Upload
nurul-rezki-fitriani-azis
View
152
Download
12
Embed Size (px)
DESCRIPTION
lapsus bedah
Citation preview
LAPORAN KASUS
I. IDENTITAS PASIEN
Nama : MAA
Umur : 2 tahun 4 bulan
Jenis Kelamin : Laki-laki
Pekerjaan : Tidak bekerja
No. RM : 617610
Alamat : Dusun Apa Bone Bajeng Gowa
Ruangan : Lontara II Kamar 12 Bed 6
Tanggal MRS : 16 Juli 2013
II. ANAMNESIS : Alloanamnesis (Ibu penderita)
Keluhan Utama : Perut kembung
Anamnesis Terpimpin :
Dialami sejak usia 3 hari setelah kelahiran. Anak tidak segera buang air
besar setelah lahir. Anak hanya buang air besar setelah 3 hari setelah
kelahiran. Dalam tempoh 3 hari tersebut, ibu penderita membawa
penderita ke Rumah Sakit Labuang Baji dan penderita dapat buang air
besar setelah diberi pencahar. Anak sering dirawat di rumah sakit dengan
keluhan yang sama. Keluhan perut kembung juga kadang disertai dengan
muntah. Muntah tidak menyemprot dan anak minum susu dengan biasa.
Riwayat demam tidak ada.
Riwayat kehamilan: Bayi lahir spontan, pervaginam, segera melahir
setelah dilahirkan, berat badan lahir 3,5 kg. Ibu tidak pernah
mengkonsumsi jamu dan hanya minum vitamin yang diresepkan dokter
selama kehamilan.
Buang air besar: peranal, sulit dikeluarkan.
Buang air kecil: lancar, warna kuning.
1
III. PEMERIKSAAN FISIK :
Status present : Sakit sedang / Gizi cukup / Compos mentis
Tanda vital :
◦ Tekanan darah : 100/60 mmHg
◦ Nadi : 100x/ menit
◦ Pernapasan : 24x/menit
◦ Suhu : 36,90 C
Kepala :
Konjungtiva : Anemis (-), injeksio (-)
Sklera : Ikterus (-)
Bibir : Tidak ada sianosis
Gusi : Perdarahan (-)
Leher :
Kelenjar getah bening : Tidak terdapat pembesaran
DVS : R-2 cmH20
Tidak didapatkan massa tumor.
Tidak ada nyeri tekan.
Abdomen :
Inspeksi : Tampak kembung, ikut gerak napas, darm contour
(-), darm steifung (-)
Auskultasi : Peristaltik (+) kesan meningkat
Palpasi : Massa tumor (-), nyeri tekan (-)
Perkusi : Hipertimpani
Thoraks :
Inspeksi : Simetris kiri dan kanan
Palpasi : Nyeri tekan (-), massa tumor (-)
Perkusi : Sonor kanan = kiri
Auskultasi : Bunyi pernapasan : Vesikuler
Bunyi tambahan : Ronkhi -/-, Wheezing -/-
IV. DIAGNOSIS
Hirschsprung Disease.
2
V. PENATALAKSANAAN AWAL
- Cefadroxil 2x2 cth
- B-comp C syrup 1x1
- Rencana colocstomy
VI. HASIL PEMERIKSAAN
Pemeriksaan Laboratorium:
Pemeriksaan Colon in Loop (05/07/2013)
Kesan:
- Kontras dimasukkan sebanyak 100 cc per anus, tanpa tahanan mengisi
colon sigmoid dan 1/3 distal colon descendens
- Tampak penyempitan di daerah proximal colon sigmoid disertai
dilatasi pada bagian distal colon descendens
VII. RESUME
3
Jenis pemeriksaan 20/07/2013
DARAH RUTIN
WBC 4.3x103/Ul
RBC 4.38x106/uL
HGB 10.2 g/dL
PLT 295x103
HCT 32.9 %
KIMIA DARAH
SGOT 83 u/l
SGPT 25 u/l
Ureum 15 mg/dl
Kreatinin 0.2 mg/dl
Albumin 3.6 gr/dl
Elektrolit
Na 141 mmol/L
K 3.9 mmol/L
Cl 106 mmol/L
Seorang anak laki-laki, 2 tahun 4 bulan, masuk rumah sakit dengan
keluhan perut kembung yang dialami sejak usia 3 hari setelah kelahiran.
Anak tidak segera buang air besar setelah lahir dan hanya buang air besar
3 hari setelah kelahiran. Dalam tempoh 3 hari tersebut, ibu penderita
membawa penderita ke Rumah Sakit Labuang Baji dan penderita dapat
buang air besar setelah diberi pencahar. Anak sering dirawat di rumah
sakit dengan keluhan yang sama. Keluhan perut kembung juga kadang
disertai dengan muntah. Muntah tidak menyemprot dan anak minum susu
dengan biasa. Riwayat demam tidak ada.
Dari pemeriksaan fisis didapatkan gambaran umum: sakit sedang / gizi
cukup / compos mentis. Tanda vital: TD = 100/60 mmHg, nadi:
100x/menit, pernapasan: 24x/menit, suhu: 36,9 0C.. Pada regio abdomen
inspeksi kembung, ikut gerak napas, darm contour (-), darm steifung (-).
Auskultasi didapatkan peristaltik (+) kesan meningkat, palpasi massa
tumor (-), nyeri tekan (-). Lien tidak teraba. Perkusi hipertimpani. Pada
pemeriksaan thoraks dalam batas normal.
Dari hasil pemeriksaan laboratorium berupa pemeriksaan darah rutin
didapatkan kadar hemoglobin dan hematokrit sedikit menurun.
Pemeriksaan kimia darah yang lain menunjukkan batas normal. Pada
pemeriksaan radiologi yaitu Colon in Loop didapatkan penyempitan di
daerah proximal colon sigmoid disertai dilatasi pada bagian distal colon
descendens.
VIII. DISKUSI
Pasien tidak diberhentikan oral intake karena kasus ini bukan merupakan
kasus gawat, dan pasien masih dapat mengeluarkan feses. Pada pasien ini
diberikan antibiotik sebagai profilaksis untuk mengelakkan infeksi dan
vitamin untuk menambah daya tahan tubuh.
TINJAUAN PUSTAKA
4
HIRSCHSPRUNG DISEASE
A. PENDAHULUAN
Hischsprung Disease (HD) adalah kelainan kongenital dimana
tidak dijumpai pleksus Auerbach dan pleksus Meissner pada kolon.
Sembilan puluh persen (90%) terletak pada rectosigmoid, akan tetapi dapat
mengenai seluruh kolon bahkan seluruh usus (Total Colonic Aganglionois
(TCA)). Tidak adanya ganglion sel ini mengakibatkan hambatan pada
gerakan peristaltik sehingga terjadi ileus fungsional dan dapat terjadi
hipertrofi serta distensi yang berlebihan pada kolon yang lebih proksimal.
Pasien dengan penyakit Hirschsprung pertama kali dilaporkan oleh
Frederick Ruysch pada tahun 1691, tetapi yang baru mempublikasikan
adalah Harald Hirschsprung yang mendeskripsikan megakolon kongenital
pada tahun 1886. Namun patofisiologi terjadinya penyakit ini tidak
diketahui secara jelas hingga tahun 1938, dimana Robertson dan Kernohan
menyatakan bahwa megakolon yang dijumpai pada kelainan ini
disebabkan oleh gangguan peristaltik dibagian distal usus akibat defisiensi
ganglion.1
HD terjadi pada satu dari 5000 kelahiran hidup. Insidensi penyakit
Hirschsprung di Indonesia tidak diketahui secara pasti, tetapi berkisar 1
diantara 5000 kelahiran hidup. Dengan jumlah penduduk Indonesia 200
juta dan tingkat kelahiran 35 permil, maka diprediksikan setiap tahun akan
lahir 1400 bayi dengan penyakit Hirschsprung. Kartono mencatat 20-40
pasien penyakit Hirschprung yang dirujuk setiap tahunnya ke RSUPN
Cipto Mangunkusomo Jakarta.
Mortalitas dari kondisi ini dalam beberapa dekade ini dapat
dikurangi dengan peningkatan dalam diagnosis, perawatan intensif
neonatus, tekhnik pembedahan dan diagnosis dan penatalaksanaan HD
dengan enterokolitis.
B. INSIDENSI
5
Penyakit hirschprung dapat terjadi dalam 1:5000 kelahiran. Risiko
tertinggi terjadinya Penyakit hirschprung biasanya pada pasien yang
mempunyai riwayat keluarga Penyakit hirschprung dan pada pasien
penderita Down Syndrome.2 Rectosigmoid paling sering terkena sekitar
75% kasus, flexura lienalis atau colon transversum pada 17% kasus.2
Anak kembar dan adanya riwayat keturunan meningkatkan resiko
terjadinya penyakit hirschsprung.3 Laporan insidensi tersebut bervariasi
sebesar 1.5 sampai 17,6% dengan 130 kali lebih tinggi pada anak laki dan
360 kali lebih tinggi pada anak perempuan. Penyakit hirschsprung lebih
sering terjadi secara diturunkan oleh ibu aganglionosis dibanding oleh
ayah. Sebanyak 12.5% dari kembaran pasien mengalami aganglionosis
total pada colon (sindroma Zuelzer-Wilson). Salah satu laporan
menyebutkan empat keluarga dengan 22 pasangan kembar yang terkena
yang kebanyakan mengalami long segment aganglionosis.
C. ETIOLOGI
Penyakit Hirschsprung disebabkan karena kegagalan migrasi sel-
sel saraf parasimpatis myenterikus dari cefalo ke caudal. Sehingga sel
ganglion selalu tidak ditemukan dimulai dari anus dan panjangnya
bervariasi ke proksimal.2,3
D. ANATOMI DAN FISIOLOGI COLON
Rektum memiliki 3 buah valvula: superior kiri, medial kanan dan
inferior kiri. 2/3 bagian distal rektum terletak di rongga pelvik dan
terfiksasi, sedangkan 1/3 bagian proksimal terletak dirongga abdomen dan
relatif mobile. Kedua bagian ini dipisahkan oleh peritoneum reflektum
dimana bagian anterior lebih panjang dibanding bagian posterior. Saluran
anal (anal canal) adalah bagian terakhir dari usus, berfungsi sebagai pintu
masuk ke bagian usus yang lebih proximal; dikelilingi oleh sphincter ani
(eksternal dan internal) serta otot-otot yang mengatur pasase isi rektum ke
dunia luar. Sphincter ani eksterna terdiri dari 3 sling : atas, medial dan
depan.
Persarafan motorik spinchter ani interna berasal dari serabut saraf
simpatis (N. hipogastrikus) yang menyebabkan kontraksi usus dan serabut
6
saraf parasimpatis (N. splanknicus) yang menyebabkan relaksasi usus.
Kedua jenis serabut saraf ini membentuk pleksus rektalis. Sedangkan
muskulus levator ani dipersarafi oleh N. sakralis III dan IV. Nervus
pudendalis mempersarafi sphincter ani eksterna dan m.puborektalis. Saraf
simpatis tidak mempengaruhi otot rektum. Defekasi sepenuhnya dikontrol
oleh N. N. splanknikus (parasimpatis). Akibatnya kontinensia sepenuhnya
dipengaruhi oleh N. pudendalis dan N. splanknikus pelvik (saraf
parasimpatis).1,4
Sistem saraf otonomik intrinsik pada usus terdiri dari 3 pleksus :
1. Pleksus Auerbach: terletak diantara lapisan otot sirkuler dan
longitudinal.
2. Pleksus Henle: terletak disepanjang batas dalam otot sirkuler.
3. Pleksus Meissner: terletak di sub-mukosa
Pada penderita penyakit Hirschsprung, tidak dijumpai ganglion pada
ketiga pleksus tersebut.1,4
E. PATOGENESIS
Kelainan pada penyakit ini berhubungan dengan spasme pada
distal colon dan sphincter anus internal sehingga terjadi obstruksi. Maka
dari itu bagian yang abnormal akan mengalami kontraksi di segmen bagian
distal sehingga bagian yang normal akan mengalami dilatasi di bagian
proksimalnya. Bagian aganglionik selalu terdapat dibagian distal
rectum.1,2,5
F. TIPE PENYAKIT HIRSCHSPRUNG
Penyakit hirschsprung dikategorikan berdasarkan seberapa banyak
colon yang terkena. Tipe penyakit hirschsprung meliputi:5
7
Ultra short segment: Ganglion tidak ada pada bagian yang sangat kecil
dari rectum.
Short segment: Ganglion tidak ada pada rectum dan sebagian kecil dari
colon.
Long segment: Ganglion tidak ada pada rectum dan sebagian besar colon.
Very long segment: Ganglion tidak ada pada seluruh colon dan rectum
dan kadang sebagian usus kecil.
Gambar 1: Bagian colon yang mengalami agangliosis
G. DIAGNOSIS
1. Anamnesis
Diagnosis penyakit ini dapat dibut berdasarkan adanya konstipasi pada
neonatus. Gejala konstipasi yang sering ditemukan adalah terlambatnya
mekonium untuk dikeluarkan dalam waktu 48 jam setelah lahir. Tetapi
gejala ini biasanya ditemukan pada 6% atau 42% pasien. Gejala lain yang
biasanya terdapat adalah: distensi abdomen, gangguan pasase usus, poor
feeding, vomiting. Apabila penyakit ini terjdi pada neonatus yang berusia
lebih tua maka akan didapatkan kegagalan pertumbuhan. Hal lain yang
harus diperhatikan adalah jika didapatkan periode konstipasi pada
neonatus yang diikuti periode diare yang massif kita harus mencurigai
adanya enterokolitis. Pada bayi yang lebih tua penyakit hirschsprung akan
8
sulit dibedakan dengan kronik konstipasi dan enkoperesis. Faktor genetik
adalah faktor yang harus diperhatikan pada semua kasus. Pemeriksaan
barium enema akan sangat membantu dalam menegakkan diagnosis. Akan
tetapi apabila barium enema dilakukan pada hari atau minggu awal
kelahiran maka zone transisi akan sulit ditemukan. Penyakit hirschsprung
klasik ditandai dengan adanya gambaran spastic pada segmen distal
intestinal dan dilatasi pada bagian proksimal intestinal.1,2,3
2. Gejala klinik
Pada bayi yang baru lahir, kebanyakan gejala muncul 24 jam
pertama kehidupan. Dengan gejala yang timbul: distensi abdomen dan
bilious emesis. Tidak keluarnya mekonium padsa 24 jam pertama
kehidupan merupakan tanda yang signifikan mengarah pada diagnosis ini.
Pada beberapa bayi yang baru lahir dapat timbul diare yang menunjukkan
adanya enterocolitis.1,2,5
Pada anak yang lebih besar, pada beberapa kasus dapat mengalami
kesulitan makan, distensi abdomen yang kronis dan ada riwayat
konstipasi. Penyakit hirschsprung dapat juga menunjukkan gejala lain
seperti adanya periode obstipasi, distensi abdomen, demam, hematochezia
dan peritonitis.1,5
3. Pemeriksaan penunjang
Diagnostik utama pada penyakit hirschprung adalah dengan
pemeriksaan:
A. Barium enema. Pada pasien penyakit hirschprung spasme pada distal
rectum memberikan gambaran seperti kaliber/peluru kecil jika
dibandingkan colon sigmoid yang proksimal. Identifikasi zona transisi
dapat membantu diagnosis penyakit hirschprung.1 Segmen aganglion
biasanya berukuran normal tapi bagian proksimal usus yang mempunyai
ganglion mengalami distensi sehingga pada gambaran radiologis terlihat
9
zona transisi. Dilatasi bagian proksimal usus memerlukan waktu, mungkin
dilatasi yang terjadi ditemukan pada bayi yang baru lahir. Radiologis
konvensional menunjukkan berbagai macam stadium distensi usus kecil
dan besar. Ada beberapa tanda dari penyakit hirschsprung yang dapat
ditemukan pada pemeriksaan barium enema, yang paling penting adalah
zona transisi. Posisi pemeriksaan dari lateral sangat penting untuk melihat
dilatasi dari rektum secara lebih optimal. Retensi dari barium pada 24 jam
dan disertai distensi dari kolon ada tanda yang penting tapi tidak spesifik.
Enterokolitis pada Hirschsprung dapat didiagnosis dengan foto polos
abdomen yang ditandai dengan adanya kontur irregular dari kolon yang
berdilatasi yang disebabkan oleh oedem, spasme, ulserase dari dinding
intestinal. Perubahan tersebut dapat terlihat jelas dengan barium enema.
Nilai prediksi biopsi 100% penting pada penyakit Hirschsprung jika sel
ganglion ada. Tidak adanya sel ganglion, perlu dipikirkan ada teknik yang
tidak benar dan dilakukan biopsi yang lebih tebal. Diagnosis radiologi
sangat sulit untuk tipe aganglionik yang long segmen, sering seluruh
colon. Tidak ada zona transisi pada sebagian besar kasus dan kolon
mungkin terlihat normal/dari semula pendek/mungkin mikrokolon. Yang
paling mungkin berkembang dari hari hingga minggu. Pada neonatus
dengan gejala ileus obstruksi yang tidak dapat dijelaska. Biopsi rectal
sebaiknya dilakukan. Penyakit hirschsprung harus dipikirkan pada semua
neonates dengan berbagai bentuk perforasi spontan dari usus besar/kecil
atau semua anak kecil dengan appendicitis selama 1 tahun.2,5
B. Anorectal manometry dapat digunakan untuk mendiagnosis penyakit
hirschsprung, gejala yang ditemukan adalah kegagalan relaksasi sphincter
ani interna ketika rectum dilebarkan dengan balon. Keuntungan metode ini
adalah dapat segera dilakukan dan pasien bisa langsung pulang karena
tidak dilakukan anestesi umum. Metode ini lebih sering dilakukan pada
pasien yang lebih besar dibandingkan pada neonatus.5
C. Biopsy rectal merupakan “gold standard” untuk mendiagnosis penyakit
hirschprung.2,5 Pada bayi baru lahir metode ini dapat dilakukan dengan
morbiditas minimal karena menggunakan suction khusus untuk biopsy
10
rectum. Untuk pengambilan sample biasanya diambil 2 cm diatas linea
dentate dan juga mengambil sample yang normal jadi dari yang normal
ganglion hingga yang aganglionik.2
H. DIAGNOSIS BANDING
Diagnosis banding dari Hirschprung harus meliputi seluruh kelainan
dengan obstruksi pada distal usus kecil dan kolon, meliputi:
Obstruksi mekanik
Meconium ileus
o Simple
o Complicated (with meconium cyst or peritonitis)
Meconium plug syndrome
Neonatal small left colon syndrome
Malrotation with volvulus
Incarcerated hernia
Jejunoileal atresia
Colonic atresia
Intestinal duplication
Intussusception
NEC
Obstruksi fungsional
Sepsis
Intracranial hemorrhage
Hypothyroidism
11
Maternal drug ingestion or addiction
Adrenal hemorrhage
Hypermagnesemia
Hypokalemia
I. TATALAKSANA
Terapi terbaik pada bayi dan anak dengan Hirschsprung tergantung
dari diagnosis yang tepat dan penanganan yang cepat. Keputusan untuk
melakukan pull trough ketika diagnosis ditegakkan tergantung dari kondisi
anak dan respon dari terapi awal.. Dekompresi kolon dengan pipa besar,
diikuti dengan washout serial, dan meninggalkan kateter pada rektum
harus dilakukan. Antibiotik spektrum luas diberikan, dan mengkoreksi
hemodinamik dengan cairan intravena. Pada anak dengan keadaan yang
buruk, perlu dilakukan colostomy.
Diagnosis dari penyakit hirschsprung pada semua kasus
membutuhkan pendekatan pembedahan klinik terdiri dari prosedur tingkat
multipel. Hal ini termasuk kolostomi pada neonatus, diikuti dengan operasi
pull-through definitif setelah berat badan anak >5 kg (10 pon). Ada 3
pilihan yang dapat digunakan, untuk setiap prosedurnya, prinsip dari
pengobatan termasuk menentukan lokasi dari usus di mana zona transisi
antara usus ganglionik dan aganglionik, reseksi bagian yang aganglionik
dari usus dan melakukan anastomosis dari daerah ganglionik ke anus atau
bantalan mukosa rektum.
Dewasa ini ditunjukkan bahwa prosedur pull-through primer dapat
dilakukan secara aman bahkan pada periode neonatus. Pendekatan ini
mengikuti prinsip terapi yang sama seperti pada prosedur bertingkat
melindungi pasien dari prosedur pembedahan tambahan. Banyak dokter
bedah melakukan diseksi intra abdominal menggunakan laparoskop. Cara
12
ini terutama banyak pada periode neonatus yang dapat menyediakan
visualisasi pelvis yang baik. Pada anak-anak dengan distensi usus yang
signifikan adalah penting untuk dilakukannya periode dekompresi
menggunakan rectal tube jika akan dilakukan single stage pull-through.
Pada anak-anak yang lebih tua dengan kolon hipertrofi, distensi ekstrim,
kolostomi dilakukan dengan hati-hati sehingga usus dapat dekompresi
sebelum dilakukan prosedur pull-through. Namun, harus ditekankan, tidak
ada batas umur pada prosedur pull-through.2
Dari ketiga prosedur pull-through yang dilakukan pada penyakit
Hirschsprung yang pertama adalah prosedur Swenson. Pada operasi ini
rektum aganglionik diseksi pada pelvis dan dipindahkan ke anus. Kolon
ganglionik lalu dianastomosis ke anus melalui pendekatan perineal. Pada
prosedur Duhamel, diseksi di luar rektum dibatasi terhadap ruang
retrorektal dan kolon ganglionik dianastomosis secara posterior tepat di
atas anus. Dinding anterior dari kolon ganglionik dan dinding posterior
dari rektum aganglionik dianastomosis menggunakan stappler. Walaupun
kedua prosedur ini sangat efektif, namun keterbatasannya adalah adanya
kemungkinan kerusakan syaraf parasimpatis yang menempel pada rektum.
Untuk mengatasi masalah ini, prosedur Soave menyertakan diseksi
seluruhnya dari rektum. Mukosa rektum dipisahkan dari mukosa
muskularis dan kolon yang ganglionik dibawa melewati mukosa dan
dianastomosis ke anus. Operasi ini dapat dilakukan sepenuhnya dari
bawah. Dalam banyak kasus, sangat penting untuk menentukan dimana
terdapat usus yang ganglionik. Banyak ahli bedah mempercayai bahwa
anastomosis dilakukan setidaknya 5 cm dari daerah yang sel ganglion
terdeteksi. Dihindari dilakukannya pull-through pada zona transisi yang
berhubungan dengan tingginya angka komplikasi karena tidak adekuatnya
pengosongan segmen usus yang aganglionik. Sekitar 1/3 pasien yang di
pull-through pada zona transisi akan membutuhkan reoperasi.2
13
Gambar 2: Teknik operasi Swenson
Gambar 3: Teknik operasi Duhamel
14
Gambar 4: Teknik operasi Soave
Komplikasi utama dari semua prosedur diantaranya enterokolitis
post operatif, konstipasi dan striktur anastomosis. Seperti yang telah
dijelaskan sebelumnya, hasil jangka panjang dengan menggunakan 3
prosedur sebanding dan secara umum berhasil dengan baik bila ditangani
oleh tangan yang ahli. Ketiga prosedur ini juga dapat dilakukan pada
aganglionik kolon total dimana ileum digunakan sebagai segmen yang di
pull-through.2,5
Beberapa metode operasi biasa digunakan dalam penatalaksanaan penyakit
hirschsprung:
Secara klasik, dengan melakukan insisi di bagian kiri bawah abdomen
kemudian dalakukan identifikasi zona transisi dengan melakukan
biopsy seromuskuler.
Terapi definitive yang dilakukan pada penyakit hirschprung ada 3
metode:
o Metode Swenson: pembuangan daerah aganglion hingga batas
sphincter ani interna dan dilakukan anastomosis coloanal pada
perineum
15
o Metode Duhamel: daerah ujung aganglionik ditinggalkan dan
bagian yang ganglionik ditarik ke bagian belakang ujung
daerah aganglioner. stapler GIA kemudian dimasukkan melalui
anus.
o Teknik Soave: pemotongan mukosa endorectal dengan bagian
distal aganglioner.
Setelah operasi pasien-pasien dengan penyakit hirschprung
biasanya berhasil baik, walaupun terkadang ada gangguan buang air besar.
Sehingga konstipasi adalah gejala tersering pada pascaoperasi.2,5
16
DAFTAR PUSTAKA
1. Lee S.L. Hirschsprung Disease. 2012, January 5th. [cited 2013, July 30th].
Available from: http://emedicine.medscape.com/article/178493-overview
2. Puri P. Chapter 26: Hirschsprung’s Disease. In: Puri P., Hollwarth M.E.,
editors. Pediatric Surgery. Germany: Springer-Verlag Berlin Heidelberg;
2006. Hal. 275 - 288
3. Arensman R.M. Chapter 61: Hirschsprung’s Disease. In: Arensman R.M.,
Bambini D.A., Almond P.S., editors. Pediatric Surgery. U.S.A.: Landes
Bioscience; 2000. Hal. 272 – 275.
4. Debas H.T. Gastrointestinal Surgery: Pathophysiology and Management.
U.S.A.: Springer-Verlag New York Inc.; 2004. Hal. 240 – 244.
5. Hayman P., Langer J.C., Anastas A.M., Robinstein K. What I need to
know about Hirschsprung Disease. 2013, July 10th. [cited 2013, july 30th].
Available from:
http://digestive.niddk.nih.gov/ddiseases/pubs/hirschsprungs_ez/
17