Upload
khangminh22
View
0
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
PEMANFAATAN NIRA BATANG SORGUM SEBAGAI BIOETANOL DENGAN VARIASI MASSA RAGI FERMENTASI DAN TEMPERATUR
DISTILASI Tri Rachmanto, Aspiadi, Hendry Sakke Tira*
Teknik Mesin Fakultas Teknik Universitas Mataram, Jln. Majapahit No. 62 Mataram Nusa Tenggara Barat Kode Pos : 83125, Telp. (0370) 636087; 636126; ext 128 Fax (0370) 636087. *Email: [email protected]
ARTICLE INFO
ABSTRACT
Article History: Received Accepted ailable online
As the development of the era of the need for energy sources increases, but this is not balanced with the availability of energy sources. Humans are still very dependent on fuel oil as an energy source. Petroleum is constantly being sought and taken in order to meet needs, as a result of decreasing petroleum supplies, the current energy crisis. To anticipate it, humans turn to bioenergy, the energy source produced by plants that contain lots of sugar, one of which is sorghum. This research aims to determine the effect of fermentation mass and distillation temperature as independent variables on alcohol content, specific gravity and bioethanol heating value as the dependent variable. In this study the fermentation mass used was 10 gr/l, 20 gr/l, and 30 gr/l while the distillation temperature was 70, 75, and 80
0C. Making bioethanol with sorghum juice is
done by fermentation. In the manufacturing process each sample has a volume of 1 liter with a fermentation time of 3 days. From this research it was found that alcohol content increased with increasing distillation temperature. The highest alcohol content was obtained at 98.10 % while the lowest alcohol content was 93.35 %. Specivic gravity decreased with increasing distillation temperature and inversely proportional to the alcohol content obtained. The highest specific gravity is 0.8764, while the lowest is 0.7994. Calorific value increases with increasing distillation temperature. The highest calorific value was obtained at 24222.31 J/gr while the lowest was 14326.78 J/gr.
Keywords: Shorgum Mass Of Fermented Yeast Distillation Temperature Alcohol Content Specific Gravity Calorific Value
PENDAHULUAN
Indonesia merupakan negara agraris,
kehidupan sebagian besar masyarakatnya
ditopang oleh hasil-hasil pertanian dan
pembangunan disegala bidang industri jasa
maupun industri pengolahan bahan baku
menjadi bahan jadi. Proses pembangunan di
Indonesia mendorong tumbuhnya industri yang
berbahan baku hasil pertanian (agroindustri)
(Nurdyastuti, 2008).
Salah satu jenis bahan bakar nabati
yang sudah lama dikembangkan untuk
menggantikan bahan bakar minyak (BBM)
adalah bioetanol yang dibuat dari biomassa
(tanaman) melalui proses biologi (fermentasi).
Menurut (Prihandana dan Hendroko), bioetanol
adalah etanol yang diperoleh dari proses
fermentasi bahan baku yang mengandung pati
atau gula. Bahan bakar nabati (BBN) ini
digunakan sebagai pengganti premium
(gasoline). Etanol yang dapat digunakan
sebagai bahan bakar nabati adalah alkohol
murni yang bebas air (anhydrous alcohol).
Campuran premium menghasilkan emisi gas
buang yang lebih ramah terhadap lingkungan
karena oksigennya dapat meningkatkan efisiensi
pembakaran. Bioetanol dapat dengan mudah
diproduksi dari tanaman-tanaman yang
mengandung gula. Diantaranya tetes tebu, nira
bergula, sagu, jagung dan singkong. Dari
berbagai jenis tanaman yang dapat dijadikan
sebagai sumber bahan baku bioetanol, salah
satu diantaranya adalah tanaman sorgum (Tati,
2003).
Sorgum (Sorgum bicolor L.) merupakan
salah satu jenis tanaman serealia yang
mempunyai potensi besar untuk dikembangkan
di Indonesia karena mempunyai daerah adaptasi
yang luas. Tanaman sorgum toleran terhadap
kekeringan dan genangan air, dapat berproduksi
pada lahan marginal, serta relatif tahan terhadap
gangguan hama dan penyakit. Batang sorgum
apabila diperas akan menghasilkan nira yang
rasanya manis. Kadar air dalam batang sorgum
kurang lebih 70 persen yang artinya kandungan
niranya kurang lebih sebesar itu. Batang sorgum
yang menghasilkan nira biasanya digunakan
sebagai pakan ternak belum memiliki nilai
ekonomis. Memingingat gula sorgum
mengandung kadar glukosa yang cukup besar
karena kualitas nira sorgum manis setara
dengan nira tebu dan belum dimanfaatkan
secera maksimal maka dipandang sangatlah
tepat bila dilakukan penelitian yang bertujuan
untuk mendapatkan alkohol dari nira sorgum
dengan proses fermentasi. Oleh karena itu
dilakukan penelitian ini dengan memvariasikan
massa ragi dan temperatur distilasi untuk
mendapatkan kadar etanol yang terbaik.
DASAR TEORI Sorgum
Gambar 1. Sorgum
Sorgum merupakan tanaman yang
proses budidayanya mudah dengan biaya yang
relatif murah, dapat ditanam monokultur
maupun tumpangsari, produktifitas sangat
tinggi. Selain itu tanaman sorgum lebih resisten
terhadap serangan hama dan penyakit
sehingga resiko gagal relatif kecil (Rahmi,
2007).
Rata - rata sorgum memiliki tinggi 2,6
sampai 4 meter. Pohon dan daun sorgum
sangat mirip dengan jagung. Pohon sorgum
tidak memiliki kambium. Jenis sorgum manis
memiliki kandungan yang tinggi pada batang
gabusnya sehingga berpotensi untuk dijadikan
sebagai sumber bahan baku gula sebagaimana
halnya tebu. Daun sorgum berbentuk lurus
memanjang. Biji sorgum berbentuk bulat
dengan ujung mengerucut, berukuran diameter
+ 2 mm (Rahmi, 2007
Ragi
Ragi tape adalah bahan yang dapat
digunakan dalam pembuatan tape,baik dari
singkong maupun beras ketan. Menurut
Tarigan (1988) ragi tape merupakan populasi
campuran yang tediri dari spesies-spesies
genus Aspergilius, Saccharomyces, Candida,
Hansenulla, dan bakteri Acetobacter.Genus
tersebut hidup bersamasama secara
sinergis.Aspergillus menyederhanakan tepung
menjadi glukosa serta memproduksi enzim
glukoamilase yang akan memecah pati dengan
mengeluarkan unit-unit glukosa,sedangkan
Saccharomyces, Candida dan Hansenulla
dapat menguraikan gulamenjadi alkohol dan
bermacam-macam zat organik lain sementara
itu Acetobacter dapat merombakalkohol
menjadi asam. Beberapa jenis jamur juga
terdapat dalamragi tape, antara lain
Chlamydomucor oryzae, Mucor sp, dan
Rhizopus sp.
Gambar 2. Saccharomyces Cerevisiae
Pada umumnya kisaran suhu pertumbuhan
untuk khamir adalah samadengan suhu
optimum pada kapang sekaitar 25-30 dan suhu
maksimum kirakira 35-47. Sementara itu
pertumbuhan khamir pada umumnya lebih baik
pada suasana asam dengan pH 4-4,5, dan tidak
dapat tumbuh dengan baik pada medium alkali,
kecuali jika telah beradaptasi. Khamir tumbuh
pada kondisi aerobic, tetapi yang bersifat
fermentatif dapat tumbuh secara anaerobic
meskipun lambat (Fardiaz,1992).
Saccharomyces cerevisiae merupakan
spesies yang bersifat fermentative kuat. Tetapi
dengan adanya oksigen, Saccharomyces
cerevisiae juga dapat melakukan respirasi yaitu
mengoksidasi gula menjadi karbondioksida dan
air. Kedua sistem tersebut menghasilkan energi,
meskipun yang dihasilkan dari respirasi lebih
tinggi dibandingkan dengan melalui fermentasi.
Saccharomy cescerevisiae akan mengubah
70 % glukosa di dalam substrat menjadi
karbondioksida dan alkohol, sedangkan sisanya
tanpa ada nitrogen diubah menjadi produk
penyimpanan cadangan. Produk penyimpanan
tersebut akan digunakan lagi melalui proses
fermentasi endogenous jika glukosa di dalam
medium sudah habis (Fardiaz,1992).
Nira
Nira adalah cairan yang keluar dari
pohon ataupun batang penghasil nira seperti
aren, tebu, lontar, sorgum dan tanaman
penghasil nira lainnya. Komposisi nira dari suatu
jenis tanaman dipengaruhi beberapa faktor yaitu
antara lain varietas tanaman, umur tanaman,
kesehatan tanaman, keadaan tanah, iklim,
pemupukan, dan pengairan. Demikian pula
setiap jenis tanaman mempunyai komposisi nira
yang berlainan dan umumnya terdiri dari air,
sukrosa, gula reduksi, bahan organik lain, dan
bahan anorganik. Air dalam nira merupakan
bagian yang terbesar yaitu antara 75 – 90 %.
Sukrosa merupakan bagian zat padat yang
terbesar berkisar antara 12,30 – 17,40 %. Gula
reduksi antara 0,50 – 1,00 % dan sisanya
merupakan senyawa organik serta anorganik
(Anonim, 2012a).
Fermentasi
Fermentasi adalah proses produksi
energi dalam sel dalam keadaan anaerobik
(tanpa oksigen). Secara umum, fermentasi
adalah salah satu bentuk respirasi anaerobik,
akan tetapi terdapat definisi yang lebih jelas
yang mendefinisikan fermentasi sebagai
respirasi dalam lingkungan anaerobik. Gula
adalah bahan yang umum dalam fermentasi.
Beberapa contoh hasil fermentasi adalah etanol,
asam laktat, dan hidrogen. Akan tetapi beberapa
komponen lain dapat juga dihasilkan dari
fermentasi seperti asam butirat dan aseton.
Fermentasi etanol alkohol dan CO2 oleh mikroba,
Karbohidrat akan dipecah dahulu menjadi gula
sederhana yaitu dengan hidrolisa pati menjadi
unit – unit glukosa (Fardiaz, 1988).
Etanol
Etanol, disebut juga etil alkohol, alkohol
murni, alkohol absolut, atau alkohol saja. Etanol
adalah sejenis cairan yang mudah menguap,
mudah terbakar, tak berwarna, dan merupakan
alkohol yang paling sering digunakan dalam
kehidupan sehari - hari. Senyawa ini merupakan
obat psikoaktif dan dapat ditemukan pada
minuman beralkohol dan termometer modern.
Etanol adalah salah satu obat rekreasi yang
paling tua. Etanol termasuk ke dalam alkohol
rantai tunggal, dengan rumus kimia C2H5OH dan
rumus empiris C2H6O. Etanol sering disingkat
menjadi EtOH, dengan “Et” merupakan
singkatan dari gugus etil (C2H5). Fermentasi
gula menjadi etanol merupakan salah satu
reaksi organik paling awal yang pernah
dilakukan manusia. Efek dari konsumsi etanol
yang memabukkan juga telah diketahui sejak
dulu (Wasito, 2005).
Distilasi
Distilasi adalah cara pemisahan zat cair
dari campurannya berdasarkan perbedaan titik
didih atau berdasarkan kemapuan zat untuk
menguap. Dimana zat cair dipanaskan hingga
titik didihnya, serta mengalirkan uap ke dalam
alat pendingin (kondensor) dan mengumpulkan
hasil pengembunan sebagai zat cair. Pada
kondensor digunakan air yang mengalir sebagai
pendingin.
Gambar 3. Alat distilasi sederhana
Alkohol
Alkohol sebagai hasil fermentasi tipe
anaerobik dari aktivitas khamir. Semua
organisme membutuhkan energi untuk
hidupnya yang diperoleh dari hasil
perombakan bahan pangan yang mengandung
gula. Dengan adanya oksigen beberapa
mikroorganisme mencerna glukosa, karbon
dioksida dan sejumlah besar energi yang
digunakan untuk tumbuh (Buckle et.al, 2007).
Pembentukan alkohol dilakuka dalam
kondisi anaerob oleh Saccharomyces
cereviciae yang merupakan jenis mikroba
fakultatif anaerob. Mikroba tersebut
mempunyai dua mekanisme dalam
mendapatkan energi. Jika ada udara, maka
energi atau tenaga diperoleh melalui
respirasi aerob, hal tersebut tidak digunakan
dalam pembentukan alkohol melainkan untuk
pertumbuhan dan perkembangan sel.
Sedangkan tenaga yang diperoleh melalui
respirasi anaerob sebagian digunakan untuk
pembentukan alkohol (Judoamidjojo et.al,
1990).
Tinggi rendahnya kadar alkohol yang
diperoleh sangat dipengaruhi oleh cepat
lambatnya pertumbuhan sel ragi yang
digunakan dalam fermentasi bahan. Cepat
lambatnya pertumbuhan khamir dapat
dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya
komposisi media yang digunakan sebagai
media pengembangbiakan mikroba mulai
persiapan sampai fermentasi dapat berjalan
optimum ketika pertumbuhan enzim
maksimum dan ketersediaan substrat cukup.
Suhu yang digunakan selama proses
fermentasi akan mempengaruhi mikroba yang
berperan dalam proses fermentsi. Suhu yang
baik untuk fermentasi maksimum adalah 30 °C.
Makin rendah suhu fermentasi makin banyak
alkohol yang dihasilkan, karena pada suhu
rendah fermentasi akan lebih kompleks dan
kehilangan alkohol yang dibawa gas CO2 akan
lebih sikit, pada suhu yang tinggi akan
mematikan mikroba dan menghentikan proses
fermentasi (Jaworski, 2008).
Nilai kalor Nilai kalor (heating value) merupakan
salah satu sifat dasar yang penting dari bahan
bakar yang dianggap sebagai energi dalam
bentuk kalor yang ditransfer ketika produk dari
pembakaran sempurna suatu sampel bahan
bakar didinginkan sampai temperatur mula-mula
dari bahan bakar. Nilai kalor berbanding terbalik
dengan berat jenis. Pada volume yang sama,
semakin besar berat jenis suatu minyak semakin
kecil nilai kalornya, demikian juga sebaliknya
semakin rendah berat jenis semakin tinggi nilai
kalornya. Sebagai contoh adalah berat jenis
bahan bakar diesel lebih tinggi dari pada bahan
bakar bensin sehingga nilai kalordari bahan
bakar diesel lebih rendah daripada bahan bakar
bensin (Kusuma,2010).
Nilai kalor bahan bakar dapat dibedakan
menjadi dua, yaitu nilai kalor atas dan nilai kalor
bawah.
Nilai kalor atas
Kuantitas yang dikenal sebagai nilai kalor
atas (Higher Heating Value) ditentukan dengan
cara mendinginkan hasil atau produk
pembakaran yang berupa gas panas ke
temperatur asal sebelum pembakaran dilakukan,
dimana dalam perhitungannya dilibatkan juga
kalor laten penguapan air. Pengukuran ini sering
dilakukan den gan mendinginkan produk hingga
temperatur lingkungan.
Nilai kalor bawah
Kuantitas yang dikenal sebagai nilai kalor
bawah (Lower Heating Value) ditentukan
dengan cara mengurangkan kalor laten
penguapan air dari nilai kalor atas. Perhitungan
nilai kalor bawah mengasumsikan bahwa
komponen air dari suatu proses pembakaran
tetap berada dalam keadaan uap pada akhir
proses pembakaran, yang mana hal ini
berlawanan dengan yang disebutkan pada nilai
kalor atas yang mengasumsikan bahwa
komponen air dalam proses pembakaran
kembali kedalam keadaan cair setelah terjadi
penguapan selama proses pembakaran. Nilai
kalor bawah juga mengasumsikan bahwa kalor
laten penguapan dari air dalam bahan bakar dan
produk reaksi tidak dipulihkan (Anonim 6,2012).
Brix Kadar gula (Brix) adalah total padatan
terlarut yang mengandung sukrosa, fruktosa,
dan glukosa. Terdapat hubungan antara
konsentrasi gula (dalam hal ini sukrosa) dalam
satuan brix dengan kandungan total gula
pereduksi (monosakarida: glukosa dan fruktosa).
Konsentrasi gula dalam jus berkorelasi secara
linear dengan total gula pereduksi. Ketika brix
kandungan gula mencapai lebih dari 15% maka
mungkin untuk membuat gula berada dalam
fasa cair yaitu sirup berkualitas tinggi. Pada gula
sorgum, brix kandungan gula >15% dapat
dicapai dengan mudah. Oleh karena itulah
alasan mengapa bentuk gula sorgum adalah
sirup bukan gula padat baik itu kristal seperti
gula tebu maupun gula padat seperti gula merah
aren. Untuk mengetahui nilai brix diperlukan
suatu alat ukur (Anonim, 2012b)
Starter
Starter adalah populasi mikroba dalam
jumlah dan kondisi fisiologis yang siap
diinokulasikan pada media fermentasi. Mikroba
pada starter tumbuh dengan cepat dan
fermentasi segera terjadi.Media starter biasanya
identik dengan media fermentasi. Media ini
diinokulasi dengan biakan murni dariagar miring
yang masih segar (umur 6hari). Starter baru
dapat digunakan 6 hari setelah diinokulasi
dengan biakan murni. Pada permukaan
starter akan tumbuh mikroba membentuk
lapisan tipis berwarna putih. Lapisan ini disebut
dengan nata. Volume starter disesuaikan
dengan volume media fermentasiyang akan
disiapkan. Dianjurkan volume starter tidak
kurang dari 5% volume media yang akan
difermentasi menjadi nata. Nata adalah
biomassa yang sebagian besar terdiri dari
selulosa, berbentuk agar dan berwarna putih.
Pemakaian starter yang terlalu banyak tidak
dianjurkan karena tidakekonomis, Bakteri Starter
mengandung berbagai jenis Mikroba dan Enzim
yang bekerja secara sinergiuntuk menghasilkan
asam amino, vitamin dan enzim pencernaan
yang bermanfaat bagi pertumbuhandan
kesehatan ikan/udang.
Bahan bakar
Bahan bakar adalah materi yang bisa
diubah menjadi energi. Biasanya bahan bakar
mengandung energi panas yang dapat
dilepaskan dan dimanipulasi. Kebanyakan
bahan bakar digunakan manusia melalui proses
pembakaran (reaksi redoks) dimana bahan
bakar tersebut akan melepaskan panas setelah
direaksikan dengan oksigen di udara. Proses
lain untuk melepaskan energi dari bahan bakar
adalah melalui reaksi eksotermal dan reaksi
nuklir (seperti Fisi nuklir atau Fusi nuklir).
Hidrokarbon (termasuk di dalamnya bensin dan
solar) sejauh ini merupakan jenis bahan bakar
yang paling sering digunakan manusia. Bahan
bakar lainnya yang bisa dipakai adalah logam
radioaktif (Anonim 5,2012). Secara khusus
bahan bakar didefinisikan sebagai senyawa
kimia yang terutama tersusun dari karbon dan
hidrogen yang bila direaksikan dengan oksigen
pada suhu dan tekanan tertentu akan
menghasilkan produk berupa gas dan sejumlah
energi.
Specific gravity
Specific gravity didefinisikan sebagai
perbandingan berat dari sejumlah volume bahan
bakar terhadap berat air untuk volume yang
sama pada suhu tertentu. Densitas bahan bakar
relatif
terhadap airdisebut specific gravity.
Hubungan antara specific gravity (SG)
dan densitas dapat dilihat pada persamaan
dibawah ini :
Dimana : = densitas substansi yang
diukur (kg/m3)
= densitas air (kg/m3)
Karakteristik ini berkaitan dengan
besarnya nilai kalor dan daya yang dihasilkan
oleh bahan bakar per satuan volume bahan
bakar. Specific gravity (SG) air ditentukan sama
dengan satu. Karena specific gravity adalah
perbandingan, maka specific gravity tidak
memiliki satuan. Pengukuran specific gravity
biasanya dilakukan dengan hydrometer. Specific
gravity digunakan dalam perhitungan yang
melibatkan berat dan volume (Anonim 2,2004).
METODE PENELITIAN
Tempat penelitian
Penelitian dilakukan dibeberapa tempat
yang memiliki peralatan penunjang diantaranya :
1. Laboratorium Kimia Analitik Fakultas MIPA
Universitas Mataram untuk pengujian specific
gravity dan distilasi.
2. Laboratorium Energi Baru Terbarukan (EBT)
Fakultas Teknik Universitas Mataram.
3. Laboratorium Kimia Bahan Pangan jurusan
Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak Fakultas
Peternakan Universitas Mataram.
ALAT DAN BAHAN
alat dan bahan yang digunakan dalam
penelitian ini adalah :
1. Distilasi vakum
2. Thermometer infared
3. Alcoholmeter
4. Gelas ukur
5. Refractometer
6. Timbangan digital
7. Jerigen fermentator
8. Pipet
9. Bom kalorimeter
10. Heater
11. Mesin pemeras
12. Hydrometer
13. GC (Gas Chromatography)
14. Nira sorgum
15. Ragi roti
16. Urea dan NPK
VARIABEL PENELITIAN
1. Variabel terikat
a. Kadar alcohol (%)
b. Volume alcohol (ml)
c. Specific gravity
d. Nilai kalor (J/gr)
2. Variabel bebas
a. Variasi massa ragi pada proses
fermentasi untuk pembuatan bioetanol
yakni dengan variasi 10 gr/l, 20 gr/l, dan
30 gr/l.
b. Variasi temperatur pada proses distilasi
untuk pembuatan bioetanol yakni dengan
variasi 70 °C, 75 °C, dan 80 °C ±2 °C.
PROSEDUR PENELITIAN
1. Pemerasan sorgum
Sebelum melakukan proses pemerasan,
terebih dahulu batang sorgum dibersihkan
daunnya. Setelah semua daun pada batang
sorgum bersih maka batang sorgum siap untuk
diperas. Proses pemerasan dilakukan
menggunakan mesin pemeras. Setelah itu nira
hasil perasan dari batang sorgum difilter
menggunakan filter air untuk mengurangi
kotoran pada nira.
2. Penentuan brix
Nira hasil perasan batang sorgum
dipanaskan menggunakan kompor dengan
temperatur 80-90 °C hingga diperoleh brix 16%.
Digunakan refraktometer untuk mengetahui
bahwa nira yang dimasak sudah mencapai brix
16%. Selain untuk menaikkan brix pemanasan
ini juga bertujuan untuk membunuh bakteri yang
ada pada nira sorgum.
3. Pembuatan starter
Membuat starter sebanyak 10 % dari
volume sampel yang akan difermentasi.
Kemudian ditambahakan Urea dan NPK masing-
masing 0,5 gr/l dan 0,6 gr/l. Kemudian
ditambahkan variasi massa ragi masing -
masing sebanyak 10 gr/l, 20 gr/l dan 30 gr/l.
Setelah itu masukkan starter ke dalam botol
untuk dikocok sampai semua campuran benar -
benar tercampur dan starter tersebut dibiarkan
dalam keadaan aerob selama 12 jam.
4. Pencampuran
0
5
10
15
20
0 2 4 6 8 10 12
Bri
x (
%)
Waktu (Jam)
Grafik Hubungan Waktu Starter
Dengan Brix
massa ragi 10
massa ragi 20
massa ragi 30
Nira sorgum yang telah disesuaikan kadar
padatannya (brix) dan beratnya, dicampurkan
dengan starter yang telah dibuat. Untuk satu
variasi ragi menggunakan 1 buah jrigen
fermentor dimana masing-masing jrigen berisi 3
liter nira sorgum dan dicampurkan dengan
masing-masing starter yang telah dibuat.
5. Proses fermentasi
Fermentasi dilakukan secara annaerob
(tanpa oksigen) menggunakan temperatur
ruangan antara 23-33 °C, dimana proses
fermentasi ini akan berlangsung selama 3 hari
dan dalam keadaan anaerob. Dilakukan
mengukuran brix pada hari ke-3 untuk melihat
brapa % gula yang telah diuraikan menjadi
alkohol.
6. Proses distilasi
Pada proses distilasi menggunakan
variasi temperatur 70 °C, 75 °C dan 80 °C.
Diagram alir penelitian
HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Starter Starter merupakan bahan tambahan yang
digunakan pada tahap awal proses fermentasi.
Starter merupakan biakan mikroba tertentu yang
ditumbuhkan di dalam substrat atau medium
untuk tujuan proses fermentasi. Fungsi starter
itu sendiri adalah untuk biakan mikroorganisme
yang akan mempercepat proses fermentasi
berlangsung dalam keadaan anaerob.
Tabel 1. Hubungan waktu starter dengan brix
waktu
(jam)
massa ragi
10 (Gram)
massa ragi
20 (Gram)
massa
ragi 30
(Gram)
0 16 16 16
2 11 11 10
4 6 6 5
6 5 5 5
8 5 5 5
10 5 5 5
12 5 5 5
Gambar 4. Hubungan waktu starter dengan brix Dari Gambar 4. bisa dilihat penurunan
brix selang waktu 2 jam, pada 2 jam pertama
dan kedua terjadi penurunan brix secara
signifikan dan 2 jam selanjutnya sampai
mencapai waktu starter yang telah ditentukan
yaitu 12 jam tidak terjadi penurunan brix
disebabkan karena mikroba mampu memakan
gula sampai titik itu yaitu 5 %. Untuk massa ragi
yang digunakan pada penelitian ini tidak terlalu
berpengaruh terhadap penurunan brix, karena
terlihat pada tabel 4.1 dan gambar 4.1
perbedaan penurunan atua perubahan brix yang
diamati selama 12 jam tidak terlalu signifikan.
2. Penentuan kadar alcohol Untuk lebih jelasnya hasil pengujian
pengaruh temperatur distilasi terhadap
konsentrasi alkohol pada massa ragi 10 gram,
20 gram dan 30 gram dapat kita lihat pada tabel
di bawah ini :
Tabel 2. Hubungan konsentrasi alkohol dengan
temperatur distilasi dan
massa ragi
Temperatur
(°C)
Massa Ragi
(gram)
Kadar
Alkohol
(%)
70 10 93,35
75 10 97,29
80 10 98,10
70 20 96,64
75 20 97,53
80 20 97,78
70 30 97,10
75 30 97,88
80 30 97,91
Gambar 5. Hubungan konsentrasi alkohol
dengan massa ragi dan temperatur distilasi
Alkohol diperoleh melalui fermentasi
karbohidrat dengan bantuan katalis (ragi).
Dimana selama proses tersebut sekumpulan
bakteri yang terdapat didalam ragi yaitu
Saccharomyces cereviciae akan menguraikan
karbohidrat menjadi glukosa yang kemudian
glukosa diuraikan menjadi alkohol yang
merupakan salah satu dari produk fermentasi
yang kita harapkan dalam panelitian ini. Setelah
proses fermentasi selesai dilakukan ke tahap
berikutnya yaitu distilasi. Dimana pada proses
distilasi ini pemisahan 2 jenis zat yaitu air dan
alkohol dengan cara dipanaskan pada
temperatur yang telah ditentukan.
Dari Gambar 5. ditujukkan bahwa
seiring bertambahnya temperatur distilasi atau
mendekati titk didih alkohol yaitu 78 °C maka
kadar alkohol yang dihasilkan semakin tinggi
dengan menggunakan massa ragi 10 gram, 20
gram dan 30 gram. Pada penelitian ini bisa
dilihat bahwa kadar alkohol tertinggi yang
dihasilkan adalah 98,10 % pada temperatur
30
35
40
45
50
55
5 15 25 35
Vo
lum
e A
lko
ho
l (m
l)
Massa ragi (gram)
Grafik Hubungan Volume
alkohol dengan massa ragi dan
temperatur distilasi
T 70
T 75
T 80
distilasi 80 oC dengan menggunakan massa ragi
10 gram seperti apa yang ditujukkan pada
gambar di atas. Pada penelitian sebelumnya
yang meneliti tentang Analisa Pengaruh Lama
Fermentasi Dan Temperatur Distilasi Terhadap
Sifat Fisik (Specific Gravity Dan Nilai Kalor)
Bioetanol Berbahan Baku Nanas (Comosus)
mendapatkan kadar alkohol tertinggi yaitu
76,03 % dengan waktu fermentasi 9 hari dan
temperatur distilasi 60 °C (Sutanto R dkk,2013).
Kadar alkohol pada penelitian ini lebih tinggi
daripada kadar alkohol yang didapatkan pada
penelitian sebelumnya, disebabkan karena pada
penelitian ini menggunakan ragi fermipan,
sedangkan pada penelitian sebelumnya yang
menggunakan ragi tape. Ragi fermipan adalah
ragi yang mudah larut dan tercampung dengan
nira saat fermentasi dan lebih cendrung
mengubah gula menjadi alkohol yang terdapat
pada nira, sedangkan ragi tape sulit larut dan
tercampur pada saat fermentasi karena ragi
tape cendrung digunakan untuk fermentasi
bahan padat yang banyak mengandung
karbohidrat.
Dari Gambar 5. terdapat garis putus-
putus yang menunjukkan kadar alkohol 99,5%
dan 80 %, yang mana kadar alkohol 99,5 %
sudah memenuhi standar untuk bahan bakar
motor, sedangkan kadar alkohol 80 %
merupakan standar untuk bahan bakar kompor
rumah tangga (Sri dkk, 2011) (Litya1 J dan
Iskandar R1, 2014). Pada penelitian ini kadar
alkohol tertinggi yang dihasilkan <99,5 %, jadi
belum bisa digunakan sebagai bahan bakar
untuk kendaraan. Tetapi sudah memenuhi untuk
standar bahan bakar kompor rumah tangga,
karena kadar alkohol yang diperoleh pada
penelitian ini rata-rata >80 %.
Pada penelitian ini bisa disimpulkan
bahwa massa ragi tidak terlalu berpengaruh
terhadap kadar alkohol karena berapapun
massa ragi yang digunakan antara 10 gr, 20 gr
dan 30 gr akan menghasilkan kadar alkohol
yang tinggi dengan menggunakan temperatur
distilasi 80 °C.
3. Penentuan volume alkohol Tabel 3. Hubungan volume alkohol dengan
massa ragi dan temperatur distilasi
Temperatur
(°C)
Massa Ragi
(gram)
Volume
Alkohol
(ml)
70 10 45
75 10 42
80 10 41
70 20 45
75 20 40
80 20 38
70 30 53
75 30 50
80 30 49
Gambar 6 Hubungan volume alkohol dengan
massa ragi dan temperatur distilasi
Dari Gambar 6. dapat dilihat bahwa
semakin rendah temperatur yang digunakan
pada saat proses distilasi maka semakin tinggi
volume alkohol yang dihasilkan, hal ini juga
berhubungan dengan kadar alkohol yang
dihasilkan karena semakin tinggi kadar alkohol
maka semakin rendah volume alkoholnya
disebabkan karena pada temperatur <80 (°C)
waktu yang dibutuhkan untuk distilasi semakin
lama untuk memperoleh alkohol. Hal ini
juga disebabkan dengan semakin banyaknya
kadar air yang ikut menguap pada saat proses
distilasi karena, dengan temperatur <80 (°C)
akan menambah kadar air disebabkan karena
semakin lamanya waktu distilasi. Pada gambar
di atas bisa dilihat volume alkohol tertinggi
adalah 53 ml pada temperatur distilasi 70 (°C)
dengan massa ragi 30 gram. Dapat disimpulkan
bahwa jika ingin mendapatkan volume alkohol
yang tinggi maka harus menggunakan massa
ragi 30 gr dan distilasi dengan temperatur
<80 °C tapi dengan kadar alkohol yang
dihasilkan rendah. Sebaliknya jika yang
diinginkan kadar alkohol yang tinggi maka
gunakan temperatur distilasi 80 °C dengan
volume yang dihasilkan rendah.
4. Perhitungan Spesific Gravity Perhitungan untuk data pengujian
bioetanol dengan massa ragi fermentasi 10
gram dan temperatur distilasi 70 °C adalah
sebagai berikut :
Diketahui:
Massa alkohol (m) = 23,9439 gr
Volume alkohol (v) = 30 ml
Massa aquades (ma) = 27,3180 gr
Volume aquades (va) = 30 ml
Temperatur aquades= 25 °C
= 0,7981 gr/ml
= 0,9186 gr/ml
= 0,8764
Tabel 4. Nilai densitas alkohol dan specific
gravity pada tiap variasi massa ragi dan
temperatur distilasi
Temperatur
(°C)
Massa
Ragi
(gram)
Densitas
Alkohol
(gr/ml)
Spesific
Gravity
70 10 0,7981 0,8764
75 10 0,7598 0,8344
80 10 0,7280 0,7994
70 20 0,7614 0,8361
75 20 0,7574 0,8317
80 20 0,7563 0,8305
70 30 0,7528 0,8349
75 30 0,7525 0,8264
80 30 0,7523 0,8261
𝜌 23,9439 𝑔𝑟
30 𝑚𝑙
𝜌𝑎 27,3180 𝑔𝑟
30 𝑚𝑙
𝑆𝐺 0,7981 𝑔𝑟/𝑚𝑙
0,9106 𝑔𝑟/𝑚𝑙
Gambar 7. Hubungan massa ragi dan
temperatur distilasi terhadap spesific gravity
alkohol
Dari Gambar 7. bisa dilihat bahwa
semakin tinggi temperatur distilasi maka specific
gravity semakin rendah. Hal ini disebkan karena
pada temperatur distilasi 80 °C kadar alkohol
yang dihasilkan semakin tinggi, semakin
tingginya kadar alkohol maka semakin rendah
kadar air yang terdapat di dalam alkohol
tersebut. Hal ini berpengaruh pada perhitungan
densitas alkohol ( ), semakin rendah kadar air
yang terdapat di dalam alkohol maka massa
alkohol semakin rendah. Semakin rendahnya
massa alkohol inilah yang menyebabkan
spesific gravitynya semakin rendah. Untuk
massa ragi tidak terlalu bepengaruh karena
menggunakan massa ragi berapapun antara 10
gr, 20 gr dan 30 gr dengan temperatur yang
tinggi yaitu 80 °C akan mendapatkan spesific
gravity yang rendah, sebaliknya jika
menggunakan temperatur yang rendah maka
terlihat jelas spesific gravitynya tinggi. Hal ini
desebabkan karena kadar alkohol yang
dihasilkan pada saat distilasi menggunakan
temperatur yaitu 70 °C dan 75 °C lebih rendah.
Dari Gambar 7. juga dapat dililihat
terjadi penurunan spesific gravity seiring
bertambahnya kadar alkohol, pada temperatur
distilasi 70 °C terjadi penurunan spesific gravity
yang signifikan disebabkan karena peningkatan
kadar alkohol yang diperoleh dari massa ragi 10
gram ke 20 gram, sedangkan pada massa ragi
30 gram kadar alkohol yang dihasilkan
mendekati massa ragi 20 gram, jadi
perbedaannya tidak terlihat. Pada temperatur
distilasi 75 °C perubahan spesific gravity tidak
terlalu terlihat pada gambar, karena perbedaan
kadar alkohol yang diperoleh tidak jauh berbeda
atau nilainya mendekati satu sama lain.
Sedangkan pada temperatur distilasi 80 °C
terjadi peningkatan nilai spesific gravity dari
massa ragi 10 gram ke 20 gram yang sangat
signifikan, karena penurunan kadar alkohol, dan
akan turun lagi pada massa ragi 30 gram seiring
peningkatan kadar alkohol.
Pada penelitian ini bisa disimpulkan
bahwa nilai spesific grafity berbanding terbalik
dengan kadar alkohol yang dihasilkan.
5. Penentuan Nilai Kalor
Temperatur
(°C)
Massa
Ragi
(gram)
Nilai
Kalor
(cal/gr)
Nilai
Kalor
(J/gr)
70 10 1784 7464,256 75 10 2286 9564,624 80 10 3011 12598,024
70 20 2178 9112,752
75 20 2361 9878,424
80 20 2323 9719,432
70 30 2242 9380,528
75 30 2429 10162,936 80 30 2540 10627,360
0,78
0,8
0,82
0,84
0,86
0,88
0,9
0 20 40
Sp
esif
ic G
ravit
y
Massa Ragi (gram)
Grafik hubungan massa ragi
dan temperatur distilasi
terhadap spesific gravity
alkohol
T 70
T 75
T 80
Gambar 8. Hubungan massa ragi dan temperatur distilasi terhadap nilai kalor Dari Gambar 8. dapat dilihat bahwa nilai kalor
tertinggi terdapat pada alkohol dengan
menggunakan massa ragi 10 gram dan
temperatur distilasi 80 °C dan yang terendah
adalah dengan variasi massa ragi 10 gram dan
temperatur distilasi 70 °C . Nilai kalor akan
semakin naik seiring dengan bertambahnya
temperatur distilasi, karena pada temperatur
80 °C kadar alkohol yang dihasilkan semakin
tinggi. hal ini secara tidak langsung telah
menunjukkan bahwa bioetanol yang memiliki
kadar alkohol yang lebih tinggi cendrung akan
melepaskan panas yang lebih besar jika
dibandingkan dengan bioetanol dengan kadar
yang lebih rendah. Seperti yang telah dijelaskan
sebelumnya bahwa nilai kalor berbanding
terbalik dengan berat jenis. Bisa disimpulkan
bahwa semakin tinggi kadar alkohol maka
semakin rendah berat jenisnya dan semakin
tingginya nilai kalor.
Dari hal tersebut di atas sekiranya
dapat dipahami bahwa nilai kalor dipengaruhi
oleh faktor-faktor yang juga mempengaruhi
kadar alkohol, contohnya, pada penelitian ini
adalah massa ragi fermentasi dan temperatur
distilasi. Namun yang perlu diperhatikan dalam
hal ini adalah temperatur distilasinya, karena hal
ini memiliki hubungan dengan jumlah etanol
yang dihasilkan, dimana semakin rendah
temperatur semakin tinggi pula jumlah etanol
yang diperoleh, tetapi kadarnya semakin rendah,
oleh karena itu nilai kalornya juga akan rendah.
Dari Gambar 8. terdapat garis putus-
putus yang menunjukkan nilai kalor premium
dan alkohol murni. Pada penelitian ini nilai kalor
tertinggi yang diperoleh adalah 24222,31
J/gram mendekati nilai kalor alkohol murni yaitu
29288 J/gram (Mulyono and Suseno, 2010).
Tetapi masih jauh dengan nilai kalor premium
yaitu 48000 J/gram (Putri 2016). Seperti yang
sudah dijelaskan alkohol yang diperoleh pada
penelitian ini bisa digunakan sebagai bahan
kompor rumah tangga dengan melihat nilai kalor
yang mendekati alkohol murni dan standar
kadar alkohol untuk kompor adalah <80 %. Jadi
bisa disimpulkan bahwa rata-rata kadar alkohol
yang diperoleh pada penelitian ini sudah bisa
digunakan sebagai bahan bakar kompor rumah
tangga.
Dari Gambar 8. juga dapat dilihat
penurunan nilai kalor seiring semakin rendahnya
kadar alkohol yang diperoleh, dari massa ragi 10
gram ke 20 gram penurunannya terlihat
signifikan kemudian meningkat lagi pada massa
ragi 30 gram dengan temperatur distilasi 80 °C.
Pada temperatur distilasi 75 °C peningkatan nilai
kalor tidak signifikan, disebabkan karena
perbedaan kadar alkohol pada temperatur ini
tidak terlalu jauh. Pada temperatur 70 °C terjadi
peningkatan nilai kalor seiring dengan
meningkatnya kadar alkohol dari massa ragi 10
gram ke massa ragi 20 gram, sedangkan dari
massa ragi 20 gram ke 30 gram peningkatannya
tidak terlalu terlihat disebabkan keran
perbedaan kadar alkoholnya tidak signifikan.
Seperti yang sudah dijelaskan nilai kalor
berbanding lurus dengan kadar alkohol yang
diperoleh, nilai kalor akan meningkat seiring
dengan meningkatnya kadar alkohol.
Kesimpulan dan Saran 1. Kesimpulan
Dari hasil penelitian yang telah
dilakukan dapat disimpulkan sebagai berikut:
Kadar etanol tertinggi yang didapatkan
adalah sebesar 98,10 % dengan
menggunakan massa ragi 10 gram dan
temperatur distilasi 80 °C.
Volume etanol tertinggi adalah 53 ml dengan
menggunakan massa ragi 30 gram dan
temperatur distilasi 70 °C.
Ragi juga berpengaruh terhadap peningkatan
volume etanol tetapi nilai kalor akan
berkurang.
Kadar etanol yang dihasilkan tidak terlalu
berpengaruh dengan massa ragi yang
digunakan, karena dengan temperatur
distilasi 80 °C akan menghasilkan kadar
etanol yang tinggi menggunakan ragi 10
gram, 20 gram, dan 30 gram.
Nilai spesific gravity yang diperoleh
berbanding terbalik terhadap kadar etanol
yang didapatkan, karena semakin tinggi
kadar etanol maka semakin rendah nilai
spesific gravity.
Nilai kalor tertinggi yang diperoleh pada
penelitian ini adalah 12598,024 J/gr dan
yang terendah 7464,256 J/gr.
2. Saran
Diharapkan pada penilitian selanjutnya
agar menggunakan bahan lain yang
mengandung gula cukup tinggi dan mempunyai
nilai ekonomis sebagai bahan baku untuk
pembuatan bioetanol agar nantinya bisa
dibandingkan dengan penelitian ini.
DAFTAR PUSTAKA
Akhir, Y.M., Chairul, & Drastinawati. 2015. Pembuatan Bioetanol Dari Fermentasi Nira Aren (Arenga Pinata) Menggunakan Yeast Saccharomyces Cerevisiae Dengan Pengaruh Variasi Konsentrasi Nutrisi Dan Waktu Fermentasi. JOM FTEKNIK, Vol. 2 No. 1, p. 1-4.
Anonim, 2012a. Nira Aren.
(http://gulasemutaren.blogspot.com) Akses tanggal 22 Oktober 2018.Mataram.
Anonim, 2012b. Pengertian Brix.http: pemurnian-
nira-di-pabrik-gula Akses tanggal 22 februari 2012.Makassar.
Anonim 5, 2012, Bahan bakar berdasarkan fasenya,http://id.wikipedia.org/wiki/Bahan bakar.
Anonim 2, 2004,Bahan bakar dan pembakaran,www.energyefficiencya sia.org.
Buckle, K.A., R.A. Edwards, G.H. Fleet dan M. Wotton, 1987. Ilmu Pangan. Penerjemah H Purnomo dan Adiono. UI – Press, Jakarta.
Fardiaz, S., 1992, Mikrobiologi Pangan 1, Jakarta: PT. Gramedia Utama Pustaka, hal 62, 105, 110, 245, 246, dan 235.
Judoamidjojo, RM., E.G. Sa’id, dan L.Hartoto. 1989. Biokonversi. Bogor: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Dirjen Dikti, Pusat Antar Universitas Bioteknologi Institut Pertanian Bogor.
Kartini, A.M., & Pandebesie, E.S. (2016). Produksi Bioetanol Dari Batang Sorghum Bicolor (L.) Moench Dengan Saccharomyces Cerevisiae Dan Konsorsium S. Cerevisiae-Pichia Stipites. Jurnal Purifikasi, vol. 16, No. 2. p. 119-127.
Khodijah, S., & Abtokhi, A., 2015. Analisis Pengaruh Variasi Persentase Ragi (Saccharomyces Cerevisiae) Dan Waktu Pada Proses Fermentasi Dalam Pemanfaatan Duckweed (Lemna Minor) Sebagai Bioetanol, Jurnal Neutrino, Vol. 7 No. 2, p. 71-76.
Maimuna, S., 2004, Pengaruh interaksi variasi suhu dan lama fermentasi terhadap kadarglukosa dan kadar alkohol tape ketan hitam, Malang:Skripsi tidak diterbitkan. Jurusan Biologi Fakultas Sains dan TeknologiUniversitas Islam Negeri Malang.
Nowak, J., 2008, Ethanol Yield and Productivity of Zymomonas mobilis in Various Fermentation Methods, Electronic Journal of Polish Agricultural Universities, Vol. 3, No. 2 seri Food Science and Technology.
Nurydastuti,I. 2008. Prospek Pengembangan bioufel sebagai substiutsi bahan bakar minyak.Http://www.sinarharapan.com.
Rahmi, Syuryawati, Zubachtirodin. 2007. Teknologi Budidaya Gandum. Balai Penelitian Tanaman Serealia.Maros.
Sutanto, R., Jaya, H., & Mulyanto, A. (2013). Analisa Pengaruh Lama Fermentasi Dan Temperatur Distilasi Terhadap Sifat Fisik (Specific Gravity Dan Nilai Kalor) Bioetanol Berbahan Baku Nanas (Ananas Comosus. Dinamika Teknik Mesin, Volume 3 No. 2. p.91-99.
Tarigan, J., 1988, Pengantar Mikrobiologi Umum, Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Proyek Pengembangan Lembaga Pendidikan Tenaga Pendidikan.
Tati, Nurmala, S.W. 2003. Serealia Sumber Karbohidrat Utama. Rineka Cipta. Jakarta.
Volk, Wesley A., 1993, Mikrobiologi Dasar, edisi ke-5, Erlangga, Jakarta.
Wasito. 2005. Proses Pembuatan Etanol. Http://www.suaramerdeka.co.id. Diakses tanggal 17 nov 2012. Makassar
Wijaya, K., Bagus I Gusti, 2010. Pengolahan sampah organik menjadi etanol dan pengujian sifat fisika Biogasoline.
Zely, F.D. 2014. Pengaruh Waktu Dan Kadar Saccharomyces Cerevisiae Terhadap Produksi Etanol Dari Serabut Kelapa Pada Proses Sakarifikasi Dn Fermentasi Simultan Degan Enzim Selulase, Universitas Bengkulu.
Zenius, A., 2016. Analisa Bioetanol Dari Nira Aren Menggunakan Destilasi Fraksinasi Ganda Sebagai Bahan Bakar. Kendari: Universitas Halu Oleo.