View
101
Download
6
Category
Preview:
DESCRIPTION
hh
Citation preview
TRAUMA SUSUNAN SARAF PUSAT
Trauma susunan saraf pusat dibedakan menjadi dua yaitu : trauma kapitis
atau cedera kepala, dan trauma medulla spinalis atau cedera sumsum tulang
belakang. Anatomi yang berbeda dari kedua struktur ini menyebabkan perbedaan
klinis yang muncul akibat trauma yang terjadi. Berikut adalah penjelasan singkat
mengenai trauma yang mengenai susunan saraf pusat.
Untuk melindungi dari kemungkinan cedera, SSP dibungkus rapih dan kuat
dalam tiga lapisan pembungkus. Paling luar terdapat rangka tulang keras terdiri dari
tengkorak dan kanal vertebra. Lebih ke dalam terdapat selaput-selaput otak yang
membentuk suatu kantong yang berisi cairan. Selaput otak (Meningen), terdiri dari :
Dura mater : Paling luar dan merupakan selaput yang kokoh dan kuat
(dura=keras), terdiri dari lembar endosteal (mengandung banyak pembuluh darah
dan saraf) dan meningeal. Karena erat hubungannya dengan tulang tengkorak
sampai umur dua tahun, maka fraktur tulang tengkorak seumur itu mungkin
mengakibatkan robeknya dura mater dengan akibat perdarahan). Setelah umur 2
tahun, lembar itu lepas dari tulang kecuali pada sutura basis tengkorak. Antara
lembar endosteal dura dan tulang tengkorak terdapat rongga epidura. Lanjutan
lembar meningeal dura mater ensefalon dari foramen magnum yaitu dura mater
spinal.
Araknoid : selaput yang sangat halus dan tipis, tanpa pembuluh darah dan
terletak antara dura mater dan pia mater. Rongga di antara araknoid dan pia mater
disebut rongga subaraknoid, yang beredar cairan serebrospinal / liquor
cerebrospinalis yang menjadi tempat SSP melayang di dalamnya sehingga seakan
tanpa bobot.
Pia mater : Merupakan selaput paling dalam yang menyelimuti sistem saraf
pusat. Lapisan ini banyak sekali mengandung pembuluh darah.
Cedera Kepala (Trauma Kapitis)
1
Cedera kepala adalah cedera yang meliputi trauma kulit kepala, tengkorak dan
otak. Cedera kepala didefinisikan dengan suatu gangguan traumatik dari fungsi otak
yang disertai atau tanpa disertai pendarahan interstistial dalam substansi otak tanpa
diikuti terputusnya kontinuitas otak. Resiko utama pasien yang mengalami cidera
kepala adalah kerusakan otak akibat atau pembengkakan otak sebagai respons
terhadap cedera dan menyebabkan peningkatan TIK. Pasien yang mengalami cedera
kepala perlu dinilai:
1. Kesadaran
Dalam dan lamanya trauma mencerminkan derajat trauma. Akan tetapi, pasien
yang mula-mula sadar dan dapat mengadakan orientasi dengan baik dapat menjadi
ngantuk, stupor dan coma sebagai akibat perdarahan intracranial yang progresif.
Selama 24-48 jam pertama, kita harus membangunkan pasien setiap jam untuk
mengevaluasi derajat orientasi, kesadaran dan responsnya secara umum terhadap
stimulasi.Setiap pasien yang memberikan riwayat cedera kepala yang diikuti oleh
keadaan tidak sadar dan setiap pasien yang tidak sadar yang mungkin mengalami
cedera kepala harus mendapatkan evaluasi neurology yang cermat. Foto x-ray
tengkorak harus dibuat segera mungkin.
2. Tanda – tanda vital
Suhu, nadi, respirasi, dan tekanan darah harus diamati dengan interval setengah
jam sampai 12 jam bergantung kepada beratnya cedera.
3. Paralisis
Pada penderita yang tidak sadar atau dalam keadaan stupor, paralysis hanya dapat
diketahui dengan pemeriksaan yang seksama. Hilangnya kekuatan dan gerakan,
sekalipun derajatnya ringan, dapat menunjukkan adanya perdarahan intracranial.
4. Tanda – tanda ocular
Pupil harus diobservasi secara teratur bersama dengan tanda vital. Pupil yang tetap
dalam keadaan dilatasi seringkali berarti adanya perdarahan subdural atau epidural
yang ipsilateral atau adanya kerusakan otak yang ipsilateral. Pemeriksaan
oftalmoskop dapat mengungkapkan adanya papiledema atau perdarahan retina.
5. Konvulsi
Konvulsi cenderung segera terjadi setelah cedera kepala. Adanya konvulsi fokal
menunjukkan kearah lesi iritatif pada hemisferium serebri yang kontralateral.
Kontusio dan laseratio serebri yang sering disertai perdarahan epidural, subdural
atau intracranial akan menimbulkan konvulsi fokal.
2
6. Kaku kuduk
Meskipun kaku kuduk dapat terjadi akibat perdarahan subarachnoid yang sering
menyertai cedera kepala, namun cedera vertebra cervikalis harus disingkirkan
dengan pemeriksaan klinik dan sinar x yang tepat.
7. Perdarahan dari telinga
Otorrhagia menunjukkan fraktura basillaris melalui pyramid petrosus pada tulang
temporal, juga sebagai akibat rupture traumatic pada membrane tympani atau
laserasi pada membrane mukosa tanpa perforasi membrane tympani. Adanya
darah subkutan didaerah mastoideus merupakan petunjuk kearah fraktura dasar
tengkorak.
Klasifikasi cedera kepala :
A. Berdasarkan mekanisme : tertutup & penetrans
B. Berdasarkan beratnya (GCS) : ringan, sedang, berat
C. Berdasarkan morfologi : - Fraktur tengkorak
- Lesi intracranial
Cedera kepala tertutup adalah trauma tanpa cedera pada cranium atau
craniumnya terbatas pada fraktur tertutup yang fragmennya tidak tergeser. Cedera
kepala tertutup dapat disamakan gegar otak ringan dengan disertai edema cerebri.
Cedera kepala terbuka kulit mengalami laserasi sampai pada merusak tulang
tengkorak.
Cedera kepala tertutup ini, secara klinik digolongkan sebagai cedera kepala
ringan, sedang atau berat. Cedera kepala ringan (CKR) yaitu GCS 13-15, hilangnya
kesadaran yang berlangsung singkat (detik-menit) tanpa terlihat perubahan neurologis
(commotio cerebri), Hasil pemeriksaan LCS normal, dapat terjadi amnesia retrograde.
Cedera Kepala sedang (CKS) yaitu GCS 9-12, periode pingsan yang lama, sering
tanda neurologis abnormal, biasanya disertai edem & contusio cerebri. Cedera
kepala berat (CKB) yaitu GCS < 8, pingsan lama, tanda neurologis abnormal,
biasanya disertai contusio & laserasio serebri.
Cedera kepala terbuka meliputi laserasi kulit kepala, fraktur terbuka
(compound fracture) pada tengkorak dan berbagai derajat kerusakan cerebral. Bila
terjadi fragmentasi pada tulang, maka terdapat laserasi & kontusio otak yang luas.
3
Kesadaran pada mulanya mungkin tidak terganggu meskipun dapat terjadi penurunan
kesadaran, kemudian bisa edem & perdarahan intrakranial yang progresif. Laserasi
pada kulit kepala harus segera dijahit kecuali diatas suatu ‘depressed fracture’ atau
luka tembus pada tengkorak. Lesi yang dapat timbul pada trauma kepala:
1. Kulit kepala robek atau mengalami perdarahan subkutan.
2. Otot-otot dan tendo pada kepala mengalami kontusio.
3. Tulang tengkorak patah.
4. Gegar otak.
5. Edema serebri traumatic.
6. Kontusio serebri.
7. Perdarahan epidural.
8. Perdarahan subdural.
Fraktura tengkorak
Biasanya terjadi pada tempat benturan. Garis fraktur dapat menjalar hingga ke
basis cranii. Fraktur berupa linier (tanpa pergeseran fragmen tulang, pasien di
observasi, biasanya tidak memerlukan intervensi), comminuted fraktur atau depressed
fraktur (tulang tengkorak melesak ke dalam, perlu tindakan bedah tergantung
kegawatan), diastatic fraktur (terjadi sepanjang garis sutura tengkorak, sering terjadi
pada bayi baru lahir dan orang tua), serta basilar fraktur (fraktur pada dasar tengkorak,
sering disertai memar pada sekitar mata dan belakang telinga, serta keluar cairan
jernih dari hidung dan telinga, pasien perlu di observasi).
Komosio serebri
Yaitu keadaan pingsan yang berlangsung tidak lebih dari 10 menit akibat
trauma kepala, yang tidak disertai kerusakan jaringan otak. Pasien mungkin mengeluh
nyeri kepala, vertigo, muntah, tampak pucat. Vertigo dan muntah terjadi akibat gegar
pada labirin atau terangsangnya pusat – pusat di dalam batang otak. Dapat juga terjadi
amnesia retrograde yaitu hilangnya ingatan sepanjang masa yang terbatas sebelum
terjadinya kecelakaan. Amnesia ini timbul akibat terhapusnya rekaman kejadian yang
terdapat di lobus temporalis. Pemeriksaan tambahan yang perlu di buat yaitu: foto
tengkorak, EEG, pemeriksaan memori. Terapinya simptomatis dengan mobilisasi
secepatnya setelah keluhan – keluhan menghilang.
Cedera otak dan gegar otak
4
Kejadian cedera minor dapat menyebabkan kerusakan otak bermakna. Otak
tidak dapat menyimpan oksigen dan glukosa sampai derajat tertentu yang bermakna.
Sel-sel otak membutuhkan suplai darah terus menerus untuk memperoleh makanan.
Kerusakan neuron tidak dapat mengalami regenerasi. Gegar otak ini merupakan
sindrom yang melibatkan ganguan neurologis sementara dan dapat pulih tanpa ada
kehilangan kesadaran pasien mungkin mengalami disorientasi ringan, kurang
konsentrasi, amnesia retrogad, dll. Cedera otak serius yang dapat terjadi adalah
kontusio, laserasi dan hemoragi.
Edema serebri traumatic
Pada keadaan ini pingsan berlangsung lebih dari 10 menit dan pada
pemeriksaan neurologik juga tidak dijumpai tanda-tanda kerusakan jaringan otak.
Tekanan LCS biasanya sedikit meninggi. Pasien mengeluh nyeri kepala, vertigo,
muntah. Gejala edem serebri berupa gejala fokalisasi seperti konvulsi, hemiplegi &
afasia. Pada pembedahan, otak tampak sangat pucat & bengkak.
Contusio serebri
Merupakan cedera kepala berat dimana otak mengalami memar, dengan
kemungkinan adanya daerah hemoragi pada subtansi otak. Dapat menimbulkan edema
cerebral 2-3 hari post truma. Akibatnya dapat menimbulkan peningkatan TIK dan
meningkatkan mortalitas (45%).
Terjadi perdarahan-perdarahan di dalam jaringan otak tanpa adanya robekan
jaringan yang kasat mata, meskipun neuron-neuron mengalami kerusakan atau
terputus. Pada trauma yang membentur dahi kontusio terjadi di daerah otak yang
mengalami benturan. Pada benturan di daerah parietal, temporalis dan oksipitalis
selain di tempat benturan dapat pula terjadi kontusio pada sisi yang bertentangan pada
jalan garis benturan. Perdarahan mungkin terjadi di sepanjang garis gaya benturan ini,
dan permukaan bagian otak yang menggeser karena gerakan akibat benturan itu.
Pada pemeriksaan neurologik pada kontusio ringan mungkin tidak dijumpai
kelainan neurologik yang jelas kecuali kesadaran yang menurun. Pada kontusio
serebri dengan penurunan kesadaran yang berlangsung berjam-jam pada pemeriksaan
dapat atau tidak dijumpai defisit neurologik. Pada kontusio serebri yang berlangsung
lebih dari 6 jam penurunan kesadarannya, biasanya selalu dijumpai defisit neurologik
yang jelas. Keadaan klinis yang berat terjadi pada perdarahan besar atau tersebar
didalam jaringan otak, sering pula disertai perdarahan subarachnoidal atau kontusio
5
pada batang otak. TIK yang meninggi menimbulkan gangguan microsirkulasi otak
dengan akibat menghebatnya oedema.
Pada perdarahan dan edema didaerah diensefalon, pernafasan biasa atau
bersifat Cheyne Stokes, pupil mengecil, reaksi cahaya baik. Mungkin terjadi rigiditas
dekortikasi yaitu kedua tungkai kaku dalam sikap ekstensi dan kedua lengan kaku
dalam sikap fleksi pada sendi siku.
Pada gangguan didaerah mesensefalon dan pons bagian atas, kesadaran
menurun hingga koma, pupil melebar, refleks cahaya tidak ada, gerakan mata
diskonjugat, tidak teratur, pernafasan hiperventilasi, motorik menunjukkan rigiditas
deserebrasi dengan keempat ekstremitas kaku dalam sikap ekstensi.
Pada lesi pons bagian bawah bila nukei vestibularis terganggu bilateral,
gerakan kompensasi bola mata pada gerakan kepala menghilang. Pernafasan tidak
teratur. Bila medulla oblongata terganggu, pernafasan melambat tak teratur, tersengal-
sengal menjelang kematian.
Pemeriksaan tambahan yang perlu dilakukan yaitu: foto roentgen polos, scan
tomografik, EEG, pungsi lumbal.
Tindakan yang diambil pada keadaan kontusio berat ditujukan untuk
mencegah meningginya TIK.
1. Tindakan darurat : perbaiki ABC (airway, breathing, circulation). Membersihkan
jalan nafas.
2. Hentikan perdarahan.
3. Bila ada fraktur pasang bidai untuk fiksasi.
4. Letakkan pasien dalam posisi miring hingga bila muntah dapat bebas keluar dan
tidak menggangu jalan nafas.
5. Profilaksis antibiotic.
6. Bila ada syok, segera pasang infuse.
7. Pada keadaan edema diberikan manitol 20% dalam waktu 30 menit dapat diulang
tiap 12-24 jam.
8. Furosemide IM 20 mg per 24 jam untuk meningkatkan diuresis dan mengurangi
pembentukan cairan otak.
9. Untuk menghambat edema diberikan deksametason.
Contusio serebri jenis countrecoup injury terdapat langsung/kontralateral
dengan daerah cedera dapat terbatas pada korteks superficial, atau disertai perdarahan
ke dalam otak yang berada di bawahnya. Sering juga terjadi disepanjang dasar lobus
6
frontalis posterior & ujung lobus temporalis di dekatnya. Secara klinis tidak dapat
dibedakan dengan commotio & laseratio serebri.
Laserasi serebri (robekan pada substansi otak) biasanya terjadi countrecoup
effect. Laserario yang mengenai dasar otak biasanya menyebabkan kematian dalam
waktu singkat. Terdapat tanda-tanda fokal neurologist, biasanya disertai SAH/ICH,
LCS tampak berdarah. Laserasi dapat terjadi karena trauma & non-trauma pada
tengkorak. Lobus frontalis & temporalis merupakan lokasi tersering. Cedera ringan
dapat menimbulkan robekan pada otak & meningen serta nekrosis hemoragik yang
luas pada korteks & substansia alba subkotikal. Perdarahan basal ganglia & batang
otak dapat terjadi. Laserasi pembuluh darah arachnoid dapat mengakibatkan
SAH/SDH. Robekan pada arteri meningea media/sinus/vena duramater dapat dikiuti
oleh perdarahan ke dalam ruang extradural.
Keluhan & gejala : Hilangnya kesadaran/penurunan kesadaran. Setelah pulih
kesadaran gejala sisa berhubungan dengan berat, luas & sifat cedera otak yang
menyertai, misalnya : mental confusion, hemiplegi, afasia, paralysis n.cranialis, dll.
Beberapa bulan setalah fase kesembuhan dapat terjadi posttraumatic cerebral
syndrome (nyeri kepala, dizziness, perubahan kepribadian)
Pemeriksaan Lab : pungsi lumbal dapat menegakkan adanya SAH dan
menemukan tekanan LCS. Pemeriksaan sinar X : angiografi serebral dapat
memperlihatkan SDH/ICH. Pneumogram untuk perlihatkan dilatasi, pergeseran /
distorsi ventrikel yang terjadi setelah cedera kepala. CT scan untuk menentukan
ICH/ECH, dilatasi, pergeseran. MRI juga dapat membantu menegakkan diagnosa.
Pemeriksaan khusus : EEG, Echoencephalogram, Brain scanning, psikometri.
Hematoma epidural
Setelah cedera kepala, darah berkumpul di dalam ruang epidural (ekstradural).
Perdarahan terjadi diantara tulang tengkorak dan duramater dan lebih sering terjadi
pada daerah temporal, namun bisa juga terjadi didaerah frontal atau oksipital.
Keadaan ini sering diakibatkan dari fraktur tengkorak yang menyebabkan arteri
meningeal tengah putus atau rusak (laserasi), dimana arteri ini berada di antara
duramater dan tengkorak daerah inferior menuju bagian tipis tulang temporal.
Perdarahan yang terjadi berasal dari arteri, sehingga darah akan terpompa keluar
terus. Perdarahan karena arteri ini dapat menyebabkan penekanan pada otak.
7
Ketika kepala terbentur penderita akan pingsan sebentar kemudian sadar
kembali. Dalam beberapa jam penderita akan merasakan nyeri kepala yang progresif
memberat, kemudian kesadaran berangsur menurun. Masa antar dua penurunan
kesadaran selama penderita sadar setelah terjadinya kecelakaan disebut interval lusid.
Pada pemeriksaan kepala pada tempat benturan tampak bengkak dan nyeri.
Pupil pada sisi benturan lebih lebar dan pada sisi kontralateral benturan timbul gejala
terganggunya traktus kortikospinalis seperti refleks tendo tinggi, refleks patologis
positif, hemiparesis. Papilla nervi optisi dapat menjadi sembab. Pemeriksaan
tambahan yang perlu: foto roentgen kepala antero-posterior dan lateral, CT-scan,
arterigrafi. Pasien harus segera dioperasi untuk mengeluarkan hematom dan
pengikatan cabang arteri yang robek. Bila tidak dioperasi, penderita akan meninggal
dalam beberapa hari akibat peningkatan tekanan intracranial
Hematom subdural
Adalah pengumpulan darah diantara duramater dan arachnoidmater. Paling
sering disebabkan oleh trauma tetapi dapat juga terjadi kecenderungan pendarahan
akibat aneurisma. Perdarahan subdural lebih sering terjadi pada vena dan merupakan
akibat putusnya pembuluh darah kecil yang menjembatani ruang subdural (Bridging
Vein).
Dapat terjadi akut, subakut atau kronik. Hematoma subdural akut dihubungkan
dengan cedera kepala mayor yang meliputi kontusio atau laserasi. Hematoma
subdural subakut adalah sekuele kontusio. Hematoma subdural kronik dapat terjadi
karena cedera kepala minor, terjadi pada lansia.
Perdarahan yang tidak membesar akan membeku dan disekitarnya akan
tumbuh jaringan ikat yang membentuk kapsula. Gumpalan darah lambat laun mencair
dan menarik cairan dari sekitarnya dan mengembung, memberikan gejala seperti
tumor serebri karena tekanan intracranial yang berangsur-angsur meningkat.
Gejalanya yaitu: nyeri kepala progresif, tajam penglihatan mundur akibat edema
papil, tanda-tanda defisit neurologik daerah otak yang tertekan. Gejala timbul
berminggu-minggu hingga berbulan-bulan setelah terjadinya trauma.
Pemeriksaan penunjang: foto tengkorak antero – posterior dan lateral, CT-
scan, EEG. Terapi dengan dioperasi baik akut maupun kronik.
Perdarahan subarachnoid traumatic
8
Pendarahan yang terjadi pada ruang arachnoid yakni antara lapisan
arachnoidmater dengan piamater. Seringkali terjadi karena adanya vena yang ada di
daerah tersebut terluka. Seringkali bersifat kronik.
Bila perdarahan agak besar dan terjadi lebih dekat ke basis serebri dapat
timbul kaku kuduk. Pemeriksaan dan perawatan sama seperti contusio serebri.
Perdarah Intracerebral
Adalah pendarahan ke dalam subtansi otak, pengumpulan darah 25ml atau
lebih pada parenkim otak. Penyebabnya seringkali karena fraktur, gerakan akselarasi
dan deseterasi yang tiba-tiba.
Cedera Medulla Spinalis
Komosio medulla spinalis
Komosio medulla spinalis adalah suatu keadaan dimana fungsi medulla
spinalis hilang sementara akibat suatu trauma dengan atau tanpa disertai fraktur atau
dislokasi. Sembuh sempurna akan terjadi beberapa menit hingga beberapa jam/hari
tanpa meninggalkan gejala sisa.
Kerusakan reversible yang mendasari berupa edema, perdarahan perivaskuler
kecil-kecil dan infark disekitar pembuluh darah. Bila paralysis total dan hilangnya
sensibilitas menetap lebih dari 48 jam maka kemungkinan sembuh sempurna menipis
dan perubahan pada medulla spinalis lebih mengarah ke perubahan anatomic daripada
fisiologik.
Kontusio medulla spinalis
Pada keadaan ini dijumpai kerusakan makroskopik dan mikroskopik pada
medulla spinalis berupa perdarahan, edema, perubahan neuron dan reaksi peradangan.
Perdarahan disubstansia alba memperlihatkan adanya bercak-bercak degenerasi
Waller dan pada kornu anterior terjadi hilangnya neuron yang diikuti proliferasi
mikroglia dan astrosit.
Pada stadium akut contusio ini disertai liquor cerebrospinalis yang berdarah.
Posisi atau tanda dari Jolly menunjukkan lesi unilateral pada segmen radiks cervical
yang ketujuh. Lengan bawah penderita berada dalam keadaan fkeksi dengan abduksi
bahu. Apabila kelainan ini bilateral, tandanya dinamakan tanda dari Bradnurne atau
Thorburn.
Kompresi medulla spinalis
9
Kompresi medulla spinalis dapat terjadi akibat dislokasi vertebra maupun
perdarahan epi dan subdural. Gambaran klinisnya didapati nyeri radikuler dan
paralysis flaksid setinggi lesi akibat kompresi pada radiks saraf tepi. Hiperekstensi,
hiperfleksi, dislokasi, fraktur dan whiplash dapat menyebabkan radiks saraf tepi dapat
tertarik dan mengalami jejas (reksis).
Pada trauma lecutan radiks C5-7 dapat timbul nyeri radikuler spontan. Di
bawah lesi kompresi medulla spinalis akan didapati paralysis spastic dan gangguan
sensorik serta otonom sesuai dengan derajat beratnya kompresi.
Kompresi konus medularis terjadi akibat fraktur – dislokasi vertebra L1, yang
menyebabkan rusaknya segmen sakralis medulla spinalis. Biasanya tidak dijumpai
gangguan motorik yang menetap tetapi terdapat gangguan sensorik pada segmen
sakralis yang terutama mengenai daerah sadel, perineum dan bokong. Juga dijumpai
gangguan otonom berupa retensio urin serta pada pria didapatkan impotensi
Kompresi kauda equine akan menimbulkan gejala tergantung pada serabut
saraf spinalis mana yang terlibat. Akan dijumpai paralisi flaksid dan atrofi otot.
Gangguan sensorik sesuai dengan dermatom yang terlibat.
Kompresi pada saraf spinalis S2, S3 dan S4 akan menyebabkan retensio urin
dan hlangnya control volunter vesika urinaria, inkontinensia alvi dan impotensi.
Diagnostik
Radiologik
Foto polos posisi antero-posterior dan lateral pada daerah yang diperkirakan
mengalami trauma akan memperlihatkan adanya fraktur dan mungkin disertai dengan
dislokasi. Pada trauma daerah servikal foto dengan posisi mulut terbuka dapat
membantu dalam memeriksa adanya kemungkinan fraktur vertebra C1-C2.
Pungsi lumbal
Berguna pada fase akut trauma medulla spinalis. Sedikit peningkatan tekanan
LCS dan adanya blockade pada tindakan Queckenstedt menggambarkan beratnya
derajat edema medulla spinalis.
Mielografi
10
Tindakan ini tidak mempunyai indikasi pada fase akut trauma medulla
spinalis. Tetapi mielografi dianjurkan pada penderita yang telah sembuh dari trauma
pada daerah lumbal, sebab sering terjadi herniasi discus intervertebralis.
Tatalaksana
Pada umumnya pengobatan trauma medulla spinalis adalah konservatif dan
simtomatik. Manajemen mempunyai tujuan mempertahankan fungsi medulla spinalis
yang masih ada dan memperbaiki kondisi untuk penyembuhan jaringan medulla
spinalis yang mengalami trauma tersebut. Prinsip tatalaksana yaitu:
Segera imobilisasi dan diagnosis dini.
Stabilisasi daerah tulang yang mengalami trauma.
Pencegahan progresivitas gangguan medulla spinalis.
Rehabilitasi dini.
Penderita yang diperkirakan mengalami trauma pada dearah servikal harus
difiksasi dengan kerah servikal (servikal collar). Bila servikal collar tidak tersedia,
maka kepala dan leher difiksasi dengan menggunakan bantal pasir pada sisi kanan kiri
kepala serta leher, sedang penderita dibaringkan dalam posisi terlentang pada alas
yang keras.
Bila tekanan oksigen medulla spinalis atau aliran darah berkurang, maka lesi
medulla spinalis bisa memburuk. Pemberian cairan intravena segera dilakukan untuk
mencegah terjadinya hipotensi.
Trauma medulla spinalis segmen servikal dapat menyebabkan paralysis otot-
otot intercostalis. Oleh karena itu dapat terjadi gangguan pernafasan bahkan kadang
apnea. Bila perlu dilakukan intubasi nasotrakeal bila pemberian oksigen saja tidak
efektif membantu penderita. Pada trauma servikal, hilangnya control vasomotor
menyebabkan pengumpulan darah di pembuluh darah abdomen, anggota gerak bawah
dan visera yang mengalami dilatasi, menyebabkan timbulnya hipotensi.
Pipa nasogastrik dipasang untuk mencegah distensi abdomen akibat dilatasi
gaster akut. Bila tidak dilakukan dapat berakibat adanya vomitus lalu aspirasi dan
akan memperberat pernafasan. Dilakukan pemasang kateter foley untuk mencegah
timbulnya infeksi traktus urinarius akibat retensio urin.
Pada stadium awal dimana terjadi dilatasi gastrointestinal, diperlukan
pemberian enema. Kemudian bila peristaltic timbul kembali dapat diberikan obat
pelunak feses. Bila traktus gastrointestinal menjadi lebih aktif lagi enema dapat
11
diganti dengan sopositoria. Untuk mencegah timbulnya dekubitus perlu dilakukan alih
baring tiap 2 jam.
Pemberian kortikosteroid untuk mengurangi edema medulla masih
controversial. Bila timbul spastisitas dapat digunakan diazepam, baklofen, dan
dantrolen sodium untuk mengatasinya.
Operasi
Pada saat ini laminektomi kompresif tidak dianjurkan kecuali pada kasus-
kasus tertentu. Indikasi operasi pada saat ini adalah:
a. Reduksi terbuka dislokasi dengan atau tanpa disertai fraktur pada daerah servikal,
bilamana traksi dan manipulasi gagal.
b. Adanya fraktur servikal dengan lesi parsial medulla spinalis dengan fragmen
tulang tetap menekan permukaan anterior medulla spinalis meskipun telah
dilakukan traksi yang adekuat.
c. Trauma servikal dengan lesi parsial medulla spinalis, dimana tidak tampak adanya
fragmen tulang dan diduga terdapat penekanan medulla spinalis oleh herniasi
discus intervertebralis.
d. Fragmen yang menekan lengkung saraf.
e. Adanya benda asing atau fragmen tulang dalam kanalis spinalis.
f. Lesi parsial medulla spinalis yang berangsur-angsur memburuk setelah dengan
konservatif yang maksimal menujukkan perbaikan, harus dicurigai hematoma.
Rehabilitasi
Rehabilitasi harus dilakukan sedini mungkin untuk mencegah timbulnya
komplikasi, mengurangi cacat dan menyiapkan penderita untuk kembali ke
masyarakat. Terbagi 2 tahap yaitu: fase akut dan rehabilitasi jangka panjang.
Rehabilitasi fase akut yaitu semasa penderita dalam pengobatan intensif, tindakan
yang dilakukan berupa latihan, masase, elektroterapi, memelihara jalan nafas,
merawat gangguan sensibilitas, merawat gangguan miksi dan defekasi. Tindakan ini
terutama dilakukan oleh fisioterapis dan perawat. Program rehabilitasi jangka panjang
melibatkan perawat, fisioterapis, pekerja social dll.
DAFTAR PUSTAKA
12
1. Chusid, JG. Neuroanatomi korelatif dan Neuroanatomi Fungsional bagian II.
In: Cedera Medulla Spinalis. Terj: dr. Andri Hartono, Gadjah Mada University
Press. 1983. Jogjakarta. P595-615.
2. Hadinoto, S. Kapita Selekta Neurologi. Edisi dua. In: Trauma Medulla
Spinalis, Gadjah Mada University Press. 2003. Jogjakarta. P319-328.
3. Mardjono, M. Neurologi Klinis Dasar. In: Trauma Tulang Belakang, Dian
Rakyat. 2000. Jakarta. P260-263.
13
Recommended