31
LAPORAN KASUS APPENDICULAR ABSCESS Disusun : Elia Agus Triantoro, S.Ked 04071001105 Pembimbing: dr. Efman EU Manawan, M.Kes, SpB-KBD RUMAH SAKIT DR.MOHAMMAD HOESIN/ FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA 1

appendikular abses

Embed Size (px)

Citation preview

LAPORAN KASUS

APPENDICULAR ABSCESS

Disusun : Elia Agus Triantoro, S.Ked 04071001105

Pembimbing: dr. Efman EU Manawan, M.Kes, SpB-KBD

RUMAH SAKIT DR.MOHAMMAD HOESIN/ FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA PALEMBANG 2011

1

HALAMAN PENGESAHAN LAPORAN KASUS Berjudul: APPENDICULAR ABSCESS Dipresentasikan Oleh: Elia Agus Triantoro, S.Ked (04071001105)

Telah diterima sebagai salah satu syarat dalam mengikuti Kepaniteraan Klinik Senior di Bagian Ilmu Bedah Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya/ Rumah Sakit dr.Mohammad Hoesin Palembang Periode 11 April - 5 Juni 2011

Palembang, Mei 2011 Pembimbing

dr. Efman EU Manawan, M.Kes, SpB-KBD

2

BAB I LAPORAN KASUS 1.1 Identifikasi Nama Jenis Kelamin Usia Kebangsaan Agama Pekerjaan Alamat MRS 1.2 Anamnesis Keluhan Utama: Benjolan pada perut kanan bawah Riwayat Perjalanan Penyakit: + 5 hari SMRS, timbul benjolan di perut sebelah kanan bawah yang perlahan-lahan membesar, nyeri (+), BAB (+) + 14 hari SMRS penderita mengeluh nyeri di ulu hati yang kemudian beralih dan menetap di perut kanan bagian bawah. Riwayat demam (+), mual (+), muntah (+), BAB (+), BAK (+). Os pernah berobat ke dokter dan dikatakan mengalami gejala usus buntu, namun os tidak langsung di bawa ke rumah sakit. Dan akhirnya 1 hari SMRS, os berobat ke RSUD Sekayu dan langsung dirujuk ke RSMH Riwayat Penyakit Dahulu: Riwayat penyakit dengan keluhan yang sama disangkal. Riwayat Penyakit dalam Keluarga Riwayat penyakit yang sama disangkal 3 : Tn. Syaikul Abidin : Laki-laki : 17 tahun : Indonesia : Islam : Pelajar : Bayung Lincir MUBA : 2 April 2010

1.3 Pemeriksaan Fisik Status Generalis (2 April 2010) Keadaan Umum Kesadaran Gizi Pernafasan Nadi Tekanan Darah Suhu Kepala Pupil Leher Kelenjar-kelenjar Thorax Abdomen Genitalia Eksterna Ekstremitas Superior Ekstremitas Inferior : Tampak sakit sedang : Compos mentis : Baik : 20x/menit : 84x/menit : 110/80 mmHg : 37,9C : Konjungtiva palbebra pucat -/Sklera ikterik -/: Isokor, refleks cahaya +/+ : tidak ada kelainan : tidak ada pembesaran : tidak ada kelainan : lihat status lokalis : tidak ada kelainan : tidak ada kelainan : tidak ada kelainan

4

Status Lokalis Regio Abdomen

Inspeksi Palpasi Perkusi

: Cembung : Teraba massa ukuran 10 x 10 x 10 cm, pada perut kanan bawah, nyeri tekan (+), fluktuasi +, defans muscular (-) : Tympani

Auskultasi : Bising Usus (+) Normal 1.4 Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan Radiologis USG Abdomen (tanggal 2 April 2011)

Gambaran hipoechoic loculatef 2 buah, ukuran 66,4 x 54,5 mm dan 67,7 x 83,1 mm di kuadran kanan bawah Kesan: cenderung abses apendikular

5

Pemeriksaan Laboratorium Pemeriksaan darah rutin (tanggal 2 April 2011) : Hemoglobin : 11,3 gr/dl Eritrosit Hematokrit Leukosit LED Trombosit : 4.520.000 juta/mm3 : 33 vol% : 22.200 /mm3 : 120 mm/jam : 516.000 /MM3

Hitung jenis : 0/3/1/80/8/2 Pemeriksaan Kimia Klinik (tanggal 2 April 2011) BSS Ureum Kreatinin Natrium Kalium : 87 mg/dl : 52 mg/dl : 1,4 mg/dl : 135 mmol/l : 4,2 mmol/l

Pemeriksaan darah rutin (tanggal 3 April 2011) : Hemoglobin Eritrosit Hematokrit Leukosit LED Trombosit Hitung jenis : 10,7 gr/dl : 3.740.000 juta/mm3 : 31 vol% : 13.700 /mm3 : 100 mm/jam : 441.000 /MM3 : 0/0/0/74/14/12

Pemeriksaan Kimia Klinik (tanggal 3 April 2011) Ureum Kreatinin Natrium Kalium : 57 mg/dl : 1,1 mg/dl : 134 mmol/l : 3,0 mmol/l

6

1.5 Diagnosis Appendicular Abcess 1.6 Penatalaksanaan IVFD Antibiotik Diet bubur Drainase abses Perawatan Luka 1.7 Prognosis Quo ad vitam : Dubia ad bonam Quo ad functionam : Dubia ad bonam

7

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pendahuluan Apendiks disebut juga umbai cacing. Fungsi organ ini tidak diketahui namun sering menimbulkan masalah kesehatan. Peradangan akut apendiks memerlukan tindakan bedah segera untuk mencegah komplikasi yang umumnya berbahaya. 2.2 Anatomi Apendiks Vermiformis merupakan derivat dan evolusi dari caecum. Pada bayi, apendiks tampak sebagai divertikulum berbentuk seperti kerucut, terletak pada ujung inferior dari caecum. Dengan tumbuh kembang bayi dan perkembangan dari caecum maka apendiks terletak pada sisi kiri dan dorsal + 2,5 cm dari katub ileocaecal. Dinding apendiks terdiri dari semua lapisan dinding usus, tiga taenia koli membentuk lapisan luar dari lapisan muskulus longitudinal . Pertemuan ketiga taenia koli merupakan letak basis apendiks dan merupakan petunjuk posisi apendiks. Posisi basis apendiks dengan caecum adalah konstan, dimana sisi bebas apendiks ditemukan pada berbagai variasi misalnya: pelvic, retrocaecal, retroileal. Jaringan limfoid apendiks mulai tampak setelah usia 2 minggu setelah lahir. Jumlah folikel limfoid akan meningkat secara bertahap hingga mencapai puncaknya yaitu sekitar 200 folikel pada usia 12 20 tahun. Setelah umur 30 tahun folikel limfoid ini akan berkurang setengahnya dan kemudian akan menghilang atau tinggal sisa-sisanya pada umur 60 tahun. Apendiks merupakan organ berbentuk tabung, panjangnya kira-kira 10 cm (beranjak 3-15 cm), dan diameter 0.7 cm. Di pangkal apendiks terdapat valvula apendicularis (Gerlachi). Lumennya sempit di bagian proksimal dan lebar di bagian distal. Namun demikian, pada bayi, apendiks berbentuk kerucut, lebar pada pangkalnya dan menyempit kearah ujungnya. Keadaan ini mungkin menjadi sebab rendahnya insiden appendisitis pada usia itu. Pada 65% kasus, apendiks terletak intraperitoneal. Kedudukan itu memungkinkan apendiks bergerak dan ruang geraknya bergantung pada mesoapendiks penggantungnya. Pada kasus selebihnya apendiks terletak retroperitoneal, yaitu di belakang sekum, di belakang colon asendens atau di tepi lateral colon asendens. Gejala klinik apendisitis ditentukan oleh letak apendiks. 8

Persarafan parasimpatis berasal dari cabang n.vagus yang mengikuti a. Mesenterica superior dan a. Apendicularis, sedangkan persarafan simpatis berasal dari n.toracalis X. Karena itu nyeri visceral pada apendistis bermula disekitar umbilicus. Perdarahan apendiks berasal dari a.apendicularis yang merupakan arteri tanpa kolateral. Jika arteri ini tersumbat, misalnya trombosis pada infeksi, apendiks akan mengalami ganggren.

2.3 Fisiologi Apendiks menghasilkan lendir 1-2 ml perhari. Lendir itu secara normal dicurahkan ke dalam lumen dan selanjutnya mengalir kedalam lumen. Hambatan aliran di muara apendiks tampaknya berperan pada patogenensis apendisitis. Imunoglobulin sekretor yang dihasilkan oleh GALT (gut associated lymphoid tissue) yang terdapat di sepanjang saluran cerna termasuk apendiks, ialah IgA. Imunoglobulin itu sangat efektif sebagai pelindung terhadap infeksi. Namun demikian pengangkatan apendiks tidak mempengaruhi sistem imun tubuh sebab jumlah jaringan limfe disini kecil sekali jika dibandingkan dengan jumlah disaluran cerna dan seluruh tubuh. 2.4 Apendisitis Akut A. Epidemiologi Apendisitis akut atau radang apendiks akut merupakan kasus infeksi intraabdominal yang sering dijumpai di negara-negara maju, sedangkan pada negara berkembang jumlahnya lebih sedikit, namun dalam tiga dasawarsa terakhir menurun secara bermakna. Kejadian ini diduga disebabkan oleh menurunnya pengkonsumsian makanan berserat dalam menu sehari-hari. 9

Insiden pada laki-laki dan perempuan umumnya sebanding, kecuali pada usia 20-30 tahun, insiden pada laki-laki lebih tinggi. Apendisitis dapat menyerang orang dalam berbagai umur, umumnya menyerang orang dengan usia dibawah 40 tahun, khususnya antara 8 sampai 14 tahun, dan sangat jarang terjadi pada usia dibawah 2 tahun. B. Etiologi Apendisitis akut merupakan infeksi bakteria. Apendisitis dapat terjadi karena berbagai macam penyebab, antara lain obstruksi oleh fecalith, tumor, atau bahkan oleh cacing (Oxyurus vermicularis), akan tetapi paling sering disebabkan obstruksi oleh fecalith. Hasil observasi epidemiologi juga menyebutkan bahwa obstruksi fecalith adalah penyebab terbesar. Penelitian epidemiologi menunjukan peran kebiasaan makan makanan rendah serat dan pengaruh konstipasi terhadap timbulnya apendisitis. Konstipasi akan menaikkan tekanan intrasekal. Yang berakibat timbulnya sumbatan fungsional apendiks dan meningkatnya pertumbuhan kuman flora kolon biasa. Hal ini akan mempermudah timbulnya apendisitis akut. C. Patofisiologi Kapasitas lumen apendiks normal sekitar 0,1 ml, tidak ada lumen yang sebenarnya. Sekresi 0,5 cc distal dari penyumbatan akan meyebabkan peningkatan tekanan sekitar 60 cm H2O. Distensi menyebabkan stimulasi serabut syaraf visceral yang menyebabkan rasa kembung, nyeri difus pada bagian tengah abdomen atau epigastrium bawah. Distensi terus berlangsung karena sekresi mukosa yang terus-menerus dan juga karena multiplikasi dari flora normal apendiks. Dengan meningkatnya tekanan pada apendiks , tekanan vena juga meningkat, sehingga kapiler dan venule menutup tapi aliran arteriole tetap mengalir sehingga terjadi kongesti dan pelebaran vaskuler. Distensi ini biasanya menyebabkan reflex muntah, nausea, dan nyeri visceral semakin bertambah. Proses inflamasi terus berlanjut ke lapisan serosa dan ke peritoneum parietal, yang mana menimbulkan nyeri yang khas, nyeri berpindah ke kuadran kanan. Mukosa gastrointestinal termasuk apendiks sangat rentan terhadap gangguan aliran darah. Karena kesatuan ini sudah terganggu sejak awal, maka bakteri dengan mudah masuk ke lapisan yang lebih dalam. Timbulnya demam, takikardi dan lekositosis karena 10

absorbsi dari produk jaringan dan endotoksin. Endotoksin juga merupakan stimulator makrofag untuk memproduksi sitokin proinflamator (IL1, IL 6, TNF) yang kemudian merangsang sumsum tulang dan hepatosit sehingga terjadi peningkatan lekosit dan CRP dalam darah . Ketika distensi sudah mencapai tekanan arteriole , daerah yang mendapat aliran darah sedikit, lebih dahulu terkena, yaitu terjadi infark pada daerah antimesenterial. Jika distensi, invasi bakteri, gangguan aliran darah, dan proses infark terus berlanjut, terjadilah perforasi. Biasanya perforasi terjadi pada salah satu area infark pada daerah antimesenterial. Sesuai dengan yang disebutkan diatas, maka pada fase awal apendisitis, mukosa mengalami inflamasi terlebih dahulu. Kemudian inflamasi ini akan meluas ke lapisan submukosa, termasuk juga lapisan muskularis dan lapisan serosa pada waktu 24-48 jam pertama. Usaha pertahanan tubuh adalah membatasi proses radang dengan menutup apendiks dengan omentum, usus halus, atau adneksa sehingga terbentuk massa periapendikular yang dikenal dengan istilah infiltrat apendisitis. Di dalamnya dapat terjadi nekrosis jaringan berupa abses yang dapat mengalami perforasi. Jika tidak terbentuk abses, apendisitis akan sembuh dan masa apendikuler akan menjadi tenang untuk selanjunya akan mengurai diri secara lambat. Apendiks yang pernah meradang tidak akan sembuh sempurna tetapi akan terbentuk jaringan parut yang menyebabkan perlengketan dengan jaringan sekitarnya. Perlengketan ini dapat menimbulkan keluhan berulang di perut kanan bawah. Pada suatu ketika organ ini dapat meradang akut lagi dan dinyatakan sebagai mengalami eksaserbasi akut. D. Gambaran Klinis Apendisitis akut sering tampil dengan gejala yang khas yang didasari oleh radang mendadak umbai cacing yang memberikan tanda setempat, disertai maupun tidak oleh rangsang peritoneum lokal. Gejala klasik apendisitis merupakan nyeri visceral di daerah epigastium di sekitar umbilikus. Keluhan ini sering disertai mual dan kadang ada muntah. Umumnya nafsu makan menurun. Dalam beberapa jam nyeri akan berpindah ke kanan bawah ke titik Mc.Burney, disini nyeri akan dirasakan lebih tajam dan lebih jelas letaknya sehingga merupakan nyeri somatik setempat. Kadang tidak ada nyeri epigastrium tetapi terdapat konstipasi sehingga penderita merasa memerlukan pencahar. Tindakan itu 11

dianggap berbahaya karena bisa mempermudah terjadinya perforasi. Bila terdapat perangsangan peritoneum biasanya pasien mengeluh sakit perut bila berjalan atau batuk. Bila apendiks terletak retrosekal di luar rongga perut, karena letaknya terlindung sekum maka tanda nyeri perut kanan bawah tidak begitu jelas dan tidak ada tanda rangsangan peritoneal. Rasa nyeri lebih ke arah perut sisi kanan atau nyeri timbul saat berjalan, karena kontraksi otot polos psoas mayor yang menegang dari dorsal. Apendiks yang terletak di rongga pelvis, bila meradang, dapat menimbulkan gejala dan tanda rangsangan sigmoid atau rectum hingga peristaltik meningkat, pengosongan rectum akan menjadi lebih cepat dan berulang-ulang. Jika apendiks tadi menempel ke kandung kemih, dapat terjadi peningkatan frekuensi kencing, karena rangsangan dindingnya. Pada beberapa keadaan, apendisitis agak sulit di diagnosis sehingga tidak ditangani pada waktunya dan terjadi komplikasi.

E. Pemeriksaan Demam biasanya ringan, dengan suhu sekitar 37,5-38,5 C. Bila suhu lebih tinggi, mungkin sudah terjadi perforasi. Bisa terjadi perbedaan suhu aksilar dan rectal sampai 1 C. Pada inspeksi abdomen tidak ditemukan gambaran spesifik. Kembung sering terlihat

12

pada penderita dengan komplikasi perforasi. Penonjolan perut kanan bawah bisa dilihat pada massa atau abses apendicular. Pada palpasi didapatkan nyeri yang terbatas pada regio iliaka kanan, bisa disertai nyeri lepas. Defans muskuler menunjukan adanya rangsangan peritoneum parietal. Nyeri tekan perut kanan bawah ini merupakan kunci diagnosis. Pada penekanan perut kiri bawah akan dirasakan nyeri di perut kanan bawah yang disebut tanda Rovsing. Pada apendisitis retrosekal atau retroileal diperlukan palpasi dalam untuk menentukan adanya rasa nyeri. Peristaltik usus sering normal, peristaltik usus dapat hilang karena ileus paralitik pada peritonitis generalisata akibat apendisitis perforata. Pemeriksaan colok dubur menyebabkan nyeri bila daerah infeksi bisa dicapai dengan jari telunjuk, misalnya pada apendisitis pelvika. Pada apendisitis pelvika tanda perut sering meragukan, maka kunci diagnosis adalah nyeri terbatas sewaktu dilakukan colok dubur. Pemeriksaan uji psoas dan uji obturator merupakan pemeriksaan yang lebih ditujukan untuk mengetahui letak apendiks. Uji psoas dilakukan dengan rangsangan psoas lewat hiperekstensi atau fleksi aktif. Bila apendiks yang meradang menempel di m.psoas, tindakan tersebut akan menimbulkan nyeri. Uji obturator digunakan untuk melihat apakah apendiks yang meradang kontak dengan m.obturator internus yang merupakan dinding panggul kecil. Dengan gerakan fleksi dan endorotasi sendi panggul pada posisi terlentang, apendisitis pelvika akan menimbulkan nyeri. F. Diagnosis Apendisitis akut dapat didiagnosis secara klinis dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik. Selayaknya diagnosis sesegera mungkin ditegakkan dan appendix dapat segera diangkat bila ternyata terjadi appendisitis. Diagnosis menjadi mudah untuk ditegakkan bila tampak tanda dan gejala dari apendisitis klasik pada pasien, tanda dan gejala tersebut seperti : a. Nyeri pada bagian abdominal kurang dari 72 jam; b. Muntah 1-3 kali; c. Facial flush; d. Tenderness pada fossa iliaca kanan; e. Demam dengan suhu antara 37,3-38,5 C; 13

f. Tidak ada bukti terjadi infeksi traktus urinarius pada pemeriksaan urin mikroskop.

dengan

Tanda inflamasi peritoneal bagian fossa iliaca kanan yang berupa rasa nyeri, sering tidak tampak. Kita perlu untuk menyuruh pasien agar batuk, bila terjadi inflamasi pada peritoneum parietal maka pasien akan merasakan nyeri. Selain itu dapat dilakukan rebound tenderness untuk membantu menegakkan diagnosis, yaitu dengan melakukan perkusi pada fossa iliaca kanan, rasa nyeri akan dirasakan oleh pasien akibat peritonitis. SKOR ALVARADO Symptoms Signs Lab Values Manifestations Migration of pain Anorexia Nausea/vomiting Right Lower Quadrant Tenderness Rebound pain Elevated temperature Leukocytosis Left Shift Value 1 1 1 2 1 1 2 1 Total Points 10

Interpretasi : 5 6 78 9 10

: Possible : Probable : Very Probable

PEMERIKSAAN RADIOLOGIS Jika gejala klinis dan nilai laboratorium sudah khas untuk apendisitis, maka tidak diperlukan konfirmasi radiologis. Gambaran foto polos abdomen yang paling sering ditemukan tapi bukan diagnostik untuk apendisitis yaitu scoliosis dari vertebra, cekung (concave) ke kanan. Kadang dapat ditemukan gambaran caecum yang dilatasi dengan air fluid level. Kalsifikasi fecolith dapat ditemukan pada 10- 15 % kasus , tapi adanya gambaran fecolith tidak patognomonis untuk apendisitis karena banyak apendiks normal yang telah diangkat terdapat fecolith. Oleh karena itu foto polos abdomen tidak menolong dalam menegakkan diagnosa apendisitis. Ultrasonografi sudah luas digunakan dalam mengevaluasi penderita kecurigaan apendisitis. Gambaran ultrasonografi pada apendisitis non perforasi yaitu: diameter apendiks > 6 mm, dinding yang hipoechoic dengan tebal > 2 mm, fecolith atau cairan 14

yang terlokalisir. Gambaran pada apendisitis perforasi yaitu target sign dan struktur tubular dengan adanya lapisan dinding yang hilang (inhomogen), cairan bebas perivesical atau pericaecal . G. Diagnosis Banding Abses hepar Nyeri dan teraba massa di kuadran kanan atas. Penyakit Crohn Pada onset aku terjadi nyeri pada abdomen kanan bawah, serangan nyeri abdomen berulang dan diare yang episodik sehingga terjadi penurunan berat badan. Disertai gejala ekstraabdomen, artriris, uveitis, iritis. Diverticulum Meckel Penyakit ini merupakan kelainan yang memiliki gejala yang sangat mirip dengan apendisitis akut, hanya letaknya yang lebih ke medial. Karsinoma caecum Teraba massa di sebalah kanan, namun pertumbuhan massa lambat dan sering ditemukan pada orang di atas 40 tahun. H. Penatalaksanaan Apendisitis Bila kita mendapati pasien dengan nyeri pada fossa iliaca kanan, pasien itu memiliki tanda dan gejala lain dari apendisitis dan kita dengan segera yakin mendiagnosisnya sebagai apendisitis, maka lakukan_appendictomy.

Bila kita mendapati pasien dengan nyeri pada fossa iliaca kanan, namun belum dapat dipastikan diagnosis dari pasien tersebut apakah apendisitis atau penyakit lainnya, maka kita harus mereview pasien tersebut secara periodik, bila perlu pasien kita sarankan untuk rawat inap agar dapat dipantau perkembangannya dengan baik, bila setelah dipantau masih menimbulkan keraguan maka kita dapat melakukan pemeriksaan pemeriksaan yang dapat mendukung diagnosis.

15

I. Komplikasi Perforasi Perforasi baik berupa perforasi bebas maupun perforasi pada apendiks yang telah mengalami pendindingan sehingga berupa masa yang terdiri dari kumpulan apendiks, sekum dan keluk usus. Perforasi disertai nyeri abdomen yang hebat, dan demam yang lebih tinggi. Terjadi pada 20% penderita terutama usia lanjut. Rasa nyeri bertambah dasyat dan mulai dirasa menyebar, demam tinggi (rata-rata 38,3 der. C). Jumlah lekosit yang meninggi > 18.000/mm3 merupakan tanda khas kemungkinan sudah terjadi perforasi. Peritonitis Merupakan komplikasi paling sering (30-45% penderita). Peritonitis lokal disebabkan karena mikroperforasi dari apendiks gangrenosa dan diblokade oleh omentum. Bila perforasi berlanjut terjadilah peritonitis generalisata. Bertambahnya rasa nyeri, defans musculer yang meluas, distensi abdomen, bahkan ileus paralitik, merupakan gejala-gejala peritonitis umum. Bila demam makin tinggi dan timbul gejala-gejala sepsis, menunjukkan peritonitis yang makin berat. Abses / infiltrat Merupakan akibat lain dari perforasi. Teraba masa lunak di abdomen kanan bawah. Seperti tersebut diatas karena perforasi terjadilah walling off (pembentukan dinding) oleh omentum atau viscera lainnya, sehingga terabalah massa (infiltrat) di 16

regio abdomen kanan bawah tersebut. Masa mula-mula bisa berupa plegmon, kemudian berkembang menjadi rongga yang berisi pus. Dengan USG bisa dideteksi adanya bentukan abses ini. Untuk massa atau infiltrat ini, beberapa ahli menganjurkan anti biotika dulu, setelah 6 minggu kemudian dilakukan appendektomi. Hal ini untuk menghindari penyebaran infeksi Massa periapendikuler Massa apendiks terjadi bila apendisitis gangrenosa atau mikroperforasi ditutupi pendindingan oleh omentum dan atau kerluk usus. Pada massa periapendikuler yang pendindinganya belum sempurna, dapat terjadi penyebaran pus ke seluruh rongga peritoneum jika perforasi diikuti peritonitis purulenta generalisata. Pada massa periapendikuler yang terfiksir dan pendindingannya sempurna, pada orang dewasa dirawat dahulu dan diberi antibiotik sambil diawasi suhu tubuh, ukuran massa, serta luasnya peritonitis. Bila sudah tidak ada demam, massa periapendikuler hilang dan leukosit normal, penderita boleh pulang dan apendiktomi elektif dapat dikerjakan 2-3 bulan kemudian agar perdarahan akibat perlengketen dapat ditekan sekecil mungkin. Bila terjadi perforasi akan terbentuk abses apendiks. Hal ini ditandai dengan kenaikan suhu dan frekuensi nadi, bertambahnya nyeri,dan pembengkakan masa serta leukositosis.Riwayat klasik apendisitis akut, diikuti adanya massa di regio iliaka kanan yang nyeri disertai demam mengarahkan diagnosis ke massa atau abses periapendikuler. Kadang keadaan ini sulit dibedakan dari ca rektum,penyakit crohn dan amuboma. Pengelolaannya, apendiktomi di rencanakan pada infiltrat periapendikuler tanpa pus yang telah ditenangkan. Sebelumnya pasien diberi antibiotik kombinasi yang aktif terhadap kuman aerob dan anaerob. Baru setalah keadaan tenang, yaitu sekitar 6-8 minggu, kemudian dilakukan apendiktomi. Kalau sudah menjadi abses dianjurkan drainase saja. Apendiktomi dikerjakan setelah 6-8 minggu kemudian. Jika ternyata tidak ada keluhan atau gejala apapun dan hasil pemeriksaan tidak menunjukkan tanda radang atau abses, dapat dipertimbangkan membatalkan tindakan bedah. Apendisitis perforata Adanya fekalit di dalam lumen, umur (orang tua atau anak muda), dan keterlambatan diagnosis merupakan faktor yang berperan dalam terjadinya perforasi 17

apendiks. Insiden perforasi 60% pada usia diatas 60 tahun. Faktor yang mempengaruhi tingginya insidens perforasi pada orang tua adalah gejalanya yang samar, keterlambatan berobat, adanya perubahan anatomi apendiks berupa penyampitan lumen dan arteriosklerosis. Insidens tinggi pada anak disebabkan oleh dinding apendiks yang masih tipis, dan kurang komunikatif sehingga memperpanjang waktu diagnosis dan proses pendindingan kurang sempurna, akibat perforasi berlangsung cepat dan omentum anak belum berkembang. Pada diagnosis, perforasi apendiks akan mengakibatkan peritonitis purulenta yang ditandai dengan demam tinggi, nyeri makin hebat serta meliputi seluruh perut dan perut menjadi tegang dan kembung. Nyeri tekan dan defans muskuler di seluruh perut mungkin dengan pungtum maksimum di regio iliaka kanan, peristaltik usus menurun sampai menghilang karena ileus paralitik kecuali di regio iliaka kanan, abses rongga peritoneum bisa terjadi bilamana pus yang menyebar bisa dilokalisir di suatu tempat. Paling sering adalah abses rongga pelvis dan subdiafragma. Penanggulangannya adalah perbaikan keadaan umum dengan infus, antibiotik untuk kuman gram negatif dan positif serta kuman anaerob dan pipa nasogastrik perlu dilakukan pembedahan. Perlu dilakukan laparotomi dengan incisi yang panjang, supaya dapat dilakukan pencucian rongga peritoneum dari pus maupun pengeluaran fibrin secara adekuat secara mudah dan pula dapat dilakukan pembersihan kantong nanah secara baik. Karena ada kemungkinan terjadi infeksi luka operasi, perlu dianjurkan pemasangan penyalir subfasia, kulit dibiarkan terbuka untuk kemudian dijahit bila sudah dipastikan tidak ada infeksi.

18

BAB III ANALISIS KASUS Seorang pria berusia 17 tahun beralamat di luar kota Palembang datang berobat ke RSMH dengan keluhan benjolan pada perut. Dari anamnesis lebih lanjut diketahui bahwa awalnya penderita merasakan nyeri di daerah ulu hati yang kemudia beralih dan menetap di perut kanan bagian bawah. Penderita juga merasakan adanya demam yang tidak terlalu tinggi serta muntah saat habis makan. Pada pemeriksaan fisik, status generalis didapatkan pernafasan, nadi, dan tekanan darah, berada dalam batas normal, namun pasien mengalami demam ringan (37,9oC). Dari hasil pemeriksaan fisik status lokalis didapatkan adanya massa pada perut kanan bawah dengan ukuran 10 x 10 x 10 cm, nyeri tekan (+). Pada pasien ini, nyeri perut dikanan bawah di awali dengan adanya nyeri perut di ulu hati yang beralih dan menetap di perut kanan bawah, serta teraba massa di perut kanan bawah. Hal ini perlu kita pikirkan adanya proses patologis pada apendiks. Pada pemeriksaan penunjang terdapat leukositosis,yang merupakan tanda dari proses peradangan. Pada pasien ini nyeri di daerah perut kanan bawah, lebih mengarahkan diagnosis ke apendisitis. Adanya massa pada hari ke-9 setelah awitan nyeri, menandakan telah terjadi walling off omentum atau viscera lainnya sehingga teraba massa di regio abdomen kanan bawah. Penatalaksanaan berupa drainase abses. Pasien diberikan antibiotik regimen tunggal, biasanya cephalosporin . Bedrest dilakukan guna menekan metabolisme tubuh. Prognosis quo ad vitam dan quo ad functionam adalah dubia ad bonam karena dengan diagnosis yang akurat, tingkat morbiditas dan mortalitas penyakit ini sangat kecil.

19

DAFTAR PUSTAKA

Doherty, Gerard M, Lawrence W. 2006. Current Surgical Diagnosis and Treatment, 12th edition. Appendix. Chapter 28. California; McGraw Hill. Douglas SS, David IS. 2004. Current Surgical Therapy, 8th edition. Acute Appendicitis. Section 4, Chapter 53. Philadeplhia; Mosby. Mansjoer A, dkk. 2000. Kapita Selekta Kedokteran Jilid 2. Apendisitis. Hal 307-313. Editor: Mansjoer A; Jakarta; Media Aesculapius. Tjindarbumi, 1995. Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah. Abdomen Akut. Hal 115-118. Editor: Reksoprodjo, S; Jakarta; Binarupa Aksara. Sjamsuhidajat R, Jong W. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi II. Jakarta: EGC. 2004 Appendisitis. Available from: http://www.emedicine.com/appendicitis.htm

20