cost dilakukan dengan

menjumlahkan seluruh biaya yang terjadi dari pihak-pihak yang terlibat

dalam suatu transaksi ekonomi (konsumen, merchant, bank umum, bank

sentral dan lain-lain).

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh bank sentral Belanda dan Belgia

terhadap penghitungan social cost yang terkandung dalam penggunaan

seluruh instrumen pembayaran ditemukan bahwa penggunaan cash dalam

pembayaran memiliki proporsi yang paling besar. Social cost instrumen

pembayaran di Belanda mencapai EUR 2,9 milyar (0,65%GDP), dari jumlah

tersebut 73% berasal dari instrumen cash. Sementara itu di Belgia juga terjadi

trend yang sama yaitu social cost seluruh instrumen mencapai EUR 2 milyar

(0,74% GDP) dan 75%-nya disumbang oleh instrumen cash.

Apabila dihitung dari marginal social cost atau penambahan social cost,

setiap ada penambahan pembayaran menggunakan instrumen tertentu,

ditemukan bahwa penggunaan instrumen non-cash (e-purse dan debit card)

lebih cost efficient. Sementara penggunaan cash untuk jumlah sedikit lebih

efisien tetapi apabila penggunaannya semakin besar maka penambahan

marginal social cost juga semakin besar.

Berdasarkan hasil kesimpulan tersebut bank sentral Belanda telah

mengeluarkan statement untuk meningkatkan penggunaan debit card dan

e-purse. Statement tersebut dikeluarkan setelah dilakukan perhitungan

diperoleh penghematan cukup signifikan yaitu EUR 106 juta setiap tahunnya.

Adapun bank sentral Belgia setelah melaksanakan skenario yang sama,

penghematan yang dicapai tidak terlalu signifikan yaitu EUR 58 juta (0,02%

GDP). Namun demikian penghematan tersebut baru didasarkan pada

perhitungan variable cost saja sehingga apabila ditambah dengan fixed cost

maka akan diperoleh manfaat yang lebih besar.

2) Underground economy

Underground economy yaitu masyarakat yang melakukan transaksi

ekonomi tidak melalui banking system ataupun sistem pembayaran lain

sehingga sulit dideteksi. Hasil survai di Belgia ditemukan bahwa 60% transaksi

cash yang digunakan oleh underground economy adalah untuk transaksi

illegal. Hal ini tentunya menjadi concern bank sentral untuk melakukan

berbagai upaya guna mengurangi transaksi illegal dalam penggunaan

instrumen cash.

e. Selain itu pembicara juga menjelaskan aspek-aspek yang dapat menghambat

penggunaan instrumen non-cash yang meliputi:

1) Social exclusion

Infrastruktur pembayaran dengan menggunakan instrumen cash sudah

membudaya di seluruh lapisan masyarakat seperti telepon umum, pompa

bensin, tempat parkir dan masih banyak lagi.

2) Resistensi dari pengguna

Seminar Internasional“Toward a Less Cash Society in Indonesia”

22

Berdasarkan survei persepsi konsumen yang dilakukan oleh Banksys (2004)

terdapat salah satu pertanyaan mengenai sikap konsumen yang sebagian

besar responden (67%) tetap akan menggunakan cash walaupun apabila

dihadapkan pada kondisi infrastruktur non-cash yang sudah terpenuhi.

3) Kondisi sosial, budaya dan demografi

Sebagian besar masyarakat Eropa masih menganggap uang adalah hal yang

terpenting dalam melakukan pembayaran sehingga kadang-kadang hanya

beberapa lapisan masyarakat saja, umumnya masyarakat kota, yang dapat

menerima pembayaran dengan selain uang.

4) Takut akan perubahan teknologi

Bagi segolongan masyarakat yang tidak terlalu mengikuti perkembangan

teknologi cenderung takut untuk mencoba hal baru yang terkait dengan

teknologi ini. Sama halnya dengan perubahan teknologi pembayaran non-

cash, bagi mereka yang tidak technology minded akan susah menerima

instrumen non-cash.

5) Privacy

Ketakutan sebagian masyarakat akan privacy karena transaksi non-cash

selalu tercatat penggunaannya dan seluruh data keuangan dapat dilihat

secara lengkap.

6) Kelangsungan penggunaan instrumen non-cash

Ketakutan apabila ternyata issuer instrumen ini mengalami kebangkrutan

sehingga tidak mampu membayar segala kewajibannya.

f. Dari sisi bank sentral, peningkatan penggunaan instrumen non-cash tentu akan

mempengaruhi perhitungan indikator makro ekonomi. Hal ini disebabkan oleh

adanya beberapa informasi yang tidak bisa diperoleh sehingga pada akhirnya

akan berpengaruh pula terhadap penetapan kebijakan yang akan diambil.

Selain itu, pendapatan dari sisi seignorage menjadi berkurang.

g. Pembicara juga menjelaskan bahwa berdasarkan pendekatan cost based pric-

ing atau penghitungan seluruh biaya dalam setiap penggunaan seluruh

instrumen pembayaran, ditemukan bahwa persepsi masyarakat mengenai

penggunaan instrumen cash adalah murah tidak sepenuhnya benar. Hal ini

didasarkan pada hasil survai di Belgia yang ternyata justru memiliki porsi so-

cial cost yang paling besar. Oleh karena itu pembicara berpendapat seharusnya

ada insentif terhadap instrumen pembayaran yang efisien (non-cash) dan

membuat instrumen cash menjadi lebih mahal.

h. Pada akhir presentasi, pembicara menyampaikan beberapa hal penting yang

perlu diperhatikan, antara lain:

1) Social cost dari cash merupakan hal yang substansial dan perlu menjadi

pertimbangan untuk mengembangkan instrumen pembayaran non tunai yang

lebih efisien.

2) Berdasarkan beberapa hasil penelitian terdapat potensi penghematan ekonomi

dari pengembangan instrumen pembayaran elektronik.

Seminar Internasional“Toward a Less Cash Society in Indonesia”

23

3) Penggunaan metode cost based pricing sangat berguna terutama untuk melihat

keseluruhan dampak biaya dari penggunaan instrumen pembayaran.

4) Hasil penelitian tersebut tidak bisa digeneralisir di setiap negara. Untuk

menerapkan kebijakan sebagaimana hasil kajian yang telah dilakukan di atas

akan sangat berisiko karena belum tentu sesuai dengan kondisi sosial, budaya,

ekonomi dan kondisi lainnya di tiap-tiap negara.

3. Less Cash Society and its Impact for Monetary Policy from the Point of View of

Indonesian Observer

(Dr. Dradjad H. Wibowo, Pakar Ekonomi)

Berangkat dari cara pandang sebagai seorang peneliti, dipaparkan beberapa hal

terkait dengan materi yang disampaikan sebagai berikut:

a. Penggunaan sarana pembayaran non tunai akan meningkatkan transaksi

transnasional, sehingga transaksi-transaksi keuangan tidak akan mengenal

batas-batas negara. Bank sentral akan kesulitan dalam mengawasi transaksi-

transaksi keuangan yang ada.

b. Penggunaan sarana pembayaran non tunai secara tidak langsung akan

meningkatkan jumlah pemain dalam pasar uang, karena dengan adanya sarana

pembayaran non tunai terutama yang bersifat elektronis, akses masyarakat

terhadap kegiatan pasar uang menjadi lebih mudah.

c. Transaksi yang menggunakan sarana pembayaran non tunai relatif lebih mudah

dilacak karena sarana pembayaran non tunai tersebut mempersyaratkan

identitas dalam penerbitannya, sedangkan uang tunai tidak melekatkan

identitas pemiliknya sehingga relatif lebih sulit dilacak.

d. Di masa depan, sektor formal dan daerah perkotaan akan lebih mengarah pada

penggunaan sarana pembayaran non tunai, sedangkan sektor informal dan

daerah pedesaan masih mengandalkan sarana pembayaran tunai.

e. Salah satu kelemahan kartu kredit adalah bahwa kartu kredit tidak dapat

digunakan untuk transaksi antar individu serta tidak dapat digunakan untuk

transaksi-transaksi dengan nominal yang relatif kecil.

f. Penggunaan sarana pembayaran non tunai dapat meningkatkan instabilitas

perekonomian karena lalu lintas uang dapat dilakukan dengan cepat dan tidak

mengenal batas-batas negara.

g. Dampak penggunaan sarana pembayaran non tunai terhadap makro ekonomi:

1) Instabilitas nilai tukar meningkat dengan adanya kemudahan bagi

masyarakat untuk melakukan transaksi secara virtual.

2) Meningkatnya suplai uang karena adanya uang virtual.

3) Risiko terjadinya gagal bayar dalam proses penyelesaian transaksi meningkat

sehingga meningkatkan risiko terjadinya krisis keuangan.

4. Non-cash Payments and Monetary Policy Implications in Indonesia

(Perry Warjiyo, Direktur Riset Ekonomi dan Kebijakan Moneter Bank Indonesia)

Seminar Internasional“Toward a Less Cash Society in Indonesia”

24

Paparan yang disampaikan terkait dengan kondisi Indonesia mencakup beberapa

hal, yaitu:

a. Penggunaan sarana pembayaran non tunai akan meningkatkan kecepatan

peredaran uang (velocity of money).

b. Beberapa indikator yang dapat dipergunakan untuk menghitung penggunaan

sarana pembayaran non tunai adalah (Markose and Loke, 2000: BIS, 1999):

1) Volume dan nilai transaksi yang dilakukan melalui kliring antar bank, ATM,

kartu debet, kartu kredit, dan kartu prabayar.

2) Rasio konsumsi terhadap uang beredar.

c. Untuk Indonesia, ada 3 indikator yang dapat dipergunakan dalam menghitung

penggunaan sarana pembayaran non tunai, yaitu: transaksi Sistem BI-RTGS;

alat pembayaran dengan menggunakan kartu; dan rasio konsumsi terhadap

uang beredar.

d. Penggunaan sarana pembayaran non tunai memberikan manfaat kepada

perekonomian, antara lain:

1) Tingkat kepuasan konsumen yang semakin bertambah dengan berkurangnya

biaya transaksi;

2) Adanya sumber pendapatan bagi penyedia jasa pembayaran non tunai;

3) Peningkatan kecepatan transaksi, pertumbuhan ekonomi, dan tingkat

kesejahteraan.

e. Penggunaan sarana pembayaran non tunai juga dapat meningkatkan risiko

pada perekonomian dan sistem pembayaran, antara lain:

1) Peningkatan risiko default terutama pada instrumen kartu kredit (dan kartu

pasca bayar). Hal tersebut dapat menimbulkan risiko sistemik dalam

penyelesaian pembayaran antar bank;

2) Peningkatan risiko teknologi informasi yang dapat menimbulkan kekeliruan

maupun kecurangan dalam proses penyelesaian transaksi;

3) Peningkatan risiko instabilitas sistem keuangan.

f. Meningkatnya penggunaan sarana pembayaran non tunai akan mengubah

cara pandang bank sentral dalam merumuskan kebijakan moneter, antara lain:

1) Perubahan indikator yang diperlukan dalam pengukuran agregat

permintaan dan penawaran nasional;

2) Meningkatnya penggunaan sarana pembayaran non tunai akan menurunkan

tingkat permintaan terhadap uang (M1);

3) Kebutuhan menjaga efektivitas pengendalian moneter dengan pengawasan

terhadap sarana pembayaran non tunai.

g. Dalam rangka mengurangi efek negatif yang mungkin timbul dari

perkembangan penggunaan sarana pembayaran non tunai, maka disarankan:

1) Penerbit sarana pembayaran non tunai dibatasi pada lembaga-lembaga yang

kredibel seperti bank;

2) Pengumpulan data pembayaran non tunai yang lebih baik, terutama dalam

mengantisipasi perkembangan ­e-money;

Seminar Internasional“Toward a Less Cash Society in Indonesia”

25

3) Pengenaan giro wajib minimum oleh bank sentral kepada penerbit sarana

pembayaran non tunai;

4) Peraturan yang jelas yang memfasilitasi hak dan kewajiban pihak-pihak yang

berkaitan dengan sarana pembayaran non tunai.

B . Sesi 2

Oversight & Legal Aspect of Non-Cash Payment Instruments

1. Aspek Perlindungan Konsumen Dalam Less Cash Society

(Asman Abnur, Wakil Ketua Komisi XI DPR-RI)

Sejalan dengan meningkatnya penggunaan alat pembayaran non tunai perlu

menjadi perhatian mengenai keamanan sistem yang dipergunakan. Berkaitan

dengan hal tersebut, dijelaskan mengenai hal-hal sebagai berikut:

a. Alat-alat pembayaran yang bersifat elektronik pada dasarnya harus

dikembangkan karena akan memberikan keuntungan bagi penggunanya.

Sebenarnya, Indonesia agak terlambat mengatur alat pembayaran elektronik

karena alat-alat pembayaran tersebut saat ini sudah merupakan kebutuhan di

negara-negara lain. Penggunaan alat-alat pembayaran elektronik diharapkan

dapat berkembang terus di masyarakat sehingga dapat tumbuh menjadi suatu

kebiasaan dan pada akhirnya menjadi budaya (social construction by technol-

ogy).

b. Seiring dengan kebutuhan adanya alat pembayaran elektronik, maka harus

diterbitkan pula peraturan-peraturan yang memberikan kepastian hukum dan

perlindungan bagi pengguna alat-alat pembayaran elektronik tersebut,

termasuk sanksi yang jelas bagi pihak yang menyalahgunakan alat pembayaran

elektronik.

c. Penegakan hukum masih merupakan isu utama. Berkembangnya alat-alat

pembayaran elektronik juga ditentukan oleh penerapan ketentuan, seperti

Undang-Undang Perlindungan Konsumen dan Peraturan Bank Indonesia serta

Surat Edaran Bank Indonesia, yang isinya melindungi kepentingan konsumen

secara baik dan konsisten oleh semua pihak yang terlibat di dalamnya.

d. Pada dasarnya yang dibutuhkan konsumen adalah perlindungan terhadap pri-

vacy konsumen, keamanan bertransaksi serta perlakuan yang tidak diskriminatif

dari penyelenggara alat pembayaran elektronik.

2. Aspek Hukum dalam Implementasi Alat Pembayaran Non Tunai Elektronik (e-

money) dan Kesiapan Perangkat Hukum Indonesia dalam Menunjang Terciptanya

Less Cash Society

(Prof. Hikmahanto Juwana, SH, LL.M, Ph.D, Dekan Fakultas Hukum Universitas

Indonesia)

Kemajuan teknologi yang mendorong inovasi dan semakin mewarnai dunia

menjadi suatu tantangan bagaimana hukum Indonesia merespon situasi tersebut.

Materi yang disajikan memaparkan beberapa hal dalam menjawab kondisi

Seminar Internasional“Toward a Less Cash Society in Indonesia”

26

tersebut, yaitu:

a. Agar e-money dapat berjalan dengan baik dan digunakan secara luas oleh

masyarakat diperlukan infrastruktur hukum yang memadai. Pembentukan

peraturan tidak dapat dilakukan dengan mengadopsi begitu saja peraturan

dari negara lain (transplantasi hukum), karena karakteristik dan budaya masing-

masing bangsa dan negara adalah berbeda-beda.

b. Pengertian hukum tidak terbatas pada peraturan perundang-undangan saja.

Pengertian semacam ini merupakan pengertian hukum yang direduksi, karena

disamping peraturan perundang-undangan diperlukan pula infrastruktur

hukum lainnya.

c. Permasalahan terpenting dalam implementasi alat pembayaran elektronik (e-

money) adalah pada penegakan hukumnya.

d. Dari segi hukum, e-money dapat dilihat dari sisi perdata dan sisi pidana:

1) Dari sisi perdata, transaksi e-money terkait erat dengan konsepsi perjanjian,

dimana berbagai perjanjian antar pihak yang terkait dalam pelaksanaan e-

money akan didasarkan pada hukum perjanjian.

2) Dari sisi pidana, yang perlu dilakukan adalah identifikasi perbuatan yang

dianggap dapat merugikan masyarakat dan menjadi perbuatan jahat, serta

penentuan sanksi.

e. Masalah lain yang perlu mendapatkan perhatian dalam implementasi e-money

adalah masalah pembuktian. Dalam hal ini, pertanyaan yang mengemuka

adalah apakah data elektronik dapat dijadikan alat bukti dalam beracara di

pengadilan.

f. Undang-Undang Bank Indonesia memberikan dasar kewenangan bagi Bank

Indonesia untuk mengatur e-money. Pengaturan oleh Bank Indonesia terutama

adalah pengaturan secara administratif mengenai pihak-pihak yang ingin

menyelenggarakan kegiatan e-money, juga untuk mengurangi risiko dan

meningkatkan keamanan penggunaan e-money.

g. Implementasi e-money dapat dilaksanakan secara bertahap, mungkin pertama

kali di Jakarta terlebih dahulu sebagai pilot project, baru kemudian

dikembangkan di kota-kota lain.

h. Berkaca dari negara-negara lain, penyusunan Undang-Undang khusus tentang

e-money bukanlah suatu keharusan (contoh di Hong Kong tidak ada ketentuan

khusus yang mengatur e-money). Pengaturan e-money dapat dilakukan dengan

mengacu pada ketentuan yang telah ada dengan tambahan ketentuan Bank

Indonesia atau departemen-departemen terkait untuk pengaturan yang lebih

bersifat teknis.

i. Sebagai penutup, penegakan hukum yang baik dan konsisten atas peraturan e-

money merupakan hal yang utama. Apabila penegakan hukum masih tidak op-

timal, maka masyarakat tidak akan percaya terhadap e-money sebagai instrumen

pembayaran. Pada akhirnya, hal tersebut dapat menciptakan keengganan

masyarakat untuk menggunakan e-money sehingga pada gilirannya harapan

Seminar Internasional“Toward a Less Cash Society in Indonesia”

27

terwujudnya less cash society di Indonesia akan sulit untuk dicapai.

3. Peran Bank Indonesia dalam Pengawasan Sistem Pembayaran

(Bramudija Hadinoto, Deputi Direktur Akunting dan Sistem Pembayaran Bank

Indonesia)

Materi presentasi terdiri atas 4 bagian yaitu Konsep Utama Sistem Pembayaran

(SP), Konsep Pengawasan SP, Pengawasan SP di Indonesia serta Pengembangan

dan Tantangan Masa Depan. Sehubungan dengan hal tersebut dijelaskan hal-hal

sebagai berikut:

a. Terkait dengan pengawasan sistem pembayaran, istilah “pengawasan” dalam

sistem pembayaran berbeda dengan istilah “pengawasan” dalam perbankan.

Istilah “pengawasan” dalam SP lebih mengacu pada konsep oversight,

sementara “pengawasan” dalam perbankan lebih mengacu pada konsep su-

pervision. Perbedaan mendasar antara pengawasan SP dan pengawasan

perbankan terdapat pada obyek pengawasannya.

b. Obyek pengawasan SP dititikberatkan pada sistem itu sendiri dengan tujuan untuk

meminimalisir risiko sistem pembayaran. Sementara itu, obyek pengawasan

perbankan dititikberatkan pada penilaian tingkat kesehatan Bank secara individual.

c. Pengertian payment system oversight adalah suatu rangkaian kegiatan mulai

dari proses perizinan, fasilitasi dan konsultasi pada saat pengembangan SP

oleh Penyelenggara sampai dengan proses assessment atas kepatuhan SP

tersebut terhadap ukuran-ukuran yang telah ditetapkan.

d. Pengawasan SP di Indonesia dilaksanakan oleh Bank Indonesia berdasarkan

Pasal 8 dan Pasal 15 Undang-Undang Bank Indonesia. Pada saat ini, obyek

pengawasan SP terdiri atas:

1) Sistem BI-RTGS, merupakan sistem pembayaran yang digolongkan sebagai

Systemically Important Payment System (SIPS);

2) Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia (SKNBI), merupakan sistem

pembayaran yang digolongkan sebagai Systemically Wide Important Pay-

ment System (SWIPS); dan

3) Alat Pembayaran Dengan Menggunakan Kartu.

e. Tujuan pengawasan SP adalah memastikan bahwa sistem pembayaran berjalan

dengan efisien, cepat, aman dan handal dan untuk mendukung penerapan

prinsip-prinsip perlindungan konsumen

II. Pokok-Pokok Materi Seminar Hari II, Kamis, 18 Mei 2006

Market Collaborations and Expectations on Non-Cash Payment Instruments Develop-

ment

A. Sesi 1

National Payment Gateway from the Point of view of Practitioners

1. Towards a Less Cash Society

Seminar Internasional“Toward a Less Cash Society in Indonesia”

28

(Antony Morris, Executive Manager Strategic Development and Risk Manage-

ment, Octopus Cards Ltd, Hong Kong)

Pemaparan yang disampaikan dengan bercermin pada pengalaman

mengembangkan uang elektronik yang dilakukan oleh Octopus Cards Ltd., Hong

Kong, mencakup hal-hal sebagai berikut:

a. Uang tunai (cash) merupakan bagian yang terpenting dalam industri ritel.

b. Uang elektronik (e-cash) termasuk berbagai produk derivatifnya dewasa ini

tumbuh dan berkembang, terutama di Hong Kong.

c. Pada awal pengembangan e-cash (dalam bentuk stored value card) di Hong

Kong, alat pembayaran tersebut dipergunakan sebagai sarana pembayaran

transportasi. Pada tahap berikutnya, e-cash dipergunakan juga sebagai alat

pembayaran untuk transaksi ritel, seperti pembayaran transaksi di supermar-

ket dan pembayaran parkir.

d. Key success:

1) Kolaborasi antar pelaku pasar dengan memfokuskan diri pada core busi-

ness dan mengesampingkan “cash collection”, agar scheme yang

dikembangkan sesuai dengan kebutuhan konsumen dan biayanya dapat

ditekan.

2) Simplicity dan lowest cost.

3) Mengutamakan kepuasan dan kenyamanan konsumen dengan misi “mak-

ing everyday life easier for our customers”.

4) Menggunakan teknologi baru yang bersifat sederhana, konsisten, cepat dan

handal.

5) Mudah digunakan (ease of use).

6) Mendorong masyarakat untuk menggunakan instrumen non tunai dengan

memberikan informasi tentang kelebihan/keuntungannya dan tidak

membicarakan kompleksitasnya.

7) Menetapkan merchant level yang dapat menerima pembayaran.

8) Mengubah perilaku konsumen ke arah penggunaan non tunai melalui proses

yang berkesinambungan (multi years action).

e. Dalam mengembangkan e-cash atau stored value card di Indonesia perlu diperhatikan

kondisi sosial, perilaku dan preferensi konsumen, serta budaya masyarakat Indone-

sia. Hal ini didasarkan pada fakta bahwa perbedaan budaya di masing-masing negara

mempengaruhi tingkat penerimaan masyarakat masing-masing negara tersebut

terhadap penggunaan e-cash/stored value card yang dikembangkan.

f. Hal yang perlu digarisbawahi adalah pentingnya kolaborasi pasar untuk

mengetahui kebutuhan mekanisme pembayaran yang paling tepat. Untuk

dapat berkembang seperti sekarang ini, Octopus Cards Ltd. telah melalui proses

yang panjang dan bertahap. Dalam proses tersebut, hal yang sangat penting

adalah membangun “trust” masyarakat terhadap alat pembayaran, antara lain

dengan menerapkan 100% money back guarantee.

g. Pengembangan alat pembayaran non tunai di Indonesia, seperti yang telah

Seminar Internasional“Toward a Less Cash Society in Indonesia”

29

dilakukan oleh Octopus Cards Ltd. di Hong Kong, perlu memperhatikan

beberapa aspek, antara lain: budaya, kebutuhan, perilaku dan karakter

pembayaran masyarakat Indonesia, dengan tidak mengesampingkan

kemudahan dan kenyamanan dalam penggunaan, biaya murah, dan kepuasan

konsumen, serta memperhatikan penggunaan teknologi yang aman, praktis,

cepat, dan handal.

h. Bank Indonesia perlu melakukan pengkajian mendalam dengan melibatkan

pihak-pihak terkait dalam melakukan standardisasi alat pembayaran yang akan

digunakan, serta perlu penekanan kesadaran kepada para pelaku pasar

terhadap pentingnya interoperability dan konvergensi antar operator.

2. Kesiapan Infrastruktur Telekomunikasi dalam Mendukung Less Cash Society

(Budi S Mulyadi, PT. Telkom (Persero), Tbk.)

Materi yang disajikan dalam presentasi terdiri atas 4 (empat) bagian, yaitu: Less

Cash Society and Non-Cash Payment Scheme; Telkom Group Infrastructure Exist-

ing; Micro Payment Scheme; dan Telkom Group Infrastructure in The Future.

a. Terkait dengan materi mengenai Less Cash Society and Non-Cash Payment

Scheme, pembicara memaparkan hal-hal yang berkaitan dengan:

1) Non-Cash Payment Scheme Options, dimana secara umum terdapat 4 pilihan

untuk melakukan transaksi pembayaran, yaitu: Sistem BI-RTGS; kliring/SKNBI;

kartu kredit/kartu debet dan micro payment. Keuntungan yang diperoleh

masyarakat dalam menggunakan sarana pembayaran non tunai adalah

berkurangnya biaya cash handling dan risiko, serta meningkatnya

kenyamanan bagi konsumen dalam melakukan pembayaran.

2) Non-Cash Payment Instruments, yang dipergunakan dalam transaksi

pembayaran oleh Business to Customer (B2C) dan Business to Business (B2B).

3) Typical Non-Cash Payment yang meliputi pembayaran lebih dulu (pay be-

fore, seperti micro payment yang otorisasinya dilakukan secara off-line tanpa

PIN atau tanda tangan), pembayaran sekarang (pay now, seperti kartu de-

bet dan kartu ATM yang otorisasinya dilakukan secara on-line dengan PIN)

dan pembayaran kemudian (pay later, seperti kartu kredit yang otorisasinya

dilakukan secara on-line dengan tanda tangan).

4) Sub System that Build Less Cash Society, antara lain meliputi Front end Ter-

minal Payment (EDC, ATM, Reader/Writer, POS, Kiosk, HP, PC, PDA), Access

Network Data Communications (Wireline, GPRS, CDMA,WiMax, 3G etc),

Backbone Data Communication Network (VPN IP) dan Clearing House and

Switching Payment.

5) What Are the Benefits Using Non-Cash Instrument, dimana pembicara

menjelaskan mengenai keuntungan-keuntungan menggunakan alat

pembayaran non tunai yang antara lain meliputi biaya transaksi yang lebih

murah, nyaman, mudah, cepat, handal, terkontrol, aman, style dan tidak

memerlukan uang kembalian.

b. Selanjutnya berkaitan dengan materi mengenai Telkom Group Infrastructure

Seminar Internasional“Toward a Less Cash Society in Indonesia”

30

Existing dijelaskan konfigurasi infrastruktur Telkom yang meliputi:

1) Wireless EDC and ATM;

2) H2H Payment (Phone Bill Payment, Airline Payment);

3) SCM Payment (Suppliers and Buyers, Manufacturers and Distributors);

4) e-voucher (Top up mechanism for prepaid, Telkomsel, Flexi, iVas);

5) Mobile Payment;

6) Phone Payment;

7) Micro Payment.

c. Materi mengenai Micro Payment Scheme menguraikan mengenai konfigurasi

dari micro payment scheme yang dilakukan Telkom yang terdiri atas 4 (empat)

level sebagai berikut:

1) Level 1: menyediakan sarana Switching Payment untuk kepentingan

setelmen dan rekonsiliasi (pada saat ini telah terhubung dengan lebih dari

35 bank)

2) Level 2: menyediakan Card Management System, Service Provider Manage-

ment System dan Call Center (pada saat ini CMS Telkom telah mampu

menangani 6 juta transaksi/hari)

3) Level 3: terhubungnya Local Data Server Processor dengan Service Provider

Central Server dengan menggunakan Wireline Connection, GPRS, CDMA,

WiMax, 3G Connection (pada saat ini jaringan GSM Telkom telah tersedia di

setiap kota dan kabupaten, sedangkan CDMA tersedia di 225 kota)

4) Level 4: melaksanakan distribusi kartu dan mekanisme top up (pada saat

ini, telah didistribusikan lebih dari 30 juta kartu selular & fix wireless)

3. Urgensi dan Manfaat Penggunaan Non-Cash Payment Instruments bagi SPBU dan

Masyarakat

(Ahmad Bambang, PT. Pertamina (Persero))

PT. Pertamina telah mengembangkan sistem pembayaran non tunai dengan

penerbitan Gaz Card. Gaz Card dalam tahap awal berfungsi ganda, yaitu untuk

loyalty dan reward card, serta sebagai alat pembayaran. Dalam pengembangannya,

diharapkan Gaz Card akan dapat digunakan sebagai alat pembayaran berbagai

barang dan jasa, bukan hanya BBM saja (multi purpose prepaid card).

Berkenaan dengan hal tersebut pembicara menguraikan hal-hal sebagai berikut:

a. Penerbitan Gaz Card tersebut didorong oleh adanya kondisi-kondisi sebagai

berikut:

1) Dengan diimplementasikannya Undang-Undang Migas No. 22 Tahun 2001,

pasar migas hilir menjadi terbuka dan liberal.

2) Adanya perubahan situasi persaingan, selain menuntut perbaikan produk,

juga menuntut adanya peningkatan kualitas pelayanan kepada pelanggan,

termasuk dalam mekanisme pembayarannya.

3) Perlu adanya peningkatan citra kualitas pelayanan penjualan BBM melalui

SPBU yang selama ini dinilai kurang bagus.

4) Perlu adanya peningkatan loyalitas pelanggan baik dari kalangan retailer

Seminar Internasional“Toward a Less Cash Society in Indonesia”

31

BBM maupun konsumen (end user) BBM.

b. Latar belakang dan tujuan yang mendasari diterbitkannya Gaz Card adalah:

1) Mengurangi transaksi tunai untuk meningkatkan keamanan SPBU dan

konsumen.

2) Meningkatkan kualitas pelayanan bagi pelanggan dan meningkatkan

kepedulian perusahaan terhadap pelanggan.

3) Langkah awal untuk mensukseskan less cash society program.

4) Meningkatkan akurasi data penjualan BBM.

c. Manfaat Gaz Card adalah sebagai berikut:

1) Bagi Pertamina: memudahkan dalam mengelola BBM, memonitor

kebutuhan SPBU, menganalisa distribusi BBM ke SPBU dan konsumen,

mengetahui penghasilan dari penjualan BBM secara menyeluruh dan cepat,

serta meningkatkan produktivitas.

2) Bagi SPBU: memudahkan dalam mengelola BBM, menyediakan dan menjual

BBM, menganalisa penjualan dan pendapatan BBM, meningkatkan loyalitas

konsumen dan meningkatkan produktivitas.

3) Bagi pelanggan: memudahkan dalam mengontrol anggaran dan konsumsi

BBM, mempercepat serta mempermudah transaksi tanpa harus menyiapkan

uang recehan.

d. Saat ini pengadaan Gaz Card dan koordinasi dengan provider sedang dilakukan

oleh Pertamina, dan diharapkan akhir Juni/awal Juli telah dapat dilakukan

soft launching.

B . Sesi 2

Market Collaboration among Banks, Non Bank Issuers, Billers,

Merchants and Supporting Services (Switching Company and

Financial Acquirer)

1. Peran Bank Indonesia dalam Mendukung Pengembangan Penggunaan Instrumen

Pembayaran Non Tunai dalam Transaksi Ritel

(Mohamad Ishak, Staf Ahli Dewan Gubernur Bank Indonesia)

Untuk mengetahui peran Bank Indonesia dalam mendukung pengembangan Less

Cash Society (LCS) di Indonesia, terdapat tiga pertanyaan pokok yang perlu

dijawab. Pertama, mengapa Bank Indonesia harus berperan dalam pengembangan

LCS di Indonesia. Tidak dapat dipungkiri bahwa upaya untuk mendorong

masyarakat menggunakan instrumen non tunai tidak sepenuhnya tergantung

oleh Bank Indonesia semata namun juga diperlukan peran serta pelaku pasar LCS

(antara lain perbankan, service provider company, merchant dan masyarakat).

Dari sisi Bank Indonesia, sangat disadari bahwa salah satu alasan mengapa Bank

Indonesia harus berperan dalam menunjang LCS adalah dalam rangka

menjalankan amanat Undang-Undang Bank Indonesia di bidang Sistem

Pembayaran yaitu mengembangkan Sistem Pembayaran Nasional yang efisien,

Seminar Internasional“Toward a Less Cash Society in Indonesia”

32

cepat, aman dan handal. Meskipun terdapat peran Bank Indonesia dalam hal ini,

prinsip yang tetap harus dipegang adalah adanya “win-win solution” antara Bank

Indonesia dengan pelaku LCS (perbankan, service provider company, outlet/mer-

chant dan masyarakat).

Pertanyaan kedua adalah apa yang harus dilakukan oleh Bank Indonesia dalam

mengembangkan LCS. Upaya mendorong masyarakat dalam menggunakan alat

pembayaran non tunai tidak dapat dipisahkan dengan perkembangan

penggunaan uang tunai yang terjadi saat ini. Beberapa fakta yang terjadi saat ini

terkait dengan ketidakefisienan penggunaan uang tunai antara lain adalah relatif

masih tingginya biaya pengadaan dan pengelolaan uang tunai, semakin cepatnya

teknologi pemalsuan uang, dan ketersediaan uang pecahan yang masih sulit

memenuhi kebutuhan masyarakat. Di sisi lain, penggunaan alat pembayaran non

tunai sebenarnya telah banyak berkembang di masyarakat Indonesia untuk

melakukan berbagai transaksi khususnya transaksi yang bernilai besar. Selain itu

sudah mulai banyak masyarakat yang mengenal kartu prabayar. Dari sini dapat

ditarik kesimpulan bahwa hal yang harus dilakukan Bank Indonesia adalah

mengurangi penggunaan uang tunai di masyarakat atau mendorong penggunaan

alat pembayaran non tunai. Untuk melaksanakan tugas tersebut, perlu dipikirkan

segmen mana yang akan dituju oleh Bank Indonesia. Dalam hal ini kriteria

penggunaan alat pembayaran non tunai ditujukan lebih kepada pembayaran yang

memiliki kriteria antara lain: transaksi bernilai kecil (micro payment); frekuensi

penggunaannya relatif sering; dan bersifat masal.

Pertanyaan terakhir yang harus dijawab adalah bagaimana Bank Indonesia harus

berperan dalam menunjang upaya terwujudnya LCS. Berpijak pada tugas Bank

Indonesia untuk mengembangkan sistem pembayaran nasional yang efisien, cepat,

aman dan handal maka dalam memposisikan dirinya sudah seharusnya Bank In-

donesia berperan aktif tanpa harus menonjolkan diri. Dalam hal ini, Bank Indo-

nesia diharapkan agar lebih mengedepankan fungsi sebagai fasilitator dan

katalisator untuk mendorong percepatan ke arah terwujudnya LCS.

Pada akhirnya pembicara menyimpulkan bahwa upaya untuk mendorong

terwujudnya LCS tidaklah mudah sehingga tidak mungkin dilakukan hanya oleh

Bank Indonesia. Oleh karena itu, perlu dilakukan kerjasama dengan pihak-pihak

lain di luar Bank Indonesia sehingga dapat disusun suatu grand design LCS yang

komprehensif dan dapat diterapkan di Indonesia.

2. Electronic Money dan Peran Pemerintah dalam Transaksi Keuangan berbasis

Teknologi Informasi

(Prof. Dr. Ahmad M. Ramli, SH, MH, Staf Ahli Bidang Hukum Menteri Komunikasi

dan Informatika)

Dukungan pemerintah dalam transaksi keuangan berbasis teknologi informasi

maupun e-money dapat dilihat dari perhatian pemerintah khususnya Depkominfo

terhadap 3C (Communication, Computing, and Content). Peran pemerintah

Seminar Internasional“Toward a Less Cash Society in Indonesia”

33

tersebut terutama dalam bentuk kebijakan dan regulasi yang diarahkan untuk

menciptakan keadaan yang kondusif bagi perkembangan transaksi keuangan

berbasis teknologi informasi. Beberapa kebijakan dan regulasi pemerintah terkait

dengan 3C diantaranya adalah:

a. Konvergensi 3G, regulasi ini bertujuan untuk mengoptimalkan pemanfaatan

sumber daya yang ada dan merupakan potensi sumber pendapatan negara

yang besar.

b. Fasilitasi regulasi, Rancangan Undang-Undang Informasi dan Transaksi

Elektronik (RUU ITE).

c. Rancangan Undang-Undang Cyber Crime, ditujukan untuk meningkatkan

keamanan dan kenyamanan dalam berinteraksi/bertransaksi di dunia cyber.

d. Peraturan Menteri Komunikasi dan Informasi tentang certification authority

dan keamanan sistem.

e. Peningkatan penetrasi internet untuk memperluas akses internet sehingga lebih

merata.

f. Perlindungan security.

g. Lawful interception, penyadapan secara legal untuk kepentingan hukum

(diantaranya dapat dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi dan

kepolisian).

h. Prepaid regulation.

Kebijakan dan regulasi di atas diharapkan dapat mendukung terwujudnya LCS

khususnya dari sisi security dan law enforcement. Untuk mewujudkan LCS

terdapat beberapa kendala seperti tingkat perekonomian, keengganan

masyarakat, masalah privasi, security, dan law enforcement. LCS sendiri

sebenarnya dapat meningkatkan keamanan dalam transaksi asalkan didukung

dengan aturan yang jelas.

Salah satu instrumen dalam rangka mewujudkan LCS adalah penggunaan e-

money. E- Money adalah suatu nilai moneter yang diterima sebagai alat

pembayaran secara elektronik dan diterbitkan oleh bank maupun badan usaha

non bank. Beberapa masalah yang perlu diantisipasi dalam penggunaan e-

money adalah pencucian uang, double spending problem, dan technological

risk. Upaya mendorong terwujudnya LCS dapat mencegah terjadinya money

laundering karena transaksi lebih tercatat otomatis secara elektronik.

Penyelenggara e-money harus memenuhi azas keterbukaan informasi, yaitu

akses dalam informasi terkait dengan transaksi. Penyelenggara jasa e-money

harus memberikan akses bagi konsumen mengenai informasi yang relevan dan

komprehensif serta panduan tentang cara kerja dan cara menggunakan produk

e-money. Di sisi lain, konsumen juga harus diinformasikan mengenai tanggung

jawabnya sebagai pemegang e-money.

Selain azas keterbukaan informasi, penyelenggara e-money harus menjaga

kerahasiaan informasi pribadi konsumen yang dimiliki oleh penyelenggara

sesuai dengan hukum mengenai privasi dan akses informasi, kecuali apabila

Seminar Internasional“Toward a Less Cash Society in Indonesia”

34

informasi tersebut diperlukan untuk kepentingan umum dan penegakan

hukum, dimana konsumen bersangkutan telah diberitahu sebelumnya oleh

superintendent sebagai lembaga yang berfungsi untuk memberikan perizinan

dan pengawasan terhadap jasa penyelenggaraan e-money.

3. Prospek dan Tantangan dalam Mewujudkan Less Cash Society – Case Study BCA

(D.E. Setijoso, CEO PT. Bank Central Asia, Tbk.)

Sampai saat ini uang kertas dan cek sebagai alat pembayaran masih banyak

digunakan oleh masyarakat dunia. Namun sejalan dengan perkembangan

teknologi informasi dan sistem pembayaran yang semakin pesat, pola pembayaran

tunai (cash) secara berangsur beralih menuju pembayaran non tunai (non-cash)

dengan 3 basis instrumen pembayaran yakni:

· Paper-based: cek, bilyet giro dan nota debet.

· Card-based: kartu kredit, kartu debet dan kartu ATM.

· Electronic-based: e-money, internet banking dan mobile banking.

Perkembangan menuju less cash society merupakan trend yang tidak dapat

dihindari. Perubahan tersebut antara lain didukung infrastruktur, sistem dan alat

pembayaran elektronis seperti kartu magnetik dan kartu chip. Penggunaan

instrumen pembayaran card-based dan electronic-based (non-cash payment)

sebagai alat transaksi memiliki keunggulan, antara lain dapat menangani transaksi

secara lebih efisien dan menekan biaya transaksi.

Perkembangan non-cash payment di kawasan Asia Pasifik bervariasi di tiap negara

dan pada umumnya menunjukkan peningkatan untuk nilai transaksi pembayaran

melalui kartu kredit, kartu debet dan kartu ATM. Seiring dengan perkembangan

pola pembayaran tersebut, pembayaran non-cash di Indonesia juga menunjukkan

peningkatan dari tahun ke tahun.

Walaupun pembayaran non-cash di Indonesia meningkat namun masih ada

beberapa hal yang menjadi kendala dalam pengembangan lebih lanjut, antara

lain: Indonesia masih merupakan cash society dimana tendensi bertransaksi

dengan uang tunai masih tinggi; masalah infrastruktur; dan kesiapan perangkat

hukum yang masih membutuhkan pembenahan lebih lanjut.

Transaksi nilai kecil dengan frekuensi transaksi yang tinggi (skala retail) atau

dikenal dengan micro payment system, dilakukan dengan menggunakan prepaid

cash card atau microchip-based mobile/cellular phone. Beberapa contoh

penerapan sistem ini adalah pada pembayaran perparkiran, tol, entertainment

center, tiket bus, subway dan lain lain. Micro payment system telah diterapkan

dengan sukses di beberapa negara seperti: Hong Kong dengan Octopus card;

Malaysia dengan Touch n’ Go; dan Singapore dengan EZ link.

Untuk dapat mengembangkan non-cash payment system selain membutuhkan

infrastruktur dan teknologi yang memadai, bank juga harus bekerjasama dengan

perusahaan-perusahaan yang bergerak di bidang telekomunikasi dan switching

(operator jaringan), mengembangkan jejaring merchant dan nasabah pengguna

Seminar Internasional“Toward a Less Cash Society in Indonesia”

35

agar dapat mencapai economics of scale yang memadai.

Micro payment system yang memanfaatkan kehandalan chip atau smart cards,

menawarkan berbagai kemudahan dan kelebihan dibandingkan dengan sistem

pembayaran lainnya. Transaksi dapat dilakukan dengan cepat, efisien dan aman

yaitu dengan memasukkan kartu pada reader (contact) atau hanya didekatkan

pada reader (contactless). Pengisian kembali nilai kartu relatif mudah dilakukan

di outlet bank penerbit maupun merchant.

Menilik keberhasilan yang diraih sistem pembayaran non-cash di Hong Kong,

Singapore maupun Malaysia, dapat diperkirakan penerapan micro payment sys-

tem di Indonesia memiliki prospek yang baik mengingat besarnya jumlah

penduduk, beragamnya jenis transaksi yang dapat diterapkan serta kemudahan

yang diperoleh.

Penyelenggaraan non-cash payment system tidak terlepas dari peran switching

companies (SC) sebagai penyedia jasa jaringan telekomunikasi bagi bank-bank

peserta. Di Indonesia terdapat empat operator SC yaitu: ATM Bersama, Prima,

Alto dan Link, yang melayani 101 bank dengan sekitar 14.712 unit mesin ATM

dimana masing-masing SC melayani sekelompok bank tertentu.

Sejak Agustus 2000, ATM BCA dapat diakses oleh 25 bank yang tergabung dalam

jaringan Prima. Data akhir Desember 2005 menunjukkan bahwa transaksi nasabah

bank lain yang menggunakan ATM BCA tercatat sejumlah 8,9 juta transaksi atau

3,6 kali lebih banyak dibanding nasabah BCA yang memanfaatkan ATM bank lain

yang berjumlah 2,5 juta transaksi. Hal ini menimbulkan masalah tambahan antrian

di ATM BCA terutama di lokasi-lokasi yang sibuk dan menambah beban logistik

uang tunai.

Di satu sisi, kegiatan Payment Settlement merupakan kegiatan yang mendapat

nilai tambah dari kerjasama antar bank, mengingat kegiatan tersebut bertumpu

pada customer convenience dan wide acceptance. Namun dari sisi lain, kerjasama

antar bank dapat mempengaruhi competitive advantage dari bank dengan

beralihnya proprietary infrastructure menjadi shared infrastructure. Oleh karena

itu dibutuhkan perimbangan yang optimal antara kerjasama dan kompetisi.

4. Optimisasi dan Efisiensi Pengelolaan Jalan Tol dengan Menggunakan Non-Cash

Payment Instruments

(Ir. Djoko Dwidjono, Kepala Divisi Perencanaan Perusahaan dan Pengembangan

Teknologi PT. Jasa Marga (Persero))

PT. Jasa Marga merupakan salah satu pengelola industri jalan tol di Indonesia.

Perusahaan ini telah mengoperasikan lebih dari 50% dari seluruh jalan tol di In-

donesia. Dalam pengelolaan sistem pembayaran tol saat ini, PT. Jasa Marga masih

menggunakan uang tunai dalam transaksinya sehingga cost untuk cash handling

menjadi beban operasional yang cukup memberatkan. Pada tahun 2006, dari to-

tal pendapatan yang mencapai Rp 6.5 milyar per hari dan volume lalu lintas 2.5

juta transaksi per hari, diperlukan penyediaan uang pecahan untuk kembalian

sebesar Rp 1 milyar/hari. Dalam 5 tahun ke depan, perusahaan ini akan terus

Seminar Internasional“Toward a Less Cash Society in Indonesia”

36

melakukan perluasan pengembangan jalan tol baru sehingga dapat dibayangkan

berapa besar beban cash handling yang akan ditanggung oleh PT. Jasa Marga di

masa mendatang.

Berkaitan dengan hal tersebut, untuk mengurangi beban cash handling, PT. Jasa

Marga merencanakan untuk mengggunakan instrumen pembayaran tol yang

berbasis kartu (contactless smart card) single purpose. Sebelum keputusan ini

diambil, perusahaan telah melakukan survei kajian berdasarkan pengalaman

beberapa negara yang telah mengoperasikan smart card pada sistem jalan tol,

antara lain: Malaysia, Thailand dan Philippines. Pada tahun 2005 penggunaan

instrumen kartu telah diterapkan di ruas jalan tol Padalarang-Cileunyi dan

selanjutnya akan diperluas ke jalan tol lainnya sehingga diharapkan dalam 5

tahun ke depan penggunaan transaksi non-cash akan mencapai 30% dari total

pendapatan. Pengembangan bisnis smart card yang diterapkan oleh PT. Jasa Marga

memiliki beberapa alternatif pengembangan yaitu dikelola untuk fungsi transaksi

jalan tol saja (single purpose), sebagai merchant, sebagai bisnis multifungsi yang

dikelola sendiri oleh PT. Jasa Marga atau dengan bekerjasama dengan pihak lain.

Dalam hal ini PT. Jasa Marga akan mempertimbangkan beberapa hal terkait dengan

pengembangan bisnisnya yaitu: besarnya investasi, risiko, potensi bisnis/skala

ekonomi untuk business development, pilihan teknologi yang dikembangkan,

institusional serta regulasi yang berlaku.

Seminar Internasional“Toward a Less Cash Society in Indonesia”

37

Bagian KetigaTANYA JAWAB DAN

DISKUSI

Seminar Internasional“Toward a Less Cash Society in Indonesia”

38

I. Tanya Jawab dan Diskusi Hari I Sesi 1

1 . Indah Sukmaningsih (Badan Perlindungan Konsumen Nasional)

Pertanyaan:

a. Terkait dengan perlindungan kepada konsumen, apakah terdapat garansi terhadap

keamanan teknologi informasi yang digunakan dalam transaksi non-cash?

b. Dalam pengembangan sistem pembayaran non-cash, siapa yang harus

menanggung biaya pengembangan tersebut?

Jawaban:

Aspek kultural merupakan aspek yang krusial yang harus diperhatikan dalam

pengembangan Less Cash Society (LCS). Untuk itu, hal pertama yang harus

dilakukan adalah mendidik masyarakat dan memberikan penjelasan kepada

masyarakat mengenai LCS serta memberikan pemahaman kepada masyarakat

bahwa terdapat cost of cash.

Dalam pengembangan sistem yang akan digunakan dalam transaksi non-cash

maka pihak yang menanggung biaya pengembangan tersebut seharusnya adalah

pihak perbankan mengingat bank akan mendapatkan fee dari transaksi non-cash.

2 . Made Sadguna (Pusat Pelaporan dan Analisa Transaksi Keuangan)

Pertanyaan:

Dalam transaksi non-cash, terdapat risiko potensial bagi konsumen terutama

konsumen ritel. Risiko tersebut adalah kemungkinan penyalahgunaan data rahasia

konsumen oleh pihak yang tidak berwenang mengingat tingginya tingkat trace-

ability dalam transaksi non-cash. Berkaitan dengan risiko potensial tersebut,

bagaimana cara yang bisa digunakan untuk meminimalisir risiko tersebut?

Jawaban:

Untuk melihat permasalahan ini, perlu dibedakan terlebih dulu antara penggunaan

Debit card atau Credit Card dengan penggunaan electronic purse (e-purse). Terkait

tingkat kerahasiaan nasabah, misalnya penggunaan e-purse di Belgia yang dikenal

dengan nama Proton e-purse, dibedakan menjadi 2 level yaitu pada level mer-

chant dan pada level bank.

Pada level merchant, transaksi menggunakan Proton e-purse bersifat anonymous.

Sedangkan pada level bank, transaksi menggunakan Proton e-purse tidak

sepenuhnya bersifat anonymous.

Pada level bank, melalui sistem di bank dapat diperoleh informasi mengenai ac-

count number (nomor kartu) dan saldo e-purse, tetapi tidak mengetahui informasi

nama pemilik/pemegang e-purse tersebut. Disamping itu, sistem bank memelihara

rekening bayangan (shadow account) untuk pencatatan penggunaan e-purse.

Rekening tersebut digunakan untuk mendata jumlah uang (dana) yang di-load

ke dalam e-purse. Kemudian pada saat merchant mengkliringkan penggunaan e-

purse, sistem akan mendapatkan informasi dari merchant mengenai nilai yang

telah dibelanjakan oleh konsumen. Selanjutnya pengguna akan memperoleh

informasi penggunaan e-purse, namun tidak dalam waktu yang bersamaan

Seminar Internasional“Toward a Less Cash Society in Indonesia”

39

(terdapat time lag). Berdasarkan informasi mengenai penggunaan dana e-purse

yang diperoleh dari merchant, sistem akan membandingkan antara shadow ac-

count dengan rekening jaminan (guarantee account) penerbitan e-purse.

Sedangkan untuk penggunaan Debit/Credit card, instrumen tersebut tidak

anomyous, sehingga untuk meminimalisasi risiko penyalahgunaan informasi

nasabah Debit/Credit card, sepenuhnya harus dengan membuat infrastruktur

hukum yang kuat (strong legal basis).

Dr. Drajad juga menambahkan bahwa di Indonesia saat ini masih belum terdapat

peraturan hukum yang melindungi informasi rahasia nasabah sehingga

perusahaan kartu kredit yang menyalahgunakan informasi rahasia nasabah tidak

dapat dituntut. Berkaitan dengan hal tersebut maka harus dibuat legal infra-

structure yang baik.

3 . Isnu Yuwana (Bank Indonesia)

Pertanyaan:

Terkait dengan uang hasil kegiatan ilegal yang dilarikan ke Singapura, mengapa

Indonesia mengalami kesulitan untuk menarik dana tersebut kembali ke Indone-

sia? Bagaimana dengan Extradition Treaty antara Indonesia dengan Singapura?

Jawaban:

Disadari bahwa Indonesia masih mengalami kesulitan untuk melakukan penarikan

dana hasil kegiatan ilegal yang dilarikan ke Singapura. Hal ini disebabkan oleh

belum adanya titik temu antara Indonesia dan Singapura dalam pembahasan

Extradition Treaty. Permasalahan yang sampai sekarang belum terselesaikan adalah

terkait dengan aspek yang akan tercakup dalam Extradition Treaty, seperti aspek

politik serta pertahanan keamanan.

Permasalahan lain adalah karena adanya perbedaan sistem hukum antara Indo-

nesia dan Singapura dimana Indonesia menganut sistem European Continental

sementara Singapura menganut sistem Anglo Saxon.

4 . Bambang Pramono (Bank Indonesia)

Pertanyaan:

a. Apakah di Belgia dan Belanda terdapat lembaga yang bertanggung jawab

dalam hal terjadi risiko settlement?

b. Prof Leo menyatakan bahwa pembayaran non-cash cenderung akan digunakan

untuk transaksi ritel namun Dr. Drajad menyatakan bahwa transaksi ritel

menggunakan pembayaran non-cash akan kurang menguntungkan bagi

konsumen. Bagaimana dengan perbedaan ini?

Jawaban:

a. Di Belgia tidak terdapat lembaga yang bertanggung jawab terhadap risiko

settlement, namun perbankan telah menyisihkan dana untuk kemungkinan

munculnya risiko ini tetapi sampai sekarang belum pernah digunakan. Di Belgia,

sepenuhnya tergantung pada sistem pengawasan perbankan yang baik.

b. Perbedaan pandangan tersebut disebabkan karena perbedaan definisi e-money.

Definisi e-money secara luas adalah terdiri dari electronic purses, Debit card

Seminar Internasional“Toward a Less Cash Society in Indonesia”

40

dan Credit card. Sedangkan definisi e-money secara sempit adalah terdiri dari

smart card dan prepaid smart card

5 . Noer Azam Achsani (Institut Pertanian Bogor)

Pertanyaan:

a. Bagaimana cara menghitung underground economy?

b. Saran untuk menaikkan cost of cash kurang sesuai diterapkan di Indonesia

karena penggunaan cash di Indonesia masih lebih tinggi daripada penggunaan

non-cash. Berkenaan dengan hal tersebut bagaimana tanggapan Prof. Leo?

Jawaban:

a. Underground economy dihitung dengan menambahkan variabel tax rate dalam

persamaan permintaan uang. Latar belakang perhitungan tersebut disebabkan

oleh semakin tingginya tax rate maka semakin tinggi pula dorongan untuk

melakukan transaksi pembayaran tunai (korelasi positif). Hal ini berarti semakin

tinggi tax rate maka semakin tinggi permintaan uang kartal. Metode ini

merupakan metode yang dikembangkan oleh Vito Tamzi dari IMF.

b. Sebagaimana telah disampaikan pada presentasi saya bahwa pendekatan untuk

menaikkan cost of cash belum tentu sesuai untuk diterapkan di semua negara.

Hal ini sangat tergantung dari kondisi sosial budaya masing-masing negara.

Berkenaan dengan hal tersebut disarankan agar otoritas menjelaskan kepada

masyarakat bahwa sebenarnya penggunaan uang tunai memiliki konsekuensi

biaya tinggi misalnya biaya untuk cash handling dan biaya untuk keamanan.

Di sisi yang lain agar penggunaan alat pembayaran non tunai diterima lebih

luas di masyarakat perlu juga mendorong merchant untuk memfasilitasi

tersedianya sarana pendukung penggunaan instrumen non tunai tersebut.

II. Tanya Jawab dan Diskusi Hari I Sesi 2

1 . Isnu Yuwana (Bank Indonesia)

Pertanyaan:

a. Selain melalui pengadilan, apakah dimungkinkan ada media lain untuk

menyelesaikan suatu dispute yang muncul dari perjanjian yang mendasari

transaksi e-money? Berkaca pada negara lain, ada beberapa negara yang

membentuk ombudsman program dalam menyelesaikan dispute terkait e-

money. Apakah hal ini dimungkinkan di Indonesia? Apabila dimungkinkan,

apakah dengan Peraturan Bank Indonesia atau dengan Undang-Undang?

b. Dalam hal issuer mengalami bankrupt atau insolvency, apa yang harus dilakukan

untuk menjamin pembayaran kepada merchant/pemegang? Berkaca pada

negara lain, dikenal deposit insurance dan loss sharing program, apakah di

Indonesia hal tersebut dimungkinkan? Apabila dimungkinkan, apakah cukup

dengan Peraturan Bank Indonesia atau harus dengan undang-undang?

Jawaban:

a. Dalam hal permasalahan terjadi antara konsumen pemegang kartu dengan

Seminar Internasional“Toward a Less Cash Society in Indonesia”

41

merchant/penyelenggara, Undang-Undang Perlindungan Konsumen telah

mengatur mengenai Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) yang salah

satu tugasnya adalah menjadi arbitrator/mediator. Lembaga ini dapat menjadi

alternatif penyelesaian sengketa selain melalui lembaga peradilan atau badan

arbitrasi lainnya.

Terkait dengan penyusunan undang-undang, hal tersebut dapat saja dilakukan,

namun sebaiknya konsepsi pengaturan hal tersebut dilakukan dengan tingkatan

pengaturan yang lebih rendah terlebih dahulu seperti dengan menerbitkan

Peraturan Bank Indonesia dan untuk selanjutnya diatur dalam undang-undang.

b. Tidak semua permasalahan harus diselesaikan dengan pembentukan peraturan

perundang-undangan. Sehubungan dengan hal ini otoritas di Indonesia perlu

melakukan terobosan-terobosan yang berani, mengingat langkah-langkah

yang konvensional melalui pembentukan undang-undang sulit untuk

diaplikasikan. Terkait dengan penggunaan alat pembayaran elektronik, Bank

Indonesia harus berani berperan aktif melakukan terobosan-terobosan atas

dasar kewenangan dalam Undang-Undang Bank Indonesia.

Terkait dengan masalah bankruptcy atau insolvency, penyelenggara yang baik

pasti akan memberikan jaminan kepada konsumennya. Dalam hal ini salah satu

cara yang perlu dilakukan adalah dengan mengedepankan peran lembaga

asuransi.

2 . Dwityapoetra S. Besar (Bank Indonesia)

Pertanyaan:

a. Apa yang menjadi akar pemasalahan (root of the problem) dari penegakan

hukum di Indonesia?

b. Apakah e-money (stored-value dan multi-purpose) dapat dipersamakan

dengan simpanan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Perbankan?

Dalam hal dilakukan oleh lembaga keuangan bukan bank apakah menjadi

melanggar hukum? Apakah harus dilakukan amandemen Undang-Undang

Perbankan atau apakah harus disusun Undang-Undang Sistem Pembayaran?

Jawaban:

a. Yang menjadi root of the problem penegakan hukum adalah:

1) Pembuatan peraturan perundang-undangan yang cenderung tidak sensitif

atas keadaan Indonesia secara umum, bahkan mengarah kepada pembuatan

undang-undang sebagai komoditas untuk memperoleh uang.

2) Kecenderungan masyarakat di Indonesia adalah “pencari kemenangan”

bukan “pencari keadilan”.

3) Hal-hal yang mewarnai penegakan hukum, yaitu uang, kekuasaan dan rasa

kemanusiaan.

4) Lemahnya sumber daya manusia di sektor publik.

5) Keterbatasan anggaran.

Hal yang fundamental dalam mengatasi masalah penegakan hukum di In-

donesia adalah: Pertama, tidak menyangkal adanya masalah penegakan

Seminar Internasional“Toward a Less Cash Society in Indonesia”

42

hukum di Indonesia; Kedua, kesabaran; Ketiga, harus dilakukan pendekatan

multi disiplin; Keempat, mengedepankan kesejahteraan penegak hukum;

Kelima, konsistensi; Keenam, pendekatan manusiawi dan Ketujuh, partisipasi

publik.

b. Stored value card tidak termasuk simpanan, karena pada prinsipnya uang

tersebut tetap “ada” namun tidak dalam bentuk konvensional (kertas atau

logam). Lembaga keuangan bukan bank pun dapat melakukan kegiatan stored

value ini. Terkait hal ini, tampaknya belum dibutuhkan amandemen Undang-

Undang Perbankan.

3 . Made Sadguna (PPATK)

Tanggapan:

Berdasarkan jawaban Prof. Leo van Hove dalam sesi sebelumnya, untuk

meminimalkan penyalahgunaan private information oleh penyelenggara sistem

pembayaran e-money, salah satu requirement yang paling dibutuhkan adalah

infrastruktur hukum yang baik.

Perlindungan konsumen merupakan upaya-upaya yang dilakukan dengan tujuan

meminimalkan risiko yang dihadapi oleh konsumen. Namun demikian, salah satu

aspek yang kurang mendapat perhatian adalah perlindungan kepada konsumen

yang memungkinkan konsumen dapat menggunakan sarana pembayaran yang

disediakan secara baik dan benar. Hal ini semakin dirasa penting pada negara-

negara berkembangnya yang masyarakatnya kurang familiar dengan produk-

produk (keuangan) yang rumit. Untuk itu, dirasa perlu adanya kewajiban bagi

Penyelenggara sistem pembayaran untuk memberikan consumer education yang

dilaksanakan tidak hanya dengan menyediakan brosur namun apabila perlu hingga

melaksanakan consumer training. Kiranya hal tersebut dapat diakomodir dalam

peraturan perundang-undangan.

4 . Puji Atmoko (Bank Indonesia)

Pertanyaan:

Apakah alat pembayaran non tunai dapat berperan pula sebagai legal tender

sebagaimana uang tunai? Bagaimana dengan dasar legalnya?

Jawaban:

a. Secara umum, masyarakat Indonesia masih belum terbiasa dengan penggunaan

alat pembayaran elektronik. Salah satu jalan yang dapat dilakukan untuk

mengatasi hal ini adalah dengan menyempurnakan pengaturan mengenai e-

money, dimana Bank Indonesia diharapkan dapat berperan secara aktif sebagai

motornya.

b. Pada prinsipnya, e-money adalah bentuk lain dari uang, sehingga apabila

konsumen ingin menguangkan e-money yang dimilikinya, hal tersebut harus

dapat diakomodir. Pada dasarnya tidak ada permasalahan dari sisi legal,

mungkin yang diperlukan adalah penguatan ketentuan-ketentuan

Seminar Internasional“Toward a Less Cash Society in Indonesia”

43

pelaksanaannya. Penting pula untuk diatur mengenai sanksi, dimana sanksi ini

dapat bersifat administratif (pencabutan izin, penghentian kegiatan usaha,

denda, dan lain-lain) dan dapat diatur dalam Peraturan Bank Indonesia.

5 . Lili (PT. ISO)

Pertanyaan:

a. Sebenarnya transaksi dengan e-money sudah berjalan. Namun demikian

terdapat permasalahan dimana dalam transaksi melalui internet, Indonesia

termasuk sebagai salah satu negara yang di-banned. Apakah permasalahan ini

diakibatkan oleh tidak adanya ketentuan atau justru kelemahan dalam

penerapan peraturan?

b. Dalam melaksanakan suatu kegiatan bisnis, apakah mutlak diperlukan

keberadaan peraturan yang mengatur bisnis tersebut lebih dahulu, atau apakah

bisa kegiatan bisnisnya jalan dulu baru kemudian peraturannya, mengingat

dalam beberapa kasus yang terjadi adalah kegiatan bisnis berjalan terlebih

dulu dibandingkan dengan ketentuan yang mengaturnya?

Jawaban:

a. Dalam konteks alat pembayaran, Bank Indonesia berdasarkan Undang-Undang

Bank Indonesia memiliki kewenangan untuk mengatur alat pembayaran

termasuk berperan aktif dalam menentukan standar alat pembayaran termasuk

perangkat penunjangnya serta perlindungan kepada konsumen.

b. Permasalahan yang utama adalah mengenai masalah penegakan hukum.

Adapun hal yang perlu diperhatikan yaitu apakah pelaku kejahatan/fraud

tersebut berakhir di pengadilan atau tidak (dihukum dengan pantas atau tidak

terkait dengan efek jera yang ditimbulkan).

Kecenderungan yang terjadi adalah bisnis berjalan dulu baru kemudian

hukumnya dibuat dengan mempertimbangkan apakah kegiatan tersebut perlu

diatur mengenai pengenaan sanksi, syarat-syarat administratif serta standar

keamanan.

6 . Nastiti (Direktorat Perlindungan Konsumen, Departemen

Perdagangan)

Informasi:

Sesuai dengan informasi Prof. Hikmahanto, pada saat ini terdapat Badan

Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) yang melakukan penyelesaian sengketa

konsumen di luar pengadilan. Hingga saat ini sudah dibentuk di 22 daerah tingkat

II, dan 10 diantaranya sudah aktif berjalan. Di DKI Jakarta belum ada BPSK karena

terbentur Undang-Undang Otonomi Daerah.

III. Tanya Jawab dan Diskusi Hari II Sesi 1

1 . Harry (Bank Bukopin)

Pertanyaan:

a. Penggunaan uang cash oleh masyarakat masih bersifat controllable, sedangkan

Seminar Internasional“Toward a Less Cash Society in Indonesia”

44

penggunaan e-cash akan lebih uncontrollable. Bagaimana menyikapi hal ini?

b. Apakah e-cash yang saat ini telah digunakan di Hong Kong dapat dikembangkan

untuk melakukan pembayaran tiket airlines?

Jawaban:

Antony:

a. Skim pembayaran dengan e-cash dimaksudkan untuk membuat segala

sesuatunya lebih mudah dan simple (make our life easier). Untuk itu, Octopus

Card Limited selalu menawarkan kepada masyarakat sesuatu yang lebih baik,

memberikan solusi, lebih praktis, simpel dan tidak pernah mengedepankan

kompleksitas dari e-cash yang digunakan. Untuk meyakinkan masyarakat

pengguna, perlu dibangun “trust” masyarakat pengguna terhadap e-cash

sebagai alat pembayaran, antara lain dengan memberikan 100% money back

guarantee apabila pengguna merasa tidak nyaman/tidak puas dalam

penggunaannya.

Selain money back guarantee, pada prinsipnya terdapat dua tipe produk yang

dapat/tidak dapat disertai dengan value protection, yaitu:

1) Produk yang digunakan oleh masyarakat luas (mass product)

Dilihat dari karakter dan prioritasnya, produk ini tidak disertai dengan

proteksi dana (no value protect) dalam arti produk ini dapat digunakan

oleh siapa saja. Otorisasi hanya dilakukan terhadap validitas kartu dan

kecukupan dana. Dalam hal kartu jenis ini hilang, maka pemilik kartu

tidak dapat mengklaim dana yang tersimpan pada kartu yang hilang

tersebut.

2) Produk yang terdaftar (registered product)

Produk ini disertai dengan value protect. Dalam hal kartu hilang, maka si

pemilik kartu yang terdaftar dapat melakukan pemblokiran/klaim atas dana

yang tersimpan pada kartu tersebut.

b. Octopus cards di Hong Kong digunakan untuk pembayaran transaksi mikro

yang rata-rata di bawah HKD 100. Dari sisi teknis, tidak ada kesulitan/

permasalahan sama sekali untuk mengembangkan fitur pembayaran Octopus

cards untuk pembayaran tiket airlines. Namun demikian, perlu ada penyesuaian

security system features untuk mengembangkan penggunaan Octopus cards

dari hanya untuk pembayaran mikro ke pembayaran ritel yang nilainya lebih

besar. Hal ini mengingat security system level berbeda-beda dan dibuat secara

bertahap tergantung risiko yang dikandungnya. Untuk mencegah penambahan

risiko yang akan menjadi beban Octopus Card Limited (OCL), sampai saat ini

OCL membatasi diri hanya menggunakan Octopus cards untuk transaksi mikro,

dan hal ini memang telah sesuai dengan jumlah maksimal dana yang dapat

disimpan pada kartu (HKD 1.000).

Dari apa yang dikemukakan Antony, moderator mengembangkan pertanyaan

kepada dua pembicara lain, khususnya terkait dengan permasalahan 100%

money back guarantee.

Seminar Internasional“Toward a Less Cash Society in Indonesia”

45

PT. Pertamina:

Prinsipnya, Pertamina juga akan menerapkan prinsip value protection

sebagaimana dikemukakan Antony. Untuk kartu-kartu yang terdaftar, pemilik

kartu dapat melakukan pemblokiran/pengklaiman dana apabila kartunya hilang,

sedangkan untuk anonymous card tidak dapat diklaim apabila hilang. Mengingat

implementasi Gaz Card tahap awal akan diprioritaskan untuk transaksi antara

Pertamina dan Pengusaha (merchant), maka Gaz Card justru akan bersifat regis-

tered. Untuk Gaz Card yang akan diluncurkan pada tahap awal ini, konversi nilai

dana yang ada pada kartu menjadi uang sebagai konsekuensi money back guar-

antee, tampaknya akan sulit dipenuhi oleh PT. Pertamina.

PT. Telkom:

E-cash atau stored value card merupakan bentuk lain (elektronik) dari uang,

sehingga sudah semestinya e-cash harus bisa dicairkan kembali (konversi) ke dalam

bentuk uang apabila diinginkan oleh pemegangnya. Sehubungan dengan hal

tersebut tidak ada alasan mengenai tidak adanya money back guarantee apabila

pengguna tidak merasa nyaman dalam penggunaan e-cash tersebut.

2 . Siti Hidayati (Bank Indonesia)

Pertanyaan:

Siapakah yang harus mengeluarkan inisiatif untuk melakukan kolaborasi pasar?

Apakah pelaku pasar yang memiliki share besar (mendominasi pasar) atau

pemegang otoritas (regulator)?

Jawaban:

Antony:

Sejarah pengembangan Octopus cards di Hong Kong menunjukkan bahwa kartu

ini berawal dari dikembangkannya single purpose prepaid card yang diinisiasi

oleh perusahaan-perusahaan transportasi yang bergabung menjadi satu dalam

menciptakan alat pembayaran yang lebih praktis, efisien dan tetap murah. Untuk

itu, menurut Antony, di Indonesia pun para pelaku bisnis harus duduk bersama

dan melakukan kolaborasi pasar. Inisiasi dapat berawal dari perusahaan yang paling

besar atau juga dapat dimotori oleh bank sentral. Kolaborasi pasar ini sifatnya

wajib. Pelaku pasar harus dapat duduk bersama dan tidak membawa isu kompetisi

untuk penggunaan alat bayar. Kompetisi tetap dapat dilakukan dengan penekanan

pada kualitas barang, harga yang bersaing dan lain-lain, namun tidak untuk alat

bayar. Hal ini karena alat bayar merupakan kebutuhan luas yang sifatnya umum

dan menunjang kelancaran usaha dan bukan untuk dipersaingkan.

PT. Telkom:

Setuju bahwa permasalahan persaingan tidak terkait dengan kartu dan alat

pembayarannya namun lebih pada kualitas dan harga produk. Untuk itu, tidak

ada alasan bagi pelaku pasar di Indonesia untuk tidak berkolaborasi. Diperlukan

adanya suatu institusi, dalam hal ini mungkin Bank Indonesia sebagai pemegang

otoritas sistem pembayaran, untuk dapat menjembatani dan menjadi fasilitator

Seminar Internasional“Toward a Less Cash Society in Indonesia”

46

maupun katalisator agar pasar berkolaborasi satu dengan yang lain, dalam

pengembangan e-cash di Indonesia. Perlu pula dicermati apakah akan ada

standardisasi produk atau tidak.

PT. Pertamina:

Pertamina mengembangkan Gaz Card salah satunya untuk loyalty rewards bagi

pelanggan, sehingga diharapkan pelanggan akan tetap loyal kepada produk

Pertamina. Meskipun sampai saat ini Pertamina masih bepikir bahwa kolaborasi

dapat saja dilakukan sepanjang dengan perusahaan-perusahaan yang memang

bukan kompetitor Pertamina, namun Pertamina tetap berpandangan sama bahwa

kolaborasi itu sangat penting.

3 . Agus Ponco (Bank Indonesia)

Pertanyaan:

Apakah stored value card seperti Octopus Card dapat dikembangkan di Indone-

sia mengingat masyarakat Indonesia sangat berbeda-beda baik dari sisi budaya,

behavior maupun religion-nya?

Jawaban:

Antony

Belajar dari pengalaman, untuk menciptakan alat pembayaran baru, jangan

mengedepankan masalah kompleksitasinya, namun selalu mengemukakan ben-

efits-nya. Hal ini untuk mencegah keengganan dan sikap skeptis dari masyarakat

calon pengguna. Perbedaan dan keanekaragaman budaya, baik dari sikap, perilaku

maupun preferensi pembayaran masyarakat harus dijadikan salah satu acuan

dalam pengembangan alat pembayaran. Dalam arti, jangan sampai dilakukan

pengembangan alat pembayaran yang memang tidak sesuai dengan kebutuhan

dan karakter masyarakat, dan bertentangan dengan budaya masyarakat. Buatlah

skim pembayaran itu sesederhana mungkin.

PT. Telkom:

Dalam setiap pengembangan produk, Telkom selalu memperhatikan budaya

masyarakat karena hal tersebut sangat berpengaruh terhadap acceptance

masyarakat atas produk yang diterbitkan. Sebagai contoh, Telkomsel, anak

perusahaan PT. Telkom pernah mengeluarkan produk kartu prabayar berupa

“Simpati Hoki” yang ternyata memang tidak laku di wilayah tertentu (Propinsi

Aceh). Hal ini mengingat di wilayah tersebut tidak mempercayai adanya hoki

(lucky) dan adat setempat menganggap bahwa percaya pada faktor hoki semata-

mata adalah tidak baik. Untuk itu, produk “Simpati Hoki” ditarik dan digantikan

dengan “Simpati Jitu”.

Sejalan dengan perilaku dan karakter masyarakat pulalah saat ini 97% produk

kartu telekomunikasi yang diterbitkan oleh Telkom Group berupa kartu prabayar.

4 . Bank Jatim

Saran/sharing:

Kiranya pengembangan non-cash payment instruments seperti stored value cards

untuk pembayaran BBM kendaraan bermotor yang sedang dijajagi oleh Pertamina

Seminar Internasional“Toward a Less Cash Society in Indonesia”

47

dapat juga untuk:

a. Pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan, sebagai contoh di wilayah Jawa Timur

saja terdapat 25 juta orang wajib pajak.

b. Pembayaran pajak kendaraan bermotor, yang sekaligus dapat digunakan untuk

mengidentifikasi pemilik kendaraan bermotor sehingga jumlah pengguna

kendaraan bermotor di Indonesia dapat terpetakan per wilayah.

Tanggapan:

Usul yang dapat dijadikan wacana pengembangan ke depan.

5 . Trans Jakarta

Pertanyaan:

a. Apakah untuk pengembangan smart card ke depan akan ada standardisasi

format data? Mengingat saat ini di retailer (misalnya swalayan, toko elektronik)

telah ada 5-6 mesin EDC yang berbeda-beda.

b. Bagaimana security issues dalam smart cards?

Jawaban:

Akan lebih baik jika kolaborasi pasar juga sekaligus membahas format data yang

akan digunakan dalam e-cash, sehingga pengembangan ke depan dapat dilakukan

lebih baik, lebih terencana dan dapat simultan.

6 . Farida Peranginangin (Bank Indonesia)

Pertanyaan:

a. Bagaimana Pertamina mengantisipasi keengganan masyarakat terhadap

penggunaan Gaz Card, mengingat transaksi konsumen Pertamina bernilai lebih

tinggi (higher value) daripada transaksi yang biasa dilakukan dengan

menggunakan smart card (micro payments)?

b. Bagaimana Octopus Card Limited mengatasi kompleksitas dalam kliring dan

settlement untuk transaksi kartu Octopus?

c. Bagaimana tanggapan Antony terkait dengan opini bahwa satu kartu prabayar

multi purposes multi merchants jauh lebih efisien daripada banyak kartu

prabayar single purpose?

Jawaban:

Antony

a. Mengingat Octopus cards merupakan produk yang diterbitkan oleh Octopus

Cards Limited yang sekaligus berfungsi sebagai prinsipal, issuer, acquirer

maupun operator, maka tidak ada permasalahan kompleksitas kliring maupun

settlement. Namun demikian, memang tidak dapat dipungkiri bahwa

permasalahan kliring dan settlement selalu kompleks. Akan lebih baik jika di

Indonesia digunakan “open model” agar bisa terus dikembangkan.

Kompleksitas kliring dan settlement ini merupakan area yang bersifat subject

to regulate oleh otoritas.

b. Sangat benar bahwa 1 kartu prabayar multi purposes multi merchants jauh

lebih efisien daripada banyak kartu prabayar single purpose. Justru di sinilah

diperlukannya kolaborasi pasar dan kolaborasi ini sebenarnya akan sangat

Seminar Internasional“Toward a Less Cash Society in Indonesia”

48

bagus jika dilakukan dengan bank karena memang sistem pembayaran ini

merupakan area yang menjadi nature bank.

PT. Pertamina:

Pertamina telah melakukan uji coba Gaz Card di Batam pada tanggal 5 Mei 2006,

dan hasilnya ternyata tingkat minat masyarakat terhadap Gaz Card ini sangat

besar. Dengan demikian Pertamina tidak melihat adanya keengganan pasar.

Namun demikian, untuk mengantisipasi keengganan pasar pada saat produk

diluncurkan, Pertamina akan memberikan perlakuan “khusus” bagi pelanggan

yang melakukan pembayaran Gaz Card, misalnya dengan memberikan line khusus

untuk pembelian BBM sehingga tidak antri, diberikan poin setiap mengisi dana

pada kartu bahkan sebelum dana pada kartu tersebut digunakan untuk

bertransaksi.

Untuk mempermudah akses masyarakat dalam melakukan pembelian kartu dan

top-up, termasuk proses registrasi, Pertamina akan menentukan SPBU yang dapat

dijadikan tempat untuk melakukan transaksi-transaksi tersebut.

PT. Telkom:

Isu kliring dan settlement selalu bersifat kompleks, namun bukan berarti tidak

ada jawabannya.

IV.Tanya Jawab dan Diskusi Hari II Sesi 2

1 . Pipih D. Purusitawati (Bank Indonesia)

Pertanyaan

a. Sebagai regulator sampai sejauh mana Bank Indonesia dapat mengatur pihak-

pihak yang terlibat dalam sistem pembayaran non tunai?

b. Siapa yang berhak mengatur transaksi Digicash yang lintas negara?

c. Kebutuhan terhadap transaksi non tunai dari sisi user sudah cukup mendesak,

sebaiknya PT. Jasa Marga segera mempercepat proses pelaksanaan dari proyek

non-cash.

Jawaban

a. Saat ini, selain mengatur mengenai masalah konvergensi, Depkominfo juga

mengatur dasar-dasar terkait dengan informatika antara lain teknologi Infor-

mation, Communication and Telecommunication (ICT) dan lain-lain. Sementara

Bank Indonesia dalam Undang-Undang No.10 Tahun 2004 tidak diberi

kewenangan sebagai inisiator Undang-Undang. Hal ini menyebabkan apabila

Bank Indonesia memiliki inisiatif terhadap penerbitan Undang-Undang seperti

RUU Transfer Dana, Bank Indonesia harus melalui pemerintah atau DPR. Namun,

Bank Indonesia dapat mengatur melalui peraturan yang dikeluarkan Bank In-

donesia (PBI dan SE).

b. Untuk transaksi Digicash, penyelenggara biasanya telah membuat pernyataan

di website penyelenggara sehingga apabila terjadi masalah maka hukum yang

digunakan adalah hukum yang berlaku di negara pelaku kejahatan. Salah satu

asas yang diatur dalam RUU ITE adalah asas ekstrateritorial sehingga

Seminar Internasional“Toward a Less Cash Society in Indonesia”

49

berdasarkan asas tersebut pelaku yang berada di luar negeri dapat diadili di

negara penyelenggara.

c. Proyek smartcard multifungsi yang direncanakan oleh PT. Jasa Marga menjadi

tertunda karena terdapat hal-hal yang berada di luar wewenang PT. Jasa Marga,

antara lain masalah regulasi e-money dan kepentingan antar institusi.

2 . Ahmad Hidayat (Bank Indonesia)

Pertanyaan

Dalam penggunaan infrastruktur oleh penyelenggara kartu non-cash (e-money)

pendekatan yang dilakukan oleh beberapa negara berbeda, misalnya Hong Kong

membangun infrastruktur sendiri sedangkan di Singapura lebih menggunakan

infrastruktur yang dimiliki oleh perbankan karena sudah relatif kuat dan stabil.

Seberapa jauh BCA akan mengizinkan infrastrukturnya digunakan untuk

kepentingan pengembangan pembayaran non-cash?

Jawaban

E-money merupakan bisnis baru sehingga harus dibangun bersama-sama dengan

beberapa provider. Kesediaan BCA untuk men-share infrastrukturnya perlu dikaji

lebih dahulu. Selama ini untuk penyelenggaraan kliring BCA, BCA sudah terbuka

untuk menerima provider lain. Namun dalam kaitannya dengan trust provider

dan distributor, BCA harus mempertimbangkan lebih dahulu aspek image dan

trust karena dalam bisnis ini terdapat risiko-risiko yang harus ditanggung oleh

BCA.

Interkoneksi di antara para pelaku pasar tidak dapat dipaksakan dan tidak bisa

diselesaikan hanya dengan regulasi. Oleh karena itu perlu dipikirkan jalan keluar

mengingat masing-masing pihak yang terkait memiliki kepentingan yang berbeda-

beda.

3 . Iwan Setiawan (Bank Indonesia)

Pertanyaan

a. Transaksi Internet Banking BCA sering menjadi obyek kejahatan cyber, misalnya

kasus typo squatting Stephen Haryanto. Namun setelah BCA menambahkan

token (keyBCA) sebagai tambahan security feature selain user-id dan pass-

word, transaksi melalui internet banking justru meningkat. Selama ini adagium

yang dikenal dalam ICT, bahwa semakin tinggi tingkat sekuriti akan

menimbulkan ketidaknyamanan bagi pengguna. Namun adagium tersebut

tidak terjadi pada Internet Banking BCA. Berkenaan dengan hal tersebut,

pelajaran apa yang dapat dipelajari oleh kita semua terkait dengan adanya

kasus tersebut?

b. Selain itu, terkait dengan kejahatan ATM, selama ini bank selalu menyatakan

bahwa ‘transaksi dianggap sah jika ada kartu dan PIN yang ‘benar’. Sejauh

mana tanggung jawab bank terhadap kartu yang unauthorized (skimming)

dan sampai sejauh mana bank melakukan investigasi karena selama ini nasabah

Seminar Internasional“Toward a Less Cash Society in Indonesia”

50

banyak yang dirugikan.

Jawaban

a. Pilihan nasabah dipengaruhi oleh 2 hal yaitu convenience dan keamanan. PIN

dinamis (token) di satu sisi menimbulkan inconvenience bagi nasabah, karena

nasabah harus selalu membawa token dan memasukkan PIN dinamis yang di-

generate oleh token, sehingga nasabah memerlukan waktu relatif lebih lama

untuk melakukan transaksi. Namun demikian, di sisi lain penggunaan token

menimbulkan rasa percaya dan aman bagi nasabah atas penggunaan Internet

Banking BCA. Selain itu BCA juga melakukan sosialisasi untuk mengurangi rasa

ketidaknyamanan nasabah sehingga saat ini transaksi Internet banking melalui

KlikBCA semakin meningkat.

Untuk kasus typo squatting yang pernah terjadi di BCA, saat ini dalam RUU ITE

sudah diatur mengenai tindakan perdatanya sehingga dapat dilakukan

pencabutan nama domain typo squatting tersebut.

b. Fraud yang terjadi pada sarana ATM dalam kasus BCA biasanya dilakukan oleh

orang-orang yang dekat atau kenal dengan nasabah (keluarga, teman, rekan

kerja, dan sebagainya). Untuk membuktikannya, BCA akan memutar ulang

rekaman kamera yang terdapat pada ATM.

Tanggung jawab bank terhadap transaksi elektronik sudah diatur dalam RUU

ITE dimana penyelenggara wajib menyelenggarakan transaksi elektronik secara

aman dan penyelenggara juga harus bertanggung jawab terhadap sistem yang

diselenggarakannya.

7 . Isnu Yuwana (Bank Indonesia)

Pertanyaan

Terkait dengan aspek perlindungan konsumen dan mengingat Bank Indonesia

tidak berwenang mengatur sanksi pidana, sampai sejauh mana Bank Indonesia

berperan dalam mengatur penerbitan e-money khususnya yang diselenggarakan

oleh lembaga keuangan bukan bank?

Jawaban

Terkait dengan perlindungan konsumen, dalam RUU ITE diatur bahwa pelaku

usaha wajib menyediakan informasi yang benar dan lengkap tentang produk yang

dihasilkan. Untuk transaksi elektronis khususnya yang terkait dengan carding,

pengenaan sanksi pidana tidak hanya dikenakan kepada pengguna saja tetapi

juga kepada pihak yang melakukan akses.

8 . Agus Ponco (Bank Indonesia)

Pertanyaan

Trend transaksi melalui BCA secara umum meningkat. Apakah pelajaran yang

bisa di-share oleh BCA sehingga produk BCA dikenal dan banyak digunakan oleh

masyarakat di tengah persaingan yang semakit ketat?

Jawaban

Dalam hal ini BCA menjelaskan salah satu pengalaman pada saat meluncurkan

produk non tunai; internet banking dan mobile banking. Kedua produk ini

Seminar Internasional“Toward a Less Cash Society in Indonesia”

51

merupakan produk non tunai yang sedang trend saat ini. Pada saat awal

peluncuran produk internet banking, satu hal yang menjadi pertanyaan BCA

adalah apakah produk ini akan digunakan oleh masyarakat atau tidak, mengingat

prinsip yang dipegang oleh BCA pada saat peluncuran produk baru adalah harus

mencapai tingkat economic of scale tertentu. Disadari bahwa saat ini sebagian

besar pengusaha berasal dari generasi tua yang kurang mengenal teknologi yang

digunakan. Namun dalam kenyataannya terdapat pengusaha yang berasal dari

second generation yang telah mengenal teknologi internet. Melihat kondisi

tersebut, apabila BCA hanya melihat pada market generasi terdahulu saja, maka

penetrasi pasar akan sangat lama. Oleh karena itu BCA lebih mengarahkan

produknya pada generasi muda sebagai channel delivery system sehingga produk

BCA cukup dikenal oleh masyarakat.

9 . Hari (Bank Bukopin)

Pertanyaan

a. Untuk membuat kartu yang multipurpose, permasalahan yang terjadi selama

ini adalah interoperability. Apakah ada pemikiran dari PT. Jasa Marga untuk

membuat standar terhadap kartu untuk tol sehingga bisa digunakan lintas

operator tol (selain PT. Jasa Marga)?

b. Dalam grand design PT. Jasa Marga, apakah di masa yang akan datang akan

bekerjasama dengan bank, menjadi issuer sendiri atau melakukan kerjasama

dengan pihak lain (non bank)?

Jawaban

a. Pada saat ini terdapat beberapa perusahaan yang terlibat dalam pengelolaan

industri tol antara lain PT. DMNS untuk tol ruas Tangerang-Merak, PT. Citra

Marga Nusa Pala untuk tol dalam kota. Kedua perusahaan ini dikategorikan

pada kelompok merchant yang beda tetapi tujuan yang sama (untuk membayar

tol). Terkait dengan kolaborasi antara pelaku pasar tersebut, disadari bahwa

hal tersebut akan mempercepat penggunaan kartu. Sementara itu untuk

standardisasi kartu saat ini masih terdapat tarik-menarik antara pemain

mengingat terdapat berbagai kepentingan antara lain aspek bisnis, teknologi

dan lain-lain.

Permasalahan yang dihadapi oleh PT. Jasa Marga adalah belum adanya standar

messaging untuk multipurpose. Permasalahan lain juga cukup beragam yaitu

masalah teknologi dan bisnis.

b. Untuk saat ini kemungkinan PT. Jasa Marga akan menjadi issuer sendiri dengan

memperluas layanan smartcard yang sudah diterapkan di ruas Padalarang-

Cileunyi. Ke depan tidak menutup kemungkinan untuk berkolaborasi dengan

pihak lain untuk mengembangkan multipurpose card.

Seminar Internasional“Toward a Less Cash Society in Indonesia”

52

Bagian KeempatDISKUSI DENGAN

PEMBICARA ASING DI

LUAR SEMINAR

Seminar Internasional“Toward a Less Cash Society in Indonesia”

53

I. DISKUSI DENGAN PROF. LEO VAN HOVE

A .PERTANYAAN TERKAIT DENGAN ASPEK MAKRO EKONOMI DAN

KEBIJAKAN MONETER

Pertanyaan 1:

Apakah terdapat perbedaan peran bank sentral pada masyarakat yang less cash

atau cashless apabila ditinjau dari sudut pandang kebijakan moneter?

Jawaban:

Ada perbedaan tapi tidak terlalu signifikan. Secara teori kondisi cashless adalah

tidak ada penggunaan cash dalam transaksi ekonomi atau 0% menggunakan cash.

Sementara itu pada kondisi less cash masih terdapat penggunaan cash sekitar

+5%. Menurut pendapat pembicara, kondisi 0% dan 5% cash bagi bank sentral

tidak memberikan dampak kebijakan moneter yang berbeda.

Pertanyaan 2:

Bagaimana pendapat Prof. Leo terhadap pernyataan salah seorang ahli ekonomi

yang mengatakan bahwa kebijakan moneter dalam kondisi masyarakat yang cash-

less menjadi tidak relevan karena bank sentral tidak lagi melakukan pengelolaan

cash?

Jawaban:

Bagi sebagian ahli ekonomi terdapat anggapan bahwa penerapan cashless akan

menjadi masalah bagi bank sentral untuk menetapkan kebijakan makro ekonomi.

Namun hal tersebut justru tidak menjadi masalah karena dengan tidak adanya

cash maka penggunaan instrumen non-cash, yang notabene nilai uangnya

disimpan dalam sistem keuangan (perbankan), masih tetap terkontrol oleh bank

sentral melalui penetapan kebijakan reserve requirement. Dengan kata lain

terdapat perpindahan demand for money menjadi demand for reserve.

Pertanyaan 3:

Apakah di Belgia terdapat mekanisme penghitungan jumlah uang yang beredar dalam

e-money untuk memonitor jumlah uang yang beredar sehingga dapat digunakan

sebagai salah satu instrumen moneter untuk membatasi money supply?

Jawaban:

Informasi e-money diperoleh dari issuer yang secara rutin wajib melaporkan

transaksi kepada bank sentral tiap bulannya. Selain itu setiap orang di Belgia

pada umumnya memiliki 2 rekening di bank yaitu untuk keperluan tabungan

maupun yang hanya digunakan untuk ritel payment termasuk e-purse. Oleh karena

itu data monetary agregat dapat diperoleh dengan mudah yang pada akhirnya

tidak menyulitkan bank sentral dalam melakukan perhitungan money supply-

nya. Dalam proses perhitungannya e-money digolongkan ke dalam M1.

Pertanyaan 4:

Apakah terdapat model ekonometrik yang dapat memprediksi pengaruh less cash

society terhadap kebijakan moneter?

Jawaban:

Saya kira tidak, karena sangat sulit untuk memprediksi pengaruh penggunaan e-

Seminar Internasional“Toward a Less Cash Society in Indonesia”

54

money terhadap kebijakan moneter. Sebagai contoh penelitian tentang hal

tersebut pernah dilakukan oleh Bank Sentral Belgia pada tahun 1990, namun hasil

yang diprediksikan pada penelitian tersebut tidak sesuai dengan kondisi saat ini.

Pertanyaan 5:

Sebagaimana telah disebutkan bahwa velocity of money dalam penggunaan ATM

dan penarikan uang tunai ke bank tidak berbeda jauh. Mohon dijelaskan mengenai

hal tersebut dikaitkan dengan presentasi yang disampaikan Perry Warjiyo yang

menyatakan bahwa penggunaan ATM akan mempercepat velocity of money

akibat berkurangnya waiting time.

Jawaban:

Situasi di Belgia sangat berbeda dengan di Indonesia. Di Belgia penggunaan ATM

hanya untuk penarikan uang tunai dan tidak bisa digunakan untuk transaksi

pembayaran. Dalam hal ini fungsi penarikan uang melalui ATM sama dengan

penarikan uang di kasir.

Pertanyaan 6:

Bagaimana dampak internet banking dan phone banking terhadap less cash soci-

ety?

Jawaban:

Dampaknya sangat kecil karena hanya membuat transaksi lebih nyaman saja.

Dalam hal ini internet banking dan phone banking hanya mengubah sarana

penyampaian instruksi dari sarana yang menggunakan kertas menjadi sarana yang

menggunakan telepon atau internet.

Pertanyaan 7:

Apakah penggunaan instrumen non-cash yang semakin meluas memberikan

dampak pada kebijakan moneter yang menganut suku bunga sebagai sasaran

utama?

Jawaban:

Penggunaan instrumen non-cash tidak memberikan dampak yang signifikan

terhadap kebijakan moneter yang menganut suku bunga sebagai sasaran utama.

Namun secara teoritis hal ini dimungkinkan apabila bank sentral hanya

mengandalkan pasar uang domestik untuk menarik dana. Artinya instrumen suku

bunga sebagai sasaran kebijakan moneter hanya dipengaruhi oleh reserve bank

di bank sentral, sehingga penggunaan non-cash yang tidak ada reserve-nya dapat

mempengaruhi kebijakan moneter.

Pertanyaan 8:

Apabila penerbit prepaid card adalah lembaga keuangan bukan bank yang tidak

memiliki kewajiban untuk menempatkan reserve di bank sentral, apakah

penggunaan/ekspansi float money yang dilakukan lembaga bukan bank tersebut

akan mempengaruhi efektivitas kebijakan moneter?

Jawaban:

Di Eropa penerbit prepaid card diatur secara ketat. Pertama, penerbit prepaid

card adalah bank atau lembaga keuangan bukan bank yang memiliki reputasi

Seminar Internasional“Toward a Less Cash Society in Indonesia”

55

baik. Pada umumnya penerbit prepaid card adalah bank. Kedua, seluruh lembaga

penerbit prepaid card tersebut merupakan obyek pengawasan sistem pembayaran.

Ketiga, penerbit prepaid card diwajibkan untuk memiliki modal minimum tertentu

dan harus menempatkan dananya pada investasi tertentu yang aman. Apabila

Indonesia akan menerapkan peraturan untuk menjadi penerbit prepaid card

seyogyanya lembaga penerbit adalah bank. Selanjutnya apabila ada lembaga lain

seperti jasa transportasi atau lainnya maka lembaga tersebut harus bekerja sama

dengan bank. Berkenaan dengan hal tersebut diperlukan legal infrastructure yang

tegas dan jelas untuk mengatur aturan main penyelenggaraan prepaid card ini.

Pertanyaan 9:

Apakah Bank Sentral Belgia mengawasi bank dan lembaga keuangan bukan bank

penyelenggara e-money?

Jawaban:

Pengawasan terhadap penyelenggaraan kegiatan e-money di Eropa menjadi

tanggung jawab European Central Bank (ECB), sehingga setiap penerbit harus

melaporkan kegiatan penerbitan ­e-money secara rutin. Di setiap bank sentral

yang tergabung dalam ECB juga memiliki financial stability department yang

melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan e-money.

Pertanyaan 10:

Apakah penerbit e-purse juga memberikan laporan kegiatannya kepada lembaga

yang menangani money laundering?

Jawaban:

Pada umumnya nilai uang pada e-purse dibatasi karena hanya digunakan untuk

transaksi ritel sehingga nampaknya kecil kemungkinan untuk digunakan sebagai

sarana untuk melakukan transaksi money laundering.

Pertanyaan 11:

Bagaimana penyelesaian dispute antara issuer, merchant dan konsumen, misalnya

apabila issuer bangkrut sementara konsumen masih memiliki nilai uang pada kartu

yang dibelinya?

Jawaban:

Nilai uang yang tersimpan dalam e-purse akan tetap berlaku sampai dengan

nilainya habis dan tidak terkait dengan penerbit e-purse tersebut. Oleh karena

itu apabila issuer e-purse bangkrut konsumen tetap dapat menggunakan kartu

tersebut untuk bertransaksi di merchant.

Pertanyaan 12:

Bagaimana dampak less cash society terhadap variabel-variabel makro ekonomi

seperti:

- tingkat harga (inflasi);

- surplus konsumen dan produsen; dan

- kesejahteraan masyarakat secara umum.

Jawaban:

Dilihat dari dampak terhadap tingkat harga (inflasi), tergantung dari jenis

Seminar Internasional“Toward a Less Cash Society in Indonesia”

56

instrumen pembayaran non tunai. Untuk Debit card dan prepaid card tidak akan

mempengaruhi ekonomi makro. Tetapi untuk Credit card akan mempengaruhi

uang beredar karena adanya money multiplier effect.

Dilihat dari dampak terhadap surplus konsumen dan produsen, tergantung dari

tingkat persaingan pasar. Semakin sempurna persaingan pasar tersebut, konsumen

akan semakin diuntungkan.

Dilihat dari dampak terhadap kesejahteraan masyarakat secara umum, karena

social cost berkurang maka kesejahteraan masyarakat akan meningkat. Dengan

berkurangnya social cost dalam hal ini antara lain dengan berkurangnya cash

handling maka surplus produsen akan semakin meningkat.

Pertanyaan 13:

Apabila masyarakat memandang penggunaan instrumen non tunai akan lebih

membuat masyarakat semakin nyaman untuk bertransaksi, apakah akan kondisi

ini akan berdampak pada meningkatnya aktivitas transaksi yang pada gilirannya

akan meningkatkan tingkat harga secara umum?

Jawaban:

Kondisi tersebut tidak akan berpengaruh secara signifikan terhadap peningkatan

harga secara umum.

Pada prinsipnya kenyamanan penggunaan ­e-purse sama dengan kenyamanan

penggunaan uang tunai.

Pertanyaan 14:

Bagaimana cara menghitung social cost of payment instrument?

Jawaban:

Penghitungan social cost dilakukan dengan menjumlahkan seluruh private cost

atau biaya-biaya yang dikeluarkan oleh seluruh pihak yang menggunakan

instrumen pembayaran. Misalnya penghitungan seluruh biaya yang dikeluarkan

oleh merchant, konsumen, bank, lembaga penyedia instrumen pembayaran

termasuk bank sentral terkait dengan distribusi penggunaan instrumen

pembayaran tersebut. Untuk menghindari terjadinya penghitungan ganda maka

biaya transfer dana melalui sistem perbankan tidak disertakan dalam perhitungan

tersebut.

Untuk menghitung social cost, data transaksi diperoleh dari bank umum atau

penerbit. Sementara itu data yang dikeluarkan oleh merchant maupun konsumen

dilakukan dengan survei sehingga diperoleh proksi untuk menghitung seluruh

biaya yang dikeluarkannya.

Pertanyaan 15:

Apakah dampak penggunaan instrumen non-cash terhadap pendapatan seignor-

age bank sentral?

Jawaban:

Penggunaan instrumen non-cash secara otomatis akan menurunkan pendapatan

seignorage bagi bank sentral tapi terdapat pula efisiensi terutama pengurangan

biaya cetak uang, biaya distribusi dan biaya keamanannya. Hal yang lebih penting

Seminar Internasional“Toward a Less Cash Society in Indonesia”

57

lagi adalah pengurangan seignorage tersebut bermanfaat untuk meningkatkan

kesejahteraan ekonomi secara keseluruhan.

Pertanyaan 16:

Terkait dengan data statistik ekonomi, terdapat perbedaan konsep perhitungan

dimana untuk tunai menggunakan konsep jumlah persediaan (stock concept)

sementara untuk non tunai menggunakan perputaran (flow concept). Terhadap

isu tersebut, bagaimana cara menghitung dan membandingkan antara

perkembangan instrumen tunai dan non tunai? Adakah indikator makro ekonomi

yang dapat menggambarkan perkembangan less cash society?

Jawaban:

Untuk data statistik uang beredar baik cash maupun non-cash diperoleh melalui

ECB. ECB menghitung M1 berdasarkan total outstanding e-money dijumlahkan

dengan outstanding currency. Sedangkan untuk menghitung uang beredar dari

penggunaan e-purse saat ini hanya didasarkan pada survei kepada responden

tertentu untuk menanyakan porsi penggunaan e-purse/e-money pada hari

tertentu secara acak. Kemudian data yang diperoleh tersebut diekstrapolasikan

terhadap seluruh populasi untuk memperoleh proxy-nya. Dengan demikian

apabila ingin mencari proporsi penggunaan cash dan non-cash hanya akan

diperoleh proxy saja.

Pertanyaan 17:

Apakah di negara yang penggunaan instrumen non tunainya sudah tinggi,

penggunaan uang tunai atau permintaan uang akan berkurang secara signifikan?

Jawaban:

Hal ini tergantung pada berapa besar jumlah underground economy pada tiap

negara. Apabila underground-nya masih banyak tentunya peningkatan

penggunaan instrumen non tunai juga tidak terlalu signifikan.

Pertanyaan 18:

Menurut Saudara, negara mana yang paling banyak menggunakan instrumen

non tunai?

Jawaban:

Iceland dan negara-negara Skandinavia merupakan contoh negara di Eropa yang

banyak menggunakan instrumen non tunai.

Pertanyaan 19:

Dapatkah dijelaskan dampak penggunaan instrumen non tunai yang semakin

meluas terhadap isu stabilitas keuangan?

Jawaban:

Hal ini tergantung pada beberapa isu seperti penerbit dan legal infrastructure.

Jika penerbitnya adalah bank atau lembaga keuangan yang telah memiliki reputasi

baik serta terdapat aturan main yang jelas dan tegas maka risiko instabilitas

keuangan dapat diminimalisir.

Seminar Internasional“Toward a Less Cash Society in Indonesia”

58

B . PERTANYAAN TERKAIT E-MONEY

Pertanyaan 1:

Seberapa signifikan perputaran penggunaan e-money apabila dibandingkan

dengan penggunaan uang tunai baik dari sisi volume maupun nilai di negara

Saudara (negara lainnya)?

Jawaban:

Tidak ada data yang akurat untuk penggunaan uang tunai. Sesuai dengan paper

yang telah disampaikan, tingkat perputaran transaksi e-money di Belgia dan

Belanda kurang lebih sama, yaitu sekitar 3,7% dari cash transaction. Sementara

itu perkembangan Proton e-purse di Belgia relatif lambat.

Pertanyaan 2:

Bagaimana bank sentral di Eropa merespon dampak e-money terhadap efektivitas

kebijakan moneter?

Jawaban:

Untuk level Eropa yang merespon dampak penggunaan e-money adalah ECB

melalui pengumpulan data termasuk outstanding-nya oleh penerbit e-money

setiap bulannya.

Pertanyaan 3:

Apakah penerbit e-money mengharuskan melaporkan segala kegiatannya secara

reguler? Kepada siapa (bank sentral atau otoritas terkait lainnya)?

Jawaban:

Sebagaimana telah disebutkan laporan kegiatan diberikan ke ECB, Bank Sentral

di masing-masing negara hanya memonitor kegiatan e-money di negaranya

masing-masing yang dilakukan oleh Financial Stability Department.

Pertanyaan 4:

Apakah e-money termasuk dalam komponen perhitungan uang beredar (M1)?

Apabila termasuk M1, bagaimana cara perhitungannya? (apakah seluruh float

atau hanya sebagian yang dihitung dalam perhitungan)

Jawaban:

Ya (e-money termasuk dalam M1), seluruh penerbit e-money baik perbankan

maupun lembaga selain bank harus melaporkan seluruh kegiatannya sehingga

seluruh float dihitung sebagai komponen uang beredar.

Pertanyaan 5:

Apakah penerbit e-money mempunyai fleksibilitas untuk mengelola kelebihan

dananya (float) dalam bentuk financial asset daripada deposit (contohnya surat

berharga, surat utang negara, dan lain-lain).

Jawaban:

Seperti telah dijelaskan sebelumnya, hal tersebut merupakan obyek pengawasan

oleh bank sentral termasuk memberikan aturan yang ketat untuk

menginvestasikan float money yang hanya diperbolehkan pada secure asset.

Pertanyaan 6:

Apakah terdapat perangkat hukum yang mengatur hak dan kewajiban yang

Seminar Internasional“Toward a Less Cash Society in Indonesia”

59

melibatkan pihak-pihak dalam penyelenggaraan instrumen non tunai untuk

menanggung risiko?

Jawaban:

Hak dan kewajiban diatur dalam setiap penyelenggaraan e-money. Pada masa

sebelum adanya ECB, di Belgia misalnya terdapat ketentuan apabila kartu dicuri

secara otomatis akan diblokir oleh penyelenggara apabila sudah dilaporkan. Hal

ini dilakukan untuk melindungi kepentingan konsumen pengguna e-money.

Sebaliknya apabila konsumen lupa atau menghilangkan kartu maka akan dikenai

denda agar konsumen lebih berhati-hati.

Pertanyaan 7:

Apakah terdapat peraturan mengenai pengenaan reserve requirement dan modal

minimum terhadap penerbit e-money?

Jawaban:

Untuk reserve requirement saya tidak tahu, tapi kalau modal minimum ada.

Apabila ya:

a. Berapa jumlah reserve dan modal minimum?

Akan dikonfirmasi lebih lanjut.

b. Dimana penempatan/penyimpanan reserve-nya?

Akan dikonfirmasi lebih lanjut.

c. Bagaimana otoritas yang akan melakukan supervisi meyakini jumlah mini-

mum reserve yang disampaikan oleh penerbit e-money?

Akan dikonfirmasi lebih lanjut.

II. DISKUSI DENGAN ANTONY MORRIS

Pertanyaan 1:

Apakah HKMA melakukan assessment terhadap penerbitan e-purse di Hong Kong,

misalnya untuk kartu Mondex dan Octopus?

Jawaban:

HKMA melakukan pendekatan assessment yang berbeda antara Mondex dan

Octopus. HKMA mewajibkan Mondex untuk diaudit oleh auditor independen,

karena Mondex memiliki nilai transaksi yang relatif lebih tinggi dan memungkinkan

dilakukannya card to card transfer. Adapun Octopus Card tidak diwajibkan untuk

diaudit oleh auditor independen karena nilai transaksi yang relatif rendah serta

bersifat terbatas pada merchant tertentu saja.

Pertanyaan 2:

Bagaimanakah aspek sekuriti yang terdapat pada kartu Octopus?

Jawaban :

Sekuriti pada Octopus Card dilakukan dengan beberapa cara antara lain dilihat

dari aspek teknis dan aspek kebijakan. Dilihat dari aspek teknis sekuriti Octopus

Card dibuat bersifat end to end, termasuk aspek sekuriti berupa enkripsi atau

penggunaan algoritma tertentu untuk mensandikan data pada Octopus Card.

Seminar Internasional“Toward a Less Cash Society in Indonesia”

60

Kebijakan penggunaan sekuriti yang ketat dikarenakan Octopus Cards Ltd.

menyadari bahwa kepercayaan terhadap instrumen pembayaran sangat penting

agar dapat diterima secara luas oleh masyarakat.

Selanjutnya dari aspek kebijakan, Octopus Card dibuat sedemikian rupa agar tidak

menarik untuk dijadikan sasaran kejahatan, antara lain dengan jalan: a) nilai dalam

kartu tidak dapat diuangkan (redeem); b) hanya dapat digunakan di merchant

yang bersifat ritel (groceries store, transportation, dan lain-lain) dan tidak di

merchant yang umumnya menjadi incaran fraudster untuk money laundering

seperti jewelry store, electronic, dan lain-lain; c) selalu bersifat low profile dan

menghindari pernyataan-pernyataan yang bersifat provokatif (khususnya kepada

para fraudster, hackers atau crackers), misalnya pernyataan seperti :”Octopus

card unbreakable…”, dan lain-lain.

Pertanyaan 3:

Apakah terdapat Merchant Discount Rate (MDR) yang diterapkan oleh Octopus

Cards Ltd. untuk merchant yang bekerja sama?

Jawaban:

Octopus Cards Ltd. menerapkan kebijakan MDR sebesar 1% dari nilai transaksi

(rata-rata= USD 1 cent/transaction). Merchant yang bekerjasama dengan Octo-

pus Cards Ltd. pada umumnya adalah merchant yang membutuhkan transaksi

dengan cepat untuk meningkatkan volume penjualan.

Pertanyaan 4:

a. Berapakah biaya mesin-mesin EDC?

b. Apakah merchant dibebani biaya terkait dengan pengadaan mesin EDC

dimaksud?

Jawaban:

a. Biaya mesin EDC berkisar antara USD 300 sampai dengan 400 dan menjadi

beban Octopus Cards Ltd.

b. Terkait dengan pengadaan mesin EDC di merchant, merchant hanya dikenakan

biaya one time testing fee oleh Octopus Cards Ltd., terkait integrasi sistem

Octopus Cards Ltd. ke dalam merchant/cash register merchant system.

Pertanyaan 5:

Apakah faktor-faktor yang mendukung keberhasilan Octopus Cards Ltd. dalam

mengimplementasikan penggunaan Octopus Card di Hong Kong?

Jawaban:

Faktor-faktor yang mendukung keberhasilan Octopus Cards Ltd. di Hong Kong

adalah:

a. Dukungan yang diberikan oleh seluruh perusahaan transportasi di Hong Kong

dalam membangun pasar Octopus Card yang besar (critical mass);

b. Octopus Card dapat digunakan pada pasar ritel dan pembayaran tidak

memerlukan kembalian (uang receh);

c. Penggunaan contactless card dengan teknologi Radio Frequency Identifica-

tion (RFID) membuat produk tersebut menjadi praktis untuk digunakan;

Seminar Internasional“Toward a Less Cash Society in Indonesia”

61

d. Sistem Octopus Card terintegrasikan dengan sistem merchant yang dapat

memberikan keakuratan data, kecepatan transaksi, keamanan dan kemudahan

bagi para pihak.

Pertanyaan 6:

Apakah terdapat masa daluwarsa pada Octopus Card?

Jawaban:

Pada dasarnya Octopus Card tidak memiliki masa daluwarsa. Namun demikian,

sisa uang yang terdapat pada Octopus Card akan di non-aktifkan apabila tidak

terdapat transaksi selama 3 tahun. Octopus Card yang telah dinon-aktifkan dapat

diaktifkan kembali dengan cara melaporkan kepada Octopus Cards Ltd.

Pertanyaan 7:

Bagaimana mekanisme pengkreditan Octopus Card dalam skema auto reload HKD

250?

Jawaban:

Untuk Octopus Card yang personalized dan telah mengikuti skema auto reload,

setiap kartu tersebut akan diberi tanda auto reload oleh sistem. Selanjutnya apabila

nilai setiap kartu tersebut telah mencapai “0” atau nilai dibawah “0”, maka sistem

akan melakukan verifikasi sebagai berikut:

a. Apakah kartu telah diberi tanda auto reload. Apabila kartu tidak terdapat

tanda auto reload maka sistem akan menolak transaksi.

b. Dalam hal dalam kartu terdapat tanda auto reload maka sistem akan mengecek

apakah sudah terdapat auto reload terhadap kartu pada hari yang

bersangkutan. Apabila belum terdapat auto reload pada hari yang

bersangkutan, maka sistem akan langsung mengkredit kartu sebesar HKD 250,

dan selanjutnya pengkreditan tersebut akan menjadi tagihan merchant kepada

Octopus Cards Ltd.

c. Atas pengkreditan kartu tersebut, Octopus Cards Ltd. akan membebankan

kepada pengguna.

Seminar Internasional“Toward a Less Cash Society in Indonesia”

62

Bagian KelimaPENUTUP

Seminar Internasional“Toward a Less Cash Society in Indonesia”

63

Kesimpulan dan PenutupKesimpulan dan PenutupKesimpulan dan PenutupKesimpulan dan PenutupKesimpulan dan Penutup

Kesimpulan dan Penutupan Seminar: Edi Siswanto, Direktur Akunting dan Sistem

Pembayaran Bank Indonesia.

1. Pokok-pokok hasil presentasi dan diskusi

a. Hari pertama Sesi pagi (aspek makro ekonomi)

1) Dari pembicara, Ketua Komisi XI DPR, Theo L. Sambuaga, intinya meskipun

uang mempunyai posisi penting, namun unsur security atas transaksi uang

mempunyai peran yang lebih penting, seperti untuk kegiatan pencegahan anti

money laundering dan pencegahan pembiayaan untuk terorisme. Sehingga

sependapat untuk didukung dengan peraturan perundangan yang memadai.

2) Sementara dari pembicara kedua, Prof. Dr. Leo van Hove, telah mengangkat

isu adanya kecenderungan peningkatan penggunaan instrumen pembayaran

non tunai seperti terjadi di negara lain. Terdapat usulan menarik untuk

membuat cash menjadi lebih mahal agar supaya terjadi peningkatan

penggunaan non-cash. Namun hal ini, harus dilihat dengan lebih “wise” untuk

kasus Indonesia sesuai dengan kultur dan kondisi sosial masyarakat.

3) Dari pembicara ketiga, Dr. Dradjad H. Wibowo, meskipun pembicara sendiri

masih pro terhadap penggunaan uang tunai, namun sependapat agar

penggunaan sarana non tunai dapat terus dikembangkan sesuai kewenangan

yang sudah ada di Bank Indonesia.

4) Sementara dari pembicara keempat, Dr. Perry Warjiyo, mengakui bahwa

pergeseran penggunaan alat pembayaran ke arah non-cash memiliki dampak

positif terhadap perekonomian, seperti: meningkatkan kepuasan dan

kenyamanan konsumen, pengurangan biaya transaksi (“less cash” berarti

“lower cost”), adanya peluang fee-based income bagi penerbit, dan

peningkatan kecepatan transaksi yang pada akhirnya menunjang pertumbuhan

ekonomi dan kesejahteraan. Beberapa hal yang perlu memperoleh perhatian

adalah: kemungkinan terjadinya fraud, risiko gagal bayar, dan kemungkinan

gangguan terhadap stabilitas sistem keuangan.

5) Dalam sesi ini juga terdapat usulan yang menarik tentang perlunya melihat

kembali metode penghitungan uang beredar.

b. Hari pertama sesi siang (aspek legal, aspek perlindungan konsumen dan aspek

pengawasan sistem pembayaran):

1) Dari pembicara pertama, Asman Abnur, Wakil Ketua Komisi XI DPR,

berpendapat bahwa pada prinsipnya mengakui bahwa kita sudah termasuk

“terlambat” dalam pengembangan less cash jika dibandingkan dengan negara

tetangga. Namun demikian, Bank Indonesia sesuai dengan kewenangan yang

ada dalam Undang-Undang Bank Indonesia, dapat terus melakukan

pengembangan dan pengaturan melalui kerjasama dengan berbagai institusi

terkait.

Seminar Internasional“Toward a Less Cash Society in Indonesia”

64

2) Sementara itu, dari pembicara kedua, Prof. Hikmahanto Juwana, S.H., LL.M.,

Ph.D., Dekan FH UI, sempat melontarkan fakta bahwa dalam praktek

internasional penyelenggaraan e-money tidak harus diikuti dengan

penyusunan Undang-Undang. Namun demikian, sudah tepat saatnya jika Bank

Indonesia dapat terus melanjutkan langkah-langkah dengan mengeluarkan

peraturan Bank Indonesia di bidang e-money. Hal lain yang lebih penting

setelah dikeluarkannya ketentuan adalah masalah penegakkan “hukum” yang

harus dilakukan dengan tegas.

3) Adalah menarik juga dalam sesi ini muncul usulan bahwa bisnis dapat tetap

jalan dulu tanpa harus menunggu dikeluarkannya aturan.

4) Sementara itu pembicara ketiga, Bramudija Hadinoto, melihat pentingnya peran

pengawasan sistem pembayaran oleh Bank Indonesia yang dapat dilakukan

sebagai upaya penegakan hukum untuk mewujudkan sistem pembayaran yang

cepat, aman dan handal.

c. Hari kedua sesi pagi (aspek kolaborasi dan ekspektasi pasar terhadap

pengembangan sistem pembayaran non tunai):

1) Pembicara pertama, Antony Morris dari Octopus Cards Ltd. Hong Kong,

menggarisbawahi pentingnya kolaborasi pasar untuk mengetahui kebutuhan

mekanisme pembayaran yang paling tepat. Disadari bahwa untuk dapat

berkembang seperti sekarang ini, Octopus telah melakukan perjalanan yang

panjang dan bertahap. Dalam tahap ini penting untuk membangun “trust”,

antara lain dengan menerapkan 100% money back guarantee.

2) Pengembangan yang telah dilakukan perlu terus disesuaikan dengan

memperhatikan aspek culture, needs, behavior dan karakter pembayaran

masyarakat Indonesia, seperti memperhatikan: kemudahan dan kenyamanan

dalam penggunaan, biaya yang murah, dan kepuasan konsumen, serta dilakukan

dengan menggunakan teknologi terbaru yang secure, praktis, cepat, dan reli-

able.

3) Sedangkan pembicara kedua dari PT. Telkom dan pembicara ketiga dari

Pertamina mengemukakan kesiapan kedua perusahaan tersebut dalam

mendukung pengembangan less cash society di Indonesia.

4) Hal lain yang menarik dari ketiga pembicara dalam sesi ini adalah sepakat adanya

keperluan untuk standardisasi dan menciptakan kesadaran arti pentingnya

interoperability dan konvergensi antar operator.

d. Hari kedua sesi siang. Diantara pembicara dari Bank Indonesia, Depkominfo, BCA

dan Jasa Marga telah membahas lebih rinci pentingnya peran kolaborasi dalam

memasuki pasar di Indonesia dan mengharapkan pentingnya peran sentral Bank

Indonesia sebagai fasilitator dan katalisator yang berdiri tepat di antara opera-

tor dan masyarakat sebagai konsumen.

2. Dari apa yang telah dipaparkan dalam dua hari seminar, diyakini para peserta semi-

nar bahwa pengembangan beberapa infrastruktur dan instrumen terkait dengan

less cash society di Indonesia telah dimulai. Namun demikian, agar pengembangannya

Seminar Internasional“Toward a Less Cash Society in Indonesia”

65

secara nasional lebih efisien, seperti dikemukakan oleh Mohamad Ishak, diperlukan

peran regulasi dari Bank Indonesia untuk memfasilitasi dan menggerakkan seluruh

pihak yang terkait untuk duduk bersama dan mendiskusikan hal-hal krusial dan teknis

dalam pengembangan sistem pembayaran non tunai

3. Kiranya, hasil seminar ini bermanfaat bagi kita semua terutama bagi Bank Indonesia

dalam pengembangan sistem pembayaran yang tidak pernah henti menuju

masayarakat yang berkecenderungan less cash, dengan penggunaan instrumen

pembayaran non tunai yang handal, nyaman, aman, murah, dan efisien.

Seminar Internasional“Toward a Less Cash Society in Indonesia”

66

Tim Perisalah/Penyusun

1. Puji Atmoko

2. Sukarelawati Permana

3. Pipih D. Purusitawati

4. Iwan Setiawan

5. Panji Achmad

6. Sri Yulia Parayudhanti

7. Butet Linda H.P.

8. Safari Kasiyanto

9. Franz Hansa

10. Trifaldi Yudistira

11. Kiptiah Riyanti

12. Himawan Kusprianto

13. Gunawan Purbowo

14. Nuryanti

15. Retno A. Soejoedono