35
LAPORAN PENDAHULUAN DAN ASUHAN KEPERAWATAN KRITIS PADA NY S DENGAN DIAGNOSA FAKTUR MAXILLA DI RUANG HCU BEDAH RSUD DR. MOEWARDI SURAKARTA Disusun Sebagai Salah Satu Tugas Dalam Program Pendidikan Profesi Ners Stase Keperawatan Gawat Darurat Disusun Oleh: Hanifa Nur Afifah J 230 145 053 PROGRAM PROFESI NERS FAKULTAS ILMU KESEHATAN 1

FRAKTUR maksila

Embed Size (px)

DESCRIPTION

m

Citation preview

Page 1: FRAKTUR maksila

LAPORAN PENDAHULUAN DAN ASUHAN KEPERAWATAN

KRITIS PADA NY S DENGAN DIAGNOSA FAKTUR MAXILLA DI

RUANG HCU BEDAH RSUD DR. MOEWARDI SURAKARTA

Disusun Sebagai Salah Satu Tugas DalamProgram Pendidikan Profesi Ners Stase Keperawatan Gawat Darurat

Disusun Oleh:

Hanifa Nur Afifah

J 230 145 053

PROGRAM PROFESI NERS

FAKULTAS ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA

2015

1

Page 2: FRAKTUR maksila

LAPORAN PENDAHULUAN

FRAKTUR MAKSILA

A. DEFINISI

Fraktur:

adalah terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai jenis dan luasnya

(Smeltzer S.C & Bare B.G, 2006)

setiap retak atau patah pada tulang yang utuh (Reeves C.J, Roux G & Lockhart R,

2006).

Fraktur maxilla dapat disebabkan oleh trauma atau karena proses patologis.

1) Traumatic fracture

Fraktur yangdisebabkan oleh pukulan

pada:

a. perkelahian

b. kecelakaan

c. tembakan

2) Pathologic fracture

Fraktur yang disebabkan oleh keadaan patologis dimana tulang dalam keadaan

sakit, tulang tipis atau lemah, sehingga bila ada trauma ringan seperti berbicara,

makan dan mengunyah dapat terjadi fraktur.

Terjadi karena :

a) Penyakit tulang setempat

Kista

Tumor tulang jinak atau ganas

Keadaan dimana resorpsi tulang sangat besar sekali sehingga dengan atau

tanpa trauma dapat terjadi fraktur, misalnya pada osteomielitis

b) Penyakit umum yang mengenai tulang sehingga tulang mudah patah.

Osteomalacia

Osteoporosis

Atrofi tulang secara umum

2

Page 3: FRAKTUR maksila

B. ETIOLOGI

Facial trauma pada daerah urban disebabkan oleh perkelahian, kecelakaan kendaraan

bermotor, dan kecelakaan industry. Penyebab lain yang penting meliputi, trauma

penetrasi (luka pisau atau luka tembak), domestic violence, dan kekerasan pada anak dan

orang tua. Os nasal, mandibula, dan zygoma, merupakan tulang yang paling sering

mengalami frakturselama perkelahian.

C. PATOFISIOLOGI

Berikut ini masing – masing penyebab fraktur pada maxilla facial trauma :

Fraktur os frontal : Disebabkan oleh pukulan yang keras pada bagian dahi.

Mencangkup Tabula anterior dan tabula posterior sinus frontalis. Apabila tabula

posterior mengalami fraktur, diperkirakan akan menyebabka luka pada dura mater

(meninges). Selain itu sering juga terjadi kerusakan duktus naso frontal

Fraktur dinding bawah / lantai orbita : cidera pada lantai orbita dapat terjadi

sebagai fraktur yang sendiri, namun dapat juga menyebabkan fraktur dinding

medial.  Adanya fraktur tersebut menyebabkan adanya peningkatan tekanan pada

intraorbita yang dapat merusak aspek terlemah dari dinding orbit, yaitu dinding

medial dan lantai. AKibatnya herniasi dari struktur yang terdapat didalam orbita ke

dalam sinus maxillary dapat terjadi dan insidensi yang tinggi pada cidera mata,

namun bulbus oculi jarang sapai rupture.

Fraktur nasal : disebabkan oleh gaya yang ditransmisikan oleh trauma langsung

Fraktur nasoethmoidal : perluasan dari tulang nasal hingg tulang etmoid dan dapat

mnyebabka kerusakan canthus medial mata, apparatus lacrimal ata ductus

nasofronta lis. Dapat juga menyebabkan laserasi pada lamina cribrosa os frontal

Fraktur arcus zygomaticus : disebabkan karena pukulan langsung pada arcus

zygomaticus  dapat mnyebabkan fraktur pada sutura zygomaticotemporal

Fraktur kompleks zygomaticomaxilla : fraktur ini disebabkan oleh trauma

langsung. Garis fraktur meluas melalui sutura zygomaticotemporal,

zygomaticofrontal, zygomaticomaxlla dan artikulasi dengan ala magna os

sphenoid. Garis fraktur biasanya meluas hingga foramen intraorbita dan lantai

orbita. Cidera ocular yang bersamaan juga sering terjadi

Fraktur maxilla : Diklasifikasikan menjadi Le Fort I, II atau III

3

Page 4: FRAKTUR maksila

Fraktur Le Fort I merupakan fraktur maxilla horizontal yang menyilangi

aspek inferior  maxilla dan memisahkan procesus alveolar yang mengandung

gigi maxilla dan  palatum durum dari bagian lain maxilla. Fraktur meluas

melalui 1/3 bawah septum dan mecangkup sinus maxilla medial dan lateral

meluas ke os alatum dal pterigoid

Fraktur Le Fort II merupakan fraktur pyramidal yang dimulai dari os

nasal dan meluas melalui os etmoid dan os lacrimal, turun kebawah melalui

sutura zygomaticofacial, berlanjut ke posterior dan lateral melalui maxilla,

dibawah zygomaticus dan kedalam pterigoid

Fraktur Le Fort III atau disebut juga craniofacial dysjunction

merupakan terpisahnya semua tulang muka dari basis crania dengan fraktus

simultan zygoma, maxilla, dan os nasal. Garis fraktur meluas ke posterolateral

melaui os etmoid, orbits, dan sutura pterygomaxilla samapi kedalam fossa

sphenopalatina.

4

Page 5: FRAKTUR maksila

5

Page 6: FRAKTUR maksila

D. PATHWAY

1.

6

Tekanan/kekerasan langsung/stress berulang

Reaksi Inflamasi

Pergeseran tulang Kerusakan fragmen tulang,cedera jar.lunak

Gang perfusi jaringan perifer

Resiko Infeksi

Gangguan Citra Tubuh

Ekstremitas tdk dpt berfungsi dgn baik

Nyeri

ATP

Perfusi jaringan

Hb

Devitaslisasi (Hb, Ht)

Vasokontriksi pemb.darah

Metabolisme anaerob

Penumpukan asam laktat

Spasme otot

Histamin menstimulasi otot

Tek. Kapiler otot naik Darah banyak keluar

Nyeri Akut

Dilatasi pembuluh kapiler

Ada port entry

Prosedur pemasangan fiksasi eksternal

Kerusakan Mobilitas Fisik

Penatalaksanaan medis

Pengumpulan darah (Hematoma)

Perdarahan

Nyeri akut

Kerusakan Integritas kulit

Pembengkakan (tumor) dan

rubor

Pengeluaran mediator kimia (histamin)

Pembuluh darah terputus

deformitas

Pengeluaran bradikinin dan berikatan dengan

nociceptor

hambatan mobilisasi

hambatan pemenuhan ADL secara

mandiri

Defisit Perawatan

Diri PK pendarahan

PK Anemia

Kelemahan

Page 7: FRAKTUR maksila

E. KLASIFIKASI FRAKTUR

Fraktur dapat berupa

1. Single fracture

Fraktur dengan satu garis fraktur

2. Multiple fracture

Terdapat dua atau lebih garis fraktur yang tidak berhubungan satu sarna lain

Unilateral = jika kedua garis fraktur terletak pada satu sisi

Bilateral = jika 1 garis fraktur pada 1 sisi dan garis fraktur lain pada sisi lain.

3. Communited fracture

Tulang hancur atau remuk menjadi beberapa fragmen keci 1 atau berkeping-keping,

misalnya symphis mandibularis dan di daerah anterior maxila.

4. Complicated fracture

Terjadi suatu dislokasi/displacement dari tulang sehingga mengakibatkan kerusakan

tulang-tulang yang berdekatan, gigi, dan jaringan lunak yang berdekatan

5. Complete fracture

Tulang patah semua secara lengkap menjadi 2 bagian atau lebih.

6. Incomplete fracture

Tulang tidak patah sarna sekali, tetapi hanya retak juga penyatuan tulang tidak

terganggu. Dalam keadaan seperti ini lakukan dengan bandage dan rahang

diistirahatkan 1-3 minggu.

7. Depressed fracture

Bagian tulang yang fraktur masuk ke dalam suatu rongga. Sering pada fraktur maxilla

yaitu pada permukaan fasial dimana fraktur tulang terdorong masuk ke sinus maxi-

llaris.

8. Impacted fracture

Dimana fraktur yang 1 didorong masuk ke fragmen tulang lain. Sering pada tulang

zygomaticus.

F. KLASIFIKASI, TANDA DAN GEJALA FRAKTUR MAXILLA

1) Dento Alveolar Fracture

Suatu fraktur di daerah processus maxillaris yang belum mencapai daerah Le Fort I

dan dapat terjadi unilateral maupun bilateral. Fraktur ini meliputi processus alveo-

laris dan gigi-gigi.

7

Page 8: FRAKTUR maksila

Gejala klinik

Extra oral :

o Luka pada bibir atas yang dalam dan luas. Luka laserasi pada bibir sering disertai

perdarahan, kadang-kadang terdapat patahan gigi dalam bibir yang luka tersebut.

o Bibir bengkak dan edematus

o Echymosis dan hematoma pada muka

Intra oral :

o Luka laserasi pada gingiva daerah fraktur dan sering disertai perdarahan.

o Adanya subluxatio pada gigi sehingga gigi tersebut bergerak, kadang-kadang

berpindah tempat.

o Adanya alvulatio gigi, kadang-kadang disertai tulang alveolusnya

o Fraktur corona gigi dengan atau tanpa terbukanya kamar pulpa

2) Le Fort I:

Pada fraktur ini, garis fraktur berada di antara dasar dari sinus maxillaris dan dasar

dari orbita. Pada Le Fort I ini seluruh processus alveolaris rahang atas, palatum

durum, septum nasalis terlepas dari dasarnya sehingga seluruh tulang rahang dapat

digerakkan ke segala arah. Karena tulang-tulang ini diikat oleh jaringan lunak saja,

maka terlihat seperti tulang rahang tersebut mengapung (floating fracture). Fraktur

dapat terjadi unilateral atau bilateral. Suatu tambahan fraktur pada palatal dapat

terjadi, dimana terlihat sebagai suatu garis echymosis.

Geiala klinik

Extra oral :

o

Pembengkakan pada muka disertai vulnus laceratum

o Deformitas pada muka, muka terlihat asimetris

8

Page 9: FRAKTUR maksila

o Hematoma atau echymosis pada daerah yang terkena fraktur, kadang-kadang

terdapat infraorbital echymosis dan subconjunctival echymosis

o Penderita tidak dapat menutup mulut karena gigi posterior rahang atas dan rahang

bawah telah kontak lebih dulu.

Intra oral

o Echymosis pacta mucobucal rahang atas

o Vulnus laceratum, pembengkakan gingiva, kadang-kadang disertai goyangnya

gigi dan lepasnya gigi.

o Perdarahan yang berasal dari gingiva yang luka atau gigi yang luka, gigi fraktur

atau lepas.

o Open bite maloklusi sehingga penderita sukar mengunyah

3) Le Fort II :

Garis fraktur meliputi tulang maxillaris, nasalis, lacrimalis, ethmoid, sphenoid dan

sering tulang vomer dan septum nasalis terkena juga.

Gejala klinik

Extra oral :

o Pembengkakan hebat pada muka dan hidung, pada daerah tersebut terasa sakit.

o Dari samping muka terlihat rata karena adanya deformitas hidung.

o Bilateral circum echymosis, subconjunctival echymosis.

o Perdarahan dari hi dung yang disertai cairan cerebrospinal.

Intra oral

o Mulut sukar dibuka dan rahang bawah sulit digerakkan ke depan

o Adanya maloklusi open bite sehingga penderita sukar mengunyah.

9

Page 10: FRAKTUR maksila

o Palatum mole sering jatuh ke belakang sehingga dorsum lidah tertekan sehingga

timbul kesukaran bernafas.

o Terdapatnya kelainan gigi berupa fraktur, avultio,luxatio.

o Pada palpasi, seluruh bagian rahang atas dapat digerakkan, pada bagian hidung

terasa adanya step atau bagian yang tajam dan terasa sakit.

4) Le Fort III

Fraktur ini membentuk garis fraktur yang meliputi tulang-tulang nasalis, maxillaris,

orbita, ethmoid, sphenoid dan zygomaticus arch. Sepertiga bagian tengah muka

terdesak ke belakang sehingga terlihat muka rata yang disebut "Dish Shape Face".

Displacement ini selalu disebabkan karena tarikan ke arah belakang dari

M.pterygoideus dimana otot ini melekat pda sayap terbesar tulang sphenoid dan

tuberositas maxillary.

Geiala klinik

Extra oral :

o Pembengkakan hebat pada muka dan hidung

o Perdarahan pada palatum, pharinx, sinus maxillaris, hidung dan telinga.

o Terdapat bilateral circum echymosis dan subconjunctival echymosis.

o Pergerakan bola mata terbatas dan terdapat kelainan N.opticus dan saraf

motoris dari mata yang menyebabkan diplopia, kebutaan dan paralisis bola

mata yang temporer.

o Deformitas hidung sehingga mata terlihat rata.

o Adanya cerebrospinal rhinorrhoea dan umumnya bercampur darah

10

Page 11: FRAKTUR maksila

o paralisis N.Fasialis yang sifatnya temporer atau permanen yang menyebabkan

Bell’s Palsy.

Intra oral :

o Mulut terbuka lebih lebar karena keadaan open bite yang berat.

o Rahang atas dapat lebih mudah digerakkan

o Perdarahan pada palatum dan pharynx.

o Pernafasan tersumbat karena tertekan oleh dorsum lidah.

5) Zygomaticus Complex Fracture

Tulang zygoma adalah tulang yang kokoh pada wajah dan jarang mengalami fraktur.

Namun tempat penyambungan dari lengkungnya sering fraktur. Yang paling sering

mengalami fraktur adalah temporal sutura dari lengkung rahang.Fraktur garis sutura

rim infra orbital, garis sutura zygomatic frontal dan zygomatic maxillaris.

Fraktur ini biasanya unilateral, sering bersifat multiple dan communited, tetapi

karena adanya otot zygomatic dan jaringan pelindung yang tebal, jarang bersifat

compound. Displacement terjadi karena trauma, bukan karena tarikan otot.

Trauma/pukulan biasanya mendorong bagian-bagian yang patah ke dalam.

Geiala klinik

o Penderita mengeluh sukar membuka rahang, merasa ada sesuatu yang menahan,

waktu membuka mulut ke depan condyle seperti tertahan.

11

Page 12: FRAKTUR maksila

o Bila cedera sudah beberapa hari dan pembengkakan hilang, terlihat adanya

depresi yang nyata sekeliling lengkung dengan lebar 1 atau 2 jari yang dapat

diraba.

o Pembengkakan periobital, echymosis.

o Palpasi lunak

o Rasa nyeri

o Epistaksis, perdarahan hidung disebabkan karena cedera, tersobeknya selaput

lendir antral oleh depresi fraktur zygomatic dengan perdarahan lebih lanjut ke

antrum melalui ostium maxilla ke rongga hidung.

o Rasa baal di bawah mata, rasa terbakar dan paraesthesia

o Perdarahan di daerah konjungtiva

o Gangguan penglihatan diplopia, kabur.

G. PEMERIKSAAAN RADIOLOGI

Pemeriksaan radiologi digunakan untuk menunjang diagnosa. Untuk menegakkan

diagnosa yang tepat sebaiknya digunakan beberapa posisi pengambilan foto, karena

tulang muka kedudukannya sedemikian rupa sehingga tidak memungkinkan kita untuk

melihatnya dari satu posisi saja.

Pemeriksaan Ro Foto untuk fraktur maxilla antara lain :

1. PA position

2. Waters position

3. Lateral position

4. Occipito Mental Projection

5. Zygomaticus

6. Panoramic

7. Occlusal view dari maxilla

8. Intra oral dental

H. PENATALAKSANAAN

Perawatan Fraktur

12

Page 13: FRAKTUR maksila

Perawatan fraktur ditujukan pada penempatan ujung tulang yang fraktur pada

hubungan yang benar sehingga ujung tulang tersebut bersentuhan dan dipertahankan

pada posisi tersebut sampai penyembuhan terjadi.

Reposisi/reduksi fraktur ada 3 cara

1. Close reduction

Banyak terdapat cara reposisi. Cara yang mudah adalah reposisi tertutup yaitu

manipulasi tulang dengan tarikan yang dilakukan di bawah kulit yang intact sampai

fraktur berada pada posisi yang benar. fraktur yang dapat dilakukan reposisi

tertutup, bila garis fraktur simpe1, posisi cukup baik dan terjadinya fraktur masih

baruReduksi yang dilakukan pada fraktur dengan cara manipulasi. Cara ini

dilakukan pada fraktur yang masih baru dan mudah dikembalikan pada tempat

semula.

Caranya :

Kita raba permukaan tulang yang patah melalui intra dan ekstra oral, lalu kita

perhatikan oklusinya. Setelah kawat fiksasi dipasang, baru reduksi dikerjakan yaitu

dengan manipulasi bagian-bagian tulang yang patah itu sampai kedudukannya

seperti semula.

2. Reduksi dengan tarikan

Yang paling sering dipakai yaitu intermaxillary traction yaitu penarikan rahang

bawah dan rahang atas. Cara ini dilakukan bila displacement sukar dimanipulasi

pada tempat-tempat yang diinginkan yang mungkin oleh karena adanya spasmus

otot dan fraktur yang sudah lama sehingga terjadi malunion yang sukar

dikembalikan ke keadaan semula.

3. Open reduction (dengan cara operasi)

Cara ini dipakai jika reduksi tertutup tidak dapat dikerjakan, lebih sering dikerjakan

untuk fiksasi dari pada untuk reduksi fraktur.

Fiksasi dan Immobilisasi

Pada fraktur yang dilakukan reposisi tertutup ketika tulang rahang dan gigi sudah

terletak pada posisi yang tepat, maka dapat dipertahankan dengan menggunakan kawat

Arch Bar, membebat gigi, pita elastic atau kawat yang menghubungkan mandibula dan

13

Page 14: FRAKTUR maksila

maksila. Fiksasi dapat dilakukan langsung pada gigi atau otot-otot sekitar rahang,

sehingga dapat dibagi menjadi :

1) Indirect dental fixation

Mengikat rahang atas dan rahang bawah bersama-sama dalam keadaan oklusi

dengan mempergunakan pengikat atau elastic band. Pada fiksasi harus

diperhatikan oklusi gigi atas dan bawah harus baik.

Ada 2 macam cara :

a. Kombinasi wiring dengan intermaxillary fixaton menurut cara Gilmer.

b. Kombinasi arch bar dengan intermaxillary fixation.

c. Macam-macam arch bar : Jelenko, Erich, Winter

2) Direct Dental Fixation

Immobilisasi dari fragmen-fragmen dengan menggunakan splint bar atau wire di

antara dua atau lebih gigi pada daerah fraktur.

Wiring merupakan cara yang paling mudah. Tekniknya : Mengelilingi dua gigi yang

berdekatan kemudian menuju garis fraktur dengan sepotong kawat dengan

mengikatnya kuat-kuat. Cara ini kurang stabil dan tidak dapat diper-

tanggungjawabkan sehingga jarang dipakai.

3) Indirect Skletal Fixation

Yang termasuk cara ini :

Denture atau gurting splint dengan head bandage

Circumferential wiring

External fixation

Perawatan Definitif Fraktur Maxilla

a. Fraktur Dentoalveolar

Beberapa kemungkinan dapat terjadi :

1) Korona gigi patah tanpa mengenai pulpa - Buat Ro foto

dan tes pulpanya

- Vitalitas pulpa perlu diikuti perkembangannya di kemudian hari

- Kematian pulpa dapat berakibat dental granuloma atau kista radikularis di

kemudian hari.

2) Patah korona gigi dan mengenai pulpa

- Ro foto dan perawatan endodontik 14

Page 15: FRAKTUR maksila

- Bila giginya remuk atau patah akarnya sebaiknya dicabut.

Patah akar gigi yang kurang dari 1/3 apikal dapat dicoba dipertahankan.

3) Gigi yang dislokasi

- Ro foto dalam keadaan reposisi dan fiksasi

- Bila gigi terlepas, diadakan pengisian seluruh akar secara retrograd atau

konvensional dan diadakan replantasi. Biasanya gigi ini dapat bertahan

beberapa tahun meskipun akhirnya terjadi ankilosis dan resorpsi.

4) Fraktur tulang alveolar

Seringkali diperlukan debridement untuk membersihkan kepingan

tulang yang terlepas, jaringan nekrotik dan benda asing.

Bila sebagian tulang alveolar terlepas sarna sekali dari muko-

periosteum, sebaiknya diangkat. Bila masih melekat dapat direposisi dan

fiksasi.

Umumnya fiksasi dengan Arch Bar memberikan hasil yang memuaskan,

intermaxillary fixation tidak diperlukan keculai pada fraktur tulang

alveolar regia molar dan premolar. Fiksasi dengan eyelet, baik jenis Ivy

dan Stout's jarang memuaskan.

b. Fraktur Le Fort I, II, III

Penanganan fraktur langsung pada memposisikan kembali maxilla pada hubungan

yang tepat dengan mandibula serta dengan dasar tengkorak dan

mengimmobilisasikannya.

Secara garis besar immobilisasi dapat dibagi dalam 2 golongan besar :

1) Immobilisasi extra oral = External fixation

Termasuk apa yang disebut sekarang ini sebagai modern concept merupakan

suatu cara rutin dalam perawatan fraktur 1/3 tengah tulang muka. Di Barat

teknik ini kurang sesuai dengan situasi di Indonesia, karena peralatan yang

mahal dan laboratorium yang kurang memadai. Ditinjau dari segi stabilitas, alat

ini sangat ideal tetapi secara psikologis sering tidak dapat diterima secara baik

oleh penderita. Ini disebabkan bentuk alat yang menakutkan bagi penderita

yang harus terus memakainya selama perawatan. Berarti dia harus tinggal di RS

selama pemakaian alat tersebut. Meskipun demikian peralatan itu tetap

diperlukan pada perawatan fraktur 1/3 tengah tulang muka yang parah dan

rumit.

15

Page 16: FRAKTUR maksila

Secara singkat teknik ini sebagai berikut :

- Maxilla yang mengalami fraktur ditahan Plaster of Paris Head Cap dengan

bantuan bar penghubung (connecting bar), cap splint, dan extention rodnya.

Maxilla yang dihubungkan dengan head cap disebut Craniomaxillary fixa

tion. Bi la mandibu1a yang dihubungkan dengan head cap disebut Cranio-

mandibula fixation.

- Selain itu dapat diperkuat dengan menambahkan transbucal check wire. Bila

cap splint pada gigi ge1igi tidak dapat dibuat dapat diganti dengan Arch Bar

pada maxilla dan mandibula dan disatukan dengan IMF. Arch bar mandibula

perlu diperkuat dengan circumferential wiring pada 3/3 dan dihubungkan

dengan head cap melalui transbuccal check wire.

- Head cap dapat diganti dengan haloframe yang mempunyai fungsi sarna

dengan head cap tetapi jauh lebih stabile Frame ditempatkan di sekitar cranium

dengan 4 buah paku.

Supraorbital pins adalah pilihan lain dari head cap. Dua buah pin di tempatkan

pada supraorbital ridge kanan dan kiri. Kedua pin ini dihubungkan dengan

sebuah bar yang melengkung. Bar ini kemudian dihubungkan dengan perantaraan

suatu connecting bar lurus dengan extension rod dari alat-alat fiksasi pada

rahang.

2) Immobilisasi dalam jaringan. Jenis ini apat berupa

a. Fiksasi langsung dengan transosseus wiring pada garis fraktur

b. Teknik suspensi dari kawat (internal wire suspension technique)

Teknik fiksasi ini tidak memerlukan alat-alat yang mahal atau fasilitas

laboratorium yang mutakhir. Teknik ini dapat diterima dengan baik oleh

penderita karena peralatan fiksasi tidak tampak dari luar sehingga penderita

dapat meninggalkan RS lebih cepat. Pada teknik ini maksila ditahan dengan

kawat pada bagian tulang muka yang tidak mengalami cedera yang berada di a

tas garis fraktur. Kawa t suspensi ini dihubungkan dengan kawat fiksasi/arch bar

pada mandibula. Untuk memperkuat arch bar mandibula terhadap tarikan kawat

suspensi, dianjurkan pemakaian circumferential wiring pada 3/3. Dengan

demikian maksila terj epi t di antara mandibula dan bagian tulang muka yang

stabil.

Teknik suspensi dengan kawat ini dapat berupa:

16

Page 17: FRAKTUR maksila

a) Circumzygomatic

Kawat penggantung/penahan melalui atau meliputi arcus zygomaticus

b) Zygomatic-mandibula

Kawat melalui lubang pada tulang zygoma

c) Inferior orbital border-mandibula

Kawat melalui lubang pada lower orbital rim

d) Fronto-mandibular

Kawat melalui lubang pada zygomatic processus pada tulang frontal

e) Pyriform fossa mandibular

Kawat me1alui lubang pada fossa pyriformis. Ini hanya untuk perawatan Le

Fort I dan sangat kurang stabil.

f) Nasal septum-mandibular

Fiksasi ini sangat tidak stabil

Pada beberapa keadaan, suspensi langsung terhadap maksila dapat dilakukan

yaitu apabila artikulasi gigi geligi yang tepat tidak mutlak diperlukan ,

misalnya pada :

Salah satu rahang tidak bergigi

Immobilisasi mandibula tidak diperlukan

Suatu keadaan dimana immobilisasi mandibula merupakan

kontraindikasi, misalnya pada obstruksi nasal yang berat.

Lamanya fiksasi

Yang dimaksud dengan sembuh yaitu tidak terdapatnya mobilitas pada daerah

fraktur bila dilakukan manipulasi dengan tangan.

- RA (maksila) 4 minggu

- RB (mandibula) 5-9 minggu

- Fracture condyle 2 minggu

Mengingat cepatnya penyembuhan fraktur dipengaruhi banyak faktor, misalnya

hebatnya fraktur, keadaan umum penderita, gizi penderita, ketrampilan operator

dan berbagai faktor lokal, maka sebelum dilakukan pembukaan alat-alat fiksasi,

diperlukan suatu pengamatan lebih dulu terhadap penyembuhan fraktur

tersebut.

17

Page 18: FRAKTUR maksila

Perawatan Pasca bedah

A) Perawatan segera setelah operasi

Setelah operasi dengan narkose, ahli anestesi akan mengangkat endotrakeal tube,

bila reflek batuk sudah pulih. Bila keadaan jalan nafas penderita mengkhawatirkan,

nasopharingeal tube dapat dipertahankan sampai 24 jam, ini dapat kita diskusikan

dengan ahli anestesi.

Alat penyedot dan alat pemotong kawat harus selalu tersedia bilamana diperlukan.

Seharusnya seorang perawat yang berpengalaman mengawasi di sisi pasien sampai

pasien sadar betul.

B) Antibiotika dan analgetik

Pemberian antibiotik sangat perlu sekali bagi setiap fraktur rahang, apalagi setelah

dilakukan tindakan reposisi dan fiksasi. Pemberian dalam bentuk kapsul atau tablet

adalah sulit karena adanya IMF.

Obat dalam bentuk cairan lebih baik bagi penderi ta. Pemberian secara

parenteralpum dapat dilakukan.

Bila fiksasi baik analgetik biasanya tidak mutlak diberikan.

C) Pemberian makanan

Makanan umumnya dalam bentuk cairan atau setengah cairan.

Makan dapat diberikan melalui celah yang ada antara gigi atau pada fossa

retromolar.

D) Kebersihan mulut

Pembersihan gigi dan kawat fiksasi adalah sangat penting untuk mengurangi

terjadinya infeksi.

E)Pemberian vitamin A, D, B compleks, mineral Ca, fosfat.

I. KOMPLIKASI FRAKTUR RAHANG

Faktor-faktor yang memudahkan terjadinya komplikasi fraktur:

1) Besarnya trauma yang terjadi

Bila trauma yang terjadi begitu besar sehingga selain kerusakan tulang juga terjadi

kerusakan jaringan.

18

Page 19: FRAKTUR maksila

2) Daerah fraktur yang terbuka

Pada fraktur kemungkinan terjadi sebagian daerah fraktur yang terbuka, yang

memudahkan terjadinya infeksi. Dengan adanya infeksi kemungkinan terjadinya

kerusakan jaringan makin lebih besar.

3) Fraktur tidak dirawat atau perawatan yang tidak sempurna.

Pada fraktur yang tidak dirawat dapat terjadi komplikasi seperti malunion, delayed

union dan keadaan yang lebih berat. Demikian juga pada perawatan yang tidak

sempurna, keadaan yang lebih berat dapat terjadi dengan timbulnya infeksi akibat

komplikasi yang terjadi dan ini berpengaruh pada penyembuhan yang diharapkan.

4) Keadaan gigi-geligi

Keadaan gigi yang kurang baik seperti anatomi gigi, posisi gigi yang kurang baik dan

adanya gigi yang gangren dapat mernpermudah tirnbulnya komplikasi bila terjadi

fraktur di regio tersebut.

J. KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN

1. Pengkajian

a. Identitas klien

b. Pengkajian nyeri

- Provoking Incedent

- Quality Of Plain

- Region,  Radiation.

- Severity (Scale) of Plain

- Time

c. Riwayat penyakit sekarang.

d. Riwayat penyakit dahulu

e. Riwayat penyakit keluarga.

f. Riwayat penyakit psikososial spiritual.

g. Pola persepsi dan tata laksana hidup sehat.

h. Pola hubungan dan peran.

i. Pola persepsi dan konsep diri.

j. Pola sensori dan kognitif.

k. Pola penanggulangan stes.

l. Pola tata nilai dan keyakinan.

19

Page 20: FRAKTUR maksila

m. Pemeriksaan Fisik.

Keadaan umum : keadaan baik dan buruknya klien. tanda – tanda yang perlu

dicatat adalah sebagai berikut.

Kesadaran

Kesakitan, Keadaan

Tanda- tanda

B1 (Breating.

B2 (Blood)

B3 (Brain)

  Tingkat kesadaran

Head to toe:

Kepala

Leher

Wajah

Mata

Telinga

Hidung

Mulut dan Faring

Pemeriksaan fungsi serebral

B4 (Bladder)

B5 (Bowel)

nutrisi dan metabolisme.

Pola eliminasi

B6 (Bone)

Look

Feel

Move

n. Pola aktivitas

o. Pola tidur dan istirahat

2. Diagnosa Keperawatan

a. Nyeri akut yang berhubungan dengan pergerakan fragmen tulang, kompresi saraf,

cedera neuromuscular, trauma jaringan, dan reflex spasme otot sekunder.

b. Risiko tinggi infeksi yang berhubungan dengan adanya perdarahan

c. Ansietas berhubungan dengan krisis situasional, akan menjalani operasi, status

ekonomi, dan perubahan fungsi peran.

3. Rencana Keperawatan

a. Dx: Nyeri akut yang berhubungan dengan pergerakan fragmen tulang, kompresi

saraf, cedera neuromuscular, trauma jaringan, dan reflex spasme otot sekunder.

Tujuan: nyeri berkurang, hilang, atau teratasi

Kriteria hasil: secara subjektif, klien melaporkan nyeri berkurang atau dapat

diatasi, mengidentifikasi aktivitas yang meningkatkan atau mengurangi nyeri.

Klien tidak gelisah. Skalanyeri 0-1 atau teratasi.

Intervensi:

20

Page 21: FRAKTUR maksila

1) Kaji nyeri denganskala 0-4.

R: nyeri merupakan respon subjektif yang dapat dikaji dengan menggunakan

skala nyeri. Klien melaporkan nyeri biasanya di atas tingkat cidera.

2) Atur posisi imobilisasi pada lengan atas.

R: imobilisasi yang adekuat dapat mengurangi pergerakan fragmen tulang yang

menjadi unsure utama penyebab nyeri pada lengan atas.

3) Bantu klien dalam mengidentifikasi factor pencetus.

R: nyeri dipengaruhi oleh kecemasan, ketegangan, suhu, distensi kandung

kemih, dan berbaring lama.

4) Jelaskan dan bantu klien terkait dengan tindakan pereda nyeri nonfarmakologi

dan noninvasife.

R: pendekatan dengan menggunakan relaksasi dan nonfarmakologi lainnya

efektif dalam mengurangi nyeri.

5) Ajarkan relaksasi: tenik untuk menurunkan ketegangan otot rangka yang dapat

mengurangi intensitas nyeri. Tingkatkan relaksasi masase.

R:teknik ini akan melancarkan peredaran darah sehingga O2 padajaringan

terpenuhi dan nyeri berkurang.

6) Ajarkan metode distraksi selama nyeri akut.

R: mengalihkan perhatian klien terhadap nyeri ke hal-hal yang menyenakan.

7) Berikan kesempatan waktu istirahat bila terasa nyeri dan berikan posisi yang

nyaman, misalnya waktu tidur, belakang tubuh klien dipasang bantal kecil.

R: istirahat merelaksasi semua jaringan sehingga semua akan meningkatkan

kenyamanan.

8) Tingkatkan pengetahuan tentang sebab-sebab nyeri dan hubungkan dengan

berapa lama nyeri akan berlangsung.

R: pengetahuan tentang sebab-sebab nyeri membantu mengurangi nyeri. Hal ini

dapat membantu meningkatkan kepatuhan klien terhadap rencana teraupetik.

9) Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian analgesic.

R: analgesic memblok lintasan nyeri sehingga nyeri akan berkurang.

b. Dx: Risiko tinggi infeksi yang berhubungan dengan adanya port de entrée luka

operasi pada lengan atas.

21

Page 22: FRAKTUR maksila

Tujuan: infeksi tidak terjadi selama perawatan.

Kriteria hasil: klien mengenal factor risiko, mengenal tindakan

pencegahan/mengurangi factor risiko infeksi, dan menunjukan/mendemonstrasikan

teknik-teknik untuk meningkatkan lingkungan yang aman.

Intervensi:

1) Kaji dan monitor luka operasi setiap hari.

R :mendeteksi secara dini gejala-gejala inflamasi yang mungkin timbul secara

sekunder akibat adanya luka pasca operasi.

2) Lakukan perawatan luka secara steril.

R: teknik perawatan luka secara steril dapat mengurangi kontaminasi kuman.

3) Pantau/batasi kunjungan.

R :mengurangi risiko kontak infeksi dari orang lain.

4) Bantu perawatan diri dan keterbatasan aktivitas sesuai toleransi. Bantu program

latihan.

R: menunjukan kemampuan secara umum, kekuatan otot, dan merangsang

pengembalian system imun.

5) Berikan antibiotic sesuai indikasi.

R: satu atau beberapa agens diberikan yang bergantung pada sifat pathogen dan

infeksi yang terjadi.

c. Dx: Ansietas berhubungan dengan krisis situasional, akan menjalani operasi, status

ekonomi, dan perubahan fungsi peran.

Tujuan: Ansietas hilang atau berkurang.

Kriteria hasil: klien mengenal perasaannya, dapat mengidentifikasi penyebab atau

factor yang mempengaruhi, dan menyatakan ansietasnya berkurang.

Intervensi:

1) Kaji tanda verbal dan nonverbal ansietas. Dampingi klien dan lakukan tindakan

bila klien menunjukan perilaku merusak

R: reaksi verbal/nonverbal dapat menunjukan rasa agitasi, marah dan gelisa.

2) Hindari konfrontasi.

R: konfrontasi dapat meningkatkan rasa marah, menurunkan kerja sama, dan

mungkin memperlambat penyembuhan.

22

Page 23: FRAKTUR maksila

3) Mulai lakukan tindakan untuk mengurangi ansietas. Beri lingkungan yang tenang

dan suasana penuh istirahat.

R: mengurangi rangsangan eksternal yang tidak perlu.

4) Tingkatkan control sensasi klien.

R: control sensasi klien (dalam mengurangi ketakutan) denga cara membberikan

informasi tentang keadaan klien, menekankann penghargaan terhadap sumber-

sumber koping (pertahanan diri) yang positif, membantu latihan relaksasi dan

teknik-teknik pengalihan, serta memberikan umpan balik yang positif.

5) Orientasikan klien terhadap tahap-tahap prosedur operasi dan aktivitas yang

diharapkan.

R: orientasi terhadap prosedur operasi dapat mengurangi ansietas.

6) Beri kesempatan klen mengungkapkan ansietasnya

R: dapat menghilangkann ketegangan terhadap kekhawatiran yang tidak

diekspresikan.

7) Berikan privasi kepada klien dengan orang terdekat.

R: memberi waktu untuk mengekspresikan perasaan, menghilangkan ansietas, dan

perillaku adaptasi. Adanya keluarga dan teman-teman yang dipilih klien untuk

melakukan aktivitas pengalihan perhatian akan mengurangi perasaan terisolasi. 

23

Page 24: FRAKTUR maksila

DAFTAR PUSTAKA

Anonymous. Fraktur Patah Tulang (online). 2009.

(http://perawatpskiatri.blogspot.com/search/label).

Apley, A. Graham. 2006. Buku Ajar Ortopedi dan Fraktur Sistem Apley. Widya Medika:

Jakarta.

Bernard Bloch. 2006. Fraktur dan Dislokasi. Yayasan essentica Medica : Yogyakarta p. 1028-

1030

Elis Harorld, 2006, Part 3: Upper Limb, The Bones and Joint of the Upper Limbs; In: Clinical

Anatomy Eleventh Edition (e-book); Blackwell Publishing; Oxford University; p

169-170

Hermansyah, MD; Fraktur Shaft Humerus (.ppt) (online) 2009.

(http://www.google.com//fraktur-shaft-humerus-hermansyah-MD.pdf.)

Holmes E.J and Misra R.R; 2004; Humerus fracture – Shaft fracture In: AZ of Emergency

Radiology (e-book); UK; Cambridge University Press; p 110-111.

Kenneth J, dkk. 2006. Fractures Of The Shaft Of The Humerus In Chapter 43: Orthopedic;

In: Handbook of Fracture second edition. Wolters Klunser Company : New York.

King Maurice; 2007; Fracture of the Shaft of the Humerus In: Primary Surgery Volume Two:

Trauma; Oxford University Press; UK; p. 233-235

Mansjoer A. 2008. Kapita Selekta Kedokteran Jilid II. Medika Aesculapius FKUI : Jakarta

Rasjad C.2007. Pengantar Bedah Ortopedi. PT. Yarsef Watampone : Jakarta. Hal 380-395.

24

Page 25: FRAKTUR maksila

Santoso M.W.A, Alimsardjono H dan Subagjo; 2008; Anatomi Bagian I, Penerbit

Laboratorium Anatomi-Histologi Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga;

Surabaya

Wim de Jong & Sjamsuhidajat R. 2006. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi ke 2 .EGC : Jakarta.

25