21
BOOK REVIEW ORIENTALIS DIABOLISME & PEMIKIRAN Karya: DR. Syamsuddin Arif Disusun Guna Melengkapi Tugas Mata Kuliah Metodologi Studi Islam Dosen Pengampu Khairul Imam, SHI., MSI Disusun Oleh Sholihatun Nur Khotimah (122231136)

Diabolisme Pemikiran barat

Embed Size (px)

Citation preview

BOOK REVIEW

ORIENTALIS DIABOLISME & PEMIKIRAN

Karya: DR. Syamsuddin Arif

Disusun Guna Melengkapi Tugas Mata Kuliah Metodologi

Studi Islam

Dosen Pengampu Khairul Imam, SHI., MSI

Disusun Oleh

Sholihatun Nur Khotimah (122231136)

JURUSAN PERBANKAN SYARIAH

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SURAKARTA

TAHUN AJARAN 2015/2016

Cover Buku Orientalis Diabolisme &

Pemikiran

ORIENTALIS DAN DIABOLISME PEMIKIRAN

Karya: DR. Syamsuddin Arif

Kritik Pemikiran

Oleh: Sholihatun Nur Khotimah

Mengenai diabolisme pemikiran kata diabolos yang

berarti Iblis dalam bahasa Yunani kuno. Maka istilah

‘diabolisme’ itu sendiri adalah pemikiran, watak dan

perilaku seperti Iblis ataupun pengabdian kepadanya.

Bila disebut kata Iblis, seluruh umat Islam sudah

mengetahui dan sadar bahwa Iblis merupakan makhluk

ciptaan Allah Swt. yang terkutuk dan dilaknat oleh

Allah Swt., dan yang sudah pasti merupakan ahli neraka

Jahannam. Ia adalah seorang Jin, yang diciptakan dengan

bahan dasar api. Yang menjadi fokus permasalahan dalam

pembahasan ini adalah, kenapa Iblis dilaknat oleh Allah

Swt.? Karena seperti yang kita ketahui sebelum ia

dilaknat, Iblis merupakan seorang makhluk yang taat,

bahkan dikatakan merupakan ketua para malaikat. Apakah

karena ia atheis? Tidak. Apakah ia agnostik? Tidak.

Iblis tidak mengingkari ketuhanan Allah Swt., bahkan ia

beriman sepenuhnya bahwa Allah itu esa. Kesalahan Iblis

adalah telah membangkang perintah Allah Swt. , karena

kesombongannya ia ingkar perintah Allah Swt. untuk

sujud kepada Adam.

Didalam Al-Quran, disebutkan beberapa perilaku

Iblis yaitu membangkang (aba), menganggap dirinya hebat

(istakbara), serta melawan perintah Tuhan (fafasaqa ‘an

amri rabbihi). Secara ringkasnya, Iblis adalah

‘prototype’ terhadap diabolisme intelektual ini. Ciri

utama intelektual bermental Iblis ini adalah seperti

yang disebutkan diatas, yaitu diantaranya suka

membangkang dan membantah (walaupun dia paham, tahu,

tapi tidak pernah mau menerima kebenaran). Kemudian

bersikap takabbur (sombong, angkuh, arogan). Nabi Saw.

menjelaskan pengertian takabbur adalah menolak yang haq

dan meremehkan orang lain. Yang ketiga adalah

menyembunyikan dan mengaburkan kebenaran. Sengaja

memutarbalikkan fakta dan data, yang haq digambarkan

sebagai batil dan sebaliknya. Antara lain adalah

berwatak jahat, liar dan kurang ajar (mariidan),

menggelincirkan (istazalla), menjerumuskan (yughwi),

dan menjerumuskan orang (yudhillu).

Selebihnya tidak sulit untuk kita mengenali secara

pasti metode-metode atau pendekatan yang digunakan oleh

Iblis dan intelektual diabolik untuk menyesatkan

manusia, karena sudah dijelaskan didalam Al-Quran.

Diantaranya ialah menyusup dan mempengaruhi

(yatakhabbath), merasuki dan merusak (yanzagha),

menguasai (istahwadza), menghalangi (yashuddu),

menakut-nakutki (yukhawwif), menganjurkan (sawwala),

menggiring atau membawa (ta’uzz), meyeru (yad’u),

menjerumuskan atau menjebak (yaftinu), menjadikan yang

jahat terlihat baik (zayyanalahum a’malahum),

memperdaya dengan tipu muslihat (dhalla bil ghurur),

membuat orang lupa (yunsi), menyalakan konflik dan

kebencian (yuuqi’ul adawah wal baghdha), menyuruh

kepada maksiat (yakmuru bil fahsya wal mungkar) serta

menyuruh manusia ke arah kekafiran (qala lil-insani-

kfur). Demikianlah pendekatan-pendekatan yang digunakan

oleh intelektual bermental Iblis, untuk menyesatkan dan

mengelirukan pemikiran umat Islam. Mereka menikam agama

dan memporak-porandakan pemikiran liar diatas nama hak

asasi manusia, kebebasan bersuara, demokrasi, pembaruan

dan pencerahan. Tidak dinafikan terdapat segelintir

Muslim yang mengikuti paham-paham diatas tanpa mereka

sadari, karena ketertarikan mereka terhadap”hal yang

baru”.

Mungkin ada yang menganggap penggunaan istilah

“diabolisme” ini terlalu paranoid. Akan tetapi, itulah

hakikatnya. Kelakuan yang diselewengkan oleh umat

diatas tersebut dengan kedok intelektual ini memang

kebanyakannya bersifat demikian, tidaklah heran apabila

berkaitan dengan masalah ini karya tulis “Diabolisme

Intelektual” oleh Dr. Syamsuddin dikeluarkan, terus

mendapat respon yang keras oleh mereka yang mempunyai

paham-paham tersebut, yang mana merupakan pendukung

aliran pemikiran Islam Liberal di Indonesia.

istilah “Islam Liberal” pertama kali digunakan

oleh para penulis Barat seperti Leonard Binder, yang

menggunakan istilah ‘Islamic Liberalism’ dan Charles

Kurzman, yang menggunakan istilah ‘Liberal Islam’.

Keduanya secara tersirat memahami bahwa Islam itu

banyak, dan ‘Islam Liberal’ adalah salah satu darinya.

Pemahaman yang jelas-jelas menyimpang dari kebenaran,

dan walaupun orang Islam awam pun tahu kesalahan ini.

Islam hanya ada satu, yang banyak adalah mazhab dalam

Islam itu sendiri. Justru, ‘Islam Liberal’ ini hanyalah

satu aliran paham pemikiran baru dikalangan umat Islam,

dan tidak termasuk dalam mazhab Islam karena ia adalah

suatu pemikiran yang berupaya ‘membebaskan’ dan

menelanjangi umat Islam dari ajaran Islam yang

sesungguhnya.

Oleh sebab itu, dasar dari pemikiran Islam Liberal

ini bukanlah pemikiran Islam yang sebenarnya,

sebaliknya lebih tepat jika dikatakan pemikiran Liberal

yang ditujukan kepada Islam. Oleh karena itu, hal ini

tidak pantas disandarkan atas nama Islam. Secara

keseluruhannya, pemikiran Islam Liberal ini adalah

campuran aliran modernism dan post-moderisme, walaupun

namanya disandarkan kepada “liberal”. Walaupun begitu,

aliran post-modernisme lebih dominan dibanding

modernisme. Jadi janganlah kita terjebak dengan aliran

Liberalisme. Ciri utama aliran post-modernisme yang

terdapat dalam aliran Islam Liberal ini adalah

“deconstruction”. Semua perkara-perkara yang

fundamental tentang Islam seperti kebenaran Al-Quran,

hingga Islam itu sendiri perlu dirombak secara

keseluruhan agar memenuhi arus modernisasi zaman ini.

Dengan kata lain, inilah contoh terbaik bagi apa yang

kita sebutkan sebagai “Diabolisme Intelektual”.

Terdapat lima pondasi utama yang menjadi landasan

pemikiran Islam Liberal, yaitu; sekularisasi,

pluralisme agama, al-Quran edisi kritis, hermeneutika

dan feminisme.

1. Antara Sekularisasi dan Sekularisme

Para pendukung aliran Islam Liberal beranggapan

bahwa Sekularisasi yaitu nilai-nilai rohani dari alam

tabi’i (disenchantment of nature) tidak seperti

Sekularisme. Tokoh yang membedakan antara Sekularisasi

dan Sekularisme ini ialah Harvey Cox, seorang ahli

filsafat dari kalangan Kristen. Bahwa sekularisasi

menurut mereka adalah proses atau keadaan negara yang

tidak didasarkan kepada asas-asas agama, ataupun

bersikap netral terhadap agama, manakala sekularisme

adalah sebuah ideologi yang tertutup, juga mirip kepada

agama.

Menurut Prof Syed Naquib Al-Atas, sekalipun Cox

membedakan Sekularisasi dan Sekularisme, namun pada

akhirnya sekularisasi ini juga akan jadi

sekularisasisme. Perbedaan diantara keduanya hanya pada

unsur nilai-nilai itu sendiri, namun pada penerapannya

tidak memiliki perbedaan, terutama dari sudut

pertentangannya dengan pandangan hidup Islam. Oleh

karena itu, boleh dikatakan sekiranya kita melihat ada

pihak-pihak yang memberi pencerahan tentang perbedaan

antara sekularisasi dan sekularisme itu, tidaklah

keterlaluan apabila dikatakan sebagai para pendakwah

Islam Liberal secara sadar, ataupun golongan ‘reformis’

yang terpengaruh dengan aliran Islam Liberal secara

tidak sadar, karena hanya aliran Islam Liberal yang

mendapat manfaat dari perbedaan itu.

Kalangan orientalis seperti Arthur Jeffery dan

kawan-kawan bersemangat ingin “mengkorupsi” keotentikan

Al-Quran. Namun hingga kini tetap kokoh “Sudah tiba

saatnya sekarang untuk melakukan studi kritis terhadap

teks Al-Quran sebagaimana telah kita lakukan terhadap

kitab suci Yahudi yang berbahasa Ibrani-Arami dan kitab

suci Kristen yang berbahasa Yunani,” kutipan ini adalah

pernyataan Alphonse Mingana, seorang pendeta Kristen

asal Iraq dan mantan guru besar di Universitas

Birmingham, Inggris. Pernyataan itu ia sampaikan tahun

1927.

Mengapa pendeta Kristen yang juga orientalis ini

mengatakan seperti itu? Tentu saja, ia bukan sedang

bergurau. Pernyataan orientalis-missionaris satu ini

karena dilatarbelakangi oleh kekecewaan sarjana Kristen

dan Yahudi terhadap kitab suci mereka dan juga

disebabkan oleh kecemburuan mereka terhadap umat Islam

dan kitab suci nya Al-Quran.

Perlu diketahui mayoritas ilmuwan dan cendekiawan

Kristen telah lama meragukan otentisitas Bible. Mereka

harus menerima kenyataan pahit bahwa Bible yang ada di

tangan mereka sekarang ini terbukti bukan asli alias

palsu. Terlalu banyak campur-tangan manusia di

dalamnya, sehingga sukar untuk dibedakan mana yang

benar-benar Wahyu dan mana yang bukan.

Pernyataan ini pernah disampaikan oleh Kurt Aland

dan Barbara Aland, dalam The Text of the New Testament

(Michigan: Grand Rapids, 1995). Menurut Barbara, sampai

pada permulaan abad keempat, teks Perjanjian Baru

dikemmengembangkan secara leluasa. Yang jelas banyak

yang melakukan koreksi.

Pandangan seperti ini tidaklah sendiri. Saint

Jerome, seorang rahib Katolik Roma yang belajar teologi

juga mengeluhkan fakta banyaknya penulis Bible yang

diketahui bukan menyalin perkataan yang mereka temukan,

tetapi malah menuliskan apa yang mereka pikir sebagai

maknanya. Sehingga yang terjadi bukan pembetulan

kesalahan, tetapi justru penambahan kesalahan.

“Mereka menuliskan apa yang tidak ditemukan tapi

apa yang mereka pikirkan artinya; selagi mereka mencoba

meralat kesalahan orang lain, mereka hanya

mengungkapkan dirinya sendiri,” ujar Jerome sebagaimana

dikutip dalam The Text of the New Testament: Its

Transmission, Corruption and Restoration (1992).

Disebabkan kecewa dengan kenyataan semacam itu,

maka pada tahun 1720 Master of Trinity College, R.

Bentley, menyeru kepada umat Kristen agar mengabaikan

kitab suci mereka, yakni naskah Perjanjian Baru yang

diterbitkan pada tahun 1592 versi Paus Clement. Seruan

tersebut kemudian diikuti oleh munculnya "edisi kritis"

Perjanjian Baru hasil suntingan Brooke Foss Westcott

(1825-1903) dan Fenton John Anthony Hort (1828-1892).

Tentu saja Mingana bukan yang pertama kali

melontarkan seruan semacam itu, dan ia juga tidak

sendirian. Jauh sebelum dia, tepatnya pada tahun 1834

di Leipzig (Jerman), seorang orientalis bernama Gustav

Fluegel menerbitkan 'mushaf' hasil kajian filologinya.

Naskah yang dibuatnya itu ia namakan Corani Textus

Arabicus. Naskah ini sempat dipakai “tadarrus” oleh

aktivis Jaringan Islam Liberal (JIL). Selain Flegel,

datang Theodor Noeldeke yang berusaha merekonstruksi

sejarah Al-Quran dalam karyanya Geschichte des Qorans

(1860), sebuah upaya yang belakangan ditiru oleh Taufik

Adnan Amal, juga dari Jaringan Islam Liberal (JIL).

Kemudian muncul Theodor Noeldeke yang ingin

merekonstruksi sejarah Al-Quran dalam karyanya

Geschichte des Qorans (1860), sebuah upaya yang

belakangan ditiru oleh segelintir kaum Liberal di

Indonesia.

Juga Arthur Jeffery yang datang tahun 1937 yang

berambisi membuat edisi kritis Al-Quran, mengubah

Mushaf Utsmani yang ada dan menggantikannya dengan

mushaf baru. Orientalis asal Australia yang pernah

mengajar di American University Cairo dan menjadi guru

besar di Columbia University ini, konon ingin

merestorasi teks Al-Quran berdasarkan Kitab al-Masahif

karya Ibn Abi Dawuud as-Sijistaani yang ia anggap

mengandung bacaan-bacaan dalam ‘mushaf tandingan’ (ia

istilahkan dengan ‘rival codices’). Jeffery bermaksud

meneruskan usaha Gotthelf Bergstraesser dan Otto Pretzl

yang pernah bekerja keras mengumpulkan foto lembaran-

lembaran (manuskrip) Al-Quran dengan tujuan membuat

edisi kritis Al-Quran (tetapi gagal karena semua

arsipnya di Munich musnah saat Perang Dunia ke-II

berkecamuk), sebuah ambisi yg belum lama ini di “amini”

kan oleh Taufik Amal dari JIL. Saking antusiasnya

terhadap qira’aat-qira’aat pinggiran alias ‘nyleneh’

(Nichtkanonische Koranlesarten) Bergstraesser lalu

mengedit karya Ibn Jinni dan Ibn Khalaawayh.

Kajian orientalis terhadap kitab suci Al-Quran

tidak sebatas mempertanyakan otentisitasnya. Isu klasik

yang selalu diangkat adalah soal pengaruh Yahudi,

Kristen, Zoroaster, dan sebagainya terhadap Islam

maupun isi kandungan Al-Quran (theories of borrowing

and influence). Sebagian mereka bahkan berusaha

mengungkapkan apa saja yang bisa dijadikan bukti bagi

'teori pinjaman dan pengaruh' itu, terutama dari

literatur dan tradisi Yahudi-Kristen (semisal Abraham

Geiger, Clair Tisdall, dan lain-lain). Ada pula yang

membandingkan ajaran Al-Quran dengan adat-istiadat

Jahiliyyah, Romawi dan lain sebagainya. Biasanya mereka

katakan bahwa cerita-cerita dalam Al-Quran banyak yang

keliru dan tidak sesuai dengan versi Bible yang mereka

anggap lebih akurat.

Sikap anti-Islam ini tersimpul dalam pernyataan

negatif seorang orientalis Inggris yang banyak mengkaji

karya-karya sufi, Reynold A. Nicholson, " “Muhammad

picked up all his knowledge of this kind [i.e. Al-

Quran] by hearsay and makes a brave show with such

borrowed trappings-largely consisting of legends from

the Haggada and Apocrypha.” Tapi, bagaimanapun, segala

upaya mereka tak ubahnya bagaikan buih, timbul dan

pergi begitu saja, berlalu tanpa pernah berhasil

mengubah keyakinan dan penghormatan umat Islam terhadap

kitab suci Al-Quran, apatah lagi membuat mereka murtad.

2. Pluralisme Agama

Yang dimaksud dengan pluralisme disini adalah

paham yang menyamakan semua agama. Pemahaman ini lahir

dari sekularisme dan proses sekularisasi masyarakat

Barat. Secara ringkasnya, menurut Dr Ugi Suharto,

terdapat 4 aliran pemikiran pluralism agama yang

berkembang hingga saat ini:

1) Civil Religion

2) Global Theology

3) Transcendant Unity Of Religions(TUR)

4) Syncretism

Dua paham yang pertama lahir akibat pemahaman

sekularisme, dan dua lagi merupakan reaksi terhadap

sekularisme.

Islam pada hakikatnya mengakui keberadaan berbagai

macam agama (religios plurality), tetapi tidak kepada

kesamarataan semua agama (religious pluralism). Peranan

intelektual diabolik adalah menimbulkan kekeliruan

antara kedua-dua keadaan diatas, lantas menghilangkan

nilai-nilai terse;ubung diantara keduanya. Islam

mengajarkan umatnya ‘laa ikraaha fiddin’ dan pada masa

yang sama juga mengajarkan ‘lakum diinukum waliyadiin’.

Mengenai para penganut paham pluralism agama ini, Prof

Rajidi berkata: ‘ orang Islam yang tidak mempunyai

hubungan batin dengan Islam’. yaitu orang Islam yang

secara lahirnya tidak mau dikatakan bukan Islam, tetapi

batinnya tidak mau patuh dan tunduk kepada ajaran

Islam.

3. Reinterpretasi Al-Qur’an

Reinterpretasi Al-Qur’an ini merupakan suatu usaha

untuk menafsirkan Al-Qur’an kembali serta merubah

kandungan Al-Quran. Alasan yang sering dikemukakan

antara lain karena kitab suci ini dikatakan merupakan

refleksi dari reaksi terhadap kondisi sosial, budaya,

ekonomi, dan politik masyarakat jahiliyah pada abad ke-

7 Masehi yang primitif dan patriarkis. Bagi mereka,

teks-teks Quran yang beredar dikalangan Muslimin hari

ini mengandungi permasalahan yang memerlukan perubahan

secara kritisl. Usaha ini pada hakikatnya hanyalah

kelanjutan dari usaha-usaha Orientalis Belanda ketika

menjajah Indonesia dahulu, yang mana sebenarnya telah

menemui kegagalan. Tuduhan yang digunakan adalah

Khalifah Utsman bin Affan R.a telah membakar mushaf-

mushaf lain dengan kuasa politiknya, sehingga hanya

mushaf Utsmani sajalah yang layak beredar di dunia

Islam. Mereka juga membangkitkan permasalahan qira’ah

yang berbeda-beda. Walaupun usaha ini pada akhirnya

menemui kegagalan, namun akan menimbulkan kekeliruan

terhadap pemahaman masyakat. Inilah salah satu ciri

diabolisme, menimbulkan kekeliruan terhadap umat Islam

tentang perkara yang sudah bersandar terhadap hukum

Islam.

4. Hermeneutika

Hermeneutika, bersalah dari kata Hermeneutics,

yaitu bahasa yunani, hermeneutikos. Pada awalnya, arti

hermeneutik hanyalah bermaksud pada bahasa, sebelum

berkembang menjadi satu perkataan yang mempunyai maksud

dari sudut istilah. Awalnya, Aristotle menggunakan kata

ini untuk judul karyanya, Peri Hermenias, yang

kemudiann diterjemahkan ke dalam bahasa Latin, De

Interpretatione, yang kemudian pula diterjemahkan ke

dalam bahasa inggris, On The Interpretation.

Sebelum itu, ia terlebih dahulu diterjemahkan ke

dalam bahasa Arab oleh Al-Farabi, Fil Ibarah. Dalam

karyanya, Aristotle mengggunakan kata hermeneias hanya

membahas peranan ungkapan dalam memahami pemikiran, dan

juga pembahasan mengenai tata bahasa. Beliau langsung

tidak membicarakan permasalahan teks. Dengan kata lain,

pada awalnya, ia hanya bermaksud kepada pembahasan

bahasa saja, yaitu pada bidang penafsiran teks,

sebaliknya yang terdapat pada hari ini membincangkan

tentang kebenaran teks. Istilah hermeneutic itu

kemudiannya digunakan dalam bidang kajian penafsiran

Bible, sebelum berkembang menjadi aliran filsafat.

Secara ringkasnya, istilah hermeneutic berkembang

tidak hanya sekadar makna bahasa, namun menjadi makna

teologi, dan kemudian menjadi makna filsafat. Kata

hermeneutik digunakan oleh penganut Kristen untuk

mencari kebenaran di dalam Bible, karena bukanlah wahyu

Allah secara harfiyah, mereka dengan terpaksa membahas

penafsiran secara terperinci pada perkataan yang

digunakan di dalam Bible, karena ia sudah bercampur

dengan kalimah manusia dan tidak sesuai apabila

digunakan untuk mengkaji Al Quran karena memang sudah

diyakini bahwasannya setiap huruf dan perkataan dalam

Al Quran itu adalah wahyu Allah, setiap ejaan dieja

menurut arahan Rasulullah Saw. dipandu oleh Jibril A.s.

Oleh sebab itulah hermeneutic langsung tidak sesuai

digunakan terhadap Al Quran.

5. Feminisme

Secara ringkasnya, gerakan Feminisme Barat

bertujuan untuk menuntut persamaan lelaki dan

perempuan. Bagi aliran Islam Liberal, hal ini bertujuan

menuntut persamaan anatara laki-laki dan wanita dalam

bab hukum syari’ah, yang mana dianggap tidak adil oleh

golongan ini. Diantara isu yang dibangkitkan adalah:

1) Poligami adalah tidak sah dan mesti dinyatakan

batal secara undang-undang.

2) Pernikahan beda agama, termasuk antara Muslim dan

bukan Islam dinyatakan sah.

3) Masa ‘iddah juga untuk kaum laki-laki, selama 130

hari.

4) Istri juga boleh memberikan talak.

5) Harta warisan anak laki-laki dan perempuan

haruslah sama

Kesimpulan

Dari pemaparan diatas bisa disimpulkan bahwasannya

buku setebal 342 halaman ini menyajikan pembahasan yang

sistematis. Pada bab pertama beliau memberikan gambaran

umum tentang bagaimana posisi orientalis terhadap

kajian keislaman, mencakup Al-Quran, hadits Nabi Saw.,

teologi Islam, serta sufisme. Bab II mencakup tantangan

ideologi global, khususnya Indonesia, seperti

liberalisme, pluralisme agama, sekuralisme, feminisme

dan isu gender, legitimasi fatwa MUI, rasisme, dan

tirani di balik seni. Wacana keislaman mutakhir juga

dijelaskan secara gamblang di bab selanjutnya,

menjelaskan "senjata" kaum orientalis dalam

menghancurkan Islam. Dalam bab akhir, beliau meluruskan

statement negatif tentang sebagian ulama seperti Ibnu

Arabi dan Ibnu Sina, juga memberikan amunisi bagi

pembaca untuk mempertahankan kesehatan logika.

Buku ini menyuguhkan data-data valid dari berbagai

belahan dunia, disampaikan dengan bahasa yang lugas,

jelas dan tegas. Bukan hanya memberikan penguat berupa

Al-Quran dan hadits, buku ini juga dilengkapi

pendekatan historis, analisis filsafat, serta

perkembangan orientalis serta orientalisme itu sendiri.

Namun buku ini masih memiliki kekurangan. Di antaranya

kutipan bahasa asing seperti bahasa Inggris, Jerman,

Prancis ataupun Greek yang tidak disertai dengan

terjemahan hingga mengharuskan pembaca untuk membuka

kamus atau menggunakan google translate agar dapat

memahaminya. Namun kesulitan tersebut dapat diatasi

karena adanya kemudahan yang ditawarkan teknologi.

Sebagai buku yang merupakan upaya nyata untuk

berubah dan mengubah diri dari kondisi yang selama ini

terhegemoni oleh framework dan worldview orientalis dan

barat, tentu buku ini mendapat stigma negatif dari

berbagai kalangan, namun sangat naif bagi kita sebagai

akademisi Islam yang juga memiliki framework sebagai

pejuang di jalan Allah untuk ikut terpengaruh. Selalu

ada tantangan di setiap jalan dakwah, dan semoga kita

bukan termasuk "tantangan-tantangan" tersebut. Sebagai

muslim secara global, hendaknya kita meniatkan segala

apa yang kita lakukan untuk Allah semata, dan hendaknya

kita selalu berdoa kepada-Nya agar Dia selalu menuntun

kita untuk jadi lebih baik.