31
PERANAN AGAMA SEBAGAI KARAKTER BANGSA Makalah Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Terstruktur Dalam Mata Kuliah Ilmu Sosial Budaya Dasar Endang Lastri IC Dosen Pembimbing Dr. Silfia Hanani, M. Si PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA JURUSAN TARBIYAH SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) SJECH M. DJAMIL DJAMBEK BUKITTINGGI

Bab ii tgas

  • Upload
    33335

  • View
    85

  • Download
    3

Embed Size (px)

Citation preview

PERANAN AGAMA SEBAGAI KARAKTER BANGSA

Makalah

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu

Tugas Terstruktur Dalam Mata Kuliah Ilmu Sosial Budaya Dasar

Endang Lastri

IC

Dosen Pembimbing

Dr. Silfia Hanani, M. Si

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA JURUSAN TARBIYAH

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN)

SJECH M. DJAMIL DJAMBEK

BUKITTINGGI

BAB I

PENDAHULUAN

Moral merupakan sesuatu hal yang sangat penting dalam kehidupan manusia.

Dengan moral semua kehidupan manusia menjadi aman, makmur, dan mampu

mewujudkan segala bentuk kesejahteraan dalam kehidupan bermasyarakat. Moral sendiri

berasal dari bahasa Yunani „‟mores‟‟ yang berarti adat istiadat , nilai-nilai yang indah

dalam masyarakat sehingga dapat di artikan bahwa moral adalah adat istiadat masyarakat

dan diterima oleh masyarakat sehingga apabila nilai tersebut dapat diterapkan dalam

masyarakat maka dapat menjadi sarana untuk mewujudkan kesejahteraan dan keadilan

masyarakat.

Maka jika akhlak suatu bangsa tidak terurus dan tidak mengalami pembinaan yang

memadai dari masyarakat maka masyarakat itu walaupun semakin maju peradaban

mereka namun dalam kehidupan social mereka akan kacau balau , hal ini dapat kita lihat

pada Negara-negara di belahan bumi barat yang menganut paham sekuler yang

menyepelekan agama maka tidak heran jika di Negara tersebut kejahatan seperti

perampokan , perzinahan , penyalahgunaan narkoba , dan juga tekanan ppsikologis yang

mengakibatkan banyaknya angka bunuh diri di Negara-negara belahan barat serta

penyebaran penyakit berbahaya seperti HIV/AIDS yang sangat mematikan cukuplah

menjadi gambaran bagi kita melihat masyarakat yang menyepelekan moral dalam

kehidupan sehari-hari.

Menghadapi hal tersebut agama islam merupakan sumber nilai-nilai moral islam.

Nilai moral dalam islam sangat di junjung tinggi dan ditempatkan pada kursi agung.

Karena moral merupakan elemen penting dalam membentuk peradaban.

Namun, dalam pelaksanaan kehidupan bermasyarakat di era modern ini agama

kurang di anggap sebagai sebuah hal yang penting terutama di masyarakat industri yang

menjadikan uang sebagai tuhan nya maka nilai-nilai moral yang bersumber dari ajaran

agama dianggap tidak penting namun hal-hal yang berkaitan dengan cara memperoleh

uang dan kekayaan menjadi norma yang dianut dalam masyarakat industry dan modern

saat ini. Agama hanya dianggap perlu jika ada yang mati ataupun menikah baru mereka

menggunakan ajaran-ajaran moral yang terkandung di dalam ajaran agama.

BAB II

PERAN AGAMA DALAM MEMBENTUK KARAKTER BANGSA

A. Pengertian Agama

Agama dalam bahasa Indonesia, religion dalam bahasa Inggris, dan di dalam

bahasa Arab merupakan sistem kepercayaan yang meliputi tata cara peribadatan hubungan

manusia dengan Sang Mutlak, hubungan manusia dengan manusia, dan hubungan

manusia dengan alam lainnya yang sesuai dengan kepercayaan tersebut.

Dalam perspektif sosiologi agama, agama tidak hanya dimaknai sebagai hubungan

manusia dengan Tuhan. Tetapi, agama dimaknai secara luas, baik menyangkut hubungan

personal manusia dengan Tuhannya, sesuatu yang suci, maupun dampak yang

dimunculkan oleh sebuah agama itu terhadap kehidupan manusia. Artinya, agama tidak

hanya sebagai “loyalitas” hidup di akhirat kelak. Konsep ajaran agama juga dilaksanakan

untuk kebahagian dunia atau kultural di dunia ini.

Di Indonesia, sangat terlihat melalui tesis Clifford Geertz tentang Religion Of

Java, Greetz telah memetakan pemahaman dan kultur kegamaan secara etnik. Ia

memebaginya menjadi tiga peta wilayah kultur, yaitu priyayi, santri, dan abangan.1 Ketiga

peta kultural sosial keagamaan itu telah mempengaruhi ruang publik sosial. Makna yang

perlu ditangkap dari fenomena ini adalah bahwa ajaran agama sangat dipengaruhi pola,

struktur, tindakan dan dinamika sosial.

1. Ritual

Ritual merupakan kegiatan atau perlakuan simbolik terhadap sesuatu yang

dianggap suci atau sakral dan mempunyai kemahakuasaan. Ritual juga merupakan

bagian dari ibadah, ketaatan dan ketulusan yang dipersembahkan oleh seseorang atau

sekelompok orang kepada sesuatu yang dianggap suci.

Setiap agama dan kepercayaan di dunia ini mempunyai ritualitas, dengan kata

lain tidak ada agama tanpa ritual. Masalahnya, ritual itu salah atau benar tetap saja

1 Silvia Hanani, Menggali Interelasi sosiologi dan Agama, (Bandung:Hiumaniora, 2011), hal. 3

menjadi bagian tak terpisahkan dari sebuah ajaran. Wujud ritual ada dalam berbagai

bentuk, gerak-gerik, puji-pujian, bacaan, dan sebagainya.

2. Sakral

Sakral merupakan suatu konsep yang bermakna suci, berkuasa dan sangat

berpengaruh. Tuhan dalam agama dan kepercayaan apapun di dunia ini merupakan

puncak dari kesucian. Tuhan pula yang menjadi puncak kekuasaan atas segala sesuatu.

Maka, ia disebut sebagai “maha” karena memiliki kekuasaan atas segalanya.

Kesakralan itulah yang menjadi eksistensi sesuau yang bernilai lebih, sehingga

disembah, ditakuti dan ditaati oleh para penganutnya.

3. Tindakan

Seseorang tidak mau mencuri, memperkosa, membunuh dan tindakan anarkis

lainnya karena mereka berkomitmen untuk mematuhi adanya hukum dunia.

Kepatuhan itu didorong oleh keyakinan terhadap ajaran agamanya yang menjelaskan

bahwa ada balasan diakhirat kelak bagi pelaku yang melanggar hukum agama.

Dalam praktek kehidupan, agama tidak saja sebagai alat untuk mengawasi

tindakan manusia. Agama juga memberi motivasi, menyampaikan dorongan, dan

memberi stimulan bagi manusia untuk berbuat lebh baik dalam rangka meraih

kemajuan dan kejayaan.

4. Kulutral

Agama bermakna kultural adalah semua ekspresi atau ritualitas yang terjadi

yang dilakukan dengan pergerakan-pergerakan dan sebagainya mewujud dalam suatu

budaya. Arti dan makna budaya dalam konteks ini adalah interpretasi, aksi yang

terjadi dari semua kegiatan agama tersebut.

Agama merupakan ajaran universalisitik, artinya agama membangun semua

aspek kehidupan dan dimensi ruang. Upaya pembangunan oleh agama ini tisak saja

berkaitan dengan sau etalase sistem, tetapi juga menjiwai dan menginternal ke dalam

seluruh aspek. Sehingga tidak ada keterpisahan kehidupan dengan agama atau

sekulerisasi.

B. Agama dan Masyarakat

Secara garis besar, ada dua klasifikasi agama yang berkembang dalam sejarah

kehidupan manusia. Pertama, polyteisme, dan kedua adalah monotheisme. Ada pula yang

membagi agama ke dalam istilah agama ardhi dan samawi. Dari kedua jenis tersebut

berkembang pula istilah agama tradisional dan modern. Agama polyteisme dianggap

sebagaiagama yang lahir karena interpretasi akal pikiran manusia tentang keperluannya

terhadap kekuatan supranatural yang kemudian diberi nama sebagai Tuhan. Sebagai

kerangka awal, manusia mencari-cari makna esensial dalam kehdupan yang dialaminya.

Pada awalnya manusia mengenal Tuhan melalui asumsi-asumsi dasar yang ia

kembangkan terhadapa kekuatan-kekuatan yang melekat dalam benda-benda benda-benda

itulah yang dianggap dan diyakini memiliki keskralan dan kekuatan ghaib. Para penganut

agama tradisional ini meyakini bahwa benda-benda bahwa benda-benda itu akan

menyelamatkan dan memusnahkan kehidupan manusia. Clanemenyebutkan bahwa proses

tersebut, sebanarnya telah terlihat jelas bahwa dalam diri manusia ada nalar beragama

yang sangat kuat2.

Nalar beragama itu berkembang secara terus –menerus, tanpa henti seiring dengan

perkembangan akal pikiran manusia. Secara sederhana, nalar beragama ini ditunjukkan

oleh manusia ketika berhadapan dengan peristiwa alam yang dirasakan olehnya sebagai

kejaiban. Misalnya, batang kayu yang sangat besar, tempat-tempat yang sangat sepi atau

yang dianggap angker, atau kuburan. Tempat-tempat ini atau benda-benda ini

dinterpreasikan olehnya sebagai tempat bersemayan Tuhan, atau kekuasaan ain yang

sangat hebat selain kekuasaan manusia. Untuk memberikan pernghormatan terhadap

kekuatan lain dalam benda-benda keramat itu, merek melakukan doa-doa dan sesajian

serta penyembahan. Tata cara penyembahan ini dilakukan sesuai dengan wangsit yang

diperoleh seeorang yang dianggap sebagai tokoh masyarakat setempat. Mereka berasumsi

bahwa pelaksanaan ritual tersebut akan dapat menjamin keselamatan bagi kehidupan

seluruh manusia.

Agama monotheisme adalah agama yang mengenal keesaan Tuhan. Dalam istilah

kajian agama-agama, agama monotheisme ini dapat diamakan agama samawi (agama

2Silvia Hanani, Menggali Interelasi sosiologi dan Agama, (Bandung:Hiumaniora, 2011), hal.

langit). Agama langit mengajarkan konsep satu Tuhan atau agama tahid. Agama samawi

mempunyai wahyu atau kitab suci yang diturunkan oleh Tuhan, mempunyai nabi dan rasul

sebagai pelaksana guideline kitab suci itu. Melalui kitap suci itu nabi dan rasul diberi

otoritas penuh untuk menyebarkan ajara-ajaran kitab suci untuk membangun keagaamaan

dan peradapan manusia. Islam merupakan agama samawi, karena Islam memiliki kitab

suci, yaitu Quran sebagai guideline bagi pemeluknya.

Islam juga mengakui adanya nabi dan rasul yang mengajarkan dan menjelaskan

makna-makna kitab suci itu, yaitu Muhammad SAW. Jelasnya, dari proses itu, semua

dapat disimpulkan bahwa kehidupan manusia tidak dapat melepaskan diri dari rasa butuh

terhadap kekuasaan lain yang lebih berkuasa. Kekuatan lain itu berada diluar dirinya yang

serbalemah. Oleh karena itu, sepanjang hidupnya manusia sangat memerlukan aturan yang

bersifat universal dan absolut mutlak sehingga manusia tidak merasakan frustasi dalam

mengahadapi brbagai persoalan kehidupan. Dalam hal ini agama menjadi spirit atau

motivasi khusus bagi batin dan jiwa manusia.

Dalam proses penyebaran agama, masyarakat biasanya menerima minimal tiga

bentuk penilaian terhadap agama, pertama, agama diterima sepenuhnya. Kedua, agama

diterima sebagian-sebagian yang disesuaikan dengan kebutuhan seseorang atau

sekelompok orang. Ketiga, agama itu ditolak sama sekali. Ketiga cakrawala sikap

penerimaan terhadap agama tersebut berlaku juga di kawasan Asia Tenggara, termasuk

Indonesia.

Agama diterima sepenuhnya, maksudnya, agama menjadi sesuatu yang sangat

dominan dalam kehidupan manusia. Karena diterima dalam sepenuh hati, nilai-nilai

agama tidak dicampur adukan dengan nilai tradisi yang singretisme dan ajara-ajaran

subtansional agama. Ini berbeda dengan agama pengertian, agama diterima sebagian.

Dalam hal ini, ada pencampuadukan dalam pelaksanaan rituanitas kehidupan anatara

ajaran agama dan kebiasaan tradisi lokal yang selama ini berlaku. Silap yang lebih keras

diperlihatkan oleh sebagian warga masyarakat yang menolak ajaran agama sama sekali

karena mereka mencintai tradisi lokal yang telah mengakar dalam kehidupannya.

Dalam kehidupan masyarakat etnik di Indonesia, corak-corak penerimaan itu dapat

dilihat dengan jelas di berbagai suku. Misalnya, di masyarakat Minangkabau ditemukan

tiga kelas atau kelompok penerima tersebut. Apalagi, sebalum secara resmi agama Islam

diterima oleh masayarakat, kelompok pertama ini dinamakan kelompok pemurnian atau

kelompok purifikasi agama. Mereka adalah kelompok konservatif yang sangat tegas

dengan ajaran agama. Salah satu bentuk bukti ketegasannya adalah tidak ada kompromistk

terhadapa perlaku jika dianggap bertentangan dengan sumber Islam, Alquran dan Hadist.

Dimata masyarakat Minangkabau waktu itu, kelompok itu diwakli oleh delapan orang

haji, yang dipanggil dengan nama Harimau Nan Salapan.

Di masyarakat Mnangkabau juga terdapat kelompok yang termasuk kelompok

kedua. Mereka masih bersikap kompromistik. Terbukti mereka berusaha menyesuaikan

ajaran-ajaran agaa Islam kedalam bahasa adat setempat. Degan kata lain ada substansial

agama Islam dan adat masiah ada peluang untuk berdilog dan berintegrasi. Oleh kalangan

yang ompromistik ini masalah warisan ala Minangkabau masih dapat diaktualisasikan

hingga sekarang ini. Kelompok ketiga di masyarakat Minangkabau adalah kelompok yang

telah seia sekata dengan adat istiadatnya atau tradisi lokal. Mereka bersikap menutup diri

dari segala kemungkinan masuknya ajaran agama.

Dari fenomena yang sdah dkemukakan itu dapat dipahami beberapa hal. Pertama,

proses penyebaran agama-seperti penyebbaran agama yang secara resmi sudah diakui oleh

pemerintah belum terlaksana dengan holistik, atau belum sempurna. Kedua, antarajaran

agama nampak seperti medan yeng berbeda dan kadangkala bertentangan. Meskuipun

adapula ajaran agama yang berseuaian- atau disesuaikan dengan tradisi lokal dari warga

masyarakat setempat. Ketiga, setiap etnik pasti memiliki konsep ajaran, agama dan

kepercayaan awalnya. Tentu saja, agama etnik tidak akan sama dengan agama yang sudah

secara resmi diakui dan diberlakukan oleh pemerintah.

C. Agama dan identitas

Identitas secara sederhana, diartikan sebagai ciri khas ang memandakan suatu

kelompok. Ciri khas itulah, secara psikologis, yang memebadakan antara konsep

kelompok “aku” dan yang lainnya “other”. Kekhasan inilah yang biasa disebut keunikan.

Berdasarkan kekhasan itu kita dapat dengan mudah melihat suatu etnis dari identtas yang

melekatnya.

Dalam konsteks global, identitas seseorang dan sekelompok orang sebagai sebuah

bangsa sangat kentara. Terbukti, kita bisa melihat masalah ini mengutupkan atau

pengubuan dunia dengan dua kubu, yaitu Barat dan Timur. Orang Barat mempunyai yang

sudah dipola sedemikian rupa sebagai negara-negara modern, dan bukan Islam.

Sebaliknya, Timur dicirikan atau diidentitaskan sebagai negara-negara berkembang dan

merupakan negara-negara Islam, meskipun tidak semua negara berkembang itu

Islam.karena itu, dalam konteks ini jelas seklai bahwa agama sudah menjadi salah satu

ranah potensial ntuk melakukan rekonstruksi identitas

Identitas merupakan alat pembeda yang sangat jelas antara sat kelompok dengan

kelompok sosial lainnya. Identitas itu ditandai dengan berbagai macam mulai dari simbol-

simbl, perilaku, budaya, dan agama. Bahkan, dalam konteks global, agama juga semakin

menguat menjadi dan memperkuat simbol identitas sebuah kelompok.

Misalnya, orang-orang Melalyu ditandai oleh watak keislaman yang sangat kental.

Jadi keislaman itu berkaitan dengan pencitraan sesuatu yang melekat pada kelompok itu.

Bentuk pencitraan tersebut terjadi karena identitasnya. Kekhaan tersebut, salah satunya,

ditentukan oleh agama. Dalam hal ini agama saangat mendominasi identitas sebuah

masyarakat. Jadi, tampak jelas bahwa agama bisa menjadi simbol identitas sebuah

kelompok warga masyarakat.

Samuel Huntington, dalam Jurnal Foreign affairs, menulis tentang adanya

pengakuan identitas. Menurutnya, di dunia ini telah terjadi kebangkitan etnis yang

membawa pada kesan dan kebutuhan tentang makna dan potensi penting kebangkitan

identitas. Masing-masing identitas yang menguat itu selain menimbulkan konflik yang

berkepanjangan, tetapi juga sebagai salah satu penyebab terjadinya pembenturan

peradapan atau konflik antaretnik. Konfliknantaretnik ini tidak akan pernah berhenti

sepanjang peradapan itu memaksakan kehendaknya kepada peradapan lainnya.3

Dalam hal ini agama, merupakan salah satu pembentuk identitas. Bahkan

agamalah yang menjadi salah satu pembentuk, sekaligus pembedaseseorang atau orang

lain. Dalam kenyataanya, agama juga dibawa kedalam wilayah pembenturan peradapan

tersebut. Perang antarumat beragama yang mengatasnamakan sering terjadi, tidak saja

ditingkat lokal, tetapi juga ditingkat global.

3Silvia Hanani, Menggali Interelasi sosiologi dan Agama, (Bandung:Hiumaniora, 2011), hal. 3

Akhir-akhir ini, pembenturan umat beragaa atas nama dasar dentitas agama itu

dibangkitkan kembali melalui kebencian-kebencian yang sengaja diciptakan. Misalnya,

melalui penghinaan terhadap agama, penghinaan terhadap simbol-simbol agama dan

kesucian agama. Hal ini memperlihatkan bahwa identitas di satu sisi, dapat dijadikan

sebagai modal sosial untuk memperkokoh dan memeperkuat kelompok. Disisi lain

identitas juga bisa dipermainkan untuk menhancurkan peradapan itu sendiri. Karena itu,

agama harus dominan dimaknai sebagai sesuat yang suci daripada pemaknaan idetitas

yang sempit. Agama tidak dapat dipermainkan sebagai alat konflik atau memunculkan

konflik terhadap lainnya. Agama harus diletakkan di tempat yang agung berikut

identitasnya yang melekat pada diri agama itu. Identitas keagamaan seseorang jangan

hanya dimaknai sebagai salah satu bagan dari agama itu. Sebaliknya, agama harus lebih

dominan dimaknai sebagai ajaran Tuhan yang suci, sehingga agama tidak dijadikan

sebagai konflik antarumat beragama.

Jika kita melihat sejarah peradapan agama di dunia, baik Islam, Kristen, Budha,

Hindu dan yang lainnya tidak terlepas dari upaya pengkarakteristikan sebuah komunitas

atau kelompok manusia. Tujuan utama semua agama adalah membentuk peradapan.

Agama Islam, misalnya, datang ditengah-tengah pergolakan jahiliyah. Kedatangan Islam

tersebut jelas sekali memperbaiki peradapan manusia, yaitu dari peradapan jahiliyah ke

peradapan cahaya baru yang dibentuk oleh Islam. Begitu pula dengan agama Kristen

dengan ajarannya jelas sekali berusaha membangun peradapan sesuai dengan ajarannya

pula. Hindu dan Budha dalam konsepkonsep ajaran masing-masing juga mempunyai

tujuan yang sama, yaitu membangun manusia yang berperadapan dengan mempolakan

ajaran agama itu pada umatnya.

D. Agama, Negara dan Kekuasaan

Agama memainkan peranan penting dalam konteks perbahan sosial, sera menjadi

alat kekuasaan untk membangun kekuatan baru atas nama agama. Agama bisa difungsikan

dan dijadikan sebagai alat pembenaran, penguata, dan pengesahan ang serng dinamakan

dengan politisasi agama, yang kemudian dijadikan sebagai tumbal oleh elit kekuasaan.

1. Kedudukan Agama

Agama mempunyai kedudukan dan peranan yang sangat penting dan strategis,

utamanya sebagai landasan spiritual, moral, dan etika dalam pembangunan nasional.

Agama sebagai sistem nilai seharusnya dipahami dan diamalkan oleh setiap individu,

keluarga, masyarakat, serta menjiwai kehidupan berbangsa dan bernegara. Untuk itu,

pembangunan agama perlu mendapat perhatian lebih besar, baik yang berkaitan

dengan penghayatan dan pengamalan agama, pembinaan pendidikan agama, maupun

pelayanan kehidupan beragama.

Di beberapa wilayah Indonesia pernah muncul sejumlah kerusuhan sosial

berlatar belakang suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA), yang potensial

mengancam integrasi bangsa. Kehidupan beragama yang semula berjalan rukun dan

harmonis, kini porak-poranda akibat kerusuhan tersebut yang menelan korban harta

dan jiwa yang tak terbilang seperti yang terjadi di Kalimantan Barat, Maluku, dan

Sulawesi Tengah. Selain itu, kesenjangan antara kesemarakan kehidupan beragama di

satu pihak dan perilaku sosial yang bertentangan dengan norma agama di lain pihak,

kerapuhan etika dan nilai-nilai agama, terjadinya penurunan akhlak mulia, dan

kelemahan sendi-sendi moralitas agama, secara nyata turut menciptakan kerawanan

dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Praktik korupsi, kriminalitas, perjudian,

perilaku asusila, peredaran dan pemakaian narkoba, dan perilaku permisif yang tidak

lagi mengindahkan adab kesopanan dan kesantunan merupakan sebagian bukti

rendahnya kualitas pengetahuan, pemahaman, dan pengamalan masyarakat Indonesia

terhadap ajaran agamanya.

Dalam kaitan ini, dalam kehidupan bernegara kita perlu (1) memantapkan

fungsi, peran, dan kedudukan agama sebagai landasan moral, spiritual, dan etika

dalam penyelenggaraan negara serta mengupayakan agar segala perundang-undangan

tidak bertentangan dengan moral agama-agama; dan (2) meningkatkan kualitas

pendidikan agama melalui penyempurnaan sistem pendidikan agama sehingga terpadu

dan integral dengan sistem pendidikan nasional dengan didukung oleh sarana dan

prasarana yang memadai.

Berkaitan dengan agama ini, pada era reformasi telah ditetapkan Undang-

undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menggantikan UU

No. 2 Tahun 1989. Undang-undang Sisdiknas mengatakan dalam Pasal 3, bahwa.

"Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak

serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan

bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia

beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu,

cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung

jawab".

Agama antara lain berfungsi sebagai sumber motivasi, inspirasi, dan evaluasi

kehidupan. Dalam hal ini agama membawa misi profetik, konstruktif dan korektif

terhadap kehidupan. Keberagamaan yang diperlukan saat ini sebagai ekspresi sila

pertama Pancasila adalah yang bersifat etikal yang melahirkan kesalehan

sosial. Bukan keberagamaan yang bersifat ritualistik belaka, yang hanya melahirkan

kesalehan individual. Melainkan dapat melahirkan insan-insan mulia yang

menebarkan kebaikan bagi orang-orang lain dan bukan sebaliknya, menjadi ancaman

bagi sekitarnya. Pada sisi yang lain, kebijakan peningkatan keimanan dan ketakwaan

kepada Tuhan YME, perlu diarahkan kepada pembentukan akhlak, iman, takwa dan

akhlak mulia harus terjadi dalam interelasi integral. pendidikan perlu berorientasi pada

pendidikan nilai (value education). Yakni pendidikan yang tidak hanya

mengembangkan iptek melainkan juga nilai-nilai ketuhanan dan kemanusiaan.

Islam di Indonesia, baik ajarannya, namun lebih pada praktik dari ajaran

tersebut oleh para penganutnya, belakangan ini sedang menuai sentimen kebencian,

hujat dan caci-maki. Bagaimana mungkin agama yang (katanya) mengajarkan damai

(sa-lâm) dan Kepasrahan kepada Allah (is-lâm) serta menjunjung tinggi semangat

kemanusiaan (hablmin al-nâs) bisa sedemikian dinodai citra luhurnya oleh segelintir

penganutnya yang melakukan tindakan-tindakan kejahatan melawan kemanusiaan

(crime against humanity), entah itu berupa perusakan tempat-tempat hiburan malam,

pengeboman gereja dan pemberlakuan syariat Islam dengan ancaman hukuman yang

tidak main-main bagi mereka yang melanggarnya. Apakah Islam sedang meruntuhkan

dirinya sendiri dengan tindakan-tindakan destruktif semacam itu? Apakah bisa

dikatakan bahwa pilihan untuk memasuki arena publik bagi mayoritas pemeluk Islam

di Indonesia masih memegang world-view at the state level, yang dalam telaah

Casanova di atas sudah tidak cocok lagi dengan trend modern sekular sekarang ini?

Kita bisa bertanya lebih jauh, keterlibatan publik macam apa yang semestinya

diupayakan oleh kaum Muslim di Indonesia supaya ia tidak semakin terpuruk dan

dijauhkan dari pergaulan internasional? Menjawab pertanyaan ini tidaklah mudah.

Banyak sekali pertimbangan yang harus diikutsertakan di dalamnya guna

mendapatkan jawaban yang komprehensif dan bermutu. Namun, setidaknya, saya

mendapatkan kesan bahwa ada sejumlah pemikir Islam yang tidak terjebak dalam arus

“Islam yang destruktif dan intoleran” sebagaimana sering kita tangkap dan amati.

Satu di antara sejumlah pemikir yang berwawasan luas itu ialah Azyumardi

Azra yang dalam bukunya Islam Substantif Agar Umat Tidak Jadi Buih

mengedepankan keyakinan bahwa Islam dapat terlibat dalam arena publik di Indonesia

dengan masuk ke dalam gelanggang politik. Namun, politik semacam apa? Bukan lagi

politik formalisme yang mengedepankan simbol-simbol keagamaan dan jargon-jargon

religius, melainkan politik Islam yang lebih substantif. Jadi, apabila Islam mau

berperan dalam politik---yang dimengerti sebagai tata urusan kenegaraan, hal-ihwal

kekuasaan, dan kesejahteraan masyarakat luas---perannya adalah peran substantif,

yaitu mengembangkan pesan-pesan moral dan tema-tema sentral seperti keadilan dan

egalitarianisme.

Dalam salah satu bagian kritiknya terhadap umat Islam sendiri, “terpecahnya

kelompok Muslim akibat kepentingan yang berbeda-beda,”

Ada Dua hal yang Mendasar Tentang Peranan Agama Dalam Pembentukan

Bangsa:

1. Pembentukan Dalam Bidang pendidikan

Pendidikan agama harus dimulai dari rumah tangga, sejak si anak masih

kecil. Pendidikan tidak hanya berarti memberi pelajaran agama kepada anak-anak

yang belum lagi mengerti dan dapat menangkap pengertian-pengertian yang

abstrak. Akan tetapi yang terpokok adalah penanaman jiwa percaya kepada Tuhan,

membiasakan mematuhi dan menjaga nilai-nilai dan kaidah-kaidah yang

ditentukan oleh ajaran agama.

Menurut pendapat para ahli jiwa, bahwa yang mengendalikan kelakuan dan

tindakan seseorang adalah kepribadiannya. Kepribadian tumbuh dan terbentuk dari

pengalaman pengalaman yang dilaluinya sejak lahir. Bahkan mulai dari dalam

kandungan ibunya sudah ada pengaruh terhadap kelakuan si anak dan terhadap

kesehatan mentalnya pada umumnya. Dengan memberikan pengalaman-

pengalaman yang baik, nilai-nilai moral yang tinggi, serta kebiasaan-kebiasaan

yang sesuai dengan ajaran agama sejak lahir. Maka semua pengalaman itu akan

menjadi bahan dalam pembinaan kepribadian.

Dengan demikian, pendidikan Agama Islam berperan membentuk manusia

Indonesia yang percaya dan takwa kepada Allah SWT, menghayati dan

mengamalkan ajaran agamanya dalam kehidupan sehari-sehari, baik dalam

kehidupan pribadi maupun dalam kehidupan bermasyarakat, mempertinggi budi

pekerti, memperkuat kepribadian dan mempertebal semangat kebangsaan dan cinta

tanah air, agar dapat menumbuhkan manusia-manusia pembangunan yang dapat

membangun dirinya sendiri serta bersama-sama bertanggung jawab atas

pembangunan bangsa.

“Dan demi nafs dan yang menciptakannya, maka diilhamkan-Nya kepada jiwa

tersebut kefasikan dan ketakwaanya. Sesungguhnya beruntunglah orang yang

menyucikan jiwa itu, dan merugilah orang yang mengotorinya” (Asy-Syam:7-

“Berkata orang-orang tiada beriman:” Mengapa tiada diturunkan kepadanya

(Muhammad) sebuah mukjizat (dari Tuhannya?” Jawablah :”Allah memberikan

sesat siapa yang ia kehendaki, dan membimbing orang yang bertobat kepada-

Nya.” (Ar-Ra‟d :27

Dari ayat-ayat tersebut dapat dipahami bahwa ada jiwa yang menjadi fasik

dan adapula jiwa yang menjadi takwa, tergantung kepada manusia yang

memilikinya. Ayat ini menunjukan agar manusia selalu mendidik diri sendiri

maupun orang lain, dengan kata lain membimbing kearah mana seseorang itu akan

menjadi, baik atau buruk. Proses pendidikan dan pengajaran agama tersebut dapat

dikatakan sebagai “bimbingan” dalam bahasa psikologi. Nabi Muhammad SAW,

menyuruh manusia muslim untuk menyebarkan atau menyampaikan ajaran agama

Islam yang diketahuinya, walaupun satu ayat saja yang dipahaminya. Dengan

demikian dapat dikatakan bahwa nasihat agama itu ibarat bimbingan (guidance)

dalam pandangan psikologi.

Para pembimbing dan konselor perlu mengetahui pandangan filsafat

Ketuhanan (Theologie), manusia disebut “homo divians” yaitu mahluk yang

berke-Tuhan-an, berarti manusia dalam sepanjang sejarahnya senantiasa memiliki

kepercayaan terhadap Tuhan atau hal-hal gaib yang menggetarkan hatinya atau

hal-hal gaib yang mempunyai daya tarik kepadanya (mysterium trimendum atau

mysterium fascinans). Hal demikian oleh agama-agama besar di dunia dipertegas

bahwa manusia adalah mahluk yang disebut mahluk beragama (homo religious),

oleh karena itu memiliki naluri agama (instink religious), sesuai dengan firman

Allah SWT

“Maka hadapkanlah wajahmu kepada agama Allah (tetaplah atas fitrah

(naluri) Allah yang telah menciptakan manusia menurut naluri itu, tidak ada

perubahan pada naluri dari Allah itu.

2. Pendidikan Pancasila

Pendidikan Pancasila, pendidikan agama, dan pendidikan kewarganegaraan

secara simultan diharapkan dapat memancing tumbuhnya kesadaran akan semangat

persaudaraan, spirit humanitas dan kedewasaan diri serta kesucian hati (kalbu) harus

mengemuka Terlihat dengan jelas bahwa pembinaan kepribadian bangsa menjadi

landasan utama sistem pendidikan nasional yang sarat dengan muatan nilai-nilai, yaitu

beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia. Salah satu hal

yang sering menimbulkan pertanyaan terkait dengan UU tersebut adalah tidak

dituangkannya Pendidikan Pancasila secara eksplisit sebagai mata pelajaran atau

matakuliah dalam kurikulum.

Kesalehan individual semestinya mewujud menjadi kesalehan sosial. Sosok

seperti itulah, yang diperlukan bangsa Indonesia untuk membebaskan dirinya dari

keterpurukan dan berbagai jeratan immoralitas, serta kemudian mendorong bangsa

kepada kemajuan dan keunggulan. Maka, mata pelajaran atau matakuliah yang

menggarap aspek kepribadian seperti pendidikan agama dan pendidikan Pancasila

dapat difungsikan sebagai medium untuk membangun manusia sehat. Sehat jasmani,

rohani dan sosial. Pada gilirannya, dengan kekuatan kolektif membangun lingkungan

hidup kemanusiaan yang sehat pula. Bermuara pada terwujudnya peradaban nilai yang

sehat, dan menggantikan peradaban materi yang menggejala.

Oleh karena itu, implementasi Undang-undang Sisdiknas diarahkan pada

program Peningkatan Kualitas Pendidikan Agama Pendidikan agama di sekolah umum

(TK, SD, SLTP, dan SMU) bertujuan untuk meningkatkan kualitas pemahaman dan

pengamalan ajaran agama bagi siswa guna meningkatkan keimanan dan ketakwaan

serta pembinaan akhlak mulia dan budi pekerti luhur. Sasaran yang ingin dicapai

adalah menurunnya pelanggaran etik dan moral yang dilakukan oleh siswa dan

mahasiswa, baik di lingkungan sekolah maupun di masyarakat. Kegiatan pokok yang

dilakukan adalah:

1. Menyempurnakan materi pendidikan agama dengan memberikan tambahan bobot

pada kehidupan nyata sehari-hari;

2. Memasukkan muatan budi pekerti yang terintegrasi dalam mata pelajaran yang

relevan di dalam kurikulum pendidikan;

3. Makna Kecerdasan

Menurut Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 alinea ke 4, pendidikan

nasional bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa. Kalimat ini-demikian juga

dengan sila-sila dalam Pancasila-menunjukkan betapa para pendiri bangsa adalah

pemimpin yang visioner, cerdas, dan berkebangsaan serta berwawasan luas.

Kata "mencerdaskan" ini diperluas maknanya dalam tujuan pendidikan

nasional menjadi "mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang

beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu,

cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung

jawab dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa" Ini merupakan kecerdasan

spiritiual, yaitu kesadaran terhadap keberadaan diri sendiri dan kemampuan

memahami relasi diri dengan Sang Pencipta. Dengan kecerdasaan ini, manusia bisa

memahami dan memaknai kehidupannya sebagai bagian dari suatu rencana besar

untuk kebaikan seluruh umat manusia dan kemuliaan Tuhan, dan bukan hanya untuk

kepentingan golongan dan agamanya sendiri.

“Saya menyayangi Plato tetapi saya lebih menyayangi kebenaran”4.

Demikianlah ungkapan Aristoteles atas pentingnya kebenaran dalam kehidupan

manusia. Kebenaran yang diambil dari pendalaman dari nilai-nilai moral spiritual yang

menjadi kemaslahatan hidup bersama. Aristoteles menyanggah pendapat gurunya

Plato yaitu dunia materi yang merupakan obyek pengalaman dan dunia rohani

merupakan obyek pengertian yang terpisah sama sekali yang satu dari yang lain,

Aristoteles menyanggah itu tidak mungkin. Sebab jika dunia rohani terlepas sama

sekali dari dunia materi, dunia rohani tidak berguna bagi dunia materi, bahkan ide-ide

rohani (eidos) tidak dapat dikenal manusia yang termasuk dunia materi juga.

Aristoteles menolak tegas pemisahan antara dunia rohani dan materi, lebih

jelasnya pada perdebatan saat ini adalah tentang kehidupan akhirat dan kehidupan

dunia, atau dalam perdebatan panjang demokrasi adalah tentang pemisahan antara

agama dan negara. Bagi Aristoteles kehidupan dunia rohani jika dipisahkan dari

kehidupan materi maka rohani tidak berguna lagi dunia materi. Pendapat Aristoteles

cukup memiliki landasan pasti bahwa dunia rohani (agama) akan sangat berpengaruh

bagi dunia materi (negara).

4. Agama adalah Moral Bernegara

Pendapat Aristoteles di atas menjadi pembahasan awal tentang makna agama

dalam kehidupan bernegara. Dalam ide sekuler, agama seolah-olah menjadi penyebab

dan terjadinya konflik manusia dalam bernegara. Agama dalam pandangan

sekulerisme merupakan otoritas yang perlu dipisahkan dalam kehidupan bernegara.

Maka muncullah gagasan sekulerisme dalam tata kehidupan negara, yang diharapkan

dapat meminimalisir terjadinya hegemoni agama atas negara. Karya Plato yang paling

terkenal adalah Republik dimana Plato membagi masyarakat ideal dalam tiga kelas.

Pertama kelas Pemerintah atau filsuf raja (philoshoper king) kelas ini cerdas, rasional,

mampu mengendalikan diri, bijak dan adil. Kedua kelas Tentara (warriors), kelas ini

untuk mereka yang kuat, pemberani dan teroganisir secara militer. Ketiga kelas

pekerja produktif (workers), kelas ini adalah masyarakat yang harus menyumbangkan

keahliannya bagi masyarakat secara produktif. Seperti petani, pedagang, tukang,

peternak dan lain-lain. Dalam konsep republik Plato ini semua dikontrol oleh elit

4 Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia:Lintasan Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan,

1999; PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, (hl 24- -

pemimpin untuk kebaikan masyarakat. Hal ini sering menjadi tuduhan bahwa konsep

republik Plato telah mengilhami model pemerintahan sosialis-komunis yang

menafikan adanya peran Tuhan dalam mengurus kehidupan manusia.

Agama dalam demokrasi Indonesia seakan menjadi ancaman bagi kehidupan

negara. Agama dan negara harus dipisahkan untuk menhindari konflik antar agama

muncul dalam kehidupan bernegara. Demokrasi pun akhirnya semakin layu karena

substansi kedaulatan rakyat hilang tergerus kepentingan elit dan lelah dengan konflik

agama dan negara. Fakta inipun terjadi dalam demokrasi kita dimana banyak partai

yang sebelumnya mengggunakan simbol yang merepresentasikan agama telah berubah

citra mengatasnamakan partai nasionalis atau partai terbuka. Walau kemudian ini

merupakan strategi beberapa partai untuk menarik hati konstituen diluar basis agama

namun akan menimbulkan efek bahwa agama semakin tidak menarik untuk

dimasukkan dalam dunia demokrasi.

Phobia agama pun akan meningkat tajam manakala agama menjadi alasan

beberapa partai untuk meraih suara konstituen dan mengubah platfrom partai. Perlu

ada pelurusan konteks bernegara dalam memandang pentingnya agama dalam

menegakkan kehidupan bernegara. Jika agama dalam bentuk simbol, platfrom,

ideologi atau gerakan dihilangkan niscaya nilai moral akan semakin hilang dalam

bingkai kepemimpinan negara.

Menurut Carl Schmith teoritisi politik dari Jerman mengungkapkan “Negara

dan konsep-konsep yang dipakai oleh negara tidak lebih dari “sekularised theological

concepts” atau konsep-konsep agama yang disekulerkan (dalam arti konsep negara

awalnya adalah konsep agama yang di hilangkan aspek ke-Tuhanannya). Pendeknya

negara dianggap sebagai bentuk paling modern dari evolusi agama”.5

E. Moral dalam Islam

Sejak masa kenabian sampai saat ini, Islam tetap diakui sebagai ajaran (risalah)

agama yang sangat compatible dengan cita-cita kemajuan ilmu pengetahuan dan

pembentukan peradaban ummat. Di pandang dari segi teologis, Islam memiliki sistem

ketuhanan yang sempurna, yang mengatur kehidupan alam semesta ini secara totalitas.

5Munandar Soelaeman, Ilmu Sosial Dasar, (Bandung, PT. Eresco Bandung:1986), hal. 159

Singkatnya, kehadiran Islam selain mengajarkan bagaimana membangun transendensi

yang kokoh, tetapi juga memberi implikasi praksis-empiris, yakni membawa misi

kerahmatan bagi semesta alam.salah satu misi kerahmatan Islam kandungan di dalam

Alquran dan Allah menjamin isi kandungan Alquran. Ajaran agama sebagai mana

diketahui sebagian besar menjadi sumber dari ajaran moral dalam suatu kelompok, moral

sendiri adalah suatu ajaran baik dan buruk yang ukurannya adalah tradisi yang berlaku di

suatu masyarakat.

Seseorang dianggap bermoral apabila sikap hidupnya sesuai dengan adat yang

berlaku di masyarakat dimana ia berada dan menurut ajaran agama terutama Islam bahwa

pada dasarnya manusia itu adalah makhluk bermoral dan etis yang berarti bahwa setiap

manusia mempunyai potensi untuk menjadi makhluk yang bermoral yang nilai

kehidupannya penuh dengan nilai-nilai atau norma-norma sehingga tidak salah bahwa

agama menjadi sumber utama ajaran moral dalam masyarakat apalagi ajaran agama

terutama Islam adalah benar dan Allah menjamin kebenaran sesuai dengan:

Firman allah dalam QS.Al-baqarah ayat 2:

الحق من ربك فال تكونن من الممترين

Artinya : “Kebenaran itu adalah berasal dari Tuhanmu, sebab itu jangan sekali-kali

kamu meragukannya”

Sehingga agama mampu menjadi sumber moral dalam kehidupan manusia

sekaligus memberikan solusi dalam kehidupan manusia ketika mereka menghadapi

kegagalan maupun ujian dalam mengarungi kehidupan mereka sekaligus membangun nilai

yang kokoh bagi kehidupan manusia sekaligus juga member implikasi praksis-empiris

dalam kehidupan manusia berupa konsep rahmatan lil alamin , rahmat bagi seluruh alam

semesta tidak hanya bagi umat muslim saja melainkan bagi seluruh umat manusia di

permukaan bumi, bukan hanya Islam tetapi juga bagi umat non-muslim.

Salah satu bentuk aplikasi dari moral Islam adalah norma, norma Islam tersebut

bersumber dari kandungan Alquran yang merupakan kitab suci umat Islam yang mengatur

segala norma kehidupan umat Islam seperti norma ketuhanan, norma kesusilaan, norma

pergaulan, dan juga mengatur pola keseharian masyarakat seperti tata cara perkawinan,

hukum pewarisan dalam kelurga, dan juga sanksi-sanksi bagi pelanggar norma yang

terdapat di dalam Alquran.

Namun secara factual penerapan norma-norma Islam terjadi pemahaman secara

parsial yang mengakibatkan umat islam terjebak dalam dataran yang normative,

eskatologis, dan berlawanan dalam penerapannya sehingga hal itu membuat umat Islam

melenceng dari norma-norma Islam dalam Alquran sehingga memunculkan reaksi keras

dari masyarakat Islam. Reaksi masyarakat itu pun tidak tersalurkan sejara wajar sehingga

membentuk kelompok Islam menyimpang seperti Islam liberal yang meresahkan saat ini.

Sebagaimana digagas oleh para ilmuan Muslim terdahulu, kita dapat menjumpai

sebuah termenologi "ideal moral" dan "legal formal" untuk merumuskan tabiat

keberagamaan dalam sumber ajaran Islam. Term pertama, menunjuk pada pesan moral

dan nilai kemanusiaan yang terdapat dalam ajaran, sedang kedua pada tampilan dan

cenderung bernuansa baku dari pelaksanaan ajarannya. Untuk term yang pertama dapat

diterima, namun term kedua terdapat banyak yang keberatan.

Pada gagasan pertama yaitu „‟ideal moral‟‟ yaitu pembentukan moral yang ideal

dalam kehidupan umat Islam yang mana sumber moral tersebut berasal dari dua pegangan

utama umat Islam yaitu berupa Alquran dan hadits yang mana kandungan dari kedua

sumber tersebut dijadikan sebagai pegangan dan tuntunan dalam membentuk dan

membangun norma di tengah kehidupan masyarakat Islam.

Pada gagasan kedua banyak mengalami penolakan disebabkan pembangunan

norma masyarakat tidak bersumber dari ajaran Islam melainkan hokum formal atau

hokum buatan manusia yang sumbernya tidak hanya dari Alquran namun juga dari nilai-

nilai masyarakat yang beberapa bagian diantaranya bertentangan dengan ajaran Islam

sehingga banyak para ulama menolak konsep kedua ini sebagai bentuk norma dalam umat

Islam.

Di dalam ajaran Islam sendiri bagaimanapun cara pembentukan moral di

masyarakat posisi moral sendiri di tempatkan pada kedudukan yang paling tinggi karena

misi kerasulan Nabi Muhammad SAW tidak hanya membawa perintah agama dan

mengajarkan iilmu tauhid namun juga untuk mengubah akhlak umat manusia yang benar-

benar merosot pada saat itu menjadi manusia yang penuh adab dan mampu membentuk

sebuah peradaban yang maju seperti Umayyah dan Abbassiyah yang bahkan menjadi

peradaban yang sangat maju, modern, dan mampu menghasilkan penemuan-penemuan

hebat di tengah-tengah masyarakat. Hal itu terjadi karena masyarakat pada saat itu benar-

benar menjalankan norma yang diajarkan oleh nabi Muhammad saw6.

Karena itulah Islam sangat mengutamakan pembentukan moral dalam suatu

peradaban karena moral merupakan penentu warna suatu peradaban manusia, karena

walau sangat majunya suatu peradaban tampa diiringi oleh nilai moral yang kuat pasti

suatu saat peradaban itu akan hancur namun apabila melakukan yang sebaliknya maka

dapat dipastikan bahwa peradaban itu akan maju dan berkembang secara pesat, peradaban

yang berkembang secara isalami dan berdasarkan nilai moral yang kuat maka akan

menghasilkan masyarakat yang cerdas dan mampu menggunakan akalnya dalam

memahami segala ciptaan Allah SWT.

Dari semua itu dapat disimpulkan bahwa agama sebagai sumber moral karena

agama mengajarkan semua nilai ketuhanan yang ada di dalam kitab suci beserta larangan

dan perintahnya yang apabila dituruti maka kita akan mendapatkan balasan yang sesuai

selain itu moral islam menanamkan pada diri manusia untuk menggunakan akal dan hati

untuk melaksanakan suatu hal yang menjadi pandangan (persepsi) yang mampu menjadi

pegangan dalam kehidupan manusia , manusia yang tidak memiliki pemahaman yang kuat

itulah manusia yang terjerumus kedalam sifat munafik, pragmatis, hedonis, sekuler,

bahkan sifat atheis.

Bentuk-Bentuk Ajaran Moral Dalam Al-Quran

Di dalam kitab suci al-qur‟an banyak terdapat dalil-dalil yang menjadi sumber

nilai moral yang ada di dalam masyarakat antara lain kejujuran , belas kasihan , peduli ,

kekeluargaan dan banyak lagi adapun dalil-dalil al-qur‟an yang menjadi sumber ajaran

moral dalam masyarakat antara lain:

1. Surah An-Nahl ayat 114

Artinya: Maka makanlah dari apa yang allah telah berikan kepadamu makanan yang

halal dan baik dan bersyukurlah kamu akan nikmat allah , jika kamu benar-

benar beribadah kepadanya

Ayat ini jelas menyatakan kewajiban kita untuk memakan makanan yang halal

dan baik, hal ini mengisyaratkan suatu nilai moral karena makanan yang baik tidak

6 Azyumardi Azra. Pendidikan Agama dan Pembangunan Waktak Bangsa,(Jakarta:PT RajaGrafindo

Persada,2005), hal 205

hanya zatnya namun juga bagaimana cara kita memperolehnya sehingga kita harus

menghindari perbuatan-perbuatan tercela agar zat makanan halal di dalam tubuh kita,

dengan menghindari perbuatan tercela maka ketertiban dan keamanan dapat

diwujudkan dalam masyarakat.

2. Surah Al-Isra‟ ayat 26-27

Artinya: Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya , kepada

orang miskin dan orang dalam perjalanan dan janganlah kamu

menghambur-hamburkan hartamu secara boros. Sesungguhnya pemboros-

pemboros itu saudara syaitan dan syaitan itu sangat ingkar kepada tuhannya.

Ayat ini menjadi dalil untuk menghindari sifat boros, sifat boros termasuk sifat

amoral dan sangat dihindari karena akan membawa kerugian dalam kehidupan

manusia dan Allah pun sangat membenci sifat ini sampai dalam dalilnya Allah pun

mengibaratkan orang yang bersifat boros sebagai saudara syaitan, makhluk Allah yang

sangat durhaka dan sudah pasti adalah penghuni neraka. Dan hikmah dari pelarangan

sifat boros ini adalah agar manusia cermat dalam mengeluarkan hartanya dan mampu

mendapat kebutuhannya secara cepat dan tepat.

3. Surah Al-isra‟ ayat 29 dan 30

Artinya: dan janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu dan

janganlah kamu terlalu mengulurkannya karena itu kamu menjadi tercela

dan menyesal. Sesungguhnya tuhanmu melapangkan rezki kepada siapa

yang ia kehendaki dan menyempitkannya; sesungguhnya dia maha

mengetahui lagi maha melihat akan hamba-hambanya.

Di dalam ayat ini terkandung nilai moral agar agar kita hendaknya jangan pelit

dan kikir dalam pergaulan masyarakat, namun kita jangan juga terlalu sering meminta-

minta karena akibat perbuatan itu harga diri kita menjadi turun dan dihina dalam

lingkungan pergaulan sedang apabila kita terlalu kikir maka kita tersisih dalam

masyarakat dan dijauhi oleh orang-orang namun yang paling penting kedua sifat ini

akan membawa kita ke dalam jurang api neraka.

4. Al-hadits

Artinya: dari miqdad bin ma‟di karib berkata : aku mendengar Rasullulah SAW

bersabda: tidak ada yang lebih jahat dari pada orang yang memadati

lambung perutnya dengan makanan untuk menguatkan badannya. Jika

perlu ia makan hendaklah perut diisi sepertiganya dengan makanan,

sepertiganya dengan air, sepertiganya lagi dengan udara

(bernapas).(HR.Imam Tirmidzi)

Dalam hadits ini terdapat suatu nilai moral untuk makan makanan secara sehat

sesuai dengan anjuran hadits di atas karena rasullulah menyatakan bahwa tergolong

suatu kejahatan apabila seseorang memadati perutnya dengan makanan sedang yang

sebaiknya kita makan makanan yang secukupnya, minum yang secukupnya, bernafas

yang secukupnya.

Hadits ini apabila kita kaji lebih dalam mengajarkan kita untuk hidup

sederhana yaitu suatu kehidupan yang tidak menderita namun cukup untuk memenuhi

kebutuhan yang diperlukan tanpa berlebih-lebihan dan melampaui batas. Nilai

kesederhanaan ini termasuk nilai moral yang langka saat ini di tengah kehidupan

modern yang penuh kemewahan dan individualistic.

F. Agama sebagai Moral Bangsa

Hakekat Karakter

Menurut Simon Philips, karakter adalah kumpulan tata nilai yang menuju pada

suatu sistem, yang melandasi pemikiran, sikap, dan perilaku yang ditampilkan. Sedangkan

Doni Koesoema A memahami bahwa karakter sama dengan kepribadian. Kepribadian

dianggap sebagai ”ciri, atau karakteristik, atau gaya, atau sifat khas dari diri seseorang

yang bersumber dari bentukan-bentukan yang diterima dari lingkungan, misalnya

lingkungan keluarga pada masa kecil dan juga bawaan seseorang sejak lahir.”

Sementara Winnie memahami bahwa istilah karakter diambil dari bahasa Yunani

yang berarti „to mark‟ (menandai). Istilah ini lebih fokus pada tindakan atau tingkah laku.

Ada dua pengertian tentang karakter. Pertama, ia menunjukkan bagaimana seseorang

bertingkah laku. Apabila seseorang berperilaku tidak jujur, kejam, atau rakus, tentulah

orang tersebut memanifestasikan perilaku buruk. Sebaliknya, apabila seseorang

berperilaku jujur, suka menolong, tentulah orang tersebut memanifestasikan karakter

mulia. Kedua, istilah karakter erat kaitannya dengan „personality‟. Seseorang baru bisa

disebut „orang yang berkarakter‟ (a person of character) apabila tingkah lakunya sesuai

kaidah moral. Sedangkan Imam Ghozali menganggap bahwa karakter lebih dekat dengan

akhlaq, yaitu spontanitas manusia dalam bersikap, atau melakukan perbuatan yang telah

menyatu dalam diri manusia sehingga ketika muncul tidak perlu dipikirkan lagi.

Dari pendapat di atas difahami bahwa karakter itu berkaitan dengan kekuatan

moral, berkonotasi „positif‟, bukan netral. Jadi, „orang berkarakter‟ adalah orang yang

mempunyai kualitas moral (tertentu) positif. Dengan demikian, pendidikan membangun

karakter, secara implisit mengandung arti membangun sifat atau pola perilaku yang

didasari atau berkaitan dengan dimensi moral yang positif atau baik, bukan yang negatif

atau buruk.

Hal ini didukung oleh Peterson dan Seligman yang mengaitkan secara langsung

‟character strength‟ dengan kebajikan. Character strength dipandang sebagai unsur-unsur

psikologis yang membangun kebajikan (virtues). Salah satu kriteria utama dari „character

strength‟ adalah bahwa karakter tersebut berkontribusi besar dalam mewujudkan

sepenuhnya potensi dan cita-cita seseorang dalam membangun kehidupan yang baik, yang

bermanfaat bagi dirinya, orang lain, dan bangsanya

Karakter bangsa terbangun atau tidak sangat tergantung kepada bangsa itu sendiri.

Bila bangsa tersebut memberikan perhatian yang cukup untuk membangun karakter maka

akan terciptalah bangsa yang berkarakter. Bila sekolah dapat memberikan pembangunan

karakter kepada para muridnya, maka akan tercipta pula murid yang berkarakter.

Demikian pula sebaliknya. Kita faham Tuhan tidak merubah keadaan suatu kaum biala

mereka tidak berusaha melakukan perubahan itu. (innallaha laa yughayyiru maa biqaumin

hattaa yughayyiruu maa bi anfusihim).

Lima pilar karakter luhur bangsa Indonesia:

1. Transendensi

Menyadari bahwa manusia merupakan ciptaan Tuhan yang maha Esa. Dari kesadaran

ini akan memunculkan sikap penghambaan semata-mata pada Tuhan yang Esa.

Kesadaran ini juga berarti memahami keberadaan diri dan alam sekitar sehingga

mampu menjaga dan memakmurkannya. Ketuhanan yang maha Esa

2. Humanisasi

Setiap manusia pada hakekatnya setara di mata Tuhan kecuali ilmu dan ketakwaan

yang membedakannya. Manusia diciptakan sebagai subjek yang memiliki potensi.

Kemanusiaan yang adil dan beradap.

3. Kebinekaan

Kesadaran akan adanya sekian banyak perbedaan di dunia. Akan tetapi, mampu

mengambil kesamaan untuk menumbuhkan kekuatan, Persatuan Indonesia;

4. Liberasi

Pembebasan atas penindasan sesama manusia. Karenanya, tidak dibenarkan adanya

penjajahan manusia oleh manusia. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah

kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan;

5. Keadilan

Keadilan merupakan kunci kesejahteraan. Adil tidak berarti sama, tetapi proporsional.

Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Dr. Sukamto dalam diskusi yang diselenggarakan Jum‟at, 19 Juni 2009

mengemukakan bahwa untuk melakukan pendidikan karakter, perlu adanya powerfull

ideas, yang menjadi pintu masuk pendidikan karakter. Powerfull ideas ini meliputi:

(1) God, the World & Me (gagasan tentang Tuhan, dunia, dan saya); (2) Knowing Yourself

(memahami diri sendiri); (3) Becoming a Moral Person (menjadi manusia bermoral);

(4) Understanding & Being Understood Getting Along with Others (memahami dan

dipahami); (5) A Sense of Belonging (bekerjasama dengan orang lain); (6) Drawing

Strength from the Past (mengambil kekuatan di masa lalu); (7) Dien for All Times &

Places; (8) Caring for Allah‟s Creation (kepedulian terhadap makhluq); (9) Making a

Difference (membuat perbedaan); dan (10) Taking the Lead.

Adapun nilai-nilai luhur yang perlu diajarkan agar menjadi sikap hidup sehari-hari

menurut Dr Sukamto, antara lain meliputi: Kejujuran; Loyalitas dan dapat diandalkan;

Hormat; Cinta; Ketidak egoisan dan sensitifitas; Baik hati dan pertemanan; Keberanian;

Kedamaian; Mandiri dan Potensial; Disiplin diri dan Moderasi; Kesetiaan dan kemurnian;

dan Keadilan dan kasih sayang.

Seorang intelektual hendaknya berkarakter kenabian/profetik (berjiwa agama)

memiliki sifat-sifat sebagai berikut: Karakter manusia “sempurna” sebagaimana

ditampilkan oleh para Nabi dalam kehidupan sehari-hari. Bila seseorang memahami

akhlak para nabi (sejak Nabi Adam sampai dengan Nabi Muhammad saw) dan turut

mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari berarti orang tersebut telah memiliki

karakter. Jadi karakter yang harus dibangun adalah karakter yang baik, bila tidak niscaya

yang berkembang adalah karakter yang tidak baik. (Fa alhamaha fujuraha wa taqwaha.

Qad aflaha man zakkahaa, wa qad khoba man dassaha)

Agar dapat memiliki karakter profetik maka 3 aspek utama dalam diri manusia

harus diberikan perhatian secara seimbang, yakni hati, emosi, akal. (Nabi bersabda:

Ketahuilah bahwa dalam diri setiap kalian ada ”mudghoh” (segumpal daging), jika

mudghoh itu bersih maka semua yang ditampilkan oleh orang tersebut juga bersih (baik),

dan jika mudghoh itu rusak maka yang ditampilkan oleh orang tersebut juga rusak (tidak

baik). Ketahuilah bahwa yang disebut mudghoh itu adalah al-qolb (hati). (Al-Hadist)

Beberapa factor penting sebagai ciri karakter profetik, antara lain:

1. Sadar sebagai makhluk ciptaan Tuhan: Sadar sebagai makhluq muncul ketika ia

mampu memahami keberadaan dirinya, alam sekitar, dan Tuhan YME. Konsepsi ini

dibangun dari nilai-nilai transendensi.

2. Cinta Tuhan : Orang yang sadar akan keberadaan Tuhan meyakini bahwa ia tidak

dapat melakukan apapun tanpa kehendak Tuhan. Oleh karenanya memunculkan rasa

cinta kepada Tuhan. Orang yang cinta Tuhan akan menjalankan apapun perintah dan

menjauhi larangan-Nya.

3. Bermoral : Jujur, saling menghormati, tidak sombong, suka membantu, dll merupakan

turunan dari manusia yang bermoral.

4. Bijaksana : Karakter ini muncul karena keluasan wawasan seseorang. Dengan

keluasan wawasan, ia akan melihat banyaknya perbedaan yang mampu diambil

sebagai kekuatan. Karakter bijaksana ini dapat terbentuk dari adanya penanaman nilai-

nilai kebinekaan.

5. Pembelajar sejati: Untuk dapat memiliki wawasan yang luas, seseorang harus

senantiasa belajar. Seorang pembelajar sejati pada dasarnya dimotivasi oleh adanya

pemahaman akan luasnya ilmu Tuhan (nilai transendensi). Selain itu, dengan

penanaman nilai-nilai kebinekaan ia akan semakin bersemangat untuk mengambil

kekuatan dari sekian banyak perbedaan.

6. Mandiri: Karakter ini muncul dari penanaman nilai-nilai humanisasi dan liberasi.

Dengan pemahaman bahwa tiap manusia dan bangsa memiliki potensi dan sama-sama

subjek kehidupan maka ia tidak akan membenarkan adanya penindasan sesama

manusia. Darinya, memunculkan sikap mandiri sebagai bangsa.

7. Kontributif: Kontributif merupakan cermin seorang pemimpin.

Tanpa nilai agama pendidikan tidak akan sempurna /maslahat karena keduanya

sangat erat kaitannya dan karakter merupakan nilai-nilai prilaku manusia yang

berhubungan langsung dengan tuhan yang maha esa, diri sendiri, sesama manusia,

lingkungan dan kebangsaan yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan

perbuatan berdasarkan norma-norma agama ,hukum,tata rama budaya dan adat istiadat.

Pembentukan karakter dapat di ibaratkan seseorang sebagai body builer {binara

gawan}yang memerlukan otot-otot akhlak secara terus-menerus agar kokoh dan kuat.

Makin maraknya aliran-aliran pergaulan yang terjadi dinegara kita makin banyak pula

orang yang tidak berpegang teguh kepada agamanya.sehingga dengan begitu merosotnya

iman dikalangan generasi-generasi sangatlah mudah.

G. Peranan Pendidikan Agama Sebagai Pembentukan Moralitas Bangsa

Sebagian masyarakat menilai terjadinya degradasi moral dan krisis

multidimensional merupakan indikasi dari kegagalan pendidikan nasional. Tujuan

pendidikan nasional yang dengan tegas menyatakan, "Mencerdaskan kehidupan bangsa

dan mengembangkan manusia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertakwa

terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan bermoral, memiliki pengetahuan dan keterampilan,

kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung

jawab kemasyarakatan dan kebangsaan", tidak tercapai. Kekerasan, teror, penjarahan, dan

tawuran yang terjadi di tengah masyarakat, banyaknya praktik kolusi, korupsi, dan

nepotisme (KKN), krisis ekonomi yang berkepanjangan, dan lain-lain merupakan indikasi

kegagalan tercapainya tujuan pendidikan nasional tersebut. Dan itulah potret moralitas

bangsa Indonesia sesungguhnya. Kegagalan pendidikan secara nasional yang ditandai

dengan degradasi moral tersebut membuat tanda tanya besar di benak kita semua.

Kegagalan pendidikan nasional itu disebabkan oleh penerapan konsep pendidikan

yang telah mengabaikan pendidikan watak dan kemampuan bernalar atau dengan kata lain

telah mengabaikan pendidikan moral. Pendidikan seharusnya tidak saja mencerdaskan

kehidupan bangsa, tetapi diarahkan untuk membangun watak bangsa yang mampu

memadukan akal dan perasaan untuk menimbang baik dan buruk suatu perbuatan

sehingga peserta didik akan cenderung untuk berbuat baik, bermoral mulia, disertai

kemampuan untuk berinovasi, kreatif, produktif, dan mandiri. Pendidikan nasional tidak

akan berarti apa-apa kalau hanya dapat melahirkan orang-orang yang pintar, tetapi rakus

dan tamak. Oleh karena itu, pendidikan harus diarahkan untuk membangun kesadaran

kritis peserta didik tentang berbagai hal, termasuk nilai-nilai moral, hak asasi manusia,

kebenaran, keadilan, dan kejujuran. Dengan demikian, peserta didik dapat menyadari

bahwa menyontek, tawuran, dan menganiaya orang lain itu tidak baik.

Ada persepsi yang keliru pada masyarakat kita tentang fungsi, peran, dan

keberhasilan pendidikan. Masyarakat sering tergelincir pada asumsi bahwa keberhasilan

pendidikan seseorang diukur oleh nilai ekonomis yang dicapai seseorang ketika selesai

menamatkan jenjang pendidikannya. Abdul Malik Fadjar pada "Simposium Kebangkitan

Jiwa" mengatakan bahwa pendidikan telah lama menjadi alat untuk mengejar

pertumbuhan ekonomi. "Telah terjadi proses dehumanisasi dalam pendidikan. Padahal,

pendidikan adalah proses pembentukan peradaban,"7

Pernyataan Abdul Malik Fadjar di atas dengan jelas menggambarkan bahwa

umumnya masyarakat Indonesia menjadikan pendidikan sebagai sarana untuk mengejar

ekonomi. Orientasi pada nilai ekonomi pada gilirannya akan mengesampingkan tujuan

utama pendidikan sebagai proses pembentukan peradaban dan pendewasaan sikap. Lebih

jauh, dengan orientasi ekonomi menyebabkan pendidikan yang berorientasi pada

peningkatan moral dan mental spiritual, seperti pendidikan agama menjadi

dinomorduakan. Tak heran kalau ada asumsi bahwa salah satu penyebab lunturnya nilai-

7 http///:Peran Agama Sebagai Pembentukan Moralitas Bangsa,(diakses Rabu, 26 Desember 2012, jam 11.30)

nilai toleransi dan pluralisme agama pada masyarakat Indonesia terjadi karena nilai-nilai

pendidikan agama yang diajarkan di sekolah kurang diminati dan dihayati. Timbul

pertanyaan kemudian, apa yang salah dengan metode pengajaran agama-agama pada

dunia pendidikan kita? Apakah tidak diminatinya pendidikan agama disebabkan oleh

pergeseran orientasi tujuan pendidikan yang diharapkan masyarakat atau karena

pendekatan pengajaran agama tidak lagi menarik dan membosankan?

Diantaranya kesalahan yang sering dilakukan pengajar dalam pendidikan agama.

Pertama, sering terjadi bahwa guru merubah proses pendidikan (education process)

menjadi proses indoktrinasi (indoctrination process). Murid bukannya diberikan

kebebasan bertanya, mengkritisi, dan mempertanyakan doktrin agama, tetapi cenderung

dipaksa agar menerima doktrin agama sebagai sesuatu yang absolut dan tidak boleh

dibantah.

Kedua, sering terjadi kesalahan dalam memberikan pelajaran agama yang lebih

menekankan pada pelajaran yang normatif-informatif dan sedikit menekankan pada

religious education. Guru terkadang memahami pendidikan agama disamakan dengan cara

pengajaran sejarah, geografi, antropologi atau sosiologi. Sebagai contoh, guru hanya

menginformasikan bahwa Muslim salat lima waktu sehari, umat Kristen pergi ke gereja

setiap Minggu, dan umat Hindu bersembahyang di Pura. Informasi seperti itu baru bisa

dikatakan sebagai religious education kalau guru menerangkan alasan mengapa Muslim

salat lima waktu sehari, mengapa harus puasa, mengapa harus membayar zakat dan

menggali makna yang dalam dari informasi praktik keagamaan tersebut.

Kesalahan-kesalahan pendekatan di atas telah menyebabkan peserta didik menjadi

orang yang tahu tapi tidak paham, sehingga pengajaran semacam ini tidak akan

memberikan dampak yang signifikan bagi perubahan kepribadian peserta didik. Dalam

sisi yang lain pendekatan seperti itu akan menumbuhkan fanatisme keagamaan yang

kental dan pada akhirnya nilai-nilai toleransi dan pluralisme yang diemban oleh penganut

agama kehilangan nilai signifikansinya dalam memupuk persaudaraan sesama umat

manusia.

Untuk meminimalkan kesalahan pendekatan dalam pengajaran agama di sekolah,

ada beberapa solusi alternative seperti yang pernah diusulkan oleh Brenda Watson, solusi

alternatif dengan tiga penekanan pengajaran agama. Baginya, pengajaran agama

sebaiknya harus memerhatikan tiga elemen penting dalam diri anak didik, yakni

pengalaman (experience), imajinasi (imagination), dan pemikiran (thinking). Sine

experiential nihil sufficenter scire potest (tanpa pengalaman tak ada sesuatu pun yang bisa

diketahui dengan sempurna). Ungkapan pribahasa ini dengan jelas menggambarkan

bahwa segala sesuatu, termasuk pemahaman keberagamaan perlu latihan dan pengalaman.

Pentingnya menghubungkan antara pendidikan dan pengalaman anak didik telah lama

dikenal dalam dunia pendidikan. Pengalaman adalah komponen dasar dalam membangun

saling pengertian.

Pendidikan agama seharusnya dapat membantu manusia merasakan apa yang

dialami dan dirasakan orang lain. Untuk membantu seorang anak didik merasakan apa

yang dialami oleh orang lain, imajinasi diperlukan. Imajinasi bisa membantu melatih

emosi. Dalam pendidikan agama, imajinasi bisa membantu seorang anak didik memahami

pengalaman agama orang lain. Contoh, selama ini hanya Muslim yang mengenal dan

merasakan nilai Islam dan hanya orang Kristen yang merasakan indahnya nilai

Kekristenan. Kalau imajinasi ditekankan dalam pendidikan agama, seorang anak didik

akan merasakan pengalaman keagamaan orang lain yang pada akhirnya rasa toleransi akan

tumbuh dan fanatisme akan berkurang.

Setelah penekanan pada pengalaman dan imajinasi, pendidikan agama akan lebih

komplet kalau dibarengi penekanan pada aspek berpikir. Pengalaman dan imajinasi pada

akhirnya akan merangsang anak didik untuk berpikir dan merenung. Ketika seorang guru

gagal melengkapi kemampuan siswa untuk berpikir secara jernih tentang pengalaman dan

imajinasi keagamaan, proses indoktrinasi dalam pendidikan agama akan terus

berlangsung. Setelah anak didik mahir melihat pengalaman dan berimajinasi serta

merasakan pengalaman keagamaan orang lain, disertai berpikir kritis terhadap

dogmaagama, diharapkan pendidikan agama yang menekankan toleransi dan pluralisme

akan bisa dibangun.

Akhirnya, dengan penekanan pada ketiga aspek ini diharapkan tujuan pendidikan

agama tidak salah kaprah. Tujuan pendidikan agama bukan dimaksudkan untuk

mengarahkan anak didik menjadi "beragama", tetapi membantu anak didik

memahamieksistensi agama. Dan pada akhirnya akan memberikan efek yang cukup

signifikan pada pembentukan moralitas bangsa.

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dalam studi agama, para ahli agama mengklasifikasikan agama ke dalam berbagai

kategori. Ada yang diklasifikasikan menjadi tiga kategori:

1. agama wahyu dan non-wahyu,

2. agama misionaris dan non-misionaris, dan

3. agama lokal dan universal.

Berdasarkan klasifikasi manapun diyakini bahwa agama memiliki peranan yang

signifikan bagi kehidupan manusia karena di dalamnya terdapat seperangkat nilai yang

menjadi pedoman dan pegangan manusia. Salah satunya adalah dalam hal moral.

Moral adalah sesuatu yang berkenaan dengan baik dan buruk. Tak jauh berbeda dengan

moral hanya lebih spesifik adalah budi pekerti. Akhlak adalah perilaku yang dilakukan

tanpa banyak pertimbangan tentang baik dan buruk. Adapun etika atau ilmu akhlak kajian

sistematis tentang baik dan buruk. Bisa juga dikatakan bahwa etika adalah ilmu tentang

moral. Hanya saja perbedaan antara etika dan ilmu akhlak (etika Islam) bahwa yang

pertama hanya mendasarkan pada akal, sedangkan yang disebut terakhir mendasarkan

pada wahyu, akal hanya membantu terutama dalam hal perumusan. Di tengah krisis moral

manusia modern (seperti dislokasi, disorientasi) akibat menjadikan akal sebagai satu-

satunya sumber moral, agama bisa berperan lebih aktif dalam menyelamatkan manusia

modern dari krisis tersebut. Agama dengan seperangkat moralnya yang absolut bisa

memberikan pedoman yang jelas dan tujuan yang luhur untuk membimbing manusia ke

arah kehidupan yang lebih baik.

DAFTAR PUSTAKA

Azra, Azyumardi. 2005. Pendidikan Agama dan Pembangunan Waktak Bangsa. Jakarta:PT

RajaGrafindo Persada

Hanani, Silvia. 2011. Menggali Interelasi sosiologi dan Agama. Bandung:Hiumaniora.

Soelaeman, Munandar. 1986. Ilmu Sosial Dasar. Bandung: PT. Eresco Bandung

Hasbullah 1999. Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia:Lintasan Sejarah Pertumbuhan dan

Perkembangan. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada

http///:Peran Agama Sebagai Pembentukan Moralitas Bangsa,(diakses Rabu, 26 Desember

2012, jam 11.30)