Upload
33335
View
85
Download
3
Embed Size (px)
Citation preview
PERANAN AGAMA SEBAGAI KARAKTER BANGSA
Makalah
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu
Tugas Terstruktur Dalam Mata Kuliah Ilmu Sosial Budaya Dasar
Endang Lastri
IC
Dosen Pembimbing
Dr. Silfia Hanani, M. Si
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA JURUSAN TARBIYAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN)
SJECH M. DJAMIL DJAMBEK
BUKITTINGGI
BAB I
PENDAHULUAN
Moral merupakan sesuatu hal yang sangat penting dalam kehidupan manusia.
Dengan moral semua kehidupan manusia menjadi aman, makmur, dan mampu
mewujudkan segala bentuk kesejahteraan dalam kehidupan bermasyarakat. Moral sendiri
berasal dari bahasa Yunani „‟mores‟‟ yang berarti adat istiadat , nilai-nilai yang indah
dalam masyarakat sehingga dapat di artikan bahwa moral adalah adat istiadat masyarakat
dan diterima oleh masyarakat sehingga apabila nilai tersebut dapat diterapkan dalam
masyarakat maka dapat menjadi sarana untuk mewujudkan kesejahteraan dan keadilan
masyarakat.
Maka jika akhlak suatu bangsa tidak terurus dan tidak mengalami pembinaan yang
memadai dari masyarakat maka masyarakat itu walaupun semakin maju peradaban
mereka namun dalam kehidupan social mereka akan kacau balau , hal ini dapat kita lihat
pada Negara-negara di belahan bumi barat yang menganut paham sekuler yang
menyepelekan agama maka tidak heran jika di Negara tersebut kejahatan seperti
perampokan , perzinahan , penyalahgunaan narkoba , dan juga tekanan ppsikologis yang
mengakibatkan banyaknya angka bunuh diri di Negara-negara belahan barat serta
penyebaran penyakit berbahaya seperti HIV/AIDS yang sangat mematikan cukuplah
menjadi gambaran bagi kita melihat masyarakat yang menyepelekan moral dalam
kehidupan sehari-hari.
Menghadapi hal tersebut agama islam merupakan sumber nilai-nilai moral islam.
Nilai moral dalam islam sangat di junjung tinggi dan ditempatkan pada kursi agung.
Karena moral merupakan elemen penting dalam membentuk peradaban.
Namun, dalam pelaksanaan kehidupan bermasyarakat di era modern ini agama
kurang di anggap sebagai sebuah hal yang penting terutama di masyarakat industri yang
menjadikan uang sebagai tuhan nya maka nilai-nilai moral yang bersumber dari ajaran
agama dianggap tidak penting namun hal-hal yang berkaitan dengan cara memperoleh
uang dan kekayaan menjadi norma yang dianut dalam masyarakat industry dan modern
saat ini. Agama hanya dianggap perlu jika ada yang mati ataupun menikah baru mereka
menggunakan ajaran-ajaran moral yang terkandung di dalam ajaran agama.
BAB II
PERAN AGAMA DALAM MEMBENTUK KARAKTER BANGSA
A. Pengertian Agama
Agama dalam bahasa Indonesia, religion dalam bahasa Inggris, dan di dalam
bahasa Arab merupakan sistem kepercayaan yang meliputi tata cara peribadatan hubungan
manusia dengan Sang Mutlak, hubungan manusia dengan manusia, dan hubungan
manusia dengan alam lainnya yang sesuai dengan kepercayaan tersebut.
Dalam perspektif sosiologi agama, agama tidak hanya dimaknai sebagai hubungan
manusia dengan Tuhan. Tetapi, agama dimaknai secara luas, baik menyangkut hubungan
personal manusia dengan Tuhannya, sesuatu yang suci, maupun dampak yang
dimunculkan oleh sebuah agama itu terhadap kehidupan manusia. Artinya, agama tidak
hanya sebagai “loyalitas” hidup di akhirat kelak. Konsep ajaran agama juga dilaksanakan
untuk kebahagian dunia atau kultural di dunia ini.
Di Indonesia, sangat terlihat melalui tesis Clifford Geertz tentang Religion Of
Java, Greetz telah memetakan pemahaman dan kultur kegamaan secara etnik. Ia
memebaginya menjadi tiga peta wilayah kultur, yaitu priyayi, santri, dan abangan.1 Ketiga
peta kultural sosial keagamaan itu telah mempengaruhi ruang publik sosial. Makna yang
perlu ditangkap dari fenomena ini adalah bahwa ajaran agama sangat dipengaruhi pola,
struktur, tindakan dan dinamika sosial.
1. Ritual
Ritual merupakan kegiatan atau perlakuan simbolik terhadap sesuatu yang
dianggap suci atau sakral dan mempunyai kemahakuasaan. Ritual juga merupakan
bagian dari ibadah, ketaatan dan ketulusan yang dipersembahkan oleh seseorang atau
sekelompok orang kepada sesuatu yang dianggap suci.
Setiap agama dan kepercayaan di dunia ini mempunyai ritualitas, dengan kata
lain tidak ada agama tanpa ritual. Masalahnya, ritual itu salah atau benar tetap saja
1 Silvia Hanani, Menggali Interelasi sosiologi dan Agama, (Bandung:Hiumaniora, 2011), hal. 3
menjadi bagian tak terpisahkan dari sebuah ajaran. Wujud ritual ada dalam berbagai
bentuk, gerak-gerik, puji-pujian, bacaan, dan sebagainya.
2. Sakral
Sakral merupakan suatu konsep yang bermakna suci, berkuasa dan sangat
berpengaruh. Tuhan dalam agama dan kepercayaan apapun di dunia ini merupakan
puncak dari kesucian. Tuhan pula yang menjadi puncak kekuasaan atas segala sesuatu.
Maka, ia disebut sebagai “maha” karena memiliki kekuasaan atas segalanya.
Kesakralan itulah yang menjadi eksistensi sesuau yang bernilai lebih, sehingga
disembah, ditakuti dan ditaati oleh para penganutnya.
3. Tindakan
Seseorang tidak mau mencuri, memperkosa, membunuh dan tindakan anarkis
lainnya karena mereka berkomitmen untuk mematuhi adanya hukum dunia.
Kepatuhan itu didorong oleh keyakinan terhadap ajaran agamanya yang menjelaskan
bahwa ada balasan diakhirat kelak bagi pelaku yang melanggar hukum agama.
Dalam praktek kehidupan, agama tidak saja sebagai alat untuk mengawasi
tindakan manusia. Agama juga memberi motivasi, menyampaikan dorongan, dan
memberi stimulan bagi manusia untuk berbuat lebh baik dalam rangka meraih
kemajuan dan kejayaan.
4. Kulutral
Agama bermakna kultural adalah semua ekspresi atau ritualitas yang terjadi
yang dilakukan dengan pergerakan-pergerakan dan sebagainya mewujud dalam suatu
budaya. Arti dan makna budaya dalam konteks ini adalah interpretasi, aksi yang
terjadi dari semua kegiatan agama tersebut.
Agama merupakan ajaran universalisitik, artinya agama membangun semua
aspek kehidupan dan dimensi ruang. Upaya pembangunan oleh agama ini tisak saja
berkaitan dengan sau etalase sistem, tetapi juga menjiwai dan menginternal ke dalam
seluruh aspek. Sehingga tidak ada keterpisahan kehidupan dengan agama atau
sekulerisasi.
B. Agama dan Masyarakat
Secara garis besar, ada dua klasifikasi agama yang berkembang dalam sejarah
kehidupan manusia. Pertama, polyteisme, dan kedua adalah monotheisme. Ada pula yang
membagi agama ke dalam istilah agama ardhi dan samawi. Dari kedua jenis tersebut
berkembang pula istilah agama tradisional dan modern. Agama polyteisme dianggap
sebagaiagama yang lahir karena interpretasi akal pikiran manusia tentang keperluannya
terhadap kekuatan supranatural yang kemudian diberi nama sebagai Tuhan. Sebagai
kerangka awal, manusia mencari-cari makna esensial dalam kehdupan yang dialaminya.
Pada awalnya manusia mengenal Tuhan melalui asumsi-asumsi dasar yang ia
kembangkan terhadapa kekuatan-kekuatan yang melekat dalam benda-benda benda-benda
itulah yang dianggap dan diyakini memiliki keskralan dan kekuatan ghaib. Para penganut
agama tradisional ini meyakini bahwa benda-benda bahwa benda-benda itu akan
menyelamatkan dan memusnahkan kehidupan manusia. Clanemenyebutkan bahwa proses
tersebut, sebanarnya telah terlihat jelas bahwa dalam diri manusia ada nalar beragama
yang sangat kuat2.
Nalar beragama itu berkembang secara terus –menerus, tanpa henti seiring dengan
perkembangan akal pikiran manusia. Secara sederhana, nalar beragama ini ditunjukkan
oleh manusia ketika berhadapan dengan peristiwa alam yang dirasakan olehnya sebagai
kejaiban. Misalnya, batang kayu yang sangat besar, tempat-tempat yang sangat sepi atau
yang dianggap angker, atau kuburan. Tempat-tempat ini atau benda-benda ini
dinterpreasikan olehnya sebagai tempat bersemayan Tuhan, atau kekuasaan ain yang
sangat hebat selain kekuasaan manusia. Untuk memberikan pernghormatan terhadap
kekuatan lain dalam benda-benda keramat itu, merek melakukan doa-doa dan sesajian
serta penyembahan. Tata cara penyembahan ini dilakukan sesuai dengan wangsit yang
diperoleh seeorang yang dianggap sebagai tokoh masyarakat setempat. Mereka berasumsi
bahwa pelaksanaan ritual tersebut akan dapat menjamin keselamatan bagi kehidupan
seluruh manusia.
Agama monotheisme adalah agama yang mengenal keesaan Tuhan. Dalam istilah
kajian agama-agama, agama monotheisme ini dapat diamakan agama samawi (agama
2Silvia Hanani, Menggali Interelasi sosiologi dan Agama, (Bandung:Hiumaniora, 2011), hal.
langit). Agama langit mengajarkan konsep satu Tuhan atau agama tahid. Agama samawi
mempunyai wahyu atau kitab suci yang diturunkan oleh Tuhan, mempunyai nabi dan rasul
sebagai pelaksana guideline kitab suci itu. Melalui kitap suci itu nabi dan rasul diberi
otoritas penuh untuk menyebarkan ajara-ajaran kitab suci untuk membangun keagaamaan
dan peradapan manusia. Islam merupakan agama samawi, karena Islam memiliki kitab
suci, yaitu Quran sebagai guideline bagi pemeluknya.
Islam juga mengakui adanya nabi dan rasul yang mengajarkan dan menjelaskan
makna-makna kitab suci itu, yaitu Muhammad SAW. Jelasnya, dari proses itu, semua
dapat disimpulkan bahwa kehidupan manusia tidak dapat melepaskan diri dari rasa butuh
terhadap kekuasaan lain yang lebih berkuasa. Kekuatan lain itu berada diluar dirinya yang
serbalemah. Oleh karena itu, sepanjang hidupnya manusia sangat memerlukan aturan yang
bersifat universal dan absolut mutlak sehingga manusia tidak merasakan frustasi dalam
mengahadapi brbagai persoalan kehidupan. Dalam hal ini agama menjadi spirit atau
motivasi khusus bagi batin dan jiwa manusia.
Dalam proses penyebaran agama, masyarakat biasanya menerima minimal tiga
bentuk penilaian terhadap agama, pertama, agama diterima sepenuhnya. Kedua, agama
diterima sebagian-sebagian yang disesuaikan dengan kebutuhan seseorang atau
sekelompok orang. Ketiga, agama itu ditolak sama sekali. Ketiga cakrawala sikap
penerimaan terhadap agama tersebut berlaku juga di kawasan Asia Tenggara, termasuk
Indonesia.
Agama diterima sepenuhnya, maksudnya, agama menjadi sesuatu yang sangat
dominan dalam kehidupan manusia. Karena diterima dalam sepenuh hati, nilai-nilai
agama tidak dicampur adukan dengan nilai tradisi yang singretisme dan ajara-ajaran
subtansional agama. Ini berbeda dengan agama pengertian, agama diterima sebagian.
Dalam hal ini, ada pencampuadukan dalam pelaksanaan rituanitas kehidupan anatara
ajaran agama dan kebiasaan tradisi lokal yang selama ini berlaku. Silap yang lebih keras
diperlihatkan oleh sebagian warga masyarakat yang menolak ajaran agama sama sekali
karena mereka mencintai tradisi lokal yang telah mengakar dalam kehidupannya.
Dalam kehidupan masyarakat etnik di Indonesia, corak-corak penerimaan itu dapat
dilihat dengan jelas di berbagai suku. Misalnya, di masyarakat Minangkabau ditemukan
tiga kelas atau kelompok penerima tersebut. Apalagi, sebalum secara resmi agama Islam
diterima oleh masayarakat, kelompok pertama ini dinamakan kelompok pemurnian atau
kelompok purifikasi agama. Mereka adalah kelompok konservatif yang sangat tegas
dengan ajaran agama. Salah satu bentuk bukti ketegasannya adalah tidak ada kompromistk
terhadapa perlaku jika dianggap bertentangan dengan sumber Islam, Alquran dan Hadist.
Dimata masyarakat Minangkabau waktu itu, kelompok itu diwakli oleh delapan orang
haji, yang dipanggil dengan nama Harimau Nan Salapan.
Di masyarakat Mnangkabau juga terdapat kelompok yang termasuk kelompok
kedua. Mereka masih bersikap kompromistik. Terbukti mereka berusaha menyesuaikan
ajaran-ajaran agaa Islam kedalam bahasa adat setempat. Degan kata lain ada substansial
agama Islam dan adat masiah ada peluang untuk berdilog dan berintegrasi. Oleh kalangan
yang ompromistik ini masalah warisan ala Minangkabau masih dapat diaktualisasikan
hingga sekarang ini. Kelompok ketiga di masyarakat Minangkabau adalah kelompok yang
telah seia sekata dengan adat istiadatnya atau tradisi lokal. Mereka bersikap menutup diri
dari segala kemungkinan masuknya ajaran agama.
Dari fenomena yang sdah dkemukakan itu dapat dipahami beberapa hal. Pertama,
proses penyebaran agama-seperti penyebbaran agama yang secara resmi sudah diakui oleh
pemerintah belum terlaksana dengan holistik, atau belum sempurna. Kedua, antarajaran
agama nampak seperti medan yeng berbeda dan kadangkala bertentangan. Meskuipun
adapula ajaran agama yang berseuaian- atau disesuaikan dengan tradisi lokal dari warga
masyarakat setempat. Ketiga, setiap etnik pasti memiliki konsep ajaran, agama dan
kepercayaan awalnya. Tentu saja, agama etnik tidak akan sama dengan agama yang sudah
secara resmi diakui dan diberlakukan oleh pemerintah.
C. Agama dan identitas
Identitas secara sederhana, diartikan sebagai ciri khas ang memandakan suatu
kelompok. Ciri khas itulah, secara psikologis, yang memebadakan antara konsep
kelompok “aku” dan yang lainnya “other”. Kekhasan inilah yang biasa disebut keunikan.
Berdasarkan kekhasan itu kita dapat dengan mudah melihat suatu etnis dari identtas yang
melekatnya.
Dalam konsteks global, identitas seseorang dan sekelompok orang sebagai sebuah
bangsa sangat kentara. Terbukti, kita bisa melihat masalah ini mengutupkan atau
pengubuan dunia dengan dua kubu, yaitu Barat dan Timur. Orang Barat mempunyai yang
sudah dipola sedemikian rupa sebagai negara-negara modern, dan bukan Islam.
Sebaliknya, Timur dicirikan atau diidentitaskan sebagai negara-negara berkembang dan
merupakan negara-negara Islam, meskipun tidak semua negara berkembang itu
Islam.karena itu, dalam konteks ini jelas seklai bahwa agama sudah menjadi salah satu
ranah potensial ntuk melakukan rekonstruksi identitas
Identitas merupakan alat pembeda yang sangat jelas antara sat kelompok dengan
kelompok sosial lainnya. Identitas itu ditandai dengan berbagai macam mulai dari simbol-
simbl, perilaku, budaya, dan agama. Bahkan, dalam konteks global, agama juga semakin
menguat menjadi dan memperkuat simbol identitas sebuah kelompok.
Misalnya, orang-orang Melalyu ditandai oleh watak keislaman yang sangat kental.
Jadi keislaman itu berkaitan dengan pencitraan sesuatu yang melekat pada kelompok itu.
Bentuk pencitraan tersebut terjadi karena identitasnya. Kekhaan tersebut, salah satunya,
ditentukan oleh agama. Dalam hal ini agama saangat mendominasi identitas sebuah
masyarakat. Jadi, tampak jelas bahwa agama bisa menjadi simbol identitas sebuah
kelompok warga masyarakat.
Samuel Huntington, dalam Jurnal Foreign affairs, menulis tentang adanya
pengakuan identitas. Menurutnya, di dunia ini telah terjadi kebangkitan etnis yang
membawa pada kesan dan kebutuhan tentang makna dan potensi penting kebangkitan
identitas. Masing-masing identitas yang menguat itu selain menimbulkan konflik yang
berkepanjangan, tetapi juga sebagai salah satu penyebab terjadinya pembenturan
peradapan atau konflik antaretnik. Konfliknantaretnik ini tidak akan pernah berhenti
sepanjang peradapan itu memaksakan kehendaknya kepada peradapan lainnya.3
Dalam hal ini agama, merupakan salah satu pembentuk identitas. Bahkan
agamalah yang menjadi salah satu pembentuk, sekaligus pembedaseseorang atau orang
lain. Dalam kenyataanya, agama juga dibawa kedalam wilayah pembenturan peradapan
tersebut. Perang antarumat beragama yang mengatasnamakan sering terjadi, tidak saja
ditingkat lokal, tetapi juga ditingkat global.
3Silvia Hanani, Menggali Interelasi sosiologi dan Agama, (Bandung:Hiumaniora, 2011), hal. 3
Akhir-akhir ini, pembenturan umat beragaa atas nama dasar dentitas agama itu
dibangkitkan kembali melalui kebencian-kebencian yang sengaja diciptakan. Misalnya,
melalui penghinaan terhadap agama, penghinaan terhadap simbol-simbol agama dan
kesucian agama. Hal ini memperlihatkan bahwa identitas di satu sisi, dapat dijadikan
sebagai modal sosial untuk memperkokoh dan memeperkuat kelompok. Disisi lain
identitas juga bisa dipermainkan untuk menhancurkan peradapan itu sendiri. Karena itu,
agama harus dominan dimaknai sebagai sesuat yang suci daripada pemaknaan idetitas
yang sempit. Agama tidak dapat dipermainkan sebagai alat konflik atau memunculkan
konflik terhadap lainnya. Agama harus diletakkan di tempat yang agung berikut
identitasnya yang melekat pada diri agama itu. Identitas keagamaan seseorang jangan
hanya dimaknai sebagai salah satu bagan dari agama itu. Sebaliknya, agama harus lebih
dominan dimaknai sebagai ajaran Tuhan yang suci, sehingga agama tidak dijadikan
sebagai konflik antarumat beragama.
Jika kita melihat sejarah peradapan agama di dunia, baik Islam, Kristen, Budha,
Hindu dan yang lainnya tidak terlepas dari upaya pengkarakteristikan sebuah komunitas
atau kelompok manusia. Tujuan utama semua agama adalah membentuk peradapan.
Agama Islam, misalnya, datang ditengah-tengah pergolakan jahiliyah. Kedatangan Islam
tersebut jelas sekali memperbaiki peradapan manusia, yaitu dari peradapan jahiliyah ke
peradapan cahaya baru yang dibentuk oleh Islam. Begitu pula dengan agama Kristen
dengan ajarannya jelas sekali berusaha membangun peradapan sesuai dengan ajarannya
pula. Hindu dan Budha dalam konsepkonsep ajaran masing-masing juga mempunyai
tujuan yang sama, yaitu membangun manusia yang berperadapan dengan mempolakan
ajaran agama itu pada umatnya.
D. Agama, Negara dan Kekuasaan
Agama memainkan peranan penting dalam konteks perbahan sosial, sera menjadi
alat kekuasaan untk membangun kekuatan baru atas nama agama. Agama bisa difungsikan
dan dijadikan sebagai alat pembenaran, penguata, dan pengesahan ang serng dinamakan
dengan politisasi agama, yang kemudian dijadikan sebagai tumbal oleh elit kekuasaan.
1. Kedudukan Agama
Agama mempunyai kedudukan dan peranan yang sangat penting dan strategis,
utamanya sebagai landasan spiritual, moral, dan etika dalam pembangunan nasional.
Agama sebagai sistem nilai seharusnya dipahami dan diamalkan oleh setiap individu,
keluarga, masyarakat, serta menjiwai kehidupan berbangsa dan bernegara. Untuk itu,
pembangunan agama perlu mendapat perhatian lebih besar, baik yang berkaitan
dengan penghayatan dan pengamalan agama, pembinaan pendidikan agama, maupun
pelayanan kehidupan beragama.
Di beberapa wilayah Indonesia pernah muncul sejumlah kerusuhan sosial
berlatar belakang suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA), yang potensial
mengancam integrasi bangsa. Kehidupan beragama yang semula berjalan rukun dan
harmonis, kini porak-poranda akibat kerusuhan tersebut yang menelan korban harta
dan jiwa yang tak terbilang seperti yang terjadi di Kalimantan Barat, Maluku, dan
Sulawesi Tengah. Selain itu, kesenjangan antara kesemarakan kehidupan beragama di
satu pihak dan perilaku sosial yang bertentangan dengan norma agama di lain pihak,
kerapuhan etika dan nilai-nilai agama, terjadinya penurunan akhlak mulia, dan
kelemahan sendi-sendi moralitas agama, secara nyata turut menciptakan kerawanan
dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Praktik korupsi, kriminalitas, perjudian,
perilaku asusila, peredaran dan pemakaian narkoba, dan perilaku permisif yang tidak
lagi mengindahkan adab kesopanan dan kesantunan merupakan sebagian bukti
rendahnya kualitas pengetahuan, pemahaman, dan pengamalan masyarakat Indonesia
terhadap ajaran agamanya.
Dalam kaitan ini, dalam kehidupan bernegara kita perlu (1) memantapkan
fungsi, peran, dan kedudukan agama sebagai landasan moral, spiritual, dan etika
dalam penyelenggaraan negara serta mengupayakan agar segala perundang-undangan
tidak bertentangan dengan moral agama-agama; dan (2) meningkatkan kualitas
pendidikan agama melalui penyempurnaan sistem pendidikan agama sehingga terpadu
dan integral dengan sistem pendidikan nasional dengan didukung oleh sarana dan
prasarana yang memadai.
Berkaitan dengan agama ini, pada era reformasi telah ditetapkan Undang-
undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menggantikan UU
No. 2 Tahun 1989. Undang-undang Sisdiknas mengatakan dalam Pasal 3, bahwa.
"Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak
serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan
bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia
beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu,
cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung
jawab".
Agama antara lain berfungsi sebagai sumber motivasi, inspirasi, dan evaluasi
kehidupan. Dalam hal ini agama membawa misi profetik, konstruktif dan korektif
terhadap kehidupan. Keberagamaan yang diperlukan saat ini sebagai ekspresi sila
pertama Pancasila adalah yang bersifat etikal yang melahirkan kesalehan
sosial. Bukan keberagamaan yang bersifat ritualistik belaka, yang hanya melahirkan
kesalehan individual. Melainkan dapat melahirkan insan-insan mulia yang
menebarkan kebaikan bagi orang-orang lain dan bukan sebaliknya, menjadi ancaman
bagi sekitarnya. Pada sisi yang lain, kebijakan peningkatan keimanan dan ketakwaan
kepada Tuhan YME, perlu diarahkan kepada pembentukan akhlak, iman, takwa dan
akhlak mulia harus terjadi dalam interelasi integral. pendidikan perlu berorientasi pada
pendidikan nilai (value education). Yakni pendidikan yang tidak hanya
mengembangkan iptek melainkan juga nilai-nilai ketuhanan dan kemanusiaan.
Islam di Indonesia, baik ajarannya, namun lebih pada praktik dari ajaran
tersebut oleh para penganutnya, belakangan ini sedang menuai sentimen kebencian,
hujat dan caci-maki. Bagaimana mungkin agama yang (katanya) mengajarkan damai
(sa-lâm) dan Kepasrahan kepada Allah (is-lâm) serta menjunjung tinggi semangat
kemanusiaan (hablmin al-nâs) bisa sedemikian dinodai citra luhurnya oleh segelintir
penganutnya yang melakukan tindakan-tindakan kejahatan melawan kemanusiaan
(crime against humanity), entah itu berupa perusakan tempat-tempat hiburan malam,
pengeboman gereja dan pemberlakuan syariat Islam dengan ancaman hukuman yang
tidak main-main bagi mereka yang melanggarnya. Apakah Islam sedang meruntuhkan
dirinya sendiri dengan tindakan-tindakan destruktif semacam itu? Apakah bisa
dikatakan bahwa pilihan untuk memasuki arena publik bagi mayoritas pemeluk Islam
di Indonesia masih memegang world-view at the state level, yang dalam telaah
Casanova di atas sudah tidak cocok lagi dengan trend modern sekular sekarang ini?
Kita bisa bertanya lebih jauh, keterlibatan publik macam apa yang semestinya
diupayakan oleh kaum Muslim di Indonesia supaya ia tidak semakin terpuruk dan
dijauhkan dari pergaulan internasional? Menjawab pertanyaan ini tidaklah mudah.
Banyak sekali pertimbangan yang harus diikutsertakan di dalamnya guna
mendapatkan jawaban yang komprehensif dan bermutu. Namun, setidaknya, saya
mendapatkan kesan bahwa ada sejumlah pemikir Islam yang tidak terjebak dalam arus
“Islam yang destruktif dan intoleran” sebagaimana sering kita tangkap dan amati.
Satu di antara sejumlah pemikir yang berwawasan luas itu ialah Azyumardi
Azra yang dalam bukunya Islam Substantif Agar Umat Tidak Jadi Buih
mengedepankan keyakinan bahwa Islam dapat terlibat dalam arena publik di Indonesia
dengan masuk ke dalam gelanggang politik. Namun, politik semacam apa? Bukan lagi
politik formalisme yang mengedepankan simbol-simbol keagamaan dan jargon-jargon
religius, melainkan politik Islam yang lebih substantif. Jadi, apabila Islam mau
berperan dalam politik---yang dimengerti sebagai tata urusan kenegaraan, hal-ihwal
kekuasaan, dan kesejahteraan masyarakat luas---perannya adalah peran substantif,
yaitu mengembangkan pesan-pesan moral dan tema-tema sentral seperti keadilan dan
egalitarianisme.
Dalam salah satu bagian kritiknya terhadap umat Islam sendiri, “terpecahnya
kelompok Muslim akibat kepentingan yang berbeda-beda,”
Ada Dua hal yang Mendasar Tentang Peranan Agama Dalam Pembentukan
Bangsa:
1. Pembentukan Dalam Bidang pendidikan
Pendidikan agama harus dimulai dari rumah tangga, sejak si anak masih
kecil. Pendidikan tidak hanya berarti memberi pelajaran agama kepada anak-anak
yang belum lagi mengerti dan dapat menangkap pengertian-pengertian yang
abstrak. Akan tetapi yang terpokok adalah penanaman jiwa percaya kepada Tuhan,
membiasakan mematuhi dan menjaga nilai-nilai dan kaidah-kaidah yang
ditentukan oleh ajaran agama.
Menurut pendapat para ahli jiwa, bahwa yang mengendalikan kelakuan dan
tindakan seseorang adalah kepribadiannya. Kepribadian tumbuh dan terbentuk dari
pengalaman pengalaman yang dilaluinya sejak lahir. Bahkan mulai dari dalam
kandungan ibunya sudah ada pengaruh terhadap kelakuan si anak dan terhadap
kesehatan mentalnya pada umumnya. Dengan memberikan pengalaman-
pengalaman yang baik, nilai-nilai moral yang tinggi, serta kebiasaan-kebiasaan
yang sesuai dengan ajaran agama sejak lahir. Maka semua pengalaman itu akan
menjadi bahan dalam pembinaan kepribadian.
Dengan demikian, pendidikan Agama Islam berperan membentuk manusia
Indonesia yang percaya dan takwa kepada Allah SWT, menghayati dan
mengamalkan ajaran agamanya dalam kehidupan sehari-sehari, baik dalam
kehidupan pribadi maupun dalam kehidupan bermasyarakat, mempertinggi budi
pekerti, memperkuat kepribadian dan mempertebal semangat kebangsaan dan cinta
tanah air, agar dapat menumbuhkan manusia-manusia pembangunan yang dapat
membangun dirinya sendiri serta bersama-sama bertanggung jawab atas
pembangunan bangsa.
“Dan demi nafs dan yang menciptakannya, maka diilhamkan-Nya kepada jiwa
tersebut kefasikan dan ketakwaanya. Sesungguhnya beruntunglah orang yang
menyucikan jiwa itu, dan merugilah orang yang mengotorinya” (Asy-Syam:7-
“Berkata orang-orang tiada beriman:” Mengapa tiada diturunkan kepadanya
(Muhammad) sebuah mukjizat (dari Tuhannya?” Jawablah :”Allah memberikan
sesat siapa yang ia kehendaki, dan membimbing orang yang bertobat kepada-
Nya.” (Ar-Ra‟d :27
Dari ayat-ayat tersebut dapat dipahami bahwa ada jiwa yang menjadi fasik
dan adapula jiwa yang menjadi takwa, tergantung kepada manusia yang
memilikinya. Ayat ini menunjukan agar manusia selalu mendidik diri sendiri
maupun orang lain, dengan kata lain membimbing kearah mana seseorang itu akan
menjadi, baik atau buruk. Proses pendidikan dan pengajaran agama tersebut dapat
dikatakan sebagai “bimbingan” dalam bahasa psikologi. Nabi Muhammad SAW,
menyuruh manusia muslim untuk menyebarkan atau menyampaikan ajaran agama
Islam yang diketahuinya, walaupun satu ayat saja yang dipahaminya. Dengan
demikian dapat dikatakan bahwa nasihat agama itu ibarat bimbingan (guidance)
dalam pandangan psikologi.
Para pembimbing dan konselor perlu mengetahui pandangan filsafat
Ketuhanan (Theologie), manusia disebut “homo divians” yaitu mahluk yang
berke-Tuhan-an, berarti manusia dalam sepanjang sejarahnya senantiasa memiliki
kepercayaan terhadap Tuhan atau hal-hal gaib yang menggetarkan hatinya atau
hal-hal gaib yang mempunyai daya tarik kepadanya (mysterium trimendum atau
mysterium fascinans). Hal demikian oleh agama-agama besar di dunia dipertegas
bahwa manusia adalah mahluk yang disebut mahluk beragama (homo religious),
oleh karena itu memiliki naluri agama (instink religious), sesuai dengan firman
Allah SWT
“Maka hadapkanlah wajahmu kepada agama Allah (tetaplah atas fitrah
(naluri) Allah yang telah menciptakan manusia menurut naluri itu, tidak ada
perubahan pada naluri dari Allah itu.
2. Pendidikan Pancasila
Pendidikan Pancasila, pendidikan agama, dan pendidikan kewarganegaraan
secara simultan diharapkan dapat memancing tumbuhnya kesadaran akan semangat
persaudaraan, spirit humanitas dan kedewasaan diri serta kesucian hati (kalbu) harus
mengemuka Terlihat dengan jelas bahwa pembinaan kepribadian bangsa menjadi
landasan utama sistem pendidikan nasional yang sarat dengan muatan nilai-nilai, yaitu
beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia. Salah satu hal
yang sering menimbulkan pertanyaan terkait dengan UU tersebut adalah tidak
dituangkannya Pendidikan Pancasila secara eksplisit sebagai mata pelajaran atau
matakuliah dalam kurikulum.
Kesalehan individual semestinya mewujud menjadi kesalehan sosial. Sosok
seperti itulah, yang diperlukan bangsa Indonesia untuk membebaskan dirinya dari
keterpurukan dan berbagai jeratan immoralitas, serta kemudian mendorong bangsa
kepada kemajuan dan keunggulan. Maka, mata pelajaran atau matakuliah yang
menggarap aspek kepribadian seperti pendidikan agama dan pendidikan Pancasila
dapat difungsikan sebagai medium untuk membangun manusia sehat. Sehat jasmani,
rohani dan sosial. Pada gilirannya, dengan kekuatan kolektif membangun lingkungan
hidup kemanusiaan yang sehat pula. Bermuara pada terwujudnya peradaban nilai yang
sehat, dan menggantikan peradaban materi yang menggejala.
Oleh karena itu, implementasi Undang-undang Sisdiknas diarahkan pada
program Peningkatan Kualitas Pendidikan Agama Pendidikan agama di sekolah umum
(TK, SD, SLTP, dan SMU) bertujuan untuk meningkatkan kualitas pemahaman dan
pengamalan ajaran agama bagi siswa guna meningkatkan keimanan dan ketakwaan
serta pembinaan akhlak mulia dan budi pekerti luhur. Sasaran yang ingin dicapai
adalah menurunnya pelanggaran etik dan moral yang dilakukan oleh siswa dan
mahasiswa, baik di lingkungan sekolah maupun di masyarakat. Kegiatan pokok yang
dilakukan adalah:
1. Menyempurnakan materi pendidikan agama dengan memberikan tambahan bobot
pada kehidupan nyata sehari-hari;
2. Memasukkan muatan budi pekerti yang terintegrasi dalam mata pelajaran yang
relevan di dalam kurikulum pendidikan;
3. Makna Kecerdasan
Menurut Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 alinea ke 4, pendidikan
nasional bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa. Kalimat ini-demikian juga
dengan sila-sila dalam Pancasila-menunjukkan betapa para pendiri bangsa adalah
pemimpin yang visioner, cerdas, dan berkebangsaan serta berwawasan luas.
Kata "mencerdaskan" ini diperluas maknanya dalam tujuan pendidikan
nasional menjadi "mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang
beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu,
cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung
jawab dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa" Ini merupakan kecerdasan
spiritiual, yaitu kesadaran terhadap keberadaan diri sendiri dan kemampuan
memahami relasi diri dengan Sang Pencipta. Dengan kecerdasaan ini, manusia bisa
memahami dan memaknai kehidupannya sebagai bagian dari suatu rencana besar
untuk kebaikan seluruh umat manusia dan kemuliaan Tuhan, dan bukan hanya untuk
kepentingan golongan dan agamanya sendiri.
“Saya menyayangi Plato tetapi saya lebih menyayangi kebenaran”4.
Demikianlah ungkapan Aristoteles atas pentingnya kebenaran dalam kehidupan
manusia. Kebenaran yang diambil dari pendalaman dari nilai-nilai moral spiritual yang
menjadi kemaslahatan hidup bersama. Aristoteles menyanggah pendapat gurunya
Plato yaitu dunia materi yang merupakan obyek pengalaman dan dunia rohani
merupakan obyek pengertian yang terpisah sama sekali yang satu dari yang lain,
Aristoteles menyanggah itu tidak mungkin. Sebab jika dunia rohani terlepas sama
sekali dari dunia materi, dunia rohani tidak berguna bagi dunia materi, bahkan ide-ide
rohani (eidos) tidak dapat dikenal manusia yang termasuk dunia materi juga.
Aristoteles menolak tegas pemisahan antara dunia rohani dan materi, lebih
jelasnya pada perdebatan saat ini adalah tentang kehidupan akhirat dan kehidupan
dunia, atau dalam perdebatan panjang demokrasi adalah tentang pemisahan antara
agama dan negara. Bagi Aristoteles kehidupan dunia rohani jika dipisahkan dari
kehidupan materi maka rohani tidak berguna lagi dunia materi. Pendapat Aristoteles
cukup memiliki landasan pasti bahwa dunia rohani (agama) akan sangat berpengaruh
bagi dunia materi (negara).
4. Agama adalah Moral Bernegara
Pendapat Aristoteles di atas menjadi pembahasan awal tentang makna agama
dalam kehidupan bernegara. Dalam ide sekuler, agama seolah-olah menjadi penyebab
dan terjadinya konflik manusia dalam bernegara. Agama dalam pandangan
sekulerisme merupakan otoritas yang perlu dipisahkan dalam kehidupan bernegara.
Maka muncullah gagasan sekulerisme dalam tata kehidupan negara, yang diharapkan
dapat meminimalisir terjadinya hegemoni agama atas negara. Karya Plato yang paling
terkenal adalah Republik dimana Plato membagi masyarakat ideal dalam tiga kelas.
Pertama kelas Pemerintah atau filsuf raja (philoshoper king) kelas ini cerdas, rasional,
mampu mengendalikan diri, bijak dan adil. Kedua kelas Tentara (warriors), kelas ini
untuk mereka yang kuat, pemberani dan teroganisir secara militer. Ketiga kelas
pekerja produktif (workers), kelas ini adalah masyarakat yang harus menyumbangkan
keahliannya bagi masyarakat secara produktif. Seperti petani, pedagang, tukang,
peternak dan lain-lain. Dalam konsep republik Plato ini semua dikontrol oleh elit
4 Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia:Lintasan Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan,
1999; PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, (hl 24- -
pemimpin untuk kebaikan masyarakat. Hal ini sering menjadi tuduhan bahwa konsep
republik Plato telah mengilhami model pemerintahan sosialis-komunis yang
menafikan adanya peran Tuhan dalam mengurus kehidupan manusia.
Agama dalam demokrasi Indonesia seakan menjadi ancaman bagi kehidupan
negara. Agama dan negara harus dipisahkan untuk menhindari konflik antar agama
muncul dalam kehidupan bernegara. Demokrasi pun akhirnya semakin layu karena
substansi kedaulatan rakyat hilang tergerus kepentingan elit dan lelah dengan konflik
agama dan negara. Fakta inipun terjadi dalam demokrasi kita dimana banyak partai
yang sebelumnya mengggunakan simbol yang merepresentasikan agama telah berubah
citra mengatasnamakan partai nasionalis atau partai terbuka. Walau kemudian ini
merupakan strategi beberapa partai untuk menarik hati konstituen diluar basis agama
namun akan menimbulkan efek bahwa agama semakin tidak menarik untuk
dimasukkan dalam dunia demokrasi.
Phobia agama pun akan meningkat tajam manakala agama menjadi alasan
beberapa partai untuk meraih suara konstituen dan mengubah platfrom partai. Perlu
ada pelurusan konteks bernegara dalam memandang pentingnya agama dalam
menegakkan kehidupan bernegara. Jika agama dalam bentuk simbol, platfrom,
ideologi atau gerakan dihilangkan niscaya nilai moral akan semakin hilang dalam
bingkai kepemimpinan negara.
Menurut Carl Schmith teoritisi politik dari Jerman mengungkapkan “Negara
dan konsep-konsep yang dipakai oleh negara tidak lebih dari “sekularised theological
concepts” atau konsep-konsep agama yang disekulerkan (dalam arti konsep negara
awalnya adalah konsep agama yang di hilangkan aspek ke-Tuhanannya). Pendeknya
negara dianggap sebagai bentuk paling modern dari evolusi agama”.5
E. Moral dalam Islam
Sejak masa kenabian sampai saat ini, Islam tetap diakui sebagai ajaran (risalah)
agama yang sangat compatible dengan cita-cita kemajuan ilmu pengetahuan dan
pembentukan peradaban ummat. Di pandang dari segi teologis, Islam memiliki sistem
ketuhanan yang sempurna, yang mengatur kehidupan alam semesta ini secara totalitas.
5Munandar Soelaeman, Ilmu Sosial Dasar, (Bandung, PT. Eresco Bandung:1986), hal. 159
Singkatnya, kehadiran Islam selain mengajarkan bagaimana membangun transendensi
yang kokoh, tetapi juga memberi implikasi praksis-empiris, yakni membawa misi
kerahmatan bagi semesta alam.salah satu misi kerahmatan Islam kandungan di dalam
Alquran dan Allah menjamin isi kandungan Alquran. Ajaran agama sebagai mana
diketahui sebagian besar menjadi sumber dari ajaran moral dalam suatu kelompok, moral
sendiri adalah suatu ajaran baik dan buruk yang ukurannya adalah tradisi yang berlaku di
suatu masyarakat.
Seseorang dianggap bermoral apabila sikap hidupnya sesuai dengan adat yang
berlaku di masyarakat dimana ia berada dan menurut ajaran agama terutama Islam bahwa
pada dasarnya manusia itu adalah makhluk bermoral dan etis yang berarti bahwa setiap
manusia mempunyai potensi untuk menjadi makhluk yang bermoral yang nilai
kehidupannya penuh dengan nilai-nilai atau norma-norma sehingga tidak salah bahwa
agama menjadi sumber utama ajaran moral dalam masyarakat apalagi ajaran agama
terutama Islam adalah benar dan Allah menjamin kebenaran sesuai dengan:
Firman allah dalam QS.Al-baqarah ayat 2:
الحق من ربك فال تكونن من الممترين
Artinya : “Kebenaran itu adalah berasal dari Tuhanmu, sebab itu jangan sekali-kali
kamu meragukannya”
Sehingga agama mampu menjadi sumber moral dalam kehidupan manusia
sekaligus memberikan solusi dalam kehidupan manusia ketika mereka menghadapi
kegagalan maupun ujian dalam mengarungi kehidupan mereka sekaligus membangun nilai
yang kokoh bagi kehidupan manusia sekaligus juga member implikasi praksis-empiris
dalam kehidupan manusia berupa konsep rahmatan lil alamin , rahmat bagi seluruh alam
semesta tidak hanya bagi umat muslim saja melainkan bagi seluruh umat manusia di
permukaan bumi, bukan hanya Islam tetapi juga bagi umat non-muslim.
Salah satu bentuk aplikasi dari moral Islam adalah norma, norma Islam tersebut
bersumber dari kandungan Alquran yang merupakan kitab suci umat Islam yang mengatur
segala norma kehidupan umat Islam seperti norma ketuhanan, norma kesusilaan, norma
pergaulan, dan juga mengatur pola keseharian masyarakat seperti tata cara perkawinan,
hukum pewarisan dalam kelurga, dan juga sanksi-sanksi bagi pelanggar norma yang
terdapat di dalam Alquran.
Namun secara factual penerapan norma-norma Islam terjadi pemahaman secara
parsial yang mengakibatkan umat islam terjebak dalam dataran yang normative,
eskatologis, dan berlawanan dalam penerapannya sehingga hal itu membuat umat Islam
melenceng dari norma-norma Islam dalam Alquran sehingga memunculkan reaksi keras
dari masyarakat Islam. Reaksi masyarakat itu pun tidak tersalurkan sejara wajar sehingga
membentuk kelompok Islam menyimpang seperti Islam liberal yang meresahkan saat ini.
Sebagaimana digagas oleh para ilmuan Muslim terdahulu, kita dapat menjumpai
sebuah termenologi "ideal moral" dan "legal formal" untuk merumuskan tabiat
keberagamaan dalam sumber ajaran Islam. Term pertama, menunjuk pada pesan moral
dan nilai kemanusiaan yang terdapat dalam ajaran, sedang kedua pada tampilan dan
cenderung bernuansa baku dari pelaksanaan ajarannya. Untuk term yang pertama dapat
diterima, namun term kedua terdapat banyak yang keberatan.
Pada gagasan pertama yaitu „‟ideal moral‟‟ yaitu pembentukan moral yang ideal
dalam kehidupan umat Islam yang mana sumber moral tersebut berasal dari dua pegangan
utama umat Islam yaitu berupa Alquran dan hadits yang mana kandungan dari kedua
sumber tersebut dijadikan sebagai pegangan dan tuntunan dalam membentuk dan
membangun norma di tengah kehidupan masyarakat Islam.
Pada gagasan kedua banyak mengalami penolakan disebabkan pembangunan
norma masyarakat tidak bersumber dari ajaran Islam melainkan hokum formal atau
hokum buatan manusia yang sumbernya tidak hanya dari Alquran namun juga dari nilai-
nilai masyarakat yang beberapa bagian diantaranya bertentangan dengan ajaran Islam
sehingga banyak para ulama menolak konsep kedua ini sebagai bentuk norma dalam umat
Islam.
Di dalam ajaran Islam sendiri bagaimanapun cara pembentukan moral di
masyarakat posisi moral sendiri di tempatkan pada kedudukan yang paling tinggi karena
misi kerasulan Nabi Muhammad SAW tidak hanya membawa perintah agama dan
mengajarkan iilmu tauhid namun juga untuk mengubah akhlak umat manusia yang benar-
benar merosot pada saat itu menjadi manusia yang penuh adab dan mampu membentuk
sebuah peradaban yang maju seperti Umayyah dan Abbassiyah yang bahkan menjadi
peradaban yang sangat maju, modern, dan mampu menghasilkan penemuan-penemuan
hebat di tengah-tengah masyarakat. Hal itu terjadi karena masyarakat pada saat itu benar-
benar menjalankan norma yang diajarkan oleh nabi Muhammad saw6.
Karena itulah Islam sangat mengutamakan pembentukan moral dalam suatu
peradaban karena moral merupakan penentu warna suatu peradaban manusia, karena
walau sangat majunya suatu peradaban tampa diiringi oleh nilai moral yang kuat pasti
suatu saat peradaban itu akan hancur namun apabila melakukan yang sebaliknya maka
dapat dipastikan bahwa peradaban itu akan maju dan berkembang secara pesat, peradaban
yang berkembang secara isalami dan berdasarkan nilai moral yang kuat maka akan
menghasilkan masyarakat yang cerdas dan mampu menggunakan akalnya dalam
memahami segala ciptaan Allah SWT.
Dari semua itu dapat disimpulkan bahwa agama sebagai sumber moral karena
agama mengajarkan semua nilai ketuhanan yang ada di dalam kitab suci beserta larangan
dan perintahnya yang apabila dituruti maka kita akan mendapatkan balasan yang sesuai
selain itu moral islam menanamkan pada diri manusia untuk menggunakan akal dan hati
untuk melaksanakan suatu hal yang menjadi pandangan (persepsi) yang mampu menjadi
pegangan dalam kehidupan manusia , manusia yang tidak memiliki pemahaman yang kuat
itulah manusia yang terjerumus kedalam sifat munafik, pragmatis, hedonis, sekuler,
bahkan sifat atheis.
Bentuk-Bentuk Ajaran Moral Dalam Al-Quran
Di dalam kitab suci al-qur‟an banyak terdapat dalil-dalil yang menjadi sumber
nilai moral yang ada di dalam masyarakat antara lain kejujuran , belas kasihan , peduli ,
kekeluargaan dan banyak lagi adapun dalil-dalil al-qur‟an yang menjadi sumber ajaran
moral dalam masyarakat antara lain:
1. Surah An-Nahl ayat 114
Artinya: Maka makanlah dari apa yang allah telah berikan kepadamu makanan yang
halal dan baik dan bersyukurlah kamu akan nikmat allah , jika kamu benar-
benar beribadah kepadanya
Ayat ini jelas menyatakan kewajiban kita untuk memakan makanan yang halal
dan baik, hal ini mengisyaratkan suatu nilai moral karena makanan yang baik tidak
6 Azyumardi Azra. Pendidikan Agama dan Pembangunan Waktak Bangsa,(Jakarta:PT RajaGrafindo
Persada,2005), hal 205
hanya zatnya namun juga bagaimana cara kita memperolehnya sehingga kita harus
menghindari perbuatan-perbuatan tercela agar zat makanan halal di dalam tubuh kita,
dengan menghindari perbuatan tercela maka ketertiban dan keamanan dapat
diwujudkan dalam masyarakat.
2. Surah Al-Isra‟ ayat 26-27
Artinya: Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya , kepada
orang miskin dan orang dalam perjalanan dan janganlah kamu
menghambur-hamburkan hartamu secara boros. Sesungguhnya pemboros-
pemboros itu saudara syaitan dan syaitan itu sangat ingkar kepada tuhannya.
Ayat ini menjadi dalil untuk menghindari sifat boros, sifat boros termasuk sifat
amoral dan sangat dihindari karena akan membawa kerugian dalam kehidupan
manusia dan Allah pun sangat membenci sifat ini sampai dalam dalilnya Allah pun
mengibaratkan orang yang bersifat boros sebagai saudara syaitan, makhluk Allah yang
sangat durhaka dan sudah pasti adalah penghuni neraka. Dan hikmah dari pelarangan
sifat boros ini adalah agar manusia cermat dalam mengeluarkan hartanya dan mampu
mendapat kebutuhannya secara cepat dan tepat.
3. Surah Al-isra‟ ayat 29 dan 30
Artinya: dan janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu dan
janganlah kamu terlalu mengulurkannya karena itu kamu menjadi tercela
dan menyesal. Sesungguhnya tuhanmu melapangkan rezki kepada siapa
yang ia kehendaki dan menyempitkannya; sesungguhnya dia maha
mengetahui lagi maha melihat akan hamba-hambanya.
Di dalam ayat ini terkandung nilai moral agar agar kita hendaknya jangan pelit
dan kikir dalam pergaulan masyarakat, namun kita jangan juga terlalu sering meminta-
minta karena akibat perbuatan itu harga diri kita menjadi turun dan dihina dalam
lingkungan pergaulan sedang apabila kita terlalu kikir maka kita tersisih dalam
masyarakat dan dijauhi oleh orang-orang namun yang paling penting kedua sifat ini
akan membawa kita ke dalam jurang api neraka.
4. Al-hadits
Artinya: dari miqdad bin ma‟di karib berkata : aku mendengar Rasullulah SAW
bersabda: tidak ada yang lebih jahat dari pada orang yang memadati
lambung perutnya dengan makanan untuk menguatkan badannya. Jika
perlu ia makan hendaklah perut diisi sepertiganya dengan makanan,
sepertiganya dengan air, sepertiganya lagi dengan udara
(bernapas).(HR.Imam Tirmidzi)
Dalam hadits ini terdapat suatu nilai moral untuk makan makanan secara sehat
sesuai dengan anjuran hadits di atas karena rasullulah menyatakan bahwa tergolong
suatu kejahatan apabila seseorang memadati perutnya dengan makanan sedang yang
sebaiknya kita makan makanan yang secukupnya, minum yang secukupnya, bernafas
yang secukupnya.
Hadits ini apabila kita kaji lebih dalam mengajarkan kita untuk hidup
sederhana yaitu suatu kehidupan yang tidak menderita namun cukup untuk memenuhi
kebutuhan yang diperlukan tanpa berlebih-lebihan dan melampaui batas. Nilai
kesederhanaan ini termasuk nilai moral yang langka saat ini di tengah kehidupan
modern yang penuh kemewahan dan individualistic.
F. Agama sebagai Moral Bangsa
Hakekat Karakter
Menurut Simon Philips, karakter adalah kumpulan tata nilai yang menuju pada
suatu sistem, yang melandasi pemikiran, sikap, dan perilaku yang ditampilkan. Sedangkan
Doni Koesoema A memahami bahwa karakter sama dengan kepribadian. Kepribadian
dianggap sebagai ”ciri, atau karakteristik, atau gaya, atau sifat khas dari diri seseorang
yang bersumber dari bentukan-bentukan yang diterima dari lingkungan, misalnya
lingkungan keluarga pada masa kecil dan juga bawaan seseorang sejak lahir.”
Sementara Winnie memahami bahwa istilah karakter diambil dari bahasa Yunani
yang berarti „to mark‟ (menandai). Istilah ini lebih fokus pada tindakan atau tingkah laku.
Ada dua pengertian tentang karakter. Pertama, ia menunjukkan bagaimana seseorang
bertingkah laku. Apabila seseorang berperilaku tidak jujur, kejam, atau rakus, tentulah
orang tersebut memanifestasikan perilaku buruk. Sebaliknya, apabila seseorang
berperilaku jujur, suka menolong, tentulah orang tersebut memanifestasikan karakter
mulia. Kedua, istilah karakter erat kaitannya dengan „personality‟. Seseorang baru bisa
disebut „orang yang berkarakter‟ (a person of character) apabila tingkah lakunya sesuai
kaidah moral. Sedangkan Imam Ghozali menganggap bahwa karakter lebih dekat dengan
akhlaq, yaitu spontanitas manusia dalam bersikap, atau melakukan perbuatan yang telah
menyatu dalam diri manusia sehingga ketika muncul tidak perlu dipikirkan lagi.
Dari pendapat di atas difahami bahwa karakter itu berkaitan dengan kekuatan
moral, berkonotasi „positif‟, bukan netral. Jadi, „orang berkarakter‟ adalah orang yang
mempunyai kualitas moral (tertentu) positif. Dengan demikian, pendidikan membangun
karakter, secara implisit mengandung arti membangun sifat atau pola perilaku yang
didasari atau berkaitan dengan dimensi moral yang positif atau baik, bukan yang negatif
atau buruk.
Hal ini didukung oleh Peterson dan Seligman yang mengaitkan secara langsung
‟character strength‟ dengan kebajikan. Character strength dipandang sebagai unsur-unsur
psikologis yang membangun kebajikan (virtues). Salah satu kriteria utama dari „character
strength‟ adalah bahwa karakter tersebut berkontribusi besar dalam mewujudkan
sepenuhnya potensi dan cita-cita seseorang dalam membangun kehidupan yang baik, yang
bermanfaat bagi dirinya, orang lain, dan bangsanya
Karakter bangsa terbangun atau tidak sangat tergantung kepada bangsa itu sendiri.
Bila bangsa tersebut memberikan perhatian yang cukup untuk membangun karakter maka
akan terciptalah bangsa yang berkarakter. Bila sekolah dapat memberikan pembangunan
karakter kepada para muridnya, maka akan tercipta pula murid yang berkarakter.
Demikian pula sebaliknya. Kita faham Tuhan tidak merubah keadaan suatu kaum biala
mereka tidak berusaha melakukan perubahan itu. (innallaha laa yughayyiru maa biqaumin
hattaa yughayyiruu maa bi anfusihim).
Lima pilar karakter luhur bangsa Indonesia:
1. Transendensi
Menyadari bahwa manusia merupakan ciptaan Tuhan yang maha Esa. Dari kesadaran
ini akan memunculkan sikap penghambaan semata-mata pada Tuhan yang Esa.
Kesadaran ini juga berarti memahami keberadaan diri dan alam sekitar sehingga
mampu menjaga dan memakmurkannya. Ketuhanan yang maha Esa
2. Humanisasi
Setiap manusia pada hakekatnya setara di mata Tuhan kecuali ilmu dan ketakwaan
yang membedakannya. Manusia diciptakan sebagai subjek yang memiliki potensi.
Kemanusiaan yang adil dan beradap.
3. Kebinekaan
Kesadaran akan adanya sekian banyak perbedaan di dunia. Akan tetapi, mampu
mengambil kesamaan untuk menumbuhkan kekuatan, Persatuan Indonesia;
4. Liberasi
Pembebasan atas penindasan sesama manusia. Karenanya, tidak dibenarkan adanya
penjajahan manusia oleh manusia. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah
kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan;
5. Keadilan
Keadilan merupakan kunci kesejahteraan. Adil tidak berarti sama, tetapi proporsional.
Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Dr. Sukamto dalam diskusi yang diselenggarakan Jum‟at, 19 Juni 2009
mengemukakan bahwa untuk melakukan pendidikan karakter, perlu adanya powerfull
ideas, yang menjadi pintu masuk pendidikan karakter. Powerfull ideas ini meliputi:
(1) God, the World & Me (gagasan tentang Tuhan, dunia, dan saya); (2) Knowing Yourself
(memahami diri sendiri); (3) Becoming a Moral Person (menjadi manusia bermoral);
(4) Understanding & Being Understood Getting Along with Others (memahami dan
dipahami); (5) A Sense of Belonging (bekerjasama dengan orang lain); (6) Drawing
Strength from the Past (mengambil kekuatan di masa lalu); (7) Dien for All Times &
Places; (8) Caring for Allah‟s Creation (kepedulian terhadap makhluq); (9) Making a
Difference (membuat perbedaan); dan (10) Taking the Lead.
Adapun nilai-nilai luhur yang perlu diajarkan agar menjadi sikap hidup sehari-hari
menurut Dr Sukamto, antara lain meliputi: Kejujuran; Loyalitas dan dapat diandalkan;
Hormat; Cinta; Ketidak egoisan dan sensitifitas; Baik hati dan pertemanan; Keberanian;
Kedamaian; Mandiri dan Potensial; Disiplin diri dan Moderasi; Kesetiaan dan kemurnian;
dan Keadilan dan kasih sayang.
Seorang intelektual hendaknya berkarakter kenabian/profetik (berjiwa agama)
memiliki sifat-sifat sebagai berikut: Karakter manusia “sempurna” sebagaimana
ditampilkan oleh para Nabi dalam kehidupan sehari-hari. Bila seseorang memahami
akhlak para nabi (sejak Nabi Adam sampai dengan Nabi Muhammad saw) dan turut
mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari berarti orang tersebut telah memiliki
karakter. Jadi karakter yang harus dibangun adalah karakter yang baik, bila tidak niscaya
yang berkembang adalah karakter yang tidak baik. (Fa alhamaha fujuraha wa taqwaha.
Qad aflaha man zakkahaa, wa qad khoba man dassaha)
Agar dapat memiliki karakter profetik maka 3 aspek utama dalam diri manusia
harus diberikan perhatian secara seimbang, yakni hati, emosi, akal. (Nabi bersabda:
Ketahuilah bahwa dalam diri setiap kalian ada ”mudghoh” (segumpal daging), jika
mudghoh itu bersih maka semua yang ditampilkan oleh orang tersebut juga bersih (baik),
dan jika mudghoh itu rusak maka yang ditampilkan oleh orang tersebut juga rusak (tidak
baik). Ketahuilah bahwa yang disebut mudghoh itu adalah al-qolb (hati). (Al-Hadist)
Beberapa factor penting sebagai ciri karakter profetik, antara lain:
1. Sadar sebagai makhluk ciptaan Tuhan: Sadar sebagai makhluq muncul ketika ia
mampu memahami keberadaan dirinya, alam sekitar, dan Tuhan YME. Konsepsi ini
dibangun dari nilai-nilai transendensi.
2. Cinta Tuhan : Orang yang sadar akan keberadaan Tuhan meyakini bahwa ia tidak
dapat melakukan apapun tanpa kehendak Tuhan. Oleh karenanya memunculkan rasa
cinta kepada Tuhan. Orang yang cinta Tuhan akan menjalankan apapun perintah dan
menjauhi larangan-Nya.
3. Bermoral : Jujur, saling menghormati, tidak sombong, suka membantu, dll merupakan
turunan dari manusia yang bermoral.
4. Bijaksana : Karakter ini muncul karena keluasan wawasan seseorang. Dengan
keluasan wawasan, ia akan melihat banyaknya perbedaan yang mampu diambil
sebagai kekuatan. Karakter bijaksana ini dapat terbentuk dari adanya penanaman nilai-
nilai kebinekaan.
5. Pembelajar sejati: Untuk dapat memiliki wawasan yang luas, seseorang harus
senantiasa belajar. Seorang pembelajar sejati pada dasarnya dimotivasi oleh adanya
pemahaman akan luasnya ilmu Tuhan (nilai transendensi). Selain itu, dengan
penanaman nilai-nilai kebinekaan ia akan semakin bersemangat untuk mengambil
kekuatan dari sekian banyak perbedaan.
6. Mandiri: Karakter ini muncul dari penanaman nilai-nilai humanisasi dan liberasi.
Dengan pemahaman bahwa tiap manusia dan bangsa memiliki potensi dan sama-sama
subjek kehidupan maka ia tidak akan membenarkan adanya penindasan sesama
manusia. Darinya, memunculkan sikap mandiri sebagai bangsa.
7. Kontributif: Kontributif merupakan cermin seorang pemimpin.
Tanpa nilai agama pendidikan tidak akan sempurna /maslahat karena keduanya
sangat erat kaitannya dan karakter merupakan nilai-nilai prilaku manusia yang
berhubungan langsung dengan tuhan yang maha esa, diri sendiri, sesama manusia,
lingkungan dan kebangsaan yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan
perbuatan berdasarkan norma-norma agama ,hukum,tata rama budaya dan adat istiadat.
Pembentukan karakter dapat di ibaratkan seseorang sebagai body builer {binara
gawan}yang memerlukan otot-otot akhlak secara terus-menerus agar kokoh dan kuat.
Makin maraknya aliran-aliran pergaulan yang terjadi dinegara kita makin banyak pula
orang yang tidak berpegang teguh kepada agamanya.sehingga dengan begitu merosotnya
iman dikalangan generasi-generasi sangatlah mudah.
G. Peranan Pendidikan Agama Sebagai Pembentukan Moralitas Bangsa
Sebagian masyarakat menilai terjadinya degradasi moral dan krisis
multidimensional merupakan indikasi dari kegagalan pendidikan nasional. Tujuan
pendidikan nasional yang dengan tegas menyatakan, "Mencerdaskan kehidupan bangsa
dan mengembangkan manusia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertakwa
terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan bermoral, memiliki pengetahuan dan keterampilan,
kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung
jawab kemasyarakatan dan kebangsaan", tidak tercapai. Kekerasan, teror, penjarahan, dan
tawuran yang terjadi di tengah masyarakat, banyaknya praktik kolusi, korupsi, dan
nepotisme (KKN), krisis ekonomi yang berkepanjangan, dan lain-lain merupakan indikasi
kegagalan tercapainya tujuan pendidikan nasional tersebut. Dan itulah potret moralitas
bangsa Indonesia sesungguhnya. Kegagalan pendidikan secara nasional yang ditandai
dengan degradasi moral tersebut membuat tanda tanya besar di benak kita semua.
Kegagalan pendidikan nasional itu disebabkan oleh penerapan konsep pendidikan
yang telah mengabaikan pendidikan watak dan kemampuan bernalar atau dengan kata lain
telah mengabaikan pendidikan moral. Pendidikan seharusnya tidak saja mencerdaskan
kehidupan bangsa, tetapi diarahkan untuk membangun watak bangsa yang mampu
memadukan akal dan perasaan untuk menimbang baik dan buruk suatu perbuatan
sehingga peserta didik akan cenderung untuk berbuat baik, bermoral mulia, disertai
kemampuan untuk berinovasi, kreatif, produktif, dan mandiri. Pendidikan nasional tidak
akan berarti apa-apa kalau hanya dapat melahirkan orang-orang yang pintar, tetapi rakus
dan tamak. Oleh karena itu, pendidikan harus diarahkan untuk membangun kesadaran
kritis peserta didik tentang berbagai hal, termasuk nilai-nilai moral, hak asasi manusia,
kebenaran, keadilan, dan kejujuran. Dengan demikian, peserta didik dapat menyadari
bahwa menyontek, tawuran, dan menganiaya orang lain itu tidak baik.
Ada persepsi yang keliru pada masyarakat kita tentang fungsi, peran, dan
keberhasilan pendidikan. Masyarakat sering tergelincir pada asumsi bahwa keberhasilan
pendidikan seseorang diukur oleh nilai ekonomis yang dicapai seseorang ketika selesai
menamatkan jenjang pendidikannya. Abdul Malik Fadjar pada "Simposium Kebangkitan
Jiwa" mengatakan bahwa pendidikan telah lama menjadi alat untuk mengejar
pertumbuhan ekonomi. "Telah terjadi proses dehumanisasi dalam pendidikan. Padahal,
pendidikan adalah proses pembentukan peradaban,"7
Pernyataan Abdul Malik Fadjar di atas dengan jelas menggambarkan bahwa
umumnya masyarakat Indonesia menjadikan pendidikan sebagai sarana untuk mengejar
ekonomi. Orientasi pada nilai ekonomi pada gilirannya akan mengesampingkan tujuan
utama pendidikan sebagai proses pembentukan peradaban dan pendewasaan sikap. Lebih
jauh, dengan orientasi ekonomi menyebabkan pendidikan yang berorientasi pada
peningkatan moral dan mental spiritual, seperti pendidikan agama menjadi
dinomorduakan. Tak heran kalau ada asumsi bahwa salah satu penyebab lunturnya nilai-
7 http///:Peran Agama Sebagai Pembentukan Moralitas Bangsa,(diakses Rabu, 26 Desember 2012, jam 11.30)
nilai toleransi dan pluralisme agama pada masyarakat Indonesia terjadi karena nilai-nilai
pendidikan agama yang diajarkan di sekolah kurang diminati dan dihayati. Timbul
pertanyaan kemudian, apa yang salah dengan metode pengajaran agama-agama pada
dunia pendidikan kita? Apakah tidak diminatinya pendidikan agama disebabkan oleh
pergeseran orientasi tujuan pendidikan yang diharapkan masyarakat atau karena
pendekatan pengajaran agama tidak lagi menarik dan membosankan?
Diantaranya kesalahan yang sering dilakukan pengajar dalam pendidikan agama.
Pertama, sering terjadi bahwa guru merubah proses pendidikan (education process)
menjadi proses indoktrinasi (indoctrination process). Murid bukannya diberikan
kebebasan bertanya, mengkritisi, dan mempertanyakan doktrin agama, tetapi cenderung
dipaksa agar menerima doktrin agama sebagai sesuatu yang absolut dan tidak boleh
dibantah.
Kedua, sering terjadi kesalahan dalam memberikan pelajaran agama yang lebih
menekankan pada pelajaran yang normatif-informatif dan sedikit menekankan pada
religious education. Guru terkadang memahami pendidikan agama disamakan dengan cara
pengajaran sejarah, geografi, antropologi atau sosiologi. Sebagai contoh, guru hanya
menginformasikan bahwa Muslim salat lima waktu sehari, umat Kristen pergi ke gereja
setiap Minggu, dan umat Hindu bersembahyang di Pura. Informasi seperti itu baru bisa
dikatakan sebagai religious education kalau guru menerangkan alasan mengapa Muslim
salat lima waktu sehari, mengapa harus puasa, mengapa harus membayar zakat dan
menggali makna yang dalam dari informasi praktik keagamaan tersebut.
Kesalahan-kesalahan pendekatan di atas telah menyebabkan peserta didik menjadi
orang yang tahu tapi tidak paham, sehingga pengajaran semacam ini tidak akan
memberikan dampak yang signifikan bagi perubahan kepribadian peserta didik. Dalam
sisi yang lain pendekatan seperti itu akan menumbuhkan fanatisme keagamaan yang
kental dan pada akhirnya nilai-nilai toleransi dan pluralisme yang diemban oleh penganut
agama kehilangan nilai signifikansinya dalam memupuk persaudaraan sesama umat
manusia.
Untuk meminimalkan kesalahan pendekatan dalam pengajaran agama di sekolah,
ada beberapa solusi alternative seperti yang pernah diusulkan oleh Brenda Watson, solusi
alternatif dengan tiga penekanan pengajaran agama. Baginya, pengajaran agama
sebaiknya harus memerhatikan tiga elemen penting dalam diri anak didik, yakni
pengalaman (experience), imajinasi (imagination), dan pemikiran (thinking). Sine
experiential nihil sufficenter scire potest (tanpa pengalaman tak ada sesuatu pun yang bisa
diketahui dengan sempurna). Ungkapan pribahasa ini dengan jelas menggambarkan
bahwa segala sesuatu, termasuk pemahaman keberagamaan perlu latihan dan pengalaman.
Pentingnya menghubungkan antara pendidikan dan pengalaman anak didik telah lama
dikenal dalam dunia pendidikan. Pengalaman adalah komponen dasar dalam membangun
saling pengertian.
Pendidikan agama seharusnya dapat membantu manusia merasakan apa yang
dialami dan dirasakan orang lain. Untuk membantu seorang anak didik merasakan apa
yang dialami oleh orang lain, imajinasi diperlukan. Imajinasi bisa membantu melatih
emosi. Dalam pendidikan agama, imajinasi bisa membantu seorang anak didik memahami
pengalaman agama orang lain. Contoh, selama ini hanya Muslim yang mengenal dan
merasakan nilai Islam dan hanya orang Kristen yang merasakan indahnya nilai
Kekristenan. Kalau imajinasi ditekankan dalam pendidikan agama, seorang anak didik
akan merasakan pengalaman keagamaan orang lain yang pada akhirnya rasa toleransi akan
tumbuh dan fanatisme akan berkurang.
Setelah penekanan pada pengalaman dan imajinasi, pendidikan agama akan lebih
komplet kalau dibarengi penekanan pada aspek berpikir. Pengalaman dan imajinasi pada
akhirnya akan merangsang anak didik untuk berpikir dan merenung. Ketika seorang guru
gagal melengkapi kemampuan siswa untuk berpikir secara jernih tentang pengalaman dan
imajinasi keagamaan, proses indoktrinasi dalam pendidikan agama akan terus
berlangsung. Setelah anak didik mahir melihat pengalaman dan berimajinasi serta
merasakan pengalaman keagamaan orang lain, disertai berpikir kritis terhadap
dogmaagama, diharapkan pendidikan agama yang menekankan toleransi dan pluralisme
akan bisa dibangun.
Akhirnya, dengan penekanan pada ketiga aspek ini diharapkan tujuan pendidikan
agama tidak salah kaprah. Tujuan pendidikan agama bukan dimaksudkan untuk
mengarahkan anak didik menjadi "beragama", tetapi membantu anak didik
memahamieksistensi agama. Dan pada akhirnya akan memberikan efek yang cukup
signifikan pada pembentukan moralitas bangsa.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dalam studi agama, para ahli agama mengklasifikasikan agama ke dalam berbagai
kategori. Ada yang diklasifikasikan menjadi tiga kategori:
1. agama wahyu dan non-wahyu,
2. agama misionaris dan non-misionaris, dan
3. agama lokal dan universal.
Berdasarkan klasifikasi manapun diyakini bahwa agama memiliki peranan yang
signifikan bagi kehidupan manusia karena di dalamnya terdapat seperangkat nilai yang
menjadi pedoman dan pegangan manusia. Salah satunya adalah dalam hal moral.
Moral adalah sesuatu yang berkenaan dengan baik dan buruk. Tak jauh berbeda dengan
moral hanya lebih spesifik adalah budi pekerti. Akhlak adalah perilaku yang dilakukan
tanpa banyak pertimbangan tentang baik dan buruk. Adapun etika atau ilmu akhlak kajian
sistematis tentang baik dan buruk. Bisa juga dikatakan bahwa etika adalah ilmu tentang
moral. Hanya saja perbedaan antara etika dan ilmu akhlak (etika Islam) bahwa yang
pertama hanya mendasarkan pada akal, sedangkan yang disebut terakhir mendasarkan
pada wahyu, akal hanya membantu terutama dalam hal perumusan. Di tengah krisis moral
manusia modern (seperti dislokasi, disorientasi) akibat menjadikan akal sebagai satu-
satunya sumber moral, agama bisa berperan lebih aktif dalam menyelamatkan manusia
modern dari krisis tersebut. Agama dengan seperangkat moralnya yang absolut bisa
memberikan pedoman yang jelas dan tujuan yang luhur untuk membimbing manusia ke
arah kehidupan yang lebih baik.
DAFTAR PUSTAKA
Azra, Azyumardi. 2005. Pendidikan Agama dan Pembangunan Waktak Bangsa. Jakarta:PT
RajaGrafindo Persada
Hanani, Silvia. 2011. Menggali Interelasi sosiologi dan Agama. Bandung:Hiumaniora.
Soelaeman, Munandar. 1986. Ilmu Sosial Dasar. Bandung: PT. Eresco Bandung
Hasbullah 1999. Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia:Lintasan Sejarah Pertumbuhan dan
Perkembangan. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada
http///:Peran Agama Sebagai Pembentukan Moralitas Bangsa,(diakses Rabu, 26 Desember
2012, jam 11.30)