17
1

Since January 2006 the Embassy of the - Hadassah …hadassahemmerich.com/dwn/exopoliscat.pdf · Since January 2006 the Embassy of the Netherlands boasts a remarkable work of art:

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Since January 2006 the Embassy of the - Hadassah …hadassahemmerich.com/dwn/exopoliscat.pdf · Since January 2006 the Embassy of the Netherlands boasts a remarkable work of art:

1

Page 2: Since January 2006 the Embassy of the - Hadassah …hadassahemmerich.com/dwn/exopoliscat.pdf · Since January 2006 the Embassy of the Netherlands boasts a remarkable work of art:

2 3

Since January 2006 the Embassy of the Netherlands boasts a remarkable work of art: a giant mural by Hadassah Emmerich which is full of symbols, dreams and fantasies. It always catches the eye of the visitors and is the opening topic to many conversations.

An exhibition of other works by Hadassah would therefore be considered the next logical step towards answering the questions many viewers ask themselves: Looking at the mural, one wonders how Hadassah is developing; which themes dominate her art; and whether her Indonesian roots still play a role?

The exhibition “Beyond the Dutch”, recently held in The Netherlands (at Utrecht Central Museum, October 2009-January 2010), presented her work and suggested some answers to these questions which we would like to share with you here in Jakarta.The present exhibition also fits in with the traditions the Erasmus Huis has developed over the past 40 years. It strengthens the link between East and West, creates the opportunity for dialogue, and provides a space for meetings with young Indonesian artists, as well as possibly inspiring Hadassah to create new works of art, and therewith new questions for us to answer. We are grateful to Mella Jaarsma for her work as a curator and for producing this catalogue.I hope many people will enjoy the exhibition.

Dr. Nikolaos van DamAmbassador of the Kingdom of the Netherlands Duta Besar Kerajaan Belanda

Sejak Januari 2006, Kedutaan Besar Belanda memiliki sebuah karya seni yang luar biasa: mural raksasa karya Hadassah Emmerich yang penuh dengan simbol, mimpi dan fantasi. Karya ini selalu menarik perhatian para pengunjung dan menjadi topik pembuka dalam banyak percakapan.

Sebuah pameran atas karya-karya Hadassah yang lain dianggap menjadi suatu langkah selanjutnya yang beralasan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang timbul di dalam diri banyak pengunjung selama ini: Melihat mural ini, seseorang bisa mempertanyakan tentang bagaimana Hadassah bisa berkem-bang sampai sejauh ini, tema-tema apa saja yang mendominasi karyanya, dan apakah akar Indonesia yang dimilikinya masih berperan?

Pameran “Beyond the Dutch” yang baru-baru ini diselenggarakan di Belanda (di Utrecht Central Museum, Oktober 2009-Januari 2010) menampilkan karya-karyanya dan menawarkan beberapa jawaban atas pertanyaan-pertanyaan diatas yang kami ingin berbagi dengan anda di Jakarta. Pameran ini juga sesuai dengan tradisi Erasmus Huis yang telah dikembangkan selama lebih dari 40 tahun, yaitu memperkuat jalinan Timur dan Barat, menciptakan peluang dialog, dan menyediakan ruang pertemuan dengan seniman-seniman muda Indonesia, sekaligus memberi inspirasi bagi Hadassah untuk menciptakan karya-karya seni baru. Dengan demikian timbul pertanyaan-pertanyaan baru untuk dijawab.Kami berterima kasih kepada Mella Jaarsma atas kerjanya sebagai kurator dan mem-produksi katalog ini. Saya berharap banyak orang akan menikmati pameran ini.

Foreword Kata pengantar

Page 3: Since January 2006 the Embassy of the - Hadassah …hadassahemmerich.com/dwn/exopoliscat.pdf · Since January 2006 the Embassy of the Netherlands boasts a remarkable work of art:

4 5

Page 4: Since January 2006 the Embassy of the - Hadassah …hadassahemmerich.com/dwn/exopoliscat.pdf · Since January 2006 the Embassy of the Netherlands boasts a remarkable work of art:

6 7

to Hadassah’s ornamental world of flora and fauna.

Her work has been associated with the late nineteenth century painters like Paul Gauguin and Henri Rousseau, who both fantasized and reflected on Asia and the Pacific. However, I see her work more connected to Walter Spies. Her collages could be a detail of a Spies sultry landscape or a close-up of a Balinese painting. Spies, who arrived in Bali in 1927 and settled there permanently, has together with Rudolf Bonnet, greatly influenced modern traditional Balinese painters like Soberat, Anak Agung Gede Meregeg and many others. He brought about a liberated change in which Balinese painters limited to painting religious scenes, mainly episodes from Hindu mythology, started to produce rural landscapes in an individual manner. Idyllic worships of overwhelming nature represented in a realistic decorative style with a strong graphic character are also what we see in Hadassah’s works. Another similarity is how the space on canvas, paper or wall is mostly totally filled, and the eye of the spectator goes around on an image with multiple focuses. In 2006 she created a mural at the Dutch Embassy in Jakarta, which is still on view and which will be made accessible at the Erasmushuis via a camera.

Hadassah Emmerich, Dutch born in 1974 from mixed parents with German, Dutch, Chinese and Indonesian origin, studied at the Maastricht Academy of Fine Arts, Maastricht; HISK, Antwerpen, and at the Goldsmiths College. She currently lives and works in Berlin. The artist has presented her work in numerous solo and themed group exhibitions worldwide.

Hadassah Emmerich’s ‘Exopolis’ deals with ‘exoticism’ a concept she has developed through the last decade. Typical of her work is the layering of icons playing with the different qualities of paint, ink, charcoal and linocut prints. Between the different layers of interlaced ornaments, a space is created where the spectator can enter and become ensnared like in a jungle. Hadassah uses the language of exotic symbols to refer to different times and settings like the colonial ‘Tempo Dulu’, Jugendstil, Medieval times, The Orient and, also, Futurism.

In her work, the exotic represents human longing for ‘the other’; a dreamed landscape and fantasized surroundings. We step into an imaginative world, sometimes inspired by dreams, which are distant from our daily reality, but that we probably need in order to survive? Hadassah’s images relate to the human need to romanticize. Do we need to romanticize in order to distance ourselves from our reality; to create a contrast so that we get a clearer picture of our reality? Is it the space between near and far that gives both dream and reality meaning?

Hadassah encourages us to romanticize, but her work also suggests that romanticizing alone is not enough. With her large scale murals and works on paper, she leads us through a maze of arabesques and curves. We are absorbed into ornamental surroundings that create a contemplative experience, like in a baroque church, or in Hadassah own words; we experience “a feeling of immersion”. It is about the importance of creating a ‘state of mind’ in which the spectator can live through a moment without inhibitions. In this space, the viewer has no other choice but to rely on his or her own references to give meaning

Between Near and Far

Pameran ‘Exopolis, kembali ke Jakarta’ oleh Hadassah Emmerich berbicara tentang ‘eksotisme’, sebuah konsep yang telah ia kembangkan sejak satu dekade terakhir ini. Ciri khas karya karyanya adalah pelapisan dari ikon-ikon yang bermain dengan kualitas berbeda dari cat, tinta, arang dan cetakan cukil. Diantara lapisan-lapisan berbeda dari ornamen yang saling menjalin, tercipta sebuah ruang ke mana si pengamat dapat masuk dan terjerat bak dalam sebuah rimba belantara. Hadassah menggunakan bahasa simbol-simbol eksotik untuk merujuk pada waktu dan latar belakang yang berbeda seperti ‘Tempo Doeloe’ zaman kolonial Belanda, Jugendstil, Abad Pertengahan, Oriental, dan juga Futurisme.

Dalam karyanya eksotisme merepresentasikan keinginan manusia pada ‘yang lain’, sebuah lanskap impian dan lingkungan yang dikhayal-kan. Kita melangkah ke dalam sebuah dunia imajinasi, kadang terinspirasi oleh mimpi-mimpi yang jauh dari realita keseharian kita, namun mungkin kita butuhkan untuk bertahan hidup? Citra-citra Hadassah terkait dengan kebutuhan manusia akan romantisasi. Apakah kita mem-butuhkan romantisasi untuk menciptakan jarak dengan kenyataan; untuk menciptakan suatu kontras sehingga kita mendapatkan gambaran yang lebih jelas dari kenyataan? Apakah ruang antara dekat dan jauh yang memberi makna kepada mimpi dan realita?

Hadassah mendorong kita untuk meromanti-sasi, tetapi karyanya juga menyarankan bahwa romantisasi saja tidaklah cukup. Dengan karya muralnya yang berukuran besar dan karya-karyanya diatas kertas, ia membawa kita berjalan jalan melalui sebuah labirin ukiran, lengkungan dan arabesk. Kita terserap ke dalam lingkungan ornamen yang menciptakan sebuah pengalaman kontemplatif seperti dalam

Mella JaarmaDi antara Dekat dan Jauh

gereja barok, atau dalam bahasa Hadasssah: kita mengalami sebuah “perasaan terendam”. Ini adalah mengenai pentingnya menciptakan sebuah ‘kondisi batin’ dimana si pengamat dapat melalui sebuah saat tanpa pembatasan. Dalam ruang ini, si pengamat tidak punya pilihan lain kecuali mengandalkan pada refer-ensinya sendiri untuk memberi makna pada dunia flora dan fauna ornamental Hadassah.

Karya-karyanya telah lama diasosiasikan dengan para pelukis akhir abad ke-19 seperti Paul Gauguin dan Henri Rousseau, yang keduanya berfantasi dan merefleksikan tentang Asia dan Pasifik. Meskipun demikian, saya melihat karyanya lebih terhubung dengan Walter Spies. Karya-karya kolasenya kelihatan sebagai detil dari lanskap hangat Spies atau sebuah “close up” dari sebuah lukisan Bali. Spies yang tiba di Bali pada 1927 dan menetap disana sejak saat itu, bersama dengan Rudolf Bonnet, telah banyak mempengaruhi para pelukis tradisional-modern Bali seperti Soberat, Anak Agung Gede Meregeg dan banyak lainnya. Ia telah membawa perubahan yang membebaskan dan para pelukis Bali yang sebelumnya dibatasi hanya melukis peristiwa-peristiwa keagamaan, terutama episode-episode mitologi Hindu, mulai menghasilkan lanskap pedesaan dalam gaya individual. Pemujaan suci untuk alam yang luar biasa yang ditampilkan dalam gaya dekoratif realistis dengan karakter grafis yang kuat, adalah sesuatu yang juga terlihat dalam karya-karya Hadassah. Kesamaan yang lain adalah bagaimana ruang di atas kanvas, kertas atau dinding kebanyakan terisi penuh, sehingga mata si pengamat berkeliling menatap pada sebuah citraan berfokus ganda. Pada 2006 ia menciptakan sebuah lukisan dinding di Kedutaan Belanda di Jakarta, yang bisa disaksikan di Erasmus Huis melalui sebuah kamera.

Page 5: Since January 2006 the Embassy of the - Hadassah …hadassahemmerich.com/dwn/exopoliscat.pdf · Since January 2006 the Embassy of the Netherlands boasts a remarkable work of art:

8 9

From the original text: “Hadassah Emmerich and Maxa Zoller in Conversation”, Casino Exotique Catalogue, published 2008 in cooperation with Künstlerhaus Bethanien, Berlin.

My approach to art making is multifaceted ranging from personal intuition to literary references and theory. On a formal level I combine abstract ornamental forms with carefully composed elements. My formal choices are always in dialogue with the content.In the beginning my own personal history was an important reason to start working around the exotic. Apart from having mixed blood, I grew up in the catholic south of the Netherlands, but was never christened. My father offered me religion, superstition and magic, whereas my mother took me on a beach holiday when my friends had their first communion. This kind of, well, humorous schizophrenia resulted in a constant negotiation of the ‘right’ distance towards the idea of ‘belief’.

Today those spaces where the secular exists next to the religious are most interesting to me. It is also important in my work, and the co-existence of different viewpoints is also how I approch ‘the exotic’. I am interested to show its complexity, which cannot be merely illustrative, but to me is a mixture of references to (art) history, pop culture, every-day life and the artist’s authentic signature. This involves an existential questioning, a fragile balance between an objective and a subjective look.

Later, the stunning cathedrals, churches and palaces I saw in Southern Europe inspired me to start creating environments. I was already making large wall collages with paper

Exopolis

Hadassah Emmerich adalah seorang Belanda, lahir pada 1974 dari pasangan berdarah campuran Jerman, Belanda, Cina dan Indonesia. Ia belajar di Maastricht Academy of Fine Arts, Maastricht; HISK, Antwerpen, dan di Goldsmith College, London. Saat ini ia menetap dan bekerja di Berlin. Ia telah banyak memamerkan karyanya dalam berbagai pameran solo dan pameran kelompok bertema di seluruh dunia.

Dari teks asli: “Hadassah Emmerich and Maxa Zoller in Conversation”, Katalog Casino Exotique, diterbitkan pada 2008 bekerjasama dengan Künstlerhaus Bethanien, Berlin.

Pendekatan saya pada seni mempunyai banyak sisi, mulai dari intuisi personal sampai kepada referensi sastra dan teori. Pada tataran formal saya menggabungkan bentuk-bentuk ornamen abstrak dengan elemen-elemen lain yang dikomposisikan dengan hati-hati. Pilihan-pilihan formal saya selalu berada dalam dialog dengan isinya.Pada awalnya pengalaman historis pribadi saya merupakan alasan penting untuk mulai bekerja sekitar isu eksotik. Selain saya berdarah campuran, saya tumbuh di wilayah Katolik di selatan Belanda, tetapi tidak pernah menjadi Kristen. Ayah menawarkan pada saya hal hal seperti agama, tahyul dan gaib, sementara itu ibu saya membawa saya berlibur ke pantai pada saat teman-teman saya menerima komuni suci pertama mereka. Hal-hal atau, sebut saja, ‘kegilaan humoristis’ seperti inilah yang menghasilkan penempuhan yang konstan dari jarak yang ‘benar’ menuju gagasan ‘keyakinan’.

Kini ruang-ruang tadi dimana yang sekuler berada berdampingan dengan yang religius merupakan hal yang paling menarik bagi saya. Yang juga penting dalam karya saya dan ko-eksistensi berbagai sudut pandang yang berbeda, adalah bagaimana pendekatan saya terhadap yang ‘Eksotis’ ini. Saya tertarik untuk menampilkan kompleksitasnya, yang tidak bisa sekedar ilustratif saja, tetapi bagi saya merupakan campuran dari rujukan kepada sejarah (seni), budaya pop, kehidupan sehari-hari dan ciri khas otentik sang seniman. Hal ini melibatkan penanyaan penanyaan eksistensia-lis, sebuah keseimbangan yang rapuh antara

Exopolis

Page 6: Since January 2006 the Embassy of the - Hadassah …hadassahemmerich.com/dwn/exopoliscat.pdf · Since January 2006 the Embassy of the Netherlands boasts a remarkable work of art:

10 11

cut-outs, but I realised that I wanted to create a similar immersive feeling to the one I had experienced in a baroque church where dark paintings were hung over murals merging into a painted relief which ended in a trompe-l’oeil. In these cathedrals, different mixtures of style and iconography built up to a dazzling climax.

Also, the layout of illuminated manuscripts form a major source of inspiration for my works on paper, where graphical, painterly and textual narratives are mixed together in the same picture. It is interesting that illuminated manuscripts have both an Eastern and Western history, ranging from Persia to Belgium.

It was not until I started studying in London that I realised how different the debate around the concept of ‘orientalism’ was in the Netherlands, especially relating to visual art and culture. The problem of orientalism is a very established discourse in the UK, many artists work and have worked around it in various ways. Another – problematic – question is how to relate these problems to painting. But just because painting is this modernist history of the ‘white male genius’, it is very interesting to break it open as a female artist who works around the ‘exotic’. This is the reason is why in my work I refer to Rousseau and Gauguin, for example. Picabia is another artist who I find most inspiring in all his various styles, because he opened up questions of authenticity, style and the artist’s signature. When I studied in the Netherlands it seemed that you either were a formalist painter (and shut up about too much content) or a socially engaged artist, or you worked in the public space. To me, these divisions are rather outdated. There are painters who work beyond these divisions and circuits, like Kerry

Hadassah Emmerich

James Marshall or Paulina Olowska, who I find very interesting.

It is another question whether an academic theoretical framework makes an art practice really more interesting, but I am convinced that it is always good to work from an informed point of view.

For me the curved lines are a very strong binding device in the work, and they have different appearances: sometimes they are flat and outlined, sometimes they suggest depth and have glowing edges. Sometimes they look like swirled candy-sticks and they gradually change colour from green to yellow, and then from orange to turquoise. They are woven through the other elements in the pictures (plants, figures, bows, medaillons, faces, etc.) and cross the borders between different sections. As a result they weave together history, facts and fiction, even though they look like a formal device. Also, the line can turn into an italic font and form a text. It’s a very elastic device that shifts its personality from frivolous to uncanny, and allows me to bind together the ‘expressionistic’ and the ‘intellectual’.

My desire to create environments stems from my experience of baroque churches and chapels, rather than from a problem with the white cube. Actually, the more rigorously ‘white cube’ a space is, the better my inter-ventions work. What I like about the murals is the amount of focused energy that goes into it, like a fireball. It is a very physical and direct energy, which counters the slower and more reflective energy of the works on paper that usually are time consuming. Even though I make rough sketches before I start a mural, I always leave space for

pandangan obyektip dan subyektip.

Kemudian, katedral-katedral, gereja-gereja dan istana-istana yang menakjubkan yang pernah saya lihat di Eropa Selatan mengilhami saya untuk mulai menciptakan lingkungan-lingkungan. Saya sudah membuat kolase kolase di dinding yang besar menggunakan guntingan kertas, tetapi kemudian saya menyadari bahwa saya ingin menciptakan sebuah perasaan tenggelam yang sama seperti pengalaman saya dalam sebuah gereja barok dimana lukisan-lukisan gelap digantung diatas mural-mural menyatu membentuk sebuah lukisan relief yang menghasilkan sebuah ilusi penglihatan. Di katedral-katedral ini, berbagai campuran berbeda dari gaya dan ikonografi membangun sebuah klimaks yang mengagumkan.

Demikian juga, penataan manuskrip-manuskrip yang diberi cahaya menjadi sebuah sumber utama inspirasi bagi karya karya saya diatas kertas dimana narasi-narasi grafis, lukis, dan tekstual dicampur berbarengan dalam gambar yang sama. Adalah sesuatu yang menarik bahwa manuskrip-manuskrip bercahaya tersebut memiliki latar belakang sejarah Timur dan Barat, yang terbentang dari Persia sampai ke Belgia.

Baru setelah saya mulai belajar di London saya menyadari betapa berbedanya perde-batan seputar konsep ‘orientalisme’ yang selama ini berlangsung di Belanda, terutama yang berhubungan dengan seni visual dan budaya. Masalah Orientalisme merupakan wacana yang mapan di Inggris, banyak seniman berkarya dan pernah berkarya sekitar masalah tersebut dalam berbagai cara. Salah satu pertanyaan problematis lainnya adalah bagaimana mengaitkan problem-problem tersebut dengan lukisan. Tetapi justru karena

lukisan adalah sejarah modernis dari ‘keje-niusan pria kulit putih’, maka sebagai seorang seniman perempuan yang berkarya sekitar yang ‘eksotis’, hal ini menjadi sangat menarik untuk mendobraknya. Ini merupakan alasan mengapa dalam karya saya, saya merujuk pada Rousseau dan Gauguin misalnya. Picabia merupakan seniman lain yang menurut saya sangat inspiratif dalam berbagai gayanya karena ia mengungkapkan pertanyaan-pertanyaan tentang keaslian, gaya dan karakter khas seorang seniman. Ketika saya belajar di negeri Belanda, nampaknya pilihan yang ada ialah : anda seorang pelukis formalis (dan harap tutup mulut tentang muatan yang terlalu banyak), atau anda seorang seniman dengan keterli-batan/keperdulian sosial, atau anda seorang seniman yang berkarya di ruang publik. Bagi saya, pembagian macam ini terasa agak ketinggalan jaman. Ada pelukis-pelukis yang berkarya melampaui batas-batas pembagian dan lingkaran seperti ini, seperti Kerry James Marshall atau Paulina Olowska misalnya, yang saya anggap sangat menarik.

Apakah kerangka teoritis akademis membuat praktik seni menjadi lebih menarik adalah suatu pertanyaan lain, tetapi saya selalu yakin bahwa merupakan hal yang baik untuk mulai berkarya dari sudut pandang yang berpenge-tahuan.

Bagi saya garis-garis lengkung merupakan elemen pengikat yang sangat kuat dalam berkarya, dan garis garis lengkung mempunyai berbagai penampilan : kadang mereka datar dan berupa garis besar, kadang mereka mengesankan kedalaman dan memiliki tepi-tepi bercahaya. Kadang mereka nampak bagai tongkat permen spiral dan berubah-ubah warna dari hijau ke kuning, kemudian dari oranye ke hijau-kebiruan. Mereka terjalin

Page 7: Since January 2006 the Embassy of the - Hadassah …hadassahemmerich.com/dwn/exopoliscat.pdf · Since January 2006 the Embassy of the Netherlands boasts a remarkable work of art:

12 13

improvisation during the work process, and take the freedom to combine personal themes with the existing architecture of the space. I have experimented with different ways of integrating the works on paper into a mural environment, up to the point where the boundary between drawing and mural started to blur. But rather than questioning their autonomy, I am more interested in creating a setting where the mural and the works on paper compliment each other while retaining their independence.

melalui elemen-elemen lain dalam gambar tersebut (tanaman, figur-figur, busur-busur, medali-medali, wajah-wajah dsb.) dan melintasi batas-batas antara bagian-bagian yang berbeda. Sebagai hasilnya, mereka menjalin menjadi satu sejarah, fakta dan fiksi, meski mereka tampak seperti sebuah alat formal. Lagipula, garis dapat berubah menjadi huruf ‘italic’ dan membentuk teks. Ini adalah sebuah alat yang sangat elastis yang merubah kepriba-diannya dari penuh canda ke misterius, dan memungkinkan saya untuk menjalin menjadi

satu yang ‘ekspresionistik’ dan yang ‘intelektual’.

Hasrat saya untuk menciptakan lingkungan berasal dari pengalaman saya dengan gereja-gereja barok dan kapel-kapel, dan bukan dari persoalan dengan kubah tertutup. Sebenarnya, semakin sebuah ruang merupakan kubah tertutup, karya intervensi saya akan bekerja dengan semakin baik. Apa yang saya suka tentang mural adalah besaran fokus enerji yang dimasukkan ke dalamnya, bagaikan sebuah bola api. Ini adalah energi yang sangat fisik dan langsung, yang melawan energi yang lebih lambat dan reflektif dalam karya-karya diatas kertas, yang biasanya menyita waktu.

Meskipun saya membuat sketsa-sketsa kasar sebelum mulai membuat mural, saya selalu menyisakan ruang untuk berimprovisasi selama proses karya dan menggunakan kebebasan tersebut untuk mengkombinasikan tema-tema personal dengan arsitektur ruang yang ada.

Saya telah bereksperimen dengan berbagai cara mengintegrasikan karya-karya diatas kertas ke dalam lingkungan mural, sampai kepada titik dimana batasan antara gambar dan mural mulai mengabur. Tetapi daripada mem-pertanyakan otonomi masing-masing, saya lebih tertarik untuk menciptakan sebuah latar dimana mural dan karya-karya diatas kertas saling melengkapi satu sama lain sambil pada saat yang sama mempertahankan kebebasan masing-masing.

Page 8: Since January 2006 the Embassy of the - Hadassah …hadassahemmerich.com/dwn/exopoliscat.pdf · Since January 2006 the Embassy of the Netherlands boasts a remarkable work of art:

14 15

Page 9: Since January 2006 the Embassy of the - Hadassah …hadassahemmerich.com/dwn/exopoliscat.pdf · Since January 2006 the Embassy of the Netherlands boasts a remarkable work of art:

16 17

Page 10: Since January 2006 the Embassy of the - Hadassah …hadassahemmerich.com/dwn/exopoliscat.pdf · Since January 2006 the Embassy of the Netherlands boasts a remarkable work of art:

18 19

Page 11: Since January 2006 the Embassy of the - Hadassah …hadassahemmerich.com/dwn/exopoliscat.pdf · Since January 2006 the Embassy of the Netherlands boasts a remarkable work of art:

20 21

Page 12: Since January 2006 the Embassy of the - Hadassah …hadassahemmerich.com/dwn/exopoliscat.pdf · Since January 2006 the Embassy of the Netherlands boasts a remarkable work of art:

22 23

Page 13: Since January 2006 the Embassy of the - Hadassah …hadassahemmerich.com/dwn/exopoliscat.pdf · Since January 2006 the Embassy of the Netherlands boasts a remarkable work of art:

24 25

Page 14: Since January 2006 the Embassy of the - Hadassah …hadassahemmerich.com/dwn/exopoliscat.pdf · Since January 2006 the Embassy of the Netherlands boasts a remarkable work of art:

26 27

Page 15: Since January 2006 the Embassy of the - Hadassah …hadassahemmerich.com/dwn/exopoliscat.pdf · Since January 2006 the Embassy of the Netherlands boasts a remarkable work of art:

28 29

Page 16: Since January 2006 the Embassy of the - Hadassah …hadassahemmerich.com/dwn/exopoliscat.pdf · Since January 2006 the Embassy of the Netherlands boasts a remarkable work of art:

30 31

Page 17: Since January 2006 the Embassy of the - Hadassah …hadassahemmerich.com/dwn/exopoliscat.pdf · Since January 2006 the Embassy of the Netherlands boasts a remarkable work of art:

32

This catalogue is published to accompany the exhibition of Hadassah Emmerich, Exopolis, Kembali ke Jakarta at Erasmus Huis, Jakarta, from 10 April till 4 May 2010. This exhibition was organized to celebrate the 40th anniversary of Erasmus Huis.

Curator Mella Jaarsma

Organization Paul Peters, Suni Sudradjat

Text Dr. Nikolaos van Dam, Mella Jaarsma, Hadassah Emmerich Design Mie Cornoedus

Print Cahaya Timur, Yogyakarta

Edition 750

With special thanks from the artist to Catalin Enache, Inge en Giel Kleijkers, Rhené Emmerich, Dr. Nikolaos van Dam, Paul Peters, Suni Sudrajat, Mella Jaarsma, Angelika Honsbeek, Erasmus Huis Jakarta, Royal Netherlands Embassy Berlin, Royal Netherlands Embassy Jakarta, Galerie Akinci Amsterdam, Hendershot Gallery NYC, Schauort Zürich.In special memory of Anette Müller (1949 - 2010)

© Jakarta, April 2010

Colophon