BAB 1
PENDAHULUAN
Kusta atau lepra merupakan penyakit infeksi kronis yang disebabkan oleh
Mycobacterium leprae (M.leprae) dan bisa menyebabkan komplikasi reaksi hipersensitivitas
yang berulang yang disebut dengan reaksi kusta. 1,2
Reaksi kusta adalah suatu episode acut dalam perjalanan kronis penyakit kusta yang
merupakan suatu reaksi kekebalan (respon seluler) atau antigen-antibodi (respon humoral)
dengan akibat merugikan penderita, terutama pada saraf tepi yang menyebabkan gangguan
fungsi (kecacatan). Secara klinis didapatkan kemerahan, bengkak, luka dan kadang nyeri pada
lesi kulit, dan seringkali disertai dengan penurunan fungsi. Lesi yang baru dapat muncul. Reaksi
bertanggung jawab untuk banyak gejala yang terjadi pada kusta termasuk hampir semua gejala
yang terjadi secara akut. Reaksi sering menimbulkan gejala yang memaksa pasien mencari
pertololongan medis pertama kali. Pengenalan reaksi dengan cepat serta penanganan yang tepat
sangat penting karena kerusakan yang terjadi dapat berat dan ireversibel, khususnya pada saraf
dan mata sehingga mengakibatkan kecacatan mendadak.1,3,4
Reaksi menunjukkan episode hipersensitifitas akut terhadap antigen M. leprae, yang
disebabkan karena gangguan keseimbangan imunologis yang sebelumnya telah ada. Secara
umum dikenal 2 macam tipe reaksi yaitu reaksi kusta tipe 1 yang timbul pada penderita tipe
borderline dan disebabkan oleh hipersensitivitas seluler dan reaksi kusta tipe 2 (Eritema
Nodusum Leprosum/ENL), yang timbul pada penderita tipe lepromatosa dan merupakan reaksi
hipersensitivitas tipe III menurut Coombs and Gell. Selain kedua macam tipe reaksi, terdapat
juga reaksi kusta lainnya yaitu Fenomena Lucio, yang patogenesisnya kurang dimengerti, diduga
berkaitan dengan nekrosis arteriole, dimana didapatkan invasi masif M. leprae pada endothelium
(Rea &Ridley 1979). 1,3,5
Komplikasi utama dari reaksi kusta adalah kerusakan saraf perifer. Patogenesis secara
jelas mengenai terjadinya kerusakan saraf pada reaksi kusta belum diketahui. Neuritis akut
menyebabkan gangguan fungsi saraf, yang mana jika tidak diterapi secara cepat dan adekuat
1
menyebabkan hilangnya fungsi saraf permanen yang menyebabkan neuropati saraf perifer dan
motorik. Neuritis adalah bagian paling penting dari reaksi tipe 1 dan bisa terjadi juga pada reaksi
tipe 2. Ia dapat terjadi bersamaaan dengan perubahan kulit atau berdiri sendiri, yang
mencerminkan hipersensitifitas terhadap antigen yang berbeda dari M. leprae. Untuk itu prinsip
pengobatan reaksi kusta salah satunya terutama ditujukan untuk mengatasi neuritis untuk
mencegah agar tidak berlanjut menjadi paralisis atau kontraktur. Secara umum penatalaksanaan
reaksi sendiri berbeda tergantung manifestasi dan berat ringannya reaksi.2,5,6,7
Kortikosteroid merupakan obat pilihan pada reaksi (terutama reaksi tipe 1) selain pilhan
obat lainnya seperti talidomid dan klofazimin, tetapi sampai saat ini belum ada kesepakatan
mengenai berapa dosis efektif yang sebaiknya digunakan dan berapa lama terapi diberikan.
Berbagai penelitian telah dilakukan dan memberikan hasil yang bervariasi. 1,8,9,10,11
Tujuan penulisan tinjauan pustaka ini adalah untuk mengetahui lebih jelas patogenesis
yang mendasari terjadinya reaksi pada kusta serta penatalaksanaannya. Dengan mengetahui hal-
hal tersebut diharapkan dapat membantu dalam penanganan pasien kusta khususnya yang
mengalami reaksi kusta sehingga terjadinya kecacatan sebagai salah satu komplikasinya dapat
dicegah.
2
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Reaksi kusta adalah suatu episode inflamasi akut dari perjalanan penyakit kusta yang
kronis yang secara klinis ditandai dengan reaksi radang akut yang kadang-kadang disertai gejala
sistemik bisa berupa lesi kulit yang membengkak, kemerahan, nyeri, dan saraf yang membesar,
teraba lunak, dan sering disertai gangguan fungsi saraf. Ketika reaksi imun terjadi secara intensif,
maka selanjutnya akan timbul kerusakan jaringan, sehingga seringkali reaksi diartikan sebagai
komplikasi dari pengobatan, padahal reaksi kusta bisa terjadi sebelum, selama dan sesudah
pengobatan menggunakan obat antikusta. Reaksi pada umumnya merupakan reaksi
hipersensitivitas akut terhadap antigen basil yang patogenesisnya masih belum jelas.1,2,5,6
2.2 Klasifikasi 1,2,7,9,12
Ada perbedaan tipe episode akut pada bentuk kusta yang berbeda. Sampai saat ini secara
umum dikenal ada 2 macam tipe reaksi kusta, yaitu :
a. Reaksi kusta tipe 1 (reaksi reversal dan downgrading)
Reaksi ini timbul pada penderita tipe borderline dan sekitar 30% individu dengan
kusta borderline beresiko mengalami reaksi tipe I. Biasanya terjadi pada tipe BT dan
BL dengan bentuk upgrading (reversal) dan downgrading. Pada reaksi tipe ini, yang
memegang peranan adalah imunitas seluler.
b. Reaksi kusta tipe 2 (Eritema Nodusum Leprosum/ENL)
Reaksi ini terjadi pada sekitar 50% penderita kusta lepromatosa dan sekitar 10%
kasus kusta tipe borderline lepromatosa. Semakin besar infiltrasi kulit dan semakin b
tingginya indeks bakteri (BI), semakin besar resiko terjadinya reaksi tipe 2. Reaksi ini
merupakan suatu kelainan sistemik yang mempengaruhi banyak sistem organ.
3
Onsetnya akut, tetapi bisa masuk ke tahap kronis dan berulang. Pada reaksi tipe ini
yang berperan adalah imunitas humoral.
Selain kedua macam tipe reaksi, terdapat juga reaksi kusta lainnya yaitu Fenomena
Lucio, yang patogenesisnya diduga sama dengan reaksi kusta tipe 2. Reaksi tipe ini hanya
terdapat di Amerika Selatan.
2.3 Etiopatogenesis
2.3.1 Interaksi Mycobacterium leprae dan Sel Schwann
M.leprae hampir secara khusus menginfeksi makrofag dan sel Schwann. Berbagai
mekanisme yang dimediasi reseptor, serupa dengan invasi makrofag, dapat memainkan peran
penting dalam invasi sel Schwann oleh mikobakteria. Reseptor tersebut antara lain reseptor Fc,
reseptor complemen, fibronectin binding protein, dan reseptor mannose. Meskipun demikian,
mekanisme-mekanisme ini tidak hanya terikat pada sel Schwann saja sehingga tidak menjelaskan
mengapa M.leprae secara spesifik berada di jaringan saraf. Neurotropism M.leprae mungkin
didukung oleh afinitasnya terhadap G-domain dari laminin α-2, suatu matriks protein
ekstraseluler yang ada di lamina basalis sel Schwann. Sebaliknya, kompleks M.leprae-laminin
α2 berikatan dengan kompleks α-β distroglycan yang diekspresikan di permukaan sel Schwann.
Pada M.leprae terdapat reseptor 21kDa laminin (suatu Histone-like protein) yang berfungsi
untuk adhesi G-domain dengan laminin α-2. Meskipun interaksi ini berperan penting dalam
perlekatan dan invasi M.leprae- sel Schwann, tetapi reseptor lainnya juga kemungkinan
berperanan yaitu Integrins yang juga mampu berikatan dengan laminin α-2 dan juga 25 kDa
phosphoprotein yang diekspresikan oleh sel Schwann dimana M.leprae dapat berikatan.
Interaksi reseptor/ ligan lain dapat juga terlibat dalam invasi dan perlekatan sel Schwann-
M.leprae. 4,5,13,14
2.3.2 Imunopatogenesis reaksi kusta tipe I dan kerusakan saraf
Reaksi tipe I merupakan reaksi hipersensitivitas tipe lambat yang terjadi pada bentuk
borderline dimana terjadi peningkatan spontan dari reaktivitas sel T terhadap antigen
mikobakterial. Reaksi ini dibagi menjadi dua subtipe yaitu reaksi upgrading (reversal) dan
downgrading. Reaksi reversal (RR) menggambarkan episode dimana respon imun Cell-
4
Mediated Immunity (CMI) atau sistem imunitas seluler (SIS) terhadap M.leprae sangat
meningkat secara mendadak dan menghasilkan suatu respon inflamasi pada kulit atau saraf yang
terkena. Sedangkan reaksi downgrading menunjukkan hilangnya sebagian respon SIS yang
dielisitasi oleh peningkatan sekresi antigen oleh bakteri yang bermultiplikasi, yang menunjukan
terjadinya penurunan imunitas. Terkadang tidak ada perubahan status imun yang terdeteksi sama
sekali pada fase reaktif.4,5,8,14,15,16
Proteksi utama respon imun spesifik terhadap M.leprae adalah imunitas seluler. Antigen
M.leprae ditemukan pada pasien yang terkena reaksi tipe 1. Antigen ini terlokalisir pada sel
Schwann. Sel Schwann berfungsi sebagai Antigen Presenting Cell (APC) untuk sel T CD8
sitotoksik via MHC class I, sehingga adanya pengenalan antigen menyebabkan sel Schwann
terbunuh. Sel Schwann juga dapat menstimulasi sel T CD4 via MHC class II, tetapi ekspresi
MHC class II pada sel ini masih kontroversi. Meskipun sel Schwann manusia tidak
mengekspresikan molekul MHC class II pada kondisi nonpatologis, infeksi M.leprae atau respon
imun lokal tertentu dapat menginduksi ekspresi MHC class II oleh sel Schwann manusia. Pada
percobaan in vivo kultur sel Schwann manusia menunjukkan bahwa sel Schwann manusia dapat
memproses dan mempresentasikan M.leprae kepada Sel T CD4 sitotoksik spesifik sehingga
terjadi proliferasi sel T dan produksi IFN-γ yang dapat mengaktivasi makrofag untuk
memfagositosis M.leprae. Studi imunohistokimia menunjukkan adanya TNF yang lebih tinggi
pada kulit dan saraf selama reaksi tipe I dibanding dengan kontrol non-reaksi. Terjadi pergeseran
kearah peningkatan imunitas Th1, dan lesi pada reaksi merangsang ekspresi dari sitokin
proinflamasi IFN-γ, IL-12 dan radikal bebas oksigen yang merangsang sintase nitrit oksida
(NO). 4,5,16,18
Antigen dari basil kusta yang telah mati ini bereaksi dengan sel limfosit, sehingga
menyebabkan perubahan yang cepat dalam respon imun (CMI). Terjadi inflamasi akut yang
disebabkan oleh peningkatan mendadak dalam hipersentivitas seluler yang menyebabkan
peningkatan mendadak dalam transformasi limfosit. Kerusakan jaringan disebabkan oleh produk
makrofag yang diaktifkan seperti seperti enzim hidrolitik, oksigen reaktif intermediate, oksida
nitrat, dan sitokin proinflamasi. Sel efektor yang berperan pada hipersensitivitas seluler (delayed
type hypersensitivity/DTH) adalah makrofag. Pada keadaan yang menguntungkan DTH berakhir
dengan hancurnya mikroorganisme oleh enzim lisosom dan produk makrofag lainnya seperti
5
peroksid radikal dan superoksid. Setelah semua kuman difagositosis, pengerahan makrofag yang
berkelanjutan akan menyebabkan makrofag berubah menjadi sel epiteloid yang tidak bergerak
aktif dan kadang-kadang bersatu membentuk sel datia Langhans membentuk massa epiteloid
atau granuloma. Granuloma yang menginfiltrasi saraf terdiri dari sel epiteloid, limfosit, dan sel
datia Langhans. Granuloma ini dapat merusak dan mendesak jaringan normal. Sel perineurial
yang berproliferasi dan infiltrasi sel inflamasi yang terdiri dari limfosit, sel epiteloid, dan
fibroblast menyebabkan penebalan perineurium. Mekanisme ini memegang peranan penting
dalam kerusakan saraf perifer lokal pada kusta. Meskipun demikian, inflamasi di dalam dan
sekitar jaringan saraf yang terinfeksi, atau saraf disekeliling, atau dekat dengan lesi inflamasi,
bisa menyebabkan kerusakan yang parah dan ireversibel dalam beberapa hari bila tidak diterapi
dengan adekuat. Secara klinis keterlibatan saraf timbul lebih kurang pada 10% kusta pausibasiler
(PB) dan 40% multibasiler (MB) terutama pada pasien dengan reaksi reversal. Ada anggapan
bahwa keterlibatan saraf subklinis bisa dapat terjadi pada pasien kusta dan 30% dari serat saraf
rusak sebelum gangguan sensoris terdeteksi.4,5,14,16,18
Beberapa mekanisme patogenik telah bertanggung jawab untuk kerusakan saraf pada
kusta, termasuk interferensi biokimia M.leprae dengan metabolisme sel host, kerusakan mekanis
karena influx sel dan cairan dalam jumlah besar, atau kerusakan imunologis. Pada reaksi tipe 1
clone sel T yang lebih dominan adalah T-helper 1 (Th 1). Sel T ini mengandung granula
sitotoksik yang sangat sitotoksik pada berbagai macam sel target dalam tubuh manusia. Th1 like
cytotoxic T cells ini tidak hanya berkontribusi untuk imunitas protektif, tetapi juga pada
imunopatologis terjadinya neuritis dimana sel Schwann sebagai targetnya. 4,17,18
Beberapa mekanisme juga terlibat terhadap lisisnya sel Schwann yang terinfeksi.
Pertama, mengikuti pengenalan dari sel Schwann yang terinfeksi via MHC/ peptida/ interaksi
reseptor sel T. Sel CD4 Th1 dapat mensekresi granula-granula litik yang mengandung
granulysin, granzyms, dan perforins. Granzyms dan perforins dapat menyerang makrofag yang
terinfeksi; perforins dapat meningkatkan permeabilitas membran sel eukariotik, memungkinkan
granulysin untuk memasuki sel, yang terkadang berefek pada bakteri intaseluler dengan
mengganggu integritas membran, lalu menginduksi pemusnahan bakteri. Kedua, pemusnahan
bakteri melalui Fas atau Fas-related ’death receptors’ nampaknya merupakan jalan yang
6
penting. Interaksi antara Fas dan Fas-L pada target dan efektor, menginisiasi suatu cascade
intraselular yang akhirnya menghasilkan apoptosis sel target. 4,7,18
Gambar 1. Mekanisme imun pada kusta tipe borderline (dikutip sesuai kepustakaan no.4)
2.3.3 Imunopatogenesis reaksi kusta tipe II (ENL) dan kerusakan saraf
Reaksi tipe II atau eritema nodosum leprosum (ENL) terjadi pada penyakit kusta
lepromatosa dan borderline lepromatosa dan biasanya muncul pada masa akhir pengobatan
dimana sebagian besar atau seluruh basil telah mati menjadi berbentuk granular sehingga
banyak sekali partikel basil yang berada dalam sirkulasi. Reaksi ini termasuk reaksi
hipersensitivitas tipe III menurut Coombs and Gell dimana karena suatu rangsangan, baik
spesifik maupun nonspesifik, terjadi infiltrasi sel T helper 2 (Th 2). Sel Th 2 ini menghasilkan
berbagai sitokin antara lain IL-4, IL-5, IL-6, IL-10 yang menginduksi sel B menjadi sel plasma
untuk kemudian memproduksi antibodi. Terbentuklah ikatan antigen M.leprae dengan antibodi
tersebut dijaringan, disusul dengan aktivasi komplemen. Kompleks antigen-antibodi juga
dijumpai pada darah sirkulasi. Dengan kata lain reaksi tipe 2 timbul bila bakteri M.leprae dalam
jumlah besar terbunuh atau mengalami dekomposisi. Protein dari bakteri yang mati ini
merupakan antigen yang memprovokasi terjadinya respon imun humoral sehingga membentuk
7
kompleks antigen-antibodi yang terus beredar dalam sirkulasi darah yang akhirnya dapat
diendapkan dalam berbagai organ yang kemudian mengaktifkan sistem komplemen. Kompleks
antigen-antibodi (kompleks imun) ini akan mengikuti sirkulasi dan mengalami deposisi dalam
jaringan tubuh. Kemudian kompleks imun ini akan mengaktivasi komplemen melalui jalur klasik
sehingga menghasilkan polymorphonuclear leucotactic factor. Adanya faktor kemotaktik ini
menyebabkan terjadinya akumulasi sel PMN terutama neutrofil yang memfagositosis kompleks
imun dan menghasilkan enzim proteolitik yang menyebabkan inflamasi dan nekrosis pada
jaringan. Invasi netrofil ini menyebabkan terbentuknya mikroabses. Jaringan saraf dengan
mudahnya akan dirusak oleh formasi mikroabses tersebut dengan cepat. Selain kulit dan saraf,
deposisi imun kompleks ini juga dapat terjadi pada mata, persendian, otot, testes, dan ginjal, dan
lain-lain. Selain itu, kompleks imun juga berukuran cukup besar sehingga akan menyangkut pada
pembuluh darah yang kecil-kecil dan menimbulkan vaskulitis dan terjadi kebocoran serta
kerusakan jaringan setempat. 3,4,16,18
Banyak penelitian akhir-akhir ini yang mempelajari peranan tumor necrosis factor- α
(TNF-α) pada petogenesis reaksi ini. Hal ini dikarenakan adanya kadar TNF yang tinggi pada
peredaran darah pada sebagian penderita yang mengalami reaksi tipe 2. TNF ini bisa
menimbulkan kerusakan langsung pada sel dan jaringan, mengaktifkan makrofag, memacu
makrofag memproduksi IL-1 dan IL-6. 4,5,18
Gambar 2. Mekanisme imun kusta lepromatosa (dikutip sesuai kepustakaan no.4)
8
2.4 Gambaran Klinis
2.4.1 Reaksi tipe 1
Reaksi tipe I ditandai oleh gambaran inflamasi akut di lesi kulit atau saraf atau keduanya.
Lesi kulit menjadi inflamasi dan edema secara akut dan bisa berulserasi. Edema tangan, kaki dan
wajah juga bisa merupakan gambaran reaksi, tetapi simtom sistemik jarang ada. Reaksi tipe I
dapat terjadi kapanpun tetapi seringkali tampak setelah mulainya terapi antikusta (MDT).1,2,3
Lesi kulit menjadi bengkak dan meninggi, makula menjadi plak atau tepinya menjadi
meninggi. Pada individu dengan kulit yang lebih terang lesi tampak agak merah. Biasanya lesi
menjadi lebih eritematus dibanding reaksi kulit yang telah ada, kadang keunguan atau pada kulit
putih menjadi coklat tembaga. Kadang-kadang didapatkan edema dan kepucatan. Tepinya
menjadi lebih jelas dibandingkan sebelumnya sehingga lesi menonjol dan berbatas tegas dari
kulit normal di sekelilingnya. Lesi sering bersifat sensitif, bahkan terasa nyeri dan bisa disertai
munculnya lesi baru. Biasanya menyerupai lesi sebelumnya, namun terkadang sangat banyak
dengan ukuran yang kecil sehingga secara klinis membingungkan. Jika terjadi reaksi berat, lesi
kulit dapat mengalami deskuamasi atau bahkan ulserasi. Ulserasi biasanya bersifat superfisial
dan dapat sembuh secara cepat dangan terapi antiinflamasi. Saat reaksi mulai menurun, kulit
menjadi kering dan bersisik, meninggalkan permukaan hipopigmentasi yang berkerut. Jika reaksi
semakin parah atau berkepanjangan, dapat menyebabkan timbulnya sikatrik. Jika tidak diterapi,
reaksi tipe 1 cenderung berlangsung beberapa bulan atau tahun, dan dapat terjadi relaps. Bahkan
dengan pengobatan, potensi terjadinya reaksi berulang dapat terjadi. 1,3,7,9
Neuritis adalah bagian paling penting dari reaksi tipe 1 yang mana jika tidak diterapi
secara cepat dan adekuat menyebabkan hilangnya fungsi saraf permanen yang menyebabkan
neuropati saraf perifer dan motorik. Neuritis dapat terjadi bersamaaan dengan perubahan kulit
atau berdiri sendiri, yang mencerminkan hipersensitifitas terhadap antigen yang berbeda dari M.
leprae (Barnetson dkk 1975). Neuritis tampak lebih sering terjadi pada pasien pria dengan kusta
BT. Pada wanita seringkali terjadi perubahan kulit yang luas, khususnya pada reaksi yang
berhubungan dengan kehamilan, akan tetapi tidak didapatkan kerusakan saraf. Neuritis secara
klasik tampak berupa pembesaran ringan saraf pada perabaan di tempat-tempat predileksi.
Kadangkala saraf membengkak secara nyata, misalnya saraf ulnaris menjadi berdiameter 2-3 cm.
9
Hilangnya fungsi dapat ditandai dengan paralisis yang mendadak dari otot-otot tangan dan kaki,
wrist drop, foot drop atau lagophthalmus. Anestesi berkembang cepat pada distribusi saraf yang
terkena. Nyeri saraf dapat menyebabkan pasien sangat menderita dan kurang tidur. Pada pasien
lain neuritis kurang begitu dramatis. Tenderness sangat ringan, atau bahkan tidak ada tenderness
sama sekali pada palpasi saraf, akan tetapi didapatkan peningkatan area anestesi atau kelemahan
otot yang disuplai oleh saraf tersebut, dan hal ini dapat dideteksi jika pasien diperiksa ulang
dengan sangat teliti.7,8,19
Reaksi yang berat dapat disertai dengan penyakit sistemik, yang ditandai dengan demam
ringan, malaise dan anoreksia. Kadang bisa timbul lesi baru dan bisa disertai edema pada tangan,
kaki, dan wajah dari ringan hingga berat dan reaksi berlangsung lebih dari enam pekan.1,2,8
Reaksi paling sering terjadi pada pasien dengan kusta BT, walaupun tanpa pengobatan
antikusta. Lebih dari separuh pasien dengan kusta BB dan BT mengalami reaksi antara dua
hingga enam minggu sejak mulai terapi antikusta. Sekitar 50% pasien BL mengalami reaksi tipe
1, biasanya antara 2 hingga 12 bulan setelah terapi dimulai, tetapi kadang-kadang terjadi lebih
lambat (Mahapatra & Ramu 1976). 7
Gambar 3a dan 3b . Gambaran klinis pasien dengan reaksi kusta tipe 1(dikutip sesuai kepustakaan 8 & 1)
10
2.4.2 Reaksi tipe 2
Reaksi tipe 2 juga dikenal sebagai reaksi kusta lepromatosa dan eritema nodosum
leprosum (ENL). Lesi kulit ENL adalah salah satu dari manifestasi reaksi, mungkin yang paling
sering ditemukan, tetapi bukan yang paling penting. 1,2,8
Pada kulit, reaksi tipe 2 menyebabkan ENL. ENL dapat muncul pada berbagai tempat
dimana didapatkan infiltrat lepromatosa, meskipun secara klinis hal ini tidak terlihat. Lesi ENL
paling sering terjadi pada wajah dan permukaan ekstensor lengan, serta pada badan. Paling
sering tampak sebagai papula kecil, 2-5 mm, atau nodul merah muda terang, merah atau coklat
yang nyeri dan tenderness, hangat pada perabaan, menghilang dengan penekanan yang ringan
dan segera timbul kembali setelah tekanan dilepas. Lesi dapat superfisial dan menonjol jelas di
kulit, atau terletak lebih dalam sehingga lebih jelas pada perabaan dan berbentuk kubah dengan
batas tidak jelas, berwarna merah muda, merah atau coklat gelap. Jika reaksi berat, lesi kulit bisa
memberikan gambaran vesikel, bula, pustulasi dan ulserasi. Lesi cenderung nampak berkumpul,
dan dapat muncul lesi baru ketika lesi lama berkurang selama perjalanan beberapa hari. Lesi
yang mengalami resolusi terlihat berwarna kecoklatan atau keunguan. Lesi cenderung terjadi
pada tempat yang sama, dan jika tidak sembuh total, dapat menyebabkan panniculitis kronis
yang dapat menetap berbulan-bulan atau bertahun-tahun. Jaringan subkutan yang terkena dapat
menyebabkan penarikan dan fiksasi sendi yang menyebabkan hilangnya fungsi.1,2,7,8,20
Reaksi tipe 2 juga sering menyebabkan neuritis. Pada reaksi yang berat saraf dapat
menjadi nyeri dan kehilangan fungsi dengan cepat. Tetapi seringkali neuritis yang terjadi tidak
separah dibanding tipe 1. Saraf yang terkena tenderness dan sedikit membesar. Pemeriksaan
yang teliti dibutuhkan untuk mendeteksi hilangnya fungsi saraf. Pengobatan yang tidak adekuat
pada reaksi dapat menyebabkan inflamasi ringan yang menetap berbulan-bulan atau bertahun-
tahun sehingga proses kerusakan saraf yang terjadi semakin luas. 3,5,7,8,9
Reaksi tipe 2 juga bisa berupa iritis, episkleritis maupun uveitis. Gejala ini dapat menjadi
satu-satunya manifestasi dari reaksi dan tanda pertama bahwa pasien mengidap penyakit kusta.
Kemerahan mungkin satu-satunya tanda yang muncul sedangkan gambaran yang biasa seperti
nyeri, fotofobia dan lakrimasi mungkin tidak didapatkan. Pada kasus lainnya, satu-satunya tanda
uveitis yang muncul yaitu eksudat inflamasi yang ditemukan dengan pemeriksaan slit lamp
11
(Hobbs & Choyce 1971). Pada reaksi yang berat kelainan mata menimbulkan keluhan nyeri,
penurunan visus disertai merah sekitar limbus.3,7,8
Tanda dari reaksi yang berat lainnya adalah terjadinya orchitis dan limfadenitis. Orchitis
terjadi akut dengan testis bengkak dan nyeri yang menyebabkan atrofi cepat, atau terjadi lebih
ringan dengan sedikit nyeri dan bengkak dan hilangnya fungsi yang bertahap. Limfadenitis
dengan gambaran limfonodi yang nyeri, tenderness dan bengkak dapat menyertai dan kadang
mendominasi reaksi tipe 2. 3,7,8,20
Reaksi tipe 2 yang berat juga melibatkan gejala sistemik yang dapat berat dimana suhu
meningkat hingga 40˚C setiap hari, biasanya pada sore hari. Pasien menjadi kelelahan dan putus
asa karena nyeri, sakit kepala, anoreksia, insomnia dan depresi. Wajah, tangan, dan kaki dapat
menjadi edematosa dan lien dapat teraba. Dapat terjadi proteinuria, biasanya bersifat sementara
kecuali diikuti amiloidosis (McAdam dkk 1975). Fungsi ginjal dapat terganggu sementara (Bajaj
dkk 1981). 7,8
Reaksi tipe 2 dapat terjadi pada pasien yang belum diterapi sebelumnya. Faktor-faktor
lain yang terkait dengan onset serangan reaksi tipe 2 antara lain meliputi kehamilan, pubertas,
penyakit tersembunyi, vaksinasi, dan stres psikologi. Onset kerusakan saraf sering terjadi lebih
awal pada pasien kusta dengan kehamilan dan menyusui dan terdapat bukti yang mengatakan
bahwa kehamilan memicu infeksi atau kekambuhan dari penyakit kusta. 1,3,7,8
Gambar 4a& 4b. Gambaran klinis pasien dengan reaksi kusta tipe 2 (dikutip sesuai kepustakaan no. 8 &1)
12
2.4.3 Fenomena Lucio
Fenomena Lucio berkaitan dengan bentuk difus dari kusta Lucio (pasien disebut Latapi
lepromatosis) yang tidak diterapi sangat lama (Latapi& Chevez Zamora, 1948). Prevalensinya
tinggi di Meksiko dan daerah Karibia yang ditandai dengan lesi kecil warna merah muda tampak
pada kulit, biasanya pada tangan dan kaki. Lesi tidak tampak jelas, biasanya nyeri, dan sulit
teraba. Lesi berbentuk segitiga atau ireguler. Setelah beberapa hari lesi menjadi ungu ditengah,
kemudian terbentuk krusta coklat kecil kering dan terlepas dengan meninggalkan sikatrik. Selain
itu, didapatkan lesi yang lebih besar dan lebih inflamasi dan dapat berkembang menjadi bula,
yang dapat pecah dengan meninggalkan ulkus dalam dengan tepi tidak rata yang sembuh
perlahan. Selulitis sekunder dapat mempersulit gambaran. Selain itu juga bisa dijumpai
gambaran telangiektasia eruptif, perforasi septum nasi bahkan alopesia totalis pada alis dan bulu
mata. 1,3,7,8
Sel endotel pada pembuluh darah kulit terdiri dari banyak BTA yang tidak biasanya dan
penemuan ini sebagian mungkin bertanggung jawab untuk terjadinya komplikasi serius pada
vaskular yang terjadi saat fase reaktif (Rea & Ridley 1979). Terdapat vaskulitis dan trombosis
pembuluh darah superfisial dan dalam yang menyebabkan pendarahan dan infark kulit.
Fenomana Lucio dianggap bagian dari varian dari reaksi tipe 2 yang berat yang tidak biasa.1,2,7,8
Gambar 5a dan 5b. Gambaran klinis Fenomena Lucio (dikutip sesuai kepustakaan no. 3 dan 1)
13
2.5. Gambaran histopatologis
2.5.1 Reaksi tipe 1
Histopatologi reaksi tipe 1 masih belum bisa dievaluasi dengan baik. Pada reaksi tipe 1
awal, sulit dibedakan apakah penderita dalam keadaan upgrading atau downgrading sehingga
diperlukan pemeriksaan serial. Gambaran khasnya adalah adanya edema didalam dan sekitar
granuloma dan proliferasi fibrosit di dermis. Pada reaksi upgrading, granuloma menjadi lebih
epiteloid dan teraktivasi, dan sel Langhans menjadi lebih besar, bisa juga terdapat erosi
granuloma ke dalam epidermis bagian bawah dan bisa terdapat nekrosis fibrinoid didalam
granuloma bahkan pada saraf dermal. Nekrosis fibrinoid ini menunjukkan reaksi upgrading yang
kuat kearah tuberkuloid dan pada keadaan tersebut bisa dijumpai fibrosis. Pada reaksi
downgrading, lebih sedikit dijumpai, sedangkan densitas kuman meningkat. Pada reaksi tipe 1
juga didapatkan gambaran diferensiasi makrofag ke arah peningkatan sel epiteloid dan terjadi
formasi sel raksasa Langhans. 21
2.5.2 Reaksi tipe 2
Secara histologis tampak gambaran peningkatan vaskularisasi dengan dilatasi kapiler
pada dermis bagian atas, sedangkan pada dermis yang lebih dalam tampak infiltrasi netrofil
disekitar pembuluh darah dan menembus dinding pembuluh darah. Seringkali influks netrofil
sangat banyak sehingga membentuk mikroabses. Vaskulitis berupa pembengkakan dan edema
pada endotelium pembuluh darah merupakan gambaran dominan pada beberapa kasus.
Kerusakan dinding vaskular ini mengakibatkan ekstravasasi eritrosit. Kerusakan pada serat
kolagen dan elastis umumnya juga terjadi (Ridley&Wise 1964) tapi terutama terdapat pada
kelompok etnik tertentu (Ridley et al 1981). Pada beberapa variant necrotizing ENL juga terjadi
nekrosis dan ulserasi kulit (Waters&Ridley 1963). Terdapat pengurangan jumlah bakteri lokal
dan sebagian besar organisme yang tampak sudah rusak dan berbentuk granular dan terdapat
disekitar pembuluh darah. Pada fase penyembuhan netrofil berangsur-angsur diganti oleh
limfosit.3, 21
14
2.5.3 Fenomena Lucio (reaksi Lucio)
Pada reaksi Lucio, perubahan vaskular merupakan hal yang penting. Proliferasi
endotelial menyebabkan obliterasi luminal dan berhubungan dengan trombosis pada pembuluh
darah di dermis dan subkutan. Terdapat infiltrat mononuklear yang besar dan tersebar. Kumpulan
basil bisa didapatkan pada dinding endotelium baik pada pembuluh darah yang normal maupun
yang proliferatif. Nekrosis iskemik menyebabkan infark hemoragik dan menghasilkan erosi
krusta. 21
2.6 Diagnosis Banding
Reaksi tipe 1 biasanya tidak selalu menimbulkan pertanyaan diagnosis banding ketika
reaksi ini terjadi pada pasien dengan terapi antikusta dan gambaran lesi yang lebih mencolok
dibanding lesi awal. Lesi kulit yang dikarenakan reaksi tipe 1 akan menjadi berskuama pada
stase regresif, dimana pada kondisi ini didiagnosis banding dengan tinea korporis, parapsoriasis
en plaque dan psoriasis. Lesi pada reaksi tipe 1 juga kadangkala bisa membingungkan dengan
gambaran urtikaria, pitiriasis rosea, erysipelas dan TBC kutis verukosa.1,2,8
Timbulnya reaksi tipe 2 (ENL) menyebabkan nodul inflamasi yang akut. Nodul yang
lunak dan akut yang terjadi pada ENL berasal dari infiltrasi lemak di dermal dan subkutaneus.
Reaksi tipe 2 (ENL) harus dibedakan dengan vaskulitis nodular, eritema nodosum pada
sarcoidosis, erysipelas, prurigo nodularis, folikulitis, sporotrikhosis, erupsi obat dan pyoderma
gangrenosum.1,2
2.7 Penatalaksanaan reaksi
Penatalaksanaan reaksi berbeda tergantung manifestasi dan berat ringannya reaksi. Pada
prinsipnya pengobatan reaksi kusta terutama ditujukan untuk mengatasi neuritis untuk mencegah
agar tidak berlanjut menjadi paralisis atau kontraktur, secepatnya melakukan tindakan agar tidak
terjadi kebutaan bila mengenai mata, membunuh kuman penyebab agar penyakitnya tidak meluas
dan mengatasi nyeri. Untuk mencapai tujuan itu maka ada beberapa prinsip pengobatan untuk
reaksi kusta yaitu :1,2,3,11
1. Pemberian obat antireaksi
2. Istirahat atau imobilisasi
15
3. Analgetik-antipiretik, sedatif untuk mengatasi nyeri hebat
4. Obat antikusta diteruskan
Untuk semua tipe reaksi, bila tidak ada kontraindikasi, maka semua obat antikusta dosis
penuh harus tetap diberikan, dengan tujuan membunuh kuman agar penyakit tidak meluas,
mencegah timbulnya resistensi dan untuk menghindari timbulnya reaksi pada waktu obat
antikusta diberikan kembali.2
2.7.1 Obat antireaksi yang tersedia
Kebanyakan kasus dengan reaksi diatasi dengan kortikosteroid, talidomid dan klofazimin
kecuali untuk episode yang ringan. Kadang-kadang juga digunakan antimonial dan klorokuin.
Sejumlah agen anti-reaksi lain, seperti Colchisine (Kar & Roy 1988) dan siklosporin (Miller et al
1987), telah dicoba selama bertahun-tahun tetapi tidak terbukti lebih efektif atau aman daripada
obat standar. 11
a. Kortikosteroid
Prednison dan prednisolon merupakan preparat yang paling sering digunakan karena
tidak mahal, efektif, dan tampaknya tidak menghasilkan efek samping yang serius dibandingkan
kortikosteroid lainnnya yang tersedia. Prednison tersedia dalam bentuk tablet dan prednisolon
tersedia dalam bentuk tablet maupun parenteral. Bentuk oralnya diabsorbsi dengan baik dari
saluran gastrointestinal dan mencapai aktivitas puncaknya dalam 1-2 jam. Waktu paruh
plasmanya 2-4 jam. Metabolismenya terutama di hati, kemudian menjadi metabolit inaktif yang
diekskresi melalui ginjal. 3,8,9,11
Obat-obat ini mempunyai efek anti-inflamasi, imunosupresif dan aktivitas metabolik dan
juga mempengaruhi keseimbangan air dan elektrolit. Efek anti-inflamasi dan mungkin efek
imunosupresifnya yang dianggap penting pada penanganan reaksi kusta. Mekanisme pastinya
bagaimana kortikosteroid menghasilkan efek anti-inflamasi tidaklah jelas, tetapi diketahui bahwa
obat ini menekan imunitas seluler, menghambat fagositosis, migrasi lekosit, dilatasi kapiler,
pelepasan enzim lisosomal dan produksi sitokin dan dianggap menurunkan sintesis
prostaglandin/tromboksan. Efek imunosupresifnya tampaknya tidak sepenuhnya dimengerti dan
mungkin saling berhubungan dengan aktivitas anti-inflamasinya. Efek samping obat ini adalah
ulkus peptikum, edema karena retensi natrium, hipokalemia, hipertensi, perubahan metabolisme
16
karbohidrat yang menyebabkan diabetes atau kehilangan kontrol pada diabetes yang sebelumnya
telah ada, glaukoma, osteoporosis, perubahan cushingoid, depresi dan masalah emosional
lainnya, akne dan masalah kulit lainnya, meningkatnya kerentanan terhadap infeksi, reaktivasi
tuberkulosis, dan supresi adrenal. Insiden dan keparahan efek samping yang bervariasi ini
meningkat sesuai dosis dan lama obat diberikan.8,9,11,22
b. Talidomid
Secara kimia talidomid merupakan α-phthalimidoglutarimide dan dipasarkan sebagai
sedative-hipnotik pada tahun 1957, tetapi ditarik dari peredaran beberapa tahun berikutnya ketika
diketahui teratogenisitasnya. Kemampuan obat ini untuk menekan reaksi tipe 2 (ENL) ditemukan
oleh Sheskin (1965) dan dipastikan oleh yang lain (Hastings dkk 1970). Obat ini diabsorbsi
dengan baik dari saluran gastrointestinal dan didistribusikan ke dalam sebagian besar jaringan.
Obat ini mengalami hidrolisis dalam cairan tubuh menghasilkan sejumlah metabolit yang
diekskresi melalui ginjal. Mekanisme kerjanya dalam menekan ENL tidak sepenuhnya dipahami,
tetapi dari percobaan secara in vitro diketahui pada darah tepi individu yang menderita ENL
didapatkan peningkatan kadar TNF dan penggunaan talidomid ternyata menurunkan kadar TNF
pada pasien dengan ENL. Tetapi penelitian oleh Haslett dkk menunjukkan penurunan kadar TNF
pada ENL dan terjadi peningkatan kadar TNF pada terapi talidomid.
Efek sampingnya antara lain mengantuk, walaupun biasanya berkurang pada
penggunaan jangka panjang. Beberapa pasien menunjukkan edema perifer ringan selama
menggunakan obat ini dan beberapa pasien yang diobati di Carville mengalami trombositopenia
dan eosinofilia. Gejala-gejala ini menghilang ketika obat dihentikan dan trombositopenia tidak
muncul lagi saat obat ini dimulai lagi. Eosinofilia seringkali naik cukup tinggi dengan hitung
absolut sampai 5000 mm-3. Terapi harus dihentikan jika hitung eosinofilia absolut meningkat
diatas 5000 atau platelet turun dibawah 100.000 dan obat bisa dimulai lagi bila nilainya telah
kembali normal. Walaupun menghilang jika talidomid dihentikan, eosinofilia dapat muncul
kembali jika obat dimulai lagi. Selama tahun 1960-an dilaporkan adanya neuropati perifer
(Fullerton & O’Sullivan 1968) pada beberapa pasien yang menggunakan obat ini dalam jangka
waktu yang lama sebagai sedatif-hipnotik. Hal ini tampaknya merupakan akibat dari degenerasi
neuronal atau aksonal primer dan penyembuhan tidak selalu mengikuti penghentian obat. Hal
tersebut tidak pernah terlihat pada tiap pasien kusta yang menggunakan obat ini, walaupun
17
banyak yang menggunakannya secara rutin selama beberapa tahun. Teratogenik merupakan efek
samping talidomid yang paling serius dan hal ini membatasi penggunaannya pada wanita subur.
Mekanismenya tidak dipahami tetapi phocomelia yang ditimbulkan tampaknya terjadi jika obat
ini digunakan oleh wanita hamil antara hari ke-35 dan ke-50 setelah periode menstruasinya yang
terakhir.
c. Klofazimin
Klofazimin merupakan suatu bahan celupan rimino-phenazin. Pertama sekali digunakan
untuk pengobatan kustapada awal tahun 1960 (Browne dan Hogerzeil 1962). Obat ini tersedia
dalam bentuk kapsul 50 dan 100 mg efektif untuk penanganan reaksi kusta karena mempunyai
aktifitas sebagai anti inflamasi, namun mekanisme kerjanya belum diketahui. Mekanisme
eliminasi klofazimin yang sebenarnya belum diketahui namun hanya sedikit yang dikeluarkan
melalui urin. 11
Obat mempunyai sedikit efek samping pada sebagian besar pasien, yang paling menonjol
adalah perubahan warna kulit. Tingkat keparahan bergantung pada dosis klofazimin dan derajat
infiltrasi kusta pada kulit. Perubahan warna bisa merah kecoklatan sampai ungu kehitaman,
cenderung berjerawat, yang paling berat di tempat lesi. Pewarnaan sebagian karena terjadi
penumpukan obat pada kulit, tetapi sebagian besar karena drug induced reversible ceroid
lipofuscinosis (Job dkk 1990). Toksisitas paling serius akibat klofazimin adalah pada traktus
gastrointestinal. Manifestasinya bisa berupa nyeri perut ringan atau rasa terbakar pada bagian
tengah perut sampai nyeri epigastrium dan kadang disertai mual dan/atau diare ringan. Pada
pasien yang menggunakan dosis yang lebih tinggi (biasanya > 100 mg perhari), sering
menimbulkan masalah yang lebih serius yang dapat disertai dengan nyeri perut hebat, diare,
mual, muntah dan kehilangan berat badan. 11
Obat ini juga mempunyai sifat antikolinergik yang menyebabkan berkurangnya keringat
dan air mata. Hal ini mungkin akan menimbulkan masalah yang berhubungan dengan kulit
kering atau semakin memperburuk keadaan tersebut. Reaksi fototoksisitas bisa juga muncul,
namun jarang. Untuk mengontrol reaksi dibutuhkan dosis 200-300 mg perhari. Penggunaan obat
aman bagi orang hamil (Farb dkk 1982) tetapi pengalaman masih terbatas. 8,9,11
18
d. Klorokuin
Klorokuin merupakan salah satu kelompok obat, 4-aminokuinolon, terutama digunakan
sebagai antimalaria. Klorokuin juga mempunyai efek anti-inflamasi, tapi mekanismenya tidak
diketahui. Obat ini diabsorbsi dengan cepat dan hampir sempurna dari saluran gastrointestinal
dan didistribusi secara luas kedalam jaringan. Metabolisme obat sebagian di dalam hati terutama
menjadi metabolit aktif dan akhirnya ekskresi melalui ginjal sangat pelan. Efek sampingnya
antara lain bleaching dan hilangnya rambut, diare, anoreksia, mual, muntah, sakit kepala, gugup,
penglihatan kabur, ruam kulit, pruritus dan nyeri kram abdomen. yang lebih serius yaitu
retinopati yang ditandai dengan hilangnya tajam penglihatan sentral. Hal ini sering terjadi jika
diberikan obat dengan dosis lebih dari 250 mg per hari dalam jangka waktu lama, sehingga
direkomendasikan pemeriksaan oftalmologi rutin pada pasien ini. Penghentian obat ini dapat
menghentikan progresi masalah tetapi umumnya tidak reversibel.1,8,9,11
2.7.2 Pengobatan Reaksi tipe I
Secara umum stres fisik atau emosional kadang-kadang muncul dan memicu terjadinya
episode reaktif sehingga sebisa mungkin stres harus dihilangkan dan memperbanyak istirahat.
Terapi antikusta selalu dilanjutkan. Untuk itu kita perlu menerangkan kepada pasien mengenai
penyakitnya dan emungkinan penyebab, perjalanan penyakit, jenis dan cara pengobatan yang
benar. Nyeri ringan sampai sedang, atralgia, dan demam biasanya dapat diatasi dengan analgesik
seperti aspirin, diberikan sesuai kebutuhan beberapa kali per hari. Kadang-kadang sedatif juga
dapat berguna. Klorokuin/ hidroksiklorokuin bisa digunakan untuk reaksi yang ringan dimana
tidak terjadi neuritis dan penurunan fungsi saraf dan hanya meliputi lesi kulit, tetapi
kortikosteroid diindikasikan untuk episode yang lebih berat. Pemberian kortikosteroid
direkomendasikan segera setelah ada bukti peningkatan inflamasi pada lesi kulit atau timbul lesi
kulit baru, penurunan fungsi saraf kurang dari enam bulan atau nyeri atau pembesaran saraf. Lesi
pada mata dan neuritis merupakan indikasi mutlak pemberian kortikosteroid. Efek utama dari
kortikosteroid adalah untuk menekan sel T yang dapat menimbulkan respon inflamasi terhadap
antigen M.leprae baik dikulit maupun disaraf. Oleh karena itu, dosis imunosupresif dari
kortikosteroid dibutuhkan untuk periode yang lama. Dosis prednison yang dibutuhkan untuk
mengontrol masalah ini terutama tergantung pada keparahan reaksi tetapi terdapat variasi yang
signifikan antara pasien satu dengan yang lainnya. Jadi tidak ada suatu rekomendasi yang sesuai
19
untuk semua kasus dan hanya dapat diberikan panduan secara umum. Kemampuan untuk
memprediksi dengan akurat dosis prednison yang sesuai untuk kasus reaksi dan kecepatan untuk
menurunkan dosisnya, berkembang dengan pengalaman, tetapi bahkan dengan pengalaman yang
memadai, perkiraannya tidak selalu benar. 1,2,8,9,11,21
Pada dasarnya dosis awal yang digunakan adalah dosis yang dapat menekan dengan cepat
inflamasi kulit dan saraf. Setelah tampak perbaikan lesi kulit dan fungsi saraf, dosis diturunkan
secara bertahap sampai dicapai dosis pemeliharaan yang dapat menekan inflamasi dan
dipertahankan sampai reaksi mulai reda dan pada akhirnya dapat dihentikan. Pada reaksi yang
beresiko menjadi kerusakan permanen, direkomendasikan pemberian prednison 0,5-1,0
mg/kg/hari, dan kemudian dosis diturunkan bertahap dan perlahan berdasarkan konsistensi saraf,
gejala pada pasien dan hasil evaluasi fungsi sensorik pada tangan dan kaki. Pasien akan
mendapatkan prednison selama 6 bulan atau lebih. Sedangkan Hastings merekomendasikan
pemberian prednison paling tidak 60-80 mg per hari pada dosis tunggal pagi hari harus diberikan
pada reaksi yang berat karena pada umumnya lebih baik memberi terlalu tinggi daripada terlalu
kecil. Jika gejala tidak terkontrol atau tampak memburuk dalam 24-48 jam, dosis harus
ditingkatkan sebanyak 20-40 mg per hari tergantung keparahan masalah. Namun jika perbaikan
terjadi dalam 6-12 jam setelah dosis yang diberikan tetapi kemudian kondisi pasien memburuk
lagi, dosis dapat dibagi menjadi dua kali per hari. Menggunakan pendekatan ini memungkinkan
pengontrolan reaksi tipe I dengan cepat pada hampir semua derajat keparahan. Dosis prednison
kemudian harus dipertahankan sampai perubahan kulit telah kembali sempurna, nyeri neuritis
menghilang dan hilangnya fungsi neural pada episode reaktif telah mulai kembali. Pada saat ini
dapat dilakukan penurunan dosis prednison. Jika reaksi yang terjadi sangat berat, tapering harus
pelan-pelan sedangkan jika hanya derajat sedang, dapat dilakukan tapering lebih cepat.
Kemudian jika eksaserbasi terjadi kapanpun, dosis harus dinaikkan untuk mengontrolnya lagi
dan nantinya tapering dilakukan dalam waktu yang lebih pelan. Tentu saja tujuannya adalah
membuat pasien lepas dari prednison secepat mungkin tanpa menimbulkan kembalinya reaksi
dan kerusakan lebih jauh lagi. Tidaklah selalu disarankan untuk menurunkan prednison pasien
dengan cepat, terutama jika terjadi kerusakan saraf signifikan dan dengan terapi terlihat
penyembuhan yang progresif. 1,10,11,22
20
Rejimen lain yang berbeda telah dilakukan Walker adalah pemberian prednison atau
prednisolon sebesar 40 mg setiap hari, kemudian diturunkan 5 mg setiap 2-4 minggu setelah
didapatkan peningkatan secara klinis. Dosis awal prednison 40 mg sehari cukup berhasil
mengendalikan 85% kasus reaksi tipe 1. Penelitian terbaru secara random dari steroid yang
berbeda menunjukkan bahwa durasi lebih penting daripada dosis kortikosteroid untuk
mengontrol reaksi tipe 1 dimana hasil terapi jangka panjang dapat mencegah kerusakan saraf
permanen dan tidak menimbulkan efek samping yang berat dibandingkan terapi jangka pendek.
Prednisolone 30 mg diturunkan secara perlahan selama 20 minggu lebih baik daripada
prednisolone 60 mg diturunkan selama 12 minggu. Rose dan Water Naafs merekomendasikan
bahwa untuk kebanyakan pasien BT membutuhkan prednisolon selama 4-9 bulan, pasien BB
selama 6-9 bulan dan pasien BL membutuhkan waktu 6-18 bulan bahkan sampai mencapai 24
bulan. Terapi steroid profilaktif telah dicoba untuk mencegah reaksi tipe 1, terapi ini cukup
efektif pada awalnya, namun pada monitoring 12 bulan efek proteksinya tidak ada. 10
Di Indonesia sendiri masih menganut rekomendasi dari WHO untuk pemberian
kortiosteroid pada reaksi dimana prednison atau prednisolon dimulai dengan dosis tinggi atau
sedang dan digunakan sebagai dosis tunggal pada pagi hari dan dosis diturunkan setelah terjadi
respon maksimal. Dosis steroid secara umum dimulai antara 30-80 mg prednisolon/ hari dan
diturunkan 5-1- mg/ dua pekan dimana dua pekan I menjadi 30 mg/hari, dua pekan II menjadi 20
mg/hari, dua pekan II menjadi 15 mg/hari, dua pekan IV menjadi 10 mg/hari dan dua pekan V
menjadi 5 mg/hari. 2
Walaupun kontroversial (Imkamp 1981, Pfaltzgraff 1989), percobaan klofazimin harus
dipertimbangkan pada pasien reaksi tipe I yang membutuhkan terapi prednison dosis tinggi per
hari jangka panjang. Biasanya diperlukan dosis klofazimin yang lebih tinggi dari dosis yang
digunakan untuk terapi antikusta. Pasien diberi 300 mg per hari dan setelah 2-4 minggu dibuat
usaha memulai tapering prednison lagi. Jika tidak berhasil, dapat dilanjutkan 2-4 minggu lagi
dan dicoba lagi. Pada umumnya jika yang satu diturunkan dengan pelan, dosis prednison dapat
dikurangi secara bertahap, kemungkinan saat menghentikannya 6-12 bulan berikutnya.
Kebanyakan pasien akan mengalami keluhan gastrointestinal ketika menggunakan klofazimin
sebanyak ini. Dosisnya harus diturunkan jika keluhan gastrointestinal makin bertambah parah
atau sulit ditoleransi pasien. Jika pasien tidak dapat mentoleransi lebih dari 100 mg per hari pada
21
awal terapi, pendekatan ini mungkin tidak akan berhasil. Bahkan jika tidak ada keluhan serius,
dosis harus diturunkan menjadi 100 mg per hari dalam 1-2 tahun. Mungkin juga bahwa pasien
yang mendapat terapi klofazimin tiap hari sejak awal terapi tampaknya tidak akan menderita
reaksi tipe I yang berat, tetapi hal ini belum dikonfirmasi dengan percobaan klinis yang sesuai.
Jadi penggunaan klofazimin untuk mengatasi reaksi tipe I masih kontroversial. Obat ini jelas
tidak berguna pada fase akut dan jelas tidak bekerja cepat seperti pada penggunaan untuk
mengatasi reaksi tipe 2. Bagaimanapun, pada kasus yang tampaknya efektif, tetapi obat ini
dihentikan karena efek sampingnya, reaksi dapat timbul kembali saat klofazimin hilang dari
tubuh. dengan reaksi yang tidak dapat diprediksi ini dapat dikatakan bahwa klofazimin efektif,
tetapi tidak terbukti. Masalah ini tidak diragukan lagi akan tetap kontroversial sampai ada
percobaan yang sesuai.1,10,11
2.7.3 Pengobatan Reaksi tipe 2 (ENL)
Penatalaksanaan reaksi tipe 2 pada sebagian besar aspek sama dengan tipe 1. Pengobatan
simtomatik seperti aspirin dan sedasi mungkin diperlukan pada kasus yang ringan. Aspirin masih
merupakan obat terbaik dan murah untuk mengatasi nyeri dan inflamasi sedang. Dosis yang
dianjurkan antara 400-600 mg / 4 jam atau bisa diberikan 4 sampai 6 kali sehari. 2,11
Kasus yang lebih berat dapat diatasi dengan prednison seperti pada reaksi tipe 1, tetapi
rata-rata dosis yang lebih rendah sudah cukup. Prednison 60-80 mg per hari dapat mengontrol
sebagian besar reaksi dan penurunan dosis dapat dilakukan lebih cepat. Masalahnya adalah
kemungkinan menjadi kronis, khususnya pada pasien dengan jumlah bakteri yang tinggi. Pada
sejumlah pasien, diperlukan terapi yang teratur atau intermiten selama bertahun-tahun. Pada
kasus dimana penggunaan kortikosteroid tidak dapat dihentikan, maka klofazimin sangat jelas
berguna. Pada reaksi yang berat seringkali dapat diatasi dalam beberapa bulan dengan klofazimin
300 mg per hari jika pasien dapat mentoleransi obat tanpa gangguan masalah gastrointestinal
yang berat. Jika telah dapat dikontrol, dosis harus diturunkan secara bertahap menjadi 100 mg
per hari, kadang-kadang dinaikkan jika terjadi eksaserbasi reaksi. Kadang-kadang perlu
melanjutkan klofazimin hingga penyakit pasien mendekati jumlah bakteri yang negatif, karena
kadang-kadang reaksi dapat kembali terjadi jika obat dihentikan lebih cepat.1,2,8,9,11
22
Walaupun prednison dan klofazimin efektif, talidomid merupakan pilihan pengobatan
(drug of choice) untuk reaksi tipe 2 yang berat. Talidomid juga digunakan untuk mengatasi
ketergantungan pasien reaksi tipe 2 terhadap kortikosteroid dan penderita yang resisten terhadap
klofazimin. Selain itu efek anti inflamasi pada obat ini dapat digunakan unutk neuritis dan iritis.
Talidomid bersifat non-toksik dan dapat ditoleransi dengan baik bahkan selama penggunaan
jangka panjang. Sifat teratogeniknya sangat jelas membatasi penggunaannya pada wanita subur
tetapi pada pasien seperti ini dapat diatasi dengan prednison atau klofazimin dan untuk pasien
yang lainnya tidak ada kontraindikasi. Selain sifat teratogeniknya, pemberian obat ini juga bisa
bersifat neurotoksik dan memberi rasa mengantuk sehingga pemberiannya harus disertai
pengawasan yang ketat. Dosis awal dapat dimulai dengan 3-4 x100 mg dan akan mengontrol
reaksi dalam 48 jam. Dosis ini kemudian diturunkan secara bertahap 100 mg setiap minggu
sampai mencapai 50 mg/hari, sehingga jika memungkinkan obat ini dapat dihentikan dalam 3-4
minggu. Jika reaksi terjadi kembali, dengan jarak antara episode adalah satu bulan atau lebih,
obat dapat dimulai lagi dan diberikan dalam waktu singkat. Pada kasus dimana reaksi terjadi
kembali dalam waktu cepat dan menjadi kronis, talidomid dimulai lagi dan diturunkan sampai
kadar maintenance rata-rata 100 mg per hari dengan rentang 100 mg tiap hari sampai 100 mg
dua kali atau lebih per hari. Rejimen lain yang bisa digunakan adalah dengan dosis awal 100-200
mg pada malam hari, dan jika kurang efektif ditambah dengan prednison 0,5-1,0 mg/kgBB/hari,
kemudian diturunkan secara bertahap selama 6-8 minggu. Selain itu juga bisa dengan
meningkatkan dosis talidomid sampai diperoleh efek terapetik atau efek toksik, yaitu sekitar 600
mg malam hari. Talidomid diturunkan bertahap dengan lambat disesuaikan dengan gejala
sistemik dan lesi kulit. 1,3,9,11
Alternatif lain selain prednison, talidomid, dan klofazimin untuk mengatasi reaksi tipe 2
adalah klorokuin dan antimonial. Obat-obat ini secara potensial lebih toksis daripada ketiga obat
pertama dan lebih jarang digunakan untuk tujuan ini. Kloroquin efektif mengontrol reaksi ringan
sampai sedang karena terdapat efek anti inflamasi. Dosis yang biasa digunakan adalah 3 x 250
mg/hari kloroquin base dan biasanya sudah cukup untuk mengontrol reaksi dalam seminggu.
Dosis kemudian diturunkan menjadi 250 mg dua kali per hari selama seminggu, diikuti 250 per
hari. Pada penggunaan dalam waktu yang lama perlu diwaspadai efek samping yang bisa timbul
berupa ruam kemerahan pada kulit, fotosensitisasi serta gangguan gastrointestinal, pruritus,
gangguan penglihatan dan pendengaran (tinnitus).1,11
23
Suatu studi yang dilakukan oleh Carsalade dkk menunjukkan ternyata pentoksifilin
dengan dosis 1200 -2400 mg sehari. Tetapi efek samping gastrointestinal menyebabkan
penggunaan obat ini menjadi terbatas. Studi lain meneliti peggunaan Klofazimin bersamaan
dengan pentoksifilin dan ternyata kurang efektif dibandingkan dengan prednisolon atau
talidomid. 1,9,11,23
2.7.3 Fenomena Lucio
Fenomena Lucio biasanya diatasi dengan kortikosteroid seperti yang digunakan pada
reaksi tipe 1 dan tipe 2. Dosis yang relatif tinggi sering diperlukan untuk kontrol permulaan dan
untuk tapering memerlukan waktu beberapa tahun. Rea & Levan (1978) melaporkan
pengontrolan reaksi dengan memulai terapi antikusta menggunakan dapson dan/atau rifampin
dimana reaksi terjadi mendahului pengobatan. Reaksi yang terjadi setelah pasien memulai terapi,
memerlukan kortikosteroid. Klofazimin dan talidomid tidak terbukti efektif untuk kasus seperti
ini tetapi plasmaferesis untuk menyingkirkan sejumlah besar kompleks imun yang bersirkulasi
telah dilaporkan (Piepkorn et al 1983) memberikan hasil yang luar biasa.8,9,11
Tabel 1. Rejimen pengobatan reaksi kusta (dikutip sesuai kepustakaan no.1)
24
BAB 3
RINGKASAN
Reaksi kusta adalah suatu episode akut didalam perjalanan klinis penyakit kusta yang
ditandai oleh terjadinya reaksi radang akut yang kadang-kadang disertai gejala sistemik. Reaksi
kusta bisa terjadi sebelum, selama dan sesudah pengobatan dengan antikusta.
Sampai saat ini secara umum dikenal dua macam reaksi kusta yaitu reaksi tipe 1 dan
reaksi tipe 2, serta ada yang menambahkan dengan fenomena Lucio yang hanya ditemukan di
Amerika Latin. Beberapa ahli mengatakan faktor utama patogenesis reaksi adalah faktor kuman
(Mycobacterium leprae), dimana kuman yang mati (misalnya karena pengobatan) akan bersifat
sebagai antigen baru. Antigen baru inilah yang tampaknya memicu respon imun sehingga terjadi
reaksi kusta.
Prinsip umum penanganan reaksi kusta adalah istirahat, baik fisik maupun mental karena
secara umum stres fisik atau emosional kadang-kadang muncul dan memicu terjadinya episode
reaktif sehingga sebisa mungkin stres harus dihilangkan dan memperbanyak istirahat.
Selanjutnya terapi antikusta tetap dilanjutkan. Untuk mengatasi nyeri bisa diberikan analgetik-
antipiretik dan untuk mengatasi reaksi yang berat dan neuritis diberikan antireaksi. Untuk itu
kita perlu menerangkan kepada pasien mengenai penyakitnya dan kemungkinan penyebab,
perjalanan penyakit, jenis dan cara pengobatan yang benar.
25
DAFTAR PUSTAKA
1. Rea TH, Modlin RL. Leprosy. In : Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ editors. Fitzpatrick’s Dermatology in general medicine, 7th ed. New York: McGraw-Hill 2008; p 1786-96
2. Kolegium Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Indonesia. Modul Kusta dengan Reaksi, Buku Acuan. Kolegium Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Indonesia Jakarta 2009; 1-7
3. Lockwood DNJ. Leprosy. In: Burns T, Breathnach S, Cox N, Griffiths C, editors. Rook/Wilkinson/Ebling Textbook of Dermatology 7th ed. Oxford: Blackwell science ltd; 2004: 29; 1-29
4. Abulafia J, Vignale RA. Leprosy: pathogenesis updated. International Journal of Dermatology 1999; 38 : 321-34
5. Spiering E, De Boer T, Zulianello L. Novel mechanism in the pathogenesis of leprosy nerve damage : The Role of Schwann cells, T cells, and Mycobacterium Leprae. International Journal of Leprosy. 2000; 78 :349-53
6. Oliveira RB, Ochoa MT, Sieling PA, Rea TH, Rambukkana A, Sarno EN, Modlin RL. Expression of Toll-Like Receptor 2 on Human Schwann Cells : a Mechanism of Nerve Damage in Leprosy. American Society for Microbiology 2003; 71 : 1427-33
7. Pfaltzgraff RE, Ramu G. Clinical Leprosy. In : Leprosy 2nd edition. Hasting R.C, Opromolla D.V.A. Leprosy. Second Edition. New York: Churcill Livingstone 1994; 14: 237-90
8. Walker SL, Lockwood DNJ. The clinical and immunological features of leprosy. British Medical Bulletin 2006; 1-19
9. Moschella SL. An update on the diagnosis and treatment of leprosy. J Am Acad Dermatol 2004; 51: 417-26
10. Kumar B, Dogra S. Leprosy : A disease with diagnostic and management challenges!. Indian J Dermatol Venereol Leprol 2009; 75 : 111-5
11. Jacobson RR. Treatment of leprosy. In : Leprosy 2nd edition. Hasting R.C, Opromolla D.V.A. Leprosy. Second Edition. New York: Churcill Livingstone 1994; 11: 317-46
12. Bryceson A., Pfaltzgraff RE. Leprosy. Third Edition. New York: Churchill Livingstone; 1994
13. Barker LP. Mycobacterium leprae interactions with the host cell : recent advances. Indian J Med Res 123, 2006, 748-59
14. Scollard.DM, Adam L.B, Gillis T.P. et al. The continuing challenges of leprosy. Clinical microbiology reviews. Apr 2006 ; p.338-381
15. Belgaumkar VA, Gokhale NR, Mahajan PM, Bharadwaj R, Pandit DP, Deshpande S. Circulating cytokine profiles in leprosy patients. Lepr Rev 2007; 78: 223-30
16. Harboe M, Aseffa A, Leekassa R. Challenges presented by nerve damage in leprosy. Lepr Rev 2005; 76: 5-1
26
17. Dockrell HM, Young SK, Britton K, Brennan PJ, dkk. Induction of Th1 Cytokine Responses by Mycobacterial Antigens in Leprosy. American Society for Microbiology 1996; 4385-89
18. Mohanty KK, Joshi B, Katoch K, Sengupta U. Leprosy Reactions: Humoral and Cellular Immune Responses to M.leprae, 65kDa, 28kDa, and 18 kDa Antigens. International Journal of Leprosy 2004; 72: 149-58
19. Job C. Nerve in reversal reaction. Ind J Lepr 1996; 68 : 43-720. Jopling W.H., McDougall AC. Handbook of Leprosy. Fifth Edition. New Delhi: CBS
Publisher & Distributors; 1996 21. Lucas S. Bacterial Diseases. In Lever's Histopathology of the Skin 9th Edition. 2005; 21 :
521-90 22. Andersson AK, Chaduvula M, dkk. Effects of Prednisolone on Cytokine Expression in
Patients with Leprosy Type 1 Reactions. American Society for Microbiology 2005; 73: 3725-33
23. Carsalade GY, Achirafi A, Flageul B. Pentoxifylline in the Treatment of Erythema Nodosum Leprosum. The Journal of Dermatology 2003; 30: 64-8
27