1
MAKALAH PSIKOGERIATRI
SKIZOFRENIA PARANOID
Oleh :
Bening Putri Ramadhani Usman
Emi Rahmadhani
Fithriyah
Retno Maristi
Kepanitraan Klinik Geriatri
Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta
2013
2
IDENTITAS PASIEN
• Nama pasien : Ny. L
• Status perkawinan : Janda
• Jmlah anak : 4 orang
• Alamat rumah : -
• Umur : 61 tahun
• Jenis kelamin : Perempuan
• Suku : Padang
• Pendidikan : Sekolah Dasar
• Agama : Tidak beragama
• Masuk sejak : 23 Juli 2013
• Status : Warga binaan sosial panti werdha Budi Mulia IV Radio Dalam
ANAMNESIS
Autoanamnesis pada hari Selasa, 10 Desember 2013
Keluhan utama
Pasien merasa takut berinteraksi dengan orang lain sejak 13 tahun yang lalu.
Riwayat Gangguan Sekarang
Pasien merasa takut berinteraksi dengan orang lain karena ia takut orang lain berburuk
sangka terhadap dirinya. Selain itu, pasien merasa orang lain tidak mengerti bahasa yang ia
ucapkan. Pasien merasa dirinya menjadi bodoh, tidak berguna, tidak berdaya, dan tidak
memiliki cita-cita. Semua perasaan tersebut muncul setelah ia kehilangan kodaknya. Kodak
yang dimaksud oleh pasien adalah foto dirinya. Menurut pasien, kodak tersebut adalah
sumber kekuatannya. Pasien mengaku bahwa kodaknya diambil oleh seseorang bernama
Josh. Josh adalah teman kost pasien dulu dan kemudian menikah adik angkat pasien. Josh
merupakan sosok yang jahat di mata pasien, dan pasien tampak begitu emosional ketika
bercerita mengenai Josh. Pasien mengatakan bahwa Josh adalah kacung panti. Berdasarkan
keterangan pasien, Josh mengambil kodaknya untuk??? Setelah Kodak tersebut diambil,
3
pasien merasa stress, sering sakit-sakitan, dan sering sesak nafas. Di samping itu, ia merasa
tidak lagi satu tujuan dengan orang lain. Ia juga tidak mampu menguraikan cerita mengenai
kehidupannya karena kodaknya sudah diambil. Pasien berharap kodaknya segera kembali,
karena ia takut kodaknya dimanfaatkan oleh orang lain untuk mencuri. Pasien sudah
melaporkan kejadian tersebut ke polisi, namun tidak didengarkan oleh polisi, sehingga ia
merasa tidak ada harapan lagi.
Pasien lahir di Padang, dan tinggal bersama keluarga angkatnya. Saat berusia 7 tahun, pasien
dan keluarga angkatnya pindah ke Jakarta, dan menetap di daerah Rawamangun. Saat ini,
pasien tidak mengetahui keberadaan saudara angkatnya karena semua sudah berkeluarga.
Pasien mengaku tidak pernah sekolah, tetapi ia selalu ingin menunjukkan bahwa dirinya
pandai berbahasa Inggris. Menurut pasien, jika orang lain ingin belajar darinya, maka orang
tersebut dapat menjadi satu tujuan dengannya. Namun, butuh waktu bertahun-tahun untuk
belajar darinya.
Pasien mengaku menikah dengan pesta besar-besaran saat usia 17 tahun. Suami pasien
adalah seorang Duta Besar (Dubes). Menurut pasien, suaminya itu bukan seorang manusia,
melainkan pencipta air, wool, emas, dan tanah. Dubes adalah laki-laki bertubuh besar, dan
tidak bisa dilihat oleh orang lain selain dirinya. Selama menikah, pasien tidak pernah tidur
bersama suaminya. Namun, ia mengaku mendapatkan 4 orang anak hasil pernikahannya
dengan Dubes. Semua anaknya harus menikah dengan Dubes, karena seluruh keturunannya
menikah dengan Dubes. Namun, saat ini ia tidak dapat menikahkan anaknya dengan Dubes
karena kodaknya sudah hilang. Sekarang Dubes sudah pindah tempat dan membawa serta
Qonita yang diakui pasien sebagai jelmaannya. Keterangan lain mengenai Dubes tidak mau
diceritakan oleh pasien, karena hal tersebut merupakan rahasianya. Sejak kodaknya diambil,
pasien mengaku sudah tidak bisa bertemu dengan Dubes. Ia hanya dapat bertemu kembali
jika kodaknya sudah kembali.
Pasien tidak mempercayai adanya Tuhan. Ia mengaku tidak memiliki agama. Pasien tidak
pernah solat dan membaca al-Qur’an. Bahkan, ia tidak mau masuk ke dalam masjid.
Pasien merasakan tubuhnya mengandung banyak komplikasi penyakit, seperti maag, TBC,
dan tubuhnya seperti terbakar. Namun, menurutnya, Indonesia merupakan negara yang payah
untuk menanggulangi penyakit. Pasien selalu membanggakan negara Inggris, dengan selalu
4
menyebutkan kata-kata dalam bahasa Inggris. Untuk mengatasi penyakitnya, pasien memiliki
kebiasaan mengumpulkan rambut rontoknya di dalam botol berisi air, kemudian diminum.
Pasien mengaku mendapatkan kiriman SMS yang menjelek-jelekkan dirinya. Namun ia tidak
mengetahui siapa pengirimnya.
Saat ini, pasien menolak kontak fisik dengan siapapun. Menurutnya, kontak fisik akan
menyebabkan penyakitnya pindah kepada orang lain, kemudian memantul kembali kepada
dirinya, sehingga ia tidak akan pernah sembuh. Maka, pasien menolak dilakukannya
pemeriksaan fisik.
Riwayat Gangguan Sebelumnya
• Riwayat Psikiatri Sebelumnya
Menurut keterangan pihak panti, pasien sudah mulai berbicara kacau sejak pertama
masuk ke panti. Riwayat gangguan psikiatri sebelumnya tidak diketahui.
• Riwayat Penyakit Medis Sebelumnya
Selama di panti werdha, pasien tidak didiagnosis menderita penyakit medis tertentu.
Riwayat jatuh atau kecelakaan sebelumnya disangkal.
• Riwayat Penggunaan Zat Psikoaktif dan Alkohol
Pasien tidak pernah merokok, minum alkohol, maupun menggunakan obat-obatan
terlarang.
Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat penyakit dalam keluarga tidak diketahui.
Riwayat Kebiasaan
Pasien tidak pernah merokok, minum minuman alkohol, maupun menggunakan zat terlarang.
Pasien memiliki kebiasaan bersih-bersih di lingkungan panti, dan tidak tahan terhadap
sesuatu yang kotor.
5
Riwayat Penggunaan Obat
Pasien tidak memiliki riwayat penggunaan obat-obatan tertentu.
Riwayat Kemasyarakatan, kegemaran
Pasien lebih senang menyendiri. Dia sangat takut untuk bercakap-cakap dengan orang-orang
di sekitarnya karena pasien merasa orang lain tidak mau percaya dengan kehidupannya.
Pasien cukup aktif mengikuti kegiatan panti, kecuali kegiatan keagamaan.
Analisis Keuangan
• Berdasarkan keterangan panti, pasien merupakan seorang pengemis jalanan.
Analisis Lingkungan Panti
Pasien tinggal di lantai 1 ruang Mawar
Penerangan ruangan cukup
Lantai terbuat dari keramik
Tidak ada karpet untuk sebagai alas lantai
Pasien tidur di atas tempat tidur
Terdapat 15 tempat tidur di dalam kamar pasien
Jarak antar tempat tidur sempit
Terdapat satu buah TV di dalam kamar
Meja makan terletak di dalam kamar
Toilet berada di dalam kamar, WC jongkok, lantai cukup licin, tidak terdapat pegangan,
penerangan cukup
Asupan Gizi
Karbohidrat : nasi 1 piring 3 X/ hari, Mie 1x/minggu.
Protein : tempe 1x/hari , susu 1x/hari
6
II. Pemeriksaan Status Mental
A. Deskripsi Umum
1. Penampilan
Pasien adalah seorang perempuan berusia 61 tahun. Kulit coklat, menggunakan
jilbab, dengan rambut berwarna putih yang sedikit terlihat pada dahi. Pasien
menggunakan daster berlengan pendek, berwarna hitam, dan bermotif bunga-bunga.
Wajah pasien tampak penuh kecurigaan.
2. Kesadaran
Pasien dalam keadaan sadar penuh (compos mentis).
3. Perilaku dan aktivitas psikomotor
Selama pemeriksaan berlangsung, pasien terus menerus memainkan kantong plastik
yang ada di tangannya. Gerakan berupa melipat plastik, kemudian lipatan dibuka
kembali, kemudian dilipat lagi, dan seterusnya. Gerakan tersebut dilakukan sejak
awal hingga akhir wawancara. Kontak mata cukup baik.
4. Pembicaraan
Pasien berbicara terus-menerus mengenai hal-hal yang sulit dimengerti oleh
pemeriksa. Seringkali pasien mengucapkan istilah-istilah yang maknanya kurang
dimengerti, seperti ”kodak”, ”RP”, ”rose”, ”bank”, ”subsidi”, dan sebagainya.
Beberapa kali pasien menjawab pertanyaan pemeriksa dengan jawaban yang tidak
berhubungan. Pembicaraan pasien juga cenderung terkesan ’melompat-lompat’
antara satu hal dengan hal lainnya.
5. Sikap terhadap pemeriksa
Pada awalnya, pasien ragu untuk berbicara dengan pemeriksa dan cenderung
menolak pembicaraan. Setelah beberapa lama, pasien mulai terbuka dan
menceritakan banyak hal kepada pemeriksa. Namun, beberapa kali pasien
mengutarakan kecurigaannya kepada pemeriksa dan tidak mau jika pembicaraan
tersebut dicatat oleh pemeriksa. Sejak awal wawancara hingga akhir, pasien tidak
7
mau ada kontak fisik dengan pemeriksa karena merasa tubuhnya terlalu banyak
penyakit. Menurut keyakinannya, jika ia melakukan kontak fisik dengan orang lain,
maka penyakitnya akan memantul kembali kepadanya sehingga ia tidak kunjung
sembuh.
B. Mood dan Afek
Mood : hipotim
Afek : tumpul
Keserasian : tidak terdapat keserasian antara emosi dan isi pembicaraan
(inappropriate)
C. Gangguan Persepsi
Pasien memiliki halusinasi visual, yaitu ia dapat melihat sosok ‘Dubes’ yang ia yakini
tidak dapat dilihat oleh orang lain.
D. Pikiran
Proses dan Bentuk Pikir : Spontan, inkoheren
Isi Pikir : Waham rujukan (+), waham kejar (+), waham kebesaran
(+)
E. Kesadaran dan Kognisi
1. Taraf Kesadaran : Compos mentis
2. Orientasi
Waktu : Buruk, karena pasien tidak mengetahui tahun, musim,
bulan, tanggal, maupun hari.
Tempat : Buruk, karena pasien tidak mengetahui negara, provinsi,
kota, dan panti tempat ia tinggal. Ia hanya mengetahui
ruangan tempat ia tinggal, yang ia sebut dalam bahasa
Inggris, yaitu ‘rose’.
Orang : Baik, pasien mengenali pemeriksa.
8
3. Daya Ingat
Segera : Tidak dapat ditentukan, karena pasien menolak mengikuti
pemeriksaan daya ingat segera.
Jangka Pendek : Tidak dapat ditentukan, karena pasien menolak mengikuti
pemeriksaan daya ingat jangka pendek.
Jangka menengah : Tidak dapat ditentukan, karena pasien menolak mengikuti
pemeriksaan daya ingat jangka menengah.
Jangka Panjang : Baik, karena pasien dapat menceritakan kehidupan masa
kecilnya.
4. Konsentrasi
Tidak dapat ditentukan, karena pasien menolak mengikuti instruksi pemerintah
saat pemeriksaan 100 dikurangi 7.
5. Perhatian : Baik, pasien cukup dapat memusatkan, mempertahankan dan
mengalihkan perhatian terhadap stimulus eksternal.
6. Kemampuan membaca dan menulis
Tidak dapat dinilai, karena pasien menolak jika pemeriksa mengeluarkan sebuah
kertas.
7. Pikiran abstrak
Kurang baik, pasien tidak dapat mengetahui persamaan jeruk dan apel.
8. Pikiran konkrit.
Tidak dapat dinilai, karena pasien tidak mau menggambar dan menolak jika
pemeriksa mengeluarkan sebuah kertas.
9. Intelegensia dan informasi
9
Intelegensia tidak dapat dinilai, karena pasien menolak instruksi untuk
menghitung penjumlahan dan perkalian. Kemampuan informasi buruk, karena
pasien tdak mengetahui nama presiden saat ini.
10. Kemampuan menolong diri
Baik, karena pasien cukup mandiri dan melakukan semua kegiatan sehari-hari
sendiri.
F. Pengendalian Impuls
Pasien terkadang tidak dapat mengendalikan dirinya saat wawancara, ditandai dengan
sikap penolakan yang nyata disertai kecurigaan saat pemeriksa mencoba untuk mencatat
isi wawancara.
G. Daya nilai dan tilikan
1. Daya nilai sosial :
Baik, pasien bersikap cukup sopan selama wawancara. Pasien menyadari bahwa
mengganggu orang lain itu adalah perbuatan yang tidak baik.
2. Uji Daya nilai :
Baik. Pasien mengatakan apabila menemukan barang milik orang lain, maka
dikembalikan kepada pemiliknya.
3. Penilaian realita :
Terdapat gangguan dalam menilai realita, karena pasien memiliki halusinasi
visual.
4. Tilikan :
Tilikan I, karena pasien tidak merasa dirinya memiliki gangguan kejiwaan.
H. Taraf dapat dipercaya
Setelah membandingkan keterangan dari pasien dan dari pihak panti, maka dapat
disimpulkan bahwa keterangan pasien kurang dapat dipercaya.
10
PEMERIKSAAN FISIK
Tidak dapat diperiksa, karena pasien menolak dilakukan pemeriksaan fisik
Umum :
• Kesadaran : compos mentis
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan darah lengkap
CT scan kepala
Gula darah
Profil lipid
Fungsi ginjal
Fungsi hati
DIAGNOSIS
Diagnosis Medik:
Tidak diketahui, karena pasien menolak pemeriksaan.
Diagnosis Psikiatrik:
Diagnosis Multiaksial
Aksis I : F 20.0 Skizofrenia Paranoid
Aksis II : (Z 03.2) Tidak ada diagnosis aksis II
Aksis III : Tidak ada diagnosis aksis III
Aksis IV : Masalah dengan keluarga
Aksis V : GAF = 70-61
Diagnosis fungsional:
Belum dapat didiagnosis
11
Kajian Masalah
Analisis Gizi
Tidak dapat dilakukan analisis gizi karena berat badan dan tinggi badan pasien tidak
dapat diperiksa.
- Skizofrenia Paranoid
Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik, pasien tidak memiliki riwayat cedera
kepala, riwayat tindakan operatif, dan riwayat kondisi medik lain yang dapat secara
langsung ataupun tidak langsung mempengaruhi fungsi otak. Oleh karena itu, gangguan
mental organik (F00-09) dapat disingkirkan.
Pada pasien tidak mempunyai riwayat penggunaan zat psikoaktif. Sehingga diagnosis
gangguan mental dan perilaku akibat penggunaan zat psikoaktif (F10-19) dapat
disingkirkan.
Diagnosis lebih diberatkan pada F20.0 yaitu gangguan skizofrenia paranoid, dimana
gangguan terjadi sejak 5 tahun terakhir dan pada riwayat penyakit sekarang terdapat
gejala dan tanda seperti, halusinasi auditorik dan gangguan isi pikir berupa waham
(curiga). Terdapat perilaku kacau pada pasien seperti marah - marah, sulit tidur, merusak
lingkungan sekitar, berbicara sendiri, menyerang warga dan keluarga, dan tertawa sendiri.
Tata laksana :
Psikofarmaka :
1. Risperidone 2 x 2 mg
2. Chlorpromazine 3 x 100 mg
3. Haloperidol 3 x 5 mg
12
4. Trihexyphenidyl 3 x 2 mg
Psikoterapi :
- Psikoterapi suportif dengan memberikan pasien kesempatan untuk menceritakan
masalahnya dan meyakinkan pasien bahwa ia sanggup menghadapi masalah yang
ada.
- Memberi edukasi pada pasien mengenai penyakitnya agar pasien menyadari bahwa
penyakit ini membutuhkan pengobatan yang lama dan teratur.
- Memotivasi pasien untuk rajin minum obat secara teratur, dan memberi edukasi
mengenai hal yang terjadi jika pasien putus obat.
Sosioterapi :
- Mengajarkan keterampilan yang sesuai dengan kemampuan dan pendidikannya
sehingga dapat bekerja untuk menghasilkan uang.
- Memberikan informasi pentingnya ADL dalam kehidupannya sehari-hari dan
meyakinkan pasien agar mau melaksanakan kegiatan tersebut.
Faktor yang memperberat prognosis :
Pasien tidak merasa sakit à Tilikan derajat I.
Kehidupan sosio ekonomi yang rendah
Latar pendidikan rendah
Gejala negatif yang lebih dominan
Riwayat penyerangan (+)
13
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Skizofrenia
2.1.1 Definisi dan Epidemiologi Skizofrenia
Skizofrenia merupakan penyakit otak yang menimbulkan gejala psikotik (Stuart, 2002)
dimana terdapat gangguan pada pikiran, persepsi, perilaku termasuk gerakan, dan juga pada
emosi termasuk afeknya. (Doenges, dkk, 1995 & Vedebeck, 2001). Penyakit ini banyak terjadi
pada usia remaja akhir hingga dewasa (Vedebeck, 2001) dimana 90% onset penderitanya terjadi
pada usia antara 15-55 tahun (Kaplan, 2010). Epidemiologi pada perempuan dan laki-laki tidak
berbeda jauh, namun onset pada laki-laki lebih awal dari pada perempuan. (Kaplan, 2010).
2.1.2 Faktor Predisposisi dan Presipitasi Skizofrenia
Banyak teori yang mengemukakan tentang berbagai etiologi skizofrenia. Namun,
penyakit ini tidak hanya disebabkan oleh satu etiologi melainkan gabungan antara berbagai
faktor yang dapat mendorong munculnya gejala mulai dari faktor biologis maupun psikososial.
14
Satu faktor mungkin muncul sebagai faktor predisposisi dan mungkin juga onset belum bermula.
Namun, dengan adanya faktor lain sebagai presipitasi, gejala dapat muncul sebagai manifestasi
dari penyakit tersebut, dan dapat juga semakin berat dengan dukungan dari faktor yang lain
(Vedebeck, 2001).
Faktor predisposisi meliputi biologis, psikologis, dan sosiokutural dan lingkungan. Faktor
biologis dari skizofrenia meliputi berbagai gangguan dalam fungsi dan anatomi otak,
neurotransmitter, maupun faktor genetik. Perkembangan teknologi berbagai pencitraan otak telah
mengungkap gangguan pada anatomi otak penderita skizofrenia. Dari pencitraan Computed
Tomograph (CT) dan Magnetic Resonance Imaging (MRI) ditemukan adanya pengecilan volume
otak pada pasien skizofrenia dan atrofi lobus frontal, cerebelum, dan limbik. Sedangkan
pencitraan melalui Positron Emission Tomography (PET) menunjukkan penurunan aliran darah
ke lobus frontal yang menyebabkan gangguan pada perhatian, perencanaan, dan pembuatan
keputusan (Stuart & Laraia, 2006). Selain itu, gangguan pada sistem limbik yang secara normal
berfungsi untuk mengendalikan emosi, dan juga gangguan pada ganglia basalis mengakibatkan
gangguan atau keanehan pada pergerakan termasuk gaya berjalan, ekspresi wajah facial
grimacing, termasuk gangguan gerakan diskinesia tardive yang merupakan efek samping
pengobatan (Kaplan, 2010).
Ketidakseimbangan yang terjadi pada neurotransmiter juga diidentifikasi sebagai
penyebab skizofrenia. Ketidakseimbangan terjadi antara lain pada dopamin yang mengalami
peningkatan dalam aktivitasnya. Selain itu, terjadi juga penurunan pada serotonin, norepinefrin,
dan asam amio gamma-aminobutyric acid (GABA) yang pada akhirnya juga mengakibatkan
peningkatkan dopaminergik (Kaplan, 2010). Terdapat empat fungsi dopamin dalam otak:
15
(1). Mesokortikal: menginervasi lobus frontal dan berfungsi pada insight, penilaian,
kesadaran sosial, menahan diri, dan aktifitas kognisi tingkat tinggi. Gangguan pada
fugsi ini mengakibatkan gejala negatif;
(2). Mesolimbik: menginervasi sistem limbik dan fungsinya berhubungan dengan
memori, indera pembau, efek viseral automatis, dan perilaku emosional. Gangguan
pada fungsi ini mengakibatkan gejala positif;
(3). Tuberoinfundibular: organisasi dalam hipotalamus dan memproyeksikan pada
pituitari. Fungsi dopamin disini mengambil andil dalam fungsi endokrin,
menimbulkan rasa lapar, haus, fungsi metabolisme, kontrol temperatur,
pencernaan, gairah seksual, dan ritme sirkardian. Obat- obat antipsikotik
mempunyai efek samping pada fungsi ini dimana terdapat gangguan endokrin.
(4). Nigrostriatal: berfungsi menginervasi sistem motorik dan ekstrapiramidal. Obat-
obatan antipsikotik juga mempengaruhi fungsi ini yaitu gangguan pada
pergerakan.
(Stuart & Laraia, 2005)
Pada aspek biologis lain, hasil penelitian menunjukkan adanya pengaruh genetik terhadap
terjadinya scizophrenia dimana terjadi peningkatan risiko pada kembar identik atau monozigotik
(Stuart, 2002 & Kaplan, 2010). Risiko pada kembar identik yang salah satunya menderita
skizofrenia adalah 50%. Anak yang salah satu orang tuanya menderita skizofrenia, mempunyai
risiko 15 % dan meningkat menjadi 35% jika kedua orang tuanya menderita skizofrenia
(Vedebeck, 2001).
Selain faktor biologis, faktor psikososial juga turut berpengaruh dalam munculnya gejala
skizofrenia. Faktor psikologis yang dapat menyebabkan munculnya skizofrenia diantaranya
16
adanya konflik keluarga, dan gagalnya beberapa tahap perkembangan. Sedangkan yang dapat
memperberat gejala skizofrenia adalah stres yang terus menerus (Stuart, 2002) dimana stres
tersebut dapat berasal dari diri sendiri, yaitu faktor sikap/ perilaku dan kesehatan. maupun
lingkungannya termasuk keluarga. Kaplan mengemukakan bahwa terdapat pengaruh yang kuat
dari keluarga dan pola dukungan di dalamnya terhadap tejadinya skizofrenia. Sedangkan faktor
sosial yang dapat memperparah atau mempercepat onset skizofrenia diantaranya lingkungan
industri dan urbanisasi (Kaplan, 2010). Selain itu, kemiskinan, isolasi sosial, lingkungan yang
kritis, stigmatisasi, tekanan pekerjaan, dan kesulitan hubungan interpersonal juga diidentifikasi
sebagai faktor sosial yang dapat memicu munculnya gejala skizofrenia (Stuart & Laraia, 2005).
2.1.3 Tanda dan Gejala Skizofrenia
Gejala yang muncul pada penderita schizphrenia meliputi gejala yang melibatkan
gangguan berpikir, persepsi, perilaku, dan afek maupun emosi. Masalah kognitif yng terjadi
dapat meliputi gangguan memori yaitu kesulitan mengingat, gangguan perhatian, bentuk dan isi
bicara, pengambilan keputusan, dan isi pikir (Stuart, 2002). Gangguan isi pikir dapat meliputi
waham atau delusi, yaitu keyakinan palsu tanpa dasar atau tidak sesuai dengan latar belakang
(Brooker, 1997).
Gejala yang berhubungan dengan gangguan persepsi dapat berupa halusinasi, ilusi, dan
ganguan pada sensori kulit, serta hilangnya kemampuan untuk mengidentifikasi wajah.
Halusinasi yang terjadi pada pasien skizofrenia umumya berupa halusinasi auditori, yaitu
mendengar suara yang tidak nyata atau berasal dari dalam tubuhnya (Yosep, 2007 & Maslim,
2003).
Adanya halusinasi ataupun delusi mengakibatkan adanya keanehan terhadap perilaku
penderita skizofrenia. Halusinasi yang dirasakan mengganggu oleh penderita atau membuatnya
17
takut, akan memicu perilaku agresi dan direprentasikan dengan perilaku kekerasan terhadap diri
sendiri maupun orang lain. Keanehan atau gangguan perilaku yang dapat terjadi diantaranya
perilaku katatonik yang ditandai dengan keadaan gaduh gelisah dan postur tubuh tertentu yang
dipertahankan (Maslim, 2003). Gangguan kognitif, persepsi, dan perilaku di atas digolongkan ke
dalam gejala positif, yaitu gejala yang tidak terdapat pada orang normal (Barker, 2009 & Yosep,
2007).
Penderita skizofrenia juga mengalami emosi tumpul atau datar mengakibatkan ekspresi
yang kurang, baik pada ekspresi wajah maupun gerakan, namun dapat juga berupa hiperekspresi
(Yosep, 2007 & Stuart, 2002). Gejala yang lain adalah hilangnya minat dan kepedulian dan
kurangnya energi sehingga berpengaruh terhadap aktivitas sehari-hari dan pemenuhan kebutuhan
diri. Gejala ini digolongkan ke dalam gejala negatif di mana pada kondisi normal seharusnya
terdapat kemampuan yang tidak dimiliki penderita skizofrenia (Barker, 2009 & Yosep, 2007).
Kriteria gejala yang menjadi syarat ditegakkannya diagnosis skizofrenia menurut PPDGJ-
III antara lain:
1. Harus ada sedikitnya satu atau dua gejala:
a. thought echo (isi pikiran sendiri yang bergema), thought insertion or withdrawal
(isi pikiran asing yang masuk atau isi pikirannya diambil keluar), dan thought
broadcasting (isi pikiran tersiar ke luar)
b. delusi atau waham, dapat berupa delusion of control, influence, passivity, dan
perception.
c. Halusinasi auditorik
d. Waham menetap jenis lain
2. Atau paling sedikit dua diantara gejala:
18
a. Halusinasi menetap dari pancaindera apa saja
b. Arus pikiran terputus atau mengalami sisipan
c. Perilaku katatonik
d. Gejala-gejala negatif
3. Gejala-gejala tersebut menetap dalam kurun waktu satu bulan atau lebih.
(Maslim, 2003)
Halusinasi pada pasien skizofrenia yang merupakan gejala dominan dapat menyebabkan
pasien merasa terancam. Ancaman tersebut berupa ancaman tidak nyata yang dirasakan oleh
pasien sendiri, misalnya halusinasi auditorik berupa bisikan-bisikan untuk menyakiti orang lain.
Respon terhadap ancaman tersebut dapat menyebabkan pasien melakukan kekerasan sebagai
bentuk proteksi dirinya. Begitupun waham terutama waham dikejar-kejar yang direspon oleh
pasien berupa perilaku kekerasan.
2.1.4 Tipe- Tipe Skizofrenia
Dalam Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Ganguan Jiwa (PPDGJ) di Indonesia,
berdasarkan Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders edisi ke-empat (DSM- IV)
terdapat sembilan tipe skizofrenia:
1. Skizofrenia Paranoid: Tipe skizofrenia dengan ciri menonjol berupa halusinasi suara
ancaman atau memberi perintah, bunyi peluit, mendengung atau bunyi tawa, adanya
waham khas yaitu waham dikendalikan atau dikejar-kejar.
2. Skizofrenia hebefrenik: Tipe skizofrenia yang onsetnya bermula pada usia 15 – 25 tahun.
Gejala yang menonjol adalah gangguan afektif, dorongan kehendak, dan gangguan proses
pikir, serta perilaku tanpa tujuan (aimless).
19
3. Skizofrenia katatonik: Tipe Skizofrenia yang memenuhi satu atau lebih gejala stupor atau
mutisme, gaduh-gelisah, menampakkan posisi tertentu, negativisme, rigiditas,
fleksibilitas cerea, command automatism, dan pengulangan kata-kata.
4. Skizofrenia tak terinci: Tipe skizofrenia yang tidak memenuhi kriteria tipe paranoid,
hebefrenik, katatonik, residual, maupun depresi pasca-skizofrenia.
5. Depresi pasca-skizofrenia: Pasien telah menderita skizofrenia selama 12 bulan terakhir
dengan beberapa gejala yang masih ada dan gejala depresif menonjol paling sedikit dua
minggu.
6. Skizofrenia residual: Gejala negatif skizofrenia yang menonjol, adanya riwayat paling
tidak satu episode psikotik, sudah melampaui waktu sedikitnya satu tahun, tidak terdapat
dementia atau penyakit otak organik lain.
7. Skizofrenia simpleks: Gejala negatif skizofrenia residual tanpa didahului riwayat
halusinasi, waham, atau manifestasi lain dari episode psikotik, dan disertai perubahan
perilaku pribadi yang bermakna.
8. Skizofrenia lainnya
9. Skizofrenia yang tidak tergolongkan
(Maslim, 2003)
20
DAFTAR PUSTAKA
PPDGJ.Diagnosis Gangguan Jiwa. 2001. Jakarta : PT Nuh Jaya
Panduan Praktis Penggunaan Klinis Obat Psikotropik edisi ketiga.2001
Robert L. Kane, et al. Essensial of Clinical Geriatrics 5th edition. 2004. The McGraw-Hill
Companies.
Buku Ajar Geriatri Edisi ke-4. 2010. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
Farmakologi dan Terapi Edisi ke-5. 2007. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia
Lumbantobing,S.M. Neurogeriatri. Balai penerbit FKUI. Jakarta. 2004