Upload
alexandersugondo
View
253
Download
3
Embed Size (px)
DESCRIPTION
tugas IKM
Citation preview
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Anatomi dan Fisiologi
Anatomi dan fisiologi pernafasan system pernafasan dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
1. Anatomi sistem pernafasan
a. Hidung
Merupakan saluran udara yang pertama, mempunyai dua lubang (kavum nasi), dipisahkan oleh
sekat hidung (septum nasi). Di dalamnya terdapat bulu-bulu yang berguna untuk menyaring
udara, debu yang masuk ke dalam hidung ( Syaifuddin,2009)
b. Sinus paranasalis
Sinus paranasalis rongga dalam tengkorak yang terletak di dekat hidung dan mata.terdapat empat
sinus yaitu: sinus frontalis, etmoidalis, sfenoidalis, dan maksilaris
c. Faring
Faring atau tenggorok adalah rongga yang menghubungkan antara hidung dan rongga mulut ke
laring. Faring dibagi menjadi dalam tiga area,yaitu nasofaring,orofaring dan hipofaring
d. Laring
Merupakan unit organ terakhir pada jalan nafas atas. Laring juga disebut kotak suara karena pita
suara terdapat di sini. Terdapat juga kartilago tiroid yang merupakan kartilago terbesar pada
faring
e. Trakea
Trakea atau batang tenggorok merupakan lanjutan dari laring yang dibentuk oleh 16-20 cincin
yang terdiri dari tulang-tulang rawan yang berbentuk seperti kuku kuda. Sebelah dalam diliputi
oleh selaput lender yang berbulu getar yang disebut sel bersilia
f. Bronkus
Bronkus merupakan lanjutan dari trakea terletak pada ketinggian vertebra torakalis IV dan V.
bronkus mempunyai struktur yang sama dengan trakea dan terletak mengarah ke paru-paru
2. Fisiologi sistem pernapasan
Bernafas adalah proses keluar masuknya udara ke dalam dan keluar paru. Proseses bernafas
diawali dengan memasukan udara ke dalam rongga paru untuk kemudian diedarkan ke dalam
sirkulasi serta pengeluaran zat sisa (CO2) dari sirkulasi menuju keluar tubuh melalui paru.
a. Ventilasi
Ventilasi adalah proses pergerakan udara masuk dan keluar paru.ventilasi terdiri dari dua tahap
yaitu,inspirasi dan ekspirasi
b. Difusi gas
Difusi adalah proses ketika terjadi pertukaran oksigen dan karbon dioksida pada tempat
pertemuan udarah – darah.
c. Tranportasi gas
Bagian ketiga dari proses pernapasan adalah transportasi gas (oksigen dan karbon dioksida ) dari
paru menuju ke sirkulasi tubuh.
B. Definisi
Asma adalah penyakit inflamasi kronis saluran pernapasan yang dihubungkan
dengan hiperresponsif, keterbatasan aliran udara yang reversibel dan gejala pernapasan.1
Asma bronkial adalah salah satu penyakit paru yang termasuk dalam kelompok penyakit
paru alergi dan imunologi yang merupakan suatu penyakit yang ditandai oleh tanggap
reaksi yang meningkat dari trakea dan bronkus terhadap berbagai macam rangsangan
dengan manifestasi berupa kesukaran bernapas yang disebabkan oleh penyempitan yang
menyeluruh dari saluran napas. Penyempitan ini bersifat dinamis dan derajat penyempitan
dapat berubah, baik secara spontan maupun karena pemberian obat.2
C. Epidemiologi
Asma dapat ditemukan pada laki – laki dan perempuan di segala usia, terutama
pada usia dini. Perbandingan laki – laki dan perempuan pada usia dini adalah 2:1 dan
pada usia remaja menjadi 1:1. Prevalensi asma lebih besar pada wanita usia dewasa.
Laki-laki lebih memungkinkan mengalami penurunan gejala di akhir usia remaja
dibandingkan dengan perempuan.3
Berdasarkan data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), hingga saat ini jumlah
penderita asma di dunia diperkirakan mencapai 300 juta orang dan diperkirakan angka ini
akan terus meningkat hingga 400 juta penderita pada tahun 2025.4
Hasil penelitian International Study on Asthma and Allergies in Childhood
(ISAAC) pada tahun 2005 menunjukkan bahwa di Indonesia prevalensi penyakit asma
meningkat dari 4,2% menjadi 5,4%. Diperkirakan prevalensi asma di Indonesia 5% dari
seluruh penduduk Indonesia, artinya saat ini ada 12,5 juta pasien asma di Indonesia.5
Penelitian yang dilakukan oleh Anggia D pada tahun 2005 di RSUD Arifin
Achmad Pekanbaru didapatkan kelompok umur terbanyak yang menderita asma adalah
25 – 34 tahun sebanyak 17 orang (24,29%) dari 70 orang, dan perempuan lebih banyak
dari pada laki – laki (52,86%). 6
D. Faktor Resiko
Faktor resiko asma dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu :
a. Atopi
Hal yang diturunkan adalah bakat alerginya, meskipun belum
diketahui bagaimana cara penurunannya. Penderita dengan penyakit alergi
biasanya mempunyai keluarga dekat yang juga alergi. Dengan adanya
bakat alergi ini, penderita sangat mudah terkena penyakit asma bronkial
jika terpajan dengan faktor pencetus.
b. Hiperreaktivitas bronkus
Saluran pernapasan sensitif terhadap berbagai rangsangan alergen
maupun iritan.
c. Jenis Kelamin
Perbandingan laki – laki dan perempuan pada usia dini adalah 2:1
dan pada usia remaja menjadi 1:1. Prevalensi asma lebih besar pada wanita
usia dewasa.
d. Ras
e. Obesitas
Obesitas atau peningkatan Body Mass Index (BMI) merupakan
faktor resiko asma. Mediator tertentu seperti leptin dapat mempengaruhi
fungsi saluran pernapasan dan meningkatkan kemungkinan terjadinya
asma. Meskipun mekanismenya belum jelas, penurunan berat badan
penderita obesitas dengan asma, dapat mempengaruhi gejala fungsi paru,
morbiditas dan status kesehatan.
E. Faktor Pencetus
Penelitian yang dilakukan oleh pakar di bidang penyakit asma sudah sedemikian
jauh, tetapi sampai sekarang belum menemukan penyebab yang pasti. Beberapa
penelitian menunjukkan bahwa saluran pernapasan penderita asma mempunyai sifat
sangat peka terhadap rangsangan dari luar yang erat kaitannya dengan proses inflamasi.
Proses inflamasi akan meningkat bila penderita terpajan oleh alergen tertentu.
Penyempitan saluran pernapasan pada penderita asma disebabkan oleh reaksi
inflamasi kronik yang didahului oleh faktor pencetus. Beberapa faktor pencetus yang
sering menjadi pencetus serangan asma adalah :
1. Faktor Lingkungan
a. Alergen dalam rumah
Contohnya seperti tungau debu rumah, spora jamur,kecoa, serpihan kulit
binatang seperti anjing, kucing,dan lain-lain
b. Alergen luar rumah
Serbuk sari, dan spora jamur
2. Faktor Lain
a. Alergen makanan
Contoh: susu, telur, udang, kepiting, ikan laut, kacang tanah, coklat, kiwi,
jeruk, bahan penyedap pengawet dan pewarna makanan
b. Alergen obat – obat tertentu
Contoh: penisilin, sefalosporin, golongan beta laktam lainnya, eritrosin,
tetrasiklin, analgesik, antipiretik, dan lain lain
c. Bahan yang mengiritasi
Contoh: parfum, household spray, dan lain-lain.
d. Ekspresi emosi berlebih
Stres/gangguan emosi dapat menjadi pencetus serangan asma, selain itu juga
dapat memperberat serangan asma yang sudah ada. Di samping gejala asma
yang timbul harus segera diobati, penderita asma yang mengalami
stres/gangguan emosi perlu diberi nasihat untuk menyelesaikan masalah
pribadinya. Karena jika stresnya belum diatasi, maka gejala asmanya lebih
sulit diobati.
e. Asap rokok bagi perokok aktif maupun perokok pasif
Asap rokok berhubungan dengan penurunan fungsi paru. Pajanan asap rokok,
sebelum dan sesudah kelahiran berhubungan dengan efek berbahaya yang
dapat diukur seperti meningkatkan risiko terjadinya gejala serupa asma
pada usia dini Polusi udara dari dalam dan luar ruangan
f. Perubahan cuaca
Cuaca lembab dan hawa pegunungan yang dingin sering mempengaruhi asma.
Atmosfer yang mendadak dingin merupakan faktor pemicu terjadinya
serangan asma. Serangan kadang-kadang berhubungan dengan musim, seperti:
musim hujan, musim kemarau, musim bunga (serbuk sari beterbangan)
F. Klasifikasi
Berat-ringannya asma ditentukan oleh berbagai faktor, antara lain gambaran
klinik sebelum pengobatan (gejala, eksaserbasi, gejala malam hari, pemberian obat
inhalasi β-2 agonis dan uji faal paru) serta obat-obat yang digunakan untuk mengontrol
asma (jenis obat, kombinasi obat dan frekuensi pemakaian obat). Tidak ada suatu
pemeriksaan tunggal yang dapat menentukan berat-ringannya suatu penyakit. Dengan
adanya pemeriksaan klinis termasuk uji faal paru dapat menentukan klasifikasi menurut
berat-ringannya asma yang sangat penting dalam penatalaksanaannya.7
Asma diklasifikasikan atas asma saat tanpa serangan dan asma saat serangan
(akut)7 :
1. Asma saat tanpa serangan
Pada orang dewasa, asma saat tanpa atau diluar serangan, terdiri dari: 1)
Intermitten; 2) Persisten ringan; 3) Persisten sedang; dan 4) Persisten berat (Tabel.1)
Tabel 1. Klasifikasi derajat asma berdasarkan gambaran klinis secara umum pada orang dewasa7
2. Asma saat serangan
Klasifikasi derajat asma berdasarkan frekuensi serangan dan obat yang digunakan
sehari-hari, asma juga dapat dinilai berdasarkan berat-ringannya serangan. Global
Initiative for Asthma (GINA) membuat pembagian derajat serangan asma berdasarkan
gejala dan tanda klinis, uji fungsi paru, dan pemeriksaan laboratorium. Derajat
serangan menentukan terapi yang akan diterapkan. Klasifikasi tersebut meliputi asma
serangan ringan, asma serangan sedang dan asma serangan berat. Perlu dibedakan
antara asma (aspek kronik) dengan serangan asma (aspek akut). Sebagai contoh:
seorang pasien asma persisten berat dapat mengalami serangan ringan saja, tetapi ada
kemungkinan pada pasien yang tergolong episodik jarang mengalami serangan asma
berat, bahkan serangan ancaman henti napas yang dapat menyebabkan kematian.
Tabel 2. Klasifikasi asma menurut derajat serangan7
G. Patogenesis
Asma merupakan inflamasi kronik saluran napas dan disebabkan oleh
hiperreaktivitas saluran napas yang melibatkan beberapa sel inflamasi terutama sel mast,
eosinofil, sel limfosit T, makrofag, neutrofil dan sel epitel yang menyebabkan pelepasan
mediator seperti histamin dan leukotrin yang dapat mengaktivasi target saluran napas
sehingga terjadi bronkokonstriksi, kebocoran mikrovaskular, edema dan hipersekresi
mukus. Inflamasi saluran napas pada asma merupakan proses yang sangat kompleks
melibatkan faktor genetik, antigen dan berbagai sel inflamasi, interaksi antara sel dan
mediator yang membentuk proses inflamasi kronik.8
Proses inflamasi kronik ini berhubungan dengan peningkatan kepekaan saluran
napas sehingga memicu episode mengi berulang, sesak napas, batuk terutama pada
malam hari. Hiperresponsivitas saluran napas adalah respon bronkus berlebihan yaitu
penyempitan bronkus akibat berbagai rangsangan spesifik dan non-spesifik.8
Asma : Inflamasi kronis Saluran Napas
Hiperreaktivitas
pemicu
Banyak Sel :Sel MastEosinofilNetrofilLimfosit
Melepas MEDIATOR :HistaminProstaglandin (PG)Leukotrien (L)Platelet Activating Factor (PAF), dll
Bronkokonstriksi, hipersekresi mukus, edema saluran napas
Obstruksi difus saluran napas
BATUK, MENGI, SESAK
Gambar 1. Patogenesis Asma9
Tabel 3. Mediator Sel Mast dan Pengaruhnya terhadap Asma10
Mediator Pengaruh terhadap asma
Histamin LTC4, D4,E4 Prostaglandin dan Thromboksan A2 Bradikinin Platelet-activating factor (PAF)
Kontruksi otot polos
Histamin LTC4, D4,E4 Prostaglandin dan Thromboksan E2 Bradikinin Platelet-activating factor (PAF)
Chymase Radikal oksigen
Udema mukosa
Histamin LTC4, D4,E4 Prostaglandin Hidroxyeicosatetraenoic acid
Sekresi mukus
Radikal oksigen Enzim proteolitik
Deskuamasi epitel bronkial
Faktor inflamasi dan sitokin
H. Diagnosis
Diagnosis asma yang tepat sangatlah penting, sehingga penyakit ini dapat ditangani
dengan baik, mengi (wheezing) berulang dan/atau batuk kronik berulang merupakan titik
awal untuk menegakkan diagnosis. Asma pada anak-anak umumnya hanya menunjukkan
batuk dan saat diperiksa tidak ditemukan mengi maupun sesak. Diagnosis asma
didasarkan anamnesis, pemeriksaan fisis, dan pemeriksaan penunjang. Diagnosis klinis
asma sering ditegakkan oleh gejala berupa sesak episodik, mengi, batuk dan dada
sakit/sempit. Pengukuran fungsi paru digunakan untuk menilai berat keterbatasan arus
udara dan reversibilitas yang dapat membantu diagnosis. Mengukur status alergi dapat
membantu identifikasi faktor risiko. Pada penderita dengan gejala konsisten tetapi fungsi
paru normal, pengukuran respons dapat membantu diagnosis. Asma diklasifikasikan
menurut derajat berat, namun hal itu dapat berubah dengan waktu. Untuk membantu
penanganan klinis, dianjurkan klasifikasi asma menurut ambang kontrol. Untuk dapat
mendiagnosis asma, diperlukan pengkajian kondisi klinis serta pemeriksaan penunjang
Anamnesis
Anamnesis meliputi adanya gejala yang episodik, gejala berupa batuk,
sesak napas, mengi, rasa berat di dada dan variabiliti yang berkaitan dengan
cuaca. Faktor – faktor yang mempengaruhi asma, riwayat keluarga dan adanya
riwayat alergi.11
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik pada pasien asma tergantung dari derajat obstruksi
saluran napas. Tekanan darah biasanya meningkat, frekuensi pernapasan dan
denyut nadi juga meningkat, ekspirasi memanjang diserta ronki kering, mengi.11
Pemeriksaan Laboratorium
Darah (terutama eosinofil, Ig E), sputum (eosinofil, spiral Cursshman,
kristal Charcot Leyden). 11
Pemeriksaan Penunjang
o Spirometri
Spirometri adalah alat yang dipergunakan untuk mengukur faal
ventilasi paru. Reversibilitas penyempitan saluran napas yang merupakan
ciri khas asma dapat dinilai dengan peningkatan volume ekspirasi paksa
detik pertama (VEP1) dan atau kapasiti vital paksa (FVC) sebanyak 20%
atau lebih sesudah pemberian bronkodilator.
o Uji Provokasi Bronkus
Uji provokasi bronkus membantu menegakkan diagnosis asma.
Pada penderita dengan gejala sma dan faal paru normal sebaiknya
dilakukan uji provokasi bronkus. Pemeriksaan uji provokasi bronkus
merupakan cara untuk membuktikan secara objektif hiperreaktivitas
saluran napas pada orang yang diduga asma. Uji provokasi bronkus terdiri
dari tiga jenis yaitu uji provokasi dengan beban kerja (exercise),
hiperventilasi udara dan alergen non-spesifik seperti metakolin dan
histamin.
o Foto Toraks
Pemeriksaan foto toraks dilakukan untuk menyingkirkan penyakit
lain yang memberikan gejala serupa seperti gagal jantung kiri, obstruksi
saluran nafas, pneumothoraks, pneumomediastinum. Pada serangan asma
yang ringan, gambaran radiologik paru biasanya tidak memperlihatkan
adanya kelainan.
Tabel 4. Diagnosis Asma12
I. Diagnosis Banding
a. Bronkitis kronik
Bronkitis kronik ditandai dengan batuk kronik yang mengeluarkan sputum
3 bulan dalam setahun untuk sedikitnya 2 tahun. Gejala utama batuk yang disertai
sputum dan perokok berat. Gejala dimulai dengan batuk pagi, lama kelamaan
disertai mengi dan menurunkan kemampuan jasmani.
b. Emfisema paru
Sesak napas merupakan gejala utama emfisema, sedangkan batuk dan
mengi jarang menyertainya.
c. Gagal jantung kiri
Dulu gagal jantung kiri dikenal dengan asma kardial dan timbul pada
malam hari disebut paroxysmal nocturnal dispnea. Penderita tiba-tiba terbangun
pada malam hari karena sesak, tetapi sesak menghilang atau berkurang bila
duduk. Pada pemeriksaan fisik ditemukan kardiomegali dan edema paru.
d. Emboli paru
Hal-hal yang dapat menimbulkan emboli paru adalah gagal jantung.
Disamping gejala sesak napas, pasien batuk dengan disertai darah (haemoptoe).
J. Penatalaksanaan
Konsep Baru Pengobatan Awal – Penilaian Derajat.
Banyak penderita asma tidak diobati menurut pedoman mutakhir, menimbulkan
asma tidak terkontrol dan merupakan beban bagi penderita, keluarga serta seluruh sistem
perawatan kesehatan. Pemantauan dan penilaian secara terus menerus penting untuk
keberhasilan penanganan klinis. Menurut konsep baru, penanganan asma dibuat dalam 3
golongan umur yaitu 0-4 tahun, 4-12 tahun dan diatas 12 tahun, serta menggunakan 2
domain dalam evaluasi derajat berat dan kontrol asma, yaitu gangguan dan risiko. Bila
diagnosis asma sudah ditegakkan, setiap penderita dilakukan penilaian derajat berat asma,
Derajat berat adalah intensitas intrinsik proses penyakit yang diukur praterapi, dan dapat
memberikan informasi kepada dokter untuk mengembangkan rencana pengobatan awal.
Pengobatan awal diberikan sesuai dengan regimen (tahap) pengobatan.
Pencegahan
A. Mencegah Sensititasi
Cara-cara mencegah asma berupa pencegahan sensitisasi alergi (terjadinya atopi,
diduga paling relevan pada masa prenatal dan perinatal) atau pencegahan terjadinya asma
pada individu yang disensitisasi. Selain menghindari pajanan dengan asap rokok, baik in
utero atau setelah lahir, tidak ada bukti intervensi yang dapat mencegah perkembangan
asma. Hipotesis higiene untuk mengarahkan sistem imun bayi kearah Th1, respons
nonalergi atau modulasi sel T regulator masih merupakan hipotesis.
B. Mencegah Eksaserbasi
Eksaserbasi asma dapat ditimbulkan berbagai factor (trigger) seperti alergen
(indoor seperti tungau debu rumah, hewan berbulu, kecoa dan jamur, alergen outdoor
seperti polen, jamur, infeksi virus, polutan dan obat. Mengurangi pajanan penderita
dengan beberapa factor seperti menghentikan rokok, menghindari asap rokok, lingkungan
kerja, obat yang menimbulkan gejala dapat memperbaiki control asma serta keperluan
obat.
Tujuan utama penatalaksanaan asma adalah meningkatkan dan mempertahankan
kualiti hidup agar penderita asma dapat hidup normal tanpa hambatan dalam melakukan
aktiviti sehari-hari.13
Tujuan penatalaksanaan asma13:
a. Menghilangkan dan mengendalikan gejala asma
b. Mencegah eksaserbasi akut
c. Meningkatkan dan mempertahankan faal paru seoptimal mungkin
d. Mengupayakan aktiviti normal termasuk exercise
e. Menghindari efek samping obat
f. Mencegah terjadi keterbatasan aliran udara (airflow limitation) ireversibel
g. Mencegah kematian karena asma
Ciri-ciri asma terkontrol:
1. Tanpa gejala harian atau d” 2x/minggu
2. Tanpa keterbatasan aktivitas harian
3. Tanpa gejala asma malam
4. Tanpa pengobatan pelega atau d” 2x/minggu
5. Fungsi paru normal atau hampir normal
6. Tanpa eksaserbasi
Ciri-ciri asma tidak terkontrol
1. Asma malam (terbangun malam hari karena gejala asma)
2. Kunjungan ke gawat darurat, karena serangan akut
3. Kebutuhan obat pelega meningkat
.
Pengendalian asma bertujuan
1. Meningkatkan kemandirian pasien dalam upaya pencegahan asma
2. Menurunkan jumlah kelompok masyarakat yang terpajan faktor risiko asma
3. Terlaksananya deteksi dini pada kelompok masyarakat berisiko asma
4. Terlaksananya penegakan diagnosis dan tatalaksana pasien asma sesuai
standar/kriteria
5. Menurunnya angka kesakitan akibat asma
6. Menurunnya angka kematian akibat asma
Penatalaksanaan asma bertujuan untuk mengontrol penyakit, disebut sebagai asma
terkontrol. Asma terkontrol adalah kondisi stabil minimal dalam waktu satu bulan.13
Penatalaksanaan asma bronkial terdiri dari pengobatan non-medikamentosa dan
pengobatan medikamentosa :
Pengobatan non-medikamentosa
Penyuluhan
Menghindari faktor pencetus
Pengendali emosi
Pemakaian oksigen
Pengobatan medikamentosa
Pengobatan ditujukan untuk mengatasi dan mencegah gejala obstruksi jalan
napas, terdiri atas pengontrol dan pelega.13
Pengontrol (Controllers)
Pengontrol adalah medikasi asma jangka panjang untuk mengontrol asma,
diberikan setiap hari untuk mencapai dan mempertahankan keadaan asma terkontrol pada
asma persisten. Pengontrol sering disebut pencegah, yang termasuk obat pengontrol :
Kortikosteroid inhalasi Kortikosteroid sistemik Sodium kromoglikat Nedokromil sodium Metilsantin Agonis beta-2 kerja lama, inhalasi Agonis beta-2 kerja lama, oral Leukotrien modifiers Antihistamin generasi ke dua (antagonis -H1) Lain-lain
Glukokortikosteroid inhalasi
Pengobatan jangka panjang yang paling efektif untuk mengontrol asma.
Penggunaan steroid inhalasi menghasilkan perbaikan faal paru, menurunkan
hiperesponsif jalan napas, mengurangi gejala, mengurangi frekuensi dan berat serangan
dan memperbaiki kualitas hidup. Steroid inhalasi adalah pilihan bagi pengobatan asma
persisten (ringan sampai berat).
Tabel 5. Dosis glukokortikosteroid inhalasi dan perkiraan kesamaan potensi13
Dewasa Dosis rendah Dosis medium Dosis tinggi
Obat
Beklometason dipropionat
Budesonid
Flunisolid
Flutikason
Triamsinolon asetonid
200-500 ug
200-400 ug
500-1000 ug
100-250 ug
400-1000 ug
500-1000 ug
400-800 ug
1000-2000 ug
250-500 ug
1000-2000 ug
>1000 ug
>800 ug
>2000 ug
>500 ug
>2000 ug
Anak Dosis rendah Dosis medium Dosis tinggi
Obat
Beklometason dipropionat
Budesonid
Flunisolid
Flutikason
Triamsinolon asetonid
100-400 ug
100-200 ug
500-750 ug
100-200 ug
400-800 ug
400-800 ug
200-400 ug
1000-1250 ug
200-500 ug
800-1200 ug
>800 ug
>400 ug
>1250 ug
>500 ug
>1200 ug
Glukokortikosteroid sistemik
Cara pemberian melalui oral atau parenteral. Harus selalu diingat indeks terapi
(efek/ efek samping), steroid inhalasi jangka panjang lebih baik daripada steroid oral
jangka panjang.
Kromolin (sodium kromoglikat dan nedokromil sodium)
Pemberiannya secara inhalasi. Digunakan sebagai pengontrol pada asma persisten
ringan. Dibutuhkan waktu 4-6 minggu pengobatan untuk menetapkan apakah obat ini
bermanfaat atau tidak.
Metilsantin
Teofilin adalah bronkodilator yang juga mempunyai efek ekstrapulmoner seperti
antiinflamasi. Teofilin atau aminofilin lepas lambat dapat digunakan sebagai obat
pengontrol, berbagai studi menunjukkan pemberian jangka lama efektif mengontrol
gejala dan memperbaiki faal paru.
Agonis beta-2 kerja lama
Termasuk di dalam agonis beta-2 kerja lama inhalasi adalah salmeterol dan
formoterol yang mempunyai waktu kerja lama (> 12 jam). Seperti lazimnya agonis beta-
2 mempunyai efek relaksasi otot polos, meningkatkan pembersihan mukosilier,
menurunkan permeabiliti pembuluh darah dan memodulasi penglepasan mediator dari sel
mast dan basofil.
Tabel 6. Onset dan durasi (lama kerja) inhalasi agonis beta-213
Onset Durasi (Lama kerja)
Singkat Lama
Cepat Fenoterol
Prokaterol
Salbutamol/ Albuterol
Terbutalin
Pirbuterol
Formoterol
Lambat Salmeterol
Leukotriene modifiers
Obat ini merupakan antiasma yang relatif baru dan pemberiannya melalui oral.
Mekanisme kerja menghasilkan efek bronkodilator minimal dan menurunkan
bronkokonstriksi akibat alergen, sulfurdioksida dan exercise. Selain bersifat
bronkodilator, juga mempunyai efek antiinflamasi. Kelebihan obat ini adalah
preparatnya dalam bentuk tablet (oral) sehingga mudah diberikan. Saat ini yang beredar
di Indonesia adalah zafirlukas (antagonis reseptor leukotrien sisteinil).
Pelega (Reliever)
Prinsipnya untuk dilatasi jalan napas melalui relaksasi otot polos, memperbaiki
dan atau menghambat bronkostriksi yang berkaitan dengan gejala akut seperti mengi, rasa
berat di dada dan batuk, tidak memperbaiki inflamasi jalan napas atau menurunkan
hiperesponsif jalan napas. Termasuk pelega adalah 13:
Agonis beta2 kerja singkat
Termasuk golongan ini adalah salbutamol, terbutalin, fenoterol, dan prokaterol yang telah beredar di Indonesia. Mempunyai waktu mulai kerja (onset) yang cepat. Mekanisme kerja sebagaimana agonis beta-2 yaitu relaksasi otot polos saluran napas, meningkatkan bersihan mukosilier, menurunkan permeabiliti pembuluh darah dan modulasi penglepasan mediator dari sel mast. Merupakan terapi pilihan pada serangan akut dan sangat bermanfaat sebagai praterapi pada exercise-induced asthma
Kortikosteroid sistemik . (Steroid sistemik digunakan sebagai obat pelega bila
penggunaan bronkodilator yang lain sudah optimal tetapi hasil belum tercapai,
penggunaannya dikombinasikan dengan bronkodilator lain).
Antikolinergik
Pemberiannya secara inhalasi. Mekanisme kerjanya memblok efek penglepasan asetilkolin dari saraf kolinergik pada jalan napas. Menimbulkan bronkodilatasi dengan menurunkan tonus kolinergik vagal intrinsik, selain itu juga menghambat refleks bronkokostriksi yang disebabkan iritan. Termasuk dalam golongan ini adalah ipratropium bromide dan tiotropium bromide.
Aminofillin
Adrenalin
Dapat sebagai pilihan pada asma eksaserbasi sedang sampai berat. Pemberian secara subkutan harus dilakukan hati-hati pada penderita usia lanjut atau dengan gangguan kardiovaskular. Pemberian intravena dapat diberikan bila dibutuhkan, tetapi harus dengan pengawasan ketat (bedside monitoring).
Metilsantin
Termasuk dalam bronkodilator walau efek bronkodilatasinya lebih lemah
dibandingkan agonis beta-2 kerja singkat.
Cara pemberian pengobatan
Pengobatan asma dapat diberikan melalui berbagai cara yaitu inhalasi, oral dan
parenteral (subkutan, intramuskular, intravena). Kelebihan pemberian pengobatan
langsung ke jalan napas (inhalasi) adalah 13:
lebih efektif untuk dapat mencapai konsentrasi tinggi di jalan napas
efek sistemik minimal atau dihindarkan
beberapa obat hanya dapat diberikan melalui inhalasi, karena tidak terabsorpsi
pada pemberian oral (antikolinergik dan kromolin). Waktu kerja bronkodilator
adalah lebih cepat bila diberikan inhalasi daripada oral
Tabel 7. Pengobatan sesuai berat asma 13
Semua tahapan : ditambahkan agonis beta-2 kerja singkat untuk pelega bila dibutuhkan, tidak melebihi 3-4 kali sehari.
Berat Asma Medikasi pengontrol
harian
Alternatif / Pilihan lain Alternatif lain
Asma Intermiten Tidak perlu -------- -------Asma Persisten Ringan
Glukokortikosteroid inhalasi (200-400 ug
BD/hari atau ekivalennya)
h. Teofilin lepas lambat
i. Kromolin
j. Leukotriene modifiers
------
Asma Persisten Sedang
Kombinasi inhalasi glukokortikosteroid
(400-800 ug BD/hari atau ekivalennya) dan
agonis beta-2 kerja lama
Glukokortikosteroid inhalasi (400-800 ug BD atau ekivalennya) ditambah Teofilin lepas lambat ,atau
Glukokortikosteroid inhalasi (400-800 ug BD atau ekivalennya) ditambah agonis beta-2 kerja lama oral, atau
Glukokortikosteroid inhalasi dosis tinggi (>800 ug BD atau ekivalennya) atau
Glukokortikosteroid inhalasi (400-800 ug BD atau ekivalennya) ditambah leukotriene modifiers
Ditambah agonis beta-2 kerja lama oral, atau
Ditambah teofilin lepas lambat
Asma Persisten Berat
Kombinasi inhalasi glukokortikosteroid (> 800 ug BD atau ekivalennya) dan agonis beta-2 kerja lama, ditambah ³ 1 di bawah ini:
teofilin lepas lambat
leukotriene modifiers
glukokortikosteroid oral
Prednisolon/ metilprednisolon oral selang sehari 10 mg
ditambah agonis beta-2 kerja lama oral, ditambah teofilin lepas lambat
K. Komplikasi
Berbagai komplikasi yang mungkin timbul adalah :
1. Status asmatikus
2. Atelektasis
3. Hipoksemia
4. Pneumothoraks
5. Emfisema
L. Prognosis
Mortalitas akibat asma sedikit nilainya. Gambaran yang paling akhir
menunjukkan kurang dari 5000 kematian setiap tahun dari populasi beresiko yang
berjumlah kira-kira 10 juta. Sebelum dipakai kortikosteroid, secara umum angka
kematian penderita asma wanita dua kali lipat penderita asma pria. Juga kenyataan bahwa
angka kematian pada serangan asma dengan usia tua lebih banyak, kalau serangan asma
diketahui dan dimulai sejak kanak – kanak dan mendapat pengawasan yang cukup kira-
kira setelah 20 tahun, hanya 1% yang tidak sembuh dan di dalam pengawasan tersebut
kalau sering mengalami serangan common cold 29% akan mengalami serangan ulang.14
Pada penderita yang mengalami serangan intermitten angka kematiannya 2%,
sedangkan angka kematian pada penderita yang dengan serangan terus menerus angka
kematiannya 9%.14
M. Peran Dokter Keluarga
1. Pendekatan Keluarga
Kegiatan terencana , terarah, untuk menggali, meningkatkan, mengarahkan peran
serta keluarga agar dapat memanfaatkan potensi atau sumber yang ada guna
menyembuhkan anggota keluarga dan menyelesaikan masalah kesehatan yang mereka
hadapi
Untuk melaksanakan tujuan tersebut, salah satu cara dapat dilakukan dengan
komunikasi, informasi, dan edukasi yang meliputi :
1. Penyuluhan bagi pasien dan keluarga tentang pencegahan dan penanggulangan
asma
2. Meningkatkan pengetahuan, motivasi, dan partisipasi pasien dalam pengendalian
asma
3. Untuk merubah sikap dan perilaku pasien dalam pengendalian asma
4. Meningkatkan kemandirian pasien dalam keterampilan penggunaan obat/alat
inhalasi
Pelaksanaan KIE tentang asma dan factor resikonya dapat dilakukan melalui
berbagai media penyuluhan seperti penyuluhan tatap muka, radio, televise dan
media elektronik lainnya , poster, leaflet, pamphlet, surat kabar, majalah dan
media cetak lainnya.15
2. Ciri Pelayanan
Comprehensiveness, continuity, coordinative, prevention first, family consideration
dan community consideration
3. Tugas Dokter Keluarga
Menyelenggarakan pelayanan primer secara paripurna, menyeluruh dan
berkesinambungan yang berfungsi dalam penapisan untuk pelayanan spesialistik yang
diperlukan, mendiagnosis secara cepat dan tepat serta memberikan terapi secara cepat dan
tepat, meberikan pelayanan secara aktif kepada pasien pada saat sehat dan sakit,
memberikan pelayanan kepada individu dan keluarga , membina keluarga pasien untuk
berpatisipasi dalam upaya peningkatan taraf kesehatan, pencegahan penyakit, pengobatan
dan rehabilitasi, menangani penyakit akut dan kronik, melakukan tindakan tahap awal
kasus berat agar siap dikirim ke rumah sakit, tetap bertanggung jawab atas pasien yang
dirujuk ke dokter spesialis atau dirawat di RS, memantau pasien yang telah dirujuk atau
dikonsultasikan, bertindak sebagai mitra, penasihat dan konsultasi bagi pasiennya.
Mengkoordinasikan pelayanan yang diperlukan untuk kepentingan pasien,
menyelenggarakan rekam medis yang memenuhi standar, melakukan penelitian untuk
mengembangkan ilmu kedokteran secara umum dan ilmu kedokteran keluarga secara
khusus.
REASEARCH ASMA
Desain yang akan digunakan dalam penelitian ini
adalah observasional analitik dengan metode potong
lintang (cross-sectional) yang dilaksanakan di Bagian
Poliklinik Paru RSUP Dr.M.Djamil Padang dan RSUD
Dr.Achmad Mochtar Bukittinggi. Waktu pelaksanaan
adalah bulan April 2013 hingga September 2013.
Populasi target dari penelitian ini adalah pasien
penderita penyakit asma. Populasi terjangkau dari
penelitian ini adalah pasien penyakit asma yang
berobat ke Poliklinik Paru di RSUP M.Djamil Padang
dan RSUD Dr.Achmad Mochtar Bukittinggi. Kriteria
inklusi adalah responden yang telah didiagnosis asma
oleh dokter spesialis paru dan responden bersedia
dan mampu untuk menyelesaikan rangkaian
pengambilan data. Kriteria eksklusi adalah responden
dengan penyakit paru lain misalnya tuberkulosis paru,
pneumonia, kanker paru, emfisema, dan lain lain.
Sampel dalam penelitian ini ditentukan dengan cara
consecutive sampling.
Tingkat pengetahuan asma pada pasien
dinilai melalui 31 pertanyaan di dalam kuesioner
mengenai etiologi, patofisiologi, medikasi, perkiraan
derajat asma serta manajemen gejala termasuk
meminimalisasi faktor pencetus dan aktivitas fisik.
Kuesioner yang digunakan adalah kuesioner Asthma
General Knowledge Questionnaire (AGKQ), kuesioner
ini pertama kali didemonstrasikan oleh Allen et al pada
tahun 1998 di Amerika Serikat. Kuesioner ini memiliki
konten dan validitas muka yang baik. AGKQ dapat
diandalkan di dalam proses pengujian pengetahuan
asma pada penelitian, sehingga kuesioner ini telah
terbukti menjadi alat penelitian yang berharga untuk
menentukan tingkat pengetahuan asma baik pada
intervensi pendidikan dan keadaan klinis. Hasil skor
didapatkan dari skor persentase dari jawaban yang
benar.11
Pada penelitian ini tingkat kontrol asma
dikategorikan menjadi dua kategori :
a. Rendah bila jawaban benar < 60%
b. Tinggi bila jawaban benar 60%
Tingkat kontrol asma dinilai melalui kuesioner
ACT (Asthma Control Test). Kuesioner ini berisi 5
pertanyaan dan masing masing pertanyaan
mempunyai skor 1 sampai 5, sehingga nilai terendah
ACT adalah 5 dan tertinggi adalah 25.12
Pada penelitian ini tingkat kontrol asma
dikategorikan menjadi 3 kategori :
a. Tidak terkontrol : skor < 19
b. Terkontrol sebagian: skor 20 – 24
c. Terkontrol total : skor 25
Lembar kuesioner terdiri dari lembar
kuesioner data dasar, lembar kuesioner ACT, dan
lembar kuesioner AGKQ. Lembar kuesioner data
dasar berisi tentang karakteristik subjek penelitian
yaitu jenis kelamin, usia, tingkat pendidikan, tinggi
badan, berat badan, IMT, dan riwayat merokok.
Lembar kertas kuesioner ACT (Asthma
Control Test) dan lembar kertas kuesioner AGKQ yang
telah diterjamahkan ke dalam bahasa Indonesia.
Sumber data yang akan digunakan pada penelitian ini
adalah sumber data primer. Data primer diperoleh dari
subjek pasien asma yang datang berobat ke Poliklinik
Paru RSUP Dr. M. Djamil Padang dan RSUD Dr.
Achmad Mochtar Bukittinggi.
Penandatanganan informed consent dan
wawancara untuk pengisian kuesioner dilakukan pada
pasien yang telah didiagnosis asma oleh dokter
spesialis paru di poliklinik paru RSUP Dr. M.Djamil
Padang dan RSUD Dr. Achmad Mochtar
Data yang terkumpul dari penelitian ini akan
dicatat dan diolah lebih lanjut untuk dilakukan uji
statistik dengan menggunakan program SPSS
(Statistical Package for Social Sciences) for Windows
versi 15. Analisis yang dilakukan secara univariat dan
bivariat. Analisis univariat akan menyajikan data dalam
bentuk tabel distribusi frekuensi sehingga terlihat
gambaran deskriptif dari variabel yang diteliti. Analisis
bivariat dilakukan dengan uji kemaknaan Chi Squre
untuk melihat hubungan antara dua variabel yaitu
variabel bebas dan terikat, bila tidak memenuhi syarat
digunakan uji Kolmogorov-Smirnov. Jika terdapat
perbedaan bermakna (p<0,05) dan tidak ada
perbedaan bermakna (p>0,05).
LAMPIRAN
DAFTAR PUSTAKA
1. Riyanto BS, Hisyam B. Obstruksi Saluran Pernapasan Akut. Dalam : Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. Jilid II. Edisi ke - 4. Jakarta : Pusat Penerbitan Departemen Ilmu
Penyakit Dalam FKUI. 2006. h 978 – 87.
2. Alsagaff H, Mukty A. Dasar - Dasar Ilmu Penyakit Paru. Edisi ke – 2. Surabaya :
Airlangga University Press. 2002. h 263 – 300.
3. Morris MJ. Asthma. [ updated 2011 June 13; cited 2011 June 29]. Available from :
http://emedicine.medscape.com/article/296301-overview#showall
4. Partridge MD. Examining The Unmet Need In Adults With Severe Asthma. Eur Respir
Rev 2007; 16: 104, 67–72
5. Dewan Asma Indonesia. You Can Control Your Asthma : ACT NOW!. Jakarta. 2009 May
4th. Available from:
http://indonesianasthmacouncil.org/index.php?
option=com_content&task=view&id=13&Itemid=5
6. Anggia D. Profil Penderita Asma Bronkial yang Dirawat Inap di Bagian Paru RSUD
Arifin Achmad Pekanbaru Periode Januari – Desember 2005. Pekanbaru : Fakultas
Kedokteran Universitas Riau. 2006.
7. Menteri Kesehatan Republik Indonesia. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
Nomor 1023/MENKES/SK/XI/2008 Tentang Pedoman Pengendalian Penyakit Asma.
Jakarta. 3 Nopember 2008.
8. Rahmawati I, Yunus F, Wiyono WH. Patogenesis dan Patofisiologi Asma. Jurnal Cermin
Kedokteran. 2003; 141. 5 – 6.
9. Widjaja A. Patogenesis Asma. Makalah Ilmiah Respirologi 2003. Surakarta : Fakultas
Kedokteran Universitas Sebelas Maret. 2003. h 27.
10. Noorcahyati S. Pemantauan Kadar Imunoglobulin M (Igm) dan Imunoglobulin G (Igg)
Chlamydia pneumoniae pada Penderita Asma di Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam
Malik Medan. Medan : Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. 2002.
11. Mansjoer A, Triyanti K, Savitri R, Wardani WI, Setiowulan W. Kapita Selekta
Kedokteran. Edisi III. Jakarta : Media Aesculapius FKUI. 2001. h 477 – 82.
12. Rengganis I. Diagnosis dan Tatalaksana Asma Bronkial. Majalah Kedokteran Indonesia.
Nopember 2008; 58(11), 444-51.
13. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Pedoman Diagnosis & Penatalaksanaan di
Indonesia. 2003. h 73-5
14. Mcfadden ER. Penyakit Asma. Dalam Harrison Prinsip-prinsip Ilmu Penyakit Dalam.
Isselbacher KJ et al, editor. Jakrta : EGC. 2000. 1311-18.
15. Cabana MD, Le TT, Arbor A. Challenges in asthma patient education.JACI.2005;115
(6):1225-7.