Upload
others
View
21
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
NILAI-NILAI PENDIDIKAN YANG TERKANDUNG DALAM AL-QUR’AN
SURAT AL-ANKABUT AYAT 16-24
Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat Memperoleh gelar Sarjana Pendidikan Islam (S.Pd.I)
Di Susun Oleh
Rahmat Hidayatullah 10501100198
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2010
ABSTAKSI
Rahmat Hidayatullah Nilai-nilai pendidikan yang terkandung dalam surat al-Ankabut ayat 16-24
Dasar ideal pendidikan Islam adalah Al-Qur’an. Kandungannya sangat luas
dan dalam, yang mendorong pada peningkatan kualitas kehidupan manusia ketingkat yang lebih baik dan sempurna. Artinya, seluruh ajaran Islam terkandung dalam Al-Qur’an pada dasarnya mengarahkan agar mendekatkan diri kepada Allah, dengan berbagai cara berbentuk aktivitas yang berguna bagi kehidupan manusia pada umumnya. Aspek pendidikan merupakan komponen yang utama dalam kehidupan manusia, yang telah tercakup pada ayat-ayat suci Al-Qur’an. Mengingat perjalanan hidup manusia dimuka bumi ini merupakan aktivitas pendidikan dan proses pengajaran berkesinambungan, dari sejarah Nabi diutus oleh Allah SWT untuk menjadi penyampai dan pendidik bagi umatnya agar mengajarkan bagaimana mengenal Allah.
Bahwasannya Al-Qur’an telah mengajarkan terjadinya kemajuan beragama melalui proses belajar, dan sangat menekankan pada pentingnya sesuatu proses belajar yang akan mengangkat derajat manusia. Al-Qur’an merupakan penyampaian berita kepada manusia agar terlaksana proses-proses yang baik dalam pembelajaran yang dilalui sehingga dapat mencapai keridhaan yang didambakan, jelas bahwa penuturan yang terkandung dalam al-Qur’an merupakan sarana pendidikan yang pasti serta akurat, sumber pengarahan dan wejangan mulai bagi kehidupan manusia.
Dalam penelitian ini penulis bertujuan ingin menjelaskan nilai-nilai pendidikan apa saja yang terkandung dalam surat al-Ankabut ayat 16 sampai 24. Adapun metode yang digunakan penulis dalam penulisan skripsi ini adalah metode analisis deskriptif, yaitu penulis menganalisis masalah yang akan dibahas dengan cara mengumpulkan data-data kepustakaan berupa ayat-ayat al-Qur’an yang berkaitan dengan apa yang akan ditafsirkan, hadits-hadits dan pendapat para mufassir. Kemudian menganalisis pendapat para mufassir, selanjutnya membuat kesimpulan.
Berdasarkan hasil penelitian, menunjukkan bahwa dalam surat al-Ankabut ayat 16 sampai 24 terdapat nilai-nilai pendidikan, yaitu nilai pendidikan tauhid yang pada intinya mengesakan Allah dalam zat maupun sifat, pendidikan kesabaran, yang mengajarkan betapa pentingnya kesabaran dalam kehidupan, pendidikan syukur, yang mengajarkan kita untuk selalu bersukur ketika dalam keadaan apapun, dan Allah akan menambahkan nikmat apabila kita selalu bersukur kepada-Nya, pendidikan belajar mengajar, suatu keharusan dilakukan oleh seorang muslim dalam rangka memanfaatkan potensi akal yang diberikan Allah SWT, dan Orang yang menuntut ilmu lalu mengajarkannya memiliki kedudukan yang sama dengan kebaikan orang yang jihad di medan perang melawan orang-orang kafir dan pendidikan iman kepada hari kebangkitan, Keimanan kepada Allah berkaitan erat dengan keimanan kepada hari kemudian (kehidupan setelah mati), keimanan kepada Allah tidak sempurna kecuali dengan keimanan kepada hari akhir, dengan beriman kepada hari akhir manusia akan sadar bahwa ada kehidupan setelah kematian yang di dalamnya terdapat balasan ketika manusia hidup di dunia.
i
i
KATA PENGANTAR
لحيما لرحمنا هللا بسمAlhamdulillah, puji dan syukur yang penulis panjatkan ke hadiarat Allah
SWT yang telah memberikan banyak ni’mat kapada penulis, sehingga penulis
dapat menyelesaikan skripsi ini. Salawat serta salam semoga selalu tercurah
kepada Nabi akhir zaman yaitu Nabi Muhammad SAW, keluarga, sahabat, dan
seluruh pengikutnya sampai akhir zaman.
Selama menyusun skripsi ini, tidak sedikit kesulitan dan hambatan yang
penulis alami. Namun, tidak sedikit pula pelajaran yang didapat, baik dengan
kesusahan maupun dengan kesenangan. Berkat kesungguhan hati, kerja keras, dan
motivasi, serta bantuan dari berbagai pihak, segala kesulitan dan hambatan
tersebut dapat di atasi. Untuk itu, pada kesempatan ini, penulis ingin
mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya dan penghargaan yang
setulusnya kepada kedua orang tua penulis, khususnya ibunda tercinta Hj. Siti
Jamilah yang dengan susah payah mengasuh dan mendidik penulis dengan penuh
kasih sayang dan kesabaran hingga dapat menyelesaikan perkuliahan. Kakak-
kakaku tercinta: Yoyoh Maswiroh, Ahmad Syahrullah, Lilis Muslihah, Ahmad
Syaifullah yang dengan penuh kasih sayang telah mendukung dan membantu
keberhasilan belajar penulis. Keponakan-keponakanku tersayang, Nurul Zahra,
Sarah Nur Rahmania, Bilqis Izzati, Najwa Aulia Syahmi, Kaila Aulia Syahmi,
Muhammad Reza, Nadiva Safa Salsabila, Habibi Qolbi yang telah mengisi hari-
hari penulis dengan kegembiraan dan kebahagiaan. Dan tidak lupa Nenek dan
Kakek tercinta almarhumah Hj Syami’nah dan almarhum H. Ilyas. Semoga
kesalahan dan dosa-dosa mereka diampuni Allah SWT.
Tak lupa penulis mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada:
1. Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta beserta stafnya.
2. Ketua dan Sekretaris Jurusan Pendidikan Agama Islam UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta
ii
iii
3. Prof. Dr. Rif’at Syauqi Nawawi, MA sebagai pembimbing yang telah
banyak menyisihkan waktu, tenaga, pikiran dan kesabaran dalam
memberikan bimbingan dan pengarahan dalam menyelesaikan skripsi ini.
4. Para Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, yang telah mendidik dan memberikan bekal ilmu
pengetahuan yang sangat berharga.
5. Pimpinan dan staf perpustakaan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan,
perpustakaan utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
6. Teman-teman di jurusan Pendidikan Agama Islam angkatan 2005/2006
7. Pimpinan pondok pesantren Daar El-Hikam Abi Bahruddin dan keluarga
yang telah memberikan banyak ilmu pengetahuan agama, mudah-mudahan
apa yang diberikan kepada penulis bermanfaat di dunia dan di akhirat.
8. Pimpinan pondok pesantren Al-Hidayah Basmol KH. Alawi Zein dan
keluarga.
9. Dewan guru pondok pesantren Al-Hidayah. KH. Ahmad Syarifuddin
Abdul Ghoni MA, KH. Ahmad Zawawi Mas’ud, KH. Ishak, KH Abdul
Rahman, KH Niswan Toyib, Alm KH. Hasyim Mas’ud, Alm KH Sofyan
Mas’ud, Alm KH Husaini. Yang telah banyak memberikan ilmu
pengetahuan agama kepada penulis.
10. Teman-teman karib-ku, Sofyan Amrullah, Andi Hastono, Abu Bulaini,
Ahmad Fatoni, Azis Rosdiansyah, Harid Isnaeni, Anang Lukman, Iwan
Wahyudin, Rahmat Hidayatullah TH, Chairul Malik dan teman-teman
yang tidak penulis sebutkan.
Akhirnya, hanya kepada Allah SWT jualah penulis berharap dan ber-doa
semoga amal baik mereka yang telah membantu dalam proses penyelesaian
skripsi ini mendapat balasan pahala yang berlipat ganda dari Allah SWT.
Amin ya Rabbal ‘alamin
Jakarta, 11 November 2010
Penulis
DAFTAR ISI
ABSTRAK...............................................................................................................i
KATA PENGANTAR............................................................................................ii
DAFTAR ISI..........................................................................................................iv
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ........................................................ 1
B. Identifikasi Masalah .............................................................. 5
C. Perumusan Masalah .............................................................. 5
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian .............................................. 5
E. Metode Penelitian.................................................................... 6
F. Sistematika Pembahasan.......................................................... 7
BAB II KAJIAN TEORI
A. Nilai-nilai Pendidikan Islam ................................................. 9
1. Pengertian Nilai............................................................... 10
2. Landasan Nilai Pendidikan.............................................. 11
B. Pengertian Pendidikan Islam ................................................. 13
C. Tujuan Pendidikan Islam....................................................... 15
D. Dasar-dasar Pendidikan Islam ............................................... 18
BAB III TAFSIR SURAT AL-ANKABUT AYAT 16-24
A. Teks Ayat dan Mufrodat
1.Teks Ayat Dan Terjemah ................................................... 22
iv
v
2. Tafsir Mufrodat ................................................................. 23
B. Tafsir Surat Al-Ankabut Ayat 16-24..................................... 25
BAB IV NILAI-NILAI PENDIDIKAN YANG TERKANDUNG
DALAM SURAT AL-ANKABUT AYAT 16 – 24
A. Nilai Pendidikan Tauhid......................................................... 52
1. Perintah Beribadah Hanya Kepada Allah......................... 58
2. Perintah Bertakwa Kepada Allah...................................... 60
B. Nilai Pendidikan Syukur......................................................... 63
C. Nilai Pendidikan Sabar............................................................ 69
D. Nilai Pendidikan Iman Kepada Hari Kebangkitan.................. 73
E. Nilai Pendidikan Kewajiban Belajar Dan Mengajar............... 79
1. Ayat Qauniyah Sebagia Sumber Ilmu................................. 83
2. Kedudukan Orang Yang Mengajarkan Ilmu...................... 84
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ........................................................................... 86
B. Saran-saran ............................................................................ 87
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Al-Qur’an adalah kitab suci yang diturunkan Allah untuk menjadi
pedoman bagi seluruh umat manusia, dengan segala petunjuknya yang lengkap,
meliputi seluruh aspek kehidupan yang bersifat universal. Nabi Muhammad Saw
sebagai pendidik pertama (pada masa awal pertumbuhan Islam) telah menjadikan
al-Qur’an sebagai dasar utama dalam pendidikan Islam. Bahkan lebih dari itu,
kedudukan al-Qur’an pun telah menjadi sumber pokok dalam pendidikan Islam.
Al-Qur’an sebagai kitab petunjuk serta pedoman hidup muslim, memuat
begitu banyak nilai serta kandungannya yang luas, akan sangat berguna dalam
setiap segi kehidupan secara keseluruhan. Begitu banyak sendi-sendi kehidupan
ini yang tercakup dalam ayat-ayatnya baik yang tersirat maupun yang tersurat,
baik itu mulai dari pri-hidup kemanusiaan sampai keberbagai bidang dan ruang
lingkup ilmu pengetahuan. Berbagai macam ilmu pengetahuan disinyalir banyak
terkandung dalam al-Qur’an. Seperti halnya ketika al-Qur’an menerangkan
tentang masalah Sosialogi, Astronomi, Biologi, Sejarah, Humaniora, Seksologi,
Astronomi dan Psikologi, hal tersebut tentunya merupakan sebagian kecil diantara
ilmu-ilmu yang disinggung dalam al-Qur’an.
Di antara fungsi al-Quran adalah “sebagai petunjuk (huda), penerang jalan
hidup (bayyinat), pembeda antara yang benar dan yang salah (furqan), penyembuh
penyakit hati (syifa), nasihat atau petuah (mau’idzah) dan sumber informasi
1
2
(bayan)”.1 Al-qur’an tidak hanya sebagai petunjuk bagi umat tertentu dan untuk
periode waktu tertentu, melainkan menjadi petunjuk universal dan sepanjang
zaman. al-Qur’an eksis bagi setiap zaman dan tempat. Petunjuknya sangat luas
seperti luasnya umat manusia dan meliputi segala aspek kehidupannya.
Quraish Syihab dalam bukunya Wawasan al-Qur’an mengemukakan
bahwa diantara tujuan diturunkannya al-Qur’an adalah :
1. Untuk membersihkan akal dan menyucikan jiwa dari segala bentuk syirik serta memantapkan keyakinan tentang ke-Esaan yang sempurna bagi Tuhan seru sekalian alam, keyakinan yang tidak semata-semata sebagai konsep teologis, tetapi falsafah hidup dan kehidupan umat manusia.
2. Untuk mengajarkan kepada kemanusiaan yang adil dan beradab. Yakni bahwa manusia merupakan suatu umat yang wajib bekerja sama dalam pendidikan kepada Allah dan pelaksanaan tugas sebagai khalifah di bumi. Selain itu juga bertujuan untuk menjelaskan peranan ilmu dan teknologi, guna menciptakan suatu peradaban yang sejalan dengan jati diri manusia, dengan panduan Nur Ilahi,
3. Untuk menciptakan persatuan dan kesatuan, bukan saja antar suku atau bangsa, tetapi kesatuan alam semesta, kesatuan kehidupan dunia dan akhirat.
4. Untuk mengajak manusia berfikir dan bekerja sama dalam bidang kehidupan bermasyarakat dan bernegara melalui musyawarah dan mufakat yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan.
5. Untuk membasmi kemiskinan material dan spiritual, kebodohan, penyakit, penderitaan hidup, serta pemerasan manusia, dalam bidang sosial, ekonomi, politik, dan juga agama.2
Demikian sebagian tujuan kehadiran al-Qur’an, tujuan yang terpadu dan
menyeluruh, bukan sekedar mewajibkan pendekatan yang relegius yang bersifat
ritual atau mistik, yang dapat menimbulkan formalitas dan kegersangan. al-Qur’an
adalah petunjuk-Nya yang bila dipelajari akan membantu kita menemukan nilai-
nilai yang dapat dijadikan bagi penyelesaian berbagai problem hidup. Apabila
dihayati dan diamalkan akan menjadikan pikiran, rasa, dan karsa kita mengarah
kepada realitas keimanan yang dibutuhkan bagi stabilitas dan ketentraman hidup
pribadi dan masyarakat.
1 Said Agil Husin al-Munawar, Aktualisasi Nilai-Nilai Qur’ani Dalm Sistem Pendidikan
Islam, (Ciputat : PT Ciputat Press, 2005), hal. 4 2 M. Quraish Syihab, Wawasan Al-Qur’an, (Bandung : Mizan, 2000), cet. Ke-10, h. 12
3
Dasar ideal pendidikan Islam adalah al-Qur’an. Kandungannya sangat luas
dan dalam, yang mendorong pada peningkatan kualitas kehidupan manusia
ketingkat yang lebih baik dan sempurna. Artinya, seluruh ajaran Islam terkandung
dalam al-Qur’an pada dasarnya mengarahkan agar mendekatkan diri kepada Allah,
dengan berbagai cara berbentuk aktivitas yang berguna bagi kehidupan manusia
pada umumnya. Aspek pendidikan merupakan komponen yang utama dalam
kehidupan manusia, yang telah tercakup pada ayat-ayat suci al-Qur’an. Mengingat
perjalanan hidup manusia dimuka bumi ini merupakan aktivitas pendidikan dan
proses pengajaran berkesinambungan, dari sejarah Nabi diutus oleh Allah SWT
untuk menjadi penyampai dan pendidik bagi umatnya agar mengajarkan
bagaimana mengenal Allah.
Bahwasannya al-Qur’an telah mengajarkan terjadinya kemajuan beragama
melalui proses belajar, dan sangat menekankan pada pentingnya sesuatu proses
belajar yang akan mengangkat derajat manusia. 3 “al-Qur’an merupakan
penyampaian berita kepada manusia agar terlaksana proses-proses yang baik
dalam pembelajaran yang dilalui sehingga dapat mencapai keridhaan yang
didambakan, jelas bahwa penuturan yang terkandung dalam al-Qur’an merupakan
sarana pendidikan yang pasti serta akurat, sumber pengarahan dan wejangan mulai
bagi kehidupan manusia”.4
Allah menurunkan al-Qur’an untuk menjadi bahan yang harus dipelajari
dan diamalkan manusia. Kalau seseorang banyak belajar serta tekun untuk
mempelajari isi kandungan al-Qur’an, maka aktivitas yang dilakukannya pun akan
senantisa memicu dan mendorong terhadap perkembangan dan kemajuan ajaran
agama Islam. Sebab kemajuan beragama tak akan lepas serta terjadi melalui
proses belajar. Oleh karena itu, pentingnya preses belajar menjadi modal dasar
dalam upaya meningkatkan derajat manusia.
Sejarah penafsiran al-Qur’an dimulai dengan penafsiran ayat-ayatnya
sesuai dengan hadis-hadis Rasulullah atau pendapat para sahabat. Penafsiran
3 Fazlurrahman, al-Qur’an Sunber Ilmu Pengetahuan, (Jakarta : Rineka Cipta, 1992), cet.
Ke-2, h. 39 4 Syekh Muhammad al-Ghazali, Induk Al-Qur’an, (Jakarta : Cendikia Centra
Muslim,2003), cet. I,h. 111
4
demikian kemudian berkembang sehingga tidak disadari bercampurlah hadis-
hadis shahih dengan isroiliyyat (kisah-kisah yang bersumber dari ahli kitab yang
umumnya tidak sejalan dengan kesucian agama atau akal sehat), ini
mengakibatkan sebagian ulama menolak penafsiran yang menggambarkan
pendapat-pendapat penulisnya, atau menyatukan pendapat-pendapat tersebut
dengan hadis-hadis atau pendapat-pendapat sahabat yang dianggap benar.5
Sebagai upaya dalam memahami maksud serta tujuan suatu ayat dalam al-
Qur’an, maka disitulah peran tafsir yang sebenarnya, yang tentunya telah
menyakini perkembangan yang bervariasi. Secara umum, al-Qur’an banyak
memuat ayat-ayat yang menuntun manusia dalam usaha dan penghidupannya
supaya melahirkan generasi yang lebih baik. Hal-hal yang merupakan tuntunan
bagi manusia untuk senantiasa meningkatkan iman dan takwa, mengembangkan
wawasan keagamaan, ataupun tuntunan untuk membentuk kepribadian manusia
seutuhnya, itu semua merupakan hal-hal yang tentunya hanya akan dapat dicapai
dengan proses pendidikan.
Dalam al-Qur’an banyak ayat yang membicarakan tentang masalah tauhid,
di antaranya adalah surat al-ankabut ayat 16-24, yang menerangkan tentang
perjuangan Khalilullah (kekasih) Allah yaitu Nabi Ibrahim a.s yang mengajak
kaumnya untuk mengesakan Allah dalam ibadah dan membersihkan diri dari
segala bentuk kemusyrikan, agar manusia menyembah kepada Allah saja dan
bertakwa kepada Allah SWT, itu karena rusaknya kepercayaan mereka selama ini
yaitu dengan menyembah berhala-berhala selain Allah, yang tidak lain adalah
hasil buatan tangan mereka sendiri karena mereka membuat sesuai dengan
dorongan diri mereka tanpa ada dasar dan kaidah yang menjadi pijakan mereka.
Tentunya masih banyak nilai-nilai pendidikan yang terdapat dalam surat
al-ankabut yang tidak bisa dijelaskan dalam bab I ini. Untuk lebih jelas lagi
tentang nilai-nilai pendidikan yang terkandung dalam surat al-ankabut akan
dibahas pada bab IV.
Bertitik tolak pada uraian sebagaiman telah tersebut di atas, penulis merasa
tertarik untuk menyusun skripsi ini dalam kajian tafsir atas ayat pendidikan
5 Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an,.. hal. 46-47
5
dengan judul ”NILAI-NILAI PENDIDIKAN YANG TERKANDUNG
DALAM AL-QUR’AN SURAT AL-ANKABUT AYAT 16-24”
Alasan penulis memilih ayat-ayat pendidikan pada surat al-Ankabut
karena di dalamnya memuat nilai-nilai pendidikan dan pengajaran yang menuntut
adanya usaha pemahaman secara komprehensif untuk dapat dimaknai dari nilai-
nilai pendidikan.
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka penulis mengidentifikasi
masalah yang berkaitan dengan judul yang akan dibahas dalam tulisan ini yaitu:
“nilai-nilai pendidikan yang terkandung dalam surat al-Ankabut ayat 16-24”
C. Perumusan Masalah
Untuk memudahkan dalam perumusan masalah penulisan skripsi ini,
penulis bertitik tolak dari identifikasi masalah di atas. Maka penulis dapat
merumuskan masalah yaitu: “nilai-nilai pendidikan apa saja yang terkandung
dalam surat al-Ankabut ayat 16-24?”
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan utama dari penelitian penulisan skripsi ini adalah penulis ingin
menjelaskan nilai-nilai pendidikan yang terkandung dalam al-Qur’an surat al-
Ankabut ayat 16-24
2. Manfaat Penelitian
a. Mengembangkan khazanah pengetahuan keislaman di lingkungan institusi
pendidikan tinggi Islam.
b. Memberi sumbangsih pemikiran tentang konsep dan teoritis tentang
pendidikan dalam al-Qur’an, serta menambah khazanah kepustakaan
dalam meneliti dan memahami al-Qur’an sebagai petunjuk umat.
c. Mengetahui bagaiman pandangan al-Qur’an terhadap nilai pendidikan
yang berlaku dalam kehidupan sehari-hari.
6
E. Metode Penelitian
1. Sumber Bahan
Sumber bahan kajian dalam penulisan ini menggunakan data informasi
yang bersifat literatur kepustakaan, karena itu metode penulisan yang dipilih
adalah library reseach, yang bersumber pada al-Qur’an al-Karim dan terjemah
kitab-kitab tafsir (tafsir al-Maragi, al-Azhar, fi Zilalil Qur’an dan tafsir al-Misbah),
buku pendidikan khususnya buku-buku pendidikan Islam, skripsi, majalah dan
sumber lainnya yang berhubungan dengan pembahasan.
2. Teknik Pengumpulan Data
Teknik Pengumpulan data yang digunakan dalam penulisan ini adalah
study literatur (book survey), yakni mengumpulkan bahan-bahan yang terkait
dengan masalah pendidikan, kemudian kitab-kitab tafsir yang pembahasannya
berkaitan dengan masalah yang akan dikaji. Adapun langkah-langkah yang akan
ditempuh dalam teknik pemgumpulan data ini ialah:
a. Mengumpulkan data-data yang berkaitan dengan masalah yang akan
diteliti, dengan mengambil dari beberapa sumber buku yang saling
berhubungan.
b. Menganalisis data-data dari sumber tersebut, yakni dengan cara
mengelompokan data-data berdasarkan jenisnya, yaitu primer (sumber
pokok) yaitu tafsir al-misbah, tafsir al-maragi, tafsir fi zilalil al-quran,
tafsir al-azhar dan sekunder (sumber umum) yaitu buku-buku pendidikan
Islam dan sumber-sumber lain yang ada kaitannya dengan pokok
pembahasan.
c. Wawancara dengan Dr. Hj. Romlah Askar. MA, dosen Fakultas
Ushuluddin dan Filsafat Universitas Islam Negeri Jakarta. Hasil
wawancara terdapat pada bab IV.
7
3. Metode Penelitian
Adapun metode yang digunakan penulis dalam penulisan skripsi ini adalah
metode analisis deskriptif, yaitu penulis menganalisis masalah yang akan dibahas
dengan cara mengumpulkan data-data kepustakaan berupa ayat-ayat al-Qur’an
yang berkaitan dengan apa yang akan ditafsirkan, hadits-hadits dan pendapat para
mufassir. Kemudian menganalisis pendapat para mufassir, selanjutnya membuat
kesimpulan.
4. Teknik Penulisan
Adapun teknik penulisan yang digunakan dalam penulisan skripsi ini ialah
dengan mengacu pada pedoman penulisan skripsi Fakultas Ilmu Tarbiyah dan
Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2007
F. Sistematika Pembahasan
Agar karya ilmiah ini tersusun dengan rapih dan sistematis, maka penulis
membagi pembahasan dalam lima bab yang secara garis besar adalah sebagai
berikut:
BAB I PENDAHULUAN
Dalam bab ini akan diuraikan mengenai latar belakang masalah,
perumusan dan pembatasan masalah, tujuan dan manfaat penelitian,
metode pembahasan dan sistematika pembahasan.
BAB II KAJIAN TEORI
Dalam bab ini penulis akan menjelaskan tentang pengertian pendidikan
Islam, tujuan pendidikan Islam, dasar-dasar pendidikan Islam dan
nilai-nilai pendidikan islam.
BAB III TAFSIR SURAT AL-ANKABUT
Dalam bab ini akan di kemukakan teks ayat dan terjemah, tafsir
mufrodat serta tafsiran surat al-Ankabut ayat 16-24.
8
BAB IV NILAI-NILAI PENDIDIKAN YANG TERKANDUNG DALAM
SURAT AL-ANKABUT AYAT 16-24
Dalam bab ini penulis akan menjelaskan tentang nilai pendidikan
tauhid, nilai pendidikan syukur, nilai pendidikan sabar, nilai
pendidikan percaya kepada hari kebangkitan dan nilai pendidikan
kewajiban belajar mengajar.
BAB V PENUTUP
Pada bab terakhir ini akan diuraikan tentang kesimpulan dan saran-
saran.
BAB II KAJIAN TEORI
A. Nilai-Nilai Pendidikan Islam
Kehidupan manusia tidak terlepas dari nilai dan nilai itu selanjutnya
diinstitusikan. Institusional nilai yang terbaik adalah melalui upaya pendidikan.
Pandangan Freeman But dalam bukunya Cultural History Of Western Education
yang dikutip Muhaimin dan Abdul Mujib menyatakan bahwa “hakikat pendidikan
adalah proses transformasi dan internalisasi nilai. Proses pembiasaan terhadap
nilai, proses rekonstruksi nilai serta proses penyesuaian terhadap nilai”.1
Lebih dari itu fungsi pendidikan Islam adalah pewarisan dan
pengembangan nilai-nilai dienul Islam serta memenuhi aspirasi masyarakat dan
kebutuhan tenaga disemua tingkat dan bidang pembangunan bagi terwujudnya
kesejahteraan masyarakat. Nilai pendidikan Islam perlu ditanamkan pada anak
sejak kecil agar mengetahui nilai-nilai agama dalam kehidupannya.
Dalam pendidikan Islam terdapat bermacam-macam nilai Islam yang
mendukung dalam pelaksanaan pendidikan bahkan menjadi suatui rangkaian atau
sistem didalamnya. Nilai tersebut menjadi dasar pengembangan jiwa anak
sehingga bisa memberi out put bagi pendidikan yang sesuai dengan harapan
masyarakat luas. Dengan banyaknya nilai-nilai Islam yang terdapat dalam
pendidikan Islam, maka penulis mencoba membatasi bahasan dari penulisan
skripsi ini dan membatasi nilai-nilai pendidikan Islam dengan nilai pendidikan
tauhid, nilai pendidikan jihad, nilai pendidikan sabar nilai pendidikan percaya atau
1 Muhaimin dan Abdul Mujib, Pemikiran Pendidikan Islam, (bandung: Trigenda Karya, 1993), hlm. 127
9
10
iman kepada hari kebangkitan dan nilai pendidikan larangan putus asa dari rahmat
Allah.
1. Pengertian Nilai
Menurut bahasa nilai artinya “harga hal-hal yang penting atau berguna bagi
kemanusiaan sesuatu yang menyempurnakan manusia sesuai dengan
hakikatnya”.2
Secara filosofis nilai sangat terkait dengan masalah etika, etika juga sering
disebut dengan filsafat nilai yang mengkaji nilai-nilai moral sebagai tolok ukur
tindakan dan perilaku manusia dalam berbagai aspek kehidupannya. Sumber-
sumber etika bisa merupakan hasil pemikiran, adat istiadat, atau tradisi, ideologi
bahkan dari agama. Dalam konteks etika pendidikan Islam, maka sumber etika
dan nilai-nilai yang paling shohih adalah al-Qur’an dan sunnah Nabi saw, yang
kemudian dikembangkan dengan hasil ijtihad para ulama. Nilai-nilai yang
bersumber kepada adat istiadat atau tradisi dan ideologi sangat rentan dan
situasional, sedangkan nilai-nilai al-Qur’an, yaitu “nilai-nilai yang bersumber
kepada Al-Qur’an adalah kuat, karena ajaran al-Qur’an bersifat mutlak dan
universal”.3
Selanjutnya, di dalam Encyclopedi Britannaica sebagaimana dikutip oleh M.
Noor Syam dalam bukunya, ”nilai ialah suatu penetapan atau suatu kualitas suatu
objek yang menyangkut suatu jenis apresiasi atau minat”.4
Menurut pandangan idealisme para pengikut Hegel (hegelian) sebagaimana
dikutip Noor Syam, bahwa “nilai ialah suatu yang bersifat normatif dan objektif,
berlaku umum. Bahkan nilai itu bersifat idealisme, cita-cita tiap pribadi yang
mengerti dan menyadarinya, nilai itu menjadi norma, ukuran untuk suatu tindakan
seseorang apakah itu baik, buruk dan sebagainya”.5 Lebih lanjut ditegaskan
2 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta : Balai
Pustaka, 2002), edisi ke-3, hal. 783 3 Said Agil Husin Al-Munawwar, Aktualisasi Nilai-Nilai Qur’ani Dalam System
Pendidikan Islam, (Ciputat : PT. Ciputat Press, 2005), hal. 3 4 M. Noor Syam, Filsafat Pendidikan Dan Dasar Filsafat Pendidikan Pancasila,
(Surabaya : Usaha Nasional, 1988), cet. IV, hal. 133 5 Noor Syam, felsafat pendidikan…, hal. 135
11
bahwa, nilai-nilai tidak hanya menurut pikiran dan keinginan manusia secara
subjektif. Nilai-nilai itu besifat objektif, universal, independen dalam arti bebas
dari pengaruh rasio dan keinginan manusia secara individual.
Nilai bukan semata-mata untuk memenuhi dorongan intelek dan keinginan
manusia. Nilai justru berfungsi untuk membimbing dan membina manusia supaya
menjadi lebih luhur, lebih matang sesuai dengan martabat human dignity,
sedangkan human dignity ini ialah tujuan itu sendiri, tujuan dan cita-cita manusia.
Berdasarkan pada pendapat serta pengertian sebagaimana tersebut di atas,
maka penulis dapat menyimpulkan bahwa nilai ialah suatu hal yang bersifat
normatif dan objektif, sebagai ukuran atas suatu tindakan yang menjadi norma
yang akan membimbing dan membina manusia supaya menjadi lebih luhur,
berguna dan bermartabat dalam kehidupannya.
2. Landasan Nilai Pendidikan Islam
Pendidikan Islam sangat memperhatikan penataaan individual dan sosial
yang membawa penganutnya pada pengaplikasian Islam dan ajaran-ajarannya
kedalam tingkah laku sehari-hari. Karena itu, keberadaan sumber dan landasan
pendidikan Islam harus sama dengan sumber islam itu sendiri, yaitu al-Quran dan
As-Sunnah.
Pandangan hidup yang mendasari seluruh kegiatan pendidikan Islam ialah
pandangan hidup muslim yang merupakan nilai-nilai luhur yang bersifat universal
yakni al-Qur’an dan as-Sunnah yang shahih juga pendapat para sahabat dan ulama
sebagai tambahan. Hal ini senada dengan pendapat Ahmad D. Marimba yang
menjelaskan bahwa “yang menjadi landasan atau dasar pendidikan diibaratkan
sebagai sebuah bangunan sehingga isi al-Qur’an dan al-Hadits menjadi pondamen,
karena menjadi sumber kekuatan dan keteguhan tetap berdirinya pendidikan”.6
6 Ahmad D. Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan (Bandung : Al Ma’arif, 1989) h.19
12
A. Al-Qur’an
Kedudukan al-Qur’an sebagai sumber dapat dilihat dari kandungan surat
al-Baqarah ayat 2 :
☺ )
)٢:٢/بقرةالArtinya: Kitab (Al Quran) Ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa. (QS. Al-Baqarah [2]: 2)
Al-Qur’an adalah petunjuk-Nya yang bila dipalajari akan membantu
menemukan nilai-nilai yang dapat dijadikan pedoman berbagai problem
hidup.apabila dihayati dan diamalkan menjadi pikiran rasa dan karsa mengarah
pada realitas keimanan yang dibutuhkan bagi stabilitas dan ketentraman hidup
pribadi dan masyarakat.
B. As-Sunnah
Setelah al-Qur’an, pendidikan Islam menjadikan as-Sunnah sebagai dasar
dan sumber kurikulumnya. Secara harfiah sunnah berarti “jalan, metode dan
program. Secara istilah sunnah adalah perkara yang dijelaskan melalui sanad yang
shahih baik itu berupa perkataan, perbuatan atau sifat Nabi Muhammad Saw”.7
Sebagaimana al-Qur’an sunah berisi petunjuk-petunjuk untuk
kemaslahatan manusia dalam segala aspeknya yang membina manusia menjadi
muslim yang bertaqwa. Dalam dunia pendidikan sunah memiliki dua faedah yang
sangat besar, yaitu:
1. Menjelaskan sistem pendidikan Islam yang terdapat dalam al- Qur’an atau
menerangkan hal-hal yang tidak terdapat didalamnya.
2. Menyimpulkan metode pendidikan dari kehidupan Rasulullah Saw
bersama anak-anaknya dan penanaman keimanan kedalam jiwa yang
dilakukannya.8
7 Abdurrahman An Nahlawi, Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah dan masyarakat,
(Jakarta : Gema Insani Press, 1995), hlm. 31 8 Abdurrahman An Nahlawi, Prinsip-Prinsip dan Metode Pendidikan Islam, (Bandung:
Diponegoro, 1992), hlm. 47.
13
B. Pengertian Pendidikan Islam.
Kata pendidikan, secara bahasa (etimologi), berasal dari bahasa Yunani,
yaitu kata majemuk “paedagogik”. Kata tersebut terdiri dari dua kata, yaitu kata
paes dan ago. Paes berarti anak, sedangkan ago berarti aku membimbing. Kata
paedagogike ini bisa diartikan secara simbolik, hingga kemudian memiliki arti
sebagai perbuatan membimbing anak didik. Dalam hal ini membimbing menjadi
kegiatan inti dalam proses pendidikan.9 Dengan demikian berarti bahwa,
pendidikan adalah bimbingan untuk mencapai kedewasaan anak didik yang
kemudian pada suatu saat tertentu anak didik akan kembali ke dalam masyarakat.
Sedangkan secara istilah (terminologi), pendidikan mempunyai definisi
yang beragam, antara lain :
Dalam Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional pasal 1, disebutkan
bahwa : “pendidikan adalah usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik melalui
kegiatan bimbingan, pengajaran, dan atau latihan bagi peranannya dimasa yang
akan datang”.10
Menurut Brubacher, sebagaimana yang dikutip oleh M. Noor Syam dalam
buku pengantar dasar-dasar kependidikan dinyatakan bahwa, “pendidikan
diartikan sebagai proses timbal balik dari tiap pribadi manusia dalam
menyesuaikan dirinya dengan alam, dengan teman dan dengan alam semesta”.11
Berdasarkan keseluruhan pengertian di atas, dapat ditarik kesimpulan
bahwa pendidikan adalah usaha sadar yang dilakukan oleh si pendidik untuk
perkembangan jasmani dan rohani peserta didik melalui kegiatan bimbingan,
pengajaran, dan atau latihan menuju terbentuknya kepribadian utama bagi
peranannya yang akan datang dan agar menyesuaikan diri dengan alam semesta.
Dengan demikian yang menjadi titik tekan dalam proses pendidikan
tersebut adalah kegiatan bimbingan, pengajaran dan latihan untuk
mengembangkan potensi personal anak didik, sehingga anak didik benar-benar
9 Abu Ahmadi, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta, Rineka Cipta, 1991), h.70 10 Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, Dan Peraturan Pelaksanaannya, (Jakarta
: Sinar Grafika, 1995),cet.ke-1, h. 2 11 M. Noor Syam, Pengantar Dasar-Dasar Kependidikan, (Surabaya : Usaha Nasional,
1988), cet. Ke-3, h. 6
14
bisa menjadi manusia dewasa berdasarkan potensi dirinya sendiri (menjadi diri
sendiri) dan penuh kemandirian serta tanggung jawab.
Dari definisi di atas, maka kita dapat mengambil kesimpulan bahwa, nilai-
nilai pendidikan atau nilai-nilai dalam pendidikan adalah sifat-sifat atau hal-hal
yang penting atau berguna bagi manusia untuk perkembangan jasmani dan rohani
melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, dan atau latihan yang dapat
mengarahkan potensi personal manusia tersebut menuju terbentuknya kepribadian
utama bagi peranannya yang akan datang dalam menyesuaikan diri dengan alam,
teman dan alam semesta.
Definisi pendidikan secara umum di atas telah mendapatkan atribut Islam
sehingga menjadi pendidikan Islam. Pendidikan yang sebagaimana telah
disebutkan definisinya dengan pendidikan Islam mempunyai perbedaan.
Perbedaan tersebut antara lain pada tujuan pendidikan secara khusus, yaitu
pendidikan pada umumnya bertujuan kebahagiaan dunia dan akhirat.
Pendidikan Islam adalah suatu bimbingan jasmani dan rohani berdasarkan
hukum-hukum agama Islam, menuju kepada terbentuknya kepribadian utama.
Kepribadian utama menurut Islam tersebut adalah peribadi yang memiliki nilai-
nilai agama Islam, bertanggung jawab dan sejalan dengan pedoman al-Qur’an
serta hadis. Demikian Ahmad D. Marimba mendefinisikan pendidikan Islam. Dan
tampaknya dalam proses pendidikan Islam ini ia menekankan pada aspek
pembentukan akhlak.
Zuhairini dalam bukunya filsafat pendidikan Islam menyatakan bahwa
pendidikan Islam adalah “usaha yang diarahkan pada pembentukan kepribadian
seseorang yang sesuai dengan ajaran Islam atau suatu upaya dengan ajaran Islam
dapat berfikir, membuat suatu keputusan dan bertindak berdasarkan nilai-nilai
Islam serta bertanggung jawab sesuai dengan nilai-nilai Islam pula”.12
M. Arifin berpendapat, “pendidikan Islam adalah sistem pendidikan yang
dapat memberikan kemampuan seseoranguntuk memimpin kehidupannya sesuai
12 Zuhairini, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta : Bumi Aksara, 1995), h. 290
15
dengan cita-cita Islam karena nilai-nilai Islam telah menjiwai dan mewarnai corak
kepribadiannya”.13
Sedangkan bagi Ahmad Tafsir, “pendidikan Islam ialah bimbingan yang
diberikan oleh seseorang kepada seseorang agar ia berkembang secara maksimal
sesuai dengan ajaran Islam”.14 Atau dengan kata lain bimbingan terhadap
seseorang agar ia menjadi muslim semaksimal mungkin.
Berdasarkan definisi-definisi di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa
pendidikan Islam adalah bimbingan terhadap jasmani maupun rohani seseorang
sebagai usaha yang diarahkan kepada pembentukan kepribadian yang utama agar
dapat berfikir, membuat suatu keputusan dan bertindak serta bertanggung jawab
berdasarkan nilai-nilai Islam sehingga dapat berkembang secara maksimal dan
berkemampuan menjalankan kehidupannya sesuai dengan cita-cita Islam.
C.Tujuan Pendidikan Islam.
Tujuan pendidikan agama Islam secara umum adalah ”meningkatkan
keimanan, pemahaman, pengetahuan, pengalaman peserta didik tentang agama
Islam. Sehingga menjadi manusia muslim yang beriman dan bertakwa kepada
Allah swt serta berakhlak mulia dan berguna bagi masyarakat, agama dan
negara”.15
Secara khusus pendidikan Islam sesuai dengan falsafah dan pandangan
hidup yang telah digariskan oleh al-qur’an, paling tidak mempunyai dua tujuan:
1. Tujuan keagamaan, maksudnya ialah beramal untuk akhirat, sehingga ia
menemui Tuhannya dan telah menunaikan hak-hak Allah SWT yang
diwajibkannya.
2. Tujuan ilmiah, maksudnya ialah apa yang diungkapkan oleh pendidikan
modern dengan tujuan kemanfaatan atau persiapan untuk hidup.16
13 M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta :Bumi Aksara, 2000), h. 10 14 Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan Dalam Perspekti Islam, (Bandung PT. Remaja Rosda
Karya, 2001), cet. Ke-4, h. 32 15 Muhaimin, Paradigma Pendidikan Islam, (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2004)cet
ke-3, h. 79 16 Departemen Agama RI, Kendali Mutu Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: Direktorat
Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, 2001), h. 3
16
Zuhairini mengatakan bahwa tujuan umum pendidikan agama islam adalah
“membimbing anak agar mereka menjadi orang muslim sejati, beriman teguh,
beramal saleh serta berakhlak mulia dan berguna bagi masyarakat, agama dan
negara”.17
Menurut al-Syaibani, beliau menjabarkan tujuan pendidikan Islam menjadi
tiga tujuan, yaitu:
1. Tujuan yang berkaitan dengan individu, mencakup perubahan yang berupa pengetahuan, tingkah laku, jasmani dan rohani, dan kemampuan-kemampuan yang harus dimiliki untuk hidup di dunia dan di akhirat.
2. Tujuan yang berkaitan dengan masyarakat, mencakup tingkah laku masyarakat, tingkah laku individu dalam masyarakat, perubahan dalam kehidupan masyarakat, memperkaya pengalaman masyarakat.
3. Tujuan profesional yang berkaitan dengan pendidikan dan pengajaran sebagai ilmu, sebagai seni, sebagai profesi, dan sebagai kegiatan masyarakat.18
Tujuan ini memiliki makna, bahwa upaya pendidikan Islam adalah
pembinaan pribadi muslim sejati yang mengabdi dan merealisasikan “kehendak”
Tuhan yang sesuai dengan syari’at Islam, serta mengisi tugas kehidupannya di
dunia dan menjadikan kehidupan akhirat sebagai tujuan utama pendidikannya.
Secara praktis Muhammad Athiyah al-Abrasyi, menyimpulkan bahwa tujuan
pendidikan Islam terdiri atas 5 sasaran, yaitu :
1. Membentuk akhlak mulia
2. Mempersiapkan kehidupan dunia dan akhirat
3. Persiapan untuk mencari rizki dan memelihara segi kemanfaatannya
4. Menumbuhkan semangat ilmiah dikalangan peserta didik
5. Mempersiapkan tenaga profesional yang terampil.19
Imam al-Ghazali, sebagaiman dikutip Zainuddin dalam buku seluk-beluk
pendidikan dari al-ghazali, memandang dan membagi tujuan-tujuan pendidikan
menjadi tiga aspek, yaitu
17 Zuhairini, Metodik Khusus Pendidikan Agama, (Surabaya: Usaha Nasional, 1981), h.
45 18 Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam, (Bandung: Rosda Karya,
2004), h. 49 19 Muhammad Athiyah al-abrasi, Dasar-Dasar Pokok Pendidikan Islam, Penerjemah.
Bustami A. gain dan Djohal Bahry, (Jakarta : Bulan Bintang, 1984), h. 1-4
17
1. Aspek keilmuan, yang bertujuan agar manusia senang berfikir, menggalakkan penelitian dan mengembangkan ilmu pengetahuan sehingga menjadi manusia yang cerdas dan terampil.
2. Aspek kerohanian, yang menghantarkan manusia agar berakhlak mulia dan kepribadian yang kuat.
3. Aspek ke-Tuhanan, yang mengantarkan manusia beragama agar dapat mencapai kebahagiaan di dunia dan di akhirat.20
Abdullah al-Misri secara secara lebih spesifik memberikan poin-poin sebagai
tujuan pendidikan Islam :
1. Memperkenalkan kepada generasi muda tentang aqidah Islam, dasar ibadah dan pelaksanaannya dengan benar sehingga mereka dapat menghormati agamanya sendiri.
2. Menumbuhkan kesadaran agama yang benar kepada diri seseorang mengenai agama termasuk prinsip-prinsip dan dasar-dasar akhlak yang mulia.
3. Menanamkan keimanan kepada Allah, malaikat, rasul-rasul, kitab-kitab dan hari akhir berdasarkan pada kesadaran yang benar.
4. Menumbuhkan minat generasi muda untuk menambah pengetahuan dalam adab dan pengetahuan keagamaan dan untuk mengikuti hukum-hukum agama dengan kecintaan dan kerelaan.
5. Menanamkan rasa cinta dan penghargaan pada al-qur’an dengan membacanya secara baik, memahaminya, dan mengamalkan ajaran-ajarannya.
6. Menumbuhkan rasa bangga pada sejarah dan kebudayaan islam dan syuhada serta mengikuti jejak mereka.
7. Menumbuhkan rasa senang, optimis, kepercayaan diri, tanggung jawab, menghargai kewajiban, tolong menolong atas kebaikan dan takwa, kasih sayang, cinta kebaikan, sabar, berjuang untuk kebaikan, memgang teguh prinsip, berkorban untuk islam dan tanah air, serta siap untuk membelanya.
8. Mendidika naluri, motivasi, dan keinginan generasi muda serta menguatkannya dan nilai-nilai, membiasakan mereka menahan emosi dan menyuburkan motivasinya, serta mengajarkan adab sopan santun.
9. Menanamkan iman yang kokoh kepada Allah, semangat keagamaan dan akhlak pada diri mereka. Serta menanamkan rasa cinta, zikir, takwa dan takut kepada Allah
10. Membersihkan hati mereka dari rasa dengki, benci kekerasan, tipuan, khianat, nifak, ragu, perpecahan dan perselisihan.21
20 Zainuddin, Seluk Beluk Pendidikan dari al-Ghazali, (Jakarta: Bumi Aksara, 1991), h. 21 Abdullah al-Misri, Lamhah Fi Wasail At-Tarbiyah Al-Islamiyah Wa Gayatuha, (Beirut
: Daar al-fikri), h. 245
18
Dalam hal ini Abuddin Nata mencoba memberikan cirri-ciri tujuan pendidikan
Islam. Antara lain adalah :
1. Mengarahkan manusia agar mejadi khalifah Tuhan di muka bumi ini dengan sebaik-baiknya, yaitu dengan melaksanakan tugas-tugas kemakmuran dan mengolah bumi sesuai dengan kehendaknya.
2. Mengarahkan manusia agar setiap pelaksanaan tugas kekhalifahannya dilaksakan dalam rangka beribadah kepada Allah sehingga tugas tersebut terasa ringan dilaksanakan.
3. Mengarahkan manusia agar berakhlak mulia sehingga fungsi kekhalifahannya tidak disalah gunakan.
4. Membina dan mengarahkan potensi akal, jiwa dan jasmani manusia agar memiliki keterampilan, ilmu, serta akhlak sebagai pendukung tugas kekhalifahannya.
5. Mengarahkannya kepada kebahagiaan dunia dan akhirat.22
Berdasarkan hal tersebut di atas maka dapat diambil kesimpulan bahwa tujuan
pendidikan Islam adalah:
1. Membimbing dan membentuk manusia menjadi hamba Allah yang saleh, teguh imannya, taat beribadah dan berakhlak mulia.
2. Membina dan mengarahkan manusia supaya bertakwa serta dapat menunaikan hak-hak Allah, sebagai wujud pengabdiannya dalam tugasnya sebagi khalifah di bumi.
3. Membina dan mengarahkan potensi akal, jiwa dan jasmaninya sehingga ia memiliki ilmu, akhlak dan keterampilan yang dapat digunakan guna menunjang kehidupan dan tugas kekhalifahannya.
4. Mengarahkan manusia agar dapat mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat
D. Dasar-Dasar Pendidikan Islam
Dasar secara bahasa, “berarti asas, fundamen, pokok atau pangkal segala
sesuatu (pendapat, ajaran, aturan)”.23 lebih lanjut dikatakan bahwa, dasar adalah
landasan berdirinya sesuatu. Fungsi adalah memberikan arah kepada tujuan yang
akan dicapai dan sekaligus sebagai landasan untuk berdirinya sesuatu.24
Pendidikan Islam sebagai aktivitas yang bergerak dalam bidang
pendidikan dan pembinaan kepribadian tertentu memerlukan dasar atau landasan
kerja untuk memberi arah bagi programnya. Dasar ilmu pendidikan Islam adalah
22 Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam I, (Jakarta, Logos Wacana Ilmu, 1997), h. 53 23 Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan Dan Pengembangan Bahasa, kamus…….hal.
.121 24 Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta : Kalam Mulia, 1994), cet. 1, hal. 12
19
Islam dengan segala ajarannya. Ajaran itu bersumber pada al-Qur’an dan as-
Sunnah Rasulullah saw dan ijtihad (hasil pikir manusia). Dasar inilah yang
membuat ilmu pendidikan ini disebut sebagai ilmu pedidikan Islam. Tanpa dasar
ini, maka tidak akan ada ilmu pendidikan Islam.
1. Al-Qur’an
Al-Qur’an ialah “firman Allah berupa wahwu yang disampaikan oleh
malaikat jibril kepada Nabi Muhammad SAW. Di dalamnya terkandung ajaran
pokok yang dapat dikembangkan untuk keperluan seluruh aspek kehidupan
melalui ijtihad. Ajaran berhubungan dengan masalah keimanan yang disebut
akidah, dan yang berhubungan dengan amal yang disebut syari’ah”.25
Nabi Muhammad sebagai pendidik pertama, (pada masa awal
pertumbuhan Islam) telah menjadikan al-Qur’an sebagai sumber pokok serta dasar
pendidikan Islam. Kedudukan al-Qur’an sebagai sumber pokok pendidikan Islam
dapat dipahami dari ayat al-Qur’an itu yang berbunyi : surat Al-Alaq 1-5
) ٥-٩٦:١/قالعل(
Artinya : Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan,Dia Telah menciptakan manusia dari segumpal darah.Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha pemurah,Yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam,Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.
Al-Qur’an diperuntukkan bagi manusia untuk dijadikan sebagai pedoman
hidupnya. Sebab pada dasarnya al-Qur’an banyak membahas tentang berbagai
aspek kehidupan manusia, dan pendidikan merupakan tema terpenting yang
dibahasnya. Setiap ayatnya merupakan bahan baku bangunan pendidikan yang
dibutuhkan manusia. Hal ini tidak aneh mengingat al-Qur’an merupakan kitab
25 Zakiah Darajat, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta : Bumi Aksara, 1996), cet. 3, hal. 21
20
hidayah, dan seseorang bisa memperoleh hidayah tiada lain atas kehendak Allah,
karena pendidikan yang benar serta ketaatannya.
Menurut M. Quraish Shihab, al-Qur’an secara garis besar mempunyai tiga
tujuan pokok, diantaranya :
1. Petunjuk aqidah dan kepercayaan yang harus dianut oleh manusia yang tersimpul dalam keimanan akan keesaan Tuhan, dan kepastian akan adanya hari pembalasan.
2. Petunjuk mengenai akhlak yang murni dengan jalan menerangkan norma-norma keagamaan dan susila yang harus diikuti oleh manusia dalam kehidupannya secara individual atau kolektif.
3. Petunjuk mengenai syari’ah dan hukun dengan jalan menerangkan dasar-dasar hukum yang harus diikuti oleh manusia dalam hubungannya dengan Tuhan dan sesamanya. Atau dengan kata lain yang lebih singkat Al-Qur’an adalah petunjuk bagi seluruh manusia kejalan yang harus ditempuh demi kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat.26
2. As-Sunnah
Dasar yang kedua setelah al-Qur’an ialah as-Sunnah Rasulullah saw,
amalan yang dikerjakan oleh Rasulullah dalam proses perubahan sikap hidup
sehari-hari tersebut menjadi dasar utama pendidikan Islam setelah al-Qur’an,
karena Allah telah menjadikan Rasulullah sebagai teladan bagi umatnya,
sebagaimana firmannya dalam surah al-Ahzab ayat 21 berikut ini :
⌧ ☺
⌧ ⌧
) ٣٣:٢١/ابزحلأا ( ⌧ ”Sesungguhnya Telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah”. (QS. Al-Ahzab [33]: 21)
As-sunnah menurut bahasa artinya jalan; baik terpuji maupun tercela.
Sedang kan menurut istilah ahli hadis, ”sunnah ialah segala yang dinukilkan dari
Nabi saw, baik berupa perkataan, taqrir, pengajaran, sifat, keadaan, maupun
26 M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an, ( Bandung : Mizan, 1997), cet. 26, hal.
40
21
perjalanan hidup beliau : baik yang berupa yang demikian itu terjadi sebelum
maupun sesudah diangkat menjadi Rasul”.27
3. Ijtihad
Ijtihad yaitu berfikir dengan menggunakan seluruh ilmu yang dimiliki oleh
ilmuan syariat Islam untuk menetapkan atau menentukan suatu syariat Islam
dalam hal-hal yang ternyata belum ditegaskan hukumnya oleh al-Qur’an dan as-
Sunnah. Ijtihad dalam hal ini dapat saja meliputi seluruh aspek kehidupan
termasuk aspek pendidikan, tetapi tetap berpedoman pada al-Qur’an dan as-
Sunnah.28
Ijtihad dalam bidang pendidikan harus tetap bersumber dari al-Qur’an dab
as-sunnah yang diolah oleh akal yang sehat dari para ahli pendidikan Islam.
Ijtihad tersebut haruslah dalam hal-hal yang berhiubungan langsung dengan
kebutuhan hidup manusia, pada kondisi dan situasi tertentu. Teori-teori
pendidikan baru dari hasil ijtihad harus dikaitkan dengan ajaran Islam dan
kebutuhan hidup.
Dengan demikian, untuk melengkapi dan merealisasikan ajaran Islam itu
memang sangat dibutuhkan ijtihad. Sebab globalnya al-Qur’an dan sunnah belum
menjamin tujuan pendidikan Islam tercapai. Dalam hal ini, pemikiran para ahli
pendidikan muslim adalah salah satu bentuk ijtihad dibidang pendidikan yang bisa
dijadikan salah satu rujukan bagi kaum muslimin dalam bidang pendidikan Islam.
27 M. Syuhudi Ismail, Pengantar Ilmu Hadis, (Bandung Angkasa, 1994), cet. 2, hal. 12 28 Zakiah Daradjat, Ilmu Pendidilkan Islam, (Jakarta : Bumu Aksara, 1996), cet. 3, hal. 21
BAB III TAFSIR SURAT AL-ANKABUT AYAT 16-24
Surat al-Ankabut yang berarti rumah laba-laba adalah nama surah yang ke-
29 di antara surah-surah dalam al-Qur’an, terdiri dari 69 ayat dan termasuk dalam
golongan surah-surah makiyah. Nama surah ini diambil dari perkataan al-Ankabut
yang terdapat pada ayat 41 surah ini. “Dinamakan demikian karena dalam surah
ini Allah mengumpamakan orang-orang yang menyembah berhala itu seperti
rumah laba-laba yang percaya kepada kekuatan rumahnya sebagai tempat ia
berlindung dan sebagai tempat ia menangkap mangsanya. Padahal apabila ditiup
angin atau ditimpa oleh suatu barang yang kecil saja, rumah itu akan hancur.
Begitu pula dengan kaum musyrikin yang percaya dengan kekuatan sembahan-
sembahan yang tidak mampu sedikitpun menolong mereka dari azab Allah di
dunia. Apalagi menghadapi azab Allah di akhirat nanti”.1
A. Teks Ayat dan Mufrodat
1. Teks ayat dan Terjemah
☺
☺
☺
1 Ahsin W. Al-Hafidz, Kamus Ilmu Al-Qur’an, (Jakarta: Amzah, 2006), cet ke-2, h. 25-26
22
23
Artinya: Dan (Ingatlah) Ibrahim, ketika ia Berkata kepada kaumnya: "Sembahlah olehmu Allah dan bertakwalah kepada-Nya. yang demikian itu adalah lebih baik bagimu, jika kamu Mengetahui. 17. Sesungguhnya apa yang kamu sembah selain Allah itu adalah berhala, dan kamu membuat dusta. Sesungguhnya yang kamu sembah selain Allah itu tidak mampu memberikan rezki kepadamu; Maka mintalah rezki itu di sisi Allah, dan
24
sembahlah dia dan bersyukurlah kepada-Nya. Hanya kepada- Nyalah kamu akan dikembalikan. 18. Dan jika kamu (orang kafir) mendustakan, Maka umat yang sebelum kamu juga Telah mendustakan. dan kewajiban Rasul itu, tidak lain hanyalah menyampaikan (agama Allah) dengan seterang-terangnya." 19. Dan apakah mereka tidak memperhatikan bagaimana Allah menciptakan (manusia) dari permulaannya, Kemudian mengulanginya (kembali). Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. 20. Katakanlah: "Berjalanlah di (muka) bumi, Maka perhatikanlah bagaimana Allah menciptakan (manusia) dari permulaannya, Kemudian Allah menjadikannya sekali lagi]. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. 21. Allah mengazab siapa yang dikehendaki-Nya, dan memberi rahmat kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Hanya kepada-Nya-lah kamu akan dikembalikan. 22. Dan kamu sekali-kali tidak dapat melepaskan diri (dari azab Allah) di bumi dan tidak (pula) di langit dan sekali-kali tiadalah bagimu pelindung dan penolong selain Allah. 23. Dan orang-orang yang kafir terhadap ayat-ayat Allah dan pertemuan dengan Dia, mereka putus asa dari rahmat-Ku, dan mereka itu mendapat azab yang pedih. 24. Maka tidak adalah jawaban kaum Ibrahim, selain mengatakan: "Bunuhlah atau bakarlah dia", lalu Allah menyelamatkannya dari api. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda kebesaran Allah bagi orang-orang yang beriman. (Q.S. al-Ankabut [29] : 16-24)
2. Tafsir Mufrodat
a. = Berhala yang berupa batu atau yang terbuat dari kayu dan memiliki bentuk seperti manusia atau hewan yang mereka pilih untuk disembah2
b. = walau sedikit rizki c. = Meminta atau
menuntut sesuatu melebihi batas moderasi.3 d. = Melihat dengan mata kepala atau
mata hati e. = Memulai sesuatu f. ☺ = Mereka
putus asa dari rahmat-Ku g. =
Penciptaan dan pengadaan.4
2 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah Pesan Kesan dan Keserasian al-Qur’an, (Jakarta:
Lentera Hati, 2002), h. 461 3 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah Pesan Kesan dan Keserasian al-Qur’an, h. 462
25
h. = Kalian dihidupkan kembali setelah mati.5
i. ☺ = Menjadikan Allah lemah
Ayat 16
☺
)٢٩:١٦/بوتڪنالع( Artinya: Dan (ingatlah) Ibrahim, ketika ia berkata kepada kaumnya: "Sembahlah olehmu Allah dan bertakwalah kepada-Nya. yang demikian itu adalah lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui. (Q.S. al-Ankabut [29] : 16)
Allah Ta’ala memberi tahukan tentang hamba, rasul, dan kekasih-Nya,
Ibrahim a,s sebagai pemimpin umat yang hanif bahwa dia mengajak kaumnya
untuk menyembah Allah yang Esa, tiada sekutu bagi-Nya, serta memurnikan
ketakwaan dan permintaan rezeki hanya kepada-Nya semata, tanpa sekutu bagi-
Nya. Nabi Ibrahim mengajak mereka dengan dakwah yang sederhana dan jelas,
yang tak komples dan misterius. Dakwah itu disampaikan secara teratur dengan
cermat, sehingga sangat baik jika diteladani oleh para pembawa dakwah. Ia
memulai dengan menjelaskan hakikat dakwah yang ia ajak mereka kapadanya,
”sembahlah olehmu Allah dan bertakwalah kepada-Nya...
Mustafa al-Maragi menafsirkan: “ingatkanlah kepada kaummu kisah
Ibrahim setelah akalnya sempurna, mampu mengadakan penelitian, meningkat
dari martabat kesempurnaan ke martabat memberi petunjuk kepada manusi, dan
melaksanakan dakwah ke jalan yang haq, maka ia menyeru kaumnya untuk
menyembah Allah semata, yang tidak mempunyai sekutu, memurnikan ibadah
kepada-Nya, baik dalam keadaan sembinyi-sembunyi maupun dalam keadaan
4 Ahmad Mustafa al-Maragi, Terjemah Tafsir Al-Maragi, (Semarang: Toha Putra 1989),
h. 221 5 Ahmad Mustafa al-Maragi, Terjemah Tafsir Al-Maragi, h. 221
26
terang-terangan, dan menjauhi kemurkaan-Nya dengan melaksanakan segala
kewajiban-Nya dan menjauhi kemaksiatan kepada-Nya”.6
Allah memerintahkan Nabi Muhammad agar menceritakan kepada
kaumnya kisah Nabi Ibrahim. Setelah dewasa sempurna pertumbuhan akalnya,
sanggup untuk berfikir dan menganalisa sesuatu dengan objektif dan telah
memungkinkan untuk mencapai derajat kenabian yang sempurna, maka Ibrahim
mulai mencurahkan perhatiannya menyeru manusia untuk menerima kebenaran
yang di bawanya. Ia mengajak mereka untuk mengesakan Allah dalam ibadah dan
membersihkan diri dari segala bentuk kemusyrikan. Ia juga menyerukan agar
mereka ikhlas mengabdi kepada Allah baik ketika seorang diri atau dihadapan
orang banyak, serta menjauhi murka Allah dengan melaksanakan segala tugas dan
kewajiban yang diperintahkan-Nya, serta menjauhi segala larangan-Nya.
Sedangkan prof. Dr. Hamka dalam kitabnya menafsirkan: “disini Tuhan
menceritakan pula perjuangan hamba-Nya yang disebut juga khalil Allah, artinya
sahabat karib Tuhan, karena dari sangat usahanya mandekatkan dirinya kepada
Allah. ketika beliau masih berdiam di kampung halamannya telah diserunya
kaumnya agar menyembah kepada Allah saja dan bertakwa kepada Allah saja.
Karena Allahlah, tiada yang lain, yang menciptakan alam ini. Allahlah tidak
bersekutu yang lain dengan Dia di dalam memberikan jaminan hidup bagi seluruh
yang bernyawa di muka bumi ini, terutama manusia. Maka tidaklah patut kalau
manusia menyembah pula kepada yang lain”.
Ayat 17
☺
☺
) ٢٩:١٧/بوتڪنالع(
6 Ahmad Mustafa al-Maragi, Terjemah Tafsir Al-Maragi, h. 218
27
Artinya: Sesungguhnya apa yang kamu sembah selain Allah itu adalah berhala, dan kamu membuat dusta. Sesungguhnya yang kamu sembah selain Allah itu tidak mampu memberikan rezki kepadamu; Maka mintalah rezki itu di sisi Allah, dan sembahlah Dia dan bersyukurlah kepada-Nya. hanya kepada- Nyalah kamu akan dikembalikan. (Q.S. al-Ankabut [29] : 17)
Kata autsân adalah “bentuk jama’ dari kata
watsan, yaitu berhala yang berupa batu atau yang dari kayu dan memiliki bentuk
seperti manusia atau hewan yang mereka pilih atau buat untuk disembah. Kata ini
lebih khusus dari pada kata ashnâm, karena yang ini adalah berhala yang
disembah walau hanya batu yang tidak berbentuk”.7
Kata autsân dalam ayat ini berbentuk nakirah sehingga mengisyaratkan
bahwa kepercayaan tentang ketuhanan berhala-berhala itu adalah kepercayaan
sesat yang tidak berdasar serta berupa kebohongan dan pemutar balikan fakta
karena berhala-berhala itu tidak mampu memberikan manfaat kepada
penyembahnya.8
Ahmad Mustafa al-Maragi menegaskan bahwa pada ayat ini “Allah
memberitahukan kepada orang kafir bahwa apa yang mereka sembah selain Allah
itu tidak lain hanyalah berhala-berhala yang mereka buat dengan tangan mereka
sendiri, dan mereka berdusta ketika menamakannya sebagai tuhan-tuhan serta
mengakuinya dapat memberikan syafaat bagi mereka di sisi Tuhan”.9
Dalam tafsir Fi Zhilal al-Qur’an, di jelaskan bahwa “Nabi Ibrahim
menjelaskan kepada mereka kerusakan kepercayaan mereka selama ini ditinjau
dari beberapa segi. Pertama, mereka menyembah berhala-berhala selain Allah,
dan itu adalah penyembahan yang amat bodoh, apalagi jika karena itu mereka
menghindar untuk menyembah Allah. Kedua, dengan penyembahan itu, mereka
tidak bersandar kepada bukti maupun dalil. Berhala itu hanyalah buatan mereka
dengan penuh misi dusta dan kebatilan mereka menciptakannya sebagai suatu
ciptaan yang tak ada ceritanya sebelumnya, karena mereka membuat sesuai
7 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah Pesan Kesan dan Keserasian al-Qur’an, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), h. 461
8 Departemen Agama RI, Al-Qur’an Dan Tafsirannya, (Jakarta: Departemen Agama RI, 2007 ), cet, I, h. 377.
9 Ahmad Mustafa al-Maragi, Terjemah Tafsir Al-Maragi, (Semarang: Toha Putra 1989), h. 218
28
dengan dorongan diri mereka tanpa ada dasar dan kaidah yang menjadi pijakan
mereka. Ketiga, berhala-berhala ini tak memberikan manfaat bagi mereka
sedikitpun”.10
Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa yang mereka
sembah selama ini hanyalah berhala. Berhala itu adalah buatan tangan mereka
sendiri, lalu mereka beriman. Padahal berhala mereka buat dari pada batu atau
dari pada kayu. Mereka yang membuatnya sendiri, lalu mereka sembah dan
mereka muliakan, mereka beri nama dan mereka Tuhankan, perbuatan mereka
sudah nyata dusta. Bukankah suatu dusta dengan disadari atau tidak disadari,
kalau buatan tangan sendiri lalu dianggap lebih berkuasa dari yang membuatnya.
Kata rizqan terambil dari asal kata razaqa yarzuqu
rizqon yang artinya “tiap-tiap rizki yang memberi manfaat”11, rizqan, yang
berbentuk nakiroh dalam konteks menafikan kemampuan berhala-berhala untuk
memberi rizki, bentuk nakiroh itu mengandung makna sedikit, yakni ”walau
sedikit rizki”. “Sedangkan penggunaan bentuk ma’rifat al-rizqu ketika berbicara
tentang rizki yang ada pada Allah, mengandung makna keumuman sehingga
mencakup segala macam dan jenis rizki, banyak atau sedikit”.12 Berkata
Zamakhsyari sebagamana dikutip Fakhrur Razi rizqon yaitu “nakiroh pada mu’rid
nafi artinya semata-mata tiada rizki disisi mereka”.13
Prof. Hamka menafsirkan: “alangkah bodoh orang-orang menyangka
bahwa berhala memberinya rizki, padahal berhala itu di buat oleh yang meminta
rizki kepadanya itu sendiri? dia tidak dapat menggerakkan tangannya dan
melangkahkan kakinya. Dia baru termulia karena dimuliakan orang yang
mengatakan dia mulia, bagaiman dia akan dapat memberikan rizki? Padahal dia
10 Sayyid Quthb, Fi Zhilalil Qur’an Di Bawah Naungan Al-Q ur’an, (Jakarta: Gema
Insani Press, 2004), h. 95 11 Muhammad Idris Abdul Rauf al-Marbawi, Kamus Arab Melayu, (tt, Darul Ihya, tt), h.
235 12 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah Pesan Kesan dan Keserasian al-Qur’an, h.461-
462 13 Muhammad al-Razi Fakhruddin, Tafsir Fakhru Al-Razi, (Daar Al-Fikr, 604 H), juz, 25,
h. 45
29
adalah makhluk Allah, sama juga keadaannya dengan orang yang meminta itu
sendiri”.14
Penulis menarik kesimpulan bahwa: rizki itu adalah wewenang mutlak
yang hanya dimiliki Allah. Oleh karena itu, dianjurkan kepada mereka supaya
memohon rizki dan penghasilan hanya kepada Allah, kemudian mensyukuri jika
yang diminta itu telah dikabulkan-Nya, hanya Allah yang mendatangkan rizki
bagi manusia serta semua kenikmatan hamba-Nya.
Selanjutnya kata fabtaghû terambil dari kata baghâ yang antara lain berarti
meminta atau menuntut sesuatu melebihi batas moderasi, baik dalam kuantitas
maupun kualitas.
Ahmad Mustafa al-Maragi menjelaskan, maka carilah rizki dari Allah,
bukan dari berhala-berhala kalian, niscaya kalian memperoleh apa yang kalian
cari itu, dan beribadah kepada-Nya semata dan bersyukurlah atas segala nikmat
yang dilimpahkan-Nya kepada kalian seraya memohon tambahan dan karunia-
Nya.
Rizki itu menjadi pikiran utama banyak orang, terutama jiwa yang tak
dipenuhi dengan keimanan. Namun mencari rizki dari Allah semata adalah
hakikat yang bukan sekedar untuk mendorong kecenderungan yang tersimpan
dalam jiwa.
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa sesembahan selain Allah
hanyalah hasil rekaan manusia belaka, tidak mungkin mendatangkan keuntungan
ataupun kerugian di dunia maupun di akhirat.
Ayat 18
) ٢٩:١٨/بوتڪنالع( ☺
Artinya: Dan jika kamu (orang kafir) mendustakan, Maka umat yang sebelum kamu juga telah mendustakan. dan kewajiban Rasul itu, tidak lain hanyalah menyampaikan (agama Allah) dengan seterang-terangnya." (Q.S. al-Ankabut [29] : 18)
14 Hamka, Tafsir al-Azhar, (Jakarta, PT Pustaka Panji Mas, 1982), juz XX, h. 161
30
Ayat 18 di atas merupakan lanjutan nasihat Nabi Ibrahim a.s, kepada
kaumnya, setelah beliau melihat tanda-tanda penolakan mereka, atau nasihat
tersebut beliau sampaikan setelah sebelumnya beliau telah menyampaikan nasihat
lalu mereka menolak. Bisa juga ayat di atas adalah komentar sekaligus teguran
dari Allah SWT. Kepada kaum musyrikin untuk menggaris bawahi bahwa tugas
rasul, siapapun dia, hanyalah menyampaikan ajaran dan mengajak kepada
kebenaran.
Ayat di atas dapat juga merupakan penjelasan tentang pendustaan dan
akibatnya yang akan dialami oleh mitra bicara yang menolak kehadiran rasul.
Seakan-akan ia menyatakan kepada kaum musyrikin bahwa keadaan kamu dalam
menolak ajakan rasul, serupa dengan keadaan umat-umat yang lalu. Mereka juga
mendustakan rasul-Nya. Sikap itu mengundang jatuhnya siksa Allah. Mereka
tidak mampu menolaknya dan tidak juga ada yang menolong mereka, begitu juga
kamu, jika kamu terus-menerus mendustakan ajaran Allah yang disampaikan oleh
rasul.
Di dalam tafsir Fakhr al-Razi dikatakan, dalam ayat ini terdapat dua
khitab, pertama, khitab tehadap kaum Nabi Ibrahim dan ayat ini menceritakan
tentang kaum Ibrahim, sebagaimana Ibrahim berkata kepada kaumnya, ”jika kamu
mendustakan, maka umat-umat sebelum kamu telah mendustakan, kedua,
bahwasannya khitab itu adalah khitab terhadap kaum Nabi Muhammad dan
penjelasannya bahwasannya hikayat-hikayat yang terbanyak itu untuk tujuan-
tujuan tertentu, tetapi hikayat itu melupakan hikayat yang baik, oleh karena itu
banyak sekali penghikayat mengatakan untuk apa aku menghilangkan hikayat ini.
Nabi Muhammad bermaksud memberi peringatan kepada kaumnya mengenai
umat-umat terdahulu, sehingga mereka mencegah dirinya dari berbohong dan
mereka menggigil gemetar karena takut siksaan, lalu Nabi Muhammad bersabda
pada pertengahan hikayatnya: hai kaumku jika kamu mendustakan aku, maka aku
takut akan datang sesuatu (siksaan) yang datang pada umat-umat selain kamu15.
15 Muhammad al-Razi Fakhruddin, Tafsir Fakhru Al-Razi, h. 46
31
Menurut Qurais Shihab ayat tersebut di atas merupakan bentuk pendustaan
kaum Nabi Ibrahim dan akibat dari pendustaan tersebut, yang menyatakan:
Kalau kamu wahai kaum musyrikin dan pendurhaka, siapapun kamu membenarkan tuntunan Allah, maka itu adalah untuk keuntungan kamu dalam kehidupan dunia dan akhirat, dan jika kamu terus menerus mendustakan ajaran Allah yang disampaikan oleh para rasul, maka kamu tidak merugikan kecuali diri kamu sendiri, dan cukuplah kamu katahui bahwa umat-umat yang sebelum kamu seperti umat Nabi Nuh, Ad, dan Tsamud telah mendustakan juga para rasul mereka, lalu Allah membinasakan yang durhaka dan menyelamatkan yang taat. Demikian mereka merugikan diri mereka sendiri, dan sedikitpun tidak merugikan Allah atau para rasulnya. Dan tiada kewajiban atas rasul siapapun dia, apakah Nabi Ibrahim atau Nabi Muhammad, atau selain mereka kecuali penyampaian, dengan uraian serta praktek dan contoh pengamalan tuntunan Allah yang jelas dan dengan cara seterang-terangnya.16
Nabi Ibrahim kembali memperingatkan kaumnya bahwa jika mereka
membenarkan apa yang telah disampaikan kepada mereka, pasti mereka akan
bahagia. Sebaliknya, mereka akan mendapat mudarat dan kesengsaraan jika tetap
mendustakan seruan nabi seperti yang dialami orang-orang sebelum mereka yang
mendustakan para utusan Tuhan. Di antaranya seperti yang telah dialami umat
Nabi Nuh, Nabi Hud, dan Nabi Saleh. Mereka semua telah disiksa Allah akibat
kedurhakaan mereka. Di sisi lain, Allah menyelamatkan orang-orang yang
beriman beserta para rasul-Nya.17
Al-Maragi menjelaskan, “jika kalian membenarkan aku, maka
sesungguhnya kalian telah beruntung memperoleh kebahagiaan di dunia dan di
akhirat, tetapi jika kalian mendustakan aku tentang apa yang aku beritakan kepada
kalian, maka sesungguhnya kalian tidak akan mendatangkan kemudharatan
pendustaan kalian itu, karena umat-umat sebelum kalian telah pernah
mendustakan para rasulnya, seperti kaum Idris, Nuh, Hud, dan Salih a.s, lalu
berlakulah apa yang telah menjadi sunnah Allah pada makhluk-Nya, yaitu
keselamatan orang-orang yang membenarkan para rasul dan kenabian orang-orang
yang mendurhakai mereka”.
16 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah Pesan Kesan dan Keserasian al-Qur’an, h. 462-
463 17 Departemen Agama RI, Al-Qur’an Dan Tafsirannya, (Jakarta: Departemen Agama RI,
2007 ), cet, I, h 378
32
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa tugas rasul hanya
menyampaikan dakwah mengesakan Allah. Bila seseorang tidak mau beriman dan
tetap mendurhakai rasul, tidak akan mendatangkan kerugian kepada rasul itu,
tetapi justru menimbulkan kecelakaan bagi orang Itu sendiri.
Ayat 19-20
⌧
) ١٩-٢٠: ٢٩/بوتڪنالع( ⌦Artinya: dan Apakah mereka tidak memperhatikan bagaimana Allah menciptakan (manusia) dari permulaannya, kemudian mengulanginya (kembali). Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. Katakanlah: "Berjalanlah di (muka) bumi, Maka perhatikanlah bagaimana Allah menciptakan (manusia) dari permulaannya, kemudian Allah menjadikannya sekali lagi. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. (Q.S. al-Ankabut [29] : 19-20)
Kata yarau terambil dari kata “ra’â yang dapat berarti
melihat atau memandang”.18
Thaba’thaba’i sebagaimana dikutip oleh Quraih Shihab memahami kata
tersebut dalam arti melihat dengan mata hati atau memikirkan bukan melihat
dengan mata kepala, sedangkan Thahir Ibn Asyur memahami kata tersebut dalam
kedua makna di atas, yaitu melihat dengan mata kepala dan melihat dengan mata
hati.
18 Muhammad Idris Abdul Rauf al-Marbawi, Kamus Arab Melayu, h. 222
33
Sebagian ulama memandang ayat ini ditujukan kepada penduduk Makkah
yang tidak mau beriman kepada Rasulullah. Tetapi jumhur mufassir berpendapat
bahwa ayat ini masih merupakan rangkaian dari peringatan Nabi Ibrahim kepada
kaumnya.
Menurut Sayyid Quthb, “ini adalah khitab yang ditujukan kepada orang-
orang yang mengingkari Allah dan pertemuan dengan-Nya. Khitab melalui cara
al-Qur’an dalam menjadikan seluruhnya sebagai media pemaparan ayat-ayat
keimanan dan petunjuk-Nya dan lembaran yang terbuka bagi indra dan hati, yang
mencari ayat-ayat Allah di dalamnya, dan melihat bukti-bukti wujud-Nya dan
wihdaniyah-Nya. Maha benar janji dan ancamannya”.19
Di sini Allah menegaskan bila mana orang-orang kafir tetap tidak juga
percaya kepada Allah Yang Maha Esa seperti apa yang disampaikan oleh para
Rasul-Nya, maka mereka diajak untuk melihat dan memikirkan tentang proses
kejadian dari mereka sendiri sejak dari permulaan sampai akhir. Allah
menciptakan manusia mulai dari proses di rahim ibu selama enam atau sembilan
bulan, atau lebih. Setelah lahir manusia dilengkapi dengan kemampuan
pendengaran, penglihatan, dan akal pikiran. Untuk menjamin kehidupannya, Allah
memudahkan sumber-sumber rizki guna menunjang kelestarian hidupnya. Apabila
telah datang takdir, Allah mewafatkannya melalui malaikat yang ditugaskan. Bagi
Allah membangkitkan manusia adalah mudah seperti mudahnya menciptakan
mereka.20
Kata yubdi’u terambil dari kata bada’a berkisar
maknanya pada memulai sesuatu. Dalam al-munjid kata bada’a diartikan
“iftahuhu qoddamuhu fil amal atau memulai, mendahulukan dalam perbuatan”.21
Maksudnya, Allah yang memulai penciptaan dipahami dalam arti ”Dia yang
menciptakan segala sesuatu pertama kali dan tanpa contoh sebelumnya”. Ini
mengandung arti bahwa Allah ada sebelum adanya sesuatu. Dia yang menciptakan
dari tiada, maka wujudlah segala sesuatu yang dikehendaki-Nya22.
19 Sayyid Quthb, Fi Zhilalil Qur’an Di Bawah Naungan Al-Qur’an, h. 96 20 Departemen Agama RI, Al-Qur’an Dan Tafsirannya, h. 380 21 Luis Ma’luf, al-Munjid, (Beirut, Dar el- Machreq, 1986), h. 28 22 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah Pesan Kesan dan Keserasian al-Qur’an, h. 464
34
Ibnu Katsir menjelaskan ayat ini: “Allah memberitahukan tentang al-Khalil
a.s. bahwasannya dia menegaskan hari kiamat kepada kaumnya yang
mengingkarinya. Penegasannya itu melalui hasil penciptaan Allah yang dapat
mereka liat pada diri mereka sendiri, setelah sebelumnya mereka bukan apa-apa.
Zat yang memulai penciptaan dari tiada adalah pula untuk mengembalikannya.
Dan itu mudah bagi-Nya. Penegasan itu juga dilakukan dengan mengambil
pelajaran dari penciptaan langit dan bumi, makhluk-makhluk yang ada pada
keduanya, dan benda-benda yang ada diantara keduanya yang menunjukkan
kepada adanya pembuat sebagai Pencipta Yang Mutlak, yang mengatakan pada
sesuatu ”jadilah”, maka ia pun menjadi”.23
Karena itu Allah berfirman yang artinya,
”Dan Dialah yang memulai penciptaan, kemudian mengulanginya kembali, dan itu lebih mudah bagi-Nya. Dia memilii sifat yang Maha Tinggi di langit dan di bumi. Dan Dialah yang Maha Perkasa, Maha Bijaksana”. Tegasnya, ayat ini memperingatkan bahwa manusia seharusnya dapat
mamahami betapa mudahnya bagi Allah menciptakan manusia. Akan tetapi,
mengapa mereka tidak mempercayai akan adanya hari kebangkitan padahal itu
justru lebih mudah bagi Allah.
Sementara ulama membatasi kata “( ) al-khalq pada
ayat ini dalam pengertian manusia”. Ini karena mereka memahami kata “yu’iduhu
yakni mengembalikan manusia hidup kembali di akhirat setelah kematiannya di
dunia ini”.24
Kata ( ) an-nasy’ah terambil dari kata nasya’a yaitu
menjadikan kejadian, pada ayat ini maksudnya Allah memerintahkan Nabi
Muhammad untuk mengatakan kepada orang-orang musyrik, kalau mereka belum
juga mempercayai keterangan-keterangan di atas antara lain yang disampaikan
oleh leluhur mereka dan bapak para nabi yakni Nabi Ibrahim, Allah menganjurkan
supaya mereka berjalan mengunjungi tempat-tempat lain seraya memperhatikan
dan memikirkan betapa Allah kuasa menciptakan makhluk-Nya.
23 Muhammad Nasib al-Rifa’i, Kemudahan Dari Allah: Ringkasana Tafsir Ibn Katsir,
Terj, Syihabuddin, (Jakarta: Gema Insani Press, 1999), cet ke-I, h. 723 24 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah Pesan Kesan dan Keserasian al-Qur’an, h. 465
35
Al-Maragi menafsirkan ayat ini: “Berjalanlah dimuka bumi ini dan
saksikanlah langit-langit dengan segala bintangnya yang terang, baik bintang yang
tetap maupun yang beredar, saksikanlah pula bumi dengan segala isinya, seperti
gunung, tanah rata, gurun pasir dan padang tandus, pepohanan dan buah-buahan,
serta sungai-sungai dan lautan. Semua itu menjadi saksi atas kebaruannya sendiri
dan atas adanya pembuatnya yang apabila berkata kepada sesuatu, ”jadilah”, maka
terjadilah ia”.25
Perintah berjalan kemudian dirangkai dengan perintah melihat seperti
firman-Nya (siiru fi al-ardhi fandhuru) ditemukan dalam al Qur’an sebanyak
tujuh kali, ini mengisyaratkan perlunya melakukan apa yang diistilahkan dengan
wisata ziarah. Dengan perjalan itu manusia dapat memperoleh suatu pelajaran dan
pengetahuan dalam jiwanya yang menjadikannya menjadi manusia terdidik dan
terbina, seperti dia menemui orang-orang terkemuka sehingga dapat memperoleh
manfaat dari pertemuannya dan yang lebih terpenting lagi ia dapat menyaksikan
aneka ragam ciptaan Allah.26
Dengan melakukan perjalanan di bumi seperti yang telah diperintahkan
dalam ayat ini, seseorang akan menemukan banyak pelajaran yang berharga baik
melalui ciptaan Allah yang terhampar dan beraneka ragam maupaun dari
peninggalan-peninggalan lama yang masih tersisa puing-puingnya.
Ayat di atas adalah pengarahan Allah untuk melakukan riset tentang asal
usul kehidupan lalu kemudian menjadikannya bukti.
Sebagai tambahan perjuangan mencari ilmu pengetahuan merupakan tugas
atau kewajiban bagi setiap muslim baik bagi laki-laki maupun wanita. Menurut
Nabi, tinta para pelajar nilainya setara dengan darah para syuhada’ pada hari
pembalasan, dengan demikian, para pelaku dalam proses belajar mengajar, yaitu
guru dan murid dipandang sebagai ‘‘orang-orang terpilih’’ dalam masyarakat
yang telah termotivasi secara kuat oleh agama untuk mengembangkan dan
mengamalkan ilmu pengetahuan mereka. hal ini sejalan dengan ayat al-Qur’an
surat al-Taubah ayat 122 yang berbunyi:
25 Ahmad Mustafa al-Maragi, Terjemah Tafsir Al-Maragi, h. 222 26 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah Pesan Kesan dan Keserasian al-Qur’an, h. 468
36
⌧ ☺
⌧ ⌧
⌧
⌧
) ١٢٢ :٩/ۃالتوب( Artinya : Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka Telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.(Q.S.9.122 ). Sungguh dalam Islam mereka yang tekun mencari ilmu lebih dihargai dari
pada mereka yang beribadah sepanjang masa. Kelebihan ahli ilmu, al-‘alim dari
pada ahli ibadah, al-‘abid, adalah seperti kelebihan Muhammad atas orang Islam
seluruhnya. Di kalangan kaum muslimin hadits ini sangat popular sehingga
mereka memandang bahwa mencari ilmu merupakan bagian integral dari ibadah.
Dalam Islam, nilai keutamaan dari pengetahuan keagamaan berikut
penyebarannya tidak pernah diragukan lagi. Nabi menjamin bahwa orang yang
berjuang dalam rangka menuntut ilmu akan diberikan banyak kemudahan oleh
Tuhan menuju surga. Para pengikut atau murid Nabi telah berhasil meneruskan
dan menerapkan ajaran tentang semangat menuntut dan mencari ilmu. Motivasi
religius ini juga bisa ditemukan dalam tradisi Rihla. Suatu tradisi ulama yang
disebut al-rihla fi talab al-‘ilm. Suatu perjalanan dalam rangka mencari ilmu’
adalah bukti sedemikian besarnya rasa keingintahuan dikalangan para ulama.
Rihla, tidak hanya merupakan tradisi ulama, tapi juga merupakan kebutuhan
untuk menuntut ilmu dan mencari ilmu yang didorong oleh nilai-nilai religius.
Hadits-hadits Nabi mebuktikan suatu hubungan tertentu: ”Seseorang yang pergi
mencari ilmu dijalan Allah hingga ia kembali, ia memperoleh pahala seperti orang
yang berperang menegakkan agama. Para malaikat membentangkan sayap
kepadanya dan semua makhluk berdoa untuknya termasuk ikan dan air”.
37
Islam secara mutlak mendorong para pengikutnya untuk menuntut ilmu
sejauh mungkin, bahkan sampai ke negeri Cina. Nabi menyatakan bahwa
“jauhnya letak suatu Negara tidaklah menjadi masalah, sebagai ilustrasi unik
terhadap kemuliaan nilai ilmu pengetahuan”27. Siapapun sepakat hadits Nabi yang
berbunyi Utlub al-‘ilm walau kana bi al-shin, menekankan betapa pentingnya
mencari ilmu lebih-lebih ilmu agama yang dikategorikan Imam Ghozali sebagai
fardlu ‘ain.
Ayat 21
)٢ ١: ٢٩/بوتڪنالع ( Artinya: Allah mengazab siapa yang dikehendaki-Nya, dan memberi rahmat kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan hanya kepada-Nya-lah kamu akan dikembalikan. (Q.S. al-Ankabut [29] : 21) Ayat tersebut di atas menyebutkan hal yang terpenting dalam kehidupan
dihari kemudian (kiamat). Kata “
” terambil dari kata “qalaba-yaqlibu-qolban yang berarti
membalik”.28 Hati manusia dinamai qalb karena ia sering kali berbolak balik, al-
Maragi menafsirkan kata tuqlabûn yaitu kalian dihidupkan kembali setelah mati,
maksudnya ialah sekalipun pengembalian itu ditangguhkan, namun kalian jangan
mengira bahwa Dia akan luput dari kalian.
Didahulukannya kata “ilaihi atas tuqlabûn untuk mengisyaratkan
kekhususan Allah dalam hal pengembalian itu. Yakni hanya kepada-Nya, tidak
kepada siapapun selain-Nya. Ketika itu amat jelas kekuasaan Allah, tidak ada satu
pun yang terlihat memiliki walau sekecil apapun tanda-tanda kekuasaan. Ketika
itu faktor-faktor yang dapat memberi manfaat dan menampik mudharat yang
27 Abdurrahman Mas’ud. Menggagas Format Pendidikan Nondikotomik. (Yogyakarta: Gama Media.2002). hlm.24 -27
28 Muhammad Idris Abdul Rauf al-Marbawi, Kamus Arab Melayu, h. 150
38
pernah diketahui dalam kehidupan dunia, semuanya hilang, sirna dan punah
karena memang penentu dan pemberi manfaat dan mudharat, rahmat dan siksa
hanya Allah semata-mata”.29
Dengan demikian, berdasar pada pengertian sebagaimana telah tersebut,
maka menurut hemat penulis bahwa yang dimaksud tuqlabûn yaitu semua
manusia akan dikembalikan kepada Allah. Oleh sebab itu, jangan ada diantara
manusia yang mengira akan luput dari perhitungan amalnya di hadapan Allah.
Allah yang akan memperhitungkan amal perbuatan setiap manusia dan dia pula
yang menentukan pahala atau azab sebagai imbalannya.
Menurut Qurais Shihab, ayat di atas menyebut hal yang terpenting dalam
kehidupan dihari kemudian itu, yaitu bahwa:
“Dia menyiksa dengan sangat adil dan setimpal siapa yang Dia kehendaki untuk disiksa setelah terlebih dahulu menetapkan dan memaparkan dengan sangat jelas hukum-hukum yang berlaku umum sehingga diketahui oleh semua pihak dan merahmati serta melimpahkan aneka kebahagian berdasar anugerah-Nya semata siapa yang Dia kehendaki untuk dirahmati di antara hamba-hamba-Nya, yaitu yang taat dan patuh melaksanakan tuntunan-Nya dan hanya kepada-Nya-lah setelah kematian kamu akan dikembalikan untuk disiksa atau dirahmati”.30
Potongan ayat ini menjelaskan kekuasaan mutlak Allah, Dia akan mengazab
siapa yang dikehendaki-Nya di antara orang-orang yang tidak mau beriman dan
orang beriman yang mengerjakan dosa. Azab tersebut tidak hanya terbatas di
akhirat saja, tetapi juga di dunia. Sebaliknya Allah akan memberi rahmat kepada
siapa yang dikehendaki dengan ni’mat dan keutamaan-Nya. Allah yang
menetapkan sesuatu menurut apa yang diinginkan-Nya. Allah tidak bertanggung
jawab kepada manusia, tetapi manusia yang wajib mempertanggung jawabkan
perbuatannya kepada Allah.
Kemudian Ibn Katsir lebih lanjut mengatakan bahwa:
“Allah mengazab siapa yang dikehendaki-Nya dan memberi rahmat kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dia tidak berkehendak kecuali berdasarkan keadilan. Maka dia tidak berbuat zalim seberat dzarrah pun, karena kezaliman itu diharamkan atas diri-Nya sendiri juga dalam pergaulan
29 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah Pesan Kesan dan Keserasian al-Qur’an, h. 471 30 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah Pesan Kesan dan Keserasian al-Qur’an, h. 470
39
diantara kita. Dan hanya kepada-Nyalah kamu akan dikembalikan pada hari kiamat”.31
Azab dan rahmat mengikuti kehendak Allah. Karena dia telah menjelaskan
jalan petunjuk dan jalan kesesatan, serta menciptakan kesiapan dalam diri manusia
untuk memilih ini atau itu. Allah juga memudahkan baginya untuk memilih salah
satu dari dua jalan itu, dan manusia setelah itu menanggung konsekuensi atas apa
yang dia pilih. Namun, jika ia memilih jalan kepada Allah dan mengharap dan
mendapatkan petunjuk-Nya, maka kedua hal itu akan mengantarkannya kepada
pertolongan Allah baginya. Sementara itu, “jika ia berpaling dari dalil-dalil
petunjuk dan menghalangi orang dari petunjuk itu, niscaya perbuatannya itu akan
mengantarkannya kepada keterputusan dan kesesatan. Dan dari situlah ditentukan
apakah ia mendapatkan rahmat atau azab”.32
Dari beberapa penjelasan sebagaiman telah dikemukakan di atas, dapat
dipahami bahwa Allah mencipatakan permulaan hidup dalam segala sesuatu
adalah semata-mata kekuasaan-Nya, niscaya menjatuhkan azab dan siksaan
kepada yang Dia kehendaki adalah kekuasaan-Nya sendiri pula. Demikian juga
jika Dia hendak menurunkan rahmat-Nya. Mengazab atau memberi rahmat,
semata bergantung kepada kehendak Allah. Dia terletak di antara dua jalan, yaitu
jalan yang diberi petunjuk dan jalan yang tersesat. Manusia diberi alat buat
menempuh jalan itu, yaitu akal dan fikirannya. Dia boleh memilih, yang ini atau
yang itu, tetapi Allah sendiri selalu menganjurkan, memanggil, membujuk supaya
jalan selamatlah yang ditempuh dan dekatilah Allah. Asal jalan itu yang ditempuh,
Dia berjanji akan menolong. Sebagaimana firmannya dalam surat al-An’am ayat
12:
☺ ☺ ⌧
☺ ☺
☺
31 Muhammad Nasib ar-Rifa’i, Kemudahan Dari Allah : Ringkasan Tafsir Ibn Katsir,
(Jakarta: Gema Insani Press) , cet. 1, h. 723 32 Sayyid Quthb, Fi Zhilalil Qur’an Di Bawah Naungan Al-Qur’an, h. 98
40
Artinya: Katakanlah: "Kepunyaan siapakah apa yang ada di langit dan di bumi." Katakanlah: "Kepunyaan Allah." dia Telah menetapkan atas Diri-Nya kasih sayang. dia sungguh akan menghimpun kamu pada hari kiamat yang tidak ada keraguan padanya. orang-orang yang meragukan dirinya mereka itu tidak beriman. (Q.S. al-An’am [6] : 21)
Akhir ayat ini menyebutkan bahwa semua manusia akan dikembalikan
kepada Allah. Maksudnya sekalipun pengembalian itu ditangguhkan, namun
kalian jangan mengira bahwa Dia akan luput dari kalian, karena hanya kepada-
Nyalah kalian kembali, Dialah yang menghisab kalian dan pada-Nyalah tersimpan
pahala serta siksa kalian.
Ayat 22
☺ ☺
)٢ ٢: ٢٩/بوتڪنالع (
Artinya: Dan kamu sekali-kali tidak dapat melepaskan diri (dari azab Allah) di bumi dan tidak (pula) di langit dan sekali-kali tiadalah bagimu pelindung dan penolong selain Allah. (Q.S. al-Ankabut [29] : 21) Kata ☺ Mu’jizĭn terambil dari kata ajaza - ya’jizu -
ajzan yang berarti lemah,33 dalam qamus al-quran kata Mu’jizĭn diartikan: yang
melepaskan atau yang terlepas,34 sedangkan al-Maragi menafsirkan kata tersebut
dengan tafsiran menjadikan Allah lemah.
Berdasarkan definisi di atas dapat dipahami bahwa yang dimaksud Mu’jizĭn
yaitu “sesungguhnya Allah tidak dapat dilemahkan oleh seorang pun diantara para
penghuni langit dan bumi-Nya, malah Dia-lah yang maha perkasa di atas seluruh
hamba-Nya, karena segala sesuatu butuh kepada-Nya”.35
33 Muhammad Idris Abdul Rauf al-Marbawi, Kamus Arab Melayu, h. 6, juz 2 34 Abdul Qadir Hasan, Qamus al-Qur’an, (Bangil: Yayasan al-Muslimun, 1991), cet VI,
h. 348 35 Ahmad Mustafa al-Maragi, Terjemah Tafsir Al-Maragi, h. 223
41
Menurut Hamka, maksud ayat di atas yaitu “bahwa orang yang berbuat
kejahatan-kejahatan tidaklah lepas dari tilikan Allah, bahwa pertanggunganjawab
atas kejahatannya itu akan dituntut”. Maka dalam ayat ini disebut Mu’jizĭn, yang
pokok asal artinya melemahkan, yaitu karena engkau merasa kuat, kuasa, gagah
dan perkasa, tidak ada kekuasaan Tuhan yang sanggup menghalangi kamu dari
kesewenang-wenangan itu, itu adalah persangkaan yang salah. Kamu kecil sekali,
tidak ada arti apa-apa jika dibanding dengan makhluk Allah yang lain. Sedangkan
matahari yang begitu besar, lagi tunduk tidak sanggup melawan peraturan-
peraturan, kononlah engkau, hai manusia! ”dan tidak ada bagi kamu selain Allah
sebagai pelindung yang akan melindungi kamu jika diancap oleh sesuatu bahaya.
Tidak ada yang mengalahkan dan menandingi kekuasaan Allah, Allah
berkuasa atas sekalian hamba-Nya. Semua makhluk membutuhkan-Nya.
Andaikata seseorang pergi mencari tempat pelarian ke langit yang tinggi, atau
bersembinyi dalam perut ikan di laut, ia takkan dapat melepaskan diri dari
genggaman kekuasaan Allah. Oleh karena itu, tidak seorang pun diantara manusia
yang dapat mencari seorang penolong yang akan melepaskannya dari azab dan
siksaan Allah, baik di langit maupun di bumi.
Menurut Qurais Shihab, ayat tersebut di atas merupakan dipupuskannya
segala harapan dari para pendurhaka dengan menyatakan:
Jangan duga kamu akan dapat menghindar dari siksa-Nya, karena ketika itu tiada kekuasaan selain kuasa-Nya dan kamu wahai para pendurhaka, manusia atau jin, siapa, kapan dan dan dimana pun kamu berada sekali-kali tidak dapat melepaskan diri dari siksa yang ditetapkan Allah, baik kamu berada dan berbolak balik di bumi yang terbentang ini dan tidak pula dapat melepaskan diri dari-Nya walau kamu atau arwah kamu wahai siapa yang hendak disiksa-Nya itu berada di langit, dan sekali-kali tiadalah bagi kamu selain Allah semat-mata satu pelindung pun, yakni pihak yang dekat kepada kamu yang dapat melindungi kamu, dan tiada juga orang lain yang jauh dari kamu yang dapat berfungsi sebagai satu penolong pun yang dapat meringankan siksa yang ditetapkan Allah itu.36 Kemudian Sayyid Quthb menyatakan tentang inti dari potongan ayat di atas.
”Ke mana lagi kalian mencari perlindungan dan penolong selain Allah? Ataukah,
kepada malaikat dan jin? Sementara semuanya adalah para hamba ciptaan Allah
36 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah Pesan Kesan dan Keserasian al-Qur’an, h. 470
42
yang tak dapat memberikan manfaat atau mudharat kepada diri mereka, apalagi
untuk orang lain”.37
Kemudian Ibnu Katsir lebih lanjut menyatakan bahwa:
Dan kamu sekali-kali tidak dapat melepaskan diri dari azab di bumi dan
tidak pula di langit.” tidak ada seorang pun, baik di langit maupun di bumi, yang
dapat melemahkan-Nya. Setiap perkara takluk dan takut kepada-Nya serta
membutuhkan-Nya. Dia tidak membutuhkan perkara selain-Nya.” dan sekali-kali
tiada pelindung dan penolong selain Allah.
Dari beberapa penjelasan sebagaimana telah dikemukakan di atas, dapat
dipahami bahwa Allah tidak dapat dilemahkan oleh apa pun, karena Allah Maha
berkuasa tidak ada yang mengalahkan dan menandingi kekuasaan Allah, matahari
yang begitu besar, lagi tunduk tidak sanggup melawan peraturan-peraturan yang
telah Allah tetapkan, kononlah engkau, hai manusia! ”dan tidak ada bagi kamu
selain Allah sebagai pelindung yang akan melindungi kamu jika diancam oleh
sesuatu bahaya. tidak seorang pun diantara manusia yang dapat mencari seorang
penolong yang akan melepaskannya dari azab dan siksaan Allah, baik di langit
maupun di bumi.
Penyebutan kata ( ☺ ) fi as-samâ’ atau di
langit pada ayat di atas untuk mengisyaratkan kemungkinan dugaan sementara
pendurhaka bahwa ia dapat berlindung ke langit seperti Fir’aun yang berusaha
membuat bangunan tinggi menuju ke langit untuk melihat Tuhan Nabi Musa atau
bahwa arwah seseorang akan berada di langit.
Ibn ‘Asyur berpendapat bahwa penyebutan kata langit bertujuan
memupuskan sama sekali harapan mereka untuk memperoleh keselamatan,
walaupun sebenarnya mereka juga sadar tentang ketidak mampuan mereka berada
di langit. Sedangkan Thaba’thaba’I memahami kata di langit sebagai tempat
dimana jin dapat berada. Karena itu, ulama tersebut memahami ayat-ayat di atas
sejalan maknanya dengan firman-Nya yang artinya:
☺
37 Sayyid Quthb, Tafsir fi Zilalil Qur’an, h. 99
43
Artinya: Hai jama'ah jin dan manusia, jika kamu sanggup menembus (melintasi) penjuru langit dan bumi, Maka lintasilah, kamu tidak dapat menembusnya kecuali dengan kekuatan. (Q.S. ar-Rahman [55] : 21)38 Ayat 23
⌧ ⌧
☺
⌧ )٢ ٣: ٢٩/بوتڪنالع (
Artinya: Dan orang-orang yang kafir terhadap ayat-ayat Allah dan pertemuan dengan Dia, mereka putus asa dari rahmat-Ku, dan mereka itu mendapat azab yang pedih. (Q.S. al-Ankabut [29] : 23) Kata ☺ artinya mereka
putus asa dari rahmatKu (Allah). Terambil dari kata “al-ya’su yang bermakna
ketiadaan ambisi atau putus asa”.39 Sedangkan menurut Qurais Shihab kata
“( ☺ ) dipahami dalam arti surga”. Dalam al-Qur’an sering kali
kata rahmat digunakan untuk menunjuk surga seperti dalam QS. Al-Jatsiah [45]:
30 dan QS. Al-Insan [76]: 31. penamaannya demikian sangat wajar, karena
memang surga adalah tempat memperoleh ganjaran Ilahi sekaligus rahmat-Nya
sebagaimana neraka tempat penyiksaan dan siksa-Nya. Di sisi lain keputusasaan
mereka itu dapat dipahami dalam arti “mereka mengingkari keniscayaan kiamat”
atas dasar pada hari kiamat akan ada surga dan ada juga neraka. Siapa yang tidak
mempercayai adanya kiamat, maka dia pada hakikatnya tidak percaya dan telah
memutuskan harapannya untuk memperoleh surga. Bisa juga penggalan ayat itu
dipahami sebagai ketetapan Allah atasa mereka, yakni mereka tidak akan masuk
38 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah Pesan Kesan dan Keserasian al-Qur’an, h. 471 39 Departemen Agama RI, Al-Qur’an Dan Tafsirannya, h. 379
44
surga, dan dengan adanya ketetapan tersebut, mereka menjadi orang-orang yang
berputus asa.
Ayat yang lalu memupuskan harapan kaum musyrikin untuk memperoleh
dan perlindungan dari siksa Allah. Kini melalui ayat di atas dipupuskan pula
harapan mereka untuk memperoleh surga.
Al-Maragi menafsirkan ayat tersebut:
“Dan orang-orang yang kafir kepada bukti-bukti yang telah ditegakkan
Allah pada alam ini sebagai dalil atas ketauhidan-Nya dan bukti-bukti yang
diturunkan-Nya kepada para rasul-Nya yang menunjuk kepada keesaan-Nya itu,
serta mengingkari pertemuan dengan-Nya dan kembali kepada-Nya pada hari
kiamat, maka mereka itu adalah orang-orang yang tidak mengharapkan rahmat-
Nya, karena mereka tidak takut kepada siksa-Nya, tidak pula mengharapkan
pahala-Nya dan mereka tidak akan menerima azab yang pedih di dunia dan di
akhirat”.40
Menurut Qurais Shihab potongan ayat ini mengandung pengertian bahwa,
“Dan orang-orang yang kafir terhadap ayat-ayat Allah yakni mengingkari bukti-
bukti yang terbentang di alam raya dan mengabaikan tuntunan-tuntunan-Nya yang
terdengar dibaca dari kitab suci serta mengingkari pula pertemuan dengan-Nya,
yakni hari kebangkitan, mereka itu yang sungguh jauh dari peringkat kemanusiaan
bahkan binatang, telah berputus asa dari rahmat-Ku, yakni berputus asa untuk
Ku-perlakukan dengan perlakuan seorang yang kasih sehingga Ku-masukkan ke
surga dan sekali lagi mereka itulah yang sungguh jauh dari segala macam
kebajikan yang memperoleh secara wajar dan adil siksa yang pedih.
Lebih lanjut Qurais Shihab manyatakan bahwa, sebagaimana pada ayat 20
yang lalu, Nabi Muhammad saw. Diperintahkan untuk menyampaikan kandungan
ayat 20 hingga ayat 22. adapun ayat ini, maka ia tidak termasuk apa yang
diperintahkan untuk disampaikan oleh beliau, tetapi Allah yang langsung
berdialog dengan Nabi Muhammad saw. Dan menyampaikan kepada beliau
melalui malaikat jibril. Itu sebabnya pada ayat 23 ini, Allah menunjuk surga dan
menisbatkannya langsung kepada diri-Nya dengan menyatakan (rahmat-Ku) serta
40 Ahmad Mustafa al-Maragi, Terjemah Tafsir Al-Maragi, h. 224
45
mengulangi kata ( ) ula’ika yang menggunakan
bentuk tunggal, yakni kepada Nabi Muhammad saw. sendiri, bukan bentuk jamak
seperti ( ) ula’ikum. Pernyataan Allah secara langsung
dengan menyebutkan kata rahmat-Ku mengisyaratkan bahwa surga adalah hak
prerogatif Allah swt. Dia sendiri yang berwenang menentukan siapa yang wajar
mendapatkannya, sekaligus mengisyaratkan bahwa penganugrahannya semata-
mata adalah berkat rahmat Allah, bukan hak yang dapat dituntut oleh hamba-
hamba Allah seberapa banyak pun amal salehnya.
Kemudian Hamka lebih lanjut menyatakan bahwa:
“Dan orang-orang yang kafir dengan ayat-ayat Allah, ialah orang yang
telah bertemu dengan tanda-tanda dan bukti adanya Allah itu, namun dia masih
saja tidak mau percaya bahwa Allah ADA. Atau diakuinya bahwa Allah ADA,
tetapi dia tidak mau percaya bahwa Allah Maha Kuasa sendiri-Nya, tiada
bersekutu yang lain dengan Dia. Dan dari hal akan bertemu dengan Dia,” artinya
tidak dia percaya akan hari kiamat ; “Itulah orang yang telah putus asa dari
RahmatKu. “artinya tidak ada harapan lagi baginya dengan mendapat rahmat Ilahi
yang Dia telah mewajibkan atas diri-Nya akan memberikan itu. Barulah
keputusasaan itu akan hilang, jika orang itu mengubah pendirian. “Dan orang-
orang itu, bagi mereka adalah azab yang pedih.”41
Kemudian Ibn Katsir menafsirkan potongan ayat di atas yaitu, dan orang-
orang yang kafir kepada ayat-ayat Allah dan pertemuan dengan Dia, yakni ingkar
terhadap ayat-ayat Allah dan kafir terhadap hari kiamat, mereka putus asa dari
rahmatKu, mereka tidak memperoleh bagian dari rahmat itu. Dan mereka itu
mendapat azab yang pedih.
Ditujukan ayat ini langsung kepada Nabi Muhammad saw. Bertujuan untuk
mengukuhkan hati beliau serta untuk menghindarkan para pendurhaka mendengar
lansung firman ini karena mereka adalah orang-orang yang tidak beriman.
Demikian tulis Thaba’thaba’i
Kesimpulan yang dapat penulis ambil dari berbagai penjelasan di atas ialah
Allah mengancam orang kafir yang tidak mau membenarkan keterangan-
41 Hamka, Tafsir al-Azhar, (Jakarta, PT Pustaka Panji Mas, 1982), juz XX, h. 168
46
keterangan-Nya di atas bahwa mereka tidak akan mendapat rahmat Allah,
sehingga mereka berputus asa. Karena mengingkari keesaan Allah, mendustakan
para rasul yang diutus kepada mereka, serta tidak percaya akan adanya hari
kebangkitan. Berarti mereka tidak takut akan ancaman azab Allah dan tidak
mengharapkan balasan yang baik dari sisi-Nya. Oleh karena itu, wajar jika mereka
diancam dengan azab yang pedih, di dunia maupun di akhirat.
Hal itu karena seseorang menusia tak merasa putus asa dari rahmat Allah
kecuali ketika hatinya kafir, dan terputus antara dirinya dan Rabbnya. Demikian
juga ia tak kafir kecuali ketika ia telah berputus atas dari tersambungnya hatinya
dengan Allah, dan telah kering hatinya itu. Sehingga, tak lagi mempunyai jalan
menuju rahmat Allah. Dan akibat yang diterimanya kita telah katahui, yaitu,
“mereka itu mendapat azab yang pedih.”42
Ayat 24
☺
)٢ ٤: ٢٩/بوتڪنالع (
Artinya: Maka tidak adalah jawaban kaum Ibrahim, selain mengatakan: "Bunuhlah atau bakarlah dia", lalu Allah menyelamatkannya dari api. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda kebesaran Allah bagi orang-orang yang beriman. (Q.S. al-Ankabut [29] : 24) Kata adalah kata perintah dari kata “harraqa-
yuharriqu-tahrîqan”. Kata ini terbentuk dari kata “hariqa-yahriqu-harqan yang
berarti terbakar”. Tambahan tasydid di sini untuk memberi makna “banyak”. Jadi,
makna kata harraqa adalah membakar dengan api yang sangat banyak. Kata ini
memiliki makna lain, yaitu “menguliti dengan kikir sehingga sakitnya terasa
panas”. Akan tetapi, yang dimaksud di sini adalah membakar dengan api yang
besar.43
42 Sayyid Quthb, Fi Zhilalil Qur’an Di Bawah Naungan Al-Qur’an, h. 99 43 Departemen Agama RI, Al-Qur’an Dan Tafsirannya, h. 383
47
Qurais Shihab menafsirkan ayat di atas yaitu,
Mendengar nasihat itu, maka tidak ada jawaban kaumnya yang sebenarnya
sangat dikasihi oleh Nabi Ibrahim as itu selain mengatakan dengan sangat kasar
serta penuh kebencian: “Bunuhlah dia dengan pedangdan semacamnya atau
bakarlah dia sampai mati. “akhirnya mereka sepakat memilih untuk membakar
beliau. Mereka kemudian mengumpulkan bahan bakar lalu menyulutnya dengan
api sehingga lahir kobaran api yang sangat besar dan yang panasnya menyengat
siapa pun yang berada walau dalam jarak yang relatif jauh darinya. Karena itu,
mereka melempar Nabi Ibrahim as. dengan ketapel besar sehingga beliau terjatuh
di tonggakan api yang menyala itu, lalu dengan cepat dan tanpa berangsur Allah
Yang Maha Kuasa, penolong dan pelindung satu-satunya menyelamatkannya dari
api yang berpotensi membakar itu.44
Lebih lanjut Qurais Shihab mengatakan, firman-Nya mengabadikan ucapan
Nabi Ibrahim a.s: “Bunuhlah atau bakarlah dia”, dapat dipahami sebagai usul
satu pihak yang memberi alternatif. Bisa juga usul dari dua pihak, yang satu
mengusulkan membunuh dengan pedang, dan yang lain dengan api. Apapun yang
terjadi, yang jelas yang akhirnya mereka sepakat membakar beliau. Hal ini boleh
jadi karena mereka beranggapan membunuh dengan pedang adalah hal yang telah
biasa dilakukan dan yang dapat dijatuhkan kepada siapa pun yang melakukan
kesalahan tertentu, sedang “kesalahan” Nabi Ibrahim sangat luar biasa dan belum
pernah dilakukan oleh siapa pun sebelumnya, sehingga sangsinya harus luar biasa,
sesuai dengan besarnya kesalahan dan besarnya tuhan-tuhan mereka yang
dihancurkan dan dihina oleh Ibrahim.
Sedangkan Ibn Katsir menafsirkan ayat ini, Allah Ta’ala memberitahukan
ihwal kaum Ibrahim bahwa setelah Ibrahim menyampaikan nasihat yang meliputi
petunjuk dan penjelasan, maka jawaban mereka hanyalah mengatakan, bunuh atau
bakarlah dia. Hal itu karena mereka kalah berdebat, lalu mereka beralih kepada
penggunaan kekuatan raja. Kemudian mereka mengumpulkan kayu bakar hingga
terkumpul banyak. Lalu mereka membakarnya. Belum pernah ada api sebesar itu.
44 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah Pesan Kesan dan Keserasian al-Qur’an, h. 474
48
Begitu jelas, terang dan penuh kejujuran seruan yang disampaikan oleh
Ibrahim. Penuh kasih-sayang dari seorang anggota kaum kepada kaumnya sendiri.
Ketika kelaliman itu menampilkan wajahnya yang seram. Ibrahim tak
memiliki kekuatan dan kekuasaan. Maka di sini, ikut campur tanganlah kekuasaan
Allah dalam bentuknya yang jelas. Kekuasaan Allah itu campur tangan dengan
mukjizat yang supranaturalbagi kebiasaan manusia.
Demikian Allah menunjukkan sekelumit kuasa-Nya bukan dengan cara yang
lumrah mereka ketahui atau lihat, tetapi sesuatu yang tidak pernah mereka lihat.
Api yang biasa membakar, menjadi tidak membakar. Ia yang biasa panas kini
menjadi dingin, sejuk dan nyaman. Ia yang biasa membinasakan kini menjadi
faktor penyelamat.
Peristiwa yang dialami oleh Nabi Ibrahim as. itu merupakan suatu
keluarbiasaan, yakni di luar hukum-hukum alam yang kita kenal.
(العنكبوت/٢٤:٢٩)
Terselamatkannya Ibrahim dari api dengan cara supranatural yang menjadi
tanda kekuasaan Allah bagi orang yang hatinya siap untuk beriman. Namun, kaum
Ibrahim tersebut tetap tak beriman, meskipun mereka telah melihat tanda
supranatural ini. Kenyataan ini menunjukkan bahwa kejadian-kejadian
supranatural tak memberi petunjuk kepada hati. Tapi, kesiapan untuk menerima
petunjuk dan keimanan itulah yang mengantar seseorang kepada keimanan.45
Setelah terlepas dari bahaya api menyala itu, banyaklah percobaan yang
dihapadi oleh Ibrahim, sampai di uji karena sudah tua beranak, sampai isteri yang
tercinta menyuruhnya kawin lagi karena kasihan kepada suami kalau-kalau dia, si
isteri yang mandul. Sampai krisis dalam rumah tangga karena beristeri dua.
Sampai isteri muda mengandung terpaksa dipisahkan. Sampai lahir anak pertama
Ismail, dari isteri muda. Anak kedua Ishak dari isteri yang tua. Kemudian di uji
pula dengan perintah Tuhan menyembelih anak yang disayanginya itu. Sampai
45 Sayyid Quthb, Fi Zhilalil Qur’an Di Bawah Naungan Al-Qur’an, h. 99
49
ujian yang kecil tetapi penting, yaitu disuruh bersunnat. Sama sekali dihadapinya
dan diatasinya. Setelah lulus dari segala macam ujian itu diangkatlah martabatnya
di sisi Allah, dijadikan imam bagi manusia, menurunkan Nabi-nabi dan Rasul-
rasul dari Bani Israil dan Bani Ismail. Dan bersama Ismail diperintah oleh Tuhan
mendirikan Ka’bah.46
Al-Maragi menjelaskan, kemudian Allah menerangkan bahwa dalam hal ini
terdapat pelajaran bagi orang yang mau mengambil pelajaran
(العنكبوت/٢٤:٢٩)
Sesungguhnya penyelamatan Ibrahim dari api setelah Ibrahim dilemparkan
ke dalamnya ketika api berkobar-kobar dan dijadikannya api itu terasa dingin dan
nyaman baginya, benar-benar mengandung bukti dan hujjah bagi kaum yang
beriman kepada Allah, apabila mereka menyaksikan atau melihat hujjah seperti
ini.
Tanda kekuasaan Allah yang pertama adalah menyelamatkan Ibrahim dari
api. Tanda kedua adalah ketidakmampuan orang-orang jahat untuk mencelakakan
satu orang yang Allah kehendaki selamat. Sedangkan, tanda ketiga adalah bahwa
kejadian-kejadian supranatural tak memberi petunjuk kepada hati yang
membangkang. Hal dakwah itu terlihat jelas oleh orang yang ingin merenungkan
sejarah, mengarahkan hati, dan faktor-faktor petunjuk dan kesesatan.
Menurut Sayyid Quthub sebagaimana dikutip oleh Hamka dalam tafsirnya
menuliskan tiga ayat atau tanda bukti yang nyata, yang jelas kelihatan oleh orang
yang beriman pada kejadian atas diri Nabi Ibrahim ketika beliau dihukum bunuh
dengan dibakar tetapi selamat itu. “Pertama: ialah tidak berbekas panasnya api
atas diri seorang manusia, sehingga selamat sejahtera keluar dari dalam api itu.
Kedua: lemah dan tidak berupayanya seorang raja yang gagah perkasa dalam
menyakiti seorang hamba Allah yang memperjuangkan kebenaran Allah, kalau
Allah berkehendak menyelamatkan orang itu. Ketiga: kejadian-kejadian luar
biasa, sebagai api tidak menghangusi dan mu’jizat-mu’jizat lain yang
46 Hamka, Tafsir al-Azhar, (Jakarta, PT Pustaka Panji Mas, 1982), juz XX, h. 169
50
dianugrahkan Tuhan kepada Nabi-nabi-Nya tidaklah besar pengaruhnya buat
merubah hati orang-orang yang memang telah sengaja buat ingkar dan
menolak”.47
47 Hamka, Tafsir al-Azhar, (Jakarta, PT Pustaka Panji Mas, 1982), juz XX, h 169
BAB IV
NILAI-NILAI PENDIDIKAN YANG TERKANDUNG DALAM
AL-QUR’AN SURAT AL-ANKABUT AYAT 16-24
Al-Qur’an sebagai landasan pokok serta pedoman hidup umat Islam, telah
banyak memberikan pelajaran tentang nilai-nilai serta norma-norma dalam segala
segi-segi kehidupan. Salah satunya adalah dalam bidang pendidikan yang
merupakan faktor fundamental serta menjadi kebutuhan yang urgen, dan telah
menjadi hak semua manusia untuk mendapatkan pembinaan, pemeliharaan serta
pendidikan yang layak dalam menempuh kesuksesan hidup, baik itu kebutuhan
hidup di Dunia maupun keselamatan hidup di Akhirat.
Al-Qur’an surat al-ankabut ayat 16 sampai ayat 24 merupakan beberapa
ayat dari sekian banyak ayat-ayat dalam al-Qur’an yang membahas masalah
pendidikan, dalam hal ini ayat tersebut menunjukkan akan adanya nilai-nilai
pendidikan yang penting untuk dibahas, seperti halnya nilai pendidikan tauhid
dalam surat ini, tentunya para ulama sepakat bahwasannya mempelajari ilmu
tauhid itu hukumnya adalah fardhu ‘ain bagi setiap umat Islam yang telah baligh,
dalam surat al-ankabut ayat 16 merupakan seruan tauhid Nabi Ibrahim kepada
kaumnya, perjuangan Khalilullah (kekasih) Allah yaitu Nabi Ibrahim a.s yang
mengajak kaumnya untuk mengesakan Allah dalam ibadah dan membersihkan diri
dari segala bentuk kemusyrikan untuk menyembah kepada Allah saja dan
bertakwa kepada Allah saja, itu karena kerusakan kepercayaan mereka selama ini
yaitu dengan menyembah berhala-berhala selain Allah, yang tidak lain adalah
50
51
hasil buatan tangan mereka sendiri karena mereka membuat sesuai dengan
dorongan diri mereka tanpa ada dasar dan kaidah yang menjadi pijakan mereka.
Sebelum penulis lebih lanjut menjelaskan aspek-aspek dan nilai-nilai
pendidikan yang terkandung di dalam surat al-Ankabut, ayat 16 sampai dengan
ayat 24, akan dikemukakan hasil wawancara penulis dengan salah seorang dosen
fakultas ushuluddin dan filsafat, yang memberi jawaban atas pertanyaan mengenai
masalah ini (nilai-nilai pendidikan), sebagai berikut:
A. Nilai pendidikan tauhid sebagaimana disebut dalam surat al-Ankabut ayat 16, sebagai berikut:
☺
) ٢٩:١٦/بوتڪنالع( B. Dalam pendidikan tauhid ini meliputi dua bagian, pertama perintah bribadah
hanya kepada Allah dan kedua perintah bertakwa kepada Allah C. Nilai pendidikan syukur sebagaimana yang tercantum dalam kata
D. Nilai pendidikan sabar, berdasarkan pada perjuangan Nabi Ibrahim menyebarkan tauhid kepada kaumnya yang menentang, dengan sabar ia mengajak mereka untuk mengesakan Allah dalam ibadah dan membersihkan diri dari segala bentuk kemusrikan. Nilai pendidikan iman kepada hari kebangkitan sebagaimana tercantum dalam ayat sebagai berikut:
) ٢٠-٢٩/بوتڪنالع(
E. Nilai pendidikan belajar mengajar, sebagaimana tercantum dalam ayat sebagai berikut:
52
Berdasar pada isi kandungan sebagai nilai yang dapat dipetik dari firman
Allah surat al-Ankabut ayat 16 sampai ayat 24 ini, paling tidak penulis mengambil
beberapa nilai pendidikan sebagai intisari kandungan yang akan menjadi
pembahasan dalam sub bab ini. Penulis sangat berharap kiranya dari nilai-nilai
pendidikan yang akan menjadi pembahasan dapat bermanfaat dalam menambah
khazanah ilmu terutama dalam kaitannya dengan pembinaan pendidikan, adapun
nilai-nilai pendidikan tersebut meliputi nilai pendidikan tauhid, nilai pendidikan
sabar, nilai pendidikan iman kepada hari kebangkitan, nilai pendidikan kewajiban
belajar dan mengajar, nilai pendidikan syukur, yang kemudian akan penulis
jabarkan sebagai berikut:
1. Pendidikan Tauhid
Tauhid adalah pegangan pokok dan sangat menentukan bagi kehidupan
manusia. Karena tauhid menjadi landasan bagi setiap amal yang dilakukannya.
Hanya amal yang dilandasi dengan tauhidlah yang akan menghantarkan manusia
kepada kehidupan yang baik dan kebahagiaan yang hakiki di dalam akhirat nanti.
Menurut arti harfiah, Tauhid ialah “mempersatukan”, berasal dari kata
“wahid” yang berarti “satu”.
Sedangkan menurut istilah agama Islam, tauhid ialah “keyakinan tentang satu
atau Esanya Tuhan”, dan segala pikiran dan teori berikut dengan dalilnya yang
menjurus pada kesimpulan bahwa Tuhan itu Esa disebut ilmu tauhid, di dalamnya
termasuk soal-soal kepercayaan dalam agama Islam.2
Berdasarkan pada pentingnya peranan tauhid dalam kehidupan manusia
maka wajib bagi setiap muslim untuk mempelajarinya.
Tauhid bukan sekedar mengenal dan mengerti bahwa pencipta alam
semesta ini Allah; bukan sekedar mengetahui bukti-bukti rasional tentang
1 Hasil wawancara dengan Dr. Hj. Romlah Azkar MA, dosen Fakultas Ushuluddin dan
Filsafat, tanggal 23 oktober 2010, di gedung Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan. 2 Zainuddin, Ilmu Tauhid Lengkap, (Jakarta: PT Rineka, 1996), cet ke-II, h. 1
53
kebenaran wujud (keberadan)-Nya dan wahdaniyah (keesaan)-Nya; dan bukan
pula sekedar mengenal Asma’ dan sifat-Nya.
Allah berfirman,
)٥١:٥٦/الذاريات(Artinya: “Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku”. (QS. Az-Zariyat [51] : 56):
Dan firman-Nya,
)١٦:٣٦/النحل(
Artinya: Dan sungguhnya Kami telah mengutus Rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): "Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut.3 (QS. An-Nahl [16] : 36)
Dan firman Allah,
) ⌧ )٤:٣٦/النساء
Artinya: sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. (QS. An-Nisa [4] : 36)
Ayat-ayat al-Qur’an ini jelas menunjukkan bahwa tujuan diciptakannya
manusia adalah agar mereka menyembah Tuhan semata. Hanya Tuhan yang patut
disembah; hanya dia yang patut diabdi. “wajah”-Nya, yakni keridhaan-Nya, harus
menjadi tujan dari seluruh keinginan manusia, harus menjadi tujuan dari semua
tindakannya. Inilah esensi dari selurh risalah Nabi kita Muhammad saw, yan
hampir-hampir tidak dapat terungkap oleh Nabi sendiri kecuali dalam kata-kata
Tuhan: “Marilah kubacakan apa yang diharamkan bagimu oleh Tuhanmu, yaitu
bahwa janganlah kamu menyekutukan sesuatu dengan Dia.”) bahwa tauhid adalah
perintah Tuhan yang tertinggi dan terpenting dibuktikan oleh kenyataan adanya
3 Thaghut ialah syaitan dan apa saja yang disembah selain dari Allah s.w.t.
54
janji Tuhan untuk mengampuni semua dosa kecuali pelanggaran terhadap tauhid.
“Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, terhadap-Nya, tetapi Dia mengampuni
dosa-dosa selain dari itu bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barang siapa
mempersekutukan sesuatu dengan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa
yang besar.4
Jelas sekali, tidak ada satu pun perintah dalam Islam yang bisa dilepaskan
dari tauhid seluruh agama itu sendiri, kewajiban manusia untuk menyembah
Tuhan, untuk mematuhi perintah-perintah-Nya dan menjauhi larangan-
larangannya, akan hancur begitu tauhid dilanggar.
Allah adalah satu-satunya Ma’bud (yang ditujukan ibadah kepadanya).
Tak ada ma’bud selain-Nya, dan sama sekali tidak dibolehkan adanya ibadah
kepada sesuatu apa pun selain-Nya. Pengertian seperti itu semuanya, ditandaskan
oleh al-Qur’an, sunnah, akal dan ijma’.
Oleh karena itu tauhid dalam ibadah terbagi pada beberapa tingkatan:
Pertama: Tauhid Dalam Zat Allah
Yang dimaksud dengan hal ini adalah bahwa Allah SWT adalah Esa, tak
ada yang menyamai-Nya, dan tak ada padanan bagi-Nya. Lebih dari itu mustahil
ada yang menyamai-Nya, atau menjadi padanan bagi-Nya. Dalilnya dari firman-
firman Allah, disamping dalil aqliyah:
☺
☯ ☯
☺⌧ ⌦ ⌧
☺ )١١ :٤٢/الشوري(
Artinya: (Dia) Pencipta langit dan bumi. Dia menjadikan bagi kamu dari jenis kamu sendiri pasangan-pasangan dan dari jenis binatang ternak pasangan- pasangan (pula), dijadikan-Nya kamu berkembang biak dengan jalan itu. tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha mendengar dan melihat. (QS. As-Syuura [42]: 11)
4 Isma’il Raji al-Faruqi, Tauhid, Terj dari Tawhid: Its Implications for thought and life, oleh Rahmani Astuti, (Bandung: Pustaka, 1995), Cet ke-2, h. 17
55
Masih banyak lagi ayat lainnya yang menunjukkan bahwa Allah adalah
Esa, tak ada yang menyamai-Nya, tak ada padanan bagi-Nya, tak ada dua-Nya.
Kedua: Tauhid Dalam Penciptaan (Khaliqiyah)
Yang dimaksud dengan hal ini ialah tidak adanya “pencipta (khaliq) yang
sebenarnya” dalam wujud alam semesta ini selain Allah, dan tidak ada pelaku
yang bertindak sendiri dan merdeka sepenuhnya selain Allah. Segala sesuatu di
alam raya ini baik yang berupa bintang-bintang, bumi, gunung-gunung, lautan,
logam, awan, guruh, petir, tumbuhan, pepohonan, manusia, hewan, malaikat, jin
maupun segala sesuatu lainnya yang biasa disebut sebagai ‘pelaku’ atau
‘penyebab’ pada hakikatnya adalah benda-benda (maujubat) yang tidak dapat
bertindak sendiri secara sempurna, dan tidak memiliki pengaruh yang mandiri
sepenuhnya. Segala pengaruh yang dinisbatkan kepada maujudat itu, tidaklah
berasal dari zat-zatnya sendiri secara merdeka dan mandiri, tetapi semua pengaruh
itu bermuara pada Allah SWT. Dengan demikian, segala sebab akibat, kendatipun
adanya keterkaitan antara kedua-duanya, adalah makhluq (hasil ciptaan) Allah
SWT. Kepada-Nyalah bermuara segala kausalitas dan kepada-Nyalah bermuara
segala sebab, Dialah yang melimpahkan semua itu kepada segala benda, dan Dia
pulalah yang mencabut semua itu dari segala benda jika diinginkan oleh-nya.
Dalilnya dari firman Allah:
Firman Allah,
⌧
⌧
)٦٢: ٣٩/الزمر (
Artinya: “Allah menciptakan segala sesuatu dan Dia memelihara segala sesuatu”. (QS. Az-Zumar [39]: 62)
56
Allah berfirman,
⌧
)٤٠:٦٢/لمؤمنا( Artinya: ”yang demikian itu adalah Allah, Tuhanmu, Pencipta segala sesuatu, tiada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan dia; Maka Bagaimanakah kamu dapat dipalingkan?. (Al-Mu’min [40]: 62) Ketiga: Tauhid dalam Hal Rububiyah dan Pentadbiran
Yang dimaksud dengan hal ini ialah bahwa alam raya ini diatur oleh
mudabbir (pengelola), pengendali tunggal, tak disekutui oleh siapa dan apapun
dalam pengelolaan dan pen-tadbiran-Nya. Dialah Allah (Maha Suci Dia)
pengelola alam semesta ini.
Adapun pentanbiran para malaikat serta semua sebab (lantaran) yang
saling berkaitan, tidak lain adalah atas perintah-Nya. Hal ini berlawanan dengan
pendapat sebagian kaum musyrikin yang percaya bahwa yang berkaitan dengan
Allah hanyalah perbuatan penciptaan dan pengadaan mula pertama saja,
sedangkan pentadbiran dan pengaturan segala jenis makhluk dan benda di atas
bumi ini selanjutnya diserahkan (di-tafwid-kan) sepenuhnya kepada benda-benda
langit, malaikat, jin, serta maujudat spiritual yang diperankan oleh berhala-berhala
yang disembah. Jadi menurut mereka tidak ada sangkut paut Allah dalam hal
pentadbiran dan pengelolaan urusan segalanya.
Akan tetapi, dengan jelas dan terang al-Qur’an menegaskan bahwa Allah
adalah sang pengatur dan pengelola (al-mudabbir) bagi alam semesta, sementara
ia menafikan adanya pengelolaan dan pengaturan yang merdeka dan mandiri
sepenuhnya oleh sesuatu selain-Nya, dan bahwa seandainya ada pentadbir
(pengatur) selain-Nya, maka yang demikian itu semata-mata atas izin dan
perintah-Nya. Firman Allah SWT:
☺
57
⌧
⌧
)١٠:٣/يونس ( ⌧
Artinya: “Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, Kemudian dia bersemayam di atas 'Arsy untuk mengatur segala urusan. tiada seorangpun yang akan memberi syafa'at kecuali sesudah ada izin-Nya. (Dzat) yang demikian Itulah Allah, Tuhan kamu, Maka sembahlah Dia. Maka apakah kamu tidak mengambil pelajaran?”. (QS. Yunus [10]: 3).
Firman Allah,
⌧
☺
☺
⌧ )٢ :١٣/الرعد(
Artinya: “Allah-lah yang meninggikan langit tanpa tiang (sebagaimana) yang kamu lihat, Kemudian dia bersemayam di atas 'Arasy, dan menundukkan matahari dan bulan. masing-masing beredar hingga waktu yang ditentukan. Allah mengatur urusan (makhluk-Nya), menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya), supaya kamu meyakini pertemuan (mu) dengan Tuhanmu”. (QS. Ar-Ra’d [13]: 2).
Maka jika Allah SWT adalah satu-satunya mudabbir, dapatlah dipahami
bahwa yang dimaksud dengan istilah malaikat-malaikat pengatur seperti
tercantum dalam firman-Nya:
☺ Artinya: Dan (Malaikat-malaikat) yang mengatur urusan (dunia). (QS. An-Nazi’at [79]: 5)
Demikian pula malaikat-malaikat penjaga, seperti dalam firman-Nya: )
⌧ )٦:٦١/الانعام
58
Artinya: “Dan dialah yang mempunyai kekuasaan tertinggi di atas semua hamba-Nya, dan diutus-Nya kepadamu malaikat-malaikat penjaga”. (QS. Al-An’am [6]: 61)
Yang dimaksud dengan hal itu ialah bahwa para malaikat itu mengatur dan
menjaga atas perintah-Nya dan dengan kehendak-Nya. Tentunya yang demikian
itu tidak bertentangan dengan adanya pembatasan (monopoli) pentadbiran yang
merdeka dan mandiri sepenuhnya pada diri Allah SWT saja.5
A. Perintah Beribadah Hanya Kapada Allah
Semua risalah menyerukan penyembahan terhadap Allah, Yang Mencipta
dan Memelihara (raab) semesta alam. Menurut penuturan al-Qur’an, para nabi
terdahulu diutus kepada kaumnya masing-masing membawa dakwah tauhid.
⌧ ⌧
)٧:٥٩/الاعراف ( Artinya: Sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya lalu ia berkata: "Wahai kaumku sembahlah Allah, sekali-kali tak ada Tuhan bagimu selain-Nya." Sesungguhnya (kalau kamu tidak menyembah Allah), aku takut kamu akan ditimpa azab hari yang besar (kiamat). (QS al-A’raf [7]: 59)
Menurut bahasa, kata ibadah berarti patuh (al-tha’ah), tunduk (al-khudu).
Ubudiyah artinya tunduk dan merendahkan diri (al-tazallul).6
Beribadah kepada Allah berarti tunduk hanya kapada Allah SWT, taat,
menyerah diri, dan mengikuti segala perintah Allah. Bertuhan kepada-Nya dalam
arti mengagungkan, memuliakan baik dengan perkataan maupun perbuatan karena
keagungan, besaran nikmat dan kekuasaan-Nya.
Kata ibadah dalam arti luas, meliputi segala amal saleh yang dikerjakan
manusia, karena mengharap ridha Allah SWT, buruh di pabrik, petani di sawah,
5 Asy-Syaikh Ja’far Subhani, Tauhid Dan Syirik Dalam Al-Qur’an, Terj Dari At-Tauhid
Wa Syirk Fi Al-Qur’an Al-Karim, oleh Muhammad al-Baqir, (Bandung: Mizan, 1996), cet ke-VII, h. 15-17
6 Lahmuddin Nasution, fiqih I, (tt: Logos, tt), h. 2
59
dikatakan beribadah selama motivasi pekerjaannya itu semata-mata karena Allah
SWT.
Kata ibadah dalam arti sempit, terbatas pada amal perbuatan shalat, zakat,
puasa dan haji. Ibadah baik dalam arti luas ataupun sempit, manifestasi murni dari
aqidah, yaitu suatu sistem praktis untuk menguatkan hubungan manusia dengan
Tuhan-nya, hubungan antara individu dengan masyarakat, karena itu ibadah
mempunyai peranan besar dalam membina peradaban manusia.
Dari uraian di atas, dapat ditarik pengertian ibadah secara umum adalah
selama aktivitas manusia yang baik dan benar dan dilakukan hanya karena
mengharap ridha Allah SWT. Dengan demikian, seseorang yang beraqidah tidak
tauhid kepada Allah SWT, mustahil dapat melakukan perbuatan-perbuatan yang
baik dan benar karena mengharap ridha Allah SWT, sebaliknya, hanya bagi orang
yang beraqidah kuat dan hanya mentauhidkan kepada Allah SWT. Ia akan
melakukan perbuatan-perbuatan yang baik dan benar karena mangharap ridha
Allah SWT.
Manusia beribadah kepada Allah dengan mengakui bahwa tidak ada Tuhan
selain Allah dan mengakui pula bahwa Nabi Muhammad adalah hamba dan rasul-
Nya, mendirikan shalat, membayar zakat, berpuasa dibulan ramadhan dan pergi
haji ke “baitullah”.7
Secara umum ibadah berarti bakti manusia kepada Allah SWT, karena
didorong dan dibangkitkan oleh aqidah tauhid. Ibadah itulah tujuan hidup
manusia, firman Allah SWT,
☺
☺ ) )٥٨-٥١:٥٦/الذاريات
Artinya: dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku. aku tidak menghendaki rezki sedikitpun dari mereka dan
7 Muhammad Abdul Qodir Ahmad, Metode Pengajaran Pendidikan Agama Islam,
(Jakarta: Proyek Pembinaan Prasarana Dan Perguruan Tinggi Agama/ IAIN, 1985), h. 132
60
aku tidak menghendaki supaya mereka memberi-Ku makan. Sesungguhnya Allah Dialah Maha pemberi rezki yang mempunyai kekuatan lagi sangat kokoh. (QS. Az-Zariyat [51]: 56-58)
Menyembah Allah. Berarti memusatkan penyembahan kepada Allah
semata-mata, tidak ada yang disembah dan mengabdikan diri kecuali kepada-Nya
saja. Pengabdian berarti penyerahan mutlak dan kepatuhan sepenuhnya secara
lahir dan batin bagi manusia kepada kehendak Ilahi. Semua itu dilakukan dengan
kesadaran baik secara individu maupun secara bersama-sama.
Dengan kata lain bahwa semua kegiatan baik yang bersegi ‘ubudiyah
maupun yang bersegi muamalah, adalah dikerjakan dalam rangka penyembahan
kepada Allah SWT, dan mencari keridhoan-Nya. Suatu pekerjaan bernilai ibadah
atau tidak, tergantung pada niatnya. Suatu bantuan yang diberikan kepada
seseorang betapapun kecilnya bantuan itu, kalau dengan niat ibadah menjadikan ia
ibadah. Tetapi walaupun pekerjaan itu adalah shalat, kalau dikerjakan untuk
mendapat pujian manusia, maka shalat itu tidak bernilai ibadah.
Karena itu ibadah yang diajarkan Islam, tidak berarti harus menjauhi dan
meninggalkan hidup duniawi. Islam mengajarkan bahwa kehidupan duniawi ini
bukan tujuan. Demikian pula dari kegiatan-kegiatan di bumi ini bukan tujuan yang
hakiki, tujuan hakiki adalah ialah keridhaan Ilahi, keridhaan Ilahi yang
memungkinkan tercapainya hidup yang sebenarnya hidup yang lebih tinggi
mutunya dari hidup duniawi, hidup immaterial sebagai kelanjutan dari hidup
material ini, hidup ukhrawi yang puncak kebahagiaannya terletak dalam
pertemuan dengan Allah SWT. Itulah arti menyembah Allah sebagai tujuan hidup.
B. Perintah Bertakwa Hanya Kepada Allah
Kata taqwa yang terulang dalam Alquran sebanyak 17 kali, berasal dari
akar kata waqa’-yaqiy yang menurut pengertian bahasa berarti antara lain,
‘menjaga, menghindari, menjauhi’ dan sebagainya. Kata taqwa dalam bentuk
kalimat perintah terulang sebanyak 79 kali, ‘Allah’ yang menjadi objeknya
sebanyak 56 kali, neraka 2 kali, hari kemudian 4 kali, fitnah (bencana) 1 kali,
tanpa objek 1 kali. Sedangkan selebihnya yakni 15 kali, objeknya bervariasi
seperti rabbakum (Tuhanmu), al-ladzi khalaqakum (yang menciptakan kamu), al-
61
ladzi amaddakum bi ma ta’malun (yang menganugerahkan kepada kamu anak dan
harta benda) dan lain-lain. Redaksi-redaksi tersebut semuanya menunjuk kepada
Allah SWT. Dari sini dapat disimpulkan bahwa pada umumnya objek perintah
bertakwa adalah Allah swt. Sedangkan istilah Muttaqien adalah bentuk faa’il
(pelaku) dari ittaqa suatu kata dasar bentukan tambahan (mazid) dari kata dasar
waqa, yang biasanya diterjemahkan menjadi “orang yang menjaga diri untuk
menyelamatkan dan melindungi diri dari semua yang merugikan”. Jadi secara
keseluruhan kata muttaqien adalah “menjaga diri untuk menyelamatkan dan
melindungi diri dari semua yang merugikan yaitu dari kema-shiyatan, syirk,
kemunafikan dan sebagainya”.8
Dalam istilah syar‘i (hukum), kata taqwâ mengandung pengertian “menjaga
diri dari segala perbuatan dosa dengan meninggalkan segala yang dilarang Allah
Swt. dan melaksanakan segala yang diperintahkan-Nya”.
Sebagaimana dikemukakan di atas, secara bahasa, arti taqwa bisa berarti
”menjaga, menghindari, menjauhi”; dan ada juga yang mengartikan dengan
”takut”. Dengan mengambil pengertian ”takut”, maka taqwa berarti ”takut kepada
Allah”. Karena ketakutan ini, maka ia harus mematuhi segala ”perintah Allah”
dan ”menjauhi segala larangan-Nya”. Pengertian ini, misalnya, terungkap pada
salah satu ayat yang sangat populer, karena sering dikumandangkan pada
pengajian-pengajian keagamaan dan khutbah-khutbah jum’ah, yaitu dalam surat
Ali Imran/3:102 yang berbunyi :
ال ( ☺
)٣:١٠٢/عمران Artinya: Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam Keadaan beragama Islam. (QS. Ali Imran [3]: 102)
8http:/taqwa%20dan%20implikasinya%20terhadap%20pendidikan%20%c2%ab%20refle
ksi%20spiritual.htm. di akses pada 18 oktober 2010
62
Takwa kepada Allah merupakan sesuatu yang harus dilaksanakan. Takwa
kepada Allah, menurut Muhammad Abduh, adalah menghindari siksaan Tuhan
dengan jalan menghindarkan diri dari segala yang dilarang-Nya serta mengerjakan
segala yang diperintahkan-Nya. Hal ini, lanjutnya, hanya dapat terlaksana melalui
rasa takut dari siksaan yang menimpa dan rasa takut kepada yang menjatuhkan
siksaan, yaitu Allah. Rasa takut itu pada mulanya timbul dari keyakinan tentang
adanya siksaan. Perintah dan larangan Allah dapat dikategorikan dalam dua
kelompok, yaitu
1. Perintah dan larangan yang berkaitan dengan alam raya, yang disebut
hukum-hukum alam, seperti dinyatakan dalam QS. Fushshilat [41]: 11,
misalnya api membakar atau bulan berputar mengelilingi bumi; dan
2. Perintah dan larangan yang berkaitan dengan pelaksanaan ajaran agama
yang ditujukan kepada manusia, seperti perintah melakukan shalat yang
dinyatakan dalam QS. Al-Isrâ’ [17]: 78. Kumpulan dari perintah dan
larangan ini dinamakan hukum-hukum syariat. Sanksi pelanggaran
terhadap hukum-hukum alam akan diperoleh di dunia, sedangkan sanksi
pelanggaran terhadap hukum-hukum syariat akan diperoleh di akhirat.
Dengan demikian, ketakwaan mempunyai dua sisi, yaitu sisi duniawi dan
sisi ukhrawi. Sisi duniawi yaitu memperhatikan dan menyesuaikan diri
dengan hukum-hukum alam, sedangkan sisi ukhrawi yakni memperhatikan
dan melaksanakan hukum-hukum syariat.
Takwa sebagai upaya melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangan-
Nya hanya dapat terwujud oleh dorongan harapan memperoleh kenikmatan
surgawi serta rasa takut terjerumus ke dalam neraka. Karenanya, sebagian ulama
menggambarkan takwa sebagai gabungan di antara harapan dan rasa takut.
Ketakwaan yang dinyatakan dalam bentuk amal perbuatan jasmaniah yang
dapat disaksikan secara lahiriah merupakan perwujudan keimanan seseorang
kepada Allah SWT. Iman yang terdapat di dalam dada diwujudkan dalam bentuk
amal perbuatan jasmaniah. Oleh sebab itu, kata taqwâ dalam al-Quran sering
63
dihubungkan dengan kata iman (الإِيْمَان), seperti dalam QS. Al-Baqarah [2]: 103,
Al-A‘râf [7]: 96, آli ‘Imrân [3]: 179, Al-Anfâl [8]: 29, dan Muhammad [47]: 36.
Adapun pengertian taqwa dari akar kata yang bermakna ”menghindar,
menjauhi, atau menjaga diri”, M. Quraish Shihab menjelaskan, bahwa kalimat
perintah ”ittaqullah” yang secara harfiah berarti ”hindarilah, jauhilah, atau
jagalah dirimu dari Allah”, tentu makna ini tidak lurus dan bahkan mustahil dapat
dilakukan makhluk. Sebab, bagaimana mungkin makhluk menghindarkan diri dari
Allah atau menjauhiNya, sedangkan ”Dia (Allah) bersama kamu dimana pun
kamu berada”. Karena itu, perlu disisipkan kata atau kalimat untuk meluruskan
maknanya. Misalnya, kata siksa atau yang semakna dengannya, sehingga perintah
bertaqwa mengandung arti perintah untuk menghindarkan diri dari siksa Allah,
baik di dunia maupun akhirat.9
Dengan demikian, pangkal dari taqwa adalah ”perintah dan larangan” Allah
yang ditujukan kepada manusia beriman, sehingga muncul kesadaran untuk
”takut” akan siksa Allah kalau tidak melaksanakan segala perintahNya,
”menghindari siksa Allah dengan cara melaksanakan perintah-Nya, dan senantiasa
”menjaga” serta ”memelihara” untuk melaksanakan segala perintah dan menjauhi
segala laranganNya.
2. Pendidikan Syukur
Allah menciptakan segala sesuatu dengan tujuan tertentu, seperti
anugerah-Nya. Setiap anugerah ini, hidup, keimanan, kesehatan, sepasang mata
dan telinga kita merupakan anugerah kepada manusia agar bersyukur kepada-Nya.
Dalam al-Qur’an “syukur” dengan berbagai bentuknya ditemukan
sebanyak enam puluh empat kali. Ahmad Ibnu Faris dalam bukunya maqayis al-
lughah menyebutkan empat arti dasar dari kata tersebut, yaitu:
a. Pujian kerena adanya kebaikan yang diperoleh. Hakikatnya adalah merasa ridha atau puas dengan sedikit sekali pun, karena itu bahasa menggunakan kata ini (syukur) untuk kuda yang gemuk namun hanya membutuhkan sedikit rumput. Peribahasa juga memperkenalkan ungkapan asykar min
9 M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an, Tafsir Maudhu’I Atas Pelbagai Persoalan
Umat, (Bandung: Mizan, 1996), cetakan II, hal. 531
64
barwaqah (lebih bersyukur dari tumbuhan barwaqah). Barwaqah adalah sejenis tumbuhan yang tumbuh subur, walau dengan awan mendung tanpa hujan.
b. Kepenuhan dan kelebatan. Pohon yang tumbuh subur dilukiskan dengan kalimat syakarat asy-syajarat.
c. Sesuatu yang tumbuh ditangkai pohon (parasit). 10 d. Pernikahan, alat kelamin.
Makna-makna dasar tersebut dapat juga diartikan sebagai penyebab dan
dampaknya, maka ia memperoleh banyak, lebat dan subur.
Rasa bersyukur merupakan ibadah dan juga cara untuk melindungi kita
dari “penyimpangan”. Tidak bersyukur berarti melangkah menuju kerusakan dan
kejahatan, merupan kelemahan-kelemahan, dan menjadi takabbur ketika mereka
semakin kaya dan berkuasa. Menunjukkan rasa bersyukur kita kepada Allah
berarti melindungi diri dari “kerusakan”. Mereka yang menunjukkan rasa
syukurnya kepada Allah berarti melindungi diri dari “kerusakan”. Mereka yang
menunjukkan rasa syukurnya kepada Allah disertai ilmu bahwa semua yang
mereka capai adalah pemberian Allah, berarti mereka mengetahui bahwasannya
mereka bertanggung jawab menggunakan semua rahmat ini dijalan Allah seperti
kehendak-Nya. Itulah rasa syukur kepada Allah dan seperti kehendak-Nya. Itulah
rasa syukur kepada Allah yang didasari kerendahan hati dan kedewasaan para
Rasul. Seperti Nabi Daud a.s atau Nabi Sulaiman a.s yang kepadanya diberikan
harta, kedudukan, dan ketundukan. Sebenarnya, peristiwa Qarun yang menjadi
ingkar disebabkan harta, karena ia tidak bersyukur kepada Allah.11
Ar-Raghib al-Asfahani salah seorang yang di kenal sebagai pakar bahasa
al-qur’an menulis dalam al-mufradat fi gharib al-qur’an, bahwa kata “syukur”
mengandung arti “gambaran dalam benak tentang nikmat dan menampakkannya
kepermukaan”. Kata ini, tulis ar-Raghib, menurut semenara ulama berasal dari
kata “kasyara” yang berarti “membuka”, sehingga ia merupakan lawan dari kata
10 Qurais Shihab, Wawasan Al-Qur’an Tafsir Maudhi’i Atas Pelbagai Permasalahan
Umat, (Bandung: Mizan, 1996), cet II, h. 215 11 Harun Yahya, Nilai-Nilai Moral Al-Qur’an, (Jakarta: Senayan Abadi Publishing,
2003), h. 73-74
65
“kafara” (kufur) yang berarti menutup (salah satu artinya adalah) melupakan
nikmat dan menutup-nutupinya.12
Makna yang dikemukakan di atas dapat diperkuat dengan beberapa ayat
al-Quran yang memperhadapkan kata syukur dengan kata kufur, antara lain dalam
QS Ibrahim (14) :7
⌧ ⌧ ⌧ ⌧ )١٤:٧/ابراهيم(
Artinya: Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan; "Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), Maka Sesungguhnya azab-Ku sangat pedih". (Q.S. Ibrahim [14] : 7)
Demikian juga dengan redaksi pengakuan Nabi Sulaiman yang diabadikan
Al-Qur’an:
)٤٠: ٢٧/النمل(
Artinya: Ini termasuk kurnia Tuhanku untuk mencoba Aku apakah Aku bersyukur atau mengingkari (akan nikmat-Nya). Q.S. An-Naml [27] : 40).
Hakikat syukur adalah merenungkan nikmat yang dikaruniakan dan
menampakkannya. Syukur adalah lawan (kebalikan) dari “al-kasyru”. Dapat
dikatakan juga bahwa syukur merupakan lawan dari “kufur” yang bermakna
mengingkari. Ada pula yang berpendapat, syukur adalah imtila’ (penuh). Maka
syukur disini dapat diidentikkan sebagai aktivitas yang penuh penyebutan hal-hal
yang merupakan pemberian dan anugerah.13
Mengacu dari konteks inilah, sehingga ada yang merumuskan bahwa
syukur itu lebih mendasar dan komprehensif dari pada memuji (mengucapkan
hamdalah). Hal ini disebabkan memuji lebih menonjolkan kepada sifatnya,
sedangkan syukur sendiri selain menyebutkan sesuatu dengan sifat-sifatnya,
sekaligus dengan kenikmatannya pula.
12 Qurais Shihab, Wawasan Al-Qur’an Tafsir Maudhi’i Atas Pelbagai Permasalahan
Umat, (Bandung: Mizan, 1996), cet II, h. 216 13 Abdullah bin Jarullah, Fenomena Syukur, Berzikir Dan Berfikir, (Surabaya: Risalah
Gusti, 1994), h. 41
66
Bersyukur tidak mesti selalu ditunjukkan dengan kata-kata. Yang justru
harus dilakukan adalah menggunakan setiap anugerah di jalan yang disukai (di
rihdai) Allah. Sebagai tahap awal, tubuh yang dianugerahkan kepada kita, harus
kita pergunakan untuk berjuang karena-Nya. al-Qur’an pun memberitahukan
bagaimana cara menunjukkan rasa syukur kita kepada Allah, yaitu dengan
menyebut semua anugerah-Nya, dengan menyampaikan “pesan”-Nya kepada
semua orang.
⌧
☺ ⌧ ⌧ ⌧
⌧
⌧ ☺
)١١-٥: ٩٣/الضحي( Artinya: Dan kelak Tuhanmu pasti memberikan karunia-Nya kepadamu , lalu (hati) kamu menjadi puas. Bukankah dia mendapatimu sebagai seorang yatim, lalu dia melindungimu? Dan dia mendapatimu sebagai seorang yang bingung, lalu dia memberikan petunjuk. Dan dia mendapatimu sebagai seorang yang kekurangan, lalu dia memberikan kecukupan. Sebab itu, terhadap anak yatim janganlah kamu berlaku sewenang-wenang. Dan terhadap orang yang minta-minta, janganlah kamu menghardiknya. Dan terhadap nikmat Tuhanmu, Maka hendaklah kamu siarkan. Q.S. Adh-Dhuha [93] : 5-11)
Nabi Muhammad SAW pun bersabda:
شعيب بن عمرم عن قتادة عن همام حدثنا مسلم بن عفان حدثنا الزعفرانى محمد ابن حدثنا على اثرنعمته يرى ان يحب االله إن وسلم عليه هللا صلى هللا رسول قال: قال جده عن ابيه عن 14) الترمذى رواه ( عبده
Allah senang melihat bekas (bukti) nikmat-Nya dalam penampilan hamba-Nya. (diriwayatkan oleh At-Tirmizi)
Sementara ulama ketika menafsirkan firman Allah, ”bersyukurlah kepada-
Ku dan janganlah kamu mengingkari (nikmat) Ku” (QS Al-Baqarah [2] : 152),
menjelaskan bahwa ayat ini mengandung perintah untuk mengingat Tuhan tanpa
14 Abi ‘Isa Muhammad bin ‘Isa bin Saurah, Sunan at-Tirmizi “al-Jami’ al-Mukhtashor min as-Sunan ‘an Rasulillah wa ma’rifatihi as-shahih wal ma’lul wa ma ‘alaihi al-ma’lul”, (Beirut: Daar al-Fikri, 1994), h. 373
67
melupakannya, patuh kepada-Nya tanpa menodainya dengan kedurhakaan. Syukur
yang demikian lahir dari keikhlasan kepada-Nya, dan karena itu, ketika setan
menyatakan bahwa, ”Demi kemuliaan-Mu, aku akan mentesatkan mereka
(manusia) semuanya”. (QS. Shad [38] : 82), dilanjutkan dengan pernyataan
penecualian, yaitu, ”kecuali hamba-hamba-Mu yang mukhlas diantara mereka”.
(QS. Shad [38] : 83). Dalam QS. Al-A’raf [7] : 17 iblis menyatakan, ”Dan ungkau
tidak akan menemukan kebanyakan dari mereka (manusia bersyukur”, kalimat
”tidak akan menemukan” di sini serupa maknanya dengan pengecualian di atas,
sehingga itu berarti bahwa orang-orang yang bersyukur adalah orang-orang yang
bersyukur adalah orang-orang yang mukhlis (tulus hatinya).15
Karenanya, syukur dapat dikualifikasikan menjadi tiga macam:
a. Syukur dengan hati, yaitu dengan merenungkan nikmat itu sendiri.
b. Syukur melalui lisan, yaitu dengan memuji dan menyanjung sang
pemberi nikmat.
c. Syukur dengan anggota badan, yaitu dengan membalas nikmat
(karunia) yang diterimanya sesuai dengan kemampuan dan etika
bersyukur.16
Ditilik dari sistem komunikasi dua arah antara yang bersyukur (syakir)
dengan yang disyukuri (masykur), maka kategori syukur dibedakan menjadi tiga
macam. “Pertama, syukur seseorang kepada atasannya (yang keduanya lebih
tinggi)-notabene Allah- dengan cara berbakti, memuji dan berbakti kepada-Nya.
Kedua, syukur seseorang kepada sesamanya (yang sepadan) dengan cara
membalas kembali pemberiannya sesuai dengan kondisi dan kemampuan yang
ada pada dirinya. Ketiga, syukur seseorang kepada orang yang kedudukannya
lebih rendah daripadanya, yaitu berupa pemberian imbalan yang sepantasnya”.17
15 Qurais Shihab, Wawasan Al-Qur’an Tafsir Maudhi’i Atas Pelbagai Permasalahan
Umat, (Bandung: Mizan, 1996), cet II, h. 217 16 Abdullah bin Jarullah, Fenomena Syukur, Berzikir Dan Berfikir, (Surabaya: Risalah
Gusti, 1994), h. 41 17 Abdullah bin Jarullah, Fenomena Syukur, Berzikir Dan Berfikir, h. 41-42
68
Dalam konteks ini syukur nikmat wajib hukumnya. Pertama-tama
ditujukan kepada Allah swt. Sebagai sentral karunia, kemudian barulah kepada
orang tertentu yang menjadi sebab atau perantara turunnya nikmat dan karunia itu.
Rasulullah bersabda:
عن ابي هريرة عن النبي , حدثنا مسلم بن ابراهيم حدثنا الربيع بن مسلم عن محمد بن زياد )رواه ابو داود] (من لا يشكر الناس" [لايشكر االله من لا يشكر الناس"صلي االله عليه وسلم
Tidaklah dianggap bersyukur kepada Allah, orang yang tidak berterima kasih kepada sesama manusia. (H.R. Abu Daud)
Dalam hadis lain disebutkan, ”Bersyukurlah kamu kepada orang yang
memberimu kenikmatan.dan berilah kenikmatan kepada orang yang bersyukur
kepadamu. Sesungguhnya nikmat itu tidak akan musnah jika kamu bersyukur.
Sebaliknya ia tidak akan kekal jika kamu ingkar kepadanya.”
Sebagian ulama salaf berkata, ”segala nikmat karunia itu dapat disyukuri,
selain nikmat dari Allah sebab bersyukur kepada Allah itu sendiri sudah
merupakan salah satu bentuk karunia-Nya juga. Karenanya, dia masih
membutuhkan pertolongan dari-Nya agar senantiasa dapat bersyukur kepada-Nya.
Berkaitan dengan masalah ini, Nabi Musa a.s. berkata, ”ya Tuhanku,
engkau perintahkan aku untuk bersyukur atas nikmat-nikmat-Mu, padahal
Syukurku kepada-Mu adalah salah satu karunia-Mu pula.”
Berangkat dari kenyataan betapa sulitnya aktivitas syukur ini, maka tepat
sekali dengan yang difirmankan Allah:
)١٣: ٣٤/السباء(
”Dan sedikit sekali dari hamba-hambaKu yang berterima kasih. (QS.
Saba [34] : 13) Menurut al-Quran, sepanjang perjalanan sejarah manusia hanya ada dua
sosok yang disanjung oleh Allah sebagai ahli syukur, Nabi Ibrahim a.s dan Nabi
Nuh a.s
Tentang Nabi Ibrahim a.s, Allah swt. Berfirman: ”yang mensyukuri
nikmat-nikmat Allah. Allah telah memilihnya.” (QS. An-Nahl: 121).
69
Perihal Nabi Nuh a.s, Allah berfirman: ”Sesungguhnya ia adalah hamba
yang banyak bersyukur.” (QS. Al-Isra: 3).
Perlu diketahui bahwa syukur dan sabar, keduanya merupakan barometer
dan parameter keimanan sebagaiman sabda Rasulullah saw,
الصبرنصف الإيمان (رواه البيهقى) ”Kesabaran adalah separuh (sebagian) dari keimanan.” (HR. Baihaqi).
3. Nilai Pendidikan Sabar
Sabar merupakan akhlak al-Qur’an yang paling utama dan ditekankan olah
al-Qur’an baik pada surat-surat Makkiyah maupun Madaniyah, serta merupakan
akhlak yang terbanyak sebutannya dalam al-Qur’an.
Imam Ghazali berkata dalam kitabnya Ihya Ulumuddin, sebagaimana
dikutip oleh Yusuf Qordawi dalam bukunya as-shabru fil qur’an “Allah menyebut
sabar di dalam al-Qur’an lebih dari 70 tempat”.18
Abu Thalib al-Makky, di dalam Qut al-Qulub juga mengutip perkataan
sebagian ulama, “adakah yang lebih utama daripada sabar, Allah telah
menyebutkannya di dalam kitabnya. lebih dari 90 tempat? Kami tidak mengetahui
sesuatu yang disebutkan Allah sebanyak ini kecuali sabar.
Di dalam al-Mu’jamul-Mufahros li alfadzil Qur’an asal kata (ص ب ر)
dengan semua pecahan katanya disebutkan di dalam al-Qur’an sebanyak seratus
kali lebih.
Perbedaan perhitungan di atas tidak bertentangan dengan perhitungan yang
ada di dalam al-Mu’jamul-Mufahros, sebab di dalam suatu tempat kadang-kadang
asal kata (ص ب ر) disebutkan lebih dari sekali; sebagian ulama menganggapnya
satu tempat dan sebagian lainnya manganggap dua tempat atau lebih.
Misalnya di dalam firman Allah di akhir surat akhir-akhir surat an-Nahl,
18 Yusuf Qordawi, Sabar. Sifat Orang Beriman, Terj. Dari ash-shabru fil-Qur’an oleh
Aziz Salim Basyarahil (Jakarta: Rabbani Press, 2003), h. 10
70
☺
⌧
☺ )١٢٧-١٢٦: ١٦/النحل( ☺
Artinya: Dan jika kamu memberikan balasan, Maka balaslah dengan balasan yang sama dengan siksaan yang ditimpakan kepadamu. akan tetapi jika kamu bersabar, Sesungguhnya Itulah yang lebih baik bagi orang-orang yang sabar. Bersabarlah (hai Muhammad) dan tiadalah kesabaranmu itu melainkan dengan pertolongan Allah dan janganlah kamu bersedih hati terhadap (kekafiran) mereka dan janganlah kamu bersempit dada terhadap apa yang mereka tipu dayakan. (QS. An-Nahl [16] : 126-127)
Dalam dua ayat ini komponen kata صبر (shobaro) disebutkan empat kali;
yang bisa dihitung satu tempat atau dua tempat menurut kriteria penghitungan di
atas.
Di dalam kisah Musa a.s beserta seorang hamba yang shalih di surat al-
kahfi, kata sabar disebutkan berulang-ulang yang seluruhnya bisa dihitung sebagai
satu tempat. Misalnya firman Allah,
(الاحزاب/٣٣: ٣٥)
“Laki-laki yang sabar dan perempuan-perempuan yang sabar” (al-Ahzab: 35).
Secara bahasa sabar berarti al-habsu (menahan) dan al-man’u (mencegah),
yaitu lawan kata dari al-jaz’u (keluh kesah).
Sementara dari buku Asma' Umar Hasan Fad'aq menyimpulkan arti sabar
adalah suatu akhlak luhur dari akhlak-akhlak Islami yang wajib disifati, yang
mendatangkan bagi seseorang perbuatan yang baik dan menghindarkan seseorang
dari perbuatan yang tidak baik dan tidak sesuai sebagai seorang muslim dimana
tujuannya adalah mengharap keridaan Allah.19
Firman Allah:
19 http://strongdimi.blogspot.com/2009/03/sabar-dalam-al-quran-dan-al-hadits.html di
akses pada tanggal 2 juli 2010
71
⌧
⌧
⌧ )٢٨: ١٨/الكهف(
Artinya: Dan Bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan senja hari dengan mengharap keridhaan-Nya; dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka (karena) mengharapkan perhiasan dunia ini; dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya Telah kami lalaikan dari mengingati kami, serta menuruti hawa nafsunya dan adalah keadaannya itu melewati batas. (QS. al-Kahfi [18] 28)
Arti sabar disini “tahanlah dirimu bersama mereka” lawan kata “sabar”
dalam al-Qur’an ialah “keluhan” (jaza’). Bagaimana tercantum firman Allah yang
menerangkan keluhan penghuni neraka:
⌧
⌧ ⌧
)٢١: ١٤/ابراهيم(
Artinya: Dan mereka semuanya (di padang Mahsyar) akan berkumpul menghadap ke hadirat Allah, lalu berkatalah orang-orang yang lemah kepada orang-orang yang sombong: "Sesungguhnya kami dahulu adalah pengikut-pengikutmu, Maka dapatkah kamu menghindarkan daripada kami azab Allah (walaupun) sedikit saja? mereka menjawab: "Seandainya Allah memberi petunjuk kepada kami, niscaya kami dapat memberi petunjuk kepadamu. sama saja bagi kita, apakah kita mengeluh ataukah bersabar. sekali-kali kita tidak mempunyai tempat untuk melarikan diri". (QS. Ibrahim [14] : 21)
Dalam al-Qur’an juga berarti: menahan diri terhadap apa yang tidak kita
sukai dengan tujuan memperoleh keridhoan Allah.
72
Firman Allah:
⌧ ☺
⌧
)٢٢: ١٣/الرعد(
Artinya: Dan orang-orang yang sabar Karena mencari keridhaan Tuhannya, mendirikan shalat, dan menafkahkan sebagian rezki yang kami berikan kepada mereka, secara sembunyi atau terang-terangan serta menolak kejahatan dengan kebaikan; orang-orang Itulah yang mendapat tempat kesudahan (yang baik). (QS. Ar-Ra’d [13] 22)
Apa yang tidak disukai oleh nafsu manusia ada beraneka macam, karena
itu ruang sabar sangat luas melampaui gambaran manusia bila mendengar kata
“sabar”.
ketahuilah bahwa sasaran sabar ada dua macam, pertama sasaran fisik
(badaniah) seperti menahan penderitaan badan dan tetap bertahan, seperti kerja
berat dalam beribadah atau pekerjaan lainnya atau tahan terhadap pukulan keras,
sakit yang berat dan luka yang parah. Hal itu dapat menjadi amal yang terpuji
apabila sesuai dengan tuntunan syariat.
Yang kedua adalah al-shabru al-nafsi (kesabaran moral) dari syahwat-
syahwat naluri dan tuntutan-tuntutan hawa nafsu. Bentuk kesabaran ini (non fisik)
beraneka macam;
1. Jika berbentuk sabar (menahan) dari syahwat perut dan kemaluan disebut iffah.
2. Jika di dalam musibah, secara singkat disebut sabar, kebalikkannya adalah keluh kesah.
3. Jika sabar di dalam kondisi berkecukupan disebut mengendalikan nafsu, kebalikannya adalah kondisi yang disebut sombong (al-bathr).
4. Jika sabar dalam peperangan dan pertempuran disebut syaja’ah (berani). Kebalikannya adalah al-jubnu (pengecut).
5. Jika sabar di dalam mengekang kemarahan dan kemurkaan disebut lemah-lembut (al-hilmu). Kebalikannya adalah tadzammur (emosional).
6. Jika sabar dalam menyimpan perkataan disebut katum (penyimpan rahasia).
73
7. Jika sabar dari kelebihan disebut zuhud, kebalikannya adalah al-hirshu (serakah).20
Menurut Ibn al-Qoyyim sebagaimana dikutip A.H Halim dalam bukunya:
indahnya sabar, sabar ada dua macam, kesabaran jasmani dan kesabaran jiwa, dan
masing-masin terdir dari dua macam:
Pertama, kesabaran jasmani secara suka rela, seperti melakkan pekerjaan
berat atas pilhan dan kehendak diri sendiri.
Kedua, kesabaran jasmani oleh faktor keterpaksaan, seperti sabar menahan
rasa sakit akibat pukulan, sabar menahan penyakit, menahan dingin, panas dan
sebagainya.
Ketiga, kesabaran jiwa seara suka rela, seperti kesabaran menahan diri
untuk melakukan perbuatan yang tidak baik berdasarkan pertimbangan syariat.
Keempat, kesabaran jiwa oleh faktor keterpaksaan, seperti kesabran
berpisah dengan orang yang dikasihi jika cinta terhalang.21
Kebanyakan akhlak keimanan masuk ke dalam sabar ini. Karena itu
ketika pada suatu hari Rasulullah saw ditanya tentang iman, beliau menjawab
iman adalah sabar”, sebab kesabaran merupakan pelaksanaan keimanan“ هو الصبر
yang paling banyak dan paling penting. Sebagaimana Rasulullah saw pernah
bersabda (al-hajju ‘arafatun) “Hajji adalah Arafah.”
Allah telah menghimpun semua bagian tersebut dan menamakan
seluruhnya dengan sabar.
Jadi, pembagian sabar ini sesuai dengan perbedaan kaitannya. Bagi orang
yang melihat makna dari penamaannya saja, akan menyangka bahwa hal tersebut
berlainan substansi dan hakikatnya karena penamaan yang berlainan. Tetapi bagi
orang yang menempuh jalan yang lurus dan melihat dengan cahaya Allah, ia akan
memperhatikan makna terlebih dahulu, kemudian hakikat dan penamaannya;
20 http://tarbiyahweekly.wordpress.com/2007/10/25/ sabar menurut al-quran/ diakses pada
tanggal 2 juli 2010 21 Ibnu al-Qoyyim al-Jauziah, Indahnya Sabar; Bekal Sabar Agar Tidak Pernah Habis,
Terj dari ‘Uddatu Ash-Shabirin Wa Dzakkiratu Asy-Syakirin, (Jakarta: Maghfirah Pustaka, 2006), h. 37
74
karena nama (istilah) itu dibuat untuk menunjuk kepada makna. Jadi makna
adalah ushul (dasar) sedangkan lafazh adalah penyerta.
Dari sini kita dapat memahami mengapa al-Qur’an menjadikan masalah
sabar sebagai syarat kebahagiaan di akhirat, tiket masuk ke surga dan sarana untuk
mendapatkan sambutan para malaikat.
Firman Allah, ☺
☺
)٢٤-٢٣: ١٣/الرعد(
sedang malaikat-malaikat masuk ke tempat-tempat mereka dari semua pintu; (sambil mengucapkan): "Salamun 'alaikum bima shabartum". Maka alangkah baiknya tempat kesudahan itu. (QS. Ar-Ra’d [13] : 23-24)
4. Nilai Pendidikan Iman Kepada Hari Kebangkitan
Yang dimaksud dengan hari akhir adalah saat Allah membangkitkan
kembali manusia untuk hidup lagi, setelah habisnya waktu yang ditentukan pada
ilmu-Nya, bagi kehidupan dunia yang kini sedang dialami oleh manusia di
permukaan bumi ini. Hidup pada hari akhir dimaksudkan untuk memberi balasan
kepada setiap insan atas amal yang telah diperbuatnya.
Banyak orang berfikir bahwa kehidupan setelah mati tidak masuk di akal
dan bertanya bagaimana akan dibangkitkan sedang mereka telah menjadi tulang
dan debu. Tidakkah mereka pikir bahwa mereka diciptakan dari sesuatu yang
tidak ada sebelumnya, pertama sebagai tanah, kemudian dari mani, kemudian dari
segumpal darah, kemudian dari segumpal daging, sebagian ada yang jadi dan
sebagian ada yang tidak jadi, lalu disimpan dalam rahim sampai waktu tertentu,
kemudian lahir sebagai bayi dan kemudian dipelihara sampai pada umur tertentu
sampai ia mempunyai kekuatan; hendaknya mereka semua merenungkan betapa
bumi itu tandus dan tidak tumbuh, tapi jika Allah menurunkan hujan, maka segar
dan mekarlah ia, dan tumbuhlah bermacam-macam tumbuhan yang indah
75
berpasangan. “Ketahuilah bahwa Dia yang telah menciptakan langit dan bumi,
mampu menghidupkan yang telah mati karena Dia Maha Kuasa atas segalanya”.22
Allah berfirman :
⌧
⌧
☺ ☺ ☺
⌧
☺
☺
)١٦-١٢: ٢٣/المؤمنون(
Artinya: Dan Sesungguhnya kami Telah menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal) dari tanah. Kemudian kami jadikan saripati itu air mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim). Kemudian air mani itu kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu kami bungkus dengan daging. Kemudian kami jadikan dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Maha sucilah Allah, Pencipta yang paling baik. Kemudian, sesudah itu, Sesungguhnya kamu sekalian benar-benar akan mati. Kemudian, Sesungguhnya kamu sekalian akan dibangkitkan (dari kuburmu) di hari kiamat. (QS. Al-Mu’minun: [23] 12-16)
Beriman kepada hidup sesudah mati adalah ajaran pokok agama Islam
yang terakhir. Perkataan yang biasa digunakan oleh al-Qur’an untuk menyatakan
hidup sesudah mati ialah al-akhirat; kata akhir adalah lawan kata awal (artinya,
permulaan); jadi berarti kata akhir berarti kesudahan, atau kemudian, atau
terakhir, selain kata al-akhirat, digunakan pula kata yaumul akhir artinya hari
akhir, kadang-kadang digunakan pula darul akhirah artinya tempat tinggal
terakhir.
22 Abul A’la Al-Maududi, Esensi Al-Qur’an, Filsafat Politik Ekonomi Etika, (Jakarta: Mizan, tt), h. 20
76
) ٢:٨/البقرة( ☺
Artinya: Di antara manusia ada yang mengatakan: "Kami beriman kepada Allah dan hari kemudian," pada hal mereka itu Sesungguhnya bukan orang-orang yang beriman. (Q.S. Al-Baqarah [2]: 8)
Demikian terlihat bahwa keimanan kepada Allah berkaitan erat dengan
keimanan kepada hari kemudian. Memang keimanan kepada Allah tidak
sempurna kecuali dengan keimanan kepada hari akhir. Hal ini disebabkan
keimanan kepada Allah menuntut amal perbuatan, sedangkan amal perbuatan
sempurna motivasinya dengan keyakinan tentang adanya hari kemudian. Karena
kesempurnaan ganjaran dan balasannya hanya ditemukan dihari kemudian nanti.
Dalam memberikan bukti dan kepuasan akal tentang kebenaran akan
datangnya hari kebangkitan itu, Islam menempuh cara yang logis. Maka firman
Allah dalam kitab-Nya yang mulia:
⌧
⌧
⌧
☺ ⌧ ⌧
⌧
☺
77
⌧ ⌦
)٧-٢٢:٥/الحج(
Artinya: Hai manusia, jika kamu dalam keraguan tentang kebangkitan (dari kubur), Maka (ketahuilah) Sesungguhnya kami Telah menjadikan kamu dari tanah, Kemudian dari setetes mani, Kemudian dari segumpal darah, Kemudian dari segumpal daging yang Sempurna kejadiannya dan yang tidak sempurna, agar kami jelaskan kepada kamu dan kami tetapkan dalam rahim, apa yang kami kehendaki sampai waktu yang sudah ditentukan, Kemudian kami keluarkan kamu sebagai bayi, Kemudian (dengan berangsur- angsur) kamu sampailah kepada kedewasaan, dan di antara kamu ada yang diwafatkan dan (adapula) di antara kamu yang dipanjangkan umurnya sampai pikun, supaya dia tidak mengetahui lagi sesuatupun yang dahulunya Telah diketahuinya. dan kamu lihat bumi Ini kering, Kemudian apabila Telah kami turunkan air di atasnya, hiduplah bumi itu dan suburlah dan menumbuhkan berbagai macam tumbuh-tumbuhan yang indah. Yang demikian itu, Karena Sesungguhnya Allah, dialah yang haq dan Sesungguhnya dialah yang menghidupkan segala yang mati dan Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu, Dan Sesungguhnya hari kiamat itu Pastilah datang, tak ada keraguan padanya; dan bahwasanya Allah membangkitkan semua orang di dalam kubur. Q.S. Al-Hajj [22] : 5-7).
Bila masih ada orang yang ragu tentang berulangnya kehidupan manusia
sesudah mati, hendaklah ia meneliti periode-periode dalam hidupnya. Dia pasti
akan melihat gejala-gejala kekuasaan Ilahi Yang Mahakuasa dan pencipta segala
sesuatu yang sangat menakjupkan. Dan pastikan pula keindahan ciptaan Allah di
atas bumi yang luas terhampar.23
Banyak redaksi yang digunakan al-Qur’an untuk menguraikan hari akhir,
misalnya yaum al-ba’ts (hari kebangkitan), yaum al-qiamah (hari kiamat), yaum
al-fashl (hari pemisah antara pelaku kebaikan dan kejahatan). al-Qur’an al-Karim
menguraikan masalah kebangkitan secara panjang lebar, kata al-yaum al-akhir
saja terulang sebanyak 24 kali, di samping kata akhirat yang terulang sebanyak
115 kali. Ini menunjukkan betapa besar perhatian al-Qur’an dan betapa penting
23 Anshori Umar Sitanggal, Islam Membina Masyarakat Adil Makmur, (tt: Pustaka Dian,
1984), cet. I, h. 88
78
permasalahan ini. Banyak juga sisi dari “hari” tersebut yang diuraikan al-quran,
dan uraian itu yang tidak jarang berbeda informasinya; bahkan berlawanan
diletakkan dalam berbagai surat. Seakan-akan al-Qur’an bermaksud untuk
memantapkan keyakinan tersebut bagian demi bagian serta fasal demi fasal dalam
jiwa pemeluknya. Di sisi lain, banyak pula cara yang ditempuh al-Qur’an ketika
menguraikan masalah tersebut serta banyak pula pembuktiannya.24
Perlukah bukti tentang hari akhir? Kehidupan sesudah mati pasti adanya.
Bukankah makhluk yang termulia adalah makhluk yang berjiwa? Bukankah yang
termulia diantara mereka adalah yang memilih kehendak dan kebebasan memilih?
Kemudian yang termulia dari kelompok ini adalah yang mampu melihat jauh ke
depan, serta mempertimbangkan dampak kehendak dan pilihan-pilihannya.
Demikian logika kita berkata. Dari sini pula jiwa manusia memulai pertanyaan-
pertanyaan baru. Sudahkah semua orang melihat dan merasakan akibat perbuatan-
perbuatannya yang didasarkan oleh kehendak dan pilihannya itu? Sudahkah yang
berbuat baik memetik buah perbuatannya? Sudahkah yang berbuat jahat menerima
nista kejahatannya? Jelas tidak, atau belum, bahkan alangkah banyak manusia-
manusia baik yang dicambuk oleh kehidupan dengan cemeti-cemetinya, dan
alangkah banyak pula orang-orang jahat yang disuapi oleh dunia dengan
kenikmatan-kenikmatannya.
Demikian Nabi Ayyub a.s. yang mengalami kepahitan hidup mengeluh
kepada Tuhannya. Karena itu, demi tegaknya keadilan, harus ada satu kehidupan
baru di mana semua pihak akan memperoleh secara adil dan sempurna hasil-hasil
perbuatannya yang didasarkan atas pilihannya masing-masing. Itu sebabnya al-
Qur’an menamai hidup di akhirat sebagai al-hayawan yang berarti “hidup yang
sempurna”; dan kematian dinamainya wafat yang arti harfiahnya adalah
“kesempurnaan”.
Kehidupan akhirat dimulai dengan peniupan sangkakala:
24 Qurais Shihab, Wawasan Al-Qur’an Tafsir Maudhi’i Atas Pelbagai Permasalahan Umat, (Bandung: Mizan, 1996), cet II, h. 81
79
☺
-١٣: ٦٩/الحاقة( ١٦(
Artinya: “Maka apabila sangkakala ditiup sekali tiup. Dan diangkatlah bumi dan gunung-gunung, lalu dibenturkan keduanya sekali bentur. Maka pada hari itu terjadilah hari kiamat. Dan terbelahlah langit, Karena pada hari itu langit menjadi lemah”. (SQ. Al-Haqqah [69]: 13-16). Dalam ayat lain dijelaskan bahwa:
☺
⌧ )٦٨: ٣٩/الزمر(
Artinya: “Dan ditiuplah sangkakala, Maka matilah siapa yang di langit dan di bumi kecuali siapa yang dikehendaki Allah”. (QS. Az-Zumar [39]: 68)
Yang dikecualikan antara lain adalah malaikat Israfil yang bertugas
meniup sangkakala itu. Ini karena masih akan ada peniupan kedua sebagaimana
lanjutan ayat di atas:
٣٩/الزمر(
:٦٨(
Kemudian ditiup sangkakala itu sekali lagi Maka tiba-tiba mereka berdiri menunggu (putusannya masing-masing)”. (QS. Az-Zumar [39]: 68)
Banyak sekali ayat al-Qur’an yang berbicara tentang kehancuran alam
raya, matahari digulung, bulan terbelah, bintang-bintang pudar cahayanya, gunung
dihancurkan sehingga menjadi debu yang beterbangan bagaikan kapas, dan
sebaginya. Itu semua merupakan kehancuran total, bukan sebagian tertentu saja
dari alam raya ini.
Begitu manusia dihidupkan kembali dengan peniupan sangkakala kedua,
tiba-tiba:
80
⌧
⌧ )٨-٦: ٥٤/القمر(
Artinya: “Sambil menundukkan pandangan-pandangan mereka keluar dari kuburan seakan-akan mereka belalang yang beterbangan. Mereka datang dengan cepat kepada penyeru itu. orang-orang kafir berkata: "Ini adalah hari yang berat." (QS. Al-Qamar [54]: 6-8).
Ada jarak waktu antara peniupan pertama dan kedua. Hanya Allah yang
mengetahui kadar waktu itu. Dan ketika semua makhluk telah meninggal,
termasuk Israfil, Allah “berseru” dan “bertanya”:
"Kepunyaan siapakah kerajaan pada hari ini?" kepunyaan Allah yang
Maha Esa lagi Maha Mengalahkan”. (QS. Al-Mu’min [40]: 16)
Saat peniupan kedua, manusia sadar bahwa kehidupan di dunia hanya
sebentar.(QS Al-Isra’ [17]: 43) bahkan mereka merasa hanya bagaikan beberapa
saat disore atau pagi hari (An-Naziat [79]: 46).
5. Nilai Pendidikan Kewajiban Belajar Mengajar
Manusia diciptakan Allah dengan berbagai potensi yang dimilikinya, tentu
dengan alasan yang sangat tepat potensi itu harus ada pada diri manusia,
sebagaimana sudah diketahui manusia diciptakan untuk menjadi khalifatullah fil
ardh. Potensi yang dimiliki manusia tidak ada artinya kalau bukan karena
bimbingan dan hidayah Allah yang terhidang di alam ini. Namun manusia tidak
pula begitu saja mampu menelan mentah-mentah apa yang dia lihat, kecuali
belajar dengan megerahkan segala tenaga yang dia miliki untuk dapat memahami
tanda-tanda yang ada dalam kehidupannya. Tidak hanya itu, manusia setelah
mengetahui wajib mengajarkan ilmunya agar fungsi kekhalifahan manusia tidak
terhenti pada satu masa saja, Dan semua itu sudah diatur oleh Allah SWT.
Menuntut ilmu merupakan kewajiban dan kebutuhan manusia. Tanpa ilmu
manusia akan tersesat dari jalan kebenaran. Tanpa ilmu manusian tidak akan
81
mampu merubah suatu peradaban. Bahkan dirinyapun tidak bisa menjadi lebih
baik.
Nabi Muhammad bersada:
Menuntut ilmu wajib atas tiap muslim (baik muslimin maupun muslimah). (HR. Ibnu Majah)
Dikesempatan lain Allah menyuruh kepada orang mukmin agar tidak
sepatutnya semuanya untuk ikut berperang, melainkan tinggal sebagian kelompok
untuk menuntut ilmu. Ini menandakan betapa pentingnya ilmu pengetahuan untuk
kemajuan
Berdasarkan firman Allah yang berbunyi:
⌧ ☺
⌧ ⌧
⌧
⌧
)٩:١٢٢/التوبة(
Artinya: Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka Telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya. (QS. At-Taubah [9]: 122)
Makna ayat menurut mayoritas ulama tafsir adalah, tidak sepatutnya
semua orang-orang mukmin pergi untuk berjihad, namun cukup segolongan dari
dari mereka saja yang pergi untuk berjihad sedangkan sebagian lagi memperdalam
ilmu agama, sehingga apabila mereka kembali hendaknya memberikan
pemahaman dan mengajarkan tentang masalah agama, tentang halal dan haram,
karena mendalami ilmu agama sama dengan jihad dijalan Allah.25
25 Alya’ Ali Ubay, Pahala Amal Saleh: Motivasi Berbuat Kebajikan, terj dari Tsawab Al
’Amalush Shaahih oleh misbah, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2004), cet pertama, h. 14
82
Allah berfirman:
☺ ☺
)٢٦٩: ٢/البقرة(
Artinya: Allah menganugerahkan Al-hikmah (kefahaman yang dalam tentang Al Quran dan As Sunnah) kepada siapa yang dikehendaki-Nya. dan barangsiapa yang dianugerahi hikmah, ia benar-benar Telah dianugerahi karunia yang banyak. dan Hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah). (QS. Al-Baqarah [2]: 269).
Sesungguhnya Allah SWT bersaksi kepada orang yang dianugerahi ilmu,
yang memberikan kebajikan yang banyak.
Allah berfirman:
☺ ☺
)١١: ٥٨/المجادلة(
Artinya: “Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan”. (QS. Al-Mujaadilah [58]: 11).
Lewat ayat ini Allah SWT memberitahukan ketinggian derajat ahli ilmu
dan iman.
Allah berfirman:
83
☺ ☺
) ٢٨: ٣٥/فاطر( ⌧
Artinya: Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun. (QS. Faathir [35]: 28).
Allah SWT memberitahukan bahwa orang yang berilmu adalah orang yang
paling takut kepada-Nya, bahwa Allah mengkhususkan mereka di antara hamba-
hamba-Nya.
Menuntut ilmu merupakan kewajiban dan kebutuhan manusia. Tanpa ilmu
manusia akan tersesat dari jalan kebenaran. Tanpa ilmu manusian tidak akan
mampu merubah suatu peradaban. Bahkan dirinyapun tidak bisa menjadi lebih
baik.
Karena menuntut ilmu merupakan sesuatu yang sangat penting dan
merupakan kewajiban bagi setiap muslim, sangat tepat wahyu pertama turun
kepada Nabi SAW mengisyaratkan tentang perintah membaca (menuntut ilmu).
Kata Iqra’ terambil dari kata kerja kara’a yang pada mulanya berarti
menghimpun. Apabila kita merangkai huruf kemudian mengucapkan rangkaian
tersebut maka kita sudah menghimpunnya yakni membacanya.26
Dengan demikinan, realisasi perintah tersebut tidak mengharuskan adanya
suatu teks tertulis sebagai objek bacaan, tidak pula harus diucapkan sehingga
terdengar oleh orang lain. Karena dalam kamus-kamus ditemukan aneka ragam
arti dari kata tersebut. Antara lain: menyampaikan, menela’ah, membaca,
mendalami, meneliti, mengetahui ciri-ciri sesuatu dan lain sebagainya.27
Dalam suatu riwayat diceritakan bahwa ketika Nabi SAW diperintah untuk
membaca Iqra’ oleh malaikat Jibril, Nabi SAW bertanya ma Aqra’ ?tetapi
malaikat jibril tidak menjawabnya. Ada yang berpendapat Pertanyaan itu tidak
dijawab, karena Allah menghendaki agar beliau dan umatnya membaca apa saja,
26 Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan, Dan Keserasian Al-Qur’an, (Jakarta: Lentera Hati, 2002. Volume 15) hal 392
27 Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan, Dan Keserasian Al-Qur’an, hal 393
84
selama bacaan tersebut Bismi rabbika, dalam arti bermanfaat untuk manusia dan
dirinya dunia dan Akhirat. Demikian Allah memberikan ransangan kepada
manusia, agar senantiasa mengerahkan segala daya dan upayanya dalam menuntut
ilmu.
Syekh Abdul Halim Mahmud (mantan pemimpin tinggi Al-Azhar Mesir)
serbagaimana dikutip Quraish Shihab dia menulis dalam bukunya al-Qur’an Fi
Syahr al-Qur’an: “ dengan kalimat iqra’ bismi Rabbika, al-Qur’an tidak hanya
sekedar menyuruh membaca, tetapi membaca adalah lambing dari segala apa yang
dilakukan oleh manusia, baik yang sifatnya aktif maupun pasif. Kalimat tersebut
dalam pengertian dan semangatnya ingin menyatakan “bacalah demi Tuhanmu,
bergeraklah demi Tuhanmu, bekerjalah demi Tuhanmu” . demikian juga ketika
kita berhenti melakukan aktifitas hendaklah didasari pada Bismi rabbika sehingga
akhirnya ayat itu berarti “jadilah seluruh kehidupanmu, Wujudmu, dalam cara
dan tujuanmu, kesemuanya demi karena Allah semata”.28
Segala potensi yang dimiliki manusia sebagai jalan untuk mengetahui
sesuatu baik berupa isyarat yang jelas (tampak) maupun yang tersembunyi yang
hanya mampu ditangkap dengan indra yang abstrak merupakan cara Allah
mendidik manusia.
Quruaish Shihab mengatakan, “al-Qur’an sejak dini memadukan usaha dan
pertolongan Allah, akal dan kalbu, pikir dan zikir, iman dan ilmu. Akal tanpa
qalbu menjadikan manusia seperti setan. Iman tanpa ilmu sama dengan pelita
ditangan bayi, sedangkan ilmu tanpa iman bagaikan pelita ditangan pencuri”.29
A. Ayat Qauniyah Sebagai Sumber Ilmu
☺
☯
☺
⌧
28 Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan, Dan Keserasian Al-Qur’an, hal 394 29 Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an. Bandung . Mizan, hal 7
85
⌧ ⌧ ال ( ⌧
)١٩٠: ٣/عمران
Artinya: Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan Kami, Tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha suci Engkau, Maka peliharalah Kami dari siksa neraka. (QS. Ali-Imran [3]: 190-191)
Ayat ini diturunkan untuk menerangi akal dan hati manusia dengan dalil-
dalil tentang keesaan Allah dan kekuasaan Allah. Sebagai ikatan dalam sebuah
tuntunan yang kuat tentang fakta Science yang dicapai oleh para ahli, melalui
obserfasi, eksperimen, dan penyimpulan. Fakta tersebut dapat dijadikan jalan
untuk merenungkan ke-Maha Agungan Allah SWT, merenungkan tanda-tanda
kebesarannya. Ayat-ayat al-Qur’an yang kita baca hari ini tidak sedikitpun
berbeda dengan ayat-ayat al-Qur’an yang dibaca pada zaman Rasullullah SAW.
dahulu, tetapi tidak pernah berbenturan dengan ilmu pengetahuan (sains) hari ini,
dan sampai akhir masa.30
B. Kedudukan Orang Yang Mengajarkan Ilmu
⌧ ☺
⌧ ⌧
⌧
⌧
)١٢٢: ٩/التوبة(
30http://novriyaldi11.blogspot.com/2008/08/kewajiban-belajar-mengajar.html, kewajiban
Belajar Mengajar, diakses pada tanggal 2 juli 2010.
86
Artinya: “Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang). mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya”. (QS. At-Taubah [9]: 122)
Ayat ini turun ketika semangat kaum muslimin untuk jihad kemedan
pertempuran mencapai puncaknya, semua kalangan umat Islam berbondong-
bondong untuk ikut berjihad dimedan perang. Sehingga tidak ada lagi orang yang
tinggal untuk memperdalam ilmu keislaman. Yang dilakukan kaum muslimin
sangat beralasan, karena begitu mulianya orang yang berjihad ke medan
pertempuran melawan kaum kafir, apalagi mati sebagai syuhada’.
Sebagaimana firman Allah yang berbunyi:
)٣:١٦٩/ال عمران(
Artinya: janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati; bahkan mereka itu hidup disisi Tuhannya dengan mendapat rezki. (QS. Ali-Imran [3]: 169).
Inilah yang menjadi motifasi kaum muslimin. Orang yang syahid dianggap
tidak mati, karma ia akan mendapat kemenangan disisi Allah SWT.
Jihad terbagi kedalam beberapa macam, diantaranya adalah jihad
menghadap orang-orang kafir, munafiq, setan dan hawa nafsu. Selain itu
memberantas kemiskinan, kebodohan, penyakit, dan lain-lain. Adalah jihad yang
tidak kalah pentingnya dari jihad mengangkat senjata melawan orang kafir.
Ilmuan berjihad dengan mengajarkan ilmunya, guru dengan pendidikannya,
pemimpin dengan keadilannya, pengusaha dengan kejujurannya, demikian
seterusnya. Skhusus untuk pengajar, ayat diatas telah memberikan motifasi kepada
kita bahwa orang yang berjihad dimedan juang dengan orang yang pergi belajar
87
kemudian mengajarkan ilmunya memiliki kedudukan yang sama disisi Allah
SWT.
Jadi kebaikan menuntut ilmu dan mengajarkannya sama pahalanya disisi
Allah dengan jihad. Barang siapa yang memberi contoh kebaikan, kemudian
kebaikan itu dicontoh oleh orang lain, maka dia akan mendapat kebaikan yang
sama dengan orang yang melakukan tersebut, tanpa mengurangi pahala orang
yang melakukannya, begitu juga sebaliknya. Demikian ungkapan yang sementara
dianggap dari Rasulullah SAW.
86
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Nilai pendidikan yang diajarkan dalam surat Al-Ankabut ayat 16 sampai ayat
24 adalah:
1. Ibadah, yang dimaksud ibadah adalah mencakup ibadah mahdhah dan
ghairu mahdoh. Ibadah adalah hakikat dari Tauhid, kewajiban manusia
adalah mentauhidkan bahwa Allah adalah Tuhan yang Esa tiada sekutu
bagi-Nya, sebagaimana Nabi Ibrahim berjuang mentauhidkan ke-Esaan
Allah pada kaumnya yang telah menentang keesaan Allah.
2. Sabar, yang dimaksud sabar adalah menahan diri terhadap apa yang tidak
kita sukai dengan tujuan memperoleh keridhoaan Allah. Sasaran sabar
terbagi menjadi dua, pertaman secara fisik (badaniah) dan yang kedua al-
shabru al-nafsi (kesabaran moral dari syahwat-syahwat naluri dan
tuntutan-tuntutan hawa nafsu.
3. Bersyukur tidak mesti selalu ditunjukkan dengan kata-kata. Yang justru
harus dilakukan adalah menggunakan setiap anugerah dijalan yang di
ridhai Allah. Dan Allah berfirman dalam al-Qur’an surat Ibrahim ayat 7
akan menambah nikmat kepada hambanya yang bersyukur dan mengazab
pada hamba-Nya yang kufur terhadap nikmat yang telah diberikan
kepadanya.
4. Proses belajar mengajar ialah suatu keharusan dilakukan oleh seorang
muslim dalam rangka memanfaatkan potensi akal yang diberikan Allah
86
87
SWT, dan Orang yang menuntut ilmu lalu mengajarkannya memiliki
kedudukan yang sama dengan kebaikan orang yang jihad di medan perang
melawan orang-orang kafir.
5. Keimanan kepada Allah berkaitan erat dengan keimanan kepada hari
kemudian (kehidupan setelah mati), keimanan kepada Allah tidak
sempurna kecuali dengan keimanan kepada hari akhir, dengan beriman
kepada hari akhir manusia akan sadar bahwa ada kehidupan setelah
kematian yang di dalamnya terdapat balasan ketika manusia hidup di
dunia.
B. Saran
Berdasarkan pada kesimpulan sebagaiman telah dikemukakan di atas, maka
penulis memberikan saran-saran berikut:
1. Orang tua sebagai pendidik utama dalam keluarga serta pendidik pada
umumnya berkewajiban menanamkan nilai-nilai pendidikan agama yang
bersumber pada Al-Qur’an dan Hadis, sebagai upaya untuk membentuk
kepribadian muslim yang diharapkan.
2. Orang tua hendaknya menanamkan pendidikan tauhid sebagai pendidikan
pertama dan utama yang harus diberikan kepada anak, karena pada
dasarnya pendidikan tauhid akan membentuk unsur kepercayaan anak
terhadap Tuhannya.
3. Orang tua hendaknya menanamkan pendidikan syukur, karena bersyukur
atas nikmat dan karunia Allah akan membantu jiwa, mendekatkan kepada
Tuhannya dan mendorongnya untuk menggunakan nikmat-nikmat itu
sebaik-baiknya sesuai dengan pedoman Allah dan Rasulnya.
4. Orang tua hendaknya menanamkan pendidikan iman kepada hari
kebangkitan, agar anak ingat akan adanya kehidupan sesudah mati dan
balasannya, dengan adanya keimanan kepada hari kebangkitan dan adanya
hari pembalasan di akhirat atas perbuatan yang pernah dilakukan
seseorang di dunia sesuai dengan kelakuan masing-masing, akan
87
88
88
memelihara anak dari kejahatan dan akan mengarahkannya untuk berbuat
baik.
5. Orang tua hendaknya menanamkan pendidikan sabar kepada anak, yang
bertujuan agar tertanam di dalam diri anak sifat tersebut yang dapat
membawa dampak positif terhadap perkembangan anak itu sendiri.
6. Orang tua hendaknya memberikan motivasi kepada anak untuk menuntut
ilmu, menuntut ilmu merupakan kewajiban dan kebutuhan manusia. Tanpa
ilmu manusia akan tersesat dari jalan kebenaran. Tanpa ilmu manusian
tidak akan mampu merubah suatu peradaban. Bahkan dirinyapun tidak
bisa menjadi lebih baik. Dan mengajarkan ilmu kepada orang lain.
Menuntut ilmu dan mengajarkannya sama pahalanya disisi Allah dengan
jihad. Barang siapa yang memberi contoh kebaikan, kemudian kebaikan
itu dicontoh oleh orang lain, maka dia akan mendapat kebaikan yang sama
dengan orang yang melakukan tersebut, tanpa mengurangi pahala orang
yang melakukannya, begitu juga sebaliknya.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmadi, Abu, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Rineka Cipta, 1991.
Almunawar, Said Agil Husin, Aktualisasi Nilai-Nilai Qur’ani Dalam Sistem Pendidikan Islam, Ciputat: PT Ciputat Press, 2005.
Alghazali, Syekh Muhammad, Induk Al-Qur’an, Jakarta: Cendikia Central Muslim, Cet. I, 2003. Al-Hafidz, Ahsin W., Kamus Ilmu Al-Qur’an, Jakarta: Amzah, Cet.II, 2006. Alabrasi, Muhammad Athiyah, Dasar-Dasar Pokok Pendidikan Islam, Penerjemah. Bustami A.
Gain dan Djohal Bahry, Jakarta: Bulan Bintang, 1984.
Almisri, Abdullah, Lamhah Fi Wasail At-Tarbiyah Al-Islamiyah Wa Gayatuha, Beirut: Daar al-Fikri, tt.
Almunawwar, Said Agil Husin, Aktualisasi Nilai-Nilai Qur’ani Dalam System Pendidikan Islam,
Ciputat: PT. Ciputat Press, 2005.
Annahlawi, Abdurrahman, Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah dan masyarakat, Jakarta: Gema Insani Press, 1995.
Annahlawi, Abdurrahman Prinsip-Prinsip dan Metode Pendidikan Islam, Bandung: Diponegoro,
1992. Almaragi, Ahmad Mustafa, Terjemah Tafsir Al-Maragi, Semarang: Toha Putra 1989.
Almarbawi, Muhammad Idris Abdul Rauf Kamus Arab Melayu, Semarang: Darul Ihya, tt. Alfaruqi, Isma’il Raji, Tauhid, Terj dari Tawhid: Its Implications for thought and life, oleh
Rahmani Astuti, Bandung: Pustaka, Cet.II, 1995.
Aljauziah, Ibnu al-Qoyyim, Indahnya Sabar; Bekal Sabar Agar Tidak Pernah Habis, Terj dari ‘Uddatu Ash-Shabirin Wa Dzakkiratu Asy-Syakirin, Jakarta: Maghfirah Pustaka, 2006.
Almaududi, Abul A’la Esensi Al-Qur’an, Filsafat Politik Ekonomi Etika, Jakarta: Mizan, tt. Arifin, Muhammad, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 2000. Departemen Agama RI, Kendali Mutu Pendidikan Agama Islam, Jakarta: Direktorat Jenderal
Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, 2001.
Daradjat, Zakiah Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, Cet. III, 1996.
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, edisi
ke-3, 2002.
Departemen Agama RI, Al-Qur’an Dan Tafsirannya, Jakarta: Departemen Agama RI, Cet. I, 2007.
Departemen Agama RI, Al-Qur’an Dan Tafsirannya, Jakarta: Departemen Agama RI, Cet. I,
2007
Fakhruddin, Muhammad Al-Razi, Tafsir Fakhru Al-Razi, Daar Al-Fikr, Juz 25, 604 H. Fazlurrahman, al-Qur’an Sunber Ilmu Pengetahuan, Jakarta: Rineka Cipta, Cet. 2, 1992. Http://Novriyaldi11.Blogspot.Com/2008/08/Kewajiban-Belajar-Mengajar.Html,diakses pada
tanggal 2 juli 2010. Http://Tarbiyahweekly.Wordpress.Com/2007/10/25/ sabar menurut al-quran/ diakses pada
tanggal 2 juli 2010. Http://Strongdimi.Blogspot.Com/2009/03/Sabar-Dalam-Al-Quran-Dan-Al-Hadits.Html di akses
pada tanggal 2 juli 2010.
Hasan, Abdul Qadir, Qamus al-Qur’an, Bangil: Yayasan al-Muslimun, Cet. VI, 1991.
Zainuddin, Ilmu Tauhid Lengkap, Jakarta: PT Rineka, Cet. II, 1996.
Harun Yahya, Nilai-Nilai Moral Al-Qur’an, Jakarta: Senayan Abadi Publishing, 2003.
Hamka, Tafsir al-Azhar, Jakarta: PT. Pustaka Panji Mas, Juz XX, 1982.
Ismail, M. Syuhudi Pengantar Ilmu Hadis, Bandung: Angkasa, Cet. II, 1994.
Jarullah, Abdullah bin, Fenomena Syukur, Berzikir Dan Berfikir, Surabaya: Risalah Gusti, 1994.
Muhaimin, Paradigma Pendidikan Islam, Bandung: Remaja Rosda Karya, Cet.III, 2004. Muhaimin dan Abdul Mujib, Pemikiran Pendidikan Islam, Bandung: Trigenda Karya, 1993. Marimba, Ahmad D., Pengantar Filsafat Pendidikan, Bandung: Al Ma’arif, 1989. Ma’luf, Luis al-Munjid, Beirut, Dar el- Machreq, 1986.
Muhammad Nasib al-Rifa’i, Kemudahan Dari Allah: Ringkasana Tafsir Ibn Katsir, Terj,
Syihabuddin, Jakarta: Gema Insani Press, Cet. I, 1999.
Mas’ud, Abdurrahman, Menggagas Format Pendidikan Nondikotomik. Yogyakarta: Gama Media, 2002
Muhammad Nasib ar-Rifa’i, Kemudahan Dari Allah : Ringkasan Tafsir Ibn Katsir, Jakarta: Gema Insani Press , Cet. I, tt.
Nata, Abuddin, Filsafat Pendidikan Islam I, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997.
Qordawi, Yusuf Sabar. Sifat Orang Beriman, Terj. Dari ash-shabru fil-Qur’an oleh Aziz Salim
Basyarahil, Jakarta: Rabbani Press, 2003. Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Kalam Mulia, Cet.I, 1994. Sayyid Quthb, Fi Zhilalil Qur’an Di Bawah Naungan Al-Q ur’an, Jakarta: Gema Insani Press,
2004.
Shihab, M. Quraish, Wawasan Al-Qur’an, Bandung: Mizan, Cet. 10, 2000.
Syam, M. Noor, Pengantar Dasar-Dasar Kependidikan, Surabaya: Usaha Nasional, Cet. III, 1988.
Shihab, M. Quraish, Membumikan Al-Qur’an, Bandung: Mizan, Cet. XXVI, 1997. Shihab, M. Qurais, Wawasan Al-Qur’an Tafsir Maudhi’i Atas Pelbagai Permasalahan Umat,
Bandung: Mizan, Cet. II, 1996.
Shihab, M. Quraish, Tafsir al-Misbah Pesan Kesan dan Keserasian al-Qur’an, Jakarta: Lentera Hati, 2002.
Sitanggal, Anshori Umar, Islam Membina Masyarakat Adil Makmur, Pustaka Dian, Cet. I, 1984.
Syam, M. Noor Filsafat Pendidikan Dan Dasar Filsafat Pendidikan Pancasila, Surabaya: Usaha
Nasional, Cet. IV, 1988 Subhani, Asy-Syaikh Ja’far, Tauhid Dan Syirik Dalam Al-Qur’an, Terj Dari At-Tauhi Wa Syirk
Fi Al-Qur’an Al-Karim, oleh Muhammad al-Baqir, (Bandung: Mizan, Cet. VII, 1996. Tafsir, Ahmad Ilmu Pendidikan Dalam Perspekti Islam, Bandung: PT. Remaja Rosda Karya,
Cet. IV, 2001. Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan Dan Pengembangan Bahasa, Jakarta: tt. Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional dan Peraturan Pelaksanaannya, Jakarta: Sinar
Grafika, Cet. I, 1995.
Ubay, Alya’, Ali Pahala Amal Saleh: Motivasi Berbuat Kebajikan, terj dari Tsawab Al ’Amalush Shaahih oleh misbah, Jakarta: Pustaka Azzam,), Cet.I 2004.
Zuhairini, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1995.
Zuhairini, Metodik Khusus Pendidikan Agama, Surabaya: Usaha Nasional, 1981.
Berita Wawancara
Nama Responden : Dr. Hj. Romlah Azkar. MA
Jabatan : Dosen Fakultas Ushuluddin dan Filsafat
Tempat Wawancara : Gedung Fakultas Tarbiyah dan Keguruan
Hari/Tanggal : Sabtu 23 Oktober 2010
Pokok Pembicaraan:
1. Bagaimana pendapat Ibu, apakah surat al-Ankabut, ayat 16-24 benar-benar
mengandung nilai-nilai pendidikan?
2. Nilai-nilai pendidikan apa saja yang terkandung dalam surat al-Ankabut ayat 16-24?
Hasil Wawancara:
1. Menurut pendapat saya, bahwa benar ayat-ayat itu mengandung nilai-nilai pendidikan
yang penting, seperti a. Nilai pendidikan tauhid, b. Pendidikan syukur, c. Pendidikan
sabar, d. Pendidikan iman kepada hari kebangkitan, e. Pendidikan kewajiban belajar
mengajar.
2. A. Nilai pendidikan tauhid sebagaimana di sebutkan dalam surat al-ankabut ayat 16,
☺
B. Nilai pendidikan syukur sebagaimana yang tercantum dalam kata
C. Nilai pendidikan sabar, berdasarkan pada perjuangan Nabi Ibrahim menyebarkan
tauhid kepada kaumnya yang menentang, dengan sabar ia mengajak mereka untuk
mengesakan Allah dalam ibadah dan membersihkan diri dari segala bentuk
kemusrikan.
D. Nilai pendidikan iman kepada hari kebangkitan sebagaimana tercantum dalam ayat
sebagai berikut:
E. Nilai pendidikan belajar mengajar, sebagaimana tercantum dalam ayat sebagai
berikut:
⌧ ⌦
Jakarta 23 Oktober 2010
Responden Dr. Hj. Romlah Azkar. MA