Upload
independent
View
2
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
BOOK REVIEW
ORIENTALIS DIABOLISME & PEMIKIRAN
Karya: DR. Syamsuddin Arif
Disusun Guna Melengkapi Tugas Mata Kuliah Metodologi
Studi Islam
Dosen Pengampu Khairul Imam, SHI., MSI
Disusun Oleh
Sholihatun Nur Khotimah (122231136)
JURUSAN PERBANKAN SYARIAH
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SURAKARTA
TAHUN AJARAN 2015/2016
Cover Buku Orientalis Diabolisme &
Pemikiran
ORIENTALIS DAN DIABOLISME PEMIKIRAN
Karya: DR. Syamsuddin Arif
Kritik Pemikiran
Oleh: Sholihatun Nur Khotimah
Mengenai diabolisme pemikiran kata diabolos yang
berarti Iblis dalam bahasa Yunani kuno. Maka istilah
‘diabolisme’ itu sendiri adalah pemikiran, watak dan
perilaku seperti Iblis ataupun pengabdian kepadanya.
Bila disebut kata Iblis, seluruh umat Islam sudah
mengetahui dan sadar bahwa Iblis merupakan makhluk
ciptaan Allah Swt. yang terkutuk dan dilaknat oleh
Allah Swt., dan yang sudah pasti merupakan ahli neraka
Jahannam. Ia adalah seorang Jin, yang diciptakan dengan
bahan dasar api. Yang menjadi fokus permasalahan dalam
pembahasan ini adalah, kenapa Iblis dilaknat oleh Allah
Swt.? Karena seperti yang kita ketahui sebelum ia
dilaknat, Iblis merupakan seorang makhluk yang taat,
bahkan dikatakan merupakan ketua para malaikat. Apakah
karena ia atheis? Tidak. Apakah ia agnostik? Tidak.
Iblis tidak mengingkari ketuhanan Allah Swt., bahkan ia
beriman sepenuhnya bahwa Allah itu esa. Kesalahan Iblis
adalah telah membangkang perintah Allah Swt. , karena
kesombongannya ia ingkar perintah Allah Swt. untuk
sujud kepada Adam.
Didalam Al-Quran, disebutkan beberapa perilaku
Iblis yaitu membangkang (aba), menganggap dirinya hebat
(istakbara), serta melawan perintah Tuhan (fafasaqa ‘an
amri rabbihi). Secara ringkasnya, Iblis adalah
‘prototype’ terhadap diabolisme intelektual ini. Ciri
utama intelektual bermental Iblis ini adalah seperti
yang disebutkan diatas, yaitu diantaranya suka
membangkang dan membantah (walaupun dia paham, tahu,
tapi tidak pernah mau menerima kebenaran). Kemudian
bersikap takabbur (sombong, angkuh, arogan). Nabi Saw.
menjelaskan pengertian takabbur adalah menolak yang haq
dan meremehkan orang lain. Yang ketiga adalah
menyembunyikan dan mengaburkan kebenaran. Sengaja
memutarbalikkan fakta dan data, yang haq digambarkan
sebagai batil dan sebaliknya. Antara lain adalah
berwatak jahat, liar dan kurang ajar (mariidan),
menggelincirkan (istazalla), menjerumuskan (yughwi),
dan menjerumuskan orang (yudhillu).
Selebihnya tidak sulit untuk kita mengenali secara
pasti metode-metode atau pendekatan yang digunakan oleh
Iblis dan intelektual diabolik untuk menyesatkan
manusia, karena sudah dijelaskan didalam Al-Quran.
Diantaranya ialah menyusup dan mempengaruhi
(yatakhabbath), merasuki dan merusak (yanzagha),
menguasai (istahwadza), menghalangi (yashuddu),
menakut-nakutki (yukhawwif), menganjurkan (sawwala),
menggiring atau membawa (ta’uzz), meyeru (yad’u),
menjerumuskan atau menjebak (yaftinu), menjadikan yang
jahat terlihat baik (zayyanalahum a’malahum),
memperdaya dengan tipu muslihat (dhalla bil ghurur),
membuat orang lupa (yunsi), menyalakan konflik dan
kebencian (yuuqi’ul adawah wal baghdha), menyuruh
kepada maksiat (yakmuru bil fahsya wal mungkar) serta
menyuruh manusia ke arah kekafiran (qala lil-insani-
kfur). Demikianlah pendekatan-pendekatan yang digunakan
oleh intelektual bermental Iblis, untuk menyesatkan dan
mengelirukan pemikiran umat Islam. Mereka menikam agama
dan memporak-porandakan pemikiran liar diatas nama hak
asasi manusia, kebebasan bersuara, demokrasi, pembaruan
dan pencerahan. Tidak dinafikan terdapat segelintir
Muslim yang mengikuti paham-paham diatas tanpa mereka
sadari, karena ketertarikan mereka terhadap”hal yang
baru”.
Mungkin ada yang menganggap penggunaan istilah
“diabolisme” ini terlalu paranoid. Akan tetapi, itulah
hakikatnya. Kelakuan yang diselewengkan oleh umat
diatas tersebut dengan kedok intelektual ini memang
kebanyakannya bersifat demikian, tidaklah heran apabila
berkaitan dengan masalah ini karya tulis “Diabolisme
Intelektual” oleh Dr. Syamsuddin dikeluarkan, terus
mendapat respon yang keras oleh mereka yang mempunyai
paham-paham tersebut, yang mana merupakan pendukung
aliran pemikiran Islam Liberal di Indonesia.
istilah “Islam Liberal” pertama kali digunakan
oleh para penulis Barat seperti Leonard Binder, yang
menggunakan istilah ‘Islamic Liberalism’ dan Charles
Kurzman, yang menggunakan istilah ‘Liberal Islam’.
Keduanya secara tersirat memahami bahwa Islam itu
banyak, dan ‘Islam Liberal’ adalah salah satu darinya.
Pemahaman yang jelas-jelas menyimpang dari kebenaran,
dan walaupun orang Islam awam pun tahu kesalahan ini.
Islam hanya ada satu, yang banyak adalah mazhab dalam
Islam itu sendiri. Justru, ‘Islam Liberal’ ini hanyalah
satu aliran paham pemikiran baru dikalangan umat Islam,
dan tidak termasuk dalam mazhab Islam karena ia adalah
suatu pemikiran yang berupaya ‘membebaskan’ dan
menelanjangi umat Islam dari ajaran Islam yang
sesungguhnya.
Oleh sebab itu, dasar dari pemikiran Islam Liberal
ini bukanlah pemikiran Islam yang sebenarnya,
sebaliknya lebih tepat jika dikatakan pemikiran Liberal
yang ditujukan kepada Islam. Oleh karena itu, hal ini
tidak pantas disandarkan atas nama Islam. Secara
keseluruhannya, pemikiran Islam Liberal ini adalah
campuran aliran modernism dan post-moderisme, walaupun
namanya disandarkan kepada “liberal”. Walaupun begitu,
aliran post-modernisme lebih dominan dibanding
modernisme. Jadi janganlah kita terjebak dengan aliran
Liberalisme. Ciri utama aliran post-modernisme yang
terdapat dalam aliran Islam Liberal ini adalah
“deconstruction”. Semua perkara-perkara yang
fundamental tentang Islam seperti kebenaran Al-Quran,
hingga Islam itu sendiri perlu dirombak secara
keseluruhan agar memenuhi arus modernisasi zaman ini.
Dengan kata lain, inilah contoh terbaik bagi apa yang
kita sebutkan sebagai “Diabolisme Intelektual”.
Terdapat lima pondasi utama yang menjadi landasan
pemikiran Islam Liberal, yaitu; sekularisasi,
pluralisme agama, al-Quran edisi kritis, hermeneutika
dan feminisme.
1. Antara Sekularisasi dan Sekularisme
Para pendukung aliran Islam Liberal beranggapan
bahwa Sekularisasi yaitu nilai-nilai rohani dari alam
tabi’i (disenchantment of nature) tidak seperti
Sekularisme. Tokoh yang membedakan antara Sekularisasi
dan Sekularisme ini ialah Harvey Cox, seorang ahli
filsafat dari kalangan Kristen. Bahwa sekularisasi
menurut mereka adalah proses atau keadaan negara yang
tidak didasarkan kepada asas-asas agama, ataupun
bersikap netral terhadap agama, manakala sekularisme
adalah sebuah ideologi yang tertutup, juga mirip kepada
agama.
Menurut Prof Syed Naquib Al-Atas, sekalipun Cox
membedakan Sekularisasi dan Sekularisme, namun pada
akhirnya sekularisasi ini juga akan jadi
sekularisasisme. Perbedaan diantara keduanya hanya pada
unsur nilai-nilai itu sendiri, namun pada penerapannya
tidak memiliki perbedaan, terutama dari sudut
pertentangannya dengan pandangan hidup Islam. Oleh
karena itu, boleh dikatakan sekiranya kita melihat ada
pihak-pihak yang memberi pencerahan tentang perbedaan
antara sekularisasi dan sekularisme itu, tidaklah
keterlaluan apabila dikatakan sebagai para pendakwah
Islam Liberal secara sadar, ataupun golongan ‘reformis’
yang terpengaruh dengan aliran Islam Liberal secara
tidak sadar, karena hanya aliran Islam Liberal yang
mendapat manfaat dari perbedaan itu.
Kalangan orientalis seperti Arthur Jeffery dan
kawan-kawan bersemangat ingin “mengkorupsi” keotentikan
Al-Quran. Namun hingga kini tetap kokoh “Sudah tiba
saatnya sekarang untuk melakukan studi kritis terhadap
teks Al-Quran sebagaimana telah kita lakukan terhadap
kitab suci Yahudi yang berbahasa Ibrani-Arami dan kitab
suci Kristen yang berbahasa Yunani,” kutipan ini adalah
pernyataan Alphonse Mingana, seorang pendeta Kristen
asal Iraq dan mantan guru besar di Universitas
Birmingham, Inggris. Pernyataan itu ia sampaikan tahun
1927.
Mengapa pendeta Kristen yang juga orientalis ini
mengatakan seperti itu? Tentu saja, ia bukan sedang
bergurau. Pernyataan orientalis-missionaris satu ini
karena dilatarbelakangi oleh kekecewaan sarjana Kristen
dan Yahudi terhadap kitab suci mereka dan juga
disebabkan oleh kecemburuan mereka terhadap umat Islam
dan kitab suci nya Al-Quran.
Perlu diketahui mayoritas ilmuwan dan cendekiawan
Kristen telah lama meragukan otentisitas Bible. Mereka
harus menerima kenyataan pahit bahwa Bible yang ada di
tangan mereka sekarang ini terbukti bukan asli alias
palsu. Terlalu banyak campur-tangan manusia di
dalamnya, sehingga sukar untuk dibedakan mana yang
benar-benar Wahyu dan mana yang bukan.
Pernyataan ini pernah disampaikan oleh Kurt Aland
dan Barbara Aland, dalam The Text of the New Testament
(Michigan: Grand Rapids, 1995). Menurut Barbara, sampai
pada permulaan abad keempat, teks Perjanjian Baru
dikemmengembangkan secara leluasa. Yang jelas banyak
yang melakukan koreksi.
Pandangan seperti ini tidaklah sendiri. Saint
Jerome, seorang rahib Katolik Roma yang belajar teologi
juga mengeluhkan fakta banyaknya penulis Bible yang
diketahui bukan menyalin perkataan yang mereka temukan,
tetapi malah menuliskan apa yang mereka pikir sebagai
maknanya. Sehingga yang terjadi bukan pembetulan
kesalahan, tetapi justru penambahan kesalahan.
“Mereka menuliskan apa yang tidak ditemukan tapi
apa yang mereka pikirkan artinya; selagi mereka mencoba
meralat kesalahan orang lain, mereka hanya
mengungkapkan dirinya sendiri,” ujar Jerome sebagaimana
dikutip dalam The Text of the New Testament: Its
Transmission, Corruption and Restoration (1992).
Disebabkan kecewa dengan kenyataan semacam itu,
maka pada tahun 1720 Master of Trinity College, R.
Bentley, menyeru kepada umat Kristen agar mengabaikan
kitab suci mereka, yakni naskah Perjanjian Baru yang
diterbitkan pada tahun 1592 versi Paus Clement. Seruan
tersebut kemudian diikuti oleh munculnya "edisi kritis"
Perjanjian Baru hasil suntingan Brooke Foss Westcott
(1825-1903) dan Fenton John Anthony Hort (1828-1892).
Tentu saja Mingana bukan yang pertama kali
melontarkan seruan semacam itu, dan ia juga tidak
sendirian. Jauh sebelum dia, tepatnya pada tahun 1834
di Leipzig (Jerman), seorang orientalis bernama Gustav
Fluegel menerbitkan 'mushaf' hasil kajian filologinya.
Naskah yang dibuatnya itu ia namakan Corani Textus
Arabicus. Naskah ini sempat dipakai “tadarrus” oleh
aktivis Jaringan Islam Liberal (JIL). Selain Flegel,
datang Theodor Noeldeke yang berusaha merekonstruksi
sejarah Al-Quran dalam karyanya Geschichte des Qorans
(1860), sebuah upaya yang belakangan ditiru oleh Taufik
Adnan Amal, juga dari Jaringan Islam Liberal (JIL).
Kemudian muncul Theodor Noeldeke yang ingin
merekonstruksi sejarah Al-Quran dalam karyanya
Geschichte des Qorans (1860), sebuah upaya yang
belakangan ditiru oleh segelintir kaum Liberal di
Indonesia.
Juga Arthur Jeffery yang datang tahun 1937 yang
berambisi membuat edisi kritis Al-Quran, mengubah
Mushaf Utsmani yang ada dan menggantikannya dengan
mushaf baru. Orientalis asal Australia yang pernah
mengajar di American University Cairo dan menjadi guru
besar di Columbia University ini, konon ingin
merestorasi teks Al-Quran berdasarkan Kitab al-Masahif
karya Ibn Abi Dawuud as-Sijistaani yang ia anggap
mengandung bacaan-bacaan dalam ‘mushaf tandingan’ (ia
istilahkan dengan ‘rival codices’). Jeffery bermaksud
meneruskan usaha Gotthelf Bergstraesser dan Otto Pretzl
yang pernah bekerja keras mengumpulkan foto lembaran-
lembaran (manuskrip) Al-Quran dengan tujuan membuat
edisi kritis Al-Quran (tetapi gagal karena semua
arsipnya di Munich musnah saat Perang Dunia ke-II
berkecamuk), sebuah ambisi yg belum lama ini di “amini”
kan oleh Taufik Amal dari JIL. Saking antusiasnya
terhadap qira’aat-qira’aat pinggiran alias ‘nyleneh’
(Nichtkanonische Koranlesarten) Bergstraesser lalu
mengedit karya Ibn Jinni dan Ibn Khalaawayh.
Kajian orientalis terhadap kitab suci Al-Quran
tidak sebatas mempertanyakan otentisitasnya. Isu klasik
yang selalu diangkat adalah soal pengaruh Yahudi,
Kristen, Zoroaster, dan sebagainya terhadap Islam
maupun isi kandungan Al-Quran (theories of borrowing
and influence). Sebagian mereka bahkan berusaha
mengungkapkan apa saja yang bisa dijadikan bukti bagi
'teori pinjaman dan pengaruh' itu, terutama dari
literatur dan tradisi Yahudi-Kristen (semisal Abraham
Geiger, Clair Tisdall, dan lain-lain). Ada pula yang
membandingkan ajaran Al-Quran dengan adat-istiadat
Jahiliyyah, Romawi dan lain sebagainya. Biasanya mereka
katakan bahwa cerita-cerita dalam Al-Quran banyak yang
keliru dan tidak sesuai dengan versi Bible yang mereka
anggap lebih akurat.
Sikap anti-Islam ini tersimpul dalam pernyataan
negatif seorang orientalis Inggris yang banyak mengkaji
karya-karya sufi, Reynold A. Nicholson, " “Muhammad
picked up all his knowledge of this kind [i.e. Al-
Quran] by hearsay and makes a brave show with such
borrowed trappings-largely consisting of legends from
the Haggada and Apocrypha.” Tapi, bagaimanapun, segala
upaya mereka tak ubahnya bagaikan buih, timbul dan
pergi begitu saja, berlalu tanpa pernah berhasil
mengubah keyakinan dan penghormatan umat Islam terhadap
kitab suci Al-Quran, apatah lagi membuat mereka murtad.
2. Pluralisme Agama
Yang dimaksud dengan pluralisme disini adalah
paham yang menyamakan semua agama. Pemahaman ini lahir
dari sekularisme dan proses sekularisasi masyarakat
Barat. Secara ringkasnya, menurut Dr Ugi Suharto,
terdapat 4 aliran pemikiran pluralism agama yang
berkembang hingga saat ini:
1) Civil Religion
2) Global Theology
3) Transcendant Unity Of Religions(TUR)
4) Syncretism
Dua paham yang pertama lahir akibat pemahaman
sekularisme, dan dua lagi merupakan reaksi terhadap
sekularisme.
Islam pada hakikatnya mengakui keberadaan berbagai
macam agama (religios plurality), tetapi tidak kepada
kesamarataan semua agama (religious pluralism). Peranan
intelektual diabolik adalah menimbulkan kekeliruan
antara kedua-dua keadaan diatas, lantas menghilangkan
nilai-nilai terse;ubung diantara keduanya. Islam
mengajarkan umatnya ‘laa ikraaha fiddin’ dan pada masa
yang sama juga mengajarkan ‘lakum diinukum waliyadiin’.
Mengenai para penganut paham pluralism agama ini, Prof
Rajidi berkata: ‘ orang Islam yang tidak mempunyai
hubungan batin dengan Islam’. yaitu orang Islam yang
secara lahirnya tidak mau dikatakan bukan Islam, tetapi
batinnya tidak mau patuh dan tunduk kepada ajaran
Islam.
3. Reinterpretasi Al-Qur’an
Reinterpretasi Al-Qur’an ini merupakan suatu usaha
untuk menafsirkan Al-Qur’an kembali serta merubah
kandungan Al-Quran. Alasan yang sering dikemukakan
antara lain karena kitab suci ini dikatakan merupakan
refleksi dari reaksi terhadap kondisi sosial, budaya,
ekonomi, dan politik masyarakat jahiliyah pada abad ke-
7 Masehi yang primitif dan patriarkis. Bagi mereka,
teks-teks Quran yang beredar dikalangan Muslimin hari
ini mengandungi permasalahan yang memerlukan perubahan
secara kritisl. Usaha ini pada hakikatnya hanyalah
kelanjutan dari usaha-usaha Orientalis Belanda ketika
menjajah Indonesia dahulu, yang mana sebenarnya telah
menemui kegagalan. Tuduhan yang digunakan adalah
Khalifah Utsman bin Affan R.a telah membakar mushaf-
mushaf lain dengan kuasa politiknya, sehingga hanya
mushaf Utsmani sajalah yang layak beredar di dunia
Islam. Mereka juga membangkitkan permasalahan qira’ah
yang berbeda-beda. Walaupun usaha ini pada akhirnya
menemui kegagalan, namun akan menimbulkan kekeliruan
terhadap pemahaman masyakat. Inilah salah satu ciri
diabolisme, menimbulkan kekeliruan terhadap umat Islam
tentang perkara yang sudah bersandar terhadap hukum
Islam.
4. Hermeneutika
Hermeneutika, bersalah dari kata Hermeneutics,
yaitu bahasa yunani, hermeneutikos. Pada awalnya, arti
hermeneutik hanyalah bermaksud pada bahasa, sebelum
berkembang menjadi satu perkataan yang mempunyai maksud
dari sudut istilah. Awalnya, Aristotle menggunakan kata
ini untuk judul karyanya, Peri Hermenias, yang
kemudiann diterjemahkan ke dalam bahasa Latin, De
Interpretatione, yang kemudian pula diterjemahkan ke
dalam bahasa inggris, On The Interpretation.
Sebelum itu, ia terlebih dahulu diterjemahkan ke
dalam bahasa Arab oleh Al-Farabi, Fil Ibarah. Dalam
karyanya, Aristotle mengggunakan kata hermeneias hanya
membahas peranan ungkapan dalam memahami pemikiran, dan
juga pembahasan mengenai tata bahasa. Beliau langsung
tidak membicarakan permasalahan teks. Dengan kata lain,
pada awalnya, ia hanya bermaksud kepada pembahasan
bahasa saja, yaitu pada bidang penafsiran teks,
sebaliknya yang terdapat pada hari ini membincangkan
tentang kebenaran teks. Istilah hermeneutic itu
kemudiannya digunakan dalam bidang kajian penafsiran
Bible, sebelum berkembang menjadi aliran filsafat.
Secara ringkasnya, istilah hermeneutic berkembang
tidak hanya sekadar makna bahasa, namun menjadi makna
teologi, dan kemudian menjadi makna filsafat. Kata
hermeneutik digunakan oleh penganut Kristen untuk
mencari kebenaran di dalam Bible, karena bukanlah wahyu
Allah secara harfiyah, mereka dengan terpaksa membahas
penafsiran secara terperinci pada perkataan yang
digunakan di dalam Bible, karena ia sudah bercampur
dengan kalimah manusia dan tidak sesuai apabila
digunakan untuk mengkaji Al Quran karena memang sudah
diyakini bahwasannya setiap huruf dan perkataan dalam
Al Quran itu adalah wahyu Allah, setiap ejaan dieja
menurut arahan Rasulullah Saw. dipandu oleh Jibril A.s.
Oleh sebab itulah hermeneutic langsung tidak sesuai
digunakan terhadap Al Quran.
5. Feminisme
Secara ringkasnya, gerakan Feminisme Barat
bertujuan untuk menuntut persamaan lelaki dan
perempuan. Bagi aliran Islam Liberal, hal ini bertujuan
menuntut persamaan anatara laki-laki dan wanita dalam
bab hukum syari’ah, yang mana dianggap tidak adil oleh
golongan ini. Diantara isu yang dibangkitkan adalah:
1) Poligami adalah tidak sah dan mesti dinyatakan
batal secara undang-undang.
2) Pernikahan beda agama, termasuk antara Muslim dan
bukan Islam dinyatakan sah.
3) Masa ‘iddah juga untuk kaum laki-laki, selama 130
hari.
4) Istri juga boleh memberikan talak.
5) Harta warisan anak laki-laki dan perempuan
haruslah sama
Kesimpulan
Dari pemaparan diatas bisa disimpulkan bahwasannya
buku setebal 342 halaman ini menyajikan pembahasan yang
sistematis. Pada bab pertama beliau memberikan gambaran
umum tentang bagaimana posisi orientalis terhadap
kajian keislaman, mencakup Al-Quran, hadits Nabi Saw.,
teologi Islam, serta sufisme. Bab II mencakup tantangan
ideologi global, khususnya Indonesia, seperti
liberalisme, pluralisme agama, sekuralisme, feminisme
dan isu gender, legitimasi fatwa MUI, rasisme, dan
tirani di balik seni. Wacana keislaman mutakhir juga
dijelaskan secara gamblang di bab selanjutnya,
menjelaskan "senjata" kaum orientalis dalam
menghancurkan Islam. Dalam bab akhir, beliau meluruskan
statement negatif tentang sebagian ulama seperti Ibnu
Arabi dan Ibnu Sina, juga memberikan amunisi bagi
pembaca untuk mempertahankan kesehatan logika.
Buku ini menyuguhkan data-data valid dari berbagai
belahan dunia, disampaikan dengan bahasa yang lugas,
jelas dan tegas. Bukan hanya memberikan penguat berupa
Al-Quran dan hadits, buku ini juga dilengkapi
pendekatan historis, analisis filsafat, serta
perkembangan orientalis serta orientalisme itu sendiri.
Namun buku ini masih memiliki kekurangan. Di antaranya
kutipan bahasa asing seperti bahasa Inggris, Jerman,
Prancis ataupun Greek yang tidak disertai dengan
terjemahan hingga mengharuskan pembaca untuk membuka
kamus atau menggunakan google translate agar dapat
memahaminya. Namun kesulitan tersebut dapat diatasi
karena adanya kemudahan yang ditawarkan teknologi.
Sebagai buku yang merupakan upaya nyata untuk
berubah dan mengubah diri dari kondisi yang selama ini
terhegemoni oleh framework dan worldview orientalis dan
barat, tentu buku ini mendapat stigma negatif dari
berbagai kalangan, namun sangat naif bagi kita sebagai
akademisi Islam yang juga memiliki framework sebagai
pejuang di jalan Allah untuk ikut terpengaruh. Selalu
ada tantangan di setiap jalan dakwah, dan semoga kita
bukan termasuk "tantangan-tantangan" tersebut. Sebagai
muslim secara global, hendaknya kita meniatkan segala
apa yang kita lakukan untuk Allah semata, dan hendaknya
kita selalu berdoa kepada-Nya agar Dia selalu menuntun
kita untuk jadi lebih baik.