52
Mengapa Undang-Undang Kehutanan Perlu Direvisi? Argumentasi Kritis Terhadap Dampak Penerapan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan Diterbitkan Oleh: Koalisi untuk Perubahan Kebijakan Kehutanan 2007 Diterbitkan Oleh: Koalisi untuk Perubahan Kebijakan Kehutanan 2007 Koalisi untuk Perubahan Kebijakan Kehutanan Sekretariat: Jl. Jati Agung No. 8, Jatipadang - Pasar Minggu Jakarta 12540 Tlp. +62 (21) 788 45871, 780 6959 Fax. +62 (21) 780 6959 E-mail. [email protected], [email protected] Homepage. http://www.huma.or.id Penerbit: Kajian ini merupakan salah satu dokumen yang dipersiapkan dalam rangka mengusulkan perubahan terhadap Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (UU Kehutanan). Dari segi tahapan, kajian ini dilahirkan setelah pelaksanaan serial diskusi disejumlah daerah yang diselenggarakan oleh Perkumpulan untuk Pembaharuan Hukum Berbasis Masyarakat dan Ekologis (HuMa) beserta mitra-mitra lokalnya. Peserta serial diskusi tersebut adalah kalangan masyarakat, Pemerintah Daerah dan aktivis Organisasi Non-Pemerintah (Ornop). Hasil-hasil diskusi tersebut menjadi bahan penting bagi penyusunan kajian ini. Dari segi fungsi kajian ini sendiri menyediakan konstruksi argumentasi bagi usulan perubahan atau revisi atas UU Kehutanan. Bukan sekedar menyediakan konstruksi argumentasi, kajian ini bahkan sudah mencoba mengusulkan materi perubahan terhadap UU Kehutanan. Dengan demikian, beberapa bagian dari kajian ini akan sangat potensial menjadi bahan bagi penyusunan Naskah Akademik atau rancangan revisi Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999.

2007-12 Mengapa UU Kehutanan Perlu Direvisi

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: 2007-12 Mengapa UU Kehutanan Perlu Direvisi

Mengapa Undang-Undang Kehutanan

Perlu Direvisi?Argumentasi Kritis Terhadap Dampak Penerapan

Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan

Diterbitkan Oleh:Koalisi untuk Perubahan Kebijakan Kehutanan

2007

Diterbitkan Oleh:Koalisi untuk Perubahan Kebijakan Kehutanan

2007

Koalisi untuk Perubahan Kebijakan KehutananSekretariat:Jl. Jati Agung No. 8, Jatipadang - Pasar Minggu Jakarta 12540Tlp. +62 (21) 788 45871, 780 6959 Fax. +62 (21) 780 6959E-mail. [email protected], [email protected]. http://www.huma.or.id

Penerbit:

Kajian ini merupakan salah satu dokumen yang dipersiapkan dalam rangka mengusulkan perubahan terhadap Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (UU Kehutanan). Dari segi tahapan, kajian ini dilahirkan setelah pelaksanaan serial diskusi disejumlah daerah yang diselenggarakan oleh Perkumpulan untuk Pembaharuan Hukum Berbasis Masyarakat dan Ekologis (HuMa) beserta mitra-mitra lokalnya.

Peserta serial diskusi tersebut adalah kalangan masyarakat, Pemerintah Daerah dan aktivis Organisasi Non-Pemerintah (Ornop). Hasil-hasil diskusi tersebut menjadi bahan penting bagi penyusunan kajian ini. Dari segi fungsi kajian ini sendiri menyediakan konstruksi argumentasi bagi usulan perubahan atau revisi atas UU Kehutanan. Bukan sekedar menyediakan konstruksi argumentasi, kajian ini bahkan sudah mencoba mengusulkan materi perubahan terhadap UU Kehutanan. Dengan demikian, beberapa bagian dari kajian ini akan sangat potensial menjadi bahan bagi penyusunan Naskah Akademik atau rancangan revisi Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999.

Page 2: 2007-12 Mengapa UU Kehutanan Perlu Direvisi

i

Mengapa Undang-Undang Kehutanan Perlu Direvisi?Mengapa Undang-Undang Kehutanan Perlu Direvisi?Mengapa Undang-Undang Kehutanan Perlu Direvisi?Mengapa Undang-Undang Kehutanan Perlu Direvisi?Mengapa Undang-Undang Kehutanan Perlu Direvisi?Argumentasi Kritis Terhadap Dampak Penerapan

Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan

Page 3: 2007-12 Mengapa UU Kehutanan Perlu Direvisi

ii

Penyusun

Rikardo SimarmataAndikoAsep Yunan FirdausRatih ChandradewiDidin Suryadin

Diterbitkan Oleh

Koalisi untuk Perubahan Kebijakan Kehutanan

Design Cover & Layout

Tim HuMa

Cetakan Pertama, Desember 2007

ISBN: 978-979-17572-0-1

Mengapa Undang-Undang Kehutanan Perlu Direvisi?

Argumentasi Kritis Terhadap Dampak PenerapanUndang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan

Publikasi ini diterbitkan oleh Koalisi untuk Perubahan Kebijakan Kehutanan(KPKK) atas dukungan dari Rainforest Foundation Norway. Opini yangdiekspresikan oleh penulis/pembuatnya di sini bukan merupakan cerminanataupun pandangan dari Rainforest Foundation Norway.

Page 4: 2007-12 Mengapa UU Kehutanan Perlu Direvisi

iii

Kata Pengantar

Tidak terhitung buku, paper, maupun media informasi dan pengetahuan lainnyayang menyajikan fakta-fakta dan data mengenai penderitaan komunitas-komunitasmaupun masyarakat adat dan local yang hidup di dalam dan di sekitar kawasanhutan Negara, yang disebabkan oleh model pengelolaan hutan yang dikendalikansecara terpusat oleh Pemerintah. Hampir semua sepakat bahwa praktek state-based forest management di negeri ini tidak memberdayakan dan melibatkanmasyarakat, jika tidak ingin disebut sebagai model pengelolaan yang menyebabkankemiskinan, kerusakan lingkungan, deforestasi, dan konflik sosial yangberkepanjangan.

Buku yang sekarang sedang berada di tangan para pembaca semua, berisi faktadan data yang disertai analisa hukum dan kebijakan mengenai kehutanan, dandisengaja untuk diterbitkan untuk memperkaya informasi lapangan seputar konflikdan dampak yang berkait erat dengan isu kehutanan. Buku juga merupakan bagiandari agenda kampanye dan advokasi untuk mendorong perubahan kebijakankehutanan (khususnya UU Kehutanan No.41/1999) yang diusung oleh Koalisiuntuk Perubahan Kebijakan Kehutanan (KPKK). Mengapa perlu dan harus adaperubahan UU Kehutanan ? Sejumlah alasan akan diulas di dalam buku ini, tetapialasan utamanya adalah UU Kehutanan dan berbagai peraturan turunannya,dianggap sebagai penyebab munculnya dampak-dampak negative yang dialamioleh komunitas-komunitas dan masyarakat adat dan local yang hidup di dalamdan di sekitar kawasan hutan Negara. Rupa dari dampak itu tidak saja berbentukfisik seperti kerusakan lingkungan, deforestasi, tergusurnya hak-hak ulayat atashutan, tetapi juga menyangkut soal martabat kemanusiaan mereka. Oleh karenaitu, desakan perubahan kebijakan kehutanan bukan merupakan agenda aktivissemata, tetapi justru merupakan tuntutan dari massa grassroot korban kebijakankehutanan.

Terwujudnya buku ini tidak lepas dari kontribusi tak terhingga dari berbagai pihakutamanya komunitas-komunitas maupun masyarakat adat dan local yangberperan aktif dalam rangkaian diskusi dan dialog mengenai dampak-dampakpenerapan UU Kehutanan No.41/1999, fasilitator lapangan, Mitra-Mitra Ornopdi daerah (Pontianak, Sanggau, Semarang, Wonosobo, Banyumas, Palu, Padang,Palopo, Bogor, Lebak) yang dengan serius mengumpulkan, mengelola danmendiskusikan berbagai temuan dampak-dampak negative dari penerapan UUKehutanan. Selain itu, ucapan terima kasih patut dihaturkan kepada rekan-rekanaktivis di Koalisi untuk Perubahan Kebijakan Kehutanan (KPKK) yang turutmengkritisi isi dari buku ini sebelum terbit, serta rekan-rekan staf huma (sekaligusberfungsi sebagai secretariat KPKK) yang telah memfasilitasi berbagai aktivitasKPKK. Rasanya sulit merealisasikan penerbitan buku ini tanpa kontribusi semuapihak tersebut.

Page 5: 2007-12 Mengapa UU Kehutanan Perlu Direvisi

iv

Akhir kata, semoga buku ini memberi informasi yang bermanfaat khususnya bagipara pengambil kebijakan di sector kehutanan (pemerintah dan parlemen),maupun masyarakat secara luas.

Selamat membaca,

Jakarta, Desember 2007

Page 6: 2007-12 Mengapa UU Kehutanan Perlu Direvisi

v

Daftar Isi

Kata Pengantar .......................................................................

Daftar Isi ...................................................................................

I. Pengantar .......................................................................

1.1. Kedudukan dan Fungsi ...............................................

II. Analisis Tekstual Terhadap Undang-Undang Kehutanandan Peraturan Pelaksananya .........................................

2.1. Undang-Undang Kehutanan Baru dan Perbandingannyadengan Undang-Undang Kehutanan Lama .................

2.2. Peraturan Pelaksana..................................................

III. Dampak-dampak Pemberlakuan Undang-UndangKehutanan .......................................................................

3.1. Dampak-dampak yang Timbul ....................................

3.2. Modus .......................................................................

IV. Usulan Perubahan Undang-Undang Kehutanan ........

4.1. Peta Inisiatif Mendorong Perubahan Kebijakan Kehutanan

4.2. Usulan-usulan Materi Perubahan ................................

Profil Koalisi untuk Perubahan Kebijakan Kehutanan ......

iii

iv

1

1

1

1

1 2

23

23

3 1

3 7

3 7

39

45

Halaman

Page 7: 2007-12 Mengapa UU Kehutanan Perlu Direvisi

1

1.1. Kedudukan dan Fungsi

Kajian ini merupakan salah satu dokumen yang dipersiapkan dalam rangkamengusulkan perubahan terhadap Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999tentang Kehutanan (UU Kehutanan Baru). Dari segi tahapan, kajian inidilahirkan setelah pelaksanaan serial diskusi disejumlah daerah yangdiselenggarakan oleh Perkumpulan untuk Pembaharuan Hukum BerbasisMasyarakat dan Ekologis (HuMa), beserta mitra-mitra lokalnya. Serial diskusitersebut berlangsung didaerah-daerah berikut ini:

I. Pengantar

Peserta serial diskusi tersebut adalah kalangan masyarakat, PemerintahDaerah dan aktivis Organisasi Non-Pemerintah (Ornop). Hasil-hasil diskusitersebut menjadi bahan penting bagi penyusunan kajian ini. Dari segi fungsikajian ini sendiri menyediakan konstruksi argumentasi bagi usulan perubahanatau revisi atas UU Kehutanan Baru. Bukan sekedar menyediakan konstruksiargumentasi, kajian ini bahkan sudah mencoba mengusulkan materiperubahan terhadap UU Kehutanan Baru. Dengan demikian, beberapa bagiandari kajian ini akan sangat potensial menjadi bahan bagi penyusunan NaskahAkademik atau rancangan revisi Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999.

No. Propinsi Kabupaten

1. Sumatera Barat Solok, Agam

2. Jambi Sarolangun

3. Jawa Barat Bogor, Pandeglang, Sukabumi, Garut

4. Banten Serang

5. Jawa Tengah Banyumas, Kendal, Temanggung, Purbalingga, Pemalang,Grobokan, Kebumen, Batang dan Cilacap

6. Kalimantan Barat Sanggau, Melawi

7. Sulawesi Selatan Luwu

8. Sulawesi Barat Mamuju Utara

9. Sulawesi Tengah Donggala, Poso

Page 8: 2007-12 Mengapa UU Kehutanan Perlu Direvisi

2

1.2. Cara Memperoleh Data

Peserta serial diskusi tersebut adalah kalangan masyarakat, PemerintahDaerah dan aktivis Organisasi Non-Pemerintah (Ornop). Hasil-hasil diskusitersebut menjadi bahan penting bagi penyusunan kajian ini. Dari segi fungsikajian ini sendiri menyediakan konstruksi argumentasi bagi usulan perubahanatau revisi atas UU Kehutanan Baru. Bukan sekedar menyediakan konstruksiargumentasi, kajian ini bahkan sudah mencoba mengusulkan materiperubahan terhadap UU Kehutanan Baru. Dengan demikian, beberapa bagiandari kajian ini akan sangat potensial menjadi bahan bagi penyusunan NaskahAkademik atau rancangan revisi Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999.

Kajian ini menggunakan data primer dan sekunder. Data primer didapatkandari kegiatan serial diskusi disejumlah daerah. Pada serial diskusi daerahmengemuka sejumlah informasi lapangan seperti kerusakan ekologis, dankonflik penguasaan dan pemanfaatan sumber daya hutan. Sedangkan datasekunder diperoleh dengan cara melakukan penelusuran dokumen.

1.3. Cakupan Kajian

Kajian ini membatasi diri untuk hanya membahas beberapa aspek atau materipengaturan dari UU Kehutanan Baru dan peraturan pelaksananya. Kajian iniakan berangkat dari pertanyaan berikut ini: Bagaimana UU Kehutanan Barumengakui dan melibatkan masyarakat lokal1 dalam pengurusan hutan2?Hampir seluruh bahasan dari kajian ini merupakan jawaban atas pertanyaantersebut. Untuk menjawab pertanyaan tersebut, kajian ini akan memeriksabagian-bagian tertentu dari UU Kehutanan Baru, yang memang berkaitandengan pertanyaan di atas.

1.4. Kerangka Berpikir

Konstruksi argumentasi yang dikembangkan oleh kajian ini didapat dari hasilmenggabungkan analisis teks/ normatif dengan analisis kontekstual/ empirik.Begitu juga cara berpikir yang melatari usulan materi perubahan. Dari segipenuturan, analisis teks akan didahulukan. Analisis ini akan menghasilkantemuan-temuan yang akan menjadi alasan diusulkannya perubahan terhadapUU Kehutanan Baru. Alasan untuk mengusulkan perubahan ini semakindigandakan dengan menyajikan informasi mengenai dampak-dampak daripemberlakuan UU Kehutanan Baru beserta peraturan pelaksananya. Bilaanalisis teks akan menghasilkan landasan yuridis untuk mengusulkanperubahan, maka gambaran mengenai dampak akan menghasilkan landasansosiologis. Jadi, konstruksi argumentasi untuk mengajukan perubahan UUKehutanan Baru merupakan perkawinan antara landasan yuridis dengansosiologis.

Page 9: 2007-12 Mengapa UU Kehutanan Perlu Direvisi

3

II. Analisis Tekstual Terhadap Undang-Undang Kehutanan danPeraturan Pelaksananya

2.1. Undang-Undang Kehutanan Baru dan Perbandingannya denganUndang-Undang Kehutanan Lama

2.1.1. Undang-Undang Kehutanan Baru

Ulasan pada bagian ini banyak merujuk pada sebuah tulisan berjudul:“Legal Opinion terhadap Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999tentang Kehutanan”. Tulisan ini merupakan hasil kajian dari tigalembaga, yakni LRA-Padang, YBH Bantaya-Palu dan Lembaga Studidan Advokasi Masyarakat (ELSAM).

Lajimnya sebuah undang-undang pengganti, Undang-Undamg Nomor41 Tahun 1999 tentang Kehutanan(UU Kehutanan Baru) harusmenyebutkan alasan-alasannya untuk menggantikan Undang-UndangNomor 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan(UU Kehutanan Lama). Rupanya yang dijadikan sebagai alasan adalahkarena UU Kehutanan Lama dianggap sudah tidak lagi sesuai denganprinsip penguasaan dan pengurusan hutan, dan tuntutanperkembangan keadaan (Menimbang huruf d). Pada bagian lain, UUKehutanan Lama hanya dianggap belum cukup memberikan landasanhukum bagi perkembangan pembangunan kehutanan. Karena hanyadianggap belum cukup maka penggantian UU Kehutanan Lama hanyadalam rangka memberikan landasan hukum yang lebih kokoh danlengkap bagi pembangunan kehutanan saat ini dan masa yang akandatang (Penjelasan Umum).

Kutipan beberapa bagian dari UU Kehutanan Baru di atas cukup jelasmenerangkan alasan penggantian UU Kehutanan Lama. UUKehutanan Baru dihadirkan bukan untuk meluruskan kesalahan ataukekeliruan yang telah dilakukan oleh UU Kehutanan Lama1. Di mataUU Kehutanan Baru, UU Kehutanan Lama hanya dianggap sudah tua,tidak lagi cocok dengan tuntutan perkembangan zaman dan olehkarena itu tidak lagi mampu menjadi landasan hukum bagiperkembangan pembangunan sektor kehutanan. UU Kehutanan Lamatidak melakukan kesalahan apapun sebelumnya. Ia hanya semakintertatih-tatih mengikuti laju perkembangan keadaan.

Sekalipun begitu, UU Kehutanan Baru juga mengakui bahwa sebagaisalah satu penentu sistem penyangga kehidupan dan sumber

Page 10: 2007-12 Mengapa UU Kehutanan Perlu Direvisi

4

kemakmuran rakyat, kondisi hutan cenderung menurun (Menimbanghuruf b). Namun kondisi tersebut tidak disebutkan sebagai akibatdari pemberlakukan UU Kehutanan Lama. Tidak ada penjelasan samasekali apa yang menyebabkan hutan cenderung menurun. Kondisiini seolah-olah terjadi tanpa penyebab.

Kuat dugaan, bahwa cara UU Kehutanan Baru menjelaskankehadirannya telah memengaruhi cara pandang dan orientasinya,yang bisa ditangkap dari rumusan-rumusan redaksionalnya. Carapandang dan orientasi itu pada akhirnya memengaruhi pengaturanmengenai hak dan keterlibatan masyarakat lokal dalam pengurusanhutan.

2.1.1.1. Hak Masyarakat Lokal Atas Sumber Daya Hutan

Apakah UU Kehutanan Baru mengakui hak-hak masyarakat lokalterhadap sumber daya hutan? Untuk menjawab pertanyaan tersebut,ada baiknya membedakan antara hak atas sumber daya hutan yangdidasarkan pada hukum adat dan hak yang didasarkan pada hukumnegara atau hak yang diberikan oleh negara. Hak yang didasarkanpada hukum adat sebenarnya merupakan implikasi dari pengakuanbahwa masyarakat adat telah ada sebelum Republik Indonesiadidirikan. Didalam pengakuan tersebut sekaligus terkandung maknabahwa masyarakat adat yang memiliki susunan asli dan hak asal-usul,mempunyai sejumlah hak bawaan atau hak yang bersifat autochtoon.Sebaliknya, hak yang diberikan oleh negara (rights created by state)bukan hak yang didasarkan pada hukum adat.

Namun, karena UU Kehutanan Baru, sekalipun tidak mengatakansama, tidak memberikan penjelasan yang tegas mengenai perbedaanistilah masyarakat hukum adat dengan istilah masyarakat setempat.Sangat riskan untuk menyimpulkan bahwa hak-hak yang dipunyaioleh masyarakat setempat merupakan hak berian. Berbeda denganhak masyarakat hukum adat yang memang merupakan hak bawaan.Dengan sedikit agak spekulatif kajian ini menggunakan metodeinterpretasi untuk menyimpulkan bahwa UU Kehutanan Barumenaruh masyarakat hukum adat sebagai bagian dari masyarakatsetempat. Kesimpulan ini diambil dari dua klausul yang ada dalamUU Kehutanan Baru, masing-masing Pasal 17 ayat (2) dan PenjelasanPasal 22 ayat (1). Berikut bunyi kedua klausul tersebut:

Pasal 17 ayat (2):

“Pembentukan wilayah pengelolaan hutan tingkat unit pengelolaandilaksanakan dengan mempertimbangkan karakteristik lahan, tipehutan, fungsi hutan, kondisi daerah aliran sungai, sosial budaya,ekonomi, kelembagaan masyarakat setempat termasuk masyarakathukum adat dan batas administrasi pemerintahan”.

Page 11: 2007-12 Mengapa UU Kehutanan Perlu Direvisi

5

Sedangkan Penjelasan Pasal 22 ayat (1) berbunyi:

“Tata hutan merupakan kegiatan rancang bangun unit pengelolaanhutan, yang dalam pelaksanaannya memerhatikan hak-hakmasyarakat setempat, yang lahir karena kesejarahannya, dankeadaan hutan”.

Bunyi Pasal 17 ayat (2) menyiratkan, bahwa masyarakat adatmerupakan bagian dari masyarakat setempat. Sedangkan bunyiPenjelasan Pasal 22 (1) menegaskan lagi pemahaman semacam inikarena mengatakan bahwa hak-hak masyarakat setempat adalah yanglahir karena kesejarahan alias lahir karena diasalkan dari masa laluyang diteruskan karena pewarisan. Selain itu, UU Kehutanan yangbaru juga memakai istilah ‘hak-hak rakyat’ (Penjelasan Pasal 21). Tidakada keterangan mengenai istilah ini. Dengan uraian seperti di atas,tulisan ini memaksudkan hak masyarakat lokal atas sumber dayahutan, baik hak bawaan maupun hak berian, dengan tekanan padaulasan mengenai hak bawaan.

Sebenarnya pada beberapa bagian, UU Kehutanan Baru menunjukkansemangat mengutamakan dan peduli dengan rakyat. Semangat itutelah ditunjukkan pada bagian awal, seperti pada bagian Menimbang.Dikatakan bahwa hutan harus dimanfaatkan untuk sebesar-besarnyakemakmuran rakyat dan pengurusan hutan harus dilakukan denganmenampung dinamika aspirasi dan peran serta masyarakat. Semangatitu masih diteruskan ketika dikatakan bahwa salah satu asaspenyelenggaraan kehutanan adalah kerakyatan. Sekalipun tidakdimaksudkan untuk mengoreksi rejim pengelolaan hutan masa lalu,UU Kehutanan Baru menegaskan keperluan untuk mengubahpengelolaan hutan dari orientasi kayu menjadi berorientasi padaseluruh potensi sumber daya kehutanan, serta dari yang kurangmemerhatikan hak dan melibatkan masyarakat menjadi berbasis padapemberdayaan masyarakat.

Namun, semangat itu tetap saja harus mematuhi konsep politik hukum(politico legal concept) yang mengatakan bahwa sumber daya hutandikuasai oleh negara. Negaralah yang menjadi penguasa dan pengurustertinggi atas sumber daya hutan. Kekuasaan itu selanjutnyadiserahkan oleh negara kepada pemerintah. Penyerahan inimenyebabkan pemerintah mendapatkan sejumlah kewenangan,yaitu: (i) mengatur dan mengurus segala sesuatu yang berkaitandengan hutan, kawasan hutan dan hasil hutan; (ii) menetapkankawasan hutan dan/atau mengubah status kawasan hutan; (iii)mengatur dan menetapkan hubungan hukum antara orang denganhutan atau kawasan hutan dan hasil hutan, serta (iv) mengaturperbuatan hukum mengenai kehutanan.

Adakah implikasi konsep politik hukum ini terhadap penuangansemangat peduli rakyat seperti yang terlihat pada beberapa bagiandari UU Kehutanan Baru? Sekalipun UU Kehutanan Baru secara

Page 12: 2007-12 Mengapa UU Kehutanan Perlu Direvisi

6

diam-diam mengoreksi UU Kehutanan Lama dengan menganggapnyakurang memerhatikan hak dan melibatkan masyarakat, namun tidakberarti bahwa ia menjadikan masyarakat sebagai tumpuan atau aktorutama dalam pengurusan hutan. UU Kehutanan Baru masihmenjadikan negara sebagai aktor atau tumpuan utama. Semangatpeduli pada masyarakat tidaklah sampai membuat undang-undangini menjadikan masyarakat sebagai tumpuan. Semangat itu hanyasebatas melahirkan sikap untuk mempertimbangkan danmemperhatikan hak-hak masyarakat lokal. Berikut ini beberapakutipan dari UU Kehutanan Baru yang menunjukkan hal tersebut:

1 . Pembentukan wilayah pengelolaan hutan tingkat unit pengelolaandilaksanakan dengan mempertimbangkan kelembagaanmasyarakat setempat termasuk masyarakat hukum adat danbatas administrasi pemerintahan.

2. Penyelenggaraan kehutanan berasaskan keterpaduan,dimaksudkan agar setiap penyelenggaraan kehutanan dilakukansecara terpadu dengan memerhatikan kepentingan nasional,sektor lain, dan masyarakat setempat.

3. Pelaksanaan setiap komponen pengelolaan hutan harusmemerhatikan nilai-nilai budaya masyarakat, aspirasi danpersepsi masyarakat, serta memerhatikan hak-hak rakyat, danoleh karena itu harus melibatkan masyarakat setempat.

4. Tata hutan merupakan kegiatan rancang bangun unit pengelolaanhutan, yang dalam pelaksanaannya memerhatikan hak-hakmasyarakat setempat, yang lahir karena kesejarahannya, dankeadaan hutan.

Beruntunglah, terhadap hak masyarakat adat atas sumber daya hutan,istilah yang digunakan bukan lagi mempertimbangkan danmemerhatikan, melainkan mengakui. UU Kehutanan Baru memangmengakui hak bersama (hak ulayat) dan hak perseorangan masyarakatadat atas sumber daya hutan1. Istilah ‘hutan adat’ kemudiandigunakan untuk menyebut hutan yang penguasaannya dilakukanoleh masyarakat hukum adat. Di dalam hutan adat tersebut,masyarakat adat boleh melakukan kegiatan pengelolaan, pemanfaatandan pemungutan hasil hutan. Dalam bentuk detail, hak masyarakathukum adat dalam pengelolaan hutan meliputi hak untuk:

1 . Melakukan pemungutan hasil hutan untuk pemenuhan kebutuhanhidup sehari-hari;

2. Melakukan kegiatan pengelolaan hutan berdasarkan hukum adatyang berlaku dan tidak bertentangan dengan undang-undang; dan

3. Mendapatkan pemberdayaan dalam rangka meningkatkankesejahteraannya.

Page 13: 2007-12 Mengapa UU Kehutanan Perlu Direvisi

7

Namun, tidak mudah untuk mendapatkan hak tersebut karenaberbagai tahapan dan syarat harus dilalui dan dipenuhi. Hanyamasyarakat adat yang telah diakui keberadaannya yang bisamendapatkan hak tersebut. Agar bisa diakui keberadaannya,masyarakat adat bersangkutan terlebih dahulu diteliti oleh sebuahTim Peneliti yang dibentuk oleh Pemerintah Daerah. Sebuahmasyarakat baru bisa dikategorikan sebagai masyarakat hukum adatapabila memenuhi 5 unsur, yakni:

1 . Masyarakatnya masih dalam bentuk paguyuban(rechtsgemeenschap);

2. Ada kelembagaan dalam bentuk perangkat penguasa adatnya;

3. Ada wilayah hukum adat yang jelas;

4. Ada pranata dan perangkat hukum, khususnya peradilan adat,yang masih ditaati; dan

5. Masih mengadakan pemungutan hasil hutan di wilayah hutansekitarnya untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari.

Ketatnya tahapan dan syarat untuk mendapatkan hak mengelola,memanfaatkan dan memungut hasil hutan pada hutan adat tidakterlepas dari lokasi hutan adat yang berada di dalam hutan negara.Hutan adat tidak disejajarkan dengan hutan negara atau hutan hakdalam pembagian hutan berdasakan statusnya. Hutan adat hanyalahhutan negara yang pengelolaan diserahkan kepada masyarakat hukumadat atau hutan negara yang berada di dalam wilayah masyarakathukum adat (Pasal 1 angka 6, Penjelasan Pasal 5 ayat 1). MenurutMaria SW. Soemardjono (2005), pengaturan mengenai hutan adatdalam UU Kehutanan Baru sebenarnya adalah bentuk inkonsistensipola pikir. Dengan hanya membagi hutan berdasarkan statusnyamenjadi hanya hutan negara dan hutan hak, dan memasukkan hutanadat kedalam cakupan hutan negara, sebenarnya undang-undang initidak mengakui hutan adat. Dengan demikian, undang-undang ini jugamenjadi tidak mengakui keberadaan masyarakat hukum adat karenaobyek hak dari masyarakat hukum adat yaitu hutan adat, tidak diakui.Selain itu, definisi hutan negara sebagai hutan yang berada pada tanahyang tidak dibebani hak atas tanah, dianggap bentuk tersirat daritidak diakuinya keberadaan hak ulayat.

Bukan hanya harus diakui keberadaannya, pengakuan terhadap hakmasyarakat adat atas sumber daya hutan juga tidak boleh sampaibertentangan dengan kepentingan nasional (Pasal 4 ayat 3).Ketentuan ini menyiratkan bahwa hak-hak masyarakat adat atassumber daya hutan tidak selamanya serasi dengan kepentingannasional. Mengakui hak masyarakat adat atas sumber daya hutandapat saja bertentangan dengan kepentingan nasional.

Untuk kategori hak yang diberikan oleh negara, masyarakat lokaldapat memperolehnya melalui skema hutan hak. Masyarakat lokal

Page 14: 2007-12 Mengapa UU Kehutanan Perlu Direvisi

8

yang memiliki hutan di atas tanahnya sendiri, bisa melakukan kegiatanpemanfaatan hasil hutan di dalamnya sepanjang memenuhi kewajibanseperti membayar dana reboisasi. Hak berian yang lain adalah berupaizin pemanfaatan hutan, baik izin pemanfaatan kawasan, izinpemanfaatan jasa lingkungan, izin pemanfaatan hasil hutan kayu danbukan kayu, dan izin pemungutan hasil hutan kayu dan bukan kayu.Izin tersebut bisa diperoleh dengan bertindak sebagai perorangan,menggunakan koperasi atau berbadan hukum Indonesia.

Keputusan UU Kehutanan Baru untuk tetap menempatkan negarasebagai pelaku utama pengurusan hutan tak pelak sangatmemengaruhi bentuk pengakuan hak maupun keterlibatanmasyarakat lokal dalam setiap level pengurusan hutan. Hak merekahanya sebatas perlu diperhatikan dan dipertimbangkan. Misalnyadalam melakukan kegiatan pengelolaan hutan, termasuk dalamkegiatan penataan hutan, hanya perlu memerhatikan hak-hak rakyat.Atau sebatas diberikan kompensasi atas hilangnya lapangan kerjaatau atas hilangnya hak atas tanah miliknya akibat penetapan kawasanhutan. Kompensasi tersebut dapat berupa pemberian matapencaharian baru atau keterlibatan dalam usaha pemanfaatan hutanbersama pemilik izin usaha dibidang kehutanan.

2.1.1.2. Keterlibatan Masyarakat Lokal

Seperti sudah disinggung sebelumnya, pengaturan mengenaiketerlibatan masyarakat lokal dalam pengurusan hutan juga tidakluput dari pengaruh konsep yang menempatkan negara sebagai pelakuutama. Paling tidak ada empat bentuk nyata dari keterlibatanmasyarakat lokal dalam pengurusan hutan, yakni: Pertama,perolehan sejumlah hak yakni menikmati kualitas lingkungan hidupdan hak memanfaatkan hasil hutan; Kedua, mengetahui danmendapatkan informasi mengenai rencana; Ketiga, memberikaninformasi, pertimbangan dan saran; Ketiga, terlibat dalam kegiatanperlindungan dan pengawasan; dan Keempat, dilibatkan dalamkegiatan pemberdayaan. Hal yang keempat ini rupanya telah menjadiandalan UU Kehutanan Baru untuk mengusahakan agar pengurusanhutan mendatangkan kesejahteraan bagi masyarakat yang berdiamdi dalam dan/atau di sekitar kawasan hutan. Semua pemegang izinusaha dibidang kehutanan, baik BUMN/ BUMD, BUMS, dan koperasidiwajibkan untuk bekerjasama dengan koperasi masyarakat setempatdalam rangka melakukan pemberdayaan masyarakat setempat.

Sekalipun dikatakan bahwa perencanaan kehutanan dilaksanakansecara transparan, bertanggung-gugat dan partisipatif (Pasal 11 ayat2), namun UU Kehutanan Baru tidak mewajibkan pelibatanmasyarakat dalam kegiatan pengukuhan kawasan hutan. Termasukketika penunjukkan, penataan batas dan pemetaan kawasan hutan.Pengukuhan diselenggarakan oleh pemerintah tanpa ketegasan harusmelibatkan masyarakat setempat (Pasal 14 ayat 1).

Page 15: 2007-12 Mengapa UU Kehutanan Perlu Direvisi

9

2.1.2. Perbandingan dengan Undang-Undang Kehutanan Lama

Tabel. Perbandingan Pengaturan Hak dan Keterlibatan Masyarakat Lokal DalamUU Kehutanan Lama dan UU Kehutanan Baru

Materi Pengaturan

Hak MasyarakatLokal

KeterlibatanMasyarakat Lokal

UU Kehutanan Lama

• Hak masyarakat hukumadat untukmendapatkan manfaatdari hutan (Pasal 17 danPenjelasan Umum)

• Menghapuskan istilahhutan marga karenamelarutkannya kedalam hutan negara.Jadi, berdasarkankepemilikan hutanhanya terdiri dari:hutan negara danhutanmilik (PenjelasanPasal ayat 1)

Rakyat diikutsertakandalam pelaksanaanperlindungan hutan (Pasal15 ayat 3)

UU Kehutanan Baru

• Hak masyarakat adatuntuk melakukanpemungutan hasil hutan,pengelolaan hutanberdasarkan hukum adatdan mendapatkanpemberdayaan (Pasal 67ayat 1)

• Hak untuk mendapatkanizin pemanfaatan hasilhutan (Pasal 27, 29)·Hak mengelola KDTK(Pasal 34).

• Hak menikmati kualitaslingkungan hidup (Pasal68 ayat 1)

• Hak mengetahui rencanaperuntukan hutan,pemanfaatan hasil hutan,dan informasi kehutanan(Pasal. 68 ayat 2)

• Hak memberikaninformasi, saran, sertapertimbangan dalampembangunan kehutanan(Pasal 68 ayat 2)

• Hak melakukanpengawasan terhadappelaksanaanpembangunan kehutananbaik langsung maupuntidak langsung (Pasal 68ayat 2)

• Terlibat dalam setiapkomponen pengelolaanhutan (Penjelasan Pasal2 1 )

• Ikut serta dalamperlindungan hutan(Pasal 48 ayat 5)

Page 16: 2007-12 Mengapa UU Kehutanan Perlu Direvisi

10

Dari sisi kuantitatif, tabel di atas cukup kuat menunjukkan bahwapengaturan hak dan keterlibatan masyarakat lokal dalam UUKehutanan Baru lebih kuat ketimbang UU Kehutanan Lama. Dari tabeltersebut tampak beberapa hal, yaitu: Pertama, UU Kehutanan Barutidak menghapuskan hutan-hutan yang dikuasai oleh masyarakat.Kedua, UU Kehutanan Baru mengeksplisitkan dan menjabarkan hak-hak yang dimiliki oleh masyarakat hukum adat di atas hutan adat.Ketiga, keterlibatan atau partisipasi masyarakat sudah diperluas,bukan hanya dalam perlindungan tetapi juga dalam pengelolaan danpengawasan hutan. Keempat, UU Kehutanan Baru menegaskankewajiban untuk bekerjasama dan memberdayakan masyarakatsetempat oleh pemegang izin usaha dibidang kehutanan.

Menurut Wollenborg dan Kartodihardjo (2003), pengaturanmengenai hak dan peranan masyarakat, terutama masyarakat adat,dalam UU Kehutanan Baru memang telah memungkinkanberlangsungnya proses devolusi1 dalam pengurusan hutan. Sekalipunbegitu, undang-undang ini masih mempertahankan kendali strategisatas hutan adat. Kendali tersebut bisa dilihat pada lima hal, yakni:Pertama, hutan adat digolongkan sebagai hutan negara; Kedua,penetapan dan penghapusan keberadaan masyarakat adat beradaditangan pemerintah yang didelegasikan kepada pemerintah daerah;Ketiga, hak masyarakat adat hanya akan diberikan sepanjang tidakbertentangan dengan kepentingan nasional; Keempat, lokasi hutanadat dapat saja berada dilahan pribadi; dan Kelima, membebankanpembuktian kepada masyarakat adat apabila mereka mengajukan hakadat.

• Berperan serta dalampengawasan hutan(Pasal 60 ayat 2)

• Masyarakat wajibmemelihara danmenjaga kawasan hutandari gangguang danperusakan (Pasal 69ayat 2)

• Masyarakat berperanserta dalampembangunankehutanan (Pasal 70ayat 1)

• Terlibat dalam kegiatanpemberdayaan(Penjelasan Umum,Penjelasan Pasal 2)

Page 17: 2007-12 Mengapa UU Kehutanan Perlu Direvisi

11

Memang bila ukurannya adalah kuantitas teks, UU Kehutanan Lamamemang kalah banyak dengan UU Kehutanan Baru dalam mengaturhak dan keterlibatan masyarakat lokal. Untuk materi pengaturan hak,jumlah teks yang lebih banyak itu disebabkan oleh tiga hal, yakni: (i)penambahan skema pengelolaan kawasan hutan, misalnya skemaKawasan Dengan Tujuan Khusus (KDTK); (ii) mengatur lebihelaboratif; dan (iii) mengatur sendiri beberapa materi yangsebelumnya diatur didalam peraturan pelaksana UU Kehutanan Lama.Misalnya pengaturan dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 21 Tahun1970 tentang Hak Pengusahaan Hutan dan Hak Pemungutan HasilHutan dan Keputusan Menteri Kehutanan No. 251/Kpts-II/93 tentangKetentuan Pemungutan Hasil Hutan oleh Masyarakat Hukum Adatatau Anggotanya di dalam Areal Hak Pengusahaan Hutan sebagaimanatelah diganti oleh Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan No.317/Kpts-II/1999 tentang Hak Pemungutan Hasil Hutan MasyarakatHukum Adat pada Areal Hutan Produksi.

Namun kuantitas yang lebih banyak itu tidak berbanding lurus dengankualitas pengaturan. UU Kehutanan Baru juga memang telahmenghapuskan apa yang diimpikan oleh UU Kehutanan Lama yakniunifikasi hukum dibidang kehutanan. Tetapi tidak lantas UUKehutanan Baru meninggalkan sama sekali asumsi-asumsi dasarpengaturan mengenai hak dan keterlibatan masyarakat lokal. Asumsidasar pertama adalah bahwa negara adalah penguasa atas sumberdaya alam termasuk sumber daya hutan. Negara adalah organisasikekuasaan tertinggi yang mengatasi organisasi kekuasaan yang kecil-kecil seperti masyarakat adat. Asumsi kedua, negara, lewatpemerintah, adalah satu-satunya sumber keabsahan (legality) untukseluruh aktivitas yang berkenaan dengan pengurusan hutan. Seluruhizin pemanfaatan hasil hutan berasal dari pemerintah, termasuk izinmemanfaatkan hasil hutan dari kawasan hutan adat dan hutan hak.Begitu juga keabsahan dalam pengangkutan kayu, juga diasalkan daristempel dan dokumen yang diproduksi oleh pemerintah. Termasukdidalam izin tersebut adalah persyaratan-persyaratannya. Antaralain harus sebagai orang yang dianggap sebagai subyek hukum berupaperorangan, badan hukum dan koperasi. Tanda-tanda untukmenunjukkan setiap orang sebagai subyek hukum juga ditentukanoleh pemerintah. Misalnya Nomor Pokok Wajib Pajak, Kartu TandaPenduduk dan Kartu Keluarga. Asumsi ketiga adalah pengandaianbahwa masyarakat adat pasti akan berkembang menjadi masyarakatmodern. Bersamaan dengan hilangnya karakter kepaguyubannya,pengurus dan hukum adat, unsur-unsur yang memenuhi kriteriakeberadaan, juga akan ikut hilang. Bila unsur-unsur itu hilang makaPemda diberi kewenangan untuk menghapus status sebagaimasyarakat hukum adat.

Ketiga asumsi dasar tersebut membuat penambahan teks dalam UUKehutanan Baru menjadi sulit dibedakan dengan UU Kehutanan Lama,dalam hal pengaturan mengenai hak masyarakat adat. Penambahanjumlah teks mengenai materi ini bukan justru menguatkan maksud

Page 18: 2007-12 Mengapa UU Kehutanan Perlu Direvisi

12

untuk mengakui melainkan malah cenderung memperjelas bahwapengakuan tersebut tidak mungkin akan ada. Penetapan unsurkeberadaan dan prosedur penetapannya membuat pengakuantersebut menjadi mustahil untuk dihadirkan. Bagi Soemardjono(2005), UU Kehutanan Baru memang tidak mengakui keberadaanhutan adat sejak hutan adat dimasukkan ke dalam hutan negara.Dengan menggunakan analisis yang lain, kesimpulan bahwa UUKehutanan Baru tidak mengakui hutan adat, bisa juga diasalkan dariargumen bahwa penetapan unsur keberadaan, prosedur penetapankeberadaan serta persyaratan dan prosedur mendapatkan izinpemanfaatan hasil hutan, merupakan cara untuk menolak keberadaanhutan adat secara halus. Lagipula sangat aneh apabila pengelolaanatas hutan adat bisa berdasarkan hukum adat tetapi izin pemanfaatanhasil hutannya diberikan oleh Menteri Kehutanan. Bukankahpemberian izin tersebut nantinya akan berkonsekuensi padamasyarakat adat untuk mematuhi ketentuan perundang-undangan.Jadi, hukum apakah yang akan berlaku dalam pengelolaan hutan adat:hukum adat atau hukum negara?

Sebuah makalah (lihat catatan kaki No. 4) yang dipresentasikan olehMenteri Kehutanan, M.S. Kaban, pada sebuah acara dibulan Juni2005, semakin menegaskan bahwa memang tidak terdapat perbedaanantara UU Kehutanan Lama dengan UU Kehutanan Baru dalammengatur hak masyarakat adat. Ada 2 hal yang kembali ditegaskanoleh makalah ini, yakni:

1 . Pelaksanaan hak-hak masyarakat hukum adat dalammemanfaatakan hutan harus sedemikian rupa sehingga tidakmengganggu tercapainya tujuan yang dicantumkan dalam UUKehutanan dan peraturan pelaksananya.

2. Dengan terlebih dahulu menegaskan bahwa apa yang diatur dalamUU Kehutanan Baru mengenai hak ulayat dan hak-hak perorangansama dengan yang diatur dalam UUPA, dikatakan bahwapelaksanaan hak ulayat tidak dibenarkan digunakan untukmenghalang-halangi pelaksanaan rencana umum pemerintah danmembuka hutan secara sewenang-wenang.

Kedua hal di atas sama sekali tidak terdapat didalam UU KehutananBaru melainkan terdapat dalam UU Kehutanan Lama. Keduanya bisaditemukan didalam Penjelasan Umum dan Penjelasan Pasal 17 UUKehutanan Lama. Dua hal di atas tentu saja mewakili sikap resmisekaligus cara pemerintah dalam memahami UU Kehutanan Baru.

2.2. Peraturan Pelaksana

UU Kehutanan diatur lebih lanjut lewat 3 kategori peraturan pelaksana, yakni,Pertama, peraturan pelaksana yang memang secara terang-terangan

Page 19: 2007-12 Mengapa UU Kehutanan Perlu Direvisi

13

diperintahkan oleh UU Kehutanan untuk dibuat. Peraturan ini bisa jugadisebut sebagai peraturan yang lahir karena kewenangan delegasi. Kedua,peraturan pelaksana yang tidak secara terang-terangan diperintahkan olehUU Kehutanan untuk dibuat namun dikategorikan sebagai peraturan untukmelaksanakan UU Kehutanan Baru; dan Ketiga, peraturan pelaksana yangmenggantikan peraturan pelaksana dari UU Kehutanan Lama. Argumentasiini hanya menyinggung peraturan pelaksana kategori pertama dan ketiga.

2.2.1. Peraturan Pelaksana karena Kewenangan Delegasi

Guna mengelaborasi dan memperjelas materi-materi yang telahdiatur, UU Kehutanan Baru memerintahkan pembuatan PeraturanPemerintah (PP) dan Keputusan Menteri (sekarang PeraturanMenteri). Berikut ini materi-materi yang diperintahkan untuk diaturlebih lanjut didalam PP:

No.

1

2

3

4

5

6

7

8

9

1 0

1 1

1 2

1 3

1 4

1 5

1 6

1 7

1 8

1 9

Materi Pengaturan

Kawasan Tertentu sebagai Hutan Kota

Inventarisasi Hutan

Penatagunaan Kawasan Hutan

Tata Cara Perubahan Kawasan Hutan dan Fungsi KawasanHutan

Penyusunan Rencana Kehutanan

Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan

Pembatasan Izin Usaha Pemanfaatan Hutan

Kewajiban Pemegang Izin Usaha Pemanfaatan Hutan

Pemanfaatan dan Penggunaan Kawasan Hutan

Rehabilitasi Hutan

Reklamasi Hutan

Reklamasi Kawasan Hutan

Perlindungan Hutan

Penelitian dan Pengembangan, Pendidikan dan Latihan

Pengawasan Hutan

Penyerahan Kewenangan kepada Pemerintah Daerah

Masyarakat Hukum Adat

Peran Serta Masyarakat

Ganti Rugi dan Sanksi Administratif

Pasal/Ayat

Pasal 9 ayat (2)

Pasal 13 ayat (5)

Pasal 16 ayat (3)

Pasal 19 ayat (3)

Pasal 20 ayat (3)

Pasal 22 ayat (5)

Pasal 31 ayat (2)

Pasal 35 ayat (4)

Pasal 39

Pasal 42 ayat (3)

Pasal 44 ayat (3)

Pasal 45 ayat (4)

Pasal 48 ayat (6)

Pasal 58

Pasal 65

Pasal 66 ayat (3)

Pasal 67 ayat (3)

Pasal 70 ayat (4)

Pasal 80 ayat (3)

Page 20: 2007-12 Mengapa UU Kehutanan Perlu Direvisi

14

Sekalipun jumlah materi yang diatur sebanyak 19 buah, bukan berartiUU Kehutanan Baru memerintahkan pembuatan 19 buah PP. Lagipula,undang-undang ini mengatakan bahwa pengaturan mengenaiInventarisasi Hutan dan Penatagunaan Kawasan Hutan dimasukankedalam PP mengenai Perencanaan Hutan (Penjelasan Pasal 13 ayat5 dan Penjelasan Pasal 16 ayat 3). Hal ini dilakukan karena baikkegiatan inventarisasi maupun penatagunaan kawasan hutandianggap merupakan bagian dari Perencanaan Hutan. Dengan caraini tentu saja jumlah PP yang akan dibuat kurang dari 19 buah. Namun,jumlah itu bisa jadi melebihi 19 buah apabila satu materi pengaturandipecah-pecah lagi dan kemudian diatur dengan PP yang berbeda.Kaedah teknik penyusunan perundang-undangan memang tidakmelarang cara yang demikian.

Sedangkan pengaturan lebih lanjut lewat Peraturan Menteri hanyadisebutkan sekali dalam UU Kehutanan Baru yakni mengenaiPembinaan dan Pengembangan Pengelolaan Hasil Hutan (Pasal 33ayat 3). Berbeda dengan PP, UU Kehutanan Baru tidak merinci materiyang perlu dimuat dalam Peraturan Menteri tersebut.

Pasca berhentinya Soeharto sebagai presiden, sampai menjelangpemberlakukan UU Kehutanan Baru, terdapat beberapa PP danKeputusan Menteri yang diberlakukan. Hanya sebulan setelahSoeharto berhenti, pemerintah memberlakukan PP No. 62/1998tentang Penyerahan Sebagian Urusan Pemerintahan DibidangKehutanan kepada Daerah. Setahun kemudian, yakni Januari 1999,pemerintah mengganti sebuah PP penting yang mengatur mengenaiHak Pengusahaan Hutan (HPH) dan Hak Pemungutan Hasil Hutan(HPHH). Sebelumnya, pengaturan mengenai hal ini terdapat didalamPP No. 21/1970 jo. PP No. 18/1975. PP penggantinya adalah PP No.6/1999 tentang Pemanfaatan Hutan dan Pemungutan Hasil Hutanpada Hutan Produksi.

Hal serupa juga terjadi pada Keputusan Menteri. Misalnya SuratKeputusan Menteri Kehutanan No. 251/Kpts-II/1993 tentangKetentuan Pemungutan Hasil Hutan oleh Masyarakat Hukum Adatdan Anggotanya di dalam Areal Hak Pengusahaan Hutan, digantikanoleh Surat Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan No. 317/Kpts-II/1999 tentang Hak Pemungutan Hasil Hutan MasyarakatHukum Adat pada Areal Hutan Produksi. Pada tahun 1999, jugadiberlakukan Surat Keputusan Menteri Kehutanan dan PerkebunanNo. 318/Kpts-II/1999 tentang Peran Serta Masyarakat dalamPengusahaan Hutan. Sekalipun PP dan SK Menhut tersebut dibuatdengan tetap mendasarkan diri pada UU Kehutanan Lama, sebagianmateri pengaturannya telah mencoba menyesuaikan diri dengansituasi yang tengah berkembang. Puncak instrumen yuridis untukmenyesuaikan diri dengan denyut perkembangan berada pada UUKehutanan Baru.

Page 21: 2007-12 Mengapa UU Kehutanan Perlu Direvisi

15

Dari belasan PP yang diperintahkan oleh UU Kehutanan Baru untukdibuat, sampai kajian ini disusun, baru tiga buah PP yang dibuat dalamrangka melaksanakan lebih lanjut atau menyesuaikan diri denganketentuan UU Kehutanan Baru. Ketiga PP tersebut adalah:

1 . PP No. 34/2002 tentang Tata Hutan dan Penyusunan RencanaPengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan dan Penggunaan KawasanHutan;

2. PP No. 35/2002 tentang Dana Reboisasi; dan

3. PP No. 44/2004 tentang Perencanaan Kehutanan.

PP No. 34/2002 dibuat untuk mengatur lebih lanjut muatan Bab V,VII dan XV dari UU Kehutanan Baru. Karena mencakup tiga Babsesungguhnya PP ini mengatur berbagai materi pengaturan yangdisebutkan dalam UU Kehutanan Baru. Dengan kata lain, PP inimerupakan gabungan dari enam materi pengaturan yang disebutkandalam UU Kehutanan Baru. Keenam materi pengaturan tersebutmeliputi (lihat dalam tabel sebelumnya):

1 . Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan;

2. Pembatasan Izin Usaha Pemanfaatan Hutan;

3. Kewajiban Pemegang Izin Usaha Pemanfaatan Hutan;

4. Pemanfaatan dan Penggunaan Kawasan Hutan;

5. Pengawasan Hutan;

6. Ganti Rugi dan Sanksi Administratif.

Jadi, PP No. 34/2002 mengatur materi-materi pengaturan yangdianggap relatif begitu penting. Karena memuat materi yang begitupenting, oleh sebagian kalangan, PP No. 34/2002 dianggap sebagai‘pengganti’ dari UU Kehutanan Baru. Kedudukan PP ini adalah untukmenggantikan PP No. 6/1999 tentang Pengusahaan Hutan danPemungutan Hasil Hutan pada Hutan Produksi.

Adapun PP No. 35/2004 diberlakukan untuk melaksanakan perintahPasal 35 UU Kehutanan Baru dan sekaligus Pasal 8 dan Pasal 12 UUNo. 20/1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak. SedangkanPP No. 44/2004 dihadirkan untuk melaksanakan perintah dari BabIV UU Kehutanan Baru. Seperti PP No. 34/2002, PP No. 44/2004juga menggabungkan empat materi pengaturan sekaligus seperti yangdisebutkan dalam UU Kehutanan Baru. Keempat materi pengaturantersebut adalah:

1 . Inventarisasi Hutan;

2. Penatagunaan Kawasan Hutan;

Page 22: 2007-12 Mengapa UU Kehutanan Perlu Direvisi

16

3. Tata Cara Perubahan Kawasan Hutan dan Fungsi Kawasan Hutan;dan

4. Penyusunan Rencana Kehutanan.

Selain untuk mengatur lebih lanjut UU Kehutanan Baru, PP No. 44/2004 sekaligus berkedudukan sebagai pengganti PP No. 33 Tahun1970 tentang Perencanaan Hutan.

Bila digabungkan dengan materi pengaturan yang diatur oleh PP No.34/2002, PP No. 35/2002 dan PP No. 44/2004, maka sudah 11 dari19 materi yang diperintahkan oleh UU Kehutanan Baru untuk diaturdalam bentuk PP. Sembilan materi yang belum diatur adalah:

1 . Kawasan Tertentu sebagai Hutan Kota;

2. Rehabilitasi Hutan;

3. Reklamasi Hutan;

4. Reklamasi Kawasan Hutan;

5. Perlindungan Hutan;

6. Penelitian dan Pengembangan, Pendidikan dan Latihan;

7 . Penyerahan Kewenangan kepada Pemerintah Daerah;

8. Masyarakat Hukum Adat; dan

9. Peran Serta Masyarakat.

Pengaturan mengenai kesembilan materi di atas bukan berarti belumada sama sekali. Beberapa materi-materi di atas saat ini telah diaturoleh beberapa PP yang dibuat sebelum pemberlakukan UU KehutananBaru. Materi Perlindungan Hutan saat ini telah diatur didalam PP No.28/1985 tentang Perlindungan Hutan. Sedangkan materi PenyerahanKewenangan Kepada Pemerintah Daerah saat ini telah diatur dalamPP No. 62/1998 tentang Penyerahan Sebagian Urusan PemerintahanDibidang Kehutanan kepada Daerah. Kedua PP tersebut belum digantikarena masih dianggap sesuai dengan UU Kehutanan Baru.

Adapun Peraturan Menteri yang mengatur mengenai Pembinaan danPengembangan Pengelolaan Hasil Hutan sampai sekarang belumdibuat.

Karena hanya akan mengkaji pengaturan mengenai hak danketerlibatan masyarakat lokal dalam pengurusan hutan, kajian inihanya akan memeriksa PP No. 34/20021 dan PP No. 44/2004.

2.2.1.1. PP No. 34/2002

Karena materi mengenai masyarakat hukum adat bukan merupakankompetensinya, PP No. 34/2002 tidak mengatur mengenai hal

Page 23: 2007-12 Mengapa UU Kehutanan Perlu Direvisi

17

tersebut, termasuk mengenai hutan adat. Jadi, dalam konteksmasyarakat lokal, PP ini hanya mengatur mengenai masyarakatsetempat. Ada dua bentuk perhatian yang ditunjukan oleh PP initerhadap masyarakat setempat, yakni: Pertama, mewajibkan paraBUMN, BUMD dan BUMS pemegang Izin Usaha Jasa Lingkungan danIzin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu dan Bukan Kayu sertapemegang Izin Usaha Industri Primer Hasil Hutan Kayu dan BukanKayu, untuk bekerjasama dengan koperasi masyarakat setempat,paling lama satu tahun setelah izin diterima (Pasal 47 ayat 3 dan 6,Pasal 66 ayat 1 huruf c). Kedua, memerintahkan pemerintah pusatdan pemerintah daerah untuk melakukan pemberdayaan masyarakatsetempat. Tujuannya untuk meningkatkan kemampuan kelembagaandalam pemanfaatan hutan (Pasal 51). Usaha untuk melakukanpeningkatan kelembagaan dilakukan dengan mengadakan rangkaianfasilitasi yang salah satunya adalah pemberian hak pemanfaatanhutan.

Selain dua hal di atas, PP No. 34/2002 hanya mengulangi kembaliapa yang sudah ditentukan oleh UU Kehutanan Baru, yakni bahwamasyarakat setempat perlu diperhatikan dan dipertimbangkan dalamsetiap komponen pengelolaan hutan termasuk pada saat melakukantata hutan. Sebaliknya, PP ini mengenakan larangan kepadamasyarakat untuk melakukan pungutan hasil hutan yang dilindungiUU, yang berada di dalam hutan lindung (Pasal 21 ayat 3). Kesempatanmasyarakat lokal untuk mendapatkan hak berian tersedia pada saatmenjadi perorangan atau atas nama koperasi untuk mengajukan hakpemanfaatan hutan baik di hutan lindung maupun di hutan produksi.Kesempatan lainnya adalah melalui skema hutan hak (Pasal 67).

2.2.1.2. PP No. 44/2004

Seperti sudah disebutkan sebelumnya, PP No. 44/2004 (PPPerencanaan Kehutanan) dibuat untuk mengatur lebih lanjutketentuan Bab IV UU Kehutanan Baru. UU Kehutanan Barumengatakan, bahwa perencanaan kehutanan harus dilakukan secarapartisipatif (Pasal 11 ayat 2). Selain itu, juga dikatakan bahwapembentukan wilayah pengelolaan hutan tingkat unit pengelolaandilaksanakan dengan mempertimbangkan kelembagaan masyarakatsetempat termasuk masyarakat hukum adat.

Tidak mudah untuk mengenali proses yang partisipatif dalamperencanaan hutan sebagaimana diatur dalam PP PerencanaanKehutanan. Dari lima kegiatan dalam Perencanaan Kehutanan, tidaksatupun yang memberikan ruang yang besar bagi masyarakat lokaluntuk terlibat. Misalnya dalam inventarisasi hutan. Prosesinventarisasi dilakukan secara terpusat. Ada sejumlah hal yangmembuktikan pola terpusat tersebut, yakni: Pertama, hanya pihakpemerintah yang boleh melakukan inventarisasi. Dengan kata lain,hanya inventarisasi yang dilakukan oleh pemerintah yang dianggapsebagai inventarisasi hutan. Inventarisasi diselenggarakan oleh

Page 24: 2007-12 Mengapa UU Kehutanan Perlu Direvisi

18

Menteri, Gubernur, Bupati/Walikota dan Badan Pengelola sebuahUnit Pengelolaan. Inventarisasi terhadap hutan hak juga dilakukanoleh pemerintah2. Kedua, proses inventarisasi dilakukan secarahierarkis. Inventarisasi hutan tingkat nasional menjadi acuan bagiinventarisasi hutan tingkat wilayah. Inventarisasi hutan tingkatwilayah kabupaten/ kota harus mengacu pada inventarisasi tingkatpropinsi. Inventarisasi hutan tingkat Daerah Aliran Sungai (DAS) danUnit Pengelolaan harus mengacu pada inventarisasi tingkat nasionaldan propinsi.

Dalam kegiatan pengukuhan kawasan hutan keterlibatan masyarakatlokal hanya dimungkinkan pada saat Penataan Batas Kawasan Hutan.Dikatakan bahwa penataan batas harus menyelesaikan hak-hak pihakketiga yang berada disepanjang trayek batas dan di dalam kawasanhutan (Pasal 19 ayat 2 huruf c). Penyelesaian dilakukan oleh PanitiaTata Batas Kawasan Hutan. Hasil penyelesaian tersebut harusdibuktikan dengan Berita Acara Pengakuan. Apabila penyelesaian hak-hak pihak ketiga tidak bisa diselesaikan oleh Panitia tidak akanmenjadi penyebab ditundanya penetapan kawasan hutan olehmenteri. Penetapan dalam kasus seperti ini cukup menjelaskan hak-hak yang ada di dalam kawasan tersebut (Pasal 22 ayat 2). Hutan-hutan yang telah ditetapkan sebagai kawasan hutan terbuka untukdiketahui oleh masyarakat (Pasal 22 ayat 3). Dengan proses yangdemikian, masyarakat lokal tidak memiliki hak untuk menolakditetapkannya sebuah areal menjadi kawasan hutan. Begitu juga padasaat suatu areal atau wilayah ditunjuk sebagai kawasan hutan olehmenteri.

Dengan mengambil contoh pada kegiatan inventarisasi, penataanbatas, penunjukan dan penetapan kawasan hutan, memang amat sulitmenemukan proses partisipatif dalam perencanaan kehutanan sepertiyang diperintahkan oleh UU Kehutanan Baru. Situasi ini agak bisadipahami karena ternyata PP Perencanaan Kehutanan hanyamengatakan bahwa perencanaan kehutanan dilaksanakan secaraterpadu dengan memerhatikan masyarakat (Pasal 4 huruf b) sertamemerhatikan kekhasan dan aspirasi daerah termasuk kearifantradisional (Pasal 4 huruf c). PP Perencanaan Kehutanan tidakmengulangi apa yang telah diatur dalam UU Kehutanan Baru yaknibahwa perencanaan kehutanan harus dilakukan secara paritisipatif.

2.2.2. Keputusan/ Peraturan Menteri dan Surat Edaran

Keputusan/ Peraturan Menteri sebenarnya lebih banyak munculuntuk menggantikan keputusan yang lama. Jadi bukan keputusanyang sebelumnya tidak ada atau tidak diberlakukan. PembuatanKeputusan/ Peraturan Menteri yang menggantikan keputusansebelumnya, terkadang sekedar hanya untuk menyesuaikan diridengan peristilahan baru yang diperkenalkan oleh UU KehutananBaru. Informasi mengenai Keputusan/Peraturan Menteri yangdemikian akan disampaikan pada bagian berikutnya dalamargumentasi ini.

Page 25: 2007-12 Mengapa UU Kehutanan Perlu Direvisi

19

Sejauh ini pengaturan mengenai hak masyarakat lokal dalampengurusan hutan yang dibuat dalam rangka melaksanakan lebihlanjut UU Kehutanan Baru, hanya bisa didapatkan didalam SuratEdaran Menteri Kehutanan No. S.75/Menhut II/2004 perihalMasalah Hukum Adat dan Tuntutan Kompensasi/ Ganti Rugi olehMasyarakat Hukum Adat. Surat ini bertanggal 12 Maret 2004 danditujukan kepada seluruh Gubernur dan Bupati/ Walikota se-Indonesia. Kehadiran surat ini tidak bisa dilepaskan dari dua hal yangberlangsung secara paralel, yakni macetnya pembahasan RPP HutanAdat dan pada saat yang sama tuntutan masyarakat hukum adat untukganti rugi atau kompensasi kawasan hutan yang berkonsesi HPH danIUPHHK, terus bertambah marak. Dalam kondisi tersebut, surat inibertujuan untuk membantu dan mengarahkan para pejabat daerahdalam mengambil langkah-langkah.

Karena surat edaran ini ditujukan untuk hal yang sama denganpengaturan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Hutan Adat, makamateri pengaturannya hampir tidak ada perbedaan dengan RPP HutanAdat. Pada dasarnya, surat edaran ini berisikan tiga hal penting, yakni:Pertama, pengukuhan keberadaan masyarakat hukum adat dilakukandalam rangka penetapan hutan adat oleh menteri. Sekedarperbandingan, UU Kehutanan Baru sendiri tidak menegaskan bahwapengukuhan keberadaan masyarakat hukum adat dilakukan dalamrangka penetapan hutan adat. Kedua, penelitian dalam rangkamemastikan keberadaan masyarakat hukum adat tidak hanyamelibatkan pakar hukum adat tetapi juga tokoh masyarakat daninstansi terkait. Ketiga, pengukuhan atau penghapusan keberadaanmasyarakat hukum adat dilakukan melalui Perda Propinsi, bukan olehPerda Kabupaten/ Kota seperti yang selama ini berlaku.

Tidak berlebihan apabila surat ini disebut sebagai jelmaan RPP HutanAdat dalam bentuk surat edaran. Selain sebagai jelmaan RPP HutanAdat, pada bagian awalnya, surat edaran ini mengulangi ketentuanmengenai hutan adat dan masyarakat hukum adat seperti yang diaturdalam UU Kehutanan Baru. Misalnya ketentuan yang mengatakanbahwa hutan adat merupakan bagian dari hutan negara, ketentuanmengenai hak masyarakat hukum adat atas hutan adat dan ketentuanmengenai unsur-unsur keberadaan masyarakat hukum adat.

Pada tahun 2000, pemerintah mengeluarkan Keputusan MenteriKehutanan dan Perkebunan No. 05.1/Kpts-II/2000 tentang Kriteriadan Standar Perizinan Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan dan PerizinanPemungutan Hasil Hutan pada Hutan Produksi. Sekalipun dikeluarkansetelah pemberlakuan UU Kehutanan Baru, surat keputusan (SK) inisebenarnya merupakan peraturan pelaksana dari PP No. 6/1999 danPP No. 25/2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan KewenanganPropinsi sebagai Daerah Otonom. Seperti sudah disinggungsebelumnya, PP No. 6/1999 diberlakukan dalam suasana reformasi.Tidak heran bila PP ini meninggalkan sejumlah ketentuan yang diaturdalam PP yang digantikannya. PP No. 6/1999 tidak lagi mengatakan

Page 26: 2007-12 Mengapa UU Kehutanan Perlu Direvisi

20

bahwa untuk kepentingan kegiataan pengusahaan hutan, keberadaanhak masyarakat hukum adat atas hutan dapat dibekukan. Dengan carayang sopan, PP ini mengatakan bahwa masyarakat hukum adat,sepanjang dalam kenyataannya masih ada dan diakui keberadaanya,berhak mendapatkan hak memungut hasil hutan sekalipun masihuntuk keperluan sehari-hari.

Untuk hak pemungutan hasil hutan yang bertujuan komersial, PP inimenegaskan bahwa pemberiannya diutamakan untuk memenuhikebutuhan masyarakat setempat (Pasal 24 ayat 2). Hak PemungutanHasil Hutan (HPHH) tersebut diberikan oleh Bupati Kepala DaerahTingkat II dengan luas maksimal 100 hektar untuk waktu 1 tahun.Sebelumnya, kewenangan untuk memberikan HPHH untuk skalatersebut diberikan kepada Gubernur. Berdasarkan ketentuan PP No.6/1999 dan PP No. 25/2000 tentang Kewenangan Pemerintah danKewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom tersebut, pemerintahkemudian memberlakukan Keputusan Menteri Kehutanan danPerkebunan No. 05.1/Kpts-II/2000. Dalam keputusan ini dikatakanbahwa HPHH dapat diberikan kepada perorangan, koperasi dan badanhukum. SK ini pula yang mendasari diberlakukannya sejumlah Perdaatau SK Bupati/ Walikota mengenai HPHH atau IUPHH. Karenadianggap turut menyebabkan bencana banjir dan kerusakanlingkungan, SK Menteri Kehutanan dan Perkebunan No. 05.1/Kpts-II/2000 kemudian dicabut oleh Surat Keputusan Menteri KehutananNo. 541/Kpts-II/2002. Pencabutan ini juga menandai dihapuskannyakewenangan Gubernur dan Bupati/ Walikota untuk memberikan HPH/Izin Usaha Pemungutan Hasil Hutan.

Selain melatari lahirnya SK Menteri Kehutanan dan Perkebunan No.05.1/Kpts-II/2000, PP No. 6/1999 juga mendasari pembuatan SuratKeputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan No. 317/Kpts-II/1999 tentang Hak Pemungutan Hasil Hutan Masyarakat Hukum Adatpada Areal Hutan Produksi. Menurut SK ini izin hak memungut hasilhutan dapat diberikan kepada masyarakat hukum adat baik pada arealyang telah dibebani HPH maupun belum. Untuk areal yang telahdibebani HPH, izin akan diberikan apabila telah ada persetujuan daripemegang HPH. Setelah mendapatkannya, masyarakat hukum adatdapat mengajukan permohonan izin hak pemungutan hasil hutan(IUPHH) kepada pejabat yang berwenang. IUPHH baru akan diberikankepada kelompok masyarakat yang sebelumnya telah ditetapkan olehBupati sebagai masyarakat hukum adat. Izin yang sudah didapatkanjuga hanya boleh dipakai untuk memungut hasil hutan untuk keperluansendiri, bukan untuk keperluan komersial. Jadi, tampaknya SKMenteri Kehutanan dan Perkebunan ini hanya mengganti peristilahanuntuk menyesuaikan diri dengan PP No. 6/1999. Karena dianggapbertentangan dengan UU Kehutanan Baru dan PP No. 34/2002, SKBupati No. 317/Kpts-II/1999 dicabut dan dinyatakan tidak berlakulagi melalui Keputusan Menhut No. 541/Kpts-II/2005.

Page 27: 2007-12 Mengapa UU Kehutanan Perlu Direvisi

21

Dari sekian Keputusan/ Peraturan Menteri, Peraturan MenteriKehutanan (Permenhut) No. PS. 01/2004 tentang PemberdayaanMasyarakat Setempat di Dalam dan/ atau Sekitar Hutan dalam RangkaSocial Forestry (Permehut SF), merupakan satu dari sedikit peraturanyang tergolong bukan menggantikan keputusan sebelumnya.Sekalipun tidak disebut-sebut dalam UU Kehutanan Baru, olehPermenhut SF, social forestry telah dijadikan acuan atau payungseluruh program dan kegiatan pemberdayaan masyarakat. HutanKemasyarakatan (HKm) dan Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat(PHBM) hanya didudukan sebagai jenis-jenis kegiatan pemberdayaanmasyarakat. Menurut Permenhut ini, izin pemanfaatan hasil hutankayu pada hutan alam dan hutan tanaman dalam rangka social forestrydiberikan oleh menteri dengan lelang terbatas. Sedangkan izinpemanfaatan jasa lingkungan, izin pemanfaatan kawasan dan izinpemungutan hasil hutan bukan kayu diberikan oleh bupati/walikotamelalui permohonan. Izin-izin tersebut diberikan kepada masyarakatsetempat yang telah diberdayakan.

Satu golongan dengan Permenhut SF adalah Permenhut No. P. 26/Menhut-II/2005 tentang Pedoman Pemanfaatan Hutan Hak(Permenhut Hutan Hak). Permenhut ini bukan menggantikanperaturan sebelumnya. Menurut Permenhut ini pemanfaatan hutanatas hutan hak hanya boleh dilakukan oleh pemegang hak. Hak yangdimaksud adalah hak milik, hak guna usaha dan hak pakai.Pemanfaatan tersebut dapat berupa pemanfaatan hasil hutan kayu,pemanfaatan hasil hutan bukan kayu, dan pemanfaatan jasalingkungan. Pemegang hutan hak berhak mendapatkan pemberdayaandari pemerintah.

2.2.3. Peraturan Pelaksana Pengganti Peraturan PerundanganLama

Pada bagian sebelumnya telah disampaikan bahwa Keputusan/Peraturan Menteri yang lahir sesudah pemberlakukan UU KehutananBaru sebagian besar merupakan pengganti dari keputusan lama.Sebelumnya, beberapa contoh telah disebutkan. Misalnya keputusanmengenai izin hak pemungutan hasil hutan olah masyarakat hukumadat. Contoh lainnya adalah Keputusan Menteri Kehutanan danPerkebunan No. 677/Kpts-II/1998 jo. Keputusan Menteri Kehutanandan Perkebunan No. 865/Kpts-II/1999 tentang PenyelenggaraanHutan Kemasyarakatan. Kedua keputusan ini digantikan olehKeputusan Menteri Kehutanan No. 31/Kpts-II/2001 tentangPenyelenggaraan Hutan Kemasyarakatan. Secara tegas dikatakanbahwa penggantian ini dilakukan dalam rangka menyesuaikan diridengan ketentuan UU Kehutanan Baru.

Page 28: 2007-12 Mengapa UU Kehutanan Perlu Direvisi

22

Page 29: 2007-12 Mengapa UU Kehutanan Perlu Direvisi

23

III. Dampak-dampak Pemberlakuan Undang-Undang Kehutanan

Informasi mengenai dampak-dampak yang disebutkan dalam kajian ini sebagianbesar berasal dari serial diskusi daerah seperti yang sudah disebutkan pada bagianPengantar dari kajian ini. Dampak-dampak yang dimaksud adalah yang lahir akibatpemberlakukan atau implementasi UU Kehutanan Lama dan UU Kehutanan Baru.

Secara kuantitatif, dampak-dampak tersebut masih lebih banyak akibat daripemberlakukan UU Kehutanan Lama. Ada dua penyebab mengapa sebagiandampak-dampak yang disebutkan dalam kajian ini masih tergolong sebagai akibatpemberlakukan UU Kehutanan Lama, yakni: Pertama, sebagian izin-izin usahadibidang kehutanan yang diberikan atas dasar UU Kehutanan Lama dan peraturanpelaksananya masih belum berakhir. Kedua, sebagian besar peraturan pelaksanadari UU Kehutanan Lama masih dinyatakan berlaku karena dianggap tidakbertentangan dengan UU Kehutanan Baru. Sekalipun secara sosiologis dan historisbisa dikatakan bahwa sebagian besar dari dampak tersebut masih diakibatkanoleh pemberlakuan UU Kehutanan Lama dan peraturan pelaksannya, namunsecara yuridis-normatif dampak-dampak tersebut sesungguhnya tergolongsebagai akibat pemberlakukan UU Kehutanan Baru karena saat ini dasar hukumdari seluruh izin/ hak dan peraturan pelaksana yang masih berlaku adalah UUKehutanan Baru. Sekalipun izin/ hak dan peraturan pelaksana tersebut dikeluarkandan diberlakukan berdasarkan UU Kehutanan Lama, namun sejak UU KehutananBaru diberlakukan, dasar hukum tersebut dengan sendirinya telah beralih.

3.1. Dampak-dampak yang Timbul

Dampak-dampak yang ditimbulkan dari pemberlakuan UU Kehutanan yangditemukan dalam kajian ini adalah: (1) Ketidakjelasan, ketidakpastian hakdan kewajiban/ tanggung jawab serta ketidakamanan dalam pengurusanhutan; (2) Berkurangnya akses masyarakat terhadap hutan; (3) Adaketimpangan alokasi hutan yang dikelola masyarakat, perusahaan swastadan negara; dan (4) Tumpang tindih status kawasan.

3.1.1. Ketidakjelasan, Ketidakpastian Hak dan Kewajiban/Tanggung Jawab, serta Ketidakamanan dalam PengurusanHutan

Karena hutan masyarakat lokal telah beralih menjadi hutan dalamkawasan hutan negara, maka negara memiliki kewenangan untukmembuat aturan di atasnya. Termasuk aturan yang membatasi danbahkan melarang orang untuk memasuki dan beraktivitas di dalam

Page 30: 2007-12 Mengapa UU Kehutanan Perlu Direvisi

24

kawasan hutan. Begitu juga aturan yang membolehkannyamemberikan hak kepada orang atau badan hukum tertentu untukmengambil manfaat atas hasil hutan. Pembatasan, pelarangan ataubahkan pengusiran masyarakat lokal dari kawasan hutan berawal darikewenangan ini. Di dalam kawasan pelestarian alam dan kawasan suakaalam, pada zona dan blok tertentu dilarang untuk melakukan kegiatanapapun, sementara pada zona dan blok lain hanya diperbolehkanmelakukan kegiatan tertentu saja. Pada kawasan yang telah dibebaniizin atau hak, pemerintah memberikan hak kepada pemegang izinatau hak untuk melarang setiap orang yang memanfaatkan kawasantersebut tanpa seizin pemegang izin atau hak tersebut.

Tidak bisa disangkal bahwa pelarangan atau pembatasan masyarakatlokal untuk masuk ke dalam kawasan hutan telah memenggal relasimereka dengan hutan. Dalam bentuk yang sederhana, pemenggalanini telah menyebabkan masyarakat lokal kehilangan akses dalammengelola hutan, seperti yang terjadi di Kawasan Ekosistem Halimun,Garut dan Pandeglang (Jawa Barat), Serang (Banten), juga diBanyumas, Purbalingga dan Pemalang (Jawa Tengah). Pelaranganyang sama juga dapat ditemui di Kampung Ponti Tapau, KecamatanEntikong, Kabupaten Sanggau (Kalimantan Barat). Masyarakat di DesaMaholo, Watutau, Tamadue, Wuasa, Alitupu, Winowanga dan Wangadi Kecamatan Lore Utara, Kabupaten Poso (Sulawesi Tengah), bahkandilarang untuk memasuki kebun dan sawahnya. Disejumlah kawasanPerhutani di Jawa Barat dan Banten, akses masyarakat untukmemanfaatkan hutan terus menyempit karena berbagai tindakan dankebijakan berikut ini:

1 . Pencegahan penggarapan oleh para mantri;

2. Ancaman terhadap masyarakat;

3. Perampasan alat-alat pertanian;

4. Penahanan pengggarap; dan

5. Pungutan 25% oleh Perhutani.

Kejadian lebih ironis dialami oleh warga Nagari Simarasok, KabupatenAgam (Sumatera Barat). Sekitar tahun 80-an, penduduk nagari inidiperintahkan oleh pegawai Dinas Kehutanan Propinsi untukmenanam pohon pinus. Karena menganggap bahwa lahan yang akanditanami pinus tersebut termasuk kedalam hak ulayat nagari,penduduk pun dengan senang melakukannya. Lahan yang ditanamimencapai 100 Ha. Ternyata, setelah besar dan siap panen, pendudukdilarang mengambil kayu pinus tersebut dengan alasan bahwa pohonpinus tersebut berada di dalam kawasan hutan lindung.

Larangan memasuki kawasan hutan bukan hanya menghilangkan aksesuntuk mengelola hutan tetapi juga menyebabkan punahnya situs-situs budaya. Situs-situs itu punah karena masyarakat lokal tidak bisa

Page 31: 2007-12 Mengapa UU Kehutanan Perlu Direvisi

25

lagi merawatnya sejak dilarang memasuki kawasan hutan seperti yangterjadi di Kampung Bonglo, Kecamatan Bastem, Kabupaten Luwu(Sulawesi Selatan). Sementara, disejumlah desa di KabupatenDonggala dan Poso (Sulawesi Tengah), kepunahan situs-situs budayaditandai dengan kenyataan-kenyataan berikut ini:

1 . Hilangnya situs-situs megalith;

2. Rusaknya kuburan-kuburan tua; dan

3. Punahnya tempat-tempat bersejarah antara lain kampung tua,kuburan leluhur, tempat-tempat ritual keagaaman, simbol-simbolketahanan pangan.

Karena hutan merupakan bagian dari wilayah atau ruang hidup(lebensraum) masyarakat lokal, pemisahannya dengan masyarakatlokal selalu menyebabkan perubahan atau pergeseran pada paham,nilai dan tatanan sosial. Paham, nilai dan tatanan sosial masyarakatlokal lahir dari hasil melakukan interaksi dengan alam, termasukhutan. Logikanya, bila hutan dipisahkan dari mereka sama artinyadengan meniadakan sumber lahirnya paham, nilai dan tatanan sosialtersebut. Mengambil hutan dari mereka identik dengan mengambilpaham, nilai dan tatanan sosial mereka. Kini, masyarakat diKabupaten Melawi (Kalimantan Barat) berpotensi meninggalkanpaham komunal mereka yang mengibaratkan rimba sebagai ibu yangmampu menyediakan dan memenuhi kebutuhan hidup bagimasyarakat.

Bersamaan dengan hilangnya hutan dari kehidupan mereka, orientasinilai juga turut berubah. Hutan tidak lagi dilihat sebagai manifestasisimbolik (misalnya hutan sebagai ibu) melainkan komoditas. Begitujuga dengan tanah yang menjadi wadah bertumbuhnya hutan. Bilasebelumnya hutan rimba dipandang sebagai milik bersama yangmemiliki fungsi religi dan ekologis, saat ini ia diperebutkan dandiklaim sebagai milik perorangan dengan pertimbangan keuntunganekonomi semata. Bahkan, tanah-tanah yang tidak berhutan lagi dijualkepada perusahaan kelapa sawit atau kepada perusahaanpertambangan. Masyarakat lokal dengan mudah melepaskan tanah-tanah tersebut walaupun perusahaan hanya menyampaikan janji-janjikesejahteraan. Semakin masyarakat lokal terintegrasi kedalambudaya modern, semakin merosot pengetahuan ekologi merekaseperti yang terjadi di Kawasan Ekosistem Halimun (Jawa Barat).

3.1.2. Berkurangnya Akses Masyarakat terhadap Hutan

Menurut UUK 41/99, pengelolaan hutan termasuk salah satu kegiatanpengurusan hutan. Pengelolaan hutan meliputi tata hutan danpenyusunan rencana pengelolaan hutan; pemanfaatan hutan danpenggunaan kawasan hutan; rehabilitasi dan reklamasi hutan; sertaperlindungan hutan dan konservasi alam.

Page 32: 2007-12 Mengapa UU Kehutanan Perlu Direvisi

26

Negara (baca : pemerintah) selama ini masih memposisikan dirinyasebagai otoritas tunggal penguasa hutan, yakni sebagai penguasatanah hutan, pengusaha hasil hutan, sekaligus institusi yangbertanggung jawab atas pelestarian hutan. Kekuasaan besar dan tanpakontrol dari rakyat ini mudah melahirkan politik pengabaian danpenggusuran hak-hak rakyat atas pengelolaan dan pemanfataansumberdaya hutan (Mukhtie Fajar, 2003). Dalam kenyataan empirikdapat kita lihat, bagaimana pemerintah lebih banyak memberikankemudahan dan perlindungan kepada para pengusaha kehutanan baikmilik negara maupun swasta dibanding kepada masyarakat lokal yanghidup di sekitar dan di dalam kawasan hutan. Pemberian kemudiandan perlindungan tersebut dalam banyak kasus semakin mengurangiakses masyarakat lokal terhadap sumberdaya hutan. Berikut contoh-contoh kasus yang mewakili kenyataan di atas, yaitu :

1 . Hilangnya ruang kelola Masyarakat Kasepuhan Cibedug

Kasus muncul sejak tahun 2003, ketika wilayah MasyarakatKasepuhan Cibedug, Desa Citorek, di Kecamatan Cibeber, KabupatenLebak, secara sepihak dimasukkan ke dalam wilayah yang ditunjukoleh Departemen Kehutanan sebagai Kawasan Hutan pada tahun 1992.Kemudian pada tahun 2003, melalui SK Menteri Kehutanan No.175/2003, ditetapkan perluasan Taman Nasional Gunung Halimun Salakdari semula seluas 40.000 ha menjadi 113.000 ha. Keputusantersebut sama sekali tidak memerdulikan keberadaan masyarakatkasepuhan yang secara historis telah berada di wilayah tersebutsebelum era kemerdekaan Republik Indonesia.

Perluasan wilayah pengelolaannya Taman Nasional Gunung HalimunSalak tersebut, membawa konsekuensi adanya perubahan fungsihutan adat masyarakat menjadi fungsi konservasi dimana masyarakatdilarang melakukan kegiatan di dalamnya. Dengan demikian pula,akses masyarakat terhadap hutan semakin sempit dan bila masyarakatmemaksa masuk ke dalam kawasan Taman Nasional tak jarangmasyarakat menjadi korban dari tindakan kekerasan yang dilakukanoleh aparat Balai Taman Nasional, berupa perampasan alat maupunintimidasi.

2. Pembatalan Perda Pengelolaan Sumber Daya Hutan BerbasisMasyarakat Kabupaten Wonosobo

Dilatarbelakangi oleh kejadian penjarahan hutan besar-besaran yangdimulai tahun 1998 dikawasan hutan negara yang dikelola oleh PerumPerhutani, dimana faktanya terdapat oknum-oknum perhutani yangterlibat, membuktikan ketidakmampuan Perhutani dalam mengelola(sekaligus mengawasi) hutan yang berada di Kabupaten Wonosobo.Penjarahan tersebut masih berlangsung sampai sekarang danmenimbulkan kerusakan ekologis dan infrastruktur serta kerawanansosial. Bencana ekologis tak dapat dihindari yang tidak hanya terjadi

Page 33: 2007-12 Mengapa UU Kehutanan Perlu Direvisi

27

di Wonosobo, tetapi juga dirasakan di Purwokerto, Banjarnegara danCilacap akibat meluapnya sungai serayu.

Dengan latar belakang tersebut, masyarakat di sekitar hutan berusahamenghutankan kembali sekaligus melestarikan hutan yang beradadiwilayah kekuasaan Perhutani. Usaha ini digagas karena masyarakatmeyakini bahwa cara Perhutani dalam mengelola hutan melaluiPenanaman Pinus dan Damar tidak cocok dengan kondisi tanah yangada. Pengelolaan hutan yang dikembangkan oleh masyarakat diyakinipaling pas yaitu memadukan berbagai jenis tanaman (multikultur)terutama yang dapat menyerap air.

Atas dorongan masyarakat dan jaringan Ornop di KabupatenWonosobo, DPRD menyetujui penerbitan Perda Pengelolaan SumberDaya Hutan Berbasis Masyarakat (PSDHBM) No.22 tahun 2001. Perdayang memberi ruang besar bagi masyarakat sekitar hutan untuk turutmengelola hutan secara lestari justru dilawan oleh Perum Perhutani.Setelah berlaku selama 4 tahun, akhirnya Perda ini dibatalkan olehPeraturan Menteri Dalam Negeri No 9 Tahun 2005 dengan alasanbertentangan dengan UUK 41/1999. dengan begitu, akses yangsemula terbuka, saat ini menjadi tertutup kembali.

3. Hilangnya Hutan Adat Mobui untuk proyek pertambangan danHTI

Masuknya ijin Usaha Pertambangan Emas dan Pengusahaan HTI untukPT. Lunar di kampung Mobui, Kecamatan Kembayan, KabupatenSanggau, telah mengambil alih tanah-tanah adat masyarakat Mobui.Penerbitan ijin usaha tersebut dilakukan dengan cara pemelintiraninformasi oleh Dinas Kehutanan yang menyatakan bahwa perusahaantersebut telah mendapat ijin dan akan membantu peningkatankesejahteraan masyarakat adat setempat. Dengan janji tersebut,masyarakat mendukung usaha tersebut dengan mengadakan upacaraadat. Namun kenyataannya, usaha yang dilakukan oleh PT. Lunartidak melibatkan masyarakat adat Mobui, padahal tempat usahatersebut berada di dalam wilayah adat Mobui. Akibatnya, masyarakattidak dapat lagi masuk dan melakukan usaha pertanian di wilayahadat yang telah menjadi tempat usaha PT.Lunar.

Dengan ketiga contoh kasus di atas, nampak jelas berkurangnya aksesmasyarakat yang hidup di dalam dan di sekitar kawasan hutan terhadapsumber daya hutan. Penyebabnya adalah keputusan-keputusanPemerintah mengenai penunjukkan kawasan hutan secara sepihak,penetapan-penetapan status dan fungsi kawasan secara sepihak danpemberian ijin-ijin usaha di kawasan hutan yang masih memilikikonflik tenurial dengan tanah-tanah adat.

Page 34: 2007-12 Mengapa UU Kehutanan Perlu Direvisi

28

3.1.3. Adanya Ketimpangan Alokasi Hutan yang DikelolaMasyarakat, Perusahaan Swasta dan Negara

Laporan Statistik Kehutanan 2005 yang dikeluarkan oleh DepartemenKehutanan menyebutkan bahwa luas kawasan hutan Indonesiaberdasarkan Penunjukan kawasan hutan dan Tata Guna Hutan denganKesepakatan adalah 133,573,405.58 ha. Kawasan hutan tersebutkemudian dialokasikan untuk berbagai peruntukan dan kepentingan.Sampai tahun 2005, kawasan konservasi seluas 20,020,769.87 Ha,hutan lindung sebanyak 31,603,629.02 Ha, Hutan Produksi Terbatasseluas 22,495,859.26 Ha, Hutan Produksi Tetap seluas 36,649,918.43Ha, Hutan Produksi Konversi seluas 22,795,961.00 Ha, dan HutanBerfungsi Khusus seluas 7, 268.00 Ha.

Untuk sekedar melihat perbandingan penerbitan ijin di kawasan hutanproduksi, sampai tahun 2005 dialokasikan untuk kepentingan, HutanTanaman Industri (HTI) berdasarkan SK definitif dari Menhut sampaitahun 2005 yang tersebar di seluruh Indonesia seluas 5,734,980.00Ha dan IUPHHK Hutan Alam (HPH) seluas 27.72 Juta ha.

Sedangkan alokasi untuk masyarakat melalui program-programDepartemen Kehutanan seperti HKm (Hutan Kemasyarakatan) adalahseluas 39,082.00 Ha, Hutan Rakyat seluas 13,760.00 Ha, danPembangunan Areal Model Dalam Rangka PengembanganPengelolaan Hutan Rakyat seluas 91,984.00 Ha.

Kalau kita cermati lebih jauh, data statistik tersebut menunjukkanalokasi yang dibangun/dikembangkan untuk usaha industri dibandingalokasi untuk usaha-usaha masyarakat sungguh timpang. Bagandibawah ini menunjukkan alokasi yang timpang tersebut.

Page 35: 2007-12 Mengapa UU Kehutanan Perlu Direvisi

Tetapi sejatinya, masyarakat yang tergantung baik langsung atau tidak langsung terhadap usaha-usaha pemanfaatan hutan jauh melebihi dari jumlah yang resmi menurut pemerintah. Mereka secara de facto menempati kawasan hutan. Situasi ini disebabkan karena masih adanya klaim masyarakat atas kawasan hutan yang belum terselesaikan.

Menurut, Chip Fay dkk (2006), sampai dengan awal 2005, proses penatabatasan baru berhasil mencakup 12 juta hektar, atau sekitar 10% dari 120 juta hektar ’Kawasan Hutan’, menyisakan 108 juta hektar dengan status tak pasti dengan ketiadaan informasi atas hak-hak yang melekat pada kawasan tersebut. Hal tersebut berarti luas ’Kawasan Hutan Negara’ Indonesia yang resmi saat ini hanyalah 12 juta hektar, bukan 120 juta hektar seperti yang umumnya dianggap. ’Kawasan Hutan’ yang tersisa 108 juta hektar dapat dianggap sebagai ’Kawasan Hutan Non-Negara’ dan merupakan tanah yang dipertimbangkan oleh BPN dikuasai oleh negara, tetapi bukan ’Tanah Negara’, karena pemerintah harus menentukan apakah hak-hak atas tanah ada atau tidak (seperti yang disyaratkan oleh PP No.24/1997 tentang pendaftaran tanah). Sebagai hasilnya, negara tidak dapat memberikan hak pengelolaan, pengusahaan atau hak pakai (bahkan jika negara masih ’menguasai’ tanah tersebut) atas kawasan bersangkutan hingga ditentukan apakah terdapat hak privat di atasnya.

3.1.4. Tumpang Tindih Status Kawasan

Tumpang tindih status penguasaan dan pengelolaan hutan adalah situasi dimana didalam satu wilayah terdapat dua atau lebih klaim penguasaan dan atau pengelolaan hutan. Tumpang tindih bisa terjadi pada aspek penguasaan atas hutan antara masyarakat dengan Negara, pada aspek pengelolaan antara berbagai ijin yang diterbitkan oleh Pemerintah kepada perusahaan-perusahaan, dan pada aspek

29

Page 36: 2007-12 Mengapa UU Kehutanan Perlu Direvisi

administratif antara wilayah administrasi desa/kecamatan dengan kawasan hutan yang ditunjuk oleh Departemen Kehutanan. Berikut peta tumpang tindih di daerah Kalimantan Barat, tepatnya di Kabupaten Bengkayang sebagai contoh. Dari peta tersebut, dapat diambil simpulan mengenai tumpang tindih yang terjadi. Dari aspek administratif, penunjukan kawasan hutan oleh Departemen Kehutanan dengan sangat jelas bertumpang tindih dengan penetapan wilayah administratif oleh Departemen Dalam Negeri, dimana kawasan hutan baik yang berfungsi lindung dan produksi berada dalam wilayah-wilayah kecamatan yang telah ditetapkan. Sementara diantara berbagai ijin yang telah diterbitkan oleh Pemerintah baik melalui Departeman Kehutanan untuk ijin HPH dan HTI ataupun yang melalui Badan Pertanahan Nasional berupa HGU untuk usaha perkebunan. Misalnya antara Ijin HGU PT Mitra Inti Sejati dengan ijin HTI PT. Griya Graha Sari Makmur. Untuk lebih jauh mengenai peta tumpang tindih ini dapat di lihat dalam CD Peta Tumpang Tindih Pemanfaatan Sumber Daya Alam (HuMa-FWI)

Sementara tumpang tindih pada aspek penguasaan (klaim tenurial) antara masyarakat adat dengan negara (pemerintah) dapat dilihat pada peta berikut ini. Nampak jelas, wilayah adat masyarakat kasepuhan Citorek dan Cibedug, berada dalam wilayah penunjukkan kawasan hutan yang ditetapkan sebagai Taman Nasional Gunung Halimun-Salak. Masyarakat Kasepuhan Citorek dan Cibedug sampai dengan saat ini masih yakin bahwa wilayahnya merupakan hak mereka berdasarkan asal-usul keberadaan masyarakat kasepuhan yang telah ada sebelum Republik ini merdeka.

30

Page 37: 2007-12 Mengapa UU Kehutanan Perlu Direvisi

31

3.2. Modus

Dampak-dampak yang disajikan dalam bagian sebelumnya, terjadi karenapola tindakan berulang yang disebut sebagai modus. utama seperti yangtergambar diatas merupakan kontribusi dari beberapa modus atau bentukfisik bagaimana penerapan UUK didaerah. Modus-modus tersebut berupa :

3.2.1. Tindakan Pelanggaran HAM

Karena menolak kehadiran HPHH milik PT. SGB, masyarakat KampungPoti Tapau (Sanggau) dituduh sebagai penolak pembangunan.Perlakuan yang serupa diterima oleh Orang Tompu di KecamatanSigi Biromaru serta penduduk Boya (dusun) Marena, Desa Bolapapu,Kecamatan Kulawi. Karena menolak dipindahkan dari kampungnyayang terletak di kawasan Taman Nasional Lore Lindu, Orang Tompudituduh sebagai kelompok masyarakat yang anti pembangunan.Sedangkan penduduk Boya Marena digelari sebagai antipembangunan dan PKI gaya baru karena tetap bermukim dan berldangdi kawasan hutan yang telah dipancangi pal batas.

Bukan hanya sebatas diberi stigmaisasi, masyarakat lokal juga menerimaperlakuan lebih jauh yakni dikriminalisasi dengan tuduhan melanggarketentuan perundangan di bidang kehutanan. Di Kampung Cisiih (Bogor),beberapa anggota masyarakat ditangkap dan dikenakan hukuman dengantuduhan melakukan tindak pidana illegal logging1. Jika langkah konkritmengkriminalisasi masyarakat lokal masih terbilang relatif sedikit tidakdemikian dengan intimidasi lewat ancaman kriminalisasi. Jumlah tindakansemacam ini terbilang sangat banyak karena menjadi salah satu senjata yangmudah diambil. Ancaman kriminalisasi dikenakan kepada penduduk desayang tinggal di sekitar kawasan Perhutani yang berada di KabupatenBanyumas, Purbalingga dan Pemalang. Mereka diancam dengan tuduhanpelaku illegal logging dan penyerobotan hutan. Ancaman serupa jugamenimpa warga Nagari Malalo karena tetap menggunakan hutan produksiterbatas untuk kebun (parak). Masyarakat Desa Sipintun (Jambi), jugadiancam akan dikriminalkan karena tetap mengambil kayu dari kawasanhutan untuk keperluan rumah tangga.

Bentuk intimidasi lainnya yang dilakukan oleh aparat (kepolisian atau instansikehuutanan adalah dalam bentuk: ancaman, perampasan, pemukulan,penembakan, pengusiran, penahanan, penyitaan, pengambilan peralatansecara paksa) terhadap masyarakat. Pemerasan terhadap masyarakat dalambentuk “pajak” oleh Perhutani misalnya terjadi pada masyarakat KasepuhanCibedug yang disebut “panceun” dan pada masyarakat Desa Cababan yangdisebut “nyamblong”

Dari gambaran-gambaran diatas, dapat ditarik benang merah darimodus penerapan UUK 41/1999 yang menghasilkan dampak-dampakadalah untuk memisahkan masyarakat dari sumberdaya hutan danpada akhirnya mensentralisasi pengelolaan dan penguasaan hutanditangan pemerintah.

Page 38: 2007-12 Mengapa UU Kehutanan Perlu Direvisi

32

Akibat dari semua itu, dalam pendekatan Hak Azazi Manusia (HAM),semua perlakuan-perlakuan yang diterima masyarakat tersebut telahmenyebabkan terlanggarnya hak-hak mereka. Hak-hak tersebutberada dalam ruang lingkup Hak Sipil Politik dan Hak Ekonomi Sosialdan Budaya.

No. Hak Sipil Politik (HSP) Hak Ekonomi, Sosial danKultur(EKOSOK)

1 .

2 .

3 .

4 .

5 .

Hak untuk menentukan nasibsendiri. Berdasarkan hak tersebutsemua orang bebas untukmenentukan status politik danbebas untuk mengejar kemajuanekonomi, sosial dan budaya.

Hak untuk tidak dikenakanpenyiksaan atau perlakuan atauhukuman lain yangkeji, tidakmanusiawi atau merendahkanmartabat..

Hak atas kebebasan dan keamananpribadi.

Hak untuk diakui sebagai pribadidihadapan hukum.

Hak atas perlindungan hukumyang sama tanpa diskriminasiapapun.

Hak atas pekerjaan, termasuk hak semuaorang atas kesempatan untuk mencarinafkah melalui pekerjaan yang dipilihatau diterimanya secara bebas.

Hak atas standar kehidupan yang layakbaginya dan keluarganya, termasukpangan, sandang dan perumahan, danatas perbaikan kondisi hidup terus-menerus.

Pelanggaran-pelanggaran atas HAM masyarakat pada peristiwa-peristiwa diatas dapat berupa pelanggaran tersendiri misalnya dalamkasus penangkapan dengan tuduhan pelaku Illegal Logging diKampung Cisiih-Banten. Pada kasus ini hak kebebsan dan keamananpribadi masyarakat telah dilanggar. Pada posisi ini kelihatan hanyaterjadi satu jenis pelanggaran.

Tetapi kalau diikuti lebih jauh, pelanggaran pertama ini diikuti olehpelanggaran lain dalam lingkup Ekosok yaitu hak atas standarkehidupan yang layak baginya dan keluarganya, termasuk pangan,sandang dan perumahan, dan atas perbaikan kondisi hidup terus-menerus. Penangkapan ini menyebabkan masyarakat kehilanganpekerjaan sehingga tidak dapat memenuhi standar hidupnya.

Pada proses selanjutnya, ternyata hak atas perlakuan yang samadimuka hukum juga terlanggar. Hal ini disebabkan oleh tidakdiakuinya sisitem tenurial masyarakat pada wilayah yang samadimana berlaku sisitem tenurial negara.

Page 39: 2007-12 Mengapa UU Kehutanan Perlu Direvisi

33

3.2.2. Pemaksaan Tafsir atas Scientific Forestry

Scientific forestry (‘kehutanan ilmiah’) secara sederhana dapat diartikansebagai suatu sistem pengelolaan hutan yang berdasarkan prinsip-prinsipilmiah (modern). Inti dalam sistem tersebut adalah membuat kesan‘keteraturan’ dan meningkatkan efisiensi pengelolaan hutan agarmendapatkan keuntungan sebesar-besarnya baik bagi negara maupunpelaku bisnis kehutanan. Atau dengan kata lain, mengelola hutan untukmengakumulasi modal. Untuk mencapai tujuan tersebut, langkah-langkahyang diambil adalah (Peluso 1992, bab 3) :

1) membatasi akses orang (masyarakat) terhadap kayu dan hasil-hasil hutan lainnya terutama melalui pembuatan batas hutan yangdikuasai (baik di peta maupun di lapangan) dan peraturan yangberisi jenis-jenis kegiatan yang boleh dan tidak boleh dilakukandi dalam hutan yang telah dikuasai, serta membangun birokrasiuntuk menjalankan aturan-aturan tersebut dan mengambilkeputusan dalam pengelolaan;

2) menentukan jenis-jenis kayu yang bernilai ekonomi tinggi danmenghitung jumlah jenis-jenis tersebut melalui prosesinventarisasi hutan;

3) membagi hamparan hutan menjadi petak-petak (blok-blok) hutanuntuk memungkinkan eksploitasi hutan yang sistematis.

4) merekrut pekerja upahan untuk melakukan menjaga danmengeksploitasi hutan.

Sistem ini memiliki empat macam kecanduan (Anon 1999) :

1) kecanduan akan keseragaman untuk mendapatkan keuntunganmaksimal melalui konsep maximum sustainable yield danpenanaman kayu secara monokultur

2) kecanduan akan kuantifikasi yang menyederhanakankompleksitas dan dinamika ekosistem dalam mengembangkanmodel-model pengelolaan

3) kecanduan akan ‘palu godam’ dalam menjaga atau mengubahekosistem

4) kecanduan akan keuntungan yang mengabaikan berbagai dasar-dasar pemikiran lain dalam pengelolaan

5) kecanduan akan individualisme yang egois yang hanyamementingkan diri sendiri dan mengabaikan kepentingan orangbanyak

Scientific forestry juga melakukan monopoli pengetahuan, karenahanya pengetahuan ilmiah (modern) yang dipakai, sedangkanpengetahuan lokal diabaikan atau bahkan ditindas.

Page 40: 2007-12 Mengapa UU Kehutanan Perlu Direvisi

34

3.2.2. Pengambilan Paksa dan/atau Klaim Sepihak terhadaphutan

Karena sebelumnya sudah dirumuskan bahwa hutan negara adalahhutan yang bukan hutan milik, maka dengan mudah pemerintahmemasukkan hampir seluruh hutan yang dikuasai oleh masyarakatlokal sebagai hutan negara. Tindakan tersebut berkategori sebagaipengambilan paksa atau klaim sepihak, karena di sisi lain masyarakat-masyarakat lokal menganggap hutan tersebut sebagai milik mereka.Di Kampung Ponti Tapau, Kecamatan Entikong, Kabupatan Sanggau,hutan dan bahkan kebun-kebun mereka secara sepihak dimasukkansebagai hutan negara yang berfungsi lindung. Atas dasar itu, Bupatimemberikan Hak Pemungutan Hasil Hutan seluas 100 Ha kepadabadan hukum sekalipun lokasi yang diberikan menurut masyarakatlokal merupakan wilayah adat mereka. Begitu juga kehadiran HutanTanaman Industri di Kampung Lanong yang justru menyebabkankerusakan pada hutan kepunyaan masyarakat lokal. Sebelumnya,dasar dan pertimbangan yang sama dipakai oleh pemerintah pusatuntuk menerbitkan Hak Pengusahaan Hutan. Di Kabupaten Melawikehadiran pemilik HPH, PT Wahana Sokan Asilindo, ternyata mengambilsebagian besar kawasan rimba masyarakat lokal. Bagi masyarakat Dayakdi Melawi, rimba adalah wilayah yang masih utuh dan lebatpepohonannya serta beragam satwa di dalamnya yang merupakansumber penghidupan bagi masyarakat di sekitarnya. Sebagian besarwilayah rimba ini juga telah beralih menjadi hutan lindung yang dikuasaioleh negara.

Pemerintah berhasil menghutanlindungkan kawasan rimba tersebutdengan cara menipu para tumenggung. Kepada tumenggung,pemerintah mengatakan bahwa rimba yang dialihkan menjadi hutanlindung tersebut tetap menjadi hutan adat atau milik adat. Percayadengan penjelasan semacam itu, para tumenggung bersediamembubuhkan tanda tangan dalam berita acara penataan batas.

Di Nagari Simanau, Kabupaten Solok, Sumatera Barat, yang sebelumnyamasuk ke dalam kanagarian Rangkiang Luruih, pegawai pemdamemancang pal batas hutan produksi terbatas di kawasan yang menurutwarga Nagari Simanau merupakan ulayat kaum. Kawasan yang dipancangadalah wilayah yang oleh masyarakat diperuntukkan sebagai parak danhutan. Peristiwa ini terjadi pada tahun 1999. Argumen yang samadilakukan pemda Kabupaten Agam di Nagari Malalo ketika memancangpal batas hutan lindung yang arealnya memasuki ulayat nagari tersebut.

Perlakuan yang lebih kasar dialami oleh masyarakat Kasepuhan Cibedugdan warga Kampung Cisangku, Desa Malasari, Kec. Nanggung danKampung Gunung Eusing, Desa Curug Bitung, Kecamatan Nanggung,Kabupaten Bogor. Seluas 2.104,4 Ha, wewengkon Adat KasepuhanCibedug, pada tahun 1978, diclaim begitu saja oleh Perhutani sebagaimiliknya. Tindakan itu dilakukan sekalipun warga Kasepuhan Cibedugtelah menguasai wewengkon tersebut sejak tahun 1943. Setelah 14

Page 41: 2007-12 Mengapa UU Kehutanan Perlu Direvisi

35

tahun diclaim sepihak oleh Perhutani, wewengkon yang letakpersisnya di desa Citorek, Kecamatan Cibeber, Kabupaten Banten ini,pada tahun 1992 dimasukkan seluruhnya ke dalam Taman NasionalGunung Halimun-Salak (TNGHS). Bersamaan dengan perluasanTNGHS, wewengkon tersebut saat ini masuk ke dalam kawasan TamanNasional Gunung Halimun-Salak sejak tahun 2003. Perlakuan yangsama juga dilakukan oleh warga Kampung Cisangku, Desa Malasari.Saat Perhutani mendaku wilayah mereka pada tahun 1978, merekahanya mendapatkan ganti rugi sebesar Rp. 8.000/setengah hektar.Uang ganti rugi yang diberikan dengan cara menitip tersebut disertaidengan tindakan penanaman pohon pinus di areal persawahanpenduduk.

Sejumlah komunitas masyarakat lokal di Kabupaten Donggala,Sulawesi Tengah, juga menerima perlakuan pemerintah yang dengansepihak memasukkan sebagian atau seluruhnya wilayah mereka kedalam kawasan hutan. Seluas ±4.000 Ha wilayah masyarakat NgataTompu, Desa Ngata Baru, Kecamatan Sigi Biromaru, dimasukan kedalam kawasan Taman Hutan Raya Raranggunau. Sedangkan seluas±400 Ha wilayah Desa Rahmat, Kecamatan Palolo dimasukkan kedalam kawasan Taman Nasional Lore Lindu (TNLL). Begitu jugawilayah Desa Tuva, Kecamatan Gumbasa yang dimasukkan kawasanTNLL dan hutan lindung Gawalise.

Pengambilan secara sepihak hutan masyarakat lokal terlahir darisebuah anggapan bahwa hutan-hutan yang dimiliki oleh masyarakathukum adat dengan sendirinya beralih menjadi hutan negara padasaat persekutuan-persekutuan hukum telah lebur ke dalam organisasikekuasaan tertinggi bernama negara. Seluruh harta kekayaanpersekutuan hukum adat, termasuk hutan, dengan sendirinya beralihke dalam penguasaan negara.

Page 42: 2007-12 Mengapa UU Kehutanan Perlu Direvisi

36

Page 43: 2007-12 Mengapa UU Kehutanan Perlu Direvisi

37

4.1. Peta Inisiatif Mendorong Perubahan Kebijakan Kehutanan

Setelah diberlakukan beberapa tahun, oleh sebagian kalangan UU KehutananBaru dianggap tidak bisa langsung dijadikan sebagai tuntunan untukmenyelesaikan dampak dan masalah dalam bidang kehutanan. Kondisi inidimungkinkan karena selain karena tidak tegas mengoreksi kesalahan UUKehutanan Lama, juga karena harus menunggu sejumlah peraturan pelaksanaserta masih diberlakukannya peraturan perundangan pelaksana dari UUKehutanan Lama. Menyikapi kondisi ini, dengan tujuan menghasilkan UUKehutanan yang mengakui hak dan keterlibatan masyarakat lokal sekaligusbisa digunakan untuk menangani dampak-dampak pemberlakukan, sejumlahkalangan masyarakat sipil mulai menyuarakan perlunya perubahan ataurevisi terhadap UU Kehutanan Baru. Selain karena alasan substansial di atas,perubahan ini juga didasari oleh kritik terhadap muatan UU Kehutanan Baruyang tidak mengakomodir masukan-masukan mendasar kalangan masyarakatsipil pada saat pembahasannya. Salah satu masukan yang tidak diakomodiradalah pembagian hutan menurut statusnya ke dalam hutan negara, hutanadat dan hutan hak. Sekalipun belum bisa dipastikan hubungan sebabakibatnya, desakan perubahan UU Kehutanan Baru dari kalangan masyarakatsipil akhirnya berbuah dengan diagendakannya revisi UU No. 41/1999 dalamProgram Legislasi Nasional untuk tahun 2005-2009. Revisi UU KehutananBaru ini menempati urutan 252 dalam Prolegnas 2005-2009. Pembahasanrevisi UU ini sendiri sebenarnya telah masuk dalam Daftar RUU PrioritasTahun 2005 dengan menempati urutan ke-52. Namun sampai masa sidang2005 berakhir, revisi RUU tersebut tak kunjung dibahas. Dalam Daftar RUUPrioritas Tahun 2006, revisi UU Kehutanan Baru malah tidak sdicantumkanlagi.

Sembari menunggu revisi UU Kehutanan Baru, sejumlah daerah mencobamelakukan upaya-upaya terobosan yang dalam beberapa hal berbeda denganketentuan UU Kehutanan Baru dan peraturan pelaksananya. Dengan alasanuntuk merespon tuntutan masyarakat serta menghambat atau memperkecilangka laju kerusakan hutan, sejumlah pemerintah daerah telahmemberlakukan kebijakan-kebijakan daerah. Salah satu yang direspon adalahtuntutan masyarakat lokal agar pemerintah daerah mengakui keberadaanmereka serta hak-hak mereka atas sumber daya hutan. Dalam bentuknyayang konkret dan parsial, tuntutan tersebut adalah mengenai pengakuanhutan adat. Sekalipun tidak bisa dibuktikan dengan cepat dan akurat, arealhutan yang dituntut masyarakat ini sebagian berada di dalam kawasan hutannegara. Selain itu, hak atau izin yang mereka tuntut bukan hanya sekedarkegiatan memanfaatkan atau memungut tetapi juga hak untuk mengelola.

IV. Usulan Perubahan Undang-Undang Kehutanan

Page 44: 2007-12 Mengapa UU Kehutanan Perlu Direvisi

38

Dan hasil hutan yang dituntut untuk dapat dikelola, dimanfaatkan ataudipungut bukan hanya hasil hutan bukan kayu tetapi juga hasil hutan kayu.

Sekalipun menyadari bahwa hal yang dituntut oleh masyarakat lokal,sebagian atau seluruhnya, bukan merupakan kewenangannya, sejumlahpemerintah daerah tetap mengeluarkan peraturan daerah yangmengakomodasi tuntutan-tuntutan tersebut. Misalnya, mengakui danmenghormati hutan adat yang jelas-jelas berada di dalam kawasan hutan.Bukan hanya itu, dari segi formil, pengakuan hutan adat tersebut juga tidakmelewati tahapan pengukuhan keberadaan masyarakat hukum adat sepertiyang diatur didalam UU Kehutanan Baru dan Surat Edaran Menteri KehutananNo. S.75/Menhut II/2004 perihal Masalah Hukum Adat dan TuntutanKompensasi/ Ganti Rugi oleh Masyarakat Hukum Adat. Menariknya, pihakDepartemen Kehutanan seperti tidak menunjukkan keberatannya ataskebijakan daerah semacam ini karena justru memproses permohonanpenetapan arel sebagai hutan adat yang diajukan oleh pemda kabupatenbersangkutan. Bentuk lain dari terobosan yang mencoba mengakomodirtuntutan tersebut adalah pemberlakukan kebijakan daerah yangmemperkenalkan Pengelolaan Sumber Daya Hutan Bersama Masyarakat(PSDHBM), seperti yang dilakukan oleh Pemda Kabupaten Wonosobo, JawaTengah. Kebijakan yang lebih konkrit dihasilkan oleh Bupati Lampung Barat,Lampung, yang memberikan izin sementara HKm. Sekalipun lebih luas darihanya sekedar tuntutan hutan adat, kebuntuan perangkat legislasi nasional,juga dicoba diatasi lewat skema pengakuan hak ulayat. Dengan segalaketerbatasannya, skema ini juga dimaksudkan untuk mengakui keberadaansekaligus hak-hak masyarakat lokal atas sumber daya hutan. Kebijakan serupaini diberlakukan di Kabupaten Lebak, Banten, Kabupaten Nunukan,Kalimantan Timur, dan Kabupaten Kampar, Riau.

Demikian beberapa contoh kebijakan daerah yang mencoba merespontuntutan masyarakat lokal sekalipun dengan resiko menyimpangi ketentuanUU Kehutanan Baru dan peraturan pelaksananya. Seperti sudah disebutkan,Departemen Kehutanan sendiri memberlakukan standar ganda dalammenyikapi kebijakan-kebijakan daerah tersebut. Untuk kasus permohonanpenetapan areal hutan adat yang diajukan Pemda Kabupaten Bungo, Jambiuntuk hutan adat Desa Guguk, Departemen Kehutanan memilih untukmemprosesnya. Sementara terhadap kasus pemberlakukan Perda KabupatenWonosobo No. 22/2001 tentang Pengelolaan Sumber Daya Hutan BerbasisMasyarakat, dan Perda Kabupaten Kutai Barat dengan Perda No. 18/2002tentang Kehutanan Daerah, Departemen Kehutanan memilih tindakanmengajukan permohonan kepada Menteri Dalam Negeri agar membatalkanpemberlakukan kedua perda tersebut.

Bila sebagian kalangan masyarakat sipil mengajukan perubahan UUKehutanan Baru dengan alasan untuk pengakuan masyarakat lokal, makakalangan pengusaha pemilik izin atau perjanjian dibidang pertambangansebelum diberlakukannya UU Kehutanan Baru, mengusulkan perubahan UUKehutanan Baru dengan alasan menyebabkan ketidakpastian hukum.Sebanyak 150 pengusaha pemegang izin atau perjanjian dibidangpertambangan tersebut kemudian mengusulkan agar ada klausul yang

Page 45: 2007-12 Mengapa UU Kehutanan Perlu Direvisi

39

memastikan masih berlakunya izin dan perjanjian tersebut pascapemberlakukan UU Kehutanan Baru. Hasilnya, pemerintah kemudianmemberlakukan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu)No. 1 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 41 Tahun1999 tentang Kehutanan. Perpu ini menambahkan Pasal 83A dan Pasal 83Bpada UU Kehutanan Baru. Dengan penambahan ini maka semua izin danperjanjian dibidang pertambangan masih tetap berlaku sampai berakhirnyamasa izin atau perjanjian. Perpu ini kemudian diteruskan dengan KeputusanPresiden (Keppres) No. 41 Tahun 2004 tentang Perizinan atau PerjanjianDibidang Pertambangan yang Berada di Kawasan Hutan. Keppres inimenetapkan 13 perusahaan pertambangan yang bisa melakukan kegiatanpertambangan di dalam kawasan hutan. Puncak dari pemberian kepastianpada perusahan pertambangan tersebut adalah penetapan Perpu No. 1/2004menjadi UU No. 19 Tahun 2004 tentang Penetapan Peraturan PemerintahPengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan AtasUndang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan menjadi Undang-undang.

Dengan alasan dan pertimbangan yang berbeda, jejak UU No. 19/2004sebentar lagi akan diikuti oleh sebuah UU yang khusus mengatur mengenaipenanganan illegal logging. Usulan pembuatan UU tersendiri mengenai haltersebut didasarkan pada pertimbangan bahwa UU Kehutanan Baru tidakmemadai dalam rangka memberantas kegiatan illegal logging. Ancamanhukuman yang ditebarkan oleh UU Kehutanan Baru kepada pelaku illegallogging dianggap tidak sebanding dengan kerugian yang diakibatkan olehpraktik illegal logging. Selain dari aspek materiil, UU Kehutanan Baru jugadianggap tidak memadai pada aspek formil. Hukum acara pada UU Kehutanandan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dianggap tidak bisamengatasi kerumitan pada proses pembuktian. Sejauh ini, gagasan untukmembuat UU tersendiri mengenai illegal logging telah sampai padapembahasan Naskah Akademis dan RUU tentang Pemberantasan TindakPidana Penebangan Pohon di Dalam Hutan Secara Ilegal.

4.2. Usulan-usulan Materi Perubahan

Sekelumit gambaran mengenai dampak-dampak pemberlakukan UUKehutanan Baru, seperti dipaparkan di atas, sebenarnya memiliki kaitan logisdengan sikap UU Kehutanan Baru yang tidak: Pertama, menganggap UUKehutanan Lama melakukan kesalahan, dan Kedua, merombak muatanpengaturan UU Kehutanan Lama. Pengaturan mengenai masyarakat lokal,sekalipun bertambah dari sisi jumlah klausul, namun tidak memperlihatkanperbedaan mendasar dengan UU Kehutanan Lama. Keterlibatan masyarakatdalam pengurusan hutan diambangkan hanya sebatas diperhatikan dandipertimbangkan. Itu sebabnya, bentuk-bentuk pelibatan masyarakatsetempat masih menggunakan skema-skema lama yang sebenarnya dipenuhidengan berbagai keterbatasan. Misalnya skema Hutan Kemasyarakatan(HKm) dan Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM). Belakangan,bersama dengan social forestry, skema-skema tersebut dimasukkan sebagaicontoh-contoh pemberdayaan masyarakat. Sekalipun sudah dianut sejakdekade 80-an, belakangan pemberdayaan semakin diaksentuasi dalam

Page 46: 2007-12 Mengapa UU Kehutanan Perlu Direvisi

40

Materi Pengaturan

Perubahan UU Kehutanan Baru harusmenempatkan masyarakat lokal sebagaisalah satu pihak yang menentukanproses pengurusan hutan, terutamadalam tahapan perencanaan kehutanan.Penunjukan, penataan batas, pemetaandan penetapan kawasan haruspartisipatif dan transparan. Bentukkonkrit dari partisipasi itu adalahdengan melibatkan masyarakat lokaldalam proses penunjukan, penataanbatas dan penetapan. Bukan hanyasampai disitu, hasil akhir penataan batasharus merupakan hasil kesepakatandengan masyarakat setempat.

Pelibatan atau Peran Serta MasyarakatLokal

Deskripsi

pelibatan masyarakat. Akibatnya, pelibatan masyarakat lebih menonjolsebagai proyek (pemberdayaan) ketimbang pemberian izin atau hak.Orientasi proyek ini akhirnya menggiring jajaran staf Departemen Kehutanankedalam kontestasi yang tidak perlu. Satu kelompok mencobamenyelamatkan HKm, sedangkan kelompok yang lain mengembangkan socialforestry. Hasilnya, sebanyak 30 lokasi HKm dan tiga lokasi implemetasi socialforestry, terbengkalai karena tak kunjung mendapatkan penetapan arealsekalipun pencadangan dan pembedayaan telah dilakukan.

Sementara itu, esensi pengaturan mengenai hutan adat dan masyarakathukum adat relatif tidak ada perubahan kecuali hanya mendetailkanpengaturan. Detailitas pengaturan tersebut bukan malah membuat prosespengakuan keberadaan masyarakat hukum adat dan penetapan hutan adatmenjadi sederhana. Sebaliknya, penentuan persyaratan pemenuhan unsurdan prosedur penetapan membuat pengakuan tersebut cenderung menjaditidak mungkin terwujud.

Tak bisa dielakkan, muatan UU Kehutanan Baru dan mozaik peraturanpelaksana yang demikian cenderung meneruskan dampak-dampak yangsebelumnya telah muncul. Sekali lagi, situasi ini terjadi karena UU KehutananBaru tidak merombak UU Kehutanan Lama. Pemikiran dan usulan-usulanuntuk mengubah UU Kehutanan Baru bermula dari keprihatinan dankepedulian terhadap dampak-dampak yang tak kunjung ditangani. Dengandemikian, usulan perubahan terhadap UU Kehutanan Baru bertujuan untukmenghentikan dampak-dampak tersebut sekaligus menata pengurusan hutanyang mengakui hak dan melibatkan masyarakat lokal.

Sejauh ini, paling tidak dari yang berkembang dalam serial diskusi di SumateraBarat dan Jambi, Kalimantan Barat, Sulawesi Selatan, Jawa Tengah, JawaBarat dan Banten serta Sulawesi Tengah dan Sulawesi Barat, usulan-usulanmengenai perubahan UU Kehutanan Baru, mencakup materi-materi berikutini:

Page 47: 2007-12 Mengapa UU Kehutanan Perlu Direvisi

41

Penguasaan dan Pengelolaan Hutan Adatoleh Masyarakat Lokal

Pengakuan Keberadaan dan HakMasyarakat Adat

• Hutan adat yang selama inidimasukkan sebagai hutan negaradiserahkan kembali kepadamasyarakat adat. Perubahan UUKehutanan Baru harus menegaskanbahwa hutan-hutan yangdikembalikan itu dikuasai dandikelola menurut adat. Hutan adatharus dikategorikan sebagai hutanrakyat, bukan hutan negara. Untukhutan-hutan yang berada di dekatdesa, penguasaan danpengelolaannya diserahkan kepadadesa. Termasuk kawasan hutanyang sekarang dibawah pengelolaanPerhutani.

• Dalam bahasa yang lain,pembagian hutan berdasarkanstatusnya menjadi terdiri dari: (1)hutan negara; (2) hutan adat; dan(3) hutan hak.

• Pengakuan terhadap keberadaanmasyarakat adat didapatkan darikelompoknya sendiri. Paling tidakpengakuan tersebut dilakukanpemerintah bersama-sama denganmasyarakat. Dengan kata lain,pengakuan tersebut tidak perludiatur dalam Perda dengan alasandalam kenyataanya masyarakatadat memang ada bahkan sebelumRepublik Indonesia lahir.

• Pengakuan terhadap keberadaandan hak tidak boleh bersifatsetengah hati dengan caramengajukan persyaratan. Dengankata lain, pengakuan keberadaantidak memerlukan syarat,termasuk syarat untuk tidakbertentangan dengan kepentingannasional. Dalam hal ini hakmasyarakat adat atas sumber dayahutan harus dianggap juga sebagaibagian dari kepentingan nasional,bukan diluar kepentingan nasional.

• Pengaturan mengenai keberadaanmasyarakat adat diatur dengan UUtersendiri. Jadi, UU Kehutanantidak akan mengatur syarat danprosedur penetapan keberadaanmasyarakat hukum adat.·

Page 48: 2007-12 Mengapa UU Kehutanan Perlu Direvisi

42

Sejalan dengan penguasaan danpengelolaan hutan oleh masyarakatlokal, UU Kehutanan Baru juga harusmengatur pelimpahan kewenanganpengurusan hutan sampai ketingkatpemerintah desa. Jadi pelimpahantersebut tidak berhenti sebataspenyerahan kewenangan kepadapemerintah daerah (desentralisasiadministrasi), melainkan harusmerupakan transfer kekuasaan kepadamasyarakat (devolusi, desentralisasipolitik).

Desentralisasi Politik

• Pengakuan terhadap hutan adatharus diikuti pengakuan secarategas bahwa hukum yang berlakudi atas hutan adat adalah hukumadat.

Page 49: 2007-12 Mengapa UU Kehutanan Perlu Direvisi

43

1 UU Kehutanan Baru sendiri sebenarnya tidak menggunakan istilah ‘masyarakat lokal’.Istilah yang dipakai oleh undang-undang ini adalah ‘masyarakat adat’ dan ‘masyarakatsetempat’. Sekalipun undang-undang ini tidak membuat definisi mengenai kedua istilahtersebut namun keduanya dipakai untuk maksud yang berbeda. Masyarakat setempatbukanlah masyarakat adat dan sebaliknya. Untuk keperluan praktis, tulisan ini memilihmenggunakan istilah ‘masyarakat lokal’ untuk memaksudkan sekaligus baik masyarakatadat maupun masyarakat setempat.

2 Istilah ‘pengurusan hutan’ diambil dari UU Kehutanan Baru. Menurut undang-undangini pengurusan hutan meliputi kegiatan perencanaan hutan, pengelolaan hutan, penelitiandan pengembangan, pendidikan dan pelatihan, penyuluhan kehutanan serta pengawasan(Pasal 10 ayat 2). Istilah pengelolaan hutan sendiri mencakup kegiatan: tata hutan danpenyusunan rencana pengelolaan hutan, pemanfaatan hutan dan penggunaan kawasanhutan, rehabilitasi dan reklamasi hutan serta perlindungan hutan dan konservasi alam(Pasal 21). Dalam banyak pembahasan, hak masyarakat lokal umumnya hanyadikaitkan dengan pengelolaan hutan atau bahkan disempitkan kedalam pemanfaatanhutan. Hak masyarakat lokal sangat jarang dikaitkan dengan perencanaan hutan.

3 Dalam hal ini UU Kehutanan No. 41/1999 berbeda dengan UU No. 22/1999 tentangPemerintahan Daerah. UU No. 22/1999 melakukan melakukan review atau mengujisendiri undang-undang yang digantikannya, yakni UU No. 5/1974 tentang PemerintahanDaerah dan UU No. 5/1979 tentang Pemerintahan Desa. Tanpa ragu-ragu UU No. 22/1999 menyimpulkan bahwa dua undang-undang yang digantikannya, yangmenyeragamkan nama, bentuk, susunan dan kedudukan pemerintahan desa, tidaksesuai dengan jiwa Undang-undang Dasar 1945. Dengan bahasa yang lugas, UU No.22/1999 hendak mengatakan bahwa dua undang-undang yang digantikannya telahmelanggar ketentuan konstitusi.

4 UU Kehutanan Baru sebenarnya hanya menyebut-nyebut hak bersama atas hutanseperti hutan ulayat dan hutan marga. Namun menurut Menteri Kehutanan, M.S. Kaban,hak tersebut termasuk hak perorangan. Lihat M.S. Kaban dalam: ‘PengakuanKeberadaan dan Perlindungan Hak-Hak Masyarakat Hukum Adat dalam PengelolaanHutan di Indonesia”, makalah yang dibawakan pada Lokakarya yang diselenggarakansecara kolaboratif antara Komnas HAM, Mahkamah Konstitusi dan Departemen DalamNegeri, bertema: “Inventarisasi dan Perlindungan Hak Masyarakat Hukum Adat”, Jakarta,14-15 Juni 2005.

5 Kata lain untuk istilah ‘devolusi’ adalah desentralisasi politik. Desentralisasi politikmerupakan a transfer of political power from state to society. Istilah lain yang dipadankandengan istilah devolusi adalah istilah ‘otonomi’. Istilah desentralisasi politik dibedakandengan istilah desentralisasi administrasi yang diartikan sebagai a transfer ofmanagement from the central to local government.

6 Sejak akhir tahun 2005, PP ini mulai direvisi dan sampai sekarang masih berlangsung.Substansi dasar mengenai hak dan keterlibatan masyarakat lokal tidak diubah oleh

(Catatan Akhir)

Page 50: 2007-12 Mengapa UU Kehutanan Perlu Direvisi

44

revisi ini. Salah satu yang menjadi fokus revisi adalah mengenai pembentukan UnitPengelolaan Hutan atau Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH). Dari segi teknikperancangan, sebenarnya KPH menjadi muatan yang seharusnya diatur dalam PPPerencanaan Kehutanan.

7 Dalam Peraturan Menteri Kehutanan No. P. 26/Menhut-II/2005 tentang PedomanPemanfaatan Hutan Hak diatur bahwa inventarisasi dalam hutan hak dilakukan denganmelibatkan pemegang hak (pasal 6 ayat 1).

8 Belakangan ini, kasus yang menyerupai kejadian di Kampung Cisiih, cenderung terusbertambah. Tipe kasusnya adalah pengenaan tuduhan dan hukuman tindak pidanaillegal logging kepada penduduk lokal yang mengambil kayu untuk keperluan sehari-hari seperti pembangunan rumah. Penduduk lokal merasa berhak mengambil kayuyang menurutnya berasal dari hutan kepunyaannya sementara petugas berwenangmenganggap hutan tempat kayu tersebut diambil merupakan hutan negara. Berdasarkandokumentasi Perkumpulan HuMa, hingga saat ini, kasus yang meyerupai kasusKampung Cisiih adalah: Kasus Kontu (Kabupaten Muna, Sulawesi Tenggara).

Page 51: 2007-12 Mengapa UU Kehutanan Perlu Direvisi

45

Latar Belakang

Sudah sejak lama masyarakat yang hidup di dalam kawasan hutan dan disekitarkawasan hutan menerima dampak negatif atas pemberlakukan berbagai kebijakankehutanan. Situasi ini disebabkan karena dilevel undang-undang, tidak adajaminan yang kuat untuk keamanan hak mereka (tenure security). Akibatnya dilapangan banyak terjadi konflik-konflik kehutanan yang akarnya bermula darihak atas hutan ini. Dalam berbagai kesempatan, masyarakat ataupun LSMpendamping dilapangan menginginkan perubahan kebijakan kehutanan,khususnya Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan (UUK).

Huma sebagai sebuah lembaga yang bekerja bersama mitra-mitra di lapanganmengorganisir serangkaian kegiatan untuk mengentalkan dan mengkonstruksikankeinginan perubahan terhadap UUK. Kegiatan itu telah berlangsung selama tigatahun mulai dari kegiatan lapangan sampai pada kegiatan pembangunan jaringanpendukung dilevel nasional. Salah satu hasil dari kegiatan-kegiatan tersebut adalahterbentuknya Koalisi untuk Perubahan Kebijakan Kehutanan (KPKK).

Visi & Misi KPKK

Mendorong keterlibatan masyarakat dalam perubahan UUK.

Struktur Koalisi untuk Perubahan Kebijakan Kehutanan

Sekretariat : HuMaKoordinator : Andiko dan Ratih

Tim Substansi:

Martua Sirait, Hariadi Kartodihardjo, Sandra Moniaga, Albertus Hadi Pramono,Hedar Laudjeng (Perkumpulan Bantaya, Sulteng), Dyan (JKPP Wonosobo, Jateng),Kurnia Warman, Myrna Safitri, Rikardo Simarmata, Adhi Prasetyo (RACAInstitute), Asep Y. Firdaus (HuMa), Abdon Nababan (AMAN), Concordius Kanyan(LBBT, Kalbar), Bawor Purbaya (LBH Semarang, Jateng), Emil O. Kleden.

Tim Lobi:

Ivan V. Ageng (WALHI Eknas), Andri Santosa (RMI, Jabar), Nur Amalia (Kemala,Jakarta), Rival G. Ahmad (PSHK, Jakarta), Andiko (HuMa)

Profil Koalisi Untuk Perubahan Kebijakan Kehutanan

Page 52: 2007-12 Mengapa UU Kehutanan Perlu Direvisi

46

Tim Kampanye:

Farah Sofa (WALHI Eknas), Berton (FWI, Bogor), B. Steni (HuMa), Didin Suryadin(HuMa), Abdias Yas (LBBT, Kalbar), Siti Rahma (LBH Semarang, Jateng), Nia (RMI,Jabar), Dahniar (Perkumpulan Bantaya, Sulteng), Jomi Suhendri (Qbar, Sumbar),L. Yoka (GRPK Sanggau, Kalbar), Saenal (Wallacea, Palopo, Sulsel), Ratih (HuMa)

Sekretariat:

Jln. Jati Agung No. 8,Jatipadang, Pasar MingguJakarta 12540 – Indonesia

Telepon. +62 (21) 780 6959; 788 458 71

Fax. +62 (21) 780 6959E-mail. [email protected]; [email protected]

Website http://www.huma.or.id