Daerah Otonomi Khusus Dalam Sistem NKRI

Embed Size (px)

Citation preview

  • 8/20/2019 Daerah Otonomi Khusus Dalam Sistem NKRI

    1/22

    STATUS DAERAH OTONOMI KHUSUS DAN ISTIMEWA DALAM

    SISTEM KETATANEGARAAN REPUBLIK INDONESIA

    Oleh:

    Rusdianto S, S.H., M.H.1

     

    A.  Latar Belakang 

    Dalam UUD NRI Tahun 1945 Pasal 18B ayat (1) disebutkan bahwa “Negara

    mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintah daerah yang bersifat khusus atau

     bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang.“ Tidak sedikit  pandangan yang

    menyatakan bahwa ketentuan Pasal 18B ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 tersebut

     bertentangan dengan konsep negara kesatuan yang dianut Indonesia.

    Eko Prasodjo  seperti yang dikutip Edi Toet Hendratno  menyatakan bahwa Pasal

    18B ayat (1) dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 yang menyebutkan negara

    mengakui keistimewaan dan kekhususan suatu daerah dan keanekaragaman daerah dalam

    sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan kesamaan dengan konsep diversity

    in unity (keragaman dalam kesatuan) dalam sistem federal.2  Hal tersebut dianggap

     bertentangan dengan konsep negara kesatuan yang dianut di Indonesia sebagaimana yang

    terdapat dalam ketentuan Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara RepublikIndonesia Tahun 1945.

    Hendratno juga menyatakan bahwa pemberian status otonomi khusus maupun status

    keistimewaan terhadap daerah-daerah seperti Aceh dan Papua lebih mengarah pada model

     bentuk susunan negara federal.4  Pandangan tersebut didasarkan pada berbagai alasan dan

    argumentasi yang ditemukan dalam undang-undang pemerintahan daerah maupun dalam

    undang-undang yang menjadi landasan yuridis bagi penyelenggaraan pemerintahan daerah

    1  Penulis adalah dosen tetap Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi pada Fakultas HukumUniversitas Narotama Surabaya

    2  Edie Toet Hendratno,  Negara Kesatuan, Desentralisasi, dan Federalisme (Jakarta:Graha Ilmu dan

    Universitas Pancasila Press, 2009), hlm.2383 Huda, Ni’matul, Hukum Tata Negara Indonesia, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2005), hlm. 95

    4 Edie Toet Hendratno, Negara Kesatuan...,Loc.Cit

  • 8/20/2019 Daerah Otonomi Khusus Dalam Sistem NKRI

    2/22

    di kedua daerah otonomi khusus tersebut.5  Misalnya diberikannya hak bagi masyarakat

    Aceh untuk membentuk partai politik lokal, maupun disyaratkan bahwa hanya orang asli

     papua yang dapat mencalaonkan diri sebagai calon gubernur Papua dan sebagainya.

    Akan tetapi, tidak sedikit juga konsep atau teori hukum tata negara yang dapat

    dijadikan landasan argumentasi untuk menyatakan bahwa status otonomi khusus atau

    istimewa bagi daerah-daerah tertentu tetaplah merupakan bagian dari model bentuk susunan

    negara kesatuan yang dianut Indonesia.

    Konsekuensi dari pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia adalah adanya pembagian

    kewenangan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Hampir seluruh

    kewenangan pemerintah pusat diserahkan pada daerah, kecuali bidang; politik luar negeri,

     pertahanan keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional dan agama.6  Hal ini

    menimbulkan peningkatan tanggungjawab penyelenggaraan pemerintahan (penyediaan

     barang publik dan pembangunan ekonomi) di tingkat daerah yang sangat besar.7 Termasuk

     bagi daerah dengan status otonomi khusus maupun status istimewa. Penyerahan atau

    membiarkan mengatur dan mengurus asas dan cara mnjalankan kewenangan pemerintahan

    di daerah merupakan suatu otonom.8 

    B.  Rumusan Masalah 

    Beradasarkan uraian di atas, maka paper ini akan membahas mengenai:

    1. 

    Apa kewenangan daerah otonomi khusus dalam sistem Negara Kesatuan Republik

    Indonesia ?

    2.  Apakah pemberian status daerah otonomi khusus tidak bertentangan dengan sistem

    negara kesatuan Republik Indonesia ?

    5 Undang-undang tersebut yaitu UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, UU No. 21 Tahun

    2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua dan UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh

    6 Pasal 10 UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Disamping kelima hal tersebut

    terdapat kewenangan lain yang masih dipegang pemerintah pusat, yakni; (1) kebijakan tentang perencanaan

    nasional dan pengendalian pembangunan nasional secara makro, (2) dana perimbangan keuangan, (3)

    sistem administrasi negara, (4) lembaga perekonomian negara, (5) pembinaan dan pemberdayaan sumber

    daya manusia, (6) pendayagunaan SDA, (7) teknologi tinggi yang strategis, (8) konservasi dan (9)

    standarisasi nasional.

    7 Pantja Astawa, I Gde,  Problematika Hukum Otonomi Daerah di Indonesia (Bandung: Alumni,

    2009), hlm. 558 Philipus M. Hadjon, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Cet. 10. ( Yogyakarta: Gadjah

    Mada University Press, 2008), hlm. 112 

  • 8/20/2019 Daerah Otonomi Khusus Dalam Sistem NKRI

    3/22

     

    C.  Tinjauan Pustaka

    1.  Konsep Negara Kesatuan dan Otonomi Daerah

    Konsep susunan negara yang berkaitan dengan bentuk-bentuk negara modern saat

    ini dapat ditijau dari segi susunannya. Negara, apabila ditinjau dari segi susunan atau

     bentuk negara, maka akan ditemukan dua jenis bentuk negara, sebagaimana yang

    dikemukakan oleh Soehino berikut ini:9 

    a.   Negara yang bersusun tunggal, yang disebut dengan Negara Kesatuan

     b.   Negara yang bersusun jamak, yang disebut Negara Federasi.

    Selanjutnya, Soehino memberikan defenisi atau penjelasan mengenai negara

    kesatuan sebagai berikut:

    “Negara kesatuan itu adalah negara yang tidak tersusun dari beberapa negara,melainkan hanya terdiri atas satu negara, sehingga tidak ada negara di dalam

    negara. Dengan demikian dalam Negara Kesatuan hanya ada satu pemerintah,

    yaitu pemerintah pusat yang mempunyai kekuasaan serta wewenang tertinggidalam bidang pemerintahan negara, menetapkan kebijaksanaan pemerintahan dan

    melaksanakan pemerintahan negara baik di pusat maupun di daerah-daerah.”10

     

    Kekuasaan para penguasa pada abad XVII maupun abad XVIII masih bersifat

    absolut dan masih dilaksanakannya azas sentralisi (urusan pemerintah milik pemerintah

     pusat) dan azas konsentrasi (segala kekuasaan serta urusan pemerintahan dilaksanakan

    sendiri oleh pemerintah pusat). Dalam perkembangannya yang dikarenakan perkembangan pesat yang terjadi dalam suatu negara, yaitu semakin luasnya wilayah,

    urusan pemerintahan semakin kompleks, serta warga negaranya semakin banyak dan

    heterogen, maka di berbagai negara telah dilaksanakan azas dekonsentrasi ( pelimpahan

    wewenang dari pemerintah pusat kepada pejabat-pejabatnya di daerah) dalam rangka

     penyelenggaraan pemeintahan di daerah.11

     

    Dalam perkembangannya lebih lanjut juga dibeberapa negara telah dilaksanakan

    azas desentralisasi ( penyerahan urusan dari pemerintah pusat ke daerah otonom) untuk

    menjadi urusan rumah daerah otonom itu. Pelaksanaan asas desentralisasi inilah yang

    9  Soehino, Ilmu Negara, Ed.3, Cet.3 (Yogyakarta: Liberty, 2000), hlm. 22410  Ibid, hlm.22411  Ibid, hlm.224-225

  • 8/20/2019 Daerah Otonomi Khusus Dalam Sistem NKRI

    4/22

    melahirkan daerah-daerah otonom. Daerah otonom dapat mengatur rumah tangganya

    sendiri sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.12

     

    Penjelasan lebih lanjut mengenai negara kesatuan yang didesentralisasikan

    tersebut dapat dilihat dari uraian yang dikemukakan oleh Zulfikar Salahuddin, Al Chaidar

    dan Herdi Sahrasad dalam Ni’matul Huda berikut ini: 

    “Prinsip pada negara kesatuan ialah bahwa yang memegang tampuk kekuasaan

    tertinggi atas segenapurusan negara ialah pemerintah pusat tanpa adanya suatu

    delegasi atau pelimpahan kekuasaan pada pemerintah daerah (local government ).

    Dalam negara kesatuan terdapat asas bahwa segenap urusan-urusan negara tidak

    dibagi antara pemerintah pusat (central government ) dan pemerintah lokal (lical

     government ) sehingga urusan-urusan negara dalam negara kesatuan tetap

    merupakan suatu kebulatan (eenheid ) dan pemegang tertinggi di negara itu ialah

     pemerintah pusat.”13

     

    Dengan demikian, berdasarkan penjelasan di atas maka dapat diketahui bahwa

    kekuasaan yang sebenarnya tetap berada dalam genggaman pemerintah pusat dan tidak

    dibagi-bagi. Dalam negara kesatuan, tanggungawab pelaksanaan tugas-tugas

     pemerintahan pada dasarnya tetap berada di tangan pemerintah pusat. Adapun hubungan

    antara asas desentralisasi dengan sistem otonomi daerah sebagaimana dikemukakan oleh

    Benyamin Hossein yang kemudian diikuti oleh pendapat Philip Mowhod dan kemudian

    disimpulkan oleh Jayadi N.K dalam Siswanto Sunarno adalah sebagai berikut:

    “Secara teoritis desentralisasi seperti yang dikemukakan oleh Benyamin Hossein

    adalah pembentukan daerah otonom dan/atau penyerahan wewenang tertentu

    kepadanya oleh pemerintah pusat . Philip Mawhod menyatakan desentraliasi

    adalah pembagian dari sebagiankekuasaan pemerintah oleh elompok yang

     berkuasa di pusat terhadap kelompok-kelompok lain yang masing-masing

    memiliki otoritas di dalam wilayah tertentu di suatu negara. Dari defenisi kedua

     pakar diatas, menurut Jayadi N.K. bahwa mengandung empat pengertian:

     pertama, desentralisasi merupakan pembentukan daerah otonom; kedua, daerah

    otonom yang dibentuk diserahi wewenang tertentu oleh pemerintah pusat; ketiga,

    desentralisasi uga merupakan pemencaran kekuasaan oleh pemerintah pusat; 

    12  Ibid, hlm.225-22613 Huda, Ni’matul, Hukum Tata Negara Indonesia (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2005), hlm. 92

  • 8/20/2019 Daerah Otonomi Khusus Dalam Sistem NKRI

    5/22

    keempat,  kekuasaan yang dipencarkan diberikan kepada kelompok-kelompok

    masyarakat dalam wilayah tertentu.”14

     

    Berikut ini penjelasan lebih lanjut mengenai negara kesatuan dan otonomi daerah

    di Indonesia:

    “…Akan tetapi, sistem pemerintahan Indonesia yang salah satunya menganut asas

    negara kesatuan yang didesentralisasikan menyebabkan ada tugas-tugas tertentu

    yang diurus sendiri sehingga menimbulkan hubungan timbal balik yang

    melahirkan adanya hubungan kewenangan dan pengawasan.”15

     

    Bahkan penjelasan tentang asas desentralisasi oleh Siswanto Sunarno diserupai

    dengan hak keperdataan atau disamakan dengan hukum keperdataan, yaitu adanya

     pemberi hak dan penerima hak. Beikut ini penjelsannya mengenai asas desentralisasi dan

    sistem otonomi daerah di Indonesia yang dikemukakan secara gamblang berikut ini:

    “Asas desentralisasi ini dapat ditanggapi sebagai hubungan hukum keperdataan,yakni penyerahan sebagaian hak dari pemilik hak kepada penerima hak, denganobjek hak tertentu. Pemilik hak pemerintahan adalah ditangan pemerintah, dan

    hak pemerintahan tersebut diberikan kepada pemerintah daerah,dengan objek hak

     berupa kewenangan pemerintah dalam bentuk untuk mengatur urusan

     pemerintahan, namun masih tetap dalam kerangka NKRI. Pemberian hak ini,senantiasa harus dipertanggungawabkan kepada si pemilik hak dalam halini

    Presiden melalui Menteri dalam Negeri dan DPRD sebagai kekuatan representatif

    rakyat di daerah.”16

     

    Inti dari konsep pelaksanaan otonomi daerah adalah upaya memaksimalkan hasil

    yang akan dicapai sekaligus menghindari kerumitan dan hal-hal yang menghambat

     pelaksanaan otonomi daerah. Dengan demikian tuntutan masyarakat dapat diwujudkan

    secara nyata dengan penerapan otonomi daerah dan kelangsungan pelayanan umum yang

    tidak diabaikan.17

     

    2.  Prinsip Negara Serikat

    14 Sunarno, Siswanto, Hukum Pemerintahan Daerah di Indonesia, Cet.3 (Jakarta: Sinar Grafika, 2009),

    hlm. 1315

      Huda, Ni’matul, Op.cit, hlm.9316  Sunarno Siswanto, Op.Cit, hlm. 717  H.A.W. Widjaja, Otonomi Daerah dan Daerah Otonom, (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2002), hlm.

  • 8/20/2019 Daerah Otonomi Khusus Dalam Sistem NKRI

    6/22

     Negara serikat (federasi) adalah negara yang bersusunan jamak, maksudnya negara

    ini terdiri dari beberapa negara yang semula telah berdiri sendiri sebagai negara yang

    merdeka dan berdaulat, mempunyai undang-undang dasar sendiri serta pemerintahan

    sendiri.18

      Negara-negara bagian itu kemudian menyerahkan sejumlah tugas dan

    kewenangan untuk diselenggarakan oleh suatu pemerintah federal, sedangkan urusan-

    urusan lain tetap menjadi kewenangan negara bagian.19

     Ramlan Surbakti menambahkan

     bahwa dalam negara serikat pemerintah negara bagian bukanlah bawahan dan tidak

     bertanggungjawab kepada pemerintah federal.20

     

    C.F. Stronk dalam Hendratno menjelaskan tentang dua syarat dasar pembentukan

    negara serikat yang sebenarnya. Stronk menyatakan bahwa jika salah satu dari kedua

    syarat tersebut tidak terpenuhi, maka penyatuan dalam bentuk negara serikat tidak dapat

    terwujud. Berikut ini syarat pembentukan negara serikat menurut C.F.Stronk;21 

    1)  Syarat pertama, adalah adanya rasa kebangsaan diantara negara-negara yangmembentuk federasi. Kenyataannya, negara-negara federal sebelum menjadi

    federasi umumnya sudah berhubungan secara terbatas dalam bentul sebuah

    konfederasi seperti Jerman atau terikat di bawah penguasa yang sama sepertiAmerika Serikat, Swiss, Australia dan Kanada.

    2)  Syarat kedua, adalah bahwa meskipun menginginkan persatuan (union), unit-

    unit yang membentuk federasi tidak menghendaki adanya kesatuan (unity);

    karena jika menghendaki kesatuan, mereka tidak akan membentuk negarafederal, melainkan negara kesatuan.

     Negara federal pada awalnya berasal dari negara yang berdiri sendiri dan memiliki

    kedaulatan sendiri. Akan tetapi karena adanya kepentingan tertentu seperti ekonomi,

     politik dan sebagainya mereka membentuk suatu ikatan kerjasama yang efektif.22

     Ikatan

    kerjasama tersebut yang kemudian disebut negara federasi yang kemudian memiliki

    Undang-Undang Dasar dan Pemerintah Pusat atau Pemerintah Gabungan atau

    Pemerintah Federasi.23

     

    18 Soehino, Op.Cit, hlm.226

    19 Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik ( Jakarta: Grassindo, 2010) , hlm. 216

    20  Ibid. 

    21 Edie Toet Hendratno, Op.Cit., hlm.53

    22 Soehino, Loc.Cit. 

    23  Ibid. 

  • 8/20/2019 Daerah Otonomi Khusus Dalam Sistem NKRI

    7/22

    Dengan demikian maka di dalam negara federasi selalu terdapat dua susunan sistem

    atau selalu tersusun jamak, yaitu di tingkat federal dan di tingkat negara bagian, yaitu:24

     

    a.  2 (dua) macam negara, yaitu Negara Federasi atau Negara Gabungan dan

     Negara-negara Bagian.

     b. 

    2 (dua) macam pemerintah, yaitu Pemerintah Negara Federasi dan Pemerintah Negara-negara Bagian.

    c.  2 (dua) macam undang-undang dasar, yaitu undang-undang dasar Negara

    Federasi dan undang-undang dasar masing-masing Negara Bagian.d.   Negara di dalam negara, yaitu Negara-negara Bagian itu beradanya di dalam

     Negara Federasi.

    e.  2 (dua) macam urusan pemerintahan, yaitu urusan pemerintahan pokok-pokok

    dan yang berkaitan dengan kepentingan bersama negara-negara-bagian.

    R. Kranenburg dalam Hendratno menjelaskan bahwa ciri negara federal itu terletak

     pada keberlakuan atau daya mengikat dari suatu peraturan yang dibuat oleh pemerintah

    federal, apakah langsung mengikat sebagaiamana biasanya pada negara kesatuan ataukah

    memerlukan tindakan terlebih dahulu dari pemerintah negara bagian. Berikut ini

     pendapat Kranenburg tentang ciri negara federal terkait dengan masalah keberlakuan

    hukum yang dibuat oleh pemrintah federal, yakni:

    “…jika peraturan-peraturan hukum yang dibuat atau dikeluarkan oleh pemerintah

    federal atau pemerintah gabungan itu akan diberlakukan terhadap para warga

    negara dari negara-negara bagian, maka pemerintah negara bagian yang bersangkutan terlebih dahulu harus mengadakan suatu tindakan, yaitu mengadakan

    atau membuat suatu peraturan, atau undang-undang atau pernyataan atau mungkin

     berupa tindakan lain, yang pada pokoknya menyatakan berlakunya peraturan- peraturan hukum dari negara federal atau negara gabungannya itu terhadap warga

    negaranya.”25

     

    Pada esensinya, konsepsi negara federal diadasari pada prinsip  partnership yang

    dibangun dan diatur dalam sebuah perjanjian, yaitu suatu hubungan internal diantara

     pihak-pihak yang bersepakat didasarkan pada hubungan timbale balik yang saling

    menguntungkan serta pengakuan ekesistensi soverenitas (kedaulatan) dan integritas

     pihak-pihak yang terlibat. Dalam derajat tertentu, pihak-pihak yang bersepakat harus

    menyerahkan sebagian dari kedaulatannya kepada struktur baru (federal) untuk mengatur

    dan mengurus kewenangan bersama. Kranenburg mengatakan bahwa dalam negara

    srikat, negara-negara bagian mempunyai kekuasaan untuk membentuk konstitusi sendiri

    24  Ibid., hlm 227

    25 Edie Toet Hendratno, Ibid., hlm. 52

  • 8/20/2019 Daerah Otonomi Khusus Dalam Sistem NKRI

    8/22

    ( pouvoir constituant ), negara-negara bagian dapat mengatur sendiri bentuk organisasi

    negaranya dalam batas-batas yang ditentukan konstitusi federalnya.26

      Aktivitas

     pemerintahan dalam negara federal itu dilandasi prinsip kekuasaan bersama (concurrent

    or shared powers) yang melibatkan langsung pemerintahan negara-negara bagian dan

    nasional.27

     

    C.F.Strong berpendapat bahwa sifat utama atau dasar negara federal adalah adanya

     pembagian kekuasaan antara pemerintah federal dengan unit-unit federasi. Pembagian

    kekuasaan dalam negara federal (the federal authority) dapat dilakkan dengan dua cara,

    tergantung dimana diletakkan sisa atau residu atau kekuasaan simpanan (reserve of

     powers).  Pertama, konstitusi memperinci satu persatu kekuasaan pemerintah federal,

    sedangkan sisa kekuasaan (reserve of power ) yang terinci diserahkan kepada negara-

    negara bagian. Contoh negara-negara federal yang menerapkan sistem ini antara lain

    Amerika Serikat dan Australia.  Kedua, konstitusi memperinci satu persatu kekuasaan

     pemerintah negara-negara bagian, sedangkan sisa kekuasaan (reserve of power ) yang

    tidak terinci diserahkan kepada pemerintah federal. Kanada merupakan contoh negara

    federal yang menerapkan sistem ini.28

     

    D.  Pembahasan

    1. Kewenangan Daerah Otonomi Khusus

    Salah satu hasil perubahan UUD NRI Tahun 1945 yaitu dengan dijabarkannya secara

    lebih rinci mengenai sistem pemerintahan daerah yang terdapat dalam ketentuan Pasal 18

    UUD 1945. Bagir Manan menyatakan bahwa perubahan Pasal 18 UUD 1945, baik secara

    struktur maupun substansi perubahan tersebut sangatlah mendasar. Secara struktur, Pasal 18

    (lama) sama sekali diganti baru.29

     Philipus M. Hadjon mengemukakan bahwa terdapat 4

     prinsip yang mendasari ketentuan Pasal 18 UUD 1945, yaitu:30

     

    26 R. Kranenburg, Ilmu Negara Umum, ditejemahkan Tk.B.Sabaroedin, (Jakarta: Paradnya Paramita,

    1989), hlm. 18027  Suzie S. Sudarman dalam Edie Toet Hendratno, Op.Cit. hlm. 6128 Edi Toet Hendratno, Ibid, hlm. 5829  Bagir Manan, Menyongsong Fajar Otonomi Daerah, Cet.4 (Yogyakarta: Pusat Studi Hukum FH-UII,

    2005), hlm. 730Philipus M. Hadjon,  Kedudukan Undang-Undang Pemerintahan Daerah Dalam Sistem Pemerintahan,

    Makalah dalam seminar Sistem Pemerintahan Indoensia Pasca Amandemen UUD 1945, diselenggarakan oleh BadanPembinaan Hukum Nasional, Departemen Kehakiman dan HAM RI bekerjasama dengan Fakultas Hukum

  • 8/20/2019 Daerah Otonomi Khusus Dalam Sistem NKRI

    9/22

    1. Prinsip pembagian daerah yang bersifat hirarkis pada Ayat (1);

    2. Prinsip otonomi dan tugas pembantuan pada Ayat (2);

    3. Prinsip demokrasi pada Ayat (3) dan Ayat (4); dan

    4. Prinsip otonomi seluas-luasnaya pada Ayat (5).

    Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dalam terbitan resminya mengenai Panduan

    dalam memasyarakatkan UUD NRI Tahun 1945 menyatakan bahwa ada 7 prinsip yang

    menjadi paradigma dan arah politik yang mendasari Pasal 18, 18A dan Pasal 18B UUD

    1945, yaitu:31

     

    1. Prinsip daerah mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas

    otonomi dan tugas pembantuan { Pasal 18 ayat (2) }

    2. Prinsip menjalankan otonomi seluas-luasnya { Pasal 18 ayat (5) }

    3. Prinsip kekhususan dan keragaman daerah { Pasal 18A ayat (1) }

    4. Prinsip mengakui dan menghormati kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-

    hak tradisionalnya { Pasal 18B ayat (2) }

    5. Prinsip mengakui dan menghormati Pemerintahan Daerah yang bersifat khsusus dan

    istimewa { Pasal 18 B ayat (1) }

    6. Prinsip badan perwakilan dipilih langsung dalam suatu pemilihan umum { Pasal 18

    ayat (3) }

    7. 

    Prinsip hubungan pusat dan daerah dilaksanakan secara selaras dan adil { Pasal 18A

    ayat (2) }.

    Penyelenggaraan pemerintahan daerah tidaklah terlepas dari konsep negara hukum dan

    demokrasi yang dianut oleh bangsa Indonesia.32

     Titik Triwulan Tutik  menyatakan bahwa

     pengertian demokrasi secara harfiah identik dengan makna kedaulatan rakyat33

     seperti yang

    dianut oleh bangsa Indonesia sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 1 ayat (2) Undang-

    Undang Dasar Tahun 1945. Moh.Kusnardi dan  Harmaily Ibrahim menyatakan bahwa

    Universitas Airlangga dan Kantor Wilayah Departemen Kehakiman dan HAM Provinsi Jawa Timur, pada Tanggal9-10 Juni 2004.

    31 Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia,  Panduan dalam Memasyarakatkan UUD Negara

     Republik Indonesia Tahun 1945, (Jakarta: Sekretariat Jenderal MPR RI, 2003), hlm.102-10332 Konsep negara hukum dan demokrasi merupakan 2 pilar atau landasan utama yang melandasi hukum tata

    negara dan hukum administrasi. Lihat Suparto Wijoyo,  Karakteristik Hukum Acara Peradilan Administrasi

    (Peradilan Tata Usaha Negara), Edisi kedua, (Surabaya: Airlangga University Press, 2005), hlm. 3933

      Titik Triwulan Tutik,  Konstruksi Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Amandemen UUD 1945, (

    Jakarta: Prenada Media Group, 2010) , hlm. 66

  • 8/20/2019 Daerah Otonomi Khusus Dalam Sistem NKRI

    10/22

    suatu negara yang menganut azas kedaulatan rakyat disebut juga sebagai negara

    demokrasi.34

     Soehino membedakan demokrasi menjadi Demokrasi langsung dan Demokrasi

    tidak langsung atau demokrasi perwakilan.35

      Jimly Asshiddiqie menyatakan bahwa

     pelaksanaan kedaulatan rakyat zaman sekarang dilaksanakan melalui sistem perwakilan

    (representative government ).36

     

    Dalam sistem pemerintahan, demokrasi dimaknai sebagai keterlibatan rakyat untuk ikut

    serta dalam penyelenggaraan pemerintahan dan ikut serta dalam merencanakan,

    memutuskan maupun menetapkan kebijakan-kebijakan politik yang dilakukan melalui

    wakilnya yang dipilih secara langsung baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah. Oleh

    karena itu, keberadaan lembaga perwakilan rakyat baik di tingkat pusat maupun di tingkat

    daerah merupakan wujud dari pelaksanaan prinsip demokrasi.

    1.1.  Kewenangan Daerah Otonomi Khusus Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

    UU No. 11 Tahun 2006 merupakan undang-undang yang menjadi dasar hukum bagi

     penyelenggaraan otonomi khusus di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Tidak bisa

    dipungkiri bahwa undang-undang tersebut dibuat sebagai tindak lanjut dari nota

    kesepahaman ( Memorandum of Understanding ) antara Pemerintah RI dengan GAM pada 15

    Agustus 2005. Satu tahun kemudian, yaitu pada tanggal 1 Agustus 2006, akhirnya UU No.

    11 Tahun 2006 tersebut diundangkan.

    Penggunaan istilah “Pemerintahan Aceh” sebagai nama dari UU No. 11 Tahun 2006

    tersebut merupakan suatu yang tidak lazim dalam sistem perundang-undangan Nasional.

    Berbeda dengan daerah lainnya yang menggunakan istilah “Pemerintahan Daerah Provinsi”,

    Daerah Otonomi Khusus Aceh tidak menjumbuhkan istilah tersebut di dalam penyebutan

    nama daerahnya. Penggunaan istilah tersebut sangat tidak sesuai dengan UUD 1945 maupun

    UU No. 32 Tahun 2004.37

      Tidak terdapatnya istilah “daerah provinsi” di depan istilah

    “pemerintah” dalam “Pemerintah Aceh” sangat mirip dengan istilah “Pemerintah Republik

    Indonesia” yang menunjuk pada makna pemerintahan sebuah negara, bukan sebuah daerah.  

    34 Moh.Kusnardi, Harmaily Ibrahim,  Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, Cet. 7  ( Jakarta: Pusat

    Studi Hukum Tata Negara FH-UI, 1988), hlm.13035

     Soehino, Ilmu Negara , Edisi 3. Cet. 3 (Yogyakarta, Liberty, 2000) , hlm. 24036

     Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia ( Jakarta: Sinar Grafika, 2010), hlm. 5937 Baik UUD NRI Tahun 1945 maupun UU No. 32 Tahun 2004 menggunakan istilah Pemerintahan daerah

     provinsi. Lihat Pasal 18 UUD NRI Tahun 1945 dan juga UU No. 32 Tahun 2004 Pasal 3 dan seterusnya.

  • 8/20/2019 Daerah Otonomi Khusus Dalam Sistem NKRI

    11/22

    Sama seperti Provinsi Papua yang menggunakan istilah “DPRP” untuk menyebut

    dewan perwakilan rakyat tingkat provinsinya, NAD juga menggunakan istilah Dewan

    Perwakilan Rakyat Aceh “DPRA”.38

      Sedangkan untuk menyebut DPRD tingkat

    kabupaten/kotanya, digunakan istilah “DPRK” atau Dewan Perwakilan Rakyat

    Kabupaten/Kota, tanpa menggunakan kata “daerah”.39

     

    Istilah berbeda lainnya yang terdapat dalam UU No. 11 Tahun 2006 dengan undang-

    undang lainnya misalnya penyebutan Komisi Independen Pemilihan (KIP) yang memiliki

    kewenangan untuk menyelenggarakan pemilihan umum  Presiden/Wakil Presiden, anggota

    Dewan Perwakilan Rakyat, anggota Dewan Perwakilan Daerah, anggota DPRA/DPRK,

     pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur, bupati/wakil bupati, dan walikota/wakil walikota di

     NAD. Daerah-daerah lainnya di Indonesia sebagaimana yang terdapat dalam UU No. 32

    Tahun 2004 menggunakan Istilah Komisi Pemilihan Umum Daerah “KPUD”.40 

    Aceh juga berhak untuk memiliki bendera, lambang dan hymne daerah sebagaimana

    yang dimakud dalam ketentuan Pasal 246 UU No. 11 Tahun 2006. Ketentuan tersebut sama

    dengan yang terdapat di Papua seperti penjelasan sebelumnya.

    Ada beberapa kekhususan lainnya yang menurut penulis sangat berbeda dengan

    daerah lainnya yang dimiliki oleh Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam sebagaimana yang

    terdapat dalam ketentuan UU No. 11 Tahun 2006 antara lain sebagai berikut:

    1.  Pembagian daerah di Aceh yang dibagi kedalam kabupaten/kota, kecamatan, mukim,

    kelurahan dan gampong.41

      Mukim merupakan kesatuan masyarakat hukum di bawah

    kecamatan yang terdiri atas gabungan beberapa gampong. Sedangkan kelurahan dan

    gampong adalah kesatuan masyarakat hukum yang berada di bawah mukim.42

     

    38 Lihat: Pasal 1 angka 10 UU No. 11 Tahun 200639  Lihat: Pasal 1 angka 11 UU No. 11 Tahun 2006 kemudian bandingkan dengan istilah DPRD

    Kabupaten/Kota dalam UU No. 32 Tahun 2004 dan UU No. 27 Tahun 200940 Lihat: Pasal 1 angka 12 UU No. 11 Tahun 2006 kemudian bandingkan dengan istilah yang digunakan

    dalam Pasal 22E ayat (5) UUD NRI Tahun 1945 maupun Pasal 1 angka 21 UU No. 32 Tahun 200441 Lihat: Pasal 2 UU No. 11 Tahun 200642 Lihat: Pasal 1 angka 19 dan angka 20 j.o Pasal 114, Pasal 115 UU No. 11 Tahun 2006. Bandingkan

    dengan UU No. 32 Tahun 2004 yang membagi suatu daerah dalam wilayah propinsi, kabupaten/kota, kecamatan dan

    desa/kelurahan. Desa/kelurahan merupakan kesatuan masyarakat hukum yang terkecil dalam pembagian wilayahsuatu daerah lain yang memiliki kesamaan dengan gampong/kelurahan di NAD. Kesamaan tersebut misalnya

    terletak pada masa jabatan pemimpinnya (kepala desa/kepala gampong) sama-sama 6 tahun. Kepala desa atau

    kepala gampong sama-sama dipilih secara langsung. Serta sama-sama memiliki sekretaris desa atau sekretais

    gampong yang berasal dari PNS. Lihat Pasal 115, Pasal 116 dan Pasal 117 UU No. 11 tahun 2006 dan bandingkandengan Pasal 202, Pasal 203 dan Pasal 204 UU No. 32 Tahun 2004

  • 8/20/2019 Daerah Otonomi Khusus Dalam Sistem NKRI

    12/22

    2.  Rencana persetujuan internasional yang berkaitan langsung dengan Pemerintahan Aceh

    yang dibuat oleh Pemerintah dilakukan dengan konsultasi dan pertimbangan DPRA.43

     

    Pemerintah Aceh dapat mengadakan kerja sama dengan lembaga atau badan di luar

    negeri kecuali yang menjadi kewenangan Pemerintah. Dalam naskah kerja sama tersebut

    dicantumkan frasa Pemerintah Aceh sebagai bagian dari Negara Kesatuan Republik

    Indonesia. Serta Pemerintah Aceh dapat berpartisipasi secara langsung dalam kegiatan

    seni, budaya, dan olah raga internasional.44

     

    3.  Rencana pembentukan undang-undang oleh Dewan Perwakilan Rakyat yang berkaitan

    langsung dengan Pemerintahan Aceh dilakukan dengan konsultasi dan pertimbangan

    DPRA.45

     

    4.  Kebijakan administratif yang  berkaitan langsung dengan Pemerintahan Aceh yang akan

    dibuat oleh Pemerintah dilakukan dengan konsultasi dan pertimbangan Gubernur.46 

    5.  Penduduk Aceh dapat membentuk partai politik lokal yang memiliki hak antara lain;

    mengikuti Pemilu untuk memilih anggota DPRA dan DPRK; mengusulkan pasangan

    calon Gubernur dan Wakil Gubernur, calon bupati dan wakil bupati, serta calon

    walikota dan wakil walikota di Aceh.47

     

    6.  Di Aceh terdapat pengadilan Syari’at Islam yang dilaksanakan oleh sebuah Mahkamah

    Syar’iyah, yang terdiri dari Mahkamah Syar’iyah Aceh sebagai pengadilan tingkat

     banding dan Mahkamah Syar’iyah Kabupaten/Kota sebagai pengadilan tingkat pertama.

    Mahkamah Syar’iyah berwenang memeriksa, mengadili, memutus, dan menyelesaikan

     perkara yang meliputi bidang ahwal al-syakhsiyah (hukum keluarga), muamalah (hukum

     perdata), dan jinayah (hukum pidana) yang didasarkan atas syari’at Islam  dengan

    hukum acara yang ditetapkan berdasarkan Qanun.48

     

    7.  Produk hukum sejenis peraturan daerah (perda) di Aceh disebut dengan istilah “Qanun” .

    Terdapat dua macam Qanun, yaitu Qanun Aceh yang disahkan oleh Gubernur setelah

    mendapatkan persetujuan bersama dengan DPRA, dan Qanun Kabupaten/Kota

    ditetapkan oleh Bupati/Walikota setelah mendapatkan persetujuan bersama DPRK.

    43 Lihat: Pasal 8 ayat (1) UU No. 11 Tahun 200644 Lihat: Pasal 9 UU No. 11 Tahun 200645 Lihat: Pasal 8 ayat (2) UU No. 11 Tahun 200646 Lihat: Pasal 8 ayat (3) UU No. 11 Tahun 200647 Lihat: Pasal 75 sampai dengan Pasal 88 UU No. 11 Tahun 200648 Lihat: Pasal 128 sampai dengan Pasal 137 UU No. 11Tahun 2006

  • 8/20/2019 Daerah Otonomi Khusus Dalam Sistem NKRI

    13/22

    Qanun dibentuk dalam rangka penyelenggaraan Pemerintahan Aceh, pemerintahan

    kabupaten/kota, dan penyelenggaraan tugas pembantuan.49

      Qanun dapat memuat

    ancaman pidana atau denda lebih dari 6 (enam) bulan kurungan dan/atau denda paling

     banyak Rp.50.000.000.00 (lima puluh juta rupiah). Bahkan Qanun mengenai jinayah

    (hukum pidana) dapat menentukan jenis dan bentuk ancaman pidana tersendiri.50

     

    8.  Pemerintah Aceh dan Pemerintah Kabupaten/Kota dapat membentuk lembaga, badan

    dan/atau komisi dengan persetujuan DPRA/DPRK.51

      Di Aceh terdapat institusi atau

    lembaga yang tidak terdapat di daerah-daerah lainnya, seperti Majelis Permusyawaratan

    Ulama (MPU) yang merupakan mitra kerja Pemerintah Aceh, Kabupaten/Kota dan

    DPRA/DPRK,52

     Lembaga Wali Nanggroe dan Lembaga Adat,53

      Pengadilan Hak Asasi

    Manusia,54

      Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi,55

      dan unit Polisi Wilayatul Hisbah

    sebagai bagian dari Satuan Polisi Pamong Praja, sebagai penegak Syari’at Islam.56 

    1.2.  Kewenangan Daerah Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat

    Status Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua saat ini didasarkan pada UU No. 21

    Tahun 2001. Undang-undang tersebut ditetapkan pada masa pemerintahan Presiden

    Megawati Soekarnoputri. Undang-undang tersebut mulai berlaku pada tanggal 21 November

    2001. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa pemberian status otonomi khusus pada

    Provinsi Papua setidaknya didasarkan pada dua hal yaitu karena adanya kesenjangan

     pembangunan dan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM).

    Salah satu kekhususan yang dimiliki oleh Provinsi Papua dan Papua Barat adalah

     pada bentuk dan susunan pemerintahannya. Pemerintahan Provinsi Papua terdiri atas Dewan

    Perwakilan Rakyat Papua (DPRP) sebagai badan legislatif dan Pemerintahan Provinsi

    sebagai badan eksekutif. Pasal 5 ayat (1) UU No. 21 Tahun 2001 berbunyi sebagai berikut:

     Pemerintahan Daerah Provinsi Papua terdiri atas DPRP sebagai badan legislatif,dan Pemerintah Provinsi sebagai badan eksekutif .

    49 Lihat: Pasal 232 sampai dengan Pasal 245 UU No. 11 Tahun 2006.50 Lihat: Pasal 241 UU No. 11 Tahun 2006 bandingkan dengan ketentuan Pasal 143 UU No. 32 Tahun 200451 Lihat: Pasal 10 UU No. 11 Tahun 200652 Lihat: Pasal 138 sampai dengan Pasal 140 UU No. 11 Tahun 200653 Lihat: Pasal 96 sampai dengan Pasal 99 UU No. 11 Tahun 200654 Lihat: Pasal 228 UU No.11 Tahun 200655 Lihat: Pasal 229 UU No. 11 Tahun 200656 Lihat: Pasal 244 ayat (2) UU No.11 Tahun 2006

  • 8/20/2019 Daerah Otonomi Khusus Dalam Sistem NKRI

    14/22

     

    Menurut penulis, ada beberapa hal yang harus diperhatikan dari penggunaan istilah

    “legislatif   dan eksekutif ” dalam rumusan Pasal 5 ayat (1) di atas.  Pertama, dilihat dari

    makna istilah “legislatif atau eksekutif” itu merujuk pada pembagian kekuasaan negara atau

     bagian dari alat kekuasaan negara. Sukardi menyatakan bahwa lembaga legislatif adalah

    lembaga pembentuk undang-undang dan produk hukum dari badan legislatif adalah undang-

    undang (act of parliament; law). Sedangkan lembaga eksekutif adalah lembaga pelaksana

    undang-undang.57

      Pembagian kekuasaan negara kedalam badan eksekutif dan legislatif

    tersebut juga seperti yang diajarkan oleh Jhon Locke dan Montesquieu.58

     

    C.F. Strong menyatakan dalam konsep negara kesatuan, kedaulatan negara tidak

    terbagi-bagi. Konstitusi negara kesatuan tidak mengakui adanya badan pembentuk undang-

    undang selain badan pembentuk undang-undang pusat.

    59

      Sukardi dengan mengutip pendapat Salmond menyatakan bahwa ada dua jenis legislasi, yaitu legislasi utama

    ( supreme legislation) dan legislasi delegasian ( subordinate legislasi) atau delegated

    legislation. Legislasi utama ditetapkan oleh lembaga pemegang kedaulatan dalam negara.

    Sedangkan legislasi delegasian merupakan produk hukum dari lembaga lain di luar lembaga

     pemegang kedaulatan.60

      Di Indonesia, Peraturan Daerah merupakan salah produk hukum

    dari delegated legislation.61

     

    Dari paparan di atas, yang ingin penulis tekankan adalah penggunaan istilah “badan

    legislasi dan badan eksekutif ”, jenis badan legislasi tersebut. Penggunaan istilah “badan

    legislasi dan badan eksekutif ” adalah tidak lazim dalam sistem perundang-undangan

    nasional. Walaupun Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) lainnya juga memiliki

    fungsi legislasi.62

     Akan tetapi tidak disebutkan sebagai badan legislatif.

    57 Sukardi, Pembatalan Peraturan…,Op.Cit. hlm. 37- 4058  Jhon Locke  merupakan peletak dasar ajaran pemisahan/pembagian kekuasaan negara. Jhon Locke

    membagi kekusaan negara kedalam 3 macam kekusaan: (i) keusaan legisltif sebagai kekuasaan pembentuk undang-

    undang, (ii) kekuasaan eksekutif sebagai kekuasaan yang melaksanakan undang-undang, (iii) kekuasaan federativesebagai kekuasaan yang melakukan hubungan dengan negara lain. Sedangkan Montesquieu membagi kekuasaan

    negara kedalam 3 macam kekuasaan: (i) kekuasaan legislatif sebagai kekuaaan perundang-undangan, (ii) kekuasaan

    eksekutif sebagai kekuasaan melaksanakan undang-undang, dan (iii) Kekuasaan judikatif sebagai kekuasaan

    kehakiman. Lihat: Soehino, Ilmu Negara…,Op.Cit. hlm. 109-11759 Edie Toet Hendratno, Negara Kesatuan…,Op.Cit.hlm. 4860

     Sukardi, Pembatalan Peraturan…,Op.Cit. hlm. 3661  Ibid, hlm. 4462 Dalam UU No. 32 Tahun 2004 Pasal 41 menyebutkan bahwa DPRD memiliki fungsi legislasi, anggaran

    dan pengawasan. Lihat juga Pasal 292 ayat (1) UU No. 27 Tahun 2009.

  • 8/20/2019 Daerah Otonomi Khusus Dalam Sistem NKRI

    15/22

    Menurut penulis, penyebutan “badan legislatif dan badan eksekutif ” merupakan

     bentuk pembagian kekusaan dalam pemerintahan Propinsi Papua yang berbeda dengan

    daerah lainnya. Daerah lainnya berdasarkan UU No. 32 Tahun 2004 tidak menggunakan

    istilah “badan legislatif dan badan eksekutif ”. Dalam sistem otonomi daerah,63

      kekuasaan

    yang dipencarkan hanyalah kekuasaan pemerintahan (eksekutif) saja.64

      Sehingga tidak

    terdapat pembagian atau pemisahan kekuasaan di daerah. Pemerintahan daerah yang terdiri

    dari pemerintah daerah dan DPRD merupakan satu-kesatuan pemerintahan (mitra) dan

     bukanlah bentuk pembagian atau pemisahan kekuasaan.

    Dengan penggunaan istilah “badan legislatif dan badan eksekutif ” maka memiliki

    kesamaan dengan bentuk pembagian kekuasaan dalam sebuah negara bagian dari bentuk

    negara federal. Dalam negara federal, terdapat dua macam pemerintah, yaitu pemerintah

    negara federasi dan pemerintah negara bagian.65 Oleh karena adanya dua macam pemerintah

    tersebut maka pembagian kekuasaan negara juga berbeda antara negara federal dengan

    negara bagian. Sehingga badan pembentuk undang-undangnya pun ada dua, yaitu badan

     pembentuk undang-undang di negara federal dan badan pembentuk undang-undang di

    negara bagian. Produk hukum badan legislatif federal disebut undang-undang federal

    sedangkan produk hukum badan legislatif negara bagian disebut undang-undang negara

     bagian.

    Selain itu, penggunaan istilah “DPRP” juga tidak lazim dalam sistem perundang-

    undangan nasional lainnya. Baik UUD Pasal 18 ayat (3) maupun UU No. 32 Tahun 2004

    serta UU No. 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan

    Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah atau biasa

    disebut dengan UU MD3, dengan jelas menggunakan istilah Dewan Perwakilan Rakyat

    Daerah (DPRD).

    Penulis berpendapat bahwa penggunaan istilah DPRP tanpa ditambahi kata “daerah

     provinsi” menunjukkan kesamaan dengan penggunaan istilah “DPR RI”. Istilah “RI” dalam

    DPR RI menunjuk pada nama negara Indonesia atau tingkatan badan perwakilan tingkat

     pusat. Penggunaan istilah “daerah provinsi” di akhir istilah “DPR” itu menunjukkan bahwa

    63  Berbicara mengenai sistem otonomi daerah maka tidak akan lepas dari bentuk negara kesatuan64  Sri Winarsi, Hand Out.…,Loc.Cit  65  Soehino, Ilmu Negara..,Op.Cit. hlm 227

  • 8/20/2019 Daerah Otonomi Khusus Dalam Sistem NKRI

    16/22

     badan perwakilan tersebut berada di tingkat daerah provinsi. Dengan tidak digunaknannya

    istilah “daerah provinsi” dalam istilah “DPRP” maka secara a contrario  itu berarti bahwa

    DPRP “bukanlah” DPRD Provinsi sebagaimana DPRD Provinsi-Provinsi lainnya. Dengan

    kata lain bahwa itu lebih merujuk badan perwakilan pada sebuah negara bagian, bukan pada

    daerah dalam negara kesatuan.

    Selain itu, Provinsi Papua juga dapat membentuk Peraturan Daerah Khusus

    (Perdasus) yang dibuat dan ditetapkan oleh DPRP bersama-sama Gubernur dengan

     pertimbangan dan persetujuan Majelis Rakyat Papua (MRP) sebagaimana yang diatur dalam

    ketentuan Pasal 29 ayat (1) UU No. 21 Tahun 2001. Selain Perdasus, terdapat juga

    Peraturan Daerah Provinsi (Perdasi) yang dibuat dan ditetapkan oleh DPRP bersama-sama

    Gubernur sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 29 ayat (2) UU No. 21 Tahun 2001.

    Jika mengacu pada ketentuan Pasal 7 UU No. 10 Tahun 2004 maupun dalam ketentuan

    Pasal 136 ayat UU No. 32 Tahun 2004, maka Perdasi merupakan produk hukum yang

    tingkatannya sama dengan Peraturan Daerah (Perda) yang dimaksud oleh kedua undang-

    undang tersebut. Hal tersebut dikarenakan pejabat yang berwenangan membuat Perdasi

    adalah DPRP bersama dengan Gubernur.66

     

    Dengan demikian, maka ada dua tingkatan produk hukum yang berlaku di Provinsi

    Papua maupun Papua Barat, yaitu Perdasus pada tingkat yang lebih tinggi dan Perdasi pada

    tingkat yang lebih rendah. Jika dibandingkan dengan sistem negara federal, maka Perdasus

    dapat dikategorikan sebagai undang-undang federal dan Perdasi sebagai peraturan

     pelaksananya.

    Kekhususan lainnya yang dimiliki oleh Provinsi Papua yang mengarah kepada bentuk

    negara federal diantaranya; dalam ketentuan Pasal 2 UU No. 21 Tahun 2001 disebutkan

     bahwa Papua dapat memiliki bendera daerah dan lagu daerah sebagaimana Sang Merah

    Putih sebagai Bendera Negara Indonesia dan Lagu Indonesia Raya sebagai Lagu

    Kebangsaan Indonesia, walaupun dinyatakan bukan sebagai symbol kedaulatan. Akan tetapi

    hal ini sudah mengarah pada bentuk negara federal.

    66  Pasal 7 ayat (2) huruf a UU No.10 Tahun 2004 berbunyi: “ Peraturan Daerah Provinsi dibuat oleh

     Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi bersama dengan Gubernur ”. Hal ini juga senada dengan ketentuan

    Pasal 136 ayat (1) UU No. 32 Tahun 2004 yang berbunyi: “ Perda ditetapkan oleh Kepala Daerah setelah

    mendapatkan persetujuan bersama DPRD”. Lalu bandingkan dengan Pasal 29 ayat (2) UU No. 21 Tahun 2001 yang

    menyatakan :” Perdasi dibuat dan ditetapkan DPRP bersama-sama dengan Gubernur ”.

  • 8/20/2019 Daerah Otonomi Khusus Dalam Sistem NKRI

    17/22

     

    2. Kewenangan Otonomi Khusus dan Konsep Negara Kesatuan

    Masih ada beberapa kekhususan yang dimiliki oleh Provinsi NAD yang tidak ditulis

    oleh penulis. Akan tetapi, beberapa kekhususan tersebut di atas sudah cukup untuk

    memberikan argumentasi bahwa penyelenggaraan pemerintahan di Aceh memang berbeda

    dengan daerah lainnya. Point nomor 2, 3 dan 4 sangat mirip dengan apa yang dikatakan oleh

    Ross. K. Baker  bahwa dalam aktivitas pemerintahan di negara federal itu dilandasi prinsip

    kekuasaan bersama (concurrent or shared powers) yang melibatkan langsung pemerintahan

    negara-negara bagian dan nasional.67

     Misalnya terkait dengan Kebijakan administratif yang 

     berkaitan langsung dengan Pemerintahan Aceh yang akan dibuat oleh Pemerintah.

    Pemerintah Pusat diharusakan untuk melakukan konsultasi dan mendapat pertimbangan

    Gubernur. Penulis berpendapat bahwa ketentuan ini sudah tidak sesuai dengan prinsip

    negara kesatuan, dimana pemerintah pusat memiliki kewenangan tertinggi dalam

     pemerintahan baik di tingkat pusat maupun di daerah. Lalu bagaimana jika kebijakan

    administratif tersebut ditolak oleh Pemerintah Aceh? Maka tentunya secara yuridis

    kebijakan tersebut tidak boleh diteruskan oleh Pemerintah. Jika kebijakan tersebut tetap

    diteruskan, maka secara yuridis kebijakan tersebut cacat prosedur. Akan tetapi, secara

    teoritik pemerintah pusat berwenang untuk menentukan kebijakan apa saja yang akan

    diterapkan di daerah tanpa memerlukan persetujuan daerah tersebut, tentunya sesuai dengan

     peraturan perundang-undangan serta tanpa adanya kewajiban bagi pemerintah untuk

     berkonsultasi dengan pemerintah daerah.

    Sedangkan berkaitan dengan kewenangan Pemerintah Aceh yang lainnya seperti

    disebutkan di atas, penulis mengutip pendapat R. Kranenburg yang menyatakan bahwa

    dalam negara serikat, negara-negara bagiannya mempunyai kekuasaan untuk dapat

    mengatur sendiri organisasi negaranya dalam batasan-batasan yang ditentukan konstitusi

    federalnya.68

      Bandingkan dengan ketentuan yang memberikan kewenangan kepada

    Pemerintah Aceh untuk membentuk lembaga, badan dan/atau institusi yang berbeda dengan

    67 Ross K. Baker dalam Edie Toet Hendratno, Op.Cit., hlm. 1668 R. Kranenburg, Ilmu Negara…,Loc.Cit. 

  • 8/20/2019 Daerah Otonomi Khusus Dalam Sistem NKRI

    18/22

    ketentuan yang diterapkan pada daerah lainnya, misalnya berdasarkan PP No. 41 Tahun

    2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah yang membatasi jumlah badan atau institusi di

    daerah. Begitu juga dengan diberikannya kewenangan untuk membentuk Partai Politik

    Lokal di Aceh. Sesuatu yang sangat bertentangan dengan konsep negara kesatuan. Dengan

    demikian, maka penyelenggaraan pemerintahan di Daerah Otonomi Khusus NAD

    menyerupai konsep negara federal.

    Kebijakan pemerintah pusat yang tertuang dalam Pasal 226 ayat (2) UU No. 32

    Tahun 2004 telah dilaksanakan di Provinsi DIY, bahkan undang-undang pemerintahan

    daerah sebelumnya juga menyatakan hal yang sama. Tidak ada protes maupun tindakan-

    tindakan yang menolak ketentuan undang-undang tersebut. Pemerintah Provinsi DIY tidak

     pernah melakukan suatu tindakan atau perbuatan hukum untuk memprotes kebijakan

     pemerintah pusat yang dituangkan dalam undang-undang pemerintahan daerah tersebut,

    misalnya dengan menyatakan bahwa ketentuan tersebut tidak berlaku mengikat bagi

    Provinsi DIY. Karena memang dalam sistem negara kesatuan, tindakan tersebut tidak dapat

    dilakukan. Bandingkan dengan sistem yang berlaku di Aceh, jika Pemerintah hendak

    melakukan suatu kebijakan administratif yang berkaitan dengan Aceh, maka Pemerintah

    diharuskan melakukan konsultasi dan mendapat pertimbangan Gubernur Aceh.

    Dalam sistem negara kesatuan, hanya terdapat satu hukum nasional yang berlaku

    secara nasional pula. Keberlakuan hukum nasional pada suatu negara kesatuan tidak

    memerlukan persetujuan negara bagian terlebih dahulu. Berbeda dengan bentuk susunan

    negara serikat, keberlakuan suatu aturan federal harus mendapatkan pengakuan atau

     pengesahan dari negara bagian, apakah suatu peraturan hukum dari negara federal atau

    negara gabungannya itu berlaku terhadap warga negaranya atau tidak, sebagaimana yang

    dikemukakan oleh Kranenburg berikut ini:

    “…jika peraturan-peraturan hukum yang dibuat atau dikeluarkan oleh pemerintah

    federal atau pemerintah gabungan itu akan diberlakukan terhadap para warganegara dari negara-negara bagian, maka pemerintah negara bagian yang

     bersangkutan terlebih dahulu harus mengadakan suatu tindakan, yaitu mengadakan

    atau membuat suatu peraturan, atau undang-undang atau pernyataan atau mungkin berupa tindakan lain, yang pada pokoknya menyatakan berlakunya peraturan-

     peraturan hukum dari negara federal atau negara gabungannya itu terhadap warga

    negaranya.”69

     

    69 Edie Toet Hendratno, Op.Cit., hlm. 52

  • 8/20/2019 Daerah Otonomi Khusus Dalam Sistem NKRI

    19/22

    Segala peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh pemerintah pusat berlaku

    mengikat secara langsung bagi Provinsi DIY tanpa perlu disetujui oleh Sultan Yogyakarta

    dan Adipati Kadipaten Paku Alaman. Ketentuan ini dapat dibandingkan dengan sistem yang

     berlaku di Aceh, dalam ketentuan Pasal 8 ayat (2) UU No. 11 Tahun 2006 menyatakan

     bahwa DPR RI harus berkonsultasi dan mendapat pertimbangan dari DPRA jika hendak

    membuat undang-undang yang akan berkaitan langsung dengan Pemerintahan Aceh.

    Padahal jika merujuk pada teori terbentuknya negara kesatuan, sebenarnya

    terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia juga memenuhi kriteria terbentuknya

    negara serikat. Dengan kata lain bahwa terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia

    tidak murni memenuhi konsep terbentuknya negara kesatuan.

    Zulfikar Salahuddin, Al Chaidar  dan Herdi Sahrasad  dalam Ni’matul Huda

    menjelaskan bahwa model negara kesatuan asumsi dasarnya berbeda secara diametrik dari

    negara federal. Formasi negara kesatuan dideklarasikan saat kemerdekaan oleh para pendiri

    negara dengan mengklaim seluruh wilayahnya sebagai bagian dari satu negara.70

     Tidak ada

    kesepakatan para penguasa apalagi negara-negara, karena diasumsikan bahwa semua

    wilayah yang termasuk di dalamnya bukanlah bagian-bagian wilayah yang bersifat

    independen. Dengan dasar itu, maka negara membentuk daerah-daerah atau wilayah-

    wilayah yang kemudian diberi kekuasaan atau kewenangan oleh pemerintah pusat untuk

    mengurus berbagai kepentingan masyarakatnya, ini diasumsikan bahwa negaralah yang

    menjadi sumber kekuasaannya.71

     

    Sedangkan negara serikat (federasi) merupakan negara yang bersusunan jamak,

    maksudnya negara ini terdiri dari beberapa negara yang semula telah berdiri sendiri sebagai

    negara yang merdeka dan berdaulat, mempunyai undang-undang dasar sendiri serta

     pemerintahan sendiri.72

      Negara-negara bagian itu kemudian menyerahkan sejumlah tugas

    dan kewenangan untuk diselenggarakan oleh suatu pemerintah federal, sedangkan urusan-

    urusan lain tetap menjadi kewenangan negara bagian.73

      Ramlan Surbakti menambahkan

    70 Huda, Ni’matul, Hukum Tata Negara…,Op.Cit., hlm. 92 

    71  Ibid .

    72 Soehino, Op.Cit, hlm.226

    73 Ramlan Surbakti, Op.Cit., hlm. 216

  • 8/20/2019 Daerah Otonomi Khusus Dalam Sistem NKRI

    20/22

     bahwa dalam negara serikat pemerintah negara bagian bukanlah bawahan dan tidak

     bertanggungjawab kepada pemerintah federal.74

     

    Dengan demikian, bahwa dalam konsep terbentuknya negara kesatuan, wilayah

    negara atau pembagian wilayah negara kedalam beberapa daerah baru dilakukan setelah

    terbentuknya negara. Negara (pemerintah pusat) terbentuk terlebih dahulu, barulah

    kemudian setelah itu dibentuk daerah-daerah. Berbeda dengan proses terbentuknya negara

    federal, negara-negara bagian (daerah) telah ada dan berdiri sendiri sebagai negara yang

    merdeka dan berdaulat sebelum bergabung untuk membentuk pemerintah dan/atau negara

    gabungan (pemerintah/negara federal).

    E.  Penutup

    1. 

    Kesimpulan

    a.  Bahwa kewenagan yang dimiliki oleh daerah otonomi khusus tersebut sangatlah luas

    dan bahkan bertentangan dengan kewenangan pemerintahan daerah sebagaimana

    yang dimaksud dalam UU No. 32 Tahun 2004 dan PP No. 38 Tahun 2007

     b.  Bahwa walaupun kewenangan daerah otonomi khusus tersebut bertentangan dengan

    kewenangan pemerintah daerah daerah sebagaimana dimaksud dalam UU No. 32

    Tahun 2004, tetapi tetaplah status otonomi khusus tersebut berada dalam kerangka

    negara kesatuan Republik Indonesia.

    2. Saran

    a.  Sebaiknya beberapa kewenangan yang diberikan kepada daerah otonomi khusus

    tersebut seperti kewenangan untuk mengadakan hubungan luar negeri ditinjau

    kembali karena hal itu bertentangan dengan UU No. 32 Tahun 2004.

     b.  Agar derah otonomi khusus tersebut tetap berada dalam bingkai NKRI, maka Pasal

    18B ayat (1) UUD 1945 sebagai landasan konstitusional dibentuknya daerah

    otonomi khusus tersebut disempurnakan.

    DAFTAR BACAAN

    Undang-Undang Dasar Negara Republi Indonesia Tahun 1945

    Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001

    74  Ibid. 

  • 8/20/2019 Daerah Otonomi Khusus Dalam Sistem NKRI

    21/22

    Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004

    Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006

    Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007

    Pantja Astawa, I Gde,  Problematika Hukum Otonomi Daerah di Indonesia. Bandung:Alumni, 2009

    Soehino. Ilmu Negara, Ed.3, Cet.3. Yogyakarta: Liberty. 2000

    Huda, Ni’matul. Hukum Tata Negara Indonesia. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada. 2005

    Sunarno, Siswanto.  Hukum Pemerintahan Daerah di Indonesia, Cet.3. Jakarta: Sinar

    Grafika. 2009

    H.A.W. Widjaja, Otonomi Daerah dan Daerah Otonom. Jakarta: PT Rajagrafindo

    Persada. 2002

    Ramlan Surbakti.  Memahami Ilmu Politik . Jakarta: Grassindo. 2010

    R. Kranenburg.  Ilmu Negara Umum, ditejemahkan Tk.B.Sabaroedin. Jakarta: Paradnya

    Paramita. 1989

    Bagir Manan.  Menyongsong Fajar Otonomi Daerah, Cet.4. Yogyakarta: Pusat Studi

    Hukum FH-UII. 2005

    Philipus M. Hadjon,  Kedudukan Undang-Undang Pemerintahan Daerah Dalam Sistem

     Pemerintahan, Makalah dalam seminar Sistem Pemerintahan Indoensia PascaAmandemen UUD 1945, diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Hukum

     Nasional, Departemen Kehakiman dan HAM RI bekerjasama dengan Fakultas

    Hukum Universitas Airlangga dan Kantor Wilayah Departemen Kehakiman dan

    HAM Provinsi Jawa Timur, pada Tanggal 9-10 Juni 2004.

    Philipus M. Hadjon.  Pengantar Hukum Administrasi Indonesia. Cet. 10. Yogyakarta:

    Gadjah Mada University Press. 2008

    Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Panduan dalam Memasyarakatkan

    UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Jakarta: Sekretariat Jenderal MPR

    RI. 2003

    Suparto Wijoyo,  Karakteristik Hukum Acara Peradilan Administrasi (Peradilan Tata

    Usaha Negara), Edisi kedua. Surabaya: Airlangga University Press. 2005

    Titik Triwulan Tutik.  Konstruksi Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Amandemen

    UUD 1945. Jakarta: Prenada Media Group. 2010

  • 8/20/2019 Daerah Otonomi Khusus Dalam Sistem NKRI

    22/22

    Moh.Kusnardi, Harmaily Ibrahim.  Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, Cet. 7.

    Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara FH-UI. 1988

    Jimly Asshiddiqie. Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia . Jakarta: Sinar Grafika.

    2010