Adab Berbicara dalam Islam

Preview:

Citation preview

oleh baneend | Mei 2017

“O you who have believed, fear Allah and speak

words of appropriate justice.”[Al Ahzab :70]

Abu Zakaria al-Anbari berkata: Ilmu tanpa adab bagaikan api tanpa kayu bakar. Adab tanpa ilmu bagaikan ruh tanpa jasad(Imam as-Sam’ani, Adab al-Imla’ wa al-Istimla'; al-Khathib al-Baghdadi, Kitab al-Jami’, juz I, hal 17)

Maka, ilmu dan adab harus menyatu dalam diri Muslim, dan semestinya semakin berilmu, harus semakin beradab.

oleh baneend | Mei 2017

“Lisan orang memiliki akal timbul dari hati

nuraninya. Maka saat ingin berbicara, lebih dahulu

dia kembalikan kepada nuraninya. Jika ada manfaat

bagi dirinya, dia berbicara dan jika berbahaya,

maka dia menahan diri. Sementara itu, hati orang

bodoh berada di mulutnya, dia berbicara sesuai apa

saja yang dia mau.”

[HR. Bukhari-Muslim]

“Bahwasanya perkataan Rasulullah saw itu

selalu jelas dan dapat dipahami oleh orang

yang mendengarnya.”(HR. Abu Daud)

“Sesungguhnya seorang hamba berkata satu kata yang Allah SWT ridhai dan dia tidak mengira akan

mendapatkan demikian sehingga dicatat Allah SWT, keridhoan-Nya bagi orang tersebut hingga nanti di

hari Kiamat.

Dan seorang lelaki berkata satu kata yang Allah SWT murkai yang tidak dikiranya akan berkata

demikian, maka Allah SWT mencatat yang demikian itu hingga hari Kiamat.”

(HR. Tirmidzi)

“Bukanlah seorang mukmin jika dia suka

mencela, melaknat serta mengucapkan kata-

kata keji.”

(HR. Tirmidzi)

“Dan sesungguhnya manusia yang paling aku benci dan paling jauh dari aku nanti di hari Kiamat adalah orang yang banyak bicara, orang pura-pura

fasih dan orang yang mutafaihiqun”.

Para sahabat bertanya: Wahai Rasulllah, apa itu mutafaihiqun?

Nabi menjawab: “Orang-orang yang sombong”.(HR. At-Tirmidzi)

“Tanda-tanda orang munafik itu ada tiga, jika dia bicara berdusta, jika dia berjanji mengingkari dan

jika diberi amanah dia berkhianat.”(HR. Bukhari)

“.... dan [Aku (Muhammad)] (penjamin) istana di tengah-tengah surga bagi siapa saja yang

meninggalkan dusta sekalipun bercanda”.(HR. Abu Daud dan dinilai hasan oleh Al-Albani)

“Ghibah adalah kamu menceritakan saudaramu tentang sesuatu yang dibenci.” Orang itu kembali bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimana

pendapatmu jika sesuatu yang diceritakan tersebut memang benar ada padanya ?” Rasulullah SAW kemudian menjawab, “Kalau memang

benar, itu namanya ghibah. Bila tidak benar, maka engkau telah berbuat buhtan (mengada-ada).”

(HR. Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi, dan Ahmad)

“Janganlah kalian saling mendengki, dan janganlah kalian saling membenci, dan janganlah kalian saling berkata-kata keji, dan

janganlah kalian saling menghindari, dan janganlah kalian saling meng-ghibbah satu dengan yang lain, dan jadilah hamba-hamba

ALLAH yang bersaudara.”(HR. Muttafaq ‘alaih)

“Sesungguhnya seburuk-buruk orang disisi

Allah SWT kelak di hari Kiamat adalah orang-

orang yang sering membuat manusia tertawa.”

(HR. Bukhari)

“Aku menjamin rumah di dasar surga untuk orang

yang menghindari berdebat walaupun dia

benar, dan aku menjamin rumah di tengah surga

untuk yang menghindari dusta sekalipun

bercanda, dan aku menjamin rumah di puncak

surga untuk yang akhlaknya baik.”

(HR. Abu Daud)

Anas ra telah berkata : “adalah Rasulullah SAW

bila berkata maka beliau mengulanginya hingga 3

kali sampai semua yang mendengarkan menjadi

paham,

dan jika Rasulullah SAW datang ke rumah

seseorang maka beliau pun mengucapkan salam 3

kali.”

(HR. Bukhari)

Dan dari Mujahid dari Abu Ma’mar berkata: “Berdiri

seseorang memuji seorang pejabat di depan Miqdad

bin Aswad dengan berlebihan, maka Miqdad

mengambil pasir dan menaburkannya di wajah

orang tersebut, kemudian berkata: Nabi SAW

memerintahkan kepada kami untuk menaburkan pasir

di wajah orang yang suka memuji.”

(HR. Muslim)

Aisyah ra berkata: “Sesungguhnya Nabi SAW

jika membicarakan suatu perkataan, jika ada

orang yang menghitungnya, niscaya dia

dapat menghitungnya.”(Mutta-faqun ’alaih)

Abu Hurairah ra berkata, Rasulullah saw telah

bersabda, “Cukup menjadi sebuah dosa

untuk seseorang yaitu jika dia membicarakan

semua apa yang sudah didengar”. (HR. Muslim)

Berdasarkan QS 49/11

hadits nabi SAW:

“Jika seorang menceritakan suatu hal

padamu lalu ia pergi, maka ceritanya itu

menjadi amanah bagimu untuk menjaganya.”(HR Abu Daud dan Tirmidzi dan ia menghasankannya)

Wa maa taufiqi illa bi Allaah