Kasus Trauma Maksilofasial

Embed Size (px)

DESCRIPTION

trauma

Citation preview

PENDAHULUAN

Trauma maksilofasial dapat disebabkan oleh banyak faktor dan dapat menimbulkan kelainan, berupa sumbatan jalan napas, syok karena pendarahan, gangguan pada vertebra cervicalis atau terdapat gangguan pada fungsi saraf otak. Penanganan khusus pada trauma maksilofasialharus dilakukan segera (immediate) atau pada waktu berikutnya (delayed). Penanganan ini bergantung pada kondisi jaringan yang terkena trauma (1)Penanganan pada setiap pasien trauma didasarkan pada prinsip ABCD,ketika trauma maksilofasial telah terjadi, khususnya masalah yang ditemui adalah mengamankan jalan napas dan oksigenasi. Hal ini terkait cedera yang ditimbulkan terkadang sering menyebabkan gangguan pernapasan dan sirkulasi.(2)

TINJAUAN PUSTAKAA. DEFINISI FRAKTUR MAKSILOFASIAL

Fraktur maksilofasial (fraktur wajah) adalah putusnya kontinuitas tulang, tulang epifisis atau tulang rawan sendi pada wajah. (3)B. ETIOLOGI Penyebab utama dari fraktur adalah kecelakaan kendaraan bermotor dan perkelahian, sedangkan penyebab lainnya adalah jatuh, kecelakaan olahraga, kecelakaan kerja dan fraktur patologis.(4) Sedangkan Berdasarkan Journal of Clinical and Diagnostic Research (2014) etiologi dari fraktur maksilofasial adalah sebagi berikut; (5)Tabel 1. Etiologi Trauma maksilofasial (5)Penyebab traumaPresentase

Kecelakaan lalu lintas82.95 %

Jatuh8.21 %

Kekerasan4.40 %

Luka tembak2.40 %

Cedera olahraga2.0 %

C. EPIDEMIOLOGI Berdasarkan Journal of Clinical and Diagnostic Research (2014) usia terbanyak adalah pada wanita usia 21-30 tahun , dan pada pria 31-40 tahun, sedangkan untuk jenis trauma yang sering terjadi adalah midfacial fracture. (5)

Tabel 2. Presentase Usia Penderita Trauma maksilofasial (5)Usia (tahun)Jenis kelamin

PriaWanita

1-10 1.23%1.02%

11-2013.4%6.6%

21-3027.7%10.27%

31-4016.42%7.80%

41-506.98%1.84%

>51 4.10%3.28%

Tabel 3. Presentase Usia Penderita Trauma maksilofasial (5)Tipe fraktur Presentase

Panfacial fracture 39.83%

Fracture mandible24.00%

Fracture maxilla 14.8%

Fracture zygoma13.34%

Fracture nasal bone8.21%

D. KLASIFIKASI FRAKTUR MAKSILOFASIALFraktur maksilofasial mempunyai banyak variasi antara lain, dapat berupa fraktur maksila, fraktur mandibula, fraktur nasal, dan fraktur dentoalveolar atau kombinasinya. Dari beberapa macam fraktur tersebut, ada dua macam fraktur yang memiliki pembagian tipe tersendiri, seperti fraktur maksila terbagi atas fraktur le fort I, le fort II, dan le fort III sedangkan untuk fraktur mandibula terdiri dari fraktur symfisis, angulus, dan body. (4)

I. Fraktur mandibular

Fraktur mandibula merupakan akibat yang ditimbulkan dari trauma kecepatan tinggi dan trauma kecepatan rendah. Fraktur mandibula dapat terjadi akibat kegiatan olahraga, jatuh, kecelakaan sepeda bermotor, dan trauma interpersonal. Di instalasi gawat darurat yang terletak di kota-kota besar, setiap harinya fraktur mandibular merupakan kejadian yang sering terlihat. Fraktur mandibula sering mengalami sakit sewaktu mengunyah, dan gejala lainnya termasuk mati rasa nervus trigeminal. Mobilitas segmen mandibula merupakan kunci penemuan diagnostik fisik dalam menentukan apakah si pasien mengalami fraktur mandibula atau tidak. Namun, mobilitas ini bisa bervariasi dengan lokasi fraktur. Fraktur dapat terjadi pada bagian anterior mandibular (simpisis dan parasimpisis), angulus mandibula, atau di ramus atau daerah kondilar mandibula.

Gambar 1. Pembagian fraktur mandibular

II. Fraktur Dentoalveolar

Trauma fasial sering menekan jaringan lunak bibir atas pada gigi insivus, sehingga menyebabkan laserasi kasar pada bagian dalam bibir atas dan kadang-kadang terjadi luka setebal bibir. Sering kali trauma semacam ini menghantam satu gigi atau lebih, sehingga pecahan mahkota gigi atau bahkan seluruh gigi yang terkena trauma tersebut tertanam di dalam bibir atas. Pada seorang pasien yang tidak sadarkan diri pecahan gigi yang terkena fraktur atau gigi yang terlepas sama sekali mungkin tertelan pada saat terjadi kecelakaan, sehingga sebaiknya jika terdapat gigi atau pecahan gigi yang hilang setelah terjadinya trauma fasial agar selalu membuat radiograf dada pasien, terutama jika terjadi kehilangan kesadaran pada saat terjadinya kecelakaan. (4)

Gambar 2. Fraktur Dentoalveolar III. Fraktur maksila A. Fraktur Le Fort I

Fraktur Le Fort I dapat terjadi sebagai suatu kesatuan tunggal atau bergabung dengan fraktur fraktur Le Fort II dan III. Pada Fraktur Le Fort I, garis frakturnya dalam jenis fraktur transvers rahang atas melalui lubang piriform di atas alveolar ridge, di atas lantai sinus maksilaris, dan meluas ke posterior yang melibatkan pterygoid plate. Fraktur ini memungkinkan maksila dan palatum durum bergerak secara terpisah dari bagian atas wajah sebagai sebuah blok yang terpisah tunggal. Fraktur Le Fort I ini sering disebut sebagai fraktur transmaksilaris. (4)

Gambar 3. Lefort I

B. Fraktur Le Fort II

Fraktur Le Fort II lebih jarang terjadi, dan mungkin secara klinis mirip dengan fraktur hidung. Bila fraktur horizontal biasanya berkaitan dengan tipisnya dinding sinus, fraktur pyramidal melibatkan sutura-sutura. Sutura zigomatimaksilaris dan nasofrontalis merupakan sutura yang sering terkena. Seperti pada fraktur Le Fort I, bergeraknya lengkung rahang atas, biasa merupakan suatu keluhan atau ditemukan saat pemeriksaan. Derajat gerakan sering tidak lebih besar dibanding fraktur Le Fort I, seperti juga gangguan oklusinya tidak separah pada Le Fort I

Gambar 4. Lefort II

C. Fraktur Le Fort IIIFraktur craniofacial disjunction, merupakan cedera yang parah. Bagian tengah wajah benar-benar terpisah dari tempat perlekatannya yakni basis kranii. Fraktur ini biasanya disertai dengan cedera kranioserebral, yang mana bagian yang terkena trauma dan besarnya tekanan dari trauma yang bisa mengakibatkan pemisahan tersebut, cukup kuat untuk mengakibatkan trauma intracranial.

Gambar 3. Lefort III

Hutington membagi kategori yang berhubungan trauma maksilofasial yang memiliki efek terhadap jalan napas diantaranya ; 1. Posterior displacement pada fraktur maksila pada bagian basis cranii dapat menghambat nasopharngeal airway 2. Bilateral fraktur anterior mandibular dapat menyebabkan lidah pasien jatuh ke belakang yang dapat menghalangi bagian orofaring 3. Avulsi gigi, fraktur fagmen tulang, muntah, atau pendarahan yang banyak dapat menjadi benda asing, yang menghambat aiway pada saluran upper aerodigestive4. Soft tissue swelling dan edema akibat trauma pada kepala dan leher mungkin dapat menyebabkan gangguan airway5. Trauma larynx dan trakea dapat menyebabkan swelling dan displacement struktur, seperti epiglottis, kartilago arytenoid dan pita suara, yang mana dapat meningkatkan risiko obstruksi cervical airway.

D. PENANGANAN AWAL TRAUMA MAKSILOFASIAL Penanganan pasien emergency dengan trauma maksilofasial harus mengikuti ABCDE pada ATLS a. Primary Survey b. Melakukan penanganan primary survey dan resusitasi c. Secondary survey (penanganan Head to toe dan menanyakan riwayat penyakit)d. Melanjutkan post-resusitasi dan melakukan reevaluasie. Definitive care Penanganan ABCDEa. Airway maintenance dengan menggunakan proteksi cervical spineb. Breathing dan ventilasi c. Sirkulasi dengan kontrol pendarahan d. Exposure / environmental control melepaskan pakaian pasien untuk mencegah hipotermia. A. AIRWAYPenanganan dasar untuk airway dengan proteksi servikal 1. Penilaian a. Melakukan penilaian patensi jalan napas b. Menilai cepat adanya obstruksi 2. Pengelolaan a. Melakukan Chin Lift atau Jaw Thrust b. Membersihkan airway dengan benda asing c. Memasang pipa naso-faringeal atau orofaringeal. d. Memasang airway definitive Melakukan intubasi oro- atau naso-trakeal Krikotiroidotomi dengan pembedahan 3. Menjaga leher dalam posisi netral, bila perlu secara manual, bila melakukan tindakan untuk membebaskan airway 4. Fikasasi leher dengan berbagai cara, setelah memasang airway

Penilaian patensi jalan napas harus dilakukan dengan cepat dan tepat. Bila ditemukan masalah atau dicurigai, tindakan untuk memperbaiki oksigenasi harus segera dilakukan untuk mengurangi bahaya masalah pernapasan lebih lanjut. Tindakan awal dengan memasang servikal spine terutama bila dicurigai adanya trauma sevikal. Beberapa penelitian menunjukan adanya hubungan antara risiko cedera sevikal dengan trauma maksilofasial pada kasus dengan trauma tumpul. Pada center trauma melakukan imobilisasi dengan servikal spine sampai trauma spinal dapat disingkirkan. Dimana penggunaan servical spine penting terutama dalam melakukan maneuver intubasi.

Teknik- teknik untuk mempertahankan airway dapat dilakukan diataranya dengan ; A. Mengangat dagu (chin lift Manuver) atau dengan B. Mendorong rahang kebawah ( Jaw Thrust)C. Oropharingeal Airway Alat ini disisipkan kedalam mulut di balik lidah. Alat ini tidak boleh mendorong lidah ke belakang yang justru akan menghalangi jalan napas. Alat ini tidak boleh dipasang pada pasien yang sadar, karena akan merangsang muntah. Pasien yang mampu mentoleransi Oropharingeal Airway kemungkinan besar membutuhkan intubasi. D. Nasopharyngeal airway Alat ini disisipkan pada salah satu lubang hidung dan dilewatkan hati-hati ke orofaring posterior. Alat ini dilumasi dengan gel, kemudian disisipkan ke lubang hidung yang tampak tidak tertutup. Bila hambatan dirasakan selama pemasangan airway, hentikan dan coba melalui lubang hidung satunya.

E. Laryngeal Mask Airway (LMA)Sangat bermanfaat pada pertolongan pasien dengan pembebasan jalan napas yang sulit, terutama bila usahan intubasi endotrakea atau bag mask gagal. Akan tetapi LMA bukan airway definitive, dan penempatan alat yang sulit tanpa latihan yang cukup.

Gambar Laryngeal Mask Airway (LMA)

F. Laryngeal Tube airway (LTA)Laryngeal Tube airway adalah suatu alat aiway diluar glottis untuk memberikan ventilasi pasien dengan baik. LTA dipasang tanpa visualisasi Glotis langsung dan tidak membutuhkan amnipulasi yang bermakna pada kepala dan leher untuk pemasangannya.

Gambar Laryngeal Tube airway (LTA)

Pada trauma maksilofasial teknik yang aman digunakan adalah Jaw Thrust karena mampu meminimalkan gerakan pada curiga cedera spinal. Jaw Thrust Manufer dilakukan dengan cara memegang sudut rahang bawah (angulus mandibular) kiri dan kanan sera mendorong rahang bawah ke depan. Teknik ini juga dapat digunakan pada penggunaan masker (bag valve mask) untuk mencapai kerapatan ventilasi yang adekuat. Selain itu, Dalam mempertahankan jalan napas harus dilakukan imobilisasi segaris ( Inline Immbobilization) (1)

Gambar 4. Inline Immobilization

Gambar 5. Jaw Thrust Manuver

Jika penanganan airway tidak adekuat dapat dilakukan endotrakeal intubasi sebagai gold standard dalam management airway. Dimana Menurut ATLS pasien dengan skor Glasgow Coma Scale 8 direkomendasikan untuk dilakukan intubasi. (1)Fraktur mandibular, terutama fraktur mandibular bilateral hilangnya tumpuan normal dan sumbatan airway akan terjadi apabila pasien berada dalam posisi terlentang. Pasien yang menolak untuk berbaring merupakan indikasi bahwa telah terjadi kesulitan menjaga airway.

Pemasangan airway deinitif perlu pada fraktur maksila yang berat. Diakibatkan karena adanya usaha napas yang tidak adekuat ( takipneu, hipoksia, hiperkarbia, sianosis) . Terdapat tiga macam airway definitive yaitu pipa orotrakeal, pipa nasotrakeal, dan airway surgical ( krikotiroidotomi atau trakeostomi). (1)Setelah melalukan penanganan airway perlu dilakukan evaluasi yang cepat napas pasien yang terganggu. Selain itu diperlukan tim yang terdiri atas ahli anastesi, ahli bedah dan ahli trauma untuk mengindentifikasi kesulitan yang terjadi dalam hal pendekatan terbaik untuk mengelola jalan napas. Dalam mengevaluasi keberhasilan pengelolaan jalan napas, perlu diperhatikan hal-hal berikut ; 1. Apakah pasien sadar ? Bila iya, maka penggunaan obat sedative harus dilakukan hati-hati, karena dapat menyebabkan hilangnya napasnya akibat penggunaan obat tersebut. 2. Apakah pasien bernapas dengan spontan ? Bila iya, makan preoksigenasi harus tetap diberikan. 3. Apakah pasien mengalami hipoksemia ? jika preoksigenasi dapat dilakukan maka dapat diberikan dengan masker wajah. Jika preoksigenasi tidak mungkin dilakukan, maka ventilasi harus tetap dilakukan dengan alat yang tersedia. 4. Sejauh mana kerusakan anatomis terjadi ? adakah struktur tulang wajah yang terlibat ? dalam kasus cedera besar, ventilasi masker mungkin sulit dilakukan, sedangkan bila hanya terbatas pada kerusakan jaringan ventilasi masker dapat dilakukan. 5. Untuk mengidentifikasi dengan cepat dan mudah factor-faktor yang mungkin memperngaruhi intubasi maka dapat digunakan penilaian LEMON L : LOOK EXTERNALY lihat karakteristik tertentu yang dapat menimbulkan kesulitan dalam intubasi seperi leher yang pendek. E : Evaluate the 3-3-2 Rule Jarak antara gigi seri atas dan bawah pasien setidaknya harus selebar 3 jari. Jarak anatara tulang tiroid dan dagu setidaknya harus selebar 3 jari Jarak kartilago dan dagu mulut sedikitnya harus selebar 2 jari M : Mallampati Hipofaring harus terlihat dengan baik.

O : Obstruksi Misalnya ; epiglottitis, abses peritonsilar, dan trauma N : Neck Mobility Penilaian ini adalah kebutuhan vital untuk menilai keberhasilan intubasi. Ini dapat dinilai dengan meminta pasien untuk meletakkan dagunya ke dada dan menegadah melihat langit-langit kamar. 6. Apakah ada kesulitan dalam membuka mulut? Jika demikian, apakah nyeri penyebab kesulitan mulut dan dapat membuka mulut setelah pemberian analgesic ? Penyebab yang sering antara lain, cedera temporomandibular joint (TMJ). Jika kesulitan membuka mulut karena cedera TMJ yang telah dibuktikan dari pemeriksaan radiologis, maka sedasi tidak akan membantu dalam membuka mulut, malah mungkin dapat memperburuk. 7. Adakah faktor penyulit intubasi ? misalnya obesitas, cedera spinal, muntahan dijalan napas, wajah atau cedera leher, edema jalan napas.

Breathing Melakukan ventilasi dan oksigenasi 1. Penilaian (1)a. Buka leher dan dada sambil menjaga imbobilisasi leher dan kepala b. Tentukan laju dan dalamnya pernapasan c. Inspeksi dan palpasi leher dan toraks untuk menilai adanya deviasi trakea, ekspansi torkas simetris atau tidak, pemakaian otot tambahan, dan tanda-tanda cedera lainnyad. Perkusi toraks untuk menentukan redup atau hipersonore. Auskulatasi toraks bilateral 2. Pengelolaan (1)a. Pemberian oksigen konsentrasi tinggi b. Ventilasi dengan bag valve mask c. Memasang pulse oxymeterCirculation 1. Penilaian a. Mengindentifikasi sumber pendarahan b. Mengetahui sumber pendarahan internal c. Nadi ; kecepatan, kualitas, keteraturan, pulsus paradoxusd. Warna kulit e. Tekanan darah 2. Pengelolaan a. Melakukan penekanan langsung (bebat tekan) pada tempat pendarahan eksternal b. Mengenal adanya pendarahan internal, kebutuhan untuk intervensi bedah, serta konsultasi bedah c. Memasang 2 kateter IV ukuran besar d. Mengambil sampel darah untuk pemeriksaan darah rutin, analisis kimia, tes kehamilan, golongan darah, cross match, dan analisis gas darah e. Memberikan cairan RL yang dihangatkan dan pemberian darah f. Cegah hipotermia

E. Disability Lalukan pemeriksaan neurologis isngkat untuk menentukan tingkat kesadaran dengan menggunakan GCS ( Glasgow coma scale) dan menilai pupil (apakah isokor, diameter dan refleks terhadap cahaya) (1)F. Exposure Membuka semua pakaian pasien untuk mencegah hipotermia. (1)

LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS PENDERITA

Nama : Nn. LPekerjaan : MahasiswiUmur: 21 Tahun Agama : Islam Alamat : Boneoge (Donggala)Ruangan : AsterTanggal Pemeriksaan: 20 Juni 2015

II. ANAMNESIS Keluhan Utama : Kaku pada mulut Riwayat Penyakit sekarang : Keluhan dialami sejak 10 hari SMRS. Keluhan kaku dirasakan saat membuka mulut. Sebelum timbulnya kaku pasien mengatakan nyeri saat membuka mulut. Keluhan timbul setelah pasien mengalami kecelakaan motor tunggal. Dan terjatuh dengan posisi wajah terlebih dahulu, sehingga lima gigi depan bagian atas pasien terlepas dan terdapat luka bekas jahitan pada dagu. Riwayat pingsan (+) sekitar 10 menit dalam perjalanan menuju rumah sakit. Pasien sebelumnya menjalani perawatan di RS kabelota dan RS Madani dan di rujuk ke RS undata. Riwayat sakit kepala (+), riwayat mual (+), muntah (+) saat di RS Kabelota, riwayat keluar darah dari telinga dan hidung disangkal.

Riwayat Penyakit Sebelumnya : Riwayat Asma (-)Riwayat alergi Obat (-)Riwayat Diabetes Melitus (-)

III. PEMERIKSAAN FISIK Keadaan Umum: Sakit RinganKesadaran : ComposmentisGCS : E4 V5 M6Tanda-tanda vital Tekanan Darah : 110/80 mmHgNadi : 88 x/menitRespirasi : 20 x/menitSuhu : 36.8 0 C

Kepala : Bentuk : Normocephal Rambut : Lurus, warna hitam distribusi padat, merata Wajah : simetris, deformitas (+), edema (-), tampak lemas (-), tampak cicatriks di region mandibulaMata Eksoftalmus (-), enophtalmus (-), palpebral edema (-), konjungtiva anemis (-/-), sclera ikterik, Pupil : isokor, bulat, diameter 2 cm/ 2 cm, refleks cahaya langsung/tidak langsung (+/+)Mulut Sianosis (-), pucat (-)Gingiva atas : tampak avulsi incisivus I dan II, caninus I dan II, serta premolar sinistra Tonsil : sulit dinilai Faring : sulit dinilai

Skor Malampati : sulit dinilai Leher : Jejas (-), Pembesaran Kelenjar Getah bening dan tiroid (-)

Thorax :Inspeksi: Pergerakan napas simetris, massa (-), deformitas (-)Palpasi: Ekspansi paru simetris, Vocal fremitus sulit dinilai, Nyeri tekan (-)Perkusi: sonor kanan= kiriAuskultasi: Bunyi napas vesikuler (+/+), rhonki (-/-) , wheezing (-/-). Bunyi jantung I, II murni reguler, murmur (-). JantungInspeksi: IC terlihat pada SIC VPalpasi: IC teraba pada SIC V midclavicula sinistraPerkusi: Pekak, Batas jantung atas kanan SIC II parasternal dextra Batas jantung atas kiri SIC II parasternal sinistra Batas jantung bawah kanan SIC V parasternal dextra Batas jantung bawah kiri SIC VI midclavicula sinistra Auskultasi: Bunyi jantung I, II murni reguler, murmur (-).

Abdomen :

Inspeksi: Bentuk datar, mengikuti gerak pernapasan, massa (-)Auskultasi: bunyi peristaltik usus (+) kesan normal.Perkusi: TimpaniPalpasi: Nyeri Tekan (-), Lien dan hepar tidak teraba.ASA : 1

IV. RESUME Pasien perempuan usia 21 tahun masuk dengan keluhan kaku pada mulut sejak 10 hari yang lalu. Riwayat trauma (+) saat terjatuh dari motor dengan posisi wajah terlebih dahulu, sehingga lima gigi depan bagian atas pasien terlepas. Riwayat pingsan (+) sekitar 10 menit dalam perjalanan menuju rumah sakit. Riwayat sakit kepala (+), riwayat mual (+), muntah (+) saat di RS Kabelota, riwayat keluar darah dari telinga dan hidung disangkal. Pemeriksaan Fisik ; 110/80 mmHg, nadi : 88 x/menit, respirasi : 20 x/menit, suhu : 36.8 0 C, gingiva superior ; tampak avulsi incisivus I dan II, caninus I dan II, serta premolar sinistra, Mallampati sulit dinilai dan ASA I.

V. PEMERIKSAAN PENUNJANG Darah Rutin WBC:6.92 x 103/uL(N) RBC:4,68 x 106/uL(N) HGB:11,7 g/dL(N) MCHC:30.6 g/dL(N) MCH:25,09 pg(N) MCV:81 fL(N) HCT:38,4 %(N) PLT:369 x 103/uL(N)

HBSAg : Non Reaktif LED : 48 mm/Jam I CT: 7 Menit BT: 3 Menit, 45 Menit

Foto Polos Kepala Tampak fraktur maxilla dengan Avulsi dari dens Incisivus I, II, dextra et sinistra, dan caninus dextra et sinistra, serta premolar sinistra

Diagnosis : Fraktur Dentoalveolar

Laporan Anastesi 1. Diagnosis Pra bedah : fraktur dentoalveolar2. Diagnosis Pasca Bedah : fraktur dentoalveolar3. Penatalaksanaan Anastesi a. Jenis Pembedahan : reposisi fiksasi dan rekontruksib. Jenis Anastesi : general anesthesia c. Posisi : supine d. Obat Anestesi : sevalofluranee. Premedikasi : isoflurane 70 mg + sedacum 2 mg dengan IV ( Pemberian Pukul : 09.15)f. Medikasi : Recofol 500 mg Roculax 25 mg Dexamethasone Ketorolac 30 mg Ranitidin 25 mg g. Mulai Anestesi : 19 Juni 2015 (09.20 WITA) h. Mulai Operasi : 09.35 WITAi. Selesai Operasi : 10.20 WITAj. Efek Anastesi Hilang : 10.30 WITA

JamTekanan Darah (mmHg)Nadi (X/Menit)

SistolikDistolik

09.201308080

09.301308088

09.401308085

09.501207098

10.001207090

10.101207090

10.201406091

10.301406090

PEMBAHASAN

Berdasarkan anamnesis dan riwayat pasien, maka pasien dapat diklasifikasikan sebagai ASA 1, yaitu pasien yang normal dan sehat, tidak ada penyakit lain selain penyakit yang akan dioperasi. Pada anamnesis, pasien mengalami keluhan kaku pada mulut akibat post trauma terjatuh dari motor. Fraktur pada wajah dapat menyebabkan sekresi yang meningkat atau gigi yang terjabut, yang akan menambah masalah pada airway. Pada pasien ini terjadi avulsi pada incisivus, caninus dan premolar gingiva superior sehingga dapat menjadi gangguan pada airway. Namun, pada pasien trauma telah terjadi lebih dari 10 hari sehingga penanganan awal tidak lagi dilakukan. Untuk itu, dilakukan tindakan definitive care dengan memasang gasing splint untuk memfiksasi gigi yang mengalami avulsi. Pemilihan jenis anastesi yang dilakukan adalah dengan general anestesi.. Dimana obat anastesi yang diberikan adalah sevoflurane. Sevoflurane adalah turunan eter, dimana proses induksi dan pemulihannya paling cepat dari semua obat-obat anesthesia inhalasi saat ini. Penanganan airway selama intraoperative dilakukan dengan intubasi endotrakeal untuk menjaga patensi jalan napas. Indikasi Pemasangan intubasi endotrakeal adalah karena Keadaan oksigenasi yang tidak adekuat yang tidak dapat dikoreksi dengan pemberian suplai oksigen melalui masker dan operasi yang dilakukan di bagian mulut sehingga sangat sukar unutk face mask. Dalam melakukan intubasi perlu memprediksi faktor yang mempengaruhi kesulitan dalam intubasi pembukaan mulut yang kecil karena mengalami kaku. Selain melalui orotacheal, teknik intubasi yang lain yang dapat digunakan pada trauma maksilofasial adalah Nasotracheal intubasi. Teknik ini adalah umum digunakan pada kasus fraktur mandibular dan midface fracture. Namun teknik ini tidak dapat digunakan bila dicurigai adanya fraktur basis kranii ( Misalnya Le Fort III atau fraktur naso etmoidal). Bila sangat sulit dilakukan, maka perlu pertimbangan dilakukan teknika trakeostomi atau intubasi submental. Penanganan Breathing dilakukan dengan memberikan oksigen konsentrasi tinggi menggunakan bag valve mask. Dimana pada bag valve mask konsentrasi oksigen yang dapat diberikan adalah sebesar 100 %. Intermaxillary Fixation (IMF) adalah teknik fiksasi intraoperative untuk fraktur midface dan mandibular, fiksasi ini mampu memberikan ruangan untuk mereduksi fraktur dan menyisahkan tempat untuk postoperative.

DAFTAR PUSTAKA

1. American College of Surgeons. Advanced Trauma Life Support for Doctors (ATLS). 2008. Eight Edition. American College of Surgeons Committee on Trauma. 2. Cheehire N.J., Knight D., The Anaesthetic Management on Trauma and Fracture. 2001. British Journal of Anesthesia. London ; Departement of Anaestetic Royal Infirmary. 3. Syamsuhidayat R., Joung WD., Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi Ke-3. 2010. Jakarta ; EGC4. Namirah Nurul. Prevalensi Fraktur maksilofasial pada kasus kecelakaan lalu lontas di RSUD Andi Makkasau kota Pare-Pare Tahun 2013. Makassar ; Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Hasanudin. 5. Mittal, Rajinder M., Katyal S., Uppal Sanjeev, Varun. Airway Management in Maxillofacial Trauma: Do We Really Need Tracheostomy/Submental Intubation. 2014. Volume 8. India ; Journal of Clinical and Diagnostic Research.

16