View
29
Download
0
Category
Preview:
Citation preview
SKRIPSI
TINJAUAN KETATANEGARAAN PENERAPAN OTONOMI KHUSUS
PADA PROPINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM
DIAJUKAN DALAM RANGKA MEMENUHI TUGAS AKHIR
UNTUK MENCAPAI GELAR SARJANA HUKUM
PADA FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS INDONESIA
OLEH:
BISARIYADI
NOMOR POKOK MAHASISWA 059800041Y
BIDANG STUDI HUKUM TENTANG HUBUNGAN NEGARA DAN MASYARAKAT
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS INDONESIA
DEPOK 2003
DAFTAR ISI Judul ................................................ i Persetujuan Pembimbing ............................... ii Halaman Persembahan .................................. iii Kata Pengantar ....................................... iv Abstrak .............................................. ix Daftar Isi ........................................... x BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang .................................. 1 B. Pokok Permasalahan .............................. 10 C. Tujuan .......................................... 11 D. Kerangka Konsepsional ........................... 12 E. Metodologi Penelitian ........................... 15 F. Sistematika Penelitian .......................... 17
BAB II OTONOMI KHUSUS DALAM NEGARA KESATUAN REPUBLIK
INDONESIA
A. PENGERTIAN OTONOMI KHUSUS ....................... 20 1. Pengertian Otonomi Daerah .................. 20 2. Pengertian Otonomi Khusus .................. 24 3. Pengertian Federalisme ..................... 29
B. LANDASAN KONSTITUSIONAL PENERAPAN OTONOMI KHUSUS. 34 1. Konstitusi RIS ............................. 36 2. UUDS 1950 .................................. 37 3. UUD 1945 ................................... 39 4. UUD 1945 Sesudah Amandemen (UUD Negara
Kesatuan Republik Indonesia tahun 1945) .... 44 C. PENERAPAN OTONOMI KHUSUS DALAM NEGARA KESATUAN
REPUBLIK INDONESIA .............................. 49 1. Pemerintahan Soekarno (1945-1966) .......... 49 2. Pemerintahan Soeharto (1966-1998) .......... 60 3. Pemerintahan Habibie (1998-1999) ........... 64 4. Pemerintahan Abdurrahman Wahid (1999-2001).. 67 5. Pemerintahan Megawati (2001-... ) .......... 68
i
BAB III PENERAPAN OTONOMI KHUSUS DI NEGARA-NEGARA KESATUAN DI DUNIA
A. Hong Kong Special Administrative Region (SAR),
REPUBLIK RAKYAT CINA ............................ 71 1. Sejarah Pembentukan Hong Kong SAR .......... 78 2. Kewenangan Khusus Yang Dimiliki Hong Kong
SAR ........................................ 83 3. Peraturan Perundang-undangan di Hong Kong
SAR ........................................ 90 4. Kemandirian Badan Peradilan di Hong Kong SAR 93
B. UNITED KINGDOM .................................. 96 1. Irlandia Utara ............................. 96 2. Skotlandia ................................. 108
BAB IV PEMBERIAN OTONOMI KHUSUS PADA PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM
A. ALASAN DIBERIKANNYA OTONOMI KHUSUS UNTUK ACEH ... 118
1. Alasan Historis ............................ 118 a. Gerakan Aceh Merdeka ................ 133 b. Daerah Operasi Militer (Operasi
Jaring Merah) ....................... 139 c. Pasca DOM ........................... 146
2. Alasan Sosiologis .......................... 151 3. Alasan Yuridis ............................. 154
B. KEWENANGAN KHUSUS YANG DIMILIKI PROVINSI NAGGROE ACEH DARUSSALAM ................................. 161
1. Penyelenggaraan Kehidupan Beragama ......... 164 2. Penyelenggaraan Kehidupan Adat ............. 167 3. Penyelenggaraan Pendidikan ................. 170 4. Peran Ulama Dalam Penetapan Kebijakan Daerah 174 5. Pembagian Keuangan Antara Pusat dan Daerah.. 176
BAB V PROBLEMATIKA DALAM PENERAPAN OTONOMI KHUSUS DI
PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM DENGAN KONSEP NEGARA KESATUAN
A. QANUN ........................................... 179
1. Pengertian Qanun ........................... 179 2. Kedudukan Qanun Dalam Susunan Peraturan
Perundang-undangan Di Indonesia ............ 183 3. Hal-Hal Yang Diatur Didalam Qanun .......... 193
ii
B. PEMBENTUKAN PERADILAN SYARI’AT ISLAM (MAHKAMAH SYAR’IYAH) ...................................... 200
1. Lingkup Peradilan Syari’at Islam (Mahkamah Syar’iyah) ................................. 205
2. Independensi Mahkamah Syar’iyah ............ 217 BAB VI PENUTUP
A. Kesimpulan ...................................... 223 B. Saran ........................................... 229
Daftar Pustaka ....................................... xiii Lampiran-Lampiran : Lampiran I The Basic Law of Hong Kong Special
Administrative Region Lampiran II The Constitution of Northern Ireland Act 1920 Lampiran III The Constitution of Northern Ireland Act 1973 Lampiran III Act of Union Scotland Lampiran IV Keputusan Perdana Menteri nomor I/missi/1959 Lampiran V Qanun Nanggroe Aceh Darussalam nomor 10 tahun
2002 tentang Peradilan Syari’at Islam
iii
ABSTRAK
Bisariyadi, Hukum tentang Hubungan Negara dan Masyarakat, Fakultas Hukum Universitas Indonesia.
Pembagian kekuasaan antara pusat dengan daerah dalam prakteknya dinegara-negara kesatuan didunia sangat bervariasi, ada yang menerapkan sistem sentralistis namun ada pula negara kesatuan yang menerapkan sistem yang menekankan desentralisasi dengan memberikan otonomi kepada daerah. Yang menjadi persoalan yang sebenarnya adalah bagaimana skala pembagian kewenangan antara pemerintah pusat dengan daerah yang lebih mencerminkan keadilan. Dalam praktek pemberian otonomi di beberapa negara kesatuan, bahkan, terdapat beberapa negara yang memberikan kewenangan kepada daerah sangat besar. Republik Rakyat Cina memberikan otonomi yang luas hingga sampai dikenal menerapkan sistem one country two systems. Contoh negara kesatuan lain yang memberikan otonomi yang sangat luas kepada daerah adalah United Kingdom. Pembagian kewenangan antara pusat dan daerah dengan memberikan otonomi yang luas juga diterapkan di Indonesia. Ada dua daerah di Indonesia yang diberikan otonomi yang luas tersebut dengan istilah otonomi khusus yaitu Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Provinsi Papua. Pengaturan Keistimewaan atau pemberian otonomi khusus untuk Aceh telah diterbitkan UU nomor 44 tahun 1999 dan UU nomor 18 tahun 2001. Ada dua permasalahan pokok dari sisi hukum tata negara mengenai kebijakan otonomi khusus di provinsi Nanggroe Aceh Darusssalam yaitu mengenai kedudukan qanun dan mengenai pelaksanaan sistem hukum Islam dengan dibentuknya mahkamah syar’iyah. Qanun adalah peraturan perundang-undangan yang disetarakan dengan Peraturan Daerah. Sedangkan Mahkamah Syar’iyah adalah Lembaga Peradilan Syari’at Islam yang menerapkan sistem hukum Islam.
iv
BAB I
PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG
Ketika reformasi bergulir di Indonesia tahun 1998,
tuntutan pelaksanaan otonomi daerah menjadi salah satu
agenda reformasi. Agenda reformasi yang oleh mahasiswa
disebut sebagai “6 visi reformasi”1 meminta agar pemerintah
menerapkan sistem otonomi daerah untuk mengakomodir
kepentingan-kepentingan daerah. Dalam rezim Orde Baru kuku-
kuku pemerintah pusat begitu kuat mencengkeram sehingga
daerah hanyalah menjadi sapi perahan bagi kepentingan
pusat. Akibatnya banyak timbul keinginan dari daerah untuk
memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia
bahkan ada upaya dari daerah untuk memisahkan diri dalam
1 6 visi reformasi tersebut adalah :
1. pertanggungjawaban orde baru 2. budaya demokrasi yang rasional dan egaliter 3. amandemen UUD 1945 4. cabut dwifungsi ABRI 5. pelaksanaan otonomi daerah 6. tegakkan supremasi hukum lihat http://www16.brinkster.com/jurangmangu/artikel/sikap.htm, tanggal 23 November 2002.
1
pergerakan-pergerakan yang terorganisir seperti Gerakan
Aceh Merdeka (GAM), Gerakan Papua Merdeka, Republik Maluku
Selatan (RMS) dan sebagainya. Upaya menyuarakan keinginan
melalui pergerakan ini menimbulkan konflik di daerah-daerah
tersebut karena pemerintah pusatpun menganggap bahwa
gerakan-gerakan tersebut adalah gerakan separatis yang
harus ditumpas karena berupaya menggerogoti kekuasaan
pemerintah. Hal ini adalah akibat kebijakan sentralisasi
yang diterapkan oleh pemerintahan orde baru.
Sentralisasi yang begitu kuat itu tercipta dengan
diundangkannya UU nomor 5 tahun 1974 tentang Pokok-Pokok
Pemerintahan di Daerah. UU nomor 5 tahun 1974 meninggalkan
prinsip “otonomi riil dan seluas-luasnya” sebagaimana yang
diterapkan pada UU mengenai pemerintahan di daerah sebelum
diterapkannya UU nomor 5 tahun 19742 dan menggantikannya
dengan prinsip “Otonomi yang nyata dan bertanggungjawab”.
Dalam penjelasan UU nomor 5 tahun 1974 dinyatakan alasan
pengubahan prinsip tersebut, bahwa :
2 UU mengenai pemerintahan daerah yang menerapkan otonomi luas
yaitu UU nomor 1 tahun 1945, UU nomor 22 tahun 1948 dan UU nomor 1 tahun 1957. lihat H. Syaukani, Afan Gaffar, Ryaas Rasyid, Otonomi Daerah dalam Negara Kesatuan, (Jakarta: Pustaka Pelajar, 2002), hal. 118
2
“istilah seluas-luasnya tidak lagi dipergunakan
karena berdasarkan pengalaman selama ini istilah
tersebut ternyata dapat menimbulkan kecederungan
pemikiran yang dapat membahayakan keutuhan Negara
Kesatuan dan tidak serasi dengan maksud dan tujuan
pemberian otonomi kepada Daerah sesuai dengan
prinsip-prinsip yang digariskan oleh Garis-garis
Besar haluan Negara.”3
Pengubahan prinsip otonomi riil dan seluas-luasnya
menjadi prinsip otonomi yang nyata dan bertanggungjawab
berdampak besar bagi kebebasan daerah untuk mengatur urusan
rumah tangganya sendiri. Segala hal yang dilakukan oleh
daerah haruslah sesuai dengan jalannya pembangunan yang
dirancang oleh pemerintah pusat. Dalam penjelasan UU nomor
5 tahun 1974 pun secara tegas diungkapkan :
“Jadi pada hakikatnya Otonomi Daerah itu lebih
merupakan kewajiban daripada hak, yaitu kewajiban
daerah untuk ikut melancarkan jalannya pembangunan
3 Indonesia(A), Undang-Undang Tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di
Daerah, UU no.5 tahun 1974, LN No. 38 tahun 1974, TLN No. 3037, penjelasan umum.
3
sebagai sarana untuk mencapai kesejahteraan rakyat
yang harus diterima dan dilaksanakan dengan penuh
tanggungjawab.”4
Selain adanya UU nomor 5 tahun 1974 yang mengokohkan
sentralisasi pemerintahan, UU nomor 5 tahun 1979 tentang
Pemerintahan Desa pun memiliki dampak yang besar dalam
memberangus keberagaman yang dimiliki oleh Indonesia
sebagai suatu bangsa. UU nomor 5 tahun 1979 adalah alat
legitimasi untuk upaya penyeragaman dimana diseluruh
Indonesia dipergunakan model pemerintahan Desa seperti di
Jawa. Pola pemikiran seperti ini yang melahirkan konsep
bahwa otonomi bukanlah hak melainkan kewajiban bagi Daerah
terutama diluar Jawa.5
Amanat reformasi tentang penerapan otonomi daerah ini
kemudian diakomodir oleh pemerintah dengan diundangkannya
UU nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah pada
tanggal 7 Mei 1999 menggantikan UU nomor 5 tahun 1974 dan
UU nomor 5 tahun 1979 serta UU nomor 25 tahun 1999 tentang
4 Ibid. 5 H. Syaukani, Afan Gaffar, Ryaas Rasyid, Otonomi Daerah dalam
Negara Kesatuan, (Jakarta: Pustaka Pelajar, 2002), hal. 161.
4
Perimbangan Keuangan antara Pusat dan Daerah pada tanggal
19 Mei 1999 menggantikan UU nomor 32 tahun 1956 tentang
Perimbangan Keuangan antara Negara dan Daerah-daerah yang
Berhak Mengurus Rumah Tangganya Sendiri.
UU nomor 22 tahun 1999 dan UU nomor 25 tahun 1999
bersumber pada pasal 18 UUD 1945 sebelum diamandemen, yang
berbunyi :
“Pembagian Daerah Indonesia atas daerah besar dan
kecil dengan bentuk dan susunan pemerintahannya
ditetapkan dengan Undang-undang, dengan memandang dan
mengingati dasar permusyawaratan dalam sistem
Pemerintah Negara, dan hak-hak asal usul dalam
Daerah-daerah yang bersifat Istimewa.”6
yang menarik adalah bahwa salah satu amanat agenda
reformasi adalah mengamandemen UUD 1945 dan salah satu
pasal yang diamandir oleh MPR adalah pasal 18. Namun
demikian perubahan pasal 18 tidaklah bertentangan dengan
jiwa penerapan otonomi daerah justru perubahan pasal 18 UUD
1945 lebih menguatkan pelaksanaan otonomi daerah itu. Dalam
pasal 18 ayat (2) amandemen ke-2 disebutkan :
6 Indonesia, Undang-Undang Dasar 1945, pasal 18.
5
“Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten dan
kota mengatur dan mengurus sendiri urusan
pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas
pembantuan.”7
Kemudian ditegaskan pula pada pasal 18 ayat (5) UUD 1945
amandemen ke-2, yang berbunyi :
“Pemerintah daerah menjalankan otonomi seluas-
luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh
Undang-Undang ditentukan sebagai urusan Pemerintah
Pusat.”8
Diterbitkannya UU nomor 22 tahun 1999 dan UU nomor 25
tahun 1999 merupakan tonggak untuk mengakui keberagaman
daerah dengan memberikan kewenangan yang luas pada daerah
untuk mengatur urusan rumah tangganya sendiri. Pengakuan
atas keberagaman yang dimiliki masing-masing daerah
diberikan dengan penerapan azas desentralisasi yang
demikian besar yang hanya dikecualikan pada 6 bidang
pemerintahan yaitu bidang politik luar negeri, pertahanan
7 Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik
Indonesia tahun 1945, pasal 18 ayat (2). 8 Ibid., pasal 18 ayat (5)
6
keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama serta
kewenangan bidang lain9 yang menjadi kewenangan pemerintah
pusat.
Namun demikian pemberian kewenangan-kewenangan diluar
dari pasal 7 UU nomor 22 tahun 1999 kepada daerah untuk
mengaturnya dianggap belum cukup, karena terdapat daerah-
daerah tertentu, terutama daerah-daerah konflik, yang
mendapatkan kewenangan yang lebih seperti Aceh dan Papua.
Sehingga untuk daerah-daerah tersebut perlu dibentuk
otonomi khusus yang diatur dengan UU tersendiri. Untuk
Provinsi Papua dikeluarkan UU nomor 21 tahun 2001 tentang
Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua dan Provinsi Daerah
Istimewa Aceh dengan UU nomor 44 tahun 1999 dan UU nomor 18
tahun 2001.
Sebenarnya praktek pemberian dan penerapan kebijakan
otonomi khusus dimana suatu daerah diberikan kewenangan
yang lebih khusus, yang lebih luas dibandingkan daerah-
9 Indonesia(B), Undang-Undang Tentang Pemerintahan Daerah, UU
no. 22 tahun 1999, LN No. 60, TLN No. 3839, ps. 7 ayat (1). Yang dimaksud dengan kewenangan bidang lain pada pasal 7 ayat (2) UU nomor 25 tahun 1999 disebutkan yaitu meliputi kebijakan tentang perencanaan nasional dan pengendalian pembangunan nasional secara makro, dana perimbangan keuangan, sistem administrasi negara dan lembaga perekonomian negara, pembinaan dan pemberdayaan sumber daya manusia, pendayagunaan sumbar daya alam serta teknologi tinggi yang strategis, konservasi dan standarisasi nasional.
7
daerah lain bukanlah merupakan praktek penerapan kebijakan
yang baru dalam model pemerintahan Indonesia. Sebelum
dikeluarkannya kebijakan tentang pelaksanaan otonomi khusus
terdapat tiga daerah yang diberikan keistimewaan atau
kekhususan kepada pemerintah daerah untuk mengatur urusan
rumah tangganya. Daerah-daerah yang diberikan “label”
Daerah Istimewa/daerah khusus yaitu Daerah Istimewa
Aceh10
Daerah Istimewa Yogyakarta11 dan Daerah Khusus Ibukota
Jakarta12.
Seperti yang telah diungkapkan diatas Aceh merupakan
salah satu daerah yang sejak dahulu diberikan otonomi
khusus dalam hal penyelenggaraan pemerintahan daerahnya.
Bahkan sejak tahun 1959, ketika pemerintah pusat
mengirimkan satu missi khusus dibawah pimpinan Wakil
10 Pemberian status istimewa bagi provinsi Aceh adalah melalui
Keputusan Perdana Menteri nomor 1/Missi/1959. 11 dibentuk dengan UU nomor 3 tahun 1950 tentang Pembentukan
Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, ditetapkan di Yogyakarta pada tanggal 3 Maret 1950 oleh Presiden Republik Indonesia (Pemangku Jabatan Sementara Assaat.
12 merupakan pelaksanaan dari UU nomor 11 tahun 1990 tentang
Susunan Pemerintahan Daerah Khusus Ibukota Negara Republik Indonesia Jakarta yang menggantikan UU nomor 2 Pnps tahun 1961 tentang Pemerintahan Daerah Khusus Ibukota Jakarta Raya sebagaimana diubah dengan UU nomor 15 Pnps tahun 1963 yang kemudian diganti dengan UU nomor 1964 tentang Pernyataan Daerah Khusus Ibukota Jakarta Raya tetap Sebagai Ibukota Negara Republik Indonesia dengan Nama Jakarta.
8
Perdana Menteri yang memberikan status Daerah Istimewa
melalui Keputusan Perdana Menteri Republik Indonesia Nomor
1/Missi/1959, yang meliputi agama, peradatan dan
pendidikan.13 Akan tetapi karena adanya kecenderungan
pemusatan kekuasaan, terutama dengan diundangkannya UU
nomor 5 tahun 1974 maka penyelenggaraan keistimewaan Aceh
yang dijamin melalui produk keputusan Perdana Menteri
tersebut tidaklah berjalan sebagaimana mestinya.
Dengan diundangkannya UU nomor 44 tahun 1999 tentang
Penyelenggaraan Keistimewaan Propinsi Daerah Istimewa Aceh
ditambah dengan UU nomor 18 tahun 2001 tentang Otonomi
Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi
Nanggroe Aceh Darussalam terdapat harapan-harapan bahwa
kebijakan ini akan mengakomodir aspirasi masyarakat Aceh
dan dapat mengatasi konflik yang terjadi di Aceh. Namun
demikian penerapan kebijakan otonomi khusus, dalam sudut
pandang tata negara, menimbulkan beberapa permasalahan
seperti pembentukan mahkamah syar’iyah sebagai sebuah
lembaga yudikatif yang berada didaerah kemudian tentang
ruang lingkup pengaturan Qanun yang merupakan peraturan
13 Indonesia(C), Undang-Undang Tentang Penyelenggaraan
Keistimewaan Propinsi Daerah Istimewa Aceh, UU no. 44 tahun 1999, LN No. 172, TLN No. 3893, penjelasan umum.
9
Daerah. Permasalahan ini adalah bertolak dari pertanyaan
sejauhmana kewenangan yang dapat diberikan kepada daerah
dalam rangka pelaksanaan otonomi dalam sebuah negara
kesatuan? Dalam hal ini para sarjana tak ada yang
memberikan batasan-batasan berupa bidang-bidang
pemerintahan yang harus diatur oleh daerah dan/atau pusat
namun demikian yang perlu digarisbawahi adalah bahwa
hakikat negara kesatuan adalah kedaulatannya tidak terbagi
atau dengan kata lain kekuasaan pemerintah pusat tidak
dibatasi14. Sehingga sebesar apapun bidang-bidang
pemerintahan yang diberikan dalam rangka otonomi daerah
selama daerah tidak memiliki kedaulatan atau tidak terdapat
pengakuan kedaulatan terhadap suatu daerah maka itulah yang
menjadi batasan pemberian otonomi daerah dalam negara
kesatuan.
Berdasarkan hal tersebut permasalahan pemberian dan
penerapan otonomi khusus pada Propinsi Nanggroe Aceh
Darussalam merupakan pokok kajian dalam karya tulis ini
dengan melihatnya dari sudut pandang hukum tata negara.
Oleh sebab itu karya tulis ini diberi judul TINJAUAN
14 Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, cet. V, (Jakarta:
PT.Gramedia, Desember 1980), hal.140
10
KETATANEGARAAN PENERAPAN OTONOMI KHUSUS PADA PROPINSI
NANGGROE ACEH DARUSSALAM.
POKOK PERMASALAHAN
1. Apa sajakah kewenangan khusus yang dimiliki provinsi
Nanggroe Aceh Darussalam dalam menerapkan otonomi
khusus berdasarkan UU nomor 44 tahun 1999 tentang
Penyelenggaraan Keistimewaan Propinsi Daerah Istimewa
Aceh dan UU nomor 18 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus
bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi
Nanggroe Aceh Darussalam?
2. Bagaimana kedudukan Mahkamah Syar’iyah dalam ruang
lingkup badan peradilan di Indonesia?
3. Bagaimana kedudukan Qanun dalam susunan peraturan
perundang-undangan di Indonesia?
TUJUAN
1. Untuk mengetahui kewenangan-kewenangan khusus yang
dimiliki Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dalam
menerapkan otonomi khusus sesuai dengan UU nomor 44
tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan
Propinsi Daerah Istimewa Aceh dan UU nomor 18 tahun
11
2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah
Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam.
2. Untuk mengetahui kedudukan Mahkamah Syar’iyah dalam
ruang lingkup badan peradilan di Indonesia.
3. Untuk mengetahui kedudukan Qanun dalam susunan
peraturan perundang-undangan di Indonesia.
KERANGKA KONSEPSIONAL
Negara Kesatuan dalam kamus umum pengertian tentang
kesatuan (unitary) yang berkaitan dengan pemerintahan
(government) adalah “characterized by or constituting a
form of government in which power is held by one central
authority.”15
Menurut C.F Strong pengertian Negara Kesatuan adalah
“The essence of a unitary state is that the
souvereignty is undivided, or, in other words, that
the powers of the central government are
unrestricted, for the constitution of a untary
15 http://www.dictionary.com/search?q=unitary didownload pada
tanggal 8 oktober 2002, Source: WordNet ® 1.6, © 1997 Princeton University.
12
state does not admit of any other law making body
than the central one.”16
Sehingga unsur-unsur dalam sebuah negara kesatuan antara
lain meliputi :
“The two essential qualities of a unitary state may therefore be said to be : 1. the supremacy of the central parliament, and 2. the absence of subsidiary souvereign bodies”17
Pengertian ini dibagi lagi menjadi
Desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh
Pemerintah kepeda Daerah Otonom dalam kerangka Negara
Kesatuan Republik Indonesia.18
Dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang dari Pemerintah
kepada Gubernur sebagai wakil Pemerintah dan/atau perangkat
pusat di daerah.19
Tugas pembantuan adalah
16 C.F. Strong, Modern Political Constitutions, 2nd impression
(London: sidgwick & Jackson limited, 1960), hal. 80. 17 Ibid. 18 Indonesia (B), op.cit., pasal 1 huruf e 19 Ibid., pasal 1 huruf f
13
“...penugasan dari dari pemerintah kepada daerah dan
desa dan dari daerah ke desa untuk melaksanakan tugas
tertentu yang disertai pembiayaan, sarana dan
prasarana serta sumber daya manusia dengan kewajiban
melaporkan pelaksanaannya dan mempertanggungjawab-
kannya kepada yang menugaskan.”20
otonomi daerah adalah kewenangan daerah otonom untuk
mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat
menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat
sesuai dengan peraturan perundang-undangan.21
Otonomi khusus
Pengertian mengenai istilah otonomi khusus adalah dalam
konteks penerapannnya di provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
Dan pengertian otonomi khusus tidak secara tegas dituliskan
dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang
otonomi di provinsi Nanggroe Aceh Darussalam22, namun dengan
20 Ibid., pasal 1 huruf g 21 Ibid., pasal 1 huruf h 22 Maksudnya adalah UU nomor 44 tahun 1999 dan UU nomor 18 tahun
2001
14
merunut pada pasal 3 ayat (1) UU nomor 18 tahun 2001 jo.
Pasal 1 angka 8 UU nomor 44 tahun 1999 kita dapat
mengetahui bahwa yang dimaksudkan dengan otonomi khusus
adalah penyelenggaraan keistimewaan yang diberikan kepada
provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
Pasal 3 ayat (1) UU nomor 18 tahun 2001 menyebutkan bahwa
“kewenangan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang diatur
dalam Undang-Undang ini adalah dalam rangka pelaksanaan
otonomi khusus”.23
Dan penyelenggaraan otonomi khusus yang diatur dalam UU
nomor 18 tahun 2001 adalah dalam rangka pelaksanaan
keistimewaan yang dimiliki propinsi NAD sehingga pada
pasal 1 angka 8 UU nomor 44 tahun 1999 menyebutkan bahwa
pengertian keistimewaan adalah kewenangan khusus untuk
menyelenggarakan kehidupan beragama, adat, pendidikan dan
peran ulama dalam penetapan kebijakan Daerah.24
23 Indonesia(D), Undang-Undang Tentang Otonomi Khusus bagi
Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, UU no. 18 tahun 2001, LN. No. 114, TLN. No. 4134, pasal 3 ayat (1).
24 Indonesia(C),op.cit., pasal 1 angka 8.
15
METODOLOGI PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan penelusuran kepustakaan
atau penelitian secara kualitatif. Dengan menggunakan data
sekunder yang berupa :
Bahan Hukum Primer yaitu bahan-bahan yang memiliki kekuatan
mengikat kepada masyarakat dalam hal ini adalah peraturan
perundang-undangan yang berlaku dan berkaitan dengan
masalah yang diangkat.
Bahan Hukum Sekunder yaitu bahan-bahan yang menjelaskan
bahan hukum primer seperti buku-buku, makalah-makalah koran
dan data-data lain.
Bahan Hukum Tersier, bahan ini didapat dari kamus hukum dan
referensi lainnya yang berfungsi memberikan penjelasan
tambahan dari bahan hukum sekunder.
Pendekatan yang dilakukan untuk menunjukkan jenis
penelitian ini adalah
1. Penelitian deskriptif yaitu penelitian yang berusaha
menggambarkan masalah yang diteliti, dimaksudkan untuk
memberikan data yang seteliti mungkin tentang suatu
gejala, termasuk didalamnya gejala hukum.25
25 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, cet.3, (Jakarta:
Universitas Indonesia, 1986), hal.10.
16
Penelitian ini mencoba menggambarkan mengenai penerapan
kebijakan otonomi khusus di provinsi Aceh dengan
meninjaunya dari peraturan perundang-undangan yang
diterbitkan oleh pemerintah.
2. Penelitian Problem Finding yaitu penelitian yang
berfungsi untuk menggali dan mencari permasalahan yang
ada dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam penelitian ini dibahas tentang permasalahan yang
muncul akibat kebijakan penerapan otonomi khusus di
provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dalam lingkup
ketatanegaraan terutama berkaitan dengan bentuk negara
Indonesia yang merupakan negara kesatuan.
3. Penelitian berfokuskan masalah yaitu penelitian yang
menitik beratkan pada suatu masalah tertentu. Inti dari
penelitian berfokuskan masalah adalah mengaitkan antara
bidang teori dengan bidang praktis, dimana masalah-
masalah ditentukan atas dasar teoritis. 26
Adapun penelitian ini berupaya mengaitkan konsep tentang
otonomi daerah dengan batasan-batasan yang seharusnya
diberikan dengan praktek pelaksanaan otonomi daerah
26 Ibid., Hal. 11
17
terutama dengan adanya praktek kebijakan otonomi khusus
di provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
SISTEMATIKA PENELITIAN
Adapun sistematika penulisan dari karya tulis ini
dimulai dari Bab I yang merupakan Bab Pendahuluan.
Pembahasan dalam Bab ini meliputi latar belakang, pokok
permasalahan, tujuan penelitian, kerangka konsepsional,
metode penelitian serta sistematika penulisan.
Dalam Bab II dibahas mengenai konsep otonomi dalam
pelaksanaan pemerintahan di Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Yang didalamnya akan diperdalam dengan
pembahasan tentang pengertian otonomi daerah dan otonomi
khusus serta landasan konstitusional dan praktek otonomi
khusus yang pernah terjadi dalam sejarah ketatanegaraan
Indonesia.
Dalam Bab III dibahas tentang contoh praktek
pemberian otonomi khusus yang pernah dilakukan oleh negara
lain sebagai bahan perbandingan. Dalam hal ini negara-
negara yang menjadi bahan perbandingan adalah Republik
Rakyat Cina dan United Kingdom (Inggris).
18
Dalam Bab IV dibahas mengenai penerapan otonomi
khusus dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia di Provinsi
Nanggroe Aceh Darussalam. Pembahasan dalam Bab ini meliputi
alasan-alasan yang menyebabkan diberikannya otonomi khusus
untuk Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Kemudian akan
dibahas pula tentang peraturan perundang-undangan yang
berlaku dalam hal pemberian otonomi khusus sebelum
berlakunya UU nomor 44 tahun 1999. Dan terakhir akan
dibahas tentang wewenang-wewenang khusus yang dimiliki oleh
Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam berdasarkan UU nomor 44
tahun 1999 dan UU nomor 18 tahun 2001.
Dalam Bab V akan dibahas mengenai problematika
yuridis yang muncul dalam penerapan wewenang khusus
Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dengan konsep Negara
Kesatuan. Problematika yang muncul dan akan dibahas dalam
Bab ini meliputi pembentukan Mahkamah Syar’iyah dan
kedudukan Qanun dalam susunan peraturan perundang-undangan
di Indonesia.
Bab VI adalah Penutup, yang didalamnya berisikan
mengenai kesimpulan dari seluruh uraian dalam penelitian
ini serta saran-saran yang perlu dikemukakan.
19
BAB II
OTONOMI KHUSUS DALAM NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA
A. PENGERTIAN OTONOMI KHUSUS
1. Pengertian Otonomi Daerah
Agar lebih memahami pengertian tentang otonomi khusus
akan dipaparkan terlebih dahulu pengertian dari otonomi
daerah sebagai kerangka dari adanya otonomi khusus.
Dalam negara kesatuan, daerah-daerah yang merupakan
bagian dari wilayah negara kesatuan dapat menyelenggarakan
pemerintahan sendiri dengan batasan kewenangan yang
diberikan oleh pemerintah pusat sebagai penyelenggaraan
asas desentralisasi. Secara umum hal tersebut diatas adalah
inti dari otonomi daerah. Pemberian otonomi daerah pada
negara kesatuan adalah karena selain terdapat kepentingan-
kepentingan utama yang menjadi perhatian umum semua warga
negara, ada pula kepentingan lain yang tak kalah penting
bagi kesejahteraan mereka yang ditentukan oleh keadaan-
keadaan khusus daripada suatu daerah lokal yang disebabkan
20
oleh sifat-sifat geografisnya, oleh kegiatan-kegiatan
ekonomisnya, oleh distribusi khusus daripada rakyat didalam
wilayahnya, oleh proses historis yang memberikan kepadanya
bentuk dan suasana sosial yang tersendiri dan terutama
sekali oleh kenyataan bahwa beberapa kebutuhan manusia
paling baik dapat terpenuhi sebaik-baiknya dalam daerah
lokal dimana ia dapat mewujudkan dirinya secara sadar.27
Otonomi atau autonomy berasal dari bahasa Yunani,
auto yang berarti sendiri dan nomous yang berarti hukum
atau peraturan. Menurut encyclopedia of social science,
bahwa otonomi dalam pengertian orisinal adalah the legal
self sufficiency of social body and its actual
independence.28 Jadi ada 2 ciri hakikat dari otonomi yakni
legal self sufficiency dan actual independence. Dalam
kaitannya dengan politik atau pemerintahan, otonomi daerah
berarti self government atau the condition of living under
one’s own laws sehingga yang disebut otonomi daerah adalah
daerah yang memiliki legal self sufficiency yang bersifat
self government yang diatur dan diurus oleh their own laws.
27 R.M. MacIver, The Modern State, terj. Moertono, Negara Modern, cet.1, (Jakarta: Aksara Baru, 1977), hal. 347. 28 Adam Kuper and Jessica Kuper, Encyclopedia of Social Science, cet.1 (London: London Press, 1994), hal 57.
21
Namun demikian, walaupun otonomi itu sebagai self
government, self sufficiency dan actual independency,
keotonomian tersebut tetap berada pada batas yang tidak
melampaui wewenang pemerintah pusat yang menyerahkan urusan
kepada daerah.29
Sedangkan mengutip pengertian otonomi daerah yang
dikemukakan oleh Logemann, yaitu :
“Kebebasan bergerak yang diberikan kepada daerah otonom berarti memberi kesempatan kepadanya untuk mengurus kepentingan (penduduk); pemerintahan yang demikian itu dinamakan otonomi.”30
Maka pada hakikatnya yang disebut dengan otonomi
daerah adalah :
1. Hak mengurus rumah tangga sendiri bagi suatu daerah
otonom hak tersebut bersumber dari wewenang pangkal dan urusan-urusan Pemerintah (pusat) yang diserahkan kepada daerah.
2. Dalam kebebasan menjalankan hak mengurus dan mengatur rumah tangga sendiri daerah tidak dapat menjalankan hak dan wewenang otonominya itu diluar batas-batas wilayah daerahnya.
3. Daerah tidak boleh mencampuri hak mengatur dan mengurus rumah tangga daerah lain sesuai dengan
29 Sarundajang, S.H., Arus Balik Kekuasaan Pusat ke Daerah, cet.1, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1999), hal 34. 30 Logemann, het staatsrechts der zelfregerende gemeenschappen, dalam Ateng Syafrudin, Pasang Surut Otonomi Daerah, (Jakarta: Bina Aksara, 1985), hal 23
22
wewenang pangkal dan urusan yang diserahkan kepadanya.
4. Otonomi tidak membawahi otonomi daerah lain, hak mengatur dan mengurus rumah tangga sendiri tidak merupakan subordinasi hak mengatur dan mengurus rumah tangga daerah lain.31
Indonesia sebagai sebuah negara kesatuan menerapkan
kebijakan otonomi daerah. Pengertian otonomi daerah dalam
konteks ke-Indonesia-an diatur dalam UU. Dan menurut UU
nomor 22 tahun 1999 sebagai UU terbaru yang mengatur
kebijakan otonomi daerah di Indonesia pengertian otonomi
daerah adalah
“...kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.”32
Dalam pengertian tentang otonomi daerah diatas disebutkan
bahwa otonomi daerah dilaksanakan pada daerah otonom. Yang
disebut dengan daerah otonom adalah kesatuan masyarakat
hukum yang mempunyai daerah batas tertentu berwenang
mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat
menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat
31 Sarundajang, S.H, Op.Cit., hal 34 32 Indonesia(B), pasal 1 huruf h
23
dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia.33 Sifat
otonom yang diberikan kepada daerah tersebut berada di
daerah propinsi, daerah kabupaten dan daerah kota.34
2. Pengertian Otonomi Khusus
Penggunaan istilah otonomi khusus di Indonesia
diperkenalkan melalui penerbitan dua Undang-Undang yaitu UU
nomor 18 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Propinsi
Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam dan UU nomor 21 tahun 2001 tentang Otonomi
Khusus bagi Propinsi Papua.
Dalam UU nomor 21 tahun 2001 ditegaskan bahwa yang
dimaksudkan dengan otonomi khusus adalah
“...kewenangan khusus yang diakui dan diberikan kepada provinsi Papua untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi dan hak-hak dasar masyarakat Papua.”35
Berbeda dengan UU nomor 21 tahun 2001, apa yang dimaksudkan
otonomi khusus dalam UU nomor 18 tahun 2001 tidak
33 Ibid., pasal 1 huruf i 34 Ibid., pasal 2 ayat (1) 35 Indonesia(E), Undang-Undang tentang Otonomi Khusus bagi Propinsi Papua, UU no. 21 tahun 2001, LN. No.135, TLN. No.4151, pasal 1 huruf b
24
secara tegas disebutkan. Yang dimaksud dengan
otonomi khusus dalam UU nomor 18 tahun 2001
diperoleh dalam penjelasan umum UU nomor 18 tahun
2001, yang menyebutkan
“... Undang-Undang ini pada prinsipnya mengatur kewenangan di propinsi Daerah Istimewa Aceh yang merupakan kekhususan dari kewenangan pemerintahan daerah, selain sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang no.22 tahun 1999 tentang pemerintahan Daerah dan Undang-Undang no. 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah.”36
Pengertian otonomi khusus yang dimaksudkan UU nomor
18 tahun 2001 dapat diperoleh intisarinya dengan melihat UU
lain yang berkaitan erat dengan lahirnya UU nomor 18 tahun
2001 yaitu UU nomor 44 tahun 1999. Dengan merunut pada
pasal 3 ayat (1) UU nomor 18 tahun 2001 jo. Pasal 1 angka 8
UU nomor 44 tahun 1999 dapat diketahui bahwa yang
dimaksudkan dengan otonomi khusus adalah penyelenggaraan
keistimewaan yang diberikan kepada provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam. Pasal 3 ayat (1) UU nomor 18 tahun 2001
menyebutkan bahwa “kewenangan Provinsi Nanggroe Aceh
36 Indonesia (D), Op.Cit., penjelasan umum
25
Darussalam yang diatur dalam Undang-Undang ini adalah dalam
rangka pelaksanaan otonomi khusus”.37
Dan penyelenggaraan otonomi khusus yang diatur dalam UU
nomor 18 tahun 2001 adalah dalam rangka
pelaksanaan keistimewaan yang dimiliki provinsi
NAD sehingga pada pasal 1 angka 8 UU nomor 44
tahun 1999 menyebutkan bahwa pengertian
keistimewaan adalah kewenangan khusus untuk
menyelenggarakan kehidupan beragama, adat,
pendidikan dan peran ulama dalam penetapan
kebijakan daerah.38
Pada Rancangan Undang-Undang (RUU) pembentukan otonomi
khusus bagi provinsi Aceh baik yang diajukan oleh
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) melalui hak usul
inisiatifnya maupun RUU dari pemerintah terdapat
klausula yang menunjukkan pengertian tentang
otonomi khusus. Dan penting untuk dicatat disini
sebagai bahan perbandingan dan pertimbangan
mengenai apa yang dimaksud otonomi khusus menurut
masing-masing RUU tersebut. RUU atas usul
37 Ibid., pasal 3 ayat (1) 38 Indonesia (C), Op.Cit., pasal 1 angka 8
26
inisiatif DPR yang berjudul RUU tentang Otonomi
Khusus bagi Propinsi Daerah Istimewa Aceh dalam
Bentuk Nanggroe Aceh Darussalam mengemukakan
pengertian otonomi khusus, yaitu :
“Yang dimaksud otonomi khusus dalam bentuk Nanggroe Aceh Darussalam adalah keleluasaan bagi pemerintah Nanggroe Aceh untuk menyelenggarakan semua bidang kewenangan pemerintahan yang telah ditetapkan dalam Undang-Undang ini dan memikul tanggung jawab sebagai konsekuensi adanya hak dan kewajiban tersebut diatas.”39
Sedangkan menurut RUU yang diajukan oleh
pemerintah pengertian otonomi khusus adalah
“...pemberian sebagian kewenangan pemerintahan diluar kewenangan pemerintahan yang diatur dalam Undang-Undang no. 22 tahun 1999 dan Undang-Undang no. 25 tahun 1999 yang meliputi : penyelenggaraan kehidupan beragama, penyelenggaraan kehidupan adat, penyelenggaraan pendidikan dan peran ulama dalam penetapan kebijakan daerah; kewenangan bidang peradilan perdata Islam dan pengelolaan sumber-sumber penerimaan daerah serta kesempatan kepemilikian sebagian saham BUMN yang beroperasi dan berdomisili di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam.”40
39 terdapat dalam penjelasan umum angka 8 RUU tentang Otonomi Khusus bagi Propinsi Daerah Istimewa Aceh dalam Bentuk Nanggroe Aceh Darussalam, atas hak usul inisiatif DPR yang ditandatangani oleh 86 anggota DPR periode 1999-2004. Kutipan ini diambil dari risalah sidang panitia khusus (pansus) pembentukan RUU tentang otonomi khusus bagi propinsi Nanggroe Aceh Darussalam. 40 Terdapat dalam pasal 1 angka 11 RUU tentang Otonomi Khusus Propinsi Daerah Istimewa Aceh, yang diajukan oleh pemerintah. Kutipan ini juga diambil dari risalah sidang panitia khusus (pansus) pembentukan RUU tentang otonomi khusus bagi propinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
27
Jadi otonomi khusus sesungguhnya adalah pemberian
kewenangan kepada suatu daerah yang lebih
dibandingkan daerah-daerah lainnya di Indonesia,
dimana kewenangan yang lebih tersebut melampaui
batasan-batasan kewenangan yang telah ditetapkan
pada pasal 7 UU nomor 22 tahun 1999. Seperti
contohnya pada bidang peradilan, pada kedua UU
tersebut menetapkan bahwa baik Papua maupun
Nanggroe Aceh Darussalam diperkenankan untuk
membentuk badan peradilan sendiri, padahal bidang
peradilan adalah salah satu kewenangan atau
urusan pemerintah pusat seperti yang tercantum
pada pasal 7 UU nomor 22 tahun 1999. Untuk
Provinsi Papua badan peradilan tersebut disebut
Pengadilan Adat41 sedangkan untuk Provinsi
Nanggroe Aceh Darussalam badan peradilan tersebut
disebut dengan Mahkamah Syar’iyah.42
41 diatur dalam bab XIV pasal 50 dan pasal 51 UU nomor 21 tahun 2001. 42 pengaturan mengenai mahkamah syar’iyah terdapat pada bab XII (pasal 25 dan pasal 26) UU nomor 18 tahun 2001 dan pembahasan mengenai mahkamah syar’iyah akan dituangkan secara panjang lebar pada bab V mengenai problematika yang muncul dalam penerapan wewenang khusus Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam dengan konsep negara kesatuan.
28
Praktek pemberian otonomi khusus kepada suatu daerah yang
diterapkan sebagai salah satu kebijakan
pemerintah memiliki kesamaan pengertian dan
praktek penerapannya dengan apa yang disebut
devolution di Inggris. Dalam prakteknya Inggris
(United Kingdom) menerapkan devolution pada
Skotlandia, Wales dan Irlandia Utara. Pengertian
devolution itu sendiri adalah
“Devolution is the process by which certain legislative and executive powers are shifted from the British Parliament to representative bodies in Scotland, Wales, and Northern Ireland, which together with England form the United Kingdom. The powers shifted pertain to issues such as education, taxation, and housing policy.”43
3. Pengertian Federalisme
Isu mengenai federalisme di Indonesia begitu mencuat
seiring dengan dikeluarkannya kebijakan mengenai
otonomi daerah, oleh karena itu pada bagian ini
pun akan dibahas mengenai pengertian federalisme
sebagai bahan perbandingan dan memberikan
43 Roger Griffin, professor of modern history at Oxford Brookes University in Oxford, England, dalam Microsoft Encarta Reference Library 2003. Pembahasan mengenai konsep devolution akan dibahas lebih lanjut pada bab III tentang penerapan otonomi khusus pada negara lain dalam hal ini mengambil contoh dari Inggris.
29
batasan-batasan yang jelas antara federalisme dan
otonomi daerah terlebih lagi dengan otonomi
khusus yang memberi kewenangan yang begitu besar
bagi daerah.
Menurut K.C Wheare pengertian asas-asas federal adalah
“... by the federal principle, I mean the method of dividing powers so that the general and regional government are each within a sphere coordinate and independent.”44
Dan definisi lainnya mengenai federalisme yang
diungkapkan oleh Robert K. Carr adalah
“... the division of political power between a central government, with authority over the entire nation, and a series of local governments which individually include only limited portions of a country but which collectively cover the entire area. Each of these two kinds of government must be more or less independent of the other in a true federal system. Neither may be dependent upon the other for its continued possession of power.”45
Menurut C.F Strong karakter khusus yang dimiliki oleh
negara federal adalah adanya pembagian kekuasaan
44 K.C. Wheare, Federal Government, dalam Ismail Sunny, Pergeseran Kekuasaan Eksekutif, cet. VI, (Jakarta: Aksara Baru, 1986), hal 78. 45 Robert K. Carr et.al, American Democracy in Theory and Practice, 3rd edition, (New York: Holt Reinhart and Winston, 1961), hal. 74.
30
antara negara federal dengan negara bagian dengan
memperhatikan lingkup kepentingan, kewenangan dan
kemampuan dari negara federal atau negara bagian
untuk melaksanakan urusan/ kewenangan tersebut.
“Whatever concerns the nation as a whole is placed in the care of the national or federal authority; Whatever concerns the states individually, and is not of vital moment to the common interest, is placed under the control of the government of the states. This division of power, however it may, in the various federations of the modern world, be carried out in the detail, is the essential characteristic of the federal state.”46
Adanya kesamaan mengenai pembagian kewenangan antara negara
federal dengan negara bagian dalam federalisme
dan penyerahan kewenangan antara pemerintah pusat
kepada pemerintah daerah dalam otonomi daerah
mengakibatkan batasan antara keduanya menjadi
sangat tipis. Akan tetapi dalam negara kesatuan
terhadap kekuasaan pemerintah pusat tidak ada
persoalan yang berkenaan dengan pembatasan-
pembatasan oleh daerah otonom. Walaupun kepada
bagian-bagian negara diberikan otonomi yang luas,
46 C.F. Strong, Op.cit., hal 100
31
daerah otonom tadi sama sekali tidak mempunyai
kewenangan apalagi kekuasaan untuk mengurangi
kekuasaan pemerintahan pusat, dapat, bahkan saja
mengatur, akan tetapi juga menentukan
sampai seberapa luaskah wewenang yang diberikan
kepada daerah otonom.47
Dari sisi lain dapat dilihat perbedaan antara keduanya,
yaitu dalam hal kedaulatan yang dimiliki. Yang
dimaksudkan dengan kedaulatan disini adalah
konsep mengenai kekuasaan tertinggi.
Pengertiannya dapat bersifat eksternal, dalam
hubungan antara suatu negara dengan negara lain,
dan dapat pula bersifat internal antara negara
dengan rakyatnya.48 Pengertian kedaulatan yang
bersifat eksternal maupun internal akan
dipergunakan dalam pembahasan otonomi daerah ini.
Dengan alasan bahwa kebijakan mengenai otonomi
daerah berpengaruh dalam hubungan antara negara
47 Sri Soemantri Martosoewignjo, Pengantar Perbandingan antar Hukum Tata Negara, cet.2, (Jakarta: Penerbit Rajawali, 1981), hal 52. 48 Jimly Ashiddiqie, Gagasan Kedaulatan Rakyat dalam Konstitusi dan Pelaksanaannya di Indonesia, cet. I, (Jakarta : PT Ichtiar Baru van Hoeve, 1994), hal.22. Lihat juga C.F Strong, Op.Cit., hal 80-81.
32
dengan rakyatnya sebagai upaya menuju
demokratisasi dalam negara kesatuan yang berarti
bahwa hubungan tersebut menyangkut masalah
kedaulatan dalam sifat internalnya. Sedangkan
berkaitan dengan kedaulatan yang bersifat
eksternal, meskipun hal ini memiliki perspektif
hukum internasional,49 namun dalam pembahasan
otonomi daerah kedaulatan yang bersifat eksternal
pun sangat terkait dengan melihat sejauh mana
daerah dalam negara kesatuan dapat melakukan
hubungan dengan luar negeri, misalnya dalam hal
pinjaman luar negeri.
Perbedaan antara negara kesatuan dengan negara federal
adalah
“Dalam Negara Kesatuan, kita bicara tentang satu negara berdaulat dengan satu konstitusi, sedangkan dalam federasi ataupun konfederasi kita bicara tentang banyak negara, yang membutuhkan konstitusi ataupun 'konstitusi' sendiri-sendiri. Dalam konstitusi negara kesatuan, ditentukan batas-batas wewenang dan kekuasaan pemerintah daerah, sedangkan kekuasaan yang tidak diatur dianggap sebagai kekuasaan milik pusat (residu power). Sebaliknya, dalam konstitusi negara federal, yang diatur adalah batas-batas kewenangan pusat (federal). Sisanya (residu power) dianggap sebagai milik daerah (negara bagian).”50
49 Ibid.
50 Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H, Mempertimbangkan Perubahan
Ke Arah Bentuk Negara Persatuan Republik Indonesia, Disampaikan pada
33
Dalam otonomi daerah, walaupun daerah diberikan
kewenangan untuk mengatur urusan pemerintahan
namun hanya ada satu kedaulatan dalam negara
kesatuan dan kedaulatan tersebut tetap dipegang
oleh pemerintah pusat. Istilahnya dalam negara
kesatuan, tidak ada negara dalam negara.
Sedangkan dalam konsep federalisme, mengambil
intisari dari pengertian federalisme yang
diberikan oleh para sarjana hukum sebagaimana
telah dikutip diatas, bahwa di negara federal
terdapat pembagian kewenangan antara negara
bagian dengan negara federal dengan kedaulatan
tetap dipegang oleh masing-masing daerah. Artinya
baik negara bagian maupun negara federal memiliki
kedaulatannya masing-masing, dan hal ini dijamin
dalam konstitusi negara federal. Seperti yang
diungkapkan oleh C.F Strong mengenai tujuan dari
konstitusi sebuah negara federal, yaitu :
Simposium Hukum 2000 ILUNI-FH, “Masalah Keadilan Sosial dan Disintegrasi Bangsa,” Reog Room, Hotel Indonesia, 4 Maret 2000.
34
“It is obvious, therefore, that a federal constitustion attempts to reconcile the apparently irreconciliable claims of national souvereignty and state souvereignty.”51
B. LANDASAN KONSTITUSIONAL PENERAPAN OTONOMI KHUSUS
Di Indonesia pernah berlaku tiga naskah konstitusi
dengan satu naskah konstitusi yang telah mengalami
perubahan. Konstitusi-konstitusi yang pernah berlaku di
Indonesia yaitu Undang-Undang Dasar tahun 1945 (UUD 1945)52,
Konstitusi Republik Indonesia Serikat tahun 1949
(Konstitusi RIS)53 dan Undang-Undang Dasar Sementara tahun
1950 (UUDS 1950)54 serta terakhir yang saat ini berlaku
adalah UUD 1945 yang telah diamandemen. Berdasarkan ke-
empat Konstitusi yang berlaku dan pernah berlaku di
Indonesia tersebut diadakan klasifikasi untuk melihat
landasan konstitusional kebijakan penerapan otonomi khusus
51 Ibid., hal 99 52 UUD ini pertama kali diundangkan dalam Berita Repoeblik, Tahoen II No. 7, Percetakan Republik Indonesia, tanggal 15 Februari 1946. Bandingkan dengan LN-RI 1959 No. 75 53 Diberlakukan dengan Keputusan Presiden RIS No. 48 tahun 1950, tertanggal 31 Januari 1950. LN tahun 1950 No.3, diumumkan tanggal 6 Februari 1950. 54 Diberlakukan sejak tanggal 15 Agustus 1950 dengan UU No. 7/1950, LN.1950 No.56. TLN No. 37, sampai dikeluarkannya Keputusan Presiden No. 150/1959 mengenai Dekrit Presiden 5 Juli 1959. LN-RI 1959 No.75, yang menetapkan berlakunya kembali UUD 1945. Bandingkan dengan Kementrian Penerangan RI., Kembali ke Undang-Undang Dasar 1945, Penerbitan chusus No. 48; juga Muhammad Yamin, Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945, Jilid III, Jakarta: Jajasan Prapantja, 1960, hal 86-87.
35
yang dikeluarkan oleh pemerintah berdasarkan Konstitusi-
Konstitusi tersebut. Urutan pengklasifikasian tidak
berdasarkan urutan waktu berlakunya konstitusi tersebut
namun melihat pada substansi pengaturan yang disebutkan
dalam konstitusi mengenai Otonomi khusus. Serta untuk lebih
mempermudah perbandingan UUD 1945 dan UUD 1945 sesudah
amandemen akan dibahas berurutan.
1. Konstitusi RIS
Sesuai dengan nama konstitusi sebagai Konstitusi Republik Indonesia Serikat maka bentuk negara Indonesia berdasarkan Konstitusi RIS adalah Negara Serikat atau negara Federal. Seperti yang disebutkan secara jelas pada pasal 1 ayat (1) Konstitusi RIS :
“Republik Indonesia Serikat yang merdeka dan berdaulat ialah suatu negara hukum yang demokrasi dan berbentuk federasi.”55
Konsekuensi sebagai sebuah negara federasi adalah bahwa pembagian daerah-daerah di Indonesia adalah sebagai suatu negara bagian yang memiliki kedaulatan. Akan berbeda pengaturannya dalam sebuah negara kesatuan yang menerapkan otonomi daerah sebagai kebijakan pemerintah pusat yang menyerahkan sebagian kewenangannya kepada daerah.
Akan tetapi dalam Konstitusi RIS tetap diatur mengenai pemberian jaminan hak atas kehidupan rakyat sendiri yang berarti adalah hak otonomi dalam lingkungan
pemerintahan di daerah. Dalam pasal 47 lebih lanjut dijabarkan bahwa
“Peraturan-peraturan ketatanegaraan negara-negara haruslah menjamin hak atas kehidupan rakyat sendiri
55 Indonesia, Konstitusi RIS, pasal 1 ayat (1).
36
kepada pelbagai persekutuan rakyat didalam lingkungan daerah mereka itu dan harus pula mengadakan kemungkinan untuk mewujudkan hal itu secara kenegaraan dengan aturan-aturan tentang penyusunan persekutuan itu secara demokrasi dalam daerah-daerah otonomi.”56
Konstitusi RIS hanya berlaku dalam tempo yang sangat singkat yaitu sekitar enam setengah bulan (mulai awal Februari 1950 hingga pertengahan Agustus 1950) sehingga peraturan-peraturan pelaksana yang berlandaskan Konstitusi RIS terutama berkaitan dengan pemerintahan daerah atau lebih khusus lagi mengenai penerapan otonomi khusus tidak ada.
2. UUDS 1950
Landasan konstitusional mengenai pemerintahan daerah
dengan pemberian otonomi kepada daerah dalam UUDS 1950
disebutkan dalam pasal 131 yaitu :
Pasal 131
(1) Pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan daerah kecil yang berhak mengurus rumah tangganya sendiri (otonom), dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan Undang-Undang, dengan memandang dan mengingati dasar permusyawaratan dan dasar perwakilan sistem pemerintahan negara.
(2) Kepada daerah-daerah diberikan otonomi seluas-luasnya untuk mengurus rumah tangganya sendiri.
(3) Dengan Undang-Undang dapat diserahkan penyelengaraan tugas-tugas kepada daerah-daerah yang tidak termasuk dalam urusan rumah-tangganya.
Berkaitan dengan penerapan kebijakan otonomi khusus, UUDS 1950 secara gamblang
memberi landasan konstitusional atas kebijakan tersebut dengan menyebut daerah-daerah yang memiliki otonomi khusus dengan daerah
56 Ibid, pasal 47
37
swapraja. Secara lengkap isi UUDS 1950 yang memberi landasan otonomi khusus itu berbunyi
Pasal 13257
(1) Kedudukan daerah-daerah swapraja diatur dengan Undang-Undang dengan ketentuan bahwa dalam bentuk susunan pemerintahannya harus diingat pula ketentuan pasal 131, dasar-dasar permusyawaratan dan perwakilan dalam sistem pemerintahan negara.
(2) Daerah-daerah swapraja yang ada tidak dapat dihapuskan atau diperkecil-bertentangan dengan kehendaknya, kecuali untuk kepentingan umum dan sesudah Undang-Undang yang menyatakan bahwa kepentingan umum menuntut penghapusan atau pengecualian itu, memberi kuasa untuk itu kepada pemerintah.
(3) Perselisihan-perselisihan hukum tentang peraturan-peraturan yang dimaksud dalam ayat (1) dan tentang menjalankannya diadili oleh badan pengadilan yang dimaksud dalam pasal 108.
Peraturan perundang-undangan sebagai pelaksanaan dari
pemberian otonomi khusus oleh UUDS 1950 telah diterbitkan
oleh pemerintah salah satunya adalah UU nomor 24 tahun
1956, pembahasan lebih lanjut mengenai penerapan kebijakan
otonomi daerah berdasarkan UUDS 1950 akan dituangkan dalam
57 Pasal 132 menetapkan 2 garis bagi swapraja yaitu supaya memperkecil jumlahnya yang banyaknya dizaman kolonial sebelum perang dunia adalah lebih dari 300 buah di seluruh Indonesia, dan kedua memajukan demokrasi dalam sistem pemerintahan negaranya. Carnya memperkecil jumlah itu ialah dengan menghapuskan atau memperkecil daerahnya oleh pemerintah menurut kehendak swapraja yang bersangkutan dan untuk kepentingan umum menurut UU. Jalan demokratis ini memberikan kuasa pada pemerintah untuk menghapuskan atau memperkecil daerah swapraja yang memang masih besar jumlahnya itu. Mengatur daerah-daerah swapraja dilakukan dengan UU dan tidak lagi dengan kontrak. Lihat Muhammmad Yamin, Proklamasi dan Konstitusi Republik Indonesia, cet.6 (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1982), hal 146.
38
subbab mengenai penerapan otonomi khusus dalam negara
kesatuan Indonesia dibawah pemerintahan Soekarno.
Daerah-daerah Swapraja yang disebutkan oleh pasal 132
UUDS 1950 adalah memiliki kesamaan pengertian atau maksud
dengan apa yang disebut “Zelfbesturende Landschappen” dalam
UUD 1945 yang akan dibahas dibawah ini.
3. UUD 1945
Didalam UUD 1945 tidak disebutkan secara tegas
mengenai dasar untuk penerapan kebijakan otonomi daerah.
UUD 1945 hanya memberikan gambaran yang masih teramat luas
mengenai konsep pemerintahan daerah, yaitu :
“Pembagian Daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil dengan bentuk dan susunan pemerintahannya ditetapkan dengan Undang-undang, dengan memandang dan mengingati dasar permusyawaratan dalam sistem Pemerintah Negara, dan hak-hak asal usul dalam Daerah-daerah yang bersifat Istimewa.”58
58 Indonesia, Undang-Undang Dasar 1945, pasal 18. Pada dasarnya pasal 18 UUD 1945
menghendaki adanya areal division of power. Lihat Bhenyamin Hoessein, “Perimbangan Keuangan Antara Negara dan Daerah Otonom dalam Rangka Memperkokoh Integrasi Nasional”, makalah disampaikan pada seminar hukum nasional ke VII diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional, Jakarta, 12-15 Oktober 1999. Mengenai areal division of power, Arthur Maas mengungkapkan bahwa sekurang-kurangnya ada 3 elemen yang menandakan terselenggaranya areal division of power dalam negara kesatuan pertama, terdapatnya pembagian wilayah dalam teritorial nasional. Kedua, dalam setiap wilayah tersebut berlangsung otonomi daerah. Ketiga, penyelenggaraan otonomi daerah dilakukan oleh institusi-institusi politik yang direkrut secara deokratis yang berakar dari wilayah tersebut dan bukan oleh wakil-wakil dari pemerintah pusat. Lihat Arthur Maas, Area and Power: a Theory of Local Government, (Illinois: the Free Press, 1959).
39
Gambaran yang teramat luas mengenai pemerintahan daerah ini
menimbulkan permasalahan berkaitan dengan interpretasi yang
diberikan terhadap pasal tersebut untuk menjabarkan
kebijakan otonomi daerah, serta sejauh mana batasan-batasan
yang harus diberikan dalam memberikan kewenangan kepada
pemerintah daerah. Pada akhirnya interpretasi terhadap
pasal 18 UUD 1945 tersebut diberikan menurut kepentingan
dari pemerintahan yang pada saat itu berkuasa. Sehingga
berdasarkan interpretasi dari masing-masing pemerintahan
yang berkuasa pada saat itu tak ayal muncul perbedaan-
perbedaan yang signifikan dalam pemberian otonomi daerah,
ada pemerintahan yang memberikan otonomi begitu luas namun
ada pula pemerintahan yang memberikan otonomi sebagai
retorika belaka karena pada hakikatnya pemerintahan pada
saat itu adalah sangat sentralistik. Perbedaan ini terlihat
dari peraturan perundang-undangan yang diterbitkan oleh
masing-masing pemerintahan yang sama-sama bersumber pada
pasal 18 UUD 1945. Contoh dan pembahasan mengenai penerapan
kebijakan otonomi daerah di Indonesia akan dijabarkan pada
subbab selanjutnya.
Walaupun pengaturan tentang penyelenggaraan otonomi daerah
tidak disebutkan dengan jelas dalam pasal 18 UUD
40
1945, namun UUD 1945 adalah sebuah konstitusi
yang unik karena memiliki penjelasan sebagai
bagian yang tidak terpisahkan dari UUD tersebut.
Dalam penjelasan pasal 18 UUD 1945 yang diberikan
oleh Prof. Soepomo disebutkan
I. Oleh karena negara Indonesia adalah suatu
“eenheidsstaat” maka Indonesia tak akan mempunyai daerah didalam lingkungannya yang bersifat “staat” juga. Daerah di Indonesia akan dibagi dalam daerah propinsi, dan daerah propinsi akan dibagi pula dalam daerah yang lebih kecil. Di daerah-daerah yang besifat autonom (streek dan locale rechtsgemeenschappen) atau bersifat daerah administratif belaka, semuanya akan ditetapkan dengan Undang-Undang. Di daerah-daerah yang bersifat otonom akan diadakan badan perwakilan daerah oleh karena di daerah pun, pemerintahan akan bersendi atas dasar permusyawaratan.
II. Dalam territoir negara Indonesia terdapat +/- 250 “zelfbesturende landschappen” dan volksgemeenschappen seperti desa di Jawa dan Bali, negeri di Minangkabau, dusun dan marga di Palembang dan sebagainya. Daerah-daerah itu mempunyai susunan asli, dan oleh karenanya dapat dianggap sebagai daerah yang bersifat istimewa. Negara Republik Indonesia menghormati kedudukan daerah-daerah istimewa tersebut dan segala peraturan negara yang mengenai daerah itu akan mengingati hak-hak asal usul daerah tersebut.59
59 Ibid., penjelasan pasal 18
41
Jadi pembahasan mengenai otonomi daerah pada UUD 1945
diatur lebih lanjut pada penjelasan. Lebih khusus lagi
dalam penjelasan pasal 18 UUD 1945 juga menyebutkan dan
mengakui keberadaan dari zelfbesturende landschappen
sebagai suatu daerah Istimewa karena hak-hak asal-usul dari
daerah tersebut. Dalam UUDS 1950 zelfbesturende
landschappen disebut dengan istilah daerah swapraja. Dalam
Sidang Pertama Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia pada
tanggal 18 Agustus 1945, Prof. Soepomo memberikan
keterangan mengenai kedudukan dan maksud dari
Zelfbesturende Landschappen, yaitu :
“Dan adanya daerah-daerah Istimewa diindahkan dan dihormati, Kooti-Kooti, sultanat-Sultanat tetap ada dan dihormati susunannya yang asli, akan tetapi itu keadaannya sebagai daerah, bukan negar; jangan sampai ada salah faham dalam menghormati adanya daerah “Zelfbesturende Landschappen”, itu bukan negara, sebab hanya ada satu negara. Jadi “Zelfbesturende Landschappen”, hanyalah daerah saja, tetapi daerah istimewa yaitu yang mempunyai sifat istimewa. Jadi daerah-daerah istimewa itu suatu bagian dari Staat Indonesia, tetapi mempunyai sifat istimewa, mempunyai susunan asli.”60
60 Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), cet.II edisi ke-3 (Jakarta: Sekretariat Negara Republik Indonesia, 1995), hal. 424
42
UU nomor 22 tahun 1948 menjelaskan bahwa yang
dimaksud dengan “daerah yang mempunyai hak asal usul dan
dizaman sebelum RI mempunyai pemerintahan sendiri yang
bersifat Istimewa” ialah yang pada zaman pemerintahan
Belanda dinamakan “Zelfbesturende Landschappen.”61
Keistimewaannya terletak pada proses pengangkatan Kepala
Daerah dan Wakilnya yang diangkat oleh Presiden RI dari
keturunan keluarga yang berkuasa didaerah itu dizaman RI
dan yang masih menguasai daerahnya, dengan syarat-syarat
kecakapan, kejujuran dan kesetiaan dan mengingat pula adat
istiadat di daerah itu.62 Bila keistimewaan daerah hanya
dilihat dari proses pengengkatan Kepala daerahnya saja maka
dari dua Daerah Istimewa yang ada (DI Aceh dan DI
Yogyakarta) hanya DI Yogyakarta yang merupakan Daerah
Istimewa yang dimaksud oleh UUD 1945. Daerah Khusus Ibukota
Jakarta, sekalipun memiliki kekhususan jika dibandingkan
dengan daerah lain juga bukan merupakan daerah istimewa
menurut UUD 1945.63 Akan tetapi pemberian status daerah
61 Indonesia (F), Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah, UU nomor 22 tahun 1948, penjelasan pasal 1 62 Ibid., pasal 18 ayat (5)
43
istimewa sesungguhnya adalah bagi daerah yang pada zaman
Hindia Belanda disebut dengan daerah swapraja atau
zelfbesturende landschappen dan sejak dulu Aceh berstatus
daerah swapraja kecuali untuk daerah Aceh Besar dan
Singkel.64
4. UUD 1945 Sesudah Amandemen (UUD Negara Kesatuan Republik
Indonesia tahun 1945)
Tahun 1998 di Indonesia terjadi pergolakan politik, sebagai
ekses dari arus perubahan atau reformasi yang
digulirkan oleh mahasiswa. Salah satu tuntutan
yang menjadi agenda reformasi pada saat itu
adalah perlu diadakannya amandemen terhadap UUD
1945. Selama berlangsungnya proses amandemen UUD
1945,65 pemerintah mengeluarkan UU nomor 22 tahun
1999 dan UU nomor 25 tahun 1999 yang teramat
strategis posisinya dalam menentukan kebijakan
mengenai pemerintahan daerah. Namun
63 Ir. Soejamto, Daerah Istimewa dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, cet. I (Jakarta: PT Bina Aksara, 1988), hal.11 64 Mr. T Muhammad Hasan, Perkembangan Swapraja di Aceh Sampai Perang Dunia II, dalam Prof. Dr. Ismail Sunny, S.H, M.C.L., Bunga Rampai Tentang Aceh, cet. I (Jakarta: Bhratara Karya Aksara, 1980, hal 136 65 UUD 1945 mengalami proses amandemen sebanyak 4 kali dalam masa 4 tahun. Proses amandemen UUD 1945 ini diadakan selama masa sidang tahunan MPR pada tahun 1999, 2000, 2001 dan terakhir tahun 2002.
44
diterbitkannya kedua UU ini masih mengacu pada
pasal 18 UUD 1945, baru kemudian MPR melakukan
amandemen terhadap pasal 18 UUD 1945 pada tahun
2000. Permasalahan yang muncul adalah bahwa kedua
UU tersebut mempengaruhi substansi perubahan
pasal 18 UUD 1945, padahal UUD adalah konstitusi
sebuah negara yang menjadi sumber hukum dinegara
tersebut, namun ternyata pembuatan sumber hukum
tersebut dipengaruhi landasan pemikirannya oleh
hukum yang berada dibawahnya.
Menarik untuk diungkapkan disini kritik Prof. Bhenyamin
Hoessein, mengenai proses amandemen terhadap
pasal 18 UUD 1945 yang dipengaruhi oleh adanya UU
nomor 22 tahun 1999.
“Tanpa sikap yang jelas terhadap judul bab VI dan penjelasan yang dibuat Soepomo, MPR RI telah mengamandemen pasal 18 UUD 1945. Dalam mengamandemen pasal 18 dirinci menjadi pasal 18, 18A dan 18B. Isi pasal 18 dan 18A jelas sangat dipengaruhi oleh UU no. 22 tahun 1999.”66
Diatas itu semua, harus pula dilihat segi
positifnya bahwa adanya perubahan pasal 18 UUD
66 Bhenyamin Hoessein, Prospek Resolusi Kebijakan dan Implementasi Otonomi Daerah dari Sudut Pandang Hukum Tata Negara, makalah dalam Jurnal Ekonomi dan Pembangunan (JEP), IX (2) 2001.
45
1945 makin mengokohkan pengaturan tentang
kebijakan otonomi daerah dibandingkan dengan
pengaturannya pada UUD 1945 sebelum diamandemen
dimana perincian pengaturannya berada pada
penjelasan yang dikemukakan oleh Prof. Soepomo.
Sedangkan penjelasan tersebut tidak memiliki
kekuatan mengikat. Makin mengokohkan pengaturan
kebijakan otonomi daerah juga memiliki makna
bahwa pemberian otonomi daerah tidak dilandasi
oleh suatu klausula yang multiinterpretatif
sehingga hanya dipergunakan oleh pemerintah
sebagai retorika belaka sebagaimana yang terjadi
pada masa orde baru (pemerintahan Soeharto).
Adapun bunyi perubahan pasal 18 UUD 1945 secara lengkap
adalah
Pasal 18
(1) Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan Undang-Undang.
(2) Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan.
46
(3) Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten dan kota memilki Dewa Perwakilan Rakyat Daerah yang anggota-anggotanya dipilih melalui pemilihan umum.
(4) Gubernur, Bupati dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintahan daerah provinsi, kabupaten dan kota dipilih secara demokratis.
(5) Pemerintah daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh Undang-Undang ditentukan sebagai urusan Pemerintahan Pusat.
(6) Pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan.
(7) Susunan dan tatacara peneyelenggaraan pemerintahan daerah diatur dalam Undang-Undang.
Pasal 18 A
(1) Hubungan wewenang antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah provinsi, kabupaten dan kota, atau antara provinsi dan kabupaten dan kota diatur dengan Undang-Undang dengan memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah.
(2) Hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah diatur dan dilaksanakan secara adil dan selaras berdasarkan Undang-Undang.
Pasal 18 B
(1) Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan Undang-Undang.
(2) Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam Undang-Undang.67
67 Indonesia, UUD Negara Kesatuan Republik Indonesia tahun 1945, pasal 18, pasal 18A, Pasal 18B
47
Berkaitan dengan pembahasan mengenai dasar hukum
penerapan kebijakan otonomi khusus didaerah pada konstitusi
Indonesia maka perubahan UUD 1945 menjabarkannya lebih
rinci dalam isi pasal 18B. Negara Indonesia mengakui dan
menghormati satuan-satuan pemerintahan di daerah yang
bersifat khusus atau istimewa. Kekhususan atau keistimewaan
daerah tersebut diatur dalam UU, seperti mengenai
pengertian otonomi khusus, urusan-urusan pemerintahan yang
lebih besar pada daerah yang memperoleh otonomi khusus
kemudian mekanisme menjalankan kewenangan khusus yang
dimiliki oleh daerah berotonomi khusus. Pasal 18B kemudian
menjadi dasar hukum untuk mengatur kekhususan atau
keistimewaan di daerah Papua dengan UU nomor 21 tahun 2001
dan di Provinsi NAD dengan UU nomor 18 tahun 2001.
C. PENERAPAN OTONOMI KHUSUS DALAM NEGARA KESATUAN REPUBLIK
INDONESIA
Pemberian otonomi adalah bagian dari kebijakan pemerintah
dalam menjalankan fungsi eksekutif. Oleh sebab
itu pembagian model penerapan otonomi daerah
dibawah ini adalah berdasarkan pemegang
48
pemerintahan tertinggi yang pernah berkuasa di
Indonesia. Dengan demikian juga dapat dilihat
perbedaan interpretasi dari masing-masing
pemegang kekuasaan pemerintahan tersebut dalam
menafsirkan konstitusi yang menjadi landasan
pemberian kebijakan otonomi daerah terutama
terhadap pasal 18 UUD 1945.
1. Pemerintahan Soekarno (1945-1966)68
Masa-masa awal kemerdekaan Indonesia masih dipenuhi dengan
pergolakan dan ketidakstabilan politik, hal ini
berdampak pada bidang ketatanegaraan. Kegiatan-
kegiatan legislasi pada masa-masa ini belum
tertib, baik dari segi
istilah maupun hirarkinya.69 Contohnya
berdasarkan Pengumuman Badan Pekerja Komite
Nasional Pusat70 pada tanggal 11 november 1945
menyebutkan
68 Penggunaan istilah ‘pemerintahan’ Soekarno dengan mengambil periode antara tahun 1945-1966 menemui hambatan yaitu bahwa Soekarno tidak sepenuhnya memegang kekuasaan pemerintahan selama periode tersebut. Hal ini dikarenakan adanya maklumat pemerintah tanggal 14 november 1945 yang mengubah kabinet presidensiil menjadi kabinet parlementer. Walaupun demikian penggunaan istilah pemerintahan Soekarno tetap digunakan mengingat figur Soekarno yang begitu kuat pada masa ini. 69 Jimly Asshidiqie, Gagasan Kedaulatan Rakyat dalam Konstitusi dan Pelaksanaannya di Indonesia., Op.Cit., hal 127.
49
“Seperti diketahui, maka dalam Undang-Undang dasar kita tidak terdapat pasal, baik yang mewajibkan maupun yang melarang para Menteri bertanggung jawab. Pada lain pihak pertanggungan jawab menteri kepada Badan Perwakilan rakyat itu, adalah suatu jalan untuk memperlakukan kedaulatan rakyat.”71
Menindaklanjuti pengumuman Komite Nasional
Indonesia Pusat dikeluarkan Maklumat Pemerintah
pada tanggal 14 November 1945 yang berakibat
kabinet presidensiil dibawah pimpinan Presiden
Soekarno meletakkan jabatan dan diganti oleh
kabinet baru dengan Sutan Syahrir sebagai Perdana
Menteri. Dengan adanya maklumat pemerintah ini
prinsip pertanggungan jawab menteri diakui,
sehingga pusat kekuasaan eksekutif bergeser dari
Presiden kepada Perdana Menteri.72
Sistem pemerintahan Indonesia berubah menjadi sistem
parlementer dengan perdana menteri menjabat
sebagai kepala pemerintahan. Adanya maklumat
tersebut adalah menyimpang dari UUD 1945 sebagai
70 Badan pekerja Komite Nasional Pusat dibentuk berdasarkan maklumat no. X tanggal 16 oktober 1945 yang diterbitkan oleh Wakil Presiden, Maklumat Wakil Presiden No. X, Berita Republik Indonesia, I, 2, hal 10. Lihat juga Ismail Sunny, Op.cit., hal 28-29 71 Pengumuman Badan Pekerja Komite Nasional Pusat No. 5, Berita Republik Indonesia, I, 1 72 Ismail Sunny,Op.cit., hal 30-31
50
kontitusi Indonesia yang berlaku pada saat itu
yang menentukan bahwa presiden memegang kekuasaan
pemerintahan.73 Sistem pemerintahan ini dalam
pelaksanaannya kurang berhasil karena
pemerintahan seorang perdana menteri selalu
mendapat guncangan dan juga terdapat beberapa
kali pengambilalihan kekuasaan oleh
presiden berdasarkan maklumat presiden.74 Dalam
periode 20 tahun (antara tahun 1945-1965)
tercatat telah terjadi 23 kali penggantian
kabinet.75 Disamping itu pada masa 1945 sampai
dengan 1965 telah terjadi 3 kali perubahan naskah
konstitusi Indonesia, UUD 1945 (1945-1949),
Konstitusi RIS (1949-1950), UUDS (1950-1959)
kemudian kembali kepada UUD 1945 berdasarkan
Dekrit Presiden 5 Juli 1959.
73 Indonesia, Undang-Undang Dasar 1945, pasal 4 ayat (1). 74 Praktek pengambilalihan kekuasaan tersebut terjadi 3 kali secara berturut-turut yaitu pada tahun 1946 berdasarkan maklumat Presiden no.1/1946 dan no. 2/1946, tahun 1947 berdasarkan maklumat Presiden no. 6/1947 dan terakhir tahun 1948 berdasarkan maklumat Presiden no. 3/1948. Lihat Jimly Asshiddiqie, Op.Cit.,hal 148. 75 Susan Finch dan Daniel S. Lev, Republic of Indonesia Cabinet, 1945-1965, dalam Jimly Asshiddiqie, Op.Cit., hal 148.
51
Ketidakstabilan situasi politik, Perubahan Konstitusi serta
ketidaktertiban kegiatan legislasi pada masa ini
berpengaruh besar pada penerapan kebijakan
otonomi daerah. Namun pada masa ini terdapat 5
peraturan perundang-undangan yang mengatur
mengenai otonomi daerah yaitu UU nomor 1 tauhn
1945, UU nomor 22 tahun 1948, UU nomor 1 tahun
1957, Penetapan Presiden (penpres) no. 6 tahun
1959 dan UU nomor 18 tahun 1965, dan terdapat
tiga peraturan perundang-undangan yang
melegitimasi pembentukan daerah otonomi khusus di
tiga daerah di Indonesia. Tiga peraturan
perundang-undangan tersebut adalah UU nomor 3
tahun 1950 untuk Daerah Istimewa Yogyakarta,76 UU
nomor 24 tahun 1956 untuk Daerah Istimewa Aceh77
dan Daerah Khusus Ibukota Jakarta Raya melalui
penpres nomor 2 tahun 1961.78
76 Pengaturan untuk mengurus rumahtangganya sendiri juga dijabarkan pada Undang-undang No. 1 tahun 1957.
77 mendapatkan predikat ‘Istimewa’ dan bentuk kewenangan khusus
yang dimilikinya diatur dengan Keputusan Perdana Menteri Republik Indonesia No. I/Missi/1959.
78 Undang-undang No. 10 tahun 1964 menyebut Daerah Khusus Ibukota
Jakarta Raya dengan ‘Jakarta’. Lihat juga footnote no. 12
52
UU nomor 1 tahun 1945 adalah UU pertama tentang
pemerintahan Daerah yang dimiliki Indonesia sejak
proklamasi kemerdekaan. UU nomor 1 tahun 1945
sangat singkat dan sederhana, hanya memuat enam
(6) pasal. UU ini berisi mengenai ketentuan
pembentukan dan fungsi Komite Nasional daerah
(KND). KND menjadi Badan Perwakilan Rakyat
Daerah, yang bersama-sama dengan dan dipimpin
oleh Kepala Daerah menjalankan pekerjaan mengatur
rumah tangga daerah dan/atau menjalankan
pemerintahan sehari-hari didaerahnya.79 Dalam UU
ini telah diakui adanya pemerintahan didaerah
berotonomi khusus sehingga didaerah ini tidak
membutuhkan pembentukan KND. Daerah berotonomi
khusus yang dimaksud dalam UU ini adalah
Yogyakarta dan Surakarta, karena di kedua daerah
ini telah ada pemerintahan yang bersifat
kesultanan namun tidak terlepas dari negara
kesatuan Republik Indonesia. Pemerintahan daerah
yang bersifat kesultanan di Yogyakarta dan
79 pasal 2 dan pasal 3 UU nomor 1 tahun 1945 tentang Kedudukan Komite Nasional Daerah.
53
Surakarta adalah bukti dari adanya otonomi khusus
yang diberikan pemerintah pusat kepada daerah
tersebut. Pasal 1 UU nomor 1 tahun 1945
menentukan
“Komite Nasional Daerah diadakan (kecuali didaerah Surakarta dan Yogyakarta) di Karesidenan, Kota berautonomi, Kabupaten dan lain-lain daerah yang dianggap perlu oleh Menteri Dalam Negeri.”80
Karena sifatnya yang sederhana, yang dibuat hanya
untuk memenuhi kebutuhan sementara UU nomor 1
tahun 1945 belum cukup representatif untuk
mengatur tentang otonomi daerah. Oleh sebab itu
Komite Nasional Pusat (KNP) pada tanggal 10 Juli
1948 menyepakati suatu UU baru tentang pemerintah
Daerah yaitu UU nomor 22 tahun 1948. Konsep
pemerintahan daerah dan pemberian otonomi daerah
pada UU nomor 22 tahun 1948 lebih paripurna
dibandingkan dengan UU nomor 1 tahun 1945. Bahkan
berdasarkan pembagian daerah dari UU ini dapat
dilihat adanya pengakuan pemerintah mengenai
penerapan otonomi khusus. Dalam pasal 1 UU nomor
80 Berita Republik Indonesia, Tahun I no.1 hal 4
54
22 tahun 1948 daerah otonom dikelompokkan menjadi
dua kelompok besar, yaitu :
a. daerah otonom biasa
b. daerah istimewa
Daerah yang diberikan otonomi khusus diberikan
predikat daerah istimewa. Pengertian daerah
istimewa dalam UU tersebut adalah “...daerah yang
mempunyai hak asal usul dizaman sebelum RI
mempunyai pemerintahan yang bersifat istimewa
(zelfbesturende landschappen).”81
Hanya saja, dalam mengimplementasikan kedua UU ini (UU
nomor 1 tahun 1945 dan UU nomor 22 tahun 1948)
mengalami hambatan-hambatan sehingga
pelaksanaannya di daerah masih sangat terbatas.
Hambatan ini timbul akibat situasi dan keadaan
negara yang tidak stabil, terutama ancaman dari
kekuasaan kolonial yang hendak mempertahankan
pemerintahan dibekas wilayah jajahan. Bahkan yang
menarik dari UU nomor 22 tahun 1948, UU ini
melalui 2 kali proses perubahan konstitusi, UUD
81 Indonesia (F), pasal 1 ayat (2)
55
1945 menjadi Konstitusi RIS kemudian konstitusi
RIS digantikan dengan UUDS 1950, dan UU nomor 22
tahun 1948 tetap berlaku selama perubahan
konstitusi tersebut melalui ketentuan peralihan
dari masing-masing konstitusi.82 Sebelum akhirnya
UU nomor 22 tahun 1948 digantikan dengan UU nomor
1 tahun 1957. Pada periode antara UU nomor 22
tahun 1948 dengan UU nomor 1 tahun 1957, terdapat
UU yang lebih khusus mengatur tentang pembentukan
dua propinsi yang diberikan otonomi khusus. UU
nomor 3 tahun 1950 mengatur tentang pembentukan
propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dengan
pengaturan kekhususan atau keistimewaan yang
dimiliki DIY diatur melalui UU nomor 1 tahun
1957. Kemudian UU nomor 24 tahun 1956 yang
82 ketentuan peralihan dari masing-masing konstitusi itu menyebutkan : pasal 192 Konstitusi RIS : “Peraturan-peraturan Undang-Undang dan ketentuan-ketentuan tata usaha yang sudah ada pada saat konstitusi ini mulai berlaku, tetap berlaku dengan tidak berubah sebagai peraturan-peraturan dan ketentuan-ketentuan Republik Indonesia Serikat sendiri, selama dan sekedar peraturan-peraturan dan ketentuan-ketentuan itu tidak dicabut, ditambah, atau diubah oleh Undang-Undang dan ketentuan-ketentuan tata usaha atas kuasa konstitusi ini.” Pasal 142 UUDS 1950 : “Peraturan-peraturan Undang-Undang dan ketentuan-ketentuan tata usaha yang sudah ada pada tanggal 17 Agustus 1950, tetap berlaku dengan tidak berubah sebagai peratuaran-peraturan dan ketentuan-ketentuan Republik Indonesia, selama dan sekedar peraturan-peraturan dan ketentuan-ketentuan itu tidak dicabut, ditambah, atau diubah oleh Undang-Undang dan ketentuan-ketentuan tata usaha atas kuasa Undang-Undang Dasar ini.”
56
mengatur tentang pembentukan provinsi Aceh dengan
pengaturan kekhususan atau keistimewaan yang
dimiliki Aceh diatur dengan Keputusan Perdana
Menteri nomor I/missi/1959.
UU nomor 1 tahun 195783 bersumber pada UUDS 1950. Jaminan
yang diberikan UU nomor 1 tahun 1957 tidak
berbeda dengan UU nomor 22 tahun 1948 yaitu dapat
ditemukan pada pembagian daerah. Pasal 2 ayat (1)
UU nomor 1 tahun 1957 menetapkan bahwa wilayah RI
dibagi atas daerah ‘besar’ dan ‘kecil’ yang
berhak mengurus rumah tangganya sendiri. Istilah
‘daerah’ pada UU ini digunakan sebagai istilah
teknis yang berarti satuan organisasi yang berhak
mengurus rumah tangganya sendiri. Daerah dapat
dikelompokkan menjadi dua (2) macam yaitu :
a. Daerah Swatantra, satuan wilayah RI yang dibentuk
menjadi daerah yang berhak mengurus rumah tangganya
sendiri.
83 Indonesia (G), Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah, UU no. 1 tahun 1957, LN no. 6, TLN No. 1143.
57
b. Daerah Istimewa, daerah swapraja yang dimaksud
dalam pasal 132 UUDS yang ditetapkan sebagai daerah
yang berhak mengatur rumah tangganya sendiri.
Adanya UU nomor 1 tahun 1957 ini masih menjamin
adanya otonomi khusus yang diberikan pada daerah-
daerah istimewa, namun UU nomor 1 tahun 1957
tidak berumur lama karena pada tahun 1959 UU ini
dicabut dan digantikan oleh penetapan presiden
(penpres) nomor 6 tahun 1959.
Penpres nomor 6 tahun 195984 lahir dalam nuansa demokrasi
terpimpin, sehingga tercitrakan bahwa penpres ini
adalah alat pemerintah pusat untuk mengawali era
otoritarian dan sentralisasi.85 Diterbitkannya
penpres nomor 6 tahun 1959 juga menjadi salah
satu contoh kekacauan kegiatan legislasi pada
masa ini, sebab adanya ketidakjelasan kedudukan
penetapan presiden namun pada prakteknya penpres
ini memiliki kekuatan untuk mencabut UU. Sejumlah
ide dan gagasan mengenai pemerintahan daerah pada
84 Indonesia (H), Penetapan Presiden tentang Pemerintahan di Daerah, Penpres no. 6 tahun 1959, LN No. 94, TLN No. 1843. 85 H. Syaukani, Afan Gaffar, Ryaas Rasyid, Op.Cit., hal 93-103
58
penpres ini secara keseluruhan memiliki kesamaan
dengan UU yang diterbitkan sesudahnya, yaitu UU
nomor 18 tahun 1965, karena pada dasarnya UU dan
Penpres ini lahir pada era yang sama yaitu pada
saat demokrasi terpimpin.
Dalam hal pemberian otonomi khusus, UU nomor 18 tahun
1965 masih memberikan jaminan adanya kebijakan tersebut. UU
ini mengakui adanya keistimewaan atau kekhususan yang
dimiliki tiap-tiap daerah yang berotonomi khusus. Daerah
Istimewa Yogyakarta, dengan sifat keistimewaannya yang
bersumber pada pasal 18 Undang-undang Dasar dan sebutan
Daerah Istimewa Aceh dengan keistimewaannya yang terletak
dalam suatu kebijaksanaan khusus Pemerintah Pusat terhadap
beberapa bidang urusan pemerintahan, berdasarkan pasal 88
ayat (2), berlaku terus hingga dihapuskan atau diganti
dengan peraturan-peraturan perundangan yang sah. Adapun
yang mengenai Jakarta, Pemerintah telah menetapkan status
"istimewa", bukan saja karena kedudukannya sebagai Ibukota
Negara, akan tetapi juga karena Jakarta merupakan kota
pelabuhan yang penting sekali, lagi pula karena merupakan
suatu kota teladan dan kota internasional yang mengingat
luas dan jumlah penduduknya telah tumbuh kearah suatu kota
59
metropolitis.86 Jaminan pelaksanaan otonomi khusus
disebutkan pada pasal 88 yang menyatakan :
Pasal 88
(1)Pada saat mulai berlakunya Undang-undang ini maka: a."Daerah tingkat I dan Daerah Istimewa
Yogyakarta" yang berhak mengatur dan mengurus rumah-tangganya sendiri berdasarkan Undang-undang No. 1 tahun 1957 serta Daerah Istimewa Aceh berdasarkan Keputusan Perdana Menteri Republik Indonesia No. I/Missi/1959 adalah "Propinsi" termaksud pada pasal 2 ayat (1) sub a Undang-undang ini.
b."Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta Raya" yang menurut Undang-undang No. 10 tahun 1964 disebut Jakarta adalah "Kotaraya" termaksud pada pasal 2 Undang-undang ini yang berhak mengatur dan mengurus rumah-tangganya sendiri berdasarkan Penpetapan Presiden No. 2 tahun 1961 dengan mengingat perubahan-perubahan yang timbul karena berlakunya Undang-undang ini.87
Walaupun demikian, seperti yang telah diungkapkan diatas,
bahwa UU ini lahir dalam nuansa otoritarian dan
sentralisasi, sehingga pemerintah pusat tetap ingin
memegang kendali atas adanya otonomi yang diberikan bahkan
pada satu titik akhirnya otonomi tersebut bila keadaan
telah memungkinkan harus dihapuskan.
86 Indonesia (I), Undang-Undang tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah, UU no. 18 tahun 1965, LN no. 83, TLN no. 2778, penjelasan pasal 1 dan 2. 87 Ibid, pasal 88
60
“Kecuali keistimewaan yang ada pada ketiga Daerah dimaksud diatas yaitu Daerah Khusus Ibu-Kota Jakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta dan Daerah Istimewa Aceh, status atau sifat istimewa bagi Daerah-daerah lain tidak akan diadakan lagi pada saatnya diharapkan bahwa status atau sifat istimewa bagi Yogyakarta dan Aceh akan hapus.”88
2. Pemerintahan Soeharto (1966-1998)
Setelah berhasil mengemban surat perintah 11 Maret
(supersemar) dari Presiden Soekarno, Letnan
Jenderal Soeharto kemudian memangku jabatan
presiden Republik Indonesia. Jabatan presiden ini
dikukuhkan melalui ketetapan MPRS nomor
XLIV/MPRS/1968.89 Soeharto kemudian membangun
pemerintahan yang disebut dengan orde baru. Orde
baru dijalankan atas tujuan untuk menjalankan
Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan
konsekuen. Akan tetapi secara substantif tidak
ada perbedaan antara Demokrasi Terpimpin yang
dijalankan Soekarno setelah mengeluarkan Dekrit
Presiden dengan Orde Baru karena elemen
88 Ibid, Penjelasan pasal 1 dan 2 89 Indonesia, Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara tentang Pengangkatan Pengemban Ketetapan MPRS nomor IX/MPRS/1966 sebagai Presiden Republik Indonesia, nomor XLIV/MPRS/1968. dan ketetapan MPRS nomor IX/MPRS/1966 tentang Surat Perintah Presiden/Pangti ABRI/Pemimpin Besar Revolusi/Mandataris MPRS.
61
otoritarianisme yang sangat kuat diantara
keduanya serta model penyelenggaraan negara yang
bersifat personalistik. Langkah-langkah yang
diambil sebagai titik tolak otoritarianisme pada
masa orde baru antara lain seperti pembentukan
sejumlah lembaga represif yaitu Komando Operasi
Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (KOPKAMTIB),
Operasi Khusus (Opsus), Badan Koordinasi
Intelegen Negara (BAKIN). Langkah lainnya adalah
dengan depolitisasi masyarakat melalui
pengembangan sistem massa mengambang, pemilihan
umum yang digunakan hanya untuk memperoleh
legitimasi formal, pengkebirian partai politik,
kontrol terhadap kehidupan politik yang sangat
ketat dan dominasi kalangan militer dan
birokrasi.90
Dalam hal pemerintahan daerah, pada masa awal pemerintahan
Soeharto masih menggunakan UU nomor 18 tahun
1965. Namun karena dinilai tidak lagi sesuai
dengan perkembangan zaman dan karena UU nomor 18
90 H. Syaukani, Afan Gaffar, Ryaas Rasyid, Op.Cit., hal 126-142.
62
tahun 1965 penuh dengan jargon-jargon dari
politik masa Demokrasi Terpimpin maka UU nomor 18
tahun 1965 diganti dengan UU nomor 5 tahun 1974.
Dalam konfigurasi otoritarian pada politik orde
baru, penyelenggaraan pemerintahan daerahpun
menjadi sangat tersentralisasi. Azas
dekonsentrasi lebih besar dibanding penerapan
azas desentralisasi. Pemberian otonomi daerah
adalah termasuk dalam kerangka kewajiban daerah
untuk mensukseskan pembangunan nasional.
“Jadi pada hakikatnya Otonomi Daerah itu lebih merupakan kewajiban daripada hak, yaitu kewajiban daerah untuk ikut melancarkan jalannya pembangunan sebagai sarana untuk mencapai kesejahteraan rakyat yang harus diterima dan dilaksanakan dengan penuh tanggungjawab.”91
Kebijakan mengenai otonomi khusus dengan
keberadaan daerah-daerah Istimewa tetap dijamin
dalam UU nomor 5 tahun 1974. Mengenai daerah
Istimewa Yogyakarta diatur bahwa
“Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta yang sekarang adalah Kepala Daerah dan
91 Indonesia (A), Op.Cit., penjelasan umum
63
Wakil Kepala Daerah menurut Undang-Undang ini dengan sebutan Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta dan Wakil Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta yang tidak terikat pada ketentuan masa jabatan, syarat dan cara pengangkatan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah lainnya.”92
Sedangkan untuk Daerah Istimewa Aceh disebutkan
“Meskipun Undang-Undang nomor 18 tahun 1965 telah dicabut, akan tetapi sebutan “Daerah Istimewa Aceh” masih tetap berlaku, dengan ketentuan bahwa penyelenggaraan pemerintahan di propinsi Daerah Istimewa Aceh tersebut sama dengan penyelenggaraan pemerintahan di Daerah tingkat I lainnya, dengan wewenang mengurus urusan rumah tangganya sesuai dengan Undang-Undang nomor 24 tahun 1956...”93
Kebijakan Orde Baru adalah selalu bernuansakan uniformitas
(penyeragaman), upaya untuk menyatukan daerah-
daerah di Indonesia dalam negara kesatuan adalah
melalui penyeragaman. Walaupun Aceh memiliki
sebutan Daerah Istimewa namun sebutan ini
hanyalah jargon, dalam pelaksanaannya
keistimewaan yang diberikan kepada Aceh dengan
keputusan perdana menteri nomor 1/missi/1959
dalam hal agama, peradatan dan pendidikan tak
pernah direalisir. Terlebih lagi dengan
92 Ibid., pasal 91 huruf b 93 Ibid., penjelasan pasal 93
64
dikeluarkannya UU nomor 5 tahun 1979 tentang
Pemerintahan Desa, upaya penyeragaman itu terasa
kental, seluruh satuan pemerintahan terkecil
dalam setiap daerah disamakan susunannya dengan
desa di Jawa. Padahal upaya penyeragaman yang
dilakukan UU nomor 5 tahun 1979 bertentangan
dengan jiwa pemerintahan daerah seperti yang
dijelaskan dalam penjelasan pasal 18 (II) UUD
1945 bahwa
“Dalam territoir negara Indonesia terdapat +/- 250 “zelfbesturende landschappen” dan volksgemeenschappen seperti desa di Jawa dan Bali, negeri di Minangkabau, dusun dan marga di Palembang dan sebagainya. Daerah-daerah itu mempunyai susunan asli, dan oleh karenanya dapat dianggap sebagai daerah yang bersifat istimewa. Negara Republik Indonesia menghormati kedudukan daerah-daerah istimewa tersebut dan segala peraturan negara yang mengenai daerah itu akan mengingati hak-hak asal usul daerah tersebut.”
3. Pemerintahan Habibie (1998-1999)
Pengunduran diri Soeharto pada tanggal 21 Mei 1998 sebagai
tuntutan arus reformasi secara otomatis
mengangkat Prof. DR. Ing. Bacharuddin Jusuf
Habibie, yang pada saat itu menjabat selaku Wakil
Presiden, menjadi Presiden ketiga Republik
65
Indonesia. Pada masa pemerintahannya, selama
tujuh belas bulan (antara mei 1998 sampai dengan
oktober 1999), pemerintahan Habibie menghasilkan
kurang lebih 60 UU, yang berarti dalam satu bulan
ada 3 atau 4 UU yang diterbitkan. Kebijakan
program ‘pengubahan’ legislasi ini banyak
menimbulkan kontroversi karena UU yang dihasilkan
diragukan substansinya untuk merepresentasikan
kebijakan yang diambil dan dikhawatirkan tidak
dapat diimplementasikan ditingkat bawah. UU nomor
22 tahun 1999 yang menggantikan kedudukan UU
nomor 5 tahun 1974 pun tidak lepas dari sorotan
kontroversi ini. Namun diatas itu semua UU nomor
22 tahun 1999 adalah UU yang lahir dalam era
keterbukaan dan upaya transisi Indonesia menuju
negara demokratis. Berikut ini akan dikutipkan
tabel perbandingan UU mengenai pemerintahan
daerah yang pernah berlaku di Indonesia dalam
suasana zamannya masing-masing dan indikasi
sejauhmana otonomi yang diberikan UU tersebut
bagi pemerintah daerah.
66
Tabel perbandingan94 UU
pemerintahan daerah
Landasan konstitusi
Konfigurasi politik
Hakikat otonomi
UU no. 1 tahun 1945
UUD 1945
Demokrasi
Otonomi luas
UU no. 22 tahun 1948
UUD 1945
Demokrasi
Otonomi luas
UU no. 1 tahun 1957
UUDS 1950
Demokrasi
Otonomi luas
94 diintisarikan dari H. Syaukani, Afan Gaffar, Ryaas Rasyid, Op.Cit., hal 118
67
Penpres no. 6 tahun 1959
UUD 1945
Otoritarian
Otonomi terbatas
UU no. 18 tahun 1965
UUD 1945
Otoritarian
Otonomi terbatas
UU no. 5 tahun 1974
UUD 1945
Otoritarian
Sentralisasi
UU no. 22 tahun 1999
UUD 1945
Demokrasi
Otonomi luas
68
Adapun kebijakan mengenai adanya daerah istimewa yang
diberikan otonomi khusus dalam UU nomor 22 tahun
1999 disebutkan
“Keistimewaan untuk Provinsi daerah Istimewa Aceh dan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang nomor 5 tahun 1974, adalah tetap dengan ketentuan bahwa penyelenggaraan pemerintahan Provinsi Istimewa Aceh dan Provinsi Istimewa Yogyakarta didasarkan pada Undang-Undang ini.”95
Pemerintahan Habibie juga memberikan perhatian secara
khusus mengenai pemberian otonomi khusus ini bagi
daerah-daerah istimewa terutama di Aceh. Dalam
salah satu pidatonya Habibie mengungkapkan
“Pemerintah tengah mengembangkan sebuah kerangka penyelesaian masalah Aceh yang adil, komprehensif dan berorientasi ke depan. Adil bagi semua pihak, komprehensif dalam segala aspeknya dan berorientasi ke depan untuk membangun masa depan Aceh yang lebih tenteram dan sejahtera. Yang ingin kita bawa dan wujudkan di masa depan adalah kehormatan, keberdayaan dan kehidupan masyarakat Aceh yang sejati dan yang kita dambakan bersama dan bukan masa depan yang terbelenggu oleh trauma dan persoalan masa lampau yang justru merintangi terbangunnya kehidupan masa depan yang lebih baik.”96
95 Indonesia (B), Op.Cit., pasal 122 96 dikutip dari penjelasan pengusul usul inisiatif Rancangan Undang-Undang tentang Pelaksanaan Keistimewaan Propinsi Istimewa Aceh dalam rapat Paripurna DPR RI, Jakarta, 28 Juli 1999.
69
Berdasarkan hal tersebut diatas bahwa salah satu
cara untuk menyelesaikan konflik berkepanjangan
di Aceh adalah dengan memberikan keistimewaan
kepada propinsi Aceh. Oleh sebab itu
diterbitkanlah UU nomor 44 tahun 1999 tentang
Penyelenggaraan Keistimewaan Propinsi Daerah
Istimewa Aceh.
4. Pemerintahan Abdurrahman Wahid (1999-2001)
Sidang Umum MPR tahun 1999 menolak pertanggung jawaban
Habibie selaku presiden periode tahun 1998-1999,
disebabkan penolakan ini Habibie urung untuk
mencalonkan diri menjadi presiden untuk periode
berikutnya. Pada Sidang Umum MPR tahun 1999
kemudian memilih dan mengangkat Abdurrahman Wahid
(Gus Dur) menjadi presiden untuk periode 1999-
2004. Akan tetapi selama pemerintahan Gus Dur
banyak sekali gejolak yang timbul akibat sikap
kontroversi yang timbul dari Presiden itu sendiri
akibatnya sebelum masa jabatan Gus Dur berakhir,
70
melalui Sidang Istimewa MPR pada tahun 2001, Gus
Dur dicabut mandatnya.97
Pada masa pemerintahan Gus Dur tidak ada kebijakan yang
signifikan membawa perubahan pada pemberian
otonomi daerah ataupun otonomi khusus. Akan
tetapi ada Ketetapan MPR yang memberikan
rekomendasi atau garis-garis besar haluan yang
harus dilakukan pemerintah berkaitan dengan
otonomi daerah. Rekomendasi kebijakan otonomi
daerah dari MPR menyebutkan
“Undang-undang tentang Otonomi Khusus bagi Daerah Istimewa Aceh dan Irian Jaya, sesuai amanat Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor IV/MPR/1999 tentang Garis-garis Besar Haluan Negara Tahun 1999-2004, agar dikeluarkan selambat-lambatnya 1 Mei tahun 2001 dengan memperhatikan aspirasi masyarakat daerah yang bersangkutan.”98
Berdasarkan Ketetapan MPR ini pada masa
pemerintahan Gus Dur di DPR dibentuk panitia
khusus yang merancang UU otonomi khusus dari
masing-masing daerah tersebut. Namun sebelum
97 Indonesia, Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Indonesia tentang Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia K.H. Abdurrahman Wahid, nomor II/MPR/2001, pasal 2 98 Indonesia, Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Tentang Rekomendasi Kebijakan Dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah, nomor IV/MPR/2000
71
panitia khusus tersebut menyelesaikan tugasnya
kursi pemerintahan pun telah berganti.
5. Pemerintahan Megawati (2001-...)
Proses penggantian tampuk pimpinan pemerintahan di
Indonesia tidak pernah berjalan melalui proses yang normal.
Artinya selama empat kali penggantian presiden di Indonesia
tidak pernah ada presiden yang berhenti dalam periode 5
tahun walaupun pertanggungjawabannya diterima presiden.
Begitu juga dengan Megawati, Megawati memegang kekuasaan
pemerintahan disebabkan Gus Dur ditolak pertanggung
jawabannya oleh MPR pada Sidang Istimewa sebelum periode
masa pemerintahannya berakhir.
Dalam masa pemerintahannya, yang melanjutkan masa
pemerintahan Gus dur, Megawati mengeluarkan dua (2) buah
Undang-Undang yang mengatur secara spesifik pemberian
otonomi khusus untuk dua propinsi yaitu Aceh dan Irian
Jaya. Melalui UU nomor 18 tahun 2001 untuk propinsi Aceh
dan UU nomor 21 tahun 2001 untuk propinsi Irian Jaya.
Selain itu adanya kedua UU ini menegaskan perubahan nama
propinsi daerah yang berkaitan. UU nomor 18 tahun 2001
mengubah nama Propinsi Daerah Istimewa Aceh menjadi
Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Keberadaan UU nomor 21
72
tahun 2001 menguatkan pengubahan nama propinsi Irian Jaya
menjadi propinsi Papua sebagaimana telah diubah dengan
dengan Keputusan DPRD Provinsi Irian Jaya Nomor 7/DPRD/2000
tanggal 16 Agustus 2000 tentang Pengembalian Nama Irian
Jaya Menjadi Papua.
73
BAB III
PENERAPAN OTONOMI KHUSUS DI NEGARA-NEGARA KESATUAN DI DUNIA
Konsep mengenai pemberian dan penerapan otonomi
khusus bukan merupakan hal yang unik karena hanya
diterapkan di Indonesia, terdapat beberapa negara-negara
kesatuan didunia yang juga memberikan dan menerapkan
otonomi khusus pada pemerintahan daerahnya. Otonomi khusus
pada negara-negara kesatuan di dunia diberikan kepada
pemerintah daerah disebabkan oleh alasan yang beragam, ada
yang disebabkan karena daerah tersebut telah lama dibawah
koloni negara lain dengan status pinjaman seperti di Hong
Kong, Republik Rakyat Cina, dan ada pula yang disebabkan
alasan politik untuk meredam konflik seperti di Irlandia
Utara, United Kingdom (UK). Diatas itu semua, secara
keseluruhan alasan diberikannya otonomi khusus yang
diberikan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah
dinegara-negara tersebut memiliki persamaan yaitu bahwa
74
daerah yang diberikan otonomi khusus tersebut memiliki
kekhususan atau keistimewaan yang tidak dimiliki oleh
daerah lainnya sehingga memerlukan pengaturan secara khusus
meskipun dalam kerangka negara kesatuan. Oleh sebab itu
pada bab ini secara khusus akan dibahas mengenai praktek
penerapan otonomi khusus di Republik Rakyat Cina dan di
United Kingdom. Pembahasan mengenai penerapan otonomi
khusus di negara lain ini dilihat dari latar belakang
sejarah diberikannya otonomi khusus kepada daerah-daerah
tersebut dan kewenangan-kewenangan yang diberikan kepada
daerah berotonomi khusus tersebut.
A. Hong Kong Special Administrative Region (SAR), REPUBLIK
RAKYAT CINA
Berdasarkan konstitusi Republik Rakyat Cina pasal 3,
bentuk negara Cina adalah negara kesatuan
“The state organs of the People's Republic of China apply the principle of democratic centralism. The National People's Congress and the local people's congresses at different levels are instituted through democratic election. They are responsible to the people and subject to their supervision. All administrative, judicial and procuratorial organs of the state are created by the people's congresses to which they are responsible and under whose supervision they operate. The division of functions and powers between the central and local state organs is guided by the principle of giving full play to the initiative and
75
enthusiasm of the local authorities under the unified leadership of the central authorities.”99
Dalam negara kesatuan Republik Rakyat Cina pembagian
pemerintahan daerah terdiri dari :
1. Pemerintahan daerah yang langsung berada dibawah
pemerintah pusat. Ada beberapa istilah untuk
pemerintahan daerah pada tingkat ini, yaitu :
a. Province (provinsi), terdapat 22 provinsi yang ada
di Cina yaitu Anhui, Fujian, Gansu, Guangdong,
Guizhou, Hainan, Hebei, Heilongjiang, Henan, Hubei,
Hunan, Jiangsu, Jiangxi, Jilin, Liaoning, Qinghai,
Shaanxi, Shandong, Shanxi, Sichuan, Yunnan, and
Zhejiang.
b. Autonomous regions (daerah otonom), yang terdiri
dari Guangxi Zhuang, Inner Mongolia, Ningxia Hui,
Tibet, and Xinjiang Uygur.
c. Municipalities (kota), diantaranya adalah Beijing,
Chongqing, Shanghai, and Tianjin.
d. Special Administrative Regions (daerah administratif
khusus), yaitu Hong Kong dan Macau.
99 Konstitusi Cina tahun 1982, pasal 3, diambil dari Document from the CPSR
Privacy/Information Archive seperti dikutip dalam http://wiretap.area.com/ftp.items/Gov/World/china.con
76
2. Municipalities dan kota-kota besar yang berada dibawah
provinsi dan daerah otonom dapat dibagi atas districts
dan counties.
3. Provinsi dan daerah otonom dibagi atas autonomous
perfectures, counties, autonomous counties dan cities.
4. Counties dan autonomous counties dibagi atas townships,
ethnic townships dan towns.
5. Autonomous perfectures dibagi atas counties, autonomous
counties dan cities.
Sehingga secara hirarkhis pembagian pemerintahan daerah di
Cina dapat diklasifikasikan ke dalam beberapa model, yaitu:
1. model dua tingkat, yaitu :
Municipalities districts
2. model tiga tingkat, yaitu :
Provinsi, daerah otonom, Municipalities counties,
autonomous counties dan cities townships, ethnic
townships dan towns.
3. model empat tingkat, yaitu :
Provinsi, Daerah Otonom, Municipalities cities
yang didalamnya terdapat districts dan autonomous
perfectures counties, autonomous counties dan
cities townships, ethnic townships dan towns.
77
Pada pembagian pemerintahan daerah di Cina dikenal
daerah otonom (autonomous region). Pemberian status daerah
otonom ini disebabkan daerah-daerah tersebut memiliki asal-
usul dan latar belakang budaya yang berbeda yang berasal
dari etnis minoritas yang banyak tinggal di daerah
tersebut. Dengan demikian pemberian status daerah otonom
dimaksudkan agar etnis minoritas (orang asli) yang tinggal
didaerah tersebut adalah yang berhak menduduki jabatan
sebagai kepala daerah dan mayoritas anggota badan
legislatif daerah haruslah orang asli dari daerah tersebut.
Daerah otonom diberikan kewenangan khusus dalam hal
legislasi, kewenangan bidang eksekutif, kewenangan mengatur
keuangan daerah dan kewenangan untuk membentuk kepolisian
daerah.100
Pemberian kewenangan dalam hal legislasi artinya
daerah otonom dapat membentuk peraturan daerah sesuai
dengan aspirasi etnis daerah otonom masing-masing.
Pengaturan dalam peraturan daerah tersebut dapat berbeda
dengan peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan oleh
pemerintah pusat. Akan tetapi peraturan daerah tersebut
100 “The System of Self-government of Ethnic Autonomous Areas”,
http://www.china.org.cn/english/26319.htm
78
harus diserahkan kepada Standing Committee of the National
People’s Congress untuk mendapatkan persetujuan sebelum
dinyatakan berlaku. Sehingga masih dapat kemungkinan
terdapat pengawasan yang sangat ketat dari pemerintah pusat
agar pemberian otonomi dalam daerah otonom itu tetap harus
sesuai dengan kebijakan pemerintah pusat.101
Tibet adalah salah satu daerah otonom di Cina sebab
sejak dulu Tibet dikenal sebagai daerah kerajaan yang
menerapkan ajaran Budha yang memiliki susunan organisasi
yang terdiri dari para lama atau bhiksu. Tibet sebagai
daerah otonom berarti orang asli Tibet yang memiliki hak
untuk menjadi kepala daerah, akan tetapi keputusan-
keputusan penting tetap datang dari pemerintah pusat di
Beijing. Hal ini disebabkan walaupun kepala daerah dipegang
oleh orang asli Tibet, posisi-posisi strategis pemerintahan
daerah masih dijabat oleh orang-orang Han.102 Contoh lain
dari daerah otonom di Cina adalah provinsi Xinjiang Uygur.
Uygur adalah sebutan untuk orang-orang Turki yang mayoritas
beragama Islam, dengan memiliki bahasa sendiri yang disebut
101 Ibid. 102 Tibet, Microsoft Encarta Reference Library 2003.
79
dengan Altaic.103 Kekhususan yang dimiliki oleh provinsi
Xinjiang adalah karena mayoritas penduduknya yang merupakan
bangsa Uygur (muslim Turki) sehingga provinsi Xinjiang
Uygur menjadi daerah otonom. Sama dengan yang terjadi pada
provinsi Tibet, walaupun kepala daerah dipegang oleh orang
asli Uygur namun pengambilan keputusan atas kebijakan tetap
datang dari pemerintah pusat. Kenyataan tersebut diatas
juga terjadi pada daerah otonom lainnya di Cina, hingga
Willem van Kemenade pun mensinyalir pemberian otonomi di
Cina sebagai sesuatu yang klise
“The only recognized regions in the Chinese administrative establishment are the autonomous regions (zizhiqu) of national minorities. Here autonomy is not a reflection of federalism but an empty cliché. They nominally ruled by indigenous governors, but above them is a Han Chinese party secretary.”104
Pembagian daerah di Cina pada tingkat pertama lainnya
ada yang disebut dengan Special Administrative Region,
daerah administrasi khusus. Pada daerah otonom khusus ini
pemerintah pusat Cina memberikan kewenangan yang sangat
103 Uygur, Microsoft Encarta Reference Library 2003. 104 Willem van Kemenade, China, Hong Kong, Taiwan, Inc. The Dynamic of A New Empire,
(New York: Alfred A.Knopf, Inc., 1997), hal 258.
80
besar bagi daerah tersebut. Pemberian daerah otonomi khusus
SAR kepada Hong Kong dan Macau ini menimbulkan perdebatan
yang panjang terutama muncul dengan isu federalisme.
Resistensi terhadap isu federalisme dalam di Cina begitu
besar mengingat Cina memiliki ideologi sosialisme dengan
budaya sentralisasi yang begitu kuat
“China tends to view such internationalization, globalization, multilaterlization and
interdependence as encroachments on its sovereignty, which it automatically opposes.
Regionalism and federalism are likewise anathema, being tantamount to warlordism,
national disintegration and weekening central authority. China is the only country of
its size in the world that still has unitary, highly centralized political structure...”105
Namun dalam era Deng Xiaoping, Cina mulai membuka diri
dalam reformasi. Dan dalam era Deng Xiaoping pula dirintis
konsep SAR dalam tubuh negara kesatuan China. Seperti yang
dijamin dalam konstitusi Cina tahun 1982
"The state may establish special administrative regions when necessary. The systems to be instituted in special administrative regions shall be prescribed by law enacted by the National People's Congress in the light of the specific conditions."106
105 Ibid. 106 Konstitusi Cina tahun 1982, pasal 31
81
Disebabkan oleh begitu besarnya kewenangan yang diserahkan
kepada pemerintah daerah SAR ini maka Deng Xiaoping
menyebut formulasi otonomi khusus ini dengan “one country,
two systems”.
1. Sejarah Pembentukan Hong Kong SAR
Sejarah Hong Kong adalah seiring dengan sejarah
masuknya teh ke Inggris. Teh Cina pertama kali masuk ke
Inggris sekitar tahun 1680-an melalui Portugis yang
memiliki pos perdagangan di Macau, Cina bagian tenggara.
Teh Cina yang masuk ke Inggris tersebut dijual disebuah
kantin kecil di London yang bernama Garway’s Coffee House.
Dari tempat ini teh Cina kemudian digemari oleh masyarakat
London sehingga permintaan akan teh meningkat tinggi.
Disebabkan oleh permintaan yang tinggi ini, Inggris
kemudian membuat hubungan dagang secara langsung dengan
Cina, dan tidak lagi mengimpornya dari Portugis. Melalui
perusahaan Inggris, English East India Co., yang
berkedudukan di Kalkuta, India, Inggris mengimpor teh Cina.
Perdagangan tersebut dilakukan dengan barter, teh ditukar
dengan logam mulia (emas, perak atau batangan tembaga)
sebagai alat pembayarannya.
82
Perdagangan ini berjalan dengan baik selama bertahun-tahun, hingga suatu saat permintaan akan teh sangat tinggi dan Inggris tidak mampu lagi membayar dengan logam mulia. Oleh sebab itu alat pembayaran pun mengalami perubahan, Pedagang-pedagang Inggris mulai menukar teh dan barang-barang ekspor lain (sutra dan porselein) selain dengan logam mulia juga ditambah dengan opium. Namun pada tahun 1796 pemerintah Cina (Dinasti Qing) melarang peredaran opium. Larangan dari pemerintah Cina ini tidak efektif karena penyelundupan opium tak dapat diminimalisir, terutama setelah English East India Co. tidak lagi memegang hak monopoli perdagangan di Cina. Pedagang-pedagang Eropa yang masuk ke Cina menyelundupkan opium dalam jumlah yang sangat besar. Terbukti pada tahun 1830-an Cina membelanjakan 34 juta dollar perak Mexico (mexican silver dollar), mata uang internasional yang berlaku saat itu, untuk membeli opium.107
Opium yang beredar dalam jumlah yang banyak ini menyebabkan kaisar Qianlong mengutus Lin Zexu ke Guangzhou (kanton), kota pelabuhan Cina dimana peredaran opium menyebar luas, untuk mengatasi permasalahan ini. Lin Zexu mengambil kebijakan yang keras untuk mengatasi masalah peredaran opium yaitu bahwa setiap pedagang yang tertangkap memperdagangkan atau membawa opium akan dihukum mati. Lin Zexu juga membuang ke laut opium hasil operasinya yang bernilai sekitar 9 juta dollar perak mexico. Kebijakan Lin Zexu ini oleh para pedagang Inggris dianggap merusak hak milik kerajaan dan merusak norma-norma perdagangan bebas. Oleh sebab itu para pedagang Inggris meminta bantuan dari pihak kerajaan untuk melindungi hak-hak berdagang mereka dan dalam upaya mengembalikan norma-norma perdagangan bebas tersebut. Karena alasan inilah kemudian dimulai perang opium I (1839-1842).108 Perang ini menimbulkan kekalahan di pihak Cina, oleh sebab itu Cina terpaksa menandatangani Treaty of Nanking (Nanjing) pada tanggal 29 Agustus 1842. Isi perjanjian ini sangat merugikan Cina karena Cina harus menghilangkan cohong109, membuka 4 buah kota sebagai wilayah perdagangan yaitu Fuzhou, Ningbo, Shanghai dan Xiamen serta Cina harus menyerahkan Hong Kong pada Inggris.110
107 Opium Wars, Microsoft Encarta Reference Library 2003.
108 Immanuel C.Y. Hsu, The Rise of Modern China, cet.5, (New York: Oxford University Press,
1995), hal 184-195. 109 Cohong adalah sekelompok pedagang Cina yang memberikan kompensasi kepada kerajaan
atas hak monopoli yang diberikan padanya. 110 Opium Wars, Op.Cit.
83
Permasalahan Opium setelah perang opium tidak juga teratasi akan tetapi lebih merebak dan meluas lagi di dataran Cina. Kemudian meletus kembali Perang Opium II (1856-1860), yang juga membawa kekalahan bagi Cina. Berkaitan dengan hubungan dengan Inggris, Cina membuat perjanjian kedua, Treaty of Tientsing pada tahun 1861, yang memberikan kewenangan kepada Inggris memperoleh kekuasaan terhadap wilayah Kowloon (Ninehills).111
Akan tetapi perjanjian ketiga yang dibuat dengan Inggrislah yang membuat keadaannya seperti sekarang ini. Adalah Convention of Peking, yang ditandangani pada bulan juli 1898, yang membuat Inggris harus menyerahkan Hong Kong dan Kowloon kepada Cina pada tahun 1997. Berbeda dengan kedua perjanjian sebelumnya, Convention of Peking memuat tanggal berakhirnya perjanjian yang berakibat bahwa kedua daerah yang diserahkan kepada Inggris sebelumnya tidak lebih merupakan daerah yang dipinjamkan Cina kepada Inggris selama 99 tahun. Perjanjian tersebut memuat berakhirnya perjanjian pada tengah malam tanggal 30 Juni 1997.
Berpuluh-puluh tahun berjalan tidak ada seorangpun yang memperhatikan perjanjian ini. Hong Kong pun berkembang menjadi pusat perdagangan dibawah pemerintahan Inggris, hingga Winston Churchill pun menyebut Hong Kong sebagai “the key to lock off the world”. Berbeda dengan Cina yang selama bertahun-tahun bergelut dengan revolusi dan perubahan sosial dibawah bayang-bayang komunisme. Hingga suatu hari, pada awal tahun 1980-an banyak para investor bertanya-tanya mengenai jaminan kepastian hukum setelah tahun 1997. Apakah jaminan kepastian hukum yang akan diterima? Apakah atas dasar hukum Inggris ataukah hukum Cina? Apakah Cina akan mendapatkan haknya atas daerah Hong Kong dan Kowloon sebagaimana tercantum dalam Convention of Peking? Ataukah Inggris akan tetap memerintah didua daerah tersebut sebagaimana dua perjanjian sebelum Convention of Peking?112
Pertanyaan tersebut ditanggapi secara serius oleh pemerintah Inggris, hingga pada September 1982 Margareth Thatcher menemui Deng Xiaoping untuk membicarakan hal tersebut. Hasil dari perundingan tersebut adalah bahwa Inggris tetap harus mentaati perjanjian yang dibuat terakhir bahwa Hongkong dan Kowloon adalah daerah pinjaman yang harus dikembalikan kepada Cina sesuai berakhirnya perjanjian tersebut yaitu pada tengah malam tanggal 30 Juni 1997.
111 Gerald Segal, the Fate of Hong Kong, cet.1, (New York: St. Martin’s Press, 1993), hal 15.
Lihat juga Harold C. Hinton, China dalam George McTurnan Kahin (ed), Major Governments of Asia, cet.1, (New York: Cornell University Press, 1958), hal 16.
112 Ibid.
84
Perundingan ini kemudian membawa kedua negara menandatangani sebuah perjanjian yang berisikan konsep yang mengantarkan Hong Kong menghadapi masa transisi dan kewenangan-kewenangan yang akan dimiliki Hong Kong agar dapat melalui proses peralihan kekuasaan pemerintahan ini secara lancar. Konsep transisional ini dibutuhkan mengingat Inggris dan Cina memiliki ideologi dan sistem hukum yang berbeda. Perjanjian yang ditandatangani pada tanggal 19 Desember 1984 itu disebut dengan Sino-British Joint Agreement. 2. Kewenangan Khusus yang Dimiliki Hong Kong SAR
Sino-British Joint Agreement memuat kewenangan-kewenangan khusus yang akan dimiliki oleh Hong Kong sebagai bagian dari pemerintahan Cina setelah tanggal 1 Juli 1997. Berdasarkan perjanjian ini Hong Kong akan memperoleh otonomi yang seluas-luasnya dalam menjalankan pemerintahan daerah terkecuali untuk bidang urusan luar negeri dan pertahanan. Perjanjian ini juga memuat batas waktu yaitu 50 tahun setelah serah terima Hong Kong ke Cina bahwa pemerintah Cina akan tetap memberikan kewenangan-kewenangan khusus ini kepada Hong Kong, bahwa sistem sosial dan ekonomi Hong Kong tidak akan berubah atau diubah dalam jangka waktu 50 tahun tersebut.113 Perjanjian ini didukung banyak tokoh di Hong Kong, karena itu untuk menjamin kekuatan berlakunya, perjanjian ini dituangkan dalam peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan oleh Dewan Legislatif Daerah (Territory’s Legislative Council) Hong Kong pada tanggal 18 Oktober 1984. Sino-British Joint Agreement baru berlaku efektif pada tanggal 27 Mei 1985. Untuk memfasilitasi masa transisi ini dibentuklah Sino-British Joint Liaison Group dan Joint Land Commission.
Yang terpenting dari perjanjian ini adalah upaya pembentukan basic law114 atau mini-constitution yang akan mengatur bentuk hubungan dan pembagian kewenangan antara Cina dan Hong Kong setelah proses serah terima. Oleh karena itu pada tanggal 18 Juni 1985 National People’s Congress membentuk komite penyusunan basic law yang terdiri dari 36 orang dari Cina dan 23 orang dari Hong Kong. Pada bulan April 1990, komite penyusunan basic law menyelesaikan tugasnya dan basic law atau mini-constitution disetujui dan diterbitkan oleh National People’s Congress
113 Ketentuan ini kemudian diadopsi dalam basic law Hong Kong pasal 5 yang berbunyi: “The socialist system and policies shall not be practised in the Hong Kong Special
Administrative Region, and the previous capitalist system and way of life shall remain unchanged for 50 years.” Lihat juga Peter Wesley-Smith, An Introduction to the Hong Kong Legal system, cet.3, (New York: Oxford University Press, 1987), hal 9-10.
114 http://www.info.gov.hk/basic_law/fulltext/index.htm
85
Cina dengan nama the Basic Law of the Hong Kong Special Administrative Region of the People's Republic of China.
Pada intinya basic law memuat pengaturan-pengaturan mengenai kewenangan khusus yang dimiliki oleh Hong Kong sebagai Special Administrative Region seperti yang dijamin dalam perjanjian Sino-British Joint Agreement. Hong Kong memiliki otonomi untuk menjalankan segala bidang pemerintahan dan pemerintah pusat Cina hanya memiliki kewenangan untuk mengatur masalah hubungan luar negeri “The Central People's Government shall be responsible for the foreign affairs relating to the Hong Kong Special Administrative Region...”115 dan pertahanan “The Central People's Government shall be responsible for the defence of the Hong Kong Special Administrative Region...”116. Kewenangan-kewenangan khusus yang dimiliki oleh Hong Kong adalah bahwa pemerintah daerah Hong Kong terdiri dari penduduk lokal, dengan anggota legislatif daerah yang dipilih, bahwa Hong Kong memiliki pengadilan yang mandiri dan Kepala daerah, the chief executive, yang dipilih melalui pemilihan umum dan diangkat oleh pemerintah pusat.
Dalam lampiran perjanjian Sino-British Joint Agreement lebih merinci kewenangan-kewenangan khusus yang akan dimiliki Hong Kong setelah tanggal 30 Juni 1997, bahwa segala hak dan kebebasan penduduk Hong Kong akan tetap dipertahankan, bahwa hak milik dan hak atas tanah akan tetap dijamin, bahwa Hong Kong akan tetap menjadi area pelabuhan bebas dan memiliki daerah kepabeanan tersendiri, bahwa pemerintah pusat tidak akan menarik pajak dari Hong Kong, bahwa pemerintah daerah Hong Kong dapat mengeluarkan surat perjalanan serta kontrol atas keimigrasiannya sendiri. Pemerintah daerah Hong Kong juga memperoleh kewenangan atas penerbangan sipil, perkapalan/pelabuhan, perdagangan dengan negara lain serta pendidikan. Walaupun pemerintah pusat berhak menempatkan pasukan di Hong Kong namun keamanan dan ketertiban tetap adalah tanggung jawab dari pemerintah daerah Hong Kong.
Bahkan otonomi luas yang diberikan ini juga menyangkut masalah mata uang. Sebagaimana dijamin dalam basic law, Dollar Hong Kong tetap dinyatakan berlaku “The Hong Kong dollar, as the legal tender in the Hong Kong Special Administrative Region, shall continue to
115 the Basic Law of the Hong Kong Special Administrative Region of the People's Republic of
China, Pasal 13 116 the Basic Law of the Hong Kong Special Administrative Region of the People's Republic of
China, Pasal 14
86
circulate...”117, dengan penunjukkan satu bank sentral serta tiga bank komersial yang berhak mengeluarkan mata uang tersebut
“...The Hong Kong Monetary Authority performs the functions of a central bank and authorizes three commercial banks—the Bank of China, HSBC (formerly the Hongkong and Shanghai Banking Corporation), and the Standard Chartered Bank—to issue Hong Kong dollars. The terms of the Sino-British Joint Declaration of 1984 allow Hong Kong to continue issuing its own currency until the year 2047.”118
Berikut ini adalah ringkasan pidato dari Presiden Cina Jiang Zemin pada saat upacara serah terima Hong Kong pada malam tanggal 30 Juni 1997, yang berisikan jaminan bahwa Cina akan memberikan otonomi seluas-luasnya kepada Hong Kong dengan berbagai kewenangan khusus yang dimiliki
“...After the return of Hong Kong, the Chinese government will unswervingly implement the basic policies of "one country, two systems," "Hong Kong people administering Hong Kong," and "a high degree of autonomy" and keep the previous socioeconomic system and way of life of Hong Kong unchanged and its laws basically unchanged. After the return of Hong Kong, the central government shall be responsible for the foreign affairs relating to Hong Kong and the defense of Hong Kong. The Hong Kong Special Administrative Region shall be vested, in accordance with the Basic Law, with executive power, legislative power, and independent judicial power, including that of final adjudication. The Hong Kong residents shall enjoy various rights and freedoms according to law. The Hong Kong Special Administrative Region shall gradually develop a democratic system that suits Hong Kong's reality. After the return, Hong Kong will retain its status of a free port, continue to function as an international financial, trade, and shipping center, and maintain its economic and cultural ties with other countries, regions, and relevant international organizations. The legitimate economic interests of all countries and regions in Hong Kong will be protected by law.”119
Hong Kong SAR memiliki otonomi yang luas dalam urusan eksekutif. Hubungan antara
pemerintah pusat dengan pemerintah daerah Hong Kong, dalam arti masalah pertanggungjawaban, adalah bahwa seorang Kepala Daerah
117 the Basic Law of the Hong Kong Special Administrative Region of the People's Republic of
China, Pasal 111 118 Hong Kong, Microsoft Encarta Reference Library 2003 119 Jiang Zemin, Hong Kong Under Chinese Souvereignty, Microsoft Encarta Reference Library
2003.
87
(chief executive) Hong Kong tetap memiliki tanggungjawab kepada pemerintah pusat dalam hal-hal tertentu.
“...The Chief Executive of the Hong Kong Special Administrative Region shall be accountable to the Central People's Government and the Hong Kong Special Administrative Region in accordance with the provisions of this Law.”120
Yang dimaksudkan akuntabilitas Chief Executive dalam hal-hal tertentu yang diatur dalam basic law adalah dalam hal penunjukkan dan pengangkatan pejabat-pejabat (principal officials)
“To nominate and to report to the Central People's Government for appointment the following principal officials: Secretaries and Deputy Secretaries of Departments, Directors of Bureaux, Commissioner Against Corruption, Director of Audit, Commissioner of Police, Director of Immigration and Commissioner of Customs and Excise; and to recommend to the Central People's Government the removal of the above-mentioned officials;”121
3. Peraturan Perundang-undangan di Hong Kong SAR Dalam urusan legislasi, peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh National
People’s Congress atau the Standing Committee of the National People’s Congress dinyatakan tidak berlaku di Hong Kong terkecuali bila peraturan perundang-undangan tersebut mengatur mengenai masalah pertahanan dan hubungan luar negeri.122 Pengawasan the Standing Committee of the National People’s Congress (badan legislatif pusat) dalam pembentukan peraturan daerah yang dibuat oleh badan legislatif daerah adalah sebatas penerimaan laporan. Pemberian laporan kepada Standing Committee tersebut tidak mempengaruhi peraturan daerah untuk berlaku secara efektif di Hong Kong. Dasar-dasar penilaian atas peraturan daerah yang dibuat oleh badan Legislatif daerah Hong Kong adalah harus sesuai dengan aturan dalam basic law, bilamana peraturan daerah tersebut berisi mengenai urusan yang merupakan kewenangan pemerintah pusat atau hubungan antara pemerintah pusat dan Special Administrative Region tidak sesuai dengan basic law maka Standing Committee memiliki hak untuk mempertanyakan hal tersebut tapi tidak memiliki hak untuk mengubahnya. Hak untuk mengubah tetap berada pada badan legislatif
120 the Basic Law of the Hong Kong Special Administrative Region of the People's Republic of
China, Pasal 43 121 the Basic Law of the Hong Kong Special Administrative Region of the People's Republic of
China, Pasal 48 ayat (5) 122 “Special Administrative Regions”, http://www.china.org.cn/english/26312.htm
88
daerah dan peraturan daerah yang tidak sesuai dengan basic law tersebut belum berlaku secara efektif.123
Selain membuat peraturan perundang-undangan tugas dari badan legislatif Hong Kong SAR adalah :
1) To examine and evaluate the financial budget; 2) To approve taxation and public expenditure; 3) To hear and debate the report by the chief executive on the work of the
government; 4) To make inquires on the work of the administrative organ; 5) To impeach the chief executive according to legal process if the chief
executive has committed serious violations of law or dereliction of duty; and
6) To agree on the appointment and removal of judges of the court of final appeal and the chief judge of the high court.124
Susunan badan legislatif Hong Kong SAR diatur dalam lampiran II basic law dan
pengaturan susunan badan legislatif ini adalah untuk 3 periode. Periode I badan legislatif hanya akan menjabat selama 2 tahun, sedangkan periode kedua dan ketiga menjabat selama 4 tahun. Metode pemilihan dan susunan badan legislatif setelah periode ketiga (tahun 2007) akan ditentukan kemudian dengan mengamandemen lampiran dari basic law.
“With regard to the method for forming the Legislative Council of the Hong Kong Special Administrative Region and its procedures for voting on bills and motions after 2007, if there is a need to amend the provisions of this Annex, such amendments must be made with the endorsement of a two-thirds majority of all the members of the Council and the consent of the Chief Executive, and they shall be reported to the Standing Committee of the National People's Congress for the record.”125
Anggota badan Legislatif Hong Kong SAR terdiri dari 60 orang. Metode yang
digunakan untuk memilih anggota badan legislatif adalah
123 the Basic Law of the Hong Kong Special Administrative Region of the People's Republic of
China, Pasal 17 pasal 8 124 “Special Administrative Regions”, Op.Cit. 125 the Basic Law of the Hong Kong Special Administrative Region of the People's Republic of
China, Lampiran II butir III
89
“In the first term, the Legislative Council shall be formed in accordance with the “Decision of the National People's Congress on the Method for the Formation of the First Government and the First Legislative Council of the Hong Kong Special Administrative Region”. The composition of the Legislative Council in the second and third terms shall be as follows : Second term Members returned by functional constituencies 30 Members returned by the Election Committee 6 Members returned by geographical constituencies through direct elections 24 Third term Members returned by functional constituencies 30 Members returned by geographical constituencies through direct elections 30”126
d. Kemandirian Badan Peradilan di Hong Kong SAR English Common Law dinyatakan tetap sebagai sistem hukum yang berlaku di Hong
Kong.
“The laws previously in force in Hong Kong, that is, the common law, rules of equity, ordinances, subordinate legislation and customary law shall be maintained, except for any that contravene this Law, and subject to any amendment by the legislature of the Hong Kong Special Administrative Region.”127
Penerapan sistem hukum yang berbeda dari yang dimiliki Cina menuntut dibentuknya sistem peradilan yang juga berbeda dari sistem peradilan Cina, oleh sebab itu Hong Kong diberikan kewenangan untuk memiliki pengadilan yang mandiri.
126 the Basic Law of the Hong Kong Special Administrative Region of the People's Republic of
China, Lampiran II butir I 127 the Basic Law of the Hong Kong Special Administrative Region of the People's Republic of
China, pasal 8
90
“The National People's Congress authorizes the Hong Kong Special Administrative Region to exercise a high degree of autonomy and enjoy executive, legislative and independent judicial power, including that of final adjudication, in accordance with the provisions of this Law.”128
Yang dimaksud dengan Hong Kong memiliki pengadilan yang mandiri adalah selain berarti bahwa lembaga yudikatif Hong Kong terbebas dari campur tangan lembaga-lembaga lainnya129 juga berarti bahwa Hong Kong memiliki pengadilan yang terpisah dengan sistem pengadilan di Cina, dengan Court of Final Appeal sebagai benteng peradilan terakhir yang berhak mengambil putusan terakhir dan mengikat bukan berada pada Supreme People’s Court.
“The power of final adjudication of the Hong Kong Special Administrative Region shall be vested in the Court of Final Appeal of the Region, which may as required invite judges from other common law jurisdictions to sit on the Court of Final Appeal.”130
Yurisdiksi badan peradilan Hong Kong diatur sebagai berikut
“The courts of the Hong Kong Special Administrative Region shall have jurisdiction over all cases in the Region, except that the restrictions on their jurisdiction imposed by the legal system and principles previously in force in Hong Kong shall be maintained. The courts of the Hong Kong Special Administrative Region shall have no jurisdiction over acts of state such as defence and foreign affairs. The courts of the Region shall obtain a certificate from the Chief Executive on questions of fact concerning acts of state such as defence and foreign affairs whenever such questions arise in the adjudication of cases.
128 the Basic Law of the Hong Kong Special Administrative Region of the People's Republic of
China, Pasal 2 129 the Basic Law of the Hong Kong Special Administrative Region of the People's Republic of
China, Pasal 85 yang berbunyi: ”The courts of the Hong Kong Special Administrative Region shall exercise judicial power independently, free from any interference...”
130 the Basic Law of the Hong Kong Special Administrative Region of the People's Republic of
China, Pasal 82 .
91
This certificate shall be binding on the courts. Before issuing such a certificate, the Chief Executive shall obtain a certifying document from the Central People's Government.”131
Adapun susunan badan peradilan Hong Kong terdiri dari : 1. Grassroots courts: district courts, magistrates courts and special courts;
2. High courts: Court of Appeal and the Court of First Instance;
3. Court of Final Appeal.
Bagan berikut memperlihatkan susunan peradilan di Hong Kong SAR132 B. UNITED KINGDOM (UK)
1. Irlandia Utara
United Kingdom terdiri atas empat kerajaan yaitu
Inggris (England), Wales, Skotlandia dan Irlandia (yang
kemudian hanya mencakup Irlandia Utara). Inggris adalah
131 the Basic Law of the Hong Kong Special Administrative Region of the People's Republic of China, Pasal 19
132 Xiong Xianjue, New Views on China’s Judiciary and Its System, (China: Legal Press, 1998).
seperti dikutip dalam http://www.china.org.cn/english/30744.htm
Court of Final Appeal
Court of first Instance High Court Court of Appeal
District Court
Magistrates Court Specialized Court
Coroner’s Court Juvenile Court Tribunals
Lands Tribunal Small Claims
Labor Tribunal Obscene Article Tribunal
92
kerajaan inti yang menyatukan ketiga kerajaan disekitarnya
menjadi United Kingdom. Penyatuan kerajaan-kerajaan ini
dilakukan melalui perjanjian yang disebut dengan Act of
Union. Kerajaan yang pertama kali menyatu adalah antara
Inggris dengan Wales melalui act of union 1536. Kemudian
antara Inggris dan Wales dengan Skotlandia melalui Act of
Union 1707, perjanjian ini melahirkan nama United Kingdom
of the Great Britain. Act of Union 1800 menyatukan United
Kingdom of the Great Britain dengan Irlandia sehingga nama
penyatuan tersebut menjadi United Kingdom of the Great
Britain and Ireland. Dan karena perkembangan politik yang
terjadi di Irlandia pada sekitar tahun 1920-an yang
mengakibatkan terpecahnya Irlandia yaitu Irlandia (bagian
selatan) yang menjadi negara sendiri dan Irlandia Utara
yang masih bergabung dengan UK, maka nama United Kingdom of
the Great Britain and Ireland berubah menjadi United
Kingdom of the Great Britain and Northern Ireland.
The government of Ireland Act 1920 adalah peraturan
yang memisahkan antara parlemen Irlandia bagian utara
dengan Irlandia bagian selatan. Atas pemisahan ini Irlandia
bagian selatan yang terdiri dari 26 counties mendapat
status daerah dominion sama seperti Canada berdasarkan
93
Anglo-Irish treaty. Pada tahun 1922 Irlandia bagian selatan
ini kemudian menjadi negara merdeka dengan nama Irlandia.
Sedangkan untuk Irlandia bagian utara tetap menyatu dengan
Inggris dan the Government of Ireland Act 1920 menjadi
konstitusi bagi Irlandia Utara. Act ini mengatur mengenai
Parlemen Irlandia Utara yang terdiri dari 52 anggota
Majelis Rendah, 26 orang senat dan seorang Gubernur sebagai
wakil dari Kerajaan, yang dapat mengundang, membatalkan dan
membubarkan parlemen, selain itu seorang Gubernur juga
dapat memberikan atau menangguhkan persetujuan kerajaan
atas suatu peraturan perundang-undangan. Namun demikian
permasalahan ketatanegaraan tetap terjadi antara Irlandia
dengan Irlandia Utara. Pada tahun 1937 Irlandia memiliki
Konstitusi baru yang didalamnya dinyatakan bahwa wilayah
Irlandia terdiri dari seluruh wilayah pulau Irlandia, yang
berarti wilayah Irlandia Utara termasuk didalamnya dengan
menyatakan “pending reintegration of the national
teritorry” dan menyatakan Katolik Romawi sebagai agama
negara.133
133 Northern Ireland, Microsoft Encarta Reference Library 2003
94
Di UK ada tiga jenis pembagian kekuasaan legislatif
yaitu excepted matters, reserved matters dan transferred
matters. Excepted matters adalah urusan-urusan yang menjadi
kompetensi parlemen pusat, karena urusan-urusan ini
dianggap harus berlaku seragam untuk seluruh UK,
diantaranya seperti urusan luar negeri, pertahanan,
naturalisasi kewarganegaraan dan ukuran berat. Yang kedua
adalah reserved matters yaitu kewenangan yang dimiliki oleh
parlemen Irlandia Utara diantara yang menjadi kewenangan
ini adalah dalam masalah jasa pelayanan pos, pendaftaran
sertifikat atau akta, dan Supreme Court of Northern
Ireland. Pembagian kekuasaan legislatif yang ketiga adalah
transferred matters, urusan ini adalah legitimasi atas
kekuasaan legislatif di parlemen Irlandia Utara. Pada pasal
4 ayat (1) Act ini disebutkan bahwa “a power to make laws
for peace, order, and good goverment... of Northern
Ireland” sehingga dengan formulasi demikian maka kekuasaan
legislatif di-transfer ke parlemen Irlandia Utara sebagai
badan legislatif yang merupakan sub ordinasi dari parlemen
pusat.
Semenjak terbentuknya Irlandia Utara tercatat
banyaknya aksi-aksi kekerasan yang timbul akibat adanya
95
perbedaan kepentingan antara yang tetap menginginkan
penyatuan dengan Inggris yang biasa disebut dengan kaum
unionist atau loyalist dengan yang menginginkan bersatu
dengan Irlandia yang telah menjadi negara merdeka, yang
biasa disebut republicans atau nationalist. Pertentangan
antara kedua pihak ini berakar pada pertentangan etnis yang
didasarkan pada agama. Kaum unionist adalah orang yang
menganut agama Protestan yang banyak dianut didataran
Inggris. Sedangkan rata-rata orang asli Irlandia menganut
agama katolik. Bagi kaum unionist masalah kewarganegaraan
dan nasionalisme adalah suatu hal yang menari, seperti
dijelaskan dibawah ini
“For Irish unionist the status of British subjectship was far more than a legal
definition. It contained a deep emotional tie to the notion of a Britishness based upon
a civic nationalism which married the state with national consciousness, viewing the
British people as a community bound together by a common historical experience and
mission, possessing a unique genius for the creation and preservation of constitutional
liberty. In terms of identity there were two evident strands within Irish unionist
concepts of Britishness. The first was a british imperial patritism which placed a
96
greater emphasis on Irishness as a ‘national’ identity and Britishness as an ‘imperial’
identity’.”134
Aksi-aksi kekerasan yang terjadi setelah pemisahan
Irlandia terutama diorganisir oleh Irish Republican Army
(IRA)135 yang menginginkan penyatuan Irlandia. Disatu sisi,
parlemen Irlandia Utara yang didominasi oleh the Unionist
Party juga melakukan tekanan-tekanan mental bagi mereka
yang menginginkan penyatuan Irlandia dengan menyebutnya
sebagai pengkhianatan.136 Pada tahun 1971 pemerintah
Irlandia Utara berupaya untuk mengurangi aksi-aksi
kekerasan yang terjadi dengan cara melakukan penangkapan
dan pemenjaraan tanpa melalui sidang pengadilan terhadap
para “tersangka” yang disebut dengan internment dengan
berdasarkan pada Civil Authorities Special Powers Act
(Northern Ireland) 1922. Akan tetapi dalam pelaksanaan
kebijakan ini justru menambah aksi-aksi kekerasan bukannya
mengurangi. Bahkan pada tahun 1972 adalah tahun puncak
134 Thomas Hennessey, Dividing Ireland, World War I and Partition, cet.1, (London: Routledge,
1998), hal. 5. 135 Robert Kee, The Green Flag, a History of Irish Nationalism, Cet.1, (England: Penguin Books,
1972), hal 693-694
136 Northern Ireland, Op.Cit.
97
terjadinya aksi-aksi kekerasan, tercatat pada bulan Januari
1972 tentara Inggris menembak demonstran yang sedang
mengadakan aksi di Londonderry yang mengakibatkan 13 orang
meninggal. Aksi yang terjadi pada saat itu dikenal dengan
peristiwa Bloody Sunday.137 Sebagai aksi balasan IRA
melakukan aksi pemboman di 20 tempat pada hari yang
bersamaan dibulan Juli, aksi ini disebut dengan peristiwa
Bloody Friday, karena mengakibatkan 9 orang meninggal dan
sekitar 100 orang terluka.138 Untuk mengatasi aksi-aksi
kekerasan yang makin meningkat tersebut maka parlemen
Irlandia Utara dibubarkan dan tanggungjawab pemerintahan
diatur secara langsung dari London (direct rule)
berdasarkan Northern Ireland (Temporary Provision) Act
1972. Sesuai dengan judul dari peraturan tersebut kebijakan
direct rule diharapkan hanya bersifat sementara sampai
Irlandia Utara dapat kembali menemukan formulasi yang tepat
untuk menjalankan kebijakan devolusi. Formulasi itu adalah
dengan pembentukan pemerintahan yang representatif yang
137 Paul Bew and Gordon Gillespie, Northern Ireland, a Chronology of Troubles 1968-1999,
cet.1, (Dublin: Gill & Macmillan ltd., 1999), hal 45. lihat juga Peter Taylor, Brits, The War Against the IRA, cet.1, (London: Bloomsburry publishing, 2001), hal 82-108.
138 Ibid.
98
dapat diterima oleh semua pihak, baik unionist maupun
nationalist. Kerangka formulasi ini ditetapkan melalui
Northern Ireland Assembly Act 1973 dan Northern Ireland
Constitution Act 1973. Pemerintahan yang representatif,
yang dapat diterima oleh semua pihak berarti adanya
pembagian kekuasaan antara unionist dengan nationalist yang
disebut dengan pemrintahan koalisi. Namun pemerintahan ini
berjalan hanya lima bulan karena kaum unionist menganggap
bahwa kesepakatan-kesepakatan yang terjadi selalu
menguntungkan kaum nationalist sehingga banyak terjadi
uunjuk-rasa bahkan mogok kerja yang dilakukan oleh buruh-
buruh pabrik. Sehingga pada bulan Mei 1974 direct rule dari
London kembali diterapkan.
Kebijakan yang dikeluarkan selanjutnya adalah rolling
devolution melalui Northern Ireland Act 1982. Maksud
dibalik kebijakan ini adalah memberi kewenangan kepada
parlemen yang terpilih untuk melakukan fungsi pemeriksaan,
pengawasan dan konsultasi serta membuat rekomendasi kepada
secretary of state mengenai kewenangan-kewenangan apa saja
yang secara bertahap dapat diterapkan di Irlandia Utara.
Pelaksanaan fungsi-fungsi ini diharapkan sebagai upaya
bertahap agar kebijakan devolusi dapat diterapkan secara
99
sepenuhnya di Irlandia Utara.139 Pemerintah UK yakin bahwa
untuk mengatasi masalah politik yang terjadi di Irlandia
Utara adalah dengan membuka kerjasama dengan pemerintah
Irlandia. Oleh karena itu kedua negara kemudian
menghasilkan kesepakatan yang disebut Anglo-Irish Agreement
pada 1985. Isi dari kesepakatan ini memiliki makna ambigu
“The Anglo Irish Agreement was a profoundly ambiguous document. In fact this
reflected the need to reconcile major differences of objective on the Irish and British
side. However it is also reflected the existence of deep divisions on Irish policy on the
British political elite. Ulster Unionist was economically and politically in much
weaker position than it had been in the 1960s or even in the immediate aftermath of
direct rule.”140
Pada inti kesepakatan itu adalah bahwa status
Irlandia Utara harus diserahkan pada rakyat Irlandia Utara,
dan keinginan rakyat Irlandia Utara pada saat itu adalah
tetap bersatu dengan Inggris, namun apabila dikemudian hari
rakyat Irlandia Utara menginginkan penyatuan dengan
139 Brian Thompson, LLB. Mlitt., Constitutional and Administrative Law, 3rd edition, (London:
Blackstone Press Limited, 1993), hal 31 140 Paul Bew, Henry Patterson & Paul Teague, Northern Ireland: Between War and Peace the
Political Future of Northern Ireland, cet.1 (London: Lawrence & Wishart Ltd, 1997), hal 65.
100
Irlandia maka kedua negara harus mendukung pelaksanaan
keinginan rakyat Irlandia Utara tersebut. Kesepakatan kedua
adalah dibentuknya Intergovernmental Conference yang
berarti bahwa pemerintah UK dan Irlandia terlibat dalam
kebijakan di Irlandia Utara. Unionist tidak setuju dengan
kesepakatan ini terutama dalam hal adanya Intergovernmental
Conference karena dengan adanya Intergovernmental
Conference berarti melibatkan pemerintah Irlandia dalam
kebijakan di Irlandia Utara yang berarti pula bahwa
keberadaan Irlandia tersebut akan mengukuhkan kedudukan
nationalist yang merupakan minoritas di Irlandia Utara.
Unionist melakukan berbagai hal untuk mencegah pelaksanaan
kesepakatan yang terjadi antara pemerintah UK dengan
Irlandia anatara lain seperti melakukan pengunduran diri
dari keanggotaannya di Westminster Parliament, membuat
semacam referendum atas penolakan kesepakatan tersebut juga
mencari putusan di pengadilan.141
Meskipun kesepakatan yang dibuat pada tahun 1985
tersebut tidak berhasil, kedua pemerintah tetap melakukan
perundingan-perundingan dan pada bulan Desember 1993 dibuat
141 Brian Thompson, Op.Cit.
101
Joint Declaration. Dalam Joint Declaration ini kedua
pemerintah bersepakat bahwa status Irlandia Utara
diserahkan sepenuhnya pada keinginan rakyat Irlandia Utara,
dan maksud pemerintahan UK di Irlandia Utara adalah bukan
demi kepentingan ekonomi atas pendudukan Inggris tapi
senantiasa untuk menegakkan perdamaian dan stabilitas
kondisi di Irlandia Utara. Pemrintah Irlandia juga mengakui
bahwa adalah kesalahan mencantumkan wilayah Irlandia Utara
sebagai wilayah Irlandia di dalam konstitusinya. Oleh sebab
itu Irlandia juga menghormati keinginan rakyat Irlandia
Utara dan menyerahkan status Irlandia Utara pada rakyat
Irlandia Utara itu sendiri.
Kesepakatan diantara kedua negara itu mengalami
kemajuan-kemajuan dengan membentuk petunjuk pelaksana atas
kesepakatan yang dibuat untuk pemerintahan Irlandia Utara
dengan membuat A New Framework for Agreement. Akan tetapi
di tingkat pemrintahan Irlandia Utara sendiri kesepakatan-
kesepakatan yang dibuat dengan IRA senantiasa mengalami
kegagalan. Seperti kesepakatan gencatan senjata yang dibuat
pada bulan Agustus 1994, yang mengalami kegagalan karena
IRA kembali melancarkan terornya pada tahun 1996. Oleh
sebab itu upaya melakukan gencatan senjata yang diprakarsai
102
oleh mantan senator Amerika Serikat, George Mitchell
diawali oleh sikap apatis. Akan tetapi perundingan itu
berhasil membuat kesepakatan yang disebut dengan Good
Friday Agreement atau Belfast Agreement yang ditandatangani
pada 10 April 1998.142 Kesepakatan tersebut menuntut agar
kelompok-kelompok bersenjata, baik itu dari kelompok
Protestan fundamentalis mauppun IRA, agar mengakhiri aksi-
aksi kekerasan dan menyerahkan senjata-senjatanya.
Kesepakatan ini juga menghasilkan bahwa Irlandia Utara
menetapkan statusnya sebagai bagian dari UK dan agar
Irlandia menghapus ketentuan yang menyatakan Irlandia Utara
sebagai wilayahnya dalam konstitusi Irlandia. Kesepakatan
ini juga berhasil menegaskan agar Irlandia Utara membentuk
parlemen baru yang berfungsi menjalankan segala kewenangan
yang diberikan oleh UK.143 Akan tetapi salah satu butir dari
kesepakatan itu yang hingga saat ini sulit untuk diwujudkan
adalah proses peletakan senjata dari IRA. Atas kekerasan
hati IRA untuk tidak melakukan peletakan dan penyerahan
senjata, proses politik dan tarik menarik kepentingan
142 http://www.ofmdfmni.gov.uk/publications.htm 143 Rick Wiford, Aspects of the Belfast Agreement: Introduction, dalam Rick Wilford (ed),
Aspects of the Belfast Agreement, cet.1, (New York: Oxford Univ. Press, 2001), hal.2
103
antara IRA dan pemerintah Irlandia Utara terus terjadi.
Konflik ini mengakibatkan pemerintahan di Irlandia Utara
tetap berada dalam kondisi yang tidak kondusif. Sama
seperti Skotlandia dan Wales, pada tahun 1998 Irlandia
Utara juga menerima kebijakan devolusi dari pemerintah UK
namun hingga kini pelaksanaan devolusi di Irlandia Utara
belum terlaksana seiring Secretary of State for Northern
Ireland pada tanggal 14 Oktober 2002 mengeluarkan kebijakan
yang menunda jalannya parlemen Irlandia Utara dan pada
tanggal 28 April 2003 parlemen Irlandia Utara dibubarkan.144
2. Skotlandia
Untuk membandingkan pelaksanaan otonomi di Inggris dengan menjadikan Irlandia Utara sebagai bahan perbandingan sedikit kurang memuaskan karena pelaksanaan devolution di Irlandia Utara hingga kini masih ditunda. Disatu sisi Irlandia utara memang memiliki kesamaan dengan Aceh yaitu bahwa kebijakan otonomi tersebut belum terlaksana dengan sempurna karena adanya kondisi yang tidak kondusif disebabkan pemberontakan atau aksi-aksi kekerasan baik di Irlandia Utara maupun di Aceh. Oleh sebab itu untuk melihat pelaksanaan sistem otonomi yang telah berjalan dengan baik harus dilihat daerah lain di United Kingdom yaitu Skotlandia.
Act of Union 1707 pada dasarnya membagi kewenangan-kewenangan antara yang akan dilakukan oleh UK sebagai pemerintah pusat dengan Skotlandia sebagai pelaksana pemerintahan otonomi didaerah. Berdasarkan Act of Union tersebut, Skotlandia juga memiliki kewenangan-kewenangan khusus yaitu kewenangan untuk melaksanakan sistem hukum sendiri, Skotlandia tetap memegang kendali atas gereja Presbyterian serta kewenangan atas pelaksanaan sistem pendidikan, terutama tingkat universitasnya.
144 http://www.ni-assembly.gov.uk/
104
UK adalah sebuah negara kesatuan akan tetapi UK juga
adalah sebuah negara multinasional145 yang terdiri dari tiga
sistem hukum yang berbeda.146 Dalam The Constitution of The
United Kingdom (ICL Documents: 1992) Bab II bagian 5 pasal
46 ayat (1) disebutkan :
“Although Britain is a unitary state, England and Wales, Scotland and Northern
Ireland all have their own legal systems, with considerable differences in law,
organization and practice. However, a large amount of modern legislation applies
throughout Britain. The law is divided into criminal law and civil law; the latter
regulates the conduct of people in ordinary relations with one another. The distinction
between the two is reflected in the procedures used, the courts in which cases may be
heard and the sanctions which may be applied.”
145 Rose menyebut UK sebagai sebuah ‘multinational state’ (Rose R., Understanding the United
Kingdom: the Territorial Dimension in Government, (London: Longman, 1982). Sedangkan Rokkan dan Urwin melihat dengan pandangan berbeda dengan menyebutkan bahwa “United Kingdom is a union state, where considerable regional regional autonomy is preservedthrough the perpetuation of many pre-union rights and institutional infrastuctures (Rokkan S. and Urwin D.,Introduction: Centres and Peripheries in Western Europe in Rokkan S. And Urwin D.(eds), the Politics of Territorial Identity, Studies in European Regionalism, (London: Sage, 1982). Dan Mitchell berpendapat bahwa “ it is a flexible union state which has failed (historically) to incorporate proper democratic accountability within it” (Mitchell J., Strategies for Self Government: the Campaigns for Scottish Parliament, (Edinburgh: Polygon, 1996). Lihat juga Allan Mc Connel, Issues of Governance in Scotland, Wales and Northern Ireland dalam Robert Pyper dan Lynton Robins (eds), United Kingdom Governance, cet.1, (London: Macmillan Press, 2000), hal 249.
146 Brian Thompson, LLB. Mlitt., Op.Cit., hal 24.
105
Yurisdiksi ketiga sistem hukum yang berlaku di UK dibedakan atas batas geografis dari daerah-daerah kerajaan yang bersatu dengan UK. Ketiga sistem hukum yang berlaku tersebutu yaitu England dan Wales menjadi satu yurisdiksi dan memiliki kesamaan sistem hukum, sistem hukum di Skotlandia dan sistem hukum di Irlandia Utara. Sistem hukum England dan Wales terdiri atas kumpulan-kumpulan konvensi yaitu common law dan equity, serta peraturan perundang-
undangan yang dibuat oleh parlemen dan peraturan perundang-undangan European Community.147
Sistem hukum di Skotlandia secara prinsip dan prosedur berbeda dengan sistem hukum di England dan Wales. Perbedaan sistem hukum ini mengakibatkan adanya perbedaan struktur lembaga peradilan. Terkecuali untuk kasus-kasus perkara perdata, upaya hukum yang terakhir adalah hingga pada House of Lords dimana terdiri dari 5 orang Lords of Appeal dan dua diantaranya adalah hakim-hakim dari Skotlandia.
Struktur lembaga peradilan di Skotlandia148 Civil Criminal House of Lords Courts of Session Sherrif Court
Court of Criminal Appeal High Court of Justiciary Sherrif Court
District Court Perbedaan pelaksanaan sistem hukum ini telah dijamin sejak lama ketika
penandatanganan Act of Union. Dalam perjanjian tersebut salah satu kewenangan yang diperoleh Skotlandia adalah bahwa Skotlandia dapat
147 Peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh parlemen serta peraturan perundang-
undangan European Community (parlementiary and European Community legislation) berlaku untuk seluruh UK. European Community legislation berlaku karena keanggotaan UK dalam Uni Eropa, pengaturan European Community legislation lebih banyak menyentuh pada permasalahan ekonomi dan sosial. Dalam keadaan tertentu European community legislation memiliki kekuatan mengikat lebih besar dari domestic law yang berlaku di UK. (lihat The British Government: The Legal System, http://www.britannia.com) 148 James G. Kellas, the Scottish Political System, cet.4, (Melbourne: University of Cambridge, 1994), hal
23. The head of Judiciary in Scotland is the Lord President of the Court of Session and not the Lord Advocate, who is the chief Law officer of the crown. This is unlike the position in Englan where the Lord Chancellor fulfils both functions. The Law Society of Scotland recommended to the commision on the contitution that scotland should have the equivalent of the Lord Chancellor’s office.
106
melaksanakan sistem hukumnya sendiri berbeda dengan kerajaan England.
“That the Court of Session, or College of Justice, do, after the Union, and notwithstanding thereof, remain in all time coming within Scotland, as it is now constituted by the laws of that kingdom, and with the same authority and privileges as before the Union, subject, nevertheless, to such regulations, for the better administration of justice, as shall be made by the Parliament of Great Britain ; and that hereafter none shall be named by Her Majesty, or her royal successors, to be ordinary Lords of Session, but such who have served in the College of Justice as advocates, or principal clerks of Session, for the space of five years, or as Writers to the Signet for the space of ten years, with this provision, that no Writer to the Signet be capable to be admitted a Lord of the Session, unless he undergo a private and public trial on the civil law before the Faculty of Advocates, and be found by them qualified for the said office two years before he be name.”149
Perbedaan sistem hukum di Skotlandia menyebabkan perubahan yang direncanakan pemerintah pusat untuk diimplementasikan di seluruh UK membutuhkan peraturan perundang-undangan khusus untuk diberlakukan di Skotlandia. Oleh sebab itu di House of Commons dibentuk Standing Committee khusus untuk Skotlandia yang menjadi jalan masuk bagi rancangan Undang-Undang yang berkaitan dengan Skotlandia.150
Dewasa ini, di UK diterapkan kebijakan devolution bagi Wales dan Skotlandia. Devolution biasanya diartikan bahwa sebuah lembaga yang lebih tinggi memberikan sebagian kewenangannya kepada lembaga yang berada dibawahnya dan memiliki kompetensi untuk menganulir tindakan yang diambil oleh lembaga yang berada dibawahnya itu dalam lingkup kewenangan yang telah diberikan kepada lembaga yang berada dibawahnya itu.151 Devolution juga diartikan sebagai pembentukan dan penguatan local government yang aktivitasnya secara substansial berada diluar pengendalian langsung oleh pemerintah, dilihat dari sistem pemerintahan Indonesia devolution dipandang sebagai padanan dari desentralisasi.152 Terdapat tiga tipe devolution yaitu administratif, eksekutif dan legislatif. Brian Thompson mengungkapkannya :
149 Act of Union 1707, butir XIX.
150 Brian Thompson, Op.Cit., hal 26 151 Ibid., hal 38
107
“Administrative devolution could mean that the central government arranges for the execution or administration of policy to be carried out at a lower (regional) level. At the executive stage new institutions would be created which could devise polices and administer them but this would be done within a framework set by central government. Where legislative devolution is conferred the subordinate legislature has specified subjects transferred to it, which may be dealt with under a framework of its own design and it may legislate in addition to the powers exercised under the execitive devolution model.”
Saat ini kebijakan legislative devolution itu telah diterapkan di Skotlandia.153 Pada bulan Mei 1999 Skotlandia mengadakan pemilu untuk memilih wakil rakyat yang akan ddudk di parlemen. Dan pada tanggal 1 Juli 1999 parlemen skotlandia dibuka pertama kalinya oleh Ratu Inggris, Queen Elizabeth. Atas kebijakan ini terdapat pembagian kewenangan antara UK Parliament dengan parlemen Skotlandia. Kewenangan yang dimiliki oleh pemerintah pusat (reserved matters) terdiri atas
a. the constitution, including the crown, the succession to the crown, the
parliament of UK and the union of Scotland and England; b. Foreign Affairs and the European Union; c. The Civil Service d. Defence e. Fiscal, economic and monetary pollicy, although local taxes funding, local
authority expenditure, for example the council tax and non domestic rates are not reserved;
f. The currency, financial service and financial markets; g. Elections and the franchise for local government elections, otherwise
however, local governmentelections are not reserved; h. Immigration and nationality; i. National security; j. Extradition; k. Competition and export and import control;
152 Bhenyamin Hoessein, Propek Resolusi Kebijakan Implementasi Otonomi Daerah Dari Sudut Pandang Hukum Tata Negara, Jurnal Ekonomi Dan Pembangunan (JEP), IX(2), 2001. Sebagai perbandingan antara praktek devolution di UK dengan Sistem di Canada dan Australia lihat Richard Cornes, Intergovernmental relations in a Devolved United Kingdom: Making Devolution Work, dalam Robert Hazell (ed), Constitutional Futures, a History of the next ten years, cet.1, (New York: Oxford University Press, 1999), hal. 156-177.
153 berdasarkan Scotland Act 1998, Wales menerima administrative dan executive devolution
berdasarkan Wales Act 1998
108
l. Telecommunication and the Post Office; m. The bulk of energy policy; n. Certain essentials of transport policy; o. The bulk of social security policy; p. Employment, industrial relations and health and safety; q. Abortion; and r. Broadcasting. Anything not specifically reserved lies within the legislative competences of the scottish parliament, which will have power to legislate over abroad range of scottish domestic affairs, and in particular over home affairs, the legal system, local government, housing, agriculture, health, social, educational and environmental policy.154
Dalam masalah peraturan perundang-undangan Presiding Officer of the Scottish
Parliament (Ketua parlemen Skotlandia) memiliki tugas untuk memeriksa Rancangan Undang-Undang yang dikeluarkan oleh Parlemen Skotlandia agar tidak ultra vires, atau mengatur mengenai hal-hal yang bukan merupakan kewenangan dari Parlemen Skotlandia.155 Pemerintah Skotlandia sebelum mengeluarkan RUU juga harus memperhatikan agar tidak ultra vires. Sebelum RUU tersebut mendapat pengesahan dari kerajaan ada waktu jeda sehingga pememrintah UK dapat memastikan bahwa RUU tersebut tidak mengatur kewenangan diluar dari kewenangan yang dimiliki Skotlandia. Bila ada permasalahan dalam hal pengesahan RUU maka Judicial Comittee of the Privy Council berwenang untuk memeriksa dan memberi pemecahan atas permasalahan tersebut. Judicial Comittee terdiri dari paling sedikit 5 (lima) orang Law Lords.156
Struktur pemerintahan United Kingdom157
154 Vernon Bogdanor, Devolution in the United Kingdom, cet.1, (New York: Oxford University
Press, 1999), hal 204.
155 Unlike westminster, where the executive dominates the legislative process are few oppotunities for backbenchers to make laws, the scottish parliament features a number of legislative process with the potential to empower back bench MSPs and the parliament’s committees. Lihat Peter Lynch, Scottish Government and Politics: an Introduction, cet.1, (Edinburgh: Edinburgh University, 2001), hal 90.
156 Scotland Act 1998, pasal 31-33 157 F.N. Norman dan N.D.J. Baldwin, Mastering British Politics, cet.4, (London: Macmillan
Press, 1999), hal 412.
109
BAB IV PEMBERIAN OTONOMI KHUSUS PADA PROVINSI NANGGROE ACEH
DARUSSALAM
A. ALASAN DIBERIKANNYA OTONOMI KHUSUS UNTUK PROVINSI
NANGGROE ACEH DARUSSALAM
1. Alasan Historis
Sekitar abad XVI, ketika kaum imperialis kolonialis
barat (Portugis dan Belanda) memulai penjajahannya di
Nusantara, Kerajaan Aceh Darussalam tetap bebas sebagai
sebuah negara yang berdaulat. Sesungguhnya Belanda telah
menguasai beberapa kerajaan lain di Nusantara dan tidak ada
konflik dengan Kerajaan Aceh Darussalam, Belanda tetap
berjanji kepada Inggris untuk tetap menghormati kemerdekaan
Kerajaan Aceh Darussalam yang dituangkan dalam traktat
London 17 Maret 1824. Akan tetapi kemudian Belanda berhasil
meyakinkan Inggris untuk memberikan peluang kepada Belanda
untuk menguasai Aceh melalui traktat Sumatera pada 1
November 1871. Dua tahun kemudian Belanda menyerang Aceh
110
(1873). Peperangan frontal antara Aceh dengan Belanda
memakan banyak korban pada kedua belah pihak. Sejak perang
meletus hingga Perang Dunia II (1939), Belanda telah
kehilangan 6 orang Jenderal beserta ribuan perwira dan
prajurit. Demikian pula di pihak Kerajaan Aceh Darussalam.
Puncaknya adalah ketika Belanda berhasil menawan Sultan
Tuanku Muhammad Daud Syah pada tahun 1904 dan dibuang ke
pulau Jawa. Belanda kemudian melaksanakan pemerintahan
sipil dibawah pimpinan seorang residen dan mengumumkan
secara sepihak bahwa Aceh telah menjadi bagian dari
Nederlands Indie atau Hindia Belanda. Namun demikian perang
gerilya tetap berlangsung dibeberapa tempat dengan dipimpin
oleh para pemuka rakyat lokal.158
Kontribusi Aceh dalam perjuangan merebut kemerdekaan
Indonesia juga terlihat dalam keikutsertaan tokoh-tokoh
dari daerah Aceh untuk duduk sebagai anggota ketika Belanda
membentuk volksraad. Kedua tokoh tersebut adalah Teuku
Muhammad Thayeb Peureulak dan Teuku Nyak Arief, yang
158 Ismail Sofyan, T. Ibrahim Alfian, Aboe Bakar et. al (ed), Perang Kolonial Belanda di Aceh,
cet.2, (Banda Aceh: Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh, 1990), hal 81. Kisah mengenai peperangan Aceh dengan Belanda lihat Tgk A. K. Jacobi, Aceh dalam Mempertahankan Proklamasi Kemerdekaan 1945-1949, cet.1, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1998), hal 17-35. Lihat juga Paul van ‘T Veer, Perang Aceh, Kisah Kegagalan Snouck Hurgronje, cet.1, (Jakarta: Grafiti Press, 1985). bandingkan dengan H.C. Zentgraaf, Aceh, terj. Aboe bakar, cet.1, (Jakarta: Penerbit Beuna, 1983).
111
dijuluki dengan Rencong Aceh. Begitu pula ketika Badan
Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BUPKI) yang kemudian
menjadi Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI),
rakyat Aceh diwakili oleh Mr. T. Muhammad Hasan, yang
kemudian setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia Mr. T.
Muhammad Hasan diangkat menjadi Gubernur Provinsi Sumatera
yang pertama dan berkedudukan di Bukit Tinggi. Dan daerah
Aceh pada kala itu ditetapkan sebagai salah satu
karesidenan dengan Teuku Nyak Arief diangkat sebagai
residen yang pertama.
Komitmen kebangsaan rakyat Aceh terhadap berdirinya
Republik Indonesia sangat kuat. Hal ini ditunjukkan dengan
maklumat yang dikeluarkan oleh empat ulama besar dan
kharismatik di Aceh pada saat itu, yaitu Tgk. Muhammad Daud
Beureueh, Tgk. H. Muhammad Hasan Kreung Kale,159 Tgk. H.
Ahmad Hasballah Inderapuri160 dan Tgk. H. Jafar Siddiq
Lamjabat. Isi maklumat keempat Ulama besar yang dikeluarkan
pada tanggal 15 Oktober 1945 adalah :161
159 Biografi singkat beliau bisa dilihat pada A. Hasjmy, Ulama Aceh, Mujahid Perang
Kemerdekaan dan Pembangun Tamadun Bangsa, cet.1, (Jakarta: Bulan Bintang, 1997), hal 189-200.
160 Ibid., hal 45-60
112
• Bagi kaum muslimin yang berperang untuk mempertahankan
cita-cita kemerdekaan, kalau meninggal dalam perang itu
akan mendapat pahala syahid.
• Menurut keyakinan kami (ulama) bahwa perjuangan yang
sekarang ini (membela kemerdekaan RI) adalah sebagai
sambungan perjuangan dahulu Aceh yang dipimpin oleh para
ulama dan pahlawan bangsa.
• Dan sebab itu, bangunlah wahai bangsaku sekalian,
bersatu padu menyusun langkah, maju kemuka untuk
mengikuti jejak perjuangan nenek kita dahulu. Tunduklah
dengan patuh segala pemerintah pemimpin kita (Soekarno-
Hatta) untuk keselamatan tanah air, agama dan bangsa.
Soekarno, Presiden Republik Indonesia pada masa itu,
dalam beberapa pidatonya menyampaikan betapa besar arti
kontribusi Aceh bagi perjuangan kemerdekaan Indonesia.
Dalam pidatonya didepan Pendopo Residen Aceh pada tanggal
16 Juni 1948, beliau berkata162 :
“hanya jikalau negara Indonesia telah berdiri dengan isinya, jikalau Sang Merah Putih telah berkibar di seluruh kepulauan Indonesia, barulah kita boleh berkata
161 Ibrahim Alfian, Zakaria Ahmad, Muhammad Ibrahim, et. al., Revolusi Kemerdekaan Indonesia di Aceh (1945-1949), seri penrbitan museum negeri Aceh 10, (Banda Aceh: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Proyek Pengembangan Permuseuman, 1982), hal 153-154
162 Amran Zamzami, Jihad Akbar di Medan Area, cet.1, (Jakarta: Bulan Bintang, 1990), hal 323.
113
bahwa Revolusi Nasional kita telah selesai. Saya tahu rakyat Aceh adalah pahlawan. Aceh selalu menjadi contoh perang kemerdekaan seluruh rakyat Indonesia. Seluruh rakyat Indonesia melihat ke Aceh, mencari kekuatan batin dari Aceh, dan Aceh tetap menjadi obor perjuangan rakyat Indonesia.”
Soekarno juga menyebut Aceh sebagai “Daerah Modal”, modal dasar bagi perjuangan bangsa Indonesia. Dalam pidatonya pada Rapat Raksasa 18 Juli 1948 di Bireuen, beliau menyebutkan163 :
“Aku ingin bertemu muka dengan rakyat Aceh yang selalu menjadi kenanganku, rakyat yang tidak mau dijajah Belanda... rakyat yang telah mengadakan perjuangan mati-matian, bertempur, menolak dan menahan imperialisme Belanda masuk ke daerah Aceh, sehingga karenanya Aceh menjadi Daerah Modal Republik Indonesia.”
Ketika menyebutkan daerah modal, persepsi seseorang mungkin
akan menuju pada sumbangan rakyat Aceh berupa dua buah
pesawat DC-10 yang disebut “Seulawah I” dan “Seulawah II”
sebagai cikal bakal Garuda Indonesia Airways.164 Namun
peranan Aceh tidak hanya sebatas itu.
Tatkala Van Mook menjalankan politik devide et impera
didaerah-daerah yang sudah diduduki NICA, banyak daerah-
daerah yang terpengaruh untuk melepaskan diri dari Republik
Indonesia dan menyatakan diri sebagai Negara Bagian atau
163 M. Hasan Basri (peny.), Untuk Apa Kita Merdeka, Amanat dan Kursus Politik bung Karno di
Sumatera dalam Perang Kemerdekaan 1945-1949, cet.1, (Jakarta: KOPKAR PIP, 1995), hal 44. 164 Hasan Saleh, Mengapa Aceh Bergolak, cet.I (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1992), hal.115.
Menurut pasal 2 Konstitusi RIS 1949 Negara Republik Indonesia dan daerah-daerah lain yang memisahkan diri adalah negara bagian dari Negara Republik Indonesia Serikat dan bukan merupakan negara yang berdiri sendiri.
114
sebagai satuan negara yang berdiri sendiri.165 Dalam
persetujuan Renville 18 Januari 1948 terdapat 16 negara
yang berstatus negara bagian dan satuan negara yang berdiri
sendiri. Negara-negara bagian tersebut adalah Negara
Indonesia Timur, Negara Pasundan, Negara Jawa Timur, Negara
Madura, Negara Sumatera Timur dan Negara Sumatera Selatan.
Satuan negara yang berdiri sendiri adalah Negara Jawa
Tengah, Negara Bangka, Negara Belitung, Negara Riau, Negara
Kalimantan Barat, Negara Dayak Besar, Negara Banjar, Negara
Kalimantan Timur dan Negara Republik Indonesia. Negara
Republik Indonesia pada saat itu hanya terdiri dari daerah
Yogyakarta dan daerah Aceh, dibawah akting Presiden Mr.
Assa’at.
Komisi Tiga Negara yang ditunjuk PBB telah melakukan
investigasi ke Aceh dengan menelusuri sepanjang jalan darat
mulai dari Kutaraja sampai ke Medan, mengakui bahwa daerah
Aceh secara de Jure dan de Facto merupakan wilayah Republik
Indonesia tetap eksis. Bendera Merah Putih tetap berkibar
diseluruh daerah Aceh. Sehingga dalam Konferensi Meja
Bundar keberadaan wilayah Republik Indonesia menjadi bukti
165 Tgk.A.K. Jacobi, Aceh Daerah Modal, Longmarch ke Medan Area, cet.1, (Jakarta: Yayasan
Seulawah RI-001, 1992), hal 201-204.
115
masih berdirinya Republik, oleh sebab itu Belanda kemudian
mengembalikan kedaulatan RI pada tahun 1949.
Komitmen rakyat Aceh untuk ikut serta mempertahankan
kemerdekaan Indonesia juga dapat dilihat melalui petikan
dialog antara Soekarno dengan Tengku Daud Beureuh ketika
Soekarno berkunjung ke Kutaraja pda tahun 1948, berikut ini
adalah petikan dialog tersebut
Soekarno : “Saya meminta bantuan kakak (Daud Beureuh), agar rakyat Aceh turut
ambil bagian dalam perjuangan bersenjata yang sekarang sedang berkobar antara
Indonesia dan Belanda untuk mempertahankan kemerdekaan yang telah kita
proklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945.”
Daud Beureuh : “Saudara Presiden! Kami rakyat Aceh dengan segala senang hati dapat memenuhi permintaan Presiden, asal saja perang yang akan kami kobarkan itu, berupa perang sabil atau perang fisabiliLlah, perang untuk menegakkan agama Allah, sehingga kalau ada diantara kami yang terbunuh dalam peperangan itu maka berarti mati syahid.”
Soekarno : “Kakak! Memang yang saya maksudkan itu adalah perang yang seperti yang telah dikobarkan oleh pahlawan-pahlawan Aceh yang terkenal seperti tengku Cik Ditiro dan lain-lain, yaitu perang yang tidak kenal mundur, perang yang bersemboyan merdeka atau syahid.”
Daud Beureuh : “Kalau begitu kedua pendapat kita telah bertemu saudara Presiden. Dengan demikian bolehlah saya mohon kepada saudara Presiden, bahwa apabila perang
116
telah usai nanti, kepada rakyat Aceh diberikan kebebasan untuk menjalankan syariat Islam dalam daerahnya.”
Soekarno : “Mengenai hal itu kakak tak usah khawatir, sebab 90% rakyat Indonesia beragama Islam.”
Daud Beureuh : “Maafkan saya saudara Presiden, kalau saya terpaksa mengatakan bahwa hal itu tidak menjadi jaminan bagi kami. Kami menginginkan satu kata ketentuan dari saudara Presiden.”
Soekarno : “Kalau demikian baiklah saya setuju permintaan itu.”
Daud Beureuh : “AlhamduliLlah, atas nama rakyat Aceh saya mengucapkan terima kasih banyak atas kebaikan hati saudara Presiden. Kami mohon (sambil menyodorkan secarik kertas kepada Presiden soekarno), sudi kiranya saudara Presiden menulis sedikit diatas kertas ini.”
Mendengar ucapan Tengku Daud Beureuh itu, langsung Presiden Soekarno
menangis terisak-isak. Air matanya yang mengalir dipipinya membasahi
bajunya.
Dalam keadaan terisak-isak Presiden Soekarno berkata “Kakak, kalau begitu tak ada gunanya aku jadi presiden. Apa gunanya menjadi presiden kalau tidak dipercaya?”
Langsung saja Tengku Daud beureuh menjawab : “bukan kami tidak percaya saudara Presiden, akan tetapi hanya sekedar menjadi tanda yang akan kami perlihatkan kepada rakyat Aceh yanga akn kami ajak berjuang.”
Lantas Presiden Soekarno sambil menyeka air matanya berkata : “Wa Allah billah, kepada daerah Aceh benar-benar nanti dapat melaksanakan syariat Islam. Dan Wa Allah, saya akan pergunakan pengaruh saya agar rakyat Aceh benar-benar nanti dapat melaksanakan syariat Islam didalam daerahnya. Nah, apakah kakak masih ragu-ragu juga?”
117
Dijawab oleh Tengku Daud Beureuh : “Saya tidak ragu lagi saudara Presiden. Sekali lagi atas nama rakyat Aceh saya mengucapkan banyak terima kasih kebaikan hati saudara Presiden.”:
Menurut pengakuan Tengku Muhammad Daud Beureuh, karena
keibaannya melihat Presiden Soekarno menangis
terisak-isak, beliau tidak sampai hati lagi
meminta jaminan hitam diatas putih atas janji-
janji Presiden Soekarno itu.166
Bukti sejarah lain mengenai komitmen perjuangan
rakyat Aceh untuk menjadi bagian bangsa Indonesia adalah
ketika Belanda membujuk para Pemimpin Aceh pada bulan Maret
1949 agar Aceh bersama Dr. Tengku Mansur (Sultan Deli)
untuk mengambil bagian mendirikan negara bagian seperti
negara bagian Sumatera Timur ditolak secara tegas oleh
Tengku Daud Beureuh yang ketika itu menjadi Gubernur
Militer Aceh, Langkat dan Tanah Karo. Bahkan pasukan Badan
Keamanan rakyat dan pasukan relawan Aceh seperti Mujahidin,
Pesindo, dikirim ke Medan area di Sumatera Timur untuk
menghadang pasukan Belanda memasuki Aceh lewat jalan darat.
166 Amran Zamzami, Op.Cit., hal 342-344. bandingkan dengan Semua Menjadi saksi: Mereka
Biadab, Majalah Islam Sabili, no.5 th.VII 25 Agustus 1999/Jumadil awal 1999 dalam Tgk Lamkaruna Putra, Perjalanan Panjang Aceh Menuju Islam Kaffah, cet.I, (Jakarta: Titian Ilmu Insani, 2001), hal 27.
118
Dengan demikian jelaslah bahwa Aceh sebagai modal
perjuangan bangsa Indonesia mempertahankan kedaulatannya.
Aceh telah memberikan andilnya yang cukup besar dalam
sejarah kemerdekaan Indonesia.
Akan tetapi walaupun demikian besarnya pengorbanan
yang diberikan oleh rakyat Aceh, timbal balik atas segala
pengorbanan yang diberikan oleh rakyat Aceh itu tak kunjung
diberikan oleh pemerintah pusat atau Soekarno. Timbal balik
berupa penerapan syari’at Islam di Aceh tak juga
dilaksanakan bahkan pada tahun 1948 status Aceh sebagai
provinsi diturunkan menjadi daerah karesidenan. Hal ini
menimbulkan ketidakpercayaan rakyat Aceh terhadap
pemerintah pusat. Pada bulan April 1953, bertempat di
Istana Maimun Al Rasyid, Medan, berlangsung Kongres Alim
Ulama yang dihadiri kurang lebih 540 ulama. Kongres ini
diadakan guna membicarakan seputar nasib umat Islam
Indonesia yang baru lepas dari belenggu penjajahan Belanda
ysng ketika itu kekuasaan sedang dipegang oleh Soekarno-
Hatta. Para ulama merasakan kegelisahan karena mereka
melihat kurang terakomodasinya peran Islam dalam
memepertahankan kemerdekaan. Kongres ini mengangkat Teungku
Muhammad Daud Beureueh sebagai ketuanya dan keputusan
119
penting yang dihasilkan dari kongres ini adalah mengajukan
kepada pemerintah RI, Soekarno, untuk tidak perlu
mengadakan pemilihan umum sebab umat Islam Indonesia secara
mayoritas sudah menang. Hendaknya pemerintah RI tinggal
mengganti dan melaksanakannya menjadi negara Islam dan
melaksanakan hukum Islam. Secara aklamasi para peserta
kongres telah bersumpah bersama-sama bila pemerintah RI
tidak bersedia mengumumkan RI ini sebagai negara Islam
berarti para ulama bersiap sedia mengangkat senjata.
Keputusan ini ditandatangani oleh semua peserta kongres
bahkan ada yang menandatangani dengan cap jari darah
sebagai tanda bahwa mereka telah bulat dan sepakat untuk
memberlakukan hukum Islam di Indonesia. Selanjutnya hasil
dari kongres itu membentuk tim delegasi yang akan
mengantarkan resolusi dan keputusan Muktamar Medan ini
kepada Soekarno baik lisan maupun tulisan. Setelah
mendengarkan laporan yang disampaikan oleh tim delegasi
itu, Soekarno dapat memahami dan memaklumi seraya meminta
kembali kepada para delegasi untuk kembali seraya
mengatakan, “Saya akan mengutus utusan resmi untuk
menjumpai Kakanda Teungku Muhammad Daud Beureueh.”
120
Dua minggu kemudian, diutuslah Muhammad Hatta bersama
rombongan menjumpai Teungku Muhammad Daud Beureueh di Aceh.
Muhammad Hatta secara diplomatis menyampaikan kepada
Teungku Muhammad Daud Beureueh apa yang dihasilkan dari
kongres Ulama di Medan telah dipahami oleh Soekarno dan
memohon kepada kakanda untuk menunda dulu maksudnya, karena
menunggu hasil pemilu nanti. Mendengar ucapan Hatta itu,
Teungku Muhammad Daud Beureueh menjawab, “Bung Hatta, kami
para ulama pantang menjilat kembali air ludah yang telah
kami keluarkan, bila keinginan dari hasil kongres di Medan
ditolak oleh pemerintah RI, kami telah siap untuk angkat
senjata berjihad fi sabilillah. Bung Hatta, silahkan malam
ini juga tinggalkan Kutaraja, karena saya tidak dapat
menjamin keselamatan saudara.” Pada malam itu juga,
Muhammad Hatta beserta rombongan berangkat meninggalkan
Kutaraja tanpa hasil.167
Pada tanggal 21 September 1953, Teungku Muhammad Daud
Beureueh memproklamasikan Darul Islam Aceh dan bergabung
167 Harian Republika, Sabtu 25 September 1999
121
dengan Darul Islam NII, Jawa barat dibawah pimpinan
Kartosuwiryo.168
Proklamasi yang diucapkan oleh Teungku Daud Beureueh
berbunyi :
Bismillahirahmanirrahim
PROKLAMASI
Berdasarkan pernyataan berdirinya Negara Republik Islam Indonesia
Pada tanggal 12 Syawal 1308/7 Agustus 1949, Oleh Imam S.M. Kartosoewiryo
Atas nama Umat Islam Bangsa Indonesia, Maka dengan ini kami nyatakan, DAERAH ATJEH DAN SEKITARNYA, Menjadi bahagian daripada NEGARA ISLAM INDONESIA.
Allahu akbar! Allahu Akbar! Allahu akbar!
Atjeh Darussalam,
13 Muharram 1372/21 September 1953 Atas nama
Umat Islam daerah Atjeh dan sekitarnya
t.t.d
(Teungkoe Muhammad Daud Beureueh)169
168 C. van Dijk, Darul Islam, Sebuah Pemberontakan, cet.III (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti,
1993), hal 255. lihat juga Al Chaidar, Pengantar Pemikiran Politik Negara Islam Indonesia SM Kartosoewirjo, cet.1, (Jakarta: Darul Falah, 2000), hal 175-200.
169 Al Chaidar, Gerakan Aceh Merdeka, Jihad Rakyat Aceh Mewujudkan Negara Islam, cet.I
(Jakarta: Madani Press, 1999), hal 121
122
Perkembangan situasi Aceh setelah proklamasi yang
diserukan oleh Daud Beureueh makin hangat. Pada tanggal 23
September 1955 berlangsung Kongres Batee Kreung yang
dihadiri pemimpin-pemimpin rakyat Aceh. Hasil Kongres
Rakyat ini membawa perubahan yang signifikan yaitu Daerah
Aceh yang tadinya menjadi bahagian dari Negara Islam
Indonesia menjadi negara Bagian Aceh, Negara Islam
Indonesia (NBA/NII).170 NBA/NII sering mengadakan kerjasama-
kerjasama dengan gerakan lain, salah satunya adalah dengan
PRRI/Permesta. Pada akhir tahun 1959, sesuai dengan
kesepakatan yang tercapai dalam pertemuan di Genewa pada
bulan Desember 1958 antara pemimpin-pemimpin PRRI/Permesta
dimana hadir Hasan Ali, Perdana menteri NBA/NII dan hasan
Muhammad Tiro maka diputuskanlah untuk mendirikan suatu
negara yang berbentuk federal yang dinamakan Republik
Persatuan Indonesia (RPI) guna mendapatkan dukungan lebih
banyak dari daerah-daerah. Dalam struktur RPI sebagai
Presidennya adalah Syafruddin Prawiranegara dan sebagai
wakilnya adalah Teungku Muhammad Daud Beureueh.171 Akan
tetapi RPI sangat singkat umurnya karena adanya perpecahan
170 Ibid., hal 130 171 Ibid., hal 132
123
dalam tubuh RPI dan banyak pemimpin-pemimpin RPI yang
menyerahkan diri kepada pemerintah Republik Indonesia.
Tanggal 25 Agustus 1961 secara resmi Syafruddin
Prawiranegara menyerah di Padang Sidempuan. Walaupun banyak
pemimpin-pemimpin RPI yang menyerahkan diri, Teungku
Muhammad Daud Beureueh tetap bertahan dengan keyakinannya.
Dengan kekuatan senjata dan pasukan yang terbatas
dicetuskan berdirinya Republik Islam Aceh (RIA) pada
tanggal 15 Agustus 1961. Dalam struktur kelembagaannya,
Republik Islam Aceh telah berpisah dengan kekuatan-kekuatan
pergerakan lain di Indonesia termasuk Darul Islam di Jawa
Barat. Pada tahun 1962, ketika mendapat tawaran dari
Nasution melalui Panglima/Penguasa Perang kodam I Iskandar
Muda, Kolonel Muhammad Jasin, mengadakan perundingan dengan
Teungku Muhammad Daud Beureueh untuk menyelesaikan konflik
di Aceh.172 Dalam perundingan itu pemerintah akan memberikan
hak penuh untuk melaksanakan hukum syari’at Islam, melalui
Surat Keputusan Penguasa Perang No. 061/3/1962 KPTS/Peperda
tentang Kebijaksanaan Penyelenggaraan Unsur-Unsur Syari’at
Islam bagi Pemeluk-pemeluknya di Daerah Istimewa Aceh.
172 Ibid., hal 135
124
Setelah melakukan perundingan dengan ulama lainnya Teungku
Muhammad Daud Beureueh menerima tawaran pemerintah
tersebut. Akan tetapi tawaran itu hanya sebagai alat untuk
melumpuhkan kekuatan perjuangan RIA, karena tidak ada
implementasi dari surat keputusan tersebut untuk
melaksanakan syariat Islam di Aceh.
a. Gerakan Aceh Merdeka Setelah dua kali merasa ditipu oleh Soekarno dalam
janji-janjinya untuk melaksanakan syari’at Islam di Aceh
tak juga dilaksanakan, Teungku Muhammad Daud Beureuh
menaruh harapan besar atas bargantinya pemerintahan menjadi
Orde Baru. Namun Orde Baru ‘setali tiga uang’ dengan Orde
Lama. Label ‘Daerah Istimewa’ bagi daerah Aceh telah
dikebiri oleh pemerintah Orde Baru, rakyat Aceh tak bisa
berbuat apa-apa ketika daerahnya di eksploitasi demi
kepentingan pusat. Perubahan kesejahteraan untuk rakyat
Aceh tidak berubah walaupun ditemukan ladang gas di Arun,
Aceh Utara, sekitar tahun 1970. Dalam waktu yang singkat
daerah sekitar penemuan sumber gas alam tersebut telah
berubah menjadi medan pembangunan besar-besaran. Miliaran
dollar dikucurkan untuk mendanai proyek raksasa itu. Bahkan
empat tahun kemudian berdiri pabrik pencairan gas alam
125
(LNG), kemudian disusul dengan berdirinya berbagai industri
besar lain seperti PT Pupuk Iskandar Muda, PT AAF, PT Kraft
Aceh dan sejumlah industri hilir lainnya. Tidak adanya
perubahan yang signifikan bagi rakyat Aceh membangkitkan
pemikiran untuk mengadakan oposisi kembali dengan negara
RI. Dengan pengaruh dari Teungku Muhammad Daud Beureueh
yang didukung oleh berbagai intelektual dari golongan ulama
lainnya seperti teungkku Ilyas Leube, Teungku Hasbi
Geudong, Dr. Muchtar Yahya Hasbi, Teungku Fauzi Hasbi
Geudong, Teungku Yusuf Hasan, Teungku Jamil Syamsudin, Ayah
Sabi, Uzir Jaelani, Teungku Muhammad Yunus Kembang Tanjung,
Teungku Zainal Abidin dan lainnya.173
Untuk lebih mempercepat jalannya jihad rakyat Aceh,
kemudian disusunlah rencana-rencana perlawanan dan
memperkokoh basis perjuangan. Teungku Muhammad Daud
Beureueh mengutus delegasi agar menemui Hasan Muhammad Tiro
(Hasan di Tiro) diluar negeri menanyakan senjata guna
menunjang keberhasilan perjuangan rakyat Aceh.174 Beberapa
kali Teungku Muhammad Daud Beureuh mengirim utusan namun
173 Ibid., hal 141 174 Hasan Muhammad Tiro berada diluar negeri karena ditugaskan untuk melobi dunia
Internasional dan suplai persenjataan.
126
senjata-senjata itu tak pernah dikirim oleh Hasan Muhammad
Tiro. Diantara utusan itu adalah:
Pertama, pada tahun 1972, Teungku H. Zainal Abidin
(kakak Hasan Muhammad Tiro) diutus oleh Teungku Muhammad
Daud Beureuh untuk menemuinya di Amerika. Namun setelah
ditunggu-tunggu selama dua tahun rencana kedatangan senjata
itu tidak pernah ada. Kedua, pada tahun 1974, Teungku Daud
Beureueh mengutus kembali Teungku Hasbi Geudong untuk
menjumpai Hasan Muhammad Tiro di Singapura dan di Malaysia.
Namun suplai persenjataan itu juga tak kunjung datang.
Ketiga, pada tahun 1975, Teungku Daud Beureueh
memerintahkan kepada Dr. Muchtar untuk menjumpai kembali
Hasan Muhammad Tiro menanyakan perihal senjata, maka
bertemulah mereka di Bangkok, Thailand. Kemudian Hasan Tiro
membawa Dr. Muchtar kepangkalan Subic (Filipina) sambil
berkata,” Dengan senjata inilah kita akan memerdekakan Aceh
dari RI.” Selanjutnya Dr. Muchtar segera pulang ke Aceh dan
langsung melaporkan perihal pertemuannya kepada Teungku
Muhammad Daud Beureueh seraya berkata, “ Abu, senjata telah
saya lihat dengan mata kepala saya sendiri dan cukup
banyak.” Namun sebagian besar pengikut Teungku Muhammad
127
Daud Beureueh tidak percaya lagi dengan cerita Hasan
Muhammad Tiro tersebut berdasarkan pengalaman yang dulu.175
Setelah Hasan Muhammad Tiro pulang ke Aceh, telah
terjadi banyak perubahan konsep dalam perjuangan rakyat
Aceh yang dibawa oleh Hasan Muhammad Tiro dimana Hasan
Muhammad Tiro mengusulkan berbagai ide yang bertentangan
dengan Islam dan norma-norma adat istiadat Aceh secara
umum.176 Namun kemudian kejanggalan-kejanggalan pemikiran
Hasan Tiro pada akhirnya didamaikan oleh Teungku Muhammad
Daud Beureueh sambil berkata, “serahkan saja masalah ini
kepadanya karena dialah yang banyak pengalaman diluar
negeri.”177 Mendengar kata-kata Teungku Muhammad Daud
Beureueh mereka yang tidak setuju dengan Hasan Muhammad
Tiro tidak dapat berbuat apa-apa. Maka dengan berbagai
catatan diproklamasikan Gerakan Aceh Merdeka pada tanggal
20 Mei 1977.178
175 Ibid., hal 142 bandingkan dengan Abu Jihad, Pemikiran-pemikiran Politik Hasan Tiro dalam
Gerakan Aceh Merdeka, cet.I (Jakarta:Titian Ilmu Insani, 2000) hal 16-19. 176 perbedaan pandangan itu menimbulkan perselisihan antara lain mengenai tanggal proklamasi
GAM, tentang bait proklamasi GAM, wilayah kekuasaan, bentuk negara Aceh, bendera negara, bahasa persatuan kemudian tentang pijakan sejarah. Lihat Ibid., hal 143-149.
177 Ibid. 178 Berbeda dengan tanggal Proklamasi Gerakan Aceh Merdeka sebagaimana yang diungkapkan
oleh Hasan Tiro yaitu pada 4 Desember 1976, dengan dasar untuk memperingati kematian kakeknya.
128
Pendeklarasian GAM merupakan sebuah pernyataan telah
lahirnya sebuah gerakan pemebebasan yang ingin membebaskan
rakyat Aceh dari belenggu penjajahan Republik Indonesia.
Tetapi sayangnya pernyataan perlawanan untuk mengakhiri
penjajahan “kaphe Indonesia Jawa”179 ini kemudian oleh Hasan
Muhammad Tiro sendiri perjuangan ini diputar arah haluannya
menjadi ASNLF (Atjeh Sumatra National Liberation Front).
Awal tahun 1979 ketika aparat keamanan sedang gencar-
gencarnya menyerang GAM, Hasan Muhammad Tiro meminta izin
kepada Dr. Muchtar untuk pergi keluar negeri untuk
menjemput senjata dan mengadakan hubungan luar negeri
mencari dukungan dan berjanji akan kembali dalam tempo 3
bulan. Akan tetapi hingga kini setelah lebih dari 20 tahun
lamanya Hasan Muhammad Tiro tak juga kembali ke Aceh.
Jadi sesungguhnya Gerakan Aceh Merdeka yang ada saat
ini sangat berbeda dengan apa yang telah dirumuskan dan
diinginkan oleh para ulama yang banyak diwakili oleh
pemikiran-pemikiran dari Teungku Muhammad Daud Beureueh,
melainkan pemikiran-pemikiran dari Hasan Muhammad Tiro.
Prof. Jim Siegel seorang pengamat Aceh dari Cornell
Akan tetapi menurut Teungku Fauzi Hasbi Geudong sesungguhnya pada tnggal itu Hasan Tiro belum datang ke Aceh. Lihat Ibid., hal 149
179 Kaphe bahasa Aceh untuk kafir
129
University mengungkapkan perbedaan gerakan Hasan Muhammad
Tiro dengan Teungku Muhammad Daud Beureueh. Hasan Muhammad
Tiro selalu menganggap Aceh dalam waktu abad ke-19 dan dia
selalu berpikir peranan pahlawan Teungku Chik Di Tiro dalam
sejarah Aceh. Dalam gagasan Hasan Muhammad Tiro, Aceh tidak
seperti Banda Aceh hari ini. Teungku Muhammad Daud Beureueh
sangat berbeda, pemikiran Teungku Muhammad Daud Beureueh
tentang Aceh lebih mulia sebab yang paling penting bagi
Teungku Muhammad Daud Beureueh adalah membuat Aceh lebih
modern. Teungku Muhammad Daud Beureueh selalu berpikir
tentang apa yang akan terjadi di Aceh, sedangkan Hasan
Muhamamd Tiro hanya berpikir tentang sejarah Aceh.180
b. Daerah Operasi Militer (Operasi Jaring Merah)
Semenjak diproklamasikan tahun 1977, Gerakan Aceh
Merdeka kerap mengadakan aksi-aksi perlawanan baik dari
dalam negeri maupun dari luar negeri melalui lobi-lobi
Hasan Muhammad Tiro untuk memperoleh perhatian dunia
Internasional. Bahkan dalam bidang Militer GAM mengirim
puluhan orang untuk dilatih di Lybia.181 Aksi-aksi
180 wawancara tabloid asasi dengan Prof. Jim Siegel sebagaimana dikutip dalam Fikar W. Eda
dan S. Satya Darma ed., Aceh Menggugat, cet.I, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1999), hal. 270.
130
perlawanan GAM yang dilakukan di Aceh menggusarkan pikiran
Gubernur Aceh pada saat itu, Ibrahim Hasan. Sebagai
pimpinan daerah Ibrahim Hasan kemudian melakukan konsultasi
dengan Komandan Korem 011 Lilawangsa, Kol. Sofyan Effendi,
Pangdam I Bukit Barisan Mayjen Joko Pramono. Disamping itu
ia juga melakukan konsultasi dengan pimpinan Orsospol dan
tokoh-tokoh masyarakat seperti H. Ali Hasjmy dan Hasan Ali
di Banda Aceh dan H.M Nur Nikmat di Medan. Kesimpulan yang
diambil Ibrahim Hasan dari pertemuan itu adalah bahwa
jumlah personil ABRI organik cukup terbatas untuk
menghadapi aksi-aksi GAM yang dilakukan bergerilya.182
Bertolak dari konsultasi tersebut Ibrahim Hasan menemui
Menteri Dalam Negeri, Rudini, Panglima ABRI Jenderal Tri
Sutrisno dan juga Presiden Soeharto untuk memaparkan
situasi keamanan di Aceh dan sekaligus memohon agar dikirim
personil militer tambahan ke daerah itu. Bagi Pemerintah
Pusat permintaan seperti itu pastilah mendapat tanggapan
yang positif mengingat keberadaan proyek-proyek vital yang
terdapat di Aceh. Hal tersebut terlihat jelas dalam ucapan
Presiden Soeharto ”jika negara terancam, ABRI wajib
181 Dr. M. Isa Sulaiman, Aceh Merdeka Ideologi, Kepemimpinan dan Gerakan, cet. I, (Jakarta: pustaka al Kautsar,2000) hal. 54-63.
182 Serambi Indonesia, 7 Agustus 1998 lihat juga Harian Republika, 12 Agustus 1998
131
perang.” Oleh Karena itu sejak sejak awal Juli 1990
Presiden Soeharto memrintahkan tambahan pengiriman pasukan
elit sebanyak 5000 orang yang terdiri dari Kopassus (2
Batalyon), Siliwangi dan Brimob untuk menumpas GAM.183 Upaya
penumpasan GAM ini diberi sandi Operasi Jaring Merah.
Jenderal Tri Sutrisno pada tanggal 3 Juni 1990 datang
ke Lhokseumawe untuk melaksanakan shalat Idul Adha di
lapangan Gua Hiraq. Kesempatan ini digunakan agar
masyarakat dan ulama memberikan dukungan politis atas
Operasi Jaring Merah yang akan digelar.184 Disamping itu
Presiden Soeharto mengutus pula menteri Koperasi/Kabulog,
Bustanil Arifin melakukan kunjungan lapangan untuk
menenteramkan penduduk yang sedang mengalami teror.
Didampingi oleh Gubernur Ibrahim Hasan dan Ketua MUI Ali
Hasjmy mengadakan pertemuan dengan rakyat dikecamatan-
kecamatan yang dilanda aksi kerusuhan dengan memberikan
sumbangan Rp. 25 Juta untuk setiap kecamatan yang mengalami
kerusuhan.185 Mayjen H.R Pramono yang menggantikan Mayjen
183 Serambi Indonesia, 5 Juli 1990 184 Ibid., 5 Juli 1990 185 Fachri Ali et al, Beras, Koperasi dan Politik Orde Baru. Bustanil Arifin 70 tahun, (Jakarta:
Sinar Harapan, 1996), hal 211-213.
132
Joko Pramono sebagai Pangdam I Bukit Barisan juga melakukan
upaya-upaya agar Operasi Jaring Merah mendapat dukungan
politis maupun ideologis. Ia melakukan pertemuan dengan
para ulama Aceh seperti Ali Hasjmy, Teungku Usman Ali Kuta
Kreung. Organisasi massa dan partai politik yang terdapat
di Aceh pun memberikan dukungan politis kepada Pemerintah
untuk melaksanakan operasi pemulihan keamanan tersebut.
Dukungan itu disampaikan oleh 34 organisasi masyarakat pada
tanggal 30 Juni 1990 dan Golkar pada tanggal 7 Juli 1990.
Dalam propagandanya pemerintah berhasrat menggiring para
aktivis GAM sebagai tindakan kriminal belaka yang meliputi
perampokan, pembunuhan dan tindakan lain yang bertujuan
menakut-nakuti dan mengganggu ketenteraman penduduk dan
menyebutkan bahwa GAM tidak berlatarbelakang politik.186
Label GPK (Gerakan Pengacau Keamanan) semenjak saat itu
menjadi sebutan resmi terhadap pelawanan yang dilakukan
oleh GAM.
Dalam iklim seperti itu Mayjen Pramono selaku
panglima Operasi menggelar Operasi Jaring Merah yang
bertujuan menumpas perlawanan GAM dalam batas waktu 6
186 Serambi Indonesia, 23 Juni 1990
133
bulan. Dengan dukungan ribuan personil militer non organik
Mayjen Pramono pun melancarkan Operasi Jaring Merah.
Disamping itu warga desa daerah operasi dilibatkan dalam
pengamanan swakarsa di daerah masing-masing melalui
pembentukan Laskar Rakyat atau Unit Ksatria Penegak
Pancasila.187 Startegi yang digunakan adalah dengan
melakukan tindakan keras untuk membuat masyarakat shock dan
sekaligus membuat gerilyawan terisolir. Modus operandinya
antara lain lewat pembunuhan kilat, penangkapan atau
pembeunuhan sewenang-wenang, penyiksaan kejam tanpa
perikemanusiaan, perusakan harta/barang milik orang lain
dan juga pelecehan seksual. Sasaran Operasi tidak hanya
terbatas pada anggota GAM tetapi mencakup pula kerabat atau
rekan pejuang GAM yang pernah memberi bantuan dalam Gerakan
itu.188
Namun apapun tindakan yang dilakukan ternyata bahwa
batas waktu enam bulan untuk menuntaskan perlawanan GAM
tidak dapat dipenuhi. Ketidakberhasilan itu sebagian
disebabkan penguasaan daerah yang kurang baik, karena
187 Dr. M. Isa Sulaiman, Op. Cit., hal 80 188 Ibid., hal 81, lihat juga Amnesty Internasional Indonesia “Shock Theraphy” sebagai
Pemulihan Ketertiban di Aceh 1989-1993.
134
aktivis GAM itu umumnya bergerak dikampung halamannya. Juga
masih terdapat sejumlah desa yang terisolir yang sukar
dijangkau kendaraan. Dialin pihak hubungan keluarga atau
pertemanan dan rasa takut terhadap ancaman dari pihak
gerombolan merupakan faktor penting sehingga aktivis GAM
bisa lolos dari operasi militer.189 Menyadari hal demikian
masa pemberlakuan Operasi Jaring Merah yang seharusnya
berakhir 31 Desember 1990 diperpanjang lagi.
Operasi Jaring Merah II berlangsung cukup efektif
dengan bakti ABRI AMD (ABRI Masuk Desa). Operasi tempur
atau intelijen dan teritorial yang dilakukan oleh ABRI
membuat posisi GAM terpojok. Dengan demikian sejak akhir
1991 kekuatan GAM merosot tajam hingga tinggal beberapa
puluh orang yang terpencar di pedalaman. Akan tetapi
setelah Operasi Jaring Merah II berakhir, alat keamanan
negara tetap saja melanjutkan Operasi tersebut dari tahun
ke tahun hanya saja jumlah personil militer non organik
berkurang dibandingkan dengan periode 1990/1991.190
189 Ibid., 18 Agustus 1991 190 Dr. M Isa Sulaiman, Op. Cit., hal 82
135
Konsep ideal suatu operasi keamanan seringkali
menimbulkan penyimpangan pada prakteknya dilapangan karena
terdapat aparaturnya yang indisipliner. Tindakan kasar
bahkan pembunuhan sewenang-wenang sering dilakukan anggota
ABRI. Pemasungan demokrasi dan pembungkaman pers yang
berlaku pada masa orde baru mengakibatkan perilaku kasar
atau brutal para anggota ABRI dalam menumpas aktivis GAM
yang berlangsung terus dari tahun ke tahun.191
Lengsernya Soeharto dari kursi kepresidenan tanggal
21 Mei 1998 membawa dampak pada dibukanya kembali kebebasan
pers, kebebasan mengeluarkan pendapat dan berserikat yang
terpasung selama orde baru. Perubahan paradigma politik
tersebut berimbas pada kondisi perpolitikan lokal terutama
menyangkut Operasi Jaring Merah yang sebelumnya terbungkus
rapi. Pembeberan aksi kekerasan bahkan telah dianggap
191 Ibid., hal 85
Operasi Jaring Merah juga mengakibatkan banyak “orang hilang” , menurut data YLBHI dan Kontras pada pertengahan juli 1998 telah hilang di kabupaten Pidie 163 orang, Aceh Utara 60 orang, Aceh Timur 13 orang. Menurut Forum HAM Aceh setidaknya ada 3000 orang tidak diketahui keberadaannya secara jelas. Lihat Nur Alamsyah dan Hendra, Operasi Jaring Merah dalam Tulus Widjanarko dan Asep S. Sambadja (peny.), Aceh Merdeka Dalam Perdebatan, cet.1, (Jakarta: PT Citra Putra Bangsa, 1999, hal 94.
136
sebagai bentuk pelanggaran Hak Asasi Manusia yang dilakukan
anggota ABRI selama pemberlakuan DOM menjadi headline
dimedia cetak maupun elektronik. Bahkan DPR RI pun
membentuk Tim Pencari Fakta (TPF) untuk mengusut masalah
yang terjadi di Aceh. TPF ini dibentuk pada tanggal 16 Juli
1998 dan diketuai oleh Letjen Hari Sabarno, Wakil Ketua DPR
pada saat itu. Keluhan, laporan dan tekanan dari masyarakat
direspon oleh Presiden Habibie sehingga pada hari Jum’at
tanggal 7 Agustus 1998 ia mengutus Panglima ABRI Jenderal
Wiranto agar shalat Jum’at di Masjid Baiturrahman dan
menyatakan bahwa terhitung pada saat itu pula Status Daerah
Operasi Militer dicabut. Dengan demikian berakhirlah babak
Operasi Jaring Merah yang berlangsung selama kurang lebih
sembilan tahun di Aceh.
c. Pasca DOM Setelah dihapuskannya status DOM, tuntutan untuk
penegakan HAM dan hukum terhadap pelaku kekerasan selama
DOM menjadi suara yang sangat dominan di Aceh bahkan
menjadi isu nasional. Akan tetapi karena kekakuan
pemerintah dan aparat penegak hukum dalam merespon tuntutan
tersebut, masyarakat Aceh semakin merasa bahwa pemerintah
sama sekali tidak serius untuk mengembalikan harkat dan
137
martabat mereka yang terinjak-injak selama diberlakukannya
DOM. Kekakuan pemerintah terlihat dengan tidak adanya
tindak lanjut dari laporan-laporan kekerasan yang telah
sedemikian banyak dilaporkan untuk menyeret pelakunya ke
meja hijau. Bahkan pasca DOM aksi-aksi kekerasan tak juga
berhenti, seperti peristiwa yang terjadi di gedung KNPI,
Lhokseumawe yang terjadi pada tanggal 9 Januari 1999,192
tragedi Idi Cut, Kecamatan Nurussalam, Aceh Timur tanggal 3
Februari 1999,193 kejadian di Simpang KKA Kreung Geukeuh
atau desa Paloh Lada, Aceh Utara tanggal 3 Mei 1999 dan
pembunuhan terhadap Teungku Bantaqiah dan santri-santrinya.
Pada saat kondisi masyarakat Aceh demikian
dimanfaatkan oleh GAM untuk melakukan konsolidasi dan
memperluas pengaruhnya dimasyarakat. Salah satu media yang
digunakan adalah penyelenggaraan “ceramah GAM” di desa-desa
yang berlangsung pada malam hari antara pukul 20.00 hingga
01.00 dini hari.194 Ceramah GAM ini juga dimanfaatkan untuk
mensosialisasikan isu mengenai referendum. Wacana tentang
192 Serambi Indonesia, 10 dan 11 Januari 1999 193 Ibid., 4,5,6 Februari 1999 194 Dr. M. Isa Sulaiman, Op.Cit., hal 117
138
referendum awalnya dimotori oleh mahasiswa sebagai
alternatif pemecahan masalah yang terjadi di Aceh.195 Akan
tetapi diantara keduanya terdapat perbedaan dasar atau niat
dalam menyampaikan isu referendum tersebut. Jika tuntutan
GAM merujuk pada perspektif historis, maka tuntutan
mahasiswa pada awalnya didasari oleh keyakinan bahwa
ketidakadilan yang telah berlangsung lama bisa berubah atas
dasar pilihan rakyat sendiri.
Aksi kekerasan yang terjadi di Aceh tak juga reda dan
untuk melakukan tindakan pengamanan pemilu pemerintah
mengirim satuan PPRM (Polisi Penindak Rusuh Masa). Akan
tetapi pengiriman PPRM ini tak juga meredakan kondisi yang
ada di Aceh bahkan aksi-aksi perlawanan makin meningkat.196
Isu referendum pun makin keras disuarakan sampai kemudian
pemerintah menawarkan alternatif pemecahan lainnya dengan
pemberian otonomi luas dengan dikeluarkannya UU nomor 44
tahun 1999. Pendekatan yang dilakukan pemerintah kepada GAM
juga diperlunak dengan membuka dialog. Pada tanggal 16
Maret 2000, Dr. Hasan, Dubes RI dan wakil tetap RI di PBB
195 M. Khoidin Menyikapi Tuntutan Referendum Masyarakat di Aceh dalam Musni Umar (ed),
Aceh Win-Win Solution, cet.1, (Jakarta: Forum Kampus Kuning, 2002), hal 102. 196 Dr. M. Isa Sulaiman, Op.Cit., hal 126-130
139
melakukan perundingan dengan Dr. Zaini Abdullah. Kedua
belah pihak berhasil merumuskan nota kesepakatan bersama
jeda kemanusiaan untuk Aceh (Joint Understanding on
Humanitarian Pause for Aceh) yang ditandatangani pada
tanggal 12 Mei 2000 tetapi implementasinya dimulai pada
tanggal 1 Juni 2000. Kemudian pemerintah juga mengeluarkan
INPRES No. 4 Tahun 2001 tentang Langkah-Langkah
Komprehensif Dalam Rangka Penyelesaian Masalah Aceh sebagai
acuan untuk memperbaiki kondisi yang ada di Aceh. Setelah
berlangsung selama beberapa bulan jeda kemanusiaan ini
mengalami kemunduran karena kemudian terjadi kembali aksi-
aksi kekerasan.
Pemerintah kemudian mengeluarkan UU nomor 18 tahun
2001 yang lebih merinci kewenangan-kewenangan yang
diperoleh Aceh sebagai daerah yang memiliki status otonomi
khusus. UU nomor 18 tahun 2001 lebih rinci mengatur
kewenangan yang dimiliki Aceh bahkan mengubah nama Daerah
Istimewa Aceh dengan Nanggroe Aceh Darussalam. UU nomor 18
tahun 2001 juga menjadi modalitas bagi pemerintah RI untuk
mengadakan diplomasi dengan GAM seperti yang disebutkan
dalam INPRES No. 1 Tahun 2002 tentang Peningkatan Langkah
Komprehensif Dalam Rangka Percepatan Penyelesaian Masalah
140
Aceh. UU nomor 18 tahun 2001 menjadi syarat yang diajukan
oleh pemerintah RI untuk melakukan upaya kompromi dengan
GAM yang menginginkan kemerdekaan untuk Aceh. Hingga pada
tanggal 10 Mei 2002 Pemerintah RI dengan GAM telah mencapai
kesepakatan dengan difasilitasi oleh Henry Dunant Center
(HDC) di Genewa, Swiss untuk menghentikan permusuhan dan
seluruh aksi kekerasan dengan ditandatanganinya Penghentian
Permusuhan Kerangka Perjanjian Antara Pemerintah Indonesia
Dan Gerakan Aceh Merdeka (Cessation of Hostilities
Framework Agreement between Government of the Republic of
Indonesia and the Free Acheh Movement). Ditandatanganinya
kesepakatan ini adalah berdasarkan pada penerimaan UU nomor
18 tahun 2001 sebagai titik awal menuju suatu dialog
demokratis yang menyeluruh, melibatkan seluruh unsur
masyarakat Aceh yang akan difasilitasi oleh HDC di Aceh.
Akan tetapi upaya dialog dan hasil kesepakatan yang telah
dicapai di Swiss tersebut kembali gagal karena pada tanggal
18 Mei 2003 presiden RI, Megawati Soekarnoputri
mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 28 Tahun 2003 Tentang
Pernyataan Keadaan Bahaya Dengan Tingkatan Keadaan
Darurat Militer Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, yang
berlaku selama 6 bulan setelah Keppres ini berlaku efektif
141
yaitu tanggal 19 Mei 2003. Dasar dikeluarkannya keppres ini
adalah bahwa rangkaian upaya damai yang dilakukan
pemerintah, baik melalui penetapan otonomi khusus untuk
Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, pendekatan terpadu dalam
rencana pembangunan yang komprehensif, maupun dialog bahkan
yang dilakukan di luar negeri sekalipun, ternyata tidak
menghentikan niat dan tindakan Gerakan Aceh Merdeka (GAM)
untuk memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik
Indonesia dan menyatakan kemerdekaaannya. Dan dalam kondisi
seperti itu, dan semakin meningkatnya tindak kekerasan
bersenjata yang kian mengarah pada tindakan terorisme yang
dilakukan Gerakan Aceh Merdeka (GAM), tidak hanya merusak
ketertiban dan ketentraman masyarakat, mengganggu
kelancaran roda pemerintahan, dan menghambat pelaksanaan
berbagai program pembangunan, tetapi semakin memperluas dan
memperberat penderitaan masyarakat Aceh dan masyarakat di
Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam pada umumnya.
2. Alasan Sosiologis
Secara sosiologis rakyat Aceh asli mayoritas menganut
agam Islam dan Islam telah mendarah daging dan menjadi
pedoman dalam menjalankan setiap kehidupan sehari-hari
142
mereka, bukan hanya dalam masalah ritual keagamaan saja
namun juga dalam pergaulan hidup bertetangga, hingga dalam
mencari rezeki.197 Dalam masyarakat Aceh ada adagium yang
telah menyatu menjadi kepribadian Aceh turun temurun, yaitu
sebuah ungkapan yang dinamakan Hadih Maja, yaitu :
Adat bak Po Teumeureuhom Hukom bak Syiah Kuala Qanun bak Putroe Phang Reusam bak Laksamana
Adat bagi rakyat Aceh adalah ketentuan hukum yang
berkaitan dengan kehidupan kemasyarakatan dan
ketatanegaraan duniawiyah yang berada ditangan eksekutif
(Raja). Dalam hal ini Raja atau Sultan dipandang sebagai
Khadam Adat.
197 lihat Snouck Hurgronje, Aceh di Mata Kolonialis jilid I, terj. Oleh A.W.S. Sullivan, cet.1,
(Jakarta: Yayasan Soko Guru, 1985). Snouck Hurgronje walaupun banyak mengutip bahwa kehidupan rakyat Aceh senantiasa diwarnai oleh Islam akan tetapi dasar penelitian Snouck Hurgronje adalah mencoba menelaah pada sisi kemanusiaan dan kehidupan masyarakat, sehingga ada sekularisasi antara agama dengan kehidupan masyarakat. Snouck Hurgronje memperkenalkan teori receptie (hukum adat yang menetukan ada tidaknya hukum Islam). Teori ini membantah teori receptio in complexu (penerimaan hukum Islam sebagai norma yang berlaku dimasyarakat) yang dikemukakan oleh van den Berg. Teori receptie banyak ditentang oleh sarjana-sarjana Islam Indonesia (Prof. Hazairin menyebutnya teori iblis), oleh sebab itu dikemukakanlah teori receptie exit atau receptio a contrario yaitu hukum adat baru berlaku apabila tidak bertentangan dengan hukum Islam dan wacana materiilnya terbatas pada hukum-hukum yang diatur dalam perundang-undangan. Lihat Ahmad Rafiq, Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia, cet.1, (Yogyakarta: Gama Media, 2001), hal 55-74. lihat juga Sayuti Thalib, Receptio a Contrario, (Jakarta: Bina Akasara, 1982), hal 47-52.
143
Hukom adalah ketentuan hubungan manusia dengan Khaliq
dan hubungan sesama insan yang sifatnya lebih ukhrawi dan
bersumber dari ajaran agama, otoritasnya terletak pada
kepakaran Ulama, sehingga ada saat dalam sejarah panjang
Aceh itu kedudukan Ulama tertinggi itu disebut sebagai
Mufti (pemberi fatwa). Salah satu diantara Mufti itu adalah
Tgk. Syekh Abdurrauf As Sangkili yang bergelar Tgk. Syiah
Kuala.
Qanun, lengkapnya adalah Qanun el Asyii adalah adat
istiadat dan adat budaya kaum wanita dalam berbagai upacara
kemasyarakatan, yang ditentukan untuk diikuti dan
diindahkan. Qanun ini tempo dulu diberikan otoritas pada
permaisuri yang melambangkan kedudukan kaum wanita cukup
tinggi dan terhormat dalam masyarakat Aceh.
Reusam adalah tatakrama dalam palaksanaan adat
istiadat dan budaya ditujukan untuk kaum pria, sehingga
setiap upacara termasuk upacara perkawinan menjadi lebih
menarik, mengesankan dan cemerlang.
Secara sosiologis, keempat faktor ini turun temurun
telah diwariskan pada setiap strata sosial masyarakat Aceh.
Sampai kini masih kita temui ungkapan yang menyatakan
“Hukom deungan Adat lagee zat deungon sifeuet” (Hukum dan
144
Adat seperti zat dengan sifat, tidak dapat dipisahkan satu
sama lain). Atau dengan kata lain ungkapan tersebut berarti
adat dengan syara’ (hukum Islam) itu tetap menyatu.
3. Alasan Yuridis
Peraturan perundang-undangan yang diterbitkan
pemerintah menjadi salah satu faktor pemberian otonomi
khusus untuk provinsi Nanggroe Aceh Darussalam karena
terkesan terdapat “tarik-ulur” kebijakan yang diberikan
pemerintah untuk daerah Aceh. Berawal dari Undang-Undang
nomor 10 tahun 1948 yang membagi wilayah Sumatera menjadi
tiga provinsi yaitu Sumatera Utara, Sumatera Tengah dan
Sumatera Selatan. Aceh pada saat ini adalah sebuah
karesidenan dibawah provinsi Sumatera Utara. Kemudian pada
tahun 1949 Aceh mendapatkan status sebagai provinsi melalui
Peraturan Perdana Menteri Pengganti Peraturan Pemerintah
nomor 8/Des/WKPM/49 tentang Pembagian Sumatera Utara
menjadi dua Provinsi, tertanggal 17 Desember 1949. Namun
demikian tidak lama setelah itu pada tahun berikutnya
pemerintah mengubah status Aceh kembali menjadi daerah
karesidenan melalui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang (perpu) nomor 5 tahun 1950 tentang Pembentukan
145
Provinsi Sumatera Utara. Dalam pasal 1 perpu nomor 5 tahun
1950 disebutkan
“Daerah yang meliputi Daerah Karesidenan Atjeh, Sumatera Utara dan Tapanuli ditetapkan menjadi Sumatera Utara.”
Perpu nomor 5 tahun 1950 ditetapkan di Yogyakarta tanggal
14 Agustus 1950 oleh Presiden Republik Indonesia Pemangku
Jabatan Sementara, Mr. Assa’at.
Kebijakan ini menimbulkan ketidakpuasan dikalangan
pemimpin dan rakyat Aceh, yang pada akhirnya menimbulkan
gejolak perlawanan pada tahun 1953 yaitu dengan proklamasi
Darul Islam Aceh dan bergabung dengan Darul Islam NII, Jawa
barat dibawah pimpinan Kartosuwiryo. Perlawanan Rakyat Aceh
yang dipimpin langsung oleh Teungku Muhammad Daud Beureueh
berlangsung hingga tahun 1962. Proses penyelesaian
perlawanan rakyat Aceh ini dimulai ketika A.H Nasution
mengutus Muhammad Nur El Ibrahimi untuk membujuk Teungku
Daud Beureueh. Nur El Ibrahimi menyarankan agar Daud
Beureueh memberhentikan perlawanan yang dipimpinnya. Daud
Beureueh menjawab dengan tegas tidak akan memberhentikan
perlawanannya sebelum pemerintah menyetujui untuk
melaksanakan tegaknya syariat Islam secara kaffah di bumi
146
Aceh.. Nur El Ibrahimi mengatakan bahwa beliau akan
menyampaikan pesan Teungku Daud Beureueh kepada A.H
Nasution.
Setelah Nur El Ibrahimi kembali ke Banda Aceh, beliau
melapor kepada Panglima/penguasa Perang Daerah Istimewa
Aceh, Kol. Moh. Jasin yang menjawab dengan tegas, “bila itu
yang diinginkan oleh Abu (Teungku Daud Beureueh), saya
sebagai Penguasa Perang di daerah ini, saya akan
pertaruhkan pangkat ini (sambil menepuk bahu) demi tegaknya
syari’at Allah di bumi Aceh ini.” Maka keluarlah Surat
Keputusan Penguasa Perang nomor 061/3/1962 KPTS/Peperda198
tanggal 7 April 1962 sebagai tindak lanjut dari konsekuensi
atas janjinya. Ini berarti pemerintah secara resmi telah
menyatakan berlakunya syari’at Islam di Aceh.199
Sebelumnya terdapat peraturan perundang-undangan yang
mengubah status Aceh yang semula daerah Karesidenan menjadi
198 Isi peraturan tersebut:
1. terlaksananya secara tertib dan seksama unsur-unsur syari’at agam Islam bagi pemeluk-pemeluknya di DI Aceh, dengan mengindahkan peraturan perundangan Negara.
2. Penertiban pelaksanaan arti dan maksud ayat pertama diatas diserahkan sepenuhnya kepada pemerintah DI Aceh.
Lihat Taufik Abdullah, Islam dan Masyarakat, Pantulan Sejarah Indonesia, cet.1, (Jakarta: LP3ES, 1987), hal. 185.
199 Tabloid Abadi, No.31/Tahun I. 22-28 Juli 1999, 8-14 Rabi’ul Tsani 1420. seperti dikutip
dalam Tgk. Lamkaruna Putra, Perjalanan Panjang Aceh Menuju Islam Kaffah, cet.I, (Jakarta: Titian Ilmu Insani, 2001), hal 8.
147
kembali ke provinsi atau Daerah Tingkat I dengan UU nomor
24 tahun 1956 yang diterbitkan pada tanggal 7 Desember
1956. Pasal 1 ayat (1) UU nomor 24 tahun 1956 menyebutkan :
Daerah Atjeh jang melingkupi Kabupaten-Kabupaten 1. Atjeh
Besar, 2. Pidie, 3. Atjeh Utara, 4. Atjeh Timur,
5. Atjeh Tengah, 6. Atjeh Barat, 7. Atjeh Selatan
dan Kota Besar Kutaradja dipisahkan dari
lingkungan daerah otonom Propinsi Sumatera Utara
dimaksud dalam lingkungan daerah otonom Propinsi
Sumatera Utara dimaksud dalam Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 5 tahun
1950 dan dibentuk mendjadi daerah jang berhak
mengatur dan mengurus rumah-tangganya sendiri,
tingkatan ke-I dengan nama „Propinsi Atjeh”.200
Selain itu pada tahun 1959 pemerintah mengirim Wakil perdana Menteri
Mr. Hardi untuk meredam konflik yang terjadi di Aceh,
pengiriman utusan ini biasa disebut dengan misi Hardi.
Pengiriman utusan pemerintah ini menghasilkan Keputusan
Perdana Menteri Republik Indonesia No. I/Missi/1959 tentang
200 Indonesia, Undang-Undang tentang Pembentukan Propinsi Aceh, UU nomor 24 tahun 1956,
pasal 1 ayat (1).
148
Pemberian Status Daerah Istimewa kepada Provinsi Aceh
dengan sebutan Daerah Istimewa Aceh. Keistimewaan diberikan
dalam 3 bidang yaitu agama, pendidikan dan peradatan. Pasal
1 keputusan Perdana Menteri tersebut menyebutkan
“Dengan swatantra tingkat ke I Aceh dapat disebut “Daerah
Istimewa Aceh” dengan catatan, bahwa kepada
daerah itu tetap berlaku ketentuan-ketentuan
mengenai daerah swatantra tingkat ke I seperti
termuat dalam Undang-undang No. 1 tahun 1957
tentang Pokok-pokok Pemerintahan daerah, begitu
pula lain-lain peraturan perundang-undangan yang
berlaku untuk daerah swatantra tingkat ke I
mengenai otonomi yang seluas-luasnya, terutama
dalam lapangan keagamaan, peradatan dan
pendidikan.”
Dengan adanya keputusan perdana menteri ini ditambah dengan keputusan
Penguasa Perang nomor 061/3/1962 KPTS/Peperda tentang
Kebijaksanaan Penyelenggaraan Unsur-Unsur Syari’at Islam
bagi Pemeluk-Pemeluknya di Daerah Istimewa Aceh di Aceh
telah ada legalisasi untuk melaksanakan syari’at Islam
149
namun dalam praktek dan perwujudannya masih menemukan batu
sandungan dari kebijakan yang bersifat sentralistis dari
Pemerintah Pusat. Contohnya seperti sebuah Rancangan
Peraturan Daerah (RAPERDA) yang tidak disahkan oleh
Pemerintah Pusat yaitu Rancangan peraturan Daerah tentang
Pelaksanaan Syari’at Islam di Daerah Istimewa Aceh.
Rancangan ini dibuat pada tahun 1966 dan diajukan kepada
Pemerintah Pusat ketika Menteri Dalam Negeri dijabat oleh
Basuki Rahmat. Tetapi sebelum rancangan ini disahkan Basuki
Rahmat meninggal dunia dan digantikan oleh Amir Mahmud.
Beliau menolak mensahkan rancangan peraturan daerah ini
dengan alasan yang tidak jelas. Penolakan ini tidak
diberikan secara resmi dan tertulis tetapi hanya secara
lisan dalam sebuah acara makan malam di kediaman Amir
Mahmud, dari Aceh hadir Gubernur Aceh dan Ketua serta Wakil
Ketua DPRGR Aceh. Konon alasan yang dikemukakan adalah
masalah-masalah yang diatur dalam rancangan peraturan
daerah tersebut merupakan masalah yang belum
diotonomikan.201 Sedangkan peraturan pelaksanaan dari
keputusan Hardi juga tidak pernah ada dan dibuat oleh
201 Al Chaidar, Op.Cit., hal 265
150
pemerintah sehingga bagi pemerintah Aceh tidak mempunyai
pegangan dalam pelaksanaannya. Selain itu juga masih perlu
dipertanyakan letak keputusan peraturan perdana menteri
dalam tata susunan peraturan perundang-undangan Indonesia
pada saat itu.
Lebih dari 40 tahun (1959-1999) Aceh menyandang
sebutan Daerah Istimewa tanpa ada makna kecuali hanyalah
sebutan saja. UU pemerintahan daerah yang diterbitkan oleh
pemerintah yang diterbitkan setelah tahun 1959 (UU nomor 18
tahun 1965 dan UU nomor 5 tahun 1974) memberangus
keistimewaan yang dimiliki Aceh karena menganut prinsip
penyeragaman dan cenderung sentralistis. Tahun 1999
diterbitkan UU nomor 44 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan
Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh agar rakyat Aceh
memiliki pedoman dan dasar hukum untuk melaksanakan
keistimewaan Aceh. Namun kondisi daerah Aceh mengalami
perubahan yang sangat cepat, terdengar kembali tuntutan
merdeka dan referendum yang dapat mempengaruhi sikap dan
aksi rakyat Aceh yang dapat mempengaruhi terganggunya
keamanan. Majelis Permusyawaratan Rakyat melihat kondisi
yang terjadi di Aceh, walaupun telah dikeluarkan UU nomor
44 tahun 1999 oleh sebab itu MPR mengamanahkan pemberian
151
otonomi khusus dalam Ketetapan MPR nomor IV/MPR/1999
tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara pada Bab IV arah
Kebijakan Pembangunan Daerah secara khusus disebutkan :
“Mempertahankan integrasi bangsa dalam wadah Negara
Kesatuan Republik Indonesia dengan menghargai
kesetaraan dan keragaman kehidupan sosial budaya
masyarakat Aceh melalui penetapan Daerah Istimewa
Aceh sebagai daerah otonomi khusus yang diatur
dengan Undang-Undang.”
Kemudian dalam Ketetapan MPR nomor IV/MPR/2000 tentang Rekomendasi
Kebijakan dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah makin
ditegaskan bahwa :
“Undang-Undang tentang Otonomi Khusus bagi Daerah Istimewa
Aceh dan Irian Jaya, sesuai dengan Ketetapan
Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor IV/MPR/1999
tentang Garis-garis Besar Haluan Negara tahun
1999-2004, agar dikeluarkan selambat-lambatnya 1
Mei tahun 2001 dengan memperhatikan aspirasi
masyarakat daerah yang bersangkutan.”
152
Atas dasar kedua Ketetapan MPR diatas dikeluarkanlah
UU nomor 18 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi
Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam. Hingga saat ini implementasi dari UU nomor 18
tahun 2001 mengalami hambatan mengingat makin meningkatnya
perlawanan yang dilakukan oleh Gerakan Aceh Merdeka Hasan
Muhammad Tiro.
B. KEWENANGAN KHUSUS YANG DIMILIKI PROVINSI NANGGROE ACEH
DARUSSALAM
Undang-Undang yang mengatur pemberian kewenangan
khusus untuk Aceh adalah UU nomor 44 tahun 1999 dan UU
nomor 18 tahun 2001. Dalam UU nomor 44 tahun 1999 pemberian
kewenangan khusus yang diberikan diungkapkan secara garis
besar dengan harapan bahwa permasalahan teknis diatur dalam
peraturan pelaksana (terutama dengan peraturan daerah).
Pengaturan secara luas kewenangan khusus yang diberikan
kepada Aceh melalui UU nomor 44 tahun 1999 adalah untuk
memberikan landasan hukum yang lebih jelas, mengingat
kewenangan khusus yang diberikan untuk Aceh hanya diberikan
melalui keputusan Perdana Menteri Republik Indonesia nomor
153
I/missi/1959 tentang Pemberian Status Daerah Istimewa Aceh.
Sebelum tahun 1966, Indonesia belum memiliki peraturan yang
mengatur mengenai hirarki peraturan perundang-undangan
sehingga secara formal sulit untuk mengetahui kedudukan
dari Keputusan Perdana Menteri yang menjadi landasan hukum
bagi pemberian status Daerah Istimewa Aceh ini. Selain itu
dalam prakteknya Keputusan Perdana Menteri ini tidak
terimplementasi di lapangan terutama terganjal dengan
kebijakan sentralistis Orde Baru dengan UU pemerintahan
daerahnya baik itu UU nomor 18 tahun 1965 maupun UU nomor 5
tahun 1974. Diterbitkannya UU nomor 44 tahun 1999 adalah
untuk kembali menegaskan dan memberi kedudukan yang lebih
jelas dalam pemberian kewenangan khusus yang diberikan
untuk Aceh dibandingkan dengan Keputusan Perdana Menteri
nomor I/missi/1959. Penegasan ini terlihat dengan
pengaturan yang dicantumkan dalam kedua peraturan
perundang-undangan tersebut adalah sama yaitu kewenangan
khusus yang diberikan untuk Aceh dalam rangka menjalankan
keistimewaannya adalah kewenangan dalam bidang agama,
pendidikan dan adat. UU nomor 44 tahun 1999 menambahkan
bahwa kewenangan khusus untuk Aceh diatur juga kewenangan
mengikutsertakan ulama dalam pemerintahan.
154
Sedangkan UU nomor 18 tahun 2001 mengatur kewenangan
khusus untuk Aceh secara lebih rinci, bila dibandingkan
dengan pengaturan dalam UU nomor 44 tahun 1999. Pengaturan
keistimewaan atau kewenangan yang lebih rinci tersebut
seperti pengubahan nama provinsi Daerah Istimewa Aceh
menjadi provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, pengaturan
mengenai lambang daerah,202 pengaturan mengenai perangkat-perangkat
daerah. Pengaturan mengenai perangkat-perangkat daerah yang
ditetapkan dalam UU nomor 18 tahun 2001 meliputi antara
lain pemilihan gubernur dan wakil gubernur yang dipilih
langsung oleh rakyat Aceh, syarat-syarat Gubernur dan Wakil
Gubernur,203 tata cara pemilihan,204 dan lain sebagainya.
Pengaturan rinci tentang pelaksanaan otonomi khusus di Aceh
juga menyangkut pembagian keuangan antara pusat dengan
daerah.205
202 Indonesia (D), Op.Cit., pasal 8
lambang daerah ini bukan merupakan simbol kedaulatan dan tidak diperlakukan sebagai bendera kedaulatan provinsi NAD, pengaturan mengenai lambang daerah hanya mencerminkan keistimewaan dan kekhususan provinsi NAD.
203 Ibid., pasal 12 204 Ibid., pasal 13-14
ketentuan mengenai pemilihan ini juga berlaku bagi pemilihan bupati/wakil bupati dan/atau pemilihan walikota/wakil walikota (pasal 15)
205 Ibid., pasal 4-7
155
Bila dibandingkan dengan pemberian kewenangan dalam
rangka otonomi daerah dengan daerah-daerah lain di
Indonesia melalui UU nomor 22 tahun 1999, maka terdapat
perbedaan dalam titik berat pemberian otonomi dimana
otonomi khusus untuk Aceh berada pada tingkat provinsi.
Selain itu merujuk pada pasal 7 UU nomor 22 tahun 1999,
maka berbeda dengan daerah lain yang diberikan otonomi
daerah, dalam rangka otonomi khusus untuk Aceh menyisakan 3
kewenangan yang menjadi kewenangan pusat yaitu bidang
pertahanan, moneter/fiskal dan hubungan luar negeri.
1. penyelenggaraan kehidupan beragama
Pemberian kewenangan ini diwujudkan dalam bentuk
pelaksanaan syariat Islam bagi pemeluk agama Islam dalam
bermasyarakat seperti misalnya penggunaan jilbab bagi
muslimah.206 Penyelenggaraan kehidupan beragama tidak
berarti memarjinalkan penyelenggaraan kehidupan beragama
bagi agama lain karena pelaksanaan kewenangan ini tetap
dalam kerangka menjaga toleransi kehidupan beragama agama
selain Islam. Karena Islam sendiri merupakan agama yang
206 sebelumnya pelaksanaan penggunaan pakaian muslimah hanya sebatas penganjuran oleh
Majelis Ulama Indonesia Daerah Istimewa Aceh melalui Keputusan Rapat Kerja Komisi “B” (Fatwa/Hukum) Majelis Ulama Indonesia Daerah Istimewa Aceh Nomor 01/1/1990 tentang Kewajiban berbusana Islami. Kemudian peraturan penggunaan busana Islami ini diatur dalam Peraturan Daerah Daerah Istimewa Aceh nomor 5 tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Syari’at Islam.
156
penuh toleransi dengan menghormati kehidupan beragama agama
lain. Toleransi ini diperintahkan oleh Allah SWT melalui
firmannya “untukmu agamamu, untukku agamaku”.207
Dalam rangka penyelenggaraan kehidupan beragama ini,
diperkenankan untuk membentuk lembaga-lembaga agama diluar
dari perangkat daerah. Yang dimaksud oleh lembaga agama ini
antara lain seperti meunasah atau Badan Amil Zakat.
Meunasah atau mushalla (langgar atau surau) merupakan
lembaga yang lekat dalam kehidupan keseharian masyarakat
Aceh, karena setiap malam masyarakat Aceh terutama laki-
laki menggunakan meunasah sebagai tempat berkumpul
menjalankan shalat berjamaah dan ditempat ini pula biasanya
anak-anak kecil diajarkan mengaji atau membaca Al Qur’an.
Begitu pentingnya peranan meunasah Pemerintah daerah telah
mengeluarkan Instruksi Gubernur D.I Aceh nomor
05/INSTR/2000 tentang Pembudayaan Kemakmuran Mesjid dan
Meunasah Dalam Provinsi Daerah Istimewa Aceh.
Dalam rangka penyelenggaraan kehidupan beragama juga
telah dikeluarkan peraturan daerah nomor 5 tahun 2000
tentang Penyelenggaraan Syari’at Islam. Prinsip dasar yang
207 Qs. Al Kafirun ayat 6
157
tertuang dalam Perda Syariat Islam adalah bahwa setiap
individu dan lembaga yang berdomisili di Daerah Istimewa
Aceh berkewajiban menjunjung tinggi pelaksanaan syariat
Islam, yaitu mencakup aspek aqidah, ibadah, mu’amalah,
akhlak, pendidikan dan dakwah Islamiyah/amar ma’ruf nahi
munkar, baitul maal, kemasyarakatan, syiar Islam, pembelaan
Islam, qadha, jinayat, munakahat dan mawaris. Dalam hal ini
pelaksanaan dari peraturan daerah ini misalnya telah
dikeluarkan Instruksi Gubernur Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam nomor : 05/INSTR/2002 Tentang Tata Pergaulan/
Khalwat Antara Pria Dan Wanita Dalam Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam, kemudian Gubernur Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam juga mengeluarkan Surat Edaran Gubernur Nomor :
536/20976 Tentang Larangan Minuman Beralkohol (khamar).
2. Penyelenggaraan Kehidupan Adat
UU nomor 44 tahun 1999 mengatur mengenai kebijakan
penyelanggaraan kehidupan adat pada pasal 6 dan pasal 7.
Sebagai Peraturan pelaksana dari pengaturan penyelenggaraan
kehidupan adat dikeluarkan Peraturan Daerah Daerah Istimewa
Aceh nomor 7 tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Kehidupan
Adat. Dalam rangka penyelengaraan kehidupan adat ini Aceh
158
berhak untuk membentuk lembaga-lembaga Adat. Yang disebut
lembaga adat adalah
“suatu organisasi kemasyarakatan adat yang dibentuk oleh
suatu masyarakat hukum adat tertentu mempunyai
wilayah tertentu dan harta kekayaan sendiri serta
berhak dan berwenang untuk mengatur dan mengurus
serta menyelesaikan hal-hal yang berkaitan dengan
adat Aceh.” 208
Lembaga-lembaga adat yang ada di Aceh antara lain seperti Imum
Meunasah, Geuchik, Tuha Peuet, Tuha Lapan, Imum Meunasah,
Keujruen Blang, Panglima Laot, Peutua Seneubok, Haria
Peukan dan Syahbanda.209
UU nomor 18 tahun 2001 juga memperkenalkan lembaga
adat Wali Nanggroe dan Tuha Nanggroe yang merupakan simbol
bagi pelestarian penyelenggaraan adat, budaya dan pemersatu
masyarakat yang berada di tingkat provinsi. Lembaga ini
208 Aceh, Peraturan Daerah Daerah Istimewa Aceh tentang Penyelenggaraan Kehidupan Adat,
Peraturan Daerah nomor 7 tahun 2000, Lembaran daerah nomor 32, pasal 1 angka 5 209 Ibid., pasal 2 ayat (2)
pengertian dari masing-masing istilah tersebut dapat dilihat pada pasal 1 Peraturan Daerah nomor 7 tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Kehidupan Adat.
159
tidak termasuk dalam lembaga politik dan pemerintahan
provinsi NAD.210
Lembaga-lembaga adat ini mengadopsi lembaga-lembaga
adat yang telah ada di Aceh semenjak Kerajaan Aceh Raya
Darussalam, sebagaimana termaktub dalam Qanun Al Asyi.
Berikut ini adalah susunan kerajaan Aceh Raya Darussalam
yang ditulis dalam Qanun Al Asyi dalam hubungannya dengan
lembaga-lembaga adat yang ada di Aceh:211
1. KERAJAAN, yang nama lengkapnya Kerajaan Aceh Darussalam,
dengan Ibukota Negara: Banda Aceh Darussalam, yang
kadang-kadang disebut Bandar Darussalam dan Darul
Makmur. Kerajaan dipimpin seorang Raja yang bergelar
Sultan Imam Malikul Adil, dan dibantu oleh seorang Qadhi
kerajaan Qadhi Malikul Adil.
2. SAGOE, yaitu federasi dari beberapa Nanggroe, yang
dipimpin oleh seorang Penglima, hanya ada di Aceh Rayek,
banyaknya tiga sagoe, sehingga disebut juga Aceh Lhei
Sagoe, yaitu :
210 Indonesia(D), Op.Cit., pasal 10 211 Ali Hasjmy dkk (eds), 50 tahun Aceh Membangun, (Banda Aceh: Majelis Ulama Indonesia
Daerah Istimewa Aceh bekerjasama dengan Pemerintah Daerah Istimewa Aceh, 1995), hal 3-8
160
a. Sagoe Teungoh Lheiplooh, yang terdiri dari 25 Mukim,
yang dipimpin seorang Panglima Sagoe, yang bergelar
Qadhi Malikul Alam Sri Setia, dan dibantu oleh
seorang Qadhi Sagoe yang bergelar Qadhi Rabbul Jalil.
b. Sagoe Duaplooh Nam, yang terdiri dari 26 Mukim, yang
dipimpin seorang Penglima Sagoe yang bergelar Sri
Imam Muda dan dibantu seorang Qadhi Sagoe yang
bergelar Qadhi Rabbul Jalil.
c. Sagoe Duaplooh Dua, yang terdiri dari 22 Mukim, yang
dipimpin oleh seorang Panglima Sagoe, yang bergelar
Panglima Polem Sri Muda Perkasa, dan dibantu seorang
Qadhi Sagoe yang bergelar Qadhi Rabbul Jalil.
3. NANGGROE, yang disebut juga daerah Uleebalang terdiri
dari tiga Mukim hingga sembilan Mukim, dipimpin oleh
seorang Uleebalang dan dibantu oleh seorang qadhi
Nanggroe. Nanggroe merupakan daerah otonom dalam batas-
batas tertentu.
4. MUKIM, yaitu federasi dari beberapa gampong, paling
kurang delapan gampong. Mukim dipimpin oleh seorang Imum
Mukim dan seorang Qadhi Mukim serta dibantu oleh
beberapa wakil. Dalam tiap-tiap Mukim didirikan sebuah
Masjid Jum’at.
161
5. GAMPONG, yang disebut juga Meunasah, dipimpin oleh
seorang Keuchik (Geuchik) dan seorang Imam Rawatib
dengan dibantu oleh seorang staf yang bernama Tuha Peut.
Pemerintahan Gampong ini mendapat hak otonomi yang luas.
3. Penyelenggaraan Pendidikan
Keistimewaan yang dimiliki Aceh dalam rangka
penyelenggaraan pendidikan diatur dalam pasal 8 UU nomor 44
tahun 1999. Pendidikan memiliki peranan yang penting dalam
kehidupan manusia karena dengan pendidikan seseorang dapat
meningkatkan status sosialnya dalam stratifikasi
masyarakat. Islam pun menekankan pentingnya pendidikan
dalam ajarannya. Ayat pertama Al Qur’an yang diturunkan
Allah SWT memerintahkan untuk membaca.212 Kemudian banyak
hadits-hadits RasuluLlah SAW yang juga menekankan
pentingnya pendidikan.213
Pemerintah Daerah Daerah Istimewa Aceh pun telah
mengeluarkan peraturan daerah yang berisi pelaksanaan dari
keistimewaan penyelenggaraan pendidikan yaitu Peraturan
Daerah Daerah Istimewa Aceh nomor 6 tahun 2000 tentang
212 Qs. Al ‘Alaq ayat 1
“Bacalah, dengan nama Tuhanmu yang Menciptakanmu” 213 salah satunya adalah :
“Menuntut ilmu wajib hukumnya bagi tiap muslim dan muslimah”
162
Penyelenggaraan Pendidikan. Atas dasar peraturan daerah ini
fungsi dan tujuan dari pendidikan yang diselenggarakan
adalah untuk memantapkan iman kepada Allah SWT, ilmu dan
amal saleh serta membina akhlak, mengembangkan peserta
didik dalam upaya meningkatkan mutu kehidupan yang
bermartabat sesuai dengan tuntunan ajaran Islam.214 Sejak
dahulu penanaman nilai-nilai adat dan nilai-nilai Islam
telah menjadi dasar pada sistem pendidkan di Aceh misalnya
dengan dikeluarkannya Instruksi Gubernur Daerah Istimewa
Aceh Nomor : 02/INSTR/1990 Tentang Kewajiban Harus Dapat
Membaca Al-Qur’an Dan Pemahaman Adat Istiadat Daerah Bagi
Murid Sekolah Dasar. Perbedaan pelaksanaan sistem pendidkan
di Aceh adalah bahwa di Aceh ditambahkan materi muatan
lokal yaitu materi pelajaran yang berkaitan dengan agama,
adat dan budaya Islami. Pengubahan istilah lembaga
pendidikan pun mengalami perubahan seperti madrasah
(menggantikan istilah sekolah), kemudian dayah
(menggantikan istilah pesantren). Istilah tersebut
nampaknya mengacu pada zaman Kerajaan Aceh Raya Darussalam.
Ketika itu lembaga-lembaga pendidikan pun telah
214 Aceh, Peraturan Daerah Daerah Istimewa Aceh, Perda nomor 6 tahun 2000 tentang
Penyelenggaraan Pendidikan, pasal 3 dan pasal 4
163
dikembangkan dimana terdapat pula jenjang-jenjang
pendidikan yaitu :215
1. Meunasah (Madrasah), Meunasah dibangun di setiap
kampung dan berfungsi sebagai Sekolah Dasar dimana
diadakan menulis dan membaca huruf Arab, ilmu agama,
Fiqh, Bahasa Jawi, Sejarah Islam dan cara bercerita.
Disamping sebagai sekolah Meunasah juga digunakan
sebagai tempat musyawarahdan pusat kegiatan
masyarakatdi desa dan sebagai penginapan gratis bagi
musafir lelaki dewasa.
2. Rangkang, merupakan pendidikan tingkat lanjutan dari
meunasah dimana diadakan disetiap mukim, tenaga
pengajar tetapnya disebut Teungku Leube. Lembaga
pendidikan ini dapat disamakan dengan tingkat SMP
sekarang.
3. Dayah (Zawyah), berada ditiap wilayah Uleebalang yang
pada umumnya berpusat di Masjid Lembaga pendidikan
ini dapat disejajarkan dengan tingkat SMU yang ada
sekarang.
215 Drs. Abdurrahman Kaoy, Banda Aceh sebagai Pusat Da’wah Islamiyyah dalam Kota Banda
Aceh Hampir 1000 Tahun, (Banda Aceh: Pemerintah Daerah Tingkat II Banda Aceh, 1998), hal 162
164
4. Dayah Tgk. Syik, lembaga pendidikan ini dapat
disamakan dengan peruruan tinggi dimana diajarkan
pengetahuan agama Islam secara luas dan mendalam.
Kondisi dunia pendidikan di Aceh saat ini sangat
tertinggal. Alasan keadaan Aceh yang tidak stabil adalah
yang menjadi penyebab rendahnya kualitas pendidikan di
Aceh. Secara nasional, peringkat kualitas pendidikan di
Aceh pernah berada pada tingkat 25 dari seluruh provinsi
yang ada di Indonesia.216 Padahal bidang pendidikan adalah
bagian dari Hak Asasi Manusia (HAM) yang dijamin
keberadaannya dalam hukum internasional maupun hukum
nasional.217
4. Peran Ulama Dalam Penetapan Kebijakan Daerah
Keistimewaan keempat yang diatur dalam UU nomor 44
tahun 1999 adalah memberikan posisi pada para ulama sebagai
penasihat dalam jalannya pemerintahan. Keistimewaan ini
penting artinya karena dalam Islam posisi ulama adalah
sejajar dengan umara’ (pemimpin pemerintahan) sebagai
216 Hancurnya pendidikan di Aceh, Kompas, 8 Desember 2001 217 Satya Arinanto, Hak Asasi Manusia Dalam Transisi Politik di Indonesia, cet.I (Jakarta: Pusat
Studi Hukum Tata Negara, 2003), hal. 304
165
penyeimbang jalannya pemerintahan agar senantiasa sesuai
dengan syari’at Islam.218 Ajaran atau sistem keseimbangan
antara Ulama dan Umara’ sebenarnya sudah sejak lama
diterapkan di Aceh dengan melihat pada sejarah Kerajaan
Aceh Raya Darussalam kemudian dalam masa penjajahan Belanda
maupun perebutan kemerdekaan Republik Aceh perjuangan
rakyat Aceh dipimpin oleh tokoh Ulama antara lain seperti
Teungku H. Hasan Kreung Kale, Teungku H. Ahmad Hasballah
Indrapuri, Teungku H. Jafar Siddiq Lam Jabat, Teungku Daud
Beuereuh, Teungku Chik Kuta Karang dan Teungku Chik
Ditiro.219 Akan tetapi dalam masa Orde baru posisi Ulama
lama kelamaan dipinggirkan, Ulama tidak lebih hanya menjadi
pemimpin formal dalam hal ritual keagamaan saja dan tidak
memiliki kekuatan dalam mengoreksi pemimpin. Kondisi ini
memunculkan satire atau sindiran dalam bahasa Aceh yang
mengatakan, “Ulama jameun pijuet-pijuet seubab geu kaleut
218 Al Maududi menyatakan mengenai keistimewaan kedudukan ulama dalam pemerintahan,
bahwa hanya orang yang dianggap ulama yang berhak duduk sebagai anggota lembaga legislatif. Karena syarat yang diajukan Al Maududi untuk menjadi anggota lembaga legislatif adalah beragama Islam, dewasa, laki-laki saleh dan terlatih untuk menafsirkan dan menerapkan syari’ah serta menyusun UU yang sejalan dengan AlQur’an dan Sunnah. Lihat Abul A’la Al Maududi, the Islamic Law and Constitution, (Lahore: Islamic Publisher, 1975), hal 207. bandingkan dengan Drs. Muhammad Iqbal, Fiqh Siyasah Kontekstualitas Doktrin Politik Islam, cet.1, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001), hal 176-177.
219 Ibrahim Alfian, Perang di Jalan Allah, Perang Aceh 1873-1912, cet.1, (Jakarta: Pustaka
Sinar Harapan, 1987), hal 151-173.
166
bak buleun puasa, Ulama jinoe teumbon-teumbon gadoeh eik
treeun bak istana.”220
Sebagai tindak lanjut UU No. 44/1999 tentang
Keistimewaan Aceh dalam meningkatkan peran ulama dalam
penetapan kebijakan daerah, Pemda dan DPRD Aceh telah
mensahkan yaitu Perda Nomor 3 tahun 2000 tentang
Pembentukan Organisasi dan Tata Kerja Majelis
Permusyawaratan Ulama. Peran strategis ulama
diimplimentasikan melalui MPU (Majelis Permusyawaratan
Ulama) yang dibentuk sampai ke tingkat kabupaten dan kota.
MPU bersifat independen, bukan dari unsur DPRD maupun
Pemerintah Daerah. 221 Selama ini rakyat Aceh menuding bahwa
ulama yang bergabung dalam MUI adalah ulamanya pemerintah,
maka dengan kehadiran MPU nantinya maka anggapan itu sama
sekali tak beralasan lagi. Karena kelembagaan yang di
bentuk ini benar-benar independen dan tidak berada di bawah
koordinasi Pemda dan DPRD. MPU mempunyai fungsi dalam
220 artinya Ulama dulu kurus-kurus, sibuk berdzikir dalam goa seperti bulan puasa; Ulama
sekarang buncit-buncit, naik turun pendopo raja. Lihat Al Chaidar, Gerakan Aceh Merdeka, Op.Cit, hal 139
221 Aceh, Peraturan Daerah tentang Pembentukan Organisasi dan Tata Kerja Majelis Permusyawaratan Ulama Daerah Istimewa Aceh, Peraturan daerah nomor 3 tahun 2000, Lembaran Daerah nomor 23
167
menetapkan fatwa, memberikan pertimbangan terhadap
kebijakan Daerah baik diminta atau tidak.222
5. Pembagian Keuangan Antara Pusat dan Daerah
Salah satu isu yang penting lainnya dalam rangka
palaksanaan otonomi khusus Aceh lainnya adalah masalah
pembagian keuangan antara pusat dengan daerah. Dalam UU
nomor 44 tahun 1999 tidak dijabarkan secara spesifik
pembagian keuangan ini, namun dalam UU nomor 18 tahun 2001
pembagian keuangan ini dijabarkan secara lebih rinci.223
Pembagian keuangan ini berbeda perumusannya dengan yang
diatur dalam UU nomor 25 tahun 1999. Perbedaan itu terletak
pada penerimaan yang berasal dari sumber zakat224 dan
tambahan penerimaan dari bahagian pendapatan yang berasal
dari sumber daya alam untuk pertambangan minyak dan
pertambangan gas alam.225
Perbedaan pembagian keuangan antara provinsi Aceh
dengan provinsi yang lain adalah suatu yang wajar mengingat
sejak dulu Aceh telah memberikan kontribusi yang besar bagi
222 Ibid., pasal 5 223 Indonesia(D), Op.Cit., pasal 4-7 224 Ibid., pasal 4 ayat (2) huruf c 225 Ibid., pasal 4 ayat (4) dan (5)
168
devisa negara namun kesejahteraan rakyat Aceh tidak juga
meningkat. Diawal dekade 70-an perekonomian Aceh mengalami
perubahan yang besar semenjak ditemukannya ladang gas alam
dikabupaten Aceh Utara. Sebelum itu, Aceh juga menghasilkan
minyak dari 450 sumur minyak di Aceh Timur yang digali oleh
Canadian Assamera Oil Company dari tahun 1961 hingga
1991.Dengan penemuan gas alam cair di Kabupaten Aceh Utara
itu dimulailah pembangunan kilang secara joint venture
antara Pertamina, Mobil Oil Indonesia dan Jilco Jepang.
Menjelang 1977, sebuah kilang gas alam cair telah berdiri
dengan label PT Aron NGL dan pada tahun itu ppula kilang
itu mulai memproduksi gas alam untuk ekspor ke Jepang,
Korea dan Taiwan. Atas dasar suksesnya pembangunan PT Aron
NGL tersebut maka tahapan dimulainya pembangunan Zona
Industri Lhok Seumawe (ZILS) pun terwujud. Pentingnya
sumber daya alam Aceh bagi Indonesia tidak bisa dipandang
ringan, menjelang tahun 1980, Aceh telah menyumbang 30%
dari ekspor migas negara. Dalam waktu singkat, kilang LNG
diikuti oleh pendirian pabrik pupuk Asean Aceh Fertilizer
(AAF) dan PT Pupuk Iskandar Muda (PIM). Kedua kilang ini
merupakan industri intensi energi yang memanfaatkan LNG
yang menghasilkan pupuk sebagai produk ekspor untuk
169
menambah devisa negara. Pada tahun 1991, hampir 90% output
kilang pupuk AAF dan PT PIM disediakan untuk ekspor.
Seluruh pendapatan dari pabrik-pabrik tersebut adalah
menjadi penerimaan negara, penerimaan Pertamina dan
kontraktor asing, pendapatan tersebut tidak pernah mengalir
secara langnsung kepada Aceh sebagai daerah penghasil
kecuali dalam bentuk subsidi pemerintah pusat kepada
pemerintah daerah yang prinsip pengucurannya sama dengan
provinsi lain di Indonesia.226 Sehingga wajar bila rakyat
Aceh tidak menikmati tingkat kesejahteraan yang tinggi
walaupun industri-industri besar dibangun di Aceh.
226 usul insiatif DPR untuk RUU tentang Otonomi Khusus Bagi Propinsi Daerah Istimewa Aceh
dalam Bentuk Nanggroe Aceh Darussalam.
170
BAB V
PROBLEMATIKA DALAM PENERAPAN OTONOMI KHUSUS DI PROVINSI
NANGGROE ACEH DARUSSALAM DENGAN KONSEP NEGARA KESATUAN
A. QANUN
1. Pengertian Qanun
Istilah qanun diambil dari bahasa Arab yang secara
letterlijk berarti Undang-Undang.227 Untuk memahami istilah
qanun terlebih dahulu harus dipahami pengertian tentang
hukum Islam. Yang disebut dengan hukum Islam sendiri adalah
sebuah hasil daya nalar fuqaha yang dideduksi dari sumber
yang otentik, kemudian dikembangkan secara berkelanjutan
dalam rentang waktu yang panjang. Hukum Islam
disosialisasikan dan memberikan makna islami terhadap
pranata sosial yang tersedia atau bahkan menjadi cikal
227 Dalam bahasa Arab, qanun, kata kerjanya qanna yang artinya membuat hukum (to make law, to lagislate), kemudian qanun dapat berarti hukum (law), peraturan (rule, regulation), Undang-Undang, (statute, code). The Encyclopaedia of Islam, (new ed.), IV: 558. Lihat juga Qadri Azizy, Eklektisisme Hukum Nasional, cet.1, (Yogyakarta: Gama Media, 2002), hal 57-48.
171
bakal pranata sosial yang baru.228 Pada saat hukum Islam
ini berinteraksi dengan penguasa atau pemerintah maka hukum
Islam diwujudkan di dalam pembentukan peraturan perundang-
undangan. Sehingga Qanun merupakan transformasi hukum Islam
ke dalam peraturan perundang-undangan (takhrij al-ahkam fi
al- nash al-qanun) hasil dari interaksi antara kelompok
elite Islam (Ulama, cendikiawan Muslim) dengan elite
penguasa (pemerintah).229 Peraturan perundang-undangan
(qanun) dibentuk oleh lembaga legislatif berikut ini
pemikiran Abul a’la al Maududi mengenai lembaga legislatif
dan batasan peraturan perundang-undangan dalam Islam
Lembaga legislatif haruslah bekerja berdasarkan masyarakat. Namun kekuasaan-kekuasaannya dalam membuat UU harus dibatasi dengan batasan-batasan yang telah disebutkan dalam Al Qur’an (Qs. 39:2-3, 45:18, 33:36). Perkara-perkara yang oleh Allah dan rasul-Nya telah ditetapkan hukum-
228 Cik Hasan Bisri, Peradilan Islam dalam Tatanan Masyarakat Indonesia, cet. Kedua
(Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2000), hal 4. Terdapat berbagai pandangan tentang syariah, hukum Islam dan fikih. Ia merupakan bahan pembicaraan bahkan perdebatan yang selalu muncul dan berkembang. Dalam pandangan Asaf A.A fyzee syari’ah dapat diartikan kedalam bahasa Inggris sebagai Canon Law of Islam, keseluruhan perintah Allah. Perintah itu dinamakan hukm. Sedangkan fikih atau hukum Islam adalah pengetahuan tentang hak-hak dan kewajiban-kewajiban seseorang sebagaimana diketahui dalam Al Qur’an dan Sunnah atau yang disimpulkan dari keduanya atau tentang apa yang telah disepakati oleh kaum cerdik pandai. Pandangan lain dikemukakan oleh ‘Abd al-‘Ati yang menyatakan bahwa konsep hukum Islam mempunyai fungsi ganda yaitu fungsi syari’ah dan fungsi fikih. Syari’ah merupakan fungsi kelembagaan yang diperintahkan Allah untuk dipatuhi sepenuhnya, atau saripati petunjuk Allah untuk perseorangan dalam mengatur hubungannya dengan Allah, sesamam muslim dan dengan semua makhluk didunia ini. Sedangkan fikih merupakan produk daya pikir manusia yang dengan daya intelektualnya mencoba menafsirkan penerapan prinsip-prinsip syariah secara sistematis.
229 Ibid., hal 20.
172
hukumnya yang jelas atau telah ditetapkan batasan-batasan dan prinsip-prinsip dasarnya, maka badan legislatif dibolehkan membuat penafsiran-penafsiran, perincian-perincian atau mengajukan saran-saran untuk membuat kaidah-kaidah, peraturan-peraturan sampingan dan ikatan-ikatan khusus dalam melaksanakan dan menjalankannya. Tapi badan ini tidak diperbolehkan melakukan suatu penolakan atau pergantian. Adapun perkara-perkara yang oleh pemegang kekuasaan tertinggi (yakni Allah) belum ditetapkan hukumnya yang pasti atau belum diletakkan dasar-dasar atau batasan-batasannya maka badan legislatif ini diperbolehkan membuat UU yang sesuai dengan ruh Islam serta prinsip-prinsipnya yang umum, sebab tidak ada ketentuan dari Sang Pembuat Syari’at mengenai perkara-perkara itu, menunjukkan bahwa Dia telah menyerahkannya kepada kebijaksanaan kaum mukminin yang benar.230
Dalam konteks sejarah istilah qanun diadopsi dari
istilah Qanun Al Asyi yang merupakan Undang-Undang Dasar
Kerajaan Islam Aceh Raya Darussalam. Qanun Al Asyi disebut
juga Adat Meukuta Alam yang mana menurut ahli sejarah
adalah peraturan yang amat sempurna menurut ukuran zamannya
sehingga digunakan sebagai pedoman oleh Kerajaan-Kerajaan
Islam lainnya di Asia Tenggara.231
Hal-hal yang diatur dalam Qanun Al Asyi terdiri dari
(1) Dasar dan rukun negara serta sistem pemerintahan, (2)
Sumber hukum dan jenis-jenis hukum yang berlaku dalam
kerajaan, (3) Pemerintah pusat dan pembagian wilayah-
wilayah negara, (4) Lembaga-lembaga negara dalam tingkat
230 Abul A’la al Maududi, Khilafah dan Kerajaan, Evaluasi Kritis atas Sejarah Pemerintahan
Islam, terj. oleh Muhammad Al Baqir, cet.1, (Bandung: Mizan, 1994), hal 74. 231 Al Chaidar, Gerakan Aceh Merdeka, Op.cit., hal 33
173
pusat serta tugas dan wewenang, (5) Nama-nama dan gelar
jabatan bagi pejabat tinggi negara ditingkat pusat, (6)
Syarat-syarat menjadi sultan, menteri, qadhi dan pejabat
tinggi lainnya, (7) Hak-hak warga negara dan hubungannya
dengan negara, (8) Susunan pemerintah daerah dan tugas-
tugas para pejabat daerah, (9) Organisasi angkatan perang
dan gelar pejabat tinggi militer serta pejabat tingkat
menengah dan bawahan, (10) peraturan dasar mengenai
perdagangan dalam dan luar negeri, (11) Negara dalam
keadaan perang, (12) Syarat-syarat keadilan pemerintah dan
ketaatan rakyat, dan (13) pengecualian dimana Qanun Al Asyi
menetapkan beberapa garis pokok mengenai cara bagaimana
seharusnya sultan dan pejabat tinggi negara menjalankan
pemerintah pusat, sekalipun apabila bekerja diluar garis
Undang-undang dan bertindak tegas.232
Dalam UU nomor 18 tahun 2001 batasan mengenai yang
disebut Qanun adalah “Peraturan Daerah sebagai pelaksanaan
Undang-Undang di wilayah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam
dalam rangka penyelenggaraan otonomi khusus.”233 Jadi Qanun
adalah istilah yang digunakan untuk menyebut Peraturan
232 Ibid.,hal 37 233 Indonesia (D), Op.Cit., pasal 1 huruf g
174
Daerah yang dikeluarkan oleh Pemerintah Daerah dan DPRD
provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Dan dengan berlakunya UU
nomor 18 tahun 2001 seluruh Peraturan Daerah Nanggroe Aceh
Darussalam disebut dengan Qanun sebagaimana disebutkan
dalam pasal 30 “Semua Peraturan Daerah yang ada dinyatakan
sebagai Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam sesuai
dengan yang dimaksud dalam Undang-Undang ini.”
2. Kedudukan Qanun Dalam Susunan Peraturan Perundang-undangan di Indonesia
Dalam pasal 1 huruf g UU nomor 18 tahun 2000 disebutkan bahwa qanun adalah istilah yang digunakan di popinsi NAD untuk menyebut Peraturan Daerah. Jadi kedudukan qanun adalah sama dengan kedudukan peraturan daerah dalam tata urutan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia berdasarkan Ketetapan MPR nomor III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan. Dalam Pasal 2 Ketetapan MPR No.III/MPR/2000 disebutkan adanya tata urutan yang mencakup UUD, Ketetapan MPR, Undang-Undang, Perpu, Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden, dan Peraturan Daerah. Yang termasuk pengertian Peraturan Daerah itu sendiri untuk daerah provinsi adalah peraturan yang dibuat oleh DPRD bersama Gubernur, sedangkan untuk daerah kabupaten/kota dibuat oleh DPRD setempat bersama Bupati/Walikota. Bahkan, termasuk dalam pengertian Peraturan Daerah itu adalah Peraturan Desa atau yang setingkat yang dapat dibuat oleh badan perwakilan desa atau yang setingkat menurut tata cara pembuatan peraturan desa atau yang setingkat yang diatur dalam Peraturan Daerah Kabupaten/Kota yang bersangkutan.234
Pada tahun 1951 Kementrian Dalam Negeri RI membuat pengertian peraturan daerah yang tertuang dalam pedoman tanggal 25 oktober 1951 No. Des 26/46/2 sebagai berikut :
234 Indonesia, Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat nomor III/MPR/2000 tentang
Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan, pasal 3 ayat (7).
175
a. “Peraturan” adalah suatu keputusan yang dimaksudkan berlaku lama dan
merupakan pokok kaidah (norma buat segala hal yang dapat dimaksudkan dalam
norma itu).
b. “Peraturan daerah” adalah pada umumnya peraturan termaksud dalam huruf a, yang
ditetapkan oleh DPRD dan berlaku (mengikat) umum (algemeen bindende regels),
baik yang memuat ancaman pidana maupun tidak.
Masyarakat Transparansi Indonesia menerjemahkan peraturan daerah sebagai berikut : 1. Perda sebagai salah satu bentuk/jenis peraturan perundang-undangan yang
merupakan sub sistem peraturan perundang-undangan (hukum) nasional. Artinya suatu perda tak lepas dari asas dan sistem hukum nasional.
2. Perda sebagai produk hukum daerah dibentuk dan ditetapkan oleh pejabat yang berwenang didaerah, dalam hal ini oleh Pemda dan DPRD.
3. Muatan berisi tingkah laku yang bersifat mengatur (regulerend), tidak bersifat sekali jalan.
4. Perda hanya berlaku untuk daerah tertentu diwilayah Republik Indonesia namun perda tersebut baik secara asas hukum maupun hirarki tunduk pada asas-asas hukum yang berlaku di Indonesia.235
Dalam pasal 69 UU nomor 22 tahun 1999 disebutkan bahwa Kepala Daerah atas
persetujuan DPRD menetapkan peraturan daerah dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan penjabaran lebih lanjut dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Dalam hal ini Peraturan Daerah adalah delegated legislation,236 peraturan untuk melaksanakan aturan hukum diatasnya. Dan dalam hal ini qanun menjadi berbeda dengan Peraturan Daerah daerah lain di Indonesia. Berdasarkan prinsip ‘lex superiore derogat lex infiriore’ maka secara hirarkis peraturan perundang-undangan yang tingkatannya di bawah tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang tingkatannya lebih tinggi. Mengingat bahwa banyak sekali bidang-bidang yang menjadi kewenangan pemerintah daerah provinsi Nanggroe Asceh Darussalam maka
235 Masyarakat Transparansi Indonesia, Penyusunan Peraturan Daerah yang Partisipatif, cet.1,
(Jakarta: MTI bekerjasama dengan DPRD Ambon, 2003), hal 93. 236 Delegated legislation is law made by some person or body to whom parliament has delegated
its general law making power. Lihat Gary Slapper dan David Kelly, English Legal System, Q and A series, cet.5, (London: Cavendish Publishing Ltd, 2003), hal 19.
176
implikasinya tentu akan banyak peraturan daerah yang akan bertentangan dengan kebijakan nasional pemerintah pusat yang dituangkan dalam peraturan perundang-undangan. Contohnya qanun nomor 10 tahun 2002 tentang Peradilan Syari’at Islam yang dikeluarkan oleh pemerintah provinsi NAD dalam rangka peraturan pelaksanaan UU nomor 18 tahun 2001 maka Perda ini akan mengenyampingkan kebijakan nasional pemerintah pusat tentang sistem peradilan nasional yang diatur dalam UU nomor 14 tahun 1970 sebagimana telah diubah dengan UU nomor 35 tahun 1999. Pengenyampingan ini misalnya dalam hal dibentuknya qanun yang berisi hukum materiil dan hukum formil dalam menjalankan Peradilan Syari’at Islam. Maka pengenyampingan ini bertentangan dengan prinsip hukum ‘lex superiore derogat lex inferiore’. Akan tetapi, dalam hukum juga berlaku prinsip ‘lex specialis derogat lex generalis’ yang berarti bahwa peraturan yang khusus dapat mengesampingkan berlakunya suatu peraturan yang bersifat umum. Dan prinsip hukum ini diatur dalam penjelasan UU nomor 18 tahun 2000
Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam adalah Peraturan Daerah Provinsi Nangroe Aceh Darussalam, yang dapat mengenyampingkan peraturan perundang-undangan yang lain dengan mengikuti asas lex specialis derogaat lex generalis dan Mahkamah Agung berwenang melakukan uji materiil terhadap Qanun.
Selain dasar penjelasan dari UU nomor 18 tahun 2001 bahwa qanun dapat
mengenyampingkan peraturan perundang-undangan lain, pada pasal 3 ayat (7) Ketetapan MPR nomor III/MPR/2000 ditegaskan bahwa Peraturan Daerah merupakan peraturan untuk melaksanakan aturan hukum di atasnya, dan menampung kondisi khusus dari daerah yang bersangkutan. Sehingga meskipun sudah ada peraturan yang tingkatannya lebih tinggi mengatur suatu hal, tetapi jikalau misalnya kondisi khusus Aceh menghendaki ketentuan yang khusus dan berbeda, maka kekhususan itu dapat ditampung pengaturannya dalam bentuk Peraturan Daerah.237
Prinsip lex specialis derogat lex generalis berlaku karena UU nomor 44 tahun 1999 dan UU nomor 18 tahun 2001 memberikan kewenangan khusus bagi Provinsi NAD untuk melaksanakan keistimewaannya yang menyisakan tiga kewenangan saja yang hanya diatur oleh pemerintah pusat di NAD yaitu
237 Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH., Hukum Islam Dan Reformasi Hukum Nasional,
Disampaikan dalam Seminar Penelitian Hukum tentang Eksistensi Hukum Islam Dalam Reformasi Sistem Nasional, diselenggarakan oleh BPHN Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia, di Jakarta, 27 September 2000.
177
pertahanan keamanan, moneter dan fiskal serta hubungan luar negeri. Kedua UU tersebut bersifat khusus mengenyampingkan UU lainnya yang dibuat oleh pemerintah pusat yang berkaitan dengan kewenangan khusus yang dimiliki NAD sehingga UU yang dibuat pemerintah pusat itu tidak berlaku di NAD.
Nuansa keinginan untuk pelaksanaan syari’at Islam begitu kental terasa sehingga dari sisi teknik penulisan peraturan perundang-undangan, qanun memiliki keistimewaan. Keistimewaan ini untuk mencirikan keinginan untuk mewarnai segala sisi kehidupan dengan nuansa Islami. Keistimewaan qanun dari sisi teknik penulisan peraturan perundang-undangan adalah dalam pembukaan dicantumkan kalimat “BismiLlahirrahmanirrahim” sebelum “Dengan Rahmat Allah Yang Maha Kuasa”. Keistimewaan lainnya adalah pencantuman Al Qur’an dan Hadits sebagai dasar hukum yang dicantumkan dalam unsur “mengingat” dalam setiap qanun. Namun sayangnya, pencantuman Al Qur’an dan Hadits sebagai dasar hukum qanun tidak secara rinci menyebutkan surat dan ayat Al Qur’an maupun riwayat dari hadits yang berkaitan dengan ketentuan yang akan diatur dalam qanun, sehingga terkesan seolah-olah pencantuman Al qur’an dan hadits sebagai alat legitimasi saja untuk menambah nuansa Islam dalam ketentuan qanun tersebut. Keputusan Presiden nomor 44 tahun 1999 tentang Teknik Penyusunan Peraturan Perundang-undangan dan Bentuk Rancangan Undang-Undang, Rancangan Peraturan Pemerintah dan Rancangan Keputusan Presiden menyatakan bahwa teknik penyusunan peraturan perundang-undangan dibawah Keputusan Presiden mutatis mutandis dengan bentuk rancangan Keputusan Presiden tersebut.238 Pencantuman kalimat “BismiLlahirrahmanirrahim” serta penggunaan Al Qur’an dan Hadits dalam qanun adalah sesuatu yang tidak diatur dalam Keppres nomor 44 tahun 1999 tersebut. Namun hal ini bukan berarti pencantuman hal-hal itu membawa konsekuensi bahwa qanun dapat dibatalkan karena telah menyimpang. Karena sesuai dengan pasal 114 ayat (1) UU nomor 22 tahun 1999 bahwa pertimbangan pembatalan suatu perda didasarkan pada dua hal yaitu bertentangan dengan kepentingan umum dan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau peraturan perundang-undangan lainnya. Sepertinya adalah suatu hal yang terlalu berlebihan bilamana pembedaan teknik penulisan qanun ini menjadi hal yang menyebabkan qanun itu dibatalkan. Walaupun demikian idealnya adalah bahwa teknik penulisan qanun ini perlu diatur dalam qanun
238 Indonesia, Keputusan Presiden tentang Teknik Penyusunan Peraturan Perundang-undangan
dan Bentuk Rancangan Undang-Undang, Rancangan Peraturan Pemerintah dan Rancangan Keputusan Presiden, Keppres nomor 44 tahun 1999, Lembaran Lepas 1999, pasal 6.
178
tersendiri mengingat dalam hal teknik penulisan qanun yang berbeda dengan peraturan daerah di daerah lain di Indonesia. Seperti pemerintah provinsi DKI Jakarta yang mengeluarkan Keputusan Gubernur nomor 75 tahun 2000 tentang Teknik Penyusunan dan Bentuk Rancangan Peraturan Perundang-undangan Daerah.
Sebagai salah satu bentuk peraturan perundang-undangan, Qanun juga merupakan objek yang dapat dilakukan judicial review oleh Mahkamah Agung. Dalam rangka otonomi daerah terutama dengan diberikannya otonomi khusus untuk Aceh, penguatan arus bawah dalam pengambilan keputusan tidak boleh dikekang sebagaimana terjadi pada zaman orde baru. Semangat yang terkandung dalam kebijakan otonomi khusus untuk provinsi NAD di satu segi mendorong tumbuhnya kemandirian dan keprakarsaan dari bawah, sehingga Pemerintah Daerah ataupun DPRD tidak perlu menunggu arahan dan aturan dari atas. Tetapi di pihak lain, perlu pula pengaturan agar terjadi keselarasan dalam pelaksanaan sistem hukum di Indonesia. Oleh sebab itu MA memiliki kewenangan untuk melakukan judicial review untuk menjamin keselarasan sistem hukum tersebut. Dalam melakukan judicial review, Prof. Jimly Asshiddiqie menyarankan beberapa hal untuk menjamin kehati-hatian pelaksanaannya, dalam rangka tidak mematikan aspirasi dari daerah juga dilain pihak tidak menimbulkan pertentangan hukum, yaitu239 :
(a) prinsip ‘lex superiore derogat lex infiriore’ mengharuskan norma hukum yang
di bawah tidak bertentangan dengan norma hukum yang di atas. Akan tetapi,
dalam pelaksanaannya, prinsip tersebut diimbangi oleh prinsip lain, yaitu ‘lex
specialis derogat lex generalis’ bahwa norma hukum yang khusus, baik
materinya maupun wilayah berlakunya ataupun waktu berlakunya, dapat saja
mengatur yang berbeda dari norma hukum yang bersifat umum tanpa mengubah
status keberlakuan norma hukum yang bersifat umum tersebut.
(b) dalam hukum dibedakan antara istilah pertentangan norma (contra legem)
dengan ketidaksesuaian norma (praepria). Peraturan Daerah mutlak tidak boleh
239 Prof. Jimly Asshiddiqie, Tata Urut Perundang-Undangan dan Problema Peraturan Daerah,
disampaikan dalam rangka Lokakarya Anggota DPRD se-Indonesia, diselenggarakan di Jakarta, oleh LP3HET, Jum’at 22 Oktober 2000.
179
mengatur norma yang berlawanan atau bertentangan dengan norma yang diatur
dalam peraturan yang lebih tinggi. Akan tetapi, jika materi yang diatur bukan
berlawanan tetapi hanya tidak sesuai dengan apa yang diatur dalam peraturan
yang lebih tinggi, maka hal itu masih dapat diterima secara hukum.
(c) dalam hal ditemukan adanya perbedaan pengaturan antara satu peraturan dengan
peraturan yang lain, maka penafsirannya disarankan dikaitkan dengan elemen
teleologis dari materi peraturan itu, yaitu menyangkut tujuannya
(doelmatigheid). Jika tujuannya sama, maka perbedaan dalam teknis
pelaksanaannya, sepanjang tidak mengganggu proses pencapaian tujuan
langsungnya, maka keduanya masih dapat diterima sebagai dokumen hukum
menurut pengertian ketidaksesuaian seperti pada butir (b) tersebut di atas.
3. Hal-Hal yang Diatur Dalam Qanun
Pasal 31 UU nomor 18 tahun 2001 mengatur bahwa ketentuan pelaksanaan yang menyangkut kewenangan pemerintah pusat ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah sedangkan yang menyangkut kewenangan Pemerintah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam ditetapkan dengan Qanun. Posisi qanun adalah sebagai peraturan pelaksana yang menjabarkan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi yang mengatur mengenai pemberian otonomi khusus Aceh yaitu UU nomor 18 tahun 2001 dan UU nomor 44 tahun 1999. Sehingga seharusnya dalam konsideran “mengingat” sebagai dasar hukum qanun tidak perlu menyebutkan UU atau peraturan perundang-undangan dibawah UU yang mengatur mengenai hal-hal yang akan diatur dalam qanun, karena pengaturan dalam qanun itu pasti berbeda dengan pengaturan kebijakan nasional yang akan berlaku didaerah lainnya di Indonesia. Misalnya dalam Perda nomor 6 tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Pendidikan seharusnya tidak perlu mencantumkan UU nomor 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan peraturan perundang-undangan lain yang terkait karena Perda Penyelenggaraan Pendidikan di Aceh pengaturannya berbeda dengan Sistem Pendidikan Nasional berkaitan dengan keistimewaan atau otonomi khusus yang telah diberikannya. Pengaturan
180
penyelenggaraan pendidikan yang berbeda dalam peraturan daerah (qanun) sedangkan perda tersebut mencantumkan UU nomor 2 tahun 1989 sebagai dasar hukumnya adalah sesuatu yang paradox dan hal ini tentu akan bertentangan dengan prinsip ‘lex superiore derogat lex inferiore’, mengingat kedudukan perda yang berada dibawah UU. Yang harus dilakukan adalah menegaskan dalam ketentuan peralihan perda penyelenggaraan pendidikan tersebut bahwa UU nomor 2 tahun 1989 dan peraturan perundang-undangan lain yang mengatur masalah pendidikan dinyatakan masih tetap berlaku bilamana perda tentang penyelenggaraan pendidikan tersebut belum mengaturnya. Hal ini dimaksudkan agar tidak terjadi kekosongan hukum dan ketidakpastian hukum. Contoh lain misalnya pembentukan hukum materiil yang mengatur masalah jinayat (pidana Islam) dalam dasar “mengingat” qanun tersebut tidak perlu mencantumkan Wetboek van Straafrecht (KUHP) karena perda hukum materiil jinayat itu pasti akan bertentangan dengan KUHP.
Sesuai dengan yang disebutkan dalam pasal 31 ayat (2) UU nomor 18 tahun 2001 bahwa qanun adalah ketentuan pelaksanaan dari UU nomor 18 tahun 2001 maka hal-hal berikut adalah hal-hal yang harus diatur dalam Qanun karena menyangkut kewenangan Pemerintah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dalam UU nomor 18 tahun 2001 :
a. Ketentuan mengenai susunan, kedudukan, penjenjangan dan penyebutan
pemerintahan dalam Provinsi NAD (pasal 2 ayat (5) UU nomor 18 tahun 2001).
b. Ketentuan mengenai pembagian penerimaan bagi Provinsi NAD dari hasil
sumber daya alam untuk pertambangan minyak dan gas alam (pasal 4 ayat (6)
UU nomor 18 tahun 2001).
c. Ketentuan mengenai pelaksanaan penerimaan bantuan dari luar negeri dan
pinjaman dari dalam dan/atau luar negeri (pasal 5 ayat (5) UU nomor 18 tahun
2001).
d. Ketentuan mengenai tata cara penyertaan modal Pemerintah Provinsi NAD
pada BUMN yang beroperasi di wilayah NAD (pasal 6 ayat (2) UU nomor 18
tahun 2001).
181
e. Ketentuan mengenai tata cara penyusunan dan pelaksanaan, perubahan dan
perhitungannya serta pertanggungjawaban dan pengawasan APBD provinsi
NAD (pasal 7 ayat (3) UU nomor 18 tahun 2001)
f. Ketentuan mengenai lambang daerah (pasal 8 ayat (3) Uu nomor 18 tahun
2001)
g. Ketentuan mengenai pelaksanaan kekuasaan legislatif Provinsi NAD (pasal 9
ayat (8) UU nomor 18 tahun 2001).
h. Ketentuan mengenai Wali Nanggroe dan Tuha Nanggroe (pasal 10 ayat (3) UU
nomor 18 tahun 2001)
i. Ketentuan mengenai pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi NAD
(pasal 14 ayat (6) UU nomor 18 tahun 2001).
j. Ketentuan mengenai pelaksanaan pemilihan Bupati/Wakil Bupati dan
Walikota/Wakil Walikota Provinsi NAD (pasal 15 ayat (3) UU nomor 18 tahun
2001).
k. Ketentuan mengenai hak-hak pemilih (pasal 19 UU nomor 18 tahun 2001).
l. Ketentuan mengenai pemberhentian Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil
Bupati dan Walikota/Wakil Walikota serta anggota DPRD Provinsi dan
Kabupaten/Kota (pasal 20 ayat (3) UU nomor 18 tahun 2001).
m. Ketentuan mengenai tugas fungsional kepolisian (pasal 21 ayat (4) UU nomor
18 tahun 2001).
n. Ketentuan mengenai Mahkamah Syar’iyah (pasal 25 ayat (2) UU nomor 18
tahun 2001).
182
Disamping kewenangan delegasi yang diberikan UU nomor 18 tahun 2001 kepada qanun untuk mengaturnya. Dalam rangka otonomi khusus, UU yang sebelumnya mengatur tentang pemberian keistimewaan yaitu UU nomor 44 tahun 1999 juga mendelegasikan kewenangan untuk diatur dalam peraturan daerah yang kemudian disebut dengan qanun.240 Kewenangan yang diberikan dalam rangka keistimewaan atau otonomi khusus yang disebutkan dalam UU nomor 44 tahun 1999 bersifat global atau disebutkan secara garis besar sehingga dimungkinkan kewenangan tersebut melahirkan banyak ketentuan pelaksana (peraturan daerah/Qanun). Beberapa kewenangan dari UU nomor 44 tahun 1999 yang didelegasikan kepada qanun itu adalah
a. kewenangan penyelenggaraan kehidupan beragama yang kemudian diatur
lebih lanjut dengan Peraturan Daerah nomor 5 tahun 2000 tentang
Penyelenggaraan Syariat Islam.
b. Kewenangan penyelenggaraan kehidupan adat yang kemudian diatur dengan
Peraturan Daerah nomor 7 tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Kehidupan
Adat.
c. Kewenangan penyelenggaraan pendidikan yang kemudian diatur dengan
Peraturan Daerah nomor 6 tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Pendidikan.
d. Kewenangan yang memberikan peran ulama dalam rangka turut serta
mengambil kebijakan daerah yang kemudian diatur dengan Peraturan
Daerah nomor 3 tahun 2000 tentang Pembentukan Organisasi dan Tata
Kerja Majelis Permusyawaratan Ulama.
Penafsiran pemberian kewenangan tentang penyelenggaraan kehidupan beragama dapat melahirkan banyak perda/qanun, tidak hanya perda
240 Indonesia (D), Op.Cit., pasal 30
“Semua Peraturan Daerah yang ada dinyatakan sebagai Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam sesuai dengan yang dimaksud dalam undang-undang ini”
183
nomor 5 tahun 2000 seperti yang disebutkan diatas. Karena penyelenggaraan kehidupan beragama berarti pelaksanaaan syari’at Islam yang berarti pula pengaturannya harus meliputi seluruh bidang kehidupan manusia karena Islam adalah ajaran yang melingkupi seluruh kehidupan manusia. Oleh sebab itu pembentukan Peraturan Daerah yang berisi materi hukum syari’at Islam sudah dapat segera dilakukan di Aceh. Dan idealnya, Peraturan Daerah itu tidak lagi mengatur hukum syari’at Islam dalam judul besarnya melainkan sudah mengatur hal-hal yang rinci dan spesifik. Misalnya ada qanun berkenaan dengan sistem perbankan syari’at, ada qanun tentang Hakam dan Arbitrase Mu’amalat, ada qanun tentang Tirajoh, ada qanun tentang Waqf, ada qanun tentang Wisata Ziarah, ada qanun tentang Sandang Pangan, dan sebagainya. Semuanya memuat substansi tentang hukum syari’at Islam itu secara konkrit.
B. PEMBENTUKAN PERADILAN SYARI’AT ISLAM (MAHKAMAH
SYAR’IYAH)
UU nomor 18 tahun 2001 memberi batasan bahwa yang dimaksud Mahkamah Syar’iyah adalah lembaga peradilan yang bebas dari pengaruh pihak manapun dalam wilayah provinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang berlaku untuk pemeluk agama Islam. Lembaga peradilan Islam241 di Aceh itu sendiri telah ada sejak dahulu ketika berdiri Kerajaan Aceh. Pada zaman kerajaan Aceh pengadilan hanya ada satu dan bertingkat-tingkat, yaitu242 :
a. Hukom-Peujroh, yaitu pengadilan damai ditiap-tiap kampung (gampong);
b. Mahkamah Mukim, yaitu pengadilan tingkat rendah yang bertugas mengadili
segala perkara.
241 Pada zaman rasuluLlah bidang peradilan pun telah diinstitusikan secara informal, lihat Dede
Rosyada, Hukum Islam dan Pranata Sosial (Dirosah Islamiyyah III), cet.5, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1999), hal 166-168, lihat juga Muhammad Salam Madkur, Peradilan dalam Islam, (Surabaya: Bina Ilmu, 1979), hal 38-50. Hal tersebut karena dalam agama Islam keberadaan Peradilan adalah merupakan cinditio sine qua non supaya manusia mampu menegakkan keadilan. Prof Tahir Azhary, Posisi Peradilan Agama dalam Undang-Undang nomor 35 tahun 1999 Perspektif Hukum Masa Depan, makalah disampaikan pada seminar nasional 10 tahun UU nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama di kampus FHUI tanggal 2 Desember 1999.
242 Ali Hasjmy, Kebudayaan Aceh Dalam Sejarah, cet. I (Jakarta: Penerbit Beuna: 1983), hal
96-97.
184
c. Mahkamah Uleebalang yaitu pengadilan menengah atau
pengadilan negari, yang tidak bisa atau tidak dapat
diselesaikan oleh Mahkamah Mukim, atau yang bersengketa
tidak menerimanya.
d. Mahkamah Panglima Sagoe, yaitu pengadilan tinggi yang
bertugas mengadili perkara-perkara banding dari
Mahkamah Uleebalang.
e. Mahkamah Agung yaitu pengadilan tertinggi dalam
kerajaan, yang bertugas mengadili perkara-perkara
banding dari mahkamah-mahkamah bawahan, serta mengadili
perkara-perkara besar yang ditentukan dengan dekrit
Sulthan.
Pada zaman Hindia belanda, yaitu sejak Belanda masuk ke
Aceh pengadilan sudah beraneka ragam. Ada Meunasapat, ada
Landraad, dan sebagainya sedang Pengadilan Agama (Lembaga
peradilan Islam) tinggal merupakan sebagian dari bermacam-
macam pengadilan itu. Sesuai dengan status Aceh (kecuali
Aceh Besar dan Singkel) seluruhnya adalah zelfbestuurende
Landschappen yang tidak diperintah langsung oleh Belanda.
Pengadilan Agama ini juga tidak diatur oleh Belanda dalam
suatu ordonansi sebagai mana yang berlaku di Jawa melainkn
hanya diserahkan pada Zelfbestuurder yang membawahi bebrapa
185
Uleebalang.243 Kelanjutan Pengadilan Agama ini pada zaman
penjajahan Jepang disebut dengan Syukyo Hoin ditetapkan
dalam Aceh Syu Rei no. 12 tanggal 15 Februari 1944.
Pada saat kemerekaan Indonesia, di Aceh diupayakan
untuk mengatur kembali pemerintahan sesuai dengan
kebutuhan, salah satu programnya adalah penyusunan kembali
jawatan agama beserta pengadilan agama atau Mahkamah
Syar’iyah yang sebelumnya tugas-tugasnya dipegang oleh
Syukyo Hoin.244 Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah di Aceh
selain merupakan kelanjutan dari Aceh Syu Syukyo Hoin juga
didasarkan pada :
a. Kawat Gubernur Sumatera Utara tanggal 13-1-1947 no. 189
b. Kawat Wakil Kepala Jawatan Agama Propinsi sumatera
tanggal 22-2 1947 no. 226/3/Djaps.
Kemudian karena desakan masyarakat yang kuat akan kebutuhan
pengadilan agama/Mahkamah syar’iyah serta diperlukan dasar
hukum yang kuat maka dibentuklah PP nomor 29 tahun 1947
243 Drs. H. Ismuha, Pengadilan Agama Mahkamah Syariah di Aceh, Dahulu, Sekarang dan
Nanti. Dalam Prof. Dr. Ismail Sunny, Bunga Rampai tentang Aceh, (Jakarta: Penebit Bharata Karya Aksara, 1980), hal. 233
244 Hal ini disebabkan karena bila pemerintah mengutik-utik pengadilan yang ada di daerah
(pengadilan agama maupun adat) niscaya akan berarti merusak kekuasaan para pemimpin lokal dan sangat boleh jadi akan melibatkan pula pola konflik sosial yang ada dimasing-masing wilayah etnis. Lihat Daniel S. Lev, Hukum dan Politik di Indonesia, Kesinambungan dan Perubahan, cet.1, (Jakarta: LP3ES, 1990), hal 255-258.
186
tentang Pembentukan Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah di
Provinsi Aceh. Akan tetapi dua bulan sesudahnya dikeluarkan
PP nomor 45 tahun 1947 yang mencabut PP nomor 29 tahun 1957
dengan pemikiran bahwa PP nomor 29 tahun 1957 dapat
dijadikan dasar pembentukan pengadilan-pengadilan
Agama/Mahkamah Syar’iyah yang dimaksud bagi daerah-daerah
diluar Jawa-Madura. Dengan demikian hanya ada satu
peraturan Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah untuk luar
Jawa dan Madura. Keanekaragaman peraturan yang mengatur
pengadilan agama mengakibatkan beragam pula susunan
kekuasaan dan hukum acara Peradilan Agama di Indonesia.245
Berdasarkan UU nomor 14 tahun 1970 tentang Ketentuan-
Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, Pengadilan
Agama/Mahkamah Syar’iyah dimasukkan sebagai bagian dari
lingkungan Pengadilan Agama. Untuk mengakhiri keragaman
pengaturan peradilan agama dan terciptanya kesatuan hukum
maka dikeluarkan UU nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan
245 Keanekaragaman dasar hukum pengadilan agama di Indonesia yaitu:
a. untuk Jawa dan Madura berlaku Peraturan tentang Peradilan Agama di Jawa dan Madura (Staatsblad 1882 nomor 152 dan Staatsblad 1937 nomor 116 dan nomor 610).
b. Untuk Kalimantan selatan dan kalimantan timur berlaku Peraturan tentang Kerapatan Qadi dan Kerapatan Qadi Besar untuk sebagian residensi Kalimantan Selatan dan timur (Staatsblad 1937nomor 638 dan 639).
c. Untuk luar Jawa dan Madura berlaku Peraturan tentang Pembentukan Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah di luar Jawa dan Madura (Lembaran Negara tahun 1957 nomor 99)
187
Agama yang menyeragamkan istilah pengadilan Agama tanpa
lagi menyebut istilah Mahkamah Syar’iyah.246
Dengan ditetapkannya otonomi khusus di Aceh melalui
UU nomor 18 tahun 2001 dimulailah babak baru peradilan
agama yang berlaku di provinsi NAD dengan nama Mahkamah
Syar’iyah. Pembentukan Mahkamah Syar’iyah ini telah
dikuatkan melalui Keputusan Presiden nomor 11 tahun 2003
tentang Pembentukan Mahkamah Syar’iyah dan mulai berlaku
pada tahun baru hijriyah 1 Muharram 1942 atau bertepatan
dengan tanggal 4 maret 2003. Persiapan pembentukan Mahkamah
Syar’iyah ini telah diantisipasi sebelumnya dengan
penerbitan qanun nomor 10 tahun 2002 tentang Peradilan
Syari’at Islam. Perlu diperhatikan atas penggunaan istilah
Peradilan Syariat Islam dengan Mahkamah Syar’iyah.
Peradilan Syari’at Islam adalah lingkungan badan peradilan
yang didalamnya terdiri dari Mahkamah Syar’iyah untuk
tingkat pertama, Mahkamah Syar’iyah Provinsi untuk tingkat
banding. Jadi dapat dianalogikan bahwa Peradilan Syari’at
246 Mengenai sejarah peradilan agama di Indonesia lihat Abdul Halim, Peradilan Agama dalam
Politik Hukum di Indonesia, cet.1, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2000), hal 27-68.
188
Islam sama dengan Peradilan Umum sedangkan Mahkamah
Syar’iyah adalah Pengadilan Negerinya.247
1. Lingkup Peradilan Syari’at Islam (Mahkamah Syar’iyah)
UU nomor 18 tahun 2001 pasal 25 ayat (3) mengatur
bahwa mahkamah syar’iyah hanya diberlakukan bagi pemeluk
agama Islam. Mahkamah Syar’iyah adalah lembaga peradilan
syari’at Islam dan karena syari’at Islam dalam tatanan
hukumnya mencakup seluruh aspek hukum baik hukum privat
maupun hukum publik maka kewenangan mahkamah syar’iyah
adalah mengadili perkara sebagaimana yang disebutkan dalam
pasal 49 qanun nomor 10 tahun 2002 yang terdiri atas :
a. al ahwal al syakhsiyah248
Yang dimaksud dengan kewenangan dalam bidang al–
Ahwal al-Syakhshiyah meliputi hal-hal yang diatur
247 Sebagai perbandingan di Arab Saudi, Al Qur’an merupakan UUD negara dan syari’ah
sebagai hukum dasar yang dilaksanakan oleh mahkamah-mahkamah syari’ah dengan ulama sebagai hakim-hakim dan penasehat hukumnya. Di Maroko, syari’at Islam tidak disebut-sebut dalam UUD dan baik hukum perdata maupun hukum pidana di Maroko tidak murni berdasarkan syari’at Islam bahkan lebih banyak diwarnai oleh sistem hukum barat. Hukum Islam dalam mazhab Maliki berlaku bagi umat Islam hanya dalam bidang-bidang tertentu yaitu perkawinan, pembagian warisan dan perwakafan. Di Jordania sama halnya dengan di Maroko Hukum Islam berlaku hanya dalam bidang-bidang yang terbatas yaitu perkawinan, pembagian warisan dan perwakafan. Lihat Munawir Sadzali, Islam dan Tata Negara, Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, cet.5, (Jakarta: UI Press, 1993), hal 221-237.
248 Abdul Wahab al Khalaf memberi definisi al ahwal al syakhsiyah adalah hukum yang
berkaitan dengan urusan keluarga dan pembentukannya yang bertujuan mengatur hubungan suami istri dan keluarga satu dengan yang lainnya. Lihat Ahmad Rafiq, Hukum Islam di Indonesia, cet.1, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1995), hal 10. lihat juga Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, cet.5, (Jakarta: UI Press, 1986). Lihat juga Syaikh Hasan Ayub, Fikih Keluarga, cet.1, (Jakarta: Pustaka Al Kautsar, 2001).
189
dalam Pasal 49 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang
Peradilan Agama beserta penjelasan dari pasal
tersebut yaitu perkawinan, kewarisan, wasiat (kecuali
waqaf, hibah, dan sadaqah, karena bidang ini diatur
dalam kelompok mu’amalah).
b. mu’amalah249
Yang dimaksud dengan kewenangan dalam bidang muamalat
meliputi hukum kebendaan dan perikatan seperti
o Jual beli,hutang piutang
o Qinadh (Pemodalan)
o Musaqah, muzarrah, mukhabarah (bagi hasil pertanian)
o Wakilah (kuasa), Syirkah (perkongsian)
o Ariyah (pinjam meminjam), hajru (penyitaan harta),
syufah (hak Langgeh), rahnun (Gadai)
o Ihyaul mawat (pembukaan lahan), ma’din (tambang),
luqathah (barang temuan)
o Perbankan, ijarah (sewa menyewa), takaful
o Perburuhan
o Harta rampasan
o Waqaf, hibah, shadaqah, dan hadiah.
249 Abdurrahman I.Doi, Penjelasan Lengkap Hukum-Hukum Allah (Syar’iyah), cet.1, (Jakarta:
PT Raja Grafindo Persada, 2002), hal 441-514
190
c. Jinayah250
Yang dimaksud dengan kewenangan dalam bidang
Jinayat adalah sebagai berikut:
a. Hudud yang meliputi:
− Zina
− Menuduh berzina (Qadhaf)
− Mencuri
− Merampok
− Minuman keras dan Napza
− Murtad
− Pemberontakan (Bughaat)
b. Qishash/diat yang meliputi:
− Pembunuhan
− Penganiayaan
250 Abdul Wahab al Khalaf menyebutnya dengan al ahkam al jinaiyah yaitu hukum yang
mengatur tentang bentuk kejahatan atau pelanggaran dan bentuk ketentuan sanksi hukumnya. Tujuannya untuk memelihara kehidupan manusia, harta, kehormatan, hak serta membatasi hubungan pelaku perbuatan pidana dan masyarakat. Lihat Ibid., hal 11, macam-macam jinayah lihat Dede Rosyada, Op.Cit., hal 85-94. lihat juga A. Djazuli, Fiqh Jinayah: Upaya Menanggulangi Kejahatan dalam Islam, (Jakarta: Rajawali Press, 1996), hal 121-155. lihat juga Muhammad Amin Suma et al, Pidana Islam di Indonesia Peluang Prospek dan Tantangan, cet.1, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001). Untuk fiqh jinayah dalam mazhab Syafi’i lihat Jaih Mubarak, Modifikasi Hukum Islam, cet.1, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002), hal 285-295.
191
c. Ta’zir yaitu hukuman yang dijatuhkan kepada
orang yang melakukan pelanggaran syariat selain
hudud dan Qishash/diat seperti:
− Judi
− Khalwat
− Meninggalkan shalat fardhu dan puasa Ramadhan
Pada dasarnya Peradilan Syariat Islam adalah pengembangan
dari pengadilan agama maka agar tidak terjadi dualisme
dalam pelaksanaan Peradilan Syari,at Islam yang dapat
menimbulkan kerawanan sosial dan ketidakpastian hukum, maka
lembaga Peradilan Agama beserta perangkatnya (sarana dan
prasarananya) yang telah ada di Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam dialihkan menjadi lembaga Peradilan Syari’at
Islam. Sehingga untuk memenuhi pelaksanaan mahkamah
syar’iyah hakim-hakim Pengadilan Agama diangkat menjadi
hakim mahkamah syar’iyah.251 Akan tetapi Pengadilan Agama
yang dahulu, hanya menangani masalah hukum perdata saja dan
masalah hukum perdata yang diperiksa dan diadili oleh
pengadilan agama pun hanya sebagian dari kewenangan yang
berhak diperiksa dan diadili oleh mahkamah syar’iyah yaitu
251 Bagir Manan Lantik 20 Hakim Mahkamah Syariah NAD, http://www.lin .go.id, tanggal 5
maret 2003
192
masalah perkawinan, kewarisan, wasiat, waqaf, hibah, dan
sadaqah. Jadi masih ada banyak bidang hukum perdata yang
menjadi kewenangan mahkamah syar’iyah yang belum diatur
ketentuannya secara materiil maupun formil. Bidang hukum
perdata yang menjadi kewenangan mahkamah syar’iyah namun
belum ada ketentuan hukum materiil maupun hukum formilnya
adalah yang termasuk dalam bidang muamalat yang meliputi
hukum kebendaan dan perikatan seperti Jual beli, hutang
piutang, Qinadh (Pemodalan), Musaqah, muzarrah, mukhabarah
(bagi hasil pertanian), Wakilah (kuasa), Syirkah
(perkongsian), Ariyah pinjam meminjam. hajru (penyitaan
harta), syufah (hak Langgeh), rahnun (Gadai), Ihyaul mawat
(pembukaan lahan), ma’din (tambang), luqathah (barang
temuan), Perbankan, ijarah (sewa menyewa), takaful,
Perburuhan dan Harta rampasan. Qanun nomor 10 tahun 2002
ini memang hanya mengatur secara garis besar bidang-
bidang hukum Syari’at Islam yang menjadi kekuasaan
Peradilan Syari’at Islam, sedangkan rumusannya secara
lengkap dan rinci akan diatur dalam Qanun tersendiri
yang menetapkan hukum materiil dan hukum formilnya. Karena
mahkamah syar’iyah telah terbentuk dan belum ada ketentuan
yang mengaturnya maka agar tidak terjadi kevakuman selama
193
Qanun tentang hukum materi dan hukum formil belum
diundangkan, maka Peradilan Syari’at Islam dapat segera
dilaksanakan dengan berpedoman kepada peraturan perundang-
undangan yang sudah ada dan masih berlaku serta tidak
bertentangan dengan Syari’at Islam. Peran hakim dalam hal
ini harus ditingkatkan untuk dapat menggali hukum
Syari’at Islam dan sumber-sumbernya yang resmi.252
Salah satu kewenangan mahkamah syar’iyah adalah
mengadili masalah jinayat (pidana islam), kewenangan bidang
inilah yang akan banyak menimbulkan perdebatan. Persoalan
pertama adalah karena terdapat kecenderungan pemikiran
bahwa pada umumnya hukum publik bersifat imperatif
sedangkan hukum perdata bersifat fakultatif. Alasannya
adalah karena biasanya hukum publik mengatur hubungan
antara pribadi dengan penguasa dan mengatur kepentingan
umum.253 Pembedaan ini membawa implikasi pada kemungkinan
adanya sengketa wewenang (kompetensi absolut) antara
252 Nanggroe Aceh Darussalam, Qanun tentang Peradilan Syari’at Islam, Qanun nomor 10 tahun
2002 lembaran daerah nomor 53 seri E nomor 15, tambahan lembaran daerah nomor 4 253 L.J. Van Apeldoorn, Inleiding tot de studie van het Nederlansche Recht, dalam Prof. DR.
Soerjono Soekanto, S.H.,M.A. dan Prof. Purnadi Purbacaraka,S.H., Aneka Cara Pembedaan Hukum, cet.III (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 1994), hal. 24 beliau juga mencatat bahwa ada pula aturan-aturan dalam hukum perdata yang mempunyai sifat imperatif sehingga pembedaan hukum imperatuf dengan hukum fakultatif tidaklah selalu sejalan dengan pembedaan antara hukum publik dengan hukum perdata.
194
mahkamah syar’iyah dengan pengadilan umum dalam memeriksa
dan mengadili perkara pidana. Dalam prakteknya dahulu
pengadilan agama mengadili bidang tertentu dalam hukum
perdata saja dan hal itu bersifat fakultatif dimana
diberikan kebebasan kepada para pencari keadilan untuk
memilih badan peradilan yang akan mengadili perkaranya
apakah melalui pengadilan agama atau pengadilan umum.
Sedangkan dalam hukum pidana, subjek hukum tidak dapat
memilih badan peradilan yang akan mengadilinya padahal
mahkamah syar’iyah dan pengadilan umum memiliki kewenangan
yang sama dalam mengadili perkara pidana misalnya
pembunuhan. Mahkamah syar’iyah dalam penjelasan pasal 49
qanun nomor 10 tahun 2002 menetapkan bahwa pembunuhan
adalah termasuk dalam jinayat dan KUHP juga mencantumkan
pembunuhan adalah perkara pidana yang biasa diadili pada
pengadilan umum yang ada di Indonesia. Menjawab
permasalahan ini maka yang harus dilihat adalah pelaku
pidana tersebut apakah beragama Islam atau bukan. Karena
berdasarkan pasal 25 ayat (3) UU nomor 18 tahun 2001
kewenangan mahkamah syar’iyah berlaku bagi pemeluk agama
Islam. Dalam konteks kompetensi absolut dari pengadilan
195
agama254 mengenai pihak yang berperkara juga merupakan orang
yang memeluk agama Islam, dengan disebutkan sebagai
“pencari keadilan yang beragama Islam” (pasal 2 UU nomor 7
tahun 1989 dan menurut Surat Edaran MA nomor 2 tahun 1990).
Terhadap hal ini Muhammad Daud Ali menyampaikan kritikannya
“Pertama, kata “pencari keadilan beragama Islam” tersebut membuka kemungkinan bahwa yang berperkara diberi hak untuk memilih hukum yang mengatur/menyelesaikan perkara mereka, ini sejalan dengan pemikiran modern yang dilandasi pemikiran sekuler. Oleh karena itu penyelesaian secara agama adalah bersifat ijbari, kewajiban agama yang harus dilaksanakan oleh pemeluknya, sekaligus merupakan manifestasi keimanan dan bukti ketaqwaan pada Tuhan Yang Maha Esa. Kedua, kedua peraturan tersebut menganut prinsip persamaan semua sistem hukum yang berlaku di Indonesia. Ini berarti bahwa teori resepsi ciptaan ilmuwan yang didukung oleh kekuasaan kolonial Belanda dulu yang oleh Prof. Hazairin disebut sebagai teori iblis karena mengajak umat Islam Indonesia tidak mematuhi Al Qur’an dan Sunnah Rasul-Nya serta mendudukkan hukum Islam lebih rendah dari hukum adat sudah semakin dalam terbenam ke dalam tanah.”255
254 Kompetensi absolut peradilan agama memiliki 2 ukuran yaitu asas personalitas (pencari
keadilan yang beragama Islam) dan bidang hukum perdata tertentu (bab III UU nomor 7 tahun 1989). Busthanul Arifin, Pelembagaan Hukum Islam di Indonesia, Akar Sejarah, Hambatan dan Prospeknya, cet.1, (Jakarta: Gema Insani Press, 1996), hal 92-102.
255 Muhammad Daud Ali, Kompetensi Absolut Peradilan Agama dan Prediksi Penerapan
Hukum Islam Bidang Muamalah di Lingkungan Peradilan Agama Memasuki Tahun 2000 dalam Muhammad Daud Ali, Hukum Islam dan Peradilan Agama, cet.1, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1997), hal 336-339.
196
Selain itu, adalah menjadi wewenang Mahkamah Agung untuk
memutuskan bilamana terjadinya sengketa wewenang antar
lingkungan badan peradilan tersebut.256
Permasalahan kedua adalah penjabaran hukum materiil
dan hukum formil yang menjadi kewenangan mahkamah syar’iyah
diatur dalam qanun.257 Seperti yang telah disebutkan
sebelumnya kedudukan qanun adalah sebagai peraturan
perundang-undangan yang setingkat dengan peraturan daerah.
Permasalahan ini terutama adalah pada masalah jenis pidana
atau bentuk sanksi yang akan diatur dalam qanun, karena
qanun akan mengatur suatu bentuk sanksi atau model
kompensasi atas perbuatan pidana yang dilakukan oleh pelaku
pidan yang tidak diatur dalam KUHP seperti hukuman cambuk,
hukuman ta’zir ataupun qisas/diyat. Penggunaan bentuk
sanksi hukuman cambuk ini terlihat kecenderungannya seperti
yang diungkapkan dalam penjelasan pasal 19 ayat (1) qanun
nomor 10 tahun 2002 bahwa “Yang dimaksud dengan”kejahatan
jinayat” ialah kejahatan yang telah dijatuhi hukuman
penjara sekurang-kurangnya 4 (empat) bulan atau hukuman
256 Indonesia(D), Op.Cit., Pasal 27
257 mengenai panduan penyusunan Hukum Acara Islam lihat Hasbi Ash shiddieqy, Peradilan
dan Hukum Acara Islam, cet.1, (Yogyakarta: PT Al Maarif, 1964)
197
cambuk sekurang-kurangnya 2 (dua) kali atau hukuman denda
sekurang-kurangnya Rp. 1.000.000,- (satu juta rupiah).”
Menjawab permasalahan ini dalam pasal 72 UU nomor 22 tahun
1999 disebutkan bahwa Peraturan daerah dapat memuat ancaman
kurungan pidana paling lama enam bulan atau denda sebanyak-
banyaknya Rp 5.000.000,- dengan atau tidak merampas barang
tertentu untuk daerah, kecuali ditentukan lain dalam
peraturan perundang-undangan. Kalimat kecuali ditentukan
lain oleh peraturan perundang-undangan tersebut menjadi
dasar legalitas pelaksanaan bentuk sanksi yang berbeda
dengan yang diatur dalam ketentuan UU nomor 22 tahun 1999
mengenai batasan bentuk sanksi yang boleh diberikan dalam
peraturan daerah. Hal ini mengingat Aceh yang memiliki
kewenangan dalam hal pelaksanaan syari’at Islam dan salah
satu bagian kecil dari pelaksanaan syari’at Islam itu
adalah adanya hukuman cambuk. Mengenai hukuman ta’zir,
Ta’zir dapat dianalogikan dengan pelanggaran dalam KUHP.258
Yang disebut ta’zir adalah
Tazir crimes are acts which are punished because the offender disobeys God's law and word. Tazir crimes can be punished if they harm the societal interest.
258 sedangkan hudud disamakan dengan kejahatan
198
Sharia Law places an emphasis on the societal or public interest. The assumption of the punishment is that a greater "evil " will be prevented in the future if you punish this offender now.259
Ta’zir adalah pelanggaran yang tidak tercantum secara
tegas dan jelas dalam Al Qur’an sehingga bentuk hukumannya
dapat beraneka ragam tergantung pada tempat dan waktu
sehingga hal ini memberikan keleluasaan bagi para hakim
untu untuk menentukan bentuk hukuman yang akan dijatuhkan.
Biasanya bentuk hukuman yang dijatuhkan antara lain seperti
counseling, fines, public or private censure, family and
clan pressure and support, seizure of property, confinement
in the home or place of detention atau flogging.260 Jadi
bilamana hakim menentukan hukuman bagi pelaku yang
melakukan ta’zir di Aceh seperti judi, khalwat,
meninggalkan shalat atau puasa ramadhan hakim juga memiliki
kebebasan untuk memberikan bentuk hukuman yang dapat
dijatuhkan meskipun dalam koridor yang telah ditetapkan
dalam pasal 71 ayat (2) untuk pelanggaran ta’zir tidak ada
masalah.
259 Mohammed Salam Madkoar, Human Rights from an Islamic Worldview An outline of
Hudud, Ta'zir & Qisas, http://www.muhajabah.com/docstorage/hudud.htm
260 Ibid.
199
Pelaku pidana yang melanggar hukum hudud tentu harus
dijatuhkan hukuman yang lebih tinggi dari pidana ta’zir.
Oleh sebab itu qanun mengatur rumusan deliknya sedangkan
bentuk hukuman yang dijatuhkan mengacu pada KUHP dengan
demikian qanun tidak melanggar batasan pemberian hukuman
untuk perda seperti yang diatur dalam pasal 71 ayat (2) UU
nomor 22 tahun 1999. Contohnya adalah untuk tindak pidana
permusuhan dan penodaan agama Islam yang diatur dalam qanun
nomor 11 tahun 2002 tentang Pelaksanaan Syari’at Islam
Bidang Aqidah, Ibadah dan Syi’ar Islam, dalam pasal 16 ayat
(2) disebutkan
“Barang siapa yang mempengaruhi, membujuk atau mengancam seseorang muslim, sehingga ia keluar dari agama Islam (murtad), merupakan tindak pidana permusuhan dan penodaan agama Islam, diancam hukuman penjara selama-lamanya 5 tahun sebagai diatur dalam pasal 156a Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.”
Dalam pasal 156a KUHP disebutkan
“Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 5 tahun, barang siapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan : a. yang ada pada pokoknya bersifat permusuhan
penyelahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia.
b. Dengan maksud agar orang tidak menganut agama apapun yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa.”
200
Dengan konstruksi demikian maka qanun yang mengatur tentang
tindak pidana permusuhan dan penodaan agama Islam tersebut
tidak bertentangan dengan pembatasan sanksi yang dapat
diatur pada peraturan daerah.
2. Independensi Mahkamah Syar’iyah
Mahkamah syar’iyah adalah lembaga peradilan yang
menjalankan sistem hukum Islam, dalam kerangka ini banyak
yang mempertanyakan mengenai keberadaan dan kedudukannya
dalam sistem hukum nasional. Dalam konteks otonomi daerah
berdasarkan konsep kekuasaan asal yang diatur dalam Pasal 7
ayat (1) UU No.22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah,
kekuasaan peradilan termasuk urusan yang ditentukan sebagai
kewenangan pemerintahan pusat. Masalahnya, apakah yang
dimaksudkan dengan peradilan itu mencakup pula pengertian
substansi hukum yang dijadikan pegangan dalam proses
peradilan. Jika kekuasaan peradilan dipahami dalam
pengertian institusi peradilan yang terstruktur mulai dari
Pengadilan tingkat Pertama sampai ke tingkat Mahkamah
Agung, maka pembinaan administrasinya dan pengelolaan
sistem peradilannya tentu tidak dapat didesentralisasikan.
Karena kekuasaan peradilan itu, sesuai ketentuan UUD 1945,
berpuncak pada Mahkamah Agung yang mandiri. Bahkan,
201
berdasarkan ketentuan UU No.35/1999, baik urusan acara
peradilan maupun administrasi peradilan, dikembangkan
menjadi satu atap di bawah Mahkamah Agung. Akan tetapi,
dalam hubungannya dengan materi hukum dan budaya hukum
sebagai dua komponen penting dalam sistem peradilan
nasional dan sistem hukum nasional secara keseluruhan,
tidak ada ketentuan yang menegaskan keharusan untuk
diseragamkan di seluruh wilayah hukum Republik Indonesia.261
Dalam Pasal 18 ayat (5) Perubahan Kedua UUD 1945
dinyatakan: “Pemerintahan daerah menjalankan otonomi
seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh
undang-undang ditentukan sebagai urusan Pemerintah Pusat.
Dalam ayat (6) pasal tersebut dinyatakan pula:
“Pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan
peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan
tugas perbantuan”. Bahkan dalam Pasal 18B ayat (1)
dinyatakan pula: “Negara mengakui dan menghormati satuan-
satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau
bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang”. Dalam
ayat (2) dinyatakan: “Negara mengakui dan menghormati
261 Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH., Op.Cit., Hukum Islam Dan Reformasi Hukum Nasional.
202
kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak
tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan
perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan
Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang”.
Artinya, UUD 1945 mengakui dan menghormati pluralisme
hukum dalam masyarakat. Meskipun sistem peradilan nasional
bersifat terstruktur dalam kerangka sistem nasional, materi
hukum yang dijadikan pegangan oleh para hakim dapat
dikembangkan secara beragam. Bahkan secara historis, sistem
hukum nasional Indonesia seperti dikenal sejak lama memang
bersumber dari berbagai sub sistem hukum, yaitu sistem
barat, sistem hukum adat, dan sistem hukum Islam, ditambah
dengan praktek-praktek yang dipengaruhi oleh berbagai
perkembangan hukum nasional sejak kemerdekaan dan
perkembangan-perkembangan yang diakibatkan oleh pengaruh
pergaulan bangsa Indonesia dengan tradisi hukum dari dunia
internasional.262
Permasalahan lain yang pokok dalam membahas kekuasaan
yudikatif dalam konteks hukum tata negara adalah
permasalahan kemandirian dari lembaga peradilan tersebut.
262 Ibid.
203
Lembaga peradilan harus bebas dari campur tangan bidang
lain terutama eksekutif. Dari tingkat pusat kemandirian
lembaga peradilan ini telah diakomodir dengan UU nomor 35
tahun 1999 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 14
Tahun 1970 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan
Kehakiman dimana disebutkan bahwa masalah organisasi,
administrasi dan finansial berada dibawah Mahkamah Agung
yang biasa dikenal dengan pengaturan “satu atap”. Hal ini
juga berimbas pada pengaturan kemandirian Peradilan syariat
Islam. Dalam pasal 25 ayat (1) UU nomor 18 tahun 2001 dan
pasal 2 ayat (2) menjamin bahwa Peradilan syariat Islam
bebas dari pengaruh manapun. Akan tetapi karena pelaksanaan
dari UU nomor 35 tahun 1999 belum berjalan secara
efektif,263 maka pengaturan mengenai organisasi,
administrasi dan keuangan dari Peradilan Syari’at Islam
masih ditangani oleh Departemen dan/atau Gubernur provinsi
263 Indonesia, Undang-Undang tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 14 Tahun 1970 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, UU nomor 35 tahun 1999, LN nomor 147, pasal I penyisipan Pasal 11A (1) Pengalihan organisasi, adminstrasi, dan finansial sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) dilaksanakan secara bertahap, paling lama 5 (lima) tahun sejak Undang-undang ini mulai berlaku.
(2) Pengalihan organisasi, adminstrasi, dan finansial bagi Peradilan Agama waktunya tidak ditentukan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
204
NAD.264 Pengaturan mengenai sistem satu atap pun masih
menunggu UU nomor 35 tahun 1999 berlaku efektif terlebih
lagi adanya jangka waktu yang tidak dibatasi untuk
pelaksanaan sistem satu atap pada pengadilan agama.
Pengadilan tingkat kasasi untuk Peradilan Syari’at
Islam adalah tetap pada Mahkamah Agung namun karena lingkup
kewenangan dan perkara yang ditangani oleh Peradilan
Syari’at Islam berbeda dengan lingkup kewenangan peradilan
lain (Peradilan Umum, Peradilan Tata Usaha Negara,
Peradilan Militer maupun Peradilan Agama) maka perlu
dibentuk kamar khusus yang menangani kasasi untuk mahkamah
syar’iyah. Kamar khusus ini juga harus terdiri dari hakim-
hakim yang berkompeten dalam hal menangani perkara-perkara
yang termasuk dalam kewenangan mahkamah syar’iyah.
Pembentukan kamar khusus di mahkamah agung ini diupayakan
terbentuk dalam jangka waktu 5 tahun dan diupayakan agar
berkedudukan di Ibukota provinsi NAD
Meskipun berdasarkan ketentuan dalam pasal 3 Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985, Mahkamah Agung berkedudukan di lbukota Negara Republik Indonesia, masih memungkinkan untuk diusahakan agar Mahkamah Agung membuka Kamar Khusus yang di tempatkan di Ibukota Provinsi Nanggroe
264 Nanggroe Aceh Darussalam, Op.Cit., pasal 5 ayat (2)
205
Aceh Darussalam yang akan menangani perkara-perkara kasasi atas putusan pengadilan tingkat banding di Nanggroe Aceh Darussalam. Pemerintah Daerah dan DPRD Nanggroe Aceh Danussalam sesuai dengan fungsi dan kewenangannya masing-masing berusaha agar maksud tersebut terwujud, dan diharapkan sudah membuahkan hasil sebelum batas waktu 5 (lima) tahun berakhir.265
265 Ibid., penjelasan pasal 57
206
BAB VI PENUTUP
A. KESIMPULAN Semenjak tahun 1999, Indonesia memberikan otonomi bagi daerah untuk menjalankan
pemerintahannya dengan dikeluarkannya UU nomor 22 tahun 1999 dan UU nomor 25 tahun 1999. Akan tetapi selain otonomi daerah bagi beberapa daerah di Indonesia juga diberikan status daerah yang menjalankan otonomi khusus. Provinsi Daerah Istimewa Aceh yang kemudian berubah namanya menjadi Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam berdasarkan UU nomor 44 tahun 1999 dan UU nomor 18 tahun 2001 mendapatkan status daerah yang menjalankan otonomi khusus. Selain Aceh, provinsi Papua juga diberikan otonomi khusus berdasarkan UU nomor 21 tahun 2001. Kebijakan otonomi khusus ini sebenarnya bukanlah hal yang baru di Indonesia, pemberian otonomi khusus kepada provinsi tertentu telah ada pengaturannya di Indonesia sejak dahulu. Pemberian otonomi khusus kepada provinsi biasanya kepada provinsi tersebut digunakan istilah Daerah Istimewa atau Daerah Khusus. Dengan demikian ada tiga provinsi yang diberikan otonomi khusus yaitu Daerah Istimewa Aceh, Daerah Istimewa Yogyakarta dan Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Akan tetapi pemberian otonomi khusus dimasa lampau tidak lebih hanyalah sebuah labelisasi keistimewaan atau kekhususan daerah tersebut. Dalam prakteknya sentralisasi kekuasaan sangatlah kuat, sentralisasi ini diwujudkan dengan implementasi UU yang mengatur mengenai pemerintahan daerah yaitu UU nomor 5 tahun 1974 dan UU nomor 5 tahun 1979. Kini dengan adanya perubahan UUD 1945 diharapkan dasar hukum pelaksanaan otonomi khusus menjadi sangat kuat. Pasal 18B ayat (1) UUD 1945 menyebutkan
“Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan Undang-Undang.”
207
Pengaturan Keistimewaan atau pemberian otonomi khusus untuk Aceh telah diterbitkan UU nomor 44 tahun 1999 dan UU nomor 18 tahun 2001. Dalam praktek sesungguhnya pelaksanaan otonomi khusus di Provinsi NAD ini adalah sesuatu yang baru sehingga
wajar dalam penerapannya masih timbul banyak masalah dan dilema untuk melakukan penyesuaian-penyesuaian dengan sistem nasional. Selain itu terdapat pula pandangan yang skeptis yang mengatakan bahwa sesungguhnya pemberian otonomi khusus bagi Aceh hanyalah upaya untuk meredam konflik yang terjadi di NAD sehingga nuansa
politis pemberian otonomi khusus ini lebih kental dibandingkan upaya untuk penerapan kebijakan otonomi khusus sesuai dengan UU nomor 44 tahun 1999 dan UU nomor 18
tahun 2001 dilapangan. Pembagian kekuasaan antara pusat dengan daerah dalam prakteknya dinegara-negara
kesatuan didunia sangat bervariasi, ada yang menerapkan sistem sentralistis namun ada pula negara kesatuan yang menerapkan sistem yang menekankan desentralisasi dengan memberikan otonomi kepada daerah. Yang menjadi persoalan yang sebenarnya adalah bagaimana skala pembagian kewenangan antara pemerintah pusat dengan daerah yang lebih mencerminkan keadilan.
Tidak ada pembatasan secara khusus pada pembagian bidang-bidang yang harus dimiliki oleh pusat maupun daerah dalam rangka pemberian otonomi bagi daerah pada negara kesatuan. Yang menjadi batasan yang utama dalam pemberian otonomi daerah adalah bahwa kedaulatan hanya ada satu dan kedaulatan itu dipagang oleh pemerintah pusat. Walaupun demikian melihat praktek pembagian kewenangan dalam pelaksanaan otonomi daerah di beberapa negara, umumnya pemerintah pusat tetap memegang dua kewenangan yaitu kewenangan dibidang hubungan dengan luar negeri dan bidang pertahanan keamanan.
Dalam praktek pemberian otonomi di beberapa negara kesatuan, bahkan, terdapat beberapa negara yang memberikan kewenangan kepada daerah sangat besar. Republik Rakyat Cina sebagai salah satu negara kesatuan yang terbesar didunia memberikan otonomi yang luas kepada beberapa daerahnya yaitu Hong Kong dan Macau. Hingga kedua daerah tersebut diberikan label sebagai Special Administrative Region (SAR). Pemberian otonomi yang sangat luas pada kedua daerah di Cina tersebut bahkan sampai pada perbedaan pelaksanaan sistem ekonomi dan hukum. Di daerah Cina yang lain berlaku sistem sosialis sedangkan di Hong Kong dan Macau berlaku sistem liberal. Atas perbedaan sistem ini maka Cina dikenal menerapkan sistem one country two systems.
Contoh negara kesatuan lain yang memberikan otonomi yang sangat luas kepada daerah adalah United Kingdom. United Kingdom terdiri atas Inggris, Wales, Irlandia Utara dan Skotlandia. Keempat bagian dari United Kingdom memiliki kewenangan yang sangat besar, Skotlandia dan Irlandia Utara memiliki sistem hukum yang berbeda dengan Inggris. Kemudian
208
perkembangan yang paling baru adalah mengenai kebijakan devolusi bagi daerah-daerah tersebut, kini skotlandia dan wales memiliki parlemen sendiri karena sebelumnya kegiatan parlemen masih terpusat di Inggris pada Westminster Parliament. Walaupun Parlemen Irlandia Utara juga diberikan kebijakan devolusi namun pelaksanaannya masih tertunda hingga saat ini mengingat kondisi keamanan yang terjadi di Irlandia Utara masih belum kondusif.
Terlepas dari pandangan tersebut, ada dua permasalahan pokok dari sisi hukum tata
negara mengenai kebijakan otonomi khusus di NAD yaitu mengenai kedudukan qanun dan mengenai pelaksanaan sistem hukum Islam dengan dibentuknya mahkamah
syar’iyah.
Kedua, Qanun adalah peraturan perundang-undangan yang disetarakan dengan Peraturan Daerah. Akan tetapi sesungguhnya fungsi qanun adalah sebagai ketentuan pelaksana dari kebijakan otonomi khusus yang menyangkut kewenangan pemerintah daerah provinsi NAD. Jadi pada hakikatnya qanun berbeda dengan Peraturan Daerah
lainnya karena bila qanun disamakan dengan Peraturan Daerah lainnya maka ketentuan-ketentuan yang diatur dengan qanun akan banyak berbenturan dengan peraturan
perundang-undangan lain. Contohnya adalah pengaturan mengenai hukum pidana Islam materiil dan formil yang akan dituangkan didalan qanun, tentu ketentuan ini akan
banyak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan lain yang berlaku sebagai bagian dari sistem hukum nasional. Oleh karena itu dibutuhkan konstruksi hukum yang lebih tepat lagi mengenai kedudukan qanun, tidak hanya cukup dengan menggunakan
prinsip lex specialis derogat lex generalis. Permasalahan kedua yaitu mengenai pelaksanaan sistem hukum Islam dengan
dibentuknya mahkamah syar’iyah. Timbulnya dualisme sistem hukum di NAD menjadi problema dan kekhawatiran utama dalam pembentukan mahkamah syar’iyah ini. Sebab kewenangan mahkamah syar’iyah tidak hanya dalam bidang perdata islam saja tetapi
juga berhak memeriksa dan mengadili perkara pidana Islam (jinayat) yang sedikit banyak akan berbenturan dengan kewenangan dari peradilan umum. Perlu ditekankan bahwa kewenangan mahkamah syar’iyah hanay berlaku bagi pemeluk agama Islam.
Dengan adanya pengeturan ini diharapkan meminimalisir adanya sengketa wewenang antara mahkamah syar’iyah dengan peradilan umum. Dan bilamana terjadi sengketa
wewenang antara kedua lingkungan badan peradilan tersebut maka Mahkamah Agung berwenang untuk memutuskan badan peradilan mana yang berhak memeriksa dan
mengadili perkara tersebut. Pelaksanaan otonomi khusus di NAD adalah sebuah prototype model
pelaksanaan syari’at Islam di Indonesia. Pelaksanaan otonomi khusus ini juga menjadi semacam test case pelaksanaan syari’at islam. Karena sebagai negara yang memiliki
penduduk mayoritas beragama Islam adalah wajar bilamana negara yang berpenduduk mayoritas Islam untuk mengembangkan suatu sistem yang banyak dianut oleh warga negaranya. Selama ini sistem Islam terpinggirkan dan tidak pernah menjadi salah satu
209
alternatif pilihan untuk memecahkan persoalan bangsa. Dengan adanya otonomi khusus dengan pelaksanaan syari’at Islam di NAD maka sistem Islam dapat dikembangkan dan
dapat membuktikan diri bahwa Islam adalah sebuah agama begitupula sebuah sistem kehidupan yang dapat menjadi jawaban atas permasalahan yang dihadapi manusia, sebagaimana fungsinya sebagai rahmatan lil’alamin, anugerah bagi seluruh alam.
B. SARAN
Dari pembahasan mengenai pemberian otonomi khusus di Provinsi NAD, berikut ini beberapa saran yang dapat dikemukakan sebagai jawaban atas permasalahan yang dihadapi dalam pelaksanaan otonomi khusus di NAD :
Pertama, untuk memberikan dasar hukum yang lebih tegas maka
perlu dilakukan revisi atas UU nomor 18 tahun 2001. Revisi
ini dilakukan berkaitan dengan pengertian otonomi khusus
yang tidak secara jelas disebutkan dalam UU nomor 18 tahun
2001. Revisi ini juga dilakukan agar UU nomor 18 tahun 2001
memuat segala hal yang menjadi kewenangan Pemerintah
Provinsi NAD. Walaupun di Indonesia tidak mengenal adanya
“UU payung” namun UU nomor 18 tahun 2001 diharapkan dapat
menjadi semacam “UU payung” yang mengatur segala hal yang
menjadi kewenangan pemerintah provinsi NAD. Dengan demikian
maka qanun sebagai ketentuan pelaksana UU nomor 18 tahun
2001 tidak perlu lagi mengacu pada peraturan perundang-
undangan lain sebagai dasar “mengingat” dalam qanun.
Sehingga konstruksi asas hukum lex specialis derogat lex
generalis lebih tepat karena UU nomor 18 tahun 2001 sebagai
hukum yang lebih khusus yang berlaku untuk provinsi NAD
210
mengenyampingkan segala peraturan perundang-undangan yang
berlaku secara nasional. Dengan tidak dicantumkannya dasar
hukum dari peraturan perundang-undangan lain dalam qanun
memang ada kekhawatiran akan terjadi kekosongan hukum oleh
sebab itu untuk mengatasi hal ini maka dalam ketentuan
peralihan di qanun disebutkan “bahwa selama ketentuan dalam
qanun belum mengaturnya maka ketentuan yang belum diatur
tersebut mengacu pada peraturan perundang-undangan yang
berlaku nasional.”
Kedua, mengenai kedudukan qanun. Perlu diadakan revisi
mengenai pengertian qanun dalam UU nomor 18 tahun 2001.
pengertian qanun dalam UU nomor 18 tahun 2001 berdampak
pada penyetaraan qanun dengan perda. Padahal pada
hakikatnya qanun berbeda dengan perda. Qanun merupakan
penjabaran langsung dari UU 18 tahun 2001 yang mengatur
tentang kewenangan pemerintah provinsi NAD. Dengan demikian
maka materi yang diatur dalam qanun pastilah harus mengatur
lebih luas dibandingkan pengaturan dalam perda untuk daerah
lainnya. Contohnya adalah qanun yang akan mengatur hukum
pidana islam (jinayat) materiil dan formil. Penyetaraan
qanun dengan peraturan daerah tentu akan membatasi
211
ketentuan yang harus diaturnya karena bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan lainnya.
Ketiga, masih mengenai qanun, yaitu perlu dibentuk qanun
yang mengatur mengenai teknik dan tata cara penyusunan
qanun. Hal ini dimaksudkan agar qanun tidak lagi bertentang
dengan peraturan perundang-undangan lain. Dalam teknik dan
tata cara penyusunan qanun diatur antara lain mengenai:
a. pencantuman kalimat “Bismillahirrahmanirrahim” dalam
pembukaan qanun.
b. Dalam dasar mengingat dicantumkan Al Qur’an dan Hadits
sebagai dasar hukum, akan tetapi perlu ditambahkan
dengan menyebutkan surat dan ayat berapa untuk Al
Qur’an dan Hadits yang diriwayatkan oleh siapa, agar
pengaturannya lebih rinci dan tidak terkesan
pencantuman Al Qur’an dan Hadits semata-mata untuk
legitimasi qanun tersebut.
c. Dalam dasar mengingat hanya mencantumkan UU nomor 44
tahun 1999 dan UU nomor 18 tahun 2001 sebagai
“payungnya” serta qanun yang terkait. Hal ini
dimaksudkan agar qanun tidak banyak bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan lainnya.
212
d. Agar tidak terjadi kekosongan hukum maka dalam
ketentuan peralihan disebutkan bahwa selama ketentuan
dalam qanun belum mengaturnya maka ketentuan yang belum
diatur tersebut mengacu pada peraturan perundang-
undangan yang berlaku nasional.
Keempat, untuk menghindari ketidakpastian hukum dalam
pelaksanaan mahkamah syar’iyah perlu dilakukan kajian
secara mendalam dan secepatnya mengenai hukum materil dan
hukum formil hukum pidana Islam dan hukum perdata Islam
dalam bidang mu’amalah yang belum diatur. Dan untuk
menjamin kemandirian pengadilan yang bebas dari pengaruh
manapun, penyelesaian proses sistem “satu atap” perlu
dilakukan secepatnya.
213
DAFTAR PUSTAKA
I. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Indonesia, Konstitusi RIS. _________, UUD Sementara Republik Indonesia. _________, Undang-Undang Dasar 1945. _________, Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik
Indonesia tahun 1945. _________, Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
Sementara tentang Pengangkatan Pengemban Ketetapan MPRS nomor IX/MPRS/1966 sebagai Presiden Republik Indonesia, nomor XLIV/MPRS/1968.
_________, Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
Sementara tentang Surat Perintah Presiden/Pangti ABRI/Pemimpin Besar Revolusi/Mandataris MPRS, nomor IX/MPRS/1966.
_________, Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat tentang
Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan, nomor III/MPR/2000.
_________, Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
Republik Indonesia Tentang Rekomendasi Kebijakan Dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah, nomor IV/MPR/2000.
_________, Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
Indonesia tentang Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia K.H. Abdurrahman Wahid, nomor II/MPR/2001.
_________, Undang-Undang Tentang Pokok-Pokok Pemerintahan
di Daerah, UU no.5 tahun 1974, LN No. 38 tahun 1974, TLN No. 3037.
214
_________, Undang-Undang Tentang Pemerintahan Daerah, UU no. 22 tahun 1999, LN No. 60, TLN No. 3839.
_________, Undang-Undang tentang Pembentukan Propinsi
Daerah Istimewa Yogyakarta, UU nomor 3 tahun 1950, ditetapkan di Yogyakarta pada tanggal 3 Maret 1950.
_________, Undang-Undang Tentang Penyelenggaraan
Keistimewaan Propinsi Daerah Istimewa Aceh, UU no. 44 tahun 1999, LN No. 172, TLN No. 3893.
_________, Undang-Undang Tentang Otonomi Khusus bagi
Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, UU no. 18 tahun 2001, LN. No. 114, TLN. No. 4134.
_________, Undang-Undang tentang Otonomi Khusus bagi
Propinsi Papua, UU no. 21 tahun 2001, LN. No.135, TLN. No.4151.
_________, Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah, UU
nomor 22 tahun 1948. _________, Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah, UU
no. 1 tahun 1957, LN no. 6, TLN No. 1143. _________, Undang-Undang tentang Pokok-Pokok Pemerintahan
Daerah, UU no. 18 tahun 1965, LN no. 83, TLN no. 2778.
_________, Undang-Undang tentang Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 14 Tahun 1970 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, UU nomor 35 tahun 1999, LN nomor 147.
_________, Penetapan Presiden tentang Pemerintahan di
Daerah, Penpres no. 6 tahun 1959, LN No. 94, TLN No. 1843.
Aceh, Peraturan Daerah Daerah Istimewa Aceh tentang Penyelenggaraan Kehidupan
Adat, Peraturan Daerah nomor 7 tahun 2000, Lembaran daerah nomor 32.
215
_________, Peraturan Daerah Daerah Istimewa Aceh, tentang Penyelenggaraan Pendidikan, Peraturan Daerah nomor 6 tahun 2000.
_________, Peraturan Daerah Daerah Istimewa Aceh tentang
Pembentukan Organisasi dan Tata Kerja Majelis Permusyawaratan Ulama Daerah Istimewa Aceh, Peraturan daerah nomor 3 tahun 2000, Lembaran Daerah nomor 23.
_________, Qanun Nanggroe Aceh Darussalam tentang Peradilan
Syari’at Islam, Qanun nomor 10 tahun 2002, lembaran daerah nomor 53 seri E nomor 15, tambahan lembaran daerah nomor 4.
Republik Rakyat Cina, the Basic Law of the Hong Kong
Special Administrative Region of the People's Republic of China.
II. BUKU Abdullah, Taufik, Islam dan Masyarakat, Pantulan Sejarah
Indonesia, cet.1, Jakarta: LP3ES, 1987. Abu Jihad, Pemikiran-pemikiran Politik Hasan Tiro dalam Gerakan Aceh Merdeka,
cet.I, Jakarta: Titian Ilmu Insani, 2000. Al Chaidar, Gerakan Aceh Merdeka, Jihad Rakyat Aceh Mewujudkan Negara Islam,
cet.I, Jakarta: Madani Press, 1999. _________, Aceh Bersimbah Darah, cet.1, Jakarta: Penerbit Al Kautsar, 1998. _________, Pengantar Pemikiran Politik Negara Islam Indonesia SM Kartosoewirjo,
cet.1, Jakarta: Darul Falah, 2000. Al Maududi, Abul A’la, the Islamic Law and Constitution, Lahore: Islamic Publisher,
1975. _________, Khilafah dan Kerajaan, Evaluasi Kritis atas Sejarah Pemerintahan Islam,
terj. oleh Muhammad Al Baqir, cet.1, Bandung: Mizan, 1994. Alfian, Ibrahim, Perang di Jalan Allah, Perang Aceh 1873-1912, cet.1, Jakarta: Pustaka
Sinar Harapan, 1987.
216
Alfian, Ibrahim, et. al., Revolusi Kemerdekaan Indonesia di Aceh (1945-1949), seri penrbitan museum negeri Aceh 10, Banda Aceh: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Proyek Pengembangan Permuseuman, 1982.
Ali, Muhammad Daud, Hukum Islam dan Peradilan Agama, cet.1,
Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1997. Ali, Fachri, et al, Beras, Koperasi dan Politik Orde Baru. Bustanil Arifin 70
tahun,Jakarta: Sinar Harapan, 1996 Ash Shiddieqy, Hasbi, Peradilan dan Hukum Acara Islam, cet.1, Yogyakarta: PT Al
Maarif, 1964. Ashiddiqie, Jimly, Gagasan Kedaulatan Rakyat dalam
Konstitusi dan Pelaksanaannya di Indonesia, cet. I, Jakarta : PT Ichtiar Baru van Hoeve, 1994.
_________, Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia: Studi tentang Bentuk-Bentuk
Pidana dalam Tradisi Hukum Fiqh dan Relevansinya Bagi Usha Pembaharuan KUHP Nasional, edisi ke-2, Bandung : Penerbit Angkasa, 1996.
Asrun, A.M. dan Nurtjahyo, Hendra (ed), 70 Tahun Prof Dr. Harun Al Rasid, Integritas,
Konsistensi Seorang Sarjana Hukum, cet.1, Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara FHUI, 2000.
Arifin, Busthanul, Pelembagaan Hukum Islam di Indonesia,
Akar Sejarah, Hambatan dan Prospeknya, cet.1, Jakarta: Gema Insani Press, 1996.
Arinanto, Satya, Hak Asasi Manusia Dalam Transisi Politik
di Indonesia, cet.I, Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara, 2003.
Ayub, Syaikh Hasan, Fikih Keluarga, cet.1, Jakarta: Pustaka
Al Kautsar, 2001. Azhary, Muhammad Tahir, Negara Hukum Suatu Studi tentang Prinsip-Prinsipnya
Dilihat dari Segi Hukum Islam, Implementasinya pada Periode Negara Madinah dan Masa Kini, cet.1, Jakarta: Bulan Bintang, 1992.
Azizy, Qadri, Eklektisisme Hukum Nasional, cet.1,
Yogyakarta: Gama Media, 2002.
217
Basri, M. Hasan (peny.), Untuk Apa Kita Merdeka, Amanat dan Kursus Politik bung Karno di Sumatera dalam Perang Kemerdekaan 1945-1949, cet.1, Jakarta:KOPKARPIP, 1995
Bew, Paul, dan Gillespie, Gordon, Northern Ireland, a
Chronology of Troubles 1968-1999, cet.1, Dublin: Gill & Macmillan ltd., 1999.
Bew, Paul, Patterson, Henry & Teague, Paul, Northern
Ireland: Between War and Peace the Political Future of Northern Ireland, cet.1, London: Lawrence & Wishart Ltd, 1997.
Bisri, Cik Hasan, Peradilan Islam dalam Tatanan Masyarakat
Indonesia, cet.2, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2000 Bogdanor, Vernon, Devolution in the United Kingdom, cet.1,
New York: Oxford University Press, 1999. Budiardjo, Miriam, Dasar-Dasar Ilmu Politik, cet. V, Jakarta: PT.Gramedia, Desember
1980. Carr, Robert K., et.al, American Democracy in Theory and
Practice, 3rd edition, New York: Holt Reinhart and Winston, 1961.
Djazuli, A., Fiqh Jinayah: Upaya Menanggulangi Kejahatan dalam Islam, Jakarta:
Rajawali Press, 1996. Doi, Abdurrahman I., Penjelasan Lengkap Hukum-Hukum Allah (Syar’iyah), cet.1,
Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002. Eda, Fikar W. dan Darma, S. Satya (ed), Aceh Menggugat,
cet.I, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1999. Halim, Abdul, Peradilan Agama dalam Politik Hukum di Indonesia, cet.1, Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada, 2000. Hasjmy, Ali, Ulama Aceh, Mujahid Perang Kemerdekaan dan Pembangun Tamadun
Bangsa, cet.1, Jakarta: Bulan Bintang, 1997. _________, Kebudayaan Aceh Dalam Sejarah, cet. I, Jakarta: Penerbit Beuna: 1983.
218
Hasjmy, Ali et al (eds), 50 tahun Aceh Membangun, Banda Aceh: Majelis Ulama Indonesia Daerah Istimewa Aceh bekerjasama dengan Pemerintah Daerah Istimewa Aceh, 1995.
Hazell, Robert (ed), Constitutional Futures, a History of
the next ten years, cet.1, New York: Oxford University Press, 1999.
Hennessey, Thomas, Dividing Ireland, World War I and Partition, cet.1, London:
Routledge, 1998. Hsu, Immanuel C.Y., The Rise of Modern China, cet.5, New
York: Oxford University Press, 1995. Hurgronje, Snouck, Aceh di Mata Kolonialis jilid I, terj.
Oleh A.W.S. Sullivan, cet.1, Jakarta: Yayasan Soko Guru, 1985.
Iqbal, Muhammad, Fiqh Siyasah Kontekstualitas Doktrin
Politik Islam, cet.1, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001.
Jacobi, Tgk A. K., Aceh dalam Mempertahankan Proklamasi
Kemerdekaan 1945-1949, cet.1, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1998.
_________, Aceh Daerah Modal, Longmarch ke Medan Area,
cet.1, Jakarta: Yayasan Seulawah RI-001, 1992. Kaoy, Abdurrahman, Banda Aceh sebagai Pusat Da’wah Islamiyyah dalam Kota Banda
Aceh Hampir 1000 Tahun, Banda Aceh: Pemerintah Daerah Tingkat II Banda Aceh, 1998.
Kahin, George McTurnan (ed), Major Governments of Asia, cet.1, New York: Cornell
University Press, 1958. _________, Nasionalisme dan Revolusi di Indonesia, cet.2, Yogyakarta: Pustaka Sinar
harapan dan UNS Press, 1995. Kee, Robert, The Green Flag, a History of Irish
Nationalism, Cet.1, England: Penguin Books, 1972. Kellas, James G., the Scottish Political System, cet.4, Melbourne: University of
Cambridge, 1994.
219
Kusnardi, Moh., dan Ibrahim, Harmaily, Pengantar Hukum Tata
Negara Indonesia, cet.7, Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara FHUI, 1988.
Lev, Daniel S., Hukum dan Politik di Indonesia,
Kesinambungan dan Perubahan, cet.1, Jakarta: LP3ES, 1990.
Lynch, Peter, Scottish Government and Politics: an
Introduction, cet.1, Edinburgh: Edinburgh University, 2001.
Maas, Arthur, Area and Power: a Theory of Local Government,
Illinois: the Free Press, 1959. MacIver, R.M., The Modern State, terj. Moertono, Negara
Modern, cet.1, Jakarta: Aksara Baru, 1977. Madkur, Muhammad Salam, Peradilan dalam Islam, Surabaya:
Bina Ilmu, 1979. Martosoewignjo, Sri Soemantri, Pengantar Perbandingan antar
Hukum Tata Negara, cet.2, Jakarta: Penerbit Rajawali, 1981.
Masyarakat Transparansi Indonesia, Penyusunan Peraturan
Daerah yang Partisipatif, cet.1, Jakarta: MTI bekerjasama dengan DPRD Ambon, 2003.
Mitchell J., Strategies for Self Government: the Campaigns for Scottish Parliament, Edinburgh: Polygon, 1996.
Mubarak, Jaih, Modifikasi Hukum Islam, cet.1, Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada, 2002. Norman, F.N. dan Baldwin, N.D.J., Mastering British Politics, cet.4, London:
Macmillan Press, 1999. Pemerintah Daerah Istimewa Atjeh, Atjeh dan Trikora, cet.1,
Banda Aceh: Pantjatjita, 1963. Putra, Tgk. Lamkaruna, Perjalanan Panjang Aceh Menuju Islam Kaffah, cet.I, Jakarta:
Titian Ilmu Insani, 2001.
220
Pyper, Robert dan Robins, Lynton (ed), United Kingdom Governance, cet.1, London:
Macmillan Press, 2000. Rafiq, Ahmad, Hukum Islam di Indonesia, cet.1, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
1995. _________, Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia, cet.1, Yogyakarta: Gama Media,
2001. Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), cet.II edisi ke-3, Jakarta: Sekretariat Negara Republik Indonesia, 1995.
Rokkan S. And Urwin D.(eds), the Politics of Territorial
Identity, Studies in European Regionalism, London: Sage, 1982.
Rose R., Understanding the United Kingdom: the Territorial
Dimension in Government, London: Longman, 1982. Rosyada, Dede, Hukum Islam dan Pranata Sosial (Dirasah
Islamiyyah III), cet.5, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1999.
Sadzali, Munawir, Islam dan Tata Negara, Ajaran, Sejarah
dan Pemikiran, cet.5, Jakarta: UI Press, 1993. Saleh, Hasan. Mengapa Aceh Bergolak, cet.I, Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1992. Sarundajang, Arus Balik Kekuasaan Pusat ke Daerah, cet.1, Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan, 1999. Segal, Gerald, the Fate of Hong Kong, cet.1, New York: St. Martin’s Press, 1993. Slapper, Gary dan Kelly, David, English Legal System, Q and A series, cet.5, London:
Cavendish Publishing Ltd, 2003. Soeprapto, Maria Farida Indriati, Ilmu Perundang-undangan
Dasar-Dasar dan Pembentukannya, cet.5, Jakarta: Kanisius, 1998.
221
Soejamto, Daerah Istimewa dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, cet. I, Jakarta: PT Bina Aksara, 1988.
Soekanto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, cet.3,
Jakarta: Universitas Indonesia, 1986. Soekanto, Soerjono dan Purbacaraka, Purnadi, Aneka Cara
Pembedaan Hukum, cet.III, Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 1994.
Sofyan, Ismail, et. al (ed), Perang Kolonial Belanda di
Aceh, cet.2, Banda Aceh: Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh, 1990.
Strong, C.F., Modern Political Constitutions, 2nd
impression, London: sidgwick & Jackson ltd, 1960. Sulaiman, Isa, Aceh Merdeka Ideologi, Kepemimpinan dan Gerakan, cet. I, Jakarta:
pustaka al Kautsar, 2000. Suma, Muhammad Amin, et al, Pidana Islam di Indonesia
Peluang Prospek dan Tantangan, cet.1, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001.
Sunny, Ismail, Pergeseran Kekuasaan Eksekutif, cet. VI, Jakarta: Aksara Baru, 1986. _________, Bunga Rampai tentang Aceh, Jakarta: Penebit
Bharata Karya Aksara, 1980. Syafrudin, Ateng, Pasang Surut Otonomi Daerah, Jakarta:
Bina Aksara, 1985. Syamsuddin, Nazaruddin, Revolusi di Serambi Mekah,
Perjuangan Kemerdekaan dan Pertarungan Politik di Aceh 1945-1949, cet.1, Jakarta: UI Press, 1999.
_________, Pemberontakan Kaum Republik Kasus Darul Islam
Aceh, cet.1, Jakarta: PT Pustaka Utama Grafiti, 1990. Syaukani, Gaffar, Afan dan Rasyid, Ryaas, Otonomi Daerah
dalam Negara Kesatuan, Jakarta: Pustaka Pelajar, 2002.
222
Taylor, Peter, Brits, The War Against the IRA, cet.1, London: Bloomsburry publishing, 2001.
Thalib, Sayuti, Hukum Kekeluargaan Indonesia, cet.5,
Jakarta: UI Press, 1986. _________, Receptio a Contrario, Jakarta: Bina Akasara,
1982. Thompson, Brian, Constitutional and Administrative Law, 3rd
edition, London: Blackstone Press Limited, 1993. Tim Penulis IAIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Islam
Indonesia, cet.1, Jakarta: Djambatan, 1992. Umar, Musni (ed), Aceh Win-Win Solution, cet.1, Jakarta:
Forum Kampus Kuning, 2002. Usman, Rani A., Sejarah Peradaban Aceh : Suatu Analisis
Interaksionis, Integrasi, Konflik, cet. I Jakarta: Yayasan Obor, 2003.
van Dijk, C., Darul Islam, Sebuah Pemberontakan, cet.III
Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1993. van Kemenade, Willem, China, Hong Kong, Taiwan, Inc. The
Dynamic of A New Empire, New York: Alfred A.Knopf, Inc., 1997.
van ‘T Veer, Paul, Perang Aceh, Kisah Kegagalan Snouck
Hurgronje, cet.1, Jakarta: Grafiti Press, 1985. van Vollenhoven, C., Penenmuan Hukum Adat, cet.2, Jakarta:
Penerbit Djambatan, 1987. Wahjono, Padmo, Ilmu Negara, cet.2, Jakarta: Indo Hill Co.,
1999. Wesley-Smith, Peter, An Introduction to the Hong Kong Legal
system, cet.3, New York: Oxford University Press, 1987.
223
Widjanarko, Tulus dan Sambadja, Asep S. (peny.), Aceh Merdeka Dalam Perdebatan, cet.1, Jakarta: PT Citra Putra Bangsa, 1999.
Wilford, Rick (ed), Aspects of the Belfast Agreement,
cet.1, New York: Oxford Univ. Press, 2001. Yamin, Muhammmad, Proklamasi dan Konstitusi Republik
Indonesia, cet.6, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1982 Zamzami, Amran, Jihad Akbar di Medan Area, cet.1, Jakarta: Bulan Bintang, 1990. Zentgraaf, H.C., Aceh, terj. Aboe bakar, cet.1, Jakarta: Penerbit Beuna, 1983.
III. ARTIKEL DAN MAKALAH
Asshiddiqie, Jimly, Mempertimbangkan Perubahan Ke Arah
Bentuk Negara Persatuan Republik Indonesia, Disampaikan pada Simposium Hukum 2000 ILUNI-FH, “Masalah Keadilan Sosial dan Disintegrasi Bangsa,” Reog Room, Hotel Indonesia, 4 Maret 2000.
_________, Hukum Islam Dan Reformasi Hukum Nasional, Disampaikan dalam
Seminar Penelitian Hukum tentang Eksistensi Hukum Islam Dalam Reformasi Sistem Nasional, diselenggarakan oleh BPHN Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia, di Jakarta, 27 September 2000.
_________, Tata Urut Perundang-Undangan dan Problema Peraturan Daerah,
disampaikan dalam rangka Lokakarya Anggota DPRD se-Indonesia, diselenggarakan di Jakarta, oleh LP3HET, Jum’at 22 Oktober 2000.
Azhary, Tahir, Posisi Peradilan Agama dalam Undang-Undang
nomor 35 tahun 1999 Perspektif Hukum Masa Depan, makalah disampaikan pada seminar nasional 10 tahun UU nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama di kampus FHUI tanggal 2 Desember 1999.
Hoessein, Bhenyamin, Prospek Resolusi Kebijakan dan
Implementasi Otonomi Daerah dari Sudut Pandang Hukum Tata Negara, makalah dalam Jurnal Ekonomi dan Pembangunan (JEP), IX (2) 2001.
224
_________, “Perimbangan Keuangan Antara Negara dan Daerah Otonom dalam Rangka Memperkokoh Integrasi Nasional”, makalah disampaikan pada seminar hukum nasional ke VII diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional, Jakarta, 12-15 Oktober 1999.
Madkoar, Mohammed Salam, Human Rights from an Islamic Worldview An outline of
Hudud, Ta'zir & Qisas, http://www.muhajabah.com/docstorage/hudud.htm “Bagir Manan Lantik 20 Hakim Mahkamah Syariah NAD”, http://www.lin .go.id,
tanggal 5 maret 2003 “Hancurnya pendidikan di Aceh”, Kompas, 8 Desember 2001 “Special Administrative Regions”,
http://www.china.org.cn/english/26312.htm “The System of Self-government of Ethnic Autonomous Areas”,
http://www.china.org.cn/english/26319.htm The British Government: The Legal System,
http://www.britannia.com Xiong Xianjue, New Views on China’s Judiciary and Its
System, (China: Legal Press, 1998). http://www.china.org.cn/english/30744.htm
Jiang Zemin, Hong Kong Under Chinese Souvereignty,
Microsoft Encarta Reference Library 2003. Hong Kong, Microsoft Encarta Reference Library 2003 Northern Ireland, Microsoft Encarta Reference Library 2003 Opium Wars, Microsoft Encarta Reference Library 2003. Tibet, Microsoft Encarta Reference Library 2003. Uygur, Microsoft Encarta Reference Library 2003. IV. INTERNET http://www.theceli.com/
225
http://www.lin.go.id/ http://www.info.gov.hk/basic_law/fulltext/index.htm http://www.ofmdfmni.gov.uk/publications.htm http://www.ni-assembly.gov.uk/ http://cain.ulst.ac.uk/index.html http://www.nio.gov.uk/ http://www.scotland-legislation.hmso.gov.uk/
226
Recommended